BAB I PENDAHULUAN. sistem pembuktian Undang-Undang secara negatif (Negatiefe Wettelijke Bewijs

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. sistem pembuktian Undang-Undang secara negatif (Negatiefe Wettelijke Bewijs"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Sistem pembuktian yang dianut oleh Hukum Acara Pidana di Indonesia adalah sistem pembuktian Undang-Undang secara negatif (Negatiefe Wettelijke Bewijs Theorie), yaitu dalam pembuktian perkara pidana berpangkal tolak dari aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif dalam Undang-Undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan Hakim. 1 Dalam sistem pembuktian ini, minimal dibutuhkan dua alat bukti yang telah diatur dalam Undang-Undang dan berdasarkan dua alat bukti yang sah tersebut, menimbulkan keyakinan Hakim bahwa Terdakwa adalah benar orang yang melakukan perbuatan yang didakwakan serta karena perbuatannya tersebut Terdakwa dapat dipersalahkan. Sistem pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Dengan dianutnya sistem pembuktian tersebut diharapkan dapat diwujudkan tujuan Hukum Acara Pidana untuk menemukan kebenaran materiil, yaitu kebenaran berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, bukan kebenaran yang didasarkan bukti formal sebagaimana dianut dalam Hukum Acara Perdata, dimana kebenaran yang ingin dicapai adalah kebenaran berdasarkan bukti formal (surat). Dalam sistem pembuktian menurut Hukum Acara Pidana, disamping dikenal adanya alat bukti sebagaimana telah diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu berupa 1 M.Haryanto, 2007, Hukum Acara Pidana, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, hal

2 keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, dikenal juga barang bukti, yaitu barang bukti sebagai hasil kejahatan (corpora delicti) dan barang bukti yang merupakan alat untuk melakukan kejahatan (instrumenta delicti). Barang bukti telah diatur dalam Pasal 39 KUHAP, walaupun Pasal tersebut tidak secara tegas mengatur tentang barang bukti, tetapi mengatur barang yang dapat disita oleh Penyidik. Terkait dengan bukti permulaan khususnya dalam penyidikan Kapolri dalam Surat Keputusan No. Pol.SKEEP/04/I/1982, tanggal 18 Februari 1982 menentukan, bahwa bukti permulaan yang cukup itu, adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua diantara : 1) Laporan Polisi; 2) Berita Acara Pemeriksaan TKP; 3) Laporan Hasil penyelidikan; 4) Keterangan saksi / saksi ahli; dan 5) Barang Bukti. 2 Keputusan Kapolri tersebut memuat dan memperhatikan barang bukti merupakan bagian bukti permulaan yang cukup untuk menentukan adanya suatu tindak pidana kejahatan. Hal tersebut berarti dalam upaya pengumpulan sarana pembuktian barang bukti sudah berperan dan berfungsi saat Penyidik melakukan tindakan penyidikan. Dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian perkara pidana, kegiatan penyidikan merupakan pendahuluan dari proses penuntutan. Dalam proses penuntutan terutama saat Jaksa Penuntut Umum menyusun surat dakwaan sangat dipengaruhi dan didasarkan kesempurnaan tindakan penyidikan 2 Darwan Prints, 1989, Hukum Acara Pidana, Suatu Pengantar, Jambatan dan Yayasan Bantuan Hukum, Jakarta, hal

3 dalam mengumpulkan sarana pembuktian yang akan diajukan Jaksa Penuntut Umum di persidangan dan akan menghasilkan putusan pengadilan sebagaimana diupayakan Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum 3. Penuntut Umum membuat surat dakwaan dan oleh karena itu, ia berkewajiban untuk menyusun alat bukti dan pembuktian tentang kebenaran surat dakwaan atau tentang kesalahan Terdakwa 4, dan barang bukti mempunyai nilai strategis untuk menentukan suatu perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa oleh Penuntut Umum dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan atau tidak, apakah Terdakwa benar sebagai pelaku dalam perbuatan tersebut dan harus dipertanggungjawabkan karena perbuatannya. Barang bukti yang terkait suatu tindak pidana harus dilakukan penyitaaan karena barang bukti tersebut dapat dipakai untuk membuktikan apakah benar barang bukti yang diajukan ke persidangan itu merupakan hasil kejahatan atau barang bukti itu merupakan alat untuk melakukan kejahatan. Berkaitan barang bukti ini juga akan diputuskan oleh Hakim, apakah barang bukti akan dikembalikan kepada yang berhak, atau dirampas untuk dimusnahkan atau dirampas untuk Negara. Terkait dengan barang bukti yang harus disita, Haryanto mengatakan bahwa : Benda yang dapat disita itu : 1) Instrumenta delicti 2) Corpora delicti 3) Benda lain yang secara langsung tidak ada hubungannya dengan tindak pidana tetapi mempunyai alasan kuat untuk bahan pembuktian. 5 3 H.M.A. Kuffal, 2010, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang, hal Martiman Prodjohamidjojo, 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, hal M. Haryanto, Op. Cit., hal

4 Dalam perkara pencurian, barang bukti berupa hasil kejahatan sangat penting untuk dilakukan penyitaan, selanjutnya akan ditampilkan di persidangan untuk membuktikan apakah benar perbuatan pencurian yang didakwakan kepada Terdakwa dan apakah benar barang bukti yang ditunjukkan dalam persidangan adalah barang milik korban yang diambil oleh Terdakwa. Dalam KUHAP tidak pernah diatur tentang barang bukti pengganti, yaitu bukan merupakan barang dari hasil kejahatan ataupun barang yang bukan merupakan alat untuk melakukan kejahatan, mengingat kalau hal tersebut diatur dalam KUHAP berarti tidak mendukung terwujudnya tujuan Hukum Acara Pidana untuk menemukan kebenaran materiil. Sebagai contoh seseorang disangka melakukan pencurian ayam yang berwarna hitam, berhubung ayam sudah dijual dan tidak diketahui, maka Penyidik memunculkan barang bukti pengganti yaitu bulu ayam yang berwarna hitam. Hal ini tidak dibenarkan, karena bulu berwarna hitam itu bisa diperoleh dari manapun, tidak perlu dari ayam yang dicuri oleh seseorang. Apabila diperhatikan Pasal 45 KUHAP mengatur barang bukti pengganti, tetapi hal tersebut terkait dengan barang bukti yang lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan, maka barang bukti dapat dijual lelang untuk kepentingan pembuktian disisihkan sebagian kecil. Artinya sebagian berupa barang bukti pengganti (berupa uang) dan sebagian lagi berupa barang bukti yang asli, tetapi Pasal 45 KUHAP ini tidak mengatur tentang barang bukti yang seluruhnya diganti atau tidak ada barang bukti aslinya. Dalam kenyataannya ada kasus pencurian yang barang buktinya bukan barang yang diambil oleh Terdakwa tetapi diganti dengan barang lain yang terkait dengan barang diambil oleh Terdakwa, yaitu kasus pencurian Handphone, yang perkaranya 4

5 disidangkan di Pengadilan Negeri Semarang dengan Nomor : 818/ Pid/ B/ 2009/ PN.Smg. Dalam peristiwa ini saksi korban kehilangan 2 (dua) buah Handphone, yaitu merek Nokia 1600 dan Nokia N70, tetapi barang bukti tersebut sudah tidak dapat ditemukan, kemudian Penyidik melakukan penyitaan barang bukti pengganti yaitu berupa kardus Handphone Nokia 1600 dan kardus Nokia N70, padahal kardus tersebut belum tentu untuk Handphone yang hilang, sehingga seharusnya tidak dapat dijadikan sebagai barang bukti pengganti. Selain itu ada kasus pencurian gamelan milik PTPN IX Getas yang diadili di Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung. tetapi barang-barang bukti yang ditampilkan di persidangan adalah gamelan milik H. Joko Sunarno yaitu gamelan yang berbentuk polosan, bukan milik PTPN IX Getas berbentuk blimbingan yang telah dilaporkan hilang. Hal ini dibuktikan dengan kualitas bahan baku, bentuk, ukuran dan tata letak ukuran gamelan. Barang bukti gamelan yang ditampilkan di persidangan tidak bisa dipasang pada kotak gamelan milik PTPN IX Getas. Dengan adanya kenyataan tentang barang bukti pengganti (bukan hasil kejahatan) tersebut menjadikan penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul Pertimbangan Hakim Tentang Barang Bukti Dalam Perkara Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Tanggal 4 Juni 2009, Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung, Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Tanggal 4 Juni 2009, Nomor : 83/Pid/B/2009/PN. Ung. dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Tanggal 18 Agustus 2009, Nomor : 818/Pid/B/2009/PN.Smg.). Disamping penulis tertarik untuk menulis judul skripsi ini dengan alasan sebagaimana telah dikemukakan di atas, berdasarkan pengamatan penulis berkaitan dengan judul skripsi ini di Fakultas Hukum UKSW juga belum ada yang menulis, 5

6 oleh karena itu penulis akan mencoba untuk meneliti dan menganalisis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang pentingnya peranan barang bukti dalam pembuktian perkara pidana. Menurut penulis dalam suatu perkara pidana, alat bukti dan barang bukti tersebut mempunyai peran menentukan terbukti atau tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa oleh Penuntut Umum, alat bukti dan barang bukti yang ditampilkan di persidangan akan menentukan putusan yang akan dijatuhkan oleh Hakim. Perbedaan skripsi dengan topik pertimbangan Hakim pernah ditulis oleh beberapa penulis adalah No. Penulis Judul Skripsi Rumusan Masalah Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan 1 Carolin Waren R. Tindak Pidana Persetubuhan Anak di Bawah umur (Studi Kasus Putusan Hakim No. 08/Pid.Sus/2011/PN. Sal. No. 01/Pid.Sus/2011/ PN. Sal. dan No. 42/Pid. Sus/2011/PN. Sal.) Apa yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutuskan tindak pidana persetubuhan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur? 2 Samuel Pertimbangan Hakim Bagaimana Majelis Hakim 6

7 Andriyanto 3 Yeremia Kailimang 4 Lusy Julnita Labulu 5 Roynaldo Sanjoyo Dalam Putusan Perkara Pidana No. : 79/Pid.B/ 2010/PN. Sal dan Putusan Perkara Pidana No. : 225/Pid.B/2010/PN. Ung. Pertimbangan Hakim Dalam Menentukan Tindak Pidana Suap dan Atau Gratifikasi Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan No. 20/Pid.B/TPK/2006/PN. Jkt-Pst.) Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana (Studi Kasus di PN. Salatiga) Pertimbangan Hakim Dalam Mengkaji mempertimbang kan unsur kesalahan dalam putusan perkara pidana No. : 79/Pid.B/ 2010/PN. Sal dan Putusan Perkara Pidana No. : 225/Pid.B/2010/PN. Ung. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menentukan suatu tindak pidana dikatakan termasuk tindak pidana suap atau tindak pidana gratifikasi sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku? Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan berat ringannya pidana yang disesuaikan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak? Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam 7

8 Pemenuhan Unsur-Unsur Delik Agama (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No. 31/Pid.B/1992/PN. Sal. Dan Putusan PN No. 6/Pid/B/2011/PN. TMG) mengkaji pemenuhan unsur-unsur delik agama dalam putusan perkara pidana 31/Pid.B/1992/PN. Sal. Dan putusan perkara pidana No. 6/Pid/B/2011 /PN. TMG Pertimbangan Hakim 6 Supri Ariyadi 7 Armin Hamanay Pengadilan Negeri Dalam Memberikan Putusan Perkara Narkotika (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Semarang Dalam Penjatuhan Pidana Pembunuhan Bayi Yang Dilakukan Oleh Ibu Kandung Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara narkotika? 1. Apakah pertimbangan Hakim dalam penjatuhan pidana pembunuhan bayi yang dilakukan oleh ibu kandung? 2. Mengapa masa hukuman atas tindak pidana pembunuhan bayi yang dilakukan oleh ibu kandung berbeda-beda? 8

9 Bagaimanakah pemenuhan unsur tindak pidana 8 M. Bayu Ajinugroho Pertimbangan Hakim Dalam Menjalankan Putusan Bagi Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 70/Pid/ Sus/2012/PN. Smg. jo No. 237/Pid/Sus/2012/PT. Smg.) Pertimbangan Hakim Tentang Barang Bukti Dalam Perkara Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri penyalahgunaan narkotika dalam Pasal 112 ayat (1) dan/ atau dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang- Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam studi kasus Putusan No. 70/Pid/Sus/2012/PN. Smg. Dan Putusan No. 237/Pid/Sus/2012/PT. Smg.? Bagaimana hakim menilai kekuatan pembuktian dari barang bukti dalam Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 9 Vilda Mandayaningrum Ungaran Tanggal 4 Juni 2009, Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009, Harahap (Penulis) 82/Pid/B/2009/PN. Ung, Putusan Pengadilan Negeri Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 83/Pid/B/2009/ Ungaran Tanggal 4 Juni PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009, Nomor : 2009 dan Putusan 83/Pid/B/2009/PN. Ung. Pengadilan Negeri 9

10 dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Tanggal 18 Agustus 2009, Nomor : Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg, tanggal 18 Agustus 2009? 818/Pid/B/2009/PN.Smg.) B. Latar Belakang Masalah Mengingat dalam penyidikan barang bukti mempunyai peran penting sebagai bukti permulaan untuk menduga seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, sudah barang tentu para aparat penegak hukum tidak boleh mengabaikan tentang fungsi barang bukti ini, agar kemudian hari tidak ada orang yang dikorbankan untuk dijadikan Tersangka karena penegak hukum kurang hati-hati di dalam menentukan barang bukti, bahkan barang bukti diganti (bukan barang bukti hasil kejahatan atau alat untuk melakukan kejahatan) oleh penegak hukum, dengan kata lain barang bukti dalam suatu kejahatan, apakah hasil kejahatan atau alat untuk melakukan kejahatan harus dijaga ke otentikannya, oleh karena itu barang bukti dalam suatu kejahatan harus dilakukan penyitaan. Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. 6 Memperhatikan pengertian penyitaan tersebut, maka dapat diketahui bahwa barang-barang yang dapat disita berupa barang bergerak atau tidak bergerak, 6 Andi Hamzah, 1984, Pengantar Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal

11 berwujud atau tidak berwujud, dan barang yang dapat disita pada prinsipnya telah diatur dalam Pasal 39 KUHAP, yang dalam proses peradilan pidana barang-barang tersebut akan disebut sebagai barang bukti. Penyitaan terhadap barang-barang bukti dalam suatu perkara pidana bertujuan untuk mewujudkan kebenaran materiil sebagai tujuan Hukum Acara Pidana. Berkaitan dengan tujuan Hukum Acara Pidana ini, Andi Hamzah mengatakan sebagai berikut : Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelakunya yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 7 Terkait dengan penyitaan terhadap barang bukti tidak dapat dilepaskan dengan tujuan Hukum Acara Pidana untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil, sehingga apabila proses peradilan pidana atas suatu kejahatan berlangsung, maka tidak akan terjadi adanya putusan Hakim yang error in obyecto dan berakibat adanya error in persona, artinya terjadi kekeliruan barang bukti yang akan berakibat kekeliruan orang yang dihukum. Hal tersebut ada kemungkinan terjadi ketika dalam proses peradilan pidana atas suatu kejahatan dimungkinkan adanya barang bukti pengganti (penggantian barang bukti yang bukan merupakan alat untuk melakukan kejahatan atau bukan merupakan hasil kejahatan). Tentang barang bukti pengganti ini memang dimungkinkan, tetapi harus memenuhi syarat tertentu, dan ini telah diatur dalam Pasal 45 KUHAP, yang secara lengkap bunyinya sebagai berikut : 7 Ibid, hal

12 (1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan Tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut : a. Apabila perkara masih ada di tangan Penyidik atau Penuntut Umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dengan disaksikan oleh Tersangka atau kuasanya; b. Apabila perkara sudah ada di tangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh Penuntut Umum atas izin Hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh Terdakwa atau kuasanya. (2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti. (3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian dari benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan Negara atau untuk dimusnahkan. 8 Jadi dari bunyi Pasal 45 KUHAP dengan pertimbangan tertentu dalam hal ini jika benda yang disita lekas rusak atau membahayakan, maka dimungkinkan barang bukti pengganti, tetapi harus memenuhi syarat tertentu dan menurut Pasal 45 ayat (3), untuk kepentingan pembuktian harus disisihkan sebagian barang bukti aslinya, sehingga otentisitas barang bukti tersebut tetap terjamin sehingga tidak akan terjadi error in obyecto. Dalam proses berjalannya peradilan pidana, kenyataannya ditemukan adanya barang bukti pengganti, tetapi tidak ada barang bukti aslinya, dan apabila hal ini berlangsung terus menerus akan membahayakan proses peradilan pidana, karena bisa terjadi error in obyekto yang akan berakibat memungkinkan terjadinya error in persona dalam suatu putusan pidana yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. 8 Abdul Hakim G. Nusantara dkk., 1955, KUHAP, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan- Peraturan Pelaksanaan, Jambatan, hal

13 Putusan Pengadilan Negeri Ungaran tanggal 4 Juni 2009, Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung. Terdakwa I Sri Kuncoro Bin Harno Sugondo dan Terdakwa II Haryoko Noto Suharjo Bin Sugito Noto Suharjo, Widodo Bin Rohmadi dan Sukamto Bin Suwarno telah mengambil gamelan milik PTPN IX Getas kemudian menjual kepada Dalang H. Joko Sunarno. Putusan Pengadilan Negeri Ungaran tanggal 4 Juni 2009, Nomor : 83/Pid/B/2009/PN. Ung. Terdakwa I Widodo Bin Rohmadi dan Terdakwa II Sukamto Bin Suwarno Sri Kuncoro dan Haryoko Noto Suharjo Bin Sugito Noto Suharjo telah mengambil gamelan milik PTPN IX Getas dan menjual kepada Dalang H. Joko Sunarno karena dipaksa dan disiksa oleh Saksi ke-3 Danang Sri Wiratmo, S.H. Bin R. Moeljono bersama anggota tim Kepolisian. Barang-barang bukti gamelan dalam perkara ini adalah milik Dalang H. Joko Sunarno yang berbentuk polosan sedangkan gamelan milik PTPN IX Getas berbentuk blimbingan dan sudah kusam, tidak seperti barang bukti yang disita dalam perkara ini. Saksi Dwi Budiono bin Darsono mendalami informasi tersebut ternyata pelakunya adalah Saudara Widodo, Saksi ajak Widodo ke Polsek Susukan untuk diintrogasi, Widodo mengaku mengambil gamelan bersama Haryoko di PTPN IX Getas dan barang bukti tersebut telah dijual kepada Dalang bernama H. Joko Sunarno, selanjutnya Saksi menyuruh Terdakwa I Widodo bin Rohmadi untuk menunjukan letak gamelan tersebut dan diambil serta dibawa ke dalam mobil untuk dijadikan barang bukti. Pada saat Saksi bersama anggota Reskrim Polres melakukan penyitaan gamelan tersebut, H. Joko Sunarno tidak berada di tempat tetapi hanya diketahui oleh anggota keluarga Dalang H. Joko Sunarno yang lain yaitu istri dan kakak kandung H. 13

14 Joko Sunarno. Gamelan tersebut disita berdasarkan penunjukan dari Terdakwa I Widodo Bin Rohmadi, Terdakwa II Sukamto Bin Suwarno, Sri Kuncoro Bin Harno Sugondo, Haryoko Bin Noto Suharjo secara bersama-sama mengambil gamelangamelan milik PTPN IX Getas dan menjual kepada H. Joko Sunarno. Sedangkan perkara pidana Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN.Smg. Dalam peristiwa ini ada orang kehilangan 2 (dua) buah Handphone, yaitu merek Nokia 1600 dan Nokia N70, tetapi barang bukti tersebut sudah tidak dapat ditemukan, kemudian Penyidik melakukan penyitaan barang bukti pengganti berupa kardus Handphone Nokia 1600 dan kardus Nokia N70. Persoalannya adalah apakah 2 (dua) kardus tersebut benar merupakan kardus dari 2 (dua) buah Handphone yang hilang, karena kardus Handphone model Nokia 1600 semuanya akan sama, demikian juga dengan kardus Handphone model N70. Sesuai dengan Surat Perintah Penyitaan No. Pol. Sp. Sita/ 151a/ III/ 2009/ Reskrim Tanggal 6 Maret 2009 dan Laporan Polisi No. Pol. : LP/ 232/ K/ III/ 2009/ Wiltabes Tanggal 5 Maret 2009 telah melakukan penyitaan barang berupa 1 (satu) kardus Nokia N70 ME dengan nomor IMEI: , 1 (satu) kardus Nokia 1600 black dengan IMEI: Dengan penyitaan tersebut, persoalan lain juga muncul bahwa tujuan korban melaporkan suatu tindak pidana yang menimpanya ingin agar barang yang dilaporkan hilang akan kembali, tetapi dengan disitanya 2 (dua) buah kardus tersebut barang bukti milik korban tidak akan kembali karena putusan pengadilan hanya akan memutuskan terkait dengan barang bukti yang telah disita dan ditampilkan di depan persidangan akan dikembalikan kepada orang yang paling berhak. 9 Berita Acara Penyitaan Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Tengah Wilayah Kota Besar Semarang. 14

15 Dalam melaksanakan Hukum Acara Pidana tidak terlepas dari pembicaraan sistem pembuktian. Pembuktian dalam hal ini bukanlah upaya untuk mencari-cari kesalahan pelaku namun untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dalam proses perkara pidana di Indonesia, barang bukti memegang peranan penting. Barang bukti dapat membuat jelas terjadinya suatu tindak pidana yang oleh para pihak akan digunakan untuk membuktikan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa sebagaimana yang didakwakan. Hakikat pembuktian ialah mencari kebenaran akan peristiwa-peristiwa hingga dengan demikian akan diperoleh kepastian bagi Hakim tentang kebenaran peristiwa tertentu. Perkara pidana dibawa ke persidangan dengan maksud untuk memperoleh keputusan yang setimpal atas perbuatan Terdakwa, unsur keyakinan Hakim dipersyaratkan bagi perkara pidana 10. Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP Majelis Hakim wajib memperlihatkan kepada Terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti tersebut. Jika dianggap perlu, Ketua Hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut 11. Menurut ketentuan yang diatur dalam pasal 181 KUHAP pemeriksaan barang bukti sebagai berikut (1) Barang bukti tersebut harus diperlihatkan kepada Terdakwa dan ditanyakan apakah Terdakwa mengenal barang bukti atau benda-benda tersebut. (2) Jika perlu, benda-benda tersebut diperlihatkan kepada Saksi oleh Ketua Hakim sidang dan tentu saja harus ditanyakan pula apakah Saksi juga mengenal barang-barang yang dijadikan barang bukti. 10 Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit, hal diunduh 31 Maret

16 Dilihat dari ketentuan yang diatur dalam pasal 181 KUHAP tentang pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formal. Padahal secara material, barang bukti sangat berguna bagi Hakim untuk menyandarkan keyakinannya. Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg, tanggal 18 Agustus 2009 tersebut Majelis Hakim hanya menimbang bahwa barang bukti telah diajukan secara sah dan meyakinkan dalam persidangan tetapi oleh Majelis Hakim tidak dipertimbangkan korelasi antara barang bukti pengganti itu dan barang bukti sebenarnya, apakah kardus yang disita tersebut benar merupakan kardus dari 2 (dua) buah Handphone yang didakwakan yang diambil oleh Terdakwa. Di samping itu di dalam menimbang Majelis Hakim tidak pernah mempertimbangkan barang bukti pengganti tersebut apakah sudah ditunjukkan kepada Terdakwa dan para Saksi serta bagaimana tanggapan Terdakwa dan para Saksi berkaitan dengan barang bukti pengganti tersebut dan hubungan barang bukti yang diambil dengan perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa. Dalam putusan Pengadilan Negeri Ungaran tanggal 4 Juni 2009, Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung. dan Putusan Pengadilan Negeri Ungaran tanggal 4 Juni 2009, Nomor : 83/Pid/B/2009/PN. Ung., Majelis Hakim membandingkan gamelan milik PTPN IX Getas dan milik Saksi H. Joko Sunarno berbeda kualitas bahan baku, bentuk, ukuran dan tata letak ukuran gamelan dan tidak mungkin barang bukti gamelan yang diajukan di persidangan hasil perubahan dari gamelan milik PTPN IX Getas, maka Majelis Hakim berkesimpulan barang bukti gamelan bukan milik PTPN IX Getas tetapi milik Saksi H. Joko Sunarno Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 83/Pid/B/2009/ PN. Ung, tanggal 4 Juni

17 Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa tidak ada alat bukti lain yang cukup untuk dapat membuktikan para Terdakwa telah mengambil gamelan dan barang bukti berupa gamelan tersebut milik H. Joko Sunarno bukan milik PTPN IX Getas sebagaimana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum, sehingga dengan demikian maka unsur Mengambil barang sesuatu tidak terpenuhi, maka unsur selebihnya tidak perlu dibuktikan, para Terdakwa harus dinyatakan tidak terbukti secara sah meyakinkan melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan dalam dakwaan Penuntut Umum dan oleh karena itu para Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan tersebut 13. Maka para Terdakwa harus segera direhabilitasi, barang-barang bukti tersebut dikembalikan kepada yang berhak yakni H. Joko Sunarno, para Terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan maka biaya perkara dibebankan kepada Negara. C. Perumusan Masalah Dengan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan di atas, penulis merumuskan masalah yaitu Bagaimana Hakim menilai kekuatan pembuktian dari barang bukti dalam Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009, Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 83/Pid/B/2009/ PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg, tanggal 18 Agustus 2009? 13 Ibid, hal

18 D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan penelitian ini adalah ingin mengetahui dan menjelaskan penilaian Hakim atas kekuatan pembuktian dari barang bukti dalam perkara pidana Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009, Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 83/Pid/B/2009/ PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg, tanggal 18 Agustus E. Metode Penelitian 1. Jenis Pendekatan Pendekatan yuridis-normatif dimana dengan pendekatan yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan untuk mengkaji putusan Pengadilan Negeri dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dalam proses pemeriksaan suatu perkara sesuai dengan KUHAP. 2. Metode Pendekatan Metode pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kasus (case approach). Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh Hakim untuk sampai pada putusannya 14. Penelitian ini melihat mengenai pertimbangan yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009, Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 83/Pid/B/2009/ PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg, tanggal 18 Agustus Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal

19 3. Data dan Sumber Data Untuk memecahkan suatu permasalahan secara ilmiah terhadap suatu objek, diperlukan sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumbersumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer, bahan-bahan hukum sekunder dan bahan-bahan hukum tersier. a. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 2) Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung. 3) Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 83/Pid/B/2009/ PN. Ung. 4) Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg. b. Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku yang membahas tentang barang bukti dalam pembuktian perkara pidana. c. Bahan-bahan hukum tersier ialah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti internet, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan kamus Hukum. 4. Unit Amatan dan Unit Analisis a. Unit Amatan Unit amatan dalam penelitian ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana beserta peraturan pelaksanannya, Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009, Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 83/Pid/B/2009/ PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg, tanggal 18 Agustus

20 b. Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah bagaimana Hakim menilai kekuatan pembuktian dari barang bukti dalam Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009, Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 83/Pid/B/2009/ PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg, tanggal 18 Agustus

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA A. Hasil Penelitian 1. Pemahaman Hakim Berkaitan Dengan Barang Bukti Pengganti Yang Diatur Dalam Pasal 45 KUHAP Ada atau tidak ada barang bukti mempengaruhi terbukti

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM TENTANG BARANG BUKTI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Tanggal 4 Juni 2009, Nomor

PERTIMBANGAN HAKIM TENTANG BARANG BUKTI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Tanggal 4 Juni 2009, Nomor PERTIMBANGAN HAKIM TENTANG BARANG BUKTI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Tanggal 4 Juni 2009, Nomor 82/Pid/B/2009/PN. Ung, Putusan Pengadilan Negeri Ungaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan manusia tidak terlepas dengan hukum yang mengaturnya, karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya sebuah hukum. Manusia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa. yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar.

I. PENDAHULUAN. asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa. yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana, dimana hak asasi manusia dipertaruhkan.

Lebih terperinci

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2 GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi alasan ganti kerugian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyimpang dirumuskan oleh Saparinah Sadli sebagai tingkah laku yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. menyimpang dirumuskan oleh Saparinah Sadli sebagai tingkah laku yang dinilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat.perilaku menyimpang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman yang sangat pesat ini mengakibatkan meningkatnya berbagai tindak pidana kejahatan. Tindak pidana bisa terjadi dimana saja dan kapan saja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA Yusup Khairun Nisa 1 Johny Krisnan 2 Abstrak Pembuktian merupakan hal terpenting dalam proses peradilan, proses ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman di dalam masyarakat, baik itu dalam usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 ABSTRAK Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif, di mana penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

Presiden, DPR, dan BPK.

Presiden, DPR, dan BPK. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG MASALAH

LATAR BELAKANG MASALAH LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini tidak semakin berkurang, walaupun usaha untuk mengurangi sudah dilakukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk menekan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pergaulan hidup manusia, baik individu maupun kelompok sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup, terutama norma hukum yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan hal sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Pembuktian dipandang sangat penting dalam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG OPTIMALISASI PENGELOLAAN BENDA SITAAN DAN BARANG RAMPASAN NEGARA PADA RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan di segala bidang, baik pembangunan fisik maupun pembangunan mental spiritual

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan semua uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana bisa terjadi kepada siapa saja dan dimana saja. Tidak terkecuali terjadi terhadap anak-anak, hal ini disebabkan karena seorang anak masih rentan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id PUTUSAN Nomor 272/Pid.B/2014/PN Sbg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama menjatuhkan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015 PEMBUKTIAN SUATU TINDAK PIDANA BERDASARKAN BARANG BUKTI MENURUT PASAL 183 KUHAP 1 Oleh: Giant K. Y. Sepang 2 Abstrak Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana status barang bukti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana formal mengatur tentang bagaimana Negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memindana dan menjatuhkan pidana. Hukum acara pidana ruang lingkupnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman di berbagai bidang kehidupan membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidup yang serba mudah dan praktis. Keberhasilan yang dicapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan- peraturan yang menentukan perbuatan apa saja yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah tindak pidana pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah meliputi semua aspek kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari semua aspek kehidupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan suatu Negara yang berdasarkan atas hukum, ketentuan ini tercantum dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. undang-undang ini, berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP. Sedangkan Penyelidik. untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:

I. PENDAHULUAN. undang-undang ini, berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP. Sedangkan Penyelidik. untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat: 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia merupakan Negara hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke IV yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini semakin meningkat, melihat berbagai macam tindak pidana dengan modus tertentu dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum pidana yang tergolong sebagai hukum publik berfungsi untuk melindungi kepentingan orang banyak dan menjaga ketertiban umum dari tindakan tindakan warga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan dengan tujuan untuk mengatur tatanan masyarakat, dan memberikan perlindungan bagi setiap komponen yang berada dalam masyarakat. Dalam konsideran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR : 235 / PID / 2014 / PT- MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N NOMOR : 235 / PID / 2014 / PT- MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 1 P U T U S A N NOMOR : 235 / PID / 2014 / PT- MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan yang mengadili perkara-perkara pidana dalam peradilan tingkat banding menjatuhkan

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N Nomor 137/Pid.B/2014/PN Sbg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

C. Penggeledahan Definisi Penggeledahan rumah penggeledahan badan Tujuan Pejabat yang berwenang melakukan penggeledahan Tata cara penggeledahan

C. Penggeledahan Definisi Penggeledahan rumah penggeledahan badan Tujuan Pejabat yang berwenang melakukan penggeledahan Tata cara penggeledahan C. Penggeledahan Definisi Menurut M. Yahya Harahap, penggeledahan yaitu adanya seorang atau beberapa orang petugas mendatangi dan menyuruh berdiri seseorang, kemudian petugas memeriksa segala sudut rumah

Lebih terperinci

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pencurian sering terjadi dalam lingkup masyarakat, yang kadang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Tindak pidana pencurian dilakukan seseorang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan suatu kumpulan dari masyarakat-masyarakat yang beraneka ragam corak budaya, serta strata sosialnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 28, Pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara

BAB I PENDAHULUAN. evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh aktivitas kehidupan hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab

Lebih terperinci

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Sumber gambar http://timbul-lawfirm.com/yang-bisa-jadi-saksi-ahli-di-pengadilan/ I. PENDAHULUAN Kehadiran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti yang tercantum pada pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia

Lebih terperinci