LAPORAN PENELITIAN. PENERAPAN SANKSI PIDANA DAN TINDAKAN SEBAGAI SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Semarang) Oleh:

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN PENELITIAN. PENERAPAN SANKSI PIDANA DAN TINDAKAN SEBAGAI SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Semarang) Oleh:"

Transkripsi

1 LAPORAN PENELITIAN PENERAPAN SANKSI PIDANA DAN TINDAKAN SEBAGAI SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Semarang) Oleh: Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H. Dhian Indah Astanti, S.H., M.H. Proyek Penelitian ini Dibiayai oleh Universitas Semarang dengan Surat Perjanjian Nomor: / USM. H8/L/ 2009 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG MEI, 2010 i

2 LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN DOSEN MUDA a. Judul Penelitian : Penerapan Sanksi Pidana dan Tindakan sebagai Sistem Pemidanaan terhadap Anak (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Semarang) b. Bidang Ilmu : Ilmu Hukum (Hukum Pidana) Ketua Peneliti a. Nama : Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H. b. Jenis Kelamin : Perempuan c. NIS : d. Pangkat / Golongan : Penata Muda / III-B e. Jabatan Fungsional : Pengajar Tetap f. Fakultas/Jurusan : Hukum/Hukum Pidana g. Universitas : Universitas Semarang Jumlah Anggota Peneliti :1 (satu) orang Dhian Indah Astanti, S.H., M.H Lokasi Penelitian : Pengadilan Negeri Semarang Jangka Waktu Penelitian : 3 ( tiga ) bulan Biaya Penelitian : Rp ,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) Sumber Biaya : Universitas Semarang Semarang, Mei 2010 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Ketua Peneliti, Efi Yulistyowati, S.H., M.Hum. Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H. NIS: NIS: Menyetujui, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Semarang Indarto, S.E., Msi. NIS: ii

3 LEMBAR REVIEWER 1. a. Judul Penelitian : Penerapan Sanksi Pidana dan Tindakan sebagai Sistem Pemidanaan terhadap Anak (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Semarang) b. Bidang Ilmu : Ilmu Hukum (Hukum Pidana) Ketua Peneliti a. Nama : Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H. b. Jenis Kelamin : Perempuan c. NIS : d. Pangkat / Golongan : Penata Muda / III-B e. Jabatan Fungsional : Pengajar Tetap f. Fakultas/Jurusan : Hukum/Hukum Pidana g. Universitas : Universitas Semarang Jumlah Anggota Peneliti :1 (satu) orang Dhian Indah Astanti, S.H., M.H Lokasi Penelitian : Pengadilan Negeri Semarang Jangka Waktu Penelitian : 3 ( tiga ) bulan Biaya Penelitian : Rp ,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) Sumber Biaya : Universitas Semarang Laporan hasil penelitian ini telah dipresentasikan di depan Reviewer pada hari Selasa tanggal 27 April Menyetujui, Semarang, Mei 2010 Reviewer, Ketua Peneliti, Efi Yulistyowati, S.H., M.Hum. Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H. NIS: NIS: iii

4 KATA PENGANTAR Alhamdulillah tim peneliti panjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga tim peneliti dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Penerapan Sanksi Pidana dan Tindakan sebagai Sistem Pemidanaan terhadap Anak (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Semarang) ini dengan baik dan tepat waktu. Laporan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca guna menambah wacana mengenai apa yang menjadi substansi dalam penelitian ini. Dengan demikian, secara umum hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan hukum pidana materil, dan lebih khusus lagi sebagai bahan masukan kepada para praktisi hukum terutama para hakim yang bertugas menangani perkara pidana anak, dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan lainnya yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai sanksi pidana dan tindakan sebagai sistem pemidanaan dan penerapan hukumnya. Menyadari bahwa penelitian ini terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, maka pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Pahlawansjah Harahap, S.E., M.E., Rektor Universitas Semarang yang telah berkenan memberikan kepercayaan kepada Tim Peneliti untuk melakukan penelitian. iv

5 2. Bapak Indarto, S.E., Msi., Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Semarang yang telah menyeleksi dan menerima usulan penelitian ini. 3. Ibu Efi Yulistyowati, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Semarang yang selalu memberikan dukungan dan kepercayaan kepada peneliti untuk melakukan penelitian. 4. Bapak B.W. Charles Ndaumanu, S.H., M.H., dan Bapak Tulus Basuki, S.H., M.H., yang telah bersedia membimbing dan mengarahkan Tim Peneliti dalam melakukan pengolahan data sehingga penelitian ini dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. 5. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah mendukung selesainya penelitian ini. Seiring do a dan terima kasih, semoga amal baik Bapak / Ibu dibalas Allah SWT. Kami menyadari akan segala kekurangan yang ada, yang tentunya sangat mempengaruhi penelitian ini. Untuk itu, segala kritik dan saran-saran dari berbagai pihak akan tim peneliti terima dengan senang hati, demi kesempurnaan penelitian ini di kemudian hari. Semarang, Mei 2010 Tim Peneliti v

6 D A F T A R I S I Halaman HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN. ii LEMBAR REVIEWER. iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi ABSTRAK... viii BAB I. PENDAHULUAN. 1 A. Latar Belakang Penelitian 1 B. Rumusan Masalah 5 C. Tujuan Penelitian 5 D. Kontribusi Penelitian. 6 E. Sistematika Penulisan 6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pengertian Anak Pengaturan Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak Kedudukan Anak dalam Hukum Pidana.. 28 B. Sanksi Pidana dan Tindakan sebagai Sistem Pemidanaan terhadap Anak Sistem Pemidanaan Pemidanaan terhadap Anak 37 a. Syarat-syarat Pemidanaan terhadap Anak b. Tujuan Pemidanaan terhadap Anak Pengaturan Sanksi Pidana dan Tindakan terhadap Anak. 53 a. Sanksi Pidana 55 b. Sanksi Tindakan Sanksi Pidana dan Tindakan terhadap Anak sebagai Sistem Pemidanaan. 69 C. Dasar Pertimbangan bagi Hakim dalam Menjatuhkan Putusan terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana BAB III. METODE PENELITIAN 92 A. Metode Pendekatan B. Spesifikasi Penelitian 93 C. Metode Penentuan Sampel. 94 D. Metode Pengumpulan Data 95 E. Analisa Data vi

7 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 97 A. Penerapan Sanksi Pidana dan Tindakan sebagai Sistem Pemidanaan terhadap Anak oleh Hakim Pengadilan Negeri Semarang B. Dasar Pertimbangan bagi Hakim Pengadilan Negeri Semarang dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana dan Tindakan sebagai Sistem Pemidanaan terhadap Anak 102 BAB V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 127 B. Saran DAFTAR PUSTAKA. x PERSONALIA PENELITIAN. xv LAMPIRAN.. xvi vii

8 ABSTRACT Anak sebagai generasi muda merupakan sumber daya manusia yang memiliki potensi untuk meneruskan cita-cita dan perjuangan bangsa, dan memiliki peranan strategis yang mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus yang memerlukan perlindungan untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosialnya secara utuh. Anak nakal pelaku tindak pidana yang pada hakikatnya juga adalah sebagai korban, maka perlu perlindungan ketentuan hukum yang tepat baik ketentuan hukum pidana materiil maupun hukum pidana formiil. Sebelum berlakunya UU No.3 Tahun 1997tentang Pengadilan Anak, ketentuan jenis sanksi pidana terhadap anak tetap menggunakan ketentuan Pasal 10 KUHP dengan pembatasan yang ditentukan Pasal 45, 46, dan Pasal 47 KUHP. Dengan berlakunya UU No.3 Tahun 1997, ketentuan sanksi pidana dan tindakan terhadap anak yang melakukan tindak pidana sudah ditentukan tersendiri yang berbeda dengan ketentuan KUHP sebagai wujud dari perlindungan yang bersifat khusus kepada anak. Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai. Tujuan dibuatnya ketentuan pidana dan tindakan dalam UU No.3 Tahun 1997 yang berbeda dengan ketentuan pidana dalam KUHP, dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak. Selain itu, menurut penjelasan umum UU No.3 Tahun 1997 bembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Pidana dan tindakan sebagai bentuk sanksi hukum terhadap anak pelaku tindak pidana, merupakan ketentuan baru yang selama ini di dalam KUHP tidak ditentukan khusus terhadap anak. Dari ketentuan sanksi dan tindakan dalam UU viii

9 No.3 Tahun 1997 tersebut, eksistensinya sangat menentukan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Keywords: Sanksi pidana dan tindakan, sistem pemidanaan, dan anak nakal. ix

10 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Persoalan anak sebagai pelaku tindak pidana merupakan suatu permasalahan yang polemistis sifatnya. Dikatakan demikian karena anak sebagai pelaku tindak pidana sesungguhnya juga merupakan korban dari tindak pidana itu sendiri. Pemikiran ini berangkat dari asumsi dan pemahaman, bahwa pada diri seorang anak terdapat kecenderungan jiwa yang labil, kecenderungan ini dalam aplikasinya seringkali diwujudkan ke dalam perilaku kritis, agresif atau bahkan menunjukkan sikap yang anti sosial, dimana hal tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, khususnya keluarga dan lingkungan sekitarnya. Anak yang kurang atau tidak memperoleh perhatian secara fisik, mental maupun sosial sering berperilaku dan bertindak asosial dan bahkan antisosial yang merugikan dirinya, keluarga, dan masyarakat. Tindak pidana baik itu kejahatan maupun pelanggaran adalah merupakan perbuatan melanggar hukum yang ternyata tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa tetapi juga bisa dilakukan oleh anak. Dengan demikian anak yang melakukan tindak pidana dalam hukum pidana dapat dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana. Dalam rangka penegakkan hukum, maka terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana akan dikenakan proses UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 1

11 peradilan pidana dan diajukan ke sidang pengadilan. Dengan kata lain, dalam upaya penegakkan hukum di masyarakat, agar suatu peraturan hukum dapat berlaku sebagai mana mestinya, maka terhadap anak yang telah terbukti melakukan perbuatan pidana dan berada dalam batas usia sebagaimana dimaksud dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, tetap harus diajukan ke muka pengadilan dan selanjutnya dapat dikenakan penerapan sanksi pidana atau tindakan sebagai konsekuensi hukum yang harus dijalankan oleh anak akibat tindak pidana yang dilakukannya. Dalam ketentuan Pasal 22 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyatakan, bahwa kepada anak yang terbukti melakukan perbuatan pidana, dapat dijatuhi pidana atau tindakan. Sehubungan dengan hal ini, menurut Bambang Poernomo, Pola penanganan tentang tindakan lain yang berupa sanksi pidana bagi anak termasuk tindakan politik kriminal, yang memberi kemungkinan terhadap pelanggar apakah mereka akan diberikan sanksi pidana atau tindakan lain yang bijaksana. 1 Pengaturan tentang sanksi pidana dan tindakan sebagai sistem pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 23 dan 24 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 45, 46, dan Pasal 47 KUHP. Ketentuan dari ketiga pasal KUHP tersebut telah dicabut oleh Pasal 67 UU No.3 Tahun 1997 yang menyatakan, bahwa: Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal UII, 2000). 1 Kumpulan Kliping Hukum Pidana, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum- UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 2

12 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum pidana yang mengatur ketentuan tentang sanksi (pidana dan tindakan) terhadap anak saat ini diatur dalam UU No. 3 Tahun Pada dasarnya tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat atau negara, korban dan pelaku. Dalam kaitannya dengan pemidanaan ini, Barda Nawawi Arief berpendapat, bahwa Tujuan pemidanaan mengandung dua aspek, yaitu: aspek perlindungan masyarakat terhadap tindak pidana, dan aspek perlindungan terhadap individu atau pelaku tindak pidana. 2 Kedua aspek pokok tersebut mempunyai tujuan masing-masing. Aspek pokok pertama meliputi tujuan: mencegah, mengurangi atau mengendalikan perbuatan pidana serta memulihkan keseimbangan masyarakat yang perwujudannya sering dikemukakan dalam berbagai ungkapan antara lain : menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian atau kerusakan yang timbul, menghilangkan noda-noda yang ditimbulkan, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Aspek pokok yang kedua bertujuan memperbaiki si pelaku yang sering dikemukakan dalam berbagai ungkapan seperti : melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku untuk membebaskan si pelaku, mempengaruhi tingkah laku 2 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994), halaman 93. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 3

13 si pelaku untuk tertib atau patuh kepada hukum, melindungi si pelaku dari pengenaan sanksi atau pembalasan yang sewenang-wenang di luar hukum. Begitu pula pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana tidak hanya memandang akibat yang terjadi pada masa lalu anak (sebagai pertimbangan penjatuhan sanksi pidana terhadap orang dewasa). Tetapi harus memandang jauh tentang bagaimana masa depan anak nanti sebagai generasi penerus bangsa, tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat. Jadi anak dapat dipidana, terutama pidana yang di dalamnya menghindari perampasan kemerdekaan (penjara) dengan segala perwujudannya. Pidana tersebut adalah pidana yang mengutamakan kesejahteraan dan kepentingan anak tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat sebagai sarana pendidikan dan perbaikan untuk kembali ke jalan yang benar dan menjadi anak baik-baik. Hal ini sejalan dengan salah satu pertimbangan (consideran) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyatakan, bahwa: Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. 3 Dengan demikian, penjatuhan sanksi pidana dan tindakan sebagai sistem pemidanaan dalam rangka pembinaan dan perlindungan anak merupakan faktor penting yang semata-mata bertujuan untuk memberikan halaman 1. 3 R.I. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 4

14 perlindungan terhadap anak itu sendiri dari stigma pada jiwa anak dalam menjalani proses perkara pidana. Bertitik tolak dari hal-hal yang telah diuraikan di atas, menciptakan suatu dorongan yang kuat bagi kami sebagai peneliti untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai, Penerapan Sanksi Pidana dan Tindakan sebagai Sistem Pemidanaan terhadap Anak, dengan mengambil tempat di Pengadilan Negeri Semarang sebagai lokasi penelitian. B. PERUMUSAN MASALAH : Permasalahan merupakan suatu pernyataan yang menunjukkan adanya jarak antara harapan dengan kenyataan, antara rencana dengan pelaksanaan dan antara das sollen dengan das sein. Untuk memudahkan pembahasan, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana penerapan sanksi pidana dan tindakan sebagai sistem pemidanaan terhadap Anak oleh Hakim Pengadilan Negeri Semarang? 2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim Pengadilan Negeri Semarang dalam menjatuhkan sanksi pidana dan tindakan sebagai sistem pemidanaan terhadap Anak? C. TUJUAN PENELITIAN: Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 5

15 1. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana dan tindakan sebagai sistem pemidanaan terhadap Anak oleh Hakim Pengadilan Negeri Semarang. 2. Untuk mengetahui hal-hal yang dijadikan dasar pertimbangan bagi Hakim Pengadilan Negeri Semarang dalam menjatuhkan sanksi pidana dan tindakan sebagai sistem pemidanaan terhadap Anak. D. KONTRIBUSI PENELITIAN: Kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis: Secara teoritis dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan hukum pidana materil, khususnya yang terkait dengan penerapan sanksi pidana dan tindakan sebagai sistem pemidanaan terhadap Anak. 2. Secara Praktis: Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada para praktisi hukum terutama para hakim yang bertugas menangani perkara pidana anak, dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan lainnya yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. E. SISTEMATIKA PENULISAN Sistimatika ini dimaksudkan agar tidak terjadi penyimpangan dari judul dan lebih mudah dalam menelaah uraian yang disajikan secara UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 6

16 keseluruhan. Penulisan laporan penelitian disusun dengan sistimatika sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Dalam Bab I sebagai Pendahuluan, terdiri dari lima sub bab yang membahas mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah sebagai batasan masalah dalam melakukan penelitian. Selanjutnya akan diuraikan tujuan penelitian, kontribusi penelitian dan diakhiri dengan sistimatika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka menguraikan landasan teori untuk menganalisa permasalahan yang akan diteliti. Tinjauan pustaka ini berisi kerangka pemikiran atau teori-teori dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Uraian pertama pada bab ini berupa tinjauan umum tentang anak sebagai pelaku tindak pidana yang terdiri dari pembahasan mengenai pengertian, dan batas usia pertanggungjawaban pidana anak, serta kedudukan anak dalam hukum pidana. Uraian berikutnya akan menjelaskan tentang sanksi pidana dan tindakan sebagai sistem pemidanaan. Dan uraian ketiga sebagai akhir dari tinjauan pustaka akan diuraikan mengenai dasar pertimbangan bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 7

17 BAB III : METODE PENELITIAN Metode penelitian menjelaskan mengenai metode yang diuraikan dalam penelitian ini yaitu metode pendekatan, spesifikasi penelitian, metode penentuan sampel, metode pengumpulan data dan analisa data. BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sebagai bagian dari penyajian data dan analisis terhadap data yang diperoleh dari hasil penelitian, yakni data mengenai Penerapan sanksi pidana dan tindakan sebagai sistem pemidanaan terhadap anak. Adapun dalam Bab ini data-data hasil penelitian yang akan disajikan dan dianalisis menyangkut data-data mengenai : 1. Penerapan sanksi pidana dan tindakan sebagai sistem pemidanaan terhadap anak oleh Hakim Pengadilan Negeri Semarang. 2. Dasar pertimbangan bagi Hakim Pengadilan Negeri Semarang dalam menjatuhkan sanksi pidana dan tindakan sebagai sistem pemidanaan terhadap Anak. Adapun data yang disajikan dapat berupa studi pustaka, observasi lapangan, dan wawancara yang dilakukan peneliti dengan narasumber yang terkait. Dengan demikian, gambaran UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 8

18 mengenai permasalahan dalam penelitian ini diharapkan telah menjadi jelas. Bab V : PENUTUP Berdasarkan proses pembahasan dan penganalisaan permasalahan yang diuraikan dalam Bab IV mengenai pengadilan anak khususnya yang bertalian dengan penerapan sanksi pidana dan tindakan sebagai sistem pemidanaan terhadap anak, maka Bab V ini menjadi bagian akhir dari penyusunan laporan penelitian ini, sehingga pada bagian ini dapat ditegaskan beberapa simpulan dan saran sebagai penutup. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 9

19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA 1. Pengertian Anak Pengertian anak dalam bidang hukum meliputi pengertian kedudukan anak dari pandangan sistem hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai subyek hukum. Secara umum yang dapat dikatakan sebagai anak adalah seseorang yang masih berada dalam batas usia tertentu dan belum dewasa serta belum pernah kawin. Batas usia anak memberikan pengelompokkan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak adalah pengelompokkan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam hukum hingga anak beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan hukum yang dilakukan anak tersebut. Pengertian anak dalam arti umum adalah orang yang belum dewasa. Untuk dapat disebut sebagai anak, seseorang harus berada pada usia tertentu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Mengenai pengertian anak itu sendiri sampai saat ini belum ada keseragaman dan untuk segala bidang hukum secara yuridis belum ada ketentuan yang pasti. Batasan pengertian tentang anak atau seseorang yang dikategorikan dalam golongan anak ada UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 10

20 bermacam-macam pendapat, baik yang dikemukakan oleh para sarjana ataupun dari ketentuan hukum positif yang ada di Indonesia. Dan batasan untuk disebut sebagai anak sampai saat ini belum ada kesepakatan diantara para ahli hukum dan untuk segala bidang hukum secara yuridis masih memberi batasan anak dalam pengertian yang berbeda-beda. Dalam Konvensi Hak Anak Bagian 1 Pasal 1 yang dimaksud dengan anak adalah : "setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal". Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang dimaksud anak adalah : "seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan". Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah : "seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan". Pengertian anak dalam hukum pidana sebelumnya diatur dalam pasal 45, 46, dan 47 KUHP yang hanya menunjuk batas usia sebelum umur 16 (enam belas) tahun bagi orang yang belum cukup umur (minderjarig). Namun pasal-pasal ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pengertian anak dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 didasarkan pada ketentuan pasal 1 ayat (1), yaitu : Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 11

21 umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. 4 Sehingga individuindividu di bawah umur 8 (delapan) tahun tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori anak nakal. Dalam penelitian ini, pengertian mengenai anak adalah menggunakan pengertian anak yang secara yuridis terdapat dalam Undang- Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-undang tersebut. Sementara itu pengertian anak nakal didasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyebutkan, bahwa anak nakal adalah : 1. Anak yang melakukan tindak pidana; atau 2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan. 5 Apabila kita kaitkan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, maka status anak nakal tersebut berdasarkan putusan pengadilan dapat sebagai anak pidana atau anak negara. Kedudukan anak dalam pengertian pidana dijelaskan lebih lanjut dalam Undang-undang tersebut adalah sebagai berikut: a. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan poengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. 4 Ibid., halaman Ibid. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 12

22 b. Anak negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. c. Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun. 2. Pengaturan Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak Mengenai batas umur minimal bagi seorang anak untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, ada beberapa ahli yang berpendapat. Merton sebagaimana dikutip dalam buku berjudul Hukum dan Hak-hak anak mengatakan, bahwa : Anak-anak yang berumur di bawah 7 (tujuh) tahun dianggap tidak mampu untuk mempunyai kehendak jahat ( incable of having the criminal intent), sedangkan mereka yang berumur antara 7 (tujuh) sampai 14 (empat belas) tahun pada umumnya dianggap mampu untuk mempunyai kehendak jahat. Dikatakan selanjutnya seseorang yang tidak mampu untuk mempunyai kehendak jahat, berarti tidak dapat melakukan kejahatan (incable of crime). 6 Berdasarkan Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice (dikenal dengan istilah Beijing Rules), batas usia minimal pertanggungjawaban seorang anak di antara negara-negara di dunia sangat berbeda, hal ini bergantung pada latar belakang sejarah dan kebudayaannya masing-masing. Oleh karena itu ditegaskan di dalam Beijing Rules bahwa di Bismar Siregar, et all., Hukum dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: Rajawali 1996), halaman UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 13

23 dalam sistem hukum yang mengenal batas usia pertanggungjawaban bagi anak, permulaan batas usia pertanggungjawaban ini janganlah ditetapkan terlalu rendah dengan mengingat faktor kematangan emosional, mental dan intelektualitas anak. Jadi, Beijing Rules menghendaki adanya batas usia minimal yang beralasan sebagaimana yang dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi dalam bukunya, dijelaskan dalam Commentaary bahwa: Berdasarkan pendekatan modern, seorang anak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya harus berdasarkan pendekatan tingkat kecerdasan dan pemahaman individual dari anak itu. Oleh karena itu batas usia pertanggungjawaban ditetapkan terlalu rendah atau sama sekali tidak ditentukan, maka konsepsi pertanggungjawaban akan menjadi tidak berarti ( if the age of criminal responsibility would become meaning less). 7 Mengenai batas usia minimal pertanggungjawaban pidana terhadap anak juga telah diatur di dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang ini membedakan antara batas usia minimal anak yang dapat diajukan ke sidang anak dan batas usia minimal anak yang dapat dijatuhi pidana atau tindakan. Mengenai batas usia anak yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana (dijatuhi pidana) menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yaitu anak yang berusia 12 (dua belas) tahun ke atas. Sedangkan terhadap anak yang berusia di bawah 12 (dua belas) tahun menurut Pasal 26 ayat (3) dan (4) hanya d apat dijatuhi tindakan dengan ketentuan bahwa terhadap anak nakal yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun 7 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), halaman 129. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 14

24 melakukan perbuatan pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka terhadap anak tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b, dan terhadap anak nakal yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan perbuatan pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana seumur hidup maka terhadap anak tersebut dapat dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam hukum positif Indonesia, khususnya dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP terdapat asas yang berbunyi : Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi. Asas ini dikenal dengan asas legalitas. Dalam bahasa Belanda asas ini disebut dengan nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali. Asas legalitas ini merupakan dasar yang pokok yang menjelaskan mengenai perbuatan pidana, yaitu asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam ketentuan perundang-undangan. Jadi, orang tidak dapat dipidana jika tidak melakukan perbuatan yang sebelumnya dalam ketentuan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang terlarang. Pengertian perbuatan pidana di dalamnya tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Seseorang yang UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 15

25 melakukan perbuatan pidana apakah kemudian akan dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan atau tidak dijatuhi pidana, ini tergantung apakah dalam melakukan perbuatan pidana orang yang bersangkutan tersebut mempunyai kesalahan atau tidak. Membahas mengenai pertanggungjawaban pidana, kiranya tepat sekali pendapat dari Moeljatno yang mengatakan, bahwa : Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan atau dijatuhi pidana kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Tapi meskipun melakukan pidana, tidak selalu dapat dipidana. 8 Dipidanya seseorang tidaklah cukup hanya apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan itu bersifat melawan hukum. Meskipun perbuatannya telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun itu belum memenuhi syarat untuk dapat dijatuhkan pidana. Syarat yang masih diperlukan untuk pemidanaan yaitu, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu bersalah dan kesalahan tersebut harus dapat dipertanggungjwabkan kepadanya. Ini sesuai dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld) yang artinya bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan pidana atau dijatuhi pidana kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Asas tersebut dapat diartikan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan pidana jika ia memang mempunyai kesalahan maka ia dapat dipidana. Jadi, untuk dapat dipidananya seseorang tergantung apakah ia dalam melakukan perbuatan pidana itu mempunyai kesalahan atau 8 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), halaman 155. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 16

26 tidak. Jika ia tidak mempunyai kesalahan, meskipun ia telah melakukan perbuatan yang dilarang atau tercela, maka ia tidak dipidana. Disini dapat disimpulkan bahwa unsur kesalahan merupakan unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dipidana. Adapun orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan jika ia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat perbuatan itu tercela, dan perbuatannya merugikan masyarakat. Jadi, untuk dapat dipidananya seseorang selain yang bersangkutan telah melakukan perbuataan pidana, orang itu juga harus mempunyai kesalahan, mampu bertanggug jawab atas segala perbuatan pidana yang telah dilakukannya, dan tidak ada alasan pemaaf maupun alasan pembenar. Dengan kata lain, seseorang yang melakukan perbuatan pidana belum tentu dijatuhi pidana atau dipertanggungjawabkan pidana. Untuk dapat dipidananya seseorang, maka ia harus mempunyai kemampuan untuk bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Ini berarti orang tersebut sehat secara rohani ketika ia melakukan perbuatannya. Berdasarkan asas Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan di atas, Bambang Poernomo mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Seseorang yang umurnya masih sangat muda berarti jiwanya belum masak, sehingga kemampuan bertanggung jawab dipandang tidak ada atau belum dapat menginsyafi atas perbuatannya. Oleh karena itu tidak mempunyai kesengajaan atau kealpaan. 9 9 Bambang Poernomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1989), halaman 146. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 17

27 Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan, bahwa anak di bawah umur tidak mempunyai kemampuan bertanggung jawab karena anak tersebut belum mengerti dan belum dapat menginsyafi makna perbuatan yang dilakukannya. Disebabkan umurnya terlalu muda sehingga pertumbuhan jiwa dan fisik batinnya belum sempurna. Seseorang yang masih muda usianya belum dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Dalam hal kemampuan bertanggung jawab pada seseorang, harus terdapat dua syarat, yakni: a. Kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, perbuatan yang sesuai dengan hukum dan yang bertentangan dengan hukum. b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tadi. 10 Kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk adalah merupakan faktor akal, sedangkan faktor yang lain yakni perasaan atau kehendak adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya atau dengan norma-norma yang diijinkan. Konsekuensi dari kedua faktor tersebut yaitu orang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatannya tadi, berarti dia tidak mempunyai kesalahan. Sehingga walaupun perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan pidana, tetap tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Untuk menentukan dapat tidaknya seseorang dipidana dalam arti apakah orang tersebut sehat akalnya atau tidak, maka diperlukan kerjasama 10 Moeljatno, Asas., Op. Cit., halaman 165. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 18

28 dengan pihak lain, misalnya psikiater. Psikiater akan memeriksa apakah orang tersebut sehat akalnya atau tidak, kemudian akan melaporkannya atau memberitahukannya kepada hakim yang memeriksa perkara tersebut. Faktor akal memang memegang peran penting dalam menentukan perbuatan yang dilarang atau tidak, dalam hal ini Roeslan Saleh berpendapat bahwa: Kemampuan bertanggung jawab itu pertama-tama ditentukan oleh akal yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan, namun mengenai faktor kedua yakni faktor kehendak bukanlah merupakan faktor dalam menentukan mampu tidaknya seseorang bertanggung jawab. Sebab kehendak bergantung dan lanjutannya saja daripada akal. Bila akalnya sehat dan normal, artinya bilamana orang mampu membedakan antara perbuatan yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan maka oleh hukum orang itu juga diharuskan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dibolehkan oleh hukum. 11 Dari hal tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa jika seseorang itu sehat dan normal maka ia akan mampu menentukan kehendaknya yang sesuai dengan hukum atau yang bertentangan dengan hukum, sebaliknya bahwa orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan yang telah dilakukannya, dia tidak mempunyai kesalahan sehingga ia tidak dipidana. Orang yang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian unsur kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan 11 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), halaman UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 19

29 satu kesatuan yang bulat untuk menentukan dapat tidaknya seseorang dijatuhi pidana. Dalam KUHP sendiri tidak ada pasal yang memberikan penjelasan tentang arti dari kemampuan bertanggung jawab. Yang ada hanyalah ketentuan yang mengatur tentang tidak dipidananya seseorang karena ketidakmampuan bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang ditimbulkan seperti diatur dalam Pasal 44 KUHP yang menentukan, bahwa: (1). Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, disebabkan jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggunya karena penyakit, tidak dipidana. (2). Jika ternyata bahwa perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai percobaan. 12 Dengan adanya ketentuan yang berhubungan dengan kemampuan bertanggung jawab seperti dirumuskan dalam pasal Pasal 44 KUHP, yang hanya mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab karena jiwa yang cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, maka berarti dalam hal tidak mampu bertanggung jawabnya seseorang yang melakukan perbuatan pidana karena usia yang masih sangat muda tidak dapat dipakai pasal tersebut, sehingga harus memakai dasar asas yang lebih luas, yakni yang kita kenal dengan asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yaitu Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan ( Geen straf zonder schuld) yang merupakan dasar dipidananya pelaku perbuatan pidana. 12 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), halaman UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 20

30 Beberapa ahli mengatakan, bahwa anak termasuk orang yang belum dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya. Shanty Dellyana mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : Dari berbagai pertemuan yang diadakan dan hasil-hasil rumusan tampaknya ada kecenderungan untuk menentukan batas umur bawah dan batas umur atas. Batas umur bawah adalah antara tahun, sedangkan batas umur atas adalah antara 17 dan 18 tahun. Hal ini berarti anak yang melakukan perbuatan pidana dibawah batas umur bawah tidak dapat dituntut dan diajukan di depan sidang pengadilan, sedang mereka yang berada di atas umur 17 dan 18 tahun akan dituntut berdasarkan ketentuan untuk orang dewasa. 13 Sedangkan Bambang Poernomo berpendapat, bahwa : Di dalam doktrin juga telas jelas bahwa perbuatan pidana yang dilakukan karena umur yang masih muda/anak-anak, disitu ada ketidakmampuan bertanggung jawab, yang dengan sendirinya tidak dapat dipersalahkan, akan tetapi belum diatur penghapusannya di dalam undang-undang (KUHP), maka jelas pula dasar alas an penghapus pidana dicari di luar undang-undang yaitu di dalam asas tiada pidana tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld). 14 Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa anak di bawah umur tidak mempunyai kemampuan bertanggung jawab, yang disebabkan karena anak tersebut belum mengerti dan menginsyafi makna perbuatan yang dilakukannya karena umurnya masih terlalu muda sehingga pertumbuhan jiwa dan fungsi batinnya belum sempurna, namun terhadap anak-anak yang melakukan perbuatan pidana masih dapat dipidana berdasarkan asas tiada pidana tanpa kesalahan, dengan sistem pengurangan pidana. 13 Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di mata Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1998), halaman Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), halaman 203. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 21

31 Dengan demikian, anak dapat dikategorikan belum memiliki kematangan jiwa atau belum memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun ia tetap bisa dijatuhi sanksi pidana. Hal tersebut disebabkan apabila ia telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum atau ia telah melakukan perbuatan yng sebelumnya perbuatan tersebut telah dilarang menurut Undang-undang serta perbuatannya tersebut mempunyai akibat yang tidak baik bagi perkembangan anak itu sendiri dan masyarakat. Dengan kata lain anak bisa dijatuhi pidana/hukuman oleh hakim, apabila ia adalah anak nakal. 15 Sementara itu, pengaturan tentang batas umur minimal seorang anak untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, KUHP sendiri tidak menentukan. Namun, pengaturan tentang batas umur minimal seorang anak untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak khususnya dalam Pasal 4 ayat (1) yang menentukan, bahwa batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Dalam rancangan KUHP, ketentuan mengenai batas umur minimum untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bagi seorang anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam pasal 106 yaitu umur 12 tahun. Untuk anak yang belum berumur 12 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana sehingga penyelesaian kasusnya didasarkan pada peraturan 15 Shanty Dellyana, Op.Cit., halaman UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 22

32 perundang-undangan lainnya. Dalam pasal ini juga diatur mengenai batas umur maksimum anak yang dapat diajukan ke pengadilan anak yaitu umur 18 tahun. Menurut Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) yang ditetapkan oleh PBB, mengatur bahwa : Batas usia minimum pertanggungjawaban anak sangat berbeda-beda diantra negara-negara di dunia, bergantung pada latar belakang sejarah dan kebudayaannya masing-masing. Beijing Rules menentukan bahwa di dalam sistem hukum yang mengenal batas usia pertanggungjawaban bagi anak, permulaan batas pertanggungjawaban janganlah ditetapkan terlalu rendah dengan mengingat faktor kematangan emosional, mental dan intelektual anak. Beijing Rules juga menegaskan berdasarkan pendekatan modern seorang anak yang dipertanggugjawabkan atas perbuatannya harus bersarkan tingkat kecerdasan dan pemahaman individual anak. 16 Sebenarnya sudah banyak negara-negara yang telah menentukan batas usia minimum pertanggungjawaban anak, misalnya: Inggris 12 tahun, Australia 8 tahun, Belanda 12 tahun, Kamboja 15 tahun, Srilanka 8 tahun, Taiwan 14 tahun, Iran 6 tahun, Jepang dan Korea 14 tahun, Filipina, Malaysia dan Singapura 7 tahun. 17 Dalam masyarakat tidak sedikit anak yang masih di bawah umur melakukan perbuatan pidana sehingga harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya melalui proses pengadilan. Mengingat bahwa peertanggungjawaban anak dalam hukum pidana atas perbuatan yang dilakukannya adalah belum sempurna seperti orang dewasa, maka perlu 16 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga, Op.Cit, halaman Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1993), halaman 10. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 23

33 adanya ketentuan tentang batas usia minimum bagi anak untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Di dalam hukum pidana untuk mempertanggungjawabkan anak yang melakukan kenakalan biasa atau perbuatan pidana perlu diperhatikan apakah anak itu pada waktu melakukan perbuatannya sudah mencapai umur yang disyaratkan oleh ketentuan hukum pidana atau belum. Senada dengan hal ini Ny. Lamya Moeljatno mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : Kiranya akan lebih bijak untuk mempertanggungjawabkan seseorang yang telah berumur 13 tahun, karena telah mecapai kematangan intelek dan kematangan biologis yang cukup, meskipun belum dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya seperti orang dewasa. Kemudian baru pada umur 18 tahun dapat penuh bertanggung jawab sebagai orang dewasa. 18 Dari pendapat di atas dapat dijelaskan, bahwa batas umur 13 tahun sampai belum mencapai umur 18 tahun bukan hanya sekedar membedakan cukup umur dan belum cukup umur, tetapi berkaitan juga dengan pertanggungjawaban pidananya. Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak membedakan batas usia minimal untuk anak yang dapat diajukan ke sidang anak dan batas usia minimal untuk dapat dijatuhi pidana/tindakan. Yang dapat diajukan ke sidang anak, adalah anak yang pada waktu melakukan tindak pidana berumur sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun (Pasal 3), dengan pengecualian, anak yang belum berumur 8 tahun dapat juga diajukan ke sidang anak apabila berdasarkan pemeriksaan, anak itu dinilai tidak dapat 18 Ny. H. Lamya Moeljatno, Pelaksanaan Peradilan Anak di Indonesia Waktu Sekarang dan Pengaturannya dalam RUU Peradilan Anak. Pidato Dies Natalis UII ke XXXIX, diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 7 Mei halaman 12. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 24

34 dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya (Pasal 5 ayat (3)). Sedangkan batas usia minimal untuk dapat dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana atau tindakan) adalah 12 tahun ke atas; di bawah 12 tahun hanya dapat dikenakan tindakan (Pasal 26 ayat (3) dan (4)) dengan ketentuan : Apabila melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau penjara seumur hidup hanya dikenakan tindakan menurut Pasal 24 ayat (1) b, yaitu diserahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Apabila melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana seumur hidup, dijatuhi salah satu tindakan dalam Pasal 24, yaitu dikembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh, diserahkan kepada negara, atau diserahkan kepada organisasi sosial. Adanya ketentuan mengenai batas usia minimal anak dalam UU Pengadilan Anak di atas sudah sesuai dengan yang diinginkan oleh dokumen internasional. Khususnya mengenai batas usia minimal pertanggungjawaban pidana ( the minimum age of criminal responsibility), yaitu sekurangkurangnya 12 tahun. Ketentuan demikian menurut pendapat penulis sudah memadai dan sudah sesuai dengan Rule 4.1 SMR-JJ (The Beijing Rules) yang menyarankan batas usia yang tidak terlalu rendah. Konsep KUHP Baru juga menentukan batas usia minimal 12 tahun untuk dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 96 Konsep 1993). Yang mungkin masih dapat dipermasalahkan ialah ketentuan dalam Undang-undang Pengadilan Anak, bahwa anak di bawah 12 tahun (berarti antara 8-12 tahun) UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 25

35 tetap dapat diproses ke persidangan dan dapat dikenakan tindakan. Bahkan menurut undang-undang ini, di bawah usia 8 tahun pun tetap dimungkinkan untuk diproses. Masalahnya adalah, apakah batas usia 8 tahun itu tidak terlalu rendah. Walaupun tidak dipidana dan hanya dikenakan tindakan, namun apakah pengalaman selama proses diajukan ke persidangan tidak membawa stigma dan dampak negatif bagi anak usia rendah? Menurut Pasal 3, batas usia maksimal anak untuk dapat dipertanggungjawabkan ialah belum mencapai umur 18 tahun dan belum kawin. Dihubungkan dengan Pasal 26 ayat (3) dan (4), berarti usia pertanggungjawaban anak untuk dapat dikenai pidana atau tindakan menurut UU Pengadilan Anak ialah antra tahun dan belum kawin. Batas usia pertanggungjawaban antara tahun ini sesuai dengan konsep KUHP Baru. Menurut KUHP yang berlaku saat ini, batas maksimalnya ialah sebelum 16 tahun (tanpa batas usia minimal). Walaupun KUHP kita berasal dari Belanda, namun di Belanda sendiri sudah mengalami perubahan, yaitu antara tahun. Bahkan ada ketentuan yang menarik di dalam KUHP (WvS) Belanda yang berlaku saat ini, yakni : 19 a. Terhadap anak yang berusia tahun, hakim dapat tidak menerapkan ketentuan yang berlaku untuk anak (dalam Pasal 77f -77kk), tetapi justru menerapkan ketentuan yang berlaku bagi orang dewasa dengan mempertimbangkan beratnya tindak pidana yang dilakukan ( de ernst van 19 Barda Nawawi Arief, Beberapa, Op.Cit., halaman 163. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 26

36 het begane feit / the gravity of the offence ) dan karakter/kepribadiannya ( de persoonlijkheid van de dader / the character of the offender ); b. Sebaliknya terhadap orang yang berusia antara tahun, hakim dapat menerapkan ketentuan yang berlaku untuk anak (dalam pasal 77f -77kk) aapabila ada alasan dilihat dari karakter/kepribadannya ( de Persoonlijkheid van de dader ). Dari apa yang sudah diuraikan tentang pertanggungjawaban pidana oleh anak di atas, dapat ditarik sebuah benang merah, yaitu bahwa sistem pertanggungjawaban anak (baik dalam hal pemberian pidana maupun tindakan), pada dasarnya masih sama dengan sistem pertanggungjawaban orang dewasa, yaitu berorientasi pada si pelaku secara pribadi/individual. Jadi menganut sistem pemidanaan atau pertanggungjawaban individual/personal (individual/personal responsibility). Dan anak dapat dijatuhi pidana atau dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya walaupun ia masih anak. Oleh karena itu anak tetap bisa diperlakukan seperti orang dewasa yaitu dikenai pidana ketika ia berbuat melawan hukum yang menimbulkan akibat yang merugikan. Yang membedakannya adalah ancaman hukuman. Untuk anak, tentu saja sanksi hukumannya lebih ringan daripada untuk orang dewasa. Perbedaan kemampuan bertanggung jawab antara orang dewasa dengan anak adalah, pada orang dewasa kepadanya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukannya kecuali jiwanya cacat dalam tubuhnya atau karena suatu penyakit tertentu, sedangkan UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 27

37 pada anak-anak mereka dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya namun pertanggungjawabannya tidak penuh sebagaimana orang dewasa atau dengan kata lain ada kemampuan bertanggung jawab namun tidak sepenuhnya. 3. Kedudukan Anak dalam Hukum Pidana Kedudukan anak di dalam hukum meliputi pengertian kedudukan anak dari pandangan sistem hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai subyek hukum. Khusus dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang kedudukan anak dalam hukum pidana. Kedudukan anak di dalam hukum pidana sebagai subyek hukum, ditentukan sebagai anggota kelompok masyarakat yang berada di dalam status hukum yang tergolong tidak mampu atau di bawah umur. Artinya, kedudukan anak sebagai subyek hukum pidana menghendaki juga seorang anak pada sisi lain harus dipandang sebagai subyek hukum yang belum dewasa atau subyek hukum yang tidak mampu. Peristiwa hukum dalam lapangan hukum pidana disebut dengan istilah strafbaar feit atau tindak pidana. Adapun bentuk-bentuk peristiwa hukum tersebut meletakkan kedudukan anak dengan maksud menjadikan seorang anak dapat diukur dari skala pertanggungjawaban di depan hukum, karena anak juga merupakan salah satu subyek hukum. Pandangan hukum terhadap anak yang sistematis, dapat menggolongkan anak sebagai orang yang belum dewasa atau tidak patut untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 28

38 Pengertian yang diberikan oleh hukum tentang pengakuan eksistensi anak sebagai subyek hukum yang normal belum mendapat jastifikasi atau legitimasi dari bentuk perbuatan hukum pada umumnya yang dilakukan baik secara sempurna maupun dikarenakan sebab lain. Untuk meletakkan seorang anak ke dalam pengertian subyek hukum yang normal atau layaknya seorang yang disebut subyek hukum, seperti orang dewasa dan badan hukum (PT, CV, Firma, dan lain-lain), menurut Maulana Hassan Wadong, terdapat faktor-faktor yang perlu dan dipandang mendasar dalam unsur-unsur yang berada secara internal maupun eksternal di dalam ruang lingkup untuk menggolongkan status anak tersebut. Dan faktor-faktor tersebut akan turut memberikan ketertundukan anak atau keterikatan anak terhadap sistem hukum yang ada dari peristiwa-peristiwa hukum yang dilakukan oleh anak itu sendiri. Lebih lanjut unsur-unsur eksternal dan internal yang dimaksud adalah sebagai berikut : Unsur internal pada diri anak a. Subyek hukum Sebagai seorang manusia anak juga digolongkan sebagai human rights yang terikat dalam ketentuan-ketentuan peraturan perundangundangan. Ketentuan dimaksud diletakkan pada anak dengan golongan orang yang belum dewasa; seorang yang berada dalam perwalian; orang yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum. 20 Maulana Hassan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: PT. Grasindo, 2000), halaman 4. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 29

39 b. Persamaan hak dan kewajiban anak; seorang anak akan juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukum. Hukum meletakkan anak dalam reposisi sebagai perantara hukum untuk memperoleh hak dan atau melakukan kewajiban-kewajiban; dan atau untuk disejajarkan dengan kedudukan orang dewasa; atau untuk disebut sebagai subyek hukum yang normal. 2. Unsur eksternal pada diri anak a. Ketentuan hukum atau persamaan kedudukan dalam hukum ( equality before the law), dapat memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk berbuat peristiwa hukum, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan hukum itu sendiri. Atau ketentuan hukum yang memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan. b. Hak-hak privilege yang diberikan negara atau pemerintah yang timbul dari UUD 1945 dan Perundang-undangan. Pengertian kedudukan anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna penafsiran hukum secara negatif. Dalam arti, seorang anak yang berstatus sebagai subyek hukum yang seharusnya bertanggung jawab terhadap tindak pidana ( strafbaar feit) yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata kerana kedudukannya sebagai seorang anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 30

40 seorang anak yang mempunyai hak-hak khusus menurut ketentuan hukum yang berlaku. Kedudukan anak dalam pengertian pidana dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan dengan menggunakan beberapa pengertian sebagai berikut: Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-undang ini mengklasifikasikan anak ke dalam pengertian sebagai berikut : a. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan poengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun. b. Anak negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun. c. Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anaka paling lama sampai berumur 18 tahun. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengklasifikaikan pengertian anak sebagai orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur delapan tahun tetapi belum pernah kawin. Adapun perumusannya adalah sebagai berikut : a. Anak yang melakukan tindak pidana; UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 31

41 b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Anak dalam pengertian pidana lebih diutamakan pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki substansi yang lemah (kurang) dan dalam sistem hukum dipandang sebagai subyek hukum yang diambil dari bentuk pertanggungjawaban, sebagaimana layaknya seorang subyek hukum yang normal. Anak dalam satus hukum pidana akan menjadi mekanisme sentral untuk membangun pengertian Advokasi dan Perlindungan Hukum Bagi Anak, secara sistematis dengan keterikatan pada aspek-aspek hukum baik yang menyangkut hak-hak keperdataan, hak-hak ketatanegaraan atau hak-hak secara adat umumnya. Dengan kedudukan status pengertian anak dalam hukum pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian sebagai berikut : a. Ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana; b. Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapanganm hukum keperdataan, tata negara dengan maksud untuk mensejahterahkan anak; c. Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapatkan perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri; d. Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan; UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 32

42 e. Hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana. B. Sanksi Pidana dan Tindakan sebagai Sistem Pemidanaan terhadap Anak 1. Sistem Pemidanaan Pada hakikatnya sistem pemidanaan merupakan sistem kewenangan kekuasaan menjatuhkan pidana, baik dalam arti sempit maupun luas. Dalam arti sempit penjatuhan pidana merupakan kewenangan menjatuhkan/ mengenakan sanksi pidana menurut undang-undang oleh hakim. Namun dalam arti luas, penjatuhan pidana merupakan suatu mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana. Dengan demikian keempat proses tersebut merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integra1 21 Sebagai suatu kesatuan dalam sistem penegakan hukum pidana, maka dalam keseluruhan mekanisme penanggulangan kejahatan harus ada jalinan mata rantai dalam setiap tahap pemidanaan. Hal ini berarti tahap pemberian pidana tidak dapat dilepaskan dari tahap penetapan pidana maupun tahap pelaksanaan pidana. Ketiga tahap pemidanaan tersebut dijalin dan disatukan oleh tujuan pemidanaan yang berlatar belakang filsafat pembinaan, oleh karena itu tujuan pemidanaan tersebut harus dihayati dan tercemin dalam 21 Barda Nawawi Arief (III), Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1998), halaman 31. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 33

43 setiap tahap pemidanaan mulai dari penetapan pidana, penerapan dan pelaksanaannya. Dalam pengertian yang sempit, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana. Sistem pemberian atau penjatuhan pidana (siste m pemidanaan) itu menurut Barda Nawai Arief, dapat dilihat dari 2 (dua) sudut yang dapat digambarkan berdasarkan bagan berikut ini: 22 Sistem Pemidanaan Fungsional Substantif Hukum Pidana Materiil Hukum Pidana Formil Hukum Pelaksanaan Pidana Aturan Umum Aturan Khusus Dari bagan tersebut dapat dijelaskan, bahwa dari sudut fungsional atau dari sudut bekerja dan berfungsinya, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai : - Keseluruhan sistem (aturan perundang -undangan) untuk fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana; 22 Barda Nawawi Arief, Bahan Sosialisasi RUU KUHP 2004, diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan HAM, tanggal Maret 2005, di Hotel Sahid Jakarta. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 34

44 - Keseluruhan sistem (aturan perundang -undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi hukum (pidana atau tindakan). Dengan pengertian demikian, maka sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana Materiil/Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formal dan subsistem Hukum Pelaksanaan Pidana. Ketiga sub-sistem itu merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu subsistem itu. Pengertian sistem pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan sistem pemidanaan fungsional atau sistem pemidanaan dalam arti luas. Disamping itu, sistem pemidanaan dapat diartikan dari sudut norma-substantif (hanya dilihat dari norma -norma hukum pidana substantif). Adapun sistem pemidanaan dari sudut norma substantif dapat diartikan sebagai : - Keseluruhan sistem aturan atau norma hukum pidana materiil untuk pemidanaan; atau - Keseluruhan sistem aturan atau norma hukum pidana materiil untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana; Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) yang ada di dalam KUHP maupun UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 35

45 Undang-Undang khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari aturan umum ( general rules ) dan aturan khusus ( special rules ). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Dengan demikian, sistem hukum pidana substantif (sistem pemidanaan substantif) dapat digambarkan berdasarkan skema sebagai berikut : 23 SENTENCING SYSTEM SYSTEM OF PUNISHMENT STATUTORY RULES GENERAL RULES BUKU I KUHP Bk. II KUHP SPECIAL RULES Bk. III KUHP 23 Ibid. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 36

46 2. Pemidanaan terhadap Anak Perilaku yang tidak sesuai dengan norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketenteraman kehidupan manusia. Penyelewengan yang demikian, biasanya oleh masyarakat dinilai sebagai suatu pelanggaran dan bahkan sebagai suatu kejahatan. Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan, bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi, tetapi sulit untuk diberantas secara tuntas. Antisipasi atas kejahatan tersebut diantaranya dengan memfungsikan instrument hukum (pidana) secara efektif melalui penegakkan hukum ( law enforcement). Melalui instrument hukum, diupayakan perilaku yang melanggar hukum dapat ditanggulagi secara preventif maupun represif. Mengajukan ke depan sidang pengadilan dan selanjutnya menjatuhkan pidana bagi anggota masyarakat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan yang represif. Hukum pidana sebagai salah satu wujud dari keseluruhan aturan hukum yang ada dalam suatu masyarakat, juga berorientasi pada tujuantujuan hukum secara umum. Salah satunya adalah dengan adanya hukum pidana dimaksudkan untuk menjaga dan melindungi hak-hak serta menentukan kewajiban-kewajiban anggota masyarakat. Agar dapat tercipta suatu penghidupan masyarakat yang teratur, damai, adil dan makmur. Dan UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 37

47 inilah hakekat sebenarnya dari tujuan hukum, dalam hal ini adalah hukum pidana. Dan salah satu alat atau cara untuk mencapai tujuan hukum pidana tersebut adalah berupa penerapan sanksi pidana yang berfungsi sebagai pengkokoh dari setiap aturan hukum pidana. Artinya, apabila seseorang melakukan pelanggaran terhadap aturan hukum pidana tadi, sehingga menyebabkan terganggunya ketertiban hukum dalam masyarakat yang hendak diciptakan dan dipertahankan oleh hukum pidana itu sendiri, maka tindakan pemidanaanlah yang akan diterapkan. Lahirnya penjatuhan pidana dan pemidanaan bukan muncul begitu saja, melainkan melalui proses peradilan. Dengan demikian, melalui instrument hukum pidana, diupayakan perilaku yang melanggar hukum dapat ditanggulangi secara preventif maupun represif. Jadi, dalam sistem hukum kita yang menganut asas praduga tak bersalah ( presumption of ennocence), pidana sebagai reaksi atas delik yang dijatuhkan harus berdasarkan pada vonis Hakim melalui sidang pengadilan atas terbuktinya perbuatan pidana yang dilakukan. Apabila tidak terbukti bersalah maka tersangka harus dibebaskan. Jadi, putusan pengadilan merupakan tonggak yang penting bagi cerminan keadilan, termasuk putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana dan pemidanaan. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 38

48 Pemidanaan dalam hal ini mengandung dua pengertian, baik dalam arti umum, maupun dalam arti konkrit. 24 Dalam arti umum, proses pemidanaan merupakan wewenang pengundang-undangan, sesuai dengan asas legalitas, yang menegaskan bahwa, baik poena maupun crimen harus ditetapkan terlebih dahulu, apabila hendak menjatuhkan pidana pada seorang pelaku tindak pidana. Dalam arti konkrit, proses pemidanaan berkaitan dengan penetapan pidana melalui infrastruktur penitensier (hakim, lembaga pemasyarakatan dan sebagainya). Kalau pidana adalah suatu alat atau sarana, yang dengan demikian ia adalah merupakan suatu ketentuan hukum yang masih dalam keadaan pasif, maka istilah pemidanaan dapatlah diartikan sebagai tindakan aparat penegak hukum yang berwenang (c/q maksudnya hakim) yang memutus dan menjatuhkan suatu sanksi pidana terhadap seorang terdakwa yang telah terbukti melakukan perbuatan pidana dan mempunyai kesalahan. Jadi, pemidanaan ini merupakan suatu keadaan mengaktifkan ketentuan pidana yang pasif tadi karena adanya peristiwa konkret berupa kejahatan yang telah terjadi dan pelakunya dapat dikenai suatu pidana. Dalam hal ini, menurut Prof. Soedarto perkataan pemidanaan yang berasal dari kata pidana, adalah sinonim dengan perkataan penghukuman. Selanjutnya beliau mengatakan : Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum. Sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang 24 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga, Op.Cit., halaman 77. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 39

49 hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdiadakana. Oleh karena itu tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling. 25 Oleh karena itu, dalam kenyataan sehari-hari apabila orang mendengar kata hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim melalui tindakan penghukuman (pemidanaan), biasanya yang dimaksudkan adalah penderitaan yang diberikan kepada orang yang melanggar pidana. Dan penjatuhan pidana, khususnya terhadap anak pelaku tindak pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam, yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana anak sendiri agar menjadi insyaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Dengan demikian, konsepsi fungsi pemidanaan tidak hanya sebagai penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial, dalam konteks Indonesia disebut pemasyarakatan. Hal ini merupakan tuntutan moral, karena terkait di sini aspek-aspek filosofis dalam kerangka hubungan antar manusia di dalam masyarakat. Penjelasan secara sosiologis menyatakan bahwa, dalam kehidupan masyarakat semua warga masyarakat harus berpartisipasi penuh, sebab masyarakat dipandang sebagai sistem kepercayaan yang melembaga (system 25 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), halaman 71. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 40

50 of institutionalized trust). Tanpa kepercayaan ini maka kehidupan sosial tidak mungkin berjalan dengan baik sebab tidak ada patokan yang pasti dalam bertingkah laku. Kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam struktur organisasional seperti polisi, jaksa, pengadilan dan sebagainya. Bagi korban kejahatan, dengan terjadinya kejahatan terhadap dirinya akan menghancurkan sistem kepercayaan tersebut dan pengaturan hukum pidana dan lain-lain berfungsi untuk mengembalikan kepercayaan tersebut. Argumentasi lain untuk mengedepankan perlindungan hukum dalam rangka pemenuhan terhadap hak-hak korban kejahatan adalah berdasarkan argument kontrak sosial ( sosial contrack argument). Yang pertama menyatakan bahwa, Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Maka dari itu bilamana terjadi kejahatan dan membawa korban, maka Negara juga harus bertanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut. Argument yang kedua menyatakan, bahwa Negara harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi kebutuhannya atau apabila warga negaranya mengalami kesukaran, melalui kerja sama dalam masyarakat atau menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh Negara. Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak. Alasan lebih lanjut, biasanya dikatakan dengan salah satu tujuan pemidanaan yang dewasa ini banyak dikedepankan yakni menyelesaikan UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 41

51 konflik yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana, memulihkan keseimbangan dan mendiadakanangkan damai dalam masyarakat. Hal ini juga diadopsi dalam konsep Rancangan KUHP Nasional (Pasal 47 ayat 1 ke-3). a. Syarat-syarat Pemidanaan terhadap Anak Penjatuhan pidana sebagai upaya pembinaan dan perlindungan anak merupakan faktor penting. Salah satu upaya pemerintah bersama DPR adalah dengan diundangkannya UU RI No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Melalui UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diatur perlakuan khusus terhadap anak nakal, yang berbeda dengan pelaku tindak pidana orang dewasa. Misalnya, ancaman pidana ½ (satu perdua) dari ancaman maksimum pidana orang dewasa, tidak dikenal pidana penjara seumur hidup ataupun pidana mati dan sebagainya. Hal itu bukan berarti menyimpang dari prinsip equality before the law. Ketentuan demikian dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang bagi anak (vide consideran UU No. 3 Tahun 1997). Sebelum lahir UU No. 3 Tahun 1997, pada tahun 1979 telah ada undang-undang yang mengatur tentang kesejahteraan anak, yaitu Undangundang No. 4 Tahun Tentu saja aparat penegak hukum tidak boleh mengabaikan penegasan Undang-undang No. 4 Tahun 1979 (Pasal 6) sebagai berikut: UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 42

52 1). Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengantisipasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. 2). Pelayanan dan asuhan tersebut juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim. Undang-undang Pengadilan Anak yang tertuang dalam Undangundag No. 3 Tahun 1997 mengatur banyak hal kekhususan. Selain itu juga, melibatkan beberapa lembaga/institusi di luar pengadilan, seperti Pembimbing Kemasyarakatan dari Departemen Kehakiman, Pekerja Sosial dari Departemen Sosial, dan Pekerja Sukarela dari organisasi sosial kemasyarakatan. Adanya ketentuan, prosedur, mekanisme dan lembagalembaga yang masih relatif baru itu memerlukan antisipasi dini bagi aparat terkait. Berlakunya UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak antara lain telah menetapkan apa yang dimaksud anak. Undang-undang itu berlaku lexpecialis terhadap KUHP (WvS), khususnya berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Sehingga lahirnya Undang-undang Pengadilan Anak juga menjadi acuan pula dalam perumusan pasal-pasal KUHP baru yang berhubungan dengan pidana dan tindakan bagi anak. Penjatuhan pidana khususnya terhadap anak nakal bukan sematamata sebagai pembalasan dendam. Yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman sekaligus terhadap masyarakat dan kepada terpidana anak sendiri agar menjadi insyaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Hal ini sesuai dengan konsepsi baru fungsi UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 43

53 pemidanaan yang bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsepsi itu di Indonesia disebut pemasyarakatan. Syarat pemidanaan terhadap anak nakal tidak terlepas dari upaya pembinaan dan perlindungan terhadap anak itu sendiri. Dalam teori Von Psychologische Zwang, disebutkan bahwa suatu ancaman pidana pada hakekatnya mempunyai suatu akibat psikologis yang menghendaki orang untuk hidup tertib. Hal ini, disebabkan oleh karena pidana itu merupakan sesuatu yang dirasakan tidak mengenakkan bagi terpidana. Dengan demikian ancaman suatu sanksi pidana akan merupakan pencegah secara psikis bagi seorang anak dari melakukan suatu perbuatan pidana. Berdasarkan hal ini maka syarat-syarat atau ukuran-ukuran bagi suatu pemidanaan khususnya terhadap anak nakal menghendaki dipenuhinya syarat baik itu yang menyangkut segi perbuatannya, maupun yang menyangkut segi orang atau pelakunya. Dari segi perbuatan, maka syarat berupa asas legalitas merupakan hal yang fundamental dalam menentukan suatu pemidanaan. Pada prinsipnya asas ini menghendaki bahwa untuk dapat memidana seseorang anak yang telah melakukan perbuatan pidana, disamping perbuatan itu telah ditentukan terlebih dahulu dalam suatu peraturan perundang-undangan sebagai perbuatan yang dilarang maka ketentuan dan batas yang pasti mengenai pidana yang dapat dijatuhkan harus pula tergantung secara tegas dalam peraturan perundangan tersebut. Asas ini UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 44

54 dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevialege. Artinya, tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu. Adapun dari segi pelaku, maka asas kesalahan merupakan unsur yang harus dipenuhi agar pelaku anak dapat dijatuhi pidana. Karena hanya orang yang benar-benar bersalahlah yang dapat dijatuhi pidana (asas tiada pidana tanpa kesalahan atau Geen Straf Zonder Schuld). Untuk dapat dikatakan seorang pelaku pidana itu mempunyai kesalahan, menurut Simons, harus ada keadaan psychic tertentu pada pelaku dan adapula hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. 26 Pengertian kesalahan seperti di atas, oleh Prof. Moeljatno dikatakan merupakan faham kesalahan yang psikologis dan termasuk dalam pandangan atau pendapat yang lama. Menurut beliau, pendapat yang lebih baru yang disebutnya sebagai faham kesalahan yang normatif, memberikan makna kesalahan ini bukan hubungan antara keadaan batin tertentu dengan perbuatan pidana yang dilakukan pelaku, tetapi pernilaian dari hubungan itu. Karena, yang menjadi ukuran untuk menentukan keadaan batin si pelaku bukanlah bagaimana sesungguhnya keadaan batin orang tersebut, melainkan 26 Simons, dikutip dari Prof. Moeljatno, Asas,Op.Cit., halaman 10. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 45

55 bagaimana penyelidik (hakim) mempernilai keadaan batinnya, menilik (berdasarkan) fakta-fakta yang ada. 27 Penentuan kesalahan berdasarkan pernilaian hubungan antara keadaan batin dengan keadaan tersebut, akan dapat menunjukkan bagaimana bentuk kesalahan yang dilakukan pelaku. Apakah kesalahan itu berupa kesengajaan atau kealpaan. Tetapi meskipun demikian, terbuktinya kesalahan dari unsur ini saja belum dapat membenarkan adanya penjatuhan pidana terhadap pelaku, walaupun secara formal perbuatannya telah memenuhi rumusan delik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pidana. Karena selain hal tersebut pada diri pelaku harus pula ada kemampuan bertanggung jawab serta tidak ada pemaaf ataupun alasan pembenar yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban tersebut. Dari kedua syarat pemidanaan seperti telah dijelaskan di atas, unsur kesalahan sangat menentukan dapat tidaknya seorang anak pelaku perbuatan pidana dijatuhi suatu pidana. Karena itulah, hakim harus benar-benar teliti dengan menilai unsur-unsur kesalahan yang akan dibuktikan dalam peradilan. Dalam hal ini tentulah bukan pekerjaan yang mudah. Sebab pada hakekatnya, kesalahan merupakan suatu sikap batin atau kejiwaan seseorang yang abstrak sifatnya. Sehingga yang dapat dinilai oleh hakim adalah perbuatan atau tingkah laku seseorang anak yang merupakan perwujudan dari sikap batinnya tadi. Atas dasar inilah, maka dalam menentukan kesalahan seseorang terdakwa anak, hakim harus pula mempunyai 27 Ibid., halaman 110. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 46

56 keyakinan yang pasti tentang kesalahan terdakwa anak tersebut dan keyakinan ini bagi hakim harus didasarkan pada fakta-fakta yang ditemukan dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan yang sesuai dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang (berdasarkan kebenaran materiil). Jadi, sedemikian pentingnya atas kesalahan ini sebagai syarat dalam pemidanaan, maka tepat kiranya legitimasi formal (keabsahan) yang diberikan oleh ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menentukan bahwa : Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut Undangundang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. 28 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap anak pelaku suatu perbuatan pidana ialah perbuatan tersebut harus memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang Hukum Pidana yang telah ditentukan sebelumnya ( asas Legalitas). Disamping itu, disyaratkan juga adanya keyakinan hakim bahwa perbuatan tersebut benar-benar dilakukan oleh orang yang bersalah ( asas Geen Straf Zonder Schuld). Selain kedua syarat dalam hal pemidanaan terhadap anak seperti yang sudah diuraikan di atas, kiranya patut disimak apa yang menjadi pendapat dari Leo Polak, seperti yang dikutip oleh Bapak M. Abdul Kholiq 28 R.I. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 47

57 A.F., dalam skripsi beliau. Menurut Polak, dalam suatu pemidanaan paling tidak harus pula memenuhi tiga syarat lagi, yaitu : a. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif. b. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Pidana tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi. Jadi pidana tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi. Sebab bila hal ini terjadi, kemungkinan besar penjahat diberi suatu penderitaan yang beratnya lebih daripada maksimum yang menurut ukuran obyektif boleh diberikan kepada penjahat. c. Sudah tentu, beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil. 29 Syarat-syarat pemidanaan sebagaimana dikemukakan oleh Polak di atas berkaitan erat dengan masalah tujuan pemidanaan terhadap anak nakal sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut dalam sub bab berikut ini. b. Tujuan Pemidanaan terhadap Anak Merujuk pada bagian menimbang huruf a Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyatakan, bahwa Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis yang mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. 29 M. Abdul Kholiq A.F., Penjatuhan Pidana Mati Dalam Rangka Penegakkan Hukum dan eksistensinya dalam Pembaharuan KUHP Nasional, (Yogyakarta: FH-UII, 1991), halamn 37. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 48

58 Maka seharusnya pemberian sanksi pidana pada anak harus bertujuan memperbaiki dirinya, tanpa merasa dirinya menjadi terhukum yang bisa menjatuhkan mental dan kepercayaan diri yang pada akhirnya dapat merugikan anak itu sendiri. Dalam bukunya Muladi dan Barda Nawawi A. disebutkan, bahwa: Tujuan pemidanaan terhadap anak jelas tidak dapat dilepaskan dari tujuan utama untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial. Dengan kalimat terakhir ini tidak harus diartikan, bahwa kesejahteraan atau kepentingan anak berada di bawah kepentingan masyarakat, tetapi justru harus dilihat bahwa mendahulukan atau mengutamakan kesejahteraan dan kepentingan anak itu pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha mewujudkan kesejahteraan sosial. 30 Filosofi pemidanaan terhadap anak sebagai pelaku perbuatan pidana diarahkan pada aspek pemenuhan kesejahteraan dan meletakkan aspek probation. Maksudnya, pemidanaan terhadap anak harus diutamakan pada jenis pidana yang tidak menghilangkan masa depan anak yang bersangkutan. Adapun tujuan dan dasar pemikiran untuk mengutamakan kesejahteraan anak ditegaskan pula dalam SMR-JJ 1985 ( the Beijing Rules). Dalam Rule 5.1. mengenai Aims of Juvenile Justice ditegaskan : The juvenile justice system shall emphasize the well being of the juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumstances of both the offender and the offence Muladi dan Barda Nawawi A., Bunga, Op.Cit., halaman Ibid., halaman 112. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 49

59 Dalam Commentary yang terdapat di bawah Rule 5.1. itu disebutkan, bahwa dalam hal pemidanaan terhadap anak maka Rule 5.1. ini menujukkan pada dua tujuan atau sasaran yang sangat penting, yaitu : a. Memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile). Maksud yang tersirat dari ketentuan ini adalah, dalam hal pemidanaan terhadap anak nakal maka hal utama yang harus mendapat perhatian melalui pemberian sanksi berupa pemidanaan terhadap anak harus dapat memajukan kesejahteraan anak tersebut. Hal ini merupakan fokus utama dalam sistem hukum yang lebih menekankan atau mengutamakan kesejahteraan anak. b. Prinsip proporsionalitas (the principle of proportionality). Maksud dari ketentuan ini adalah, pemidanaan terhadap anak bertujuan untuk mengutamakan pembatasan sanksi yang bersifat menghukum atau dengan kata lain pemidanaan terhadap anak bertujuan untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti membalas semata-mata. Berdasarkan ketentuan di atas mengenai tujuan yang ingin dicapai dalam suatu pemidanaan dalam kaitannya dengan anak nakal, maka pada dasarnya tujuan pemidanaan terhadap anak nakal harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan- UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 50

60 kepentingan masyarakat atau negara, korban dan pelaku. Dalam kaitannya dengan pemidanaan ini, Barda Nawawi Arief berpendapat, bahwa : Tujuan pemidanaan mengandung dua aspek, yaitu : a. aspek perlindungan masyarakat terhadap tindak pidana, dan b. aspek perlindungan terhadap individu atau pelaku tindak pidana. 32 Kedua aspek pokok ini mempunyai tujuan masing-masing. Aspek pokok pertama meliputi tujuan : mencegah, mengurangi atau mengendalikan perbuatan pidana serta memulihkan keseimbangan masyarakat yang perwujudannya sering dikemukakan dalam berbagai ungkapan antara lain : menyelesaikan konflik, mendiadakanangkan rasa aman, memperbaiki kerugian atau kerusakan yang timbul, menghilangkan noda-noda yang ditimbulkan, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Aspek pokok yang kedua bertujuan : memperbaiki si pelaku yang sering dikemukakan dalam berbagai ungkapan seperti : melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku untuk membebaskan si pelaku, mempengaruhi tingkah laku si pelaku untuk tertib atau patuh kepada hukum, melindungi si pelaku dari pengenaan sanksi atau pembalasan yang sewenang-wenang di luar hukum. Begitu pula pemidanaan terhadap anak nakal, tidak hanya memandang akibat yang terjadi pada masa lalu anak (sebagai 32 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994), halaman 93. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 51

61 pertimbangan penjatuhan sanksi pidana terhadap orang dewasa). Tetapi harus memandang jauh tentang bagaimana masa depan anak nanti sebagai generasi penerus bangsa, tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat. Jadi, anak dapat dipidana, terutama pidana yang di dalamnya menghindari penjara dengan segala perwujudannya. Pidana tersebut adalah pidana yang mengutamakan kesejahteraan dan kepentingan anak tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat sebagai sarana pendidikan dan perbaikan untuk kembali ke jalan yang benar dan menjadi anak baik-baik. Dari uraian di atas mengenai tujuan pemidanaan terhadap anak nakal ini dapat diambil kesimpulan, bahwa pada dasarnya pemidanaan terhadap anak nakal harus diartikan sebagai proses pembinaan kesadaran anak untuk memahami masa depan anak yang lebih baik dan ditujukan dalam rangka untuk : Menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak secara wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 1 sub 1a UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak); Memberikan hak anak atas kesejahteraan berdasarkan kasih sayang untuk tumbuh dan berkembang secara wajar (lihat Pasal 2 ayat 1 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak); dan Menolong anak guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya (lihat Pasal 6 ayat 1 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak). UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 52

62 3. Pengaturan Sanksi Pidana dan Tindakan terhadap Anak Sebelum diberlakukannya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pengadilan terhadap anak nakal ini dan dalam kaitannya dengan sanksi yang akan dijatuhkan terhadap anak adalah merupakan wewenang Pengadilan Umum dengan penerapan pasal 45 KUHP, yang rumusannya adalah sebagai berikut: Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun, Hakim dapat menentukan : memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaannya, tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa dipidana apa pun, yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut pasal 489, 490, , 497, 503, 505, 514, , 526, 531, 532, 536 dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan salah melakukan kejahatan salah satu pelanggaran tersebut di atas dan putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana. 33 Dengan diberlakukannya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan pidana terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan menurut ketentuan UU No. 3 Tahun 1997, hal ini sesuai dengan Pasal 22 UU No. 3 Tahun 1997 : Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undangundang ini. 34 Dengan demikian, berdasarkan Ketentuan Penutup (Bab VIII Pasal 67) UU No. 3 Tahun 1997, maka ketentuan tentang pemidanaan terhadap anak nakal yang terdapat dalam pasal 45, 46 dan pasal 47 KUHP menjadi tidak berlaku lagi. 33 Moeljatno, Kitab,Op.Cit., halaman R.I. UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Op.Cit., halaman 9. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 53

63 Tentang hal tersebut kiranya patut disimak apa yang dikemukakan oleh B.W. Charles Ndaumanu, yakni sebagai berikut : Di dalam suatu kejahatan yang dilakukan oleh anak, biasanya kami sebagai hakim lebih melihat ketentuan yang ada dalam Undangundang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Sebab menurut kami dengan berlakunya Undang-undang No. 3 Tahun 1997, telah berlaku asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis, artinya peraturan yang khusus sifatnya mengalahkan peraturan yang umum sifatnya. Jadi, dengan berlakunya Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka dalam mengatasi permasalahan anak nakal lebih ditekankan pada peraturan yang ada di dalam Undang-undang No. 3 Tahun Hal senada juga ditambahkan oleh Tulus Basuki, yang menyatakan : Dalam menangani kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh anakanak atau remaja kami dalam melakukan penuntutan lebih melihat ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 dengan tetap memberikan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku. Dimana dasar-dasar tersebut antara lain: terbuktinya kejahatan yang telah dilakukan, akibat yang ditimbulkan oleh pelaku terhadap korban, besar kerugian yang diderita korban baik materi maupun kerugian psikologis serta hal-hal yang memberatkan dan meringankan pelaku. 36 Dari kedua pendapat tersebut di atas dapat dijelaskan, bahwa yang dijadikan acuan dalam kaitannya dengan masalah pertanggungjawaban anak sebagai pelaku tindak pidana adalah KUHP yang berlaku sebagai hukum pidana umum, tetapi karena pelaku dari tindak pidana tersebut adalah masih dikategorikan di bawah umur, maka baik penyidik dalam hal ini Polri, Penuntut Umum maupun Hakim tetap merujuk pada Undang-Undang No Wawancara dengan B.W. Charles Ndaumanu,S.H., M.H., Hakim pada Pengadilan Negeri Semarang, pada hari Selasa, tanggal 23 Februari Wawancara dengan Tulus Basuki,S.H., Hakim pada Pengadilan Negeri Semarang, pada hari Selasa, tanggal 23 Februari UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 54

64 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berlaku sebagai hukum pidana yang lebih bersifat khusus. Bentuk pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim terhadap anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam Bab III Undang- Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam Pasal 22 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak secara umum menyatakan, bahwa kepada anak yang terbukti melakukan perbuatan pidana, dapat dijatuhi pidana atau tindakan. Mengenai ketentuan yang secara khusus mengatur tentang pidana terdapat dalam Pasal 23, sedangkan mengenai tindakan diatur dalam Pasal 24. Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai sanksi pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah sebagai berikut: a. Sanksi Pidana Sanksi pidana merupakan hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim pada akhir proses pemeriksaan di sidang pengadilan yang diwujudkan dalam suatu bentuk putusan pengadilan atas diri seseorang yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu perbuatan pidana. Penggunaan istilah sanksi dalam bidang hukum (pidana) merupakan istilah yang lebih khusus, sehingga perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifatsifatnya yang khas. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas, UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 55

65 mengenai sanksi pidana, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana sebagai berikut : Prof. Sudarto, SH : Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 2. Prof. Ruslan Saleh : Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. Dari kedua pendapat tentang pidana di atas, dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut : 1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; 2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); 3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Dari pemahaman tentang sanksi pidana seperti yang disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa antisipasi atas perbuatan pidana atau terhadap suatu kejahatan diantaranya dilakukan dengan memfungsikan instrument hukum (pidana) secara efektif melalui penegakkan hukum ( law enforcement) yang salah satu wujudnya adalah melalui penjatuhan sanksi 37 Muladi dan Barda Nawawi A., Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), halaman 2. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 56

66 pidana melalui putusan hakim (vonis) kepada orang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum pidana. Sanksi pidana dalam perundang-undangan kita (KUHP) dalam pasal 10 menetapkan jenis-jenis pidana adalah sebagai berikut : 38 a. Pidana pokok, meliputi : 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan dan 4. pidana denda. b. Pidana tambahan, meliputi : 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu dan 3. pengumuman putusan hakim. Uraian di atas memfokuskan pada jenis-jenis sanksi pidana yang diatur dalam KUHP. Memang jenis-jenis pidana yang tertulis di dalam KUHP merupakan acuan bagi jenis pidana yang termaktub dalam hukum pidana Khusus, kecuali pidana tambahan. Penyimpangan itu misalnya pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi dan sebagainya. Apabila kita amati, undang-undang No. 7 Drt/1955 mengatur adanya bentuk pidana berupa tindakan tata tertib, yang tidak diatur oleh KUHP. Dalam pasal 10 KUHP, menyatakan bahwa sanksi pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Adapun pidana tambahan dapat berupa 38 Moeljatno, Kitab, Op.Cit., halaman 5-6. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 57

67 pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Sanksi pidana yang terdapat dalam pasal 10 KUHP tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai dan dan diterapkan dalam hal penjatuhan sanksi pidana bagi anak yang telah dinyatakan bersalah oleh hakim melakukan perbuatan pidana. Jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal sebagaimana diatur dalam pasal 23 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyatakan sebagai berikut: 1) Pidana yang dapat dijatuhkan pada anak nakal adalah pidana pokok dan pidana tambahan. 2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada anak nakal ialah: a. pidana penjara; b. pidana kurungan; c. pidana denda; dan d. pidana pengawasan. 3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap anaka nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang terentu dan atau pembayaran ganti rugi. 4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, berikut ini akan diuraikan lebih lenjut mengenai sanksi pidana yang dapat di jatuhkan kepada anak nakal. 1. Pidana Pokok Ada 4 (empat) jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, yaitu: UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 58

68 a. Pidana Penjara Ketentuan mengenai pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan perbuatan pidana diatur dalam Pasal 26 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyatakan, bahwa : a. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. b. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun. c. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b. d. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Maksud dari maksimal ancaman pidana penjara bagi orang dewasa adalah maksimal ancaman pidana penjara terhadap tindakan yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam KUHP atau undang-undang lainnya. Pidana mati atau pidana penjara seumur hidup tidak dapat dikenakan terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 59

69 Artikel 37 huruf b Konvensi Hak-Hak Anak yang menyatakan, bahwa pidana mati maupun pidana seumur hidup tanpa kemungkinan memperoleh pelepasan /pembebasan tidak akan dikenakan kepada anak yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Bagi anak yang terlanjur melakukan perbuatan pidana yang berat yang diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka terhadapnya hanya dapat dijatuhi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Adapun bagi anak yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup yang belum berumur 12 (dua belas) tahun, maka terhadapnya hanya dapat diberikan tindakan yakni diserahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Adapun bagi anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun dan melakukan perbuatan pidana yang tidak diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, terhadapnya hanya dapat dijatuhi salah satu tindakan yang terdapat dalam Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. b. Pidana Kurungan Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak diatur dalam Pasal 27 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyatakan, bahwa: Pidana kurungan yang dapat UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 60

70 dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. c. Pidana Denda Pidana denda diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyatakan, bahwa : a. Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak nakal paling banyak ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. b. Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja. c. Wajib latihan kerja sebagai pengganti pidana denda dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari dan tidak dilakukan pada malam hari. Undang-undang Pengadilan Anak mewajibkan latihan kerja sebagai pengganti pidana denda dimaksudkan sekaligus untuk mendidik anak yang bersangkutan agar memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya. d. Pidana Pengawasan Pidana Pengawasan, diartikan sebagai salah satu jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal menurut pasal 23 ayat (2) jo pasal 30 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yaitu: pidana yang khusus dikenakan untuk anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 61

71 tersebut, dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Pidana pengawasan merupakan jenis pidana baru yang diatur dalam pasal 30 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyatakan bahwa : (1). Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 2 (dua) tahun. (2). Apabila terhadap anak nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a, dijatuhkan pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka anak tersebut ditempatkan di bawah pengawasan Jaksa dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan. Selama menjalani pidana pengawasan, jaksa harus mendiadakanangi rumah anak yang bersangkutan untuk melakukan pengawasan. Demikian pula pembimbing kemasyarakatan yang bertugas melakukan bimbingan terhadap anak tersebut. 2. Pidana Tambahan Pidana tambahan merupakan bentuk pidana yang menyertai dijatuhkannya pidana pokok kepada anak nakal. Pidana tambahan diatur dalam Pasal 23 ayat (3) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyatakan, bahwa: selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pida na tambahan berupa: a. perampasan barang-barang tertentu, dan atau b. pembayaran ganti rugi. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 62

72 Pidana tambahan yang berupa perampasan barang-barang tertentu pada dasarnya hanya merampas barang-barang atau alat-alat yang digunakan untuk melakukan suatu perbuatan pidana. Perampasan juga dapat dilakukan terhadap barang-barang yang diperoleh dari suatu hasil perbuatan pidana, sedangkan pidana tambahan yang berupa pembayaran ganti rugi merupakan tanggung jawab orang tua atau orang lain yang menjalankan kekuasaan sebagai orang tua, atas kerugian yang ditimbulkan oleh akibat perbuatan dari anak yang bersangkutan. 3. Pidana Bersyarat Ketentuan mengenai pidana bersyarat diatur dalam Pasal 29 UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Hakim dapat menjatuhkan pidana bersyarat, apabila pidana penjara yang dijatuhkan itu paling lama 2 (dua) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1). Maksimal dua tahun itu bukan besarnya ancaman pidana dari suatu ketentuan undangundang yang berlaku bagi anak, akan tetapi hukuman maksimal yang dijatuhkan oleh hakim khusus untuk pidana bersyarat. Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) menyatakan bahwa: Putusan Pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum dalam hal ini adaalah bahwa anak yang bersangkutan tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani pidana bersyarat. Apabila melakukan tindak pidana lagi, maka anak yang bersangkutan wajib menjalani hukuman pidananya setelah ada perintah dari hakim. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 63

73 Syarat khusus ialah penentuan sikap untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak. Syarat khusus ini dapat berupa antara lain anak yang bersangkutan tidak boleh mengemudikan kendaraan bermotor atau diwajibkan mengikuti kegiatan yang diprogramkan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek daripada masa pidana bersyarat bagi syarat umum. Selama menjalani pidana bersyarat, pengawasan dilakukan oleh kejaksaan, sedangkan bimbingan terhadap anak dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. Penjatuhan pidana bersyarat ini sepenuhnya tergantung pada hakim yang memeriksa perkara tersebut, apakah akan diberikan pidana bersyarat atau pidana penjara. Ada hal penting yang harus menjadi perhatian hakim dalam memberikan sanksi pidana, yaitu bahwa hakim hendaklah lebih berhatihati dan lebih teliti dalam menjatuhkan sanksi pidana pada anak-anak. Jangan sampai sanksi yang diberikan justru menjadikan anak semakin berperilaku menyimpang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa sanksi (pidana) itu sebenarnya adalah suatu alat dalam bentuk penderitaan yang ditimpakan oleh penguasa (negara) pada seseorang yang terbukti melakukan suatu perbuatan pidana dan mempunyai kesalahan, atas dasar kewajiban dari Negara dalam mewujudkan serta mempertahankan ketertiban hukum UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 64

74 masyarakat dalam rangka kesejahteraan bersama. Sebagai suatu alat maka sanksi (pidana) ini bukanlah merupakan tujuan. Tetapi justru ia dipakai sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut. b. Sanksi Tindakan Dalam hal hakim tidak menjatuhkan sanksi pidana bagi anak yang telah terbukti melakukan perbuatan pidana, maka dimungkinkan hakim tersebut akan menjatuhkan tindakan terhadap anak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyatakan, bahwa: Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undangundang ini. Selanjutnya mengenai tindakan yang dapat dijatuhkan terhadap Anak Nakal telah diatur dalam Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyatakan, bahwa : 1. Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : a. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh; b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. 2. Tindakan sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim. Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dapat dijelaskan, bahwa anak pelaku perbuatan pidana akan dijatuhi tindakan yakni dikembalikan kepada orang tua, wali, atau UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 65

75 orang tua asuhnya apabila hakim berkeyakinan anak yang bersangkutan masih dapat dibina di dalam lingkungan keluarganya, akan tetapi dalam hal ini anak yang bersangkutan masih berada di bawah pengawasan dan bimbingan kemasyarakatan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang ditentukan. Anak akan diserahkan kepada negara dalam hal menurut penilaian hakim, pendidikan dan pembinaan anak pelaku perbuatan pidana tersebut tidak dapat dilakukan di lingkungan keluarga. Anak yang disaerahkan kepada negara untuk menjadi anak negara ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA). Setelah dimasukkan ke LPA, nasib anak tersebut tidak dibiarkan begitu saja, akan tetapi instansi yang bersangkutan harus memperhatikan pribadi anak tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, demi kepentingan anak, undang-undang memberi wewenang kepada Kepala LPA untuk mengajukan ijin kepada Menteri Kehakiman RI agar anak negara bersangkutan ditempatkan di lembaga pendidikan anak yag diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta. Lembaga yang dimaksud di sisni adalah lembaga yang menyelenggarakan kegiatan dalam rangka memberikan pendidikan kepada anak, baik jasmani, rohani, mupun sosial anak, sehingga anak selama menjadi anak negara memperoleh bekal yang cukup bekal keterampilan untuk hidup mandiri. Seperti yang pernah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, bahwa anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun yang melakukan perbuatan pidana yang tidak diancam dengan pidana mati atau pidana UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 66

76 penjara seumur hidup, hakim dapat menjatuhkan hukuman salah satu tindakan yang diatur dalam Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Apabila menurut pertimbangan hakim anak nakal yang bersangkutan lebih tepat diserahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerka, hal ini khusus dikenakan kepada anak nakal yang tidak atau kurang mengenal disiplin dalam kehidupan sehari-hari. Anak akan diserahkan ke Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan apabila kepentingan anak menghendaki. Organisasi Sosial Kemasyarakatan yag dimaksud menurut penjelasan Pasal ayat 24 ayat (1) huruf c adalah misalnya pesantren, panti sosial lainnya dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan. Selain tindakan-tindakan tersebut di atas, Hakim dapat memberi teguran dan menetapkan syarat tambahan. Teguran adalah peringatan dari Hakim baik secara langsung terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali, atau orang tua asuhnya agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatannya. Syarat tambahan itu misalnya kewajiban untuk melapor secara periodic kepada Pembimbing Kemasyarakatan (vide penjelasan pasal 24 ayat (2)). Jenis tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak berdasar Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak seperti yang sudah diatur dalam Pasal 24 ayat (1) ternyata lebih sempit apabila UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 67

77 dibandingkan dengan rumusan Rancangan KUHP baru. Rumusan pengenaan tindakan terhadap anak (Pasal 132 Rancangan KUHP) adalah : a. Pengembalian kepada orang tua, wali, atau pengasuhnya; b. Penyerahan kepada pemerintah atau seseorang; c. Keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau suatu badan swasta; d. Pencabutan surat izin mengemudi; e. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; f. Perbaikan akibat tindak pidana; g. Rehabilitasi; dan atau h. Perawatan di dalam suatu lembaga. Tindakan-tindakan tersebut tidak dimaksudkan untuk menerapkan penderitaan, melainkan bermaksud untuk memperbaiki, menyembuhkan dan mendidik anak, guna melindungi masyarakat. Dengan adanya sanksi tindakan yang dapat diterapkan terhadap anak nakal tersebut, tampak bahwa sanksi di dalam hukum pidana semakin dihumanisasikan dan sedapat mungkin diterapkan, sehingga bermanfaat dalam rangka usaha resosialisasi dari pelaku tindak pidana khususnya anak-anak. Berdasarkan penjelasan tentang sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap anak yang terbukti melakukan perbuatan pidana baik berupa pidana ataupun tindakan dapat disimpulkan, bahwa sanksi yang dijatuhkan tersebut pada dasarnya lebih mengutamakan pendidikan dan pembinaan yang baik dan diharapkan anak yang bersangkutan akan mendapatkan bekal keterampilan yang cukup untuk dapat hidup mandiri, dan dengan adanya pendidikan dan pembinaan yang baik pula anak yang bersangkutan diharapkan tidak akan mengulangi lagi perbuatan pidana UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 68

78 yang telah dilakukannya. Dalam kaitannya dengan hal ini, B.W. Charles Ndaumanu mengemukakan pendapatnya, bahwa: Sanksi pidana dan tindakan terhadap anak nakal tetap diperlukan sebatas untuk pembinaan dan pendidikan. Apalagi perbuatan yang dilakukan sudah melampaui batas dan mendiadakanangkan kerugian bagi kepentingan masyarakat. Namun semuanya dikembalikan kepada hakim dalam menjatuhkan putusannya. Penjatuhan sanksi pidana atau tindakan terhadap pelaku kejahatan yang masih anak-anak tesebut bersifat kasuistik. Artinya, dalam menghadapi perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur, seorang hakim harus dengan teliti menyelidiki apakah anak tersebut sudah mampu membeda-bedakan atau belum. Dengan kata lain, nalar anak tersebut pada waktu melakukan tindak pidana dia masih bernalar sebagai anak kecil, yang lugu, polos dan tidak mengetahui risiko dari perbuatannya atau justru dia masih di bawah umur, tapi bernalar orang dewasa yang dalam melakukan kejahatannya dia menggunakan cara-cara orang dewasa Sanksi Pidana dan Tindakan terhadap Anak sebagai Sistem Pemidanaan Masalah sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana karena seringkali menggambarkan nilai-nilai sosial budaya bangsa. Artinya, pidana mengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan yang tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. 40 Tata nilai dalam masyarakat ada yang bersifat universal dan abadi, tetapi dari zaman ke zaman ia juga dapat bersifat dinamis. Sifat kedinamisan tata nilai berlaku pula pada sistem pemidanaan dan sistem sanksi dalam 39 Wawancara dengan B.W. Charles Ndaumanu,S.H., M.H., Op.Cit. 40 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum pidana (Ide Dasar Double Track System dan implementasinya), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), halaman 55. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 69

79 hukum pidana. Secara lebih singkat, Andi Hamzah 41 memberikan arti sistem pidana dan pemidanaan itu sebagai susunan (pidana) dan cara (pemidanaan). Bertitik tolak dari dua pengertian tersebut di atas, maka semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana substansial, hukum pidana prosedural dan hukum pelaksanaan pidana dapat dikatakan sebagai satu kesatuan sistem. Dengan kata lain, hukum pidana materiil dan hukum pidana formil harus dijadikan acuan dalam membicarakan masalah sistem pemidanaan dan sistem sanksi. Sanksi pada umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku. 42 Istilah sanksi atau hukuman merupakan istilah umum. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya. Walaupun di tingkat praktis, perbedaan antara sanksi pidana dan tindakan sering agar samar, namun di tingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan fundamental. Keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber dari ide dasar: Mengapa diadakan pemidanaan?. Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar: Untuk apa diadakan pemidanaan itu?. 43 Hal ini dapat dijelaskan lebih lanjut, bahwa sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan 41 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retrsi ke Reformas,i (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996), halaman S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996), halaman M. Sholehhuddin, Sistem, Op.Cit., halaman 32. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 70

80 sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan seseorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera), maka fokus sanksi tindakan lebih diarahkan pada upaya memberi pertolongan agar orang tersebut dapat berubah. Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan pada unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan lebih mengarah kepada suatu bentuk perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelaku pelanggaran. Atau seperti dikatakan J.E. Jonkers, bahwa : Sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yag bersifat sosial. 44 Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik dan sematamata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat. 44 J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 2007), halaman 350. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 71

81 Dengan demikian, perbedaan prinsip antara sanksi pidana dan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan dan bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan. Singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi pada perlindungan masyarakat. Sebagai konsekuensi dari ide individualisasi pidana yang bermuara dari konsepsi-konsepsi dua aliran hukum pidana, yaitu aliran klasik 45 dan aliran neo-klasik 46 mengenai sistem pemidanaan, maka lahirlah ide individualisasi pidana dalam hukum pidana modern. Sehingga sistem pemidanaan dalam hukum pidana modern berorientasi pada pelaku dan perbuatan ( daad-dader straafrecht), dimana jenis sanksi yang ditetapkan tidak hanya meliputi sanksi pidana, tetapi juga sanksi tindakan yang relatif lebih bermuatan pendidikan daripada penderitaan. Perkembangan sistem sanksi dalam hukum pidana dan sistem pemidanaannya memang tidak terlepas dari hasil penelitian yang banyak dilakukan oleh para kriminolog, seperti bentuk sanksi pidana pengawasan, pidana kerja sosial, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak 45 Aliran ini muncul pada abad XVIII yang berpaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan pemidanaan terhadap perbuatan (daad-strafrecht) dan bukan pada pelaku kejahatan. Sistem pemidanaan dari aliran ini ditetapkan secara pasti ( the definite sentence). Artinya, penetapan sanksi dalam undang-undang tidak dipakai sistem peringaan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa si pelaku, kejahatankejahatan yang dilakukannya terdahulu maupun keadaan-keadaan khusus dari perbuatan/kejahatan yang dilakukan. Selanjutnya dapa dibaca dalam Sudarto, Suatu Dilema Dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 21 Desember Aliran neo-klasik menitikberatkan konsepsinya kepada kebebasan kehendak manusia (sekitar tahun 1810) yang mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual terhadap pelaku tindak pidana. Aliran ini memberikan kebebasan kepada hakim untuk menetapkan pidana penjara antara batas minimum dan maksimum yang ditentukan dalam undang-undang. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 72

82 pidana dan perbaikan akibat-akibat tindak pidana. Yang menjadi persoalan, bagaimanakah memilih dan menetapkan bentuk-bentuk sanksi baru tersebut menjadi jenis sanksi pidana maupun jenis sanksi tindakan. Menurut hemat peneliti, seyogyanya tetap memperhatikan latar belakang kesesuaian bentuk sanksi tersebut dengan hakikat permasalahan deliknya. Dengan kata lain, masalah penalisasi tak dapat dipisahkan dari masalah kriminalisasi, karena keduanya merupakan satu kesatuan bila dilihat dari sudut kebijakan kriminal (criminal policy). Proses peradilan anak yang dalam ketentuan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, adalah merupakan suatu format hukum untuk memberikan perlindungan terhadap anak melalui proses hukum formal, dengan harapan anak sebagai generasi penerus bangsa walaupun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagai anak yang melakukan tindak pidana diharapkan tidak menimbulkan pengaruh negatif pada jiwa anak. Sebelum diberlakukannya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pengadilan terhadap anak nakal ini dan dalam kaitannya dengan sanksi yang akan dijatuhkan terhadap anak adalah merupakan wewenang Pengadilan Umum dengan penerapan pasal 45 KUHP, yang rumusannya adalah sebagai berikut: Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun, Hakim dapat menentukan : memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaannya, tanpa pidana apapun; UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 73

83 atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa dipidana apa pun, yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut pasal 489, 490, , 497, 503, 505, 514, , 526, 531, 532, 536 dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan salah melakukan kejahatan salah satu pelanggaran tersebut di atas dan putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana. 47 Dengan diberlakukannya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan pidana terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan menurut ketentuan UU No. 3 Tahun 1997, hal ini sesuai dengan Pasal 22 UU No. 3 Tahun 1997 : Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undangundang ini. 48 Dengan demikian, berdasarkan Ketentuan Penutup (Bab VIII Pasal 67) UU No. 3 Tahun 1997, maka ketentuan tentang pemidanaan terhadap anak nakal yang terdapat dalam pasal 45, 46 dan pasal 47 KUHP menjadi tidak berlaku lagi. Konsekuensi dicabutnya ketentuan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP menyebabkan sistem pemidanaan terhadap anak tidak lagi merupakan satu kesatuan sistem yang utuh. Ketentuan mengenai anak dalam Pasal 45, 46, dan 47 KUHP merupakan salah satu bagian dari keseluruhan sistem pemidanaan anak, karena sistem pemidanaan terhadap anak tidak hanya diatur dalam Pasal 45, 46, dan 47 KUHP saja yang hanya mengatur tentang kewenangan hakim dalam menjatuhkan putusan tentang jenis-jenis sanksi 47 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana. (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), halaman R.I. UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Op.Cit., halaman 9. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 74

84 (pidana dan tindakan) dan lamanya pidana untuk anak yang melakukan tindak pidana. Dengan dicabutnya Pasal 45, 46, dan 47 KUHP, maka salah satu sub-sistem pemidanaan anak dalam KUHP sudah tidak ada, dan diganti dengan aturan-aturan yang ada di dalam UU No. 3 Tahun Dengan demikian aturan atau sistem pemidanaan anak yang semula berada di dalam KUHP, khususnya yang berkaitan dengan jenis-jenis sanksi pidana (strafsoort) dan lamanya pidana (strafmaat), sekarang berada di luar KUHP. Ini berarti aturan khusus tentang strafsoort dan strafmaat di dalam UU No. 3 Tahun 1997 itu telah menjadi aturan umum baru untuk semua anak, menggantikan aturan umum yang ada di dalam KUHP. C. Dasar Pertimbangan bagi Hakim dalam Menjatuhkan Putusan terhadap Anak Pelaku Tindak pidana Putusan hakim sebagai hasil akhir dari perkara hukum yang diajukan haruslah memiliki tujuan dari hukum itu sendiri. Penegakan hukum melalui putusan hakim tidak saja diharapkan dapat memberikan efek jera ( deterrent effect) dan daya tangkal (prevency effect), tetapi harus dapat mewujudkan suatu kepastian ( prediktabilitas) yang berorientasi kepada keadilan serta menjaga ketertiban. Seorang hakim dalam mengadili dan memutus suatu perkara pidana, dituntut agar putusan yang diberikan dapat mencerminkan hukum positif yang berlaku dan dapat menerapkan apa yang tersirat dalam KUHP secara tepat dan UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 75

85 benar. Hakim dalam menangani suatu kasus, dalam hal ini kasus perkosaan, dengan sendirinya akan memainkan perannya yang penting. Dalam memutus perkara tersebut dituntut suatu persyaratan tertentu demi keadilan dan kepastian hukum. Seorang hakim pada saat menerapkan hukum akan menemukan hukum baru yaitu hukum inconcreto (senyatanya). Putusan hakim itu merupakan suatu hal yang sulit. Prof. Roeslan Saleh menyatakan bahwa, Putusan hakim itu sebagai suatu pergumulan kemanusiaan. 49 Makna pernyataan yang dikemukakan oleh Prof. Roeslan Saleh tersebut adalah putusan hakim itu merupakan sesuatu yang sulit dan merupakan suatu pergumulan kemanusiaan. Maka sebelum sebuah perkara itu diputuskan, hakim harus mengkaji kasus tersebut secara multisektoral, artinya harus berdasarkan kemanusiaan, baik fisik, mental hidup maupun kehidupan manusia. Jadi putusan hakim harus dilihat secara utuh, tidak hanya undangundang saja, tetapi juga dari segi ekonomi, budaya, sosial dan keamanan. Putusan yang diberikan oleh hakim harus dapat mencerminkan rasa keadilan dan memuaskan para pihak yang berperkara. Hakim dalam menjalankan tugasnya harus bersifat bebas dan mandiri. Dengan maksud untuk memberikan perlindungan hukum pada masyarakat, menjamin bagi para pihak yang berperkara dan untuk memperoleh kepastian hukum. Menurut Andi Hamzah, Walaupun Hakim bebas untuk mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan dari batas-batas minimum ke batas-batas maksimal dalam situasi konkrit, ia tidak boleh sewenang-wenang 49 Jurnal Keadilan, (Yogyakarta : Fakultas Hukum-UII, 2000), halaman 37. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 76

86 menuruti perasaan subyektifnya. 50 Selanjutnya Oemar Seno Adji mengemukakan pendapat bahwa : Hakim harus mempertimbangkan sifat dan keseriusan delik yang dilakukan, keadaan yang mengikuti perbuatan-perbuatan yang dihadapkan kepadanya. Ia harus melihat kepribadian pelaku perbuatan dengan umurnya, tingkat pendidikan, apakah ia pria atau wanita, lingkungannya, dan lain sebagainya. 51 Pada asasnya hakim memiliki kebebasan dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Walaupun kebebasan tersebut tetap berada dalam batas-batas minimal dan maksimal pidana ataupun untuk memilih jenis-jenis pidananya. Namun meskipun demikian, yang sering terjadi dalam praktek peradilan, materi putusan hakim tidak lebih dari kesimpulan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam sidang pengadilan. Bahkan putusan hakim terasa seperti membuat paper kuliah saja. Tidak berjiwa, tidak berbobot dan tidak memiliki pertimbangan yuridis yang cukup. Hal ini terjadi karena banyak putusan hakim sekarang ini dipengaruhi oleh faktor-faktor marginal, seperti penguasa, uang dan KKN. Jadi jelas sekali sulit menemukan putusan hakim yang benar. 52 Sebagaiman telah dirumuskan di dalam pasal 1 butir (8) dan (9) KUHAP, pejabat peradilan yang berwenang membuat putusan pengadilan adalah hakim. Sebelum memutuskan suatu perkara, dalam hal ini perkara perkosaan, hakim harus memperhatikan hal-hal yang dapat menjadi 50 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1993), halaman Oemar Seno Adji, Hukum- Hakim Pidana, (Jakarta : Erlangga, 1994), halaman Jurnal Keadilan, Loc. Cit. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 77

87 pertimbangan. Yaitu baik secara yuridis maupun di luar ketentuan yuridis demi menemukan kebenaran dan menciptakan keadilan dalam putusannya. Adapun faktor-faktor yang dijadikan dasar pertimbangan bagi hakim dalam pemberian putusan pada kasus perkosaan adalah sebagai berikut : 1. Faktor Yuridis Menurut penjelasan Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim diberi kebebasan di dalam melaksanakan wewenang judiciil (wewenang untuk menjatuhkan putusan). Meskipun kebebasan tersebut dibatasi oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan perkataan lain di dalam melaksanakan wewenang judiciil tersebut hakim terikat oleh ketentuan-ketentuan yuridis. Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa faktor yuridis mempengaruhi hakim di dalam membuat putusan terhadap perkara yang diajukan ke persidangan. Adapun faktor-faktor yuridis yang dimaksud dalam hal tersebut adalah pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan lain seperti penjelasan pasal, baik yang terdapat dalam hukum formal maupun dalam hukum materiil, termasuk di dalamnya KUHAP dan KUHP. Faktor-faktor yuridis tersebut menjadi pedoman atau acuan di dalam hakim memeriksa dan nantinya akan memutus suatu perkara yang diajukan. Selanjutnya di dalam menjatuhkan pidana pada seorang terdakwa, menurut pasal 183 KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 78

88 memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Mengenai alat bukti yang sah, dirumuskan dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP yang terdiri atas keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. 2. Faktor Sosiologis Menurut Pasal 50 ayat (1) UU N o. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundangundangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.. 53 Berdasarkan rumusan pasal tersebut, hakim harus terjun ke tengahtengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dengan perkataaan lain hakim harus mempertimbangkan perbuatan-perbuatan terdakwa dengan pendapat-pendapat, kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat yang berlaku dalam kehidupan negara dan masyarakat sehingga putusan tersebut tidak mengandung reaksi negatif dari masyarakat. Berkaitan dengan faktor sosiologis tersebut, Prof. Sudarto, S.H., mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : 53 R.I., UU. No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 79

89 Faktor perkembangan masyarakat perlu dipertimbangkan dalam proses pembuatan putusan, yaitu di dalam hal penafsiran dari undangundang yang harus diterapkan dan pada pemberian pidana, sebab hakim dalam menjatuhkan pidana wajib mempertimbangkan segala sesuatu yang dapat memberatkan atau meringankan pidana. Dan faktor-faktor ini tidak hanya dicari pada diri pembuat, tetapi juga pada hal-hal yang obyektif yang terletak di luar motif dan sifat pembuat. Faktor perkembangan masyarakat dapat digunakan untuk mendatangkan keputusan hakim yang dapat memberikan kepuasan kepada para pihak yang bersangkutan karena sesuai dengan rasa keadilan. 54 Dari pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hakim pidana dalam suatu pemeriksaan perkara pidana pertama-tama bertugas mencari dan meneliti kenyataan senyatanya (kenyataan materiil) dalam perkara tersebut. Dalam pencarian dan penelitian kenyataan senyatanya ini, banyak bahan pertimbangan yang diperlukan hakim. Dari sudut ini amatlah berharga bagi kepentingan peradilan suara-suara masyarakat yang tertib dan teratur. Suara-suara spontan dari masyarakat ini tidak semestinya dianggap angin lalu saja oleh hakim, namun hakim harus tetap menjaga obyektifitasnya. Bahkan hakim harus membuka matanya, memasang telinganya dan mengetuk hati nuraninya untuk dapat menanggapi rasa keadilan masyarakat yang timbul 54 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat-Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, (Bandung : Sinar baru, 1983), halaman 38. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 80

90 secara jujur dan obyektif untuk dipergunakan sebagai bahan dalam menentukan keadaan berdasarkan hati nuraninya sendiri. 3. Faktor Psikologis Pengaturan tentang faktor psikologis ini ditentukan dalam UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). UU No. 8 Tahun 1981 mengakui adanya faktor psikologis yang mempengaruhi hakim di dalam memberikan putusan. Adapun pengakuan tersebut antara lain terdapat di dalam pasal 157, pasal 182 ayat (5), pasal 183 dan pasal 220 ayat (1) dan (2) KUHAP. Berikut ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai faktor psikologis yang terdapat dalam peraturan perundangundangan tersebut : a).pasal 157 KUHAP Pasal 157 KUHAP mengatur mengenai kewajiban hakim untuk mengundurkan diri dari tugas mengadili suatu perkara, apabila terikat hubungan keluarga sedarah semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai, yaitu dengan hakim ketua, salah seorang hakim anggota, penuntut umum, panitera, terdakwa atau penasihat hukum. Dan apabila tidak mengundurkan diri, maka untuk perkara yang sudah diputus wajib segera diadili ulang. Kewajiban untuk mengundurkan diri dan mengadili ulang perkara yang sudah diputus tersebut merupakan suatu upaya untuk memperoleh putusan yang seobyektif mungkin, sekaligus UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 81

91 menunjukkan pengakuan terhadap adanya faktor psikologis yang ikut mempengaruhi hakim di dalam memberikan putusan, yaitu putusan pada kasus perkosaan. b). Pasal 182 ayat (5) KUHAP Pasal 182 ayat (5) KUHAP mengatur mengenai musyawarah yang dilakukan oleh majelis hakim sebelum memutus suatu perkara,. Di dalam musyawarah tersebut hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai yang tertua. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya kemungkinan bahwa hakim yang termuda akan mengikuti saja pendapat dari hakim yang tertua. Atau dengan perkataan lain untuk menghindari perasaan canggung dari hakim yang termuda di dalam mengemukakan pendapatnya dalam musyawarah tersebut. Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut meliputi juga faktor psikologis yang ikut menentukan di dalam pertimbangan hakim sebelum memutus perkara, yaitu pada musyawarah yang terakhir. c). Pasal 183 KUHAP Pasal 183 KUHAP mengatur mengenai persyaratan untuk menjatuhkan pidana. Hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : (1). Ada alat bukti yang sah (sekurang-kurangnya dua). (2). Ada keyakinan dari hakim bahwa perbuatan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 82

92 Mengenai unsur alat bukti yang sah, menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan mengenai keyakinan hakim, merupakan suatu hal yang sifatnya subyektif dan relatif, oleh karena itu tidak seorangpun dapat dipaksakan keyakinannya terhadap hal-hal yang dialaminya. Disamping itu, keyakinan hakim merupakan satu hal yang erat kaitannya dengan faktor psikologis, karena melibatkan pikiran dan perasaan. Dengan demikian pasal 183 KUHAP membuktikan bahwa faktor psikologis benar-benar ikut bekerja di dalam pemberian putusan oleh hakim, yaitu pada saat hakim mempertimbangkan isi putusan serta menjelma di dalam putusan hakim. d). Pasal 220 ayat (1) dan (2) KUHAP Di dalam pasal 220 ayat (1) KUHAP mengatur mengenai larangan yang ditujukan kepada hakim untuk tidak mengadili perkara apabila hakim yang bersangkutan mempunyai kepentingan dalam perkara tersebut, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Sedangkan pasal 220 ayat (2) KUHAP mengatur tentang kewajiban untuk mengundurkan diri bagi hakim yang memenuhi ketentuan dalam pasal 220 ayat (1) tersebut. Berdasarkan rumusan di dalam pasal 220 ayat (1) dan (2) KUHAP tersebut dapatlah disimpulkan bahwa faktor psikologis UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 83

93 memberi pengaruh terhadap hakim di dalam mengadili suatu perkara. Dan pengaruh tersebut dapat membuat isi putusan menjadi tidak obyektif, oleh karena itu dibatasi dengan peraturan perundang-undangan. Adapun pembatasan tersebut menurut pasal 220 ayat (1) dan (2) KUHAP adalah dengan adanya larangan untuk mengadili yang diikuti dengan kewajiban untuk mengundurkan diri terhadap hakim yang mempunyai kepentingan dalam suatu perkara. Dengan demikian jelaslah bahwa pasal 220 ayat (1) dan (2) KUHAP memuat suatu pengakuan terhadap keberadaan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi hakim dalam pemberian putusan. Mengenai rumusan selengkapnya dari pasal-pasal dalam KUHAP yang menjadi dasar hukum adanya faktor psikologis yang berpengaruh terhadap pemberian putusan oleh hakim tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pasal 157 : (1). Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili perkara tertentu apabila ia terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan hakim ketua sidang, salah seorang hakim anggota, penuntut umum atau panitera. (2). Hakim ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum atau panitera wajib mengundurkan diri dari menangani perkara apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan terdakwa atau penasihat hukum. (3). Jika dipenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (2) mereka yang mengundurkan diri harus diganti dan apabila tidak dipenuhi UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 84

94 atau diganti sedangkan perkara telah diputus, maka perkara wajib diadili ulang dengan susunan yang lain. 2. Pasal 182 ayat (5) : Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pejabat harus disertai pertimbangan beserta alasannya. 3. Pasal 183 : Hakim tidak boleh mengajukan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 4. Pasal 220 : (1). Tiada seorang hakim pun diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. (2). Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim yang bersangkutan, wajib mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukumnya. 55 Berkaitan dengan faktor psikologis tersebut, Dr. Djamaluddin Ancok di dalam makalah Viktimologi Suatau Tinjauan Psikologi, mengemukakan pendapat sebagai berikut: 56 Di dalam memutuskan berat ringannya putusan suatu perkara seringkali para hakim terpengaruh dengan faktor-faktor non hukum. Faktor-faktor non hukum itu antara lain : a). Sifat kepribadian hakim Dilaporkan di dalam beberapa penelitian bahwa sifat kepribadian yang otoriter pada diri hakim, mempengaruhi berat ringannya 55 R.I., UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, halaman J.E. Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997), halaman UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 85

95 hukuman yang dijatuhkan, hakim yang otoriter memberikan hukuman yang lebih berat daripada hakim yang tidak otoriter. b). Faktor penampilan terdakwa dan pengacara Penampilan terdakwa dan pengacara di ruang pengadilan, seperti gaya bicara, postur duduk dan berdiri, cara mempresentasikan argumentasi ikut mempengaruhi berat ringannya peraturan yan diberikan. Bicara yang berisi nada kemarahan misalnya, dapat menimbulkan reaksi emosional pada diri hakim, yang akan mengakibatkan hukuman yang dijatuhkan bertambah berat. Selain itu ciri fisik terdakwa, rupa yang menarik, kulit bersih dan pakaian rapi, dapat pula meringankan hukuman yang dijatuhkan. c). Faktor diri korban Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa bila korban rupanya menarik, akan lebih besar kemungkinan terdakwa untuk mendapatkan putusan bersalah dan dihukum lebih berat. Demikian pula apabila korban adalah seorang yang sudah tua dapat mengakibatkan hukuman yang lebih berat pada diri pelaku, jika dibandingkan dengan korban yang masih muda. Tentunya saja faktor lain seperti status sosial ekonomi korban akan mempengaruhi berat ringannya hukuman terdakwa. Pendapat di atas mengandung suatu pengertia, bahwa faktor psikologis yang mempengaruhi hakim di dalam memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan dalam persidangan dapat bersumber pada UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 86

96 : kepribadian jaksa dan hakim, penampilan terdakwa atau pengacara (penasehat hukum) serta keadaan korban. Menurut peneliti, konsekuensi dari adanya faktor psikologis terhadap pemberian putusan oleh hakim tersebut antara lain adalah, bahwa tidak setiap pertimbangan dan keyakinan hakim dalam putusan tersebut dapat dirasakan demikian oleh orang lain (masyarakat). Konsekuensi lainnya adalah adanya putusan yang berbeda antara hakim yang satu dengan hakim yang lain terhadap kasus yang sama. Hal ini dapat dilihat pada putusan peradilan tingkat banding yang tidak selalu menguatkan isi putusan pada peradilan tingkat pertamanya. Disamping itu, hakim juga perlu memperhatikan pedoman pemidanaan yang antara lain berisi pertimbangan-pertimbangan mengenai : a). Kesalahan terdakwa apakah disadari atau tidak (sengaja atau alpa). b). Cara terdakwa melakukan perbuatan. c). Keadaan sosial ekonomi terdakwa. d). Sikap terdakwa setelah melakukan perbuatan. e). Pandangan masyarakat terhadap kejahatan yang dilakukan terdakwa. f). Pengaruh pemidanaan terhadap terdakwa. Konsekuensi dari adanya pengaruh faktor psikologis terhadap pemberian putusan oleh hakim tersebut antara lain adalah bahwa tidak setiap pertimbangan dan keyakinan hakim dalam putusan tersebut dapat dirasakan keadaannya oleh orang lain (masyarakat). UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 87

97 4. Faktor-faktor yang Memberatkan dan Meringankan Dalam hal pengadilan memutus suatu perkara dan akan menjatuhkan pidana kepada terdakwa, maka hakim pun harus mempertimbangkan mengenai faktor-faktor apa yang dapat memberatkan dan atau meringankan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf (f) KUHAP yang berbunyi : Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. 57 Hakim dalam memutus perkara, dalam hal ini adalah perkara perkosaan harus juga memperhatikan faktor-faktor yang dapat memberatkan maupun yang meringankan terdakwa. Sehingga dalam praktek penerapan hukumnya terjadi penerapan sanksi yang berbeda. Sebagai contoh dalam kasus perkosaan, hakim dalam memberikan sanksi penerapannya berbeda antara terdakwa yang usianya dewasa dengan terdakwa masih di bawah umur. Hal ini disebabkan hakim mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang meringankan atau memberatkan bagi terdakwa. Dalam menjatuhkan putusan pidana, hakim tidak boleh sewenang-wenang menuruti perasaan subyektifnya. Undang-undang menentukan beberapa hal yang secara obyektif memberatkan dan meringankan maksimum pidana dari suatu delik. Dikemukakan oleh 57 R.I., UU No. 8 Tahun 1981, Op. Cit., halaman 83. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 88

98 Andi Hamzah bahwa : Ada beberapa keadaan obyektif yang dapat dipertimbangkan, seperti umur terdakwa, jenis kelaminnya, akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa, keseriusan delik yang bersangkutan, nilai-nilai khusus daerah setempat, dan tingkat dampak terhadap filsafat negara yaitu Pancasila. 58 a). Faktor-faktor yang Memberatkan. Mengenai hal-hal yang memberatkan maksimum pidana yang akan dijatuhkan diatur dalam KUHP antara lain : 1). Residivis atau pengulangan delik (Pasal 486 KUHP). 2). Concursus atau gabungan delik (Pasal KUHP). 3). Kedudukan sebagai pegawai negeri (Pasal 52 KUHP). 4). Pemberatan terhadap kejahatan yang dilakukan dalam keadaan-keadaan khusus, misalnya perampokan ketika terjadi kerusuhan, pembunuhan yang disertai pencurian dengan kekerasan, atau perkosaan yang disertai dengan penganiayaan. Sedangkan dalam prakteknya, hal-hal yang memberatkan yang menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memberikan putusannya, berdasarkan penelitian yaitu : 1). Hal-hal yang telah ditentukan dalam undang-undang. 2). Telah menikmati hasil dari kejahatan. 3). Memberikan jawaban yang berbelit-belit dalam persidangan. 4). Bersikap tidak sopan dalam persidangan. 58 Andi Hamzah, Op.Cit.,halaman 95. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 89

99 5). Tidak menunjukkan rasa menyesal. 6). Adanya akibat dari perbuatan yang dilakukan terhadap korban. b). Faktor-faktor yang Meringankan Adapun hal-hal yang dapat meringankan maksimum pidana dari suatu delik yang diatur dalam KUHP antara lain : 1). Percobaan (poging) Diatur dalam pasal 53 KUHP, dengan ancaman pidana pokok dari kejahatan yang dilakukan dikurangi 1/3. 2). Pembantuan (medeplichtige) Diatur dalam pasal 57 KUHP, dengan ancaman pidana pokok dari kejahatan yang dilakukan dikurangi 1/3. 3). Belum cukup umur (minderjarig) Dalam KUHP, tentang orang belum cukup umur diatur dalam pasal Namun karena saat ini telah dikeluarkan peraturan yang khusus mengatur tentang pengadilan anak, yaitu UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, maka dipakai sebagai pedoman adalah undang-undang tersebut. Hal ini sesuai dengan asas perundang-undangan Lex specialis derogat legi generalis, yang artinya bahwa undang-undang yang bersifat khusus mengalahkan undang-undang yang bersifat umum. UU No. 3 Tahun 1997 pasal 4 ayat (1) mengatakan bahwa batasan seorang anak belum cukup umur yang dapat UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 90

100 diajukan ke sidang pengadilan adalah telah berusia 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin. Tapi yang dapat dijatuhi pidana, baru mulai 12 tahun. Bila anak tersebut dijatuhi pidana penjara, maka pasal 26 UU No. 3 Tahun 1997 menentukan pidana penjara tersebut jangka waktunya paling lama adalah 1/2 (setengah) dari maksimum ancaman pidana pokok. Jadi bukan dikurangi 1/3 sebagaimana dalam hal percobaan atau pembantuan. Sedangkan bila perbuatan pidana yang dilakukan diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka pidana yang dapat dijatuhkan bagi anak tersebut adalah penjara paling lama 10 tahun. Selain menjatuhkan pidana bagi seorang anak yang belum cukup umur, hakim juga dapat mengambil alternatif lain sebagai tindakan, yaitu mengembalikannya kepada negara untuk mengikuti pendidikan dan pembinaan di rumah pendidikan negara. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 91

101 BAB III METODE PENELITIAN Perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan, mensyaratkan dan memutlakkan adanya suatu kegiatan penelitian. Tanpa penelitian itu ilmu pengetahuan tidak dapat hidup dan tidak dapat diyakini kebenarannya. Tetapi lebih dinamis lagi penelitian juga berfungsi dan bertujuan inventif, yakni terusmenerus lagi memperbaharui lagi kesimpulan dari teori yang telah diterima berdasarkan fakta-fakta. Tanpa penelitian ilmu pengetahuan akan berhenti, bahkan akan surut kebelakang. 59 Oleh karena itu di dalam setiap penelitian diperlukan suatu tata cara yang nantinya akan digunakan untuk meneliti objek penelitian. Proses yang demikian inilah yang disebut dengan Metodologi Penelitian. Dengan demikian, metodologi merupakan perencanaan penelitian terhadap objek yang diteliti. Biasanya objek tersebut adalah berupa fakta empiris yang terjadi dalam masyarakat, yang kemudian akan dikaji secara metodis dan disusun secara sistematis kemudian diuraikan secara logis dan analitis. Dari semua penelitian ini akan mendapatkan suatu pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertentu, sehingga hasil yang diharapkan dapat benar-benar terwujud dalam suatu penyusunan karya ilmiah atas dasar hasil penelitian. 59 Anton Bakker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), halaman 11. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 92

102 Adapun metode-metode yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Metode Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum, terutama bahan hukum primer (dalam hal ini peraturan-perundangan hukum pidana positif dan non hukum pidana yang relevan dengan permasalahan yang ada) dan bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang hukum pidana atau Konsep KUHP). Disamping itu, penelitian ini dilengkapi pula dengan dengan pendekatan yuridis-empiris, yaitu berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat. Adapun hal itu dilakukan dengan mengkaji putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan proses pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana beserta pertimbangan-pertimbangan hukumnya, baik menyangkut jenis sanksi ( strafsort), lamanya sanksi itu dijatuhkan (straftmaat) maupun cara pelaksanaan sanksi (straftmodus). 2. Spesifikasi Penelitian Bertitik-tolak dari judul dan permasalahan yang mendasari penelitian ini, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif- analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku / hukum positif dikaitkan dengan teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif dalam masyarakat. Penelitian deskriptif merupakan penelitian untuk memecahkan UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 93

103 masalah yang ada pada masa sekarang (masalah aktual) dengan mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisis dan mengintepretasikannya. 60 Dengan demikian, dari penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai penerapan sanksi pidana dan tindakan sebagai sistem pemidanaan terhadap anak, yakni anak yang melakukan tindak pidana. 3. Metode Penentuan Sampel Penelitian ini lebih menitik-beratkan pada pendekatan yuridisnormatif, oleh karena itu populasi penelitian ini meliputi kasus-kasus, praktisi hukum (hakim), akademisi serta pakar di bidang hukum penintensier. Penentuan sample dalam penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keseluruhan populasi, tetapi hanya digunakan untuk mendeskripsikan fakta empiris, sejauh masih relevan dengan permasalahan penelitian, akan digunakan untuk mendukung kajian yuridis-normatif. Adapun teknik sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling. Teknik ini dipilih atas dasar pertimbangan waktu, tenaga dan dana yang terbatas serta tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh penelitian ini. 60 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), halaman 36. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 94

104 4. Metode Pengumpulan Data Berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah: a. Studi Kepustakaan Data yang dikumpulkan dalam hal ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan tertulis yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer dan sekunder serta tersier. Disamping itu juga dipergunakan dokumen-dokumen (berkas perkara, kertas kerja dll), monografi dan artikel media massa. b. Studi Lapangan Cara ini dilakukan untuk memperoleh data primer, yaitu data yang diperoleh dari narasumber atau responden secara langsung. Adapun teknik yang dipergunakan adalah wawancara dan questioner. Dengan metode pengumpulan data seperti di atas, diharapkan dapat memberikan data yang selengkap-lengkapnya guna menunjang penelitian ini. 5. Analisa Data Analisa data dilakukan secara kualitatif, kemudian diidentifikasi serta dilakukan kategorisasi. Analisis kualitatif yaitu metode analisis yang pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis, analisis dengan logika, dengan induksi, deduksi, analogi/intepretasi, komparasi dan sejenis itu. 61 Data kuantitatif akan disajikan dalam bentuk tabel untuk mendukung analisis 61 Ibid, halaman 38. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 95

105 kualitatif. Metode berpikir yang dipergunakan adalah metode deduktif, yaitu dengan berdasarkan pada dasar-dasar pengetahuan yang bersifat umum untuk mengkaji persoalan-persoalan yang bersifat khusus. Dari hasil analisis tersebut kemudian akan ditarik kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang ada. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 96

106 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari penelitian yang dilakukan, data mengenai penerapan sanksi pidana dan tindakan sebagai sistem pemidanaan dan dasar pertimbangan bagi Hakim Pengadilan Negeri Semarang dalam menjatuhkan sanksi pidana dan tindakan terhadap Anak diperoleh berdasarkan wawancara dengan Hakim. Di samping itu, data tersebut diperoleh juga dengan menganalisis putusan hakim. Adapun Putusan hakim Pengadilan Negeri Semarang yang dianalisis adalah sebanyak 4 (empat) putusan yang terdiri dari 2 (dua) putusan hakim berupa pemidanaan, dan dua putusan hakim lainnya berupa penerapan sanksi tindakan. Keempat putusan hakim Pengadilan Negeri Semarang tersebut teregistrasi dalam regeister Pengadilan Negeri Semarang dengan tahun register , dan kemudian dijadikan sampel dalam penelitian ini karena mencerminkan ciri-ciri dari populasi sasaran atau sampel yang dikehendaki. Berikut ini uraian dari keempat putusan hakim Pengadilan Negeri Semarang tersebut: 1. Putusan No. 02/Pid B/2009/PN. Smg, atas nama terdakwa DAPR bin S. Terdakwa dituntut oleh Jaksa dengan sanksi pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara, karena didakwa telah melakukan tindak pidana Perjudian sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 303 bis ayat (1) ke-2 KUHP jo.uu RI No. 3 Tahun UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 97

107 2. Putusan No. 1060/Pid.B/2009/PN.Smg, atas nama terdakwa MWR al. B Terdakwa dituntut oleh Jaksa dengan sanksi pidana penjara selama 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan sementara, karena didakwa melakukan tindak pidana di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 170 (2) ke-1 KUHP. 3. Putusan No. 259/Pid B/2008/PN. Smg, atas nama terdakwa AR bin M Terdakwa dituntut oleh Jaksa dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana dengan sengaja menggunakan kekerasan melakukan persetubuhan dengan anak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan sanksi tindakan, yakni diserahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja. 4. Putusan No. 936/Pid B/2008/PN. Smg, atas nama terdakwa KI bin SB Terdakwa dituntut oleh Jaksa dengan sanksi dikembalikan kepada orang tuanya, karena didakwa telah melakukan tindak pidana Penganiayaan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 351 ayat (1) KUHP. Dari uraian mengenai keempat putusan hakim Pengadilan Negeri Semarang di atas, berikut ini akan dilakukan analisa berdasarkan perumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 98

108 A. Penerapan Sanksi Pidana dan Tindakan sebagai Sistem Pemidanaan terhadap Anak oleh Hakim Pengadilan Negeri Semarang \ Ketentuan Pasal 22 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan, bahwa : Terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. Pasal tersebut menjelaskan, bahwa terhadap seorang anak yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dan memenuhi semua unsur-unsur yang didakwakan oleh Jaksa, maka terhadap anak tersebut hanya dapat diterapkan salah satu saja sanksi sebagai mana yang ditetapkan dalam Pasal 23 dan 24 UU UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yakni sanksi pidana atau sanksi tindakan. Dengan demikian, hakim sebagai pejabat peradilan yang berwenang membuat putusan pengadilan tidak dapat membuat putusan terhadap anak pelaku tindak pidana yang di dalamnya terdapat dua jenis sanksi secara kumulatif. Dengan kata lain, hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana hanya dapat menjatuhkan salah satu saja jenis sanksi, yaitu sanksi pidana atau sanksi tindakan. Berdasarkan analisa yang dilakukan terhadap 4 (empat) putusan hakim Pengadilan Negeri Semarang, maka dalam masing-masing putusan hakim tersebut hakim hanya menjatuhkan salah satu jenis sanksi saja, yaitu berupa sanksi pidana atau sanksi tindakan sebagai sistem pemidanaan. Berikut ini uraian dari penerapan sanksi pidana dan tindakan sebagai sistem pemidanaan terhadap anak bedasarkan putusan hakim Pengadilan UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 99

109 Negeri Semarang: 1. Putusan No. 02/Pid B/2009/PN. Smg, atas nama terdakwa DAPR bin S yang diadili dengan menjatuhkan pidana terhadap diri Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan dan 15 (lima belas) hari, karena terbukti bersalah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana Perjudian sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 303 bis ayat (1) ke-2 KUHP jo.uu RI No. 3 Tahun Putusan No. 1060/Pid.B/2009/PN.Smg, atas nama terdakwa MWR al. B yang diadili dengan menjatuhkan pidana terhadap diri Terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan 15 (lima belas) hari, karena terbukti bersalah dan meyakinkan melakukan tindak pidana di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut pasal 170 (2) ke-1 KUHP. 3. Putusan No. 259/Pid B/2008/PN. Smg, atas nama terdakwa AR bin M yang diadili oleh karena terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana dengan sengaja menggunakan kekerasan melakukan persetubuhan dengan anak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 81 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja. 4. Putusan No. 936/Pid B/2008/PN. Smg, atas nama terdakwa KI bin SB yang diadili oleh Hakim dengan dikembalikan kepada orang tuanya, UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 100

110 karena terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana Penganiayaan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 351 ayat (1) KUHP. Bagan 1. Penerapan sanksi pidana dan tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana Sanksi Hukum terhadap Anak Sanksi Pidana Sanksi Tindakan Putusan No. 02/Pid B/2009/PN. Smg, atas nama terdakwa DAPR bin S (15 Thn). Putusan No. 1060/Pid.B/2009/ PN.Smg, atas nama terdakwa MWR al. B (17 Thn) Putusan No. 259/Pid B/2008/PN. Smg, atas nama terdakwa AR (11 Thn) Putusan No. 936/Pid B/2008/PN. Smg, atas nama terdakwa KI (11 Thn) sanksi pidana pidana penjara selama 1 (satu) bulan dan 15 (lima belas) hari sanksi pidana pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan 15 (lima belas) hari sanksi tindakan berupa diserahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja. sanksi tindakan berupa dikembalikan kepada orang tuanya UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 101

111 B. Dasar Pertimbangan bagi Hakim Pengadilan Negeri Semarang dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana dan Tindakan sebagai Sistem Pemidanaan terhadap Anak Sebagaimana telah dirumuskan di dalam pasal 1 butir (8) dan (9) KUHAP, pejabat peradilan yang berwenang membuat putusan pengadilan adalah Hakim. Sebelum memutuskan suatu perkara, terlebih-lebih lagi perkara yang menyangkut pelaku anak, Hakim harus memperhatikan hal-hal yang dapat menjadi pertimbangan dalam putusannya. Seorang hakim dalam mengadili dan memutus suatu perkara pidana, dituntut agar putusan yang diberikan dapat mencerminkan hukum positif yang berlaku dan dapat menerapkan apa yang tersirat dalam KUHP secara tepat dan benar. Dalam memutus perkara tersebut dituntut suatu persyaratan tertentu demi menemukan kebenaran dan menciptakan keadilan serta kepastian hukum dalam putusannya. Jika kita perhatikan secara seksama maka Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 mengatur mengenai penjatuhan putusan pengadilan, adapun dasar untuk mengadili terletak pada lapangan obyektif dulu (perbuatan) baru lapangan subyektif (kesalahan). Artinya, berdasarkan pasal tersebut sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus menentukan terlebih dahulu hal yang bersifat obyektif, yakni apakah perbuatan yang dilakukan oleh pelaku terbukti melawan hukum atau tidak, dan tentunya hal ini harus didukung oleh suatu pasal dari KUHP atau peraturan lain di luar KUHP. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 102

112 Setelah menentukan hal yang bersifat obyektif, langkah berikutnya adalah menentukan hal yang bersifat subyektif. Artinya, apakah pelaku punya kesalahan atau tidak. Kesalahan yang dimaksud di sini adalah kesalahan yang menyangkut perbuatan yang dilakukan dan merupakan kesalahan normatif yang menyatakan pernilaian terhadap hubungan antara sikap bathin dan perbuatan. Menurut Moeljatno, Kesalahan adalah pernilaian dari keadaan psychologis, dan dinamakan Normatief Schuldbegrib (paham kesalahan yang normatif). 62 Dengan demikian, setiap putusan hakim akan selalu membawa pengaruh bagi seorang terdakwa anak, terutama sekali adalah menyangkut masa depan si anak tersebut. Karena setiap anak tetap mempunyai hak untuk diperlakukan dengan baik dan juga untuk memperoleh dan mengisi masa depannya dengan hal-hal yang positif dengan harapan nantinya berguna bagi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itulah Hakim tidak boleh langsung menjatuhkan suatu pidana kepada seorang terdakwa anak yang diajukan ke depan sidang anak. Dan kalaupun seorang anak dijatuhi pidana maka hakim haruslah dapat menimbang 62 Moeljatno, Asas, halaman 162. Dalam bukunya Moeljatno tersebut dijelaskan lebih lanjut, kesalahan normatif sebagai hal yang bersifat subyektif merupakan kesalahan yang harus dktikan oleh hakim dengan memperhatikan fakta-fakta yang ada di sekitar perbuatan pidana, baik sebelum, pada saat,ataupun sesudah perbuatan itu dilakukan. Adapun tujuannya adalah untuk menentukan: a. apakah perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku itu, terjadinya secara sengaja atau dengan alpa; b. apakah pada saat melakukakan perbuatan pidana, pelaku mempunyai kemampuan bertanggung jawab atau tidak; dan c. apakah pada saat melakukan perbuatan pidana tersebut, pada diri pelaku terdapat alasan yang menghapuskan pidana atau tidak. Hal ini berkaitan dengan ada tidaknya alasan pemaaf atau alasan pembenar. UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 103

113 dan memutus jenis pidana apa yang tepat dan sebaiknya dikenakan bagi terdakwa anak di bawah umur. Dengan demikian dapat diketahui, bahwa adanya pertimbangan hukum yang diberikan oleh Hakim sebagai dasar dan landasan dalam menjatuhkan pidana terhadap anak nakal adalah merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh Hakim, sehingga putusan yang telah dijatuhkan dapat berlaku secara sah menurut hukum dan mempertimbangkan rasa keadilan tidak hanya terhadap terpidana anak, tetapi juga terhadap kepentingan masyarakat secara umum. Sebelum menguraikan beberapa alasan sebagai dasar pertimbangan hakim dalam menerapkan sanksi pidana dan tindakan dalam masing-masing putusan, terlebih dahulu dikemukakan beberapa alasan sebagai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana dan tindakan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, yaitu : Bagan 2. Analisa Dasar Pertimbangan bagi Hakim PN Semarang dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana dan Tindakan terhadap Anak Dasar Pertimbangan Hakim Pertimbangan Obyektif (Faktor Yuridis) Pertimbangan Subyektif (Faktor Non Yuridis) Pasal Peraturan Perundang-undangan yang menjadi Dasar Hukum dari Putusan Hal-hal yg memberatkan & Hal-hal yg meringankan Latar Belakang Kehidupan Sosial Anak yang terdapat dlm Laporan Penelitian Kemasyarakatan UPT. Perpustakaan Universitas Semarang 104

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peranan strategis yang mempunyai ciri dan sifat khusus yang memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan hidup manusia dimasyarakat yang diwujudkan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, yang berupa perintah atau larangan yang mengharuskan untuk ditaati oleh masyarakat itu. Berkaitan dengan tindak pidana,

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana, karena hakekat dari hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang tindak pidana, yang mengandung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR 51 BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR A. Analisis Terhadap Sanksi Aborsi yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur di Pengadilan Negeri Gresik Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nullum delictun, nulla poena sine praevia lege poenali yang lebih dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Nullum delictun, nulla poena sine praevia lege poenali yang lebih dikenal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu perbuatan hanya dapat dikenakan pidana jika perbuatan itu didahului oleh ancaman pidana dalam undang-undang. Artinya bahwa suatu perbuatan hanya dapat dikenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pada era modernisasi dan globalisasi seperti sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pada era modernisasi dan globalisasi seperti sekarang ini BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pada era modernisasi dan globalisasi seperti sekarang ini menyebabkan pergeseran perilaku di dalam masyarakat dan bernegara yang semakin kompleks. Perilaku-perilaku

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DARI ANAK DIBAWAH UMUR YANG MELAKUKAN PEMBUNUHAN 1 Oleh : Safrizal Walahe 2

Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DARI ANAK DIBAWAH UMUR YANG MELAKUKAN PEMBUNUHAN 1 Oleh : Safrizal Walahe 2 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DARI ANAK DIBAWAH UMUR YANG MELAKUKAN PEMBUNUHAN 1 Oleh : Safrizal Walahe 2 A B S T R A K Ruang lingkup penelitian ini adalah pada disiplin Ilmu Hukum, maka penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi,

I. PENDAHULUAN. mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kompetensi adalah kemampuan untuk melaksanakan satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu pergaulan hidup di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan akan kepastian hukum serta penegakan hukum yang baik demi terwujudnya

Lebih terperinci

PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP. Oleh Rommy Pratama*) Abstrak

PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP. Oleh Rommy Pratama*) Abstrak PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP Oleh *) Abstrak Kondisi perekonomian Indonesia yang belum stabil, keadaan masyarakat yang jauh dari kata sejahtera (unwelfare),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut J.C.T. Simorangkir, S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R.

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R. Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana Disampaikan oleh : Fully Handayani R. Pendahuluan Istilah Hukum Pidana menurut Prof. Satochid mengandung beberapa arti atau dapat dipandang dari beberapa sudut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang 20 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan yang besar. Perubahan tersebut membawa dampak, yaitu munculnya problema-problema terutama dalam lingkungan pada

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan yang besar. Perubahan tersebut membawa dampak, yaitu munculnya problema-problema terutama dalam lingkungan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman di negara ini membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Dalam dasawarsa terakhir ini segi sosial kita mengalami perubahan yang besar. Perubahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Syarifa Yana Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Riau Kepulauan Di dalam KUHP dianut asas legalitas yang dirumuskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : Putusan Pengadilan adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN. lembaga yang berwenang kepada orang atau badan hukum yang telah

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN. lembaga yang berwenang kepada orang atau badan hukum yang telah BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN A. Pidana dan Pemidanaan 1. Pengertian Pidana Pidana merupakan suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan oleh lembaga yang berwenang kepada orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban. Berkaitan dengan

I. PENDAHULUAN. berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban. Berkaitan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu persoalan yang muncul dipermukaan dalam kehidupan ialah tentang kejahatan pada umumnya terutama mengenai kejahatan dan kekerasan. Masalah kejahatan merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu usaha untuk mewujudkan tata tertib hukum didalamnya terkandung keadilan, kebenaran dan kesejahteraan

Lebih terperinci

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan perilaku manusia dan kondisi lingkungan pada masa kini semakin tidak menentu. Perubahan tersebut bisa menuju ke arah yang baik atau lebih baik, juga kearah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan

I. PENDAHULUAN. dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Ini berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat negatif lainnya yang menyertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai fitrah dan

Lebih terperinci

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

Bab II TINJAUAN PUSTAKA Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pembentuk Undang-undang kita telah menggunakan kata strafbaar feit dan ada juga yang mempergunakan istilah delik, untuk menyebutkan apa yang kita kenal

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK. keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga

BAB II TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK. keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga BAB II TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK A. Tinjauan Tentang Anak 1. Pengertian Anak Ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian anak di mata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak lain, (WJS. Poerwadarminta,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan 1. Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus untuk melaporkan aneka kriminalitas. di berbagai daerah menunjukkan peningkatan.

BAB I PENDAHULUAN. khusus untuk melaporkan aneka kriminalitas. di berbagai daerah menunjukkan peningkatan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang kejahatan seakan tidak ada habis-habisnya, setiap hari selalu saja terjadi dan setiap media massa di tanah air bahkan mempunyai ruang khusus untuk

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Pengantar Diskusi) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 A. NDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruh yang cukup besar dalam membentuk perilaku seorang anak. 1

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruh yang cukup besar dalam membentuk perilaku seorang anak. 1 BAB 1 PENDAHULUAN I. Latar Belakang Anak adalah masa depan suatu bangsa sebagai tunas dan potensi yang mempunyai peran untuk menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Anaklah yang

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional RKUHP (RUUHP): Politik Pembaharuan Hukum Pidana (1) ARAH PEMBANGUNAN HUKUM

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembunuhan Berencana Pembunuhan dengan rencana terlebih dahulu atau disingkat pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. mencari untung. Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa

II TINJAUAN PUSTAKA. mencari untung. Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Penipuan Penipuan berasal dari kata tipu, yang berarti perbuatan atau perkataan yang tidak jujur, bohong, atau palsu dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali,atau

Lebih terperinci

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP)

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP) PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP) Oleh : Ketut Yoga Maradana Adinatha A.A. Ngurah Yusa Darmadi I Gusti Ngurah Parwata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dijaga untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan berpartisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga dan diperhatikan harkat, martabat dan hak-hak anak sebagai manusia seutuhnya. Hak yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perbuatan dan Sifat melawan Hukum I. Pengertian perbuatan Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap gerak otot yang dikehendaki,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan

I. PENDAHULUAN. pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan masyarakat terlihat pada lembaga yang ada pada masyarakat tersebut, baik itu lembaga di bidang ekonomi, sosial, budaya, teknologi maupun hukum. Untuk meningkatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, bukan saja dalam skala nasional, tetapi juga regional bahkan global, hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu dilakukan supaya hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan masyarakat, sehingga berbagai dimensi hukum

Lebih terperinci

Perkembangan Asas Hukum Pidana dan Perbandingan dengan Islam

Perkembangan Asas Hukum Pidana dan Perbandingan dengan Islam Perkembangan Asas Hukum Pidana dan Perbandingan dengan Islam Faiq Tobroni, SHI., MH. Perkembangan Asas Asas Legalitas 1. Dalam Rancangan KUHP, asas legalitas telah diatur secara berbeda dibandingkan Wetboek

Lebih terperinci

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan mempunyai

Lebih terperinci