PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Transkripsi

1 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SIKLUS BELAJAR HIPOTETIKAL DEDUKTIF UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP DAN KETERAMPILAN GENERIK SAINS SISWA PADA MATERI KESETIMBANGAN BENDA TEGAR. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini berkembang sangat cepat, hal ini tentunya memerlukan daya dukung sumber daya manusia yang berkualitas agar dihasilkan tenaga-tenaga yang mampu menjawab semua tantangan dan mampu mengembangkan teknologi untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara serta menguasai ilmu pengetahuan. Untuk itu diperlukan peningkatan dan penyempurnaan penyelenggaran pendidikan nasional yang sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan tersebut. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ditempuh melalui jalur pendidikan, baik itu pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Melalui pendidikan formal pemerintah telah berusaha untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yaitu dengan diterapkannya KTSP sebagai penyempurnaan dari Kurikulum Kompetensi (KBK). Dalam prinsip KTSP kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa, dan siswa diharapkan belajar mandiri dan belajar bekerjasama. Beberapa ciri terpenting dari KTSP adalah sebagai berikut. Pertama, KTSP menganut prinsip fleksibilitas yang harus diimbangi dengan potensi sekolah masing-masing serta pemenuhan standar isi seperti digariskan Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP). Kedua, KTSP membutuhkan pemahaman dan keinginan sekolah untuk mengurus sendiri tidak hanya untuk manajemen sekolah, tetapi juga rutinitas akademis. Ketiga, guru kreatif dan siswa aktif. Keempat, KTSP dikembangkan dengan menganut prinsip diversifikasi. Artinya, dalam kurikulum ini standar isi dan standar kompetensi lulusan yang dibuat BSNP itu dijabarkan dengan memasukkan muatan lokal, yakni lokal provinsi, lokal kabupaten/kota, dan lokal sekolah. Kelima, KTSP sejalan dengan 1

2 konsep desentralisasi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah (school-based management). Keenam, KTSP tanggap terhadap perkembangan iptek dan seni. Inilah tantangan abad sekarang ini. Ketujuh, KTSP beragam dan terpadu. Walaupun akhirnya ada ujian nasional (UN) yang sangat berguna demi pemetaan kemampuan, bukan penentu kelulusan siswa. Biarkan sekolah menentukan kriteria kelulusan masing-masing, yakni dengan menggabungkan hasil UN dengan ujian sekolah masing-masing. Untuk mengahadapi perkembangan tersebut masyarakat kita harus melek IPA ( Ilmu Pengetahuan Alam ), karena dewasa ini banyak sekali lapangan pekerjaan yang membutuhkan berbagai keterampilan tingkat tinggi, menuntut kemampuan untuk selalu dapat belajar dalam setiap perubahan, bernalar, berfikir kreatif, membuat keputusan, dan kemampuan untuk memecahkan masalah ( Klausner, 1996 ). Oleh karena itu peningkatan mutu penguasaan IPA (fisika) di semua jenjang pendidikan harus selalu diupayakan. Mengahadapi masa depan yang penuh tantangan tersebut, dibutuhkan suatu proses pembelajaran yang tidak hanya memandang proses sains berupa konsep semata, tetapi juga mengajarkan tetapi bagaimana siswa menggunakan/menerapkan konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Namun, pada kenyataannya di lapangan tidak demikian adanya, bahkan para siswa memiliki banyak pengetahuan, tetapi kurang dilatih untuk menemukan pengetahuan, konsep, dan menerapkan ilmu pengetahuan. Berdasarkan paparan di atas, maka diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang tepat dan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran akan lebih bermakna dan informasi yang didapatkan akan bertahan lebih lama, jika ada kaitan antara konsepsi awal siswa dengan konsep baru yang sedang dipelajari (Dahar, 1989). Hal ini sesuai dengan pandangan konstruktivisme, yang mengungkapkan bahwa keberhasilan belajar tidak hanya tergantung pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pengetahuan awal siswa. Belajar melibatkan pembentukan makna oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar dan lakukan. 2

3 Para ahli pendidikan telah berusaha untuk mengembangkan berbagai model pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya mata pelajaran fisika, diantaranya adalah model pembelajaran yang dilandasi pandangan konstruktivisme dari piaget. Menurut pandangan ini, dalam proses pembelajaran siswa belajar membangun pengetahuannya sendiri dan memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah (Dahar, 1989). Salah satu strategi mengajar yang menggunakan pandangan konstruktivisme adalah model pembelajaran siklus belajar (learning cycle). Siklus belajar (learning cycle) dikelompokkan dalam tiga tipe, yaitu deskriptif (descriptive), empirical-abduktif (empirical-abductive), dan hipotetikal-deduktif (hypothetical-deductive). Perbedaan penting yang ada di antara ketiganya hanya pada tingkat usaha siswa untuk mendeskripsikan sifat sifat atau menggeneralisasikan secara eksplisit dan menguji hipotesis alternatif (Lawson, 1988). Dalam siklus belajar hipotetikal-deduktif, siswa belajar mulai dengan pernyataan sebab?. Selanjutnya siswa diminta untuk merumuskan kemungkinan jawaban (hipotesis) atas pernyataan tersebut. Kemudian siswa diminta untuk menurunkan konsekwensi-konsekwensi logis dari hipotesis dan merencanakan serta melakukan eksperimen (eksplorasi). Analisis hasil eksperimen menyebabkan beberapa hipotesis ditolak, sedang yang lainnya diterima (fase pengenalan konsep). Sehingga akhirnya konsep-konsep yang relevan dan pola-pola penalaran yang terlibat didiskusikan, dan diterapkan pada situasi yang lain dikemudian hari (aplikasi konsep). Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006 dipilih materi kesetimbangan benda tegar yang diajarkan di kelas 2 semester pertama. Alasan pemilihan materi ini karena masalah kesetimbangan benda tegar banyak sekali dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, namun pada kenyataannya masih sulit dipahami oleh siswa karena masih ada kesalahan memahami konsep sejak awal. Dengan demikian agar siswa dapat memahami konsep-konsep dan hukum-hukum fisika khususnya kesetimbangan benda tegar, maka perlu diadakan penelitian untuk mencari model pembelajaran yang sesuai sebagai upaya untuk 3

4 meningkatkan pemahaman konsep siswa. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menerapkan pembelajaran model siklus belajar hipotetikal deduktif agar lebih dapat meningkatkan keterampilan generik sains dan penguasaan konsep siswa. Penelitian terhadap pembelajaran model siklus belajar, untuk mengetahui perubahan konseptual IPA yang didasarkan pada pendekatan konstruktivisme telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, diantaranya oleh Hulya Yilmaz, Pinar Huyuguzel Cavas (2004), hasilnya penerapan Siklus belajar lebih berhasil dibanding siswa yang diajarkan dengan pendekatan tradisional. Terdapat juga perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok menyangkut sikap mereka terhadap sain setelah perlakuan. Metode Siklus belajar Sain menghasilkan sikapsikap yang lebih positif terhadap sain dibandingkan dengan metode tradisional. Selanjutnya Salih Ates (2005), Hasilnya metode siklus belajar terbukti secara statistik signifikan untuk mengajarkan banyak konsep dan beberapa aspek yang menyangkut rangkaian hambatan DC tetapi bukan untuk mengajarkan konservasi arus dan menjelaskan aspek-aspek mikroskopis dari arus yang mengalir dalam suatu rangkaian. Pada tahun 2007, Paul Williams mempublikasikan hasil penelitiannya bahwa memasukan siklus belajar kedalam petunjuk mengajar telah terbukti menjadi metode yang efektif untuk merubah konsepsi fisik siswa pada pokok bahasan hukum Newton. Selain dari jurnal diatas, penelitian yang dilakukan oleh Tatang (2005), tentang penerapan model siklus belajar pada konsep getaran dan gelombang, hasilnya pembelajaran menggunakan model siklus belajar dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa. Sejauh ini belum ada penelitian tentang penggunaan model siklus belajar untuk meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan generik sains siswa pada materi kesetimbangan benda tegar Berdasarkan hal di atas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul Penerapan model pembelajaran siklus belajar hipotetikal deduktif untuk meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan generik sains siswa pada materi kesetimbangan benda tegar. 4

5 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan utama pada penelitian ini adalah: Apakah penerapan model pembelajaran siklus belajar hipotetikal deduktif dapat lebih meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan generik sains siswa dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional pada materi kesetimbangan benda tegar? Rumusan masalah ini dijabarkan menjadi pertanyaan - pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana peningkatan pemahaman konsep dan keterampilan generik sains siswa setelah diterapkan model siklus belajar hipotetikal deduktif? 2. Bagaimana perbedaan peningkatan pemahaman konsep dan keterampilan generik sains siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol? 3. Bagaimana tanggapan siswa dan guru tentang pembelajaran materi kesetimbangan benda tegar dengan model siklus belajar hipotetikal deduktif? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk meningkatan penguasaan konsep dan keterampilan generik sains siswa melalui model siklus belajar hipotetikal deduktif. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1. Memperoleh gambaran tentang peningkatan pemahaman konsep dan keterampilan generik sains siswa setelah diterapkan model siklus belajar hipotetikal deduktif. 2. Memperoleh gambaran tentang terjadinya perbedaan peningkatan pemahaman konsep dan keterampilan generik sains siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. 3. Mengungkap tanggapan siswa dan guru terhadap pembelajaran materi kesetimbangan benda tegar dengan model siklus belajar hipotetikal deduktif. D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan dan referensi bagi guru fisika dalam merencanakan pembelajaran fisika khususnya konsep kesetimbangan benda tegar. 5

6 2. Sebagai suatu informasi yang penting tentang penerapan model siklus belajar hipotetikal deduktif dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan penguasaan konsep pada materi kesetimbangan benda tegar. 3. Membantu siswa untuk lebih memahami konsep fisika secara utuh dan benar untuk menghasilkan hasil belajar yang baik, serta membantu siswa memecahkan masalah kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kesetimbangan benda tegar. E. Asumsi dan Hipotesis 1. Asumsi Penerapan model pembelajaran siklus belajar hipotetikal deduktif diharapkan akan lebih memberikan motivasi kepada setiap siswa untuk terlibat dalam proses penggalian informasi untuk menemukan konsep, mengemukakan gagasan, mendiskusikan hasil-hasil pengamatan dan percobaan. Dengan cara demikian, maka proses pembelajaran dalam upaya meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan generik sains siswa dapat berjalan lebih efektif. 2. Hipotesis a. Penggunaan model siklus belajar hipotetikal deduktif dalam pembelajaran konsep kesetimbangan benda tegar secara signifikan dapat lebih meningkatkan pemahaman konsep siswa dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional ( ) b. Penggunaan model siklus belajar hipotetikal deduktif dalam pembelajaran konsep kesetimbangan benda tegar secara signifikan dapat lebih meningkatkan keterampilan generik sains siswa dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional ( ) 6

7 F. Defenisi Operasional Untuk memberikan konsep yang sama dan menghindari kesalahan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan defensis operasional sebagai berikut ini: 1. Model siklus belajar hipotetikal deduktif diartikan sebagai peserta proses yang sistematis dalam pembelajaran dimana siswa mulai belajar dengan pernyataan sebab? yang merupakan karakteristik yang khas dari model pembelajaran ini. Selanjutnya siswa diminta untuk merumuskan kemungkinan jawaban (hipotesis) atas pernyataan tersebut. Kemudian siswa diminta untuk menurunkan konsekwensi-konsekwensi logis dari hipotesis dan merencanakan serta melakukan eksperimen (eksplorasi). Analisis hasil eksperimen menyebabkan beberapa hipotesis ditolak, sedang yang lainnya diterima (fase pengenalan konsep). Sehingga akhirnya konsep-konsep yang relevan dan pola-pola penalaran yang terlibat dan didiskusikan, diterapkan pada situasi yang lain dikemudian hari (aplikasi konsep). (lawson (1988). Pengukurannya dapat dilakukan melalui format observasi. 2. Pemahaman konsep adalah kemampuan siswa dalam memahami konsepkonsep keseimbangan benda tegar secara ilmiah yang trdapat dalam taksonomi bloom, baik konsep secara teori maupun penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (Dahar, 1996) yang dapat dilihat dari hasil tes awal dan tes akhir siswa 3. Keterampilan generik sains fisika adalah kemampuan dasar (generik sains) yang dapat ditumbuhkan ketika siswa menjalani proses belajar ilmu fisika yang bermanfaat sebagai bekal meniti karir dalam bidang yang lebih luas (Brotosiswoyo, 2001). Ketrampilan generik sains fisika dalam penelitian ini adalah ketrampilan dasar yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran keseimbangan kesetimbangan benda tegar yang mencakup: Dalam penelitian ini keterampilan generik sains yang akan diukur adalah Pengamatan langsung, pengamatan tak langsung, kesadaran akan skala besaran (sense of scale), menggunakan bahasa simbolik, kerangka logika 7

8 taat azas, melakukan inferensi logika, memahami hukum sebab akibat dan membuat pemodelan matematik. Pengukuran keterampilan generik sains ini dapat dilakukan dengan tes awal dan akhir serta format observasi. 4. Model pembelajaran konvensional adalah model belajar yang dilaksanakan dengan pengajaran secara klasikal. Kegiatan belajar lebih berpusat pada guru.guru menyampaikan informasi di depan kelas, siswa mendengarkan penjelasan guru, mencatat dan sedikit bertanya ketika ada penjelasan guru yang kurang dipahami oleh siswa serta latihan soal-soal. 8

9 MODEL SIKLUS BELAJAR HIPOTETIKAL DEDUKTIF PADA MATERI KESETIMBANGAN BENDA TEGAR A. Model Pembelajaran Fisika Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pengajaran dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran atau setting lainnya (Dahlan, 1990). Syah (1999) menyatakan bahwa model pembelajaran merupakan blue print mengajar yang direkayasa sedemikian rupa untuk dijadikan pedoman perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran serta evaluasi belajar. Dalam model pembelajaran tersebut dapat terlihat tahap-tahap kegiatan guru dan siswa yang dikenal dengan istilah sintak pembelajaran. Komponen utama yang secara langsung membentuk model pembelajaran adalah materi subjek yang dibahas, tujuan pembelajaran, sumber belajar, tingkat berpikir siswa, tahap-tahap pembelajaran, strategi dan teknik guru, serta alat evaluasi yang digunakan. Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik IPA adalah model pemrosesan informasi (Liliasari, 1997). Model pemrosesan informasi bertitik tolak dari prinsip-prinsip pengolahan informasi yang diterima oleh individu. Model ini menjelaskan bagaimana cara individu memberi respon yang datang dari lingkungannya, yakni dengan cara mengorganisasi data, memformulasi masalah, membangun konsep dan rencana pemecahan masalah serta penggunaan simbol-simbol verbal dan non verbal (Joyce & Weil, 1992). Fisika sebagai salah satu cabang IPA mengandung pengetahuan deklaratif (produk) dan pengetahuan prosedural (proses), karena itu rumpun model pembelajaran pemrosesan informasi tepat untuk digunakan. B. Teori Konstruktivisme Dalam dunia pendidikan, paradigma lama dalam proses pembelajaran yang dilandasi tabularasanya John Locke yang mengatakan bahwa siswa seperti kertas kosong yang putih bersih dan siap untuk diisi oleh pendidik. Asumsi seperti ini 9

10 mengakibatkan banyak proses pembelajaran berlangsung seolah-olah merupakan proses pemindahan pengetahuan dari pendidik ke siswa. Paradigma baru dalam dunia pendidikan telah berubah. Banyak kajian dan hasil riset yang menunjukkan bahwa pembelajaran dapat optimal apabila pengetahuan dibentuk dan dikembangkan oleh siswa. Siswa membangun pengetahuan secara aktif, pendidik berperan sebagai fasilisator, sebagaimana yang terungkap dalam teori konstruktivisme. Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide, yaitu siswa harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman nyata. Tujuan pembelajaran konstruktivisme ini ditentukan pada bagaimana belajar, yaitu menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktifitas kreatif produktif dalam konsteks nyata yang mendorong siswa untuk berfikir. Menurut Johnson (2002), pendekatan kontekstual dapat membantu siswa mengembangkan potensi intelektualnya, pendekatan kontekstual mengajarkan langsung langkah-langkah yang dapat digunakan dalam berpikir kritis dan kreatif, memberikan kesempatan pada siswa untuk menggunakan keahlian berpikir dalam tingkat yang lebih tinggi ini dalam dunia nyata. Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasi suatu informasi komplek ke situasi lain, dengan dasar ini pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, memberikan kesempatan pada siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan 10

11 menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar (Syaiful S, 2006). Hal ini sesuai dengan tujuan tentang lingkup konstruktivisme dalam pembelajaran, pada dasarnya ada beberapa tujuan yang ingin diwujudkan antara lain : 1. Memotivasi siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri. 2. Mengembangkan keterampilan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri jawabannya. 3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian atau pemahaman konsep secara lengkap. 4. Mengembangkan keterampilan berpikir siswa,(yatim R, 2006). C. Model Siklus Belajar Hipotetikal deduktif Siklus belajar (Learning Cycle) merupakan suatu strategi atau model pembelajaran yang berlandaskan pada pandangan konstruktivis. Menurut Karplus (1980) siklus belajar dapat memperluas dan meningkatkan taraf berpikir. Model ini pertama kali dikemukakan oleh Science Curriculum Improvement Study (CSIS) USA pada tahun Lawson (1988) mengklasifikasikan model siklus belajar ini ke dalam tiga tipe yaitu deskriptif, abduktif empiris dan hipotetikal deduktif. Perbedaan penting di antara ketiganya adalah tingkat kemampuan siswa dalam usaha menggambarkan sifat atau secara eksplisit menghasilkan dan menguji hipotesishipotesis alternatif. Ketiga tipe ini menempatkan kebutuhan yang berbeda-beda terhadap inisiatif siswa, pengetahuan dan skill-skill berpikir. Menyangkut pemikiran siswa, siklus pembelajaran deskriptif umumnya hanya mengharuskan pola-pola deskriptif (misalnya klasifikasi, konversi), sedangkan siklus belajar hipotetikal deduktif menghendaki penggunaan pola-pola berpikir tingkat tinggi (misalnya mengendalikan variabel, penalaran konvensional dan penalaran hipotetikal deduktif ). 11

12 1. Siklus belajar deskriptif Dalam siklus pembelajaran deskriptif, siswa menemukan dan menggambarkan pola empiris dalam konteks spesifik (eksplorasi). Guru memberikan nama (pengenalan istilah), kemudian mengidentifikasi pola-pola dalam konteks tambahan (aplikasi konsep). Jenis siklus pembelajaran ini disebut deskriptif karena siswa dan guru menggambarkan apa yang mereka amati tanpa berusaha menjelaskan observasi-observasinya. Siklus pembelajaran deskriptif menjawab pertanyaan Apakah? tetapi tidak memunculkan pertanyaan kausal Mengapa? 2. Siklus belajar Abduktif-empiris Siklus belajar abduktif empiris bersifat intermediate (antara), menghendaki pola-pola penalaran deskriptif tetapi pada umumnya melibatkan pula pola-pola berpikir tingkat tinggi. Dalam siklus belajar abduktif empiris siswa menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konsep khusus (eksplorasi), mereka selanjutnya mengemukakan sebab-sebab yang mungkin tentang terjadinya pola-pola itu. Hal ini melibatkan abduksi yaitu penggunaan penalaran analogi untuk memindahkan atau meminjamkan konsep-konsep atau gagasan dari pengalaman masa lampau yang telah dipelajari dalam kontekskonteks lain pada konteks baru (pengenalan konsep), untuk mendapatkan hipotesis yang diinginkan. Konsep-konsep ini dapat diperkenalkan oleh siswa, guru atau kedua-duanya. Dengan bimbingan guru, siswa menganalisis data yang dikumpulkan selama fase eksplorasi untuk melihat apakah sebab-sebab yang dihipotesiskan ajek dengan data fenomena lain yang dikenal (aplikasi konsep). Pembelajaran yang dimulai dengan pertanyaan apakah dan diikuti dengan pembuatan hipotesa untuk mengemukakan penyebab kemudian menguji penyebab tersebut,disebut siklus belajar abduktif empiris. 3. Siklus belajar Hipotetikal-dediktif. Dalam siklus belajar hipotetikal deduktif siswa belajar mulai dengan pernyataan berupa pertanyaan sebab?. Siswa diminta untuk merumuskan 12

13 kemungkinan jawaban (hipotesis) atas pernyataan tersebut. Kemudian siswa diminta untuk menurunkan konsekuensi-konsekuensi logis dari hipotesis dan merencanakan serta melakukan eksperimen (eksplorasi). Analisis hasil eksperimen menyebabkan beberapa hipotesis ditolak, sedang yang lainnya diterima (pengenalan konsep). Akhirnya konsep-konsep yang relevan dan polapola penalaran yang terlibat dan didiskusikan, diterapkan pada situasi yang lain dikemudian hari (aplikasi konsep). Perumusan secara eksplisit dan pengujian hipotesis melalui perbandingan deduksi logis dengan hasil empiris merupakan hal yang diperlukan dalam pemikiran hipotesis deduktif (Lawson, 1989). Pemikiran Lawson digambarkan dalam tabel 1. berikut : I EKSPLORASI Tabel 1. Model siklus Belajar Hipotetikal deduktif (Lawson, 1989) TAHAPAN SIKLUS BELAJAR II PENGENALAN KONSEP III APLIKASI Kegiatan siswa Kegiatan siswa Kegiatan siswa Siswa melakukan Siswa diperkenalkan Konsep-konsep yang eksplorasi terhadap konsep formal yang relevan dan pola-pola suatu objek dan mendasri peristiwa penalaran yang terlibat mengajukan pertanyaan sesuatu objek yang dan didiskusikan, sebab? dari suatu diamati. Berdasarkan diterapkan pada situasi fenomena, pengamatan, pengamatan dan lain untuk membuktikan atau kejadian disekitar pengenalan konsep formal hipotesis: menerima, tersebut siswa menolak atau merevisi mengajukan hipotesis hipotesis. jika...maka... Pemikiran hipotesis deduktif didefenisikan sebagai pola pemikiran yang didalamnya menghasilkan ide-ide secara intuitif yang diajukan sebagai hipotesis, konsekuensi-konsekuensi deduksinya, dan bukti-bukti yang dibandingkan dengan konsekuensi deduksi untuk menerima atau menolak hipotesis dan bila perlu menggantinya dengan hipotesis yang baru (Lawson., et.al., 1991). Hipotesis 13

14 merupakan suatu pernyataan tentang hubungan yang diduga antara variabelvariabel. Hubungan itu dapat dapat bersifat korelatif sebab akibat (suatu perlakuan X mengakibatkan perubahan dalam Y (Dahar, 1989). Berpikir deduktif ialah proses berpikir untuk mengambil kesimpulan berdasarkan data umum atau perkiraan-perkiraan umum untuk menjelaskan halhal khusus (Poedjiadi, 2001). Pemikiran hipotesis deduktif melibatkan suati hypothesis driven deductive inquiry yang didalamnya terdapat hubungan kausal tentatif antara variabel-variabel sebagai usaha dalam menguji hipotesis (yore, 1993). Selanjutnya dikemukakan oleh Kaplan (1963) bahwa pemikiran hipotesis deduktif merupakan suatu metoda yang membentuk seseorang yang menjadi ahli sains. Pola pemikiran hipotesis deduktif adalah if...and...then...therefore..(lawson, 1989). Jika dikaitkan dengan pengetahuan prosedural, pola pemikiran hipotesis deduktif ini dapat disamakan dengan urutan aksi pola jika...maka..., kedua pola tersebut melibatkan kasi-aksi, baik aksi mental, aksi fisik, atau kedua-duanya. Untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan seseorang harus melaksanakan satu seri langkah-langkah dengan urutan yang benar. Di bawah ini model hipotesis deduktif yang dikembangkan oleh Lawson, Karplus (1978), Shymansky (1980), dan Yore (1981) (dalam Yore : 1993) : Eksplorasi, penemuan masalah dan pengajuan pertanyaan (identifikasi dan klarifikasi) hipotesis Merencanakan, melakukan eksperimen dan mengumpulkan data Ekspektasi Jika H benar Membandingkan Jika H salah Melakukan observasi dan pengukuran Membuat keputusan : mendukung hipotesis, atau menolak dan merevisi hipotesis Gambar 2. Model Hipotetikal deduktif (Yore, 1993) 14

15 Model siklus belajar hipotesis deduktif pada gambar di atas menunjukkan langkah-langkah yangharus dilakukan jika seseorang melakukan pemikiran hipotesis deduktif. Secara lebih rinci langkah-langkah model siklus belajar hipotesis deduktif dijelaskan sebagai berikut ini: 1. a. Mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan permasalahan yang ditemukan pada pengamatan/penyelidikan awal, memberikan pertanyaan atas permasalahan tersebut. b. Merumuskan hipotesis berdasarkan data dari pengamatan awal. 2. Setelah hipotesis dirumuskan, kemudian meramalkan data yang mungkin terjadi secara teoritis dengan mengasumsikan hipotesis benar atau salah. 3. Untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan, kemudian memutuskan metoda eksperimen dan metoda pengumpulan data yang cocok dengan permasalahan. 4. a. Setelah diputuskan metode eksperimen, kemudian melakukan observasi dan pengukuran untuk mengumpulkan data. b. Data yang diperoleh dari hasil observasi dibandingkan dengan data yang diramalkan dengan asumsi hipotesis benar atau salah. c. Dari hasil perbandingan tersebut, kemudian mengambil keputusan menerima atau menolak hipotesis dan kemudian memperbaiki hipotesis. Dalam pemikiran hipotesis deduktif, secara eksplisit dikembangkan strategi kognitif hipotesis deduktif. Strategi hipotesis deduktif ini merupakan perkembangan kognitif dimana kebermaknaan strategi kognitif khas bagi setiap orang. Strategi kognitif hipotesis deduktif dapat dikembangkan melalui proses pengorganisasian (organizing process). Pengorganisasian proses adalah cara seseorang mengubah pengetahuan lama dan memperoleh pengetahuan baru. Proses pengorganisasian ini meliputi kemampuan untuk membuat dan mengenal pola serta kemampuan membuat perbandingan. Kemampuan-kemampuan tersebut ditunjukkan dalam gambar di bawah ini: 15

16 Pola mental Pengetahuan awal Kemampuan membuat dan mengenal pola Kemampuan menyimpulkan Kemampuan Fenomena yang mendukung Ekspektasi Observasi membandingkan Gambar 3. Proses pengorganisasian (organizing process) (Lawson, 1979) Pola mental muncul dari pengetahuan sebelumnya dan fenomenafenomena baru yang relevan dengan hal-hal yang diketahuinya melalu kemampuan membuat dan mengenal pola. Kemudian pola yang telah terbentuk dihubungkan dengan hasil-hasil yang mungkin berdasrkan ekspektasi terhadap pola tersebut. Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan ekspektasi dibandingkan dengan data hasil observasi. Proses pengorganisasian meliputi tiga fase dasar, yaitu (1) eksplorasi hal-hal baru, (2) penemuan pola dan (3) pengujian pola. (Lawson 1980). Siklus belajar terdiri dari tiga fase yakni fase eksplorasi (exploration), fase pengenalan konsep (concept introduction) dan fase aplikasi konsep (concept application). Secara sederhana pembelajaran model siklus belajar dapat digambarkan sebagai berikut: 16

17 EKSPLORASI APLIKASI KONSEP PENGENALAN KONSEP Gambar 4 Model Siklus Belajar Fase-fase pembelajaran model siklus belajar: 1. Fase Eksplorasi Dalam tahap eksplorasi guru berperan secara tidak langsung. Guru merupakan pengamat yang telah siap dengan berbagai pertanyaan guna membantu siswa dalam mencari dan mengumpulkan fakta. Selama fase eksplorasi siswa belajar melalui kegiatan dalam situasi baru, mereka menggali bahan-bahan atau gagasan baru dengan sedikit bimbingan dari guru. Pengalaman baru harus memunculkan pertanyaan yang tidak dapat mereka pecahkan dengan cara-cara berpikir biasa. Siswa diberi kesempatan untuk mengidentifikasi suatu peristiwa atau situasi, pengalaman ini dapat dilakukan di dalam kelas, di laboratorium atau lapangan. Siswa belajar terlibat langsung menyelidiki obyek-obyek, peristiwa atau keadaan. Selama pengalaman ini siswa akan memantapkan hubunganhubungan, mengamati pola-pola, mengidentifikasi variabel-variabel dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dipecahkan dengan gagasan atau polapola penalaran yang biasa digunakan. Tujuannya adalah untuk memberi kesempatan kepada siswa menerapkan pengetahuan awalnya, mengembangkan minat, dan membangkitkan serta memelihara rasa ingin tahu terhadap bendabenda yang diamati. Fase ini memungkinkan terjadinya miskonsepsi. Dengan demikian akan timbul pertentangan atau suatu analisis tentang gagasan-gagasan yang 17

18 dikemukakan sebagai hasil eksplorasi mereka. Analisis tersebut dapat menggiring siswa pada identifikasi suatu pola keteraturan dalam fenomena yang diselidiki. Tujuan utama fase eksplorasi adalah untuk memantapkan secara mental suatu konsep yang diperkenalkan. 2. Fase Pengenalan Konsep Fase pengenalan konsep adalah fase dimana guru mengumpulkan informasi dari siswa yang berkaitan dengan pengalaman mereka selama fase eksplorasi. Dengan menggunakan berbagai metode dan media guru menjelaskan konsep-konsep. Fase ini bertujuan mengenalkan konsep baru dan sekaligus pemantapan tentang suatu konsep. Beragam strategi mengajar dapat digunakan untuk mengenalkan konsep misalnya melalui demonstrasi, penayangan film, textbook, dan perpustakaan. Fase ini berkaitan langsung dengan eksplorasi awal dan memperjelas konsep-konsep utama bagi pembelajaran. Kalau pada eksplorasi bimbingan langsung guru sangat kurang, maka pada fase ini bimbingan guru sangat besar. 3. Fase Aplikasi Konsep Fase aplikasi konsep, dimaksudkan mengajak siswa untuk menerapkan konsep pada contoh kejadian yang lain, dapat juga dengan cara mendemonstrasikan suatu percobaan tertentu berkaitan dengan konsep yang dipelajari. Tujuan pembelajaran adalah agar siswa dapat menggeneralisasi dan mentransfer pemahaman ke dalam contoh-contoh lain sebagai ilustrasi bagi konsep-konsep utama. Dalam fase ini pada siswa sangat mungkin terjadi adanya regulasi diri atau equilibrasi atau reorganisasi mental dari konsep-konsep. Lawson (1988) mengemukakan langkah-langkah dalam mempersiapkan dan menerapkan siklus belajar hipotetikal-deduktif : 1. Guru, mengidentifikasi konsep atau konsep-konsep yanng akan diajarkan. 2. Guru, mengidentifikasikan gejala-gejala yang melibatkan pola atau yang gejala-gejala itu mendasari konsep. 18

19 3. Fase eksplorasi : siswa menemukan gejala-gejala yang menimbulkan pertanyaan penyebab, atau guru yang mengajukan pertanyaan sepintas. 4. Dalam kelas diskusi, hipotesis diajukan, dan siswa lain mendiskusikan dalam kelompoknya untuk menyimpulkan maksud dan desain eksperimen atau langkah yang telah dikerjakan dalam kelas diskusi. 5. Siswa melakssanakan eksperimen. 6. Fase pengenalan istilah: data dibandingkan dan dianalisis, istilah-istilah dikenalkan, dan kesimpulan disusun. 7. Fase penerapan konsep: gejala tambahan yag melibatkan konsep-konsep sama didiskusikan atau dicari. Lawson (1988) mengemukakan penggunaan siklus pembelajaran yang benar akan memungkinkan terjadinya hal berikut : 1. Dapat membangun seperangkat konsep yang bermakna dan berguna dan sistem konseptual. 2. Mengembangkan skill dalam menggunakan pola-pola berpikir yang penting untuk berpikir mandiri, kreatif dan kritis. 3. Memperoleh kepercayaan diri dalam kemampuan mereka menerapkan pengetahuan mereka untuk belajar, memecahkan masalah dan membuat keputusan-keputusan yang cermat. Berdasarkan pendapat Lawson di atas penggunaan model siklus abduktif empiris dapat meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa. D. Pemahaman Konsep Menurut Bloom (1979), pemahaman didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyerap arti dari materi atau bahan yang dipelajari. Pemahaman merupakan hasil proses belajar mengajar yang mempunyai indikator individu dapat menjelaskan atau mendefinisikan suatu unit informasi dengan kata-kata sendiri. Dari pernyataan ini, siswa dituntut tidak sebatas mengingat kembali pelajaran, namun lebih dari itu siswa mampu mendefinisikan. Hal ini 19

20 menunjukkan siswa telah memahami materi pelajaran walau dalam bentuk susunan kalimat berbeda tetapi kandungan maknanya tidak berubah. Pemahaman meliputi tiga aspek yaitu translasi, interpretasi dan ekstrapolasi. 1. Translasi, meliputi dua keterampilan: (a) menterjemahkan sesuatu dari bentuk abstrak ke bentuk yang lebih kongkret, (b) menerjemahkan suatu simbol kedalam bentuk lain seperti: menerjemahkan tabel, grafik, dan simbol matematik dan sebagainya. 2. Interpretasi, meliputi tiga keterampilan: (a) membedakan antara kesimpulan yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan, (b) memahami kerangka suatu pekerjaan secara keseluruhan, (c) memahami dan menafsirkan isi berbagai macam bacaan. 3. Ekstrapolasi meliputi tiga keterampilan: (a) menyimpulkan dan menyatakannya lebih eksplisit, (b) memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari tindakan yang digambarkan dari sebuah komunikasi, (c) sensitif atau peka terhadap faktor yang mungkin membuat prediksi menjadi akurat. Menurut Rosser (dalam Dahar, 1996) konsep adalah suatu yang abstrak mewakili satu kelas obyek-obyek kejadian, kegiatan-kegiatan atau hubunganhubungan yang mempunyai atribut-atribut yang sama. Oleh karena itu, orang mengalami stimulus yang berbeda-beda, orang membentuk konsep sesuai dengan pengelompokan stimulus dengan cara tertentu. Karena konsep itu adalah abstraksi berdasarkan pengalaman dan karena tidak ada dua orang yang memiliki pengalaman yang sama persis, maka konsep yang dibentuk orang berbeda juga. Walau berbeda tetapi cukup untuk berkomunikasi menggunakan nama-nama yang diberikan pada konsep itu yang telah diterima bersamanya. Menurut Dahar (1996), konsep merupakan kategori-kategori yang kita berikan pada stimulus yang ada di lingkungan kita. Konsep menyediakan skema terorganisasi untuk menentukan hubungan di dalam dan di antara kategori-kategori. Konsep merupakan dasar bagi proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip dan generalisasi. Menurut Bloom (1979) pemahaman konsep adalah kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu mengungkapkan suatu materi 20

21 yang disajikan ke dalam bentuk yang lebih dipahami, mampu memberikan interpretasi dan mampu mengaplikasikannya. Pemahaman konsep sangat penting dimiliki oleh siswa yang telah mengalami proses belajar. Pemahaman konsep yang dimiliki oleh siswa dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang ada kaitannya dengan konsep yang dimiliki. Dalam pemahaman konsep siswa tidak terbatas hanya mengenal tetapi siswa harus dapat menghubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya. E. Ketrampilan Generik sains Fisika Ketrampilan generik sains merupakan ketrampilan dasar yang dapat dimiliki siswa ketika mengalami proses pembelajaran di sekolah. Hal ini dapat diperoleh siswa melalui proses pembelajaran dengan beberapa model yang diberikan. Menurut Brotosiswoyo (2001) ada delapan ketrampilan generik sains yang dapat diperoleh siswa ketika mengikuti pembelajaran yang diberikan, akan tetapi tidak semuanya dapat diperoleh dari suatu proses pembelajaran. Ketrampilan ini ditentukan oleh model pembelajaran yang digunakan dan materi pelajaran yang disajikan. Ketrampilan itu adalah : (a). pengamatan (observasi), (b) penentuan skala besaran, (c) bahasa simbolik, (d) kerangka logika taat azas, (e) inferensi logika, (f) hukum sebab akibat, (g) pemodelan matematik dan (h) membangun konsep. a. Pengamatan langsung Pengamatan langsung adalah mengamati objek secara langsung dengan menggunakan alat indera. Sebagai contoh, ketika kita menimbang gula pasir pada timbangan. Contoh lain, ketika kita melihat tukang emas menimbang emas. Aspek pendidikan yang dapat muncul dari pengamatan adalah kesadaran akan batas-batas ketelitian yang dapat diwujudkan dan sikap jujur terhadap hasil pengamatan. Baik indera kita maupun alat bantu yang kita gunakan dalam pengamatan mengandung keterbatasan, dan itulah sebabnya kita mengenal "teori ketidakpastian" dalam pengkuran. 21

22 2. Pengamatan tak langsung Pengamatan tak langsung adalah pengamatan yang menggunakan alat bantu karena keterbatasan alat indera kita. Penggunaan mikrometer sekrup untuk mengukur diameter kelereng merupakan salah satu contoh pengamatan tak langsung. 3. Kesadaran akan skala besaran (sense of scale) Fisika membahas peristiwa-peristiwa alam baik dalam ukuran makro maupun mikro. Untuk besaran panjang, fisika membahas ukuran yang sangat besar misalnya tahun cahaya, tetapi juga membahas ukuran panjang yang sangat kecil misalnya ukuran molekul atau atom. Dalam skala waktu, fisika juga membahas ukuran waktu yang sangat kecil seperti lifetime dari pasangan elektron-positron, sebab mata manusia hanya dapat membedakan signal yang muncul kira-kira 1/30 detik. 4. Menggunakan bahasa simbolik Banyak perilaku alam yang tidak dapat diungkapkan dengan bahasa komunikasi sehari-hari, khususnya perilaku yang bersifat kuantitatif. Sifat kuantitatif tersebut menyebabkan adanya keperluan untuk menggunakan bahasa yang kuantitatif juga. Ungkapan koordinat titik tangkap gaya merupakan contoh penggunaan bahasa simbolik. Dalam belajar fisika penggunaan bahasa simbolik sangat membantu dalam mengkomunikasikan ide yang kompleks menjadi lebih sederhana. Yang perlu dicegah mungkin adalah kebiasaan menuliskan bahasa simbolik yang sesungguhnya belum diketahui maknanya. 5. Berpikir dalam kerangka logika taat asas Dalam ilmu fisika diyakini bahwa aturan alam memiliki sifat taat asas secara logika. Contoh pemikiran yang taat asas dalam fisika adalah munculnya teori relativitas Einstein. Sebelum dikemukakan teori relativitas Einstein, terdapat keganjilan antara hukum-hukum mekanika Newton dan hukum Elektrodinamika Maxwell. Elektrodinamika meramalkan bahwa kecepatan 22

23 gelombang elektromagnetik tidak akan terpengaruh oleh gerak sumber maupun pengamatnya, sedangkan menurut mekanika Newton kecepatan benda dapat berkurang atau bertambah sesuai dengan gerak pengamat atau sumbernya. Keganjilan tersebut akhirnya terjembatani oleh teori relativitas Einstein, mengoreksi mekanika Newton agar secara logika keduanya taat-asas. 6. Melakukan inferensi logika secara berarti Dalam fisika dikenal beberapa penemuan partikel-partikel mikro telah didahului oleh dugaan teoritis bahwa partikel-partikel tersebut memang secara matematik ada. Dalam menyampaikan dugaannya para ilmuwan mengandalkan inferensi logika. Contoh dalam kasus ini adalah inferensi logika yang dilakukan setelah munculnya teori relativitas Einstein, yang dengan mempersoalkan kecepatan cahaya, sampai pada kesimpulan bahwa ada ekivalensi antara massa benda dengan energi dengan hubungan E = mc 2. Hasil inferensi logika tersebut akhirnya memang benar-benar terbukti secara empiris. 7. Memahami hukum sebab akibat Sebagian besar dari aturan fisika yang disebut "hukum" merupakan hubungan sebab-akibat. Sebagai contoh hukum Newton tentang gerak,benda akan memberikan gaya reaksi bila padanya diberikan reaksi dimana arahnya berlawanan dengan gaya yang diberikan padanya. Pada kesetimbangan momen gaya sangat ditentukan oleh gaya yang diberikan padanya, bila gaya yang diberikan besar maka momen gayanya juga semakin besar. 8. Membuat pemodelan matematik Banyak ungkapan aturan dalam fisika yang disebut hukum dinyatakan dalam bahasa matematika yang disebut rumus. Rumus-rumus yang melukiskan hukum-hukum alam dalam fisika adalah buatan manusia yang ingin melukiskan gejala dan perangai alam tersebut, baik dalam bentuk kualitatif maupun kuantitatif. Jadi kita dapat menyebutnya sebagai model yang ungkapannya menggunakan bahasa matematika. Pemodelan matematik sering disebut sebagai 23

24 model simbolik karena bersifat abstrak dan dapat diungkapkan secara simbolik berupa rumus. Model dapat pula berupa gambar, program, atau gambaran mental. Pemodelan matematik umumnya bertujuan untuk memperoleh hubungan yang lebih akurat yang berlaku dalam suatu sistem dalam alam. 9. Membangun konsep abstrak yang fungsional, Tidak semua gejala alam dapat dipahami dengan menggunakan bahasa sehari-hari. Kadang kala diperlukan sebuah konsep atau pengertian-pengertian baru yang maknanya tidak ditemukan dalam bahasa sehari-hari. Misalkan momen gaya, yang dibangun dari konsep gaya dan jarak. Sembilan kemampuan generik sains tersebut di atas merupakan kemampuan dasar yang dapat dan perlu ditumbuhkan dalam belajar fisika. Bila kemampuan dasar ini telah dimiliki siswa, dan mereka sering menerapkannya dalam pemecahan masalah maka akan melahirkan kemampuan berpikir yang tingkatnya lebih tinggi, antara lain kemampuan berpikir kreatif, dan berpikir kritis. Dalam penelitian ini keterampilan generik sains yang akan diukur adalah Pengamatan langsung, pengamatan tak langsung, kesadaran akan skala besaran (sense of scale), menggunakan bahasa simbolik, kerangka logika taat azas, melakukan inferensi logika, memahami hukum sebab akibat dan membuat pemodelan matematik. F. Kesetimbangan Benda Tegar Kesetimbangan benda tegar merupakan salah satu pokok bahasan di dalam KTSP pada kelas XI semester 2, dengan standar kompetensi Menerapkan konsep dan prinsip mekanika klasik sistem kontinu dalam menyelesaikan masalah. Adapun kompetensi dasarnya Memformulasikan hubungan antara konsep torsi, momentum sudut, dan momen inersia, berdasarkan hukum II Newton serta penerapannya dalam masalah benda tegar. Secara garis besar kesetimbangan benda tegar memiliki tiga label konsep yaitu: (a) keseimbangan partikel, (b) keseimbangan benda tegar dan (c) titik berat. 24

25 a. Kesetimbangan Partikel Partikel merupakan benda yang sangat kecil dan dianggap sebagai titik. Partikel hanya mengalami gerak translasi maka satu-satunya syarat agar suatu partikel dikatakan seimbang bila resultan gaya yang bekerja pada benda sama x dengan nol. Dapat dinyatakan dengan formula F = 0, dimana F = 0, y z F = 0 dan, F = 0. Jika pada suatu partikel bekerja 3 bauh gaya, maka untuk menyelesaikan kesetimbangan partikel bisa digunakan aturan sinus F 1 F 2 F 3 Gambar 5. Partikel dengan tiga buah gaya yang bekerja b. Kesetimbangan Benda Pada partikel, syarat kesetimbangan adalah dengan benda. Misalnya L, Begitu juga halnya Gambar 6. Batang homogen Pada keadaan ini benda tidak diam tetapi berputar dipercepat karena ada momen gaya yang bekerja sebesar Benda tegar merupakan benda yang tidak mengalami perubahan bentuk akibat pengaruh gaya atau momen gaya. Benda tegar dikatakan seimbang bila : 25

26 Gaya ekternal yang bekerja pada benda sama dengan nol, ΣF = 0. Torsi eksternal neto terhadap setiap titik harus nol, Στ = 0 Momen gaya atau torsi merupakan ukuran efektivitas suatu gaya dalam menghasilkan rotasi benda mengelilingi sumbunya. Besar momen gaya dinyatakan dengan: r r r τ = F = rf sinφ = Fd Dimana τ adalah momen gaya (Nm), F adalah gaya (N) dan d adalah lengan momen (m). Lengan momen adalah jarak tegak lurus antara garis kerja sebuah gaya dan sumbu rotasi. Garis kerja sebuah gaya adalah garis sepanjang mana gaya itu bekerja.φ adalah sudut yang dibentuk antara F dengan r ke titik tangkap gaya τ Gambar 7. Momen gaya Kopel merupakan pasangan dua buah gaya yang sejajar dan sama besar, namun arahnya berlawanan. Besar momen kopel didefinisikan sebagai hasil kali antara gaya dengan jarak antara kedua gaya, dengan formula: M = Fd, dimana M adalah momen kopel (Nm), F adalah gaya (N),dan d jarak antara kedua gaya tegak lurus terhadap gaya (m). 26

27 Gambar 8. Momen kopel Momen kopel bertanda positif bila perputarannya searah jarum jam seperti terlihat pada gambar 8a dan bertanda negatif bila perputarannya berlawanan arah jarum jam seperti pada gambar 8b. c. Titik Berat Titik berat benda adalah titik di mana berat total sebuah benda bekerja sehingga torsi yang dihasilkannya terhadap sembarang titik sama dengan torsi yang dihasilkan oleh berat masing-masing partikel yang membentuk benda tersebut. Koordinat titik berat dapat dinyatakan dengan x pb = w n w x n n, dan y pb = w n w y n n Gambar 9. Penentuan titik berat d. Jenis Kesetimbangan Benda dapat mengalami dua jenis keseimbangan yaitu keseimbangan statik (dalam keadaan diam) dan keseimbangan dinamik (bergerak dengan kecepatan konstan). Keseimbangan statik adalah keseimbangan yang dialami benda dalam keadaan diam. Keseimbangan ini dibedakan atas keseimbangan stabil, keseimbangan labil dan keseimbangan indeferen. Sedangkan 27

28 keseimbangan dinamik yaitu keseimbangan ketika bergerak dengan kecepatan konstan. Keseimbangan ini terdiri dari keseimbangan translasi dan keseimbangan rotasi. 28

29 METODOLOGI PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen, yakni pretest-posttest equivalent groups design, dengan desain penelitian berbentuk: Tabel 1 Desain Penelitian Pretest Perlakuan Postest O X O O Y O (Best, J.W., 1978: 107) Keterangan : X = Model pembelajaran siklus belajar hipotetikal deduktif. Y = Model pembelajaran konvensional. O = Tes untuk mengukur penguasaan konsep dan ketrampilan generik sains Penelitian ini dilaksanakan di salah satu SMA Negeri kota Palembang. Secara garis besar tahap-tahap penelitian dikelompokkan menjadi lima langkah yaitu memilih masalah yang akan dikaji, studi literatur, penyusunan instrumen, implementasi model pembelajaran siklus belajar hipotetikal deduktif dan terakhir adalah analisis data dan kesimpulan. Adapun langkah-langkah penelitian tersebut ditunjukkan pada alur penelitian, seperti ditunjukkan pada Gambar

30 Masalah Perumusan Masalah Studi Literatur Kajian ketrampilan generik sains fisika dan analisa konsep Kajian dan analisa kurikulum Penyusunan Instrumen Ujicoba dan Validasi Instrumen Kelompok Kontrol Tes Awal (Pretes) Kelompok Eksperimen Model Pembelajaran konvensional Tes Akhir (Postes) Model Pembelajaran Siklus Belajar Hipotetikal Deduktif Observasi Analisa Data Wawancara & angket Temuan Kesimpulan Gambar 6. Alur Penelitian 30

31 B. Subjek Penelitian Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XI, salah satu SMA Negeri 11 Palembang yang terdiri dari tiga kelas. Sampel penelitian dipilih secara random untuk dua kelas, kelas eksperimen dan kelas kontrol. Jumlah siswa di kelas eksperimen adalah 43 orang dan kelas kontrol 42 orang. C. Prosedur Penelitian Tahap penelitian dimulai dengan persiapan, penjajagan, penerapan model pembelajaran, analisis data penelitian dan laporan hasil penelitian. Tahapantahapan tersebut diurutkan sebagai berikut. 1. Tahapan persiapan Pada tahapan persiapan, model pembelajaran yang akan diterapkan dan pokok bahasan keseimbangan benda tegar dipelajari, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan instrumen penelitian berupa satuan pembelajaran, rencana pembelajaran, lembar kerja siswa, tes penguasaan konsep, tes kemampuan generik sains, lembaran observasi ddan pedoman wawancara. Instrumen ini didiskusikan dengan pakar. Tes penguasaan konsep akan diujicobakan pada kelas XII SMA Negeri kota Palembang yang telah mempelajari pokok bahasan keseimbangan benda tegar. 2. Tahap penjajagan Tahapan ini dimulai dengan mengunjungi Dinas Pendidikan Kabupaten untuk meminta izin pelaksanaan penelitian dengan menyerahkan surat izin penelitian. Selanjutnya mengunjungi sekolah tempat penelitian dengan menyerahkan rekomendasi izin dari Dinas Pendidikan Kabupaten kepada kepala sekolah dan wakil bidang kurikulum. Tahap berikutnya berdiskusi dengan guru fisika kelas XI IPA tentang model pembelajran siklus belajar hipotetikal deduktif dan sekaligus menetapkan jadwal penelitian dan kelas yang menjadi sampel penelitian. 31

32 3. Tahap pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan, dilakukan implementasi model pembelajaran yang telah dituangkan dalam rencana pembelajaran dengan jadawal kegiatan tercantum pada tabel 2. Tabel 2 Jadwal Kegiatan Penelitian No Hari/ TAnggal Kegiatan Keterangan 1. Hari, Maret Hari, Maret Hari, Maret Hari, April 2009 Hari, April 2009 Uji coba soal-tes Kelas XII IPA - Pretes -Pelaksanaan Kelas Kontrol XI IPA 2 pembelajaran model konvensional.(1) -Pelaksanaan Kelas Eksperimen XI IPA 3 pembelajaran Model siklus belajar hipotetikal deduktif (1) -Pelaksanaan pembelajaran model Kelas Kontrol XI IPA 2 konvensional.(2) -Pelaksanaan Pembelajaran Model Kelas Eksperimen XI IPA 3 siklus belajar hipotetikal deduktif (2) -Pelaksanaan Kelas Kontrol XI IPA 2 pembelajaran model konvensional.(3) -Pelaksanaan Pembelajaran Model siklus belajar hipotetikal deduktif (3) -Pelaksanaan pembelajaran model Kelas Eksperimen XI IPA 3 Kelas Kontrol XI IPA 2 32

33 6. Hari, April 2009 konvensional.(4) -Pelaksanaan Pembelajaran Model siklus belajar hipotetikal deduktif (4) -Postes -Kuisioner siswa -Kuisioner guru -Wawancara guru Kelas Eksperimen XI IPA 3 Kelas Kontrol XI IPA 2 Kelas Eksperimen XI IPA 3 Kelas Kontrol XI IPA 2 Kelas Eksperimen XI IPA 3 Guru fisika kelas XI D. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian terdiri dari satuan rencana pelaksanaan pembelajaran, soal tes, kuesioner, pedoman wawancara, dan lembaran observasi. 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Rencana Pelaksanaan Pembelajaran disusun bedasarkan pedoman kurikulum dan disesuaikan dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator materi pembelajaran dan waktu yang tersedia. 2. Soal tes Tes digunakan untuk mengukur penguasaan konsep siswa, sebelum dan sesudah mengikuti pembelajaran. Selain itu tes digunakan juga untuk mengetahui tingkat kemampuan generik sains siswa yang dapat dikuasai. 3. Kuesioner Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang tanggapan siswa dan guru terhadap implementasi model pembelajaran siklus belajar hipotetikal deduktif. Bentuk pertanyaan dan pernyataan yang terdapat pada kuesioner berupa pilihan jawaban. Jumlah pertanyaan dan pernyataan disesuaikan dengan aspek yang diukur. 33

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini berkembang sangat cepat,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini berkembang sangat cepat, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini berkembang sangat cepat, hal ini tentunya memerlukan daya dukung sumber daya manusia yang berkualitas agar dihasilkan

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL PEMBELAJAR AN SIKLUS BELAJAR HIPOTETIK DEDUKTIF UNTUK MENINGKATKAN PEMAH AM AN KONSEP SISWA SMA PAD A MATERI KESEIMBANGAN BENDA TEGAR

PENERAPAN MODEL PEMBELAJAR AN SIKLUS BELAJAR HIPOTETIK DEDUKTIF UNTUK MENINGKATKAN PEMAH AM AN KONSEP SISWA SMA PAD A MATERI KESEIMBANGAN BENDA TEGAR PENERAPAN MODEL PEMBELAJAR AN SIKLUS BELAJAR HIPOTETIK DEDUKTIF UNTUK MENINGKATKAN PEMAH AM AN KONSEP SISWA SMA PAD A MATERI KESEIMBANGAN BENDA TEGAR Taufiq FKIP Universitas Sriwijaya ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan konstruksi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan konstruksi 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Menurut Glasersfeld (Sardiman, 2007) konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan konstruksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. keterampilan-keterampilan tertentu yang disebut keterampilan proses. Keterampilan Proses menurut Rustaman dalam Nisa (2011: 13)

II. TINJAUAN PUSTAKA. keterampilan-keterampilan tertentu yang disebut keterampilan proses. Keterampilan Proses menurut Rustaman dalam Nisa (2011: 13) 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis 1. Keterampilan Berkomunikasi Sains Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai proses dan sekaligus sebagai produk. Seseorang mampu mempelajari IPA jika

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Learning Cycle adalah suatu kerangka konseptual yang digunakan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Learning Cycle adalah suatu kerangka konseptual yang digunakan sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Learning Cycle Learning Cycle adalah suatu kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan proses pembelajaran yang berpusat pada pembelajar atau anak didik (Hirawan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran reciprocal teaching pertama kali diterapkan oleh Brown

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran reciprocal teaching pertama kali diterapkan oleh Brown II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Reciprocal Teaching Model pembelajaran reciprocal teaching pertama kali diterapkan oleh Brown dan Palincsar di tahun 1982. Model pembelajaran reciprocal teaching

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Learning Cycle (LC) adalah suatu kerangka konseptual yang digunakan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Learning Cycle (LC) adalah suatu kerangka konseptual yang digunakan sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Learning Cycle Learning Cycle (LC) adalah suatu kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan proses pembelajaran yang berpusat pada pembelajar atau anak didik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Pembelajaran dikatakan efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan berupa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Pembelajaran dikatakan efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mata pelajaran fisika pada umumnya dikenal sebagai mata pelajaran yang ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari pengalaman belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran fisika saat ini adalah kurangnya keterlibatan mereka secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran fisika saat ini adalah kurangnya keterlibatan mereka secara aktif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu permasalahan besar yang dialami siswa dalam proses pembelajaran fisika saat ini adalah kurangnya keterlibatan mereka secara aktif dalam proses belajar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Pembelajaran dikatakan efektif

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pemecahan Masalah (Problem Solving) Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran yang berlandaskan teori konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan

Lebih terperinci

10. Mata Pelajaran Fisika Untuk Paket C Program IPA

10. Mata Pelajaran Fisika Untuk Paket C Program IPA 10. Mata Pelajaran Fisika Untuk Paket C Program IPA A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) bukan hanya kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi

Lebih terperinci

Taufiq and Ketang Wiyono. Departement of Phyiscs Education, Sriwijaya University

Taufiq and Ketang Wiyono. Departement of Phyiscs Education, Sriwijaya University The Application Of Hypothetical Deductive Learning Cycle Learning Model To Improve Senior High School Students Science Generic Skills On Rigid Body Equilibrium Taufiq and Ketang Wiyono Departement of Phyiscs

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nokadela Basyari, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nokadela Basyari, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pemahaman konsep sangat penting dimiliki oleh siswa SMP. Di dalam Permendikbud nomor 64 tahun 2013 telah disebutkan bahwa siswa memahami konsep berdasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:7), belajar merupakan tindakan dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:7), belajar merupakan tindakan dan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Belajar dan Pembelajaran Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:7), belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks, sebagai tindakan maka belajar hanya dialami oleh siswa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Masalah pada dasarnya merupakan hal yang sangat sering ditemui dalam kehidupan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Masalah pada dasarnya merupakan hal yang sangat sering ditemui dalam kehidupan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pemecahan Masalah (Problem Solving) Masalah pada dasarnya merupakan hal yang sangat sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Masalah dapat terjadi pada berbagai aspek

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bicara tantangan dan permasalahan pendidikan di Indonesia berarti berbicara

I. PENDAHULUAN. Bicara tantangan dan permasalahan pendidikan di Indonesia berarti berbicara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bicara tantangan dan permasalahan pendidikan di Indonesia berarti berbicara tentang pendidikan kita dewasa ini dalam perspektif masa depan. Dalam kenyataannya, pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan dengan cara mencari tahu tentang fenomena alam secara sistematis, sehingga proses pembelajarannya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa

Lebih terperinci

BAB II. MODEL PEMBELAJARAN SIKLUS BELAJAR HIPOTETIK DEDUKTIF, PEMAHAMAN KONSEP, KETERAMPILAN GENERIK SAINS DAN KESEIMBANGAN BENDA TEGAR

BAB II. MODEL PEMBELAJARAN SIKLUS BELAJAR HIPOTETIK DEDUKTIF, PEMAHAMAN KONSEP, KETERAMPILAN GENERIK SAINS DAN KESEIMBANGAN BENDA TEGAR i DAFTAR ISI PERNYATAAN... iv ABSTRAK... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR...... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii BAB I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah...

Lebih terperinci

SUATU MODEL DALAM PEMBELAJARAN KIMIA

SUATU MODEL DALAM PEMBELAJARAN KIMIA SIKLUS BELAJAR SUATU MODEL DALAM PEMBELAJARAN KIMIA HANDOUT MATA KULIAH : BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KIMIA (KI 500) OLEH : SUSIWI S JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA F P M I P A UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2007

Lebih terperinci

52. Mata Pelajaran Fisika untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) A. Latar Belakang B. Tujuan

52. Mata Pelajaran Fisika untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) A. Latar Belakang B. Tujuan 52. Mata Pelajaran Fisika untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang fenomena alam secara sistematis,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga ilmu kimia bukan hanya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sains tersebut (Gallagher, 2007). Dengan demikian hasil belajar sains diharapkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sains tersebut (Gallagher, 2007). Dengan demikian hasil belajar sains diharapkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keterampilan Generik Sains Belajar sains merupakan suatu proses memberikan sejumlah pengalaman kepada siswa untuk mengerti dan membimbing mereka untuk menggunakan pengetahuan sains

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, diantaranya adalah dalam hal melengkapi bahan ajar, meningkatkan kualitas pengajar, maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran fisika masih menjadi pelajaran yang tidak disukai oleh

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran fisika masih menjadi pelajaran yang tidak disukai oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata pelajaran fisika masih menjadi pelajaran yang tidak disukai oleh siswa di sekolah. Menurut Komala (2008:96), ternyata banyak siswa menyatakan bahwa pembelajaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Von Glasersfeld dalam Sardiman ( 2007 ) konstruktivisme adalah salah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Von Glasersfeld dalam Sardiman ( 2007 ) konstruktivisme adalah salah satu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pendekatan Konstruktivisme Menurut Von Glasersfeld dalam Sardiman ( 2007 ) konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Problem solving adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Problem solving adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Problem Solving Problem solving adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan suatu masalah dan memecahkannya berdasarkan data dan informasi yang akurat, sehingga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses (perbuatan) yang bertujuan untuk mengembangkan sesuatu. teruji, pengamatan yang seksama dan percobaan yang terkendali.

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses (perbuatan) yang bertujuan untuk mengembangkan sesuatu. teruji, pengamatan yang seksama dan percobaan yang terkendali. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengembangan Pengembangan diartikan sebagai proses atau cara perbuatan mengembangkan (Anonim,1991). Jika dibuat suatu pengertian, maka pengembangan adalah suatu proses (perbuatan)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang

I. PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu bersaing

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA. menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA. menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA Model Pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis

Lebih terperinci

SILABUS ROTASI BENDA TEGAR UNTUK SMU KELAS 2 SEMESTER 2. Disusun Oleh SAEFUL KARIM

SILABUS ROTASI BENDA TEGAR UNTUK SMU KELAS 2 SEMESTER 2. Disusun Oleh SAEFUL KARIM SILABUS ROTASI BENDA TEGAR UNTUK SMU KELAS 2 SEMESTER 2 Disusun Oleh SAEFUL KARIM JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA FPMIPA UPI 2003 SILABUS ROTASI BENDA TEGAR Mata Pelajaran Kelas/Semester Satuan Pendidikan Alokasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Belajar Jean Piaget Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Siklus belajar 5E (The 5E Learning Cycle Model) (Science Curriculum Improvement Study), suatu program pengembangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Siklus belajar 5E (The 5E Learning Cycle Model) (Science Curriculum Improvement Study), suatu program pengembangan 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Siklus belajar 5E (The 5E Learning Cycle Model) Model siklus belajar pertama kali dikembangkan pada tahun 1970 dalam SCIS (Science Curriculum Improvement Study), suatu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbedaan Gain yang signifikan antara keterampilan proses sains awal. dengan keterampilan proses sains setelah pembelajaran.

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbedaan Gain yang signifikan antara keterampilan proses sains awal. dengan keterampilan proses sains setelah pembelajaran. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Pembelajaran dikatakan efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada abad ke-20 telah terjadi perubahan paradigma dalam dunia sains,

BAB I PENDAHULUAN. Pada abad ke-20 telah terjadi perubahan paradigma dalam dunia sains, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada abad ke-20 telah terjadi perubahan paradigma dalam dunia sains, matematika dan pendidikan. Pandangan behavorisme yang mengutamakan stimulus dan respon tidak cukup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai peran yang penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai peran yang penting bagi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai peran yang penting bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagaimana ditegaskan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu proses pembelajaran. Perubahan yang terjadi pada siswa sejatinya

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu proses pembelajaran. Perubahan yang terjadi pada siswa sejatinya 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Hasil Belajar Seseorang akan mengalami perubahan pada tingkah laku setelah melalui suatu proses pembelajaran. Perubahan yang terjadi pada siswa sejatinya

Lebih terperinci

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF (MPG) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP PADA MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF (MPG) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP PADA MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF (MPG) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP PADA MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA Kartinah 1 Program Studi Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Semarang Jl.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Elly Hafsah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Elly Hafsah, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dikatakan bahwa pembelajaran fisika sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), merupakan mata pelajaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konstruktivisme Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan bukanlah suatu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam standar isi dinyatakan pendidikan IPA khususnya fisika diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta

Lebih terperinci

STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR MATA PELAJARAN FISIKA

STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR MATA PELAJARAN FISIKA STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR MATA PELAJARAN FISIKA A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan standar kompetensi lulusan kelompok mata pelajaran sains, tujuan pendidikan pada satuan pendidikan SMA adalah untuk mengembangkan logika, kemampuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (Undang-undang No.20 Tahun 2003: 1). Pendidikan erat kaitannya dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. (Undang-undang No.20 Tahun 2003: 1). Pendidikan erat kaitannya dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan kondisi belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi-potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran yang sangat penting dalam rangka meningkatkan serta

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran yang sangat penting dalam rangka meningkatkan serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dan tidak bisa terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan merupakan suatu hal yang memiliki

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri.

Lebih terperinci

Deti Ahmatika Universitas Islam Nusantara, Jl. Soekarno Hatta No. 530, Bandung; Abstrak

Deti Ahmatika Universitas Islam Nusantara, Jl. Soekarno Hatta No. 530, Bandung; Abstrak Jurnal Euclid, vol.3, No.1, p.394 PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA DENGAN PENDEKATAN INQUIRY/DISCOVERY Deti Ahmatika Universitas Islam Nusantara, Jl. Soekarno Hatta No. 530, Bandung; dheti_ah@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siswa (membaca, menulis, ceramah dan mengerjakan soal). Menurut Komala

BAB I PENDAHULUAN. siswa (membaca, menulis, ceramah dan mengerjakan soal). Menurut Komala BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Rumit, sulit dipahami dan membosankan, tiga kata yang menjadi gambaran betapa pelajaran fisika kurang disukai oleh siswa pada umumnya. Pemahaman konsep, penafsiran grafik,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. baik, namun langkah menuju perbaikan itu tidaklah mudah, banyak hal yang harus

I. PENDAHULUAN. baik, namun langkah menuju perbaikan itu tidaklah mudah, banyak hal yang harus 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dunia pendidikan semakin hari terus mengadakan perbaikan ke jenjang yang lebih baik, namun langkah menuju perbaikan itu tidaklah mudah, banyak hal yang harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang handal, karena pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dwi Widi Andriyana,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dwi Widi Andriyana,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan bergulirnya era globalisasi dalam segala bidang banyak hal berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan termasuk pendidikan. Pendidikan merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan, terakhir kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan, terakhir kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada tahun 2004 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mutu dan kualitas pendidikan Indonesia diusahakan oleh pemerintah meningkat dari tahun ke tahun. Berbagai cara telah ditempuh oleh pemerintah mulai penyempurnaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk satuan pendididikan dasar dan menengah, Geografi merupakan cabang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap atau prosedur ilmiah (Trianto, 2012: 137). Pembelajaran Ilmu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga

I. PENDAHULUAN. yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terbangunnya sebuah peradaban suatu bangsa. Pendidikan di Indonesia banyak

I. PENDAHULUAN. terbangunnya sebuah peradaban suatu bangsa. Pendidikan di Indonesia banyak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu faktor kehidupan yang sangat penting bagi terbangunnya sebuah peradaban suatu bangsa. Pendidikan di Indonesia banyak mengalami masalah terutama

Lebih terperinci

FISIKA XI SMA 3

FISIKA XI SMA 3 FISIKA XI SMA 3 Magelang @iammovic Standar Kompetensi: Menerapkan konsep dan prinsip mekanika klasik sistem kontinu dalam menyelesaikan masalah Kompetensi Dasar: Merumuskan hubungan antara konsep torsi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan suatu sistem atau proses membelajarkan siswa yang

I. PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan suatu sistem atau proses membelajarkan siswa yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran merupakan suatu sistem atau proses membelajarkan siswa yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar siswa dapat mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap,

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap, proses, dan produk. Sains (fisika) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah mutu menjadi sorotan utama dalam dunia pendidikan dalam beberapa tahun terakhir ini. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisika merupakan salah satu bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang mempelajari gejala-gejala alam secara sistematis untuk menguasai pengetahuan berupa fakta, konsep,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini mengakibatkan kompetensi sains merupakan salah satu faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini mengakibatkan kompetensi sains merupakan salah satu faktor yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sains serta teknologi yang sangat pesat seperti saat sekarang ini mengakibatkan kompetensi sains merupakan salah satu faktor yang menentukan kehidupan

Lebih terperinci

BIDANG STUDI FISIKA JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA FPMIPA UPI

BIDANG STUDI FISIKA JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA FPMIPA UPI BIDANG STUDI FISIKA JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA FPMIPA UPI KETERAMPILAN PROSES SAINS (IPA) Anggapan: IPA terbentuk dan berkembang melalui suatu proses ilmiah, yang juga harus dikembangkan pada peserta didik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah proses penemuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah proses penemuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan oleh seorang guru. Dewasa ini, telah banyak model pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan oleh seorang guru. Dewasa ini, telah banyak model pembelajaran 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran adalah hal yang memiliki posisi penting di dalam peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, pencarian suatu metode dan model pembelajaran yang dapat

Lebih terperinci

Siti Chotimah Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi Bandung

Siti Chotimah Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi Bandung UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP DI KOTA BANDUNG DENGAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATIONS PADA SISWA SMP DI KOTA BANDUNG Siti Chotimah chotie_pis@yahoo.com Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agus Latif, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agus Latif, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam sebuah proses pembelajaran fisika adalah: Menguasai

Lebih terperinci

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu yang berperan penting dalam kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), sehingga perkembangan matematika menjadi sesuatu yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru bidang studi kimia di

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru bidang studi kimia di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru bidang studi kimia di SMA Budaya Bandar Lampung diketahui bahwa rata-rata nilai test formatif siswa pada materi pokok

Lebih terperinci

Nurun Fatonah, Muslimin dan Haeruddin Abstrak Kata Kunci:

Nurun Fatonah, Muslimin dan Haeruddin Abstrak Kata Kunci: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK UNTUK MENINGKATKAN KEMAHIRAN GENERIK SAINS PADA SISWA SMP NEGERI 1 DOLO Nurun Fatonah, Muslimin dan Haeruddin e-mail: Fatonahnurun@gmail.com Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

peningkatan kualitas kehidupan, serta pertumbuhan tingkat intelektualitas, dimensi pendidikan juga semakin kompleks. Hal ini tentu membutuhkan desain

peningkatan kualitas kehidupan, serta pertumbuhan tingkat intelektualitas, dimensi pendidikan juga semakin kompleks. Hal ini tentu membutuhkan desain Eni Sukaeni, 2012 Penggunaan Model Penemuan Konsep BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan kualitas kehidupan, serta

Lebih terperinci

BAB II LEVELS OF INQUIRY MODEL DAN KEMAMPUAN INKUIRI. guru dengan siswa dalam berinteraksi. Misalnya dalam model pembelajaran yang

BAB II LEVELS OF INQUIRY MODEL DAN KEMAMPUAN INKUIRI. guru dengan siswa dalam berinteraksi. Misalnya dalam model pembelajaran yang 7 BAB II LEVELS OF INQUIRY MODEL DAN KEMAMPUAN INKUIRI A. Pembelajaran Inkuiri Menurut Wenning (2011) model pembelajaran berfungsi agar pembelajaran menjadi sistematis. Selain itu, model pembelajaran menyediakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan kurikulum pendidikan yang digunakan mengacu pada sistem pendidikan nasional. Pada saat penelitian ini dilakukan, kurikulum yang digunakan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata pelajaran fisika dipandang penting dalam pembelajaran pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) karena fisika memiliki potensi yang sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. proses kognitif. Proses belajar yang dimaksud ditandai oleh adanya perubahanperubahan

I. PENDAHULUAN. proses kognitif. Proses belajar yang dimaksud ditandai oleh adanya perubahanperubahan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajar adalah tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.

Lebih terperinci

II._TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains merupakan salah satu bentuk keterampilan proses

II._TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains merupakan salah satu bentuk keterampilan proses 6 II._TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Keterampilan Proses Sains Keterampilan proses sains merupakan salah satu bentuk keterampilan proses yang diaplikasikan pada proses pembelajaran. Pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

Lebih terperinci

KHAIRUL MUKMIN LUBIS IK 13

KHAIRUL MUKMIN LUBIS IK 13 Fakultas Perikanan - KESETIMBANGAN Kondisi benda setelah menerima gaya-gaya luar SEIMBANG : Bila memenuhi HUKUM NEWTON I Resultan Gaya yang bekerja pada benda besarnya sama dengan nol sehingga benda tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak dituntut untuk mempelajari konsep-konsep dan prinsip-prinsip sains

BAB I PENDAHULUAN. banyak dituntut untuk mempelajari konsep-konsep dan prinsip-prinsip sains 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, pada umumnya dalam pembelajaran sains siswa lebih banyak dituntut untuk mempelajari konsep-konsep dan prinsip-prinsip sains secara verbalistis. Cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang harus dipelajari siswa di sekolah. Proses belajar matematika akan terjadi dengan lancar apabila dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tujuan pembelajaran yakni membentuk peserta didik sebagai pebelajar

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tujuan pembelajaran yakni membentuk peserta didik sebagai pebelajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan paradigma pembelajaran menuntut langkah kreatif guru sebagai fasilitator pembelajaran. Esensi perubahan tersebut berorientasi pada usaha pencapaian tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Fisika merupakan salah satu bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Fisika berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga fisika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Pendidikan nasional, sebagai salah satu sektor pembangunan nasional dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai

Lebih terperinci

Oleh: Drs.NANA DJUMHANA M.Pd PRODI PGSD FIP UPI

Oleh: Drs.NANA DJUMHANA M.Pd PRODI PGSD FIP UPI Oleh: Drs.NANA DJUMHANA M.Pd PRODI PGSD FIP UPI MENGAPA GURU PERLU MEMAHAMI METODOLOGI PEMBELAJARAN? S elain faktor penguasaan materi, salah satu faktor lain yang dapat mempengaruhi profesionalisme guru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi dan era globalisasi yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di dunia yang terbuka,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Koneksi berasal dari kata dalam bahasa inggris Connection, yang

BAB II LANDASAN TEORI. Koneksi berasal dari kata dalam bahasa inggris Connection, yang BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Koneksi Matematika Koneksi berasal dari kata dalam bahasa inggris Connection, yang berarti hubungan atau kaitan. Kemampuan koneksi matematika dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang handal, karena pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains merupakan semua keterampilan yang digunakan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains merupakan semua keterampilan yang digunakan untuk 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Keterampilan Proses Sains a. Pengertian Keterampilan Proses Sains Keterampilan proses sains merupakan semua keterampilan yang digunakan untuk menemukan dan mengembangkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kajian Pustaka 1. Level-level Inquiry National Science Education Standard menyatakan bahwa inquiry pada siswa didefinisikan sebagai...the

Lebih terperinci