Mengurai Benang Kusut Penerapan Nilai Pabean Berdasarkan Nilai Transaksi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Mengurai Benang Kusut Penerapan Nilai Pabean Berdasarkan Nilai Transaksi"

Transkripsi

1 Mengurai Benang Kusut Penerapan Nilai Pabean Berdasarkan Nilai Transaksi Oleh : Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Akhir-akhir ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) disibukkan dengan banyaknya keputusan pejabat atas penetapan nilai pabean yang diajukan banding ke Pengadilan Pajak oleh importir. Banding merupakan hak setiap orang yang diatur Undang-Undang No 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Banding diajukan setelah keberatan atas keputusan pejabat Bea dan Cukai yang diajukan ke Direktur Jenderal Bea dan Cukai ditolak. Saat ini penetapan pejabat yang banyak diajukan banding adalah penetapan yang berkenaan dengan nilai pabean. Penetapan pejabat ini berimplikasi pada kekurangan bea masuk, pajak dan dikenakannya sanksi administrasi berupa denda yang harus dibayar oleh Importir. Berkaitan dengan permasalahan penetapan nilai pabean ini, berikut ini data putusan dari Pengadilan Pajak atas pengajuan banding terutama terkait nilai pabean. Tabel 1 Data Putusan Pengadilan Pajak Berdasarkan Jenis Penetapan Tahun 2010 Sumber : Kantor Pusat DJBC Dari data diatas selama tahun 2010 terdapat putusan banding atas penetapan pejabat Bea dan Cukai atau Direktur Jenderal Bea dan Cukai dimana terdapat (96,3%) berkaitan dengan nilai pabean. Dari putusan banding tersebut ternyata yang dikabulkan mencapai 65,48% (sebanyak 2.438), suatu jumlah yang tentu sangat besar. Tabel 2 Data Putusan Pengadilan Pajak Berdasarkan Jenis Penetapan Tahun

2 Sumber : Kantor Pusat DJBC Dari data diatas selama tahun 2011 terdapat putusan banding atas penetapan pejabat Bea dan Cukai atau Direktur Bea dan Cukai dimana terdapat (89,04%) berkaitan dengan nilai pabean. Dari putusan banding tersebut ternyata yang dikabulkan mencapai 68,27% (sebanyak 2.109), meningkat dari tahun 2010 (65,48%). Adanya sengketa nilai pabean tentu bukanlah hal yang produktif baik untuk DJBC maupun importir, mengingat begitu banyaknya sumber daya yang harus dikeluarkan, meliputi waktu, biaya, dan tenaga dalam proses penyelesaiannya. Dengan latar belakang tersebut maka pembahasan tentang faktor-faktor penyebab banyaknya kasus sengketa nilai pabean terasa begitu penting untuk kita kaji bersama. Artikel ini penulis susun berdasarkan pengalaman penulis yang pernah bertugas sebagai pemeriksa dokumen maupun sebagai pengajar mata diklat Nilai Pabean serta diskusi informal dengan para pejabat yang bertanggung jawab pada penerapan nilai pabean. Permasalahan Under Invoicing Awal mula dari permasalahan banding sebenarnya sangatlah sederhana, yaitu masih banyaknya kasus under invoicing atas pemberitahuan barang yang diimpor. DJBC sebagai institusi yang diberi tanggung jawab menghimpun bea masuk berkewajiban mengoptimalkan penerimaan negara. Under invoicing tentu akan menggerus penerimaan negara. Dampak lainnya dari under invoicing adalah terancamnya produk dalam negeri sejenis karena kalah bersaing dengan produk luar negeri. Kita tahu bahwa salah satu fungsi pungutan impor adalah sebagai barrier untuk melindungi produk dalam negeri. Di sisi lain, sebagai negara anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia wajib meratifikasi berbagai agreement yang disepakati pada pendirian lembaga perdagangan dunia tersebut. Salah satu butir kesepakatan dalam piagam pembentukan WTO adalah pengaturan tentang nilai pabean yang digunakan untuk menghitung bea masuk. Metode penetapan nilai pabean yang disepakati dalam 2

3 pembentukan WTO adalah digunakannya Artikel VII General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dimana pada prinsipnya nilai pabean yang digunakan untuk menghitung bea masuk adalah nilai transaksi barang yang diimpor (transaction value). Nilai pabean sesuai kesepakatan WTO yang sering disebut dengan WTO valuation atau GATT Valuation Agreement (GVA), mulai diterapkan di Indonesia sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Implikasi dari digunakannya nilai transaksi adalah nilai pabean yang diberitahukan importir harus diterima aparat pabean, sepanjang memenuhi persyaratan nilai transaksi. Ketentuan ini bagi negara berkembang seperti Indonesia sangat sulit diterapkan mengingat masih masih cukup banyak importir yang beresiko tinggi. Kelemahan Peraturan Pelaksanaan Dalam tataran praktis, dasar hukum penelitian hingga penetapan nilai pabean oleh pejabat adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-160/KMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk. Dalam PMK ini diatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan persyaratan diterimanya nilai transaksi dan dalam hal apa nilai pabean yang diberitahukan tidak diterima oleh pejabat. Salah satu ketentuan penting dalam PMK-160/KMK.04/2010 yang berpotensi besar menimbulkan sengketa adalah pasal 8 (d) yang menyatakan bahwa nilai transaksi tidak digunakan untuk penentuan nilai pabean bilamana pejabat Bea dan Cukai mempunyai alasan berdasarkan bukti nyata atau data yang obyektif dan terukur untuk tidak menerima nilai transaksi yang diberitahukan. Potensi sengketa sangat mungkin terjadi karena pada PMK ini tidak dijelaskan wujud nyata dari terminologi bukti nyata atau data yang obyektif dan terukur. Muncul pertanyaan apakah database nilai pabean yang disusun oleh DJBC termasuk kategori bukti nyata atau data yang obyektif dan terukur ataukah tidak. Hal ini penting untuk memberikan kepastian hukum baik kepada pejabat maupun kepada importir. Ketentuan lainya yang diatur pada PMK-160/KMK.04/2010 yang berpotensi besar menimbulkan sengketa adalah uji kewajaran nilai pabean. Perlu diketahui bahwa uji kewajaran nilai pabean tidak diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan, dan tidak terdapat secara eksplisit di Agreemet on Implementation of Article VII of GATT. Ketentuan uji kewajaran ini diatur pada pasal 26 dan 27 PMK160/KMK.04/2010. Uji kewajaran nilai pabean dilakukan dengan menggunakan DBNP I barang identik. Nilai pabean dianggap wajar bila nilai yang diberitahukan lebih besar, sama dengan atau lebih kecil dari nilai di DBNP I sepanjang tidak lebih dari 5%. DBNP II barang identik digunakan bilamana data tidak tersedia pada DBNP I. Dalam uji kewajaran menggunakan DBNP II, nilai pabean dianggap wajar bila diberitahukan lebih besar atau sama dengan nilai di DBNP II. Proses selanjutnya bila 3

4 nilai pabean diragukan karena dianggap tidak wajar adalah permintaan pejabat kepada importir untuk menyerahkan deklarasi nilai pabean (DNP) dengan melampirkan dokumen pendukung. Permintaan DNP hanya dikenakan kepada importir kategori medium risk dan high risk. Bilamana DNP tidak diserahkan atau pejabat meragukan keterangan dalam DNP dan konsultasi yang dilakukan tidak meyakinkan pejabat, maka nilai transaksi yang diberitahukan tidak dapat diterima. Bila kita kaji lebih lanjut PMK-160/KMK.04/2010 ini sebenarnya seperti pukat harimau yang digunakan untuk menjaring ikan. Karena adanya kekhawatiran ikan besar akan lolos dari jaring, maka dibuatlah jaring dengan lubang yang kecil. Ikan besar dapat diibaratkan importir berisiko tinggi dan ikan kecil untuk importir berisiko rendah. Mekanisme uji kewajaran tak ubahnya cara kerja pukat harimau untuk mengamankan keuangan negara. Dalam tahap selanjutnya importir yang merasa telah memberitahukan nilai pabeannya dengan benar tidak menerima penetapan pejabat sehingga mengajukan keberatan. Bila keberatan yang diajukan ke Direktur Jenderal ditolak, maka importir mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Kenyataannya sebagian besar banding yang diajukan oleh importir dikabulkan oleh Pengadilan Pajak. Akhir-akhir ini cukup banyak importir yang sebenarnya masuk kategori resiko tinggi yang pada awalnya menerima penetapan pejabat, akhirnya juga mengikuti langkah importir beresiko rendah mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak menerima banding para importir karena berpatokan pada bukti formal bahwa nilai transaksi telah memenuhi syarat yang dibuktikan dengan dokumen invoice, purchase order, bukti pembayaran dan bukti-bukti lainnya. Di sinilah titik krusialnya, yaitu Majelis Hakim Pengadilan Pajak memandang bahwa uji kewajaran nilai pabean tidak diatur di Undang-Undang Kepabeanan, sementara importir mampu membuktikan adanya nilai transaksi. Analisis Masalah Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, nilai pabean yang digunakan untuk menghitung bea masuk adalah nilai transaksi barang yang diimpor. Prinsip nilai pabean menurut GATT Valuation Agreement pada hakekatnya berbanding terbalik dengan nilai pabean sesuai Brussel Definition on Value (BDV) dimana nilai pabean ditetapkan dengan menggunakan harga patokan yang ditetapkan oleh pejabat. Dalam pelaksanaanya, terjadi gap antara teori dan praktek. Sejujurnya harus kita katakan bahwa sebenarnya nilai pabean menggunakan WTO valuation masih sulit diterapkan dalam kondisi Indonesia. Bagi negara-negara yang relatif maju dengan importir yang relatif patuh tidak mengalami kesulitan dalam penerapan sistem nilai pabean ini. WTO menyadari hal ini, sehingga dalam Agreement ini diberikan catatan adanya perlakuan khusus untuk negara berkembang dalam penerapannya, yaitu diberinya tempo pelaksanaan secara penuh ketentuan ini. 4

5 Negara dengan jumlah importir beresiko tinggi yang relatif masih besar sangat sulit menerapkan model WTO valuation, karena tingkat kepatuhan yang masih rendah. Sesuai situs kepresidenan, pada tahun 2006 jumlah importir resiko tinggi sejumlah importir atau sekitar 42%, importer dengan resiko menengah sebanyak importir atau sekitar 19,9%, dan importir resiko rendah sebanyak importir, atau sekitar 37,29%. Salah satu pelanggaran yang potensial dilakukan oleh para importir beresiko tinggi adalah under invoicing, dimana nilai pabean diberitahukan lebih rendah dari yang seharusnya untuk menghindari pungutan impor. Bilamana Indonesia menerapkan GATT Valuation Agreement (GVA) tanpa mempertimbangkan kondisi market forces yang masih belum patuh pada ketentuan kepabeanan (importir kategori beresiko tinggi) maka potensi hilangnya penerimaan negara akan cenderung besar. Di sisi lain, bilamana nilai pabean ditetapkan berdasarkan peraturan yang saat ini diberlakukan maka potensi meningkatnya keberatan dan banding yang diajukan importir cenderung semakin besar. Mengapa demikian, karena importir merasa telah memberitahukan nilai pabean sesuai transaksi yang mereka lakukan dengan pemasok. Sebenarnya keputusan pejabat yang tidak menerima nilai pabean dari importir ketika meragukan pemberitahuan memiliki landasan dalam Artikel VII GATT. Pada Agreement on Implementation of Article VII of GATT terdapat lampiran berkaitan tentang kasus-kasus dalam hal pihak pabean mempunyai alasan untuk meragukan kebenaran atau ketepatan nilai yang diberitahukan. Di dalam lampiran tersebut dinyatakan bahwa bila pemberitahuan telah diajukan dan pihak pabean beralasan untuk meragukan kebenaran atau ketepatan atas keterangan atau dokumen yang diberikan untuk mendukung pernyataan di atas, pihak pabean dapat meminta importir untuk memberikan penjelasan lebih lanjut termasuk dokumen dan bukti-bukti lainnya yang menyatakan bahwa nilai yang diberitahukan mewakili jumlah keseluruhan dari harga yang sebenarnya dibayar. Selanjutnya, jika setelah menerima informasi lebih lanjut atau dalam hal tidak ada penjelasan, pihak pabean masih meragukan kebenaran atau ketepatan nilai yang diberitahukan maka memperhatikan hak yangbersangkutan untuk mengajukan keberatan, nilai pabean dianggap tidak dapat ditetapkan menggunakan nilai transaksi. Meskipun memiliki landasan dalam Agreement on Implementation of Article VII of GATT, keputusan untuk menganggap nilai pabean tidak dapat menggunakan nilai transaksi harus memiliki argumentasi yang kuat. Keraguan pejabat atas nilai yang diberitahukan harus didukung dengan alasan yang kuat disertai bukti bahwa nilai yang diberitahukan tidak sesuai dengan nilai yang sebenarnya atau seharusnya dibayar. 5

6 Tabel 3 Ringkasan Ketentuan Nilai Pabean Peraturan Pokok Pengaturan UU No 10 Tahun 1995 Nilai pabean pada prinsipnya menggunakan nilai transaksi jo UU No 17 Tahun Nilai transaksi diterima bilamana memenuhi syarat-syarat tertentu 2006 tentang Kepabeanan KMK-690/KMK.05/1996 Mengatur secara global tentang tatacara penetapan nilai pabean (telah dicabut) sebagaimana yang diatur dalam Agreement on Implementation of Article VII of GATT Tidak terdapat uji kewajaran dalam tatacara penetapan KEP-81/BC/1999 (tidak berlaku lagi) Merupakan petunjuk pelaksanaan KMK-690/KMK.05/1996 Terdapat ketentuan uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan kebenarannya bilamana lebih rendah lebih dari 20% dari Database Harga I barang identik atau serupa. Terdapat pembatasan penggunaan metode I, dimana nilai transaksi tidak diterima bilamana Pejabat Bea dan Cukai mempunyai alasan berdasarkan data yang obyektif dan terukur untuk meragukan kebenaran atau keakuratan pemberitahuan nilai transaksi. KEP-33/BC/1999 (tidak berlaku lagi) Merupakan perubahan pertama KEP-81/BC/1999 Perubahan atas uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan kebenarannya bilamana lebih rendah dari Database Harga I barang identik atau serupa. KEP-44/BC/2001 (tidak berlaku lagi) Merupakan perubahan kedua KEP-81/BC/1999 Terdapat ketentuan uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan kebenarannya bilamana lebih rendah lebih dari 10% dari Database Harga I barang identik atau serupa. KEP-17/BC/2005 (tidak berlaku lagi) Merupakan perubahan keempat KEP-81/BC/1999 Terdapat ketentuan uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan kebenarannya bilamana lebih rendah lebih dari 5% dari Database Harga I barang identik atau serupa. P-01/BC/2007 Merupakan perubahan kelima KEP-81/BC/1999 Terdapat ketentuan uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan kebenarannya bilamana lebih rendah lebih dari 5% dari Database Harga I barang identik. Terdapat ketentuan uji profil importir dalam penetapan nilai pabean, dimana bila termasuk kategori low risk dan harga diragukan nilai transaksi tetap diterima, untuk medium risk diterbitkan Informasi Nilai Pabean (INP), dan bilamana high risk nilai transaksi ditolak. (tidak berlaku lagi) PMK-160/2010 (yang saat ini berlaku) 6 Merupakan pengganti KMK-690/KMK.05/1996 Terdapat ketentuan uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan kebenarannya bilamana lebih rendah lebih dari 5% dari

7 Database Nilai Pabean I barang identik atau lebih rendah dari Database Nilai Pabean II Terdapat ketentuan uji profil importir dalam penetapan nilai pabean, dimana bila termasuk kategori low risk dan harga diragukan nilai transaksi tetap diterima, untuk medium risk dan high risk diterbitkan INP. Terdapat pembatasan penggunaan metode I, dimana nilai transaksi tidak diterima bilamana Pejabat Bea dan Cukai mempunyai alasan berdasarkan data yang obyektif dan terukur untuk meragukan kebenaran atau keakuratan pemberitahuan nilai transaksi. Sayangnya hal-hal tersebut diatas tidak tercantum secara eksplisit di dalam penjelasan Undang-Undang Kepabeanan, sehingga hakim tidak mempertimbangkan hak pabean untuk meragukan dan tidak menerima nilai transaksi bilamana dalam proses penelitian hingga konsultasi nilai pabean tidak diperoleh keyakinan tentang kebenarannya. Selain hal itu banyaknya penetapan pejabat yang digugurkan dalam sidang banding juga dapat disebabkan oleh banyaknya penetapan pejabat terkait yang tidak didukung argumentasi yang kuat sehingga hakim berpandangan bahwa tidak ada alasan kuat pejabat meragukan nilai yang diberitahukan. Solusi Secara umum permasalahan nilai pabean ini akan dapat diminimalisasi bilamana DJBC secara sungguh-sungguh melakukan perbaikan, baik dalam aspek internal maupun aspek eksternal. Aspek internal berkaitan dengan dukungan institusi dan penyiapan pejabat yang profesional, sedangkan aspek eksternal berhubungan dengan bimbingan kepatuhan dan law enforcement. Masalah nilai pabean tidak hanya semata-mata berkaitan dengan tugas pejabat pemeriksa dokumen (PFPD). Masalah nilai pabean sesungguhnya merupakan masalah institusi DJBC yang dapat berpengaruh serius pada citra dan kinerja organisasi secara signifikan. Maka sebaiknya DJBC melakukan langkahkomprehensif dalam menangani permasalan ini. Langkah-langkah komprehensif itu meliputi : revisi peraturan tentang nilai pabean, penguatan struktur organisasi, dan law enforcement. Revisi Peraturan Petunjuk teknis penerapan nilai pabean adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk. Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari pasal 15 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, dimana pada ayat 7 dinyatakan bahwa Ketentuan mengenai nilai pabean untuk penghitungan bea masuk diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 7

8 Secara umum Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 berisi ketentuan cara penetapan nilai pabean yang mengacu pada Agreement on Implementation of Article VII of GATT, dengan beberapa aturan tambahan yang mempertimbangkan situasi dan kondisi Indonesia. Proses penelitian dan penetapan nilai pabean secara ringkas tergambar sebagaimana gambar 1 berikut ini. Gambar 1 Proses penelitian dan penetapan nilai pabean dimulai setelah importir menyerahkan pemberitahuan impor barang (PIB). Importir kategori Mitra Utama (MITA) dan Importir Produsen (IP) kategori Low risk nilai pabean yang diberitahukan langsung diterima. Selanjutnya penelitian atas kebenaran nilai pabean yang diberitahukan importir-importir tersebut dilakukan dalam program audit kepabeanan. Pejabat melakukan pengujian nilai pabean, meliputi harus adanya kondisi jual beli, terpenuhinya persyaratan nilai transaksi, hingga kebenaran jumlah dan/atau jenis barang dalam hal dilakukan pemeriksaan fisik. Penetapan nilai pabean tidak ditetapkan menggunakan nilai transaksi dalam hal persyaratan nilai transaksi tidak terpenuhi. Bilamana persyaratan nilai transaksi terpenuhi, penelitian berlanjut pada uji kewajaran nilai pabean menggunakan Database Nilai Pabean I (DBNP I) barang identik. Taraf toleransi selisih kurang pemberitahuan dengan DBNP I barang identik adalah maksimal 5%. Nilai pabean ditetapkan menggunakan nilai transaksi (metode I) 8

9 dalam hal nilai pabean yang diberitahukan wajar. Jika nilai pabean diberitahukan tidak wajar karena selisih kurang lebih dari 5% dari data barang identik pada DBNP I maka dilakukan penelitian profil importir. Uji kewajaran menggunakan Database Nilai Pabean II (DBNP II) barang identik dilakukan jika tidak terdapat DBNP I barang identik yang dapat digunakan. Tidak ada toleransi selisih kurang pada pemberitahuan nilai pabean pada uji kewajaran ini. Nilai pabean dianggap wajar bilamana sama besar atau lebih tinggi dengan DBNP II barang identik. Nilai pabean ditetapkan menggunakan nilai transaksi (metode I) dalam hal nilai pabean yang diberitahukan wajar. Bilamana tidak terdapat data barang identik pada DBNP II maka dilakukan penelitian profil importir.terdapat empat kategori pada database profil importir, yaitu low risk (resiko rendah), medium risk (resiko sedang), high risk (resiko tinggi), dan very high risk (resiko sangat tinggi). Nilai pabean ditetapkan menggunakan nilai transaksi (metode I) dalam hal importir termasuk kategori low risk. Bilamana importir termasuk kategori medium risk, high risk dan very high risk, maka diterbitkan Deklarasi Nilai Pabean (DNP). Selanjutnya pejabat meneliti DNP dan dimungkinkan untuk konsultasi nilai pabean untuk meyakinkan kebenaran nilai yang diberitahukan. Nilai pabean ditetapkan menggunakan nilai transaksi (metode I) dalam hal DNP didukung data yang mampu meyakinkan pejabat. Nilai pabean tidak ditetapkan menggunakan nilai transaksi dalam hal DNP tidak diserahkan kepada pejabat atau diserahkan melebihi waktu yang tentukan, yaitu 3 hari kerja untuk kantor yang menggunakan Pertukaran Data Elektronik (PDE) atau 5 hari kerja untuk yang belum menggunakan PDE. Bilamana pejabat belum meyakini DNP yang diserahkan importir, maka pejabat dapat meminta importir untuk menjelaskan lebih lanjut dalam konsultasi nilai pabean. Nilai pabean tidak ditetapkan menggunakan nilai transaksi dalam hal importir tidak memenuhi permintaan konsultasi nilai pabean atau konsultasi yang dilakukan tidak meyakinkan pejabat. Pejabat peneliti dokumen membuat Lembar Penelitian dan Penetapan Nilai Pabean (LPPNP) atas penetapan nilai pabean bilamana nilai transaksi tidak diterima. Dari uraian di atas dapat kita mengambil kesimpulan bahwa nilai transaksi dapat tidak diterima bilamana pejabat meragukan nilai pabean yang diberitahukan dan importir tidak mampu meyakinkan pejabat atas kebenaran nilai transaksinya. Dari uraian tatacara penelitian dan penetapan nilai pabean di atas, terdapat beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Pertama, pengecualian pengujian nilai transaksi (nilai pabean diterima, selanjutnya merupakan obyek audit). Kedua, mekanisme uji kewajaran yang mendahulukan penggunaan DBNP I (data lama) daripada DBNP II (data baru). Ketiga, mekanisme uji profil yang pada akhirnya tetap menerima nilai pabean bila importir kategori low risk. Keempat, efektifitas DNP yang mayoritas tidak berdaya guna sehingga pada akhirnya nilai pabean ditolak karena tidak meyakinkan pejabat. 9

10 Sebaiknya yang dikecualikan dalam pengujian nilai transaksi tidak hanya importir MITA dan importir produsen low risk, namun seluruh importir kategori low risk. Hal ini agar pejabat pemeriksa dokumen lebih fokus pada pemberitahuan nilai pabean yang disampaikan oleh importir kategori medium risk hingga very high risk. Dari beberapa diskusi dengan pejabat pemeriksa dokumen dan pejabat pada Pengadilan Pajak, selama ini banyak penetapan pejabat yang kalah pada tingkat banding karena penetapan cenderung kurang profesional. Implikasi dari kebijakan ini tentu kinerja pejabat diharapkan lebih meningkat karena beban kerja yang selama ini dirasakan sangat berat dapat berkurang. Diyakini bahwa salah satu faktor kurang baiknya hasil penelitian dan penetapan pejabat adalah karena tingginya beban kerja sementara waktu yang tersedia sangat terbatas. Hal lain yang perlu diperbaiki adalah penggunaan DBNP I untuk uji kewajaran nilai pabean. Bila data tidak tersedia di DBNP I selanjutnya digunakan DBNP II. Kita harus ingat bahwa DBNP I disusun (salah satu sumbernya) dari DBNP II. Penggunaan DBNP I sebelum DBNP II tentu kurang tepat karena data pada DBNP I adalah data yang relatif lama. Memang DBNP I lebih lengkap dibanding DBNP II namun karena harga barang sangat dipengaruhi waktu, maka seharusnya data yang waktunya yang terdekat yang digunakan. Penulis pernah mendapatkan informasi, terdapat pemberitahuan nilai pabean yang berdasarkan DBNP I tidak wajar karena selisih kurang lebih dari 5%. Selanjutnya karena DNP tidak meyakinkan pejabat nilai pabean menggunakan metode II (nilai transaksi barang identik). Dalam penerapan metode II digunakan DBNP II barang identik sebagai dasar penetapan. Ternyata nilai pabean yang diberitahukan lebih tinggi dibandingkan dengan data pada DBNP II. Selanjutnya uji profil yang dilakukan bilamana harga yang diberitahukan tidak wajar atau database tidak memuat data untuk uji kewajaran sebaiknya ditiadakan. Uji profil sebaiknya dilakukan diawal proses penelitian nilai pabean, dimana untuk importir kategori mitra utama (MITA) dan kategori low risk tidak perlu diperiksa oleh pejabat pemeriksa dokumen (PFPD). PFPD lebih baik fokus pada importir yang berisiko menengah ke atas yang potensi ketidakbenaran pemberitahuannya cukup besar. Selain hal-hal tersebut diatas, perlu juga ditinjau ulang efektifitas DNP yang mayoritas tidak berdaya guna. Banyak DNP yang tidak dilengkapi dengan dokumen pendukung seperti sales contract, purchase order, LC/bukti transfer, dan dokumen pendukung lainnya. Hampir tidak ada nilai pada DNP yang berbeda dengan nilai yang diberitahukan pada PIB. Memang dimungkinkan adanya konsultasi nilai pabean bilamana pejabat belum meyakini kebenaran pemberitahuan importir, namun tetap saja hal ini tidak menjamin dilengkapinya data-data yang dibutuhkan pejabat. Untuk mengatasi hal ini penulis sarankan agar dibentuk tim khusus yang melakukan audit nilai pabean (nilai transaksi). Auditor nilai pabean ini sebaiknya berada satu bidang dengan pejabat peneliti dokumen untuk memudahkan koordinasi dan efektifitas kerja. Dengan audit nilai pabean ini diharapkan bukti-bukti kebenaran atau ketidakbenaran nilai transaksi yang diberitahukan dapat diperoleh untuk diambil keputusan. Dalam pelaksanaan audit ini pejabat dapat menggunakan semua sarana yang memungkinkan untuk mendapatkan data, termasuk melakukan konfirmasi ke 10

11 perbankan dan kepada pemasok di luar daerah pabean. Bukti-bukti ini sangat penting untuk penetapan nilai pabean dan sangat berguna bagi pejabat untuk meyakinkan majelis hakim pada sidang banding di Pengadilan Pajak bila yang bersangkutan mengajukan banding. Saran-saran perbaikan dan simplifikasi prosedur penelitian dan penetapan nilai pabean sebagaimana terurai diatas dapat kita ringkas dalam gambar 2 berikut ini. Gambar 2 Selain perbaikan dan penyederhaan tatacara penelitian nilai pabean, salah satu critical point dalam peraturan Menteri Keuangan ini adalah adanya uji kewajaran nilai transaksi dalam proses penetapan nilai pabean oleh pejabat. Uji kewajaran yang dapat bermuara pada ditolaknya nilai transaksi diperkuat oleh ketentuan pasal 8 (d) peraturan ini yang menyebutkan bahwa nilai transaksi tidak digunakan dalam hal pejabat Bea dan Cukai mempunyai alasan berdasarkan bukti nyata atau data yang obyektif dan terukur untuk tidak menerima nilai transaksi sebagai nilai pabean. Mekanisme penetapan nilai pabean seperti ini bila kita kaji lebih lanjut sebenarnya tidak memiliki landasan yang kuat pada Undang-Undang Kepabeanan. 11

12 Perlu kita ketahui bahwa pasal 15 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 yang mengatur tentang nilai pabean beserta penjelasan pasal bersangkutan tidak memberi ruang kepada pejabat untuk melakukan uji kewajaran dan menolak nilai transaksi bila harga diragukan. Alih-alih mengatur tentang dapat ditolaknya nilai transaksi bilamana harga diragukan, justru pasal 15 dan penjelasannya menegaskan harus digunakannya nilai transaksi atas barang yang diimpor untuk penghitungan bea masuk. Di sisi lain pada sidang banding argumentasi pejabat bahwa harga diragukan setelah dilakukan uji kewajaran dan DNP tidak meyakinkan pejabat tidak diterima majelis hakim, sehingga sebagian besar banding yang diajukan importir dikabulkan oleh Pengadilan Pajak. Berkenaan dengan kurang sinkronnya ketentuan nilai pabean yang tercantum dalam Undang-Undang Kepabeanan dengan peraturan pelaksanaannya, maka perlu dirumuskan ketentuan yang lebih memberi kepastian hukum kepada pejabat untuk menolak nilai transaksi dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip Artikel VII GATT. Ketentuan pada pasal 8 (d) dalam PMK-160/PMK.04/2010 yang menyebutkan bahwa nilai transaksi tidak digunakan dalam hal pejabat Bea dan Cukai mempunyai alasan berdasarkan bukti nyata atau data yang obyektif dan terukur untuk tidak menerima nilai transaksi sebagai nilai pabean seharusnya diberikan penjelasan lebih lanjut yang bersesuaian dengan Agreement on Implementation of Article VII of GATT. Hal ini penting karena pada prakteknya para pejabat peneliti dokumen menggunakan Database Nilai Pabean yang tersedia di Kantor Pabean untuk meragukan dan selanjutnya dapat menolak nilai pabean yang diberitahukan. Untuk mendukung pelaksanaan tugas penelitian dan penetapan nilai pabean, sebaiknya dipertimbangkan tambahan ayat dalam pasal 8 PMK-160/PMK.04/2010 yang berbunyi nilai transaksi tidak digunakan dalam hal terdapat bukti kuat nilai yang sebenarnya atau seharusnya dibayar tidak sesuai dengan nilai yang diberitahukan. Konsekuensi dari ketentuan ini berarti pejabat harus aktif mencari dan menemukan evidance adanya nilai yang berbeda dari yang diberitahukan. Dengan demikian mekanisme INP dan DNP tidak memadai untuk memenuhi ketentuan ini. Bilamana ketentuan ini digunakan maka mekanisme yang lebih tepat adalah menggunakan audit nilai transaksi. Dalam audit nilai transaksi pejabat dapat proaktif melakukan penelitian kebenaran pemberitahuan hingga ke tempat importir, konfirmasi ke bank, hingga konfirmasi ke pemasok di luar negeri. Audit nilai transaksi harus dilakukan secara cepat karena sesuai UndangUndang Kepabeanan, pejabat diberikan batasan penelitian dan penetapan nilai pabean selama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean impor. Proaktifnya pejabat dalam penelitian nilai transaksi menurut hemat saya lebih sesuai dengan kondisi saat ini karena pada praktiknya banyak DNP yang diserahkan importir tidak memadai untuk pengambilan keputusan pejabat. 12

13 Penguatan Struktur Organisasi Mengingat begitu seriusnya permasalahan nilai pabean, hendaknya DJBC membuat struktur yang berkosentrasi penuh pada penyiapan perangkat dan data nilai pabean baik pada Kantor Pusat maupun di Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan Utama. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, saat ini telah ada Sub Direktorat Nilai Pabean di Kantor Pusat DJBC yang bertugas melaksanakan penyiapan penyusunan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, evaluasi dan pelaksanaan di bidang nilai pabean dan data harga. Salah satu output dari Sub Direktorat Nilai Pabean adalah Database Nilai Pabean (DBNP) I yang digunakan untuk uji kewajaran nilai pabean dan dapat digunakan untuk penetapan nilai pabean. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 40/BC/2010 tentang Database Nilai Pabean, DBNP I disusun oleh Kantor Pusat dan harus dilakukan pemutakhiran secara periodik sekurangkurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari para pejabat pemeriksa dokumen, permasalahan utama DBNP I yang disusun Kantor Pusat tidak memadai untuk pelaksanaan tugas di lapangan. Data yang dapat dihimpun pada DBNP I sangatlah terbatas dan banyak yang tidak up to date. Berkaitan dengan permasalahan tersebut penulis sarankan agar Subdit Nilai Pabean di Kantor Pusat memperkuat Tim Nilai Pabean yang selama ini telah bekerja untuk menyusun dan memutakhirkan database nilai pabean. Tim Nilai Pabean di Kantor Pusat harus diisi oleh para pejabat dan pegawai yang betul-betul memiliki kompetensi dan konsisten dalam membuat DBNP yang berdaya guna. Harus betul-betul disadari bahwa kualitas DBNP I sangat menentukan kinerja pejabat pemeriksa dokumen di lapangan. Permasalahan lainnya yang masih terkait dengan perangkat kerja pejabat peneliti dokumen adalah masih belum optimalnya DBNP II. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 40/BC/2010 tentang Database Nilai Pabean, DBNP II disusun oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama dan berlaku di wilayah kerja kantor bersangkutan, sedangkan DBNP I berlaku secara nasional. Selain digunakan uji kewajaran dan dasar penetapan nilai pabean, DBNP II juga digunakan sebagai sumber data dalam menyusun DBNP I oleh Kantor Pusat. Dengan demikian, kualitas DBNP II yang disusun oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama akan sangat mempengaruhi kualitas DBNP I. DBNP II yang lengkap dan up to date akan sangat membantu tugas pejabat pemeriksa dokumen dalam penetapan nilai pabean. Bila demikian halnya, maka pembentukan unit khusus yang menangani nilai pabean di Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama mutlak diperlukan. Namun pada kenyataannya struktur organisasi pada DJBC belum bersesuaian dengan kebutuhan tersebut diatas. Tidak sebagaimana di Kantor Pusat DJBC, di Kantor Wilayah dan di KPU Bea dan Cukai, belum terdapat unit yang secara khusus melaksanakan tugas dan menangani masalah nilai pabean. Mengacu pada Peraturan 13

14 Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.01/2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, unit yang menangani pelaksanaan nilai pabean di Kantor Wilayah dan KPU Bea dan Cukai adalah Bidang Kepabeanan dan Cukai, sedangkan di Kantor Pabean unit yang melaksanakan tugas yang berkaitan dengan adalah Seksi Kepabeanan dan Cukai. Mengingat begitu seriusnya permasalahan nilai pabean, seharusnya DJBC memperkuat struktur organisasinya dengan pejabat setingkat eselon IV di di Kantor Wilayah dan KPU Bea dan Cukai dengan tugas khusus menyiapkan dan melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan nilai pabean. Unit khusus nilai pabean diharapkan bekerja optimal dan dapat memberikan assist yang tepat kepada pejabat pemeriksa dokumen. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 40/BC/2010, pemutakhiran DBNP II dilakukan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) bulan. Sebagaimana DBNP I, DBNP II juga belum memadai untuk pelaksanaan tugas di lapangan. Data yang dapat dihimpun pada DBNP II juga sangat terbatas dan banyak yang tidak up to date. Bahkan sebagian besar Kantor Wilayah dan KPU Bea Cukai belum memiliki DBNP II secara formal karena database yang digunakan belum ditetapkan secara resmi dalam aplikasi kantor pabean. Penegakan Hukum Masih banyaknya importir berkategori high risk harus diantisipasi DJBC dengan menyiapkan jaring pengaman lainnya, yaitu penegakan hukum. Dalam hal apa nilai pabean dapat dijerat dengan pelanggaran pidana kepabeanan? Betul bahwa kesalahan pemberitahuan nilai pabean yang berakibat pada kekurangan pembayaran bea masuk merupakan pelanggaran administratif yang dikenakan sanksi berupa denda. Namun bilamana kedapatan dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean (invoice) ternyata bukan dokumen yang sesungguhnya maka tindakan ini termasuk kategori pelanggaran pidana kepabeanan yang diancam dengan pidana penjara dan/atau pidana denda. Dasar hukum dalam penindakan pelanggaran ini sangat jelas diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan, yaitu : pada pasal 103 (a) disebutkan bahwa Setiap orang yang menyerahkan pemberitahuan pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean yang palsu atau dipalsukan, pada pasal 103 (c) disebutkan bahwa Setiap orang yang memberikan keterangan lisan atau tertulis yang tidak benar, yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban pabean, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 14

15 Rp ,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). Hingga saat in masih sering terdengar idiom invoice pasar pagi atau invoice pasar sore, dimana harga dapat diatur oleh yangbersangkutan sebagaimana yang mereka kehendaki. Invoice adalah dokumen yang dibuat oleh pemasok (eksportir) di luar negeri. Invoice merupakan dokumen pelengkap pabean yang berisi data barang yang diimpor termasuk harga yang disepakati antara penjual dan pembeli. Bila dalam penegakan hukum yang berkaitan dengan pemeriksaan fisik barang pejabat menggunakan profil importir dan hasil intelijen, dalam penegakan hukum pada aspek nilai pabean ini hendaknya pejabat juga menggunakan cara yang serupa agar untuk mendapatkan hasil yang optimal. Bilamana kedapatan Importir melanggar pasal 103 ayat a atau pasal 103 ayat c, hendakknya DJBC tidak perlu ragu untuk melakukan penegakan hukum, tentu setelah bukti-bukti yang cukup dapat dihimpun untuk. Kasus penggelapan pajak Asian Agri yang dibawa ke ranah pidana oleh Direktorat Jenderal Pajak kiranya dapat menginspirasi DJBC. Setelah melalui proses persidangan dan vonis di tingat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, pada akhirnya Mahkamah Agung memutuskan bahwa Asian Agri bersalah telah melakukan penggelapan pajak. Dalam petikan putusannya, MA menyatakan bahwa terdakwa Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak (bekas Manajer Pajak Asian Agri) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yaitu menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap secara berlanjut. Penegakan hukum adalah amanat Undang-Undang yang bertujuan untuk menjamin dipenuhinya hak-hak negara sekaligus sebagai shock therapy agar wajib pajak (importir) lebih patuh dan mentaati ketentuan yang berlaku. Penegakan hukum juga penting untuk internal Bea dan Cukai sebagai peneguh fungsi DJBC sebagai penghimpun keuangan negara (revenue collector) dan pelindung masyarakat (community protector). Simpulan 1. Nilai pabean yang digunakan untuk menghitung bea masuk pada prinsipnya menggunakan nilai transaksi barang yang diimpor. Tujuan utama digunakannya nilai transaksi adalah agar tidak ada penetapan pejabat pabean yang bersifat sewenang-wenang, sekaligus untuk mencegah adanya peberitahuan nilai pabean oleh importir yang bersifat fiktif (under invoicing). 2. Penetapan nilai pabean oleh pejabat telah menimbulkan permasalahan yang serius berupa banding di Pengadilan Pajak yang jumlahnya sangat signfikan dan menguras banyak sumber daya, sementara putusan atas banding yang diajukan ke Pengadilan Pajak sebagian besar dikabulkan oleh Majelis Hakim. 15

16 3. Perlu langkah-langkah komprehensif agar permasalahan nilai pabean dapat diminimalisir, dengan cara melakukan penyempurnaan aturan pelaksanaan nilai pabean, memperkuat struktur organisasi untuk mendukung pelaksanaan tugas pejabat pemeriksa dokumen, dan melakukan penegakan hukum atas kegiatan terkait nilai pabean yang termasuk tindak pidana kepabeanan. Sumber : 1. Undang-Undang No 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.01/2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk 5. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 40/BC/2010 tentang Database Nilai Pabean 6. Agreement on Implementation of Article VII of GATT 7. Presiden Minta Dirjen Bea Cukai Tingkatkan, Senin, 6 November 2006, 14:45:29 WIB Kinerjanya, diakses tanggal 28 Desember

KAJIAN ATAS UJI KEWAJARAN NILAI TRANSAKSI DALAM PENETAPAN NILAI PABEAN

KAJIAN ATAS UJI KEWAJARAN NILAI TRANSAKSI DALAM PENETAPAN NILAI PABEAN KAJIAN ATAS UJI KEWAJARAN NILAI TRANSAKSI DALAM PENETAPAN NILAI PABEAN Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Pada prinsipnya nilai pabean yang digunakan untuk menghitung besarnya bea masuk

Lebih terperinci

Royalti Dalam Penetapan Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk. Oleh : Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai

Royalti Dalam Penetapan Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk. Oleh : Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Royalti Dalam Penetapan Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk Oleh : Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Beberapa bulan terakhir ini kita disuguhi berita di media cetak dan elektronik

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 24/BC/2007 TENTANG MITRA UTAMA DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 24/BC/2007 TENTANG MITRA UTAMA DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang: PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 24/BC/2007 TENTANG MITRA UTAMA DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, a. bahwa dalam rangka terwujudnya pelayanan yang cepat, efisien, pasti, responsif,

Lebih terperinci

SOSIALISASI PMK 34/PMK.04/2016 tentang Perubahan atas PMK 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk

SOSIALISASI PMK 34/PMK.04/2016 tentang Perubahan atas PMK 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk SOSIALISASI PMK 34/PMK.04/2016 tentang Perubahan atas PMK 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk Disampaikan pada Acara Sosialisasi kepada Pengguna Jasa Kepabeanan Aula Lt. 3

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 24 /BC/2007 TENTANG MITRA UTAMA DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang :

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-19/BC/2016 TENTANG DATABASE NILAI PABEAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-19/BC/2016 TENTANG DATABASE NILAI PABEAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-19/BC/2016 TENTANG DATABASE NILAI PABEAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA

SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Sunarno *) Pendahuluan Nilai pabean adalah nilai yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung Bea Masuk. Pasal 12 UU

Lebih terperinci

Penetapan Nilai Transaksi Dengan Menggunakan Rumus Tertentu, Tepatkah?

Penetapan Nilai Transaksi Dengan Menggunakan Rumus Tertentu, Tepatkah? Penetapan Nilai Transaksi Dengan Menggunakan Rumus Tertentu, Tepatkah? Oleh : Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Abstrak Nilai transaksi adalah harga yang sebenarnya dibayar atau seharusnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang

Lebih terperinci

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN *34762 Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 34 TAHUN 1996 (34/1996) Tanggal: 4 JUNI

Lebih terperinci

UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU

UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU 1. Pendahuluan Sebagaimana diketahui bahwa tugas pokok Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.32

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,

Lebih terperinci

Pengajuan Keberatan, Banding, dan Peninjauan Kembali Tagihan Bea Masuk

Pengajuan Keberatan, Banding, dan Peninjauan Kembali Tagihan Bea Masuk Pengajuan Keberatan, Banding, dan Peninjauan Kembali Tagihan Bea Masuk ABSTRAK Importir yang tidak setuju atas penetapan tarif dan/atau nilai pabean oleh pihak pabean sehingga mengakibatkan tambah bayar

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 65/PMK.04/2007 TENTANG PENGUSAHA PENGURUSAN JASA KEPABEANAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 65/PMK.04/2007 TENTANG PENGUSAHA PENGURUSAN JASA KEPABEANAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 65/PMK.04/2007 TENTANG PENGUSAHA PENGURUSAN JASA KEPABEANAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 40/BC/2010 TENTANG DATABASE NILAI PABEAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 40/BC/2010 TENTANG DATABASE NILAI PABEAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 40/BC/2010 TENTANG DATABASE NILAI PABEAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 35 Peraturan Menteri Keuangan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : P- 06/BC/2006

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : P- 06/BC/2006 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : P- 06/BC/2006 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-22/BC/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBERIAN NOMOR POKOK DAN PENGAWASAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12 /PUU-VII/2009 Tentang Undang-undang Kepabeanan (Sertifikat Registrasi Pabean)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12 /PUU-VII/2009 Tentang Undang-undang Kepabeanan (Sertifikat Registrasi Pabean) RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12 /PUU-VII/2009 Tentang Undang-undang Kepabeanan (Sertifikat Registrasi Pabean) I. PEMOHON Philipus P. Soekirno bertindak untuk dan atas nama diri sendiri, baik selaku

Lebih terperinci

Jumlah Barang Pcs. Negara Asal : China berdasarkan penetapan nilai pabean dengan menggunakan data Metode nilai transaksi barang serupa.

Jumlah Barang Pcs. Negara Asal : China berdasarkan penetapan nilai pabean dengan menggunakan data Metode nilai transaksi barang serupa. Putusan Nomor Jenis Pajak : Put-81243/PP/M.IIB/19/2017 : Bea Masuk Tahun Pajak : 2016 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi sengketa dalam perkara banding ini adalah penetapan Nilai Pabean atas impor 60ML

Lebih terperinci

Pengawasan Atas Barang Impor Dengan Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Dalam Rangka Penanaman Modal

Pengawasan Atas Barang Impor Dengan Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Dalam Rangka Penanaman Modal Pengawasan Atas Barang Impor Dengan Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Dalam Rangka Penanaman Modal Oleh : Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Abstraksi Dasar hukum pemberian fasilitas pembebasan

Lebih terperinci

KOP PERUSAHAAN. Nomor & tanggal surat Hal : Permohonan sebagai MITA. Kepada : Yth. Kepala KPU... Di...

KOP PERUSAHAAN. Nomor & tanggal surat Hal : Permohonan sebagai MITA. Kepada : Yth. Kepala KPU... Di... LAMPIRAN I NOMOR : /BC/2007 Nomor & tanggal surat Hal : Permohonan sebagai MITA Kepada : Yth. Kepala KPU... Di... KOP PERUSAHAAN Sehubungan dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor :.../BC/2007

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612]

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612] UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612] BAB XIV KETENTUAN PIDANA Pasal 102 Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661]

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661] UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661] Pasal 102 Setiap orang yang: a. mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1899, 2015 Keuangan. Kepabeanan. Mitra Utama. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 229/PMK.04/2015 TENTANG MITRA UTAMA KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

NOMOR : KEP-03/BC/2003 NOMOR : 01/DAGLU/KP/I/2003 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN TERTIB ADMINISTRASI IMPORTIR

NOMOR : KEP-03/BC/2003 NOMOR : 01/DAGLU/KP/I/2003 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN TERTIB ADMINISTRASI IMPORTIR KEPUTUSAN BERSAMA DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

FUNGSI KEPABEANAN Oleh : Basuki Suryanto *)

FUNGSI KEPABEANAN Oleh : Basuki Suryanto *) FUNGSI KEPABEANAN Oleh : Basuki Suryanto *) Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, bahwa yang dimaksud

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 122/PMK. 04/2011 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 122/PMK. 04/2011 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 122/PMK. 04/2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 51/PMK.04/2008 TENTANG TATA CARA PENETAPAN TARIF,

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : PER - 1/BC/2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN DI BIDANG KEPABEANAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : PER - 1/BC/2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN DI BIDANG KEPABEANAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : PER - 1/BC/2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN DI BIDANG KEPABEANAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang: bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 148/PMK.04/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 145/PMK.04/2007 TENTANG KETENTUAN KEPABEANAN DI BIDANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Konsekuensi Penetapan Tarif dan Nilai Pabean

Konsekuensi Penetapan Tarif dan Nilai Pabean Konsekuensi Penetapan Tarif dan Nilai Pabean ABSTRAK Pengajuan dokumen pemberitahuan impor barang (PIB) bersifat self assessment. Oleh karena itu pihak pabean melakukan penelitian atas kebenaran informasi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. DR. H. Djafar Al Bram

KATA PENGANTAR. DR. H. Djafar Al Bram KATA PENGANTAR Buku ini diberi judul Pajak Tidak Langsung (Bea Masuk) Metode Perhitungan Nilai Pabean Importasi Perdagangan Luar Negeri. Dalam penyajiannya dipaparkan secara Sistematis, Terstruktur dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: M.HH-02.PK.05.06 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR M.01.PK.04.10 TAHUN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 148/PMK.04/2011 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 148/PMK.04/2011 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 148/PMK.04/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 145/PMK.04/2007 TENTANG KETENTUAN KEPABEANAN DI BIDANG

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 147/PMK.04/2009 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 147/PMK.04/2009 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 147/PMK.04/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 51/PMK.04/2008 TENTANG TATA CARA PENETAPAN TARIF, NILAI

Lebih terperinci

BAB III MITRA UTAMA DAN PEMBENTUKAN TIM PERCEPATAN REFORMASI KEBIJAKAN BIDANG PELAYANAN BEA CUKAI PADA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

BAB III MITRA UTAMA DAN PEMBENTUKAN TIM PERCEPATAN REFORMASI KEBIJAKAN BIDANG PELAYANAN BEA CUKAI PADA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI 63 BAB III MITRA UTAMA DAN PEMBENTUKAN TIM PERCEPATAN REFORMASI KEBIJAKAN BIDANG PELAYANAN BEA CUKAI PADA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI 3.1. Penerapan Authorized Economic Operator di Indonesia. Penerapan

Lebih terperinci

, DJBC PMK-160/PMK.04/2010. Subdit Nilai Pabean

, DJBC PMK-160/PMK.04/2010. Subdit Nilai Pabean , DJBC 1 , DJBC PMK-160/PMK.04/2010 2 , DJBC Strategi Komunikasi MSE Sinergi 3 KETENTUAN UMUM 1. Database Nilai Pabean adalah kumpulan data nilai barang impor dalam Cost, Insurance, dan Freight (CIF) dan/atau

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : PER - 1/BC/2011 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : PER - 1/BC/2011 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : PER - 1/BC/2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN DI BIDANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN IMPOR ATAU EKSPOR BARANG YANG DIDUGA MERUPAKAN ATAU BERASAL DARI HASIL PELANGGARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan yang murah, dan pendidikan yang gratis.

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan yang murah, dan pendidikan yang gratis. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Salah satu ciri khas pajak adalah tidak adanya kontra prestasi yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak. Mungkin saja pelayanan negara kepada pembayar

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 200/PMK.04/2011 TENTANG AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 200/PMK.04/2011 TENTANG AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 200/PMK.04/2011 TENTANG AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 200/PMK.04/2011 TENTANG AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 200/PMK.04/2011 TENTANG AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 200/PMK.04/2011 TENTANG AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 07 /BC/2007 TENTANG PEMERIKSAAN FISIK BARANG IMPOR DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

SEKRETARIATPENGADILAN PAJAK. Putusan Nomor : Put-86509/PP/M.VII.A/19/2017. Jenis Pajak : Bea Masuk

SEKRETARIATPENGADILAN PAJAK. Putusan Nomor : Put-86509/PP/M.VII.A/19/2017. Jenis Pajak : Bea Masuk Putusan Nomor : Put-86509/PP/M.VII.A/19/2017 Jenis Pajak : Bea Masuk Tahun Pajak : 2016 Pokok Sengketa : bahwa dalam yang menjadi pokok sengketa dalam banding ini adalah banding atas Surat Penetapan Kembali

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI ATAS IMPOR BARANG YANG MENGALAMI KERUSAKAN, PENURUNAN MUTU, KEMUSNAHAN, ATAU PENYUSUTAN VOLUME DAN/ATAU BERAT,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -15 /BC/2012 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -15 /BC/2012 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -15 /BC/2012 TENTANG TATALAKSANA PENGEMBALIAN BEA MASUK YANG TELAH DIBAYAR

Lebih terperinci

Putusan Nomor : Put-68166/PP/M.IXB/19/2016. Jenis Pajak : Bea Masuk. Tahun Pajak : 2014

Putusan Nomor : Put-68166/PP/M.IXB/19/2016. Jenis Pajak : Bea Masuk. Tahun Pajak : 2014 Putusan Nomor : Put-68166/PP/M.IXB/19/2016 Jenis Pajak : Bea Masuk Tahun Pajak : 2014 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah bahwa atas SPP Nomor: SPP-135/BC.6/2014

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 125/PMK.04/2007 TENTANG AUDIT KEPABEANAN MENTERI KEUANGAN,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 125/PMK.04/2007 TENTANG AUDIT KEPABEANAN MENTERI KEUANGAN, MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 125/PMK.04/2007 TENTANG AUDIT KEPABEANAN MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 86 ayat

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 176/PMK.04/2013 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 176/PMK.04/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 176/PMK.04/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 254/PMK.04/2011 TENTANG PEMBEBASAN

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: P-08/BC/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN EKSPOR BARANG TERKENA PUNGUTAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 05/BC/2012 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 05/BC/2012 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 05/BC/2012 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN, PENGELOLAAN DAN PEMBAGIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

No. SOP: 16/TMPB/2016. Revisi Ke - Tanggal Penetapan 7 Desember Tanggal Revisi: -

No. SOP: 16/TMPB/2016. Revisi Ke - Tanggal Penetapan 7 Desember Tanggal Revisi: - No. SOP: 16/TMPB/2016 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI TIPE MADYA PABEAN B Standar Operasional Prosedur Bea Masuk,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 16 /BC/2012 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 16 /BC/2012 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 16 /BC/2012 TENTANG TATA LAKSANA PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR BARANG DAN

Lebih terperinci

MASIH BERLAKUKAH STATUS IMPORTIR JALUR PRIORITAS SEIRING DENGAN PENETAPANNYA SEBAGAI IMPORTIR MITRA UTAMA?

MASIH BERLAKUKAH STATUS IMPORTIR JALUR PRIORITAS SEIRING DENGAN PENETAPANNYA SEBAGAI IMPORTIR MITRA UTAMA? MASIH BERLAKUKAH STATUS IMPORTIR JALUR PRIORITAS SEIRING DENGAN PENETAPANNYA SEBAGAI IMPORTIR MITRA UTAMA? Rita Dwi Lindawati Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Pendahuluan Seiring munculnya Peraturan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -17 /BC/2012 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -17 /BC/2012 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -17 /BC/2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 176/PMK.04/2013 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 176/PMK.04/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 176/PMK.04/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 254/PMK.04/2011 TENTANG PEMBEBASAN

Lebih terperinci

148/PMK.04/2011 PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 145/PMK.04/2007 TENTANG KETENTUAN KE

148/PMK.04/2011 PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 145/PMK.04/2007 TENTANG KETENTUAN KE 148/PMK.04/2011 PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 145/PMK.04/2007 TENTANG KETENTUAN KE Contributed by Administrator Wednesday, 07 September 2011 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 214/PMK.04/2008 TENTANG PEMUNGUTAN BEA KELUAR

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 214/PMK.04/2008 TENTANG PEMUNGUTAN BEA KELUAR SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 214/PMK.04/2008 TENTANG PEMUNGUTAN BEA KELUAR MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (5), Pasal 14, dan Pasal 18 Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu fungsinya adalah sebagai fasilitator perdagangan harus dapat membuat

BAB I PENDAHULUAN. salah satu fungsinya adalah sebagai fasilitator perdagangan harus dapat membuat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah Pesatnya perkembangan industri dan perdagangan menimbulkan tuntutan masyarakat agar pemerintah dapat memberikan kepastian hukum dalam dunia usaha. Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 69/PMK.04/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 69/PMK.04/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 69/PMK.04/2009 TENTANG PENUNDAAN PEMBAYARAN CUKAI UNTUK PENGUSAHA PABRIK ATAU IMPORTIR BARANG KENA CUKAI YANG MELAKSANAKAN PELUNASAN DENGAN CARA PELEKATAN PITA CUKAI MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 25/BC/2007 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 25/BC/2007 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 25/BC/2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 21/BC/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TATALAKSANA KEPABEANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 160/PMK.04/2010 TENTANG NILAI PABEAN UNTUK PENGHITUNGAN BEA MASUK

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 160/PMK.04/2010 TENTANG NILAI PABEAN UNTUK PENGHITUNGAN BEA MASUK Menimbang : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 160/PMK.04/2010 TENTANG NILAI PABEAN UNTUK PENGHITUNGAN BEA MASUK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 640, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Deklarasi Inisiatif. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67/PMK.04/2015 TENTANG DEKLARASI INISIATIF (VOLUNTARY DECLARATION) ATAS

Lebih terperinci

EASE OF DOING BUSINESS TRADING ACROSS BORDER

EASE OF DOING BUSINESS TRADING ACROSS BORDER EASE OF DOING BUSINESS TRADING ACROSS BORDER SOSIALISASI PERBAIKAN KEMUDAHAN BERUSAHA 2017 CROWNE PLAZA HOTEL JAKARTA, 22 MARET 2016 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI GAMBARAN UMUM

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 254/PMK.04/2011 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 254/PMK.04/2011 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 254/PMK.04/2011 TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN UNTUK DIOLAH, DIRAKIT, ATAU DIPASANG

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 253/PMK.04/2011 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 253/PMK.04/2011 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 253/PMK.04/2011 TENTANG PENGEMBALIAN BEA MASUK YANG TELAH DIBAYAR ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN UNTUK DIOLAH,

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG NOMOR : KEP-14/BC/1999

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG NOMOR : KEP-14/BC/1999 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : KEP-14/BC/1999 TENTANG PAST RECORD IMPORTIR DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-09/BC/2009 TENTANG PETUNJUK PENYELESAIAN URUSAN PUNGUTAN EKSPOR DIREKTUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang cukup pesat pada awal abad 20-an. Perkembangan yang cukup pesat ini

BAB I PENDAHULUAN. yang cukup pesat pada awal abad 20-an. Perkembangan yang cukup pesat ini 1 BAB I PENDAHULUAN ` A. Latar Belakang Perkembangan dunia perdagangan internasional menunjukkan perkembangan yang cukup pesat pada awal abad 20-an. Perkembangan yang cukup pesat ini diimbangi kemajuan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 177/PMK.04/2013 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 177/PMK.04/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 177/PMK.04/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 253/PMK.04/2011 TENTANG PENGEMBALIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional memegang peranan penting dalam sejarah pembangunan di Negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia. Perdagangan internasional merupakan

Lebih terperinci

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-60826/PP/M.IIIB/99/2015. Tahun Pajak : 2011

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-60826/PP/M.IIIB/99/2015. Tahun Pajak : 2011 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-60826/PP/M.IIIB/99/2015 Jenis Pajak : Gugatan Tahun Pajak : 2011 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan gugatan terhadap penerbitan Keputusan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 177/PMK.04/2013 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 177/PMK.04/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 177/PMK.04/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 253/PMK.04/2011 TENTANG PENGEMBALIAN

Lebih terperinci

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan L

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan L No.942, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Pengembalian Bea Masuk. Impor Barang. Tujuan Ekspor. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 253/PMK.04/2011 TENTANG PENGEMBALIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

yang mana atas pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp ,00;

yang mana atas pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp ,00; Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.52224/PP/M.VII B/19/2014 Jenis Pajak : Bea Masuk Tahun Pajak : 2012 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap penerbitan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

ALTERNATIF 2 PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 39/M-DAG/PER/10/2010 TENTANG KETENTUAN IMPOR BARANG JADI OLEH PRODUSEN

ALTERNATIF 2 PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 39/M-DAG/PER/10/2010 TENTANG KETENTUAN IMPOR BARANG JADI OLEH PRODUSEN ALTERNATIF 2 PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 39/M-DAG/PER/10/2010 TENTANG KETENTUAN IMPOR BARANG JADI OLEH PRODUSEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

EASE OF DOING BUSINESS TRADING ACROSS BORDER

EASE OF DOING BUSINESS TRADING ACROSS BORDER EASE OF DOING BUSINESS TRADING ACROSS BORDER SOSIALISASI PERBAIKAN KEMUDAHAN BERUSAHA 2017 HOTEL BUMI SURABAYA, 08 APRIL 2016 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai GAMBARAN UMUM BORDER PROTECTING COMMUNITY

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 2007/85, TLN 4740] 46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga

Lebih terperinci

Tanggal Penetapan: 28 Juli 2016 Tanggal Revisi Revisi ke-

Tanggal Penetapan: 28 Juli 2016 Tanggal Revisi Revisi ke- No. SOP: 008/SOP- WBC.10/KPP.MP.01/ 2016 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR WILAYAH JAWA TIMUR I KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI TIPE MADYA PABEAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

TECHNICAL newsflash SEPTEMBER 2016 TECHNICAL

TECHNICAL newsflash SEPTEMBER 2016 TECHNICAL Indonesian Institute Of Certified Public Accountants SUMMARY: PERTIMBANGAN AUDITOR TERHADAP REGULASI DAN PERATURAN KEPABEANAN DAN CUKAI DALAM PELAKSANAAN AUDIT LAPORAN KEUANGAN SUATU ENTITAS YANG MELAKSANAKAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia

Presiden Republik Indonesia PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 254/PMK.04/2011 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 254/PMK.04/2011 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 254/PMK.04/2011 TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN UNTUK DIOLAH, DIRAKIT, ATAU DIPASANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1996 TENTANG PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI DI BIDANG CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1996 TENTANG PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI DI BIDANG CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1996 TENTANG PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI DI BIDANG CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995

Lebih terperinci

No dan Cukai. Penting untuk digarisbawahi bahwa mekanisme perekaman ini sama sekali tidak menggantikan mekanisme pendaftaran HKI kepada Direkt

No dan Cukai. Penting untuk digarisbawahi bahwa mekanisme perekaman ini sama sekali tidak menggantikan mekanisme pendaftaran HKI kepada Direkt TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6059 EKONOMI. Pelanggaran HKI. Impor. Ekspor. Pengendalian. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 108) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA [LN 1999/66, TLN 3843]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA [LN 1999/66, TLN 3843] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA [LN 1999/66, TLN 3843] BAB XI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 65 Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KE LUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KE LUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KE LUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1996 TENTANG PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI KEPABEANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1996 TENTANG PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI KEPABEANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1996 TENTANG PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI KEPABEANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci