ANALISIS ASPEK BIOLOGI IKAN TERBANG Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, DI PERAIRAN PEMUTERAN, BALI BARAT TESIS DONY ARMANTO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS ASPEK BIOLOGI IKAN TERBANG Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, DI PERAIRAN PEMUTERAN, BALI BARAT TESIS DONY ARMANTO"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS ASPEK BIOLOGI IKAN TERBANG Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, DI PERAIRAN PEMUTERAN, BALI BARAT TESIS DONY ARMANTO FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM MAGISTER ILMU KELAUTAN DEPOK JANUARI 2012

2 2 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS ASPEK BIOLOGI IKAN TERBANG Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, DI PERAIRAN PEMUTERAN, BALI BARAT TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains DONY ARMANTO FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM MAGISTER ILMU KELAUTAN DEPOK JANUARI 2012 ii

3 3 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Tesis ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Dony Armanto NPM : Tanda Tangan :... Tanggal : 3 Januari 2012 iii

4 4 HALAMAN PENGESAHAN Tesis ini diajukan oleh: Nama : Dony Armanto NPM : Program Studi : Magister Ilmu Kelautan Judul Tesis : Analisis Aspek Biologi Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, di Perairan Pemuteran, Bali Barat Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,. DEWAN PENGUJI Pembimbing I : Prof. Dr. Ir. Ono K. Sumadhiharga (...) Pembimbing II : Drs. Sundowo Harminto, M.Sc (...) Penguji I : Prof. Dr. Ir. Asikin Djamali (...) Penguji II : Dr. rer. nat. Yasman, S.Si., M.Sc (...) Ditetapkan : Depok Tanggal : 3 Januari 2012 iv

5 5 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga tesis ANALISIS ASPEK BIOLOGI IKAN TERBANG Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, DI PERAIRAN PEMUTERAN, BALI BARAT ini berhasil diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Magister Ilmu Kelautan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (F- MIPA),. Ikan terbang Cheilopogon katoptron merupakan hasil tangkapan utama yang banyak tertangkap dengan pengoperasian jaring insang (gillnet) di perairan Pemuteran Bali Barat. Pemanfaatan ikan terbang yang tidak terkendali dapat mengancam kelestarian ikan terbang. Salah satu informasi ilmiah yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan dan konservasi ikan terbang antara lain adalah biologi reproduksi dan parameter lingkungan perairan. Maka itu, muncul pemikiran yang mendorong penulis untuk meneliti aspek biologi reproduksi, parameter lingkungan perairan dan jenis makanan utama ikan terbang di perairan Bali Barat. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Ono Kurnaen Sumadhiharga, M.Sc., dan Bapak Drs. Sundowo Harminto, M.Sc., selaku pembimbing I dan pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan mulai dari awal penyusunan proposal penelitian hingga selesainya tesis ini. 2. Prof. Dr. Ir. Asikin Djamali (Dosen pengajar Pascasarjana di F-MIPA UI), yang telah memberikan informasi tambahan, saran, dan studi literatur. 3. Bapak Parino (mantan Teknisi Litkayasa Penyelia di Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI-Jakarta), yang telah membantu dalam proses pengumpulan data parameter fisik air laut dan identifikasi spesies ikan terbang, mulai dari April 2011 hingga Juni Ibu Sugestiningsih (Teknisi Litkayasa Penyelia di Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI-Jakarta), yang telah membantu dalam proses v

6 6 pengumpulan data dan identifikasi plankton, mulai dari April 2011 hingga Juni Prof. Dr. Harianti (Peneliti Utama di Balai Besar Riset dan Penelitian Budidaya Laut, Gondol-Bali), yang telah membantu dalam proses analisis isi perut dan gonad ikan terbang, mulai dari April 2011 hingga Juni Dr. A. Harsono, M.Sc., dan Dra. Tuty Handayani, M.S., selaku Ketua dan Sekretaris Program Magister Ilmu Kelautan, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia. 7. Bapak Miazwir dan segenap pimpinan di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, yang telah memberikan bantuan dan dukungan non-teknis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tahapan perkuliahan hingga penyusunan laporan akhir pada Program Magister Ilmu Kelautan, Fakultas MIPA,. 8. Isteriku (Arik Sulandari) dan anak-anakku tercinta (Azim Asshidiq Rama Dhani & Qaisara Shifa Batrishyadhani), yang telah memberikan semangat dan motivasi yang luar biasa, sehingga ayah dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada waktunya. 9. Para sahabat dan teman-teman se-angkatan pada Program Magister Ilmu Kelautan, Fakultas MIPA,, yang telah memberi teladan yang baik. Demikian tulisan ini dibuat dengan sebenar-benarnya. Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini, maka itu penulis berharap adanya masukan dan saran dari para dosen, para ahli dan pemerhati yang membaca tesis ini, demi penyempurnaannya di kemudian hari. Depok, Januari 2012 Penulis vi

7 7 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik, saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama : Dony Armanto NPM : Program Studi Fakultas Jenis Karya : Magister Ilmu Kelautan : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam : Tesis demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Nonekslusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul Analisis Aspek Biologi Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, di Perairan Pemuteran, Bali Barat, beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 3 Januari Yang menyatakan: (Dony Armanto) vii

8 8 ABSTRAK Nama Program Studi Judul : Dony Armanto : Magister Ilmu Kelautan : Analisis Aspek Biologi Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, di Perairan Pemuteran, Bali Barat Aspek biologi ikan terbang merupakan salah satu informasi ilmiah yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan pengelolaannya. Aspek ini diuji pada ikan terbang Cheilopogon katoptron yang merupakan hasil tangkapan utama nelayan di perairan Pemuteran Bali Barat, dengan pengoperasian drift gillnet selama bulan April-Juni Aspek biologi merupakan permasalahan utama yang dibahas dalam penelitian, dengan tujuan untuk memperoleh informasi nisbah kelamin, pola pertumbuhan, kondisi, masa pemijahan, kondisi lingkungan, dan makanan. Pengumpulan sampel meliputi data panjang-berat, kematangan gonad, isi perut, data parameter fisik air dan populasi plankton. Data dianalisis dengan fungsi regresi, uji-t dan koefisien determinasi. Data sebaran panjang untuk ikan terbang jantan pada mm dan betina mm, dengan perbandingan sex ratio jantan-betina sebesar 1,8:1,0. Kondisi ikan terbang jenis ini dinyatakan sebagai ikan yang kurus dan belum memasuki masa pemijahan. Pertambahan ukuran panjang ikan memberikan pengaruh yang nyata dan keeratan yang tinggi terhadap pertambahan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan (2,6 %) dan betina (1,8 %). Pertambahan panjang ikan juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap volume isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron, yakni pada kisaran 1,7-2,8 %. Pada bulan Juni 2011, perairan Pemuteran Bali Barat diduga terjadi upwelling, yang didukung oleh data parameter fisik air laut dan adanya lonjakan pertumbuhan fitoplankton. Kata kunci: biologi reproduksi, Bali Barat, Cheilopogon katoptron, drift gillnet, upwelling viii

9 9 ABSTRACT Name Studied Programme Title : Dony Armanto : Magister Ilmu Kelautan : Analysis of Biological Aspects on Flying Fish Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, in Pemuteran Waters, West Bali Biological aspects of flying fish is one of the scientific information needed to formulate management policy. This aspect was tested on Cheilopogon katoptron which the main catches of fishermen in the waters of Pemuteran Bali Barat, with the operation of drift gillnet during of April to June Biologycal aspect is the main issue discussed in the research, with the aim to obtain information sex ratio, growth patterns, conditions, spawning time, food and environmental conditions. Samples collection was cover of length-weight data, gonad maturity, stomach contents, physical water parameters and plankton populations. Data were analyzed with regression, t-test and determination coefficient. Data on the distribution of the length on male was mm and female was mm, with a sex ratio of male-female were 1.8:1.0. The condition of fish flying fish species is expressed as a skinny and have not entered the spawning period. Added fish length gives a real impact and high closeness of flying fish weight Cheilopogon katoptron, males (2.6 %) and females (1.8 %). Fish length also provide a noticeable effect on the stomach contents volume of, in the range of 1.7 % to 2.8 %. In June 2011, the waters of Pemuteran Bali Barat is suspected upwelling, which is supported by the data of physical water parameters and occurrence of phytoplankton blooming. Keywords: Cheilopogon katoptron, drift gillnet, reproductive biology, upwelling, West Bali ix

10 10 DAFTAR ISI halaman SAMPUL... HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ABSTRAK... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR RUMUS... i ii iii iv v vii viii x xiii xiv xvi I. PENDAHULUAN Latar belakang Perumusan masalah Jenis penelitian Tujuan penelitian Batasan penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian umum perikanan Sumberdaya ikan terbang Taksonomi dan ciri-ciri ikan terbang Habitat dan sebaran geografis ikan terbang Keragaman spesies ikan terbang Tingkah laku ikan terbang Struktur populasi ikan terbang Musim dan kelimpahan ikan terbang Makanan dan predator ikan terbang Biologi reproduksi ikan terbang Nisbah kelamin ikan terbang Faktor kondisi ikan terbang Tingkat kematangan gonad ikan terbang Indeks kematangan gonad ikan terbang Fekunditas ikan terbang Diameter telur Plankton Distribusi dan peranan plankton Struktur komunitas dan kelimpahan x

11 Indeks keanekaragaman Indeks keseragaman Indeks dominansi Keanekaragaman plankton Fitoplankton Zooplankton Potensi dan tingkat pemanfaatan ikan terbang Kapal dan alat alat tangkap jaring insang Baku mutu air laut Suhu air laut Derajat keasaman (ph) air laut Salinitas Oksigen terlarut Kecerahan Fenomena upwelling III. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian Bahan dan alat Pengumpulan data Data sampel ikan terbang Data parameter fisik air Data plankton Uji laboratorium Pengamatan isi perut ikan terbang Pengamatan gonad ikan terbang Pengolahan data Nisbah kelamin Faktor kondisi Tingkat kematangan gonad Indeks kematangan gonad Fekunditas Analisis Hubungan panjang dengan berat ikan terbang IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi umum ikan terbang Cheilopogon katoptron Hasil dan Pembahasan Sebaran panjang-berat ikan terbang Cheilopogon katoptron Nisbah kelamin ikan terbang Cheilopogon katoptron Faktor kondisi ikan terbang Cheilopogon katoptron Tingkat kematangan gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron Parameter fisik air laut Komposisi plankton Fitoplankton Zooplankton xi

12 Komposisi isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron Hubungan panjang dan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron Hubungan isi perut dan panjang ikan terbang Cheilopogon katoptron V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

13 13 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1. Tingkat kematangan gonad ikan terbang Hirundichthys oxycephalus Tabel 2.2. Kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Tabel 2.3 Beberapa parameter baku mutu air laut Tabel 4.1. Tingkat kematangan gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron Tabel 4.2. Kondisi rata-rata kualitas air laut di perairan Pemuteran Bali Barat, bulan April-Juni Tabel 4.3. Indeks keanekaragaman dan kemerataan Shannon-Wiener fitoplankton di perairan Pemuteran, bulan April-Juni Tabel 4.4. Indeks keanekaragaman dan kemerataan Shannon-Wiener zooplankton di perairan Pemuteran, bulan April-Juni Tabel 4.5. Hasil analisis pengaruh panjang terhadap berat ikan terbang Cheilopogon katoptron, bulan April-Juni Tabel 4.6. Sebaran data isi perut dan panjang ikan terbang Cheilopogon katoptron, bulan April-Juni Tabel 4.7. Hasil analisis pengaruh panjang terhadap isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron, bulan April-Juni xiii

14 14 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.1. Kerangka pikir penelitian tentang ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat Gambar 2.1. Taksonomi ikan terbang Cheilopogon katoptron Gambar 2.2. Sebaran geografis ikan terbang di Indonesia Gambar 2.3. Jenis-jenis plankton makanan ikan terbang Gambar 2.4. Ikan terbang yang diasap di Desa Sririt, Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali Gambar 2.5. Konstruksi alat tangkap jarring insang Gambar 2.6. Sistem operasi jaring insang hanyut Gambar 3.1. Lokasi penelitian di perairan Pemuteran, Bali Barat Gambar 4.1 Kapal penangkap ikan terbang di perairan Pemuteran Gambar 4.2. Beberapa spesies ikan terbang yang tertangkap di perairan Pemuteran, Bali Barat Gambar 4.3. Sebaran frekuensi ikan terbang Cheilopogon katoptron berdasarkan selang panjang total (mm), April-Juni Gambar 4.4. Perbedaan ukuran panjang rata-rata ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat, April-Juni Gambar 4.5. Nisbah kelamin ikan terbang Cheilopogon katoptron per selang panjang total (mm) Gambar 4.6. Nisbah kelamin ikan terbang Cheilopogon katoptron Gambar 4.7. Sebaran faktor kondisi ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan dan betina per bulan Gambar 4.8. Struktur histologis gonad ikan terbang C. katoptron betina Gambar 4.9. Tingkat kematangan gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron per bulan Gambar Jumlah rata-rata fitoplankton per spesies (sel/m 3 ), April-Juni Gambar Jumlah rata-rata individu fitoplankton (sel/m 3 ) per bulan Gambar Komposisi jumlah rata-rata zooplankton per genus (ind/10 3 m 3 ), April-Juni Gambar Komposisi isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron berdasarkan kelompok makanan per bulan Gambar Makanan Utama ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat, April-Juni Gambar Komposisi isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron per selang panjang, April-Juni Gambar Hubungan panjang dan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron, April Gambar Hubungan panjang dan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron, Mei xiv

15 15 Gambar Hubungan panjang dan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron, Juni Gambar Hubungan ukuran panjang ikan dengan isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron, April-Juni xv

16 16 DAFTAR RUMUS Halaman Rumus 3.1. Persamaan nisbah kelamin Rumus 3.2. Persamaan faktor kondisi allometrik Rumus 3.3. Persamaan faktor kondisi isometrik Rumus 3.4. Persamaan indeks kematangan gonad Rumus 3.5. Persamaan fekunditas Rumus 3.6. Persamaan hubungan panjang dengan berat Rumus 3.7. Persamaan fungsi regresi xvi

17 17 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan terbang (Exocoetidae) merupakan salah satu sumberdaya ikan pelagis kecil yang mempunyai ciri khusus berupa kemampuan untuk dapat terbang di atas permukaan air. Ikan terbang menghuni lapisan permukaan perairan tropis dan subtropis dari samudera Pasifik, Hindia, Atlantik dan laut-laut disekitarnya. Paling sedikit telah diketahui 18 species ikan terbang yang tersebar di perairan Indonesia (Weber & De Beaufort,1992). Ikan terbang banyak dijumpai di perairan timur Indonesia, di antaranya adalah Selat Makassar, Laut Flores, Laut Natuna, Laut Aru, Laut Arafura Papua, bagian utara Sulawesi Utara, perairan Bali dan Jawa Timur, pantai barat Sumatera Barat, Laut Halmahera, Laut Banda, perairan Sabang (Banda Aceh) dan laut utara Papua (Syahailatua, 2006). Ikan terbang di perairan Bali masuk dalam kelompok sumberdaya ikan pelagis kecil di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 713 dengan jangkauan wilayah perairan mulai dari Selat Makassar hingga ke Laut Flores. Pada tahun 2010, potensi lestari ikan terbang di WPP 713 mencapai ton per tahun. Namun dengan tingkat pengusahaan yang sangat tinggi, ikan terbang di beberapa wilayah perairan Indonesia, khususnya di WPP 713 telah mengalami overfishing. Tingkat pengusahaan/eksploitasi ikan terbang di Indonesia secara total mulai dari tahun mengalami penurunan sebesar 3,01% (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2010). Pemanfaatan ikan terbang yang tidak terkendali telah mengancam kelestarian ikan terbang (Nessa et al., 1977; Nessa 1978; Ali 1981; Nessa et al., 1993; Ali et al., 2004a; 2004b; 2005), sehingga dalam rangka pemulihannya diperlukan suatu rencana pengelolaan dan konservasi agar pemanfaatan ikan terbang dapat berlangsung secara berkelanjutan. Pada tahun 1980, peneliti dari Universitas Hasanuddin memulai riset yang lebih mendalam untuk aspek reproduksi (Ali, 1981), namun lokasi penelitian 17

18 18 sangat terbatas hanya di perairan Selat Makassar dan Laut Flores. Tahun 1990, penelitian perikanan ikan terbang tetap dilakukan namun secara sporadik di beberapa lokasi dengan berbagai aspek, antara lain Peristiwady (1991); Nessa et al. (1992); Wijanarko (1994); Ali (1994); Andamari dan Zubaidi (1994); Nessa et al. (2005); dan Rizal (1996). Selanjutnya, pada awal abad-21, penelitian ikan terbang di Selat Makassar dan Laut Flores kembali semarak dengan sedikitnya ada empat kajian yang mendalam (Baso, 2004; Sihotang, 2005; Ali, 2005; dan Yahya, 2006). Dalam kurun waktu yang sama ( ), LIPI melalui program Sensus Biota Laut mencoba untuk mengkaji kembali ikan terbang sebagai salah satu komoditi perikanan yang dapat diunggulkan (Syahailatua, 2004b & 2005). Informasi ilmiah yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan dan konservasi ikan terbang antara lain adalah distribusi dan keragaman, musim dan kelimpahan, ekologi, biologi dan reproduksi, dinamika populasi, struktur populasi, teknologi penangkapan, pasca-panen dan sosial ekonomi. Informasi tentang komposisi ukuran merupakan aspek penting dalam mempelajari biologi ikan, fisiologi, ekologi dan dasar yang digunakan untuk mengetahui tentang faktor kondisi ikan serta mendeterminasi sifat pertumbuhan ikan apakah isometrik atau alometrik melalui analisis hubungan panjang dan bobot ikan (Ricker, 1975). Informasi kebiasaan makanan ikan juga merupakan faktor yang menentukan bagi populasi pertumbuhan dan kondisi ikan (Effendie, 2002). Jumlah sediaan ikan di suatu lokasi merupakan fungsi dari potensialitas makanan, sehingga pengetahuan yang benar dari hubungan antara ikan dan organisme makanannya sangat penting untuk prediksi dan eksploitasi dari ikan tersebut (Nikolsky, 1963). Ketersediaan makanan di suatu perairan, meliputi jumlah dan kualitas makanan serta kemudahan mendapatkan makanan tersebut, merupakan faktor yang memengaruhi besarnya populasi ikan di perairan tersebut. Makanan yang diambil oleh ikan dan dimanfaatkan dalam siklus metabolisme tubuhnya akan berpengaruh perubahan pertumbuhan, reproduksi, dan tingkat keberhasilan hidup untuk tiap-tiap individu ikan diperairan tersebut. Ketersediaan makanan disuatu perairan dipengaruhi oleh kondisi biotik dan abiotik lingkungan, seperti suhu, cahaya, ruang dan luas permukaan (Effendie, 2002).

19 19 Beberapa kawasan penghasil ikan terbang mungkin dapat dijadikan alternatif pilihan untuk penelitian ikan terbang, diantaranya adalah kawasan perairan Bali Barat. Kawasan Bali dan sekitarnya (sepanjang Laut Flores bagian selatan) merupakan salah satu penghasil ikan terbang setelah kawasan Sulawesi Selatan (sepanjang pantai timur Selat Makasar). Namun demikian, ikan terbang di kawasan Bali dan sekitarnya belum dikelola dengan baik dan optimal. Kawasan Bali dan sekitarnya juga mendukung upaya pengembangan ekonomi ikan terbang, karena kedekatan akses kepada pembeli dan pusat teknologi. Berdasarkan berbagai isu dan permasalahan diatas, maka informasi ilmiah terkait aspek biologi reproduksi ikan terbang di perairan Pemuteran Bali Barat sangat diperlukan, dalam rangka pengelolaan ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali Barat secara berkelanjutan, serta bermanfaat dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang perikanan ikan terbang di Indonesia pada umumnya. 1.2 Perumusan Masalah Salah satu aspek untuk mendukung upaya pengelolaan sumberdaya ikan adalah pengetahuan dasar mengenai aspek biologi, lingkungan dan makanan. Maka itu, untuk menambah pengetahuan dasar dalam rangka pengelolaan ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali Barat, dirumuskan beberapa masalah yang menjadi faktor keberlanjutan potensi perikanan ikan terbang sebagai berikut: a. Bagaimana kondisi aspek biologi reproduksi dan lingkungan ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat? b. Apa jenis makanan utama ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat? c. Berapa besar pengaruh pertambahan panjang terhadap berat ikan Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat? d. Berapa besar pengaruh pertambahan panjang terhadap tingkat nafsu makan ikan Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat? Rumusan masalah tersebut menjadi landasan pemikiran dalam mengambil topik dan tema penelitian, sehingga diperoleh judul Analisis Aspek Biologi Ikan

20 20 Terbang Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, di Perairan Pemuteran, Bali Barat, sebagaimana diilustrasikan dalam kerangka pikir penelitian di bawah ini (Gambar 1.1). Pengelolaan Sumberdaya Ikan Terbang Perairan Pemuteran, Bali Barat Daerah Penangkapan Penangkapan Utama Kapal katinting dengan alat tangkap drift gillnet Dinamika Populasi Penelitian Ikan Terbang Aspek Biologi - Sebaran panjang-berat - Nisbah kelamin - Faktor kondisi - Tingkat kematangan gonad Suhu, Salinitas, ph, DO, kecerahan Plankton Makanan utama ikan terbang Informasi biologi reproduksi, parameter fisik air laut dan makanan utama ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Bali Barat Gambar 1.1. Kerangka pikir penelitian tentang ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali Barat

21 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan survei. Pada penelitian ini, dideskripsikan aspek biologi reproduksi ikan terbang Cheilopogon katoptron, parameter fisik air laut perairan Pemuteran dan isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron yang tertangkap di perairan Pemuteran, Bali Barat pada bulan April-Juni Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: a. Menganalisis kondisi aspek biologi, parameter fisik air dan jenis makanan utama ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran-Bali Barat. b. Menganalisis pengaruh dan keeratan hubungan pertambahan panjang terhadap berat ikan terbang Cheilopogon katoptron. c. Menganalisis pengaruh dan keeratan hubungan ukuran panjang terhadap volume isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang ikan terbang Cheilopogon katoptron, khususnya di perairan Pemuteran Bali Barat, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Informasi biologi yang diperoleh dari penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu bahan informasi dalam pengambilan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan ikan terbang secara berkelanjutan di perairan Bali pada umumnya. 1.5 Batasan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada ikan terbang dari spesies Cheilopogon katoptron, yang tertangkap dengan alat tangkap drift gillnet. Wilayah penelitian dilakukan di perairan Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, pada bulan April 2011 hingga Juni Aspek yang diteliti dalam penelitian ini meliputi beberapa aspek biologi reproduksi (sebaran panjang-berat, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, faktor kondisi), parameter fisik air laut (suhu, salinitas, ph, DO, kecerahan), populasi plankton (fitoplankton dan zooplankton), serta jenis makanan utama ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali

22 22 Barat. Analisis data dilakukan pada variabel panjang, berat dan isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron, guna mengukur persentase pengaruh dan keeratan hubungan antar variabel.

23 23 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Umum Perikanan Perikanan adalah suatu usaha yang menghasilkan atau mengeksploitasi semua benda-benda yang hidup dan berada di suatu perairan (aquatic resources). Sumberdaya perikanan adalah seluruh binatang dan tumbuhan yang hidup di perairan (baik di darat maupun di laut). Oleh sebab itu, perikanan dibedakan menjadi perikanan darat dan perikanan laut. Perikanan sebagai suatu usaha dimulai dengan usaha melakukan penangkapan ikan (fishing), budidaya ikan, dan kegiatan pengelolaan hingga pemasaran hasil (Mubyarto, 1995). Sumberdaya perikanan di perairan Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar yaitu sumberdaya ikan pelagis, sumberdaya ikan demersal, dan biota non-ikan. Sumberdaya ikan pelagis adalah spesies ikan yang hidup/berada di sekitar permukaan. Ikan pelagis terdiri dari dua kelompok besar yaitu ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil. Sumberdaya ikan demersal adalah spesies ikan atau biota lain yang hidup di dasar perairan. Biota non-ikan yang mempunyai nilai ekonomis penting antara lain cumi-cumi, teripang, kekerangan, dan rumput laut (Direktorat Jenderal Perikanan, 1979). 2.2 Sumberdaya Ikan Terbang Taksonomi dan Ciri-Ciri Ikan Terbang Sistematika ikan terbang pertama kali ditulis oleh Linneaus pada tahun 1758, khususnya spesies Exocoetus volitans. Sampai pada pertengahan abad-19, penelitian lebih banyak pada aspek taksonomi dan anatomi, setelah itu mulai dipelajari aspek biologi lainnya dari ikan terbang (Davenport, 1994). Ikan terbang (Exocoetidae) mempunyai delapan genus, yaitu Cheilopogon (30 spesies), Cypselurus (11 spesies), Exocoetus (2 spesies), Fodiator (2 spesies), Hirundichthys (7 spesies), Oxyporhampus (3 spesies), Parexocoetus (3 spesies), dan Prognichthys (4 spesies) (Delsman & Hardenberg, 1931; Saanin, 1984; Hutomo et al., 1985; Parin, 1999; Froese & Pauly, 2006). 23

24 24 Namun, revisi taksonomi ikan terbang memisahkan genus Cypselurus dan Cheilopogon (Parin, 1999; Syahailatua, 2004a & 2006), serta memindahkan beberapa spesies ke genus yang lain, sehingga spesies-spesies yang umum dikenal di Indonesia mengalami pergantian nama ilmiahnya, seperti Cypselurus oxycephalus menjadi Hirundichthys oxycephalus (Syahailatua, 2006). Ikan terbang berdasarkan jumlah sayapnya dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu (a) kelompok dua sayap yaitu mempunyai satu pasang sayap dada seperti Exocoetus dan Vodiator, dan (b) kelompok empat sayap yaitu mempunyai satu pasang sayap dada dan satu pasang sayap ventral yang panjang seperti Cypselurus dan Hirundichthys. Ikan terbang yang bersayap empat ukurannya lebih besar daripada ikan yang bersayap dua. Ikan terbang dewasa dapat mencapai panjang mm (Davenport, 1994). Di Indonesia ukuran paling umum 200 mm (Hirundichthys oxycephalus), dan yang paling panjang 300 mm (Cypselurus poecilopterus) (Hutomo et al., 1985). Spesies ikan terbang secara umum memiliki ciri berupa bentuk tubuh yang bulat memanjang seperti cerutu (oblong), agak mampat pada bagian samping. Bagian atas tubuh dan kepala berwarna gelap, bagian bawah tubuh mengilap, hal ini dimaksudkan untuk menghindari pemangsa baik dari air seperti ikan lumbalumba maupun dari udara, yaitu burung pemakan ikan. Kedua rahangnya sama panjang. Memiliki duri-duri lemah pada sirip dorsal berjumlah 10-12, sirip anal berjumlah 11-12, dan sirip pektoral sebanyak 14-15, dengan sirip pertama tidak bercabang (Parin, 1999). Sirip pektoral panjang yang diadaptasikan untuk melayang. Sirip ventral panjang atau pendek, tertancap pada bagian abdominal dengan enam buah duri lemah yang bercabang. Sirip ekor bercagak dengan bagian bawah lebih panjang. Garis lateral terletak pada bagian bawah tubuh (Hutomo et al., 1985). Menurut Syahailatua (2004a), ikan terbang memiliki beberapa nama lokal, di antaranya adalah ikan siloar (Binuangeun), ikan terbang (Ternate dan Palabuhanratu), antoni (Minahasa, Sangir, Talaud, Bitung), tuing-tuing (Bugis), torani (Makassar), tourani (Mandar). Klasifikasi taksonomi ikan terbang Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865 dapat dilihat pada Gambar 2.1.

25 25 Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Osteichthyes Subkelas : Actinopterygii Ordo : Beloniformes Famili : Exocoetidae Genus : Cheilopogon Spesies : Cheilopogon katoptron Gambar 2.1. Taksonomi ikan terbang Cheilopogon katoptron Bleeker, Habitat dan Sebaran Geografis Ikan Terbang Ikan terbang merupakan ikan pelagis kecil yang menghuni lapisan permukaan perairan (laut) tropis dan subtropis pada kedalaman 0-20 m. Ikan ini tersebar pada Samudera Pasifik, Hindia, Atlantik dan laut di sekitarnya. Sebaran dari ikan ini dibatasi oleh isotherm 20 C. Jumlah spesies terbanyak terdapat di wilayah khatulistiwa, makin ke utara dan selatan makin sedikit spesiesnya. Terdapat 5 hingga >20 spesies ikan terbang ditemukan di bagian tengah Samudera Pasifik (Oseania), spesies ditemukan di perairan pulau-pulau Hawaii, perairan pantai Australia dihuni oleh 10 spesies, perairan Selandia Baru oleh 6 spesies, sedangkan di pantai Amerika bagian Samudera Pasifik dilaporkan ditemukan lebih dari 12 spesies (Hutomo et al.,1985). Samudera Pasifik merupakan daerah yang kaya ikan terbang dengan sekitar 40 spesies yang menghuninya, terutama di perairan Indonesia, Filipina, Jepang bagian selatan dan Oseania. Dengan kata lain, perairan ini merupakan pusat penyebaran ikan terbang (Hutomo et al.,1985).

26 26 Ikan terbang banyak dijumpai di perairan timur Indonesia, di antaranya adalah Selat Makassar, Laut Flores, Laut Natuna, Laut Aru, Laut Arafura Papua, bagian utara Sulawesi Utara, perairan selatan Bali dan Jawa Timur, pantai barat Sumatera Barat, Laut Halmahera, Laut Banda, perairan Sabang (Banda Aceh) dan laut utara Papua. Menurut Sihotang (2004), ikan terbang di Sulawesi Selatan melakukan ruaya untuk keberhasilan penetasan telur dan ketersediaan makanan anaknya. Ruaya pemijahan ini memiliki pengaruh langsung terhadap proses rekruitmen dan mortalitas. Ikan terbang bukan tipe ikan peruaya jarak jauh, ikan ini hanya beruaya dekat pantai dan kearah laut. Ikan terbang merupakan spesies ikan oseanodrom, artinya ikan yang seluruh daur hidupnya berada di laut, memijah di laut, mulai dari telur, kemudian menetas menjadi larva, lalu juvenil, dan dewasa di laut. Gambar 2.2 menyajikan sebaran geografi ikan terbang di Indonesia (Syahailatua, 2006). 1 Gambar 2.2. Sebaran geografis ikan terbang di Indonesia [Sumber: Syahailatua, 2006] Menurut Hutomo et al. (1985), distribusi ikan terbang di perairan Indonesia terdapat di wilayah perairan bagian barat maupun bagian timur Indonesia. Beberapa wilayah perairan yang merupakan wilayah distribusi ikan terbang di Indonesia antara lain Selat Makassar, Laut Flores, Laut Banda, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Sawu, Teluk Tomini dan Laut Jawa.

27 Keragaman Spesies Ikan Terbang Hutomo et al. (1985) pernah merangkum sekitar 53 spesies ikan terbang di dunia, masing-masing 17 spesies di Samudera Atlantik, 11 spesies di Samudera Hindia dan 40 spesies di Samudera Pasifik. Di Samudera Pasifik, Nelson (1994) mencatat sekitar spesies. Publikasi terakhir yang dilaporkan Parin (1999) di bagian tengah Pasifik terdapat 6 genus-genus dan 31 spesies, yaitu Cheilopogon 14 spesies, Cypselurus 7 spesies, Exocoetus 3 spesies, Hirundichthys 3 spesies dan Prognichthys 2 spesies. Wilayah khatulistiwa mempunyai jumlah spesies lebih banyak dan semakin ke selatan atau ke utara jumlah spesiesnya semakin sedikit (Hutomo et al., 1985). Di sebelah barat Luzon (Filipina) ikan terbang didominasi oleh Hirundichthys oxcycephalus (Dalzell, 1993) dan beberapa spesies lain, yaitu Cypselurus poecilopterus, Cheilopogon nigricans, Cheilopogon cyanopterus, Paraexocoetus brachypterus, dan Hirundichthys rondeletti. Dari 18 spesies ikan terbang yang ada diperairan Indonesia, 15 diantaranya telah dikoleksi oleh Lembaga Oseonologi Nasional-LIPI. Dari 15 spesies ini 12 spesies berada di genus Cypselurus (Hutomo et al., 1985). Khusus diperairan Selat Makassar dan Laut Flores diidentifikasi 3 genus dan 11 spesies, yaitu Cypselurus oxycephalus, C. oligolepis, C. poecilopterus, C. altipennis, C. speculiger, C. ophisthopus, C. nigricans, C. swainson, Cypselurus sp, Evolantia micropterus, dan Proghnichthys sealei (Nessa et al., 1977). Menurut Ali (1981), yang paling dominan di Laut Flores Sulawesi Selatan adalah C. oxycephalus dan C. poecilopterus. Informasi tentang keragaman spesies ikan terbang di beberapa wilayah perairan atau wilayah penangkapan di Indonesia sangat kurang. Di seluruh Indonesia, Hutomo et al. (1985) pernah merangkum jumlah spesies ikan terbang di Indonesia sekitar 18 spesies namun belum menunjukkan keragaman berdasarkan wilayah penyebaran atau wilayah penangkapan. Di Selat Makassar dan Laut Flores (Sulawesi Selatan), Nessa et al. (1977) mengidentifikasi sekitar 11 spesies ikan terbang yaitu Hirundichthys oxycephalus, Cypselurus altipennis, Cypselurus speculiger, Cypselurus oligolepis, Cypselurus ophisthopus, Cypselurus nigricans, Cypselurus poecilopterus, Cypselurus swainson, Cypselurus sp. Evolantia micropterus, dan Proghnithys sealei. Di Laut Flores dan

28 28 Selat Makassar didominasi oleh spesies ikan terbang Hirundichthys oxycephalus atau Cypselurus oxycephalus yang dikenal dengan nama lokal torani atau tuingtuing (Nessa et al., 1977; Ali, 1981) Tingkah Laku Ikan Terbang Ikan terbang tergolong ikan pelagis kecil, hidup di permukaan laut, termasuk perenang cepat, dapat tertarik oleh cahaya pada malam hari, dan mampu meluncur keluar dari permukaan air dan melayang di udara (Munro, 1967; Davenport, 1994; Parin, 1999). Kecepatan renang ikan terbang mil per jam dan dapat mencapai 100 m dalam waktu kurang lebih 10 detik (Nikolsky, 1963). Penelitian mekanisme terbang ikan ini telah diteliti dengan bantuan alat fotografi (stroboscopic filming) untuk pengembangan ilmu pengetahuan aerodinamika. Tingkah laku ikan terbang diuraikan oleh Davenport (1994), bahwa sirip dan gelembung gas mempunyai peranan keseimbangan di udara. Sirip dada (pectoral fin) yang lebar berfungsi sebagai alat keseimbangan terutama pengaruh grativasi. Sirip ekor sebagai alat pendorong ketika akan mulai terbang (taxing flight). Sirip dada dikendalikan oleh otot-otot aerobik masing-masing, otot lateral membuka sayap dan otot medial melipat sayap. Dalam proses terbang, pertama-tama ikan berenang mendekati permukaan air dengan sayap terlipat, kemudian keluar dari permukaan laut dengan dengan sudut 30 o dari permukaan air, sayap dibuka lalu melakukan taxing flight sekitar 5-25 m. Pada saat taxing flight, sirip ekor berputar setengah lingkaran sebanyak kali/detik untuk menimbulkan dorongan, kemudian ikan lepas dari permukaan air dan terbang dengan kecepatan sekitar 72 km/jam. Setelah mencapai jarak 50 m dengan ketinggian sekitar 8 m ikan mulai turun dan ekornya masuk terlebih dahulu ke dalam air. Kemudian ekor kembali mendorong untuk melakukan terbang ulang. Dalam waktu 30 detik akan menempuh jarak sekitar 400 m setelah melalui beberapa kali terbang. Tingkah laku ini bertujuan untuk menghindar dari predator dan gangguan kapal, serta untuk menghemat energi dalam pencarian makanan (Davenport, 1994). Berdasarkan kemampuan terbang ini, maka ikan terbang dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok monoplanes dan biplanes. Kelompok monoplanes seperti genus Exocoetus, terbang ke udara tanpa meluncur di permukaan air terlebih dahulu dan dapat menempuh jarak kurang

29 29 lebih 20 m. Ikan terbang monoplanes ini memiliki kemampuan terbang yang relatif lebih rendah dibandingkan kelompok ikan terbang bersayap empat (biplanes). Kelompok biplanes memiliki cara terbang lebih sempurna sebagaimana ditemukan pada spesies-spesies dari genus Cypselurus (Hutomo et al., 1985) Struktur Populasi Ikan Terbang Hasil penelitian struktur populasi ikan terbang masih sangat terbatas termasuk di Indonesia. Di Indonesia, Fahri (2001) melaporkan ikan terbang Selat Makassar, Teluk Manado, dan Teluk Tomini masing-masing terpisah secara genetik sehingga ikan terbang digolongkan bukan peruaya jauh. Informasi terakhir dilaporkan oleh Ali (2005), ikan terbang Laut Flores dengan ikan terbang Selat Makassar secara fenotipe (morfometrik) masing-masing merupakan sub-populasi yang berbeda. Kelompok ikan terbang Laut Flores dan Selat Makassar mempunyai hubungan kekerabatan atau jarak genetik yang jauh. Ikan terbang Laut Flores mempunyai keragaman morfometrik individu lebih rendah dibanding Selat Makassar. Penangkapan berlebihan ikan terbang di Laut Flores kemungkinan menyebabkan kehilangan individu dan potensi genetik lebih besar, sehingga mempunyai heterozigositas lebih rendah dibanding ikan terbang Selat Makassar. Selanjutnya, Ali (2005) melaporkan adanya perbedaan fenotipe antara kelompok ikan terbang yang tertangkap di sekitar perairan Takalar, Pare-Pare dan Majene. Sifat segregasi sub-populasi ikan terbang Laut Flores dan Selat Makassar sangat berbahaya terhadap risiko overfishing dan kepunahan, karena penangkapan berlebihan pada satu sub-populasi daerah tertentu sulit digantikan oleh rekrutmen dari sub-populasi daerah lain, karena ikan terbang tergolong bukan peruaya jarak jauh. Penurunan populasi ikan terbang di Selat Makassar akibat kelebihan penangkapan menyebabkan beberapa nelayan berhenti atau mencari daerah penangkapan lain di luar Selat Makassar, seperti di perairan Maluku dan Papua. Sifat segregasi sub-populasi ikan terbang pada wilayah perairan tertentu perlu dipertimbangkan di dalam perencanaan dan pengelolaan, seperti sub-populasi ikan terbang di Selat Makassar dan sub-populasi ikan terbang di Laut Flores memerlukan perencanaan dan pengelolaan terpisah. Pemisahan sub-populasi ikan

30 30 terbang Hirundichthys affinis di wilayah perairan tengah barat Atlantik juga dilaporkan oleh Gomes et al. (1998) secara genetik. Melalui analisis DNA, terdapat tiga sub-populasi ikan terbang Hirundichthys affinis yang berbeda, yaitu satu sub-populasi berlokasi di sebelah timur Karibia, satu di sebelah selatan Antilen Belanda, dan satu lagi di sebelah timur laut Brazil Musim dan Kelimpahan Ikan Terbang Di Laut Flores dan Selat Makassar (Sulawesi Selatan), musim penangkapan berlangsung antara Januari-Oktober setiap tahun. Musim penangkapan induk ikan terbang antara Maret-Juli, sedangkan penangkapan telur ikan terbang antara Mei-September (Ali, 2005). Berdasarkan analisis distribusi hasil tangkapan setiap bulan menunjukkan adanya dua puncak musim, pertama pada bulan Februari dan kedua antara bulan Mei-Juni. Puncak pertama digolongkan puncak sekunder, puncak kedua adalah puncak primer karena kelimpahannya lebih tinggi (Ali et al., 2004b). Kejadian yang sama pada ikan terbang Hirundichthys affinis di perairan Barbados yang terdiri dari dua puncak musim, yaitu antara Desember-Januari dan antara April- Mei (Khokiattiwong et al., 2000), begitu pula ikan terbang Hirundichthys affinis di perairan sebelah timur Karibia (Oxenford et al., 1995). Apabila dibandingkan musim ikan terbang di sekitar perairan Selat Makassar pada tahun 1977 yang berlangsung mulai April hingga September (Nessa et al., 1977) dan di Laut Flores mulai Mei hingga Oktober (Ali, 1981), maka pada tahun-tahun terakhir ini ( ) ikan terbang mengalami pergeseran musim lebih cepat 2-3 bulan dibanding tahun 1997 dan Daerah penangkapan ikan terbang di Selat Makassar terletak pada 117 o o BT dan 1 o s/d 6 o LS dan di Laut Flores 117 o -121 o BT dan 6 o -8 o LS. Ikan terbang memiliki single cohort dalam siklus hidupnya sekitar 18 bulan hanya dapat melakukan satu kali pemijahan. Tipe pemijahan Tipe B, yaitu memijah satu kali dalam periode yang relatif lama (5-6 bulan) pada musim kemarau Makanan dan Predator Ikan Terbang Menurut Effendie (2002), ikan dikelompokkan berdasarkan makanannya, yaitu sebagai pemakan plankton, pemakan tumbuhan air, pemakan dasar,

31 31 pemakan detritus, pemakan daging dan pemakan campuran. Berdasarkan kepada jumlah variasi dari macam-macam makanan tadi, ikan dapat dibagi menjadi euryphagic yaitu ikan pemakan bermacam-macam makanan, stenophagic yaitu ikan pemakan makanan yang macamnya sedikit atau sempit dan monophagic, yaitu ikan yang makanannya terdiri dari satu macam makanan saja. Ketersediaan makanan di suatu perairan (meliputi jumlah dan kualitas makanan serta kemudahan mendapatkan makanan tersebut) merupakan faktor yang memengaruhi besarnya populasi ikan di perairan tersebut. Ketersediaan makanan di suatu perairan dipengaruhi oleh kondisi biotik dan abiotik lingkungan, seperti suhu, cahaya, ruang hidup dan luas permukaan (Effendie, 2002). Menurut Febyanty dan Syahailatua (2008), komposisi makanan ikan terbang Hirundicthys oxycephalus dan Cheilopogon cyanopterus di Laut Flores terdiri kopepoda sebagai makanan utama, alga sebagai makanan pelengkap, beberapa spesies Chaetognatha dan Malacostraca sebagai makanan tambahan. Ali (1981) mengatakan bahwa ikan terbang dari spesies Hirundichthys oxycephalus di Laut Flores memakan plankton yang dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu algae, Crustacea dan Chaetognatha. Kelompok makanan yang mempunyai nilai indeks bagian terbesar (index of preponderance) adalah krustasea (70,93%) yang terdiri dari Copepod, Cladocera, Decapoda, Mysidacea dan Amphipoda yang merupakan makanan utama, kemudian kelompok makanan algae (20,69%) yang terdiri dari Coscinodiscus, Chaetoceros, Rhizosolenia, Thalassiosira, dan Planktoniella, serta kelompok Chaetognatha (8,38%) terdiri dari Sagitta (Gambar 2.3). Predator yang banyak memangsa ikan terbang di antaranya lumba-lumba, ikan tuna, ikan cakalang, dan ikan layaran (Moyle & Cech, 1982).

32 a b 1 2 c Gambar 2.3. Jenis-jenis plankton makanan ikan terbang [Sumber: Ali, 1981] a. Crustacea (1. Copepoda, 2. Cladocera, 3. Decapoda, 4. Mysidacea, 5. Amphipoda) b. Algae (1. Coscinodiscus, 2. Chaetoceros, 3. Rhizosolenia, 4. Thalassiosira, 5. Planktoniella) c. Chaetognatha (1. Sagitta elegans, 2. Sagitta maxima) 2.3 Biologi Reproduksi Ikan Terbang Dalam proses mempertahankan eksistensinya, masing-masing spesies mempunyai strategi reproduksi. Strategi reproduksi adalah semua pola dan ciri khas reproduksi yang diperlihatkan oleh individu dari suatu spesies termasuk sifat bawaan yang kompleks, misalnya ukuran atau umur pertama matang gonad, fekunditas, diameter telur, ukuran gamet, dan sebagainya (Kamler, 1992). Tingkat kematangan gonad dapat diketahui melalui pengamatan morfologi dan histologi gonad.

33 Nisbah Kelamin Ikan Terbang Nisbah kelamin atau sex rasio merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi dan kondisi ideal untuk mempertahankan suatu spesies adalah 1:1 (50 % jantan & 50 % betina), namun seringkali terjadi penyimpangan dari pola 1:1, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan tingkah laku ikan yang suka bergerombol, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhan (Ball & Rao, 1984). Nikolsky (1963), menyatakan bahwa dalam ruaya ikan untuk memijah, perubahan nisbah kelamin terjadi secara teratur. Pada awalnya ikan jantan lebih dominan kemudian berubah menjadi 1:1 diikuti dengan dominansi ikan betina. Perubahan ini terjadi pada saat menjelang dan selama pemijahan Faktor Kondisi Ikan Terbang Faktor kondisi merupakan keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dengan angka (Royce, 1972). Faktor kondisi berkorelasi dengan panjang, spesies kelamin, makanan, tingkat kematangan gonad dan umur ikan. Selain itu, faktor kondisi juga digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan (kondisi perairan dan kualitas air) dengan ikan dan membandingkan berbagai tempat hidup. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan berat ikan, sehingga dapat digunakan sebagai indikator kondisi bagi pertumbuhan ikan perairan (Effendie, 2002). Menurut Hermawati (2006), nilai faktor kondisi dipengaruhi oleh aktivitas pemijahan dan kepadatan ikan di suatu perairan. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor dalam yang meliputi ukuran, umur, genetik, spesies kelamin, ketahanan tubuh dan tingkat kematangan gonad. Sedangkan faktor luar adalah ketersediaan makanan di alam, stok ikan yang ada di perairan dan faktor lingkungan seperti kondisi perairan dan kualitas perairan (Effendie, 2002). Menurut Barnham dan Baxter (1998), nilai faktor kondisi <1,20 tergolong ikan yang kurus dan panjang Tingkat Kematangan Gonad Ikan Terbang Menurut Effendie (2002), Tingkat Kematangan Gonad (TKG) adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah.

34 34 Dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan, sebagian hasil metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad. Gonad akan bertambah besar dengan semakin bertambah besar ukurannya. Ukuran panjang ikan saat pertama kali matang gonad berhubungan dengan pertumbuhan ikan dan faktor lingkungan yang memengaruhinya terutama ketersediaan makanan, oleh karena itu ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad tidak selalu sama (Effendie, 2002). Menurut Nikolsky (1969), akibat adanya kecepatan tumbuh ikan muda yang berasal dari telur yang menetas pada waktu yang bersamaan akan mencapai matang gonad pada umur yang berlainan. Pada umumnya ikan jantan mencapai matang gonad lebih awal daripada betina, baik selama hidupnya maupun satu kali musim pemijahan. Menurut Lagler et al. (1977), faktor yang memengaruhi ikan pertama kali matang gonad adalah spesies, umur, ukuran dan sifat fisiologis ikan dalam hal kemampuan adaptasi. TKG dapat ditentukan melalui 2 cara, yaitu secara morfologis dan histologis. Secara morfologis, yaitu dilihat dari bentuk, panjang, berat, warna dan perkembangan isi gonad. Secara histologis, yaitu dengan melihat anatomi perkembangan gonadnya. Secara morfologis, Hermawati (2006) mendeskripsikan perkembangan kematangan gonad ikan terbang mulai dari TKG I, TKG II, TKG III, TKG IV sampai TKG V (Tabel 2.1). Tabel 2.1. Tingkat kematangan gonad ikan terbang Hirundichthys oxycephalus TKG Jantan Betina I Ukuran kecil dan pendek, warna putih krem, gonad terbungkus selaput hitam Ukuran gonad pendek dan terbungkus selaput warna hitam, warna cokelat muda, mengisi 1/3 rongga tubuh, butiran II III Ukuran lebih besar dari TKG I, warna putih susu dan terbungkus selaput hitam Ukuran mulai membesar dan selaput pembungkus masih ada, gonad mulai memudar, warna makin putih telur masih sangat kecil Ukuran lebih besar dari TKG I dan selaput pembungkus warna hitam masih ada dan mulai tampak butiran berwarna kuning Ukuran mulai membesar dan mengisi ¾ rongga tubuh, warna gonad kuning butiran telur lebih banyak

35 35 Tabel 2.1. (Lanjutan) TKG Jantan Betina IV Ukuran lebih besar dari TKG III, permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih dan mengisi seluruh rongga tubuh V Gonad mengempis dan keriput bila diawetkan [Sumber: Hermawati, 2006] Butiran Nampak jelas dan makin banyak, gonad mengisi seluruh bagian rongga tubuh dan berwarna kuning tua Gonad mengempis dan keriput bila diawetkan dan di bagian pelepasan terlihat sisa-sisa telur Indeks Kematangan Gonad Ikan Terbang Indeks Kematangan Gonad (IKG) merupakan perbandingan antara berat gonad dengan berat tubuh yang nilainya dinyatakan dalam persen (%). Gonad akan semakin bertambah berat dengan semakin bertambahnya ukuran gonad dan diameter telur. Berat gonad akan mencapai maksimum sesaat sebelum ikan memijah, kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan berlangsung hingga selesai (Effendie, 2002). Siregar (2003), menyatakan bahwa ikan yang memiliki TKG rendah IKG-nya pun rendah, sebaliknya ikan yang memiliki TKG tinggi maka nilai IKG-nya pun tinggi. Menurut Royce (1972), ikan betina akan memijah dengan nilai IKG berkisar antara %, sedangkan ikan jantan akan memijah pada nilai IKG berkisar antara 5-10 %. Ikan jantan umumnya memiliki nilai IKG yang lebih kecil dibandingkan dengan ikan betina Fekunditas Ikan Terbang Fekunditas adalah jumlah telur yang dikeluarkan ikan pada saat memijah. Fekunditas secara tidak langsung dapat dipergunakan untuk memperkirakan banyaknya ikan yang akan dihasilkan. Untuk menghitung jumlah telur dalam gonad ikan biasanya diambil yang tingkat kematangan gonadnya sudah tinggi atau bisa dilihat secara visual dapat terlihat butiran-butiran telur yang terpisah (Effendie, 2002). Menurut Moyle et. al. (1982), secara umum fekunditas meningkat sesuai dengan ukuran berat tubuh ikan betina.

36 36 Ikan yang memiliki fekunditas yang besar umumnya memijah di permukaan dan mempunyai kebiasaan tidak menjaga telurnya, sedangkan ikan yang memiliki fekunditas yang kecil memiliki kebiasaan menempelkan telurnya pada substrat dan menjaga telurnya dari pemangsa. Terdapat kecenderungan bahwa semakin kecil ukuran telur, maka fekunditasnya semakin tinggi begitupun sebaliknya (Nikolsky, 1969) Diameter Telur Menurut Hoar (1957), ovarium yang mengandung telur masak berukuran sama semua (merata) menunjukkan waktu pemijahan yang pendek, sebaliknya waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus ditandai oleh banyaknya ukuran yang berbeda di dalam ovarium. Semakin meningkatnya TKG menyebabkan semakin besar pula diameter telurnya (Effendie, 2002). Menurut Tamsil (2000), telur yang berukuran besar mempunyai kemampuan untuk menyangga kehidupan embrio yang ada di dalamnya dan menopang kehidupan larva sebelum mendapatkan makanan dari luar. 2.4 Plankton Distribusi dan Peranan Plankton Plankton merupakan organisme berukuran sangat kecil yang hidupnya mengapung atau melayang di dalam air dan berperan sangat penting untuk kelangsungan hidup biota dalam ekosistem perairan. Plankton terdiri atas fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton tergolong kelompok plankton tumbuhan dengan ukuran sangat kecil (mikroskopis). Meskipun ukurannya sangat kecil, namun bila populasinya bertumbuh sangat cepat (outbreak) dapat menyebabkan perubahan pada warna air laut (discolorisation) yang biasa dikenal dengan fenonema red tide. Fitoplankton merupakan tumpuan bagi hampir semua kehidupan di laut, baik secara langsung maupun tak langsung, melalui rantai makanan (food chain) (Davis, 1955). Penyebaran plankton tidak merata dalam suatu perairan karena dipengaruhi faktor, baik kimia maupun fisika, antara lain suhu, salinitas, derajat keasaman (ph), kecerahan, dan oksigen terlarut (DO) (Arinardi, 1997). Menurut

37 37 Nybakken (1992), distribusi plankton secara horisontal lebih banyak dipengaruhi oleh faktor fisik berupa pergerakan arus. Oleh karena itu, pengelompokkan plankton lebih banyak terjadi pada daerah neritik terutama yang dipengaruhi estuaria dibandingkan dengan oseanik. Ketersedian nutrien pada setiap perairan yang berbeda juga menyebabkan perbedaan kelimpahan plankton. Distribusi vertikal plankton sangat berhubungan dengan dimensi waktu, faktor cahaya, dan suhu. Perpindahan vertikal juga dipengaruhi oleh kemampuan pergerakan plankton dan adaptasi fisiologisnya. Perpaduan kondisi fisik air laut dan mekanisme mengapung menyebabkan plankton mampu bermigrasi secara vertikal, sehingga distribusinya berbeda secara vertikal. Menurut Odum (1979), fitoplankton dapat berperan sebagai salah satu dari parameter ekologi yang dapat menggambarkan bagaimana kondisi suatu perairan dan merupakan salah satu parameter tingkat kesuburan suatu perairan. Kelimpahan fitoplankton mempunyai hubungan yang positif dengan kesuburan perairan, apabila kelimpahan fitoplankton tinggi maka perairan tersebut cenderung memiliki produktivitas yang tinggi pula. Demikian juga distribusi horisontal plankton sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungannya seperti suhu, salinitas, dan arus. Oleh sebab itu, kehadiran plankton spesies tertentu dapat digunakan sebagai indikator massa air atau arus laut Struktur Komunitas dan Kelimpahan Indeks Keanekaragaman Indeks keanekaragaman atau Diversity Index diartikan sebagai suatu gambaran secara matematik tentang jumlah spesies suatu organisme dalam populasi. Indeks keanekaragaman akan mempermudah dalam menganalisi informasi-informasi mengenai jumlah individu dan jumlah spesies suatu organisme. Suatu cara yang paling sederhana untuk menyatakan indeks keanekaragaman, yaitu dengan menetukan persentase komposisi dari spesies di dalam sampel. Semakin banyak spesies yang terdapat dalam suatu sampel, semakin besar keanekaragaman, meskipun harga ini juga sangat tergantung dari jumlah total individu masing-masing spesies (Kaswadji et. al., 1993).

38 38 Indeks keanekaragaman dapat dijadikan petunjuk seberapa besar tingkat pencemaran suatu perairan. Dasar penilaian kualitas air berdasarkan nilai indeks keanekaragaman dapat dilihat dalam Tabel 2.2. Tabel 2.2. Kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Nilai Indeks 3,0-4,5 2,0-3,0 1,0-2,0 0,0-1,0 [Sumber: Wardoyo, 1974] Kualitas Air Tercemar sangat ringan Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat Indeks Keseragaman Dalam suatu komunitas, kemerataan individu tiap spesies dapat diketahui dengan menghitung indeks keseragaman. Indeks keseragaman ini merupakan suatu angka yang tidak bersatuan, yang besarnya antara 0 1, semakin kecil nilai indeks keseragaman, semakin kecil pula keseragaman suatu populasi, berarti penyebaran jumlah individu tiap spesies tidak sama dan kecenderungan bahwa suatu spesies mendominasi populasi tersebut. Sebaliknya semakin besar nilai indeks keseagaman, maka populasi menunjukan keseragaman, yang berarti bahwa jumlah individu tiap spesies boleh dikatakan sama atau merata (Odum, 1979) Indeks Dominansi Dominasi jenis fitoplankton dapat diketahui dengan menghitung Indeks Dominansi (C). Nilai indeks dominansi mendekati satu jika suatu komunitas didominasi oleh jenis atau spesies tertentu dan jika tidak ada jenis yang dominan, maka nilai indeks dominansinya mendekati nol (Odum, 1979) Keanekaragaman Plankton Fitoplankton Fitoplankton merupakan nama umum untuk plankton tumbuhan atau plankton nabati dan terdiri dari beberapa kelas. Menurut Arinardi et al. (1994) beberapa kelas diuraikan sebagai berikut:

39 39 a. Diatom (Kelas Bacillariophyceae) Spesies yang umum dijumpai di perairan lepas pantai Indonesia antara lain adalah Chaetoceros sp., Rhizosolenia sp., Thalassiothrix sp. dan Bacteriastrum sp. Di perairan pantai atau mulut sungai biasanya banyak terdapat Skeletonema sp. dan kadang-kadang Coscinodiscus sp. Melimpahnya Skeletonema ini karena ia dapat memanfaatkan zat hara lebih cepat daripada diatom lainnya. b. Dinoflagellata (Kelas Dinophyceae) Genus-genus yang umum dijumpai di laut, antara lain Noctiluca, Ceratium, Peridinium dan Dinophysis. c. Kokolitofor (Coccolithophore, Kelas Haptophyceae) Di perairan tropis, fitoplankton ini sering didapatkan dalam jumlah besar sehingga peranannya dianggap penting. Phaecyctis pouchetii mempunyai sebaran luas tetapi jumlah yang besar biasanya ditemukan di perairan dingin. Spesies fitoplankton ini dapat mengeluarkan racun asam akrilik (acrylic acid). d. Ganggang biru (Blue-green algae, Kelas Cyanophyceae) Ganggang ini tersebar luas dan merupakan makanan zooplankton. Gerombolan Trichodesmium umum dijumpai di Laut Jawa dan Samudera Hindia, kadang-kadang hanyut beberapa kilometer sejajar pantai. e. Ganggang Hijau (Green-coloured algae, Kelas Chlorophyceae) Salah satu contoh ganggang ini adalah Chlorella sp. Menurut Arinardi et al. (1994), di Teluk Banten yang predominan, yaitu Ceratium, Rhizosolenia, Chaetoceros, Noctiluca, Thalassiothrix, Bacillaria dan Coscinodiscus. Menurut Sidabutar (2008) di Teluk Jakarta yang predominan, yaitu Skeletonema, Chaetoceros, Noctiluca, Dynophysis, Thalassiothrix dan Ceratium, dan di mulut Kali Cimanuk yang predominan, yaitu Chaetoceros, Dynophysis, Thalassiothrix, Skeletonema, Ceratium dan Coscinodiscus Zooplankton Zooplankton atau plankton hewani berbeda dari fitoplankton baik dalam jumlah filum maupun dalam daur hidupnya. Semua filum hewan terwakili di dalam kelompok zooplankton, yaitu mulai dari filum Protozoa (hewan bersel tunggal) sampai ke filum Chordata (hewan bertulang belakang). Dilihat dari cara menjalani hidupnya, zooplankton dibedakan atas holoplankton dan meroplankton.

40 40 Holoplankton adalah plankton hewani yang seluruh masa hidupnya dilalui sebagai plankton, seperti Chaetognatha dan Copepoda. Meroplankton adalah plankton hewani yang masa awal dari siklus hidupnya dilalui sebagai plankton dan sesudah dewasa akan hidup menjadi nekton atau bentos. Pada kelompok meroplankton terdapat larva berbagai spesies avertebrata penghuni dasar perairan seperti larva bintang laut (Echinodermata), larva keong dan kerang (Mollusca), larva teritip (Cirripedia), larva udang-kepiting (Crustacea), berbagai spesies cacing (Polychaeta) dan larva biota lainnya. Termasuk di dalam kelompok ini juga telur dan larva sebagian besar ikan yang apabila dewasa akan merupakan anggota nekton (Arinardi et al., 1994). Zooplankton dijumpai hampir di seluruh habitat akuatik tetapi kelimpahan dan komposisinya bervariasi bergantung kepada keadaan lingkungan dan biasanya terkait erat dengan perubahan musim. Faktor fisik-kimia seperti suhu, intensitas cahaya, salinitas, ph, dan zat cemaran memegang peranan penting dalam menentukan keberadaan spesies zooplankton di perairan, sedangkan faktor biotik seperti tersedianya pakan, banyaknya predator dan adanya pesaing dapat menentukan komposisi spesies. Menurut Arinardi (1997), di Laut Jawa volume dan kelimpahan zooplankton tertinggi didapatkan di perairan dekat pantai Jawa dan Kalimantan dengan rata-rata volume sebesar 0,04 ml/m 3 dan kelimpahan 0,23 x 10 3 ekor/m 3. Copepoda merupakan zooplankton predominan dan umumnya terdiri dari Acrocalanus, Paracalanus, Candacia, Eucalamus, Pleuromamma, Corycaeus dan Oithona. Di perairan Kalimantan Selatan, musim barat menyebabkan tingginya kadar nutrisi dan zooplankton. Perairan sekeliling Pulau Jawa telah pula diamati pada 2 musim berbeda. Volume zooplankton di Laut Jawa umumnya lebih tinggi daripada yang ada di Samudera Hindia (selatan Jawa). Di barat Laut Jawa banyak terdapat Thaliacea, sedangkan di Selat Bali Foraminifera lebih melimpah. 2.5 Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Ikan Terbang Hasil penelitian tentang potensi dan tingkat pemanfaatan ikan terbang di Indonesia juga masih terbatas pada wilayah perairan Sulawesi Selatan (Selat Makassar dan Laut Flores). Di perairan Sulawesi Selatan potensi hasil maksimum

41 41 lestari (MSY) telah mengalami penurunan (Ali et al., 2004a). Penurunan potensi lestari dari tahun ke tahun menjadi indikator terjadinya overfishing akibat tidak adanya pengelolaan. Penurunan potensi MSY ikan terbang di perairan Sulawesi Selatan juga ditunjukkan oleh beberapa hasil penelitian terdahulu yaitu antara tahun sebesar ton (Dwiponggo et al., 1983), kemudian antara tahun sebesar ton/tahun (Nessa et al., 1993), dan antara tahun sebesar ton/tahun. Kejadian ini menunjukkan antara tahun dan terjadi penurunan potensi lestari sekitar 47 %. Penurunan potensi MSY dalam tempo 27 tahun adalah merupakan refleksi dari kemerosotan populasi ikan terbang akibat penangkapan berlebihan. Menurut Musick (1999), penurunan secara kuantitatif seperti potensi lestari dapat menjadi kriteria kategori resiko ancaman kepunahan spesies. Kriteria kemerosotan secara kuantitatif populasi populasi 50 % dalam tempo 10 tahun dapat dikategorikan berbahaya (endangered), penurunan ini tidak termasuk pengurangan 50 % dari populasi virtual sebagai pemanfaatan MSY dalam manajemen perikanan. Produksi ikan terbang di Provinsi Bali yang dilaporkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali (2006) dari tahun secara berurutan, yaitu 983 ton; ton; 969 ton; 426 ton; 468 ton; ton dan ton, dengan kenaikan produksi rata-rata per tahun 163,3 %. Daerah penangkapan ikan terbang mulai dari bagian utara Bali sampai ke Selat Bali. Nelayan jaring ikan terbang terkonsentrasi di perairan Pemuteran, Kabupaten Buleleng. Di Bali, pada umumnya hasil tangkapan ikan terbang hanya dimanfaatkan dan dipasarkan oleh penduduk sekitar (non-ekspor), baik dalam kondisi segar maupun yang dibuat ikan asap (Gambar 2.4).

42 42 Gambar 2.4. Ikan terbang yang diasap di Desa Sririt, Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali [Sumber: Hasil pengamatan lapangan] 2.6 Kapal dan Alat Alat Tangkap Jaring Insang Berdasarkan metode pengoperasiannya kapal ikan dapat digolongkan ke dalam empat kelompok, yaitu pengoperasian alat tangkap yang dilingkarkan (encircling gear), pengoperasian alat tangkap yang ditarik (towing gear), pengoperasian alat tangkap yang pasif (static gear), dan pengoperasian lebih dari satu alat tangkap (multipurpose gear) (Fyson, 1985). Kapal dengan alat tangkap jaring insang (gillnet) termasuk kedalam kelompok kapal ikan dengan metode pengoperasian static gear sehingga kecepatan kapal bukanlah suatu faktor yang penting karena alat tangkap ini bekerja secara statis melainkan stabilitas kapal yang tinggi lebih diperlukan agar saat pengoperasian alat tangkap dapat berjalan dengan baik (Rahman & Novita, 2006). Jaring insang merupakan alat tangkap ikan berupa jaring yang pada umumnya berbentuk empat persegi panjang yang mempunyai ukuran mata jaring (mesh size) yang sama pada seluruh badan jaring, dimana jumlah mata jaring ke arah panjangnya lebih banyak daripada jumlah mata jaring ke arah lebarnya. Gillnet dikenal dengan sebutan jaring insang, hal ini karena ikan-ikan yang tertangkap oleh gillnet adalah bagian operkulumnya terjerat atau terpuntal pada mata jaring.

43 43 Menurut Martasuganda (2005), jaring insang adalah satu jenis alat penangkap ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi panjang dengan ukuran mata jaring (mesh size) sama, jumlah mata jaring ke arah horisontal (mesh length/ml) jauh lebih banyak dari jumlah mata jaring ke arah vertikal (mesh depth/md). Pada lembaran jaring bagian atas diletakkan pelampung (floats) dan pada bagian bawah diletakkan pemberat (sinkers). Menurut Ayodhyoa (1981), cara kerja jaring insang dengan menggunakan dua gaya yang berlawanan arah, yaitu bouyancy dari floats yang bergerak ke atas dan sinking force dari sinkers ditambah berat jaring dalam air yang bergerak ke bawah, maka jaring akan terentang (Gambar 2.5). Gambar 2.5. Konstruksi jaring insang (gillnet) [Sumber: Ayodhyoa, 1981] Jaring insang dipasang menghadang arah dan jalan ikan yang sedang melakukan ruaya (Brandt, 1972). Stewart dan Ferro (1985) mengatakan bahwa gillnet dapat dipasang menghadang atau sejalan arah arus, dimana posisi ini dapat mengubah bentuk alat oleh karena tekanan dinamika air yang kemudian dapat memengaruhi kapasitas hasil tangkapan (Rahman & Novita, 2006). Berdasarkan kedudukan jaring di dalam perairan dan metode pengoperasiannya, jaring insang dibedakan menjadi empat, yaitu jaring insang permukaan (surface gillnet), jaring insang dasar (bottom gillnet), jaring insang hanyut (drift gillnet), dan jaring insang lingkar (encircling gillnet/surrounding gillnet) (Ayodhyoa, 1981). Menurut Subani dan Barus (1989), dalam

44 44 pengoperasian jaring insang dibedakan menjadi lima, yaitu jaring insang hanyut (drift gillnet), jaring insang labuh (set gillnet), jaring insang karang (coral reef gillnet), jaring insang lingkar (encircling gillnet), dan jaring insang tiga lapis (trammel net) (Gambar 2.6). Gambar 2.6. Sistem operasi jaring insang hanyut (drifting gillnet) [Sumber: Ayodhyoa, 1981] 2.7 Baku Mutu Air Laut Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut (Menteri Lingkungan Hidup, 2004). Diantara ketentuan standar baku mutu air laut yang ditetapkan sebagaimana tertuang dalam Tabel 2.3. Tabel 2.3. Beberapa parameter baku mutu air laut No Parameter Satuan Baku Mutu 1. Suhu o C koral: mangrove: lamun: ph - 7 8,5 3. Salinitas o / oo koral: mangrove: s/d 34 lamun: DO mg/l >5 5. Kecerahan m koral: >5 mangrove: - lamun: >3 [Sumber: Menteri Lingkungan Hidup, 2004]

45 45 Menurut Balon (1984), parameter fisik lingkungan perairan misalnya intensitas cahaya matahari, salinitas, dan oksigen terlarut, memiliki pengaruh terhadap pemijahan ikan Suhu Air laut Perubahan suhu memengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat organisme akuatik, sehingga setiap organisme akuatik mempunyai batas kisaran maksimum dan minimum (Effendie, 2002). Ikan merupakan hewan poikiloterm, yang suhu tubuhnya naik turun sesuai dengan suhu lingkungan (Brotowidjoyo et al., 1995), sebab semua proses fisiologis ikan dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Hoar et al., 1979). Suhu perairan berpengaruh terhadap respon tingkah laku ikan (Bal & Rao, 1984), proses metabolisme, reproduksi (Hutabarat & Evans, 1985; Effendie, 2002), ekskresi amonia dan resistensi terhadap penyakit (Nabib & Pasaribu, 1989). Boyd dan Lichtkoppler (1982), menyatakan bahwa suhu yang optimal bagi pertumbuhan ikan tropis berkisar antara ºC. Semakin tinggi suhu semakin cepat perairan mengalami kejenuhan yang mendorong terjadinya difusi oksigen dari air ke udara, sehingga konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan semakin menurun. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 ºC, menyebabkan terjadinya peningkatan pengeluaran energi untuk mendapatkan oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat. Perubahan suhu juga berakibat pada peningkatan dekomposisi bahan-bahan organik oleh mikroba (Effendie, 2002) Derajat Keasaman (ph) Air Laut Derajat keasaman (ph) menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hidrogen (mol/l) pada suhu tertentu atau ph = - log (H+). Konsentrasi ph mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena memengaruhi kehidupan jazad renik. Perairan yang asam cenderung menyebabkan kematian pada ikan. Hal ini disebabkan karena konsentrasi oksigen akan rendah, sehingga aktivitas pernapasan tinggi dan selera makan berkurang (Ghufron & Kordi, 2005). Derajat keasaman (ph) air laut umumnya berkisar antara 7,6-8,3 (Brotowidjoyo et al., 1995) dan berpengaruh terhadap ikan (Ball & Rao, 1984).

46 46 Derajat keasaman (ph) air laut relatif konstan karena adanya penyangga dari hasil keseimbangan karbondioksida, asam karbonat, karbonat dan bikarbonat yang disebut buffer (Shepherd & Bromage, 1988). Nilai ph, biasanya dipengaruhi oleh laju fotosintesis, buangan industri serta limbah rumah tangga (Sastrawijaya, 1991). Kisaran ph dalam perairan alami, sangat dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida yang merupakan substansi asam. Fitoplankton dan vegetasi perairan lainnya menyerap karbondioksida dari perairan selama proses fotosintesis berlangsung sehingga ph cenderung meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari. Menurunnya ph oleh karbondioksida tidak lebih dari 4,5 (Boyd, 1982). Proses nitrifikasi oleh bakteri dapat mengurangi nilai ph perairan karena adanya konsumsi karbonat dan pelepasan ion hidrogen selama proses berlangsung (Soderberg, 1995). Proses penguraian bahan organik menjadi garam mineral, seperti, amonia, nitrat dan fosfat berguna bagi fitoplankton dan tumbuhan air. Proses akan lebih cepat jika kisaran ph basa (Afriyanto & Liviawaty, 1991). Pada ph diatas 7, amonia dalam bentuk molekul NH 3 akan lebih dominan dari ion NH 4, pada tingkatan tertentu dapat menembus membran sel atau juga menyebabkan rusaknya jaringan insang (hiperplasia branchia) (Purnomo, 1992) Salinitas Salinitas menggambarkan padatan total di air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan dengan klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendie, 2002). Salinitas air laut bebas mempunyai kisaran ppt (Brotowidjoyo et al., 1995), sedangkan daerah pantai mempunyai variasi salinitas yang lebih besar. Semua organisme dalam perairan dapat hidup pada perairan yang mempunyai perubahan salinitas kecil (Hutabarat & Evans, 1985).Toleransi terhadap salinitas tergantung pada umur stadium ikan. Salinitas berpengaruh terhadap reproduksi, distribusi, lama hidup serta orientasi migrasi.variasi salinitas pada perairan yang jauh dari pantai akan relatif kecil dibandingkan dengan variasi salinitas di dekat pantai. Perubahan salinitas tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku ikan atau distribusi ikan tetapi pada perubahan sifat kimia air laut (Brotowidjoyo et al.,1995). Ikan air laut mengatasi kekurangan air dengan mengonsumsi air laut

47 47 sehingga kadar garam dalam cairan tubuh bertambah. Dalam mencegah terjadinya dehidrasi akibat proses ini kelebihan garam dibatasi dengan cara mengekskresi klorida lebih banyak lewat insang dan ekskresi lewat urin yang isotonik (Hoar et al., 1979) Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dalam air merupakan parameter kualitas air laut yang sangat vital bagi kehidupan organisme perairan. Konsentrasi oksigen terlarut cenderung berubah-ubah seusai dengan kondisi atmosfer. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah difusi dari udara dan hasil fotosintesis organisme yang mempunyai klorofil yang hidup di perairan. Kecepatan difusi oksigen dari udara ke dalam air berlangsung sangat lambat, oleh sebab itu fitoplankton merupakan sumber utama dalam penyediaan oksigen terlarut dalam perairan. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi banyak faktor, antara lain adalah suhu, salinitas, arus permukaan, luas area permukaan perairan yang terbuka, tekanan atmosfer dan persentase oksigen di sekitarnya. Berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air dapat disebabkan antara lain oleh naiknya temperatur dan salinitas, proses respirasi organisme perairan, dan proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme (Muhajir et al., 2004) Kecerahan Cahaya merupakan faktor penting bagi kehidupan ikan dalam rantai makanan, tingkah laku reproduksi, mencari perlindungan, orientasi migrasi, pola pertumbuhan (Bal & Rao, 1984; Brotowidjoyo et al., 1995), dan fase metabolisme ikan (Brown & Gratzek, 1980). Kemampuan sinar matahari pada kondisi cerah dapat diabsorbsi sebanyak 1% pada kedalaman 100 m, sedangkan pada perairan yang keruh hanya mencapai kedalaman m dan tiga meter pada perairan estuari (Brotowidjoyo et al., 1995). Penetrasi cahaya menjadi rendah apabila tingginya kandungan partikel tersuspensi di perairan dekat pantai, akibat aktivitas pasang surut dan juga tingkat kedalaman (Hutabarat & Evans, 1985; Sastrawijaya, 1991). Berkas cahaya yang jatuh ke permukaan air, sebagiannya akan dipantulkan dan sebagian lagi akan diteruskan ke dalam air. Jumlah cahaya yang dipantulkan bergantung pada sudut jatuh dari sinar dan keadaan perairan. Air yang senantiasa

48 48 bergerak menyebabkan pantulan sinar menyebar ke segala arah. Sinar yang melewati media air sebagian diabsorbsi dan sebagian discatter (Sidjabat, 1976). Dalam hubungannya dengan fotosintesisa, intensitas dan panjang gelombang sangat penting. Sebagian besar kehidupan di laut cenderung menyukai sinar-sinar dengan spektrum hijau dan biru (Romimohtarto, 2001). 2.8 Fenomena Upwelling Upwelling merupakan fenomena oseanografi yang melibatkan wind-driven motion yang kuat, dingin dan biasanya membawa massa air yang kaya akan nutrien ke arah permukaan laut. Air bawah permukaan yang dibawa ke permukaan dari kedalaman meter kaya akan nutrien, yang mendukung pertumbuhan. Banyak upwelling terjadi di dekat pantai hingga beberapa kilometer. Bagian air yang terbawa naik memiliki plume air dingin yang terbentang ke arah laut hingga beberapa kilometer dari pantai (Gross, 1991). Upwelling adalah fenoma atau kejadian yang berkaitan dengan gerakan naiknya massa air laut. Gerakan vertikal ini adalah bagian integrasi dari sirkulasi laut tetapi ribuan sampai jutaan kali lebih kecil dari arus horizontal. Gerakan vertikal ini terjadi akibat adanya stratifikasi densitas air laut karena dengan penambahan kedalaman mengakibatkan suhu menurun dan densitas meningkat yang menimbulkan energi untuk menggerakkan massa air secara vertikal. Adanya gerakan massa air vertikal akan menimbulkan efek yang signifikan terhadap kandungan nutrien pada lapisan kedalaman tertentu. Gerakan naik dari massa air laut ini membawa serta suhu yang lebih dingin, salinitas yang tinggi, dan zat-zat hara yang kaya ke permukaan (Nontji, 1993). Lokasi upwelling merupakan daerah yang subur dan ideal bagi ikan-ikan pelagis kecil untuk memperoleh pakan, yang pada gilirannya akan dimangsa oleh ikan-ikan yang berukuran besar. Hubungan yang saling berkesinambungan ini menjadikan lokasi upwelling sebagai area yang sangat ideal untuk menangkap ikan (fishing ground). Sebaran suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter yang dapat dipergunakan untuk mengetahui terjadinya proses upwelling di suatu perairan (Birowo & Arief, 1983). Dalam proses upwelling ini terjadi penurunan suhu permukaan laut dan tingginya zat hara dibandingkan daerah sekitarnya. Tingginya

49 49 kadar zat hara tersebut merangsang perkembangan fitoplankton di permukaan. Perkembangan fitoplankton sangat erat kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan, maka proses upwelling ini selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer di suatu perairan dan selalu diikuti dengan meningkatnya populasi ikan di perairan tersebut (Pariwono, 1988). Beberapa jenis kopepoda biasa digunakan sebagai bio-indikator dalam menentukan lokasi upwelling di perairan dunia. Calanus pacificus dan Calanus marshallae merupakan bio-indikator upwelling di perairan lepas pantai California dan Oregon, Amerika Serikat. Dilaporkan bahwa pada saat upwelling sedang berlangsung kelimpahan anakan (kopepodit V) dari jenis ini di permukaan perairan mencapai 26 juta individu per meter kubik, dan kadar fosfat di permukaan air mencapai 2 µg atom per liter. Di perairan Indonesia, dua jenis kopepoda laut dalam yang dikenal sebagai bio-indikator upwelling adalah Calanoides philippinensis dan Rhincalanus nasutus. Mereka menimbun lemak sebanyak mungkin dari fitoplankton, nauplius maupun detritus yang dimakannya untuk pertumbuhan dan cadangan makanan pada saat downwelling. Menjelang berakhirnya musim upwelling, pada saat stok makanan di permukaan mulai menipis, sebagian besar anakan (kopepodit V) dari kedua jenis kopepoda tersebut akan menyelam ke kedalaman meter atau lebih. Perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh tipe iklim Muson yang terdiri dari musim barat (Desember-Februari), musim peralihan I (Maret-Mei), musim timur (Juni-Agustus), dan musim peralihan II (September-November). Pada gilirannya tipe iklim ini akan berpengaruh terhadap kehidupan, kekayaan jenis, kelimpahan, sebaran biota maupun sifat-sifat dan fenomena oseanografi yang terjadi, misalnya proses upwelling. Hingga saat ini diketahui ada tujuh lokasi upwelling di perairan Indonesia. Sebagian besar lokasi upwelling ini terletak di Wallace area, yaitu suatu kawasan perairan yang dibatasi oleh garis Wallacea di bagian barat dan garis Lydekker di bagian timur. Daerah ini dikenal memiliki keanekaragaman jenis dan kelimpahan biota yang tinggi, beberapa jenis di antaranya bersifat unik dan endemik, yang merupakan sumbangan besar bagi keanekaragaman biota global. Selain Selat

50 50 Makassar dan Laut Banda, upwelling juga terjadi di Laut Seram, Laut Maluku, Laut Arafura, dan perairan utara kepala burung dan perairan timur Papua. Satusatunya lokasi upwelling di luar kawasan Wallacea adalah di perairan selatan Jawa hingga Sumbawa.

51 51 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, mulai bulan April sampai bulan Juni Sampel ikan didapatkan dari hasil penangkapan ikan oleh nelayan di perairan Pemuteran-Bali Barat, Kabupaten Buleleng. Analisis ikan contoh dilakukan di Laboratorium Balai Besar Riset Perikanan Budi Daya Laut (BBRPBL) Gondol-Bali, sedangkan analisis plankton dilakukan di Laboratorium Planktonologi, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI), Jakarta. Wilayah pengambilan sampel berkisar pada koordinat '31'' '43'' LS dan '13'' '58'' BT (Gambar 3.1). Gambar 3.1. Lokasi penelitian di perairan Pemuteran, Bali Barat [Sumber: Bakosurtanal, 2011] 3.2 Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil tangkapan ikan terbang dari spesies Cheilopogon katoptron, fitoplankton dan zooplankton. Bahan-bahan lainnya adalah air laut sampel dan larutan formalin yang telah 51

52 52 dinetralkan dengan boraks, untuk mengawetkan ikan sampel dengan perbandingan 1 : 10 (10 %), dan untuk mengawetkan plankton sampel dengan perbandingan 1 : 25 (4 %). Adapun alat-alat yang digunakan selama pengambilan sampel adalah kapal penangkap ikan ukuran <1 Gross Tonnage (GT), alat tangkap drift gillnet, DOmeter, termometer, ph-meter digital, refraktometer, kite current meter, sechidish, timbangan digital, kaliper, GPS portable, kamera digital, buku identifikasi ikan terbang dan plankton, serta plankton net yang terdiri dari jaring Kitahara (mata jaring berukuran 80, diameter mulut jaring 0,3 m, panjang jaring 100 cm dan jaring Norpac (mata jaring berukuran 300, diameter mulut jaring 0,45 m, panjang jaring 180 cm). 3.3 Pengumpulan Data Data Sampel Ikan Terbang Pengambilan ikan contoh dilakukan di perairan Bali dengan menggunakan drift gillnet yang dioperasikan dengan menggunakan kapal penangkap ikan ukuran <1 GT pada waktu pagi hari. Ikan terbang yang tertangkap ditampung sementara di atas geladak kapal. Setelah sampai di darat, ikan hasil tangkapan dihitung dan dipisahkan berdasarkan spesies yang tertangkap. Identifikasi ikan untuk membedakan spesies dilakukan secara visual di tempat pendaratan kapal dengan mengamati bentuk tubuh, sirip pektoral, sirip dorsal, sirip anal, sirip ventral, bentuk mulut dan letak gigi yang mengacu pada Hutomo et al. (1985) dan Parin (1999). Identifikasi ini dilakukan oleh Prof. Dr. Ir. Asikin Djamali (akademisi dan mantan Peneliti Utama P2O-LIPI) dan Parino (mantan Teknisi Litkayasa Penyelia P2O LIPI). Setelah melakukan identifikasi, selanjutnya ikan-ikan tersebut dimasukkan ke dalam jerigen yang telah berisi formalin 10 %. Analisis isi perut, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad dilakukan dengan melakukan pembedahan. Sampel ikan terbang tersebut dibawa ke Laboratorium Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL), Gondol-Bali, dan identifikasi dilakukan oleh Prof. Dr. Harianti (Peneliti Utama BBRPBL Gondol-Bali).

53 Data Parameter Fisik Air Pengukuran kualitas air, yaitu oksigen terlarut dengan DO-meter, suhu dengan termometer, derajat keasaman (ph) dengan ph-meter digital, salinitas dengan refraktometer, kecepatan arus dan arah arus dengan kite current meter, dan kecerahan dengan sechidish. Selanjutnya posisi pengambilan sampel (sampling) ditentukan dengan GPS portable. Pengukuran parameter fisik air laut dilakukan dengan bantuan Parino (mantan Teknisi Litkayasa Penyelia P2O LIPI) Data Plankton Pengambilan sampel fitoplankton dilakukan pada 20 stasiun di perairan Bali Barat, Kabupaten Buleleng dengan jaring kitahara yang ditarik secara vertikal pada kedalaman hingga 26 m. Pengambilan sampel zooplankton dilakukan pada 20 stasiun di perairan Pemuteran-Bali Barat, Kabupaten Buleleng dengan jaring norpac yang ditarik secara horisontal selama 5-10 menit. Pada mulut jaring norpac, dilekatkan masing-masing sebuah flowmeter untuk mengukur volume air tersaring. Setelah pengambilan sampel, kemudian sampel diawetkan dengan formalin 4 % yang telah dinetralkan dengan borax. Identifikasi jenis-jenis, indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks kekayaan jenis plankton dilakukan oleh Sugestiningsih (Teknisi Litkayasa Penyelia P2O-LIPI) di Laboratorium Planktonologi, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI), dengan mengacu pada Davis (1955), Wickstead (1965), Yamaji (1966), Taylor (1978), dan Hallegraeff (1991). 3.4 Uji Laboratorium Pada analisis laboratorium, ikan terbang yang telah diawetkan dengan formalin 10 % diukur panjang total dan beratnya. Panjang total diukur dari ujung kepala terdepan sampai dengan ujung sirip ekor yang paling belakang menggunakan kaliper dengan ketelitian 0,1 cm. Berat ikan contoh ditimbang dengan menggunakan timbangan digital O haus dengan ketelitian 0,01 g Pengamatan Isi Perut Ikan Terbang Pembagian kelompok makanan berdasarkan kelas ukuran panjang sesuai dengan contoh yang mewakili pada panjang berkisar antara mm terbagi

54 54 dalam selang 10 mm. Ikan dibedah dengan gunting bedah, dimulai dari anus menuju bagian dorsal di bawah linea lateralis dan menyusuri garis tersebut sampai ke bagian belakang operkulum kemudian ke arah ventral hingga ke dasar perut. Bagian tubuh yang telah dibedah dibuka sehingga organ dalam ikan dapat terlihat dan jenis kelamin dapat ditentukan dengan melihat morfologi gonadnya. Saluran pencernaan dipisahkan dari organ dalam lainnya. Lambung dan usus ikan diukur panjangnya menggunakan kaliper, kemudian dimasukkan ke dalam botol untuk diawetkan dengan menggunakan formalin 4 %. Bagian lambung yang diawetkan itu dibedah dan isinya dipisahkan untuk diukur volumenya. Isi lambung kemudian ditempatkan pada cawan menggunakan pipet tetes lalu diamati dan diidentifikasi dengan mikroskop Pengamatan Gonad Ikan Terbang Pengukuran tingkat perkembangan gonad dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama, gonad diangkat dari dalam perut ikan lalu diawetkan dengan formalin 4 %. Tahap kedua, diambil tiga bagian dari gonad tersebut, yaitu bagian posterior, median dan anterior sebagai gonad contoh. Tahap ketiga, gonad contoh diamati dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer dengan pembesaran 100 µ. 3.5 Pengolahan Data Nisbah Kelamin Nisbah kelamin ikan terbang dihitung dengan menggunakan persamaan sesuai Effendie (2002) : M NK = (3.1) F Keterangan : M = Jumlah ikan jantan (ekor) F = Jumlah ikan betina (ekor) Faktor Kondisi Faktor kondisi ikan terbang dihitung berdasarkan panjang dan berat ikan contoh dengan menggunakan persamaan sesuai Effendie (2002). Untuk pola

55 55 pertumbuhan yang bersifat allometrik (b 3), faktor kondisi dihitung dengan menggunakan persamaan: W K = (3.2) al b Untuk pola pertumbuhan yang bersifat isometrik (b = 3), faktor kondisi dihitung dengan menggunakan persamaan : 10 5 W K = (3.3) L 3 Keterangan : K = Faktor kondisi W = Berat ikan contoh (g) L = Panjang ikan contoh (mm) a dan b = Konstanta Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Penentuan TKG secara morfologis dilakukan di laboratorium berdasarkan tanda-tanda umum serta ukuran gonad, sedangkan penentuan histologisnya dengan mengamati gonad di laboratorium secara mikrokopis Indeks Kematangan Gonad (IKG) Indeks kematangan gonad ikan terbang dihitung dengan menggunakan persamaan sesuai Effendie (2002) : IKG = x 100% (3.4) Keterangan : IKG = Indeks kematangan gonad B g B t B g B t = Berat gonad (g) = Berat total (g) Fekunditas Fekunditas ikan terbang diamati, kemudian dianalisis dengan menggunakan persamaan Effendie (2002) sebagai berikut:

56 56 F = G x V x X Q (3.5) Keterangan : F = Fekunditas G = Berat gonad (g) V = Isi pengenceran (cc) X = Jumlah telur tiap cc Q = Berat telur contoh (g) 3.6 Analisis Hubungan variabel dependent dengan variabel independent Beberapa variabel dalam aspek biologi yang dianalisis dengan fungsi regresi, uji t dan koefisien determinasi adalah panjang dengan berat dan panjang dengan isi perut. Ukuran berat dan isi perut menjadi variabel dependent, sedangkan ukuran panjang sebagai variabel independent. Penghitungan korelasi panjang dengan berat dengan menggunakan persamaan Hile (1936) : W = al b (3.6) Keterangan: W = Berat ikan L = Panjang ikan a dan b = Konstanta Transformasi kedalam logaritma dengan persamaan Walpole (1995): Log a = b = LogW x (LogL) 2 - LogL x (LogL x LogW) N x Σ (LogL) 2 (Σ LogL) 2 LogW (N x Log a) Σ LogL Keterangan: N = Jumlah ikan W = Berat total (g) L = Panjang total (mm) a dan b = Konstanta

57 57 Dari persamaan tersebut dapat diketahui pola pertumbuhan panjang dan bobot ikan. Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menentukan pola pertumbuhan dengan kriteria : 1. Jika b = 3, pertumbuhan bersifat isometrik, yaitu pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan bobot. 2. Jika b > 3 maka pola pertumbuhan bersifat allometrik positif, yaitu pertambahan bobot lebih cepat dari pertambahan panjang. 3. Jika b < 3 maka pola pertumbuhan bersifat allometrik negatif, yaitu pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan bobot. Untuk mengetahui keeratan hubungan antara panjang dengan berat digunakan koefisien korelasi (r) dengan rumus : r = ( ( Log L x LogW ) Log L) 2 x ( LogW ) 2 Besaran pengaruh dan keeratan hubungan pertambahan variabel independent yang mengakibatkan adanya pertambahan variabel dependent dianalisis dengan fungsi regresi, uji t, dan koefisien determinasi (R 2 ) dengan bantuan aplikasi SPSS. 1. Fungsi regresi Analisis ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dari variabel independent (X) terhadap variabel dependent (Y), dengan persamaan sebagai berikut: Y = a+bx (3.7) Keterangan : Y = variabel dependent X = variabel independent a = konstanta b = koefisien determinasi Nilai koefisien variabel independent mengandung arti bahwa setiap kenaikan satu satuan, maka variabel dependent (Y) akan naik sebesar X satuan, dengan asumsi bahwa variabel bebas yang lain dari model adalah tetap.

58 58 2. Koefisien determinasi (R 2 ) Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar hubungan antar variabel dalam pengertian yang lebih jelas. Koefisien determinasi akan menjelaskan seberapa besar perubahan atau variasi suatu variabel bisa dijelaskan oleh perubahan atau variasi pada variabel yang lain (Santosa & Ashari, 2005). Nilai R 2 antara 0-1, jika hasil lebih mendekati angka 0 berarti kemampuan variabel independent dalam menjelaskan variasi variabel berat amat terbatas. Tapi jika hasil mendekati angka 1 berarti variabel panjang memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependent. 3. Uji t Uji t digunakan untuk mengetahui apakah variabel independent secara parsial berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependent. Derajat signifikansi yang digunakan adalah 0,05. Apabila nilai signifikan lebih kecil dari derajat kepercayaan maka kita menerima hipotesis alternatif, yang menyatakan bahwa suatu variabel independent secara parsial mempengaruhi variabel dependent. Nilai sig lebih kecil dari nilai probabilitas 0,05, maka H 1 diterima dan Ho ditolak. Apabila t hitung > t tabel dapat disimpulkan bahwa variabel X memiliki kontribusi terhadap Y. Nilai t yang positif menunjukkan bahwa variabel X mempunyai hubungan yang searah dengan Y. Jadi dapat disimpulkan pertambahan variabel independent memiliki pengaruh signifikan atau tidak terhadap pertambahan variabel dependent.

59 59 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Ikan terbang merupakan salah satu komoditas komersial penting di beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya di perairan Pemuteran, Bali Barat. Ikan terbang di perairan ini juga merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat nelayan di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Penangkapan ikan terbang di perairan Pemuteran, Bali Barat didominasi oleh kapal penangkap ikan skala kecil yang menggunakan kapal motor tempel, dengan ukuran kapal <5 GT dan alat tangkap drift gillnet piece (Gambar 4.1). Gambar 4.1. Kapal penangkap ikan terbang di perairan Pemuteran, Bali Barat [Sumber: Hasil pengamatan lapangan] Berdasarkan data pengamatan lapangan, diketahui ikan terbang Cheilopogon katoptron mendominasi hasil tangkapan nelayan di perairan Pemuteran, Bali Barat. Ikan terbang dari spesies yang lain, seperti Cheilopogon 59

60 60 artisignis, Cheilopogon suttoni, Cheilopogon papilio juga tertangkap dalam jumlah yang sedikit (Gambar 4.2). Cheilopogon katoptron Cheilopogon atrisignis Cheilopogon suttoni Cheilopogon papilio Gambar 4.2. Beberapa spesies ikan terbang yang tertangkap di perairan Pemuteran, Bali Barat [Sumber: Hasil pengamatan lapangan] Pada bulan Juni 2011, saat operasi penangkapan ikan terbang di perairan Pemuteran, diketahui ikan lumba-lumba (Tursiops truncatus) dan ikan layaran (Istiophorus platypterus) melintas di sekitar daerah penebaran jaring, bahkan ikan layaran (Istiophorus platypterus) dalam jumlah kecil tertangkap oleh jaring. Ikanikan tersebut, diduga mengejar gerombolan ikan terbang yang ada di perairan ini. Dugaan tersebut, diperkuat oleh pustaka dan penelitian terdahulu bahwa ikan lumba-lumba dan ikan layaran merupakan salah satu predator ikan terbang. Ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali Barat April-Juni 2011 memiliki ukuran yang bervariasi antara ikan jantan dan betina. Ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan memiliki rentang panjang yang lebih pendek daripada ikan terbang Cheilopogon katoptron betina. Perbedaan selang

61 61 panjang yang terdapat pada populasi ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali Barat ini dapat terjadi, karena adanya perbedaan dalam tingkatan umur/generasi dan strategi reproduksi. Berdasarkan hasil operasi penangkapan ikan dengan menggunakan jaring insang hanyut (drift gillnet), diperoleh ikan terbang Cheilopogon katoptron dengan ukuran terkecil (<160 mm) dengan persentase dibawah 2 % dari total hasil tangkapan. Artinya, alat tangkap yang digunakan telah selektif meloloskan ikan berukuran kecil agar tidak terjaring. Ikan terbang Cheilopogon katoptron yang tertangkap di perairan Pemuteran Bali Barat pada bulan April-Juni 2011 juga diketahui belum memasuki masa pemijahan. Hal ini dapat diindikasikan dari berbagai faktor, diantaranya adalah perbandingan jenis kelamin (sex ratio) dan tingkat kematangan gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron yang tertangkap. Dominasi ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan dinyatakan hampir dua kali lipat (1,8 kali) dari ikan terbang Cheilopogon katoptron betina. Selain itu, gonad yang berisi sel kelamin hanya ditemukan pada ikan terbang Cheilopogon katoptron betina dengan frekuensi yang rendah (2,7 %) dari keseluruhan hasil tangkapan pada bulan April- Juni 2011, serta hanya memiliki kematangan gonad yang berada pada tingkat I dan II. Menurut Nikolsky (1963), perubahan nisbah kelamin terjadi secara teratur. Pada awalnya ikan jantan lebih dominan kemudian berubah menjadi 1:1 diikuti dengan dominasi ikan betina. Perubahan ini terjadi pada saat menjelang dan selama pemijahan. Pertumbuhan ikan terbang Cheilopogon katoptron memiliki pola yang berbeda antara jantan dengan betina. Ikan terbang Cheilopogon katoptron betina memiliki pola pertumbuhan yang lebih cepat daripada ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan, dalam hal peningkatan berat. Secara umum, pola pertumbuhan ikan terbang Cheilopogon katoptron pada April-Juni 2011 memiliki kecenderungan meningkat, dengan peningkatan tertinggi pada bulan Juni Hal ini diduga karena adanya strategi reproduksi dan ketersediaan makanan yang melimpah pada bulan tersebut. Dari hasil pengamatan lapangan, diketahui bahwa ketersediaan plankton pada bulan April-Juni 2011 terjadi peningkatan jumlah sel/individu plankton per m 3 yang fluktuatif. Pada bulan Juni 2011 terjadi ledakan

62 62 populasi (blooming) fitoplankton, yang diketahui populasinya meningkat lebih dari % dari bulan April Fenomena blooming ini memperkuat dugaan telah terjadinya upwelling di perairan Pemuteran pada bulan tersebut. Data parameter fisik air laut juga mengindikasikan upwelling telah terjadi di perairan ini. Suhu air laut menunjukkan penurunan yang signifikan (9,3 %) pada bulan Juni 2011, hal ini dapat diakibatkan karena bercampurnya massa air dari dasar laut yang lebih dingin dengan air yang ada di permukaan. Derajat keasaman (ph) juga mengalami kecenderungan menurun. Pada bulan Mei 2011, terjadi penurunan ph sebesar 6 %, sedangkan pada bulan Juni 2011 terjadi penurunan 1,3 %. Penurunan ph ini dapat diakibatkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah adanya konsumsi karbonat dan ion hidrogen dalam proses nitrifikasi oleh bakteri. Meningkatnya kadar karbondioksida di perairan Pemuteran Bali Barat juga menjadi penyebab menurunnya ph. Konsentrasi karbondioksida meningkat karena tingginya laju pernapasan yang tidak seimbang dengan laju fotosintesis untuk menghasilkan oksigen terlarut (DO) dalam perairan. Penurunan DO pada bulan Juni 2011 sebesar 14 % dari bulan Mei 2011, memperkuat indikasi adanya penurunan produksi oksigen dari proses fotosintesis oleh produsen di dalam perairan, sehingga menyebabkan kadar karbondioksida di perairan menjadi lebih tinggi. Penurunan tingkat kecerahan air laut pada bulan Juni 2011 (31,4 %), juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya laju fotosintesis di perairan. Penurunan tingkat kecerahan perairan ini dapat terjadi karena masuknya sinar matahari terhalang oleh substrat yang naik ke permukaan perairan, sehingga laju fotosintesis juga menurun. Peningkatan ketersediaan makanan ikan terbang Cheilopogon katoptron dari kelompok zooplankton juga terjadi di perairan Pemuteran Bali Barat pada bulan Mei-Juni Populasi individu zooplankton per m 3 rata-rata meningkat 180 % setiap bulan, dan didominasi oleh genus Copepoda. Pada bulan April 2011 komposisi Copepoda mencapai 44,9 %, bulan Mei 2011 komposisi Copepoda mencapai 58,8 %, dan bulan Juni 2011 komposisi Copepoda mencapai 62,8 % dari total populasi individu zooplankton per m 3 yang ada di perairan Pemuteran Bali Barat. Hal ini berbanding lurus dengan ditemukannya Copepoda dalam isi

63 63 perut ikan terbang Cheilopogon katoptron sebagai makanan utamanya, dengan persentase rata-rata paling tinggi (45-74 %), sedangkan sisanya diisi oleh jenis makanan lainnya terdiri dari kelompok fitoplankton, cacing dan telur ikan. 4.2 Hasil dan Pembahasan Sebaran Panjang-Berat Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Ikan terbang Cheilopogon katoptron yang dijadikan sampel penelitian dengan kurun waktu 3 bulan (April-Juni 2011) adalah 262 ekor, terdiri dari ikan jantan sebanyak 168 ekor dan ikan betina sebanyak 94 ekor. Pada bulan April jumlah ikan jantan yang tertangkap 32 ekor, ikan betina 30 ekor. Pada bulan Mei jumlah ikan jantan 60 ekor, ikan betina 40 ekor. Pada bulan Juni jumlah ikan jantan 76 ekor, ikan betina 24 ekor. Ukuran panjang ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali Barat berkisar mm untuk ikan jantan, sedangkan ikan betina ukuran panjangnya berkisar mm. Menurut Hermawati (2006), panjang total ikan terbang di perairan Binuangeun untuk ikan jantan adalah mm, sedangkan ikan betina mm. Ukuran panjang ikan terbang di perairan Binuangeun lebih panjang dibandingkan dengan ikan terbang yang ada di perairan Bali Barat. Perbedaan ini dapat terjadi karena ikan terbang di perairan Pemuteran-Bali Barat berbeda spesies dengan yang ada di perairan Binuangeun. Selain itu, ikan terbang di perairan Pemuteran Bali Barat merupakan hasil utama usaha perikanan tangkap skala kecil dengan frekuensi tangkapan yang tinggi, sehingga banyak ikan tertangkap dalam ukuran yang kecil. Berdasarkan ukuran panjang, ikan terbang ini dikelompokkan menjadi 14 kelompok selang panjang, dengan kisaran selang panjang mm. Selang kelas ini dibuat untuk mengelompokkan ikan berdasarkan perbedaan generasi/umur. Pada ikan betina, frekuensi tertinggi pada selang panjang > mm sebanyak 28 ekor (29,8 %), sedangkan untuk ikan jantan frekuensi tertinggi terdapat pada selang panjang > mm sebanyak 52 ekor (31,0 %). Ukuran paling kecil ikan terbang Cheilopogon katoptron yang tertangkap terdapat pada selang panjang > mm (0,6 %) untuk ikan jantan, sedangkan ikan betina paling kecil pada selang panjang mm (1,1 %). Hasil ini menunjukkan bahwa ikan terbang Cheilopogon katoptron yang tertangkap

64 64 dengan ukuran kecil persentasenya rendah (Gambar 4.3). Artinya, nelayan setempat telah melakukan penangkapan ikan terbang dengan menggunakan alat tangkap yang selektif, sehingga ikan yang berukuran kecil bukan menjadi target utama penangkapan. Frekuensi (ekor) 57 Selang panjang (mm) Gambar 4.3. Sebaran frekuensi ikan terbang Cheilopogon katoptron berdasarkan selang panjang total (mm), April-Juni 2011 Pada bulan April, panjang rata-rata diketahui 209,97 mm, bulan Mei diketahui 199,76 mm, dan bulan Juni 2011 diketahui 195,53 mm. Perbedaan ukuran panjang rata-rata pada setiap bulan dapat terjadi karena adanya perbedaan generasi/tingkat kesamaan umur dalam sub populasi ikan terbang Cheilopogon katoptron yang terdapat di perairan Pemuteran Bali Barat (Gambar 4.4). Gambar 4.4. Perbedaan ukuran panjang rata-rata ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali Barat, April-Juni 2011

65 Nisbah Kelamin Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Berdasarkan selang ukuran panjang, nisbah kelamin mengalami fluktuasi. Nisbah kelamin yang paling tinggi terdapat pada selang kelas > mm. Pada selang kelas > mm nisbah kelamin seimbang dengan ikan jantan dan betina masing-masing 1 ekor (Gambar 4.5). Menurut Hermawati (2006) nisbah kelamin yang paling tinggi terdapat pada selang panjang mm dan yang terkecil terdapat pada selang panjang mm. Nisbah kelamin (J/B) Selang panjang (mm) Gambar 4.5. Nisbah kelamin ikan terbang Cheilopogon katoptron per selang panjang total (mm) Dari hasil tangkapan ikan terbang dengan drift gillnet diperoleh komposisi rata-rata ikan jantan adalah 64,1 % dan ikan betina 35,9 %, sehingga diperoleh sex ratio tidak seimbang, yakni jantan-betina pada perbandingan 1,8:1 (Gambar 4.6). Secara keseluruhan maupun tiap bulan perbandingan ikan terbang yang tertangkap tidak seimbang, yaitu ikan jantan lebih banyak dibandingkan ikan betina. Menurut Hermawati (2006), nisbah kelamin ikan terbang di perairan Binuangeun yang tertangkap dengan menggunakan gill net adalah 2:1 (tidak seimbang). Menurut Ali (1981), ikan terbang di Laut Flores yang ditangkap dengan bubu hanyut memiliki nisbah kelamin 1:1. Perbedaan dari ketiga hasil penelitian ini akibat perbedaan alat tangkap yang digunakan, perbedaan tingkah laku antara ikan jantan dan betina, mortalitas dan pertumbuhan (Ball & Rao, 1984).

66 66 Perbedaan jumlah ikan jantan dan betina pada penelitian bulan April-Juni 2011, juga dapat terjadi karena adanya strategi reproduksi. Populasi ikan Cheilopogon katoptron jantan berjumlah lebih banyak (mendominasi) dibandingkan dengan ikan Cheilopogon katoptron betina sebelum masa memijah. Diperkirakan, nisbah kelamin akan berubah secara teratur diikuti dengan dominasi ikan betina pada saat menjelang dan selama pemijahan. Hasil ini dapat menjadi salah satu indikator untuk mengambil kesimpulan bahwa ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali Barat pada bulan April-Juni belum memasuki masa pemijahan. Gambar 4.6. Nisbah kelamin ikan terbang Cheilopogon katoptron Faktor Kondisi Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Faktor kondisi ikan jantan dan ikan betina berfluktuatif. Pada ikan jantan memiliki kisaran faktor kondisi 0,86-1,30, sedangkan kisaran faktor kondisi pada ikan betina adalah 0,78-1,26 (Gambar 4.7). Menurut Hermawati (2006), nilai faktor kondisi berfluktuasi tiap bulannya dengan kisaran nilai tertinggi 1,05-1,18 pada bulan Juni untuk ikan jantan dan 0,97-1,10 pada bulan Agustus untuk ikan betina. Faktor kondisi rata-rata ikan terbang Cheilopogon katoptron pada bulan April-Juni 2011 adalah sebesar 1,00 (Lampiran 1). Nilai rata-rata faktor kondisi pada penelitian selama April-Juni ini adalah 1,00 untuk ikan jantan dan ikan betina, artinya rata-rata ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran merupakan ikan yang kurus dan panjang.

67 67 Gambar 4.7. Faktor kondisi ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan dan betina per bulan Tingkat Kematangan Gonad Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Tingkat perkembangan gonad dapat diketahui dari hasil pengamatan morfologi dan histologi dari sampel gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron. Tanda-tanda yang diamati untuk mengidentifikasi TKG adalah warna, bentuk dan ukuran gonad, serta volume sel kelamin yang terdapat di dalam gonad (Tabel 4.1). Hasil histologis gonad ikan terbang, diketahui bahwa tingkat kematangan gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron masih berada pada level I dan II. Pada TKG I, dapat dilihat ukuran telur yang sangat kecil, tidak memiliki kuning telur dan nukleus yang terlihat dengan jelas. Pada TKG II, oogonia telah terlihat membelah secara mitosis menjadi oosit dan mulai terjadi pengendapan kuning telur (Gambar 4.8).

68 68 Tabel 4.1. Tingkat kematangan gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron TKG Jantan Betina I Tidak ditemukan Ukuran kecil, panjang dan transparan, butir telur tidak terlihat dengan mata telanjang II Tidak ditemukan Ukuran gonad lebih besar dari TKG I, warna putih kekuningan, mulai terlihat butir telurnya, pada ujung gonad anterior lebih besar daripada median dan posterior, warna kekuningan [Sumber: Hasil pengamatan data lapangan] Og Os Nu Yg 100 µm 100 µm TKG I TKG II Gambar 4.8. Struktur histologis gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron betina (Keterangan: Og = Oogonium; Os = Oosit; Nu = Nukleus; dan Yg = Kuning telur) [Sumber: Hasil pengamatan data lapangan] Berdasarkan pengamatan sampel (April-Juni 2011), gonad berisi telur hanya ditemukan pada ikan betina. TKG I pada ikan betina 1,06 %, sedangkan TKG II pada ikan betina 5,32 % dari total 94 ekor ikan terbang betina sampel (Gambar 4.9). Pada ikan jantan tidak ditemukan. Maka dapat dinyatakan, bahwa kelompok ikan terbang Cheilopogon katoptron yang tertangkap pada bulan April- Juni belum memasuki masa memijah.

69 69 Betina Frekuensi (ekor) Gambar 4.9. Tingkat kematangan gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron per bulan Pada penelitian ini, diperoleh ukuran ikan pertama kali matang gonad pada ukuran 213 mm untuk ikan betina. Menurut Hermawati (2006), di perairan Binuangeun ikan jantan pertama kali matang gonad pada ukuran 237 mm dan ikan betina 238 mm. Pada penelitian Ali (1981), di perairan Sulawesi Selatan ikan jantan pertama kali matang gonad pada ukuran 180 mm dan betina 170 mm. Perbedaan ukuran pertama kali matang gonad antara perairan Binuangeun, perairan Sulawesi Selatan dan perairan Pemuteran Bali Barat dapat terjadi akibat adanya perbedaan spesies dan adanya indikasi penangkapan berlebih (overfishing), yang menyebabkan kelompok ikan yang terdapat di perairan tersebut memiliki ukuran panjang total yang lebih pendek, sehingga ikan ini memiliki strategi reproduksi untuk bertahan hidup, yaitu dengan mempercepat matang gonad pada ukuran panjang yang lebih pendek dibandingkan di perairan Binuangeun Parameter Fisik Air Laut Dalam penelitian ini parameter fisik air laut yang diuji meliputi suhu air laut, kadar ph air laut, salinitas, DO dan kecerahan air laut di perairan Pemuteran Bali Barat (Lampiran 2). Pada pengambilan sampel selama 3 bulan di 20 titik, diketahui rata-rata kualitas air laut di perairan Bali Barat sebagaimana Tabel 4.2 dibawah ini.

70 70 Tabel 4.2. Kondisi rata-rata kualitas air laut di perairan Pemuteran Bali Barat, April-Juni 2011 April Mei Juni Suhu air ( C) 30,1 30,7 27,9 ph 8,3 7,8 7,7 Salinitas ( o / oo ) 35,5 33,0 33,5 DO (mg/l) - 5,7 4,9 Kecerahan (m) 22,0 20,4 14,0 [Sumber: Hasil pengamatan data lapangan] Dari Tabel 4.2, diketahui indikator suhu air laut menunjukkan penurunan yang cukup signifikan pada bulan Juni 2011 (9,3 %). Turunnya suhu air laut ini dapat terjadi karena berbagai faktor, salah satunya adalah adanya percampuran air dari dasar laut ke permukaan. Berdasarkan indikator parameter air laut lainnya, diperkirakan telah terjadi naiknya masa air dari dasar ke permukaan (upwelling) di perairan Pemuteran Bali Barat. Ledakan populasi fitoplankton juga memperkuat adanya upwelling telah terjadi pada bulan Juni 2011 (lihat Gambar 4.9). Derajat keasaman (ph) juga terlihat kecenderungan menurun. Pada bulan Mei 2011, terjadi penurunan sebesar 6 %, sedangkan pada bulan Juni terjadi penurunan 1,3 %. Penurunan ph ini dapat diakibatkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah adanya konsumsi karbonat dan ion hidrogen dalam proses nitrifikasi oleh bakteri. Meningkatnya kadar karbondioksida di perairan Pemuteran Bali Barat juga menjadi penyebab menurunnya ph. Konsentrasi karbondioksida meningkat karena tingginya laju pernapasan dan rendahnya laju fotosintesis yang menghasilkan oksigen terlarut. Menurunnya kadar oksigen terlarut pada bulan Juni sebesar 14 %, juga memperkuat indikasi terjadinya upwelling di perairan Pemuteran Bali Barat, yang menyebabkan meningkatnya kadar karbondioksida di perairan. Tingkat kecerahan air laut yang cenderung menurun pada bulan Juni 2011 (31,4 %), menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut (DO) di perairan. Menurunnya tingkat kecerahan perairan ini dapat terjadi karena masuknya sinar matahari terhalang oleh substrat yang naik ke permukaan perairan, sehingga menyebabkan laju fotosintesis juga menurun. Selanjutnya, pada bulan April-Juni 2011 juga terjadi penurunan salinintas di perairan Pemuteran Bali Barat. Pada bulan Juni 2011, salinitas menurun sebesar

71 71 (6,1 %) dari bulan April Penurunan salinitas ini dapat terjadi karena daerah pengambilan sampel berada dekat dengan pantai yang memiliki tingkat variasi salinitas yang tinggi. Diduga, tingkat salinitas di dasar perairan lebih rendah dari yang ada di permukaan, sehingga saat terjadi pengadukan air laut dapat menurunkan tingkat salinitasnya. Secara umum, berdasarkan parameter fisik air laut dan indeks keanekaragaman plankton Shannon-Wiener dengan nilai indeks berkisar 1,54-1,65, dapat dinyatakan bahwa perairan Pemuteran telah mengalami pencemaran pada tingkat sedang, namun masih dalam batasan toleransi baku mutu air laut. Artinya, kondisi perairan Pemuteran dapat diindikasikan telah terjadi pencemaran yang mengarah kepada penurunan kualitas lingkungan perairan. Hal ini menjadi catatan penting, bahwa dalam rangka pengelolaan ikan terbang di perairan Pemuteran, pencemaran lingkungan yang terus meningkat dapat berdampak negatif terhadap kelangsungan sumberdaya ikan terbang pada khususnya Komposisi Plankton Fitoplankton Hasil pencacahan dan identifikasi fitoplankton dari perairan Pemuteran Bali Barat, Kabupaten Buleleng sebanyak 20 stasiun pada bulan April-Juni 2011 disajikan dalam Tabel 4.3 dan Gambar Menurut Sidabutar (2008), di perairan estuari Cisadane, Teluk Jakarta ditemukan sebanyak 11 genus yaitu Amphizolenia, Ceratium, Dynophysis, Dictyocha, Gymnodinium, Gonyaulax, Noctiluca, Ornithoceros, Prorocentrum, Protoperidinium dan Pyrophacus. Pada bulan April (8 stasiun), berhasil dilakukan identifikasi 15 spesies fitoplankton, terdiri dari 9 spesies Diatomae dan 6 spesies Dinoflagellata. Diatomae yang terindentifikasi, yaitu Chaetoceros, Coscinodiscus, Hemiaulus, Nitzschia, Odontela, Rhizosolenia, Skeletonema, Thalassiothrix dan Thalassiosira, sedangkan Dinoflagellata yang terindentifikasi, yaitu Ceratium, Dinophysis, Noctiluca, Ornithocerus, Prorocentrum dan Protoperidinium. Jumlah sel fitoplankton per m 3 diketahui sel/m 3, dengan indeks keanekaragaman 1,54, indeks kemerataan 0,93 dan indeks kekayaan jenis 0,48.

72 72 Pada bulan Mei (8 stasiun), berhasil dilakukan identifikasi 13 spesies fitoplankton, terdiri dari 9 spesies Diatomae dan 4 spesies Dinoflagellata. Diatomae yang terindentifikasi, yaitu Asterolampra, Bacteriastrum, Chaetoceros, Coscinodiscus, Hemiaulus, Nitzschia, Rhizosolenia, Thalassiothrix dan Thalassiosira, sedangkan Dinoflagellata yang terindentifikasi, yaitu Ceratium, Ornithoceros, Podolampas dan Protoperidinium. Jumlah sel fitoplankton per m 3 diketahui sel/m 3, dengan indeks keanekaragaman 1,34, indeks kemerataan 0,87 dan indeks kekayaan jenis 0,45. Pada bulan Juni (4 stasiun), berhasil dilakukan identifikasi 16 spesies fitoplankton sebanyak 16 spesies, terdiri dari 14 spesies Diatomae dan 2 spesies Dinoflagellata. Diatomae yang terindentifikasi, yaitu Bacteriastrum, Chaetoceros, Coscinodiscus, Eucampia, Guinardia, Hemiaulus, Lauderia, Leptocylindrus, Nitzschia, Rhizosolenia, Skeletonema, Stephanopyxis, Thalassiosira dan Thalassiothrix, sedangkan Dinoflagellata yang terindentifikasi, yaitu Ceratium, dan Protoperidinium. Jumlah sel fitoplankton per m 3 diketahui sel/m 3, dengan indeks keanekaragaman 1,65, indeks kemerataan 0,69 dan indeks kekayaan jenis 0,80. Berdasarkan perbedaan jumlah sel fitoplankton per m 3 pada bulan April- Juni 2011 (Gambar 4.11), diketahui bahwa telah terjadi ledakan populasi fitoplankton di perairan Pemuteran-Bali Barat pada bulan Juni Hal ini diperkuat dengan adanya indikasi penurunan suhu air laut, kadar oksigen terlarut, dan kecerahan perairan pada bulan Juni Tabel 4.3. Indeks keanekaragaman dan kemerataan Shannon-Wiener fitoplankton di perairan Pemuteran, bulan April-Juni 2011 Bulan Jumlah sel/m 3 Indeks Indeks Keanekaragaman Kemerataan April ,54 0,93 Mei ,34 0,87 Juni ,65 0,69 [Sumber: Hasil pengamatan lapangan]

73 73 Gambar Jumlah rata-rata fitoplankton per spesies (sel/m 3 ), April-Juni 2011 Rata-rata: Indeks keragaman = 1,51 Indeks kemerataan = 0,83 Indeks kekayaan spesies = 0,57 Gambar Jumlah rata-rata individu fitoplankton (sel/m 3 ) per bulan Zooplankton Hasil pencacahan dan identifikasi zooplankton dari perairan Pemuteran Bali Barat, Kabupaten Buleleng berasal dai 20 stasiun pengambilan sampel pada bulan April-Juni 2011 ditampilkan dalam Tabel 4.4 dan Gambar Pada bulan April 2011 (8 stasiun), zooplankton hasil identifikasi sebanyak 37 macam, yaitu Medusa, Nectophore, Siphonophora, Stenophores, Tornaria, Chaetognatha, Evadne, Penelia, Ostracoda, Calanoida (Copepoda), Cyclopoida (Copepoda), Harpacticoida (Copepoda), Amphipoda, Brachiopoda,

74 74 Cephalopoda, Isopoda, Oikopleura, Luciferidae (mysis), Luciferidae (dewasa), Mysidacea (larvae), Euphausiacea (larvae), Thaliacea, Brachyura (zoea), Brachyura (megalopa), Caridea (larvae), Penaeidae (larvae), Polychaeta, Porcelanid (larvae), Stomatopoda, Sargestidae (zoea), Bipinnaria, Echinopluteus, Ophiopluteus, Creseis, Gastropoda, telur-telur ikan dan larva ikan. Jumlah populasi zooplankton per m 3 diketahui 70,00 ind/10 3 m 3, dengan indeks keanekaragaman 1,79, indeks kemerataan 0,62 dan indeks kekayaan jenis 0,61. Pada bulan ini, genus Copepoda adalah yang dominan. Komposisinya mencapai 44,9 % dari total populasi individu zooplankton per m 3 yang ada di perairan Pemuteran, Bali Barat. Pada bulan Mei 2011 (8 stasiun), zooplankton hasil identifikasi sebanyak 31 macam, yaitu Medusa, Nectophore, Siphonophora, Stenophores, Chaetognatha, Evadne, Ostracoda, Calanoida (Copepoda), Cyclopoida (Copepoda), Harpacticoida (Copepoda), Amphipoda, Clionina, Cyphonautes, Euphausiacea (zoea), Fritillaria, Oikopleura, Phoronis, Thaliacea, Tornaria, Brachyura (zoea), Cirripedia, Polychaeta, Sargestidae (larvae), Bipinnaria (larvae), Echinopluteus, Ophiopluteus, Bivalvia, Creseis, Gastropoda, telur-telur ikan dan larva ikan. Jumlah populasi zooplankton per m 3 diketahui 271,68 ind/10 3 m 3, dengan indeks keanekaragaman 1,65, indeks kemerataan 0,58 dan indeks kekayaan jenis 0,31. Pada bulan ini, genus Copepoda adalah yang dominan. Komposisinya mencapai 58,8 % dari total populasi individu zooplankton per m 3 yang ada di perairan Pemuteran, Bali Barat. Pada bulan Juni 2011 (4 stasiun), zooplankton hasil identifikasi sebanyak 30 macam, yaitu Medusa, Nectophore, Siphonophora, Chaetognatha, Ostracoda, Calanoida (Copepoda), Cyclopoida (Copepoda), Harpacticoida (Copepoda), Amphipoda, Desmopterus papilio, Euphausiacea zoea, Euphausiacea (dewasa), Fritillaria, Isopoda, Oikopleura, Luciferidae (zoea), Luciferidae (mysis), Luciferidae (dewasa), Thaliacea, Brachyura (zoea), Cirripedia, Cypris, Polychaeta, Bipinnaria, Ophiopluteus, Bivalvia, Creseis, Gastropoda, telur-telur ikan dan larva ikan. Jumlah populasi zooplankton per m 3 diketahui 124,52 ind/10 3 m 3, dengan indeks keanekaragaman 1,80, indeks kemerataan 0,60 dan indeks kekayaan jenis 0,41. Pada bulan ini, genus Copepoda adalah yang

75 75 dominan. Komposisinya mencapai 62,8 % dari total populasi individu zooplankton per 10 3 m 3 yang ada di perairan Pemuteran, Bali Barat (Gambar 4.12). Gambar Komposisi jumlah rata-rata zooplankton per genus (ind/10 3 m 3 ), April-Juni 2011 Dari Gambar 4.12 dapat dilihat dominasi populasi zooplankton dari genus Copepoda berada pada setiap bulan, kisarannya mencapai % dari keseluruhan populasi zooplankton yang ada di perairan Pemuteran Bali Barat. Dengan demikian, Copepoda diduga akan menjadi menu utama makanan ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat. Berdasarkan perbedaan jumlah individu zooplankton per 10 3 m 3 pada bulan April-Juni 2011 (Gambar 4.12), diketahui bahwa telah terjadi peningkatan populasi zooplankton di perairan Pemuteran-Bali Barat pada bulan Juni 2011, akibat adanya blooming fitoplankton pada bulan yang sama. Tabel 4.4. Indeks keanekaragaman dan kemerataan Shannon-Wiener zooplankton di perairan Pemuteran, bulan April-Juni 2011 Bulan Jumlah Indeks Indeks ind/10 3 m 3 Keanekaragaman Kemerataan April ,00 1,79 0,62 Mei ,68 1,65 0,58 Juni ,52 1,80 0,60 [Sumber: Hasil pengamatan lapangan]

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella maderensis Lowe, 1838 in www.fishbase.com) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS DAN DISTRIBUSI UKURAN PANJANG IKAN TERBANG DI PERAIRAN INDONESIA TIMUR

KERAGAMAN JENIS DAN DISTRIBUSI UKURAN PANJANG IKAN TERBANG DI PERAIRAN INDONESIA TIMUR Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) VIII (2): 26-265 ISSN: 853-6384 26 Full Paper KERAGAMAN JENIS DAN DISTRIBUSI UKURAN PANJANG IKAN TERBANG DI PERAIRAN INDONESIA TIMUR SPECIES DIVERSITY AND SIZE DISTRIBUTION

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Layur (Tricihurus lepturus) Layur (Trichiurus spp.) merupakan ikan laut yang mudah dikenal dari bentuknya yang panjang dan ramping. Ikan ini tersebar di banyak perairan dunia.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR ISI vi KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI vi DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR ix I. PENDAHULUAN 1 II. SISTIMATIKA DAN DISTRIBUSI 8 A. Sistimatika 8 B. Distribusi 13 III. BIOLOGI REPRODUKSI 20 A. Nisbah

Lebih terperinci

PERIKANAN IKAN TERBANG DI INDONESIA : RISET MENUJU PENGELOLAAN

PERIKANAN IKAN TERBANG DI INDONESIA : RISET MENUJU PENGELOLAAN Oseana, Volume XXXI, Nomor 3, 2006 : 21-31 ISSN 0216-1877 PERIKANAN IKAN TERBANG DI INDONESIA : RISET MENUJU PENGELOLAAN Oleh A. Syahailatua 1) ABSTRACT FLYINGFISHES FISHERY IN INDOENSIA : RESEARCH FOR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

FEKUNDITAS DAN DIAMETER TELUR IKAN TERBANG DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR DAN UTARA BALI

FEKUNDITAS DAN DIAMETER TELUR IKAN TERBANG DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR DAN UTARA BALI ABSTRAK FEKUNDITAS DAN DIAMETER TELUR IKAN TERBANG DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR DAN UTARA BALI Firman Ferdiansyah 1) dan Augy Syahailatua 2) 1) Peneliti pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-Universitas

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69/KEPMEN-KP/2016 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN IKAN TERBANG DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi ikan Juaro (Pangasius polyuranodon) menurut Kottelat dan Whitten (1993) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Palau Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Octinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Osteochilus Spesies : Osteochilus vittatus

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Ikan tembang (S. fimbriata)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Ikan tembang (S. fimbriata) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) Klasifikasi ikan tembang menurut Saanin (1984) berdasarkan tingkat sistematikanya adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di : JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 73-80 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares ASPEK REPRODUKSI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Selat Makassar sebagai wilayah perairan laut yang berada di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan, merupakan salah satu wilayah perairan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Labiobarbus ocellatus Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D. 2012. Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) dalam http://www.fishbase.org/summary/

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah dan Sebaran Panjang Ikan Kuro Jumlah ikan kuro yang tertangkap selama penelitian berjumlah 147 ekor. Kisaran panjang dan bobot ikan yang tertangkap adalah 142-254 mm

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya 21 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Ikan gelodok adalah ikan yang hidup di habitat intertidal ditemukan di daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya ditemukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sangat kuat terjadi dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang

TINJAUAN PUSTAKA. sangat kuat terjadi dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Perairan Selat Malaka memiliki kedalaman sekitar 30 meter dengan lebarnya 35 kilometer, kemudian kedalaman meningkat secara gradual hingga 100 meter sebelum continental

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN:

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN: BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN BERONANG (Siganus vermiculatus) DI PERAIRAN ARAKAN KECAMATAN TATAPAAN KABUPATEN MINAHASA SELATAN 1 Suleiman Tuegeh 2, Ferdinand F Tilaar 3, Gaspar D Manu 3 ABSTRACT One of the

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan 12 digital dengan sensifitas 0,0001 gram digunakan untuk menimbang bobot total dan berat gonad ikan, kantong plastik digunakan untuk membungkus ikan yang telah ditangkap dan dimasukan kedalam cool box,

Lebih terperinci

EKSPLOITASI SUMBER DAYA IKAN TERBANG (Hirundichthys oxycephalus, FAMILI EXOCOETIDAE) DI PERAIRAN PAPUA BARAT: PENDEKATAN RISET DAN PENGELOLAAN

EKSPLOITASI SUMBER DAYA IKAN TERBANG (Hirundichthys oxycephalus, FAMILI EXOCOETIDAE) DI PERAIRAN PAPUA BARAT: PENDEKATAN RISET DAN PENGELOLAAN EKSPLOITASI SUMBER DAYA IKAN TERBANG (Hirundichthys oxycephalus, FAMILI EXOCOETIDAE) DI PERAIRAN PAPUA BARAT: PENDEKATAN RISET DAN PENGELOLAAN ABSTRAK Suwarso, Achmad Zamroni, dan Wijopriyono Peneliti

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten Pandeglang yang didirikan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Frekuensi Ikan Tetet (Johnius belangerii) Ikan contoh ditangkap setiap hari selama 6 bulan pada musim barat (Oktober-Maret) dengan jumlah total 681 ikan dan semua sampel

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

IKAN TERBANG: ANTARA MARGA Cypselurus DAN Cheilopogon. Oleh. Augy Syahailatua 2)

IKAN TERBANG: ANTARA MARGA Cypselurus DAN Cheilopogon. Oleh. Augy Syahailatua 2) Oseana, Volume XXIX, Nomor 4, Tahun 2004 : 1-7 ISSN 0216-1877 IKAN TERBANG: ANTARA MARGA Cypselurus DAN Cheilopogon Oleh Augy Syahailatua 2) ABSTRACT FLYINGFISHES: BETWEEN GENUS OF Cypselurus AND Cheilopogon.

Lebih terperinci

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM Oleh : Rido Eka Putra 0910016111008 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2 HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan Balik Diwa 2) Politeknik

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

KEPADATAN POPULASI DAN REPRODUKSI IKAN BELANAK (Mugil dussumieri) DI PERAIRAN BELAWAN, SUMATERA UTARA TESIS OLEH ALI RAMADHAN /BIO

KEPADATAN POPULASI DAN REPRODUKSI IKAN BELANAK (Mugil dussumieri) DI PERAIRAN BELAWAN, SUMATERA UTARA TESIS OLEH ALI RAMADHAN /BIO KEPADATAN POPULASI DAN REPRODUKSI IKAN BELANAK (Mugil dussumieri) DI PERAIRAN BELAWAN, SUMATERA UTARA TESIS OLEH ALI RAMADHAN 127030008/BIO PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh 14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014 agar dapat mengetahui pola pemijahan. Pengambilan sampel dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma) 11 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kalibaru mulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan Teluk Jakarta

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846)  (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) www.fishbase.org (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata

Lebih terperinci

Beberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari

Beberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari RINGKASAN SUWARNI. 94233. HUBUNGAN KELOMPOK UKURAN PANJANG IKAN BELOSOH (Glossogobircs giuris) DENGAN KARASTERISTIK HABITAT DI DANAU TEMPE, KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN. Di bawah bimbingan Dr. Ir.

Lebih terperinci

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kurau Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus eleutheronema dan Species Eleutheronema

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

ZONASI PENANGKAPAN IKAN TERBANG DI SELAT MAKASSAR SEBAGAI SOLUSI MENGATASI ANCAMAN KEPUNAHAN

ZONASI PENANGKAPAN IKAN TERBANG DI SELAT MAKASSAR SEBAGAI SOLUSI MENGATASI ANCAMAN KEPUNAHAN ZONASI PENANGKAPAN IKAN TERBANG DI SELAT MAKASSAR SEBAGAI SOLUSI MENGATASI ANCAMAN KEPUNAHAN (Fishing Capture Zoning of Flying Fish in Makassar Strait as an Overcome Destruction Threat Solution) Muhamad

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012)

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ulubatu (Barbichthys laevis) Kelas Filum Kerajaan : Chordata : Actinopterygii : Animalia Genus Famili Ordo : Cyprinidae : Barbichthys : Cypriniformes Spesies : Barbichthys laevis

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004) 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-September 2011 dengan waktu pengambilan contoh setiap satu bulan sekali. Lokasi pengambilan ikan contoh

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga III. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di perairan Way Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga September 2013.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel ikan tuna mata besar dilakukan pada bulan Maret hingga bulan Oktober 2008 di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 02-6730.2-2002 Standar Nasional Indonesia Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok disusun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi ikan belida (Chitala lopis) berdasarkan tingkat sistematikanya menurut Hamilton (1822) in www.fishbase.org (2009): Kingdom : Animalia

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2010) taksonomi ikan kuniran (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 2 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan salah satu teluk yang terdapat di utara pulau Jawa. Secara geografis, teluk ini mempunyai panjang pantai

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6485.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk ikan gurami kelas induk pokok diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Organ Pencernaan Ikan Kuniran Ikan kuniran merupakan salah satu jenis ikan demersal. Ikan kuniran juga merupakan ikan karnivora. Ikan kuniran memiliki sungut pada bagian

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru 5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru Perairan Kabupaten Barru terletak di pantai barat pulau Sulawesi dan merupakan bagian dari Selat Makassar. Perairan ini merupakan salah satu pintu masuk

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI. Oleh: ABDULLAH AFIF

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI. Oleh: ABDULLAH AFIF KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI Oleh: ABDULLAH AFIF 26020110110031 JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN UMUM 1 BAB I PENDAHULUAN UMUM A. Latar Belakang Mollusca sebagai salah satu hasil perairan Indonesia sampai saat ini belum mendapatkan perhatian yang layak. Pemanfaatan Pelecypoda masih terbatas yaitu di daerah-daerah

Lebih terperinci

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING (Selaroides leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN SELAT MALAKA KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA JESSICA TAMBUN 130302053 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Aspek biologi reproduksi ikan layur, Trichiurus lepturus Linnaeus 1758 di Palabuhanratu

Aspek biologi reproduksi ikan layur, Trichiurus lepturus Linnaeus 1758 di Palabuhanratu Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Aspek biologi reproduksi ikan layur, Trichiurus lepturus Linnaeus 1758 di Palabuhanratu Nur ainun Muchlis, Prihatiningsih Balai Penelitian Perikanan Laut, Unit Pelaksana

Lebih terperinci

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI 5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI Pengukuran parameter reproduksi akan menjadi usaha yang sangat berguna untuk mengetahui keadaan kelamin, kematangan alat kelamin dan beberapa besar potensi produksi dari

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan tembang (Gambar 3) diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

ANALISIS CATCH PER UNIT EFFORT TELUR IKAN TERBANG DARI LAUT SERAM DAN SELAT MAKASSAR

ANALISIS CATCH PER UNIT EFFORT TELUR IKAN TERBANG DARI LAUT SERAM DAN SELAT MAKASSAR ANALISIS CATCH PER UNIT EFFORT TELUR IKAN TERBANG DARI LAUT SERAM DAN SELAT MAKASSAR S K R I P S I RIANA SRI FITRIANTI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus Klasifikasi dan tata nama

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus Klasifikasi dan tata nama 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut Richardson (1846) in Starnes (1988) taksonomi ikan swanggi Priacanthus tayenus (Gambar 1) dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Perikanan Layur di PPN Palabuhanratu Secara geografis, Teluk Palabuhanratu ini terletak di kawasan Samudera Hindia pada posisi 106 10-106 30 BT dan 6 50-7 30 LS dengan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA. ANALISIS ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TUNA SIRIP KUNING (Thunnus albacares) YANG TERTANGKAP DI SAMUDERA HINDIA TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA. ANALISIS ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TUNA SIRIP KUNING (Thunnus albacares) YANG TERTANGKAP DI SAMUDERA HINDIA TESIS UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TUNA SIRIP KUNING (Thunnus albacares) YANG TERTANGKAP DI SAMUDERA HINDIA TESIS MIAZWIR 0906577116 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan mempunyai kemampaun berenang yang lemah dan pergerakannya selalu dipegaruhi oleh gerakan massa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus

1. PENDAHULUAN. Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus macarellus) merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang tersebar luas di perairan Indonesia.

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

RUAYA IKAN Macam-macam Ruaya a. Ruaya Pemijahan

RUAYA IKAN Macam-macam Ruaya a. Ruaya Pemijahan RUAYA IKAN Ruaya merupakan satu mata rantai daur hidup bagi ikan untuk menentukan habitat dengan kondisi yang sesuai bagi keberlangsungan suatu tahapan kehidupan ikan. Studi mengenai ruaya ikan menurut

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan kuro (Eleutheronema tetradactylum) Sumber: (a) dokumentasi pribadi; (b)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan kuro (Eleutheronema tetradactylum) Sumber: (a) dokumentasi pribadi; (b) 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi, Ciri Morfologis dan Daerah Penyebaran Ikan Kuro Ikan kuro diklasifikasikan dalam filum Chordata, subfilum Vertebrata, superkelas Osteichthyes, kelas Actinopterygii,

Lebih terperinci

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI 1 HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta) DI PERAIRAN SELAT MALAKA TANJUNG BERINGIN SERDANG BEDAGAI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : JULIA SYAHRIANI HASIBUAN 110302065

Lebih terperinci