Guna Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Guna Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik"

Transkripsi

1

2

3 OPTIMALISASI INVESTIGASI Maladministrasi OMBUDSMAN Cetakan Pertama 2015 Diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama Alamat : Jln. Hang Lekir I, No. 8, Senayan, Jakarta Pusat, Telepon : (021) , Fax : (021) Design Sampul Layout : Resta. J : Resta. J No. ISBN :

4 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi buku Tanpa izin dari penerbit III

5 Kata Pengantar Swedia merupakan negara Nordik di Skandinavia dengan ibukota Stockholm. Di beberapa literatur, negara ini yang pertama kali melahirkan institusi bernama Ombudsman. Namun demikian, Swedia bukanlah negara pertama yang membangun sistem pengawasan seperti Ombudsman. Seperti disebutkan Bryan Giling dalam tulisannya yang berjudul The Ombudsman In New Zealand mengungkapkan bahwa pada zaman kekaisaran Romawi terdapat sebuah institusi bernama Tribuni Plebis yang tugasnya hampir sama dengan Ombudsman yaitu melindungi hakhak masyarakat lemah dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan. Beberapa literatur tentang Ombudsman, Institusi Ombudsman pertama kali datang dari Raja Charles XII ( ) di Swedia, setelah pada tahun 1709 melarikan diri ke Turki karena kalah perang dengan Rusia dalam The Great Northern War ( ). Sepulang dari perasingan, tahun 1718 Raja Charles XII memutuskan untuk membentuk Office of The King s Highest Ombudsman. Keputusan Raja Charles XII membentuk Office of The King s Ombudsman dewasa ini terpengaruh dengan konsep pengawasan dalam sistem Turkish Office of Chief Justice. Di Indonesia sendiri wacana pembentukan Ombudsman telah berkembang lebih kurang dua puluh tahun yang lalu, dan baru menjadi kenyataan pada tahun Menurut Antonious Sujata dkk pada tahun 2002 dalam bukunya berjudul Ombudsman Indonesia, masa lalu, sekarang dan masa mendatang, diceritakan bahwa pada awal November 1999 Presiden Republik Indonesia KH.Abudurrahman Wahid (Gus Dur) berinisiatif memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mendiskusikan konsep pengawasan terhadap penyelenggara negara yang sama sekali baru. Diskusi tersebut juga melibatkan Antonius Sujata seorang mantan Jampidsus pada saat Kejaksaan Agung dipimpin oleh Andi Ghalib. Setelah melakukan serangkaian pembicara Gus Dur menyepakati sebuah konsep pengawasan untuk mendukung proses pemberantasan KKN yaitu Ombudsman. Maka, pada 8 Desember 1999 Gus Dur menerbitkan Keppres No. 155 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Keppres tersebut ternyata keluar dari hasil pembicaraan yang telah IV

6 disepakati sebelumnya antara Gus Dur, Marzuki Darusman, dan Antonius Sujata. Keppres Nomor 155 tahun 1999 hanya membentuk Tim Pengkajian Ombudsman, sedangkan lembaga Ombudsman secara kongkrit tidak jadi dibentuk. Antonius Sujata melihat hal ini sebagai sesuatu yang lamban sementara desakan masyarakat terhadap perbaikan pelayanan umum dan pemberantasan KKN sudah sedemikian kuat. Akhirnya pada tanggal 18 Desember 1999 Antonius Sujata bersama Jaksa Agung Marzuki Darusman kembali menghadap Gus Dur dan menuntut klarifikasi tentang kebaradaan Keppres Nomor 155 tahun 1999, sehingga akhirnya pada tanggal 10 Maret 2000 Gus Dur mengeluarkan Keppres (pengganti) nomor 44 tahun 2000 tentang pembentukan Komisi Ombudsman Nasional yang sekaligus menetapkan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Ombudsman. Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang sehingga setiap warga negara dan penduduk Indonesia memperoleh keadilan, rasa aman serta peningkatan kesejahteraan. Membantu menciptakan serta meningkatkan upaya pemberantasan praktek-praktek maladministrasi, diskriminasi, dan KKN. Meningkatkan budaya hukum nasional dan membangun kesadaran hukum masyarakat, sehingga supremasi hukum dapat ditegakkan untuk mencapai kebenaran dan keadilan. Keempat tujuan di atas dapat terpenuhi ketika Ombudsman dapat melaksanakan tugas pengawasannya dengan baik, terkait dengan supra struktur berupa perundang-undangan dan infrastruktur berupa sarana dan pra sarana yang menunjang kegiatan dan pelaksanaan kerja Ombudsman. Lebih dari pada itu, kami berharap, di tengah tugasnya yang berat dan beragam sebagai pelayan publik, Ombudsman bisa menjadi sebuah institusi non pemerintah yang memiliki kekuatan hukum di dalam UUD 1945 melalui amandemen. Dan kami sangat berharap hal tersebut menjadi keniscayaan. Untuk selanjutnya, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terbitnya buku berjudul Pentingnya Optimalisasi Peningkatan Investigasi Maladministrasi Ombudsman Republik Indonesia.. Semoga buku yang saat ini berada di tangan Anda bisa berguna untuk kini, esok, dan masa mendatang. Dr. Taufiqurokhman, S.Sos., M.Si. Penulis V

7 SAMBUTAN Perbaikan pelayanan publik sangat ditunggu oleh banyak pihak, terutama masyarakat di Indonesia. Oleh sebab itu, Ombudsman perlu didorong agar maksimal mengawasi pelayanan publik. Banyak cara yang bisa dilakukan, antara lain peran pembaruan manajemen perkara. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa semua informasi yang dikelola bisa dikelola secara lebih efektif dan efisien. Informasi perkara yang meliputi informasi persidangan seperti jadwal sidang, perkembangan persidangan, hingga salinan putusan pengadilan penting untuk disajikan kepada publik untuk keperluan transparansi. Tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan pelayanan publik merupakan salah satu dari delapan komponen evaluasi reformasi birokrasi. peningkatan pelayanan publik akan menentukan sebaik mana kinerja aparatur pemerintahan, termasuk lembaga hukum. Khusunya di dunia peradilan, banyak yang berbicara tentang mafia peradilan. Pengertian saya mengenai mafia berbeda dengan pengertian orang lain. Pengertian mafia itu selalu dikaitkan dengan well organized. Kalau soal mafia peradilan kita bicara soal well organized itu, ya tidak akan ketemu. Saya mengartikan mafia peradilan itu sebagai behavior, yaitu tingkah laku yang tidak terpuji. Jadi, criminal behavior. Mafia peradilan itu tidak hanya di pengadilan, tetapi mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, calo perkara, dan macam-macam. Masyarakat harus memiliki keberanian melaporkan apa yang menjadi penyelewengan, apa pun bentuknya. Memang ada problema perlindungan saksi. Karena itu, memang perlu ada UU tentang perlindungan saksi. UU 31/ 1999 (tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi-Red) memang memberikan perlindungan saksi. Tetapi, bunyi pasalnya tidak bagus, karena kira-kira isinya nama saksi bisa dirahasiakan. Di pengadilan ini menjadi tidak bermakna, karena hakim dapat meminta saksi itu untuk dihadirkan dan didengar keterangannya. Ombudsman Republik Indonesia dengan kewenangannya dan lembaga yang dibentuk untuk menghadapi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur pemerintah dan membantu aparatur agar melaksanakan pemerintahan secara efisien dan adil, juga untuk mendorong pemegang kekuasaan melaksanakan tanggungjawab serta pelayanan secara baik. VI

8 Ombudsman yang dikenal sebagai lembaga independen dapat menerima dan meyelidiki keluhan-keluhan masyarakat yang menjadi korban kesalahan administrasi (maladministration) publik bisa mejalankan tugas dan fungsinya secara efektif. Apa yang menjadi tugas Ombudsman, sesuai dengan SK KMA No.026/ KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Pengadilan yang ditetapkan 9 Februari Kebijakan ini berbicara standar layanan yang harus diterima oleh pengguna jasa peradilan, yang merupakan amanat dari UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Berlakunya standar pelayanan publik bagi pengadilan mendorong badan peradilan ke zona baru, yaitu zona kebebasan yang bertanggung jawab, untuk lebih berhati-hati dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, yang notabene adalah memberikan pelayanan. Secara pribadi saya mengucapkan selamat atas diterbitkannya buku berjudul Optimalisasi Investigasi Maladministrasi Ombudsman RI. Apa yang ada di dalam buku yang ditulis oleh Sdr. Taufiqurokhman diharapkan mampu memberikan pengayaan wawasan dan menambah motivasi mengenai Ombusman Republik Indonesia. Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.CL. Mantan Ketua Mahkamah Agung VII

9 SAMBUTAN Tuntutan akan lulusan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak dan menjadi keniscayaan karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Oleh sebab itu diperlukan praktik good governance dalam bidang pendidikan mengingat kita memerlukan metodologi yang tepat untuk mencapai mutu pendidikan terbaik. Karenanya, penerapan manajemen mutu terpadu (MMT) atau dikenal dengan Total Quality Management (TQM) dalam bidang pendidikan yang dibutuhkan. Untuk itu sangat diperlukan kebijakan umum dan strategis di tingkat nasional agar implementasi MMT dapat berjalan dengan lancar. Selain itu, perlu juga kebijakan manajerial, baik untuk lembaga pendidikan maupun publik secara keseluruhan. Kebijakan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pedoman sektoral bidang pendidikan sebagai kebijakan teknis tentang MMT. Upaya untuk mencapai mutu pendidikan terbaik juga memerlukan pendekatan khusus, seperti diperlukannya penekanan perubahan cara pandang (mindset), penyuluhan, pendampingan, dan pemberdayaan unsur penyelenggara negara dan lembaga dalam bidang pendidikan. Tidak lupa, aplikasi teknologi yang menunjang sistem manajemen pendidikan dan pilihan-pilihan strategis lain juga diperlukan. Sebab, perkembangan teknologi yang cepat menuntut pula aplikasi teknologi dalam pendidikan pada era informasi seperti sekarang ini, baik dalam tataran kebijakan strategis, kebijakan manajerial maupun kebijakan teknis. Dengan demikian, semuanya dapat mendukung perwujudan good governance, khususnya di bidang pendidikan. Tidak bisa dipungkiri, penerapan good governance bidang pendidikan juga tidak lepas dari hambatan dan masalah. Problematika penerapan good governance dalam bidang pendidikan tersebut antara lain perlunya peningkatan pelayanan publik, kapabilitas kebijakan dalam tataran implementasi yang harus bisa dilaksanakan tanpa birokrasi yang berbelit-belit, dan system manajemen keuangan yang perlu diperbaiki dari yang sudah ada. Tidak hanya itu, peraturan dan prosedur standar pelayanan public yang berkualitas juga sangat diperlukan, sehingga tidak birokratis serta inefisiensi alokasi sumber-sumber publik juga turut menyumbang hambatan efektifnya penerapan good governance dalam bidang pendidikan. Menurut hemat saya, keberadaan Ombudsman RI memang sangat VIII

10 dibutuhkan dan kinerjanya harus lebih ditingkatkan. Seperti yang disimpulkan oleh Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report 2002, pelayanan publik di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Hasil penelitian Governance and Desentralization Survey (GDS) 2002 menemukan tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu pertama, besarnya diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi oleh nepotisme, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. Fenomena semacam ini tetap marak walaupun telah diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi. Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan. Ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap layanan publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidakpastian. Namun demikian, optimalisasi pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan bukanlah pekerjaan mudah, mengingat optimalisasi menyangkut berbagai aspek yang telah membudaya dalam lingkaran birokrasi pemerintahan. Oleh sebab itu, dibutuhkan kerjasama semua pihak dan sebagai pemandunya adalah Ombudsman RI dan buku yang saat ini tengah Anda baca merupakan hal terbaik di tengah carutmarutnya pelayanan publik di Indonesia. Tidak lupa, saya ucapkan selamat atas diterbitkannya buku ini. Prof. Dr. H. Ravik Karsidi, M.S. Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Tahun 2014 IX

11 Daftar Isi 0 BAB I KENALI OMBUDSMAN Pengertian Ombudsman PENYEBARAN OMBUDSMAN KE BERBAGAI NEGARA Sejarah Ombudsman dan Penyebarannya TUGAS DAN WEWENANG OMBUDSMAN INSTITUSI OMBUDSMAN DI INDONESIA Sejarah dan Perkembangan Ombudsman di Indonesia Ombudsman dan Undang-undang Yogyakarta sebagai Pionir Ombudsman Daerah Fungsi Komisi Ombudsman Komisi Ombudsman Daerah dan Menggagas Fungsinya Strategi Pembentukan Komisi Ombudsman Daerah 16 Pembahasan Pembentukan Strategi Pembetukan Ombudsman Daerah 16 Ombudsman Daerah dan Good Governance 19 BAB II TUGAS DAN WEWENANG OMBUDSMAN RI DALAM PELAYANAN PUBLIK 21 Asal Usul Ombudsman 21 Sejarah Parlianmentary Ombudsman Swedia dan Chief Justice 22 Berbagai Jenis Ombudsman 23 Pengawasan 24 Kewenangan 25 Pengertian Kewenangan 27 Macam-Macam Cara Memperoleh Kewenangan 27 Teori Kewenangan X

12 Mencermati Sejarah Ombudsman Nasional 29 Permasalahan 32 Pembahasan 32 RUU Disahkan menjadi UU Ombudsman 33 BAB III OPTIMALISASI PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA 38 Menciptakan Praktek Terbaik Pelayanan Publik di Indonesia 40 Ombudsman sebagai Kontrol Pelayanan Publik 44 OPTIMALISASI KINERJA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA 48 Tinjauan tentang Reformasi Birokrasi 54 Upaya Hukum untuk Meningkatkan Peranan Ombudsman 56 EFEKTIVITAS KINERJA LEMBAGA OMBUDSMan DALAM MENGAWASI PELAYANAN PUBLIK 58 Pelayanan Publik dan Kinerja Ombudsman di Gorontalo 61 Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Gorontalo Berdayakan Masyarakat 61 OMBUDSMAN DAERAH DAN PEMBERDAYAANNYA 62 Dalam Hal Kelembagaan 67 Secara Personal 68 BAB IV INVESTIGASI DUGAAN MALADMINISTRASI PELAYANAN PUBLIK Meningkatkan Kualitas Pelayanan Tugas ORI 70 Tujuan Program Perubahan 72 Manfaat Program Perubahan 73 Ruang Lingkup dan Strategi 73 Output Kunci Program Perubahan 74 DESKRIPSI PROGRAM PERUBAHAN 75 XI

13 PELAKSANAAN PROGRAM PERUBAHAN 82 Tata Kelola Program Perubahan 82 Faktor Kunci Keberhasilan 83 BAB V URGENSI PENGATURAN OMBUDSMAN DALAM UUD Ombudsman Semakin Dibutuhkan 85 Prosedur Perubahannya 90 Kedudukan dan Fungsi OmbudsmanSebagai Lembaga Perlindungan Rakyat 101 Kedudukan Dan Fungsi Ombudsman Sebagai Lembaga Perlindungan Rakyat 103 Fungsi Ombudsman Sebagai Lembaga Perlindungan Rakyat 103 BAB VI OPTIMALISASI KINERJA ORI 107 Upaya Reformasi Birokrasi Pasca UU No. 37 Tahun Tinjauan tentang Ombudsman Republik Indonesia 109 Tinjauan tentang Reformasi Birokrasi 114 Latar Belakang Pembentukan ORI Terkait Upaya Reformasi Birokrasi 115 Keterkaitan ORI dengan Upaya Reformasi Birokrasi 121 BAB VII MEMAHAMI MALADMINISTRASI Maladministrasi dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik 125 APA YANG DIMAKSUD DENGAN MALADMINISTRASI 129 Definisi Maladministrasi menurut Undang-Undang Ombudsman RI Bentuk-bentuk Maladminstrasi yang Paling Umum LANDASAN HUKUM TENTANG PENCEGAHAN DAN PENYELESAIAN MALADMINISTRASI KONSEKUENSI HUKUM DARI TINDAKAN, KEPUTUSAN, DAN PERISTIWA 133 APAKAH MALADMINISTRASI HANYA DILAKUKAN OLEH PENYELENGGARA NEGARA DAN PEMERINTAHAN? 134 XII

14 MENGAPA MALADMINISTRASI DILAKUKAN OLEHPENYELENGGARA NEGARA ATAU PEGAWAI NEGERI PERLU DICEGAH DALAM SUATU INSTANSI/KEMENTERIAN/LEM- BAGA? 134 BAGAIMANA MENGIDENTIFIKASI MALADMINISTRASI? 135 BENTUK-BENTUK MALADMINISTRASI 136 BENTUK-BENTUK LAIN 138 JIKA SAYA MELAKUKAN MALADMINISTRASI APA YANG HARUS SAYA LAKUKAN? 141 MENGAPA HARUS MELAPOR KE OMBUDSMAN JIKA MENJADI KORBAN MALADMINISTRASI? 141 APA SAJA YANG HARUS ANDA SIAPKAN UNTUK MELAPOR KE OMBUDSMAN? 142 BAGAIMANA JIKA ANDA TIDAK MELENGKAPI BERKAS LAPORAN DALAM WAKTU 30 (TIGA PULUH HARI? 143 [CONTOH 1] PENUNDAAN BERLARUT 145 [CONTOH 2] PENYALAHGUNAAN WEWENANG 146 [CONTOH 3] PENYIMPANGAN PROSEDUR 147 [CONTOH 4] PENGABAIAN KEWAJIBAN HUKUM 148 [CONTOH 5] TIDAK TRANSPARAN DALAM PENGENAAN TARIF 149 [CONTOH 6] KELALAIAN 150 [CONTOH 7] DISKRIMINASI 151 [CONTOH 8] TIDAK PROFESIONAL 152 [CONTOH 9] KETIDAKJELASAN INFORMASI 153 [CONTOH 10] TINDAKAN SEWENANG-WENANG 154 [CONTOH 11] KETIDAKPASTIAN HUKUM 156 [CONTOH 12] SALAH PENGELOLAAN 156 XI

15 BAB I KENALI OMBUDSMAN Pengertian Ombudsman Ombudsman merupakan lembaga yang dibentuk untuk menghadapi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur pemerintah dan membantu aparatur agar melaksanakan pemerintahan secara efisien dan adil, juga untuk mendorong pemegang kekuasaan melaksanakan tanggungjawab serta pelayanan secara baik. Ombudsman dikenal sebagai lembaga independen yang menerima dan meyelidiki keluhan-keluhan masyarakat yang menjadi korban kesalahan administrasi (maladministration) publik. Akan tetapi, sesungguhnya Ombudsman tidak sekedar sebuah sistem untuk menyelesaikan keluhan masyarakat kasus demi kasus, yang utama mengambil inisiatif untuk mengkhususkan perbaikan administratif atau sitemik dalam upayanya meningkatkan mutu pelayanan masyarakat. Maladministrasi adalah perbuatan koruptif yang meskipun tidak menimbulkan kerugian negara, namun mengakibatkan kerugian bagi masyarakat (warga negara dan penduduk) karena tidak mendapatkan pelayanan publik yang baik, mudah, murah, cepat, tepat, dan berkualitas. Bryan Gilling dalam tulisannya yang berjudul The Ombudsman In New Zealand mengungkapkan bahwa pada zaman kekaisaran Romawi terdapat insitusi Tribuni Plebis yang tugasnya melindungi hak-hak masyarakat lemah dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan. Ini berarti, tugasnya sama dengan apa yang ditunjukkan Ombudsman yang menurut sejarah pertama kali lahir di Swedia. Selain di New Zealand atau di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Selandia Baru, bentuk pengawasan seperti Ombudsman juga telah banyak ditemui pada masa kekaisaran Cina (Pope: 1999:115). ketika pada tahun 221 SM, Dinasti Tsin mendirikan lembaga pengawasan bernama Control Yuan atau Censorate. Institusi tersebut bertugas melakukan pengawasan terhadap pejabat-pejabat kekaisaran dan sebagai perantara bagi masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi, laporan, atau keluhan kepada Kaisar. Menurut Deean M. Gottehrer, pada dasarnya Ombudsman berakar dari 1

16 prinsip-prinsip keadilan yang menjadi bagian dari mekanisme pengawasan dalam sistem ketatanegaraan Islam. Hal tersebut dapat dilihat pada masa Khalifah Umar bin Khatab ( ) yang saat itu memposisikan diri sebagai Muhtasib, yaitu orang yang menerima keluhan dan termasuk dapa t m e n y e l e s a i k a n p e r s e l i s i h a n a n t a r a m a s y a r a k a t d e n g a n pejabat pemerintah. Tugas sebagai Muhtasib dijalani Khalifah Umar dengan melakukan penyamaran dan mengunjungi berbagai wilayah secara diam-diam guna mendengar sendiri keluhan langsung dari rakyat terhadap Pemerintah (Gottehrer:2000). Khalifah Umar kemudian membentuk lembaga Qadi Al Quadat (Ketua Hakim Agung) dengan tugas khusus melindungi warga masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan pejabat pemerintah (Gilling:1998). PENYEBARAN OMBUDSMAN KE BERBAGAI NEGARA Sejarah Ombudsman dan Penyebarannya Ide pembentukan Institusi Ombudsman pertama kali datang dari Raja Charles XII ( ) di Swedia setelah tahun dia 1709 melarikan diri ke Turki karena kalah perang dengan Rusia dalam The Great Northern War ( ). Sepulang dari pengasingan tersebut, pada 1718 Raja Charles XII memutuskan untuk membentuk Office of The King s Highest Ombudsman. Keputusan Raja Charles XII membentuk Office of The King s Ombudsman terpengaruh dengan konsep pengawasan dalam sistem Turkish Office of Chief Justice. Selanjutnya, sistem pengawasan Ombudsman di Swedia terus mengalami perkembangan hingga secara resmi The King s Highest Ombudsman yang pada awalnya merupakan Executive Ombudsman berkembang menjadi Parlianmentary Ombudsman dengan dimasukkannya Ombudsman dalam Konstitusi Swedia Tahun Selama satu setengah abad berlalu, institusi Ombudsman hanya dikenal di Swedia dan baru setengah abad belakangan sistem Ombudsman menyebar ke berbagai penjuru dunia (Sujata dan Surachman: 2002:29). Meski lambat, namun akhirnya sistem pengawasan Ombudsman terus berkembang. Saat ini lebih dari seratus negara yang memiliki institusi Ombudsman atau mirip Ombudsman. Kurang lebih lima puluh negara bahkan telah mencantumkan pengaturan Ombudsman dalam konstitusi, antara lain Denmark, Finlandia, Filipina, Thailand, Afrika Selatan, Argentina, dan Meksiko. Thailand yang usia Ombudsman-nya notabene lebih muda dari komisi Ombudsman nasional, telah lebih dahulu mencantumkan ketentuan tentang Ombudsman dalam konstitusi (Masturi:2004). 2

17 Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, akar sejarah perkembangan Ombudsman modern dapat dilacak dari istilah justitie ombudsman (Ombudsman for justice) di Swedia yang didirikan pada tahun Institusi Ombudsman mulai menyebar ke negara-negara lain pada abad ke dua puluh, yaitu ketika negara-negara Skandinavia mulai mengadopsinya: Finlandia (1919), Denmark (1955), dan Norwegia (1962). Popularitas institusi Ombudsman kemudian meningkat sejak dekade 1960-an, ketika banyak negara-negara persemakmuran dan negara-negara lain, terutama negara-negara Eropa mendirikan institusi Ombudsman seperti halnya Selandia Baru (1962), Inggris (1967), Provinsi-provinsi di Kanada (mulai tahun 1967), Tanzania (1968), Israel (1971), Puerto Rico (1977), Australia (1977 pada tingkat federal, pada tingkat negara), Perancis (1973), Portugal (1975), Austria (1977), Spanyol (1981) dan Belanda (1981). Pada tahun 1998, lebih dari 100 negara di seluruh dunia telah membentuk lembaga Ombudsman. Di beberapa negara ada Ombudsman yang eksistensinya berada pada tingkat regional, provinsi, negara bagian atau pada tingkat distrik (kabupaten/kotamadya). Beberapa negara mempunyai institusi Ombudsman pada tingkat nasional, regional, dan sub-nasional seperti Australia, Argentina, Meksiko, dan Spanyol. Sementara negara-negara lain mempunyai institusi Ombudsman pada tingkat sub-nasional pemerintahan seperti Kanada, India, dan Italia. Institusi Ombudsman sektor publik banyak ditemukan di negara-negara Eropa, Amerika Utara, Amerika Latin, Karibia, Afrika, Australia, Pasifik, dan Asia. Walaupun dapat dikatakan lambat tetapi pada akhirnya sistem pengawasan Ombudsman terus berkembang dan saat ini kurang lebih lima puluh negara bahkan telah mencantumkan pengaturan Ombudsman dalam Konstitusi, seperti Denmark, Finlandia, Filipina, Thailand, Afrika Selatan, Argentina, dan Meksiko. Thailand yang usia Ombudman-nya notabene lebih muda dari Komisi Ombudsman Nasional, telah terlebih dahulu mencantumkan ketentuan tentang Ombudsman dalam Konstitusi. Di negara-negara yang pernah mengalami totalitarian dengan rezim militer yang kuat seperti Afrika misalnya, awalnya juga membentuk KON sebagai bagian dari proses transisi menuju demokrasi. Negara-negara yang berfaham Komunis seperti RRC bahkan memiliki institusi semacam Ombudsman yang sangat kuat bernama Minister of Supervision, begitu juga dengan Vietnam. Sehingga meskipun Ombudsman menjadi suatu 3

18 keharusan dalam negara demokratis, bukan berarti ia (atau setidaknya institusi sejenis Ombudsman) tidak dapat berkembang di negara-negara yang tidak menjadikan demokrasi sebagai pijakan TUGAS DAN WEWENANG OMBUDSMAN Tugas : 1.Menerima laporan dari masyarakat mengenai pelayanan publik yang tidak sesuai. Dengan syarat pelapor adalah Orang yang mempunyai kepentingan terhadap kasus yang dilaporkan. 2. Melakukan (investigasi) pemeriksaan atas laporan dari masyarakat. Investigasi dalam konteks Ombudsman merupakan proses penyelidikan terhadap apakah laporan/ keluhan atau informasi yang memang menjadi kewenangannya dapat menemukan bukti-bukti, bahwa pihak terlapor terbukti telah melakukan atau tidak melakukan tindakan sebagaimana dilaporkan atau dikeluhkan. 3. Menindaklanjuti laporan masyarakat dengan dasar wewenang yang dimiliki. 4.Memberi alternatif penyelesaian atau memberi rekomendasi kebijakan atau penyelesaian atas pengaduan tersebut. 5.Melakukan usaha pencegahan dalam ketidaksesuaian pelayanan publik. Wewenang : 1. Meminta keterangan dari pelapor mengenai laporan yang dilaporkan tersebut 2. Memeriksa berkas-berkas kelengkapan mengenai laporan tersebut 3. Meminta salinan berkas yang diperlukan untuk pemeriksaan 4. Melakukan pemanggilan terhadap pelapor dan semua pihak yang terlibat 5. Menyelesaikan laporan dengan cara yang disepakati oleh pihak yang bersangkutan 6. Membuat rekomendasi untuk penyelesaian laporan 7. Mengumumkan hasil pertemuan 8. Menyampaikan saran kepada lembaga negara dengan tujuan perbaikan demi pelayanan publik yang lebih baik 4

19 INSTITUSI OMBUDSMAN DI INDONESIA Sejarah dan Perkembangan Ombudsman di Indonesia Di Indonesia wacana pembentukan Ombudsman sekitar dua puluh tahun lalu. dan baru menjadi kenyataan pada tahun Itu sebabnya, mengapa belum banyak buku yang menceritakan sejarah terbentuknya Ombudsman di Indonesia. Satu-satunya rekaman yang dapat kita kutip adalah buku yang ditulis Antonius Sujata dan kawan-kawan pada tahun 2002 berjudul Ombudsman Indonesia, Masa Lalu, Sekarang, dan Masa Mendatang. Dalam buku tersebut diceritakan bahwa pada awal November 1999 Presiden Republik Indonesia KH.Abudurrahman Wahid (Gus Dur) berinisiatif memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mendiskusikan konsep pengawasan terhadap penyelenggara negara yang sama sekali baru. Diskusi tersebut juga melibatkan Antonius Sujata seorang mantan Jampidsus pada saat Kejaksaan Agung dipimpin Andi Ghalib. Setelah melakukan serangkaian pembicaraan, Gus Dur menyepakati sebuah konsep pengawasan untuk mendukung proses pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yaitu Ombudsman. Kemudian pada 08 Desember 1999, Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 155 Tahun 1999, tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Keppres tersebut ternyara keluar dari hasil pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya antara Gus Dur, Marzuki Darusman, dan Antonius Sujata. Keppres Nomor 155 tahun 1999 hanya membentuk Tim Pengkajian Ombudsman, sedangkan lembaga Ombudsman secara kongkrit tidak jadi dibentuk. Hal ini dirasakan Antonius Sujata sangat lamban sementara desakan masyarakat terhadap perbaikan pelayanan umum dan pemberantasan KKN sudah sedemikian kuat. Oleh karena itu pada, 18 Desember 1999, Antonius Sujata bersama Jaksa Agung Marzuki Darusman kembali menghadap Gus Dur dan meminta klarifikasi tentang kebaradaan Keppres Nomor 155 tahun 1999, keduanya tetap pada rekomendasi hasil pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya. Akhirnya 10 Maret 2000 Gus Dur mengeluarkan Keppres (pengganti) nomor 44 tahun 2000 tentang pembentukan Komisi Ombudsman Nasional yang sekaligus menetapkan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Ombudsman. (Sujata,et al: 2002:hal 2-4). Tidak sama dengan di Swedia, pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (Ombudsman) di Indonesia dilatarbelakangi suasana transisi 5

20 menuju demokrasi. Dengan segala kekurangannya, bagaimanapun kita patut memuji keputusan Gus Dur karena telah berani membentuk Ombudsman sebagai lembaga yang diberi wewenang mengawasi kinerja pemerintahan (termasuk dirinya sendiri) dan pelayanan umum lembaga peradilan. Tentunya tidak dapat mensejajarkan sejarah pembentuk Ombudsman Swedia dengan Ombudsman di Indonesia. Masing-masing memiliki nilai kesejarahansendiri-sendiri, tetapi setidaknya kita bisa melihat adanya kesamaan dalam hal kerendahan hati seorang pemimpin yang sedang, berkuasa karena bersedia membentuk Ombudsman yang akan mengawasi dirinya sendiri. Saat Gus Dur sadar, bahwa Ombudsman yang dibentuk tersebut nantinya dapat berseberangan dirinya ketika membuat kebijakan ataupun keputusan baik yang bersifat administratif maupun politis. Dalam perkembangannya, meskipun diangkat melalui Keputusan Presiden, Ombudsman memang tidak takut berbeda pendapat dengan Gus Dur sebagai Presiden saat itu. Sikap tersebut ditunjukkan para Anggota Ombudsman saat terjadi polemik berkepanjangan dalam pengangkatan Ketua Mahkamah Agung. Saat itu Gus Dur sebagai Presiden tidak berkenan menetapkan dan mengangkat satu dari dua orang calon Ketua Mahkamah Agung yang diusulkan DPR. Dalam hal ini, Ombudsman menegaskan berbeda pendapat dengan Gus Dur dan menyatakan bahwa berdasarkan UU No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, khususnya pasal 8 ayat (1) pada dasarnya bersifat imperatif, maka semestinya Gus Dur selaku Presiden waktu itu dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara wajib menentukan salah satu dari dua calon yang telah diusulkan DPR, karena pasal tersebut tidak memberikan alternatif tindakan lain yang dapat dilakukan Gus Dur sebagai seorang Presiden (Sajuta dan Surachman: 2003: 10-11). Karena Ombudsman memberikan rekomendasi yang isinya menyarankan agar Gus Dur selaku Presiden memilih dan menetapkan satu dari dua calon yang sudah diusulkan oleh DPR. Ternyata Gus Dur mengikuti saran Ombudsman dengan memilih Prof. Dr. Bagir Manan, S.H,MCL sebagai Ketua Mahkamah Agung yang baru. Dengan demikian selesailah polemik yang berkepanjangan di tengah masyarakat. Sejak,awal Ombudsman memilih bersikap low profile. Sikap ini didasari atas pertimbangan bahwa Ombudsman masih dalam proses pembangunan 6

21 kapasitas kerja dan cesara politis kedudukan Keputusan Presiden juga sangat rantan terhadap fluktuasi politik yang berkembang saat itu. Tindakan high profile tanpa didasari perhitungan matang justru akan menjadi kontra produktif bagi Ombudsman yang sedang membangun eksistensi. Bagaimanapun, bila dibandingkan dengan undang-undang, Keputusan Presiden lebih lemah kedudukannya karena dapat dan dengan mudah dicabut sewaktu-waktu. Ombudsman dan Undang-undang Strategi low profile tersebut membuahkan hasil bagi semakin kuatnya dukungan terhadap eksistensi Ombudsman, dari mulai pencantuman Ombudsman dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2000, tentang Propenas hingga diterbitkannya TAP MPR Nomor VII/MPR/2001 yang memberikan mandat kepada eksekutif dan legislatif agar menyusun Undang-undnag Ombudsman. Bahkan yang terakhir, komisi Konstitusi memasukkan usulan pasal tentang Ombudsman dalam naskah Amandemen UUD 1945 yang di susun dan telah diserahkan kepada MPR RI. Usul pengaturan Ombudsman dalam Amandemen UUD 1945 oleh Komisi Konstitusi dimasukkan dalam pasal 24 G ayat (1), berbunyi : Ombudsman Republik Indonesia adalah Ombudsman yang mandiri guna mengawasi penyelenggaraan pelayanan umum pada masyarakat. ayat (2) berbunyi: Susunan, kedudukan, dan kewenangan Ombudsman Republik Indonesia diatur dengan Undang-undang. Ombudsman merupakan keniscayaan dalam sebuah negara yang di dalamnya menempatkan transparasi publik sebagai faktor penting. Sebagian kita orang bertanya-tanya apa hubungan Ombudsman dengan demokratis? Sebelum diuraikan lebih lanjut perlu dipahami terlebih dahulu apakah makna demokrasi dan apa pula yang dimaksud transparasi publik. Dalam kebanyakan literatur, secara sederhana demokrasi dapat difahami sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. sehingga demokratisasi dapat diartikan sebagai suatu proses yang mengarahkan agar pemerintahan yang sedang berjalan secara sensitif fapat menangkap aspirasi, melibatkan partisipasi, dan mengutamakan kepentingan rakyat dari pada kepentingan penguasa. Rakyat ditempatkan sebagai domain utama dalam pengertian demokrasi karena pada dasarnya mereka (rakyat) adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara. 7

22 Pada sistem pengawasan Ombudsman, pertisipasi persyaratan penting dan menjadi mainstream utama. Untuk mencapai tujuannya atau mewujudkan good governance. Ombudsman di Indonesia bertugas antara lain mengupayakan partisipasi masyarakat dengan menciptakan keadaan kondusif bagi terwujudnya birokrasi sederhana yang bersih, pelayanan umum yang baik, penyelenggaraan peradilan yang efisien dan profesional termasuk proses peradilan (persidangan) yang independen dan fair sehingga dapat dijamin tidak akan ada keberpihakan (Sajuta dan Surachman:2002:88). Dengan demikian apa yang menjadi concern Ombudsman di indonesia pada dasarnya adalah bagian penting dari prasarat terselenggaranya proses demokratisasi dan mendukung upaya mewujudkan transparansi publik. Lebih khusus lagi dalam proses demokratisasi di Indonesia, Ombudsman merupakan bagian oenting dari upaya-upaya untuk mendorong adanya jaminan kebebasan memperoleh informasi, pengawasan yang efektif terhadap eksekutif (chek and balance system) dan penengakan hukum, menjadikan keadilan sebagai isu pokok. Jaminan kebebasan memperoleh informasi (termasuk kebebasan pers) sangat dibutuhkan dalam proses trasnsisi menuju demokrasi. Hal tersebut diyakini akan mendorong tingkat partisipasi yang tinggi dari masyarakat untuk ikut melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara, baik langsung maupun melalui Ombudsman. Oleh sebab, itu sudah tepat apabila pada 09 November 2001, Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan TAP MPR No.VIII/MPR/2001 yang isinya memberikan mandat kepada Pemerintah dan DPR agar membuat Undang-undang, antara lain tentang kebebasan memperoleh informasi, undang-undang Ombudsman dan Undnag-undang perlindungan saksi. Meskipun MPR sudah memberi mandat sejak 2001, sayangnya ketiga UU tersebut sampai saat ini belum terwujud. Selama lebih dari tiga dasawarsa di bawah kepemimpinan Orde Baru, peran kekuasaan pemerintah (eksekutif) sungguh amat dominan sehingga masyarakat lebih banyak menjadi subjek yang diawasi daripada sebagai subjek yang mengawasi (sajuta dan Surachman : 2002:4). Usai masa orde baru, proses demokratisasi mengalami masa transisi panjang dan berliku, pada masa itulah Ombudsman di Indonesia lahir dan menjadi bagian penting dalam sejarah transisi menuju demokrasi. Kondisi transional seperti itu sebebnarnya memberikan peluang bagi Ombudsman 8

23 di Indonesia menjadi aktor penting yang ikut mendorong jalannya proses demokratisasi dan memperjuangkan jaminan adanya transparansi publik dari pemerintah dalam setiap proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik. Yogyakarta sebagai Pionir Ombudsman Daerah Sampai saat ini telah tebentuk dua lembaga Ombudsman Daerah di Ombudsman mencatat, setidaknya ada lebih dari dua puluh daerah yang berniat membentuk Ombudsman daerah. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah provinsi pertama yang membentuk lembaga Ombudsman Daerah, dan Asahan (Sumatera Utara) adalah kabupaten pertama yang membentuk Ombudsman Kabupaten. Munculnya gagasan mengenai otonomi daerah yang ditandai dengan kelahiran Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999, Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah kemudian diperbaharui dengan lahirnya UU No.32/2004 dan UU No.33/2004. Kedua UU tersebut menempatkan daerah sebagai daerah otonom dengan kewenangan yang sangat luas. Otonomi daerah sendiri oleh Pasal 1 angka 4 UU No. 32/2004 dimaknai sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. Pemerintahan daerah memiliki kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, dan agama. Munculnya banyak kewenangan yang diberikan kepada daerah tersebut, tentu sangat berseberangan dengan masa orde baru, di mana kewenangan dipegang oleh pemerintah pusat. Karl D. Jason sebagaimana dikutip Yahya Muhaimin menyatakan, bahwa politik orde baru adalah bereucratic politic (politik birokrasi), yaitu suatu kondisi politik yang menempatkan negara pada posisi sangat dominan. Sejalan dengan konsepsi Jason di atas, Harry J. Benda menyebut (pemerintahan) negara orde baru yang lahir pasca kolonialisasi sebagai Beamtenstaat, yang oleh Arief Budiman dimaknai sebagai Beamtenstaat Indonesia yang di dukung oleh militer sebagai motornya. Dengan karakteristik demikian watak pemerintahan di bawah rezim orde baru lebih dekat dengan karakteristik rezim totaliter, Suatu rezim yang menurut Alfian ditandai dengan tertutupnya ideologi. Ideologi yang tertutup tersebut, karena adanya monopoli ideologi oleh penguasa. Penguasa menggunakan monopoli ideologi sebagai senjata ampuh untuk melumpuh- 9

24 kan dan menghancurkan siapa saja yang mengkritik apalagi menentang kekuasaannya. Komunikasi politik antara penguasa dan rakyat tidak berjalan, sebab penguasa melakukan doktrinisasi ideologi, dimana kebenaran ideologi menurut penapsiran penguasa tak dapat dipertanyakan, apalagi dibantah. Dalam sistem politik totaliter, penguasa biasanya mendminasi atau mengontrol semua jaringan politik, baik supra struktur politik (eksekutif, legislatif, yudikatif), maupun inpra struktur politik, seperti partai politik, preasure group, pers dan lain-lain. Hal tersebut turut berpengaruh pada hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah di era orde baru, dimana pada saat itu seluruh kebijakan berpusat pada pemerintahan pusat (sentralisasi). Reformasi di pertengahan 1998 memberikan implikasi besar pada kondisi makro sosio-politik, termasuk perubahan hubungan pemerintahan pusat dan daerah, dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Pemerintahan daerah diberi berbagai kewenangan untuk mengurus dan mengatur pemerintahan serta masyarakatnya. Pemberian kewenangan yang sangat besar tersebut dalam implikasinya membuat ketidaksiapan di level daerah. Di lapangan praktis, otonomi daerah memunculkan dilema. Di satu sisi pemberian kewenangan yang besar kepada pemerintahan daerah yang tidak didukung oleh kesiapan memadai, membuat pemerintahan daerah tidak dapat secara optimal menggunakan kewenangan tersebut untuk mengurus dan mengatur daerahnya. Sedangkan di lain sisi, masyarakat daerah terus mengharapkan suatu pemerintahan daerah yang demokratis, yang dapat diakses, transparan, serta akuntabel. Dalam kontek ini, otonomi daerah yang sejatinya adalah pemberdayaan masyarakat dan potensi daerah dalam rangka pembangunan daerah, lebih didominasi oleh praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan maladministrasi di semua lini birokrasi, serta kurang transparan dan minimnya publikasi peraturan-peraturan umum. Sementara berbagai instrumen yang dimiliki pemerintah daerah juga belum mampu menunjukkan signifikasinya dalam mengatasi berbagai kebobrokan pemerintahan daerah di atas. Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjadi jembatan antara pemerintahan daerah dengan masyarakatnya atau sebaliknya. Dalam kontek ini wacana pembentukan Komisi Ombudsman Daerah sebagai suatu komisi yang memiliki fungsi dasar untuk menampung aspirasi masyarakat, sekaligus menjadikan masyarakat sebagai pengawas bagi pemerintahan daerah menjadi menarik untuk segera direalisasikan. Dan hal yang perlu dikaji adalah : 10

25 1. Fungsi Komisi Ombudsman Daerah 2. Strategi Pembentukannya di Daerah 3. Relasi antara Good Governance dan Ombudsman Daerah Fungsi Komisi Ombudsman Sama halnya dengan Ombudsman Pusat, Komisi Ombudsman Daerah pada dasarnya merupakan sebuah lembaga yang secara mandiri menerima dan menyelidiki tuduhan-tuduhan kesalahan administrasi (maladministrasi). Menurut Jeremy Pope fungsi dari komisi ombudsman adalah : 1. Pertama : Memeriksa keputusan, proses, rekomendasi, tindakan kelalaian atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum, aturan-aturan atau peraturan, atau pembebasan dari praktek atau prosudur yang sudah ada, kecuali kalau dilakukan dengan itikad baik dan mempunyai alasan yang masuk akal yang berlawanan, sewenang-wenang atau tidak masuk akal, tidak adil, menyimpang, intimidatif, atau diskriminasi, yang berlandaskan dasar-dasar yang tidak relevan atau yang melibatkan penggunaan kekuasaan, atau menolak hal serupa itu karena alasan korupsi, kolusi dan nepotisme, atau motif yang tidak patut seperti penyogokan, kebobrokan, akses administratif. 2. Kedua : memeriksa keteledoran, ketiadaan perhatian, kelambanan, ketidakberwenangan, ketidak efisienan dan ketidakcakapan dalam administrasi atau pelaksanaan tugas dan tanggung jawab. Sedangkan Teten Masduki menyebutkan fungsi ombudsman sebagai : 1. Pertama : mengakomodasi partisipasi masyarakat dalam upaya memperoleh pelayanan umum yang berkualitas dan efisien, penyelenggaraan peradilan yang adil, tidak memihak dan jujur. 2. Kedua : meningkatkan perlindungan perorangan dalam memperoleh pelayanan publik, keadilan dan kesejahteraan, serta mempertahankan hak-haknya terhadap kejanggalan tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power), keterlambatan yang berlarut-larut (undue delay), serta diskresi yang tidak layak. Di banyak negara, Ombudsman telah menjadi lembaga alternatif bagi warga masyarakat untuk menyelesaikan keluhan atau ketidakpuasan terhadap birokrasi pemerintah secara cepat, gratis, tidak perlu mem- 11

26 bayar pengacara dan aman (kerahasiaan pelapor terlindungi). Penyelesaian melalui lembaga peradilan untuk masalah maladministrasi telah banyak ditinggalkan karena sangat lamban, mahal dan jauh dari kemudahan, disebabkan proses dan prosedurnya. Sebagai gambaran, berikut akan digambarkan secara singkat mengenai keberadaan, serta fungsi komisi Ombudsan di beberapa negara : Ombudsman di Swedia - Di Swedia Ombudsman berdiri pada tahun 1809, sebagai pelopor pertama berdirinya Ombudsman di dunia, bahkan sekitar 200 tahun sebelum kejaksaan modern berdiri di Perancis dan polisi modern di Inggris, merupakan Ombudsman yang bertanngungjawab kepada parlemen. Tugasnya melakukan pengawasan terhadap pengadilan dan administrasi publik untuk kepentingan para individu, bekerja secara independen dari pemerintah dan atas nama parlemen. Cakupan tugas dan wewenang dari ombudsman di Swedia adalah seluruh lembaga peradilan, pemerintahan, pejabat eksekutif, pejabat publik, namun tidak mengawasi parlemen, hal ini dikarenakan pertanggung jawabannya kepada parlemen. Dalam hubungannya dengan lembaga peradilan, ombudsman menghindari masalah substantif keputusan dari Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara dan hanya mengerjakan masalah-masalah prosudural. Mempunyai wewenang untuk menuntut dan melakukan investigasi terhadap para pejabat birokrasi dan pegawai pemerintah, militer dan hakim. Sedangkan bila ombudsaman sendiri melakukan penyimpangan, maka yang berwenang mengadili adalah Mahkamah Agung Swedia. Ombudsman di Belanda - Ombudsman di Belanda diatur dalam konstitusi negara tersebut, Anggotanya dipilih oleh Majelis Rendah Parlemen atas rekomendasi Wakil Ketua Dewan Negara, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Para anggota tersebut tidak diperkenankan merangkap jabatan. Rekomendasi yang di keluarkan ombudsman bersifat tidak mengikat, sehingga tergantung otoritas administrasi pemerintah. Ombudsman di Selandia Baru - Ombudsman dibentuk beradasarkan rekomendasi DPR, anggotanya tidak boleh merangkap jabatan. Masa jabatannya sama dengan masa jabatan DPR dan hanya dapat dicopot oleh Gubernur Jenderal. Investigasi yang dilakukan Ombudsman di Selandia Baru mencakup segala hal yang berkaitan dengan tindakan 12

27 menyimpang/melalaikan kewajiban dari aparat pemerintah. Ombudsman Nasional - Sedangkan Komisi Ombudsman Nasional di Indonesia yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 44 Tahun 2000 tidaklah mengatur secara terperinci mengenai peran, fungsi, maupun wewenang komisi tersebut. Dalam Pasal 2 Kepres tersebut disebutkan : Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Adapun tugas dari Komisi Ombudsman Nasional ini berdasarkan pasal 4 Kepres di atas adalah : 1. Menyebarluaskan pemahaman mengenai lembaga Ombudsman 2. Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan Instansi Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi, Organisasi Profesi, dan lain-lain. 3. Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum. 4. Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-undang tentang Ombudsman Nasional Komisi Ombudsman Daerah dan Menggagas Fungsinya Di dalam Kepres No.4/2000 tidak disebutkan mengenai adanya Komisi Ombudsman Daerah, padahal sebagaimana disebutkan di atas urgensi pembentukan Komisi Ombudsman Daerah seiring dengan diterapkannya otonomi daerah sangatlah penting. Sementara RUU mengenai Komisi Ombudsman Nasional yang diamanatkan pasal 4 Kepres No 44/2000 di atas belum terealisasi menjadi UU sampai sekarang. Pemberian kewenangan yang besar kepada daerah pasca diterapkannya otonomi daerah mengandung konsekwensi bahwa banyak persoalan yang berkaitan dengan publik di tangani daerah, bukan pusat 13

28 seperti sebelum diterapkannya otonomi daerah. Sehingga Kedudukan Komisi Ombudsman yang berada di pusat dirasa kurang relevan. Pembentukan Komisi Ombudsman Daerah akan jauh lebih efektif, atas alasan kedekatannya dengan masyarakat setempat serta dengan pemerintahan daerah. Pertanyaannya bagaimana fungsi Komisi Ombudsman Daerah agar dapat bekerja secara efektif dan menjawab berbagai persoalan maladministrasi publik di daerah. Fungsi dari Komisi Ombudsman Daerah, sama dengan komisi Ombudsman pada umumnya, sebagaimana digambarkan di atas, yaitu : 1. Sebagai lembaga pengawasan eksternal terhadap pelayanan umum yang merupakan kewenangan pemerintahan daerah. 2. Memberikan rekomendasi yang bersifat non legal binding kepada pejabat dan atau badan tata usaha di daerah yang berwenang sesuai dengan persoalan yang ditangani. Dalam kontek ini ombudsman daerah di posisikan sebagai mahkamah pemberi pengaruh, sehingga ombudsman daerah harus berwibawa dengan cara mendapat rekognisi politik yang kuat dan kedudukan hukum yang tinggi. 3. Sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan untuk : Memeriksa, mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertulis dan memaksa untuk meminta jawaban kepada lembaga atau pejabat di daerah sesuai dengan kewenangannya. Juga memiliki kekuasaan untuk mengakses dokumen dan memaksa orang atau instansi untuk menyerahkan dokumen dan bukti-bukti yang relevan. Ombudsman daerah pun memiliki hak inisiatif dan diskresi untuk melakukan penyelidikan dan mengajukan perbaikan sistemik, dan menyampaikan hasil penyelidikan, penilaian dan rekomendasi yang diusulkan kepada publik. Kewenangan yang dimiliki oleh daerah otonom sebagaimana ditegaskan dalam pasal 7 UU No.22/199 yang di pertegas kembali setelah berlakunya UU No.32/2004 dalam pasal 10 ayat (3) UU tersebut, menyatakan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali kewenangan-kewenangan di bidang : 1. Politik luar negeri 2. Pertahanan 3. Keamanan 14

29 4. Yustisi 5. Moneter dan fiskal nasional 6. Agama Bersandar pada kewenangan daerah di atas, maka menurut yurisdiksi Ombudsman daerah berada di bidang public administration yang dilimpahkan ke daerah. Sedangkan berkaitan dengan enam kewenangan yang dimiliki pemerintahan pusat, Komisi Ombudsman Daerah dapat melakukan koordinasi dengan Komisi Ombudsman Nasional. Langkah demikian dipraktikkan dalam konteks komisi ombudsman federal Australia, yang memiliki kewenangan mengawasi kualitas pelayanan publik di negara federal. Dalam menjalankan fungsi tersebut, hendaknya Komisi Ombudsman Daerah di arahkan untuk : 1. Independen dalam melakukan kerjanya. Ombudsman sedapat mungkin bersifat mandiri (independen) dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga-lembaga lain atau disubordinasi oleh kekuasaan negara, meskipun Ombudsman dirancang untuk dipilih oleh DPRD dan diangkat oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dan harus memberikan laporan pertanggungjawaban kepada yang memilihnya. 2. Dapat langsung memberikan rekomendasi kepada atasan pejabat yang diduga melakukan maladministrasi, tak terkecuali Gubernur dan atau Bupati/Walikota. 3. Dapat mempublikasikan rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkannya di media massa. Hal ini penting agar Ombudsman daerah dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, sehingga Ombudsman tidak melayani atau dinikmati oleh segelintir orang saja, sekaligus sebagai shock therapy atas perilaku maladministrasi. 4. Secara hukum, ombudsman daerah sedapat mungkin diberikan hak imunitas dari berbagai tuntutan dan gugatan di pengadilan atas tindakanbenar dalam menjalankan kewenangannya. 5. Dari sisi anggaran, Ombudsman daerah harus didukung oleh pembiayaan yang cukup, rutin dan teralokasikan secara khusus dalam pos anggaran. 15

30 Strategi Pembentukan Komisi Ombudsman Daerah Strategi pembentukan komisi ombudsman di daerah berkaitan dengan beberapa hal, yaitu ; 1. Kedudukan Komisi Ombudsman Daerah 2. Lembaga pembentuk Komisi Ombudsman Daerah 3. Alas hukum yang di gunakan dalam rangka pembentukan Komisi Ombudsman Daerah. Pembahasan Pembentukan Strategi Pembetukan Ombudsman Daerah Kedudukan Komisi Ombudsman Daerah - Perdebatan yang menarik dari kedudukan Komisi Ombudsman Daerah adalah, dimana seharusnya komisi ombudsman diletakkan dalam rangka mewujudkan pemerintahan daerah yang baik. Dari kaca mata hukum tata negara, perdebatan tersebut dijawab dengan mendasarkan pada di mana kewenangan otonomi daerah itu di berikan secara luas. Berdasarkan UU No.32/2004 kewenangan pemerintahan daerah provinsi lebih luas di banding pemerintahan daerah kabupaten dan/atau kota, hal ini dapat di telusuri dalam pasal 13 UU tersebut, di mana pemerintahan daerah provinsi mencakup urusan yang berkaitan dengan lintas kabupaten dan/ atau kota, begitu pula dengan kewenangan Gubernur selaku kepada daerah provinsi di berikan kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota. Dalam konteks kewenangan provinsi yang mencakup urusan lintas kabupaten/kota itu, kiranya relevan untuk membentuk Komisi Ombudsman Daerah di level provinsi. Hal ini juga dimaksudkan sebagai embrio awal lahirnya komisi ombudsman lainnya di level kabupaten/kota. Lembaga Pembentuk Komisi Ombudsman Daerah - Menurut Pratikno, ada dua (2) jenis Ombudsman dilihat dari segi lembaga pembentuknya, yaitu : a. Ombudsman Parlementer. Ombudsman ini dipilih oleh parlemen atau kepala negara, tetapi bertanggungjawab kepada parlemen. b. Ombudsman Eksekutif. Ombudsman ini diangkat oleh Kepala Negara dan bertanggung jawab kepada kepala negara. 16

31 Kedua jenis Ombudsman tersebut tentu memiliki keuntungan, sekaligus kelemahan masing-masing: a. Ombudsman Parlementer memiliki legitimasi yang jauh lebih kuat dibanding Ombudsman Eksekutif, hal tersebut dikarenakan pembentukan Ombudsman tersebut oleh parlemen yang dalam teori demokrasi merupakan wakil-wakil rakyat. Kendati demikian Ombudsman parlementer sangat rawan akan terjadinya kepentingan-kepentingan politik, karena tidak dapat dihindari orang-orang yang duduk di parlemen sejatinya adalah mereka yang berlatar belakang entitas politik tertentu. b. Sedangkan Ombudsman Eksekutif secara legitimasi tidak sekuat Ombudsman yang dibentuk oleh parlemen, karena ia hanya dibentuk oleh suatu organ yang sejatinya akan menjadi objek kerjanya. Atas dasar hal tersebutlah, ombudsman eksekutif menjadi ambigu, karena di satu sisi ia di bentuk oleh eksekutif dan di lain sisi ia harus bekerja sebagai lembaga pengawasan eksternal atas eksekutif itu sendiri. Dalam kontek pembentukan Komisi Ombudsman Daerah, melihat dari kedua jenis Ombudsman tersebut. Sejatinya, Komisi Ombudsman Daerah akan lebih efektif untuk dibentuk oleh DPRD dari pada oleh kepala daerah, hal tersebut dikarenakan : 1. Komisi Ombudsman Daerah adalah lembaga pengawasan ekternal atas kinerja pelayanan publik yang secara riil dilakukan eksekutif, sehingga ia tidak relevan untuk dibentuk oleh eksekutif itu sendiri. 2. Legitimasi Komisi Ombudsman Daerah yang di bentuk oleh DPRD jauh lebih kuat di bandingkan dengan pembentukan komisi tersebut oleh eksekutif. Pemberian kewenangan pembentukan Komisi Ombudsman Daerah oleh DPRD memang tidak ditegaskan dalam Pasal 42 UU No.32/2004 tentang tugas dan wewenang DPRD. Tetapi hal tersebut dapat dipahami, jika mengacu kepada pasal 41 UU No.32/2004 tentang fungsi DPRD, yaitu sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Dalam menjalankan fungsi terakhir (pengawasan) tersebut, DPRD dapat membentuk Komisi Ombudsman Daerah yang pada dasarnya merupakan lembaga pengawasan eksternal yang bersifat non-legal binding, yang dalam kinerjanya dapat membantu fungsi 17

32 pengawasan oleh DPRD.Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi Ombudsman Daerah dapat ditindaklanjuti oleh DPRD sebagai lembaga pengawas eksekutif daerah. Hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam rangka pembentukan Komisi Ombudsman Daerah ini adalah mengenai kreteria keanggotaan komisi tersebut, hal ini menjadi penting sebab para anggota inilah yang akan menjalankan fungsi Ombudsman Daerah nantinya. Alas Hukum Pembentukan Komisi Ombudsman Daerah - Alas hukum pembentukan Komisi Ombudsman Daerah berkaitan dengan lembaga mana yang menjadi pembentuk ombudsman tersebut. Sebagaimana dikatakan di atas, Komisi Ombudsman Daerah sedapat mungkin di bentuk oleh DPRD setempat dengan alasan legitimasi dan efektifitas kerjanya. Persoalan yang muncul adalah, apa yang menjadi alas hukum pembentukan komisi ombudsman darah oleh DPRD? Selama ini tidak dikenal produk hukum yang dikeluarkan oleh DPRD, kalaupun ada bentuknya adalah peraturan daerah (perda) yang sesungguhnya merupakan produk DPRD dan pemerintah daerah sebagaimana di tegaskan dalam pasal 136 ayat (1) UU No.32/2004, yaitu ; Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan DPRD, serta pasal 140 ayat (1) UU No.32/2004 yang menyatakan ; Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Jika perda yang dijadikan alas hukumnya, hal tersebut tidak mungkin untuk dilakukan, sebab berdasarkan pasal 136 ayat (3) UU No.32/2004 menyatakan bahwa : Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Dalam kontek Komisi Ombudsman Daerah, UU yang mengatur mengenai hal tersebut tidak ada, sehingga dengan sendirinya perda mengenai hal itupun tidak dapat dilakukan. Sehingga alas hukum yang peling memungkinkan dalam rangka pembentukan Komisi Ombudsman Daerah adalah surat keputusan (SK) kepala daerah, yang dalam hal ini berupa SK Gubernur. Sebab SK Gubernur dalam konsep hukum administrasi negara merupakan keputusan tata usaha negara yang bersifat sepihak, yang artinya tidak diperlukan persetujuan oleh pihak lain, termasuk DPRD. Hal ini tentu terlihat akan semakin rancu, sebab pembentukan komisi 18

33 ombudsman dilakukan oleh DPRD, sementara alas hukum pembentuknya berupa SK Gubernur yang merupakan produk eksekutif. Sehingga untuk menyiasati persoalan tersebut perlu kiranya diatur dalam SK Gubernur tersebut mengenai tata cara pemilihan anggota komisi Ombudsman yang menurut penulis wewenangnya diberikan kepada DPRD, sedangkan pengesahan anggota Komisi Ombudsman Daerah yang telah dipilih oleh DPRD dilakukan oleh Gubernur. Pola demikian adalah pola yang paling memungkinkan, ditengah belum diaturnya Komisi Ombudsman Daerah dalam suatu UU, sementara di lain sisi pembentukan Komisi Ombudsman Daerah mendesak untuk dilakukan. Ombudsman Daerah dan Good Governance Good Governance muncul setelah adanya kritik atas dominasi institusi pemerintah (government) dalam menjalankan fungsi governing (pemerintahan). Dalam terminologi good governance, pemerintah hanyalah salah satu pilar dari beberapa penyelenggara fungsi pemerintahan, di samping private sector (dunia usaha) dan civil society (masyarakat sipil). Terciptanya Good Governance (tata kelola pemerintahan yang baik) yang secara prinsip terdiri atas tiga pilar, yaitu, akuntabilitas, transparansi, dan aksestabilitas, salah satunya dapat dicapai melalui penguatan lembaga pengawasan, baik lembaga pengawasan intern seperti DPR, DPD, BPK, Irjen sampai dengan Bawasda, maupun lembaga pengawasan ekstern, seperti NGO, Pers, termasuk Ombudsman. Sebagai bagian dari lembaga pengawasan, Ombudsman memiliki beberapa harapan dalam mewujudkan good governance. 1. Pertama : Ombudsman Daerah memposisikan masyarakat sebagai aktor dalam tata kelola (governance) pemerintahan daerah. Selama ini masyarakat diposisikan sebagai objek tata kelola pemerintahan daerah. Pola interaksi pemerintah dan masyarakat nyaris tak terbangun dan menghasilkan pola pemerintahan yang tak aspiratif dan sulit dikontrol masyarakat. Ombudsman dapat menembus dinding tersebut dengan membangun partnership (kemitraan) dengan pemerintah. Di sinilah akan terbangun checks and balances antara keduanya dalam bentuk yang elegan. 2. Kedua : Ombudsman sebagai lembaga pengawasan ekstern yang menggunakan masyarakat sebagai kekuatan utamanya menjadi harapan paling mutakhir ditengah mandulnya berbagai sistem, mekanisme dan lembaga 19

34 pengawasan yang ada (khususnya di daerah) saat ini. Harapan itu muncul, sebab selama ini lembaga pengawasan yang ada belum satupun yang dapat menggunakan kekuatan masyarakat secara otonom untuk mengontrol jalannya tata kelola pemerintahan. Kekuatan masyarakat yang otonom sebagai lembaga pengawasan sangat relevan untuk diwujudkan detik ini, seiring dengan semakin menguatnya kekuatan masyarakat sipil prodemokrasi pasca reformasi. 20

35 BAB II TUGAS DAN WEWENANG OMBUDSMAN RI DALAM PELAYANAN PUBLIK Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga yang memiliki kemandirian, tidak memiliki hubungan organik dengan negara dan lembaga-lembaga pemerintahan lain dan juga saat menjalankan tugas bebas dari keterlobatan lembaga lainnya. Lembaga ini memiliki hak untuk mengontrol pelayanan publik. Hak Ombudsman terdapat dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Selain itu, Ombudsman diperbolehkan untuk memberikan nasehat kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan prosedur pelayanan publik dalam rangka untuk menghindari masalah administrasi. Asal Usul Ombudsman Institusi pengawasan yang bernama Ombudsman pertama kali lahir di Swedia, namun demikian sebenarnya Swedia bukanlah negara pertama yang membangun sistem pengawasan Ombudsman. Pada zaman Romawi telah terdapat institusi Tribunal Plebis yang tugasnya hampir sama dengan Ombudsman, yaitu melindungi hak masyarakat lemah dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan. Model yang demikian juga dapat dijumpai pada Kekaisaran Cina Dinasty Tsin tahun 221 SM. Sebagai suatu institusi yang secara tegas melembaga, sistem Ombudsman justru sebenarnya pertama kali dikenal pada masa Kekhalifahan Islam. Menurut Dean M. Gottehrer, mantan Presiden Asosiasi Ombudsman Amerika Serikat, menemukan bahwa pada dasarnya Ombudsman berakar dari prinsip-prinsip keadilan yang menjadi bagian dari mekanisme pengawasan dalam sistem ketatanegaraan Islam, hal ini dapat dilihat pada masa Kalifah Umar bin Khatab ( ) yang pada masa itu memposisikan diri sebagai Muhtasib yaitu orang yang menerima keluhan dan juga menjadi mediator dalam mengupayakan proses penyelesaian perselisihan antara masyarakat dengan pejabat pemerintah. 21

36 Tugas sebagai Muhtasib dilakukan secara langsung oleh Umar bin Khatab dengan cara mendengar secara langsung keluhan dari rakyat. Umar bin Khatab kemudian membentuk lembaga Qadi Al Quadat (Ketua Hakim Agung) dengan tugas khusus melindungi warga masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat pemerintah. Sejarah Parlianmentary Ombudsman Swedia dan Chief Justice Agar kita tidak melupakan sejarah, ide pembentukan Ombudsman datang dari Keputusan Raja Charles XII ( ) dengan membentuk Office of the King s Highest Ombudsman. Keputusan Raja Charles XII ini terpengaruh oleh sistem Turkish Office of Chief Justice (Chief Justice). Pada sistem ketatanegaraan Turki, Chief Justice sangat berperan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara guna menjamin ditaatinya hukum Islam oleh seluruh penyelenggara negara, termasuk Sultan sebagai pemimpin tertinggi. Chief Justice di Turki juga bertugas melindungi hak-hak rakyat yang diperlakukan tidak adil oleh penguasa. Keberadaan Chief Justice berpengaruh terhadap penegakan hukum dalam sistem ketatanegaraan Turki, mekanisme check and balance seperti ini yang mengilhami Raja Charles XII membentuk Hights Ombudsman di Swedia. Pembentukan Hights Ombudsman oleh Raja Charles XII dapat dinilai sebagai kerelaan Raja membuka ruang pengawasan oleh masyarakat terhadap jalannya roda pemerintahan, serta Raja itu sendiri rela diawasi oleh masyarakat. Setelah Raja Charles XII wafat, Hights Ombudsman, berganti nama menjadi the Office of Chancellor of Justice (Chancellor of Justice), yang dipilih oleh Tuan Tanah (Estate) yang kemudian selanjutnya berubah dipilih oleh parlemen yang bertugas antara lain menjamin hak-hak publik, perlindungan individi, serta mengawasi ketaatan hakim dan pejabat negara terhadap hukum, mencegah dan menindak maladministrasi. Pada tahun 1809, Swedia secara resmi mencantumkan Ombudsman Parlement dalam konstitusi. Kewenangan Ombudsman ini antara lain memiliki kewenangan penuntutan terhadap tindakan maladministrasi (malfeasance) yang dilakukan oleh hakim dan pejabat negara lainnya. Pada tahun 1915 dibentuk Ombudsman Militer, kemudian pada tahun 1968 Ombudsman 22

37 Parlementer dan Militer digabung menjadi satu. Berbagai Jenis Ombudsman Pada mulanya institusi Ombudsman dikenal di Swedia dan baru satu setengah abad belakangan ini sistem Ombudsman menyebar ke berbagai penjuru dunia. Ombudsman Parlementer kedua dibentuk tahun 1919 di Finlandia dan tahun 1955 di Denmark. Sistem Ombudsman telah mencantumkan institusi Ombudsman ke dalam konstitusinya. Berdasarkan beberapa aspek, Ombudsman dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Dari kurun waktu pembentukannya, dapat dibedakan menjadi Ombudsman Klasik dan Ombudsman Modern. Ombudsman Klasik dapat ditelusuri sejak pertama kali Raja Chares XII membentuk Highest Ombudsman, Chief Justice di Turki dan Qadi Al Quadat pada zaman Umar bin Khatab. Ombudsman Modern berdiri sejak tahun 1953 di Denmark dan 1962 di New Zealand. Ombudsman Parlementer di Swedia dikategorikan sebagai Ombudsman Modern. Apabila dilihat dari mandat dan mekanismen pertanggungjawabannya, dibedakan menjaid dua jenis, yakni : 1. Pertama, Ombudsman Parlementer yakni Ombudsman yang dipilih oleh Parlemen dan bertanggungjawab (laporan) kepada Parlemen. Contohnya Swedia, Finlandia, dan Denmark 2. Kedua, Ombudsman Eksekutif yakni yang dipilih oleh Presiden,Perdana Menteri, atau Kepala Daerah. Contohnya, Indonesia dan Australia. Apabila dilihat dari isu dan institusi yang membentuk, maka Ombudsman dibagi menjadi tiga, antara lain : 1. Pertama, Ombudsman Publik yang dibentuk oleh institusi publik untuk mengawasi proses pemberian pelayanan umum bagi masyarakat sebuah negara. Contohnya Indonesia, Irlandia Utara, dan Tahiland. 2. Kedua, Ombudsman Swasta yang dibentuk oleh swasta untuk melayani proses pelayanan umum perusahaan swasta terhadap konsumennya. Contohnya Ombudsman Perusahaan Asuransi, Real Estate. 3. Ketiga, Ombudsman Hybrid yang dibentuk oleh swasta atas mandat yang diberikan oleh negara untuk mengawasi proses pelayanan umum di sektor swasta. Pada dasarnya ini merupakan Ombudsman Swasta, tapi keberadaannya diamanatkan oleh negara dengan undang-undang tertentu. Contohnya Ombudsman Pers di Swedia. 23

38 Apabila dilihat dari batas wilayah yurudiksinya, maka Ombudsman dibagi menjadi tiga, yaitu : 1. Ombudsman Nasional, yakni yang wilayah kerjanya menyangkut seluruh wilayah negara di mana Ombudsman itu berada. Contohnya Komisi Ombudsman Indonesia, Ombudsman Asutralia. 2. Ombudsman Daerah yakni wilayah kerjanya hanya terbatas pada daerah tertentu saja di sebuah negara. Contohnya Ombudsman Yogyakarta, Pangkal Pinang, dan lain-lain. 3. Ombudsman Multinasional, yakni yang wilayah kerjanya meliputi beberapa negara. Ombudsman ini dibentuk atas kesepakatan masingmasing negara akan perlunya membangun sistem pengawasan bersama, contohnya Ombudsman Eropa. Pengawasan Pengawasan adalah salah satu fungsi organik manajemen yang merupakan proses kegiatan pimpinan untuk memastikan dan menjamin bahwa tujuan dan sasaran serta tugas-tugas organisasi akan dan telah terlaksana dengan baik sesuai rencana, kebijaksamaan, instruksi, dan ketentuanketentuan yang telah ditetapkan dan yang berlaku. Hakikat pengawasan adalah untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas-tugas organisasi. Di dalam buku Diana H.K., Lord Action menyatakan bahwa setiap kekuasaan sekecil apapun cenderung untuk disalahgunakan. Dengan adanya keleluasaan bertindak dari administrasi negara yang memasuki semua sektor kehidupan masyarakat, terkadang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat itu sendiri, maka wajar apabila diadakan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan yang merupakan jaminan agar jangan sampai keadaan negara menjurus ke arah diktator tanpa batas yang bertentangan dengan ciri negara hukum. Di sisi lain berarti pula ada suatu sistem perlindungan bagi yang diperintah oleh karena adanya tindakan diskresi (freies ermessen) serta perlindungan terhadap administrasi negara itu sendiri agar sikap dan tindakannya baik dan benar menurut hukum, baik yang tertulis maupun yanng tidak tertulis. 24

39 Cara-cara pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat diperinci sebagai berikut : 1. Ditinjau dari kedudukan badan/organisasi yang melaksanakan pengawasan intern dan ektern. 2. Ditinjau dari segi saat/waktu dilaksanakannya maka terdapat pengawasan preventif pengawasan apriori dan pengawasan represif/pengawasan aposteriori. 3.Pengawasan dari segi hukum Pengawasan adalah proses kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan tiu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan. Hasil pengawasan ada yang mempunyai akibat hukum, namun sebagian besar bersifat politis, administratif (ketatausaan, organisasional, manajerial, operasional), atau teknis-fungsional. Kewenangan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kewenangan adalah hak dan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu. Kewenangan (yang biasanya terdiri atas beberapa wewenang) adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaanterhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu onderdil tertentu saja. Wewenang memiliki arti kemampuan melakukan tindakan hukum tertentu. Dalam buku Ridwan H.R., H.D. Stout menyatakan bahwa wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik dalam hubungan hukum publik. Ridwan H.R juga mengutip pendapat dari Bagir Manan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Setiap kewenangan dibatasi oleh isi/materi, wilayah dan waktu. Cacat dalam aspek-aspek tersebut menimbulkan cacat kewenangan (onbevoegdheid) yang menyangkut cacat isi (onbevoegheid 25

40 ratione materiae); cacat wilayah (ondevoegdheid ratione loci); dan cacat waktu (ondevoegdheid ratione temporis). Maladministrasi Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang dimaksud dengan maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan. Pengertian maladministrasi secara umum adalah perilaku yang tidak wajar (termasuk penundaan pemberi pelayanan), tidak sopan dan kurang peduli terhadap masalah yang menimpa seseirang disebabkan oleh perbuatan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk menggunaan kekuasaan secara semena-mena atau kekuasaan yang digunakan untuk perbuatan yang tidak wajar, tidak adil, intimidatif, atau diskriminatif dan tidak patut didasarkan sebagian atau seluruhnya atas ketentuan undang-undang atau fakta, serta tidak masuk akal. Maladministrasi adalah suatu praktik yang menyimpang dari etika administrasi, atau suatu praktik administrasi yang menjauhkan dari pencapaian tujuan administrasi. Terminologi dari maladministrasi dipahami lebih luas dari sekedar penyimpangan terhadap ketatabukuan. Meskipun demikian, maladministrasi juga harus dipahami tidak sekedar sebagai penyimpangan terhadap hal tulis menulis, tata buku, dan sebagainya, tetapi lebih luas mencakup penyimpangan terhadap fungsi-fungsi pelayanan publik yang dilakukan setiap penyelenggara negara (termasuk anggota parlemen) kepada masyarakat. Secara lebih umum maladministrasi di diartikan sebagai penyimpangan, pelanggaran atau mengabaikan kewajiban hukum dan kepatutan masyarakat sehingga tindakan yang dilakukan tidak sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik (good governance). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa parameter yang dijadikan sebagai ukuran maladministrasi adalah peraturan hukum dan kepatutan masyarakat serta asas umum pemerintahan yang baik. 26

41 Dalam buku Budhi Masthuri, Crossman mengklarifikasikan bentuk tindakan yang dapat dikategorikan sebagai maladministrasi, yaitu : berprasangka, kelalaian, kurang peduli, keterlambatan, bukan kewenangan, tindakan tidak layak, jahat, kejam, dan semena-mena. Pengertian Kewenangan Asas legalitas merupakan suatu prinsip utama dalam setiap negara hukum, merupakan dasar dalam setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undangan. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kewenangan berasal dari kata wewenang yang berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak. Kewenangan adalah kekuasaan membuat keputusan pemerintah dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain. Definisi kewenangan menurut FPCL. Tonnaer yaitu kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dan warga negara. Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini, sehingga FAM. Stroink dan JG. Steenbeek menyebutnya sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi. Kewenangan yang di dalamnya terkandung hak dan kewajiban, menurut P. Nicola, kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dan mencakup timbulnya dan lenyapnya akibat hukum tertentu, hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Macam-Macam Cara Memperoleh Kewenangan Secara teoritik kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Mengenai hal ini HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt 27

42 dalam bukunya Ridwan HR., mendefinisikan ketiga cara perolehan kewenangan. Attribute didefinisikan sebagai toekening van een besstuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada pemerintahan). Delegatie didefinisikan sebagai overdracht van een bevoigheid van het ene bestuursorgaan aan een ander (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya). Sedangkan mandat didefinisikan sebagai een bestuursorgaanlat zijn bevoigheid namens hem uitoemfenen door een ander (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya). Kewenangan pemerintah provinsi sesuai dengan kedudukannya sebagai daerah otonom menjadi penyelenggara kewenangan pemerintahan otonom yang bersifat lintas kabupaten/kota dan kewenangan pemerintahan lainnya. Sementara itu kewenangan provinsi sebagai wilayah administrasi merupakan pelaksanaan kewenangan pemerintah yang didekonsentrasikan kepada gubernur (dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintahan). Teori Kewenangan Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik. Namun sesungguhnya terdapat perbedaan di antara keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, yaitu kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Karenanya, merupakan kekuasaan dasri segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Wewenang (authority) adalah hak untuk memberi perintah dan kekuasaan untuk meminta dipatuhi. Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat, Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (recten en plichten). Hak mengandung pengertian 28

43 kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelf regelen) dan mengelola sendiri (zelf besturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan. Menurut Prajudi Atmosudirdjo yang dimaksud dengan wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik, misalnya wewenang menandatangani atau menerbitkan surat-surat ijin dari seorang pejabat atas nama meneteri, sednagkan kewenangan tetap berada di tangan menteri (delegasi wewenang). Wewenang hukum publik adalah wewenang untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang sifatnya hukum publik, seperti mengeluarkan aturan-aturan, menngambil keputusan-keputusan atau menetapkan suatu rencana dengan akibat-akibat hukum. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangan tersebut diperoleh melalui dua cara yaitu atribusi dan pelimpahan wewenang yang berupa delegasi dan mandat. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan hukum tata negara, atribusi iniditunjukkan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli atas dasar konstitusi (UUD) atau peratusan perundang-undangan. Pelimpahan wewenangnadalah penyerahan sebagian dari wewenang pejabat atasan kepada bawahan tersebut untuk membantu dalam melaksanakan tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur komunikasi yang bertanggungjawab dan sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, wewenang yang diperoleh melalui proses pelimpahan yang disebut delegasi dan mandat. Pendelegasian diberikan biasanya antara organ pemerintah satu dengan organ pemerintah lainnya dan biasanya pihak pemberi wewenang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pihak yang diberikan wewenang. Mandat umumnya diberikan dalam hubungan kerja internal antara atasan dan bawahan. Mencermati Sejarah Ombudsman Nasional Dalam makalahnya yang berjudul Sejarah Pembentukan Dan Perkemban- 29

44 gan Ombudsman Di Indonesia, Dr. Drs. Ws. Ongky Setio Kuncono, SH, MM menulis, Komisi Ombudsman Nasional terbentu pada tanggal 10 Maret tahun 2000 dengan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun Menurut Keputusan Presiden tersebut, Komisi Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan masyarakat khusunya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (pasal 2). Adapun tujuan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional tersebut, adalah untuk membantu menciptakan dan atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan Nepotisme melalui peran serta masyarakat. Selain itu, untuk meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan, dan kesejahteraan secara lebih baik. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Ombudsman Nasional diberi tugas pokok antara lain melakukan langkah-langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan penyelenggaran Negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum. Gagasan pembentukan Ombudsman di Indonesia sesungguhnya sudah pernah muncul di tahun Tanggal 8 Desember 1999 Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 155 Tahun 1999 Tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Keppres tersebut ternyata keluar dari hasil pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya antara Gus Dur, Marzuki Darusman dan Antonius Sujata. Kepres Nomor 155 Tahun 1999 hanya membentuk Tim Pengkajian Ombudsman, sedangkan lembaga Ombudsman secara kongkrit tidak jadi dibentuk dengan Keppres tersebut. Pada 18 Desember 1999 Antonius Sujata bersama Jaksa Agung Marzuki Darusman kembali menghadap Gus Dur dan meminta klarifikasi tentang keberadaan Keppres Nomor 155 Tahun 1999, keduanya tetap pada rekomendasi hasil pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya. Sehingga akhirnya pada tanggal 20 Maret 2000 Gus Dur mengeluarkan Keppres Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional yang sekaligus menetapkan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Ombudsman. Bila dibaca Keppres Nomor 44 Tahun 2000, setidaknya terdapat tiga gagasan penting- 30

45 nya kehadiran Komisi Ombudsman Nasional : 1. Bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka untuk melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme; 2. Bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi; 3. Bahwa dalam penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan pemerintahan memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk pada peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan; Komisi Ombudsman Nasional yang dibentuk berdasarkan Keputusan presiden Nomor 44Tahun 2000 tersebut kemudian mengalami perubahan dengan dikeluarkannya UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Perubahan dimaksud antara lain menyangkut nama, status kelembagaan, ruang lingkup kewenangan dll. Mengenai nama, UU Nomor 37 Tahun 2008 mengubah nama Komisi Ombudsman Nasional dengan Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Mengenai status kelembagaan, UU Nomor 37 Tahun 2008 secara tegas menyebutkan ombudsman Republik Indonesia sebagai Lembaga Negara (Pasal 2). Menyangkut wewenangnya, UU Nomor 37 Tahun 2008 lebih memperluasnya, yakni mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara/anggaran pendapatan dan belanja daerah. Kecuali itu, obyek pengawasan lembaga Ombudsman oleh UU Nomor 37 Tahun 2008 juga lebih dipertegas dan secara terperinci disebutkan yakni berupa: perbuatan melawan hukum, melampaui batas wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan 31

46 wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggaraan Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan /immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan. Perbuatan-perbuatan tersebut dalam UU Nomor 37 Tahun 2008 disebut dengan istilah Maladministrasi. Apabila diperhatikan isi Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 maupun ketentuan di dalam UU Nomor 37 Tahun 2008, pada hakikatnya komisi Ombudsman Nasional ataupun Ombudsman Republik Indonesia tidak lain merupakan suatu lembaga publik yang bersifat otonom dan berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan pemerintahan, sekaligus sebagai sarana perlindungan hukum bagi rakyat. Permasalahan Permasalahannya adalah apakah lembaga Ombudsman di Indonesia memiliki persamaan dengan dibeberapa Negara lain? Dan Bagaimanakah pelaksanaan Ombudsman di Indonesia pada saat sekarang? Pembahasan Akar sejarah perkembangan Ombudsman modern dapat dilacak dari istilah justitie ombudsman (Ombudsman for justice) di Swedia yang didirikan pada tahun Institusi Ombudsman mulai menyebar ke negara-negara lain pada abad ke dua puluh, yaitu ketika negera-negara Skandinavia mulai mengadopsinya: Finlandia pada 1919, Denmark (1955) dan Norwegia (1962). Popularitas institusi Ombudsman kemudian meningkat sejak dekade 1960-an, ketika banyak negara-negara persemakmuran dan negara-negara lain, terutama negara-negara Eropa mendirikan institusi Ombudsman seperti halnya Selandia Baru (1962), Inggris (1967), Provinsi-provinsi di Kanada (mulai tahun 1967), Tanzania (1968), Israel (1971), Puerto Rico (1977), Australia (1977 pada tingkat federal, pada tingkat negara), Perancis (1973), Portugal (1975), Austria (1977), Spanyol (1981) dan Belanda (1981). Tahun 1998, lebih dari 100 negara di seluruh dunia telah membentuk lembaga ombudsman. Di beberapa negara ada Ombudsman yang eksistensinya berada pada tingkat regional, provinsi, negara bagian atau pada tingkat distrik (kabupaten/kotamadya). Beberapa negara mempunyai institusi Ombudsman pada tingkat nasional, regional dan sub-nasional seperti halnya Australia, Argentina, Meksiko, dan Spanyol, sementara negara-negara 32

47 yang lain mempunyai institusi Ombudsman pada tingkat sub-nasional pemerintahan seperti Kanada, India dan Italia. Institusi Ombudsman sektor publik banyak ditemukan di negara-negara Eropa, Amerika Utara, Amerika latin, Karibia, Afrika, Australia, Pasifik dan Asia. Walaupun dapat dikatakan lambat tetapi pada akhirnya sistem pengawasan Ombudsman terus berkembang, kurang lebih lima puluh negara bahkan telah mencantumkan pengaturan Ombudsman dalam Konstitusi, seperti antara lain Denmark, Finlandia, Filipina, Thailand, Afrika Selatan, Argentina, dan Meksiko. Thailand yang usia Ombudman-nya notabene lebih muda dari Komisi Ombudsman Nasional, telah terlebih dahulu mencantumkan ketentuan tentang Ombudsman dalam Konstitusi. Di negara-negara yang pernah mengalami totalitarian dengan rezim Militer yang kuat seperti Afrika misalnya, awalnya juga membentuk KON sebagai bagian dari proses transisi menuju demokrasi. Negara-negara yang berfaham Komunis seperti RRC bahkan memiliki institusi semacam Ombudsman yang sangat kuat bernamaminister of Supervision, begitu juga dengan Vietnam. Sehingga meskipun Ombudsman menjadi suatu keharusan dalam negara demokratis, bukan berarti (atau setidaknya institusi sejenis Ombudsman) tidak dapat berkembang di negara yang tidak menjadikan demokrasi sebagai pijakan. Perkembangan terakhir, Komisi Konstitusi memasukkan usulan pasal tentang Ombudsman dalam naskah amandemen UUD 1945 yang mereka susun dan telah diserahkan kepada MPR RI. Usul pengaturan Ombudsman dalam Amandemen UUD 1945 oleh Komisi Konstitusi dimasukan dalam pasal Pasal 24 G ayat (1), berbunyi: Ombudsman Republik Indonesia adalah ombudsman yang mandiri guna mengawasi penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat. Dan Ayat (2) berbunyi: Susunan, kedudukan dan kewenangan Ombudsman Republik Indonesia diatur dengan Undang- Undang. Barangkali, bila amandemen kelima bergulir, keberadaan KON di tingkat konstitusi akan dapat terwujud. RUU Disahkan menjadi UU Ombudsman Mengacu kepada Nomor 25/2000 tentang Propenas, pengundangan Ombudsman menjadi salah satu indikator keberhasilan program pembangunan hukum nasional. Sejalan dengan itu Presiden melalui Keppres Nomor 44 Tahun 2000 memberi tugas kepada Ombudsman untuk mempersiapkan 33

48 Rancangan Undang-Undang Ombudsman (RUU Ombudsman). Sejalan dengan itu, dalam Sidang Umum MPR Tanggal 9 Nopember 2001, MPR mengeluarkan TAP MPR No. VIII/MPR/2001 yang isinya memberikan mandat kepada Pemerintah dan DPR agar membuat undang-undang antara lain tentang kebebasan memperoleh informasi, undang-undang ombudsman dan undang-undang perlindungan saksi. Draft RUU Ombudsman diselesaikan oleh KON sejak tahun 2001 dan pada tahun 2002 menjadi inisiatif DPR RI. Namun sampai tahun 2004 pemerintah tidak merespon sebagaimana mestinya, karena tidak segera mengeluarkan Amanat Presiden untuk menunjuk wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Ombudsman. RUU KON yang sudah menjadi inisiatif DPR, kandas begitu saja ketika tidak ada keinginan dari Presiden Megawati saat itu mengeluarkan Amanat Presiden yang menunjuk wakil pemerintah untuk membahasnya dengan DPR. Meskipun DPR telah mangajukan hal tersebut jauh sebelum putaran suksesi dalam Pemilu 2004 dimulai. Demikian juga halnya pemerintahan SBY yang tidak memasukkan UU Ombudsman sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Untungya dalam hal ini DPR periode melalui Komisi III dan Badan Legislasi memberikan komitmennya untuk tetap mendukung agar UU Ombudsman dapat segera disahkan dalam masa jabatan mereka. Pada tahun 2005 DPR kembali memasukkan RUU Ombudsman RI sebagai usul inisiatif, dan pada tahun 2007 dimulai pembahasannya di DPR. Menteri Hukum dan HAM ditunjuk Presiden sebagai wakil pemerintah pembahasan bersama dengan Komisi III DPR RI. RUU ini secara maraton, namun rencana tersebut dibatalkan. Sampai akhir tahun 2007 ini DPR dan Pemerintah baru menyelesaikan pembahasan sejumlah 16 DIM. Artinya masih tersisa 199 harus dibahas pada tahun Mengingat pembahasan RUU Ombudsman belum diselesaikan, maka pada tahun 2007 DPR RI untuk kedua kalinya memasukkan RUU Ombudsman RI dalam Prolegnas dan dibahas serta disahkan pada tahun DPR akhirnya mengesahkan RUU tentang Ombudsman. Melalui forum Rapat Paripurna Tanggal 9 September 2008 seluruh fraksi, RUU yang dibahas sejak tahun 2005 itu menjadi Undang-undang. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia telah berlaku menggantikan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 yang lebih dari delapan tahun menjadi landasan hukum Komisi Ombudsman Nasional dalam menjalankan 34

49 tugasnya. Setelah berlakunya Undang-undang Ombudsman Republik Indonesia, maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia. Dengan pemberlakuan UU 37/2008, memberikan makna penting bagi Ombudsman RI, yakni Ombudsman bukan lagi berbentuk komisi,melainkan lembaga negara sejajar dengan kepolisian dan kejaksaan. Kewenangan lembaga ini juga bertambah. Ombudsman memiliki kewenangan lebih dalam melakukan perannya menindaklanjuti laporan masyarakat. Dulu, di bawah Keppres 44 Tahun 2000, KON hanya berfungsi sebagai pemberi pengaruh (magistrature of influence) bukan pemberi sanksi (magistrature of sanction). KON tidak dibekali atau tidak membekali diri dengan instrumen pemaksa (legally binding/su poena power). Walaupun dalam beberapa kasus (ternyata) pengaruh Ombudsman tetap sangat kuat. Ini dikarenakan figur seorang Ombudsman yang benar-benar dapat dipercaya integritas, kredibilitas dan kapabilitasnya, sebab pemilihannya dilakukan melalui proses yang partisipatif, transparan dan accountable. Pengaruh Ombudsman masuk melalui rekomendasi yang disusun dan diberikan pada Penyelenggaran Negara. Walaupun rekomendasi Ombudsman tidak mengikat secara hukum, bukan berarti dapat diabaikan begitu saja. Dalam hal ini Ombudsman memiliki mekanisme pelaporan kepada DPR. Untuk kasus-kasus tertentu yang signifikan dan krusial, melalui mekanisme yang tersedia, DPR juga dapat memanggil pejabat publik (eksekutif) atas tindakan pengabaiannya terhadap eksistensi dan rekomendasi Ombudsman. Namun dalam prakteknya dulu, tidak sedikit rekomendasi KON yang dikesampingkan atau bahkan dipinggirkan. Di bawah UU 37/2008, sebelumnya rekomendasi Ombudsman bersifat tidak mengikat, kini rekomendasi itu wajib. Artinya, setiap instansi menjadi pihak terlapor, wajib menjalankan rekomendasi. Jika rekomendasi tidak dilaksanakan akan dikenakan sanksi administratif. Pengaturan Ombudsman dalam undang-undang tidak hanya mengandung konsekuensi posisi politik kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan cakupan kerja ombudsman yang akan sampai di daerah-daerah. Dalam undang-undang ini dimungkinkan mendirikan kantor perwakilan 35

50 Ombudsman di daerah provinsi, kabupaten/kota. Dalam hal penanganan laporan juga terdapat perubahan yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki subpoena power, rekomendasi bersifat mengikat, investigasi, serta sanksi pidana bagi yang menghalanghalangi Ombudsman dalam menangani laporan. Mengingat besarnya wenangan dalam undang-undang, Ombudsman RI perlu melakukan langkah-langkah untuk mencapai tujuan yang diamanatkan undang-undang. Kewenangan yang besar harus ditunjang oleh infrastruktur yang kuat dan sumberdaya manusia yang profesional. Bila Ombudsman tidak didukung dengan infrastruktur yang memadai maka kewenangan yang diberikan oleh undang-undang menjadi tidak berarti. Selain itu, UU 37/2008 memberi penambahan kewenangan Ombudsman dalam menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak (Pasal 8 ayat (1) huruf e). UU ini juga merampingkan komposisi Ombudsman yang awalnya berdasarkan Keppres 44/2000 berjumlah 11 orang, menjadi hanya tujuh orang. Masa jabatan ditetapkan berlaku selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan tambahan. Dalam menangani laporan, setiap pimpinan dan anggota Ombudsman diwajibkan merahasiakan identitas pelapor. Kewajiban ini melekat terus meski pimpinan dan anggota yang bersangkutan berhenti atau diberhentikan. Namun, kewajiban ini dapat dikesampingkan dengan alasan demi kepentingan publik yang meliputi kepentingan bangsa dan negara serta masyarakat luas. Demi efektivitas kerjanya, Ombudsman juga diberi untuk melakukan pemeriksaan lapangan ke objek pelayanan publik yang dilaporkan, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Hal ini tidak pernah diatur dalam Keppres 40/2000. Inspeksi dadakan ini tetap harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban dan kesusilaan. Untuk menjaga netralitas, UU Ombudsman memuat aturan yang melarang pimpinan atau anggota Ombudsman turut serta memeriksa laporan jika di dalamnya memuat informasi yang mengandung atau dapat menimbulkan konflik kepentingan. UU 37/2008 ini juga memberikan dua hak ekslusif untuk Ombudsman. 1. Pertama, hak imunitas atau kekebalan sebagai dukungan penuh terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang Ombudsman. (sebagaimana 36

51 diatur dalam Pasal 10), Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut atau digugat di muka pengadilan. 2. Kedua, upaya pemanggilan paksa. Pasal 31 menyatakan Dalam hal terlapor dan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a telah dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa. 37

52 BAB III OPTIMALISASI PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA Berdampak Langsung pada Iklim Investasi Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sektor pelayanan publik merupakan masalah serius bagi suatu negara, tidak terkecuali di Indonesia. Banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari hal tersebut, salah satunya di sektor ekonomi. Pelayanan publik berdampak langsung terhadap iklim investasi yang mempengaruhi perekonomian suatu negara. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Bank, pada tahun 2010 Indonesia berada pada peringkat 122 dari 183 negara dalam hal pelayanan publik, dan mengalami penurunan pada tahun 2011 hingga peringkat ke 129. Data tersebut memperlihatkan betapa lemahnya sektor pelayanan publik di Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain, terutama negara yang berada dalam Regional Asia Tenggara yang mendapat peringkat lebih baik, seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Faktanya Indonesia merupakan negara yang memiliki perekonomian paling besar di Asia Tenggara. Namun, lemahnya sektor pelayanan publik menjadi kendala yang bagi iklim investasi di Indonesia. Akibatnya, para investor akan ragu menanamkan modalnya di Indonesia. Realita di lapangan seakan membenarkan survei tersebut. Walaupun kondisi di setiap daerah berbeda, namun secara keseluruhan masih jauh dari kata memuaskan. Banyak indikator mencerminkan suramnya kinerja aparat pelayanan publik di Indonesia, antara lain pelayanan bertele-tele dan cenderung birokratis, biaya yang tinggi, pungutan-pungutan tambahan, perilaku aparat yang lebih bersikap sebagai pejabat ketimbang abdi masyarakat, pelayanan diskriminatif, dan sederetan persoalan lainnya (Abas dan Triandyani, 2001). Selain itu, ada beberapa sikap di kalangan aparat pemerintah merugikan kepentingan publik seperti kurang berminat mensosialisasikan berbagai peraturan pada masyarakat, mendahulukan kepentingan pribadi, golongan atau kelompok, termasuk kepentingan atasannya ketimbang kepentingan publik, masih kuatnya kecenderungan menunggu petunjuk atasan, adanya perilaku malas dalam mengambil inisiatif di luar peraturan, sikap acuh terhadap keluhan masyarakat, lamban dalam memberikan pelayanan, 38

53 dan sebagainya. Undang-undang No. 25 tahun 2009 mendefinisikan pelayanan publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sedangkan penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, koorporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undangundang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa, dan pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Di Indonesia, Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada negara agar memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya demi kesejahteraannya, sehingga efektivitas suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan baik buruk penyelenggaraan pelayanan publik. Walaupun dalam Undang-undang No. 25/2009 sudah mengatur secara jelas dan tegas tentang bagaimana pelayanan publik di Indonesia, namun untuk melakukan optimalisasi sektor pelayanan publik di Indonesia bukanlah pekerjaan mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan, karena pembaharuan yang dilakukan menyentuh berbagai aspek yang telah membudaya dalam lingkaran birokrasi pemerintahan. Di antara beberapa aspek tersebut adalah kultur birokrasi yang tidak kondusif yang telah lama mewarnai pola pikir birokrat sejak era kolonial dahulu. Prosedur dan etika pelayanan berkembang dalam birokrasi di Indonesia sangat jauh dari nilai- nilai dan praktik yang menghargai warga bangsa sebagai warga negara yang berdaulat. Prosedur pelayanan misalnya, tidak dibuat untuk mempermudah pelayanan, tetapi lebih untuk melakukan kontrol terhadap perilaku warga sehingga prosedurnya berbelitbelit dan rumit (Agus Dwiyanto, 1998). Selain itu, adanya paradigma yang terbangun di tengah masyarakat sejak masa orde baru hingga kini tentang kedudukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dipandang terhormat sehingga sangat dihargai dan diidolakan 39

54 publik, sedikit banyaknya mengabaikan filosofi PNS sebagai pelayan publik (public servant) dalam arti riil. Hal ini terbukti dengan sebutan pangreh raja (pemerintah negara) dan pamong praja (pemelihara pemerintahan) untuk pemerintahan yang ada pada masa tersebut yang menunjukkan bahwa mereka siap dilayani bukan melayani. Bersamaan dengan, juga terdapat kendala infrastruktur organisasi yang belum mendukung pola pelayanan prima yang diinginkan. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan belum terbangunnya kaidah-kaidah atau prosedur baku pelayanan yang memihak publik serta standar kualitas minimal yang semestinya diketahui publik selaku konsumennya, di samping rincian tugas-tugas organisasi pelayanan publik secara komplit. Selain itu, Standard Operating Procedure (SOP) masing-masing service provider belum diidentifikasi dan disusun, sehingga tujuan pelayanan pertanyaan besar. Akibatnya, pada satu pihak penyedia pelayanan dapat bertindak semaunya tanpa merasa bersalah (guilty feeling) pada masyarakat. Pemerintah pusat maupun daerah telah melakukan berbagai upaya untuk mencari solusi bagaimana penerapan praktik terbaik (best practices) dalam hal pelayanan publik. Lebih lagi, Indonesia memiliki keberagaman dan kemajemukan dengan segala kompleksitasnya, baik dari segi wilayah, sosial kultural masyarakat, kualitas sumber daya manusia, hingga infrastruktur yang berbeda di setiap daerah. Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam upaya mewujudkan pelayanan publik yang prima. Menciptakan Praktek Terbaik Pelayanan Publik di Indonesia Rabu, 9 September 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat kebijakan yang disebut sebagai gerakan ekonomi dengan meluncurkan Paket Kebijakan Tahap I dalam upaya menciptakan kondisi ekonomi makro yang kondusif. Kebijakan tersebut antara lain, mendorong percepatan belanja pemerintah, melalui percepatan daya serap anggaran, dan juga melakukan langkah-langkah penguatan neraca pembayaran. Akan tetapi, Presiden Jokowi yang ketika membuat pengumuman tersebut didampingi Gubernur BI, Ketua OJK, dan sejumlah menteri, mengakui langkah-langkah tersebut belum cukup. Paket Kebijakan tersebut terdiri atas 3 (tiga langkah), yaitu: 1.Mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum, dan kepastian usaha yang menurut Jokowi, 40

55 terdapat 89 peraturan yang dirombak dari 154 peraturan yang masuk ke tim, sehingga dianggap bisa menghilangkan duplikasi sekaligus memperkuat koherensi dan konsistensi yang akan dibarengi dengan pemangkasan peraturan yang tidak relevan atau menghambat daya saing industri nasional. 2. Mempercepat proyek strategis nasional dengan menghilangkan berbagai hambatan, sumbatan dalam pelaksanaan dan penyelesaian proyek strategis nasional tersebut antara lain, penyederhanaan izin, penyelesaian tata ruang dan penyediaan lahan, percepatan pengadaan barang dan jasa pemerintah, serta diskresi dalam penyelesaian hambatan dan perlindungan hukum. 3. Meningkatkan investasi di sektor property untuk mendorong pembangunan perumahan khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah, serta membuka peluang investasi yang lebih besar di sektor properti. Kebijakan ini bertujuan untuk menggerakkkan kembali sektor riil yang akhirnya memberikan pondasi bagi lompatan kemajuan perekonomian Indonesia pada masa mendatang. Tiga langkah di dalam Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I tersebut diyakini Presiden Jokowi akan memperkuat industri nasional, akan mengembangkan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Termasuk akan memperlancar perdagangan antar-daerah, akan membuat pariwisata semakin bergairah, akan menjadikan kesejahteraan nelayan semakin membaik dengan menaikkan produksi ikan tangkap dan penghematan biaya bahan bakar sebesar 70% melalui konversi minyak solar ke elpiji. Dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dan peluang, aparatur negara dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang sebaik baiknya berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan penerima layanan, sehingga dapat meningkatkan daya saing dalam pemberian layanan, baik berupa barang maupun jasa. Undang undang No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah mengandung spirit terciptanya peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah memungkinkan terjadinya penyelenggaraan pelayanan dengan jalur birokrasi yang lebih ringkas dan memberikan peluang bagi pemerintah daerah dalam pemberian dan peningkatan kualitas layanan. Pengembangan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik merupakan salah satu 41

56 pilihan strategis untuk mengembangkan pemerintah yang baik (good governance) di Indonesia. Untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik sehingga terciptanya best practice, maka harus dilakukan berbagai inovasi yang disesuaikan dengan kondisi dan potensi yang dimiliki. Penyeragaman sistem pelayanan publik di setiap daerah tidak mungkin dilakukan karena Indonesia memiliki keberagaman dan kemajemukan dengan segala kompleksitasnya, baik dari segi wilayah, sosial kultural masyarakat, kualitas sumber daya manusia, hingga infrastruktur yang berbeda di setiap daerah. Tapi harus dipastikan adalah pada setiap sistem pelayanan public harus berdasarkan kriteria best practices yang ditelah ditetapkan. Kriteriabest practices menurut United Nations (Komarudin, 2007) adalah : 1. Dampak (impact), yaitu dampak positif, dapat dilihat (tangible) dalam meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat. 2. Kemitraan (partnership), yaitu kemitraan aktor-aktor yang terlibat. 3. Keberlanjutan (sustainability), yaitu membawa perubahan (institusi, legislasi, sosial, ekonomi;. efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas). 4. Kepemimpinan (leadership) dan pemberdayaan masyarakat (community empowerment), yaitu transfer (transferability) dan replikasi, tepat bagi kebutuhan lokal. 5. Kesetaraan gender dan pengecualian sosial (gender equality and social inclusion), yaitu kesetaraan dan keadilan gender. 6. Inovasi (innovation), innovation within local context and transferability, yaitu bagaimana pihak lain memperoleh manfaat dan inisiatif, alih pengetahuan dan keahlian. Dari kriteria tersebut dapat diidentifikasi berbagai sistem pelayanan publik yang ada di berbagai jenjang pemerintahan dan instasi yang ada. Ada beberapa hal baru dan inovatif yang kiranya bisa dilakukan dalam rangka pembenahan kinerja SDM aparat pemerintah di tanah air. Beberapa catatan yang dianggap urgen dapat dilihat dari beberapa hal berikut ini: 1. Upaya pembenahan kinerja SDM aparat pemerintah harus diawali dengan komitmen politik yang besar, baik pada tingkat makro maupun mikro. Pengalaman negara Australia memperlihatkan langkah pembenahan kinerja harus diwadahi dalam sebuah aturan hukum yang secara tegas men- 42

57 gatur perilaku aparat, adopsi nilai-nilai baru, pembenahan manajemen, struktur, sistem, dan sebagainya. Langkah legislatif secara konsisten dengan langkah administratif yang antara lain terlihat dari adanya alokasi badan implementasi tertentu, otoritas, serta sumberdaya pendukung lainnya. 2. Proses pembenahan kinerja senantiasa dilihat sebagai upaya yang sangat serius dan perlu segera dilakukan. Negara Australia memiliki badan atau komisi khusus yang diberi tanggung jawab untuk mengawal proses pembenahan tersebut. Bahkan, badan tersebut langsung berada di bawah pengawasan Perdana Menteri. Selain itu, badan tersebut sekaligus juga bertugas melakukan evaluasi, perbaikan, peninjauan kembali, dan sebagainya. Sekilas, langkah ini merefleksikan adanya sense of urgency dari pemerintah di negara tersebut untuk menempatkan pembenahan kinerja sebagai prioritas utama dengan berbagai alasan yang juga sudah diuraikan sebelumnya. 3. Semua pembenahan yang dilakukan memberikan perhatian besar pada aspek manusia. Perhatian diberikan pada setiap aspek pembenahan seperti ketentuan rekruitmen, penempatan, dan promosi. Dalam kaitan dengan hal itu, masalah nilai menempati sentral pada upaya pembenahan. Etos kerja, akuntabilitas, responsivitas, meritokrasi, profesionalisme, sensitivitas, dan produktivitas adalah beberapa nilai penting yang mendapat perhatain khusus diaustralia. Realisasi nilai-nilai tersebut menjadi sasaran utama dari program pembenahan sudah dan sedang dilakukan. Nilai-nilai itu selanjutnya dibakukan sebagai bagian integral dari beberapa public service code of conduct yang juga sudah diuraikan di atas. Realisasi nilainilai tersebut juga sangat bergantung pada beberapa hal seperti menciptakan struktur dan mekanisme manajerial yang kondusif, reformasi berbagai aturan pelayanan publik memperkenalkan dan mengadopsi nilai-nilai tersebut, implementasi sistem rekruitmen, pengembangan karir, dan gaji yang berdasarkat prinsip meritokrasi, dan perbaikan teknologi pendukung serta program-program pelatihan (UN, 2000). 4. Kendati sudah dijalankan secara sungguh-sungguh dengan tinggi, namun langkah pembenahan kinerja pelayan publik tidak dengan sertamerta membawa hasil yang diinginkan. Realisasi sasaran pembenahan sangat tergantung pada beberapa variabel lain. Dengan demikian, baik komitmen, otoritas, sumber daya finasial, dan kerangka kelembagaan saja tidak cukup. Langkah pembenahan harus ketersediaan orang-orang yang 43

58 berkualitas untuk mendukung proses tersebut. 5. Walaupun masih mengandung sejumlah keterbatasan, negara Australia di atas setidaknya sudah memberikan gambaran sekilas tentang bagaimana kinerja aparat pemerintah seharusnya diukur. Hal yang perlu diperhatikan adalah, bahwa proses pengukuran tersebut harus merupakan proses sistemik yang didasarkan pada aturan yang jelas. Aturan yang dimaksud tidak hanya semata-mata berorientasi pada tertib administrasi tetapi harus didasarkan pada nilai-nilai yang sudah diuraikan pada poin sebelumnya. Dengan kata lain, proses penilaian kinerja aparat tidak ditujukan untuk kepentingan administrasi semata, seperti melihat tingkat loyalitas seorang aparat terhadap unit kerja dan atasannya, tetapi lebih sebagai bagian integral untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas pelayanan publik secara umum. Oleh karenanya, butir-butir penilaian yang bersifat subjektif harus dieliminasi dengan menempatkan butir-butir penilaian substantif berkaitan dengan kontribusi seseorang terhadap proses penyelenggaraan pelayanan publik. Ombudsman sebagai Kontrol Pelayanan Publik Sumber daya manusia yang kurang memadai, birokrasi yang belum berjalan sebagaimana mestinya dan tanpa dukungan sarana-prasarana telah menegasikan hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik. Masyarakat kerap di ping-pong ataupun diperas dengan alasan se-ikhlasnya untuk mengganti biaya administrasi yang jelas-jelas sudah ditanggung negara ketika sedang membutuhkan pelayanan publik. Untuk sikap atau perilaku dari aparat pelayanan publik yang merugikan masyarakat, maka diperlukan pengawasan. Selama ini, pengawasan terhadap pelayanan publik hanya dilakukan secara internal kelembagaan dan cenderung tidak memperbaiki atau meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sejalan dengan asas umum penyelenggaraan pelayanan publik yang baik, yakni bersifat partisipatif, maka pengawasannya juga dilakukan dengan jalan melibatkan peran serta masyarakat. Dalam UU No. 25/2009 telah dijelaskan tentang peningkatan kualitas pelayanan publik agar menjadi baik, yakni dengan cara melakukan pengawasan aparat pelayanan publik. Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan dengan dua jalan, pertama pengawasan intern, dilakukan atasan dan aparat pengawasan fungsional. Kedua, pengawas ekstern yang dilakukan masyarakat secara langsung dan 44

59 pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman untuk memberikan perlindungan hak-hak masyarakat, keadilan dan kesejahteraan memperoleh pelayanan publik yang baik. Adapun tujuan dari diadakannya pengawasan terhadap pelayanan publik adalah terpenuhinya hak masyarakat mengakses layanan yang tersedia. Tanpa adanya pengawasan ekstern sangat sulit untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sebab, selama ini aparat public servant tidak sedikit yang masih belum memahami tugas dan pengabdiannya dalam memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga pengawas badan atau lembaga penyelenggara pelayanan publik merupakan lembaga yang sangat penting dalam mewujudkan good governance. Hal ini disebabkan karena lembaga penyelenggara pelayanan publik yang baik harus dapat memberikan pelayanan yang baik juga kepada masyarakat. Ini berkaitan erat dengan Indonesia yang merupakan negara hukum materil di mana tujuan negara hukum materil adalah untuk mensejahterakan rakyat. Penguatan dan optimalisasi peran Ombudsman dalam percepatan reformasi birokrasi. Berbagai upaya dan peranan yang harus dilakukan Ombudsman Republik Indonesia di antaranya adalah : 1. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ombudsman Republik Indonesia memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Namun, pada faktanya sampai saat ini rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ombudsman Republik Indonesia tidak mempunyai daya paksa terhadap instansi yang mendapatkan rekomendasi tersebut sehingga seringkali tidak ada tindak lanjutnya. Walaupun dalam Undang-undang No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dinyatakan bahwa bagi instansi yang tidak melaksanakan rekomendasi akan dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden, tetapi tetap saja tidak efektif. Artinya, bisa dikatakan bahwa kinerja yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia belum optimal. Perlu diberikan wewenang kepada Ombudsman Republik Indonesia, agar rekomendasi yang dikeluarkannya mempunyai daya paksa yang mengikat sehingga harus dilaksanakan oleh instansi terkait. 2. Pemberian reward and punishment kepada instansi penyelenggara pelayanan publik. Upaya ini dimaksudkan untuk memberikan penghargaan kepada instansi penyelenggara pelayanan umum. Wewenang ini menerapkan prinsip stick and carrots, yaitu pemberian sanksi dan penghargaan. Sanksi tersebut diberikan kepada instansi yang melanggar prinsip pelayanan 45

60 publik, sedangkan penghargaan diperuntukkan bagi yang melaksanakan pelayanan publik dengan baik. 3. Pengadaan peninjauan secara berkala yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia kepada instansi penyelenggara pelayanan publik. Ombudsman Republik Indonesia harus melakukan peninjauan secara berkala dan spontanitas ke instansi-instansi yang masuk dalam pengawasannya. Hal ini dilakukan dengan menjalankan amanah dari Pasal 43 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yaitu dengan membentuk perwakilan Ombudsman Republik Indonesia di daerah-daerah agar pelaksanaan wewenang ini bisa dilakukan secara optimal. Pembentukan Ombudsman sehingga kehadirannya betul-betul dapat menjadi lubrikasi bagi kelancaran sistem birokrasi atau sistem peradilan guna meningkatkan mutu pelayanan publik, perlu diapresiasi sebagaimana andil Ombudsman di negara-negara maju. Belajar dari pengalaman, sejauh ini patut dikuatirkan agenda reformasi hukum dan kelembagaan nasional hanya bersifat seremonial politik atau latah, tanpa dilandasi niat untuk menyempurnakan tata pemerintahan yang baik (good governance). Maladministrasi Publik kendati kata ombudsman (wakil sah seseorang) berasal dari Skandinavia, tapi sesungguhnya lembaga semacam Ombudsman pernah dipraktikkan di Cina sekitar 2000 tahun lalu selama Dinasti Han dan di Korea pada era Dinasti Choseon. Saat itu ibarat seseorang yang dipercayai rakyat dan didengar nasehatnya oleh raja, sehingga dapat memainkan peran dalam menjembatani penyelesaian masalah kerajaan dengan rakyatnya atau sebaliknya. Adalah Swedia yang pertama kali mendirikan lembaga ombudsman klasik (Justice Ombudsman) pada tahun Lembaga Parliamentary Ombudsman (Folketingets Ombudsman) yang lebih modern mulai didirikan di Denmark tahun 1955 dan kemudian New Zealand pada tahun Hingga sekarang lembaga ombudsman sedikitnya telah ada di 107 negara termasuk Indonesia, kurang lebih 50 di antaranya berlandaskan konstitusi dan lainnya diatur oleh undang-undang tersendiri. Umumnya tetap menggunakan nama ombudsman, meskipun di sejumlah negara (Perancis), Public Protector (Afrika Selatan), Wafaki 46

61 Mohtasib (Pakistan), Lok Ayukta (India). Umumnya ombudsman dikenal sebagai lembaga independen yang menerima dan menyelidiki keluhan-keluhan masyarakat yang menjadi korban kesalahan administrasi (maladministration) publik. Yaitu meliputi keputusan-keputusan atau tindakan pejabat publik yang ganjil (inappropriate), menyimpang (deviate), sewenang-wenang (arbitrary), melanggar ketentuan (irregular/illegitimate), penyalahgunaan kekuasaan (abuses of power) atau keterlambatan yang tidak perlu (undue delay) atau pelanggaran kepatutan (equity). Tetapi, sesungguhnya ombudsman tidak sekedar sebuah sistem untuk menyelesaikan keluhan masyarakat kasus demi kasus, yang utama mengambil inisiatif untuk mengkhususkan perbaikan administratif atau sistemik dalam upayanya meningkatkan mutu pelayanan masyarakat. Perkembangannya tidak saja state ombudsman yang mengurusi maladministrasi publik, tumbuh juga ombudsman yang dibentuk kalangan civil society dengan wilayah kerja yang lebih khusus. Di Inggris dan Australia, misalnya, selain ada state ombudsman, juga marak ombudsman industri seperti untuk sektor perbankan, telekomunikasi, perumahan, rumah sakit dan sebagainya. Di Swedia ombudsman pers yang dibentuk oleh asosiasi wartawan dan industri pers sangat efektif menangani keluhan-keluhan masyarakat yang dirugikan oleh pemberitaan media massa. Di tanah air penerbit pers yang telah memiliki ombudsman misalnya Kompas dan Jawa Pos. Dewan Pers pada tingkat tertentu juga telah menjalankan fungsi ombudsman pers. Dalam hal pemberantasan korupsi, ombudsman berbeda dengan fungsi lembaga represif antikorupsi seperti kejaksaan dan kepolisian. Walau begitu, dari waktu ke waktu fungsi dan wilayah kerja ombudsman juga mengalami perkembangan. Di negara-negara Amerika Latin dan Eropa Timur, ombudsman juga melakukan pengawasan terhadap masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan misalnya, di Philippina, Papua Nugini, Taiwan, atau Uganda ombudsman memiliki kewenangan lebih luas yaitu melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, layaknya Independen Commission Against Corruption (ICAC) atau kejaksaan di banyak negara. Fungsi ombudsman lebih tertuju pada perbaikan administrasi guna memastikan bahwa sistem-sistem tersebut membatasi korupsi sampai tingkat minimum, yakni penyelenggaraan administrasi yang transparan, efisien dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Dalam konteks good governance sumbangan terbesar ombudsman melalui kewenangannya dalam 47

62 melakukan peninjauan kebijakan publik mewakili publik, memberi peran langsung dalam upaya memperkuat dan melembagakan partisipasi masyarakat dalam mengontrol pemerintahan agar lebih transparan, akuntabel dan partisipatif. Ini penting mengingat tata pemerintahan yang baik hanya dimungkinkan kalau ada keseimbangan hubungan yang sehat antara negara, masyarakat dan sektor swasta, tidak boleh ada aktor kelembagaan di dalam governance yang mempunyai kontrol yang absolut. Korupsi tumbuh subur dalam situasi ketidakseimbangan hubungan tadi. OPTIMALISASI KINERJA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA Ditinjau dari sudut hukum tatanegara, negara adalah suatu organisasi kekuasaan, dan organisasi tersebut merupakan tata kerja dari alat-alat perlengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan. Tata kerja itu melukiskan hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban antara masing-masing alat perlengkapan negara itu mencapai suatu tujuan yang tertentu.[1]sebagai sebuah organisasi kekuasaan, negara dilekati banyak fungsi diantaranya fungsi reguler dan fungsi agent of development. Fungsi reguler berkaitan dengan pelaksanaan tugas yang mempunyai akibat langsung yang dirasakan oleh seluruh masyarakat, fungsi tersebut meliputi negara sebagai political state, negara sebagai diplomatik, negara sebagai sumber hukum, dan negara sebagai administratif. Sedangkan fungsi agent of development meliputi sebagai stabilisator stabilisasi politik, ekonomi, sosial dan budaya serta sebagai inovator dalam menciptakan ide-ide yang berhubungan dengan pembangunan. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun Seiring dengan perkembangan zaman, Indonesia juga mulai berkembang menjadi Negara hukum materiil atau welfare state dimana semua kegiatan dari segala aspek ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Welfare state menuntut adanya peran aktif birokrasi untuk mengatur peran warga negaranya. Kewenangan birokrasi yang demikian luasnya mengakibatkan timbulnya perbuatan tercela dalam birokrasi. Salah satu penyelewengan tersebut adalah adanya maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Adanya penyelewengan dalam pelaksanaan wewenang birokrasi me- 48

63 merlukan upaya reformasi birokrasi agar pelaksanaan wewenang tersebut tetap ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Salah satu upaya reformasi birokrasi tersebut antara lain adalah pengawasan terhadap tindakan birokrasi. Pengawasan tersebut ada dua macam yaitu pengawasan eksternal dan pengawasan internal. Dalam hal ini Ombudsman Republik Indonesia masuk ke dalam pelaksana pengawasan eksternal dari penyelenggara pelayanan publik. Ombudsman Republik Indonesia diperlukan sebagai upaya reformasi birokrasi dalam bidang pelayanan publik. Komisi Ombudsman Nasional ini berdiri pada tanggal 10 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional. Sejak berdiri Komisi Ombudsman Nasional sering mendapat pertanyaan terkait dengan fungsi dan peranan mendukung terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance). Bahkan ada yang menyatakan bahwa lembaga Ombudsman kurang efektif serta kurang memberi pengaruh dalam usaha perwujudan pemerintahan yang bersih. Saat ini, landasan hukum Ombudsman adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia. Gagasan perlunya dibentuk Undang-undang Ombudsman didasari niat untuk memperkokoh keberadaan KON sebagai lembaga pengawas eksternal atas penyelenggaraan negara. Dasar hukum yang baru ini juga mempengaruhi nama Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Keberadaan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia hanya mempertegas keberadaan Ombudsman secara yuridis saja tanpa adanya perluasan wewenang terhadap lembaga tersebut. Realitanya pada saat ini fungsi dari lembaga ini untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik kurang terlihat manfaatnya. Mengurus sebuah surat sertifikat tanah, akta atau dokumen lainnya, kenyataannya sangat sulit dan memakan waktu lama. Masyarakat kerap kali mengeluhkan buruknya pelayanan publik seperti ini. Hal ini menyebabkan bahwa keberadaan Ombudsman kurang dirasakan oleh masyarakat dan belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai sarana pengaduan akan pelayanan publik tersebut. Selain itu, out put dari Ombudsman hanyalah berupa rekomendasi yang mana tidak mempunyai sanksi mengikat bagi badan pelayanan publik untuk melaksanakan rekomendasi tersebut sehingga belum dapat 49

64 menjadi solusi untuk mewujudkan reformasi birokrasi. Ombudsman Indonesia muncul ditandai dengan adanya landasan yuridis berupa Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 44/ 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional. Keberadaan Komisi Ombudsman Nasional dengan dasar hukum berupa Keppres tidaklah kuat. Banyak pihak yang menganggap keberadaan Komisi Ombudsman Nasional tidak efektif bila diterapkan di Indonesia. Namun dalam prak20 menyampaikan keluhan-keluhan dan pengaduan lainnya mengenai sikap tindak para penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan yang tidak memberikan pelayanan publik yang baik. Untuk itu, perlu adanya dasar hukum yang lebih kuat bagi Komisi Ombudsman Nasional, agar keberadaan dan tanggung jawabnya dapat dilaksanakan dengan lancar. Ombudsman adalah institusionalisasi dari hak-hak sipil (hak-hak hukum) yang dimiliki oleh setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari institusi pemerintah. Dengan demikian, Ombudsman adalah lembaga yang memperjuangkan hak-hak sipil warga negara dalam berhubungan dengan pemerintah, karena pemerintah bertanggung jawab untuk merealisasikan hak-hak warga negara tersebut. Fungsi ombudsman pada dasarnya adalah fungsi mediasi antara pihak pelapor (anggota masyarakat) dan terlapor (aparatur negara dan aparatur pemerintah). Agar fungsi ini dapat berjalan dengan baik, maka setiap institusi pemerintah harus mempunyai prosedur dan alur administratif pelayanan publik dan aturan tingkah laku (code of conduct) aparatur negara di lingkungan pekerjaan masing-masing. Ombudsman dikenal sebagai lembaga independen yang menerima dan menyelidiki keluhan-keluhan masyarakat yang menjadi korban kesalahan administrasi (maladministration) publik. Dalam hal ini meliputi keputusankeputusan atau tindakan pejabat publik yang ganjil (inap-propriate), menyimpang (deviate), sewenang-wenang (arbitrary), melanggar ketentuan (irregular/illegitimate), penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), keterlambatan yang tidak perlu (undue-delay), atau pelanggaran kepatutan (equity). Tetapi sesungguhnya Ombudsman tidak sekedar sebuah sistem untuk menyelesaikan keluhan masyarakat kasus demi kasus, namun yang utama adalah mengambil inisiatif untuk mengkhususkan perbaikan administratif atau sistemik dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan 50

65 masyarakat. Keberadaan Komisi Ombudsman Nasional (KON) yang dibentuk pada tanggal 10 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 bertujuan meningkatkan pelayanan dan perlindungan hukum oleh aparat pemerintah dan peradilan kepada masyarakat. Saat ini telah dicabut dengan adanya pengesahan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia. Dengan demikian nama Komisi Ombudsman Nasional juga berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Ombudsman Indonesia dapat disebut sebagai lembaga negara yang berbentuk badan hukum publik, karena Ombudsman dibentuk oleh kekuasaan umum dan dimaksudkan untuk menyelenggarakan kegiatan yang mempunyai tujuan untuk kepentingan umum. Ombudsman perperan sebagai perantara/ penghubung aspirasi dan keluhan dari masyarakat. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia memberi definisi tentang Ombudsman Republik Indonesia yaitu lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Komisi Ombudsman Nasional dibentuk dengan pertimbangan bahwa : Pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka untuk melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia menyebutkan Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia menyebutkan Ombudsman dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berasaskan kepatutan, keadilan, non-diskriminasi, tidak 51

66 memihak, akuntabilitas, keseimbangan, keterbukaan dan kerahasiaan. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia menyebutkan Ombudsman bertujuan: 1. Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera 2. Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme 3. Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik 4. Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek Maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme; 5. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan. Mengenai Tugas dan Wewenang Ombudsman RI tercantum dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang selengkapnya Pasal 7, Tugas Ombudsman adalah : 1. Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; 2. Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan; 3. Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman; 4. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; 5. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan; 6. Membangun jaringan kerja; 7. Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan 8. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang. 52

67 Pasal 8 ayat (1), Wewenang Ombudsman adalah : 1. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; 2. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan; 3. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor; 4. Melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan; 5. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak; 6. Membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan; 7. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi. Pasal 8 ayat (2), Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman berwenang: 1. Menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik; 2. Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi. Mengenai rekomendasi Ombudsman, Rekomendasi adalah kesimpulan, pendapat, dan saran yang disusun berdasarkan hasil investigasi Ombudsman, kepada atasan Terlapor untuk dilaksanakan dan/atau ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang baik. Ombudsman menerima Laporan dan memberikan Rekomendasi apabila ditemukan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Rekomendasi disampaikan kepada Pelapor, Terlapor, dan atasan Terlapor dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Rekomendasi ditandatangani oleh Ketua Ombudsman. Menurut Pasal 37 ayat (2) Rekomendasi memuat sekurang-kurangnya: 53

68 1. Uraian tentang Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; 2. Uraian tentang hasil pemeriksaan; 3. Bentuk Maladministrasi yang telah terjadi; dan 4. Kesimpulan dan pendapat Ombudsman mengenai hal-hal yang perlu dilaksanakan Terlapor dan atasan Terlapor. Terlapor dan atasan Terlapor wajib melaksanakan Rekomendasi Ombudsman. Walaupun demikian, sebenarnya rekomendasi dari Ombudsman Republik Indonesia tidak mempunyai kekuatan hukum (non legally binding), tetapi bersifat morally binding. Rekomendasi yang bersifat morally binding pada dasarnya mecoba menempatkan manusia pada martabat mulia sehingga untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu seorang pejabat publik tidak harus diancam dengan sanksi hukum, melainkan melalui kesadaran moral yang tumbuh dari lubuk hati. Apabila dipandang perlu, Ombudsman dapat mendirikan perwakilan Ombudsman di daerah provinsi atau kabupaten/kota. Perwakilan Ombudsman mempunyai hubungan hierarkis dengan Ombudsman dan dipimpin oleh seorang kepala perwakilan. Kepala perwakilan dibantu oleh asisten Ombudsman. Ketentuan mengenai fungsi, tugas, dan wewenang Ombudsman secara mutatis mutandis berlaku bagi perwakilan Ombudsman. Saat ini telah ada beberapa perwakilan Ombudsman di daerah antara lain di wilayah DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, wilayah Sumatra Utara dan NAD, wilayah NTT dan NTB, dan Wilayah Sulawesi Utara dan Gorontalo. Tinjauan tentang Reformasi Birokrasi Reformasi berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Sistem sendiri diartikan suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi. Menurut Umar Said, pemimpin redaksi Harian Ekonomi Nasional 1965, Reformasi adalah mengubah, merombak, membangun kembali atau menyusun kembali. Reformasi bertujuan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang telah diwariskan. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, reformasi adalah perubahan radikal untuk perbaikan (bidang sosial, politik atau agama) di suatu masyarakat atau negara. Birokrasi dapat diartikan sebagai suatu organisasi pemerintahan yang terdiri dari sub-sub struktur yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, 54

69 yang memiliki fungsi, peran, dan kewenangan melaksanakan pemerintahan, dalam rangka mencapai suatu visi, misi, tujuan, dan program yang telah ditetapkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. Pada dasarnya birokrasi adalah sama dengan pemerintahan secara luas meliputi penyelenggaraan pemerintahan untuk mensejahterakan rakyat. Sedangkan reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaruan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan, terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process), sumber daya manusia aparatur. Reformasi Birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, Reformasi Birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Tap MPR-RI Nomor VI/2001 mengamanatkan agar Presiden membangun kultur birokrasi Indonesia yang transparan, akuntabel, bersih dan bertanggungjawab, serta dapat menjadi pelayan masyarakat abdi negara, contoh dan teladan masyarakat. Dalam Tap MPR-RI Nomor VII Tahun 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, salah satu Visi Indonesia 2020 yang dinyatakan dalam bab IV angka 9 yaitu baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara yang terdiri dari 3 (tiga) aspek, yaitu: 1. Terwujudnya penyelenggaraan negara yang profesional, transparan, akuntabel, memilik kreadibilitas dan bebas KKN 2. Terbentuknya penyelenggaraan negara yang peka dan tanggap terhadap kepentingan dan aspirasi rakyat di seluruh wilayah negara termasuk derah terpencil dan perbatasan 3. Berkembangnya transparansi dalam budaya dan perilaku serta aktivitas politik dan pemerintah. Tap MPR-RI Nomor XI Tahun 1998 juga menyatakan bahwa Penyelenggara negara pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab 55

70 kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Segala peraturan yang ada walaupun tidak menyebut secara implisit mengenai reformasi birokrasi tetapi secara eksplisit cita-cita penyelenggaraan yang bersih salah satunya adalah dengan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi sebagai suatu bentuk demokrasi pelayanan publik. Pelayanan publik mengacu kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Asas-asas pelayanan publik atau penyelenggaraan negara berdasarkan Pasal 3 undang-undang tersebut, di antaranya: 1. Asas Kepastian Hukum 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara 3. Asas Kepentingan Umum 4. Asas Keterbukaan 5. Asas Proporsionalitas 6. Asas Profesionalitas 7. Asas Akuntabilitas. Upaya Hukum untuk Meningkatkan Peranan Ombudsman Ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga pengawas badan atau lembaga penyelenggara pelayanan publik merupakan lembaga yang sangat penting dalam mewujudkan good governance. Hal ini disebabkan karena lembaga penyelenggara pelayanan publik yang baik harus dapat memberikan pelayanan yang baik juga kepada masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan Indonesia yang merupakan negara hukum materiil dimana tujuan negara hukum materiil adalah untuk mensejahterakan rakyat. Ombudsman Republik Indonesia sudah dibentuk dengan undang-undang yang berarti landasannya lebih kuat tetapi masih banyak kekurangan dalam lembaga tersebut. Kekurangan tersebut sangat berpengaruh pada kinerja Ombudsman Republik Indonesia dan kinerja yang kurang optimal tersebut menjadikan Ombudsman Republik Indonesia belum dapat melaksanakan apa yang diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Ketidaksinkronan tersebut menjadikan diperlukan pembenahan-pembenahan dengan meningkatkan peranan dari Ombudsman Republik Indonesia agar dapat mengimbangi semangat 56

71 reformasi birokrasi sehingga pencapaian good governance tidak hanya menjadi wacana semata. Upaya hukum yang dapat dilakukan untuk meningkatkan peranan Ombudsman Republik Indonesia di antaranya, yaitu: Kekuatan Mengikat Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia Upaya hukum yang pertama ini dengan memperluas wewenang Ombudsman Republik Indonesia yaitu memberikan wewenang dalam hal menindaklanjuti terhadap output dari pemeriksaan. Sampai saat ini rekomendasi yang dikeluarkan Ombudsman Republik Indonesia tidak mempunyai daya paksa terhadap instansi yang diberikan rekomendasi tersebut sehingga seringkali rekomendasi tersebut tidak ada tindak lanjutnya. Walaupun dalam Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dinyatakan bahwa bagi instansi yang tidak melaksanakan rekomendasi akan dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden tetapi tetap saja tidak efektif. Hal ini sama saja kinerja yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia tidak ada hasilnya. Oleh karena itu, perlu diberikan wewenang kepada Ombudsman Republik Indonesia agar keluaran dari Ombudsman Republik Indonesia mempunyai daya paksa yang mengikat sehingga harus dilaksanakan oleh instansi terkait. Wewenang yang dapat ditambahkan untuk Ombudsman Republik Indonesia berkaitan dengan rekomendasi yang dikeluarkan, misalnya: 1. Pemberian rekomendasi kepada suatu instansi dianggap sah apabila diumumkan dalam satu surat kabar nasional dan dua surat kabar harian lokal; 2. Pemberian rekomendasi harus disertai sekaligus dengan sanksi administratif apabila tidak dilaksanakan 3. Disertai denda Pemberian Reward kepada Instansi Penyelenggara Pelayanan Publik - Upaya ini adalah pemberian wewenang Ombudsman Republik Indonesia untuk memberikan penghargaan atau reward kepada instansi penyelenggara pelayanan umum. Wewenang ini menerapkan prinsip stick and carrotsyaitu pemberian sanksi dan penghargaan. Bagi instansi yang melanggar prinsip pelayanan publik maka dikenai sanksi sedangkan yang melaksanakan pelayanan publik dengan baik diberikan penghargaan. Penghargaan ataureward ada dua macam, yaitu: 57

72 1. Bagi instansi yang paling bersih, memberikan pelayanan publik yang sesuai dan tidak ada keluhan dari masyarakat akan pelayanan yang diberikan atau dugaan penyimpangan diberikan reward berupa best public institution sebagai sebuah prestasi bagi instansi tersebut; dan 2. Bagi instansi yang paling banyak pengaduan dari masyarakat dan penyimpangannya diberikan penghargaan berupa worst public institution dengan maksud agar instansi tersebut berupaya memperbaiki kinerjanya. Peninjauan Berkala Ombudsman Republik Indonesia kepada Instansi Penyelenggara Pelayanan Publik - Untuk menunjang wewenang yang kedua maka Ombudsman Republik Indonesia diberikan wewenang untuk mengadakan peninjauan secara berkala dan spontanitas ke instansiinstansi yang masuk ke dalam pengawasannya. Hal ini dilakukan dengan menjalankan amanah dari Pasal 43 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yaitu dengan membentuk perwakilan Ombudsman Republik Indonesia di daerah-daerah agar pelaksanaan wewenang ini bisa optimal. Permasalahan yang mungkin timbul adalah ketika di daerah tersebut sudah ada lembaga yang mempunyai kewenangan seperti Ombudsman Republik Indonesia hasil bentukan daerah tersebut. Hal ini mengakibatkan tumpang tindihnya kelembagaan apabila dibentuk perwakilan Ombudsman Republik Indonesia di daerah yang sudah ada lembaga sejenis misalnya di Medan, Bandung atau Yogyakarta. Restrukturisasi Kelembagaan Ombudsman Republik Indonesia Untuk menanggulangi upaya hukum yang ketiga maka perlu diadakan restrukturisasi kelembagaan Ombudsman Republik Indonesia. Upaya hukum ini termasuk juga perombakan lembaga sejenis yang telah ada dan merupakan bentukan daerah menjadi sebuah lembaga perwakilan Ombudsman Republik Indonesia di daerah tersebut sehingga struktur kelembagaannya menjadi jelas dan tidak tumpang tindih. EFEKTIVITAS KINERJA LEMBAGA OMBUDSMAN DALAM MENGAWASI PELAYANAN PUBLIK Pelayanan Publik dan Kinerja Ombudsman di Gorontalo Dalam Studi di Kantor Lembaga Ombudsman Perwakilan Provinsi Gorontalo, Fahrian Saleh menulis tentang efektivitas kinerja Lembaga Ombudsman dalam Mengawasi Pelayanan Publik. Dalam tulisannya, Fahrian Saleh menyebutkan, Lembaga Ombudsman memiliki peran yang sangat 58

73 kuat dalam terciptanya pelayanan publik yang baik. Terhitung sebagai lembaga baru yang baru didirikan berdasarkan UU yang ada, Lembaga Ombudsman menekankan pada kinerja dalam mengawasi penyelenggara pelayanan publik. Termasuk dalam menjalankan program-programnya seperti dengan menjalankan kegiatan sosialisasi berupa pengenalan mengenai lembaga Ombudsman, kegiatan investigasi, monitoring dan supervisi terhadap penyelenggara pelayanan publik berdasarkan isu-isu laporan maladministrasi yang ada. Dilanjutkannya, ditinjau dari Laporan tahunan Lembaga Ombudsman Perwakilan Provinsi Gorontalo, terhitung laporang yang masuk berjumlah 123 laporan. Hal ini tergolong sedikit dari keseluruhan wilayah jangkauan di provinsi Gorontalo. Pada penerapan kinerjanya Lembaga Ombudsman Perwakilan Provinsi Gorontalo juga mendapati berbagai macam kendala seperti Minimnya anggaran yang ada untuk dapat menjalankan kegiatan pengawasan dan kurangnya anggota atau personil yang ada di lembaga Ombudsman Perwakilan Provinsi Gorontalo. hal ini ini berdampak pada jumlah laporan yang masuk dalam lembaga ombudsman serta masih banyaknya tindakan-tindakan maladministrasi yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik di Provinsi Gorontalo sehingga sangat merugikan masyarakat dan pihak yang terkait. Selain dengan minimnya anggaran, Lembaga Ombudsman juga mendapati hambatan erupa kurangnya personil dalam menjalankan programprogram kerjanya. Dilihat berdasarkan UU yang ada Ombudsman Perwakilan Provinsi Gorontalo seharunya memiliki jumlah asisten sebanyak 5 anggota namun pada kenyataannya Ombudsman Perwakilan Provinsi Gorontalo hanya memiliki 3 asisten saja. Hal ini membuat asisten dari Ombudsman perwakilan provinsi Gorontalo harus bekerja lebih keras. Seperti dengan menggabungkan tugas pada bidang-bidangnya yang berbeda. Sehingga selain menjalankan tugas secara struktural asisten ombudsman perwakilan provinsi gorontalo juga harus menjalankan tugas secara fungsional. Melihat penjelasan yang tertulis sebelumnya mengenai Pelayanan publik dan segala penjelasan mengenai Lembaga Ombudsman, dapat dikatikan hubungannya dengan keadaan sekarang yaitu bagaimana kinerja dari lembaga ombudman sebagai Lembaga Pengawas penyelenggara Pelayanan Publik. Pada Konsep kenyataannya kinerja dari lembaga ombudsman patut dipertanyakan efektivitasnya dalam men- 59

74 jalankan tugas pokok dan fungsi serta wewenangnya. Hal ini ditandai dengan masih buruknya pelayanan publik yang terjadi selama ini karena tidak adanya paradigma yang jelas mengenai penyelenggara pelayanan publik. Kinerja pelayanan yang diberikan oleh birokrasi yang ada di indonesia masih cukup kuat watak yang mengabdi pada kekuasaan. Agus Sudrajat, dalam hasil surveinya menyebutkan pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, fasilitas sosial dan berbagi pelayanan yang dikelola oleh pemerintah daerah belum memuaskan masyarakat, kalah bersaing dengan pelayanan yang dikelola oleh pihak swasta. Dilihat dari permasalahan yang ada belum adanya kejelasan mengenai efektivitas dari kinerja Lembaga Ombudsman. Mengambil contoh kecil yang terjadi di Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo. Banyak dari masyarakat biasa dan sebagian masyarakat yang ada dalam ruang lingkup pendidikan belum mengetahui dengan jelas mengenai keberadaan Lembaga Ombudsman dan kinerjannya sebagai lembaga pengawas penyelenggara pelayanan publik perwakilan Provinsi Gorontalo. Masyarakat terkesan menutup mata akan buruknyanya pelayanan publik yang ada di lingkungan sekitarnya karena belum mengetahui dengan jelas pemahaman akan tupoksi dari lembaga Ombudsman perwakilan Gorontalo. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah ada program sosialisasi dan publikasi yang dilakukan dari pihak Lembaga Ombudsman Perwakilan Gorontalo pada masyarakat secara langsung. Ditinjau berdasarkan pengamatan hal ini menjadi dasar terciptanya keefektivan kinerja dari lembaga Ombudsman dan bisa dilihat ini menjadi standar ukuran baik buruknya pelayanan publik terhitung setelah dikeluarkannya UU NO 37/2008. Berdasarkan Observasi Fahrian Saleh, banyak juga sumber yang mengatakan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh lembaga Ombudsman khususnya Lembaga Ombudsman perwakilan Provinsi Gorontalo juga terletak pada anggaran untuk melakukan kinerjanya karena terhitung sangat sedikit. Hal ini menjadi hambatan dalam pelaksanaan kinerjanya. Disamping itu juga banyak para penyelenggara pelayanan publik yang masih menganggap remeh laporan dari lembaga ombudsman kepada pihak terkait karena belum mengetahui dengan jelas kewenangan yang ada dalam lembaga Ombudsman. 60

75 Daerah Gorontalo sebagai salah satu bagian dari Negara Indonesia masih didapati buruknya pelayanan publik yang ada didaerah ini. Salah satu indikasi dari permasalahan yang ada yaitu masih banyaknya masyarakat yang mendapatkan perlakuan buruk dalam pelayanan publik ketika hendak mengurus sesuatu yang berhubungan dengan administrasi. Seperti masih berbelit belitnya masyarakat dalam pengurusan pembuatan surat izin mendirikan bangunan dan pengurusan pembuatan KTP serta pembuatan sertifikat tanah dan lain-lain. Berbagai hal yang dikeluhkan masyarakat sehingga tidak membawa perubahan yang besar setelah dikeluarkannya UU NO 37 TAHUN 2008 mengenai Lembaga Ombudsman. Provinsi Gorontalo terletak antara Oo Lintang Utara dan Bujur Timur. Wilayah provinsi ini berbatasan langsung dengan dua provinsi lain, diantaranya Provinsi Sulawesi Tengah di sebelah Barat dan Provinsi Sulawesi Utara di sebelah Timur. Sedangkan di sebelah Utara berhadapan langsung dengan Laut Sulawesi dan di sebelah Selatan dibatasi oleh Teluk Tomini. Luas Provinsi Gorontalo secara keseluruhan adalah ,64 km2. Jika dibandingkan dengan wilayah Indonesia, luas wilayah provinsi ini hanya sebesar O,63 persen. Provinsi Gorontalo terdiri dari 5 (lima) kabupaten dan 1 (kota), yaitu Kabupaten Boalemo, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo Utara, dan Kota Gorontalo. Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan tinggi rendahnya tempat tersebut dari permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Dengan kondisi wilayah Provinsi Gorontalo yang letaknya di dekat garis khatulistiwa, menjadikan daerah ini mempunyai suhu udara yang cukup panas. Permukaan tanah di Provinsi Gorontalo sebagian besar adalah perbukitan. Oleh karenanya, provinsi ini mempunyai banyak gunung dengan ketinggian yang berbeda beda. Gunung Tabongo yang terletak di Kabupaten Boalemo merupakan gunung yang tertinggi di Provinsi Gorontalo. Sedangkan Gunung Litu Litu yang terletak di Kabupaten Gorontalo merupakan gunung terendah. Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Gorontalo Berdayakan Masyarakat Dalam memberdayakan masyarakat, pihak ombudsman perwakilan melakukan penyebarluasan informasi keberbagai bentuk antara lain : sosialisasi, talk show, dialog interaktif, sarasehan, kuliah umum, dan lainnya. 61

76 Tujuan kegiatan sosialisasi adalah dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat, memeberikan kesadaran kepada masyarakat atas hak mendapatkan layanan pemerintahan instansi penyelenggara pelayanan publik, mendorong institusi penyelenggara pelayanan publik untuk meningkatkan keptuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta menginventarisasi permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggara pelayanan publik sebagai bahan masukan dalam rangka perbaikan kepada instansi penyelenggara pelayanan publik. Pada tahun 2014 Ombudsman R1 Perwakilan Gorontalo, melaksanakan sosialisasi sebagai upaya pencegahan terjadinya maladministrasi antara lain : 1. Sosialisasi dan klinik pengaduan masyarakat secara langsung 2. Sosialisasi untuk jajaran pemerintah kota/kabupaten 3. Sosialisasi UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan UU NO 25 Tahun 2009 tentang pelayanan public 4. Sosialisasi tentang tugas, fungsi, wewenang untuk jajaran instansi 5. Sosialisasi dan pengawasan melalui pembukaan posko pengaduan penerimaan 6. Sosialisasi melalui radio, TV, dalam bentuk dialog interaktif. 7. Penyelenggara pelayanan publik diwilayah kerja RI peseta didik baru sebagai salah satu bentuk pencegahan OMBUDSMAN DAERAH DAN PEMBERDAYAANNYA Tulisan Teten Masduki berjudul Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya tentang Pembentukan Lembaga Ombudsman Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia di Yogyakarta, 23 Oktober 2003 dirasa sangat bermanfaat untuk melengkapi ini buku ini. Pada awal tulisannya, Teten Masduki mengingatkan bahwa, Ombudsman merupakan salah satu kelembagaan antikorupsi yang direkomendasikan ketetapan (TAP) MPR Nomor VIII tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Lembaga antikorupsi lain, yang juga direkomendasikan dibentuk perundang-undangannya meliputi Komisi Antikorupsi, Pencucian Uang, Perlindungan Saksi, Kebebasan Memperoleh Informasi dan sebagainya. Selanjutnya Teten menyebutkan, sesungguhnya rancangan undang- 62

77 undang (RUU) Komisi Antikorupsi dan Pencucian Uang kini tengah dibahas di DPR RI. Sementara Komisi Ombudsman Nasional (KON) pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid sudah dibentuk melalui Keppres Nomor 44 tahun 2000, dan sekarang berarti eksekutif ombudsman itu mau ditingkatkan menjadi parliamentary ombudsman dengan landasan hukum (constitutional basis) yang lebih tinggi untuk memberi keluasan jurisdiksi, wewenang dan kedudukan yang kokoh dan independen. Di masyarakat awam ombudsman belum banyak dikenal. Bahkan di kalangan praktisi hukum, DPR dan pemerintah, masih banyak yang menolak pembentukan ombudsman dengan berbagai alasan. Umumnya mereka berpandangan lebih baik membenahi kelembagaan pengawasan yang telah ada, dan memberdayakan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). di negeri Belanda perdebatan signifikansi pembentukan ombudsman berlangsung hampir 20 tahun sebelum akhirnya pada tahun 1981 diakomodasi di dalam konstitusi mereka, meskipun di sana sistem peradilan dan institusi demokrasi lainnya telah berjalan relatif sempurna. Hal yang sama juga terjadi di Perancis, pada mulanya mereka menentang pembentukan ombudsman karena menganggap PTUN paling efektif di dunia, meski kemudian pada tahun 1973 ombudsman didirikan. Yang sekarang relevan diperdebatkan barangkali bukan lagi perlu tidaknya, ombudsman. Prasyarat-prasyarat apa yang diperlukan dalam pembentukan ombudsman, sehingga kehadirannya betul-betul dapat menjadi lubrikasi bagi kelancaran sistem birokrasi atau sistem peradilan guna meningkatkan mutu pelayanan umum sebagaimana andil ombudsman di negara-negara maju. Pertanyaan ini perlu diajukan, sebab belajar dari pengalaman sejauh ini patut dikuatirkan agenda reformasi hukum dan kelembagaan nasional hanya bersifat seremonial politik atau latah, tanpa dilandasi niat untuk menyempurnakan tata pemerintahan yang baik (good governance). Maladministrasi Publik Kendati kata ombudsman (wakil sah seseorang) berasal dari Skandinavia, tapi sesungguhnya lembaga semacam ombudsman pernah dipraktikkan di Cina sekitar 2000 tahun lalu selama Dinasti Han dan di Korea pada era Dinasti Choseon. Saat itu ibarat seseorang yang dipercayai rakyat dan didengar nasehatnya oleh raja, sehingga dapat memainkan peran dalam menjembatani penyelesaian masalah kerajaan dengan rakyatnya atau sebaliknya. Adalah Swedia yang pertama kali mendirikan lembaga 63

78 ombudsman klasik (Justice Ombudsman) pada tahun Lembaga Parliamentary Ombudsman (Folketingets Ombudsman) yang lebih modern mulai didirikan di Denmark tahun 1955 dan kemudian New Zealand pada tahun Hingga sekarang lembaga ombudsman sedikitnya telah ada di 107 negara termasuk Indonesia, kurang lebih 50 diantaranya berlandaskan konstitusi dan lainnya diatur oleh undang-undang tersendiri. Umumnya tetap menggunakan nama ombudsman, meskipun di sejumlah negara (Perancis), Public Protector (Afrika Selatan), Wafaki Mohtasib (Pakistan), Lok Ayukta (India). Umumnya ombudsman dikenal sebagai lembaga independen yang menerima dan menyelidiki keluhan-keluhan masyarakat yang menjadi korban kesalahan administrasi (maladministration) publik. Yaitu meliputi keputusan-keputusan atau tindakan pejabat publik yang ganjil (inappropriate), menyimpang (deviate), sewenang-wenang (arbitrary), melanggar ketentuan (irregular/illegitimate), penyalahgunaan kekuasaan (abuses of power) atau keterlambatan yang tidak perlu (undue delay) atau pelanggaran kepatutan (equity). Tetapi, sesungguhnya ombudsman tidak sekedar sebuah sistem untuk menyelesaikan keluhan masyarakat kasus demi kasus, yang utama mengambil inisiatif untuk mengkhususkan perbaikan administratif atau sistemik dalam upayanya meningkatkan mutu pelayanan masyarakat. Pada perkembangannya tidak saja state ombudsman yang mengurusi maladministrasi publik, tumbuh juga ombudsman yang dibentuk kalangan civil society dengan wilayah kerja yang lebih khusus. Di Inggris dan Australia, misalnya, selain ada state ombudsman, juga marak ombudsman industri seperti untuk sektor perbankan, telekomunikasi, perumahan, rumah sakit dan sebagainya. Di Swedia ombudsman pers yang dibentuk oleh asosiasi wartawan dan industri pers sangat efektif menangani keluhankeluhan masyarakat yang dirugikan oleh pemberitaan media massa. Di tanah air penerbit pers yang telah memiliki ombudsman misalnya Kompas dan Jawa Pos. Dewan Pers pada tingkat tertentu juga telah menjalankan fungsi ombudsman pers. Dalam hal pemberantasan korupsi, ombudsman berbeda dengan fungsi lembaga represif antikorupsi seperti kejaksaan dan kepolisian. Walau begitu, dari waktu ke waktu fungsi dan wilayah kerja ombudsman juga mengalami perkembangan. Di negara-negara Amerika Latin dan Eropa Timur, ombudsman juga melakukan pengawasan terhadap masalah 64

79 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan misalnya, di Philippina, Papua Nugini, Taiwan, atau Uganda ombudsman memiliki kewenangan lebih luas yaitu melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, layaknya Independen Commission Against Corruption (ICAC) atau kejaksaan di banyak negara. Fungsi ombudsman lebih tertuju pada perbaikan administrasi guna memastikan bahwa sistem-sistem tersebut membatasi korupsi sampai tingkat minimum, yakni penyelenggaraan administrasi yang transparan, efisien dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Dalam konteks good governance sumbangan terbesar ombudsman melalui kewenangannya dalam melakukan peninjauan kebijakan publik mewakili publik, memberi peran langsung dalam upaya memperkuat dan melembagakan partisipasi masyarakat dalam mengontrol pemerintahan agar lebih transparan, akuntabel dan partisipatif. Ini penting mengingat tata pemerintahan yang baik hanya dimungkinkan kalau ada keseimbangan hubungan yang sehat antara negara, masyarakat dan sektor swasta, tidak boleh ada aktor kelembagaan di dalam governance yang mempunyai kontrol yang absolut. Korupsi tumbuh subur dalam situasi ketidakseimbangan hubungan tadi. Oleh Teten Masdui, kembali disebutkan bahwa fungsi Komisi Ombudsman Nasional di Indonesia tidaklah jauh berbeda dengan Ombudsman di banyak negara. Yaitu : 1. Mengakomodasi partisipasi masyarakat dalam upaya memperoleh pelayanan umum yang berkualitas dan efisien, penyelenggaraan peradilan yang adil, tidak memihak dan jujur; 2. Meningkatkan perlindungan perorangan dalam memperoleh pelayanan publik, keadilan, kesejahteraan dan dalam mempertahankan hakhaknya terhadap kejanggalan tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power), keterlambatan yang berlarut-larut (undue delay), serta diskresi yang tidak layak. Di banyak negara, ombudsman telah menjadi lembaga alternatif bagi warga masyarakat untuk menyelesaikan keluhan atau ketidakpuasan terhadap birokrasi pemerintah secara cepat, gratis, tidak perlu bayar pengacara dan aman (kerahasiaan pelapor terlindungi). Penyelesaian melalui lembaga peradilan untuk masalah maladministrasi telah banyak ditinggalkan karena lamban, mahal dan jauh dari kemudahan (non-user friendly). Pada tahun 2001 di KON tercatat ada 511 pengaduan 65

80 masyarakat, diantaranya sebanyak 45% menyangkut lembaga peradilan, polisi 11%, instansi pemerintah lainnya 7%. Bandingkan dengan Commonwealth Ombudsman Australia yang didirikan sekitar 25 tahun lalu, pada tahun menerima keluhan sebanyak kasus, yang sebagian besar (60%) berhubungan dengan masalah pajak. Kelihatan sekali efektifitas KON memang masih belum seberapa, karena akses dan kepercayaan masyarakat terhadap ombudsman masih rendah. Untuk konteks Indonesia, dengan luas wilayah kepulauan dan jumlah penduduk yang sangat besar, barangkali tidak mungkin semua masalah maladministrasi publik bisa ditangani oleh ombudsman nasional secara cepat dan murah. Dan dalam konteks otonomi daerah sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dimana hampir seluruh kewenangan public administration dilimpahkan ke daerah kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama; lima bidang. Maka harus dimungkinkan dibentuk ombudsman daerah ditingkat propinsi, kabupaten atau walikota yang independen. Bisa saja jurisdiksi dan kewenangan ombudsman daerah itu terbatas pada bidang public administration yang dilimpahkan daerah, sementara lima bidang vertikal yang menjadi kewenangan pusat ditangani ombudsman nasional. Jadi ada dua kelembagaan ombudsman di daerah, yaitu ombudsman daerah dan representatif ombudsman nasional. Atau bisa juga di daerah hanya ada satu ombudsman, yaitu ombudsman daerah yang melakukan dua fungsi sekaligus selain menangani administrasi publik di daerah, tapi juga berperan sebagai liaison official ombudsman nasional untuk menangani lima bidang kelembagaan vertikal tadi. Efektifitas dan Kekuatan Ombudsman Banyak pihak yang meragukan efektifitas ombudsman mengingat teguran atau rekomendasi-rekomendasi ombudsman bukan merupakan putusan pengadilan yang mengikat secara hukum (legal binding) sehingga tidak ada kewajiban untuk mematuhinya, karena ombudsman lebih merupakan mahkamah pemberi pengaruh (magistratur of influence). Hal itu barangkali ada benarnya, apalagi di tanah air, jangankan berupa anjuran moral, putusan pengadilan yang sudah berketetapan hukum tetap pun masih sulit untuk dijalankan. Tetapi disitulah justru kekuatan ombudsman yang menarik. Pendekatan yang ingin dibawa ombudsman adalah menyentuh kesadaran dan komitmen pribadi dari pejabat publik untuk mau 66

81 mentaati asas, hukum, prosedur, sistem, mengoreksi segala penyimpangan demi meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat seadil-adilnya. Tanpa ada kesadaran itu, sekharismatik dan sepiawai apapun person ombudsman-nya dalam mediasi dan negosiasi, atau sehebat apapun bobot rekomendasinya, ombudsman tidak akan pernah efektif. Seperti tadi putusan pengadilan yang mengikatpun tidak banyak artinya kalau tidak ada ketulusan untuk mematuhinya. Karena itu prasyarat dasar pembentukan ombudsman harus dimulai oleh suatu hasrat luhur dari bangsa ini untuk memperbaiki diri, mentaati asas, hukum atau sistem, menghormati HAM untuk meminimalkan pelbagai bentuk penyimpangan kekuasaan atau maladministrasi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tanpa dilandasi prinsip itu pembentukan ombudsman hanya akan sia-sia. Kekuatan ombudsman yang lain terletak pada kepercayaan semua pihak atas pertimbangan-pertimbangannya yang kredibel dan tidak berpihak (impartial), sehingga tidak boleh ada pihak-pihak atau institusi yang bisa mempengaruhi atau mengintervensi ombudsman dalam menjalankan wewenangnya (independent). Dalam hal ini menyangkut independensi kelembagaan, personal, maupun fungsional. Karena itu sedikitnya ada beberapa prasyarat utama yang perlu mendapat jaminan hokum : Dalam Hal Kelembagaan 1. Ombudsman harus bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga-lemabaga lain atau disubordinasi atau diawasi oleh kekuasaan negara, meskipun ombudsman dipilih DPR dan diangkat Presiden serta harus memberikan laporan pertanggungjawaban kepada yang memilihnya; 2. Sebagai mahkamah pemberi pengaruh, secara kelembagaan ombudsman harus berwibawa, sehingga perlu mendapatkan rekognisi politik yang kuat atau diberi kedudukan hukum yang tinggi (constitutional basis) setara dengan lembaga konstitusi lainnya; 3. Memiliki kekuasaan untuk memeriksa, mengajukan pertanyaan tertulis dan memaksanya untuk memberikan jawaban; memiliki keleluasaan untuk mengakses dokumen dan memaksa orang atau instansi untuk menyerahkan dokumen dan bukti-bukti yang relevan; memiliki hak inisiatif dan diskresi 67

82 melakukan penyelidikan dan mengajukan perbaikan sistemik; menyampaikan hasil penyelidikan, penilaian dan rekomendasi yang diusulkan kepada publik. 4. Banyak negara, efektifitas ombudsman dalam melakukan investigasi atau klarifikasi atas keluhan-keluhan masyarakat banyak ditentukan sejauh mana pengakuan hak rakyat untuk mengakses informasi dan mendapat informasi publik yang benar, yang diatur di dalam Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi Pemerintah (Freedom of Information Act). Bahkan ada sejumlah ombudsman yang landasan hukumnya UU tersebut. Dalam hal ini ada semacam government liability yang mewajibkan kepada pejabat publik agar mematuhi teguran ataui permintaan klarifikasi keluhan masyarakat yang pada dasarnya bersifat sukarela; 5. Menjalankan wewenangnya ombudsman harus diberikan kecukupan dana, dukungan manajerial dan administrasi; 6. Memiliki kekebalan (imunitas) dari berbagai tuntutan dan gugatan di pengadilan atas tindakan-tindakan dalam menjalankan kewenangannya; 7. Dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, sehingga ombudsman tidak melayani atau dinikmati hanya oleh segelintir orang. Secara Personal 1. Person ombudsman harus mendapat kepercayaan publik, nonpartisan, kompeten, memiliki kejujuran yang tinggi dan kedudukannya harus kuat, tidak mudah dipecat oleh pihak yang mengangkatnya. Karenanya, pemilihan person ombudsman harus melalui satu proses yang ketat dan terbuka bagi uji publik, dan kewenangan dan syarat-syarat pemberhentian Ombudsman harus diatur secara jelas dan hanya atas dasar alasan yang terbatas. 2. Karena tidak bisa memaksa, person ombudsman harus memiliki kemampuan persuasi (influencer), negosiasi, mediasi (arbiter), advokasi, lobbying, intermediasi (jembatan kepentingan publik dan negara), conflict resolver, dan advisor; 3. Memiliki kepercayaan diri dan keberanian dalam menjalankan kewenangannya. 68

83 OPTIMALISASI INVESTIGASI Maladministrasi OMBUDSMAN 69

BAB I PENDAHULUAN. dalam menjalankan fungsinya. Menurut World Bank, Good Governance adalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam menjalankan fungsinya. Menurut World Bank, Good Governance adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Good Governance muncul sebagai kritikan atas dominasi lembaga pemerintah dalam menjalankan fungsinya. Menurut World Bank, Good Governance adalah suatu penyelenggaraan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Lembaga Ombudsman RI 1. Sejarah Lembaga Ombudsman Ombudsman pertama kali dikenal di Negara Swedia. Istilah Ombudsman berasal dari bahasa Swedia yang berarti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelayanan kepada masyarakat

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN an dengan nama King s Highest Ombudsman. Meskipun demikian pada

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN an dengan nama King s Highest Ombudsman. Meskipun demikian pada 51 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Ombudsman Ombudsman pertama dibentuk oleh raja Charles XII di Swedia pada tahun 1700-an dengan nama King s Highest Ombudsman. Meskipun demikian pada dasarnya

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2000 TENTANG KOMISI OMBUDSMAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2000 TENTANG KOMISI OMBUDSMAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2000 TENTANG KOMISI OMBUDSMAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka untuk melakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelayanan kepada masyarakat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa pelayanan kepada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Teknologi informasi dipercaya sebagai kunci utama dalam sistem informasi manajemen. Teknologi informasi ialah seperangkat alat yang sangat penting untuk bekerja

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. Swedia. Istilah Ombudsman berasal dari bahasa Swedia yang berarti perwakilan.

BAB IV GAMBARAN UMUM. Swedia. Istilah Ombudsman berasal dari bahasa Swedia yang berarti perwakilan. BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran umum Ombudsman Cikal bakal Ombudsman yang kini hadir diseluruh dunia pertama kali dari negara Swedia. Istilah Ombudsman berasal dari bahasa Swedia yang berarti perwakilan.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelayanan kepada masyarakat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelayanan kepada masyarakat

Lebih terperinci

OMBUDSMAN (DAERAH) DAN PEMBERDAYAANNYA 1 Oleh: Teten Masduki

OMBUDSMAN (DAERAH) DAN PEMBERDAYAANNYA 1 Oleh: Teten Masduki OMBUDSMAN (DAERAH) DAN PEMBERDAYAANNYA 1 Oleh: Teten Masduki Ombudsman merupakan salah satu kelembagaan antikorupsi yang direkomendasikan ketetapan (TAP) MPR Nomor VIII tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelayanan kepada masyarakat

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konflik 1. Pengertian Konflik merupakan sesuatu yang tidak bisa terhindarkan dalam kehidupan manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara yang dapat

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demokrasi, desentralisasi dan globalisasi. Jawaban yang tepat untuk menjawab

BAB I PENDAHULUAN. demokrasi, desentralisasi dan globalisasi. Jawaban yang tepat untuk menjawab BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Memasuki abad 21, hampir seluruh negara diberbagai belahan dunia (termasuk Indonesia) menghadapi tantangan besar dalam upaya meningkatkan sistem demokrasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan yang terlepas dari kekuasaan eksekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 4 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN SUMENEP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat : : BUPATI SUMENEP

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M No.73, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Penyelenggaraan. Pembinaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6041) PERATURAN

Lebih terperinci

PENDAPAT AKHIR FRAKSI PARTAI DEMOKRAT T E R H A D A P RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG OMBUDSMAN

PENDAPAT AKHIR FRAKSI PARTAI DEMOKRAT T E R H A D A P RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG OMBUDSMAN PENDAPAT AKHIR FRAKSI PARTAI DEMOKRAT T E R H A D A P RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG OMBUDSMAN Juru Bicara : H. DADAY HUDAYA, SH, MH Nomor Anggota : A- 92 Assalamu`alaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera untuk

Lebih terperinci

2016, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang; b. bahwa Pasal 22B huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tent

2016, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang; b. bahwa Pasal 22B huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tent No.1711,2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAWASLU.Pemilihan.Gubernur.Bupati.Walikota.Pelanggaran Administrasi. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PELANGGARAN ADMINISTRASI TERKAIT LARANGAN MEMBERIKAN

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN. berawal dari kekaisaran romawi yang mempunyai institusi Tribunal Plebis

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN. berawal dari kekaisaran romawi yang mempunyai institusi Tribunal Plebis BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN A. Sejarah Lembaga Ombudsman Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta Sejarah kata Ombudsman berarti adalah wakil/perwakilan kelompok. Ombudsman sendiri dalam dunia internasional

Lebih terperinci

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan wacana yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gagasan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan Indonesia mengalami perubahan cepat di era reformasi. Proses demokratisasi dilakukan

Lebih terperinci

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PERKEMBANGAN KONTEMPORER SISTEM ETIKA PUBLIK Dewasa ini, sistem etika memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, pikiran, perilaku, dan kebijakan pemerintahan negara

Lebih terperinci

Kebutuhan Pelayanan Publik

Kebutuhan Pelayanan Publik BAB I Pendahuluan Bagian pendahuluan merupakan uraian yang mengantarkan pembaca untuk memahami apa yang dibicarakan dalam buku ini. Uraian terbagi dalam tiga subbab, yakni kebutuhan perbaikan pelayanan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5943 ADMINISTRASI. Sanksi. Pejabat Pemerintahan. Administratif. Tata Cara. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 230) PENJELASAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Menuju Masyarakat Informasi Indonesia

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Menuju Masyarakat Informasi Indonesia KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Menuju Masyarakat Informasi Indonesia PARADIGMA BARU PELAYANAN INFORMASI DALAM ERA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK *) Oleh : Amin Sar Manihuruk, Drs,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. governance) melalui upaya penegakan asas-asas pemerintahan yang baik dan

BAB I PENDAHULUAN. governance) melalui upaya penegakan asas-asas pemerintahan yang baik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gerakan reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan ketatanegaraan yang didasarkan pada pemerintahan yang demokratis dan berlandaskan hukum (rule of law). Sebelum reformasi,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN YANG BERSIH

PEMERINTAHAN YANG BERSIH ISSN : 0215-9635, Vol. 18 No. 2 Th. 2006 PEMERINTAHAN YANG BERSIH Agus Razikin Dosen Politeknik Pratama Mulia Surakarta ABSTRAK Berawal dari tumbangnya sebuah rezim yaitu Orde Barn di negeri yang sekian

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG RANCANGAN UNDANG UNDANG

RANCANGAN UNDANG UNDANG RANCANGAN UNDANG UNDANG RUU-AP VERSI NOVEMBER 2007 (SARAN RAPAT RANCANGAN UNDANG UNDANG NOMOR TAHUN TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) PENGADILAN AGAMA TUAL TUAL, PEBRUARI 2012 Halaman 1 dari 14 halaman Renstra PA. Tual P a g e KATA PENGANTAR Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NKRI) tahun 1945

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara adalah suatu organisasi yang terdiri dari masyarakat yang mempunyai sifat-sifat khusus antara lain sifat memaksa, dan sifat monopoli untuk mencapai tujuannya.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 5-1991 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 2004 POLITIK. KEAMANAN. HUKUM. Kekuasaaan Negara. Kejaksaan. Pengadilan. Kepegawaian.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin bangsa, negarawan pendiri NKRI dengan segala kekurangan dan kelebihannya telah berhasil merumuskan konstitusi Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kewajiban pemerintah adalah untuk menyelenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kewajiban pemerintah adalah untuk menyelenggarakan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu kewajiban pemerintah adalah untuk menyelenggarakan pelayanan pemerintahan yang baik kepada masyarakat atau publik sebagai bagian dari hak masyarakat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelayanan kepada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU SALINAN GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci

Dalam Acara Deklarasi Pembangunan Zona Integritas. Menuju Wilayah Bebas Korupsi

Dalam Acara Deklarasi Pembangunan Zona Integritas. Menuju Wilayah Bebas Korupsi SAMBUTAN KETUA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA Danang Girindrawardana Dalam Acara Deklarasi Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Korupsi Yth. Bapak Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan RB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan bernegara,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan bernegara, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat yang didasarkan pada penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang demokratis

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.182, 2014 LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. selaku pejabat publik dengan masyarakat. Dan komunikasi tersebut akan berjalan

BAB 1 PENDAHULUAN. selaku pejabat publik dengan masyarakat. Dan komunikasi tersebut akan berjalan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Informasi adalah kebutuhan pokok bagi setiap manusia untuk dapat mengembangkan hidupnya baik secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya serta keamanan dalam

Lebih terperinci

2017, No Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

2017, No Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1035, 2017 OMBUDSMAN. Laporan. Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian. Pencabutan. PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENERIMAAN,

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sementara pelayanan publik bukanlah suatu hal yang baru. Terdapat beberapa hal

BAB I PENDAHULUAN. Sementara pelayanan publik bukanlah suatu hal yang baru. Terdapat beberapa hal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum tingkat pelayanan publik di Indonesia saat ini masih rendah. Sementara pelayanan publik bukanlah suatu hal yang baru. Terdapat beberapa hal yang menunjukkan

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA HUBUNGAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF DALAM PELAKSANAAN LEGISLASI, BUDGETING, DAN PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA HUBUNGAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF DALAM PELAKSANAAN LEGISLASI, BUDGETING, DAN PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA HUBUNGAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF DALAM PELAKSANAAN LEGISLASI, BUDGETING, DAN PENGAWASAN Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI Disampaikan pada Forum Konsolidasi Pimpinan

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 24 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 3 Tahun 2015 Seri E Nomor 3 PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 3 Tahun 2015 Seri E Nomor 3 PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR Nomor 3 Tahun 2015 Seri E Nomor 3 PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN Diundangkan dalam Lembaran Daerah Kota Bogor Nomor

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA Bahan Panja Hasil Timus RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

OMBUDSMAN 1 Oleh: Antonius Sujata

OMBUDSMAN 1 Oleh: Antonius Sujata OMBUDSMAN 1 Oleh: Antonius Sujata I. FAKTA-FAKTA SEJARAH PERTAMA KALI DIKENAL DI SWEDIA (1809) BERKEMBANG DI NEGARA-NEGARA SKANDINAVIA DAN EROPA LAINNYA SERTA NEGARA-NEGARA COMMONWEALTH TAHUN 1983 TERDAPA

Lebih terperinci

H. Marzuki Alie, SE.MM. KETUA DPR-RI

H. Marzuki Alie, SE.MM. KETUA DPR-RI H. Marzuki Alie, SE.MM. KETUA DPR-RI Ceramah Disampaikan pada Forum Konsolidasi Pimpinan Pemerintah Daerah Bupati, Walikota, dan Ketua DPRD kabupaten/kota Angkatan III 2010 di Lembaga Ketahanan Nasional(Lemhannas-RI).

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM

BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PENANGANAN PENGADUAN MASYARAKAT TERPADU DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PENANGANAN PENGADUAN MASYARAKAT TERPADU DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PENANGANAN PENGADUAN MASYARAKAT TERPADU DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

2016, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN.

2016, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN. No.261, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HAK ASASI MANUSIA. Organisasi Kemasyarakatan. Pelaksanaan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5958) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci