BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Teoretis tentang Partisipasi Politik. Istilah partisipasi berasal dari dua kata dalam bahasa Latin, pars yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Teoretis tentang Partisipasi Politik. Istilah partisipasi berasal dari dua kata dalam bahasa Latin, pars yang"

Transkripsi

1 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoretis tentang Partisipasi Politik 1. Pengertian Partisipasi Politik Istilah partisipasi berasal dari dua kata dalam bahasa Latin, pars yang berarti bagian, dan capere yang berarti mengambil; sehingga partisipasi berarti mengambil bagian. Istilah partisipasi politik diterapkan pada aktivitas orang dari semua tingkat sistem politik. Pengertian partisipasi politik secara umum yaitu keterlibatan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu kegiatan politik. Dalam keterlibatannya tersebut, seseorang atau sekelompok orang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung. Jadi, pada dasarnya, yang dinamakan partisipasi politik adalah keikutsertaan rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mempengaruhi kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Keterlibatan rakyat secara aktif dalam kehidupan politik merupakan suatu indikasi bahwa rakyat memiliki perhatian terhadap persoalanpersoalan politik kenegaraan yang sedang terjadi dalam suatu negara. Berkaitan dengan partisipasi politik, Budiardjo (1982:1) mengemukakan bahwa yang dinamakan partisipasi politik adalah: Kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara

2 17 dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Miriam Budiardjo, Ramlan Surbakti (1992:140) juga berpendapat serupa. Surbakti mendefinisikan partisipasi politik sebagai keterlibatan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Sedangkan Rush dan Althop (2000:123) turut memberikan pendapatnya tentang partisipasi politik. Menurut mereka, yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan partisipasi politik, seperti pemilihan umum, penyampaian pendapat, baik secara langsung maupun tidak langsung, serta partisipasi melalui masyarakat di lingkungan keluarga dan kemasyarakatan. Partisipasi politik erat kaitannya dengan ciri masyarakat politik yaitu kritis-partisipatif. Dengan kata lain, memanifestasikan suatu masyarakat politik adalah membentuk masyarakat politik yang kritis dan partisipatif. Belum terwujudnya masyarakat yang kritis dan partisipatif adalah karena persoalan budaya dan sistem politik. Oleh karena itu, manifestasi masyarakat politik harus melalui kebudayaan dan sistem. Listyarti (2007:154) menyebutkan ciri-ciri masyarakat politik sebagai berikut: a. Adanya peningkatan opini publik dalam merespon suatu kebijakan pemerintah b. Adanya partisipasi rakyat dalam mendukung atau menolak sebuah kebijakan publik

3 18 c. Adanya peningkatan partisipasi rakyat dalam berbagai kegiatan organisasi politik, organisasi masyarakat, maupun kelompokkelompok penekan. Partisipasi dilakukan menurut kemampuan, kesiapan dan kesempatan masing-masing. Setiap warga negara perlu mempersiapkan diri agar mampu berpartisipasi aktif dalam sistem politik yang ada. Partisipasi politik bukanlah dominasi setiap warga negara. Partisipasi politik berhaluan kepada kehendak untuk mempengaruhi pemerintah yang sedang berkuasa. Mengenai hal tersebut diterangkan sesuai dengan pendapat. Huntington dan Nelson (Sudijono Sastroatmodjo, 1995:68) yang menyatakan: Partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara preman (privat citizen) yang bertujuan untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Dengan demikian terdapat penjalasan tentang siapa yang berpartisipasi secara jelas, prosesnya dan tujuan partisipasi tersebut. Subyek pokoknya ialah warga negara. Prosesnya adalah mempengaruhi kondisi yang sedang terjadi dalam pemerintah. Tujuannya ialah mempengaruhi keputusan pemerintah. Lebih jauh lagi Budihardjo (Sudijono Sastroatmodjo, 1995:68) menyebutkan: mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung (public policy). Dalam pengertian ini terungkap bahwa partisipasi politik bukanlah sematamata kegiatan individu saja, tetapi juga dapat dilakukan secara berkelompok atau organisasi sesuai dengan kondisinya. Tetapi ada suatu titik fokus tertentu bahwa

4 19 partisipasi politik itu bertujuan hanya untuk memilih pimpinan negara. Unsur lainnya bahwa kegiatan atau aktivitas yang merupakan partisipasi itu dilakukan ada yang secara langsung, tetapi dapat juga dilakukan secara tidak langsung. Dan seperti definisi sebelumnya bahwa partisipasi politik itu adalah untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam rangka pembentukan kebijakan umum dalam struktur pemerintahan. Sejalan dengan pendapat itu ialah apa yang diungkapkan oleh Sudijono Sastroatmodjo (1995:67): Partisipasi politik itu merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah. Definisi tersebut seolah merangkum seluruh definisi yang telah diungkap sebelumnya bahwa partisipasi politik itu murni hak dari setiap warga negara dalam keterlibatannya dalam proses pembentukan keputusan guna memperoleh suatu produk kebijaksanaan. Jadi prosesnya tetap yaitu mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam pembentukan kebijaksanaan. Partisipasi politik bertujuan untuk mempengaruhi mekanisme pemerintah, namun selain itu juga perlu diperjelas bahwa partisipasi politik memiliki kepentingan lain yaitu sebagai alat kontrol bagi berjalannya suatu sistem. Bahkan lebih jauh lagi bahwa partisipasi politik adalah suatu media untuk mengembangkan sistem politik, agar mekanisme politik itu hidup dan berjalan sesuai dengan prosesnya. Pada akhirnya sistem politik dapat berjalan kearah tujuan dengan stabil dan sukses. Anggapan ini bersandar pada pendapat Alfian (1986:255) yang mengemukakan pendapatnya: Kalau asumsi ini mempunyai

5 20 unsur-unsur kebenaran, maka partisipasi aktif anggota-anggota masyarakat dalam politik bisa bertindak sebagai mekanisme dalam mengendalikan (mekanisme pengontrol) manipulasi-manipulasi politik sehingga bisa menjamin kelangsungan hidup suatu sistem politik secara stabil dan dinamis. Dari beberapa pendapat tersebut dapatlah diketahui bahwa partisipasi politik merupakan kegiatan warga masyarakat dalam berbagai struktur masyarakat baik disadari atau pun tidak untuk mempengaruhi proses-proses politik dalam penentuan pengambilan kebijakan pemerintah, serta sebagai mekanisme control bagi berlangsungnya dan hidupnya sistem politik. 2. Bentuk-bentuk Partisipasi Politik Pada umumnya partisipasi politik dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan ataupun kesadaran dan kepercayaan seseorang terhadap sistem politik yang ada di lingkungannya. Dari sini akan ditentukan pula berbagai tipe atau bentuk partisipasi politik dalam masyarakat. Jefferi M. Paige mengemukakan empat macam partisipasi politik yang kemudian dikutip Alfian (1986: ): pertama, kalau pengetahuan/kesadaran politik masyarakat tinggi dan kepercayaan mereka terhadap sistem politik juga tinggi, maka mereka akan berpartisipasi secara aktif. Partisipasi mereka itu sehat karena mereka loyal dan mendukung sistem politik. Kedua, partisipasi politik terjadi kalau pengetahuan/kesadaran politik yang tinggi dibarengi oleh kepercayaan yang rendah terhadap sistem politik yang berlaku. Suasana ini mengundang adanya sikap dan tingkah laku yang tampak membangkang, disertai sikap kurang atau tidak responsif dari mereka yang berkuasa dalam sistem politik itu. Ketiga, terjadi jika

6 21 pengetahuan/kesadaran yang rendah berkaitan dengan kepercayaan yang tinggi terhadap sistem politik. Dalam suasana seperti itu, masyarakat memang tidak aktif berpolitik. Keempat, muncul bilamana pengetahuan/kesadaran politik yang rendah bertalian dengan kepercayaan yang rendah pula terhadap sistem politik. Dalam hal ini, walaupun masyarakat bersikap pasif, namun dalam kepasifannya itu mereka tertekan, terutama oleh karena perlakuan yang mereka anggap sewenang-wenang dari penguasa. Dari pendapat itu diketahui adanya empat tipe partisipasi, yaitu partisipasi politik aktif, membangkang, tradisional, dan pasif. Bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai negara, dapat di bedakan dalam kegiatan politik yang berbentuk konvensional dan nonkonvensional, termasuk yang mungkin legal (seperti petisi) maupun illegal, penuh kekerasan dan revolusioner. Berikut ini adalah bentuk-bentuk partisipasi politik menurut Almond (Budiyanto, 2006:181): Tabel 1.1 Bentuk-bentuk Partisipasi Politik Konvensional Pemberian suara (voting) Diskusi politik Kegiatan kampanye Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan Komunikasi individual dengan pejabat politik administrasi Non-Konvensional Pengajuan petisi Berdemonstrasi Konfrontasi Mogok Tindak kekerasan politik terhadap harta benda; perusakan, pemboman, pembakaran Tindak kekerasan politik terhadap manusia; penculikan, pembunuhan, perang gerilya revolusi

7 22 Dalam hal partisipasi politik, Rousseau (Budiyanto, 2006:181) menyatakan bahwa Hanya melalui partisipasi seluruh warga negara dalam kehidupan politik secara langsung dan berkelanjutan, negara dapat terikat kedalam tujuan kebaikan sebagai kehendak bersama. Berbagai bentuk pasrtisipasi politik tersebut dapat dilihat dari berbagai kegiatan warga negara yang mencakup antara lain: 1. Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menentukan kebijakan Negara. 2. Lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi input terhadap kebijakan pemerintah. 3. Pelaksanaan pemilu yang memberi kesempatan kepada warga negara untuk dipilih atau memilih, misalnya: berkampanye, menjadi pemilih aktif, menjadi anggota perwakilan rakyat, menjadi calon kepala daerah yang dipilih langsung, dan sebagainya. 4. Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan output kepada pemerintah, misalnya: melalui unjuk rasa, petisi, protes, demonstrasi, dan sebagainya. Dari berbagai aktivitas ini, kita bisa melihat keberagaman aktivitas dalam partisipasi politik dari hal yang paling sederhana hingga yang kompleks, dari bentuk-bentuk yang mengedepankan kondisi damai sampai tindakan-tindakan kekerasan. Namun seluruh aktifitas ini termasuk dalam kerangka partisipasi

8 23 politik. Pembuat dan pelaksana kebijakan, serta partisipan terlibat untuk mempengaruhi jalannya proses tersebut agar sesuai kepentingan dan aspirasinya. 1. Memberikan suara dalam pemilu Memberikan suara dalam pemilu merupakan bentuk partisipasi politik aktif yang paling mudah dan murah biayanya untuk dijalankan. Para pemilik suara tinggal datang ke tempat pemungutan suara dan menjalani proses pemberian suara sesuai prosedur yang berlaku. 2. Terlibat dalam kegiatan kampanye Terlibat dalam kegiatan kampanye juga relatif mudah untuk dilaksanakan walau mungkin memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang lebih banyak disbanding sekedar memberikan suara dalam pemilu. 3. Membentuk dan bergabung dalam organisasi kemasyarakatan Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan juga merupakan bentuk partisipasi politik normal. Dengan kegiatan berorganisasi warga negara sudah melakukan partisipasi politik karena organisasi itu nantinya akan terlibat dalam proses-proses politik dalam sistem politik yang bersangkutan. 4. Diskusi politik Diskusi politik adalah proses memperbincangkan secara kritis berbagai isu politik yang berkembang. Diskusi ini umumnya akan bermuara pada rekomendasi atau pendapat tentang persoalan yang terjadi ataupun alternatif solusinya. Diskusi politik dapat dilakukan baik di dalam organisasi di mana seseorang menjadi anggotanya maupun di berbagai forum yang diselenggarakan oleh berbagai pihak di masyarakat.

9 24 5. Komunikasi pribadi dengan pimpinan politik atau pejabat pemerintah Komunikasi pribadi dengan pimpinan politik atau pejabat pemerintah juga dapat dilakukan oleh setiap warga negara sebagai bentuk partisipasi politiknya. Hanya saja kesibukan para pemimpin partai atau pejabat pemerintah itu mungkin menyulitkan terjadinya komunikasi semacam itu. Rakyat juga dapat menyalurkan aspirasi melalui berbagai cara non konvensional seperti, demonstrasi, mogok boikot, dan pembangkangan sipil. Semua tindakan ini mengandung nuansa protes terhadap kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah ataupun tindakan yang telah diambil oleh pihak oposisi. Dalam negara demokrasi, rakyat mempunyai hak untuk memprotes segala sesuatu yang dipandang merugikan kepentingan bersama. Kegiatan ini lazim digunakan untuk mempengaruhi kehidupan politik dan kebijakan pemerintah apabila kegiatan lain tidak dapat dilakukan, atau tampaknya tidak efektif untuk mencapai tujuan. 1. Demonstrasi Demonstrasi atau unjuk rasa adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massal. Dengan demikian demonstrasi umumnya berupa kegiatan sekelompok massa untuk memprotes tindakan atau kebiajakn pemerintah atau pihak lain yang dianggap merugikan kepentingan demonstrans atau kelompok masyarakat yang diwakilinya. Oleh karena murah, mampu mempersatukan kelompok, dapat menimbulkan simpati dari banayak pihak, dan memperoleh

10 25 publikasi gratis, demonstrasi cenderung digunakan oleh banyak pihak dalam mencapai tujuan politiknya. 2. Mogok dan boikot Istilah mogok secara harafiah berarti tidak dapat berjalan/bekerja sepeti biasanya. Dalam kehidupan ekonomi, istilah mogok atau mogok kerja berarti penghentian kerja secara bersama-sama oleh sekelompok pekerja dalam rangka mencapai tujuan-tujuan yang lebih bersifat ekonomis, bukan politis. Sebagai salah satu cara partisipasi politik, kini mogok juga dilakukan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat sebagai cara untuk mewujudkan tujuantujuan politik tertentu. Kita sering mendengar istilah mogok makan sebagai salah satu bentuk protes warga masyarakat terhadap kebiajakan pemerintah tertentu. Kita juga mengenal istilah boikot. Istilah boikot secara harafiah berarti bersama-sama menolak untuk bekerja sama (berurusan dagang, berbicara, ikut serta, dan sebagainya). 3. Pembangkangan sipil tanpa kekerasan Pembangkangan sipil tanpa kekerasan (nonviolent civil disobedience) adalah perlawanan (dalam bentuk ketidakpatuhan) warga masyarakat tanpa kekerasan terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan. Dalam melaksanakan pembangkangan sipil, para pelaku pertama-tama harus menggali sebanyak mungkin kemungkinan bernegosiasi/bermusyawarah menyelesaikan masalah secara damai dengan pihak lawan atau pemerintah. Hanya ketika semua jalan musyawarah sudah buntu, pembangkangan sipil boleh dilakukan. Para

11 26 pembangkang mencari berbagai cara (tanpa kekerasan) untuk membuat segalanya tidak nyaman bagi lawan politik atau pemerintah. Cara-cara yang biasanya ditempuh antara lain menolak bekerja sama dengan pemerintah (menolak membayar pajak, tidak menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri, atau hanya duduk-duduk di tengah jalan). Jika pemerintah menangkap dan memenjarakan mereka, para pembangkang tidak boleh melawan. Tujuan akhir gerakan ini bukan sekedar menarik simpati dari pihak luar, melainkan juga untuk mengubah pandangan dan tindakan pihak lawan/pemerintah. Demikian cara-cara partisipasi politik yang dapat kita jalankan dalam sistem politik demokrasi. Cara partisipasi yang manakah yang benar-benar akan kita pergunakan tentu sangat bergantung pada kesempatan, kemauan, dan kesiapan masing-masing warga negara untuk berperan serta aktif dalam menyelesaikan berbagai macam persoalan hidup kenegaraan yang harus muncul dari waktu ke waktu. Beberapa bentuk partisipasi politik yang tentu saja pada beberapa pendapat lain akan memiliki beberapa perbedaan. Tetapi perbedaan itu tidaklah substansial, sebab pada prinsip pokoknya akan sama saja, hanya konteks keberlakuannya akan dilihat oleh ilmuwan dari sudut pandang yang mana. Partisipasi politik yang ada dalam masyarakat atau lebih luasnya adalah negara, senantiasa cenderung tidak sama untuk setiap masyarakat. Masing-masing sesuai dengan kepribadian dan kemampuan individunya.

12 27 Dari uraian pendapat diatas, berbagai bentuk partsipasi politik terbagi dalam berbagai macam bentuk sesuai dengan tingkat pemahaman dan minat serta respon atau tanggapan setiap individu tersebut terhadap politik. Tapi hal penting yang perlu diketahui ialah bahwa bentuk partisipasi politik itu dapat dibedakan dalam bentuk yang aktif dan yang pasif. Adapun bentuk yang aktif antara lain: partisipasi melalui organisasi politik atau kemasyarakatan yang ada, rapat umum atau demonstrasi, penyaluran melalaui media massa, pemberian suara, serta diskusi politik termasuk juga di dalamnya ialah tindak kekerasan politik. Sedangkan yang termasuk dalam partisipasi politik pasif diantaranya ialah alienasi, apatisme, terhadap politik. Memang seolah-olah dalam sikap apatisme politik seseorang atau individu tidak terlibat dalam suatu proses politik. Tetapi dari sikapnya itu cukup diketahui bahwa sesungguhnya ia memiliki penilaian tersendiri terhadap politik. Sehingga sikapnya itu dapat dianggap sebagai partisipasi politik dalam bentuk lain. 3. Tingkatan Partisipasi politik Secara umum partisipasi politik banyaklah memiliki kesamaan di berbagai bentuk sistem. Seperti halnya yang digambarkan oleh Miriam Budiardjo (1982:6) bahwa partisipasi politik merupakan piramida dari berbagai aktivitas yang dilakukan individu, sekelompok individu ataupun kelompok dalam proses politik dimulai dari keterlibatan pejabat partai sepenuh waktu, aktivitas pimpinan partai atau kelompok kepentingan dan aktif dalam persoalan-persoalan sosial. Disamping itu mereka juga aktif menghadiri rapat umum, anggota

13 28 partai/kelompok kepentingan, membicarakan masalah politik, mengikuti perkembangan politik melalui media massa, dan memberikan suara dalam Pemilu. Ada dua kiteria tingkat-tingkat partisipasi politik. Pertama, dilihat dari ruang lingkup atau proporsi dari suatu kategori warga negara yang melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan partisipasi politik. Kedua, intensitas atau ukuran lamanya, dan arti penting dari kegiatan khusus itu bagi sistem politik. Hubungan tingkat-tingkat partisipasi tampak dalam hubungan berbanding terbalik. Lingkup partisipasi politik yang besarnya biasanya terjadi dalam intensitas kecil atau rendah, misalnya partisipasi dalam pemilihan umum. Sebaliknya, jika lingkup partisipasi rendah atau kecil, intensitasnya semakin tinggi. Contoh, kegiatan aktivis-aktivis partai politik, pejabat partai politik, dan kelompok-kelompok penkan. Semakin luas ruang lingkup partisipasi politik, maka semakin rendah atau kecil hasil intensitasnya. Dan sebaliknya, semakin kecil ruang lingkup partisipasi politik, intensitasnya semakin tinggi. Sebagai ilustrasi, dapat kita lihat piramida partisipasi politik dari David F. Roth dan Frank L. Wilson (Budiyanto, 2006:183) di bawah ini:

14 29 Aktivis (Menyimpang) Pembunuhan politik, teroris, pembajak Pejabat umum, pejabat parpol sepenuh waktu, pimpinan kelompok kepentingan Partisipan Petugas kampanye, aktif dalam parpol/kelompok kepentingan, aktif dalam proyek-proyek sosial Pengamat Menghadiri rapat umum, anggota kelompok kepentingan, usaha meyakinkan orang, memberikan suara dalam pemilu, mendiskusikan masalah politik, perhatian pada perkembangan politik Orang yang apolitis Berdasarkan piramida partisipasi politik di atas, bisa ditemukan tingkatan partisipasi politik. Semakin tinggi tingkat partisipasi politik, semakin tinggi tingkat intensitasnya, dan semakin kecil luas cakupannya. Sebaliknya, semakin menuju ke bawah, semakin besar lingkup partisipasi politik dan semakin kecil intensitasnya. Pada tingkat pengamat, seperti mengahadiri rapat umum, memberikan suara dalam pemilu, menjadi anggota kelompok kepentingan, mendiskusikan masalah politik, perhatian pada perkembangan poltik, dan usaha meyakinkan orang lain, merupakan contoh-contoh kegiatan yang banyak dilakukan oleh warga negara, artinya proporsi atau lingkup jumlah orang yang terlibat di dalamnya

15 30 tinggi. Namun tidak demikian dengan intensitas partisipasi politiknya, terutama apabila dikaitkan dengan arti pentingnya bagi sistem politik, praktik-praktik tersebut pengaruhnya rendah atau tingkat efektifitasnya dalam mempengaruhi kebijakan yang dibuat pemerintah, membutuhkan waktu dan sumber daya yang cukup banyak. Pada kategori aktivis, para pejabat umum, pejabat partai penuh waktu, pimpinan kelompok kepentingan merupakan pelaku-pelaku politik yang memiliki intensitas tinggi dalam berpartisipasi politik. Mereka memiliki akses yang cukup kuat untuk melakukan contacting dengan pejabat-pejabat pemerintah, sehingga upaya-upaya untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan pemerintah menjadi sangat efektif. Terutama bagi pejabat umum, secara politis mereka memiliki peluang yang cukup kuat dalam mempengaruhi kebijakan politik yang dibuat pemerintah, bahkan secara individual bisa mempengaruhi langsung. Namun warga negara yang terlibat dalam praktik-praktik partisipasi politik di tingkat aktivis jumlahnya terbatas, hanya diperuntukkan bagi sejumlah kecil orang (terutama elit politik), yang memiliki kesempatan untuk terlibat dalam proses politik dengan mekanisme dan kekuatan pengaruh seperti ini. Kegiatan partisispasi politik di tingkat aktivis ditempuh bukan saja dengan cara-cara yang formal dan prosedural atau mengikuti aturan yang ditetapkan, dapat juga dengan cara-cara non formal, tidak mengikuti jalur yang ditetapkan secara hukum, bahkan sampai tindakan kekerasan. Tindakan yang dilakukan bias berupa pembunuhan, tindakan-tindakan terorisme nasional dan internasional, dan pembajakan. Perluasan kegiatan pemerintah dalam berbagai bidang membawa

16 31 konsekuensi adanya tindakan-tindakan yang semakin menyusup ke segala segi kehidupan rakyat. Ruang lingkup aktivitas atau tindakan pemerintah yang semakin luas mendorong timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik. Dari pendapat tersebut ternyata diketahui bahwa partisipasi politik terbagi ke dalam empat tingkatan. Tingkatan pertama, diisi oleh para aktivis atau individu pelaku partisipasi politik dalam kedudukannya sebagai elit politik. Tingkatan yang kedua, diisi oleh partisipan yang merupakan individu aktivis di luar elit politik. Tingkat ketiga, adalah para pengamat politik yang tidak terjun langsung ke dalam kancah politik tetapi memiliki kontribusi yang besar bagi sistem dan partisipasi politik. Sedangkan kelompok yang keempat, diisi oleh kelompok individu yang tidak memiliki respek sama sekali di dalam masalah-masalah politik. Mereka itu adalah golongan apatis. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi politik Seseorang melakukan partisipasi politik bukanlah semata-mata tanpa alasan. Mereka melakukan itu karena ada dasarnya, disamping memiliki tujuantujuan tertentu. Disinilah adanya suatu motif yang melatarbelakangi seseorang itu berpartisipasi dalam mekanisme sistem politik. Selanjutnya Rush dan Althoff (1990:167) mengemukakan empat faktor yang berkaitan dengan variasi partisipasi politik, yaitu: (1) Sejauh mana orang menerima perangsang politik; (2) Karakteristik pribadi seseorang; (3) Karakteristik sosial seseorang; (4) Keadaan politik atau lingkungan politik dalam mana seseorang dapat menemukan dirinya sendiri.

17 32 Kavanagh dalam F. S. Swantoro (1997:180) mengungkapkan bahwa ada lima pendekatan untuk menganalisa tingkah laku pemilih dalam pemilu, dalam hal ini jika dikaitkan dengan Pilkada Kota Tegal, yaitu: 1. Structural Approach. Pendekatan ini percaya bahwa tingkah laku politik seseorang, termasuk menentukan pilihan politiknya, sangat ditentukan oleh pengelompokkan sosialnya. Pengelompokkan ini umumnya didasarkan atas kelas sosial, agama, desa-kota, bahasa dan nasionalisme. 2. Sociological Approach. Hampir sama dengan pendekatan stuktural. Keduanya berpendapat bahwa tingkah laku politik seseorang sangat dipengaruhi oleh identifikasi mereka terhadap satu kelompok, serta normanorma yang dianut oleh kelompok itu. Bedanya, dalam pendekatan sosiologis, mobilitas seseorang untuk keluar dari satu kelompok dan bergabung dengan kelompok yang lain masih dimungkinkan. 3. Ecological Approach. Pendekatan ini percaya bahwa faktor-faktor yang bersifat ekologis, seperti daerah, sangat menentukan tingkah laku politik seseorang. Misalnya, mereka yang lahir dan dibesarkan di daerah pesisir pantai, lebih bersikap demokratis dibandingkan dengan yang berada di daerah pegunungan. 4. Social Psychological Approach. Pendekatan ini percaya bahwa tingkah laku dan keputusan politik seseorang, sangat dipengaruhi oleh interaksi antara faktor-faktor internal, seperti sistem kepercayaan, dan faktor eksternal, seperti pengalaman politik.

18 33 5. Rational Choice Approach. Pendekatan ini merupakan kelanjutan dari pendekatan psikologi sosial. Di sini orang percaya, bahwa dengan makin modernnya masyarakat, makin tinggi tingkat pendidikan mereka, maka warga masyarakat akan selalu memperhitungkan keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh bila melakukan satu tindakan politik. Di antara kelima pendekatan di atas, Kavanagh menilai pendekatan Social Psychological sebagai yang paling unggul untuk meneliti tingkah laku politik seseorang, termasuk menentukan keputusan untuk ikut memilih atau tidak dan pilihan mendukung calon kepala daerah tertentu, karena seperti banyak ditemukan oleh berbagai peneliti, tindakan politik lebih banyak diwarnai oleh gejolak emosional daripada menggunakan rasio. Dari sudut pandang pendekatan psikologis, banyak faktor yang menentukan tindakan memilih yang dilakukan warga masyarakat dalam hal ini pemilih pemula, yaitu identifikasi ke satu partai, isu yang berkembang, dan kandidat yang tampil serta ditampilkan. Sementara itu Weber (1990:181) mengemukakan empat tipe motif untuk berpartisipasi yaitu: (1) yang rasional bernilai, didasarkan atas penerimaan secara rasional akan nilai-nilai dalam suatu kelompok; (2) yang afektual emosional, didasarkan atas kebencian atau antusiasme terhadap suatu ide, organisasi atau individu; (3) yang tradisional, didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu dari suatu kelompok sosial; dan (4) yang rasional bertujuan, didasarkan atas keuntungan pribadi. Berbagai motif dan faktor dalam partisipasi politik pada dasarnya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor psikologi individu dan kondisi

19 34 sosial atau kelompok yang berpengaruh bagi seseorang individu. Disamping itu sistem politik juga menentukan motif-motif individu untuk berpartisipasi politik. Faktor yang menyebabkan orang berpartisipasi politik bisa didasarkan oleh pendidikan politik. Menurut Ramdlon Naning, (Budiyanto, 2006:185) pendidikan politik adalah Usaha untuk memasyarakatkan politik, dalam arti mencerdaskan kehidupan politik rakyat, meningkatkan kesadaran setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; serta meningkatkan kepekaan dan kesadaran rakyat terhadap hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya terhadap bangsa dan negara. Berdasarkan pendapat itu maka pendidikan politik, diharapkan masyarakat akan memperoleh manfaat atau kegunaan; 1. Dapat memperluas pemahaman, penghayatan, dan wawasan terhadap masalah-masalah atau isu-isu yang bersifat politis. 2. Mampu meningkatkan kualitas diri dalam berpolitik dan berbudaya politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Lebih meningkatkan kualitas kesadaran politik rakyat menuju peran aktif dan partisipasinya terhadap pembangunan politik bangsa secara keseluruhan. Pendidikan seseorang turut menentukan tingkat partisipasinya disamping juga pekerjaan dan status sosial. Hal ini sejalan dengan pendapat Hogerwerf yang dikutip oleh Mulyana (1998:36), yang menyatakan pendapatnya sebagai berikut: Suatu faktor penting yang berkaitan dengan partisipasi politik, adalah status sosial. Orang-orang dengan pendapatan lebih tinggi, pendidikan yang lebih tinggi, pekerjaan dengan status yang lebih tinggi banyak berpartisipasi daripada yang lainnya.

20 35 Dengan demikian berdasarkan pendapat tersebut pada dasarnya disetujui bahwa pendidikan dan status sosial seseorang berpengaruh terhadap tingkat partisipasinya politiknya. Hal ini dapat dimengerti karena pendidikan dan status sosial seseorang turut menentukan kesadaran politiknya. Semakin tinggi pendidikan seseorang dan semakin tinggi status sosialnya biasanya akan semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya. Pendidikan politik merupakan aktifitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi poltik pada individu. Pendidikan politik akan memunculkan loyalitas dan perasaan politik, serta pengetahuan dan wawasan politik yang menyebabkan seseorang memiliki kesadaran terhadap persoalan politik dan sikap politik. Disamping itu, ia bertujuan agar setiap individu mampu memberikan partisipasi politik yang aktif di masyarakatnya. Pendidikan politik merupakan aktifitas yang terus berlanjut sepanjang hidup manusia. Dengan demikian pendidikan politik memiliki dua tujuan: membentuk kepribadian politik dan partisipasi politik. Pembentukan kepribadian politik dilakukan melalui metode tak langsung, yaitu pelatihan dan sosialisasi, serta metode langsung berupa pengajaran politik dan sejenisnya. Adapun partisispasi politik, terwujud dengan keikutsertaaan individu-individu secara sukarela dalam kehidupan politik masyarakatnya. Kurang terdidiknya warga negara secara politik, telah menyebabkan mereka cenderung pasif dan mudah dimobilisasi untuk kepentingan pribadi dari para elite politik. Lebih dari itu, mereka juga tidak bisa ikut mempengaruhi secara

21 36 signifikan proses-proses pengambilan keputusan yang berkaitan erat dengan kehidupan mereka. Padahal, proses demokratisasi yang sehat mensyaratkan adanya partisipasi politik yang otonom dari warga negara. Partisipasi politik yang otonom ini, hanya dapat dimungkinkan jika warga negara cukup terdidik secara politik. Selanjutnya fator lain yang menyebabkan seseorang berpartisipasi politik adalah berdasarkan faktor kesadaran politik. Menurut M. Taopan, (Budiyanto, 2006:185) kesadaran politik adalah Suatu proses batin yang menampakkan keinsafan dari setiap warga negara akan urgensi urusan kenegaraan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kesadaran politik menjadi penting dalam kehidupan kenegaraan, mengingat tugas-tugas negara bersifat meyeluruh dan kompleks sehingga tanpa dukungan positif dari seluruh warga masyarakat, tugas-tugas negara banyak yang terbengkalai. Di negara berkembang khususnya Indonesia, masyarakat yang hidup di pedesaan jauh lebih banyak dibandingkan masyarakat perkotaan, menuntut penanganan sungguh-sungguh dari aparat pemerintah atau penguasa setempat. Masyarakat pedesaan yang secara kuantitatif jauh lebih besar memiliki kesadaran politik yang minim sehingga berdampak pada kehidupan politik nasional. Hal ini jelas akan berpengaruh terhadap kemajuan perkembangan nasional di segala bidang. Dalam hal kesadaran politik masyarakat, Arbi Sanit (Budiyanto, 2006:185) antara lain menyatakan: Sekalipun sudah bangkit kesadaran nasional dan meningkatnya aktivitas kehidupan politik di tingkat pedesaan, namun masyarakat tani masih belum terkait secara aktif kepada pemerintah nasional dalam hubungan

22 37 timbal balik yang aktif dan responsif. Hubungan yang ada baru bersufat berat sebelah, yaitu dari atas ke bawah Bila dihubungkan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara, partisipasi politik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai wujud tanggung jawab negara yang berkesadaran politik tinggi dan baik. Dengan demikian sesungguhnya kegiatan-kegiatan pendidikan politik, kesadaran politik, dan partisipasi politik masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan perlu terus didorong dan ditingkatkan demi keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional. Kesadaran politik warga negara menjadi faktor determinan dalam partisipasi politik masyarakat, artinya berbagai hal yang berhubungan pengetahuan dan kesadaran akan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan lingkungan masyarakat dan kegiatan politik menjadi ukuran dan kadar seseorang terlibat dalam proses partisipasi politik. Berdasarkan fenomena ini maka W. Page (A. Rahman H.I. 2007:289) memberikan model partisipasi politik menjadi empat tipe yaitu model partisipasi politik meliputi partisipasi aktif, pasif (apatis), militant (radikal), dan sangat pasif (pada output politik). Penjelasan dari empat model partisipasi politik di kemukakan sebagai berikut: a. Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi maka partisipasi politik cenderung aktif. b. Sebaliknya kesadaran dan kepercayaan sangat kecil maka partisipasi politik menjadi pasif dan apatis.

23 38 c. Kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan terhadap pemerintah lemah maka perilaku yang muncul adalah militan radikal. d. Kesadaran politik rendah tetapi kepercayaan pada pemerintah tinggi maka partisipasinya menjadi sangat pasif, artinya hanya berorientasi pada output politik. Kebalikan dari partisipasi politik adalah sikap apatis. Seseorang dinamakan apatis, jika dia tidak mau ikut serta dalam berbagai kegiatan politik kenegaraan di berbagai bidang kehidupan Kesadaran berpolitik merupakan unsur penting sebagai salah satu penunjang partisipasi dan demokratisasi. Dengan memiliki kesadaran berpolitik maka masyarakat tidak mudah tertipu oleh janji politik atau iming-iming yang lain. Politik jangan dipandang sebagai sesuatu yang elit, atau bahkan dipandang negatif sebagai alat peraih kekuasaan. Justru dengan memiliki kesadaran berpolitik, masyarakat mampu berpolitik dengan sehat, mengembangkan kesadaran berpolitik semenjak dini, bukan demi meraih kekuasaan, tapi demi mencapai negara yang demokratis, adil, makmur dan sejahtera. Selain itu pula faktor lain perlunya sosialisasi politik. Studi tentang sosialisasi politik telah menjadi bidang kajian yang sangat menarik akhir-akhir ini. Ada dua alasan yang melatarbelakangi sehingga sosialisasi politik menjadi kajian tersendiri dalam politik kenegaraan, yaitu: Pertama, sosialisasi politik dapat berfungsi untuk memelihara suatu sistem, yaitu agar stabilitas berjalan dengan baik dan posistif. Dengan demikian sosialisasi merupakan alat agar individu sadar dan merasa cocok dengan sistem serta kultur (budaya) politik yang ada. Kedua,

24 39 sosialisasi politik ingin menunjukkan relevansinya dengan sistem politik dan data mengenai orientasi anak-anak terhadap kultur politik orang dewasa, dan pelaksanaannya di masa mendatang mengenai sistem politik. Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses dengan jalan mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi pada politik. Adapun alat yang dapat dijadikan sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi politik, antara lain: 1. Keluarga (family) Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan efektif adalah keluarga. Di mulai dari keluarga inilah orang tua dengan anak sering melakukan obrolan politik ringan tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi transfer pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu. 2. Sekolah Melalui pelajaran civics education (pendidikan kewarganegaraan), siswa dan guru saling bertukar informasi dan berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai politik teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah memperoleh pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai politik yang benar dari sudut pandang akademis. 3. Partai Politik Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan peran sebagai agen sosialisasi politik. Ini berarti partai politik tersebut mampu

25 40 menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari satu generasi ke generasi berikutnya. Partai politik harus mampu menciptakan image memperjuangkan kepentingan umum, agar mendapat dukungan luas dari masyarakat dan senantiasa dapat memenangkan pemilu. Sementara itu menurut Myron Weiner (A. Rahman H.I, 2007:286), dipahami Adanya partisipasi politik yang luas yaitu, modernisasi, perubahan stuktur strata sosial, pengaruh intelektual, konflik dan intervensi yang kuat dan luas. Penjelasan dari lima penyebab timbulnya gerakan kearah partisipasi lebih luas dalam proses politik dapat di kemukakan sebagai berikut: a. Modernisasi, kemajuan dalam segala bidang kehidupan menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut dalam kakuasaan politik. b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial, masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik. c. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern, ide demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru dan masyarakat seiring berkembangnya modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang. d. Konflik antar kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antara elit maka yang di cari adalah dukungan rakyat, terjadi perjuangan kelas antara para pesaing politik maka kelompok-kelompok politik mencari strategi untuk meraih dukungan massa.

26 41 e. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan, meluasnya ruang lingkup aktifitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik. Sosialisasi politik merupakan proses memalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana dia berada. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari kanak-kanak sampai dewasa. B. Tinjauan Teoretis tentang Pemilihan Kepala Daerah 1. Pengertian Pemilihan Kepala Daerah Langsung Prihatmoko (2005:71) mendefinisikan Pilkada langsung sebagai Pemilihan kepala daerah yang melibatkan, mendorong dan membuka akses partisipasi seluruh warga yang memenuhi syarat sebagai pemilih dan terbuka kemungkinan sebagai calon, serta pengawal proses pelaksanaan. Sementara itu, menurut Amirudin (2006:2) Pilkada langsung adalah sebuah lompatan demokrasi, yang bisa diartikan positif maupun negatif. Dalam pengertian positif, Amirudin (2006:2) menyebutkan bahwa Pilkada langsung adalah sarana demokrasi yang memberikan kesempatan kepada rakyat sebagai infrastruktur politik untuk memilih kepala daerah secara langsung melalui mekanisme pemungutan suara. Hal ini menunjukkan bahwa Pilkada langsung akan membuat keseimbangan dengan suprastruktur politik, karena melalui pemilihan langsung rakyat dapat menentukan jalannya pemerintahan dengan memilih pimpinan yang dikehendaki secara bebas dan rahasia.

27 42 Sementara itu, dalam pengertian negatif, Amirudin (2006:2) mengartikan Pilkada langsung sebagai lompatan demokrasi yang mencerminkan penafsiran sepihak atas manfaat dan proses Pilkada. Proses ini sering dianggap sebagai pesta demokrasi rakyat, dimana rakyat berhak untuk berbuat apa saja, termasuk tindakan-tindakan anarki, baik atas inisiatif sendiri maupun di mobilisasi oleh pihak lain yang ingin mengambil keuntungan sendiri dari kejadian itu. Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, menyebutkan dalam Pasal 1 ayat (1), bahwa yang dimaksud dengan Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Di Indonesia, kemajuan demokratisasi mulai ditandai dengan adanya kebebasan mengemukakan pendapat, pembatasan atas kekuasaan, pemilihan umum, dan pemilihan jabatan-jabatan publik yang kompetitif, termasuk di dalamnya pemilihan Kepala Daerah secara langsung (Pilkada langsung). Seiring dengan itu pula, partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam proses politik semakin tinggi secara utuh dan sebagai wujud nyata atas pertanggungjawaban dan akuntabilitas pemerintah, sehingga suasana kondusif tercipta antara pemerintah dan rakyat.

28 43 Pilkada langsung ini diatur melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian beberapa ketentuan diubah, perubahan tersebut tercantum dalam UU No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang kemudian diubah melalui PP No. 17 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun PP No. 17 Tahun 2005 diubah kembali melalui PP No. 25 Tahun 2007 dan diubah kembali melalui PP No. 49 Tahun 2008, sebagai landasan yuridis formal penyelenggaraan Pilkada langsung, telah terbukti mampu menghasilkan Kepala Daerah pilihan rakyat. Dari beberapa pengertian tentang Pilkada langsung di atas dapat disimpulkan bahwa Pilkada langsung adalah keleluasaan yang diberikan oleh Negara kepada rakyat, khususnya rakyat di daerah untuk memilih kepala daerah secara langsung sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat dan sebagai pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen politik lokal secara demokratis berdasarkan peraturan yang ada sehingga proses demokrasi di daerah dapat terlaksana. 2. Asas-asas Pemilihan Kepala Daerah Langsung Asas adalah suatu pangkal tolak pikiran untuk suatu kasus atau suatu jalan dan sarana untuk menciptakan suatu tata hubungan atau kondisi yang

29 44 dikehendaki. Dalam pandangan Prihatmoko (2005:207), asas Pilkada langsung adalah sebagai pangkal tolak pikiran untuk melaksanakan pilkada. Dengan kata lain, asas pilkada merupakan prinsip-prinsip atau pedoman yang harus mewarnai proses penyelenggaran. Asas pilkada langsung juga berarti jalan atau sarana agar pilkada terlaksana dengan demokrasi. Ciri Pilkada yang demokratis dapat dilihat dari asas-asas yang dianutnya. Asas yang digunakan dalam Pilkada langsung sama dengan asas yang digunakan dalam Pemilu 2004, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Rumusan mengenai asas-asas Pilkada langsung tercantum dalam Pasal 5 ayat (1), UU No. 32 Tahun 2004, yaitu Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilh dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokrasi berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Penjelasan dari asas-asas Pilkada langsung itu dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. b. Umum, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna adanya jaminan kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. c. Bebas, setiap warga Negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Dalam melaksanakan

30 45 haknya, setiap warga negara dijamin keamananya sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. d. Rahasia, dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin pilihannya tidak akan diketahui pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya padasurat suara dengan tidak dapat diketahuai oleh orang lain kepada siapapun suaranya itu diberikan. e. Jujur, dalam penyelenggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada, aparat pemerintah, calon/peserta pilkada, pengawas pilkada, pemantau pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. f. Adil, dalam penyelenggaraan pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun. 3. Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung Pilkada langsung merupakan satu tahap pencapaian kemajuan perkembangan demokrasi di tanah air, selama tahun 2005 merupakan tahun kedaulatan rakyat dan pelajaran politik baru. Pilkada langsung menjadi solusi elegan sekaligus terobosan untuk mengatasi kemacetan demokrasi lokal. Dengan demikian, guliran perubahan akan terus berlangsung dari tingkat nasional ke tingkat lokal, khususnya dalam memilih pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat sesuai keinginannya.

31 46 Dalam rangka mewujudkan penguatan dan pemberdayaan demokrasi di tingkat lokal, Kaloh (2008:77-78) mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pelaksanaan Pilkada langsung ini adalah: Pertama, Pilkada langsung memungkinkan terwujudnya penguatan demokrasi di tingkat lokal, khususnya pembangunan legitimasi politik. Ini didasarkan pada asumsi bahwa kepala daerah terpilih memiliki mandat dan legitimasi yang kuat, karena didukung oleh suara pemilih nyata (real voters) yang merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih. Legitimasi ini akan merupakan modal politik penting dan sangat diperlukan oleh suatu pemerintahan yang akan berkuasa. Kedua, Pilkada langsung diharapkan mampu membangun serta mewujudkan local accountability. Ketika seseorang kandidat terpilih menjadi kepala daerah, maka para wakil rakyat yang mendapat mandat, akan meningkatkan kualitas akuntabilitasnya (pertanggung jawabannya kepada rakyat, khususnya konstituennya). Ketiga, terciptanya optimalisasi mekanisme check and balances antara lembaga-lembaga pemerintahan yang dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan penguatan demorkrasi pada level lokal. Keempat, Pilkada langsung diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas kesadaran politik dan kualitas partisipasi masyarakat. Pilkada langsung akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menggunakan kearifan, kecerdasan, dan kepedulian guna menentukan sendiri siapa yang dianggap layak dan pantas menjadi pemimpinnya. Mekanisme ini pula, memberikan jalan untuk

32 47 membuka mata elite politik, bahwasannya pemegang kedaulatan politik yang sebenarnya adalah warga masyarakat dan bukan lembaga-lembaga lainnya. Pilkada langsung pada awalnya memang disambut pro dan kontra. Selain adanya harapan akan penguatan demokrasi di tingkat lokal, muncul pula resistensi dari beberapa pihak, Kaloh (2008:78-79) mengungkapkan sebagai berikut: a. Anggapan bahwa sistem Pilkada langsung akan melemahkan kedudukan DPRD. b. Sistem Pilkada langsung akan menelan biaya yang sangat besar, karena tidak sedikit anggaran daerah (APBD) akan dikonsentrasikan pada KPUD di tiap tingkatan. c. Munculnya persaingan khusus antara calon independent dan calon dari partai politik (kader partai) d. Adanya pandangan bahwa masyarakat belum siap untuk melaksanakan Pilkada langsung Pelaksanaan Pilkada langsung menurut Prihatmoko (2005:71) dipahami Pilkada yang melibatkan, mendorong dan membuka akses partisipasi seluruh warga yang memenuhi syarat sebagai pemilih dan terbuka kemungkinan sebagai calon, serta pengawal proses pelaksanaan. Dengan demikian keikutsertaan masyarakat dalam proses Pilkada langsung sangat terbuka dan dijamin kebebasannya, hal ini menunjukkan bahwa Plikada langsung merupakan salah satu jalan kepada kehidupan bernegara yang lebih demokratis. Dalam salah satu seminar, mantan Menteri Dalam Negeri Muhammad Ma ruf (2005) menyatakan kelebihan dari sistem Pilkada langsung, yaitu: a. Sebagai bentuk pembelajaran politik, b. Berpotensi menghasilkan kepala daerah yang lebih bermutu, kredible dan akseptabel dan menguatkan derajat legitimasi dan posisi politik kepala daerah c. Berpotensi mengurangi praktek politik uang d. Berpotensi membatasi kekuasaan dan kewenangan DPRD yang terlalu besar

33 48 e. Memperkuat otonomi daerah sebagai suatu proses demokrasi f. Berpotensi menghasilkan suatu pemerintahan daerah yang lebih stabil, produktif dan efektif. Dari uraian diatas maka pilkada langsung merupakan sistem pemilihan kepala daerah yang lebih akuntabel dibandingkan dengan sistem lain yang selama ini pernah digunakan di Indonesia seperti melalui anggota legislatif dalam pilkada tidak langsung. Dengan adanya Pilkada langsung maka rakyat dapat menentukan sendiri pilihannya berdasarkan kepentingan atau penilaiannya terhadap calon. 4. Tahap Pemilihan Kepala Daerah Langsung Kegiatan Pilkada langsung dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 65 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam masa persiapan adalah: a. Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai masa berakhirnya masa jabatan; b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah; c. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah; d. Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS; e. Pembentukan dan pendaftaran pemantau. (Pasal 65 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004) Dalam kegiatan masa persiapan, keterlibatan rakyat sangat menonjol dalam pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS, dan KPPS. Rakyat memiliki akses untuk memantau melalui mekanisme uji publik dan mendaftarkan diri sebagai anggota Panitia Pengawas, PPK, PPS, dan KPPS.

34 49 Sedangkan, tahap pelaksanaan terdiri dari enam kegiatan sebagai proses yang saling berkaitan meliputi: a. Penetapan daftar pemilih; b. Pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah; c. Kampanye; d. Pemungutan suara; e. Penghitungan suara; dan f. Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan. (Pasal 65 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004) Peran serta masyarakat dapat dilaksanakan bukan hanya sebagai pemilih saja tetapi juga sebagai calon kepala daerah atau juga dapat berperan sebagai pengawas jalannya proses pemilihan kepala daerah berdasarkan ketentuan yang berlaku. 5. Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Langsung Fungsi utama penyelenggaraan pilkada adalah merencanakan dan menyelenggarakan tahapan-tahapan kegiatan. Fungsi tersebut bisa di optimalkan apabila dilengkapi dengan mekanisme kontrol dan pertanggungjawaban (accountability) sehingga dibutuhkan pengawasan. UU No. 32 Tahun 2004 membagi kewenangan penyelenggaraan Pilkada langsung kepada tiga institusi, yaitu: DPRD, KPUD, dan Pemerintah Daerah. Secara fungsi, kedudukan ketiga institusi tersebut berbeda menurut tugas dan wewenangnya. Tugas serta wewenang ketiga institusi tersebut duraikan lebih lanjut oleh Prihatmoko (2005: ) seperti di bawah ini: Pertama, DPRD merupakan pemegang otoritas politik, artinya bahwa DPRD merupakan representasi rakyat yang memiliki kedaulatan dan memberikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dengan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dengan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Partisipasi Politik Menurut Budihardjo (2008:367) Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Peran Menurut Abdulsyani (1994) peran atau peranan adalah apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya. Peran merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa idealnya mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa idealnya mempunyai peran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemuda sebagai generasi penerus bangsa idealnya mempunyai peran dalam kemajuan bangsa. Pentingya peran generasi muda, didasari atau tidak, pemuda sejatinya memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia.

I. PENDAHULUAN. demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (pemilu) menjadi bagian terpenting dalam penyelenggaraan demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia. Pemilu sering diartikan

Lebih terperinci

Peran Sekolah Sebagai Sarana Sosialisasi Politik untuk Meningkatkan Partisipasi Politik Pada Pemilih Pemula

Peran Sekolah Sebagai Sarana Sosialisasi Politik untuk Meningkatkan Partisipasi Politik Pada Pemilih Pemula Peran Sekolah Sebagai Sarana Sosialisasi Politik untuk Meningkatkan Partisipasi Politik Pada Pemilih Pemula Asmika Rahman Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Program Pascasarjana Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia sejak dulu sudah mempraktekkan ide tentang demokrasi walau

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia sejak dulu sudah mempraktekkan ide tentang demokrasi walau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia sejak dulu sudah mempraktekkan ide tentang demokrasi walau bukan tingkat kenegaraan, masih tingkat desa yang disebut demokrasi desa. Contoh pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. Analisis data merupakan proses mengatur aturan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satu uraian dasar.

BAB IV ANALISIS DATA. Analisis data merupakan proses mengatur aturan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satu uraian dasar. 106 BAB IV ANALISIS DATA Analisis data merupakan proses mengatur aturan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satu uraian dasar. Pada tahap ini data yang diperoleh dari berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapat

I. PENDAHULUAN. memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya masyarakat memegang peran utama dalam praktik pemilihan umum sebagai perwujudan sistem demokrasi. Demokrasi memberikan kebebasan kepada masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai cara yang sekiranya bisa menarik masyarakat untuk memilih. calonnya, calon pasangan kepala daerah untuk Wilayah Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. berbagai cara yang sekiranya bisa menarik masyarakat untuk memilih. calonnya, calon pasangan kepala daerah untuk Wilayah Kabupaten BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah di Banyumas suasana politik semakin hangat. Banyak yang mempromosikan calonnya dengan berbagai cara yang sekiranya bisa menarik masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan rakyat didalam konstitusinya. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan rakyat merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. politik sangat tergantung pada budaya politik yang berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. politik sangat tergantung pada budaya politik yang berkembang dalam masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan politik suatu negara, negara tidak lepas dari corak budaya yang ada dalam masyarakatnya. Peran masyarakat dalam kehidupan politik sangat tergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena keberhasilan suatu perusahaan atau organisasi terletak pada kemampuan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena keberhasilan suatu perusahaan atau organisasi terletak pada kemampuan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman segala sesuatu aktifitas kerja dilakukan secara efektif dan efisien serta dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan suatu negara yang menganut paham demokrasi, dan sebagai salah satu syaratnya adalah adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas

Lebih terperinci

PARTISIPASI POLITIK PEMILU

PARTISIPASI POLITIK PEMILU PARTISIPASI POLITIK PEMILU DEMOKRASI TUJUAN PERKULIAHAN Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami A. B. Partisipasi Politik Pemilu C. Demokrasi PARTISIPASI POLITIK DINAMIKA PARTISIPASI POLITIK Awalnya studi

Lebih terperinci

Peranan Partai Politik Dalam Meningkatkan Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu dan Pilkada. oleh. AA Gde Putra, SH.MH

Peranan Partai Politik Dalam Meningkatkan Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu dan Pilkada. oleh. AA Gde Putra, SH.MH Peranan Partai Politik Dalam Meningkatkan Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu dan Pilkada oleh AA Gde Putra, SH.MH Demokrasi (pengertian Umum) Bentuk sistem pemerintahan yang setiap warganya memiliki kesetaraan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identitas Responden Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum dapat dikatakan bahwa Partai Politik merupakan sesuatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum dapat dikatakan bahwa Partai Politik merupakan sesuatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum dapat dikatakan bahwa Partai Politik merupakan sesuatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilainilai dan cita-cita

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN I. UMUM 1. Dasar Pemikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi lebih dari sekedar seperangkat aturan dan prosedur konstitusional yang menentukan suatu fungsi pemerintah. Dalam demokrasi, pemerintah hanyalah salah

Lebih terperinci

MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG. Oleh : Nurul Huda, SH Mhum

MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG. Oleh : Nurul Huda, SH Mhum MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG Oleh : Nurul Huda, SH Mhum Abstrak Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, yang tidak lagi menjadi kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi dimana sistem pemerintahan dilaksanakan dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memilih sebuah partai politik karena dianggap sebagai representasi dari agama

I. PENDAHULUAN. memilih sebuah partai politik karena dianggap sebagai representasi dari agama I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu-isu dan kebijakan politik sangat menentukan perilaku pemilih, tapi terdapat pula sejumlah faktor penting lainnya. Sekelompok orang bisa saja memilih sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia memuat perubahan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia memuat perubahan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia memuat perubahan yang signifikan. Salah satu kebijakan dari otonomi daerah diantaranya yaitu diadakannya Pemilihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Simbol manifestasi negara demokrasi adalah gagasan demokrasi dari

BAB I PENDAHULUAN. Simbol manifestasi negara demokrasi adalah gagasan demokrasi dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Simbol manifestasi negara demokrasi adalah gagasan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemilihan Umum (Pemilu) menjadi bagian utama dari gagasan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Demokrasi di Indonesia Definisi demokrasi menurut Murod (1999:59), sebagai suatu policy di mana semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat, mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut kepentingan rakyat harus didasarkan pada kedaulatan rakyat. Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut kepentingan rakyat harus didasarkan pada kedaulatan rakyat. Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah suatu negara demokrasi dimana pemerintahan berdasarkan atas kedaulatan rakyat. Semua proses pembuatan kebijakan politik yang menyangkut kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Juanda, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Juanda, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Para siswa yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), adalah mereka yang berumur 17 sampai dengan 21 tahun merupakan pemilih pemula yang baru

Lebih terperinci

DEMOKRASI : ANTARA TEORI DAN PELAKSANAANNYA. Mengetahui teori demokrasi dan pelaksanaanya di Indonesia RINA KURNIAWATI, SHI, MH.

DEMOKRASI : ANTARA TEORI DAN PELAKSANAANNYA. Mengetahui teori demokrasi dan pelaksanaanya di Indonesia RINA KURNIAWATI, SHI, MH. Modul ke: DEMOKRASI : ANTARA TEORI DAN PELAKSANAANNYA Mengetahui teori demokrasi dan pelaksanaanya di Indonesia Fakultas FAKULTAS RINA KURNIAWATI, SHI, MH Program Studi http://www.mercubuana.ac.id DEFINISI

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN NO: 1

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN NO: 1 RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN NO: 1 Mata Pelajaran : Pendidikan Kewarganegaraan Kelas/Semester : XI/1 Materi Pokok : Definisi dan tipe-tipe budaya politik diindonesia Pertemuan Ke- : 1 s.d. 5 Alokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum yang menganut sistem demokrasi, yang artinya pemegang kekuasaan atau kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat namun tetap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi

I. PENDAHULUAN. pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partisipasi politik adalah kegiatan sesorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau suatu kelompok yang memiliki kepentingan yang sama serta cita-cita yang

BAB I PENDAHULUAN. atau suatu kelompok yang memiliki kepentingan yang sama serta cita-cita yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Partai politik sendiri hakikatnya adalah sebagai sarana bagi masyarakat atau suatu kelompok yang memiliki kepentingan yang sama serta cita-cita yang sama dengan mengusung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem politik-demokratik modern. Pemilu bahkan telah menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. sistem politik-demokratik modern. Pemilu bahkan telah menjadi salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu instrumen terpenting dalam sistem politik-demokratik modern. Pemilu bahkan telah menjadi salah satu parameter

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partai politik merupakan ciri utama sistem pemerintahan yang demokratis. Sedangkan salah satu fungsi dari partai politik adalah pendidikan politik, ini merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kehidupan Partai Politik tidak akan lepas dari kesadaran politik masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. Kehidupan Partai Politik tidak akan lepas dari kesadaran politik masyarakat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kehidupan Partai Politik tidak akan lepas dari kesadaran politik masyarakat (anggota) yang menjadi cikal bakal dari partisipasi politik. Dalam meningkatkan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG top PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH I. UMUM 1. Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan itu

BAB I PENDAHULUAN. perubahan besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hasil amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah membawa perubahan besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan itu terkait dengan pengisian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah masyarakat dapat dikatakan demokratis jika dalam kehidupannya dapat menghargai hak asasi setiap manusia secara adil dan merata tanpa memarginalkan kelompok

Lebih terperinci

PERILAKU POLITIK PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 2015 DI KECAMATAN MOWILA JURNAL PENELITIAN

PERILAKU POLITIK PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 2015 DI KECAMATAN MOWILA JURNAL PENELITIAN PERILAKU POLITIK PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 2015 JURNAL PENELITIAN OLEH: NILUH VITA PRATIWI G2G115106 PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI

Lebih terperinci

BAB IV. Mekanisme Rekrutmen Politik Kepala Daerah PDI Perjuangan. 4.1 Rekrutmen Kepala Daerah Dalam Undang-Undang

BAB IV. Mekanisme Rekrutmen Politik Kepala Daerah PDI Perjuangan. 4.1 Rekrutmen Kepala Daerah Dalam Undang-Undang BAB IV Mekanisme Rekrutmen Politik Kepala Daerah PDI Perjuangan 4.1 Rekrutmen Kepala Daerah Dalam Undang-Undang Tahapan Pilkada menurut Peraturan KPU No.13 Th 2010 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan

Lebih terperinci

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik BAB 1 PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Partai politik merupakan sebuah institusi yang mutlak diperlukan dalam dunia demokrasi, apabila sudah memilih sistem demokrasi dalam mengatur kehidupan berbangsa dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selanjutnya disebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selanjutnya disebut pemilukada adalah pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara

Lebih terperinci

individu tersebut. Menurut Kweit (1986: 92) bahwa s ecara umum,

individu tersebut. Menurut Kweit (1986: 92) bahwa s ecara umum, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sosialisasi Politik 1. Pengertian Sosialisasi Politik Proses sosialisasi dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya yang diperoleh individu dalam kehidupan. Hal ini dijelaskan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah

I. PENDAHULUAN. oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Desa atau yang disebut dangan nama lainnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah suatu kesatuan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semenjak demokrasi menjadi atribut utama Negara modern, maka lembaga perwakilan merupakan mekanisme utama untuk merealisasi gagasan normatif bahwa pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana pesta demokrasi dalam suatu

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana pesta demokrasi dalam suatu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana pesta demokrasi dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi. Pemilu menjadi sarana pembelajaran dalam mempraktikkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, setiap Negara senantiasa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, setiap Negara senantiasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam menyelenggarakan pemerintahan, setiap Negara senantiasa menggunakan Partai Politik yang didukung dengan sistim politik suatu Negara, yang tidak akan dapat dilepaskan

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,

Berdasarkan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH I. UMUM 1. Dasar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menurut berbagai kajiannya tentang politik, para sarjana politik sepakat bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang paling baik. Sistem ini telah memberikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita.

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepercayaan itu adalah kemauan seseorang atau sekelompok orang untuk mau memberi keyakinan pada seseorang yang ditujunya. Kepercayaan adalah suatu keadaan psikologis dimana

Lebih terperinci

Partisipasi Politik dan Pemilihan Umum

Partisipasi Politik dan Pemilihan Umum Partisipasi Politik dan Pemilihan Umum Cecep Hidayat cecep.hidayat@ui.ac.id - www.cecep.hidayat.com Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Materi Bahasan Definisi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi dan pembahasan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi dan pembahasan 288 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi dan pembahasan hasil penelitian, pada akhir penulisan ini akan dijabarkan beberapa kesimpulan dan rekomendasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat yang diselenggarkan secara langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil guna menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperlakukan rakyat sebagai subjek bukan objek pembangunan, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. memperlakukan rakyat sebagai subjek bukan objek pembangunan, sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Parameter paling utama untuk melihat ada atau tidaknya pembangunan politik di sebuah negara adalah demokrasi. Meskipun sebenarnya demokrasi tidak sepenuhnya menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung. Oleh karena itu, dalam pengertian modern, demokrasi dapat

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung. Oleh karena itu, dalam pengertian modern, demokrasi dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara demokrasi yang wilayahnya luas dan rakyatnya banyak. Sehingga, demokrasi tidak mungkin dilaksanakan secara langsung. Oleh karena

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Partai Politik 1. Definisi Partai Politik Kedudukan partai politik dalam negara yang memiliki tata kelola pemerintahan demokratis sangatlah penting. Partai politik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hampir seluruh organisasi politik memiliki strategi yang berbeda-beda.

BAB I PENDAHULUAN. hampir seluruh organisasi politik memiliki strategi yang berbeda-beda. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi adalah suatu cara atau taktik dalam meraih dan memperoleh sesuatu. Sehingga dalam wahana politik strategi merupakan sesuatu hal yang sangat urgen yang kianhari

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 12 TAHUN 2011 T E N T A N G KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATEN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kesatuan yang menganut Sistem Pemerintahan Presidensiil. Dalam sistem ini dijelaskan bahwa kepala eksekutif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan disebagianbesar negara di dunia termasuk Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak reformasi

Lebih terperinci

ANDRI AFRIYANTO NIM UNIVERSITAS WIDYA MATARAM YOGYAKARTA

ANDRI AFRIYANTO NIM UNIVERSITAS WIDYA MATARAM YOGYAKARTA PARTISIPASI POLITIK DI INDONESIA YANG MENCAKUP KESIAPAN INFRASTRUKTUR POLITIK MEWADAHI PARTISIPASI, MODEL MODEL PARTISIPASI, DAN KEDEWASAAN MASYARAKAT BERPOLITIK PENGANTAR Partisipasi Politik Partisipasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Di tahun 2009 masyarakat Indonesia akan melaksanakan Pesta Demokrasi. Dimana pesta tersebut adalah kesempatan masyarakat untuk memlih wakil dan pemimpinnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 disebutkan bahwa negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 disebutkan bahwa negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik,

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perilaku Pemilih 1. Perilaku Pemilih Sikap politik seseorang terhadap objek politik yang terwujud dalam tindakan atau aktivitas politik merupakan perilaku politik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak reformasi telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang dilaksanakan secara langsung, yang merupakan salah satu bentuk Demokrasi. Bagi sebuah bangsa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum (selanjutnya disebut Pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum (selanjutnya disebut Pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan umum (selanjutnya disebut Pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan, karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan, karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan, karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia dan dianggap memiliki peran yang strategis

Lebih terperinci

ANALISIS PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT KOTA PEKANBARU PADA PEMILUKADA 2011 ( STUDI PADA KELURAHAN SIMPANG BARU KECAMATAN TAMPAN ) ABSTRACT

ANALISIS PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT KOTA PEKANBARU PADA PEMILUKADA 2011 ( STUDI PADA KELURAHAN SIMPANG BARU KECAMATAN TAMPAN ) ABSTRACT NAMA : MONANG SIMARMATA NIM : 0601113930 DOSEN PEMBIMBING : DR. Hasanuddin, M.Si ANALISIS PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT KOTA PEKANBARU PADA PEMILUKADA 2011 ( STUDI PADA KELURAHAN SIMPANG BARU KECAMATAN

Lebih terperinci

PEMUTAKHIRAN DATA PEMILIH UNTUK MEWUJUDKAN PEMILU 2019 YANG ADIL DAN BERINTEGRITAS

PEMUTAKHIRAN DATA PEMILIH UNTUK MEWUJUDKAN PEMILU 2019 YANG ADIL DAN BERINTEGRITAS PEMUTAKHIRAN DATA PEMILIH UNTUK MEWUJUDKAN PEMILU 2019 YANG ADIL DAN BERINTEGRITAS Anang Dony Irawan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya Jl. Sutorejo No. 59 Surabaya 60113 Telp. 031-3811966,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, hal tersebut sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penguatan, partisipasi dan kemandirian rakyat lewat proses-proses yang

BAB I PENDAHULUAN. penguatan, partisipasi dan kemandirian rakyat lewat proses-proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejatinya agenda ke depan bangsa ini tidak bisa lepas dari upaya penguatan, partisipasi dan kemandirian rakyat lewat proses-proses yang demokratis. Catatan

Lebih terperinci

Partai Politik dan Kelompok Penekan

Partai Politik dan Kelompok Penekan Partai Politik dan Kelompok Penekan Makalah untuk memenuhi Tugas Ilmu kewarganegaraan Dosen pengampu Dikdik baehaqi Arif,Mpd Disusun oleh: Abdul Gofur 11009034 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah suatu sarana demokrasi yang digunakan untuk memilih

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah suatu sarana demokrasi yang digunakan untuk memilih I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan umum adalah suatu sarana demokrasi yang digunakan untuk memilih wakil wakil rakyat untuk duduk sebagai anggota legislatif di MPR, DPR, DPD dan DPRD. Wakil rakyat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah organisasi yang tidak berpenghasilan tetapi justru mengeluarkan

BAB I PENDAHULUAN. sebuah organisasi yang tidak berpenghasilan tetapi justru mengeluarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partai politik merupakan aktor yang menarik dalam pemerintahan, menarik dalam hal status, fungsi, dan koordinasi partai terhadap aktor-aktor lainnya. Peran partai

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang. memegang kekuasaan tertinggi (Gatara, 2009: 251).

BAB I. PENDAHULUAN. oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang. memegang kekuasaan tertinggi (Gatara, 2009: 251). BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang dianggap paling

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Reformasi politik yang sudah berlangsung sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998, telah melahirkan perubahan besar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Konsep Keuangan Daerah 2.1.1.1. Pengertian keuangan daerah Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah RI No. 58 Tahun 2005, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

Lebih terperinci

PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET. Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5)

PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET. Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5) PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5) Definisi Partai Politik Secara umum dapat dikatakan partai politik adalah suatu kelompok

Lebih terperinci

BAB I PEDAHULUAN. Negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan

BAB I PEDAHULUAN. Negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan BAB I PEDAHULUAN A. Latar Belakang Negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat, atau jika ditinjau dari sudut organisasi berarti suatu pengorganisasian negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dalam

I. PENDAHULUAN. demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dalam hubungannya

Lebih terperinci

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Women can be very effective in navigating political processes. But there is always a fear that they can become pawns and symbols, especially if quotas are used. (Sawer,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilu merupakan proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan

I. PENDAHULUAN. Pemilu merupakan proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilu merupakan proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, kepala daerah,

Lebih terperinci

Caroline Paskarina. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Caroline Paskarina. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Caroline Paskarina Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Pemilu itu Apa? Secara prosedural, pemilu adalah mekanisme untuk melakukan seleksi dan rotasi kepemimpinan politik Secara

Lebih terperinci

Struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial suatu masyarakat dapat menciptakan atau melanggengkan demokrasi, tetapi dapat pula mengancam dan mele

Struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial suatu masyarakat dapat menciptakan atau melanggengkan demokrasi, tetapi dapat pula mengancam dan mele Struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial suatu masyarakat dapat menciptakan atau melanggengkan demokrasi, tetapi dapat pula mengancam dan melemahkannya. Birokrasi, misalnya dapat menjadi sarana

Lebih terperinci

URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014

URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014 KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014 Disampaikan pada acara Round Table Discussion (RTD) Lemhannas, Jakarta, Rabu 12 Oktober

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian juta 66,9 juta (67 juta) Golput atau suara penduduk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian juta 66,9 juta (67 juta) Golput atau suara penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Partisipasi politik masyarakat merupakan syarat pokok yang harus dilakukan oleh setiap warga negara terutama pada negara yang menganut paham demokrasi. Tingginya

Lebih terperinci

PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PEMILIHAN LEGISLATIF DPRD KOTA TOMOHON TAHUN 2014 (STUDI DI KECAMATAN TOMOHON UTARA)

PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PEMILIHAN LEGISLATIF DPRD KOTA TOMOHON TAHUN 2014 (STUDI DI KECAMATAN TOMOHON UTARA) PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PEMILIHAN LEGISLATIF DPRD KOTA TOMOHON TAHUN 2014 (STUDI DI KECAMATAN TOMOHON UTARA) Oleh : Sandy Brian Randang ABSTRAKSI Partisipasi politik merupakan

Lebih terperinci

PERAN DPRD KOTA MEDAN DALAM PENGAWASAN APBD KOTA MEDAN T.A BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR. 32 TAHUN 2004

PERAN DPRD KOTA MEDAN DALAM PENGAWASAN APBD KOTA MEDAN T.A BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR. 32 TAHUN 2004 PERAN DPRD KOTA MEDAN DALAM PENGAWASAN APBD KOTA MEDAN T.A. 2011 BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR. 32 TAHUN 2004 Oleh : Elfa Sahrani Yusna Melianti ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran

Lebih terperinci

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1 Disampaikan pada Seminar Menghadirkan Kepentingan Perempuan: Peta Jalan Representasi Politik Perempuan Pasca 2014 Hotel Haris, 10 Maret 2016 Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa)

Lebih terperinci

Komponen Budaya Politik. Tipe-Tipe Budaya Politik

Komponen Budaya Politik. Tipe-Tipe Budaya Politik EDITOR Pengertian Pendapat Umum Pendapat Ahli 1. Rusadi S. 2. Sidney Verba 3. Austin R., dll BUDAYA POLITIK Komponen Budaya Politik 1. Kognitif 2. Afektif 3. Evaluatif Tipe-Tipe Budaya Politik Sikap Yang

Lebih terperinci

KOMISI PEMILIHAN UMUM KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN SUKAMARA

KOMISI PEMILIHAN UMUM KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN SUKAMARA KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN SUKAMARA KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN SUKAMARA NOMOR : 1/HK.03.1-Kpt/6208/KPU-Kab/VII/2017 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TAHAPAN, PROGRAM DAN PENYELENGGARAAN PEMILIHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut (http://www.wikipedia.org). Dalam prakteknya secara teknis yang

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut (http://www.wikipedia.org). Dalam prakteknya secara teknis yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara demokrasi, dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pada suatu negara tersebut. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem

Lebih terperinci

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda YURISKA, VOL. 2, NO. 1, AGUSTUS 2010 72 PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda ABSTRAK Hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung oleh rakyat indonesia di Kabupaten/Kota se-indonesia berdasarkan pada

BAB I PENDAHULUAN. langsung oleh rakyat indonesia di Kabupaten/Kota se-indonesia berdasarkan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan Pemilu Bupati atau Walikota yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat indonesia di Kabupaten/Kota se-indonesia berdasarkan pada undang-undang

Lebih terperinci