Penulisan Hukum (Skripsi)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Penulisan Hukum (Skripsi)"

Transkripsi

1 Kajian yuridis implementasi pasal 170 ayat (2) ke-1 kuhp tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang (pengeroyokan) (studi kasus di pengadilan negeri boyolali) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Rouliati Marehanda NIM E FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008

2 PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi) KAJIAN YURIDIS IMPLEMENTASI PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (PENGEROYOKAN) (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali) Disusun oleh : ROULIATI MAREHANDA NIM : E Disetujui untuk dipertahankan Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II BUDI SETIYANTO, S.H SUBEKTI, S.H NIP NIP ii

3 PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi) KAJIAN YURIDIS IMPLEMENTASI PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (PENGEROYOKAN) (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali) Disusun oleh : ROULIATI MAREHANDA NIM : E Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari : Sabtu Tanggal : 3 Mei 2008 TIM PENGUJI 1. Rofikah, S.H., M.H :... Ketua 2. Subekti, S.H :... Sekretaris 3. Budi Setiyanto, S.H. :... Anggota Mengetahui : Dekan, Moh. Jamin, S.H., M.H. NIP iii

4 MOTTO Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan (Yeremia 29:11) Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia (Yakobus 1:12) iv

5 PERSEMBAHAN Hasil penulisan hukum ini penulis persembahkan kepada : Tuhan Yang Maha Esa. Papa Halomoan Simanjuntak dan Mama Dra. Sundari, M.Hum yang telah memberikan kasih sayang, dukungan dan pengorbanan baik materiil maupun spiritual. Adik tersayang, Philo Dellano, Inilah hasil karyaku, kutunggu hasil karyamu kelak di kemudian hari. v

6 KATA PENGANTAR Segala sesuatu ada waktunya. Ada waktu memulai, dan ada waktu untuk mengakhiri. Oleh karena itu dengan berakhirnya penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini, penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-nya yang selalu mengalir di dalam kehidupan penulis dalam penyusunan penulisan hukum ini sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (skripsi) dengan judul KAJIAN YURIDIS IMPLEMENTASI PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (PENGEROYOKAN) (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali). Penulis menyadari bahwa dalam Penulisan Hukum (skripsi) ini terdapat banyak hambatan dan kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun sehingga dapat memperkaya isi Penulisan Hukum (skripsi) ini. Dalam kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik meteriil maupun spiritual sehingga Penulisan Hukum (skripsi) ini dapat diselesaikan, terutama kepada : 1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana yang telah memberikan ijin dan rekomendasi pembimbing Penulisan Hukum (skirpsi) kepada penulis. 3. Bapak Budi Setiyanto, S.H., Selaku Pembimbing Akademik penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dan selaku Pembimbing I Penulisan Hukum (skripsi) yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam Penulisan Hukum (skripsi). 4. Ibu Subekti, S.H., selaku Pembimbing II Penulisan Hukum (skripsi) yang penuh kedisiplinan, ketekunan dan kesabaran dalam memberikan bimbingan dan pengarahan dalam Penulisan Hukum (skripsi) ini. vi

7 5. Pengadilan Negeri Boyolali (bagian Hukum) yang telah memberikan waktu untuk kelancaran informasi dan kerjasama selama penelitian guna kelengkapan penelitian hukum penulis. 6. Papa dan mama tercinta, yang telah memberikan kasih sayangnya dan pengorbanan yang luar biasa kepada penulis selama penulis hidup hingga menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini. 7. Adik tercinta, Philo Dellano terima kasih atas dukungan moril baik cinta maupun kasih sayang serta materiil kepada penulis. 8. Saudara-saudaraku, Kak Jo, Kak Nad, Kak Do, Ida, Disa, Ela, Mbak Tria, dll terima kasih atas dukungan doanya selama penulis menyusun skripsi ini, walaupun jauh, tapi doa kalian memiliki kekuatan yang besar buat kehidupan penulis. 9. Sahabatku, Nonik dan Cimcim, terima kasih atas kasih sayang dan dukungan kalian selama kuliah di FH UNS yang telah mengalami berbagai suka dan duka bersama. 10. Komsel Youth Pemuda Sambeng, Kak Andin, Kak Ardi, Ony, Cik Fit, Mbak Marsi, Peter, Mas Yudi, Cik Yanti, Ototo, Vany, Vika, Vivin dll terima kasih atas dukungan kalian dalam doa dan selalu support penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum (skripsi) ini, Tuhan selalu memberkati kalian. 11. Teman-temanku di TLG, Neo Warnet, PMK FH, mahasiswa FH UNS angkatan 2004 terima kasih atas dukungan moril yang diberikan kepada penulis. 12. Seluruh dosen dan karyawan di Fakultas Hukum, yang selalu mempermudahkan penulis dalam menimba ilmu baik di kelas maupun di luar kelas di Fakultas Hukum. 13. Seluruh staf Perpustakaan Pusat UNS dan Staf Perpustakaan Hukum UNS, penulis mengucapkan terima kasih yang telah mempermudah mencari bukubuku dalam menunjang penulisan hukum (skripsi) penulis vii

8 14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum (skripsi) ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan Hukum (skripsi) ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini akan diterima dengan senang hati. Akhir kata penulis berharap, agar karya tulis ilmiah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret khususnya dan para pembaca pada umumnya. Surakarta, April 2008 Penulis viii

9 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN MOTTO... iv DAN PERSEMBAHAN... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... xi DAFTAR GAMBAR... xi ABSTRAK... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Perumusan Masalah... 4 C. Tujuan Penulisan... 4 D. Manfaat Penulisan... 5 E. Metode Penulisan... 6 F. Sistematika Penulisan Hukum... 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori Tinjauan Tentang Tindak Pidana.. 12 a. Istilah dan pengertian Tindak Pidana.. 12 b. Unsur-unsur Tindak Pidana. 16 c. Jenis Tindak Pidana. 17 d. Pengertian Tinda Pidana dengan Terang-terangan dan Tenaga Bersama Melakukan Kekerasan (Pengeroyokan) ) Pengertian dengan terang-terangan ) Pengertian Tenaga Bersama ) Melakukan Kekerasan ix

10 4) Menyebabkan Luka Tinjauan Tentang Pidana. 27 a. Pengertian Pidana 27 b. Jenis-jenis Pidana 28 c. Teori Pemidanaan Tinjauan Perbedaan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP tentang Penyertaan dengan Pasal 170 KUHP tentang Tindak Pidana yang Dilakukan dengan Tenaga Bersama 31 a. Pelaku (Dader) 32 b. Pembantu (Medeplichtigheid) 33 B. Kerangka Pemikiran. 37 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 39 A. Implementasi Pasal 170 Ayat (2) ke-1 KUHP Tentang Tindak Pidana dengan Tenaga Bersama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang yang Mengakibatkan Luka di Pengadilan Negeri Boyolali.. 39 B. Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Boyolali dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana dengan Tenaga Bersama melakukan Kekerasan Terhadap Orang yang Mengakibatkan Luka sebagaimana Diatur Dalam Pasal 170 Ayat (2) Ke-1 KUHP BAB IV SIMPULAN DAN SARAN 58 A. Kesimpulan. 58 B. Saran 59 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x

11 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar I.1. Siklus Analisis Data Model Interaktif... 9 Gambar II.2. Gambar Kerangka Pemikiran xi

12 ABSTRAK ROULIATI MAREHANDA, KAJIAN YURIDIS IMPLEMENTASI PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (PENGEROYOKAN) (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan ini mengkaji dan menjawab permasalahan tentang bagaimana implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Boyolali serta dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Boyolali dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP. Penulisan ini apabila dilihat dari tujuannya termasuk jenis penulisan hukum normatif yang bersifat diskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Sumber Data menggunakan Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor 101/Pid.B/2007/PN.Bi, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti oleh penulis mengenai tindak pidana pengeroyokan sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui penulisan kepustakaan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti tentang tindak pidana pengeroyokan. Analisis data menggunakan teknik analisis data content analisys dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan penulisan ini diperoleh hasil bahwa Implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP terhadap Pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka jauh berbeda dengan ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal tersebut. Pidana yang dijatuhkan hakim ternyata lebih ringan yaitu 2 (dua) bulan 15 (lima belas) hari penjara dikurangi masa tahanan dibanding dengan ancaman pidana selama 7 (tujuh) tahun penjara. Ini dikarenakan Terdakwa dengan Korban telah menyatakan perdamaian dengan adanya Surat Pernyataan Damai dimana terdakwa telah meminta maaf dan membayar ganti kerugian yang di derita oleh korban. Selain itu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku didasari pada unsur obyektif dan unsur subyektif. Unsur obyektif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No.2 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan unsur subyektif didasarkan pada keyakinan (diri pribadi) hakim tersebut yang menangani, mengadili dan memutus suatu perkara terhadap diri terdakwa. xii

13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan suatu negara hukum, pernyataan tersebut termuat dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat), sebagai negara hukum maka Indonesia mempunyai serangkaian peraturan atau hukum supaya kepentingan masyarakat dapat terlindungi. Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan landasan konstitusional negara ini memuat bahwa tujuan negara salah satunya antara lain adalah menciptakan kesejahteraan umum. Jadi semua usaha dan pembangunan yang dilakukan negara ini harus mengarah pada tujuan ini sehingga tercipta kesejahteraan rakyat. Hukum sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial suatu masyarakat dimana hukum tersebut terbentuk. Dapat dikatakan bahwa hukum adalah fungsi sejarah sosial suatu masyarakat, namun hukum bukanlah bangunan sosial yang statis, melainkan ia dapat berubah dan perubahan ini terjadi karena fungsinya untuk melayani masyarakat (H. Zamhari Abidin, 1986:84). Suatu hukum dalam masyarakat tidak selalu bertindak sebagai suatu penghalang terhadap perubahan sosial. Adanya sikap masyarakat yang peduli terhadap hukum dapat berfungsi sebagai sumber kekuatan yang luar biasa untuk ketentraman dari pergaulan masyarakat itu sendiri. Kurangnya kesadaran hukum dalam masyarakat dewasa ini menyebabkan terjadinya ketidakpercayaan antara anggota masyarakat itu sendiri maupun ketidakpercayaan dengan aparat penegak hukum dan pemerintah. Terlebih dengan kondisi perekonomian negara kita yang sulit saat ini, mengakibatkan timbulnya kriminalitas yang terjadi dalam masyarakat yang dilatarbelakangi karena kebutuhan hidup yang semakin meningkat dalam setiap anggota masyarakat tersebut. Kondisi yang terjadi setiap hari dan dialami oleh masyarakat misalnya penjambretan, penodongan, pencurian, xiii

14 perampokan, penganiayaan, perkosaan, pembunuhan, tawuran remaja, atau lebih dikenal dengan kejahatan jalanan atau street crime menjadi tantangan bagi proses penegakan hukum. Seiring dengan adanya perkembangan kejahatan seperti diuraikan diatas, maka hukum menempati posisi yang penting untuk mengatasi adanya persoalan kejahatan ini. Perangkat hukum diperlukan untuk menyelesaikan konflik atau kejahatan yang ada dalam masyarakat. Salah satu usaha pencegahannya dan pengendalian kejahatan itu ialah dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana (Muladi dan Barda Nawawi, 1998:148). Kekerasan yang dilakukan oleh seseorang baik bersama-sama maupun seorang diri terhadap orang ataupun barang semakin meningkat dan meresahkan masyarakat serta aparat penegak hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku II Bab V mengatur tentang kejahatan terhadap ketertiban umum yang terdapat dalam Pasal Dalam Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebutkan bahwa : Barangsiapa di muka umum, bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang dapat dilihat dalam pasal tersebut memiliki unsur-unsur yang memberi batasan untuk dapat menjerat seseorang yang melakukan tindak pidana kekerasan. Dibandingkan dengan tindak pidana kekerasan lainnya yang terdapat juga dalam KUHP, Pasal 170 KUHP memiliki ancaman pidana yang lebih berat daripada pasal-pasal yang mengatur tentang bentuk kekerasan yang lain dalam KUHP. Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP lebih menegaskan lagi bahwa Yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, kalau ia dengan sengaja merusak barang atau jikalau kekerasan yang dilakukanya itu menyebabkan orang mendapat luka. Dalam pasal ini bukan hanya unsur kekerasan saja, namun unsur menyebabkan orang mendapat luka termasuk didalamnya. Dilihat dari unsurnya, Pasal 170 KUHP memiliki suatu perbedaan terhadap Pasal 55 ayat (1) KUHP mengenai tindak pidana yang dilakukan lebih dari satu orang. xiv

15 Seseorang yang melakukan tindak pidana yang tergolong dalam Pasal 170 ayat (1) maupun ayat (2) KUHP haruslah diproses berdasarkan peraturan hukum yang berlaku. Hal ini akan menjadi tanggung jawab hakim dalam menentukan penjatuhan pidana bagi pelaku tindak pidana tersebut sesuai dengan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal tersebut. Hakim sebagai salah satu penegak hukum yang berperan penting dalam peradilan haruslah dapat bersikap seadil-adilnya, karena hakim memiliki posisi sentral dalam proses penegakan hukum yang mampu menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana. Putusan hakim sangatlah penting karena merupakan tolak ukur pemahaman hakim atas suatu perkara dari tindak pidana yang dipersidangkan dalam pengadilan serta menjadi puncak dalam perjuangan memperoleh keadilan. Sesuai dengan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, seorang hakim memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan undang-undang secara tersendiri serta tidak terikat pada yurisprudensi atau putusan dari hakim yang terdahulu pada suatu perkara yang sejenis. Hakim dapat memberikan pidana terhadap pelaku tindak pidana yang diatur dalam suatu peraturan perundangundangan sesuai dengan pemikiran dari hakim itu sendiri. Implementasi pidana yang dijatuhkan oleh hakim di Pengadilan Negeri Boyolali terhadap pelaku tindak pidana Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang menyebabkan luka atau pengrusakan pada barang (pengeroyokan), hakim harus mempunyai implementasi dalam pasal tersebut yang nantinya dapat memberikan putusan yang terbaik bagi pelaku tindak pidana tersebut. Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : KAJIAN YURIDIS IMPLEMENTASI PASAL 170 AYAT (2) KE-1 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA DENGAN TENAGA BERSAMA MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ORANG (PENGROYOKAN) (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali). xv

16 B. Perumusan Masalah Dalam suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah untuk mengidentifikasi persoalan yang diteliti sehingga sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas, tegas, terarah, serta tercapai sasaran yang diharapkan. Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Boyolali? 2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Boyolali dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP? C. Tujuan Penulisan Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan masalah dan judul dari penelitian itu sendiri. Oleh karena itu peneliti mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Tujuan itu berupa tujuan secara obyektif dan tujuan secara subyektif. Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Boyolali. b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Boyolali dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP. 2. Tujuan Subyektif xvi

17 a. Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan peneliti di bidang hukum serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek dalam lapangan Hukum Pidana. b. Untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam meneliti di bidang ilmu hukum khususnya Hukum Pidana. D. Manfaat Penulisan Manfaat dari penulisan yang penulis lakukan adalah : 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu Hukum Pidana, terutama berhubungan dengan implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Boyolali. b. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi mahasiswa, dosen, atau pembaca yang tertarik dalam Hukum Pidana. 2. Manfaat Praktis a. Untuk melatih mengembangkan pola pikir yang sistematis sekaligus untuk mengukur kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh. b. Dengan disusunnya penulisan hukum ini maka dapat digunakan sebagai syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. E. Metode Penulisan Metode artinya adalah jalan ke, sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten (Soerjono Soekanto, 1986:42). Metode penelitian adalah jalan yang dilakukan berupa serangkaian kegiatan ilmiah yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten untuk memperoleh data yang lengkap yang dapat dipertanggungjawabkan secara xvii

18 ilmiah sehingga tujuan penelitian dapat dicapai. Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian yang dilakukan ini mengacu pada penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif sering disebut juga penelitian hukum doktrinal atau kepustakaan karena penelitian ini hanya meneliti dan mengkaji bahanbahan hukum tertulis dan banyak dilakukan di perpustakaan. 2. Sifat Penelitian Apabila dilihat dari sifatnya, maka penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif ini adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1986 :10). 3. Jenis data Dalam penelitian hukum normatif ini, jenis data yang digunakan peneliti berupa data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari penelaahan dokumen dari penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan-bahan pustaka seperti buku-buku, artikel, literatur, koran, majalah, jurnal, internet, perundang-undangan, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti serta putusan Pengadilan Negeri Boyolali mengenai perkara tindak pidana kekerasan bersama dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP. 4. Sumber Data Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan secara yuridis, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Boyolali xviii

19 Nomor 101/Pid.B/2007/PN.Bi tentang tindak pidana Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer berupa pendapat para ahli, surat kabar, majalah, internet dan jurnal, hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti : 1) Kamus bahasa 2) Kamus hukum 3) Ensiklopedia 5. Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yaitu studi dokumen atau bahan pustaka yang terkait dengan masalah yang akan diteliti tentang tindak pidana dengan menggunakan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka. 6. Teknik Analisis Data. Terhadap data yang telah terkumpul, diperlukan suatu teknik analisis data agar data yang telah terkumpul dapat digunakan untuk mencapai tujuan dari penelitian yaitu mendapatkan jawaban dari permasalahan yang diteliti. Analisis data yaitu menguraikan data dalam bentuk rumusan angka-angka, sehingga kemudian dibaca dan diberi arti bila data itu kuantitatif dan menguraikan data dalam bentuk kalimat yang baik dan benar sehingga mudah dibaca dan diberi arti (diinterpretasikan) bila data itu kualitatif. (Abdulkadir Muhammad, 2004:92). Dalam penelitian hukum ini, peneliti menggunakan teknik analisis isi atau content analysis yang kemudian menganalisisnya secara kualitatif. Data xix

20 dikumpulkan, kemudian dianalisis melalui tiga tahap, dengan menyeleksi dan mengklarifikasi data yaitu : a. Mereduksi data Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas, menyederhanakan, membuat fokus dan membuang hal-hal yang kurang mendukung penelitian pada tahap pengumpulan data. Proses reduksi data ini berlangsung terus menerus, mulai dari pengumpulan data, sampai penelitian selesai. b. Menyajikan data. Data yang dikumpulkan dan direduksi kemudian disajikan menjadi sekumpulan informasi yang telah tersusun sehingga memungkinkan penarikan kesimpulan sehingga peneliti mengerti dan memahami apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan. c. Menarik kesimpulan. Setelah melaksanakan tahapan-tahapan tersebut diatas yang meliputi reduksi data dan penyajian data, maka selanjutnya yang harus dilakukan oleh peneliti adalah menarik kesimpulan dengan verifikasi selama penelitian berlangsung. Pengumpulan Data Reduksi Data Sajian Data Penarikan Kesimpulan / Verifikasi Gambar 3 xx

21 Siklus Analisis Data Model Interaktif F. Sistematika Penulisan Hukum Dalam mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi skripsi ini, penulis menjabarkan dalam bentuk sistematika penulisan hukum. Dengan demikian dapat diketahui hal-hal yang saling berkaitan dengan pembahasan yang saling berhubungan dengan pokok permasalahan yang diangkat ke dalam penulisan hukum ini. Adapun Penulis menyusun sistematika penulisan hukum sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini penulis memberikan gambaran awal tentang penulisan yang dilakukan yang terdiri dari, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan yang dipergunakan dalam penulisan ini, dan yang terakhir adalah sistematika penulisan hukum untuk memberikan pemahaman terhadap isi dari penulisan ini secara garis besar. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan tentang Kerangka Teori yang berupa Tinjauan tentang Tindak Pidana terdiri dari Istilah dan Pengertian Tindak Pidana, Unsur-unsur Tindak Pidana, Jenis Tindak Pidana dan Pengertian Tindak Pidana Pengeroyokan. Tinjauan tentang Pidana terdiri dari Pengertian Pidana, Jenis-jenis Pidana, Teori Pemidanaan, dan Tinjauan tentang Perbedaan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP tentang Penyertaan dengan Pasal 170 KUHP tentang Tindak Pidana yang Dilakukan dengan Tenaga Bersama. Bab ini juga memuat tentang Kerangka Pemikiran dari penelitian yang diteliti. BAB III : HASIL PENULISAN DAN PEMBAHASAN xxi

22 Dalam bab ini, penulis akan menguraikan dan menyajikan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu : Implementasi Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka di Pengadilan Negeri Boyolali. Selain itu juga membahas tentang Dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Boyolali dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP. BAB IV : SIMPULAN DAN SARAN Pada bagian akhir dari penulisan hukum ini, berisi tentang simpulan dari hasil penulisan hukum yang telah diteliti oleh penulis dan berisi tentang saran-saran terhadap beberapa kekurangan dalam penelitian yang menurut penulis perlu diperbaiki, yang penulis temukan selama penulisan. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tindak Pidana a. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barangsiapa melanggar larangan tersebut (Adam Chazawi, 2002:71). xxii

23 Adapun beberapa tokoh yang memiliki perbedaan pendapat tentang peristilahan strafbaarfeit atau tindak pidana, antara lain : 1) Moeljatno dan Roeslan Saleh, menterjemahkan dengan istilah Perbuatan Pidana 2) Soedarto dan Wirjono Prodjodikoro, menterjemahkan dengan istilah Tindak Pidana 3) R. Tresna dan Zainal Abidin, menterjemahkan dengan istilah Peristiwa Pidana 4) Leden Marpaung, menterjemahkan dengan istilah Delik Terdapat beberapa definisi mengenai tindak pidana yang dikemukakan oleh beberapa tokoh yaitu : 1) Simons Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum (PAF Lamintang, 1984:185). 2) Wirjono Prodjodikoro Tindak pidana merupakan pelanggaran norma-norma dalam 3 (tiga) bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana (Wiryono Prodjodikoro, 2002:01) 3) Pompe Tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi xxiii

24 terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum (PAF Lamintang, 1984:182). 4) R Tresna Peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman (Adam Chazawi, 2002:73). Dalam beberapa peristilahan dan definisi diatas, menurut pendapat penulis yang dirasa paling tepat digunakan adalah Tindak Pidana dan Perbuatan Pidana, dengan alasan selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas, sebagai istilah hukum juga sangat praktis diucapkan dan sudah dikenal oleh masyarakat pada umumnya. Menurut Moeljatno, Perbuatan Pidana didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2002:54). Menurut Moeljatno, yang dikutib oleh Adam Chazawi perbuatan pidana lebih tepat digunakan dengan alasan sebagai berikut : 1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya. 2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat. Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula. 3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan), dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu (Adam Chazawi, 2002: 71). Sudradjat Bassar menyimpulkan pengertian perbuatan pidana yang didefinisikan oleh Moeljatno bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut : xxiv

25 1) melawan hukum, 2) merugikan masyarakat, 3) dilarang oleh aturan pidana, 4) pelakunya diancam dengan pidana Butir 1) dan 2) menunjukkan sifat perbuatan, sedangkan butir 3) dan 4) merupakan pemastian dalam suatu tindak pidana (Sudradjat Bassar, 1986:2). Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana didefinisikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum (Roeslan Saleh, 1981:9). Beliau membedakan istilah perbuatan pidana dengan strafbaarfeit. Ini dikarenakan perbuatan pidana hanya menunjuk pada sifat perbuatan yang terlarang oleh peraturan perundang-undangan. Soedarto memakai istiah tindak pidana sebagai pengganti dari pada strafbaarfeit, adapaun alasan beliau karena tindak pidana sudah dapat diterima oleh masyarakat. Terdapat kelompok sarjana yang berpandangan monistis dan dualistis dalam kaitannya dengan tindak pidana. Pandangan monistis berpendapat bahwa semua unsur dari suatu tindak pidana yaitu unsur perbuatan, unsur memenuhi ketentuan undang-undang, unsur sifat melawan hukum, unsur kesalahan dan unsur bertanggungjawab digunakan sebagai satu kesatuan yang utuh, sehingga memungkinkan untuk dijatuhkan pidana kepada pelakunya. Mereka yang berpandangan dualistis, memisahkan perbuatan dengan pertanggungajawaban pidana dalam pengertian jika perbuatan tersebut telah memenuhi unsur yang terdapat dalam rumusan undang-undang, maka perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana. Mengenai pelaku tersebut, dalam hal pertanggungjawaban pidana, masih harus ditinjau secara tersendiri, apakah pelaku tersebut mempunyai kualifikasi tertentu sehingga ia dapat dijatuhi pidana. Sebagai contoh apabila pelaku mengalami gangguan jiwa maka ia tidak dapat dipidana. xxv

26 Adanya pandangan tentang kedua paham tersebut diatas, maka sangat berpengaruh terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang (penyertaan). Sebagai contoh, A bersama dengan B melakukan pengrusakan terhadap barang milik C, maka menurut pandangan monistis maka A dan B semua dipenjara. Sedangkan menurut pandangan dualistis, jika A dan B (sehat akalnya semua), maka A dan B dapat dipidana tetapi apabila A (sehat akalnya) dan B (tidak sehat akalnya) maka A dapat dipidana dan B tidak dapat dipidana karena mengalami gangguan jiwa (tidak sehat akalnya) sesuai dengan Pasal 44 KUHP yang dalam pasal tersebut seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya. Ini dikarenakan dalam pandangan dualistis, pertanggungjawaban pidana dipisahkan dengan perbuatan pidana para pelaku. Indonesia menganut Paham Dualistis, terbukti dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 KUHP yang mengatur tentang tidak dipidananya seseorang walaupun telah melakukan suatu tindak pidana karena alasan-alasan tertentu, yaitu : 1) Cacat jiwa; 2) Daya paksa; 3) Pembelaan terpaksa; 4) Melaksanakan ketentuan undang-undang; 5) Perintah jabatan. b. Unsur-unsur Tindak Pidana Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana maka harus memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur tindak pidana yang diberikan beberapa tokoh memiliki perbedaan, tetapi secara prinsip intinya sama. Adapun unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) segi yaitu : xxvi

27 1) Unsur Subyektif Yaitu hal-hal yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subyektif tindak pidana meliputi : a) Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); b) Niat atau maksud dengan segala bentuknya; c) Ada atau tidaknya perencanaan; 2) Unsur Obyektif Merupakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah yaitu dalam keadaan mana tindak pidana itu dilakukan dan berada diluar batin si pelaku. a) Memenuhi rumusan undang-undang b) Sifat melawan hukum; c) Kualitas si pelaku; d) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab tindakan dengan akibatnya. Pada dasarnya unsur tindak pidana tidak terlepas dari dua faktor yaitu faktor yang ada dalam diri si pelaku itu sendiri dan faktor yang timbul dari luar diri si pelaku atau faktor lingkungan. c. Jenis Tindak Pidana Tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu yaitu sebagai berikut: 1) Menurut sistem KUHP, dibedakan antara Kejahatan terdapat dalam Buku II dan Pelanggaran dimuat dalam Buku III. Kejahatan adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan meskipun peraturan perundang-undangan tidak mengancamnya dengan pidana. Sedangkan Pelanggaran atau tindak pidana undang-undang adalah perbuatan yang oleh masyarakat xxvii

28 baru dirasa sebagai tindak pidana karena ada peraturan perundangundangan yang mengaturnya. Menurut M.v.T (Memorie van Toelichting) (Smidt I hlm 63 dan seterusnya) yang dikutib oleh Moeljatno, bahwa kejahatan adalah rechtsdelicten yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagi perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran adalah wetsdelicten yaitu perbuatan-perbuatan yang sifatnya melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada ketentuan yang menentukan demikian (Moeljatno, 2002:71). Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pembagian atas kejahatan dan pelanggaran didasarkan pada berat ringannya pidana. Kejahatan terdapat dalam Buku II, dan Pelanggaran diatur dalam Buku III. Ancaman pidana dalam kejahatan relatif lebih berat daripada pelanggaran. Beberapa perbedaan tersebut dapat dilihat dari : a) Dalam hal percobaan, hanya kejahatan yang dapat dipidana, sedangkan percobaan dalam pelanggaran tidak dipidana. b) Hal pembantuan, pembantuan dalam hal melakukan tindak pidana kejahatan dapat dipidana, dalam hal pembantuan melakukan tindak pidana pelanggaran tidak dipidana. c) Dalam hal penyertaan yang dilakukan terhadap tindak pidana menggunakan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan, sedangkan dalam pelanggaran tidak berlaku. d) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya diberlakukan bagi setiap pegawai negeri yang di luar wilayah hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan, dan bukan pelanggaran jabatan. xxviii

29 e) Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan. f) Dalam hal perbarengan perbuatan (concursus), sistem penjatuhan pidana dalam concursus kejahatan menggunakan sistem absorbsi yang diperberat, sedangkan dalam concursus pelanggaran menggunakan sistem kumulasi murni. 2) Menurut cara perumusannya, dibedakan antara Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materiil Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Jika seseorang telah berbuat sesuai dengan rumusan delik maka orang itu telah melakukan tindak pidana (delik), tidak dipermasalahkan bagaimana akibat dari perbuatan itu. Contoh : Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, yang dirumuskan sebagai perbuatan yang berwujud mengambil barang tanpa mempersoalkan akibat tertent dari pengambilan barang tersebut.. Sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitikberatkan pada akibat yang dilarang atau tidak dikehendaki. Tindak pidana ini baru selesai jika akibatnya sudah terjadi sedangkan cara melakukan perbuatan itu tidak dipermasalahkan. Contoh : Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, yang dirumuskan sebagai perbuatan yang mengakibatkan matinya orang lain. Terdapat tindak pidana formil materiil yaitu terdapat dalam pasal 378 KUHP tentang penipuan dimana selain menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang yaitu memakai nama palsu/peri keadaan yang palsu juga menitikberatkan pada akibat untuk menghapuskan piutang atau membuat hutang yang merupakan akibat yang dilarang. xxix

30 3) Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan Tindak Pidana Dolus dan Tindak Pidana Culpa Tindak pidana dolus adalah tindak pidana yang memuat unsur kesengajaan dalam rumusannya. Contoh : Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan (sengaja), dan Pasal 187 KUHP tentang kesengajaan membakar atau menyebabkan peletusan atau banjir. Tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang memuat unsur kealpaan dalam perumusannya. Contoh : Pasal 359 KUHP tentang kealpaan yang menyebabkan orang mati atau luka. 4) Berdasarkan macam perbuatannya, dibedakan Tindak Pidana Aktif (Delik Comissionis) dan Tindak Pidana Pasif (Omisionis) Tindak pidana Comissionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan aktif. Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Contoh : Pasal 362, 338, dan 378 KUHP. Tindak pidana Omisionis yaitu tindak pidana yang berupa tidak berbuat sesuatu. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum (Adam Chazawi, 2002:129). Contoh : Pasal 531 KUHP tentang Pelanggaran terhadap orang yang perlu ditolong. Terdapat delicta commisionis perommisionem commissa yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat (Moeljatno, 2002:76). Sebagai contoh seorang ibu sengaja tidak memberi makan kepada bayinya, lalu anak itu mati kelaparan, maka ibu tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 338 KUHP. 5) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, dibedakan Tindak Pidana Aduan dan Tindak Pidana Biasa Tindak pidana aduan timbul karena adanya pengaduan dari korban atau keluarga korban yang dirugikan. Contoh : Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik. Tindak pidana biasa xxx

31 merupakan tindak pidana yang sebagian besar telah tercantum dalam KUHP dimana dalam tindak pidana biasa tersebut tanpa ada aduan dari siapapun, pelaku dari tindak pidana tersebut dapat dituntut secara hukum. 6) Dilihat dari subyek hukumnya, dibedakan Tindak Pidana Communia dan Tindak Pidana Propia Tindak Pidana Communia adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang pada umumnya, tindak pidana memang diberlakukan pada semua orang. Tindak Pidana Propia adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu (Adami Chazawi, 2002:131). Contoh : Pasal 346 KUHP tentang seorang wanita yang menggugurkan kandungannya sendiri. 7) Berdasarkan berat ringannya ancaman pidana, dibedakan Tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten) Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsur yang tercantum dalam rumusan pasalnya telah ditulis secara lengkap dengan kata lain terkandung pengertian yurudis dari tindak pidana tersebut, contoh Pasal 362 tentang pencurian. Sedangkan dalam bentuk yang diperberat maupun yang diperingan menyebutkan kualifikasi pasal dalam bentuk pokoknya, yang kemudian ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan. Adanya faktor yang memberatkan maupun faktor yang meringankan, maka ancaman pidana menjadi lebih berat maupun menjadi lebih ringan daripada dalam pasal bentuk pokoknya. Contoh tindak pidana yang diperberat : Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana (unsur yang memperberat ialah adanya perencanaan terlebih dahulu), contoh tindak pidana yang xxxi

32 diperingan : Pasal 341 KUHP tentang pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya yang baru lahir (unsur yang memperingan yaitu terletak pada subyek hukumnya : seorang ibu). d. Pengertian Tindak Pidana dengan Terang-terangan dantenaga Bersama Melakukan Kekerasan (Pengeroyokan) 1) Pengertian dengan terang-terangan Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tindak pidana pengeroyokan diatur dalam Pasal 170 KUHP yang berbunyi: ayat (1) : Barangsiapa dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. ayat (2) : Yang bersalah diancam : ke-1 dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka; ke-2 dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat; ke-3 dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut; ayat (3) : Pasal 89 tidak diterapkan. Kata terang-terangan dapat dikatakan di hadapan publik. Dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP dijelaskan bahwa terang-terangan dalam pengertian tidak bersembunyi, ini berarti tidak perlu di muka umum tetapi cukup apabila tidak diperlukan apa ada kemungkinan orang lain dapat melihatnya (Soenarto Soerodibroto, 1991:105). Dapat dikatakan apabila terjadi suatu kekerasan dilakukan dalam suatu rumah dan publik melihatnya, maka itu juga dapat dikatakan xxxii

33 sebagai terang-terangan. Dalam hal melakukan kekerasan yang dilakukan di tempat yang sunyi dan tidak diketahui oleh orang atau umum, maka tidak dapat digolongkan dalam Pasal 170 KUHP ini. Kejahatan yang diatur dalam Pasal 170 KUHP ini termasuk kejahatan terhadap ketertiban umum. Sedangkan bagi yang melakukan kekerasan yang tidak terlihat oleh umum maka dapat digolongkan sebagai penganiayaan. Menurut Simon yang dikutib oleh Moeljatno tentang kata terang-terangan atau (openlijk) diartikan apabila dilakukan di depan umum namun tidak ada publik yang melihatnya, disitu tidak dapat dikatakan terang-terangan, sedangkan apabila perbuatan kekerasan tersebut dilakukan dalam rumah dan sempat terlihat oleh publik melalui jendela rumah maka itu sudah dapat dikatakan terang-terangan (Moeljatno, 1984:129). 2) Pengertian Tenaga Bersama Arti kata tenaga bersama atau secara bersama-sama dalam penjelasan Pasal 170 KUHP yaitu dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama melakukan suatu perbuatan (R. Sugandhi, 1981:190). Sedangkan apabila dalam melakukan suatu kekerasan yang dilakukan oleh satu orang saja maka pelaku tersebut tidak dapat dituntut dengan Pasal 170 ayat (1) ke-2 KUHP ini. Dalam melakukan tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana pengeroyokan, harus memuat pelaku yang dilakukan oleh dua otang atau lebih. Noyon Langemeyer berpendapat bahwa untuk dikenai Pasal 170 ayat(1) ke-2 KUHP adalah 2 (dua) orang sudah cukup. Pendapat Noyon Langemeyer didukung oleh Moeljatno bahwa menggunakan tenaga bersama, dimana 2 (dua) orang sudah dapat merupakan tenaga bersama (Moeljatno, 1984:126). xxxiii

34 Tenaga bersama disini menunjuk pada bentuk penyertaan atau medeplegen (turut serta melakukan), dan untuk mengadakan kerjasama kekerasan harus dilakukan setidak-tidaknya minimal 2 (dua) orang secara bersekutu. Para pelaku masing-masing mengetahui bahwa terdapat orang-orang lain yang turut serta melakukan perbuatan tersebut. Para pelaku tersebut harus menginsafi bahwa ia bekerja sama dengan orang-orang lain, sebab hanya dengan demikianlah dapat diadakan pertanggungjawaban atas perbuatannya orang lain (Moeljatno, 1984:125). 3) Melakukan Kekerasan Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku baik yang terbuka ataupun tertutup yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain dan bersifat menyerang atau bertahan (Thomas Susanto, 2002:11). Kekerasan (Geweld) mengandung pengertian menggunakan tenaga fisik atau jasmaniah tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul, menyepak, menendang dengan tangan atau senjata dan sebagainya. Kekerasan dilakukan secara terbuka dan dengan kekuatan yang terkumpul, hingga kejahatan ini merupakan kejahatan terhadap ketertiban umum dimana korban yang dirugikan kurang diperhatikan. Menurut Thomas Susanto, terdapat jenis-jenis kekerasan yang terbagi dalam 4 (empat) bentuk yaitu : a) Kekerasan Terbuka, merupakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang dapat dilihat oleh publik secara kasat mata, seperti perkelahian antar pelajar. b) Kekerasan Tertutup, merupakan kekerasan yang dilakukan secara tersembunyi atau tidak dilakukan secara fisik. Publik tidak mengetahui adanya dilakukan kekerasan jenis ini. Kekerasan ini lebih ditujukan pada psikologis korban seperti perilaku mengancam. xxxiv

35 c) Kekerasan Agresif, merupakan kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan tetapi untuk mendapatkan sesuatu. d) Kekerasan Defensif, merupakan kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan, pelindung diri. Baik kekerasan agresif maupun kekerasan defensif dapat bersifat terbuka ataupun tertutup (Thomas Susanto, 2002:13). Pengertian kekerasan yang terdapat dalam Pasal 170 KUHP ini tidak dijelaskan secara detail hanya dijelaskan cara dilakukannya kekerasan dalam beberapa cara yaitu : perusakan terhadap barang; penganiayaan terhadap orang atau hewan; melemparkan batu-batu kepada orang atau rumah; membuangbuang barang-barang hingga berserakan dan lain sebagainya (R. Sugandhi, 1981:190). Pengaturan mengenai pengertian kekerasan dalam KUHP terdapat pada Pasal 89 KUHP yang berbunyi : Yang dimaksud dengan melakukan kekerasan, yaitu membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi. Dalam Pasal 89 KUHP tersebut arti dari melakukan kekerasan adalah dengan menggunakan tenaga secara jasmani sekuat mungkin secara tidak sah yang menyebabkan orang yang menjadi korban dari kekerasan tersebut merasakan sakit akibat kekerasan tersebut. Namun pengertian kekerasan dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP memiliki perbedaan pengertian kekerasan yang terdapat dalam Pasal 89 KUHP, dimana dalam Pasal 170 ayat (3) KUHP berbunyi Pasal 89 KUHP tidak diterapkan. Perbedaan tersebut terletak pada obyek yang dimaksudkan. Pasal 89 KUHP dijelaskan bahwa obyek yang menjadi sasaran dalam melakukan kekerasan ditujukan terhadap orang menjadi pingsan atau tidak berdaya. Sedangkan obyek sasaran yang menjadi inti dari pengertian kekerasan dalam Pasal 170 KUHP lebih meluas, tidak hanya ditujukan kepada orang tetapi juga barang yang menjadi sasaran xxxv

36 kekerasan termasuk di dalamnya serta penggunaan alat dalam melakukan tindak pidana kekerasan tersebut. Berdasarkan 4 (empat) pengertian kekerasan yang diutarakan oleh Thomas Susanto, kekerasan yang terdapat dalam Pasal 170 KUHP termasuk kekerasan terbuka dimana kekerasan tersebut dilakukan oleh seseorang ataupun beberapa orang melakukan kekerasan secara fisik yang dilakukan di tempat dimana dapat diketahui atau dilihat oleh publik. Kekerasan yang terdapat dalam Pasal 170 KUHP secara keseluruhan ini menitikberatkan pada seseorang yang melakukan suatu perbuatan kekerasan terhadap orang maupun barang bukan suatu ancaman kekerasan atau mengatakan tentang kekerasan. Di tempat mana publik mengetahui orang tersebut sedang melaksanakan kekerasan tersebut kepada orang lain atau barang maka orang tersebut dapat dikenai Pasal 170 KUHP. 4) Menyebabkan Luka Pengertian luka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Tahun 1991 yaitu pertama, belah (pecah, cedera, lecet, dsb) pada kulit karena kena barang tajam; kedua, menderita luka. Definisi luka yang terdapat dalam Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP merujuk pada Pasal 90 KUHP dimana termasuk memiliki pengertian luka berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 90 KUHP yang berbunyi : Luka berat berarti : a) penyakit atau luka yang tak dapat diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut; b) senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian; c) tidak dapat lagi memakai salah satu pancaindera; d) mendapat cacat besar; e) lumpuh (kelumpuhan); f) akal (tenaga paham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu; g) gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan. xxxvi

37 Khusus Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP, kata luka bukan merupakan pengertian dari luka berat yang diatur dalam Pasal 90 KUHP yang mana penyembuhannya memerlukan waktu yang sangat lama atau dapat menyebabkan cacat bagi orang yang menderita. Pengertian luka dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tersebut masih tergolong dapat disembuhkan dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut yang diderita oleh seseorang akibat dari suatu tindak pidana kekerasan dikarenakan tergolong luka ringan. Seseorang yang mengalami luka, baik luka berat maupun luka ringan perlu didukung dengan adanya visum et repertum dari rumah sakit yang digunakan yang ditanda tangani oleh seorang dokter sebagai bukti surat dalam penanganan tindak pidana terkait dalam Pasal 170 KUHP ini maupun tindak pidana kekerasaan yang lain dalam KUHP. 2. Tinjauan tentang Pidana a. Pengertian Pidana Istilah hukuman dalam lingkungan masyarakat terkadang disamaartikan dengan istilah pidana, padahal kenyataannya kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Istilah hukuman memiliki pengertian yang lebih luas sehingga bidang yang dicakup juga luas. Istilah hukuman sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari misalnya dalam bidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Sedangkan istilah pidana digunakan khusus dalam bidang hukum sehingga memiliki makna yang lebih tegas terhadap setiap pelanggar hukum. Pidana merupakan reaksi atas delik yang dijatuhkan yang berdasarkan pada vonis hakim melalui sidang peradilan atas terbuktinya perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Namun apabila tidak terbukti bersalah maka tersangka dapat dibebaskan, ini xxxvii

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana Istilah Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia

I. PENDAHULUAN. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan suatu negara hukum, pernyataan tersebut termuat dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Ada yang menyebutkan istilah tindak pidana tersebut sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Ada yang menyebutkan istilah tindak pidana tersebut sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Konsep hukum indonesia terdapat beberapa perbedaan dalam menyebutkan istilah tindak pidana. Ada yang menyebutkan istilah tindak pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang tidak dapat terelakkan akibat meningkatnya laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang cukup tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

PENGGUNAAN KEKERASAN SECARA BERSAMA DALAM PASAL 170 DAN PASAL 358 KUHP 1 Oleh : Soterio E. M. Maudoma 2

PENGGUNAAN KEKERASAN SECARA BERSAMA DALAM PASAL 170 DAN PASAL 358 KUHP 1 Oleh : Soterio E. M. Maudoma 2 PENGGUNAAN KEKERASAN SECARA BERSAMA DALAM PASAL 170 DAN PASAL 358 KUHP 1 Oleh : Soterio E. M. Maudoma 2 ABSTRAK Penggunaan kekerasan oleh seseorang terhadap orang lain, merupakan hal yang dilarang dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan cara terbaik dalam menegakan keadilan. Kejahatan yang menimbulkan penderitaan terhadap korban, yang berakibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Umumnya tindak pidana atau pelanggaran hukum pidana didasari adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang mudah, jalan pintas serta mendapatkan

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk menyebutkan kata Tindak Pidana di dalam KUHP. Selain itu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang harus dapat ditegakkan hukumnya. Penghilangan nyawa dengan tujuan kejahatan, baik yang disengaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum yang diterapkan di Indonesia saat ini kurang memperhatikan kepentingan korban yang sangat membutuhkan perlindungan hukum. Bisa dilihat dari banyaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu pergaulan hidup di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan akan kepastian hukum serta penegakan hukum yang baik demi terwujudnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bentuk klasik perbuatan pidana pencurian biasanya sering dilakukan pada waktu malam hari dan pelaku dari perbuatan pidana tersebut biasanya dilakukan oleh satu

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT PASAL 365 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh : Fentry Tendean 2 ABSTRAK Pandangan ajaran melawan hukum yang metarial, suatu perbuatan selain

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, terpengaruh obat-obatan dan lain-lain. yang memiliki kekuasaan dan ekonomi yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. lain, terpengaruh obat-obatan dan lain-lain. yang memiliki kekuasaan dan ekonomi yang tinggi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Banyak kecelakaan lalu lintas yang terjadi disebabkan oleh kelalaian pengemudi baik kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat. Beberapa faktor yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang yang melangsungkan perkawinan pasti berharap bahwa perkawinan yang mereka lakukan hanyalah satu kali untuk selamanya dengan ridho Tuhan, langgeng

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pencurian sering terjadi dalam lingkup masyarakat, yang kadang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Tindak pidana pencurian dilakukan seseorang

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DAN PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DOMESTIK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DAN PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DOMESTIK 1 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DAN PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DOMESTIK ABSTRAKSI SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis.

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis. BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Banyak orang, terutama orang awam tidak paham apa arti Penipuan yang sesungguhnya, yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana, khususnya Pasal 378, orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peraturan-peraturan hukum yang telah ada di masyarakat wajib

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peraturan-peraturan hukum yang telah ada di masyarakat wajib BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peraturan-peraturan hukum yang telah ada di masyarakat wajib untuk ditaati karena berpengaruh pada keseimbangan dalam tiap-tiap hubungan antar anggota masyarakat. Kurangnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses peradilan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang

Lebih terperinci

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS. NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS. Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA)

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA) SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan perilaku manusia dan kondisi lingkungan pada masa kini semakin tidak menentu. Perubahan tersebut bisa menuju ke arah yang baik atau lebih baik, juga kearah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum mempunyai berbagai cara dan daya upaya untuk menjaga ketertiban dan keamanan dimasyarakat demi terciptanya

Lebih terperinci

SOAL DAN JAWABAN TENTIR UTS ASAS-ASAS HUKUM PIDANA 2016 BY PERSEKUTUAN OIKUMENE (PO)

SOAL DAN JAWABAN TENTIR UTS ASAS-ASAS HUKUM PIDANA 2016 BY PERSEKUTUAN OIKUMENE (PO) SOAL DAN JAWABAN TENTIR UTS ASAS-ASAS HUKUM PIDANA 2016 BY PERSEKUTUAN OIKUMENE (PO) 1. Jelaskan pengertian hukum pidana menurut Moeljatno, Pompe, dan Van Hamel Jawaban: Menurut Moeljatno: Hukum Pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang populer dengan nama KUHAP sejak diundangkannya pada tanggal 31 Desember 1981,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale delicht), artinya untuk kesempurnaan tindak pidana ini tidak cukup dengan dilakukannya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

Tinjauan tentang disparitas putusan hakim pada tindak pidana perkosaan (studi kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

Tinjauan tentang disparitas putusan hakim pada tindak pidana perkosaan (studi kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) Tinjauan tentang disparitas putusan hakim pada tindak pidana perkosaan (studi kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) Oleh: Putrie Tiaraningtyas NIM: E 0001199 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus diselesaikan atas hukum yang berlaku. Hukum diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. harus diselesaikan atas hukum yang berlaku. Hukum diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum, sehingga segala sesuatu permasalahan yang melanggar kepentingan warga negara indonesia (WNI) harus diselesaikan atas hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan Dactyloscopy adalah ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali identifikasi orang dengan cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D 101 08 100 ABSTRAK Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG A. PENGANIAYAAN Kejahatan terhadap tubuh orang lain dalam KUHP diatur pada pasal 351-358 KUHP. Penganiayaan diatur dalam pasal 351 KUHP yang merumuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari segi kualitas dan kuantitas. Kualitas kejahatan pada

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari segi kualitas dan kuantitas. Kualitas kejahatan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan masyarakat modern, banyak menimbulkan dampak positif dan juga dampak negatif bagi pembangunan nasional dan sumber daya manusia. Sesuai mengikuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum, termuat dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab

Lebih terperinci

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pencurian Dengan Kekerasan Dalam KUHP 1. Pengertian Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindakan yang menyimpang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bersendikan keadilan agar ketertiban, kemakmuran dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai kumpulan manusia, karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada sesudah meninggal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hadirnya hukum pidana dalam masyarakat digunakan sebagai sarana masyarakat membasmi kejahatan. Oleh karena itu, pengaturan hukum pidana berkisar pada perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 KUHP adalah suatu pembunuhan biasa seperti Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembunuhan anak kandung diterangkan oleh undang-undang. yang penuh, dan belum sempat timbul rasa kasih sayang.

BAB I PENDAHULUAN. Pembunuhan anak kandung diterangkan oleh undang-undang. yang penuh, dan belum sempat timbul rasa kasih sayang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembunuhan anak kandung diterangkan oleh undang-undang merupakan pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu atas anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat dilihat dari adanya indikasi angka kecelakaan yang terus

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat dilihat dari adanya indikasi angka kecelakaan yang terus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Terjadinya pelanggaran lalu lintas merupakan salah satu bentuk problematika yang sering menimbulkan permasalahan di jalan raya. Hal tersebut dapat dilihat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian berkembang, salah satu yang mulai tampak menonjol ialah banyaknya kejahatankejahatan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci