GEOLOGI DAN STUDI MATAAIR DAERAH PASEH-CIKANCUNG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANDUNG, PROVINSI JAWA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "GEOLOGI DAN STUDI MATAAIR DAERAH PASEH-CIKANCUNG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANDUNG, PROVINSI JAWA BARAT"

Transkripsi

1 GEOLOGI DAN STUDI MATAAIR DAERAH PASEH-CIKANCUNG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANDUNG, PROVINSI JAWA BARAT SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S-1) pada Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung Oleh: Anwar Zulkhoiri PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2014

2 LEMBAR PENGESAHAN GEOLOGI DAN STUDI MATAAIR DAERAH PASEH-CIKANCUNG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANDUNG, PROVINSI JAWA BARAT SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S-1) pada Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung Penulis, Anwar Zulkhoiri Mengetahui/menyetujui, Pembimbing II Pembimbing I Ir. Nurcahyo Indro Basuki, M.T., Ph.D. Agus M. Ramdhan, S.T., M.T., Ph.D. NIP NIP

3 GEOLOGI DAN STUDI MATAAIR DAERAH PASEH-CIKANCUNG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANDUNG, PROVINSI JAWA BARAT SARI Pemetaan geologi dan studi mataair di Kecamatan Paseh-Cikancung, Kabupaten Bandung, dan sekitarnya dilakukan dengan metode pengamatan singkapan batuan, pengukuran parameter fisika, analisis hidrokimia, dan analisis isotop. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi, kualitas airtanah, zona akifer, daerah imbuhan, dan umur airtanah di daerah penelitian. Daerah penelitian terletak di Zona Gunungapi Kuarter yang terletak di utara G. Guntur. Morfologi daerah penelitian berupa perbukitan landai hingga perbukitan dengan lereng sangat terjal yang dibagi menjadi dua satuan geomorfologi, yaitu Satuan Kerucut Gunungapi (V3) dan Satuan Kaki Gunungapi (V7). Penamaan dan pembagian volkanostratigrafi disusun berdasarkan waktu, ciri litologi, dan pusat erupsi dengan menggunakan satuan dasar khuluk dan gumuk. Sejarah geologi daerah penelitian dimulai pada Kala Pleistosen yang dimulai dengan diendapkannya Breksi (PLa1) dan Tuf (PLj2) G. Pulus, kemudian terbentuk Sesar Normal Pulus yang diinterpretasikan terbentuk karena aktivitas vulkanisme G. Pulus. Setelah itu, diendapkan Breksi-Lava G. Pasir Jugul (PJa). Kemudian terbentuk Sesar Menganan Normal Pulus. Kemudian diendapkan Lava Andesit G. Putri (PTl), Tuf Breksian I G. Mandalawangi (Ma1), dan Tuf Breksian II G. Mandalawangi (Ma2). Kemudian terjadi amblesan pada kaki G. Mandalawangi yang menyebabkan terbentuknya Sesar Normal Mandalawangi. Setelah kejadian tersebut, diendapkan Breksi G. Mandalawangi (Ma3), Tuf G. Buleud (Bj), dan Breksi-Lava G. Pangrajin (PRa). Kemudian pada waktu yang relatif bersamaan, erosi terjadi pada Satuan Tuf G. Pulus yang menyebabkan Satuan Breksi G. Pulus tersingkap serta terbentuk Sesar Menganan Normal Cigentur dan Sesar Menganan Normal Kasur. Sesar ini kemungkinan terbentuk akibat pengaruh subduksi Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia dan aktivitas gunungapi yang berada di dalam dan sekitar daerah penelitian. Hasil pengukuran parameter fisika pada empat belas titik mataair menunjukkan bahwa kualitas airtanah berada dalam baku mutu air minum. Berdasarkan flushing aktif, TDS (Total Dissolved Solid) yang rendah, dan analisis hidrokimia pada lima sampel mataair yang menunjukkan fasies kalsium bikarbonat, akifer airtanah daerah penelitian tergolong zona atas (upper zone). Berdasarkan analisis isotop 2 H dan 18 O, dan 3 H pada tiga sampel mataair, daerah imbuhan airtanah terletak di Kompleks G. Guntur pada elevasi mdpl dan airtanah berumur modern (<5 hingga 10 tahun). Kata kunci: mataair, Paseh-Cikancung, hidrokimia, isotop, daerah imbuhan, TDS, volkanostratigrafi, Mandalawangi, fasies i

4 GEOLOGY AND SPRING STUDY OF PASEH-CIKANCUNG DISTRICT AND ITS SURROUNDING, BANDUNG REGENCY, WEST JAVA PROVINCE ABSTRACT The geological mapping and spring study in Paseh-Cikancung District and surrounding were conducted by performing outcrops observation, physical parameter measurement and hydrochemical analysis, and isotopes analysis. The purpose of this study is to know geological setting, quality of groundwater, aquifer zone, recharge area, and age of groundwater in the study area. The research area is located in the Quaternary Volcanic Zone to the north of Mt. Guntur. Morphological forms of the study are steep to very steep hills. The study area is divided into two geomorphic units, i.e: Volcanic Cones (V3) and Volcanic Footslopes (V7). Volcanostratigraphy of the study area, using khuluk and gumuk units, was analyzed based on time, lithology, and eruption center. The geological history began at Pleistocene when eruption of Mt. Pulus produced Breccia (PLa1) and Tuff (PLj2), and then Pulus Normak Fault was formed due to volcanic activity of Mt. Pulus. After that, eruption of Mt. Pasir Jugul produced Breccia-lava (PJa). Then Normal Dextral Pulus Fault was formed. After that, deposition of Andesite Lava of Mt. Putri (PTl), deposition of Tuff-Breccia I of Mt. Mandalawangi (Ma1), deposition of Tuff-Breccia II of Mt. Mandalawangi (Ma2), then footslopes of Mt. Mandalawangi collapse formed Mandalawangi Normal Fault. After this event, eruption of Mt. Mandalawangi produced Breccia (Ma3), following by deposition of Tuff of Mt. Buleud (Bj), and deposition of Breccia-lava of Mt. Pangrajin (PRa). At the same time, Tuff of Mt. Pulus (PLj2) was eroded causing cropping out of Breccia of Mt. Pulus (PLa1) and then Cigentur Normal Dextral Fault and Kasur Normal Dextral Fault were formed due to subduction of Indo-Australia Plate with Eurasia Plate and volcanic activity of volcanoes located at reseach area and its surrounding. Pysical parameters measurement of fourteen springs showed that the groundwater quality meets drinking water standard. Based on active flushing, low TDS (Total Dissolved Solid), and calcium bicarbonate facies, the groundwater is inferred to be located at the upper aquifer zone. Based on the analysis of stable isotopes ( 2 H and 18 O) and tritium ( 3 H), recharge area is concluded to be located at Mt. Guntur Complex at the elevation of meter above sea level, and the groundwater is modern groundwater (<5 to 10 years), respectively. Keywords: spring, Paseh-Cikancung, hydrochemical, isotope, recharge area, TDS, volcanostratigraphy, Mandalawangi, facies ii

5 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala yang telah memberikan rahmat-nya sehingga skripsi yang berjudul Geologi dan Studi Mataair Daerah Paseh-Cikancung dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat dapat selesai dengan baik. Skripsi ini membahas tentang aspek geologi yang terdapat di daerah penelitian meliputi persebaran litologi, struktur, stratigrafi, dan sejarah geologi, serta studi khusus mataair yang menganalisis kualitas, fasies, daerah imbuhan, dan umur airtanah di daerah penelitian. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungan semua pihak hingga skripsi ini selesai, antara lain kepada: 1. Orang tua dan adik penulis yang telah memberikan dukungan dan do a sehingga tugas akhir ini dapat berlangsung dengan lancar, 2. Bapak Agus M. Ramdhan (pembimbing pertama) dan Bapak Nurcahyo I. Basuki (pembimbing kedua) yang telah memberi arahan, masukan dan bimbingan selama penelitian, 3. Pimpinan, para dosen, dan staf program studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, 4. Bapak Iman dan keluarga yang telah mendukung dalam pengambilan data di lapangan, 5. Rahmad Dwi Putra, teman satu daerah lapangan yang telah menemani suka dan duka selama pengambilan data di lapangan, 6. Teman-teman Teknik Geologi 2010, Gamais 2010, Al-Jibaal, dan IndekosX yang telah menemani kehidupan selama di Bandung, 7. Bapak Irwan Iskandar dan Bapak Bungkus Pratikno yang membantu dalam menganalisis sampel mataair, 8. Teman-teman Rumah C yang telah memberikan pesan-pesan dan menambah warna kehidupan selama mengerjakan TA, dan 9. Semua pihak yang telah ikut serta mendukung berlangsungnya penulisan skripsi ini. iii

6 Penulis menyadari banyak kekurangan yang tidak dapat dihindari dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis menerima kritik dan saran untuk bahan pembelajaran ketika menyusun tulisan ilmiah selanjutnya. Bandung, September 2014 Penulis iv

7 DAFTAR ISI SARI i ABSTRACT iii KATA PENGANTAR v DAFTAR ISI vii DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR TABEL xi DAFTAR LAMPIRAN xii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Penelitian Pembimbing Batasan Masalah Lokasi Daerah Penelitian Metode dan Tahap Penelitian Tahap Persiapan dan Studi Pendahuluan Tahap Pengambilan Data Lapangan Tahap Pengolahan dan Analisis Data Tahap Penyusunan Laporan 6 BAB II GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Stratigrafi Regional Tektonik Regional Hidrogeologi Regional 13 BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Kelurusan Bukit dan Lembah Daerah Penelitian Pola Aliran Sungai Daerah Penelititan Peta Kemiringan Lereng Daerah Penelitian Satuan Geomorfologi Daerah Penelitian 18 v

8 3.1.5 Tahap Geomorfik Daerah Penelitian Analisis Tubuh Gunungapi Stratigrafi Daerah Penelitian Khuluk Pra-Pulus Khuluk Pra-Mandalawangi Struktur Geologi Daerah Penelitian Sesar Normal Pulus Sesar Menganan Normal Pulus Sesar Normal Mandalawangi Sesar Menganan Normal Cigentur Sesar Menganan Normal Kasur Sejarah Geologi Daerah Penelitian 46 BAB IV STUDI MATAAIR DAERAH PENELITIAN 4.1 Tinjauan Umum Parameter Fisika Airtanah Hidrokimia Isotop Metode Pengukuran Parameter Fisika, Hidrokimia, dan Isotop Data dan Analisis Data Analisis Kualitas Airtanah Analisis Fasies Airtanah Analisis Daerah Imbuhan Analisis Umur Airtanah 72 BAB V KESIMPULAN 75 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vi

9 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Lokasi daerah penelitian 3 Gambar 1.2 Morfologi daerah penelitian (citra ASTER GDEM) 4 Gambar 1.3 Petani setempat bercocok tanam pada lereng-lereng bukit; 4 (a) kebun sayur, (b) sawah Gambar 1.4 Diagram alir tahap penelitian 5 Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (disadur dari van Bemmelen, ) Gambar 2.2 Geologi daerah Paseh-Cikancung dan sekitarnya (Alzwar 9 dkk., 1992) Gambar 2.3 Stratigrafi regional di sekitar daerah penelitian (Alzwar 9 dkk., 1992) Gambar 2.4 Pola umum struktur di Jawa Barat (disadur dari 12 Pulunggono dan Martodjojo, 1994) Gambar 2.5 Peta hidrogeologid darah Paseh-Cikancung dan sekitarnya 13 (Soetrisno, 1983) Gambar 3.1 Analisis kelurusan pada citra ASTER GDEM 15 Gambar 3.2 Diagram frekuensi yang menunjukkan pola kelurusan 15 daerah penelitian memiliki pola utama berarah barat lauttenggara Gambar 3.3 Jenis pola aliran sungai daerah penelitian 16 Gambar 3.4 Peta kemiringan lereng daerah penelitian 17 Gambar 3.5 Satuan Kerucut Gunungapi G. Mandalawangi dan G. 18 Buleud Gambar 3.6 Satuan Kerucut Gunungapi G. Pulus dan G. Putri 19 Gambar 3.7 Satuan Kaki Gunungapi (foto diambil dari kaki G. Pulus) 19 Gambar 3.8 Lembah berbentuk V pada daerah penelitian 20 Gambar 3.9 Longsoran yang terdapat pada Satuan Geomorfologi 20 Kerucut Gunungapi; (a) di lereng G. Pulus dan (b) di lereng G. Mandalawangi Gambar 3.10 Analisis tubuh gunungapi pada citra ASTER GDEM 21 vii

10 Gambar 3.11 Analisis tubuh gunungapi pada peta topografi 22 Gambar 3.12 Klasifikasi batuan beku (IUGS,1973) (disadur dari Cas 24 dan Wright (1987)) Gambar 3.13 Klasifikasi batuan piroklastik berdasarkan: (a) ukuran butir 24 (Fisher dan Scminke, 1984 dalam Gillespie dan Styles, 1999) dan (b) jenis material (Schmidt, 1981) Gambar 3.14 Kontak antara Satuan Tuf G. Pulus dengan Satuan Breksi 26 G. Pulus Gambar 3.15 Singkapan dan sampel Satuan Breksi G. Pulus 27 Gambar 3.16 Singkapan tuf kasar pada Satuan Tuf G. Pulus 28 Gambar 3.17 Singkapan tuf halus pada Satuan Tuf G. Pulus 28 Gambar 3.18 Singkapan dan sampel breksi piroklastik pada Satuan 30 Breksi-Lava G. Pasir Jugul Gambar 3.19 Singkapan dan sampel lava andesit pada Satuan Breksi- 30 Lava G. Pasir Jugul Gambar 3.20 Singkapan dan sampel lava andesit pada Satuan Lava 31 Andesit G. Putri Gambar 3.21 Singkapan dan sampel tuf-lapili pada Satuan Lava Andesit 32 G. Putri Gambar 3.22 Citra ASTER GDEM yang menunjukkan bahwa morfologi 33 dan pola aliran sungai pada Satuan Tuf Breksian I G. Mandalawangi dipotong oleh morfologi Satuan Tuf Breksian II G. Mandalawangi; dan rona morfologi pada Satuan Breksi Mandalawangi lebih halus daripada rona morfologi pada Satuan Tuf Breksian I dan II G. Mandalawangi Gambar 3.23 Singkapan tuf breksian pada Satuan Tuf Breksian I G. 34 Mandalawangi Gambar 3.24 Singkapan dan sampel tuf kasar pada Satuan Tuf Breksian 34 I G. Mandalawangi Gambar 3.25 Singkapan tuf breksian pada Satuan Tuf Breksian II G. Mandalawangi 35 viii

11 Gambar 3.26 Singkapan tuf-lapili pada Satuan Tuf Breksian II G. 36 Mandalawangi Gambar 3.27 Singkapan breksi piroklastik pada Satuan Breksi G. 37 Mandalawangi yang terdapat arang kayu (foto kiri) dan struktur aliran (foto kanan) Gambar 3.28 Singkapan tuf halus pada Satuan Breksi G. Mandalawangi 37 Gambar 3.29 Singkapan tuf kasar Satuan Tuf G. Buleud 38 Gambar 3.30 Singkapan dan sampel breksi piroklastik pada Satuan 40 Breksi-Lava G. Pangrajin Gambar 3.31 Singkapan dan sampel lava andesit pada Satuan Breksi- 40 Lava G. Pangrajin Gambar 3.32 Singkapan tuf lapili pada Satuan Breksi-Lava G. Pangrajin 40 Gambar 3.33 Singkapan dan sampel tuf terelaskan pada Satuan Breksi- 41 Lava G. Pangrajin Gambar 3.34 Sesar di daerah penelitian yang dianalisis berdasarkan 42 kelurusan pada citra ASTER GDEM dan kekar gerus yang terdapat di lapangan Gambar 3.35 Delineasi kelurusan sesar di daerah penelitian 43 Gambar 3.36 Salah satu pengamatan kekar gerus yang terletak di jalur 44 kelurusan Sesar Menganan Normal Pulus Gambar 3.37 Skema terbentuknya Sesar Normal Mandalawangi 45 Gambar 3.38 Salah satu pengamatan kekar gerus yang terletak di jalur 46 kelurusan Sesar Menganan Normal Cigentur Gambar 3.39 Diagram blok sejarah geologi daerah penelitian 48 Gambar 4.1 Diagram trilinier yang digunakan untuk menampilkan hasil 51 analisis kimia air (Piper, 1944 dalam Fetter, 2001) Gambar 4.2 Diagram klasifikasi hidrogeokimia air (Back, 1960 dan ) dalam Fetter, 2001) Gambar 4.3 Analisis yang digambarkan oleh Diagram Stiff. Jarak horizontal dari sumbu vertikal merupakan jumlah meq/l untuk tiap anion atau kation (Stiff, 1951 dalam Fetter, 2001) 52 ix

12 Gambar 4.4 Pola pergeseran jumlah isotop O 18 dan 2 H dan prosesproses 55 yang mempengaruhinya (Puradimaja dkk., 2008) Gambar 4.5 Pengukuran parameter fisika di lapangan menggunakan 56 multimeter Gambar 4.6 Lokasi mataair di daerah penelitian 58 Gambar 4.7 Mataair Cigalumpit yang merupakan mataair rekahan 59 Gambar 4.8 Salah satu mataair depresi yang terdapat di daerah 59 penelitian Gambar 4.9 Plot komposisi ion utama sampel air pada Diagram Stiff (a) 63 MA-14, (b) MA-21, (c) MA-22, (d) MA-23 Gambar 4.10 Plot data ion utama dari lima sampel mataair daerah 64 penelitian pada Diagram Piper Gambar 4.11 Diagram alir analisis untuk menentukan daerah imbuhan 65 airtanah daerah penelitian Gambar 4.12 Garis Air Meteorik Wayang Windu (garis biru) dan Garis 66 Air Meteorik Global (garis merah) Gambar 4.13 Grafik δ 2 H terhadap elevasi 67 Gambar 4.14 Grafik δ 18 O terhadap elevasi 67 Gambar 4.15 Plot data isotop dan Garis Air Meteorik Wayang Windu 68 (Hendrasto, 2005) Gambar 4.16 Daerah imbuhan airtanah pada daerah penelitian 72 x

13 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Kolom volkanostratigrafi daerah penelitian 23 Tabel 3.2 Klasifikasi endapan piroklastik berdasarkan ukuran butir. 24 Disadur dari Schmidt (1981) Tabel 4.1 Data parameter fisika yang diukur di lapangan 60 Tabel 4.2 Data ion utama hasil analisis pada lima sampel mataair di 60 daerah penelitian Tabel 4.3 Data kandungan isotop hasil analisis pada tiga sampel mataair 61 di daerah penelitian Tabel 4.4 Hasil perhitungan error kesetimbangan ion 62 Tabel 4.5 Hasil perhitungan titik potong sampel mataair daerah 70 penelitian untuk menentukan kisaran elevasi daerah imbuhan Tabel 4.6 Perhitungan nilai konduktivitas hidrolik 74 Tabel 4.7 Nilai representatif konduktivitas hidrolik untuk beberapa jenis batuan (Domenico dan Scwartz, 1990) 74 xi

14 DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN A LAMPIRAN B LAMPIRAN C LAMPIRAN D LAMPIRAN E LAMPIRAN F : PETA LINTASAN GEOLOGI : PETA GEOMORFOLOGI : PETA GEOLOGI DAN PENAMPANG : PENGAMATAN PETROGRAFI BATUAN : ANALISIS KINEMATIKA STRUKTUR GEOLOGI : HASIL ANALISIS SAMPEL MATAAIR xii

15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dilalui oleh jalur gunungapi yang memanjang dari bagian barat Sumatra hingga bagian timur Sulawesi. Jajaran gunugapi tersebut terbentuk akibat subduksi Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia. Hal ini membuat pemetaan di daerah volkanik menjadi topik yang menarik untuk dipelajari. Dari sisi hidrogeologi, di daerah gunungapi banyak sekali terdapat mataair yang menarik untuk diteliti. Pada kenyataannya, masyarakat di daerah penelitian sangat bergantung pada air dari mataair untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari, seperti memasak, mencuci, mengairi sawah, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, analisis kualitas air di daerah tersebut perlu dilakukan untuk menjamin kesehatan masyarakat dan juga perlu dilakukan analisis daerah imbuhan airtanah untuk menjaga keberlangsungan mataair di daerah penelitian. 1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini adalah mengaplikasikan ilmu-ilmu geologi yang diperoleh selama perkuliahan dan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana (S-1) dari Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung. Tujuan penelitian ini adalah: Mengetahui geomorfologi dan kondisi geologi daerah penelitian yang berupa persebaran batuan, stratigrafi, stuktur, serta sejarah geologi daerah penelitian. Mengetahui kualitas, zona akifer, daerah imbuhan, dan umur airtanah daerah penelitian. 1.3 Pembimbing Pembimbing penelitian tugas akhir ini yaitu: 1. Agus M. Ramdhan, S.T., M.T., Ph.D. selaku pembimbing pertama, dan 2. Ir. Nurcahyo I. Basuki M.T., Ph.D. selaku pembimbing kedua. 1

16 1.4 Batasan Masalah Pembahasan penelitian ini mencakup: Kondisi geologi berupa persebaran batuan, stratigrafi, struktur, dan sejarah geologi daerah penelitian. Studi khusus mataair yang membahas kualitas, zona akifer, daerah imbuhan, dan umur airtanah daerah penelitian. 1.5 Lokasi Daerah Penelitian Daerah penelitian secara administratif terletak di Kecamatan Paseh bagian timur dan Kecamatan Cikancung bagian selatan yang termasuk kedalam wilayah Kabupaten Bandung dan Kecamatan Leles bagian utara yang termasuk kedalam wilayah Kabupaten Garut (Gambar 1.1). Secara geografis, daerah penelitian terletak di koordinat ' " ' " BT dan 7 02' " ' " LS. Daerah penelitian memiliki luas 25 km 2 dan berada pada ketinggian mdpl. Dari Kota Bandung, daerah penelitian dapat ditempuh melalui jalan darat dalam waktu +3 jam dengan menggunakan angkutan umum bus Damri tujuan Terminal Leuwi Panjang (+15 menit), kemudian dilanjutkan dengan menggunakan bus tujuan Majalaya (+2 jam 30 menit), kemudian dilanjutkan menggunakan angkot menuju basecamp (+15 menit). Selain itu, daerah penelitian dapat ditempuh lebih cepat dengan menggunakan sepeda motor, yaitu selama +1 jam 45 menit. Secara morfologi, daerah penelitian terletak di perbukitan dan pegunungan yang bergelombang (Gambar 1.2). Sebagian besar penduduk setempat bekerja sebagai petani sayur, tembakau, dan padi yang memanfaatkan lahan pada lerenglereng bukit (Gambar 1.3). 2

17 Gambar 1.1 Lokasi daerah penelitian Gambar 1.2 Morfologi daerah penelitian (citra ASTER GDEM) 3

18 (a) (b) Gambar 1.3 Petani setempat bercocok tanam pada lereng-lereng bukit; (a) kebun sayur, (b) sawah 1.6 Metode dan Tahap Penelitian Metode penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu tahap persiapan dan studi pendahuluan, tahap pengambilan data lapangan, tahap pengolahan dan analisis data, dan tahap penyusunan laporan (Gambar 1.4) Tahap Persiapan dan Studi Pendahuluan Tahap ini meliputi kegiatan: Studi literatur mengenai kondisi geologi dan hidrogeologi regional daerah penelitian. Pengadaan peta topografi dan citra The Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) Global Digital Elevation Model (GDEM) untuk analisis geomorfologi. Mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan di lapangan, meliputi alat-alat geologi untuk observasi batuan seperti GPS (Global Positionin System), lup, palu geologi, larutan HCl, dan multimeter yang digunakan untuk mengukur parameter fisika air, serta botol sampel air. Membuat rencana persiapan ke lapangan yang meliputi pembuatan surat izin melakukan tugas akhir, peminjaman perlengkapan, biaya, dan tempat penginapan (basecamp). 4

19 Persiapan dan Studi Pendahuluan Pengambilan Data Lapangan Pengolahan dan Analisis Data Analisis petrografi Analisis geomorfologi Peta geologi dan geomorfologi Analisis struktur sesar Analisis parameter fisika, hidrokimia, daerah imbuhan dan umur airtanah Kesimpulan dan Penyusunan Laporan Gambar 1.4 Diagram alir tahap penelitian Tahap Pengambilan Data Lapangan Tahap ini meliputi: Observasi singkapan batuan di lapangan, yang meliputi: jenis litologi, kondisi, kedudukan dan struktur pada batuan. Pengambilan sampel batuan untuk analisis petrografi. Dokumentasi singkapan batuan dan morfologi daerah penelitian. Pengukuran parameter fisika. Pengambilan sampel mataair daerah penelitian untuk analisis hidrokimia dan isotop Tahap Pengolahan dan Analisis Data Tahap ini meliputi: Pembuatan peta lintasan dan peta geomorfologi. Analisis petrografi sampel batuan. 5

20 Analisis struktur geologi untuk mengetahui jenis dan pola struktur geologi daerah penelitian. Pembuatan peta geologi, penampang geologi, dan kolom stratigrafi. Mengetahui sejarah geologi daerah penelitian. Analisis kualitas, fasies, daerah imbuhan, dan umur airtanah daerah penelitian Tahap Penyusunan Laporan Hasil studi literatur, pengolahan, dan analisis seluruh data yang telah diambil di lapangan ditulis dalam bentuk skripsi untuk dipresentasikan dalam kolokium sebagai persyaratan mengikuti ujian sidang sarjana strata satu (S-1), dan kemudian untuk dipresentasikan dalam sidang sarjana strata satu (S-1). 6

21 BAB II GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat zona, yaitu Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat (Southern Mountain), Zona Bandung (Central Depression Zone of Java), Zona Bogor (Bogor Antiklinorium) dan Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat (Alluvial Plains of Northern Java). Batas antara Zona Bandung dan Zona Bogor ditandai oleh adanya rangkaian gunungapi berumur Kuarter. Daerah penelitian terletak pada rangkaian gunungapi tersebut (Gambar 2.1). Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (disadur dari van Bemmelen, 1949) 2.2 Stratigrafi Regional Lokasi daerah penelitian termasuk kedalam Peta Geologi Lembar Garut dan Pameungpeuk (Alzwar dkk., 1992). Berdasarkan peta geologi tersebut, daerah 7

22 penelitian mencakup dua satuan stratigrafi, yaitu Satuan Batuan Gunungapi Guntur- Pangkalan dan Kendang (Qgpk) dan Satuan Gunungapi Mandalawangi-Mandalagiri (Gambar 2.2). Secara regional, tatanan stratigrafi di daerah penelitian berumur Miosen Awal hingga Holosen (Gambar 2.3). Tatanan stratigrafi tersebut dari tua ke muda adalah sebagai berikut. Diorit Kuarsa (Tmi(d)) Satuan Diorit Kuarsa merupakan satuan batuan terobosan tertua yang tersingkap dan berumur Miosen. Satuan ini memiliki komposisi litologi berupa diorit kuarsa, berwarna abu-abu kehijauan dan porfiritik. Formasi Jampang (Tomj) Formasi Jampang merupakan formasi batuan gunungapi tertua yang tersingkap dan berumur Miosen. Formasi ini disusun oleh lava andesit terkekarkan, breksi andesit hornblend, sisipan tuf halus, dan setempat terpropilitkan. Formasi Bentang (Tmpb) Formasi Bentang terletak tidak selaras diatas Formasi Jampang. Formasi ini merupakan satuan batuan sedimen berumur Miosen, yang disusun oleh batupasir tufaan, tuf batuapung, batulempung, konglomerat, dan lignit. Anggota Sukaraja Formasi Bentang (Tmbs) Satuan ini merupakan anggota Formasi Bentang yang berupa satuan batuan sedimen berumur Miosen. Anggota Sukaraja secara lateral memiliki hubungan menjari dengan Formasi Bentang (Tmbp). Variasi litologi ini disusun oleh batugamping pasiran dan batugamping terumbu. Formasi Beser (Tmb) Formasi Beser merupakan satuan batuan gunungapi berumur Miosen yang terletak selaras di atas Formasi Jampang. Formasi ini terdiri dari breksi tufaan dan lava yang bersusunan dari andesit sampai basalt. 8

23 Gambar 2.2 Geologi daerah Paseh-Cikancung dan sekitarnya (Alzwar dkk., 1992) Gambar 2.3 Stratigrafi regional di sekitar daerah penelitian (Alzwar dkk., 1992) Breksi Tufaan (Tpv) Satuan ini merupakan satuan batuan gunungapi berumur Pliosen, yang disusun oleh breksi, tuf, dan batupasir. Satuan ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Bentang dan memiliki ketebalan satuan sekitar m. 9

24 Andesit (Tpi(a)) Satuan Andesit merupakan batuan intrusi berumur Pliosen. Satuan ini berumur lebih muda dari batuan intrusi Diorit Kuarsa. Satuan ini memiliki komposisi litologi berupa andesit yang terdiri dari andesit hornblend (Tpah) dan andesit piroksen (Tpap). Satuan Batuan Gunungapi Kuarter Tua Satuan ini terdiri dari produk gunungapi berumur Kuarter yang berasal dari beberapa sumber erupsi, yaitu: G. Waringin-Bedil-Malabar Tua (Qwb), Guntur- Pangkalan-Kendang (Qko, Qgpk), Sangianganjung (Qsu), Mandalawangi- Mandalagiri (Qmm), Malabar-Tilu (Qmt), Kancana-Huyung-Tilu (Qkl, Qhl, Qtl), Kracak-Puncakgede (Qkp), dan beberapa produk sekunder tak teruraikan berasal dari sumber erupsi gunungapi tua (Qopu). Produk gunungapi Kuarter Tua terdiri dari produk primer berupa lava andesit (andesit piroksen dan andesit hornblend) sampai basalt, breksi tuf (dengan fragmen batuapung), tuf (tuf hablur halus - kasar dasitan), dan produk sekundernya berupa breksi lahar (mengandung fragmen batuapung dan lava andesit sampai basalt). Satuan Batuan Gunungapi Kuarter Muda (Qy (w, p, c, m, h, k)) Satuan ini merupakan satuan batuan gunungapi berumur Kuarter yang bersumber dari gunungapi muda, yaitu: G. Wayang (Qyw), G. Windu (Qyw), G. Papandayan(Qyp), G. Cikuray (Qyc), G. Masigit (Qym), G. Haruman (Qyh), dan G. Kaledong (Qyk), serta beberapa produk gunungapi tak teruraikan (Qypu, Qhp, Qhg). Satuan ini terdiri dari produk gunungapi primer berupa lava andesit sampai basalt (basalt labradorit), tuf, dan piroklastik tak terkonsolidasi berupa abu gunungapi, lapili dan eflata. Sedangkan produk sekundernya terdiri dari breksi lahar dengan fragmen andesit sampai basalt. Satuan Endapan Permukaan Satuan ini berumur paling muda (Holosen) yang terdiri dari endapan kolovium (Ok), endapan danau (Od), dan endapan alluvium (Oa). Endapan koluvium terdiri dari talus, rayapan, dan runtuhan bagian tubuh kerucut gunungapi tua berupa bongkah batuan beku, breksi tuf, dan pasir tuf (Ok). Endapan danau (Od) terdiri dari 10

25 lempung, lanau, pasir halus hingga kerikil dan secara umum bersifat tufaan. Alluvium (Oa) berupa lempung, lanau, pasir halus hingga kerikil serta bongkahbongkah batuan beku dan sedimen. Stratigrafi Daerah Penelitian Satuan yang terdapat di daerah penelitian dari tua ke muda adalah Satuan Batuan Gunungapi Guntur-Pangkalan dan Kendang (Qgpk) dan Satuan Batuan Gunungapi Mandalawangi-Mandalagiri (Qmm) (Gambar 2.2). Menurut Alzwar dkk. (1992), kedua satuan tersebut berumur Pleistosen. Satuan Batuan Gunungapi Guntur- Pangkalan dan Kendang tersusun oleh rempah lepas dan lava bersusun andesitbasalan yang bersumber dari kompleks gunungapi tua G. Guntur-G. Pangkalan dan G. Kendang. Satuan Batuan Gunungapi Mandalawangi-Mandalagiri tersusun oleh tuf kaca yang mengandung batuapung dan lava bersusun andesit piroksen hingga basalan. 2.3 Tektonik dan Struktur Regional Aktivitas tektonik di sekitar daerah penelitian pada Zaman Tersier dipengaruhi oleh penunjaman Lempeng Samudera Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia (Soeria-Atmadja dkk., 1994). Penunjaman yang terjadi pada Oligosen Akhir - Miosen Awal/Tengah menghasilkan kegiatan gunungapi yang berkomposisi andesit yang diikuti dengan sedimentasi karbonat pada laut dangkal (Alzwar dkk., 1992). Kegiatan magmatik tersebut diakhiri dengan intrusi diorit kuarsa pada akhir Miosen Tengah yang mengakibatkan pempropilitan pada Formasi Jampang di beberapa tempat dan menghasilkan proses mineralisasi. Setelah terjadi perlipatan, pengangkatan dan erosi, terjadi sedimentasi Formasi Bentang di bagian selatan Peta Geologi Lembar Garut dan Pameungpeuk, Jawa, dan kegiatan gunungapi di utara pada Miosen Akhir - Pliosen Awal. Setelah itu, terjadi kegiatan magmatik yang menghasilkan gunungapi dan diakhiri oleh intrusi andesit pada Pliosen. Pada Plio-Pleistosen kegiatan gunungapi kembali terjadi dan disusul oleh serangkaian kegiatan gunungapi Kuarter Awal hingga sekarang di bagian tengah dan utara Peta Geologi Lembar Garut dan Pameungpeuk, Jawa, yang tersebar pada lajur barat-timur. 11

26 Berdasarkan Pulunggono dan Martodjojo (1994), pola struktur Pulau Jawa terdiri dari tiga pola kelurusan (Gambar 2.4), yaitu: a. Pola Meratus Pola ini merupakan kelurusan berarah timur laut-barat daya dan terletak disudut barat daya Pulau Jawa (Cimandiri/Sukabumi). Pola kelurusan ini merupakan jalur subduksi purba yang terbentuk pada zaman Kapur akibat interaksi penunjaman Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia. Jalur ini melewati Ciletuh (Jawa Barat bagian selatan), Pegunungan Serayu (Jawa Tengah), Laut Jawa bagian timur, sampai ke Kalimantan Tenggara. b. Pola Sunda Pola ini merupakan kelurusan berarah utara-selatan yang sangat dominan di bagian utara P. Jawa dan kawasan Laut Jawa. Pola ini diwakili oleh sesar-sesar yang membatasi Cekungan Asri, Cekungan Sunda, dan Cekungan Arjuna. Pola ini merupakan jalur subduksi Tersier Awal (Eosen - Oligosen Akhir) yang terbentuk di sepanjang Pulau Jawa. c. Pola Jawa Pola ini memiliki kelurusan berarah timur-barat yang umumnya berupa sesar naik ke arah utara yang melibatkan batuan sedimen berumur Tersier. Pola ini merupakan kelanjutan dari interaksi konvergen pada Tersier Awal dan berlangsung selama Tersier Akhir (Oligosen Akhir - Miosen Awal) serta terletak di sepanjang Pulau Jawa. Struktur daerah penelitian terletak di daerah yang dipengaruhi oleh struktur Pola Meratus, Pola Sunda, dan Pola Jawa (Gambar 2.4). Gambar 2.4 Pola umum struktur di Jawa Barat (disadur dari Pulunggono dan Martodjojo, 1994) 12

27 Berdasarkan Peta Geologi Garut dan Pameungpeuk (Alzwar dkk., 1992), struktur geologi yang terdapat di sekitar daerah penelitian adalah lipatan dan sesar. Terdapat lipatan pada Formasi Bentang yang berarah hampir barat laut-tenggara dan pada Formasi Jampang yang relatif berarah hampir utara-selatan. Sesar yang terbentuk pada umumnya berarah barat daya-timur laut dan beberapa ada yang berarah hampir barat-timur. Sesar-sesar tersebut merupakan sesar muda karena memotong satuan batuan berumur Tersier dan Kuarter. Sesar-sesar yang berkembang pada umur Kuarter umumnya berlaku sebagai pengontrol munculnya gunungapi-gunungapi muda. 2.5 Hidrogeologi Regional Secara regional, daerah penelitian termasuk kedalam Peta Hidrogeologi Lembar Bandung (Soetrisno, 1983). Pada daerah penelitian terdapat tiga tipe unit hidrogeologi, yaitu akifer dengan produktivitas sedang dan persebaran luas, setempat akifer produktif, dan daerah airtanah langka atau tak berarti (Gambar 2.5). Akifer dengan produktivitas sedang adalah akifer dengan kemenerusan yang sangat beragam, dan kedalaman muka airtanahnya umumnya adalah dalam. Setempat akifer produktif adalah akifer dengan kemenerusan sangat beragam, umumnya air tanah tidak dimanfaatkan karena letak muka air tanah yang dalam. Gambar 2.5 Peta Hidrogeologi daerah penelitian (Soetrisno, 1983) 13

28 BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Bentukan bentang alam mencerminkan proses-proses alam yang terjadi, baik endogen maupun eksogen. Proses endogen merupakan proses yang bersifat konstruktif, seperti pengangkatan dan aliran piroklastik. Proses eksogen merupakan proses yang bersifat dekstruktif, seperti erosi dan pelapukan. Pada daerah volkanik, pembagian satuan geomorfologi sangat berperan untuk menentukan sumber erupsi yang digunakan dalam pembagian satuan geologi (Yuwono, 2004). Analisis morfologi tersebut diharapkan dapat menentukan proses-proses geologi yang terjadi di daerah penelitian. Metode yang digunakan dalam analisis geomorfologi daerah penelitian adalah analisis terhadap citra ASTER GDEM, peta topografi, dan pengamatan di lapangan (LAMPIRAN A). Analisis tersebut menghasilkan data kelurusan bukit dan lembah, pola aliran sungai, peta kemiringan lereng, satuan geomorfologi, tahap geomorfik dan penentuan tubuh gunungapi. Hasil analisis tersebut dijelaskan pada subbab di bawah berikut Kelurusan Bukit dan Lembah Daerah Penelitian Berdasarkan analisis kelurusan bukit dan lembah/sungai pada citra ASTER GDEM (Gambar 3.1), diperoleh frekuensi diagram kelurusan di daerah penelitian yang berarah dominan barat laut-tenggara (Gambar 3.2). Pola kelurusan tersebut dapat mencerminkan kondisi struktur geologi daerah penelitian seperti yang dijelaskan pada subbab 3.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian. 14

29 Gambar 3.1 Analisis kelurusan pada citra ASTER GDEM Gambar 3.2 Diagram frekuensi yang menunjukkan pola kelurusan daerah penelitian memiliki pola utama berarah barat laut-tenggara Pola Aliran Sungai Daerah Penelitian Luas daerah penelitian dapat dikatakan cukup kecil untuk mengobservasi pola aliran sungai dengan baik. Agar lebih komprehensif, analisis pola aliran sungai daerah penelitian dilakukan dengan mengamati pola aliran sungai di daerah penelitian dan juga di sekitarnya (Gambar 3.3). Berdasarkan analisis pada peta topografi, aliran sungai di daerah penelitian menunjukkan pola radial sentrifugal dan pola paralel yang berarah barat lauttenggara. Pola-pola aliran ini dipengaruhi oleh erupsi gunungapi yang berumur Pleistosen (Alzwar dkk. 1992) dan struktur sesar yang berkembang di daerah penelitian seperti yang dijelaskan pada subbab Sesar Menganan Normal Cigentur. Gambar 3.3 menunjukkan pola aliran sungai di sekitar daerah penelitian. 15

30 Gambar 3.3 Jenis pola aliran sungai daerah penelitian 16

31 Pola aliran radial sentrifugal memiliki ciri arah aliran sungai ke segala arah dan hulunya mengarah pada satu pusat. Pola aliran sungai ini dipengaruhi oleh bentuk kerucut gunungapi yang melingkar. Pada daerah penelitian, pola aliran sungai ini terletak di sekitar G. Putri, G. Pulus, G. Pasir Jugul, G. Mandalawangi, dan G. Pangrajin. Sungai-sungai yang menunjukkan pola aliran ini adalah S. Cigentur dan S. Cisungalah. Pola aliran paralel memiliki ciri arah aliran sungai yang saling sejajar. Pada daerah penelitian, pola aliran ini berarah barat laut-tenggara dan timur laut-barat daya yang relatif sejajar pada bagian hulu hingga bagian hilir. Pada daerah penelititan, pola aliran ini dipengaruhi oleh endapan G. Mandalawangi dengan morfologi berupa perbukitan memanjang. Sungai-sungai yang menunjukkan pola aliran ini adalah S. Cikopo, S. Cisungalah, dan S. Cibalepulang Peta Kemiringan Lereng Daerah Penelitian Peta kemiringan lereng diperoleh dari data ASTER GDEM yang diolah dengan perangkat lunak ArcGis 10. Peta kemiringan lereng ini menunjukkan bahwa daerah penelitian memiliki kemiringan lereng datar hingga sangat curam. Kemiringan lereng datar hingga agak curam terletak di tengah hingga timur laut daerah penelitian, sedangkan kemiringan lereng dominan curam hingga sangat curam terletak di barat daya daerah penelitian (Gambar 3.4). Gambar 3.4 Peta kemiringan lereng daerah penelitian 17

32 3.1.4 Satuan Geomorfologi Daerah Penelitian Untuk penamaan satuan geomorfologi di daerah penelitian digunakan klasifikasi geomorfologi yang disusun oleh van Zuidam (1983). Berdasarkan klasifikasi tersebut, geomorfologi di daerah penelitian dibagi menjadi dua satuan, yaitu Satuan Kerucut Gunungapi (V3) dan Satuan Kaki Gunungapi (V7) (LAMPIRAN B) Satuan Kerucut Gunungapi (V3) Satuan ini terletak di timur laut daerah penelitian (LAMPIRAN B). Satuan ini terletak di kaki gunungapi G. Mandalawangi, G. Buleud, G. Pangrajin, G. Pulus, G. Pasir Jugul, dan G. Putri (Gambar 3.5 dan 3.6). Satuan ini memiliki pola kontur yang renggang hingga sangat rapat, relief halus hingga kasar, kemiringan lereng datar hingga sangat curam (0-140%) dan kisaran elevasi kontur mdpl. Pola aliran sungai yang berkembang pada satuan ini adalah pola aliran sungai radial sentrifugal. Satuan ini tersusun oleh endapan volkanik berupa breksi piroklastik, tuf, lava andesit, tuf terelaskan, dan tuf-lapili (LAMPIRAN A). Gambar 3.5 Satuan Kerucut Gunungapi G. Mandalawangi dan G. Buleud Satuan Kaki Gunungapi (V7) Satuan ini terletak di tengah daerah penelitian (LAMPIRAN B). Satuan ini memiliki pola kontur yang renggang hingga agak rapat, relief kasar, kemiringan lereng datar hingga curam (0-70%) dan kisaran elevasi kontur mdpl (Gambar 3.7). Pola aliran sungai yang berkembang pada satuan ini adalah pola aliran sungai paralel. Dataran ini tersusun oleh litologi tuf halus hingga tuf kasar breksian (LAMPIRAN A). 18

33 Gambar 3.6 Satuan Kerucut Gunungapi G. Pulus dan G. Putri Satuan Kaki Gunungapi Gambar 3.7 Satuan Kaki Gunungapi (foto diambil dari kaki G. Pulus) Tahap Geomorfik Daerah Penelitian Bentuk lembah dan umur batuan menjadi parameter dalam penentuan tahap geomorfik di daerah penelitian. Pada umumnya, sungai-sungai di daerah penelitian menunjukkan bentuk huruf V dan berdinding terjal (Gambar 3.8). Sungai berbentuk V menandakan erosi vertikal lebih dominan dibandingkan erosi secara lateral. Pada dinding-dinding terjal di lereng-lereng bukit terdapat pergerakan tanah berupa longsoran (Gambar 3.9). Menurut Alzwar dkk. (1992), batuan di daerah penelitian berumur Pleistosen. Berdasarkan hal tersebut, tahap geomorfik daerah penelitian disimpulkan merupakan tahap dewasa. 19

34 Gambar 3.8 Lembah berbentuk V pada daerah penelitian (a) (b) Gambar 3.9 Longsoran yang terdapat pada Satuan Geomorfologi Kerucut Gunungapi; (a) di lereng G. Pulus dan (b) di lereng G. Mandalawangi Analisis Tubuh Gunungapi Analisis tubuh gunungapi dilakukan untuk menentukan sumber erupsi gunungapi. Analisis ini dilakukan menggunakan citra ASTER GDEM dan peta topografi (Gambar 3.10 dan 3.11). Tubuh gunungapi dicirikan oleh morfologi kerucut dan pola kontur yang relatif rapat dan konsentris. Hasil analisis menunjukkan terdapat enam buah tubuh gunungapi yang terletak di daerah penelitian, yaitu G. Pulus, G. Pasir Jugul, G. Putri, G. Mandalawangi, G. Buleud, dan G. Pangrajin. Gunungapi tersebut selanjutnya disebut sebagai satuan gumuk yang dijelaskan pada 20

35 subbab selanjutnya. Hasil analisis ini digunakan dalam penyusunan kolom volkanostratigrafi. 3.2 Stratigrafi Daerah Penelitian Tatanan satuan stratigrafi di daerah penelitian disusun berdasarkan sumber, jenis batuan, dan urutan kejadian. Penamaan satuan dilakukan dengan mengacu pada satuan resmi volkanostratigrafi Sandi Stratigrafi Indonesia (SSI) (Yuwono, 2004) dengan menggunakan satuan dasar khuluk dan gumuk. Khuluk gunungapi merupakan satuan dasar pada pembagian volkanostratigrafi. Khuluk gunungapi merupakan kumpulan batuan/endapan hasil dari satu atau lebih sumber erupsi, baik berupa sumber erupsi utama maupun erupsi samping (parasiter), yang membentuk satu tubuh gunungapi. Gumuk gunungapi merupakan bagian dari khuluk gunungapi yang terdiri dari satu atau lebih batuan/endapan yang dihasilkan dari satu atau beberapa daur letusan gunungapi. Gambar 3.10 Analisis tubuh gunungapi pada citra ASTER GDEM 21

36 Gambar 3.11 Analisis tubuh gunungapi pada peta topografi Penentuan umur relatif satuan khuluk dilakukan berdasarkan hasil analisis tubuh gunungapi yang telah disebutkan sebelumnya dan disebandingkan dengan satuan batuan pada Peta Geologi Lembar Garut dan Pameungpeuk (Alzwar dkk., 1992). Gumuk G. Pulus, G. Pasir Jugul, dan G. Putri termasuk kedalam Satuan Batuan Gunungapi Guntur-Pangkalan dan Kendang (Qgpk). Satuan ini kemudian dinamakan Satuan Khuluk Pra-Pulus. Nama Pra-Pulus digunakan dengan asumsi bahwa G. Pra-Pulus merupakan puncak gunungapi yang lebih tua sebelum G. Pulus saat ini dan memiliki lebih dari satu titik erupsi. Kemudian Gumuk G. Mandalawangi, G. Buleud, dan G. Pangrajin termasuk kedalam Satuan Batuan Gunungapi Mandalawangi-Mandalagiri (Qmm). Satuan ini kemudian dinamakan Satuan Khuluk Pra-Mandalawangi. Nama Pra-Mandalawangi digunakan dengan asumsi bahwa G. Pra-Mandalawangi merupakan puncak gunungapi yang lebih tua sebelum G. Mandalawangi saat ini dan memiliki lebih dari satu titik erupsi. 22

37 Berdasarkan analisis di atas, Satuan Khuluk Pra-Pulus berumur lebih tua daripada Satuan Khuluk Pra-Mandalawangi. Penentuan umur relatif satuan gumuk dilakukan berdasarkan rona morfologi pada citra ASTER GDEM dan pola potongmemotong pada peta topografi. Analisis pada citra ASTER GDEM menunjukkan bahwa gumuk G. Pulus memiliki rona lebih kasar daripada G. Pasir Jugul dan G. Putri; dan G. Pasir Jugul memiliki rona lebih kasar daripada G. Putri seperti yang terlihat pada Gambar Analisis peta topografi menunjukkan bahwa pola kontur G. Pulus dipotong oleh pola kontur G. Pasir Jugul dan G. Putri seperti yang terlihat pada Gambar Berdasarkan analisis tersebut, urutan satuan gumuk dari tua ke muda pada Satuan Khuluk Pra-Pulus adalah G. Pulus, G. Pasir Jugul, dan G. Putri. Analisis peta topografi menunjukkan bahwa pola kontur G. Mandalawangi dipotong oleh pola kontur G. Buleud dan G Pangrajin; dan pola kontur G. Bulued dipotong oleh pola kontur G. Pangrajin seperti yang terlihat pada Gambar Berdasarkan analisis tersebut, urutan satuan gumuk dari tua ke muda pada Satuan Khuluk Pra-Mandalawangi adalah G. Mandalawangi, G. Buleud, dan G. Pangrajin. Berdasarkan analisis yang telah disebutkan di atas dan digabungkan dengan data pengamatan batuan di lapangan (LAMPIRAN A), daerah penelitian dapat dibagi menjadi satuan-satuan volkanostratigrafi seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1. Satuansatuan tersebut akan dijelaskan pada subbab selanjutnya. Tabel 3.1 Kolom volkanostratigrafi daerah penelitian 23

38 Daerah penelitian tersusun oleh batuan beku dan batuan piroklastik. Penamaan batuan beku mengacu pada klasifikasi batuan beku menurut The International Union of Geological Sciences (IUGS, 1973) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.12, dan penamaan batuan piroklastik mengacu pada klasifikasi batuan piroklastik berdasarkan ukuran butir dan jenis material menurut Schmidt (1981) dan berdasarkan ukuran fragmen volkanik menurut Fisher dan Schminke (1984) seperti yang ditunjukan pada Tabel 3.2 dan Gambar Gambar 3.13 Klasifikasi batuan beku (IUGS,1973) (disadur dari Cas dan Wright (1987)) Tabel 3.2 Klasifikasi endapan piroklastik berdasarkan ukuran butir. Disadur dari Schmidt (1981) 24

39 (a) (b) Gambar 4.13 Klasifikasi batuan piroklastik berdasarkan: (a) ukuran butir (Fisher dan Scminke, 1984 dalam Gillespie dan Styles, 1999) dan (b) jenis material (Schmidt, 1981) Khuluk Pra-Pulus Khuluk Pra-Pulus terletak di selatan daerah penelitian (LAMPIRAN C). Satuan khuluk ini merupakan satuan khuluk tertua di daerah penelitian. Satuan ini memiliki morfologi perbukitan terjal dan terletak pada ketinggian mdpl. Pola aliran sungai yang berkembang pada satuan ini adalah pola aliran radial sentrifugal (Gambar 3.3). Satuan khuluk ini dibagi menjadi tiga satuan gumuk, yaitu Gumuk G. Pulus, G. Pasir Jugul, dan G. Putri Gumuk G. Pulus Gumuk G. Pulus merupakan satuan gumuk tertua di daerah penelitian (LAMPIRAN C). Satuan ini memiliki puncak di selatan daerah penelitian dengan persebaran endapan dominan ke arah utara (Gambar 3.10 dan 3.11). Satuan gumuk ini dibagi menjadi dua satuan litologi, dari tua ke muda yaitu Breksi G. Pulus dan Tuf G. Pulus. Kontak litologi antara Tuf G. Pulus dengan Breksi G. Pulus ditemukan di lapangan dengan kedudukan litologi tuf diendapkan di atas breksi piroklastik (Gambar 3.14). Hal ini menunjukkan bahwa Tuf G. Pulus diendapkan di atas Breksi G. Pulus. 25

40 Satuan Tuf G. Pulus Satuan Breksi G. Pulus DR Gambar 3.14 Kontak antara Satuan Tuf G. Pulus dengan Satuan Breksi G. Pulus Breksi G. Pulus (PLa1) Persebaran dan Kondisi Batuan Satuan ini tersebar di selatan daerah penelitian (LAMPIRAN C). Berdasarkan pengukuran pada penampang geologi, tebal satuan ini lebih dari 65 m. Satuan ini tertutupi oleh Tuf G. Pulus dan tersingkap pada lereng bagian timur dan barat G. Pulus (LAMPIRAN C). Satuan ini tersusun oleh breksi piroklastik yang berwarna abu-abu kehitaman, butiran berukuran debu halus - blok, dengan butiran berbentuk menyudut - membundar tanggung, pemilahan butiran sangat buruk, hubungan antar fragmen dominan kemas terbuka, dan fragmen berupa batuan beku andesit. Fragmen batuan beku andesit tersebut memiliki warna abu-abu, tekstur ekuigranular, tekstur fanerik, dengan bentuk mineral euhedral - subhedral, terdiri dari plagioklas (45%), hornblend (10%) dan piroksen (45%). Fragmen ini tertanam dalam matriks yang berwarna putih abu-abu, butiran berukuran debu halus - lapili, menyudut - menyudut tanggung, terpilah sedang, litik (30%), gelas (60%) dan kristal (10%). Gambar 3.15 menunjukkan singkapan dan sampel breksi piroklastik satuan ini di lapangan. Pengamatan mikroskopis pada sayatan fragmen breksi piroklastik satuan ini ditunjukkan pada LAMPIRAN D dengan kode sampel DR

41 Umur, Hubungan Stratigrafi, dan Genesa Satuan ini merupakan satuan litologi tertua di daerah penelitian. Satuan ini berumur Pleistosen dan disetarakan dengan Satuan Batuan Gunungapi Guntur- Pangkalan dan Kendang (Alzwar dkk., 1992). Komposisi matriks yang dominan gelas menunjukkan bahwa satuan ini merupakan endapan piroklastik aliran. DR Gambar 3.15 Singkapan dan sampel Satuan Breksi G. Pulus Tuf G. Pulus (PLj2) Persebaran dan Kondisi Batuan Satuan ini tersebar di selatan daerah penelitian (LAMPIRAN C). Berdasarkan pengukuran pada penampang geologi, tebal satuan ini adalah + 43 m. Satuan ini tersusun oleh tuf kasar secara dominan dan sedikit tuf halus (LAMPIRAN A). Tuf kasar pada satuan ini dicirikan oleh batuan piroklastik berwarna putih abu-abu, butiran berukuran debu halus - kasar, dengan pemilahan butiran baik, butiran berbentuk menyudut tanggung - membundar tanggung, butiran terdiri dari kristal, gelas, dan litik. Tuf halus pada satuan ini dicirikan oleh batuan piroklastik berwarna coklat kekuningan, kondisi lapuk, memiliki butiran berukuran debu halus - kasar, dan pemilahan butiran baik. Gambar 3.16 dan Gambar 3.17 menunjukkan singkapan tuf kasar dan tuf halus satuan ini di lapangan. Pengamatan mikroskopis pada sayatan tuf kasar satuan ini ditunjukkan pada LAMPIRAN D dengan kode sampel KS Umur, Hubungan Stratigrafi, dan Genesa Satuan ini diendapkan di atas satuan Breksi G. Pulus. Satuan ini berumur Pleistosen dan disetarakan dengan Satuan Batuan Gunungapi Guntur-Pangkalan dan 27

42 Kendang (Alzwar dkk., 1992). Tekstur pemilahan butiran yang baik menunjukkan bahwa satuan ini merupakan endapan piroklastik jatuhan. KS Gambar 3.16 Singkapan tuf kasar pada Satuan Tuf G. Pulus LP Gambar 3.17 Singkapan tuf halus pada Satuan Tuf G. Pulus Gumuk G. Pasir Jugul Satuan ini memiliki puncak di selatan daerah penelitian dengan persebaran endapan dominan ke arah timur (LAMPIRAN C). Satuan gumuk ini hanya memiliki satu satuan litologi, yaitu Breksi-Lava G. Pasir Jugul. 28

43 Breksi-Lava G. Pasir Jugul (PJa) Persebaran dan Kondisi Batuan Satuan ini terletak di barat daya daerah penelitian (LAMPIRAN C). Satuan ini secara dominan tersusun oleh breksi piroklastik dan lava andesit. Kedua litologi tersebut dikelompokkan menjadi satu satuan karena persebaran masing-masing litologinya setempat (LAMPIRAN A). Satuan ini tersingkap dengan kondisi segar - lapuk. Berdasarkan pengukuran pada penampang geologi, tebal satuan ini adalah m. Breksi piroklastik pada satuan ini dicirikan oleh batuan berwarna abu-abu kehitaman, memiliki butiran berukuran debu halus - blok, dengan butiran berbentuk menyudut - membundar tanggung, pemilahan butiran sangat buruk, hubungan antar fragmen dominan kemas terbuka, dan fragmen berupa batuan beku basalt. Fragmen batuan beku basalt tersebut memiliki warna abu-abu, tekstur ekuigranular, fanerik, euhedral - subhedral, terdiri dari plagioklas (55%), hornblend (5%) dan piroksen (40%). Fragmen ini tertanam dalam matriks yang berwarna putih abu-abu, berukuran tuf - lapili, menyudut - menyudut tanggung, terpilah sedang, litik (35%), gelas (55%) dan kristal (10%). Gambar 3.18 menunjukkan singkapan breksi piroklastik satuan ini di lapangan. Pengamatan mikroskopis pada sayatan fragmen breksi piroklastik satuan ini ditunjukkan pada LAMPIRAN D dengan kode sampel WL Lava andesit pada satuan ini dicirikan oleh batuan berwarna abu-abu kehitaman, memiliki tekstur porfiritik, keseragaman butiran inekuigranular, dengan bentuk butiran subhedral - euhedral, fenokris terdiri dari plagioklas, piroksen, dan hornblend yang tertanam dalam massa dasar gelas dan mineral mafik. Gambar 3.19 menunjukkan singkapan lava andesit satuan ini di lapangan. Pengamatan mikroskopis pada sayatan fragmen breksi piroklastik satuan ini ditunjukkan pada LAMPIRAN D dengan kode sampel DR

44 WL Gambar 3.18 Singkapan dan sampel breksi piroklastik pada satuan Breksi-Lava G. Pasir Jugul DR Gambar 3.19 Singkapan dan sampel lava andesit pada satuan Breksi-Lava G. Pasir Jugul Umur, Hubungan Stratigrafi, dan Genesa Satuan ini diendapkan di atas Satuan Gumuk G. Pulus. Satuan ini berumur Pleistosen dan disetarakan dengan Satuan Batuan Gunungapi Guntur-Pangkalan dan Kendang (Alzwar dkk., 1992). Komposisi matriks pada breksi piroklastik yang dominan gelas dan tekstur porfiritik pada lava andesit menunjukkan bahwa satuan ini merupakan endapan piroklastik aliran dan aliran lava Gumuk G. Putri (PTl) Persebaran dan Kondisi Batuan Satuan ini terletak di tenggara daerah penelitian (LAMPIRAN C). Satuan ini tersusun oleh dominan lava andesit dan tuf kasar lapilian secara setempat. Berdasarkan pengukuran pada penampang geologi, tebal satuan ini adalah m. 30

45 Lava andesit pada satuan ini dicirikan oleh batuan beku berwarna abu-abu, memiliki tekstur porfiritik, keseragaman butiran inekuigranular, memiliki bentuk mineral subhedral - euhedral, fenokris berupa plagioklas (30%), piroksen (10%), hornblend (10%) serta tertanam dalam massa dasar berupa mineral mafik (50%). Gambar 3.20 menunjukkan singkapan lava andesit satuan ini di lapangan. Pengamatan mikroskopis pada sayatan fragmen breksi piroklastik satuan ini ditunjukkan pada LAMPIRAN D dengan kode sampel JK-21.06B. Tuf-lapili pada satuan ini dicirikan oleh batuan piroklastik berwarna merah muda, butiran berukuran debu halus - lapilli, terpilah buruk, hubungan antarbutir kemas terbuka, bentuk butir menyudut - menyudut tanggung. Gambar 3.21 menunjukkan singkapan dan sampel tuf-lapili satuan ini di lapangan. JK-21.06B Gambar 3.20 Singkapan dan sampel lava andesit pada satuan Lava Andesit G. Putri Umur, Hubungan Stratigrafi, dan Genesa Satuan ini diendapkan di atas Satuan Gumuk G. Pulus. Satuan ini berumur Pleistosen dan disetarakan dengan Satuan Batuan Gunungapi Guntur-Pangkalan dan Kendang (Alzwar dkk., 1992). Tekstur porfiritik pada andesit menunjukkan bahwa batuan beku tersebut mengalami perubahan kecepatan pendinginan. Hal ini menunjukkan bahwa magma yang mengalami kristalisasi lambat di dapur magma kemudian keluar dan mengalir ke permukaan menjadi lava dan menyebabkan kristalisasi yang cepat. 31

46 JK Gambar 3.21 Singkapan dan sampel tuf-lapili pada satuan Lava Andesit G. Putri Khuluk Pra-Mandalawangi Nama Pra-Mandalawangi digunakan berdasarkan asumsi bahwa terdapat puncak gunung yang lebih tua daripada puncak saat ini yang dikenal dengan nama Mandalawangi. Endapan khuluk ini tersebar di timur laut daerah penelitian (LAMPIRAN C). Satuan ini memiliki morfologi berupa perbukitan bergelombang dan dataran dengan relief kasar dan terletak pada ketinggian mdpl di daerah penelitian. Pola aliran sungai yang berkembang pada satuan ini adalah dominan pola aliran paralel dan sedikit terdapat pola aliran radial sentrifugal (Gambar 3.3). Satuan khuluk ini dibagi menjadi tiga satuan gumuk, yaitu Gumuk G. Mandalawangi, G. Buled, dan G. Pangrajin Gumuk G. Mandalawangi Satuan ini memiliki puncak bernama Mandalawangi yang terletak di sebelah timur dan di luar daerah penelitian (Gambar 3.10 dan 3.11). Endapan G. Mandalawangi tersebar di tengah hingga timur daerah penelitian (LAMPIRAN C). Satuan gumuk dibagi menjadi tiga satuan litologi, dari tua ke muda yaitu Tuf Breksian I G. Mandalawangi, Tuf Breksian II G. Mandalawangi, dan Breksi G. Mandalawangi. Umur relatif satuan litologi G. Mandalawangi ditentukan berdasarkan analisis morfologi pada citra ASTER GDEM dan pola aliran sungai pada peta topografi dan menggabungkannya dengan pengamatan batuan di lapangan (LAMPIRAN B). Hasil analisis menunjukkan bahwa morfologi, pola kontur, dan pola aliran sungai pada Satuan Tuf Breksian I G. Mandalawangi dipotong oleh morfologi, pola kontur, dan 32

47 pola aliran sungai pada Satuan Tuf seperti yang ditunjukkan pada Gambar Gambar 3.22 juga menunjukkan bahwa rona morfologi pada Satuan Breksi G. Mandalawangi lebih halus daripada rona morfologi Satuan Tuf Breksian I dan II G. Mandalawangi. Dengan demikian, disimpulkan bahwa Satuan Tuf Breksian I G. Mandalawangi lebih tua daripada Satuan Tuf Breksian II G. Mandalawangi dan Satuan Tuf Breksian II G. Mandalawangi lebih tua daripada Satuan Breksi G. Mandalawangi. Gambar 3.22 Citra ASTER GDEM yang menunjukkan bahwa morfologi dan pola aliran sungai pada Satuan Tuf Breksian I G. Mandalawangi dipotong oleh morfologi Satuan Tuf Breksian II G. Mandalawangi; dan rona morfologi pada Satuan Breksi Mandalawangi lebih halus daripada rona morfologi pada Satuan Tuf Breksian I dan II G. Mandalawangi Tuf Breksian I G. Mandalawangi (Ma1) Persebaran dan Kondisi Batuan Satuan ini terletak di tengah hingga timur daerah penelitian (LAMPIRAN C). Satuan ini tersusun oleh tuf breksian dan tuf kasar. Berdasarkan pengukuran pada penampang geologi, tebal satuan ini adalah + 80 m. 33

48 Tuf breksian pada satuan ini dicirikan oleh batuan piroklastik berwarna abuabu kecoklatan, butiran berukuran debu halus - blok, lapuk, pemilahan sangat buruk, fragmen (30%) berupa batuan piroklastik dan tertanam dalam massa dasar yang tersusun oleh kristal (10%), gelas (80%) dan litik (10%). Gambar 3.23 menunjukkan singkapan tuf breksian satuan ini di lapangan. Tuf kasar pada satuan ini dicirikan oleh batuan piroklastik berwarna abu-abu kekuningan, memiliki butiran berukuran debu halus - debu kasar, lapuk, pemilahan sedang, tersusun oleh kristal (30%) dan gelas (70%). Gambar 3.24 menunjukkan singkapan tuf kasar satuan ini di lapangan. Umur, Hubungan Stratigrafi, dan Genesa Satuan ini diendapkan di atas Satuan Gumuk G. Pulus. Satuan ini berumur Pleistosen dan disetarakan dengan Satuan Batuan Gunungapi Guntur-Pangkalan dan Kendang (Alzwar dkk., 1992). Komposisi matriks yang dominan gelas dan pemilahan butiran yang sangat buruk pada tuf breksian menunjukkan bahwa satuan ini merupakan endapan piroklastik aliran. CS Gambar 3.23 Singkapan tuf breksian pada satuan Tuf Breksian I G. Mandalawangi MK Gambar 3.24 Singkapan tuf kasar pada satuan Tuf Breksian I G. Mandalawangi 34

49 Tuf Breksian II G. Mandalawangi (Ma2) Persebaran dan Kondisi Batuan Satuan ini terletak di barat daya daerah penelitian (LAMPIRAN C). Satuan ini tersusun oleh tuf breksian dan tuf-lapili. Berdasarkan pengukuran pada penampang geologi, tebal satuan ini adalah m. Tuf breksian pada satuan ini dicirikan oleh batuan piroklastik berwarna kuning kecoklatan, butiran berukuran debu halus - blok, pemilahan butiran sangat buruk, bentuk fragmen menyudut - membundar tanggung, fragmen polimik berupa andesit dan tuf kasar yang berukuran lapilli - blok. Gambar 3.25 menunjukkan singkapan tuf breksian satuan ini di lapangan. Pengamatan mikroskopis pada sayatan matriks tuf breksian satuan ini ditunjukkan pada LAMPIRAN D dengan kode sampel CS Tuf-lapili pada satuan ini dicirikan oleh batuan piroklastik berwarna kuning kemerahan, butiran berukuran debu halus - lapili, pemilahan butiran buruk, bentuk butiran menyudut - membundar tanggung, butiran terdiri gelas, litik, dan kristal. Gambar 3.26 menunjukkan singkapan tuf-lapili satuan ini di lapangan. Umur, Hubungan Stratigrafi, dan Genesa Satuan ini diendapkan di atas Satuan Gumuk G. Pulus, G. Putri dan satuan Tuf Breksian I G. Mandalawangi. Satuan ini berumur Pleistosen dan disetarakan dengan Satuan Batuan Gunungapi Guntur-Pangkalan dan Kendang (Alzwar dkk., 1992). Komposisi matriks yang dominan gelas dan pemilahan butiran yang sangat buruk pada tuf breksian menunjukkan bahwa satuan ini merupakan endapan piroklastik aliran. CS Gambar 3.25 Singkapan tuf breksian pada Satuan Tuf Breksian II G. Mandalawangi 35

50 CS Gambar 3.26 Singkapan tuf-lapili pada Satuan Tuf Breksian II G. Mandalawangi Breksi G. Mandalawangi (Ma3) Persebaran dan Kondisi Batuan Satuan ini terletak di bagian timur daerah penelitian (LAMPIRAN C). Satuan ini tersusun oleh breksi piroklastik secara dominan dan sedikit tuf halus (LAMPIRAN A). Berdasarkan pengukuran pada penampang geologi, tebal satuan ini adalah + 94 m. Breksi piroklastik pada satuan ini dicirikan oleh batuan piroklastik berwarna merah muda kekuningan, butiran berukuran debu halus - blok, pemilahan butiran sangat buruk, dengan butiran menyudut tanggung - membundar tanggung, fragmen monomik berupa tuf lapili yang berukuran blok, matriks berukuran debu halus - kasar, dan terdapat arang kayu dan struktur aliran. Gambar 3.27 menunjukkan singkapan breksi piroklastik satuan ini di lapangan. Tuf halus pada satuan ini dicirikan oleh batuan piroklastik berwarna kuning kecoklatan, butiran berukuran debu halus, pemilahan butiran baik, dan masif. Gambar 3.28 menunjukkan singkapan tuf halus satuan ini di lapangan. Pengamatan mikroskopis pada sayatan fragmen breksi piroklastik satuan ini ditunjukkan pada LAMPIRAN D dengan kode sampel CH Umur, Hubungan Stratigrafi, dan Genesa Satuan ini diendapkan di atas Satuan Gumuk G. Pulus, satuan Tuf Breksian I dan II G. Mandalawangi. Satuan ini berumur Pleistosen dan disetarakan dengan Satuan Batuan Gunungapi Guntur-Pangkalan dan Kendang (Alzwar dkk., 1992). 36

51 Komposisi matriks yang dominan gelas, tekstur pemilahan butiran yang sangat buruk, dan terdapat arang kayu dan struktur aliran pada breksi piroklastik menunjukkan bahwa satuan ini merupakan endapan piroklastik aliran. Arang kayu CH Struktur aliran Gambar 3.27 Singkapan breksi piroklastik pada Satuan Breksi G. Mandalawangi, menunjukkan arang kayu (foto kiri) dan struktur aliran (foto kanan) CH Gambar 3.28 Singkapan tuf pada Satuan Breksi G. Mandalawangi Gumuk G. Buleud Satuan ini memiliki puncak bernama Buleud yang terletak di sebelah timur laut dan di luar daerah penelitian (Gambar 3.10 dan 3.11). Endapan G. Buleud tersebar di timur laut daerah penelitian (LAMPIRAN C). Satuan gumuk ini hanya memiliki satu satuan litologi, yaitu Tuf G. Buleud. 37

52 Tuf G. Buleud (Bj) Persebaran dan Kondisi Batuan Satuan ini terletak di barat daya daerah penelitian (LAMPIRAN C). Satuan ini tersusun oleh tuf halus dengan kondisi singkapan yang lapuk - sangat lapuk. Berdasarkan pengukuran pada penampang geologi, tebal satuan ini adalah m. Tuf halus pada satuan ini dicirikan oleh batuan piroklastik berwarna kuning kecoklatan, butiran berukuran debu halus - lapilli, butiran berbentuk menyudut tanggung - membundar, dan pemilahan butiran baik - sedang. Gambar 3.29 menunjukkan singkapan tuf halus satuan ini di lapangan. Pengamatan mikroskopis pada sayatan fragmen breksi piroklastik satuan ini ditunjukkan pada LAMPIRAN D dengan kode sampel BL Umur, Hubungan Stratigrafi, dan Genesa Satuan ini diendapkan di atas Satuan Gumuk G. Pulus. Satuan ini berumur Pleistosen dan disetarakan dengan Satuan Batuan Gunungapi Guntur-Pangkalan dan Kendang (Alzwar dkk., 1992). Tekstur pemilahan butiran yang baik - sedang pada tuf halus menunjukkan bahwa satuan ini merupakan endapan piroklastik jatuhan. BL Gambar 3.29 Singkapan tuf pada Satuan Tuf G. Buleud Gumuk G. Pangrajin Satuan ini memiliki puncak bernama Pangrajin yang terletak di sebelah timur laut dan di luar daerah penelitian (Gambar 3.10 dan 3.11). Endapan G. Pangrajin tersebar di timur laut daerah penelitian. Satuan gumuk ini hanya memiliki satu satuan litologi, yaitu Breksi-Lava G. Pangrajin. 38

53 Breksi-Lava G. Pangrajin (PRa) Persebaran dan Kondisi Batuan Satuan ini terletak di timur laut daerah penelitian (LAMPIRAN C). Satuan ini tersusun oleh breksi piroklastik, lava andesit, tuf lapili, dan tuf terelaskan dengan kondisi singkapan yang segar - lapuk. Litologi-litologi tersebut dikelompokkan menjadi satu satuan karena persebaran masing-masing litologinya setempat (LAMPIRAN A). Berdasarkan pengukuran pada penampang geologi, tebal satuan ini adalah + 57 m. Breksi piroklastik pada satuan ini dicirikan oleh batuan piroklastik berwarna abu-abu keputihan, butiran berukuran debu halus - blok, butiran berbentuk menyudut - membundar tanggung, kemas terbuka, pemilahan butiran sangat buruk, fragmen monomik berupa batuan beku andesit yang tertanam dalam massa dasar tuf kasar gelas. Gambar 3.30 menunjukkan singkapan dan sampel breksi piroklastik satuan ini di lapangan. Pengamatan mikroskopis pada sayatan matriks breksi piroklastik satuan ini ditunjukkan pada LAMPIRAN D dengan kode sampel BL Lava andesit pada satuan ini dicirikan oleh batuan beku berwarna merah keabuan, memiliki tekstur porfiritik, keseragaman butiran inekuigranular, memiliki bentuk mineral subhedral - euhedral, tersusun oleh fenokris berupa plagioklas (30%), piroksen (10%), hornblend (10%), dalam massa dasar yang berupa mineral mafik (50%). Gambar 3.31 menunjukkan singkapan lava andesit satuan ini di lapangan. Pengamatan mikroskopis pada sayatan fragmen breksi piroklastik satuan ini ditunjukkan pada LAMPIRAN D dengan kode sampel BL Tuf lapili pada satuan ini dicirikan oleh batuan piroklastik berwarna abu-abu gelap, butiran berukuran debu halus - lapilli, bentuk butiran menyudut tanggung - membundar, pemilahan butiran sedang - buruk. Gambar 3.32 menunjukkan singkapan tuf lapili satuan ini di lapangan. Tuf terelaskan pada satuan ini dicirikan oleh batuan piroklastik berwarna putih, keras seperti batuan beku, berlapis baik. Gambar 3.33 menunjukkan singkapan tuf terelaskan satuan ini di lapangan. Pengamatan mikroskopis pada sayatan tuf terelaskan satuan ini ditunjukkan pada LAMPIRAN D dengan kode sampel MK

54 BL Gambar 3.30 Singkapan dan sampel breksi piroklastik Satuan Breksi-Lava G. Pangrajin BL Gambar 3.31 Singkapan dan sampel lava andesit Satuan Breksi-Lava G. Pangrajin BL Gambar 3.32 Singkapan tuf lapili Satuan Breksi-Lava G. Pangrajin 40

55 MK Gambar 3.33 Singkapan dan sampel tuf terelaskan Satuan Breksi-Lava G. Pangrajin Umur, Hubungan Stratigrafi, dan Genesa Satuan ini diendapkan di atas Satuan Gumuk G. Pulus dan G. Mandalawangi. Satuan ini berumur Pleistosen dan disetarakan dengan Satuan Batuan Gunungapi Guntur-Pangkalan dan Kendang (Alzwar dkk., 1992). Komposisi matriks yang berupa tuf kasar gelas dan tekstur pemilahan butiran yang sangat buruk pada breksi piroklastik; tekstur vitrofirik pada sayatan lava andesit; dan tekstur pemilahan butiran yang sedang - buruk pada tuf-lapili menunjukkan bahwa batuan tersebut merupakan endapan piroklastik aliran dan aliran lava. Tekstur perlapisan baik pada tuf terelaskan yang diamati di lapangan menunjukkan bahwa batuan tersebut merupakan endapan piroklastik jatuhan. Berdasarkan hal tersebut, disimpulkan bahwa satuan ini merupakan endapan piroklastik aliran, aliran lava, dan piroklastik jatuhan. 3.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian Berdasarkan analisis morfologi dan kelurusan lembah dan bukit pada citra ASTER GDEM (Gambar 3.34), dan analisis kinematika dengan menggunakan kekar gerus yang diamati dan diukur di lapangan (LAMPIRAN A), terdapat lima struktur sesar di daerah penelitian (LAMPIRAN C). Dua diantaranya merupakan sesar turun dan tiga lainnya merupakan sesar mendatar menganan yang berarah barat lauttenggara. Urutan terbentuknya sesar-sesar tersebut dari tua ke muda adalah Sesar Normal Pulus, Sesar Menganan Normal Pulus, Sesar Normal Mandalawangi, Sesar 41

56 Menganan Normal Cigentur dan Sesar Menganan Normal Kasur. Sesar-sesar tersebut dijelaskan pada subbab di bawah ini. Gambar 3.34 Sesar di daerah penelitian yang dianalisis berdasarkan kelurusan pada citra ASTER GDEM dan kekar gerus yang terdapat di lapangan Sesar Normal Pulus Sesar ini merupakan sesar interpretasi dan dianalisis berdasarkan kelurusan dan morfologi pada citra ASTER GDEM. Kelurusan ini relatif berarah utara-selatan yang memanjang dari puncak G. Pulus dan sedikit melengkung ke arah timur pada bagian utara (Gambar 3.35). Pada kelurusan ini terdapat lembah yang relatif dalam dibandingkan dataran sekitarnya. Morfologi tersebut menunjukkan bahwa terdapat bidang lemah yang mengontrol erosi menjadi lebih intensif pada bagian tersebut. Selain itu, morfologi di timur kelurusan ini lebih rendah daripada morfologi yang terletak di barat kelurusan. Kelurusan tersebut kemungkinan diakibatkan oleh 42

57 aktivitas volkanisme G. Pulus yang menyebabkan rekahan dan berkembang menjadi sesar akibat tegasan yang menyebabkan efek regangan. Berdasarkan analisis tersebut, sesar ini diinterpretasi sebagai sesar normal dan hanging wall berada di timur kelurusan sesar tersebut. Pada bagian utara, sesar ini tertutupi oleh Satuan Tuf Breksian I G. Mandalawangi. Berdasarkan pergerakan dan lokasinya, sesar ini dinamakan Sesar Normal Pulus. Gambar 3.35 Delineasi kelurusan sesar di daerah penelitian Sesar Menganan Normal Pulus Sesar ini dianalisis berdasarkan kelurusan pada citra ASTER GDEM dan kekar gerus yang ditemukan di lapangan dan terletak di sepanjang kelurusan tersebut (Gambar 3.34 dan 3.35). Pada kelurusan ini terdapat lembah yang relatif dalam dibandingkan dataran sekitarnya. Morfologi tersebut menunjukkan bahwa terdapat 43

58 bidang lemah yang mengontrol erosi menjadi lebih intensif pada bagian tersebut. Pada kelurusan lembah tersebut juga menunjukkan terdapat kelurusan aliran sungai dan pembelokan aliran sungai. Berdasarkan analisis kinematika dari data kekar gerus tersebut (LAMPIRAN E), didapatkan kedudukan bidang sesar yaitu N305 o E/77 o NE, kedudukan net-slip 10 o, N121 o E, dan pitch sebesar 10,7 o. Berdasarkan analisis kinematika tersebut, sesar ini bergerak relatif menganan normal dan sesar ini terdapat di dekat G. Pulus. Berdasarkan hal tersebut, sesar ini dinamakan Sesar Menganan Normal Pulus. Gambar 3.34 menunjukkan salah satu pengamatan kekar gerus di lapangan. DR Gambar 3.36 Salah satu pengamatan kekar gerus yang terletak di jalur kelurusan Sesar Menganan Normal Pulus Sesar Normal Mandalawangi Sesar ini merupakan sesar interpretasi dan dianalisis berdasarkan kelurusan dan morfologi pada citra ASTER GDEM. Kelurusan ini relatif berarah utara-selatan yang memanjang di kaki G. Mandalawangi dan sedikit melengkung ke arah timur pada bagian utara dan selatan (Gambar 3.35). Pada kelurusan ini terdapat lembah yang relatif dalam dibandingkan dataran sekitarnya. Morfologi tersebut menunjukkan bahwa terdapat bidang lemah yang mengontrol erosi menjadi lebih intensif pada bagian tersebut. Pada daerah gunungapi, morfologi melengkung hingga setengah lingkaran biasanya mengindikasikan amblesan (collapse) suatu tubuh gunungapi. Amblesan ini diinterpretasi diakibatkan oleh kosongnya magma dalam dapur magma 44

59 gunungapi. Amblesan ini merupakan sesar normal dengan hanging wall pada bagian yang mengarah ke puncak gunungapi. Pada G. Mandalawangi, skema amblesan tersebut ditunjukkan pada Gambar Berdasarkan analisis tersebut, sesar ini diinterpretasikan sebagai sesar normal dengan hanging wall berada di timur kelurusan sesar tersebut. Berdasarkan pergerakan dan lokasinya, sesar ini dinamakan Sesar Normal Mandalawangi. Sesar ini memotong Satuan Tuf Breksian I dan II G. Mandalawangi. Gambar 3.37 Skema terbentuknya Sesar Normal Mandalawangi Sesar Menganan Normal Cigentur Sesar ini dianalisis berdasarkan kelurusan pada citra ASTER GDEM dan kekar gerus yang ditemukan di lapangan dan terletak di sepanjang kelurusan tersebut (Gambar 3.34 dan 3.35). Pada kelurusan ini terdapat lembah yang relatif dalam dibandingkan dataran sekitarnya. Morfologi tersebut menunjukkan bahwa terdapat bidang lemah yang mengontrol erosi menjadi lebih intensif pada bagian tersebut. Pada kelurusan lembah tersebut juga menunjukkan terdapat kelurusan aliran sungai dan pembelokan aliran sungai. Berdasarkan analisis kinematika dari data kekar gerus yang terdapat di sepanjang kelurusan sesar ini (LAMPIRAN E), didapatkan 45

60 kedudukan bidang sesar yaitu N308 o E/59 o NE, kedudukan net-slip 1 o, N124 o E, dan pitch sebesar 1 o. Berdasarkan analisis kinematika tersebut, sesar ini bergerak relatif menganan normal dan sesar ini terdapat di S. Cigentur. Berdasarkan hal tersebut, sesar ini dinamakan Sesar Menganan Normal Cigentur. Gambar 3.38 menunjukkan salah satu pengamatan kekar gerus di lapangan. JK Gambar 3.38 Salah satu pengamatan kekar gerus yang terletak di jalur kelurusan Sesar Menganan Normal Cigentur Sesar Menganan Normal Kasur Sesar ini merupakan sesar interpretasi dan dianalisis berdasarkan morfologi dan kelurusan pada citra ASTERGDEM. Kelurusan sesar ini berarah barat lauttenggara dan terletak di selatan Sesar Menganan Normal Cigentur dan di sebelah utara G. Kasur (Gambar 3.35). Pada kelurusan ini terdapat lembah yang relatif dalam dibandingkan dataran sekitarnya. Morfologi tersebut menunjukkan bahwa terdapat bidang lemah yang mengontrol erosi menjadi lebih intensif pada bagian tersebut. Pada kelurusan lembah tersebut juga menunjukkan terdapat kelurusan aliran sungai. Karena letaknya yang berdekatan dengan Sesar Menganan Normal Cigentur, sesar ini diinterpretasi bergerak relatif menganan normal juga dengan asumsi tegasan yang mempengaruhinya sama dengan tegasan yang menyebabkan Sesar Menganan Normal Cigentur terbentuk. 46

61 3.4 Sejarah Geologi Daerah Penelitian Sejarah geologi daerah penelitian dimulai pada Kala Pleistosen yang dimulai dengan diendapkannya Breksi (PLa1) dan Tuf (PLj2) G. Pulus, kemudian terbentuk Sesar Normal Pulus yang diinterpretasikan terbentuk karena aktivitas vulkanisme G. Pulus (Gambar 3.39a-c). Kemudian diendapkan Breksi-Lava G. Pasir Jugul (PJa). Setelah itu terbentuk Sesar Menganan Normal Pulus (Gambar 3.40d-e). Setelah itu, diendapkan Lava Andesit G. Putri (PTl), Tuf Breksian I G. Mandalawangi (Ma1), dan Tuf Breksian II G. Mandalawangi (Ma2) (Gambar 3.40f-h). Kemudian terjadi amblesan pada kaki G. Mandalawangi yang menyebabkan terbentuknya Sesar Normal Mandalawangi (Gambar 3.40i). Setelah kejadian tersebut, diendapkan Breksi G. Mandalawangi (Ma3), Tuf G. Buleud (Bj), Breksi-Lava G. Pangrajin (PRa) (Gambar 3.40j-l). Kemudian pada waktu relatif sama, erosi terjadi pada Satuan Tuf G. Pulus yang menyebabkan Satuan Breksi G. Pulus tersingkap serta terbentuk Sesar Menganan Normal Cigentur dan Sesar Menganan Normal Kasur Gambar 3.40m). Sesar ini kemungkinan terbentuk akibat pengaruh tegasan pada subduksi Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia dan juga aktivitas gunungapi yang berada di dalam dan sekitar daerah penelitian. a b c d 47

62 e f g h i j k l Gambar 3.39 Diagram blok sejarah geologi daerah penelitian m 48

63 BAB IV STUDI MATAAIR DAERAH PENELITIAN 4.1 Tinjauan Umum Studi mataair yang dibahas dalam penelitian ini mencakup kualitas, zona akifer, daerah imbuhan, dan umur airtanah daerah penelitian. Pada subbab di bawah ini dijelaskan teori dan metode yang digunakan dalam pembahasan studi mataair ini terlebih dahulu Parameter Fisika Airtanah Parameter fisika adalah salah satu parameter untuk menentukan kualitas air minum dan air bersih. Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Persyaratan air bersih adalah air yang tidak berbau, mengandung jumlah zat padat terlarut atau Total Dissolved Solid (TDS) dengan kadar maksimum 1500 mg/l, kekeruhan maksimum 25 skala NTU, tidak berasa, suhu maksimum +3 o C dengan suhu udara, dan warna maksimum 50 skala TCU. Sedangkan persyaratan air minum harus air yang tidak berbau, mengandung jumlah zat padat terlarut (TDS) dengan kadar maksimum 1000 mg/l, kekeruhan maksimum 5 skala NTU, tidak berasa, suhu maksimum +3 o C dengan suhu udara, dan warna maksimum 15 skala TCU (Peraturan Menteri Kesehatan, 1990) Hidrokimia Airtanah cenderung untuk mencapai kesetimbangan kimia-fisika akibat proses-proses yang berlangsung di dalam akifer. Selama melewati akifer, kandungan kimia dalam airtanah dipengaruhi oleh interaksi dengan litologi di sampingnya. Fasies hidrokimia digunakan untuk menjelaskan komposisi kimia airtanah. Fasies tersebut dipengaruhi oleh litologi, kinetika larutan, dan arah aliran akifer (Back 1960, 1966 dalam Fetter, 2001). Fasies hidrokimia diklasifikasikan berdasarkan kandungan ion dominan. Metode hidrokimia adalah metode perunutan airtanah yang menggunakan komposisi kimia airtanah untuk mengetahui proses-proses yang terjadi di dalam 49

64 akifer. Analisis properti kimia-fisika airtanah dapat digunakan untuk memperkirakan proses-proses yang telah atau sedang bekerja pada airtanah. Komposisi kimia yang digunakan umumnya tergolong unsur utama atau unsur jarang. Analisis menggunakan unsur utama memerlukan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan analisis unsur jarang. Selain itu, kandungan unsur utama lebih besar dan dimiliki oleh segala jenis air sehingga memudahkan metode pengukurannya. Menurut Fetter (2001), lebih dari 90% padatan terlarut yang terkandung di dalam airtanah dapat diwakilkan dengan delapan ion berikut, yaitu ion natrium (Na + ), kalium (K + ), kalsium (Ca 2+ ), magnesium (Mg 2+ ), sulfat (SO4 2- ), klorida (Cl - ), dan bikarbonat (HCO3 - ). Ion-ion tersebut biasanya hadir dalam konsentrasi lebih besar dari 1 mg/l. Sebelum melakukan analisis kimia lebih lanjut, kesetimbangan kandungan anion-kation diperiksa menggunakan metode kesalahan kesetimbangan ion. Fritz (1994) dalam Fetter (2001) mengatakan bahwa rata-rata kesalahan kesetimbangan ion adalah 3,99%. Kesalahan kesetimbangan ion dapat dihitung menggunakan persamaan berikut: dengan: CBE adalah Charge Balance Error (kesalahan keseimbangan ion) z adalah muatan satu ion m c adalah molalitas satu kation m a adalah molalitas satu anion Piper (1994) dalam Fetter (2001) memperkenalkan diagram triliner yang digunakan dalam analisis hidrokimia (Gambar 4.1). Back (1960, 1966) dalam Fetter (2001) memperkenalkan klasifikasi fasies hidrogeokimia berdasarkan kandungan ion dominan pada diagram trilinier (Gambar 4.2). Fasies hidrogeokimia mencerminkan litologi, kinetika fluida, dan pola aliran airtanah di dalam akifer. Kandungan kation dan anion digambarkan masing-masing dalam sebuah diagram dengan menggabungkan komponen Na + dan K + menjadi satu dan menggabungkan - kandungan HCO 3 2- dan CO 3 menjadi satu. Kation dan anion dinyatakan sebagai 50

65 persen total kation dalam satuan miliekuivalen/liter (meq/l), yang diplot sebagai titik tunggal pada segitiga sebelah kiri untuk kation dan pada segitiga sebelah kanan untuk anion. Stiff (1951, dalam Fetter, 2001) memperkenalkan sebuah penyajian grafis ion utama yang disebut sebagai Diagram Stiff dengan satuan meq/l (Gambar 4.3). Diagram ini menggambarkan perbandingan kandungan masing-masing ion utama; semakin tinggi kandungan ionnya maka semakin besar area poligon yang tergambar pada diagram tersebut. Garis horizontal kandungan ion besi (Fe) dan karbonat (CO 2-3 ) tidak harus diisi karena kandungannya di dalam air umumnya mendekati nol. Gambar 4.1 Diagram trilinier yang digunakan untuk menampilkan hasil analisis kimia air (Piper, 1944 dalam Fetter, 2001) 51

66 Gambar 4.2 Diagram klasifikasi hidrogeokimia air (Back, 1960 dan 1966) dalam Fetter, 2001) Gambar 4.3 Analisis yang digambarkan pada Diagram Stiff. Jarak horizontal dari sumbu vertikal merupakan jumlah meq/l untuk tiap anion atau kation (Stiff, 1951 dalam Fetter, 2001) 52

67 Komposisi kimia airtanah dapat menjelaskan proses evolusi yang dialami air ketika melewati media akifer, sehingga dapat diselidiki genesa air tersebut. Domenico (1972, dalam Freeze dan Cherry, 1979) membagi evolusi airtanah menjadi tiga zona utama, yaitu: (1) Zona atas (upper zone) dicirikan oleh flushing airtanah yang aktif, - kandungan HCO 3 dominan dan nilai TDS yang rendah. (2) Zona menengah (intermediate zone) dicirikan dengan sirkulasi airtanah yang kurang aktif, kandungan SO 2-4 dominan, dan nilai TDS yang tinggi. (3) Zona bawah (lower zone) dicirikan dengan airtanah yang pasif, konsentrasi Cl - yang tinggi, dan nilai TDS yang tinggi Isotop Unsur terdiri dari inti atom (proton dan neutron) yang dikelilingi elektron. Setiap unsur memiliki nomor atom (jumlah proton) dan nomor massa (jumlah proton ditambah dengan jumlah neutron). Notasi unsur pada umunya dituliskan dengan format sebagai berikut: dengan X = lambang atom / lambang unsur Z = nomor atom = nomor proton (p) = jumlah elektron (e) A = nomor massa = jumlah proton + jumlah neutron = p + n Isotop adalah unsur-unsur sejenis yang memiliki nomor atom sama namun nomor massanya berbeda. Terdapat dua jenis isotop di alam, yaitu isotop stabil dan isotop radioaktif (tidak stabil). Isotop stabil tidak mengalami proses peluruhan radioaktif alami, sedangkan isotop radioaktif mengalami peluruhan radioaktif secara spontan dan membentuk isotop yang baru. Salah satu contoh isotop adalah unsur hidrogen yang memiliki tiga isotop, yaitu 1 H, 2 H, 3 H dengan nomor massa masingmasing 1, 2, 3. Isotop 1 H dan 2 H merupakan isotop stabil, sedangkan isotop 3 H adalah isotop radioaktif. Isotop stabil seperti deutrium ( 2 H) dan oksigen-18 ( 18 O) umumnya digunakan untuk menganalisis daerah imbuhan. Isotop radioaktif seperti tritium ( 3 H) dan karbon-14 ( 14 C) digunakan untuk menganalisis umur airtanah serta menentukan arah dan kecepatan aliran airtanah (Freeze dan Cherry, 1979). Penelitian ini menggunakan 53

68 isotop stabil 2 H dan 18 O untuk menganalisis daerah imbuhan, dan isotop radioaktif 3 H untuk menganalisis umur airtanah Isotop Stabil Proses-proses seperti evaporasi dan kondensasi yang terjadi dalam siklus hidrologi dapat merubah komposisi uap air di dalam atmosfer. Perubahan ini, dalam rasio isotropik, disebabkan oleh reaksi kimia yang disebut fraksinasi. Terdapat dua isotop stabil hidrogen yakni 1 H dan 2 H dan tiga isotop stabil oksigen, yaitu 16 O, 17 O, dan 18 O. Molekul air yang melimpah yakni 1 H 16 2 O yang merupakan molekul paling ringan dan memiliki tekanan uap lebih tinggi dibandingkan molekul 2 H 18 2 O. Selama perubahan fasa antara air menjadi gas, molekul air yang paling berat cenderung terkonsentrasi dalam fasa cair, dengan fraksinasi isotop hidrogen dan oksigen. Air yang menguap dari laut memiliki isotop yang lebih ringan daripada isotop yang terkandung dalam air. Presipitasi memiliki isotop yang lebih berat daripada isotop yang terkandung dalam uap di atmosfer. Spektrometer massa digunakan untuk menentukan rasio isotop dalam sampel air. Rasio isotop yang penting meliputi 18 O/ 16 O dan 2 H/ 1 H. Rasio isotop yang berasal dari sampel air tersebut dapat dibandingkan dengan rasio isotop dari standard mean ocean water (SMOW). Perbandingan tersebut (δ) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: Hasil spektrometer massa digambarkan dalam simpangan dalam bagian per seribu ( o / oo ). Jika nilai δ positif maka sampel relatif diperkaya oleh isotop berat dibandingkan dengan standarnya, sedangkan nilai negatif menggambarkan hal sebaliknya. Standar SMOW ditetapkan melalui Konvensi Vienna yang mempunyai nilai relatif untuk 18 O = 0,0 o / oo dan untuk 2 H = 0,0 o / oo, dengan akurasi pengukuran untuk δ 18 O = +0,2 o / oo dan δ 2 H = +2 o / oo. Nilai δ 2 H diplot terhadap fungsi δ 18 O untuk air yang diperoleh dengan presipitasi kontinental, sebuah hubungan linear dapat digambarkan dengan persamaan berikut (Muller dan Ralston, 1985 dalam Fetter, 2001): δ 18 H = 8.δ 18 O

69 Persamaan di atas dikenal sebagai global meteoric water line (GMWL). Pada beberapa studi air tanah memperlihatkan bahwa plot δ 2 H dan δ 18 O membentuk garis lurus yang sejajar dengan GMWL. Garis ini diinterpretasikan sebagai local meteoric water line (White dan Chuma, 1987; Mayo dkk., 1992, dalam Fetter, 2001). Posisi titik isotop sumber-sumber air yang dipengaruhi berbagai jenis aktivitas isotop dapat membantu dalam mengidentifikasi proses yang terjadi di dalam akifer (Gambar 4.4). Dansgard (1964) menyebutkan bahwa evaporasi dari air terbuka (evaporation from open surface) dan pertukaran dengan mineral batuan (exchange with rock mineral) merupakan faktor dominan yang umumnya sering menyebabkan munculnya deviasi. Gambar 4.4 Pola pergeseran jumlah isotop O 18 dan 2 H dan proses-proses yang mempengaruhinya (Puradimaja dkk., 2008) Isotop Radioaktif Salah satu isotop radioaktif yang digunakan dalam penentuan umur air adalah tritium ( 3 H). Isotop ini memiliki waktu peluruhan yang pendek, yakni 12,43 tahun sehingga cocok digunakan untuk menganalisa mataair dari akifer dangkal. Tritium merupakan isotop yang tergabung dalam molekul air sebagai 1 H 3 HO atau 1 HTO dan dihasilkan secara alami oleh radiasi kosmis, meskipun produksi yang lebih besar berasal dari hasil percobaan bom termonuklir antara tahun 1951 dan Sekitar tahun 1990, sebagian besar 3 H dari bom tersebut telah tercuci dari atmosfer dan kandungan tritium dalam presipitasi secara global saat ini telah kembali ke kondisi alami. Telah lebih dari tiga dekade keberadaan tritium dari termonuklir di dalam air tanah digunakan sebagai parameter untuk kondisi resapan aktif. Tritium masih 55

70 ditemukan dalam pergerakan lambat air tanah sehingga sinyalnya dapat digunakan sebagai penanda air tanah modern (Pujiindiyanti, 2007). Berdasarkan Pujiindiyati (2007), daerah pantai dan daerah dengan lintang rendah memiliki nilai tritium sebagai berikut (dengan TU adalah satuan Tritium Unit). < 0,8 TU: air tanah submodern yang meresap sebelum tahun ,8 hingga 2 TU: campuran air tanah submodern dan air tanah yang baru meresap 2 hingga 8 TU: air tanah modern (<5 hingga 10 tahun) 10 hingga 20 TU: air tanah dengan sisa bom 3 H (10 hingga 30 tahun) 20 TU: air tanah yang meresap dari tahun 1960-an hingga 1970-an 4.2 Metode Pengukuran Parameter Fisika, Hidrokimia, dan Isotop Pengukuran parameter fisika airtanah di daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan alat multimeter yang dapat mengukur parameter ph, suhu, dan total padatan terlarut atau Total Dissolved Solid (TDS). Pengukuran dilakukan dengan mencelupkan alat ke dalam air hingga alat membaca nilai parameter yang ditentukan. Gambar 4.5 menunjukkan pengukuran parameter fisika airtanah di lapangan menggunakan multimeter. MA Gambar 4.5 Pengukuran parameter fisika di salah satu mataair daerah penelitian menggunakan multimeter 56

71 Untuk mengetahui kandungan ion utama dan isotop airtanah, dilakukan pengambilan sampel dari beberapa mataair di daerah penelitian. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam botol polyetilen 1000 ml, dan kemudian disimpan di dalam tas pendingin (ice box) berisi es. Analisis ion utama yaitu ion natrium (Na + ), kalium (K + ), kalsium (Ca 2+ ), magnesium (Mg 2+ ), sulfat (SO4 2- ), klorida (Cl - ), dan bikarbonat (HCO3 - ) dilakukan di Laboratorium Kualitas Air Teknik Lingkungan ITB dengan metode Standard Method for The Examination of Water and Wastewater (SMEWW) (LAMPIRAN F). Pengukuran komposisi isotop stabil ( 2 H dan 18 O) dan radioaktif ( 3 H) dilakukan di Kantor Pusat Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) di Jakarta (LAMPIRAN F). Kandungan isotop stabil dianalisis dengan memakai alat spektrometer dengan massa triple kolektor, model Sira-9, VG-isogas. Kandungan isotop radioaktif dianalisis dengan metode pengayaan (enrichment). Sampel air didestilasi, dan hasilnya ditimbang hingga 600 gram, kemudian ditambahkan Na 2 O 2 (natrium peroksida). Setelah itu dielektrolisis hingga sampel air tersisa 20 gram. Kemudian air didestilasi lagi dan dilakukan enrichment hingga 20 hari. 4.3 Data dan Analisis Data Berdasarkan pemetaan di lapangan (LAMPIRAN A), terdapat 22 titik mataair di daerah penelitian dengan lokasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.6. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat satu mataair yang merupakan mataair rekahan dan 21 lainnya merupakan mataair depresi. Mataair rekahan tersebut terletak di kaki G. Kasur dan oleh penduduk setempat dinamakan Mataair Cigalumpit. Gambar 4.7 menunjukkan Mataair Cigalumpit yang merupakan mataair rekahan di daerah penelitian dan Gambar 4.8 menunjukkan salah satu mataair depresi di daerah penelitian. Pengukuran parameter fisika dan debit dilakukan hanya pada 14 titik mataair. Enam titik mataair lainnya tidak dilakukan pengukuran karena lokasinya sulit dijangkau dan luahannya sangat kecil. Analisis hidrokimia dilakukan pada sampel dari lima titik mataair dan analisis kandungan isotop stabil dan isotop radioaktif 57

72 dilakukan pada sampel dari tiga titik mataair. Gambar 4.6 menunjukkan titik mataair yang dilakukan pengukuran parameter fisika, analisis hidrokimia, dan analisis isotop. Jumlah dan penentuan titik mataair untuk analisis hidrokimia dan isotop ditetapkan berdasarkan kemerataan titik mataair, kuantitas debit mataair yang cukup besar, dan ketersediaan dana. Data parameter fisika, kandungan dan kesetimbangan ion utama, dan kandungan isotop dapat dilihat pada Tabel 4.1, 4.2, dan 4.2. Gambar 4.6 Lokasi mataair di daerah penelitian 58

73 MA-33 Gambar 4.7 Mataair Cigalumpit yang merupakan mataair rekahan MA-14 Gambar 4.8 Salah satu mataair depresi yang terdapat di daerah penelitian 59

74 Tabel 4.1 Data parameter fisika yang diukur di lapangan No. Kode Kejernihan ph TDS Suhu Debit (ppm) ( o C) (L/s) 1 MA08 jernih 7,2 86,5 23,8 1,52 2 MA09 jernih 7,6 68,4 23,4 NA 3 MA10 jernih 7 33,4 23,6 NA 4 MA12 jernih 7,04 28,8 23,3 0,65 5 MA13 jernih 7,4 33,1 22,8 2,21 6 MA14 jernih 6,7 53,5 22,8 0,65 7 MA15 jernih 6,6 33,1 22,9 0,45 8 MA17 jernih 6,6 29,4 23,4 0,16 9 MA21 jernih 8,3 105,4 21,5 24,00 10 MA22 jernih 8,21 105,7 21,4 19,09 11 MA23 jernih 8, ,6 46,67 12 MA33 jernih 7, ,9 40,00 13 MA1301 jernih 6,7 37,7 24 0,12 14 MA1302 jernih 6,8 49,2 21,7 2,16 Tabel 4.2 Data ion utama hasil analisis pada lima sampel mataair di daerah penelitian Parameter analisis (mg/l) Satuan Metoda Analisis Lokasi mataair MA-13 MA-14 MA-21 MA-22 MA-23 Kalsium (Ca 2+ ) mg/l SMEWW Ca-B 6,54 8,99 17,9 19,6 17,2 Magnesium (Mg 2+ ) mg/l SMEWW Mg-B 0,94 2,39 5,78 5,28 4,79 Natrium (Na + ) mg/l SMEWW Na-B 1,49 4,5 4,8 5,06 4,69 Kalium (K + ) mg/l SMEWW K-B 2,36 3,08 3 3,12 3 Bikarbonat (HCO 3 2- ) mg/l SNI ,8 53,7 85,9 92,6 85,9 Klorida (Cl - ) mg/l SMEWW 4500-SO4-E 2,96 2,95 1,97 4,94 1,97 Sulfat (SO 4 2- ) mg/l SMEWW Cl-B 3,06 1,12 4,33 4,23 4,33 60

75 Tabel 4.3 Data kandungan isotop hasil analisis pada tiga sampel mataair di daerah penelitian No. Kode Sampel d 18 O ( 0 / 00 ) d 2 H ( 0 / 00 ) Tritium (TU) 1 MA-13-8,19 + 0,25-53,20 + 0,6 4,74 + 0,99 2 MA-21-7,99 + 0,23-52,80 + 1,8 3,22 + 1,09 3 MA-23-6,45 + 0,54-48,10 + 2,6 3,32 + 1, Analisis Kualitas Airtanah Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 (1990), kejernihan, ph, TDS, dan suhu merupakan beberapa parameter baku mutu untuk menentukan jenis air. Berdasarkan pengamatan di lapangan, mataair di daerah penelitian memiliki air yang jernih dan memiliki debit yang cukup besar (Tabel 4.1). TDS adalah total padatan terlarut yang tersisa pada air setelah air tersebut mengalami penguapan hingga menjadi kering (Freeze dan Cherry, 1979). Mataair daerah penelitian memiliki nilai kandungan TDS bervariasi dengan nilai paling tinggi sebesar 105,7 mg/l, sedangkan nilai paling rendah sebesar 28,8 mg/l. Nilai tersebut masih di dalam ambang batas air minum (Permenkes, 1990). Berdasarkan hasil pengukuran ph terhadap mata air di daerah penelitian, di peroleh nilai ph berkisar antara 6,6-7,8 (Tabel 4.1). Nilai tersebut masih di dalam ambang batas air minum (Permenkes, 1990). Dapat disimpulkan bahwa nilai kejernihan, TDS, dan ph airtanah di daerah penelitian masih di dalam ambang batas air minum. Namun perlu dilakukan analisis parameter kimia, mikrobiologik, dan radio aktivitas airtanah lebih lanjut untuk menentukan kualitas airtanah secara komprehensif Analisis Zona Akifer Penentuan zona akifer mengacu pada klasifikasi zona akifer berdasarkan Domenico (1972, dalam Freeze dan Cherry, 1979) dengan menggunakan parameter keaktifan sirkulasi airtanah, nilai TDS, dan kandungan ion dominan. Airtanah di daerah penelitian merupakan airtanah dengan flushing yang aktif, yaitu ditunjukkan dengan keluaran mataair yang banyak. Sebelum dilakukan analisis lebih lanjut, perlu dilakukan perhitungan persen error kesetimbangan ion (%CBE) dengan batas maksimum nilai mutlak 3,99% (Fritz, 1994 dalam Fetter, 2001) seperti 61

76 yang telah dijelaskan pada subbab Hasil perhitungan ini dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan menunjukkan bahwa terdapat satu sampel mataair yakni MA-13 yang memiliki %CBE lebih besar dari 3,99%. Hal ini menunjukkan bahwa sampel air MA-13 tidak dapat digunakan dalam analisis kandungan ion utama, sedangkan keempat sampel air lainnya dapat dilakukan analisis selanjutnya. Parameter Analisis Tabel 4.4 Hasil perhitungan error kesetimbangan ion Satuan Hasil Analisis MA-13 MA-14 MA-21 MA-22 MA-23 Kalsium Ca 2+ meq 0,33 0,45 0,90 0,98 0,86 Magnesium Mg 2+ meq 0,08 0,20 0,48 0,44 0,40 Natrium Na + meq 0,06 0,20 0,21 0,22 0,20 Kalium K + meq 0,06 0,08 0,08 0,08 0,08 Jumlah Kation meq 0,53 0,92 1,66 1,72 1,54 Bikarbonat - HCO 3 meq 0,44 0,88 1,41 1,52 1,41 Klorida (Cl - ) Cl - meq 0,08 0,08 0,06 0,14 0,06 Sulfat (SO 4 ) 2- SO 4 meq 0,06 0,02 0,09 0,09 0,09 Jumlah Anion meq 0,59 0,99 1,55 1,75 1,55 CBE = ((kation - anion)/(kation + anion))*100% % 5,00 3,32 3,37 0,73 0,45 Untuk menentukan kandungan ion dominan dan tipe fasies, dilakukan plot kandungan ion utama pada Diagram Stiff (Gambar 4.9) dan Diagram Piper (Gambar 4.10). Hasil pengeplotan pada Diagram Stiff menunjukkan bahwa 2- kandungan ion dominan adalah HCO 3 dan Ca 2+ ; dan hasil pengeplotan pada Diagram Piper menunjukkan bahwa fasies airtanah pada daerah penelitian adalah fasies kalsium bikarbonat (Ca 2+, HCO - 3 ). Konsentrasi Ca 2+ yang tinggi pada airtanah umumnya terdapat pada daerah sedimen karbonat, seperti batugamping. Hal tersebut jika dikaitkan dengan geologi daerah penelitian yang merupakan daerah endapan vulkanik, maka konsentrasi kalsium yang tinggi berasal dari kandungan kalsium yang terdapat pada mineral batuan beku, khususnya rantai silika piroksen dan ampibol serta feldspar. Konsentrasi bikarbonat (HCO - 3 ) di dalam airtanah umumnya dihasilkan dari atmosfer dan CO 2 di tanah (Kresic, 2007). 62

77 (a) (b) (c) (d) Gambar 4.9 Plot komposisi ion utama sampel air pada Diagram Stiff (a) MA-14, (b) MA-21, (c) MA-22, (d) MA-23 63

78 III III IV I Gambar 4.10 Plot data ion utama dari lima sampel mataair daerah penelitian pada Diagram Piper Berdasarkan flushing airtanah yang aktif, nilai TDS yang rendah, dan kandungan ion dominan kalsium bikarbonat, dapat disimpulkan bahwa zona akifer airtanah di daerah penelitian tergolong zona atas (upper zone) Analisis Daerah Imbuhan Ada beberapa tahap analisis untuk menentukan daerah imbuhan. Gambar 4.11 menunjukkan diagram alir analisis untuk menentukan daerah imbuhan airtanah di daerah penelitian. Pengambilan sampel air dan analisis isotop stabil telah dijelaskan pada subbab sebelumnya. Tahap analisis selanjutnya akan dijelaskan pada subbab di bawah ini Penentuan Garis Air Meteorik Lokal Garis air meteorik merupakan garis linier yang menggambarkan hubungan antara kandungan 2 H dan 18 O air hujan. Persamaan garis air meteorik di setiap daerah berbeda-beda. Muller dan Ralston (1985, dalam Fetter, 2001) menyatakan suatu persamaan yang dikenal sebagai global meteoric water line (GMWL), yaitu: δ 2 H = 8 δ 18 O

79 Gambar 4.11 Diagram alir analisis untuk menentukan daerah imbuhan airtanah daerah penelitian Karena persamaan GMWL berlaku global dan agar analisis yang dilakukan lebih akurat, penelitian ini menggunakan garis air meteorik lokal di sekitar daerah penelitian. Karena keterbatasan dana, garis air meteorik lokal yang digunakan dalam analisis penelitian ini adalah garis air meterorik lokal yang dibuat oleh Hendrasto (2005). Garis air meteorik lokal tersebut diperoleh berdasarkan data isotop air hujan di sekitar Wayang Windu yang kemudian disebut sebagai Garis Air Meteorik Wayang Windu. Persamaan garis air meteorik tersebut adalah: δ 2 H = 7,91 δ 18 O + 12,98. 65

80 Gambar 4.12 menunjukkan Garis Air Meteorik Global (warna merah) dan Garis Air Meteorik Wayang Windu (warna biru). Garis air meteorik lokal Wayang Windu ini digunakan sebagai acuan untuk menentukan kisaran elevasi imbuhan airtanah karena bersifat lebih lokal dan memiliki gradien yang relatif sama dengan garis air meteorik global. δ 2 H o / oo Garis Air Meteorik Lokal (Wayang Windu) δ 2 H = 7.9 δ 18 O R² = 0.99 Garis Air Meteorik Global δ 2 H = 8 δ 18 O δ 18 O o / oo Gambar 4.12 Garis Air Meteorik Wayang Windu (garis biru) dan Garis Air Meteorik Global (garis merah) Penentuan Grafik Hubungan antara Isotop dan Elevasi Air hujan di suatu daerah memiliki kandungan isotop tertentu seiring dengan perubahan ketinggian. Hal ini terjadi karena air hujan mengalami fraksinasi isotop. Hal tersebut menunjukkan bahwa kisaran elevasi jatuhnya air hujan dapat diketahui dengan menganalisis kandungan isotopnya. Untuk melakukan analisis tersebut, penelitian ini menggunakan data isotop Hendrasto (2005) juga untuk menentukan hubungan antara kandungan isotop terhadap elevasi jatuhnya air hujan. Gambar 4.13 menunjukkan grafik hubungan 2 H terhadap elevasi dan Gambar 4.14 menunjukkan grafik hubungan 18 O terhadap elevasi. Hubungan isotop terhadap elevasi tersebut masing-masing dituliskan dalam persamaan sebagai berikut. Elevasi (E) = δ 2 H (Persamaan 1) Elevasi (E) = δ 18 O (Persamaan 2) 66

81 Elevasi (mdpl) Elevasi (mdpl) Grafik δ 2 H vs Elevasi Elevasi (E) = δ 2 H R² = Garis regresi δ 2 H o / oo Gambar 4.13 Gambar δ 2 H terhadap elevasi (Hendrasto, 2005) Grafik δ 18 O vs Elevasi Elevasi (E) = δ 18 O R² = Garis regresi δ 18 O o / oo Gambar 4.14 Grafik δ 18 O terhadap elevasi (Hendrasto, 2005) Analisis Proses yang Terjadi di Akifer Di dalam akifer terjadi proses-proses yang mempengaruhi kesetimbangan kandungan airtanah yang melewatinya. Kandungan isotop airtanah yang akan digunakan dalam Persamaan 1 dan 2 haruslah nilai kandungan isotop yang tidak dipengaruhi oleh proses-proses tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan analisis utntuk menentukan apakah kandungan isotop dalam airtanah berubah atau tidak. Kandungan isotop airtanah di daerah penelitian diplot bersama Garis Air Meteorik Wayang Windu dalam grafik seperti yang ditunjukkan pada Gambar

82 Garis Air Meteorik Wayang Windu δ 2 H = 7.9 δ 18 O δ 2 H o / oo δ 18 O o / oo MA-13 MA-21 MA-23 Gambar 4.15 Plot data isotop dan Garis Air Meteorik Wayang Windu (Hendrasto, 2005) Gambar 4.15 menunjukkan bahwa isotop semua sampel mataair MA-13, MA-21, dan MA-23 jatuh di bawah garis air meteorik lokal Wayang Windu. Titik yang jatuh pada garis air meteorik menunjukkan bahwa airtanah tersebut tidak mengalami proses apapun di akifer. Sedangkan titik yang jatuh di bawah garis air meteorik menunjukkan bahwa airtanah tersebut telah mengalami proses di akifer yang menyebabkan perubahan nilai isotop. Berdasarkan IAIE (1983), perubahan nilai seperti ini dapat terjadi karena dua faktor, yaitu proses evaporasi dan pertukaran ion dengan mineral batuan. Mataair di daerah penelitian bukan merupakan mataair panas, sehingga perubahan nilai isotop mataair tersebut kemungkinan besar dipengaruhi oleh proses evaporasi. Proses ini menyebabkan terjadinya pengayaan isotop δ 2 H dan δ 18 O. Garis regresi linier dari ketiga sampel tersebut disebut sebagai garis evaporasi (evaporation line) Perhitungan Intercept untuk Menentukan Kisaran Elevasi Sebelum menentukan elevasi berdasarkan Persamaan 1 dan 2, sampel isotop Mataair MA-13, MA-21, dan MA-23 yang mengalami proses di akifer perlu dicari 68

83 terlebih dahulu titik perpotongan (intercept) antara garis evaporasi dengan Garis Air Meteorik Wayang Windu. Titik perpotongan tersebut diasumsikan sebagai nilai kandungan isotop tanpa dipengaruhi oleh pengayaan akibat evaporasi. Garis yang berpotongan dengan Garis Air Meteorik Wayang Windu disebut sebagai garis intercept. Garis intercept ini diperoleh dengan membuat persamaan garis linier berdasarkan kandungan isotop mataair di daerah penelitian, dengan δ 2 H sebagai variable y dan δ 18 O sebagai variabel x beserta gradien garis evaporasi yang telah ditentukan oleh IAEA (1983), yaitu berkisar antara 4-6. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan Persamaan 1 dan 2 seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.5, maka nilai gradien yang dapat digunakan untuk membuat persamaan garis evaporasi sampel MA-13 dan MA-21 berkisar antara 4-6; dan sampel MA-23 berkisar antara 4-5. Nilai gradien ini ditentukan berdasarkan batas elevasi tertinggi di sekitar daerah penelitian, yaitu puncak G. Guntur (2240 mdpl). Dengan menggunakan Persamaan 1 dan 2, diperoleh kisaran elevasi imbuhan mataair MA-13 adalah 1719,2-1874,8 mdpl, kisaran elevasi imbuhan mataair MA-21 adalah 1758,9-2036,5 mdpl, dan kisaran elevasi imbuhan mataair MA-23 adalah 1903, mdpl. Gambar 4.16 menunjukkan lokasi daerah penelitian dan kisaran elevasi daerah imbuhan yang terletak di selatan daerah penelitian, yaitu di kompleks G. Guntur Analisis Lereng dan Vegetasi Daerah Imbuhan Analisis ini dilakukan menggunakan citra ASTER GDEM dan Google Earth untuk melihat arah lereng yang mengarah ke daerah penelitian dan kondisi vegetasi pada elevasi yang diperoleh berdasarkan perhitungan. Pada Gambar 4.16, garis berwarna biru muda menunjukkan ketinggian minimum daerah imbuhan berdasarkan perhitungan, sedangkan garis berwarna kuning menunjukkan daerah dengan lereng yang mengarah ke daerah penelitian. Air hujan yang jatuh pada daerah dengan garis warna kuning penelitan diasumsikan akan mengalir ke daerah penelitian. Area yang dibatasi garis kuning memiliki warna hijau tua yang diasumsikan memiliki vegetasi yang lebat. Kondisi ini menunjukkan bahwa area tersebut memungkinkan untuk menjadi daerah imbuhan airtanah yang keluar di daerah penelitian sebagai mataair. 69

84 Tabel 4.5 Hasil perhitungan titik potong sampel mataair daerah penelitian untuk menentukan kisaran elevasi daerah imbuhan No. Elevasi menggunakan Kode δ 18 O δ 2 Titik perpotongan H Gradien Persamaan Garis Pers. 1 dan 2 (mdpl) Sampel δ 18 O δ 2 H δ 18 O δ 2 H 1 MA y = 4 x y = 4.1 x y = 4.2 x y = 4.3 x y = 4.4 x y = 4.5 x y = 4.6 x y = 4.7 x y = 4.8 x y = 4.9 x y = 5 x y = 5.1 x y = 5.2 x y = 5.3 x y = 5.4 x y = 5.5 x y = 5.6 x y = 5.7 x y = 5.8 x y = 5.9 x y = 6 x MA y = 4 x y = 4.1 x y = 4.2 x

85 4.3 y = 4.3 x y = 4.4 x y = 4.5 x y = 4.6 x y = 4.7 x y = 4.8 x y = 4.9 x y = 5 x y = 5.1 x y = 5.2 x y = 5.3 x y = 5.4 x y = 5.5 x y = 5.6 x y = 5.7 x y = 5.8 x y = 5.9 x y = 6 x MA y = 4 x y = 4.1 x y = 4.2 x y = 4.3 x y = 4.4 x y = 4.5 x y = 4.6 x y = 4.7 x y = 4.9 x y = 5 x

86 Gambar 4.16 Daerah imbuhan airtanah pada daerah penelitian Analisis Umur Airtanah Terdapat dua metode untuk menganalisis umur airtanah, yaitu metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif hanya dapat dilakukan jika diketahui kandungan tritium air hujan di daerah penelitian. Tapi karena keterbatasan dana untuk menganalisis kandungan tritium air hujan di daerah penelitian, digunakan analisis kualitatif untuk menentukan umur airtanah di daerah penelitian. Analisis kualitatif ini mengacu pada ringkasan yang disusun oleh Pujiindiyati (2007) seperti yang telah dijelaskan pada subbab Data tritium airtanah di daerah penelitian menunjukkan kisaran antara 3,22-4,74 TU (Tabel 4.3). Berdasarkan ringkasan yang disusun oleh Pujiindiyati (2007), airtanah tersebut termasuk airtanah modern, yaitu berumur <5 hingga 10 tahun. Umur airtanah yang telah diperoleh tersebut kemudian digunakan sebagai salah satu parameter pembanding hasil analisis pada subbab 4.3.4, yakni akifer airtanah berada pada zona atas (upper zone). Untuk itu, dilakukan pendekatan dengan menghitung nilai konduktivitas hidrolik akifer yang dilalui airtanah. Nilai konduktivitas hidrolik mengindikasikan kemampuan fluida melewati media akifer. 72

87 Langkah pertama yang dilakukan adalah menghitung kecepatan aliran airtanah dengan pendekatan menggunakan rumus: v = s/t dengan, v adalah kecepatan aliran airtanah (meter/detik), s adalah jarak dari daerah imbuhan ke daerah luahan (meter), dan t adalah waktu yang dibutuhkan airtanah dari daerah imbuhan ke daerah luahan (umur airtanah) (detik); digunakan dua acuan waktu, yakni 3 tahun dan 10 tahun. Selanjutnya, dicari nilai K (konduktivitas hidrolik) dengan menggunakan persamaan Darcy (Freeze dan Cherry, 1979): v = K (dh/dl) sehingga nilai K dapat diperoleh dengan rumus: K = v (dl/dh) dengan, K adalah konduktivitas hidrolik (meter/detik), v adalah kecepatan aliran airtanah (meter/detik), diperoleh dari rumus v=s/t, dl adalah jarak diagonal dari daerah imbuhan ke daerah luahan (meter), dan dh adalah beda tinggi (elevasi) daerah imbuhan dengan daerah luahan (meter). Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus-rumus di atas (Tabel 4.6), diperoleh bahwa nilai K (konduktivitas hidrolik) akifer berkisar antara 2,52 x 10-4 hinga 1.04 x 10-3 meter/detik. Berdasarkan nilai K dari referensi (Domenico dan Scwartz, 1990) (Tabel 4.7), maka material penyusun akifer diperkirakan berupa material lepas (pasir - bongkah) yang diperkirakan merupakan batuan yang belum mengalamai konsolidasi atau material hasil lapukan batuan yang terletak dekat dengan permukaan tanah. Kesimpulan ini mendukung hasil analisis subbab yang menyatakan bahwa akifer airtanah terletak pada zona atas (upper zone). 73

88 Tabel 4.6 Perhitungan nilai konduktivitas hidrolik No Mataair Jarak (s dan dl) Beda ketinggian (dh) Umur airtanah Kecepatan (m/detik) Konduktivitas hidrolik (m/detik) (meter) (meter) tahun detik (v=s/t) (K=v(dl/dh)) dengan umur airtanah = 3 tahun 1 MA x x MA x x MA x x 10-4 dengan umur airtanah = 10 tahun 1 MA x x MA x x MA x x 10-4 Tabel 4.7 Nilai representatif konduktivitas hidrolik untuk beberapa jenis batuan (Domenico dan Scwartz, 1990) 74

89 BAB V KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Satuan geomorfologi daerah penelitian terdiri dari dua satuan, yaitu: Satuan Kerucut Gunungapi (V3) Satuan Kaki Gunungapi (V7) 2. Tatanan stratigrafi daerah penelitian dibagi menjadi dua khuluk dan enam gumuk gunungapi yang berumur Pleistosen. Umur relatifnya dari tua ke muda yaitu: Khuluk Pra-Pulus yang terdiri dari Gumuk G. Pulus, G. Pasir Jugul, dan G. Putri Khuluk Pra-Mandalawangi yang terdiri dari Gumuk G. Mandalawangi, G. Buleud, dan G. Pangrajin. 3. Terdapat lima struktur sesar di daerah penelitian yang berumur Pleistosen. Umur relatifnya dari tua ke muda yaitu: Sesar Normal Pulus Sesar Menganan Normal Pulus Sesar Normal Mandalawangi Sesar Menganan Normal Cigentur Sesar Menganan Normal Kasur 4. Berdasarkan nilai TDS dan ph, airtanah daerah penelitian masih dalam ambang batas air minum. Namun perlu dilakukan analisis parameter kimia, mikrobiologik, dan radio aktivitas airtanah lebih lanjut untuk menentukan kualitas airtanah secara komprehensif. 75

90 5. Berdasarkan flushing airtanah yang aktif, kandungan HCO 3 - dominan dan nilai TDS yang rendah, zona akifer airtanah daerah penelitian tergolong zona atas (upper zone). 6. Kisaran elevasi daerah imbuhan airtanah di daerah penelitian berkisar antara mdpl yang terletak di selatan daerah penelitian, yaitu di kompleks G. Guntur. 7. Umur airtanah tergolong airtanah modern (berumur <5 hingga 10 tahun). 76

91 DAFTAR PUSTAKA Alzwar, M., Akbar, N., dan Bachri, Geologi Lembar Garuk dan Pameungpeuk, Jawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Cas, R.A.F. dan Wright J.V., Volcanic Successions. Allen & Unwin, London. Dansgaard, W., Stable Isotope in Precipitation. Tellus, 16, h.436. Domenico, P.A. dan Scwartz, F.W., Physical and Chemical Hydrogeology. John Willey & Sons, Inc., Canada. Fetter, C.W., Applied Hydrogeology Fourth Edition. Prentice-Hall Inc, USA, 37-45, 368, 378. Freeze, R.A. dan Cherry, J.A., Groundwater. Prentice-Hall Inc., USA, h.138, h.194, h Gillespie, M.R., dan Styles, M.T., BGS Rock Classification Scheme Volume 1: Classification of igneous rocks. British Geological Survey Research Report, (2nd edition), Nottingham, United Kingdom. Hendrasto, F., Penentuan Daerah Resapan System Panasbumi Gunung Wayang-Windu, Jawa Barat. Tesis Magister Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung. Tidak Dipublikasikan. IAEA (International Atomic Energy Agency), Guidebook on Nuclear Techniques in Hydrogeology 1983 Edition. Technical Reports Series No.91, Vienna, Austria. Kresic, N., Hydrogeology and Groundwater Modeling. CRC Press, USA, h Mcphie, J., Doyle, M., dan Allen, R., Volcanic Texture. University of Tasmania, Australia. Peraturan Mentri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 Tentang: Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air, Jakarta. Pujiindiyati, E.R., Tritium (3H) untuk Identifikasi dan Penanggalan Air Tanah Modern. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif. Jurnal Teknologi Pengolahan Limbah, Vol.10, No.2, Desember 2007, h Pulunggono, A. dan Martodjojo, S., Perubahan Tektonik Paleogene-Neogene Merupakan Peristiwa Tektonik Terpenting di Jawa. Proceeding Geologi dan

92 Geotektonik Pulau Jawa Sejak Akhir Mesozoik hingga Kuarter. Teknik Geologi UGM, Yogyakarta. Puradimaja, D.J., Hutasoit, L.M., Lubis, F., dan Irawan, E., Modul Praktikum Hidrogeologi Umum (GL-3081). Program Studi Teknik Geologi ITB, Bandung. Schmidt, R., Descriptive nomenclature and classification of pyroclastic deposits and fragments: Recommendations of the IUGS Subcommission on the Systematics of Igneous Rocks. Geology, Vol. 9, Soeria-Atmadja, R., Maury, R.C., Bellon, H., Pringgoprawiro, H., Polve, M., dan Priadi, B Tertiary Magmatic Belts in Java. Journal of Southeast Asian Earth Sciences, Vol.9, No.1/2, Great Britain: Pergamon Press. Soetrisno, Peta Hidrogeologi Indonesia Skala 1: Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung. van Zuidam, R.A., Guide to Geomorphic Aerial Potographic Interpretation and Mapping. ITC, Enschede, Netherlands. van Bemmelen, R.W., The Geology of Indonesia, Vol.1A, Netherlands: The Hague, Martinus Nijhoff. Yuwono, S., Pemetaan Daerah Volkanik. Laboratorium Petrologi dan Geologi Ekonomi, Bandung.

93

94 LAMPIRAN D PENGAMATAN PETROGRAFI BATUAN

95 Lampiran D - Pengamatan PetrografI Batuan Kode sampel : DR Satuan batuan : Breksi G. Pulus (PLa1) Lokasi : G. Pulus Nama Batuan : Andesit A B C D E A B C D E // -Nikol P1 X -Nikol Sayatan tipis batuan beku, andesit, virofirik, fenokris (13%), terdiri dari piroksen, dan opak, berukuran 0,3-2,6 mm; massa dasar (87%) berupa gelas, plagioklas, opak. Komposisi mineral: Piroksen (20%), orto-piroksen (9%), klino-piroksen (1%), sebagai fenokris (8%), berukuran 0,3-2,6 mm, euhedral - subhedral, terdapat inklusi opak, sebagai massa dasar berbentuk mikrolit. (B-E2) Opak (10%), sebagai fenokris (5%), hitam, subhedral - anhedral. (C3) Plagioklas (5%), sebagai massa dasar, berukuran kriptolit. (C4) Gelas (65%), sebagai massa dasar.

96 Lampiran D - Pengamatan PetrografI Batuan Kode sampel : KS Satuan batuan : Tuf G. Pulus (PLj2) Lokasi : Legok Pego Nama Batuan : Tuf kasar gelas A B C D E A B C D E // -Nikol P1 X -Nikol Sayatan tipis batuan piroklastik, tuf kasar gelas, tekstur klastik, sortasi sedang, kemas terbuka, butiran (12%), terdiri dari opak, kuarsa, berukuran 0,1-1,3 mm, berbentuk menyudut tanggung - membundar tanggung; matriks (88%) berupa gelas. Komposisi mineral: Opak (10%), sebagai butiran berukuran 0,1-1,3 mm. (B3) Kuarsa (2%), sebagai sebagai butiran, berukuran 0,01 mm. (D2) Gelas (88%), sebagai matriks.

97 Lampiran D - Pengamatan PetrografI Batuan Kode sampel : WL Satuan batuan : Breksi-Lava G. Pasir Jugul (PJa) Lokasi : Pasir Jugul Nama Batuan : Basalt A B C D E A B C D E // -Nikol P1 X -Nikol Sayatan tipis batuan beku, basalt, vitrofirik, fenokris (40%), terdiri dari plagioklas, piroksen, dan opak, berukuran 0,3-2,5 mm; massa dasar (60%) berupa gelas, plagioklas, piroksen dan opak. Komposisi mineral: Plagioklas (50%), sebagai fenokris (30%), berukuran 0,3-2,5 mm, kembar albit, euhedral - subhedral, komposisi labradorit (An55), terdapat inklusi opak dan piroksen, setempat terdapat zonasi, sebagai massa dasar berbentuk mikrolit. (A-C3) Piroksen (20%), orto-piroksen (18%), klino-piroksen (2%), sebagai fenokris (5%), berukuran 0,3-1,25 mm, euhedral - subhedral, terdapat inklusi opak, sebagai massa dasar berbentuk mikrolit. (D2) Opak (10%), sebagai fenokris (5%), hitam, euhedral - subhedral. (A1) Gelas (20%), sebagai massa dasar.

98 Lampiran D - Pengamatan PetrografI Batuan Kode sampel : DR Satuan batuan : Breksi-Lava G. Pasir Jugul (PJa) Lokasi : Pasir Jugul Nama Batuan : Andesit A B C D E A B C D E // -Nikol P1 X -Nikol Sayatan tipis batuan beku, andesit, vitrofirik, fenokris (25%), terdiri dari plagioklas, piroksen, dan opak, berukuran 0,3-2,5 mm; massa dasar (75%) berupa gelas, plagioklas, piroksen dan opak. Komposisi mineral: Plagioklas (25%), sebagai fenokris (20%), berukuran 0,3-25 mm, kembar albit, euhedral - subhedral, komposisi albit (An8), terdapat inklusi opak dan piroksen, zonasi, sebagai massa dasar berbentuk mikrolit. (A2-3) Piroksen (10%), orto-piroksen (4%), klino-piroksen (1%), sebagai fenokris (4%), berukuran 0,3-1,25 mm, euhedral - subhedral, terdapat inklusi opak, sebagai massa dasar berbentuk mikrolit. (B3) Opak (2%), sebagai fenokris (1%), hitam, euhedral - subhedral. (D4) Gelas (63%), sebagai massa dasar.

99 Lampiran D - Pengamatan PetrografI Batuan Kode sampel : JK-21.06B Satuan batuan : Lava Andesit G. Putri (PTl) Lokasi : Jangkurang Nama Batuan : Andesit A B C D E A B C D E // -Nikol P1 X -Nikol Sayatan tipis batuan beku, andesit, holokristalin, porfiritik, fenokris (55%), panidiomorfik granular, berukuran 0,3-2,5 mm, terdiri dari plagioklas, piroksen, mineral opak. Massa dasar (45%), terdiri dari plagioklas, piroksen, dan opak. Komposisi mineral: Plagioklas (82%), sebagai fenokris (40%), kembar albit, tekstur kumulopirik, berukuran 0,3-2,5 mm, euhedral - subhedral, komposisi albit (An9), terdapat inklusi opak, zonasi; sebagai massa dasar melimpah berbentuk mikrolit. (E1) Piroksen (15%), orto-piroksen (8%), klino-piroksen (7%); sebagai fenokris (13%), berukuran 0,3-1,3 mm, euhedral - subhedral, terdapat inklusi opak dan plagioklas; sebagai massa dasar berbentuk mikrolit. (A2-3) Mineral opak (3%), hitam, sebagai fenokris (2%), berukuran 0,3-2,3 mm. (A2)

100 Lampiran D - Pengamatan PetrografI Batuan Kode sampel : CS Satuan batuan : Tuf Breksian II G. Mandalawangi (Ma2) Lokasi : Cisagaten Nama Batuan : Tuf kasar gelas A B C D E A B C D E // -Nikol P1 X -Nikol Sayatan tipis matriks dari tuf breksian, berupa tuf kasar, tekstur klastik, pemilahan buruk, kemas terbuka; butiran (20%), terdiri dari plagioklas, piroksen, kuarsa, opak, berukuran 0,1 1,9 mm, berbentuk menyudut - menyudut tanggung; matriks (80%) berupa gelas. Komposisi mineral: Plagioklas (10%), sebagai butiran (9%), subhedral - anhedral, berukuran 0,1-2 mm. (B-C3) Opak (5%), sebagai butiran (4%), berukuran 0,1-0,3 mm, menyudut - membundar tanggung. (A2) Kuarsa (5%), sebagai butiran (3%), berukuran 0,1-1,9 mm, pemadaman bergelombang. (C3) Piroksen (5%), orto-piroksen (4%), klino-piroksen (1%), sebagai butiran (4%), berukuran 0,1-0,3 mm. (D-E3) Gelas (75%), sebagai matriks.

101 Lampiran D - Pengamatan PetrografI Batuan Kode sampel : CH Satuan batuan : Breksi G. Mandalawangi (Ma3) Lokasi : Ciheluet Nama Batuan : Tuf halus gelas A B C D E A B C D E // -Nikol P1 X -Nikol Sayatan tipis batuan piroklastik, tuf halus, tesktur klastik, pemilahan sedang, kemas terbuka; butiran (5%), terdiri dari kuarsa dan opak, berukuran 0,1 0,5 mm, berbentuk menyudut - membundar tanggung; matriks (95%) berupa gelas. Komposisi mineral: Kuarsa (4%), sebagai butiran, pemadaman bergelombang, berbentuk menyudut - membundar tanggung. (C2) Opak (1%), sebagai butiran. (E4) Gelas (95%), sebagai matriks.

102 Lampiran D - Pengamatan PetrografI Batuan Kode sampel : BL Satuan batuan : Tuf G. Buleud (Bj) Lokasi : G. Buleud Nama Batuan : Tuf halus gelas A B C D E A B C D E // -Nikol P1 X -Nikol Sayatan tipis batuan piroklastik, tuf halus, terpilah sedang, kemas terbuka, butiran (5%), terdiri dari mineral opak dan kuarsa, berukuran 0,02-0,2 mm; matriks (95%) berupa gelas, opak, dan kuarsa. Komposisi mineral: Opak (5%), hitam, sebagai butiran (3%). (D4) Kuarsa (5%), sebagai butiran (2%), pemadaman bergelombang berukuran 0,02-0,2 mm. (B3) Gelas (90%), sebagai matriks.

103 Lampiran D - Pengamatan PetrografI Batuan Kode sampel : BL Satuan batuan : Breksi-Lava G. Pangrajin (PRa) Lokasi : G. Pangrajin Nama Batuan : Tuf kasar litik A B C D E A B C D E // -Nikol P1 X -Nikol Sayatan tipis matriks dari breksi piroklastik, berukuran debu kasar, tekstur klastik, pemilahan buruk, kemas terbuka; butiran (35%), terdiri dari plagioklas, litik batuan beku, mineral opak, kuarsa, piroksen, berukuran 0,2-5 mm, berbentuk menyudut - membundar tanggung; matriks (65%) berupa plagioklas, kuarsa, litik, opak, piroksen, dan gelas. Komposisi mineral: Litik batuan beku (65%), sebagai butiran (32%), berukuran 0,5-5 mm, menyudut tanggung - membundar tanggung, terdiri dari plagioklas (29%), piroksen (10), gelas (20), kuarsa (5%), opak (1%). (A-B3) Opak (3%), sebagai butiran (2%), berukuran 0,2-0,5 mm, menyudut - membundar tanggung. (D2) Piroksen (2%), sebagai butiran (1%), berukuran 0,2-0,5 mm, euhedral - subhedral. (E5) Gelas (25%), sebagai matriks. Kuarsa (3%), sebagai matriks, berukuran 0,1-0,2 mm, menyudut - membundar tanggung. (D3) Plagioklas (2%), sebagai matriks, berukuran 0,1 mm, membundar tanggung. (A3)

104 Lampiran D - Pengamatan PetrografI Batuan Kode sampel : MK Satuan batuan : Breksi-Lava G. Pangrajin (PRa) Lokasi : Cijengkol Nama Batuan : Tuf terelaskan A B C D E A B C D E // -Nikol P1 X -Nikol Sayatan tipis batuan piroklastik, tuf terelaskan, terdiri dari butiran (20%), terdiri dari plagioklas, piroksen, berukuran 0,3-1,4 mm, berbentuk euhedral - subhedral; matriks (80%) berupa gelas yang mengalami devitrifikasi. Komposisi mineral: Plagioklas (19%), sebagai butiran, berukuran 0,3-1,4 mm, euhedral - subhedral. (D3-5) Piroksen (1%), sebagai butiran. (A1) Gelas (80%), telah mengalami devitrifikasi, sebagai matriks.

105 Lampiran D - Pengamatan PetrografI Batuan Kode sampel : BL Satuan batuan : Breksi-Lava G. Pangrajin (PRa) Lokasi : G. Pangrajin Nama Batuan : Andesit A B C D E A B C D E // -Nikol P1 X -Nikol Sayatan tipis batuan beku, andesit, vitrofirik, fenokris (45%), terdiri dari plagioklas, piroksen, opak, berukuran 0,3-2,5 mm, euhedral - subhedral, massa dasar (55%) berupa gelas, opak, piroksen dan plagioklas. Komposisi mineral: Plagioklas (40%), sebagai fenokris (35%), berukuran 0,3-2,5 mm, kembar albit, euhedral - subhedral, komposisi andesin (An44), setempat terdapat zonasi, terdapat inklusi piroksen, terdapat seperti rekahan-rekahan yang berisi gelas, kumulopirik; sebagai massa dasar berbentuk mikrolit. (D3) Piroksen (10%), orto-piroksen (8%), klino-piroksen (2%); sebagai fenokris (7%), berukuran 0,3-1,1 mm, euhedral - subhedral, terdapat inklusi opak. (B4) Opak (5%), sebagai fenokris (3%), berukuran 0,3-1,2 mm. (C4) Gelas (45%), sebagai matriks.

106 LAMPIRAN E ANALISIS KINEMATIKA STRUKTUR GEOLOGI

107 Lampiran E - Analisis Kinematika Struktur Geologi E.1 Sesar Menganan Normal Pulus Tabel E.1 Data pengukuruan kekar gerus yang terdapat di jalur kelurusan Dip Direction (N o E) Sesar Menganan Normal Pulus Dip Direction (N o E) Dip Direction (N o E) Dip Direction (N o E) Dip (... o ) Dip (... o ) Dip (... o ) Dip (... o )

108 Lampiran E - Analisis Kinematika Struktur Geologi Total data kekar gerus: 268

109 Lampiran E - Analisis Kinematika Struktur Geologi Gambar E.1 Diagram frekuensi kekar gerus Sesar Menganan Normal Pulus Kekar gerus: N234 o E/75 o NW Kekar gerus: N338 o E/85 o NE Bidang σ1 dan σ3: N85 o E/16 o SE Kedudukan σ1: 14 o, N195 o E Kedudukan σ2: 74 o, N355 o E Kedudukan σ3: 5 o, N102 o E Bidang sesar: N305 o E/77 o NE Pitch: 10.7 o Net slip: 10 o, N121 o E SF: bidang kekar gerus F: bidang sesar Gambar E.2 Analisis kinematika Sesar Menganan Normal Pulus

110 Lampiran E - Analisis Kinematika Struktur Geologi E.2 Sesar Menganan Normal Cigentur Tabel E.2 Data pengukuruan kekar gerus yang terletak di jalur kelurusan Sesar Menganan Normal Cigentur No Dip Direction Dip No Dip Direction Dip

111 Lampiran E - Analisis Kinematika Struktur Geologi Gambar E.3 Diagram frekuensi kekar gerus Sesar Menganan Normal Cigentur Kekar gerus: N19 o E/78 o SE Kekar gerus: N284 o E/58 o NE Bidang σ1 dan σ3: N126 o E/34 o SE Kedudukan σ1: 12 o, N146 o E Kedudukan σ2: 56 o, N36 o E Kedudukan σ3: 29 o, N248 o E Bidang sesar: N308 o E/56 o NE Pitch: 1 o Net slip: 1 o, N124 o E SF: bidang kekar gerus F : bidang sesar Gambar E.4 Analisis kinematika Sesar Menganan Normal Cigentur

112 LAMPIRAN F HASIL ANALISIS SAMPEL MATAAIR

113 Lampiran F Hasil Analisis Sampel Mataair F.1 Hasil Analisis Isotop 18 O dan Deutrium ( 2 H) oleh BATAN PATIR LABORATORIUM PENGUJIAN PUSAT APLIKASI TEKNOLOGI ISOTOP DAN RADIASI CENTRE FOR THE APPLICATION OF ISOTOPES AND RADIATION TECHNOLOGY BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL NATIONAL NUCLEAR ENERGY AGENCY Jl. Lebak Bulus Raya, Jakarta 12070, Indonesia, Tel , fax , Homepage: patir@batan.go.id HASIL ANALISIS ISOTOP O-18 DAN DEUTERIUM Customer : Sdr. Anwar Invoice name : Analisis isotop O-18 dan Deuterium Date of analysis : 21 Mai 2014 No. Kode Sampel 18 O ( 0 / 00 ) D ( 0 / 00 ) 1 MA MA MA Jakarta, 3 Juni 2014 Analis Lab Uji Isotop dan Radiasi, Ttd Bungkus Pratikno, ST FR (Rev. 1, 2006) Any complain for more than 2 (two) weeks after the certificate issued would not by occupied. This certificate cannot be duplicated partially and is only valid for above samples. Keluhan lebih dari 2 (dua) minggu setelah sertifikat dikeluarkan tidak dilayani. Sertifikat ini tidak dapat digandakan sebagian dan hanya berlaku untuk sampel tersebut di atas Page 99 from 116 Hal. 99 dari 116

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN STUDI MATAAIR DAERAH PASEH-CIKANCUNG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANDUNG, PROVINSI JAWA BARAT

GEOLOGI DAN STUDI MATAAIR DAERAH PASEH-CIKANCUNG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANDUNG, PROVINSI JAWA BARAT GEOLOGI DAN STUDI MATAAIR DAERAH PASEH-CIKANCUNG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANDUNG, PROVINSI JAWA BARAT Tugas Akhir A Oleh: Anwar Zulkhoiri 12010059 Pembimbing : (1) Agus M. Ramdhan S.T., M.T., Ph.D (2)

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Berdasarkan zona fisiografi wilayah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (van Bemmelen, 1949), yang diuraikan sebagai berikut: UZona Dataran Pantai Jakarta Zona ini

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi dan Morfologi Van Bemmelen (1949), membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat zona, yaitu Pegunungan selatan Jawa Barat (Southern Mountain), Zona Bandung (Central

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL 3.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi zona fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 3.1). Pembagian zona yang didasarkan pada aspek-aspek fisiografi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Lokasi penelitian berada di daerah Kancah, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung yang terletak di bagian utara Kota Bandung. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Mineralisasi hidrotermal merupakan proses perubahan mineralogi, tekstur dan komposisi kimia yang terjadi akibat interaksi larutan hidrotermal dengan batuan samping

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI II.1 Struktur Regional Berdasarkan peta geologi regional (Alzwar et al., 1992), struktur yg berkembang di daerah sumur-sumur penelitian berarah timurlaut-baratdaya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL II.1 Tektonik Regional Daerah penelitian terletak di Pulau Jawa yang merupakan bagian dari sistem busur kepulauan Sunda. Sistem busur kepulauan ini merupakan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH CISURUPAN DAN SEKITARNYA, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT

GEOLOGI DAERAH CISURUPAN DAN SEKITARNYA, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT GEOLOGI DAERAH CISURUPAN DAN SEKITARNYA, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT TUGAS AKHIR A Diajukan sebagai syarat untuk kelulusan sarjana strata satu (S-1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9 3.2.2.4 Mekanisme pengendapan Berdasarkan pemilahan buruk, setempat dijumpai struktur reversed graded bedding (Gambar 3-23 D), kemas terbuka, tidak ada orientasi, jenis fragmen yang bervariasi, massadasar

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Daerah Jawa Barat memiliki beberapa zona fisiografi akibat pengaruh dari aktifitas geologi. Tiap-tiap zona tersebut dapat dibedakan berdasarkan morfologi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.2 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (Gambar 2.1), pembagian zona tersebut berdasarkan sifat-sifat morfologi dan tektoniknya (van

Lebih terperinci

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27 memiliki ciri-ciri berwarna abu-abu gelap, struktur vesikuler, tekstur afanitik porfiritik, holokristalin, dengan mineral terdiri dari plagioklas (25%) dan piroksen (5%) yang berbentuk subhedral hingga

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Struktur Geologi Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan Lempeng Eurasia ke daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Berdasarkan pembagian Fisiografis Jawa Tengah oleh van Bemmelen (1949) (gambar 2.1) dan menurut Pardiyanto (1970), daerah penelitian termasuk

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode tidak langsung

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Melalui interpretasi peta topografi dan citra udara serta analisis pola kerapatan kontur yang didasarkan pada klasifikasi van Zuidam, 1985, tatanan umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pulau Jawa merupakan busur gunungapi memanjang barat-timur yang dihasilkan dari pertemuan lempeng Eurasia dan Hindia-Australia. Kondisi geologi Pulau Jawa ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara, Zona Antiklinorium Bogor,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Daerah penelitian hanya berada pada area penambangan PT. Newmont Nusa Tenggara dan sedikit di bagian peripheral area tersebut, seluas 14 km 2. Dengan

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu: 1. Dataran Pantai Jakarta. 2. Zona Bogor 3. Zona Depresi Tengah Jawa Barat ( Zona

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI Secara morfologi, Patahan Lembang merupakan patahan dengan dinding gawir (fault scarp) menghadap ke arah utara. Hasil interpretasi kelurusan citra SPOT menunjukkan adanya kelurusan

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Analisa geomorfologi merupakan sebuah tahapan penting dalam penyusunan peta geologi. Hasil dari analisa geomorfologi dapat memudahkan dalam pengerjaan

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Daerah penelitian memiliki pola kontur yang relatif rapat dan terjal. Ketinggian di daerah penelitian berkisar antara 1125-1711 mdpl. Daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI 3.1.1. Morfologi Umum Daerah Penelitian Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode tidak langsung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI Berdasarkan pembagian fisiografi Jawa Tengah oleh van Bemmelen (1949) dan Pardiyanto (1979) (gambar 2.1), daerah penelitian termasuk ke dalam

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografis Regional Secara fisiografis, Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Antiklinorium Bandung, Zona Depresi Bandung,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH DESA TANJUNGRASA dan SEKITARNYA KECAMATAN TANJUNGSARI, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

GEOLOGI DAERAH DESA TANJUNGRASA dan SEKITARNYA KECAMATAN TANJUNGSARI, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT GEOLOGI DAERAH DESA TANJUNGRASA dan SEKITARNYA KECAMATAN TANJUNGSARI, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT TUGAS AKHIR A Disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu Program Studi Teknik Geologi,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KOMPLEK GUNUNG PALASARI MANGLAYANG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SUMEDANG, PROVINSI JAWA BARAT TUGAS AKHIR A

GEOLOGI DAERAH KOMPLEK GUNUNG PALASARI MANGLAYANG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SUMEDANG, PROVINSI JAWA BARAT TUGAS AKHIR A GEOLOGI DAERAH KOMPLEK GUNUNG PALASARI MANGLAYANG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SUMEDANG, PROVINSI JAWA BARAT TUGAS AKHIR A Diajukan sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Strata Satu di Program Studi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA BARAT Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI DAERAH GUNUNG PALASARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN CILENGKRANG, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT. SKRIPSI

GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI DAERAH GUNUNG PALASARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN CILENGKRANG, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT. SKRIPSI GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI DAERAH GUNUNG PALASARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN CILENGKRANG, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT. SKRIPSI Diajukan sebagai syarat meraih gelar sarjana strata satu di Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Proses geomorfik adalah seluruh perubahan fisika dan kimiawi yang mempengaruhi bentuk dari suatu permukaan bumi (Thornbury, 1969). Terbentuknya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu dengan pengamatan menggunakan SRTM dan juga peta kontur yang dibuat dari

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) secara fisiografi membagi Jawa Barat menjadi 6 zona berarah barat-timur (Gambar 2.1) yaitu: Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen,

Lebih terperinci

BAB 2 TATANAN GEOLOGI

BAB 2 TATANAN GEOLOGI BAB 2 TATANAN GEOLOGI Secara administratif daerah penelitian termasuk ke dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, dan Sinjai Utara, dan temasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL A. Fisiografi yaitu: Jawa Bagian Barat terbagi menjadi 4 zona fisiografi menurut van Bemmelen (1949), 1. Zona Dataran Aluvial Utara Jawa 2. Zona Antiklinorium Bogor atau Zona Bogor

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyusunan tugas akhir merupakan hal pokok bagi setiap mahasiswa dalam rangka merampungkan studi sarjana Strata Satu (S1) di Institut Teknologi Bandung. Penelitian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3. 1 Geomorfologi 3. 1. 1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian terletak pada kompleks gunung api Tangkubanparahu dengan elevasi permukaan berkisar antara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci