BAB I PENDAHULUAN. hukum sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. hukum sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan Yayasan dalam hukum di Indonesia sudah diakui sebagai badan hukum sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (selanjutnya ditulis UU Yayasan). Namun demikian aturan perundangundangan yang mengatur entitas yayasan dalam hal menyelenggarakan pendidikan terusik kembali sejak dikeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), pada tanggal 16 Januari 2009, maka bentuk yayasan sebagai badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal harus melakukan penyesuaian atas ketentuan undang-undang badan hukum pendidikan, yang tentunya hal ini menjadi masalah baru bagi yayasan itu sendiri, baik terhadap status maupun struktur (organ) yayasan itu sendiri. Sebelum lahirnya UU Yayasan, pendirian yayasan di Indonesia dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, doktrin, dan yurisprudensi. Oleh karena itu sejak diterbitkan UU Yayasan, maka diharapkan semestinya menjadi dasar hukum yang kuat dalam mengatur kehidupan yayasan di Indonesia serta menjamin kepastian

2 dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. 1 Kedudukan yayasan sebagai badan hukum secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 butir 1 UU Yayasan, bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Kedudukan yayasan sebagai badan hukum ini sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (1) adalah setelah akta pendirian yayasan memperoleh pengesahan dari Menteri. Berbeda dengan lazimnya suatu Yayasan sebelum lahirnya UU Yayasan, di mana organ yayasan terdiri dari Pendiri, Pengurus dan kadang-kadang ada Pengawas internal, maka setelah diterbitkannya UU Yayasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus dan Pengawas. Susanto, dkk., mengemukakan: Dengan keluarnya UU Yayasan eksistensi Yayasan sebagai entitas hukum privat tidak perlu dipermasalahkan lagi atau tidak perlu diragukan lagi. Ia adalah badan hukum privat yang sudah mempunyai landasan yuridis yang kuat. Yayasan pada hakekatnya adalah kekayaan yang dipisahkan yang oleh undang-undang diberi status badan hukum. Ia adalah subjek hukum seperti halnya orang. Oleh karena itu ia bukan orang sungguhan, maka diperlukan organ agar ia bisa berfungsi seperti yang sungguhan. Organ itu yang disebut Pembina, Pengawas dan Pengurus. Analog dengan hukum PT, Kedudukan Dewan Pembina itu sama halnya dengan RUPS, Pengawas itu sama halnya dengan Komisaris, dan Pengurus itu sama halnya dengan Direksi. 2 1 Chatamarrasjid Ais, Badan Hukum Yayasan, Edisi Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal Susanto, dkk., Reformasi Yayasan, Perspektif Hukum dan Manajemen, Andi, Yogyakarta, 2002, hal. 3.

3 Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk mencapai maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Akan tetapi yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas. 3 Kegiatan usaha dari badan usaha yayasan harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kegiatan usaha dari badan usaha yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan. 4 Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), maka dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 UU BHP satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat harus berbentuk badan hukum pendidikan. Badan hukum pendidikan berfungsi memberikan pelayanan pendidikan formal kepada peserta didik. Badan hukum pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi. 5 3 Pasal 3 UU Yayasan. 4 Penjelasan Pasal 8 UU Yayasan. 5 Pasal 2 dan 3 UU BHP.

4 Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. 6 Reformasi pendidikan menetapkan prinsip penyelenggaraan pendidikan, antara lain: a. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, dan b. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. 7 Prinsip ini sesuai dengan yang diamanatkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) perlunya pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi. Untuk mewujudkan amanat tersebut, Pasal 53 UU Sisdiknas mewajibkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik yang 6 Pasal 4 ayat (1) UU BHP. 7 Penjelasan Umum UU BHP.

5 bersifat nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Pengaturan badan hukum pendidikan merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan sehingga memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik. Walaupun demikian, masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan, pengendalian mutu, dan penyiapan dana pendidikan. Oleh karena itu penyelenggara pendidikan formal seperti yayasan yang telah ada sebelum pemberlakuan UU BHP ini tetap diakui dan dilindungi untuk mengoptimalkan peran sertanya dalam pengembangan pendidikan nasional. Akan tetapi, Yayasan itu harus mengikuti tata kelola penyelenggaraan pendidikan sesuai ketentuan dalam UU BHP. Dalam Pasal 5 UU BHP disebutkan: (1) Jenis badan hukum pendidikan terdiri atas BHP Penyelenggara dan badan hukum pendidikan satuan pendidikan. (2) BHP Penyelenggara merupakan jenis badan hukum pendidikan pada penyelenggara, yang menyelenggarakan 1 (satu) atau lebih satuan pendidikan formal. (3) Badan hukum pendidikan satuan pendidikan merupakan jenis badan hukum pendidikan pada satuan pendidikan formal. Badan hukum pendidikan penyelenggara (BHP Penyelenggara) di antaranya adalah Yayasan yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan diakui sebagai badan hukum pendidikan. Sedangkan badan hukum pendidikan satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu:

6 jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. UU BHP memberikan suatu pilihan kepada Yayasan yang telah diakui sebagai badan hukum pendidikan penyelenggara yaitu: 1. Yayasan sebagai BHP Penyelenggara tidak perlu mengubah bentuknya untuk jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasarnya dan harus menyesuaikan tata kelolanya sesuai dengan tata kelola dalam UU BHP dalam jangka waktu paling lambat 6 tahun sejak berlakunya UU BHP dengan cara mengubah anggaran dasarnya tanpa mengubah bentuk yayasan (Pasal 67 ayat (2) UU BHP). 2. Yayasan sebagai BHP Penyelenggara dapat mengubah bentuknya menjadi BHP Masyarakat. Sesuai dengan Pasal 67 UU BHP, Yayasan yang telah menyelenggarakan pendidikan formal sebelum berlakunya UU BHP, tetap diakui sebagai BHP Penyelenggara yang mengelola satu atau lebih Satuan Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah atau Pendidikan Tinggi, sepanjang izin penyelenggara Pendidikan formal masih berlaku atau belum dicabut oleh Pejabat yang berwenang. Akan tetapi ketentuan UU BHP yang telah menegaskan bahwa penyelengaraan pendidikan formal wajib dalam bentuk badan hukum pendidikan (BHP) ternyata telah memberikan efek terhadap penyelengaraan pendidikan formal yang selama ini diwadahi dalam bentuk Yayasan. Hal ini terkait dengan penyelenggaraan pendidikan formal dalam bentuk Yayasan, apabila ternyata Yayasan

7 tersebut tidak memenuhi syarat sebagai Badan Hukum, permasalahan tersebut dapat dikontruksikan sebagai berikut: Ada penyelenggara satuan pendidikan dalam bentuk Yayasan, dan ternyata Yayasan tersebut tidak memenuhi syarat ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Yayasan juncto Angka 20 Undang-undang Perubahan Yayasan juncto Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun Meskipun dalam hal penyelenggaraan satuan pendidikannya Yayasan, dan berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (3) UU BHP bisa diakui sebagai BHP Penyelenggara, tapi dari aspek ke-badan hukum-an belum mendapat status sebagai badan hukum berdasarkan Surat Keputusan dari Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. 8 Yayasan seperti dikemukakan di atas harus bubar atau dibubarkan, tidak dapat menggunakan kata Yayasan di depan namanya dan harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan dimaksud dalam Pasal 68 UU Yayasan, yaitu asset Yayasan tersebut yang harus dialihkan kepada Yayasan lain yang mempunyai maksud dan tujuan sama, misalnya Yayasan pendidikan formal maka harus dialihkan juga kepada Yayasan pendidikan formal. Dengan kata lain yayasan yang dapat menjadi BHP Penyelenggara hanya yayasan telah diakui keberadaan badan hukumnya, yaitu telah disahkan sesuai Surat Keputusan dari Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Sedangkan bagi yayasan yang belum diakui sebagai badan hukum yang telah menyelenggarakan pendidikan maka tidak dapat menjadi BHP Penyelenggara, tetapi untuk dapat tetap 8 Habib Adjie, Aspek Hukum: Pengalihan Asset Yayasan Bubat/Dibubarkan Yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan Formal Ke BHPM dan Pemisahan Asset Yayasan (Yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan Formal/Non Formal) Yang Mendirikan BHPM, Makalah Disajikan pada Rapat Pleno Pengurus Pusat Yang Diperluas Pembekalan & Penyegaran Pengetahuan Ikatan Notaris Indonesia, Hotel Borobudur, Jakarta, Juli & 1 Agustus 2009, hal

8 menyelenggarakan pendidikan adalah dengan membentuk Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM). Yayasan yang bubar atau dibubarkan tersebut wajib membuat Tim Likuidator. Kepada Tim Likuidator dapat diberi wewenang untuk mengalihkan atau akan mengalihkan asset Yayasan tersebut kepada BHPM yang akan dibuat kemudian sebagai kekayaan awal BHPM. Tidak jadi masalah Tim Likuidator oleh Pembina, Pengawas, Pengurus Yayasan yang bubar atau dibubarkan tersebut diamanatkan dapat mengalihkan assetnya ke Yayasan mana saja yang telah berbadan hukum, yang penting Yayasan tersebut mempunyai maksud dan tujuan yang sama, atau akan menjadi masalah jika Yayasan yang bubar atau dibubarkan tersebut tidak ingin mengalihkan assetnya kepada Yayasan lain yang telah berbadan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan Yayasan yang bubar atau dibubarkan tersebut, tapi, misalnya, ingin mengalihkan kepada BHPM yang dibentuk oleh mantan (orang-perorangan) anggota Pembina, Pengawas, Pengurus, artinya sebelum Yayasan dilikuidasi, mantan (orang-perorangan) anggota Pembina, Pengawas, Pengurus terlebih dahulu mendirikan BHPM dengan maksud untuk menampung asset Yayasan tersebut, dan kewenangan tersebut dicantumkan sebagai kewenangan Tim Likuidator. Permasalahan tersebut dengan kata lain yaitu dapatkah Yayasan tersebut mengalihkan assetnya kepada BHPM? Dalam kaitan ini, baik UU Yayasan dan UU BHP tidak mengatur permasalahan tersebut. 9 9 Ibid., hal

9 Yayasan sebagai badan hukum dalam penyelenggaraan pendidikan harus melakukan penyesuaian tata kelola pendidikan sesuai dengan ketentuan UU BHP, dalam arti Yayasan yang sudah berjalan walaupun tetap dapat menyelenggarakan pendidikan tetapi ada batasan waktu untuk kemudian harus disesuaikan anggaran dasarnya sesuai ketentuan UU BHP. Dalam melakukan perubahan penyesuaian anggaran dasarnya menjadi BHP Penyelenggara ini, maka harus dipertimbangkan yang berkaitan dengan masalah struktur organisasinya, karena berbeda Organ Yayasan dengan organ yang diharuskan dalam UU BHP. Oleh karena dalam UU Yayasan, organ yayasan hanya terdiri dari Pembina, Pengurus dan Pengawas, sedangkan dalam tata kelola BHP menurut UU BHP mempunyai Organ Representasi Pemangku Kepentingan (ORPK), Organ Representasi Pendidik (ORP), Organ Audit Non-Akademik (OANA) dan Organ Pengelola Pendidikan, sehingga dalam penyelenggaraan badan hukum pendidikan ada perubahan mendasar yang harus diterima oleh Yayasan. Dengan demikian dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Yayasan yang selama ini telah menyelenggarakan pendidikan tetap dapat menyelenggarakan dengan ketentuan Yayasan tersebut telah diakui sebagai badan hukum dan menyelenggarakan pendidikan formal yang berjenjang dan terstruktur, seperti pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi, maka Yayasan ini diakui UU BHP sebagai BHP Penyelenggara, sedangkan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut maka dapat membentuk Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM) yang baru untuk tetap dapat menyelenggarakan pendidikan. Sedangkan untuk bidang pendidikan non formal

10 seperti kursus-kursus tetap dapat diselenggarakan oleh Yayasan tanpa perubahan menjadi badan hukum pendidikan. Selain itu, bagi Yayasan yang telah bubar/dibubarkan sesuai ketentuan Pasal 71 UU Yayasan, maka untuk tetap dapat menyelenggarakan adalah dengan membentuk BHPM baru. Badan Hukum Pendidikan (BHP) mempunyai kekayaan yang terpisah dari pendirinya, sehingga Yayasan yang mendirikan BHPM wajib memisahkan harta kekayaan Yayasan untuk pendidikan sesuai tata kelola BHP. Akan tetapi untuk Yayasan yang selama ini didirikan hanya untuk menyelenggarakan pendidikan saja maka dalam menyesuaikan tata kelola menjadi BHP Penyelenggara tidak perlu ada pemisahan kekayaan, kecuali untuk Yayasan yang mempunyai bidang usaha selain pendidikan maka harus dipisahkan. Ketentuan tentang pemisahan kekayaan Yayasan dalam melaksanakan pendidikan sesuai dengan BHP adalah sebagai upaya UU BHP agar dicapai dalam suatu pelaksanaan pendidikan yang mandiri, sehingga hasil dari penyelenggaraan pendidikan dapat digunakan untuk memajukan pelaksanaan pendidikan itu. Hanya saja UU BHP tidak secara tegas mengatur mengenai jumlah kekayaan yang harus dipisahkan oleh Yayasan sebagai BHP Penyelenggara maupun dalam mendirikan BHPM. Di samping itu keberadaan UU BHP ini masih menimbulkan pro dan kontra dari pihak Yayasan karena terjadi ketidakkonsistenan antara UU BHP dengan UU Yayasan misalnya dalam hal kedudukan yayasan pendidikan harus badan hukum nirlaba seperti yang tercantum pada Pasal 4 ayat (1) UU BHP, padahal UU Yayasan

11 telah mengatur hal tersebut bahwa yayasan pendidikan adalah sebagai badan hukum nirlaba. Keberadaan ini mengakibatkan terjadinya gugatan-gugatan (judicial review) terhadap pasal-pasal dari UU BHP ke Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul Kewajiban Yuridis Menyesuaikan Akta Yayasan Pendidikan Dengan Berlakunya Undang-Undang BHP B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas dalam penelitian adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana ketentuan tentang penyesuaian akta Yayasan penyelenggara pendidikan setelah berlakunya UU BHP? 2. Bagaimana proses penyesuaian akta Yayasan penyelenggara pendidikan menurut UU BHP? 3. Bagaimana hambatan dalam penyesuaian akta Yayasan penyelenggara pendidikan menurut UU BHP? C. Tujuan Penelitian Dari permasalahan yang di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk menjelaskan ketentuan tentang penyesuaian akta Yayasan penyelenggara pendidikan setelah berlakunya UU BHP.

12 2. Untuk menjelaskan proses penyesuaian akta Yayasan penyelenggara pendidikan menurut UU BHP. 3. Untuk menjelaskan hambatan dalam penyesuaian akta Yayasan penyelenggara pendidikan menurut UU BHP D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya tentang perubahan akta yayasan pendidikan sesuai dengan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan serta menambah khasanah perpustakaan. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam mempelajari perubahan akta yayasan pendidikan sesuai dengan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan, khususnya para Notaris dan pengelola Yayasan Pendidikan, para akademisi, praktisi hukum, pengacara, mahasiswa dan masyarakat umum. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan khusus pada Perpustakaan Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU, penelitian dengan judul Kewajiban Yuridis Mengubah Akta Yayasan Pendidikan Dengan Berlakunya Undang-Undang BHP belum pernah dilakukan. Pernah ada penelitian sebelumnya terkait dengan Yayasan yang dilakukan oleh:

13 1. Haryanto Gunawan, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana, pada tahun 2002, dengan judul Perspektif Hukum dan Manajerial Yayasan Sesuai Dengan UU Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 (Studi Kasus Pada Yayasan Amurt). 2. Rafika Bahtiar, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana, pada tahun 2005, dengan judul Kajian UU No.30 Tahun 2004 Terhadap Aktivitas Notaris Pada Pendirian Yayasan Sebagai Badan Hukum Non Komersil (Penelitian Pada Kantor Notaris di Kota Medan). 3. Jagjit Singh, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2007, dengan judul Tinjauan Hukum Yayasan Keagamaan Hindu Sikh Di Sumatera Utara Sebagai Badan Hukum Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun Namun jika diperhadapkan penelitian yang telah dilakukan tersebut dengan penelitian ini maka berbeda materi dan pembahasan yang dilakukan. Oleh sebab itu, penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, 10 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. 11 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu 10 M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, hal Ibid., hal. 203.

14 kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. 12 Oleh karena itu dalam membahas kewajiban yuridis mengubah akta yayasan pendidikan dengan berlakunya UU BHP digunakan suatu teori sebagai pisau analisis yaitu teori kekayaan bertujuan. Teori kekayaan bertujuan sebagaimana dikemukakan Brinz, hanya manusia dapat menjadi subjek hukum. Karena itu, badan hukum bukan subjek hukum dan hakhak yang diberi kepada suatu badan hukum pada hakikatnya hak-hak dengan tiada subjek hukum. 13 Teori ini mengemukakan bahwa kekayaan badan hukum itu tidak terdiri dari hak-hak sebagaimana lazimnya (ada yang menjadi pendukung hak-hak tersebut, manusia). Kekayaan badan hukum dipandang terlepas dari yang memegangnya (onpersoonlijk/subjectloos). Di sini yang penting bukan siapakah badan hukum itu, tetapi kekayaan tersebut diurusi dengan tujuan tertentu. Karena itu, menurut teori ini tidak peduli manusia atau bukan, tidak peduli kekayaan itu merupakan hak-hak yang normatif atau bukan, pokoknya adalah tujuan dari kekayaan tersebut. Singkatnya, apa yang disebut hak-hak badan hukum, sebenarnya hak-hak tanpa subjek hukum, karena itu sebagai penggantinya adalah kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan. 14 Teori kekayaan bertujuan dikaitkan dengan kedudukan yayasan sebagaimana dikemukakan oleh Chatamarrasjid Ais berikut: M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal Brinz dalam Chidir Ali, Badan Hukum, PT. Alumni, Bandung, 2005, hal Ibid., hal Chatamarrasjid Ais, Op. Cit., hal. 3.

15 Teori kekayaan bertujuan yang mulanya diajukan oleh Brinz. Menurut teori ini hanya manusia yang dapat menjadi subjek hukum. Akan tetapi, merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu kekayaan, sedangkan tidak ada satu manusia pun yang menjadi pendukung hak-hak itu. Apa yang dinamakan hak-hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang memilikinya dan sebagai gantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan yang dimiliki oleh tujuan tertentu. Pada Yayasan tujuan itu adalah bersifat idealistis, sosial dan kemanusiaan. Teori ini secara selintas mendukung pula pandangan bahwa yayasan adalah milik masyarakat. Pengakuan yayasan sebagai badan hukum yang berarti sebagai subyek hukum mandiri seperti halnya orang, secara teoritis dalam kenyataannya hanya didasarkan antara lain karena adanya kekayaan terpisah, tidak membagi kekayaan atau penghasilannya kepada pendiri atau pengurusnya, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai organisasi yang teratur, didirikan dengan akta notaris. 16 Ciri demikian memang cocok dengan ciri-ciri badan hukum pada umumnya, yaitu: adanya kekayaan terpisah, adanya tujuan tertentu, adanya kepentingan sendiri dan adanya organisasi yang teratur. 17 Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan), maka yayasan telah diakui sebagai badan hukum privat, yang berarti diakui sebagai subyek hukum mandiri yang terlepas dari kedudukan subyek hukum para pendiri atau pengurusnya. Sebagai subyek hukum mandiri berarti yayasan dapat menyandang hak dan kewajiban, dapat menjadi debitur maupun kreditur, dengan kata 16 Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987, hal Nindyo Pramono, Sertifikat Saham pt. Go Publik dan Hukum Pasar Modal di Indonesia, Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 24.

16 lain yayasan dapat melakukan hubungan hukum apapun dengan pihak ketiga. Kapan yayasan itu menjadi badan hukum menurut undang-undang yayasan adalah sejak akta pendiriannya yang dibuat dihadapan notaris disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Menurut Pasal 1 butir 1 UU Yayasan, yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Dari ketentuan Pasal 1 UU Yayasan ini maka status badan hukum yang semula diperoleh dari sistem terbuka penentuan suatu badan hukum (het Open systeem van rehtspersonen) beralih berdasarkan sistem tertutup (de Gesloten systeem van Rechtspersonen). Artinya, sekarang yayasan menjadi badan hukum karena undangundang atau berdasarkan undang-undang, bukan berdasarkan sistem terbuka, yang berlandaskan pada kebiasaan, doktrin, dan ditunjang oleh yurisprudensi. 18 UU Yayasan: Yayasan dalam memperoleh status badan sebagaimana disebutkan Pasal 11 (1) Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), memperoleh pengesahan dari Menteri. (2) Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendiri atau kuasanya mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Notaris yang membuat akta pendirian Yayasan tersebut. (3) Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyampaikan permohonan pengesahan kepada Menteri dalam jangka waktu paling 18 Chatamarrasjid Ais, Op. Cit., hal. 2.

17 lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan ditandatangani. (4) Dalam memberikan pengesahan akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. (5) Instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menyampaikan jawaban dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan diterima. (6) Permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan dikenakan biaya yang besarnya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Dari ketentuan Pasal 11 UU Yayasan di atas, bahwa wewenang untuk mengesahkan suatu yayasan sebagai badan hukum berada di tangan Menteri Hukum dan HAM. Di samping itu dinyatakan bahwa Notaris wajib menyampaikan permohonan untuk menjadi badan hukum tersebut. Hal ini mungkin disebabkan pada masa lalu banyak yayasan dengan sengaja tidak mengajukan permohonan untuk menjadi badan hukum. 19 Yayasan: Permohonan pengesahan sebagai badan hukum diatur dalam Pasal 12 UU (1) Permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), diajukan secara tertulis kepada Menteri. (2) Pengesahan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. (3) Dalam hal diperlukan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal jawaban atas permintaan pertimbangan dari instansi terkait diterima. (4) Dalam hal jawaban atas permintaan pertimbangan tidak diterima, pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan disampaikan kepada instansi terkait. 19 Ibid., hal. 4.

18 Kemudian secara tegas dinyatakan dalam Pasal 13A UU Yayasan, bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pengurus atas nama Yayasan sebelum Yayasan memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab Pengurus secara tanggung renteng. UU Yayasan memberikan kesempatan kepada Yayasan untuk melakukan kegiatan usaha, sebagaimana terlihat dalam Pasal 3, Pasal 7, dan Pasal 8 berikut ini: Pasal 3 UU Yayasan: (1) Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. (2) Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan: ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa yayasan tidak digunakan sebagai wadah usaha dan yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung, tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain di mana yayasan menyertakan kekayaannya. Jelas terlihat dari ketentuan di atas, bahwa kegiatan usaha yayasan adalah untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya, yaitu suatu tujuan yang bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Hal ini mengakibatkan seseorang yang menjadi organ yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah, atau honor tetap. Ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) di atas lebih mempertegas bahwa kegiatan usaha

19 dimaksud adalah untuk tujuan-tujuan yayasan dan bukan untuk kepentingan organ yayasan. 20 Pasal 7 UU Yayasan: (1) Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan. (2) Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25 % (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan. (3) Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2). Kemudian dalam Pasal 8 UU Yayasan disebutkan kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 8 disebutkan kegiatan usaha dari badan usaha yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk antara lain hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan. Ketentuan di dalam pasal-pasal di atas menghapuskan kontroversi apakah yayasan boleh melakukan kegiatan usaha (termasuk pendidikan) atau mendirikan badan usaha. Dalam hubungan ini yayasan dapat melakukan kegiatan usaha atau lebih tegas dapat melakukan kegiatan usaha yang memperoleh laba, tetapi mengejar laba bukanlah tujuannya. Kegiatan dengan tujuan mengejar laba haruslah tidak 20 Ibid., hal. 8.

20 diperbolehkan memilih bentuk badan hukum yayasan, tetapi bentuk badan hukum lain yang tersedia untuk maksud mengejar laba, seperti perseroan terbatas umpamanya. 21 Yayasan boleh memperoleh laba dengan melakukan berbagai kegiatan usaha, baik dengan menjadi peserta dari suatu badan usaha maupun dengan mendirikan suatu badan usaha baru, sesuai dengan ketentuan dalam UU Yayasan. Organ Yayasan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU Yayasan adalah terdiri dari: a. Pembina b. Pengurus c. Pengawas. Pembina adalah organ yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas oleh undang-undang atau anggaran dasar, yang mempunyai kewenangan sebagai berikut: a. keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar; b. pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas; c. penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan; d. pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan e. penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan (Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU Yayasan) Yang dapat diangkat menjadi anggota Pembina adalah orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota 21 Ibid., hal. 7.

21 Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Dalam hal Yayasan karena sebab apapun tidak lagi mempunyai Pembina, paling lambat dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal kekosongan, anggota Pengurus dan anggota Pengawas wajib mengadakan rapat gabungan untuk mengangkat Pembina (Pasal 28 ayat (3) UU Yayasan). Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan. Yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum, dan tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas (Pasal 31 UU Yayasan). Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan. Yayasan memiliki Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Pengawas yang wewenang, tugas, dan tanggung jawabnya diatur dalam Anggaran Dasar. Yang dapat diangkat menjadi Pengawas adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum. Pengawas tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengurus (Pasal 40 UU Yayasan). Dengan demikian dari uraian di atas terlihat bahwa Yayasan adalah suatu badan hukum yang keberadaannya telah diakui oleh undang-undang untuk menyelenggarakan suatu badan usaha termasuk di dalamnya dalam penyelenggaraan pendidikan. Akan tetapi sejak diberlakukannya UU BHP maka Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan formal harus menyesuaikan tata kelola pendidikan sesuai dengan ketentuan UU BHP.

22 Pasal 2 dan Pasal 3 UU BHP menyatakan, Badan hukum pendidikan berfungsi memberikan pelayanan pendidikan formal kepada peserta didik, yang bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi. Pengelolaan pendidikan formal secara keseluruhan oleh badan hukum pendidikan sesuai Pasal 4 UU BHP didasarkan pada prinsip: a. Otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik; b. Akuntabilitas, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggung jawabkan semua kegiatan yang dijalankan badan hukum pendidikan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; c. Transparansi, yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan; d. Penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan; e. Layanan prima, yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik; f. Akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya; g. Keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis, dan budaya; h. Keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada peserta didik secara terus-menerus, dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan layanan; dan i. Partisipasi atas tanggung jawab negara, yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan tanggung jawab negara.

23 Jenis badan hukum pendidikan diatur dalam Pasal 5 UU BHP, yaitu: a. BHP Penyelenggara, merupakan jenis badan hukum pendidikan pada penyelenggara, yang menyelenggarakan 1 (satu) atau lebih satuan pendidikan formal. b. Badan hukum pendidikan satuan pendidikan, merupakan jenis badan hukum pendidikan pada satuan pendidikan formal. Bentuk badan hukum pendidikan diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU BHP yang terdiri atas: a. Badan Hukum Pendidikan Pusat (BHPP) BHPP didirikan oleh Pemerintah dengan peraturan pemerintah atas usul Menteri. b. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD) BHPPD didirikan oleh pemerintah daerah dengan peraturan gubernur atau peraturan bupati/walikota. c. Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM). BHPM didirikan oleh masyarakat dengan akta notaris yang disahkan oleh Menteri. Selanjutnya sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 9 UU BHP, maka bagi Yayasan yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan/atau pendidikan tinggi, diakui sebagai BHP Penyelenggara, yang dapat menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan, ataupun BHP Penyelenggara dapat mengubah bentuk satuan pendidikannya menjadi BHP Masyarakat.

24 1. Konsepsi Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. 22 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. 23 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: a. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. 24 b. Badan hukum pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. 25 c. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah yang selanjutnya disebut BHPP adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh Pemerintah. 26 d. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut BHPPD adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh pemerintah daerah Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal Pasal 1 angka 1 UU Yayasan. 25 Pasal 1 angka 1 UU BHP. 26 Pasal 1 angka 2 UU BHP. 27 Pasal 1 angka 3 UU BHP.

25 e. Badan Hukum Pendidikan Masyarakat yang selanjutnya disebut BHPM adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh masyarakat. 28 f. Badan hukum pendidikan penyelenggara, yang selanjutnya disebut BHP Penyelenggara adalah yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan diakui sebagai badan hukum pendidikan. 29 g. Pendiri adalah Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang mendirikan badan hukum pendidikan. 30 h. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia non-pemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. 31 i. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan formal. 32 j. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. 33 k. Organ badan hukum pendidikan adalah unit organisasi yang menjalankan fungsi badan hukum pendidikan, baik secara sendiri maupun bersama sama, sesuai dengan tujuan badan hukum pendidikan Pasal 1 angka 4 UU BHP. 29 Pasal 1 angka 5 UU BHP. 30 Pasal 1 angka 6 UU BHP. 31 Pasal 1 angka 7 UU BHP. 32 Pasal 1 angka 8 UU BHP. 33 Pasal 1 angka 9 UU BHP. 34 Pasal 1 angka 10 UU BHP.

26 G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan 35 tentang kewajiban yuridis mengubah akta yayasan pendidikan dengan berlakunya UU BHP. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, khususnya yang menyangkut Undang-Undang Yayasan dan Undang-Undang BHP dan peraturan pelaksanaannya. Jadi, sifat penelitian ini adalah juridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 37 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: 1) Undang-Undang Dasar ) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 35 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal.39.

27 4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. 6) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan 7) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang- Undang Yayasan b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang terkait dengan masalah penelitian. c. Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan masalah penelitian. 3. Alat Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: a. Studi Dokumen yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, berupa dokumen-dokumen maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang berkaitan kewajiban yuridis mengubah akta yayasan pendidikan dengan berlakunya Undang-Undang BHP. b. Wawancara yaitu menghimpun data dengan melakukan wawancara yang menggunakan pedoman wawancara (interview guide) untuk mendapatkan data primer dari nara sumber yang telah ditentukan, yaitu: 1) Notaris di Kota Medan, sebanyak 5 (lima) orang. 2) Pengelola Yayasan Pendidikan di Kota Medan, sebanyak 2 (dua) orang.

28 41 4. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan nara sumber hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini. Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2008 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2008 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Per 17 Desember 2008 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2008 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, .org UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN www.bpkp.go.id DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN TENTANG PENYESUAIAN AKTA YAYASAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN SETELAH BERLAKUNYA UU BHP

BAB II KETENTUAN TENTANG PENYESUAIAN AKTA YAYASAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN SETELAH BERLAKUNYA UU BHP BAB II KETENTUAN TENTANG PENYESUAIAN AKTA YAYASAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN SETELAH BERLAKUNYA UU BHP A. Yayasan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 dan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2004 1.

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN I. UMUM Semangat reformasi di bidang pendidikan yang terkandung dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 1/Jan-Mar/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 1/Jan-Mar/2015 14 FUNGSI YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM PENGELOLAAN PENDIDIKAN 1 oleh: Tirsa Lapadengan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan yayasan dalam hukum positif

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG MEKANISME PENDIRIAN BADAN HUKUM PENDIDIKAN YANG MENYELENGGARAKAN PENDIDIKAN DASAR DAN/ATAU MENENGAH DAN PENGAKUAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG IZIN MENDIRIKAN YAYASAN. A. Peraturan yang Mengatur Izin Mendirikan Yayasan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG IZIN MENDIRIKAN YAYASAN. A. Peraturan yang Mengatur Izin Mendirikan Yayasan BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG IZIN MENDIRIKAN YAYASAN A. Peraturan yang Mengatur Izin Mendirikan Yayasan 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Kegiatan yang mengatasnamakan amal, bersedekah,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N I. UMUM Pendirian Yayasan di Indonesia sampai saat ini hanya berdasar atas kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UU 28-2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2

SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2 SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi syarat syarat

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Menurut Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Menurut Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. 26 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Tentang Yayasan Menurut Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, definisi Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TENTANG PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN TENTANG PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA 23 BAB II PENGATURAN TENTANG PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Ketentuan-Ketentuan Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dibanding Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Perseroan terbatas

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 115, 2004 KESRA. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah.Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI A. Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum Dewasa ini Perseroan Terbatas merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perseroan Terbatas (PT), dulu disebut juga Naamloze Vennootschaap (NV) 1, adalah suatu persekutuan untuk menjalankan usaha yang memiliki modal terdiri dari Saham,

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 1 tahun ~ keharusan Perseroan menyesuaikan ketentuan Undang-undang ini Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bila seseorang atau beberapa orang akan melakukan kegiatan yang penuh idealisme serta bertujuan sosial dan kemanusiaan, biasanya bentuk organisasi yang dipilih adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan Badan Hukum Yayasan cukup pesat dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan Badan Hukum Yayasan cukup pesat dalam masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan Badan Hukum Yayasan cukup pesat dalam masyarakat Indonesia. Keberadaan yayasan pada dasarnya merupakan pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat yang menginginkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), namun KUHD sendiri tidaklah

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), namun KUHD sendiri tidaklah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perusahaan adalah suatu pengertian ekonomi yang banyak dipakai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), namun KUHD sendiri tidaklah memberikan penafsiran maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggota masyarakat ini menimbulkan dampak terjadinya hubungan hukum

BAB I PENDAHULUAN. anggota masyarakat ini menimbulkan dampak terjadinya hubungan hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan perilaku masyarakat yang dinamis seiring dengan perkembangan waktu dalam berbagai aktivitasnya mempunyai dampak sosial terhadap interaksi sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbeda dengan tujuan pendirian dari Perseroan Terbatas, tujuan filosofis

BAB I PENDAHULUAN. Berbeda dengan tujuan pendirian dari Perseroan Terbatas, tujuan filosofis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbeda dengan tujuan pendirian dari Perseroan Terbatas, tujuan filosofis pendirian Yayasan adalah tidak bersifat komersial atau tidak mencari keuntungan, maksudnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatannya seperti pendidikan, kesehatan, keagamaan dan kegiatan sosial lainnya

BAB I PENDAHULUAN. kegiatannya seperti pendidikan, kesehatan, keagamaan dan kegiatan sosial lainnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yayasan sebenarnya telah dikenal cukup lama dengan berbagai bidang kegiatannya seperti pendidikan, kesehatan, keagamaan dan kegiatan sosial lainnya yang belum tertangani

Lebih terperinci

BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT. Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan

BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT. Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT A. Pengertian Perseroan Terbatas Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan berasal dari kata Sero", yang mempunyai arti Saham.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.212, 2012 PEMBANGUNAN. EKONOMI. Warga Negara. Kesejahteraan. Koperasi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5355) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR YAYASAN GEDHE NUSANTARA

ANGGARAN DASAR YAYASAN GEDHE NUSANTARA ANGGARAN DASAR YAYASAN GEDHE NUSANTARA BAB I NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 1. Yayasan ini bernama Yayasan Gedhe Nusantara (selanjutnya dalam anggaran dasar ini cukup disingkat dengan Yayasan), berkedudukan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan di Indonesia

Lebih terperinci

YAYASAN Contoh akta perubahan anggaran dasar Yayasan untuk Yayasan yang didirikan

YAYASAN Contoh akta perubahan anggaran dasar Yayasan untuk Yayasan yang didirikan CONTOH AKTA PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN UNTUK YAYASAN YANG DIDIRIKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN, TAPI PENGESAHAN SEBAGAI BADAN HUKUMNYA BELUM/TIDAK DIURUS. YAYASAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN STATUS DAN JANGKA WAKTU MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN

NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN STATUS DAN JANGKA WAKTU MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 1. Yayasan ini bernama [ ] disingkat [ ], dalam bahasa Inggris disebut [ ] disingkat [ ], untuk selanjutnya dalam Anggaran Dasar ini disebut "Yayasan" berkedudukan di

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan. Perkara No 136/PUU-VII/2009. Aep Saepudin, dkk. Aminudin Ma ruf,dkk. Yura Pratama Yudistira,dkk

Ringkasan Putusan. Perkara No 136/PUU-VII/2009. Aep Saepudin, dkk. Aminudin Ma ruf,dkk. Yura Pratama Yudistira,dkk Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal 31 Maret 2010 atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Lebih terperinci

YAYASAN Contoh akta Yayasan yang didirikan sebelum berlakunya Undang-undang nomor 16

YAYASAN Contoh akta Yayasan yang didirikan sebelum berlakunya Undang-undang nomor 16 CONTOH AKTA YAYASAN YANG DIDIRIKAN SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN, DAN TELAH MEMENUHI KETENTUAN PASAL 15 A PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perseroan terbatas merupakan salah satu bentuk Maskapai Andil Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Perseroan terbatas merupakan salah satu bentuk Maskapai Andil Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perseroan terbatas merupakan salah satu bentuk Maskapai Andil Indonesia yang ada di Indonesia. Bila kita liat pada KUHD perseroan terbatas tidak diatur secara terperinci

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan perekonomian nasional bertujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan perekonomian nasional bertujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LAMPIRAN 218 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang

Lebih terperinci

CONTOH AKTA PENDIRIAN (BARU) YAYASAN YAYASAN

CONTOH AKTA PENDIRIAN (BARU) YAYASAN YAYASAN CONTOH AKTA PENDIRIAN (BARU) YAYASAN YAYASAN Nomor: - Pada hari ini, - tanggal - bulan - tahun - pukul WI (Waktu Indonesia ). -------------------------------------- Menghadap kepada saya 1,--------------------------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERA

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERA No.305, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Badan Usaha Milik Daerah. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6173) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Perseroan Terbatas 1. Dasar Hukum Perseroan Terbatas Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT),

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan orang di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai definisi perusahaan dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai definisi perusahaan dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah perusahaan untuk pertama kalinya terdapat di dalam Pasal 6 KUHD yang mengatur mengenai penyelenggaraan pencatatan yang wajib dilakukan oleh setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dapat diartikan. dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dapat diartikan. dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Awal mula masuknya peseroan terbatas dalam tatanan hukum Indonesia adalah melalui asas konkordasi, yaitu asas yang menyatakan bahwa peraturan yang berlaku di

Lebih terperinci

UU YAYASAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENYELENGGARAAN PTS DEDI MULYASANA

UU YAYASAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENYELENGGARAAN PTS DEDI MULYASANA UU YAYASAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENYELENGGARAAN PTS DEDI MULYASANA Dasar Hukum Yayasan Setelah 6 Agustus 2001 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (UUY) yang diundangkan 06 Agusts 2001 dan berlaku efektif

Lebih terperinci

SEMULA ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk.

SEMULA ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk. Pasal SEMULA ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk. USULAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk. Pasal PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM PASAL 10 PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM

Lebih terperinci

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean BAB I PENDAHULUAN

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean BAB I PENDAHULUAN AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perseroan Terbatas (PT) sebelumnya diatur

Lebih terperinci

YAYASAN Contoh akta perubahan anggaran dasar Yayasan untuk Yayasan yang didirikan sebelum

YAYASAN Contoh akta perubahan anggaran dasar Yayasan untuk Yayasan yang didirikan sebelum CONTOH AKTA PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN UNTUK YAYASAN YANG DIDIRIKAN SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN, DAN TELAH MEMENUHI KETENTUAN PASAL 37 A PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah

Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah AKTA PENDIRIAN YAYASAN "..." Nomor :... Pada hari ini,..., tanggal... 2012 (duaribu duabelas) pukul... Waktu Indonesia Barat. Berhadapan dengan saya, RUFINA INDRAWATI TENGGONO, Sarjana Hukum, Notaris di

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2006 TENTANG PERUSAHAAN UMUM PERCETAKAN UANG REPUBLIK INDONESIA (PERUM PERURI)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2006 TENTANG PERUSAHAAN UMUM PERCETAKAN UANG REPUBLIK INDONESIA (PERUM PERURI) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2006 TENTANG PERUSAHAAN UMUM PERCETAKAN UANG REPUBLIK INDONESIA (PERUM PERURI) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seseorang yang tidak dapat menjalankan suatu urusan, maka alternatifnya

BAB I PENDAHULUAN. Seseorang yang tidak dapat menjalankan suatu urusan, maka alternatifnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seseorang yang tidak dapat menjalankan suatu urusan, maka alternatifnya adalah menunda urusan tersebut sampai ia mampu melakukannya sendiri atau mewakilkan kepada atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan perusahaan di Indonesia mengakibatkan beberapa perubahan dari sistem perekonomian, kehidupan sosial masyarakat, politik serta hukum tatanan hukum

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM YAYASAN DIINDONESIA MENURUT UU. NO.16 TAHUN 2001 jo. UU NO.28 TAHUN 2004

BAB II PENGATURAN HUKUM YAYASAN DIINDONESIA MENURUT UU. NO.16 TAHUN 2001 jo. UU NO.28 TAHUN 2004 16 BAB II PENGATURAN HUKUM YAYASAN DIINDONESIA MENURUT UU NO.16 TAHUN 2001 jo. UU NO.28 TAHUN 2004 A. Pengertian Yayasan Yayasan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah stichting dan dalam bahasa Inggris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peranan notaris..., E. Paramitha Sapardan, FH UI, hlm. 1. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Peranan notaris..., E. Paramitha Sapardan, FH UI, hlm. 1. Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perseroan dalam pengertian umum adalah perusahaan atau organisasi usaha. Sedangkan perseroan terbatas adalah salah satu bentuk organisasi usaha atau badan usaha yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN KOPERASI TIDAK TERDAFTAR SEBAGAI BADAN HUKUM

PERTANGGUNGJAWABAN KOPERASI TIDAK TERDAFTAR SEBAGAI BADAN HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN KOPERASI TIDAK TERDAFTAR SEBAGAI BADAN HUKUM ABSTRAK Indra Perdana Tanjung Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UNA, Kisaran Sumatera Utara Universitas Asahan; Jalan Ahmad Yani, (0623) 42643 e-mail

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai lembaga perantara (intermediari) antara pihak-pihak yang kelebihan. dalam bentuk penempatan yang paling menguntungkan.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai lembaga perantara (intermediari) antara pihak-pihak yang kelebihan. dalam bentuk penempatan yang paling menguntungkan. 14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan, khususnya bank umum, merupakan inti dari sistem keuangan setiap negara. Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan, badan-badan

Lebih terperinci

Piagam Dewan Komisaris. PT Link Net Tbk ( Perseroan )

Piagam Dewan Komisaris. PT Link Net Tbk ( Perseroan ) Piagam Dewan Komisaris PT Link Net Tbk ( Perseroan ) BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 D e f i n i s i 1. Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ) berarti organ Perseroan yang memiliki wewenang yang tidak diberikan

Lebih terperinci

BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 23 BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 A. Organ Organ Perseroan Terbatas 1. Rapat Umum Pemegang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan perekonomian nasional bertujuan

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PEDOMAN DAN TATA TERTIB KERJA DIREKSI

PEDOMAN DAN TATA TERTIB KERJA DIREKSI PEDOMAN DAN TATA TERTIB KERJA DIREKSI DAFTAR ISI PASAL 1 Tujuan... 2 PASAL 2 Definisi... 2 PASAL 3 Keanggotaan Direksi... 2 PASAL 4 Persyaratan... 3 PASAL 5 Masa Jabatan... 4 PASAL 6 Pemberhentian Sementara...

Lebih terperinci

Piagam Direksi. PT Link Net Tbk ( Perseroan )

Piagam Direksi. PT Link Net Tbk ( Perseroan ) Piagam Direksi PT Link Net Tbk ( Perseroan ) BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Definisi 1. Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ) berarti organ Perseroan yang memiliki wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk menyimpan dan meminjam uang. Namun, pada masa sekarang pengertian bank telah berkembang sedemikian

Lebih terperinci

http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+8&f=pp63-2008.htm

http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+8&f=pp63-2008.htm 1 of 11 11/6/2008 9:33 AM Gedung DitJend. Peraturan Perundang-undangan Go Back Tentang Kami Forum Diskusi FAQ Web Jln. Rasuna Said Kav. 6-7, Kuningan, Jakarta Selatan Mail Email: admin@legalitas.org. PERATURAN

Lebih terperinci