AKIBAT HUKUM PERJANJIAN WARALABA YANG DILAKUKAN SAAT PROSES PENDAFTARAN MEREK. Djarot Pribadi, SH., MH. 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "AKIBAT HUKUM PERJANJIAN WARALABA YANG DILAKUKAN SAAT PROSES PENDAFTARAN MEREK. Djarot Pribadi, SH., MH. 1"

Transkripsi

1 AKIBAT HUKUM PERJANJIAN WARALABA YANG DILAKUKAN SAAT PROSES PENDAFTARAN MEREK Djarot Pribadi, SH., MH. 1 ABSTRAK Perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses pendaftaran merek hanya mengikat para pihak yang membuatnya saja. Dengan demikian, mengakibatkan tidak berlakunya perbuatan hukum yang dikehendaki oleh para pihak terhadap pihak ketiga. Merek yang diajukan pendaftarannya akan tetapi ditolak/tidak diterima oleh Ditjen HKI, tidak menjadikan batalnya perjanjian waralaba yang dibuat, dengan syarat para pihak telah menyatakan hal ini dalam perjanjian. Pembatalan hanya dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang dapat membuktikan dirinya secara sah menjadi pemegang hak atas merek dari objek yang diwaralabakan. Kata Kunci : Perjanjian Waralaba, Pendaftaran Merek, Akibat Hukum. PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini salah satu jenis indirect investment yang banyak bermunculan di kalangan masyarakat adalah lisensi dan waralaba dengan segala macam variasinya. Memang tidak ada bisnis yang bisa dijamin 100% aman dan menguntungkan, tetapi melalui lisensi dan waralaba diharapkan menjadikan peluang bisnis yang menjanjikan dan bisa mengurangi faktor risiko kerugian. Pengertian lisensi menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 adalah izin yang diberikan pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu. Melalui lisensi pihak yang tidak memiliki HAKI dapat melakukan suatu perbuatan ataupun tindakan atas kekayaan intelektual tersebut, tentunya dengan bentuk perizinan serta syarat-syarat yang mengikutinya dari yang mempunyai hak. Tanpa adanya izin perbuatan atau tindakan tersebut dapat dikatakan tidak sah dan melawan hukum. Waralaba berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 adalah perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan jasa. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007, waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat 1 Dosen 87

2 88 dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Jenis usaha ini memberikan banyak kemudahan dan peluang terutama bagi para pebisnis pemula. Bahkan, berdasarkan International Franchise Association (IFA, 2003), pada 2000 kebanyakan analis memperkirakan bahwa perusahaan pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchisee) mencapai US$1 triliun dalam penjualan eceran tahunan di Amerika Serikat dari usaha kecil yang diwaralabakan dalam 75 industri. Selain itu, pewaralabaan dikatakan mencapai lebih dari 40% dari seluruh penjual eceran di Amerika Serikat. Analis industri memperkirakan bahwa pewaralabaan mempekerjakan lebih dari 8 juta orang, setiap outlet waralaba yang baru dibuka di suatu tempat di Amerika Serikat setiap 8 menit, dan kira-kira 1 dari setiap 12 pendirian usaha eceran merupakan usaha waralaba. 2 Objek dari trade mark/trade name franchise adalah merek. Merek merupakan benda bergerak yang tidak berwujud yang mempunyai nilai komersial sangat tinggi dan dapat dijadikan aset bisnis dalam suatu perusahaan. Sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI), merek dikatagorikan dalam industrial property. Pemilik merek memperoleh perlindungan hukum dengan syarat utama melakukan pendaftaran merek, baik lingkup nasional maupun internasional. Selain itu, diperlukan pengetahuan yang luas mengenai sistem hukum yang mengatur aset HAKI. UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, dalam Bab IV mengatur proses dan jangka waktu suatu permohonan pendaftaran merek. Dari beberapa tahapan yang harus dilewati, suatu merek baru bisa terdaftar dan dapat diterbitkan sertifikat mereknya oleh Kantor Merek kurang lebih 14 (empat belas) bulan lewat 10 (sepuluh) hari, yaitu dihitung dari awal permohonan pendaftaran, dengan catatan tidak ada kendala yang berupa keberatan-keberatan dari pihak lain. Bahkan dalam praktik yang sering terjadi, waktu tersebut bisa lebih lama lagi. Waktu yang cukup lama tersebut dapat menjadikan hambatan dalam proses bisnis yang semestinya bisa dilaksanakan oleh calon pemegang merek, karena hak merek baru timbul setelah dikabulkannya permohonan pendaftaran merek yang bersangkutan, di sisi lain pelaksanaan waralaba di Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 16 tahun 1997 menyatakan bahwa setiap perjanjian waralaba didaftar di Departemen Perindustrian dan Perdagangan, bahkan dalam Peraturan pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2007, pendaftaran waralaba adalah wajib sifatnya. Apakah dengan adanya aturan ini akan menjadi hambatan bagi pemula bisnis waralaba, mengingat seringkali pemilik merek baru merasa perlu mendaftarkan mereknya setelah dalam pelaksanaan bisnis di lapangan ternyata produk yang dihasilkannya banyak diminati oleh banyak pihak dan kemudian muncul berbagai tawaran untuk melakukan kerjasama. Rumusan Masalah 2 Imam SjahputraTunggal, Sukses Melalui Waralaba, Harvarindo, Jakarta, 2005, h. iii

3 89 a. Apakah perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat masih dilakukan pendaftaran mereknya mempunyai kekuatan mengikat? b. Apakah akibat hukum dari perjanjian waralaba tersebut bilamana ditolak pendaftaran mereknya? PEMBAHASAN A. Kekuatan Mengikat Perjanjian Waralaba yang Dilakukan Saat Proses Pendaftaran Merek Waralaba (franchise) merupakan suatu perikatan yang timbul karena perjanjian antara franchisor dan franchisee. Hukum perikatan ditandai dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), yaitu kewenangan menurut pemikiran sendiri untuk mengadakan hubungan-hubungan hukum. Dengan asas kebebasan berkontrak orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru yang dikenal dalam Perjanjian Bernama dan isi menyimpang dari Perjanjian Bernama yang diatur Undang-Undang 3 Kebebasan berkontrak itu sendiri mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Kebebasan untuk mengadakan perjanjian. 2. Kebebasan untuk tidak mengadakan perjanjian. 3. Kebebasan untuk mengadakan perjanjian dengan siapa pun. 4. Kebebasan untuk menentukan sendiri isi maupun syarat-syarat perjanjiannya. Asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya dalam rumusan angka 4 pasal 1320 BW, dengan asas kebebasan berkontrak ini para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Ketentuan pasal 1337 BW menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum memberikan gambaran umum kepada kita semua, bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang. 4 Berangkat dari pemikiran mengenai asas kebebasan berkontrak tersebut, dapat ditafsirkan bahwa pembuatan perjanjian waralaba pada saat proses pendaftaran merek sah-sah saja dilakukan, selama para pihak saling sepakat. Tentu saja dengan syarat para pihak juga mengetahui apa akibat hukumnya bilamana pendaftaran mereknya di kemudian hari ditolak. Transparansi keadaan objek yang diperjanjikan dalam suatu kontrak mutlak diketahui oleh para pihak, hal tersebut juga harus dituangkan dalam klausula perjanjian. Selain klausula umum yang biasa dicantumkan dalam perjanjian waralaba, klausula lainnya yang harus dicantumkan juga dalam perjanjian adalah bahwa bilamana di kemudian hari ternyata pendaftaran mereknya ditolak maka apa 3 J Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, Cetakan Pertama, Alumni Bandung, 1993, h.43 4 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, h.46

4 90 yang harus dilakukan oleh para pihak. Hal tersebut menjadi salah satu hal penting yang harus dinyatakan secara tegas dalam perjanjian, sebab berkaitan dengan kelanjutan dari pemenuhan perjanjian itu sendiri. Sebagai contoh, dapat diberikan klausula bilamana di kemudian hari merek yang dimohonkan franchisor tersebut ditolak pendaftarannya oleh yang berwenang, maka franchisee bersedia untuk menggunakan merek baru yang diajukan oleh franchisor. Dalam hal merek yang menjadi objek perjanjian waralaba masih dalam proses pendaftaran, maka pihak franchisor sudah selayaknya memberikan bukti kepada franchisee, bahwa dia benar-benar telah mengajukan permohonan pendaftaran merek, yaitu dengan menyertakan tanda bukti/register pendaftaran mereknya. Dengan disertakan tanda bukti tersebut setidak-tidaknya menggambarkan bahwa franchisor memang beritikad baik dalam perjanjian waralaba tersebut. Salah satu yang dapat menjadi pertimbangan untuk perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses pendaftaran merek adalah tidak memakai judul atau irah-irah waralaba dalam perjanjian tersebut, lebih baik digunakan istilah yang umum yaitu perjanjian kerjasama saja. Adapun isi dari perjanjian kerjasama tersebut tetap memuat materi mengenai waralaba. Judul suatu perjanjian itu sendiri telah memberikan penafsiran dan gambaran secara langsung mengenai apa isi dan maksud dari perjanjian tersebut. Menurut Irawan Soerodjo, judul suatu akta memang penting, namun bukanlah segala-galanya. Oleh sebab itu, sebaiknya judul bersifat umum saja sehingga tidak ada permasalahan hukum yang serius antara judul dan substansinya. Waralaba itu sendiri pada prinsipnya adalah suatu perjanjian kerjasama yang diformulasikan sedemikian rupa dengan campur tangan pemerintah melalui peraturannya sehingga terciptalah aturan-aturan dan prinsipprinsip mengenai waralaba. Pemakaian istilah waralaba itu sendiri memiliki nilai jual tersendiri sehingga lebih mudah untuk menarik minat investor, daripada dengan hanya memakai istilah perjanjian kerjasama, walaupun materi yang dituangkan dalam kontrak tersebut bisa dibuat sama. Memang sampai saat ini tidak ada pihak yang melarang penggunaan istilah waralaba dalam dunia bisnis, apakah bisnis tersebut benar-benar bisnis waralaba yang sebenarnya atau hanya bisnis waralaba semu yang meminjam istilah waralaba supaya lebih mempunyai nilai jual. Namun dengan memperhatikan pasal-pasal yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2007, menunjukkan pemerintah ingin mulai membenahi bisnis ini secara lebih serius, sehingga tidak menutup kemungkinan di kemudian hari melarang pemakaian istilah waralaba untuk bisnis yang tidak memenuhi kriteria sebagai suatu waralaba. Pada perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses pendaftaran merek, ada unsur yang belum bisa terpenuhi untuk bisa dilaksanakan perjanjian waralaba pada umumnya, yaitu unsur merek itu sendiri. Ketika kita memakai istilah waralaba, kita seharusnya mengikuti aturan-aturan yang diberlakukan mengenai waralaba. Salah satu kriteria waralaba yang harus dipenuhi menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2007 pada pasal 3 huruf f adalah Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar. Dengan tidak terpenuhinya unsur tersebut menjadikan suatu perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses pendaftaran merek belum bisa disebut sebagai perjanjian waralaba yang sebenarnya.

5 91 Selain adanya kewajiban penerima waralaba untuk melakukan pendaftaran perjanjian waralaba pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2007 juncto pasal 7 Peraturan Pemerintah RI Nomor 16 Tahun 1997, tidak bisa dilakukan. Pendaftaran perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses pendaftaran merek tidak bisa dilakukan karena merek yang menjadi objek waralaba itu sendiri masih belum terdaftar dalam Daftar Umum Merek. Namun praktiknya berdasarkan Daftar Isian Permohonan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) yang merupakan lampiran dari Peraturan Pemerintah RI nomor 12/M-DAG/PER/3/2006 tanggal 29 Maret 2006, dalam melakukan permohonan pendaftaran waralaba, pemohon tidak perlu mencantumkan/melampirkan adanya syarat bukti sertifikat hak atas merek yang diwaralabakan. Dengan demikian, memungkinkan dapat didaftarkannya suatu waralaba yang merek barang atau jasanya belum terdaftar dalam Daftar Umum Merek. Jika pendaftaran perjanjian waralaba dilaksanakan dalam rangka dan untuk kepentingan pembinaan usaha dengan cara waralaba, maka persyaratan untuk dapat dilakukan pendaftaran waralaba juga harus sejalan dengan peraturan yang mengatur mengenai waralaba, dalam hal ini harus disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2007 khususnya pasal 3 huruf f, yaitu objek waralaba adalah Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar. Untuk membuktikan bahwa Hak Kekayaan Intelektual itu telah terdaftar tentu harus dengan pembuktian kepemilikannya. Dalam hal ini menurut pendapat penulis harus dilampirkan juga sertifikat bukti kepemilikan atas HAKI tersebut. Dalam hal tidak dilaksanakan pendaftaran waralaba itu sendiri bukanlah hal yang dapat membatalkan suatu perjanjian. Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, secara prinsip dalam hukum perjanjian, publikasi tidaklah disyaratkan sama sekali, dengan alasan bahwa hak perseorangan hanyalah berlaku di antara para pihak dan penggantinya yang sah berdasarkan alas hak umum, dan tidak akan berlaku terhadap pihak ketiga. Perjanjian tidak dapat menerbitkan kerugian, maupun memberikan keuntungan pada pihak ketiga di luar perjanjian. Konsekuensinya, ketidakberlakuan perbuatan hukum tersebut terhadap pihak ketiga juga bersifat mutlak. Meskipun pihak ketiga mendalilkan bahwa ia mengetahui perbuatan hukum tersebut, ia tidak dapat mempergunakan pengetahuannya tersebut untuk merugikan pihak-pihak dalam perjanjian tersebut. Walau demikian, akibat keterkaitan antara hukum perikatan dan hukum kebendaan di mana hubungan hukum perjanjian dapat melahirkan hubungan hukum kebendaan dari perjanjian yang dibuat, maka dalam hal dibuat atau diselenggarakannya perjanjian yang berhubungan dengan peralihan hak kebendaan dan penciptaan hak kebendaan baru, termasuk penjaminan; pencatatan dan publikasi menjadi wajib. Dengan adanya pencatatan dan publikasi atau pengumuman tersebut, maka dianggaplah hal-hal yang diatur dalam perjanjian tersebut berlaku untuk umum, artinya mengikat tidak hanya pihak yang membuat perjanjian, melainkan seluruh anggota masyarakat. Pada perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses pendaftaran merek, memang tidak memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh peraturan yang mengatur tentang waralaba, namun mengingat isi dari perjanjian itu sendiri tidak menyimpang dari hal-hal yang dilarang oleh undang-undang dan

6 92 kesusilaan, serta disepakati oleh para pihak dan dilaksanakan dengan itikad baik, maka perjanjian ini sah berlaku bagi para pihak. Asas Pacta Sunt Servanda menyatakan sesuatu yang disepakati secara sah mengikat para pihak. Para pihak dalam hal ini bebas menentukan luasnya kewajiban kontraktual bagi mereka. Inilah yang dimaksud para pihak mempunyai otonomi. Otonomi itu tecermin dalam kontrak yang disepakati. Kontrak itulah yang menjadi faktor utama yang menentukan isi perjanjian. B. Alibat Hukum Perjanjian Waralaba Bilamana Mereknya Tidak Dapat Didaftar atau Ditolak 1. Merek yang Tidak Dapat Didaftar dan yang Ditolak Perjanjian waralaba atau lisensi yang dilakukan pada saat proses pendaftaran merek dapat dibuat berlandaskan asas kebebasan berkontrak, hal tersebut merupakan salah satu langkah efisiensi dalam rangka pertumbuhan ekonomi dan bisnis. Namun hendaknya asas kebebasan berkontrak tersebut harus tetap dijaga keseimbangannya dengan asas-asas yang lainnya dalam hukum perjanjian, sehingga tidak merugikan salah satu pihak. Perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses pendaftaran hak mereknya mempunyai kelemahan, hal tersebut disebabkan suatu pendaftaran merek adalah melalui proses permohonan, ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi dalam suatu pendaftaran merek, yaitu diterimanya pendaftaran merek, tidak dapat didaftarkan dan harus ditolak pendaftarannya. 5 Secara umum merek yang tidak dapat didaftarkan adalah permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik. Pengertian pemohon beritikad baik itu sendiri adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apa pun untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen. Selain itu, merek tidak dapat didaftarkan apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur di bawah ini: a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah apabila penggunaan tanda tersebut dapat menyinggung perasaan, kesopanan, ketenteraman, atau keagamaan dari khalayak umum atau dari golongan masyarakat tertentu. Sebagai contoh merek suatu barang yang haram untuk agama tertentu justru diberi tanda yang berupa simbol-simbol yang dihargai dalam agama tersebut. b. Tanda yang tidak memiliki daya pembeda, yang termasuk dalam pengertian ini adalah apabila tanda tersebut terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas. Sebagai contoh, sebuah merek tersebut terdiri dari angka-angka yang tidak beraturan dalam satu bidang tertentu yang didalamnya terdapat angka satu sampai seratus. Merek tersebut tidak dapat dibedakan dengan merek lain yang juga menggunakan angka satu sampai seratus walaupun tidak memiliki persamaan penempatan angka-angka tersebut. c. Tanda yang telah menjadi milik umum. Contohnya, tanda tengkorak di atas dua tulang yang bersilang, yang secara umum telah diketahui sebagai tanda bahaya. 5 Lihat Ahmadi Miru, op.cit, h.13-20

7 93 Tanda seperti ini adalah tanda yang bersifat umum dan telah menjadi milik umum. Oleh karena itu, tanda itu tidak dapat digunakan sebagai merek. d. Tanda yang merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Maksudnya, merek tersebut berkaitan atau hanya menyebutkan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Contohnya, merek kopi atau gambar kopi atau jenis barang kopi atau produk kopi. Sedangkan suatu merek harus ditolak pendaftarannya, apabila: a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis. Persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek satu dan merek lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut. b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis. Untuk persamaan pada pokoknya terhadap merek terkenal ini, tidak ditentukan persyaratan bahwa merek tersebut sudah terdaftar (di Indonesia). Hal ini berarti walaupun merek terkenal tersebut tidak terdaftar di Indonesia, tetap saja dilindungi berdasarkan Undang-Undang Merek. c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasigeografis yang sudah dikenal. Ini berarti bahwa merek juga tidak diakui keabsahannya jika memiliki persamaan dengan indikasi geografis. Hal ini disebabkan kemungkinan timbulnya kekeliruan bagi masyarakat tentang kualitas barang tersebut. d. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak. e. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang, atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. f. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas izin tertulis dari pihak yang berwenang. Secara sederhana, suatu merek tidak dapat didaftarkan, yaitu merek yang tidak layak dijadikan merek, sedangkan merek yang ditolak adalah merek yang merugikan pihak lain. Dengan dua kemungkinan buruk yang dapat terjadi dalam suatu pendaftaran merek, maka melakukan bisnis waralaba dan lisensi pada saat proses pendaftaran hak merek mempunyai risiko tinggi. Bilamana hal tersebut tetap ingin dilakukan, hal yang semestinya dilakukan oleh franchisee atau penerima waralaba dengan cara searching terlebih dahulu mengenai merek yang ditawarkan kepadanya untuk dijadikan objek waralaba. Karena pihak yang paling dirugikan adalah franchisee selaku pihak yang telah mengeluarkan modal secara finansial dalam usaha waralaba ini. Akan menjadi hal yang sangat merugikan, bilamana bisnis yang diharapkan namun di tengah perjalanannya mengalami kehancuran dikarenakan terganjal masalah merek, yaitu merek yang dipakai ternyata sudah lebih dahulu didaftar oleh pihak lain. Tidak menutup kemungkinan, jika dapat

8 94 dibuktikan maka serangkaian tuntutan hukum bisa dikenakan dengan tuduhan pembajakan merek atau pemakaian merek tanpa hak. 2. Perjanjian Hanya Berlaku bagi Para Pihak yang Membuatnya Perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses pendaftaran merek hanya mengikat para pihak yang membuatnya saja. Hal ini berkaitan dengan tidak dapat dilakukannya pencatatan atau publikasi atas perjanjian waralaba tersebut. Dengan demikian, tidak berlakunya perbuatan hukum yang dikehendaki oleh para pihak terhadap pihak ketiga, sehingga para pihak tidak dapat mendalilkan hubungan di antara para pihak terhadap pihak ketiga. Pemberlakuan perjanjian waralaba di antara para pihak mempunyai kekuatan mengikat yang didasarkan pada pasal 1338 ayat 1 BW, yaitu Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini juga merupakan konsekuensi logis dari ketentuan pasal 1233 BW, yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undangundang maupun karena perjanjian. Jadi, perjanjian adalah salah satu sumber dari perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku. Hukum tidak pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang melatarbelakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. 6 Kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pihak tersebut secara penuh sesuai isi kontrak. Istilah my word is my bonds atau dalam pepatah sering dikatakan jika sapi dipegang talinya, jika manusia dipegang mulutnya. Mengikatnya secara penuh suatu suatu kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut oleh hukum kekuatannya dianggap sama dengan suatu undangundang. Karena itu, apabila suatu pihak dalam kontrak tidak menuruti isi kontrak yang telah dibuat maka oleh hukum disediakan ganti rugi atau pelaksanaan kontrak secara paksa. 7 Dalam perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses pendaftaran merek, terdapat prestasi yang harus dilaksanakan para pihak. Namun jika kemudian terdapat peristiwa yang dapat menghalangi pelaksanaan prestasi tersebut dikarenakan penolakan atau tidak dapat diterimanya pendaftaran merek, menurut penulis hal tersebut tidak serta merta menjadikan batalnya perjanjian waralaba tersebut. Bilamana para pihak telah sepakat untuk mengatur jika terjadi kemungkinan-kemungkinan buruk terhadap merek yang diajukan perjanjian waralaba dan secara tegas dituangkan dalam klausula-klausula perjanjian, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan pembatalan perjanjian. 6 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. cit h.47 7 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra Aditya, Bandung, 2005, hal.12

9 95 Pada prinsipnya perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan jika perjanjian tersebut dalam pelaksanaannya akan merugikan pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak ini tidak hanya para pihak dalam perjanjian saja, namun juga terhadap pihak ketiga di luar para pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan demikian, jika hal ini dikaitkan dengan pelaksanaan perjanjian waralaba dalam konteks pembahasan ini, maka selama para pihak di dalam perjanjian merasa saling diuntungkan. Artinya, semua hak dan kewajiban para pihak dapat dilaksanakan secara baik sesuai yang diperjanjikan, maka tidak ada alasan untuk membatalkan perjanjian. Namun keadaan ini menjadi berbeda jika ada keberatan-keberatan dari pihak ketiga di luar perjanjian yang merasa dirugikan dengan adanya waralaba tersebut. Pihak ketiga di sini diartikan sebagai pemegang hak merek yang sah/terdaftar lebih dahulu dari merek yang dijadikan objek waralaba. Dalam hukum perjanjian secara garis besar alasan pembatalan perjanjian dapat digolongkan dalam 2 (dua) golongan besar, yaitu a. Pembatalan perjanjian oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Pembatalan perjanjian oleh salah satu pihak dalam perjanjian dapat dilakukan dalam hal tidak dipenuhinya syarat-syarat subjektif dalam suatu perjanjian. Yang dimaksud dengan syarat subjektif tersebut adalah sebagai berikut: Tidak terjadi kesepakatan bebas dari para pihak yang membuat perjanjian, baik karena telah terjadi kekhilafan, paksaan atau penipuan pada salah saat perjanjian itu dibuat (pasal BW). Salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak dalam hukum dan atau tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu (pasal BW). b. Pembatalan perjanjian oleh pihak ketiga di luar perjanjian. Pada dasarnya suatu perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan karenanya tidak membawa akibat apapun bagi pihak ketiga. Namun bilamana perjanjian tersebut merugikan pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut dapat menuntut dilakukannya pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat. 3. Pelaksanaan Perjanjian Waralaba Pasca Tidak Dapat Didaftar atau Ditolak Mereknya BW tidak menempatkan perjanjian waralaba sebagai suatu perjanjian bernama secara langsung, seperti halnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya. Karena itu, ketentuan hukum perjanjian yang berlaku dalam suatu kontrak waralaba adalah ketentuan dalam bagian umum dari pengaturan perjanjian, yaitu sebagaimana dituangkan dalam pasal 1456 BW, yang di dalamnya berlaku ketentuan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian, tentang penafsiran perjanjian, tentang hapusnya perjanjian, dan sebagainya. Dalam bisnis waralaba sangat erat hubungannya dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan paten, merek dan hak cipta, sehingga dalam pelaksanaannya berlaku pula ketentuan paten, merek dan hak cipta. Berkaitan dengan bagaimana pelaksanaan waralaba yang dilakukan pada saat pendaftaran merek, namun kemudian merek tersebut ditolak atau tidak diterima, maka peraturan yang terdapat dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan bisnis waralaba dapat dijadikan acuan.

10 96 Ketentuan pasal 48 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, tentang Merek, menyatakan: (1) Penerima Lisensi yang beritikad baik tetapi kemudian Merek itu dibatalkan atas dasar adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek lain yang terdaftar, tetap berhak melaksanakan perjanjian lisensi tersebut sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian lisensi. (2) Perjanjian lisensi sebagai dimaksud dalam ayat (1) tidak lagi wajib meneruskan pembayaran royalti kepada Pemberi Lisensi yang dibatalkan, melainkan wajib melaksanakan royalti kepada pemilik merek yang tidak dibatalkan. (3) Dalam hal Pemberi Lisensi sudah terlebih dahulu menerima royalti secara sekaligus dari Penerima Lisensi, Pemberi Lisensi tersebut wajib menyerahkan bagian dari royalti yang diterimanya kepada pemilik merek yang tidak dibatalkan, yang besarnya sebanding dengan sisa jangka waktu perjanjian lisensi. Sehubungan waralaba itu sendiri merupakan salah satu bentuk lisensi, menurut hemat penulis ketentuan pasal 48 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dapat diberlakukan juga pada waralaba. Namun ketentuan ini berlaku dalam hal dibatalkannya suatu merek, artinya merek tersebut telah terdaftar, namun kemudian dibatalkan atas dasar persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terdaftar lainnya. Pembatalan merek dinyatakan dengan putusan Pengadilan Niaga yang telah memperoleh kekuatan tetap. Sedangkan pokok permasalahan dalam pembahasan ini adalah bagaimana dengan nasib suatu waralaba merek yang sedang dalam proses pendaftaran namun kemudian merek tersebut ditolak atau tidak dapat diterima oleh Direktorat Jenderal HAKI. Kendala utama dalam kelangsungan pelaksanaan waralaba dalam pembahasan ini adalah munculnya pihak ketiga sebagai pemilik merek sah yang merasa keberatan dengan pemakaian mereknya oleh pihak lain tanpa seizinnya. Sedangkan pemakai merek dalam waralaba sendiri merasa tidak melakukan kesengajaan dalam pemakaian merek tersebut. Perjanjian memang pada dasarnya bersifat privity of contract, yaitu hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Namun kepentingan pihak ketiga dengan sendirinya juga harus diperhitungkan oleh para pihak yang membentuk perjanjian tersebut guna memelihara harmonisasi dan kelancaran aktivitas bisnis. Sebenarnya dalam rezim hukum perjanjian (kontrak) terdapat beberapa ketentuan yang menjamin kepentingan pihak ketiga, antara lain asas itikad baik, kelayakan, dan kepatutan termasuk sarana penyelesaian sengketa dan lain-lain. Adanya asas itikad baik dalam suatu perjanjian merupakan penyeimbang bagi asas kebebasan berkontrak yang sering disalahgunakan oleh para pelaku bisnis. Bekerjanya asas itikad baik dalam lapangan hukum perjanjian seyogyanya diperluas guna mengimbangi asas kebebasan berkontrak yang seringkali dirasakan overlap dalam kontrak bisnis. Dengan memakai alasan kebebasan berkontrak, seringkali suatu kontrak menerobos keluar jalur hukum. Karena kebebasan berkontrak di sini bukanlah berarti kebebasan yang tidak ada batasnya. Dalam hal kontrak waralaba pada pembahasan ini, itikad baik para pihak dapat tercermin dengan kenyataan bahwa:

11 97 Memang benar para pihak dapat mendalilkan bahwa mereka tidak mengetahui merek yang dijadikan perjanjian tersebut adalah telah menjadi milik pihak lain lebih dahulu. Hal ini patut disadari bahwa kemungkinan terjadi kemiripan atau persamaan suatu merek sering terjadi. Namun bilamana yang terjadi adalah merek yang diajukan dalam pendaftaran dapat disangkakan kemungkinannya untuk ditolak, misalnya karena mirip dengan merek-merek terkenal yang telah beredar di masyarakat, maka ketidaktahuan tersebut bukanlah suatu alasan untuk mendalilkan itikad baik mereka. Seharusnya para pihak menyadari sejak awal kemungkinan kecil keberhasilan untuk dapat diterima pendaftaran merek tersebut karena persamaan atau kemiripan tersebut. Produk bisnis yang diwaralabakan memang benar-benar terdapat keunikan yang dapat di-franchise-kan. Artinya, produk bisnis tersebut belum dimiliki oleh pihak lain dan belum beredar di pasaran, selain dari yang dimiliki oleh franchisor sendiri, sehingga dapat juga disimpulkan keorisinilan ide-ide dari franchisor turut menjadi nilai jual tersendiri dalam bisnis ini dan bukan sekadar menumpang merek saja. Penyertaan bukti-bukti tertulis dari franchisor bahwa ia memang telah melakukan proses pendaftaran merek yang dijadikan objek waralaba tersebut. Beberapa klausula penting yang harus secara tegas dinyatakan dalam perjanjian waralaba sehubungan dengan kemungkinan buruk bilamana tidak diterima atau ditolak merek yang diajukan tersebut dapat dituangkan sebagai berikut: a. Bilamana di kemudian hari merek yang dimohonkan franchisor tersebut ditolak atau tidak diterima pendaftarannya oleh yang berwenang, maka franchisee tetap bersedia dan tidak berkeberatan untuk melanjutkan perjanjian waralaba dengan menggunakan merek baru yang diajukan oleh franchisor yang akhirnya disetujui oleh yang berwenang. b. Bilamana di kemudian hari ada keberatan-keberatan dari pihak ketiga di luar perjanjian yang dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang sah atas merek yang menjadi objek waralaba, maka dapat diberikan 2 (dua) pilihan, yaitu 1. Para pihak dapat mengakhiri perjanjian waralaba, dengan pengembalian sisa royalty yang telah dibayarkan pihak franchisee kepada franchisor. 2. Franchisee tetap dapat melanjutkan waralaba dengan pemegang hak merek yang sah sehingga beralih juga hak dan kewajiban franchisee kepada franchisor yang baru. Dengan demikian, dapat diartikan pasca ditolak atau tidak diterimanya pendaftaran suatu merek yang diwaralabakan, masih terdapat peluang para pihak untuk tetap melanjutkan waralaba tersebut, tentu saja selama tidak ada gugatan dan keberatan dari pihak lain/pihak ketiga. Meskipun demikian demi terjaminnya pelaksanaan kontrak waralaba sesuai yang diinginkan para pihak dan bilamana memang para pihak masih menghendaki kerjasama dilakukan, serta sebagai wujud nyata dari itikad baik dari franchisor, manakala diketahui pendaftaran mereknya ditolak atau tidak diterima, maka selayaknya langkah selanjutnya yang diambil adalah sesegera mungkin pihak franchisor melakukan upaya pendaftaran merek yang baru. PENUTUP 1. Kesimpulan

12 98 a. Perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses pendaftaran merek hanya mengikat para pihak yang membuatnya saja. Hal ini berkaitan dengan tidak dapat dilakukannya pencatatan atau publikasi atas perjanjian waralaba tersebut. Dengan demikian, mengakibatkan tidak berlakunya perbuatan hukum yang dikehendaki oleh para pihak terhadap pihak ketiga, sehingga para pihak tidak dapat mendalilkan hubungan di antara para pihak terhadap pihak ketiga. b. Bilamana ternyata merek yang diajukan pendaftarannya ditolak/tidak diterima, maka hal ini tidak menjadikan batalnya perjanjian waralaba yang dibuat, dengan syarat para pihak telah menyatakan hal ini dalam perjanjian. Pembatalan hanya dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang dapat membuktikan dirinya secara sah menjadi pemegang hak atas merek dari objek yang diwaralabakan. 2. Saran a. Bilamana para pihak tetap berkehendak untuk melakukan perjanjian waralaba pada saat pendaftaran mereknya sebaiknya tidak memakai judul atau irah-irah waralaba dalam perjanjian tersebut, lebih baik digunakan istilah yang umum yaitu perjanjian kerjasama saja. Adapun isi dari perjanjian kerjasama tersebut tetap memuat materi mengenai waralaba. Hal ini untuk mencegah terjadinya permasalahan serius mengenai judul perjanjian/akta dengan substansinya. b. Pencantuman beberapa klausula penting yang harus secara tegas dinyatakan dalam perjanjian waralaba sehubungan dengan kemungkinan buruk bilamana tidak diterima atau ditolak merek yang diajukan tersebut, sebagai berikut: Bilamana di kemudian hari merek yang dimohonkan franchisor tersebut ditolak atau tidak diterima pendaftarannya oleh yang berwenang, maka franchisee tetap bersedia dan tidak berkeberatan untuk melanjutkan perjanjian waralaba dengan menggunakan merek baru yang diajukan oleh franchisor yang akhirnya disetujui oleh yang berwenang. Bilamana di kemudian hari ada keberatan-keberatan dari pihak ketiga di luar perjanjian yang dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang sah atas merek yang menjadi obyek waralaba, maka dapat diberikan 2 (dua) pilihan, yaitu 1. Para pihak dapat mengakhiri perjanjian waralaba, dengan pengembalian sisa royalty yang telah dibayarkan pihak franchisee kepada franchisor. 2. Franchisee tetap dapat melanjutkan waralaba dengan pemegang hak merek yang sah, dengan demikian beralih juga hak dan kewajiban franchisee kepada franchisor yang baru. DAFTAR PUSTAKA

13 99 BUKU Agus Yudha Hernoko, Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, Ahmadi Miru, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Gunawan Widjaja, Waralaba, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003., Lisensi Atau Waralaba, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Henry Campell Black, Black s Law Dictionary, 6 th ed, St. Paul MN, West Publishing Co, Imam Sjahputra Tunggal, Sukses Melalui Waralaba, Harvarindo, Jakarta, J. Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Cetakan Pertama, Alumni Bandung, Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra Aditya, Bandung, Muljadi, Kartini, dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Zainal Arifin, Info Franchise, November 2007, Jakarta, dikunjungi di Bisnis Dot Com, 06 November 2007, dikunjungi di UNDANG-UNDANG Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek PERATURAN PEMERINTAH Peraturan Pemerintah RI Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

14 100

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK I. UMUM Salah satu perkembangan yang aktual dan memperoleh perhatian saksama dalam masa sepuluh tahun terakhir ini dan kecenderungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 PENJELASAN ATAS TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 MEREK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 PENJELASAN ATAS TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 MEREK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Perlindungan Dan Pengaturan Tentang Hak Merek Di Indonesia.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Perlindungan Dan Pengaturan Tentang Hak Merek Di Indonesia. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Perlindungan Dan Pengaturan Tentang Hak Merek Di Indonesia. Perlindungan hak merek dilaksanakan oleh negara, dan negara sebagai penanggungjawab atas perlindungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manajemen. Waralaba juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif

I. PENDAHULUAN. manajemen. Waralaba juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Waralaba pada hakekatnya adalah sebuah konsep pemasaran dalam rangka memperluas jaringan usaha secara cepat, sistem ini dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

PENTINGNYA PERLINDUNGAN MEREK

PENTINGNYA PERLINDUNGAN MEREK PENTINGNYA PERLINDUNGAN MEREK Tingkat pertumbuhan ekonomi sangat tinggi : terbukanya arus perdagangan bebas Perkembangan dan kemajuan teknologi, transportasi, telekomunikasi, maupun bidang komunikasi :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan seperti yang telah dipaparkan. pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan seperti yang telah dipaparkan. pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa: BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Mahkamah Agung dalam memutus perkara Peninjauan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah franchise dalam Bahasa Prancis memiliki arti kebebasan atau freedom.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah franchise dalam Bahasa Prancis memiliki arti kebebasan atau freedom. 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Waralaba Istilah franchise dalam Bahasa Prancis memiliki arti kebebasan atau freedom. Namun dalam praktiknya, istilah franchise justru di populerkan di Amerika Serikat.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan

Lebih terperinci

MEREK. Umum. 1. Apakah merek itu?

MEREK. Umum. 1. Apakah merek itu? MEREK Umum 1. Apakah merek itu? Yang dimaksud dengan merek adalah suatu "tanda" yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memliki

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.252, 2016 HUKUM. Merek. Indikasi Geografis. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERMOHONAN PENDAFTARAN MEREK TIDAK BERITIKAD BAIK DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN

PERMOHONAN PENDAFTARAN MEREK TIDAK BERITIKAD BAIK DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN PERMOHONAN PENDAFTARAN MEREK TIDAK BERITIKAD BAIK DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia meratifikasi Perjanjian Wold Trade Organization (WTO)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5541) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pem

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5541) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pem No.2134, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Pendaftaran Merek. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG PENDAFTARAN MEREK DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Presiden Republik Indonesia,

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Presiden Republik Indonesia, LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 31, 1997 HAKI. MEREK. Perdagangan. Ekonomi. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3681). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa di dalam era perdagangan global,

Lebih terperinci

BAB V IZIN PENDAFTARAN MEREK

BAB V IZIN PENDAFTARAN MEREK BAB V IZIN PENDAFTARAN MEREK 5.1 Peraturan Perundang Undangan Tentang Merek PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1993 TENTANG TATA CARA PERMINTAAN PENDAFTARAN MEREK PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya, suatu produk barang atau jasa yang dibuat pelaku usaha

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya, suatu produk barang atau jasa yang dibuat pelaku usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya, suatu produk barang atau jasa yang dibuat pelaku usaha diberi suatu tanda tertentu, yang berfungsi sebagai pembeda dengan produk barang dan jasa lainnya

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DI BIDANG MEREK DONA PRAWISUDA, SH KANTOR WILAYAH JAWA BARAT KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

PENEGAKAN HUKUM DI BIDANG MEREK DONA PRAWISUDA, SH KANTOR WILAYAH JAWA BARAT KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI PENEGAKAN HUKUM DI BIDANG MEREK DONA PRAWISUDA, SH KANTOR WILAYAH JAWA BARAT KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI 1 POKOK BAHASAN I. PENDAHULUAN II. PENGERTIAN MEREK III. PROSEDUR PENDAFTARAN IV.

Lebih terperinci

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan KEDUDUKAN TIDAK SEIMBANG PADA PERJANJIAN WARALABA BERKAITAN DENGAN PEMENUHAN KONDISI WANPRESTASI Etty Septiana R 1, Etty Susilowati 2. ABSTRAK Perjanjian waralaba merupakan perjanjian tertulis antara para

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia bisnis di Indonesia telah memasuki era globalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia bisnis di Indonesia telah memasuki era globalisasi, BAB I PENDAHULUAN Perkembangan dunia bisnis di Indonesia telah memasuki era globalisasi, sehingga dunia usaha dituntut untuk berkembang semakin pesat. Hal ini dimulai dengan perdagangan bebas Asean (AFTA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan usaha dalam perdagangan barang dan jasa pada zaman modern

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan usaha dalam perdagangan barang dan jasa pada zaman modern BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persaingan usaha dalam perdagangan barang dan jasa pada zaman modern ini sudah tidak dapat dihindarkan. Persaingan usaha bukan merupakan hal yang dilarang, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang

BAB I PENDAHULUAN. di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan dunia perdagangan tidak dapat dilepaskan dari pembangunan di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang pelaksanaannya dititikberatkan

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka,

BAB I PENDAHULUAN. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

E M. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Apakah Merek itu?

E M. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Apakah Merek itu? E R E M K Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Apakah Merek itu? Merek adalah tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESAIN INDUSTRI DAN MEREK. Desain Industri merupakan salah satu bidang HKI yang dikelompokan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESAIN INDUSTRI DAN MEREK. Desain Industri merupakan salah satu bidang HKI yang dikelompokan 1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESAIN INDUSTRI DAN MEREK 2.1 Desain Industri 2.1.1 Pengertian Dan Dasar Hukum Desain Industri Desain Industri merupakan salah satu bidang HKI yang dikelompokan kedalam Industrial

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS PERLINDUNGAN TERHADAP PENULIS BUKU

BAB II PENGATURAN ATAS PERLINDUNGAN TERHADAP PENULIS BUKU BAB II PENGATURAN ATAS PERLINDUNGAN TERHADAP PENULIS BUKU A. Hak cipta sebagai Hak Eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta Dalam konsep perlindungan hak cipta disebutkan bahwa hak cipta tidak melindungi

Lebih terperinci

Hak Atas Kekayaan Intelektual. Business Law Universitas Pembangunan Jaya Semester Gasal 2014

Hak Atas Kekayaan Intelektual. Business Law Universitas Pembangunan Jaya Semester Gasal 2014 Hak Atas Kekayaan Intelektual Business Law Universitas Pembangunan Jaya Semester Gasal 2014 Hak Kekayaan Intelektual Hasil pemikiran, kreasi dan desain seseorang yang oleh hukum diakui dan diberikan hak

Lebih terperinci

Merek BUKAN Paten Merek Paten

Merek BUKAN Paten Merek Paten oleh: Bimo Prasetio Merek BUKAN Paten Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, hurufhuruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS Halaman 1

UNDANG-UNDANG TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS Halaman 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa di dalam era perdagangan global,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 243, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting. Oleh sebab itu banyak pengusaha asing yang berlomba

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting. Oleh sebab itu banyak pengusaha asing yang berlomba BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Tidak dapat kita pungkiri bahwa merek merupakan suatu aset yang sangat berharga dalam dunia perdagangan sehingga memegang peranan yang sangat penting. Oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL Diberlakukannya perjanjian TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Right) pada tanggal 1 Januari 2000 memberikan harapan adanya perlindungan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai isu internasional, HKI (Hak Kekayaan Intelektual) berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai isu internasional, HKI (Hak Kekayaan Intelektual) berkembang BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sebagai isu internasional, HKI (Hak Kekayaan Intelektual) berkembang dengan pesat. HKI dari masyarakat tradisional, termasuk ekspresinya, cenderung dijadikan pembicaraan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian waralaba..., Elfiera Juwita Yahya, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian waralaba..., Elfiera Juwita Yahya, FH UI, Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Franchise berasal dari bahasa Perancis, yang berarti bebas atau bebas dari perhambaan atau perbudakan (free from servitude). 1 Black s Law Dictionary

Lebih terperinci

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI I. UMUM Indonesia sebagai negara berkembang perlu memajukan sektor industri dengan meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampai sekarang pembuatan segala macam jenis perjanjian, baik perjanjian khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman pada KUH Perdata,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n 2 000 Tentang Desain Industri DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas Kekayaan Intelektual (HAKI) juga berkembang pesat. Suatu barang atau jasa

BAB I PENDAHULUAN. atas Kekayaan Intelektual (HAKI) juga berkembang pesat. Suatu barang atau jasa A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, masalah Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) juga berkembang pesat. Suatu barang atau jasa yang hari ini diproduksi

Lebih terperinci

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK Sularto MHBK UGM PERISTILAHAN Kontrak sama dengan perjanjian obligatoir Kontrak sama dengan perjanjian tertulis Perjanjian tertulis sama dengan akta Jadi antara istilah kontrak,

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Syarat Serta Prosedur Pendaftaran dan Pembatalan Pendaftaran Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu 1. Syarat dan Prosedur Pendaftaran Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Franchise berasal dari bahasa Prancis yang artinya kejujuran atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. Franchise berasal dari bahasa Prancis yang artinya kejujuran atau 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Franchise Franchise berasal dari bahasa Prancis yang artinya kejujuran atau kebebasan. Pengertian di Indonesia, yang dimaksud dengan Franchise adalah perikatan dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelaku usaha atau produsen untuk menggunakan unsur-unsur seperti nama, logo

BAB I PENDAHULUAN. pelaku usaha atau produsen untuk menggunakan unsur-unsur seperti nama, logo BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam dunia usaha dewasa ini sudah menjadi hal yang umum bagi para pelaku usaha atau produsen untuk menggunakan unsur-unsur seperti nama, logo atau perpaduan antara

Lebih terperinci

PENDAFTARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

PENDAFTARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari PENDAFTARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL Oleh: Chandra Dewi Puspitasari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) muncul karena adanya kemampuan berpikir. Hasil dari daya cipta tersebut dimiliki secara khusus (eksklusif)

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017 PERLINDUNGAN HUKUM MEREK DAGANG BAGI KONSUMEN TERHADAP BARANG TIRUAN MENURUT UU No. 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK 1 Oleh : Irma Lestari Ayomi 2 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000

Lebih terperinci

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 32/2000, DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU *12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian World Trade Organization (WTO), membuat Indonesia harus. yang ada dalam kerangka General Agreement on Tariffs and Trade

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian World Trade Organization (WTO), membuat Indonesia harus. yang ada dalam kerangka General Agreement on Tariffs and Trade BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Merek sebagai salah satu bentuk dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) mempunyai peranan yang penting dalam hal perdagangan terutama dalam menghadapi era globalisasi

Lebih terperinci

SKRIPSI. Disusun Oleh : SEPTIAN DWI SAPUTRA C

SKRIPSI. Disusun Oleh : SEPTIAN DWI SAPUTRA C TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG (STUDI DI WARUNG MAKAN BEBEK GORENG H. SLAMET DI KARTOSURO SUKOHARJO) SKRIPSI Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

BAB III PENERAPAN KLAUSULA BUYBACK DALAM PERJANJIAN WARALABA. 3.1 Alasan Penerapan Buyback dalam Perjanjian Waralaba

BAB III PENERAPAN KLAUSULA BUYBACK DALAM PERJANJIAN WARALABA. 3.1 Alasan Penerapan Buyback dalam Perjanjian Waralaba BAB III PENERAPAN KLAUSULA BUYBACK DALAM PERJANJIAN WARALABA 3.1 Alasan Penerapan Buyback dalam Perjanjian Waralaba 3.1.1 Alasan Penerapan Buyback dari Pemberi Waralaba Perjanjian Waralaba merupakan perjanjian

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 6/Juli/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 6/Juli/2015 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK TERHADAP PEMUTUSAN PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE) DALAM PERSPEKTIF HUKUM BISNIS 1 Oleh : Cindi Pratiwi Kondo 2 ABSTRAK Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

ANALISIS PUTUSAN NOMOR 012 K/N/HAKI/2002

ANALISIS PUTUSAN NOMOR 012 K/N/HAKI/2002 ANALISIS PUTUSAN NOMOR 012 K/N/HAKI/2002 Dwi Anggoro Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang A. Pendahuluan Makalah ini akan menganalisis putusan dalam perkara Haki antara IGN Herry

Lebih terperinci

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 45 BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Sejarah Perkembangan Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia Permasalahan hak

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 244, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sejalan dengan retifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat kompleks karena mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Salah satu kegiatan usaha yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pihak (the party to

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pihak (the party to BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pihak (the party to contract) penyelenggara jaringan telekomunikasi diwajibkan untuk memenuhi permohonan pihak

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP WANPRESTASI ROYALTY RAHASIA DAGANG DALAM PERJANJIAN WARALABA

TINJAUAN HUKUM TERHADAP WANPRESTASI ROYALTY RAHASIA DAGANG DALAM PERJANJIAN WARALABA TINJAUAN HUKUM TERHADAP WANPRESTASI ROYALTY RAHASIA DAGANG DALAM PERJANJIAN WARALABA Bella Katrinasari bellakatrinasari@yahoo.com Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Hernawan Hadi hernawanhadi@gmail.com

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang hari ini diproduksi di suatu negara, di saat berikutnya telah dapat dihadirkan

I. PENDAHULUAN. yang hari ini diproduksi di suatu negara, di saat berikutnya telah dapat dihadirkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, masalah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) juga berkembang dengan sangat pesat. Suatu barang atau jasa yang hari ini

Lebih terperinci

Petunjuk Pendaftaran Merek

Petunjuk Pendaftaran Merek Petunjuk Pendaftaran Merek Apakah Merek itu? Merek adalah tanda berupa gambar, nama, kata, huruf huruf, angka angka, susunan warna atau kombinasi dan unsur unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak merek merupakan bagian dari hak kekayaan intelektual yang timbul

BAB I PENDAHULUAN. Hak merek merupakan bagian dari hak kekayaan intelektual yang timbul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak merek merupakan bagian dari hak kekayaan intelektual yang timbul dari kemampuan intelektual manusia. 1 Merek sebagai salah satu hak intelektual memiliki peranan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA PERLINDUNGAN MEREK BAGI PEMEGANG HAK MEREK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK YAYUK SUGIARTI Dosen Fakultas Hukum Universitas Wiraraja Sumenep Yayuksugiarti66@yahoo.co.id ABSTRAK

Lebih terperinci

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN Selamat malam semua Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Asas-asas dalam Hukum Perjanjian ya.. Ada yang tahu asas-asas apa saja

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

HABIB ADJIE - MAGISTER ILMU HUKUM - UNIV. NAROTAMA SURABAYA

HABIB ADJIE - MAGISTER ILMU HUKUM - UNIV. NAROTAMA SURABAYA BAB II KEABSAHAN KONTRAK A. ISTILAH KONTRAK DAN PERJANJIAN B. PENGATURAN HUKUM KONTRAK. C. SIGNIFIKASI BATAS TIAP KONTRAK D. SISTEM PENGATURAN HUKUM KONTRAK. E. ASAS HUKUM KONTRAK. F. SUMBER HUKUM KONTRAK.

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disingkat HKI) telah berkembang sangat pesat. Sebagai ilmu yang baru, HKI

BAB I PENDAHULUAN. disingkat HKI) telah berkembang sangat pesat. Sebagai ilmu yang baru, HKI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi saat ini Hak atas Kekayaan Intelektual (yang biasa disingkat HKI) telah berkembang sangat pesat. Sebagai ilmu yang baru, HKI sendiri cukup

Lebih terperinci

Pedoman Pasal 50b Tentang Pengecualian Waralaba. Bab I: PENDAHULUAN

Pedoman Pasal 50b Tentang Pengecualian Waralaba. Bab I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman Pasal 50b Tentang Pengecualian Waralaba Bab I: PENDAHULUAN Perkembangan usaha waralaba di Indonesia telah mengalami kemajuan yang pesat di berbagai bidang, antara lain seperti

Lebih terperinci

BAB III KASUS KEMIRIPAN MEREK PADA PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN

BAB III KASUS KEMIRIPAN MEREK PADA PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN BAB III KASUS KEMIRIPAN MEREK PADA PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN A. Produk Makanan dan Minuman yang Mempunyai Kemiripan Merek dengan Produk Lain Globalisasi pasar ditandai dengan adanya perdagangan bebas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi keunggulan produk dari merek tertentu sehingga mereka dapat

BAB I PENDAHULUAN. informasi keunggulan produk dari merek tertentu sehingga mereka dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Merek dagang di Indonesia semakin banyak macam pilihannya. Teknologi informasi dan komunikasi mendukung perkembangan macammacam merek yang dikenal oleh masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap Perusahaan memiliki tujuan untuk memperoleh laba dan. mendatang. Menurut Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), waralaba adalah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap Perusahaan memiliki tujuan untuk memperoleh laba dan. mendatang. Menurut Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), waralaba adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap Perusahaan memiliki tujuan untuk memperoleh laba dan mampu bertahan dalam dunia bisnis. Tujuan ini hanya dapat dicapai dengan memiliki strategi bisnis

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG WARALABA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG WARALABA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG WARALABA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk lebih meningkatkan tertib usaha dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan bahasa Indonesia. Kasus ini dilatarbelakangi perjanjian pinjam

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan bahasa Indonesia. Kasus ini dilatarbelakangi perjanjian pinjam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada hari Senin tanggal 17 Juni 2013 menjatuhkan putusan batal demi hukum atas perjanjian yang dibuat tidak menggunakan

Lebih terperinci

(a) pembajakan merajalela akibatnya kreativitas menurun;

(a) pembajakan merajalela akibatnya kreativitas menurun; DESAIN INDUSTRI SEBAGAI BAGIAN PERLINDUNGAN HUKUM DI BIDANG HAKI Oleh: Widowati ABSTRAKSI Tujuan perusahaan didirikan adalah untuk memperoleh profit. Agar profit dapat diraih biasanya perusahaan melakukan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK 43 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Merk merupakan bagian dari Hak Milik Intelektual. yang dalam dunia perdagangan di negara berkembang, seperti

BAB I PENDAHULUAN. Merk merupakan bagian dari Hak Milik Intelektual. yang dalam dunia perdagangan di negara berkembang, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Merk merupakan bagian dari Hak Milik Intelektual yang dalam dunia perdagangan di negara berkembang, seperti negara Indonesia, permasalahan yang terkait dengan

Lebih terperinci

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA LISENSI PATEN DI INDONESIA. A. Syarat-syarat Perjanjian Lisensi Paten di Indonesia

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA LISENSI PATEN DI INDONESIA. A. Syarat-syarat Perjanjian Lisensi Paten di Indonesia BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA LISENSI PATEN DI INDONESIA A. Syarat-syarat Perjanjian Lisensi Paten di Indonesia Dalam pasal 1320 KUH Perdata dijelaskan bahwa untuk sahnya persetujuanpersetujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

seperti Hak Cipta (Copyright), Merek (Trade Mark)maupun Desain

seperti Hak Cipta (Copyright), Merek (Trade Mark)maupun Desain 19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Hukum Rahasia Dagang 1. Penjelasan Rahasia Dagang Rahasia Dagang (Trade Secret) memegang peranan penting dalam ranah Hak Kekayaan Intelektual. Rahasia Dagang

Lebih terperinci