PEMBATALAN SEWA TANAH DI VORSTENLANDEN TAHUN 1823: KASUS KONTRA LEX REI SITAE. Harto Juwono *) Abstract. Abstrak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMBATALAN SEWA TANAH DI VORSTENLANDEN TAHUN 1823: KASUS KONTRA LEX REI SITAE. Harto Juwono *) Abstract. Abstrak"

Transkripsi

1 PEMBATALAN SEWA TANAH DI VORSTENLANDEN TAHUN 1823: KASUS KONTRA LEX REI SITAE Harto Juwono *) Abstract Land leasing is a crucial factor in history of Vorstenlanden. This phenomenon has appeared since the early XIX century. In her history, the land leasing has been stopped as Governor General G.A.G.P. Baron van der Cappelen published Staatsblad number 6 in 1823 that forbad the land leasing by Europeans in Javanese Vorstenlanden. The fact that seen as one of factors which caused Diponegoro War was a result of the application of two different legal systems: Western positive law and traditional common law. As both were applied on the same object, the subject and object would be confused and they lost a guidance for a legal action. Consequently, the conflict could not be avoided and the subject revolted against the legality of formal decision. As the decision was published, many people saw that Dutch colonial government did a breach of Javanese royal authority and his legal system. It was a reason for Javanese noblemen to support Diponegoro s revolt against the Dutch. Key words: land leasing, Vorstenlanden, colonial legal system Abstrak Persewaan tanah menjadi bagian penting dari perkembangan sejarah di Vorstenlanden. Fenomena ini telah berlangsung sejak dekade kedua abad XIX. Sepanjang sejarahnya, proses persewaan tanah pernah dihentikan, yaitu ketika Gubernur Jenderal G.A.G.P. Baron van der Capellen mengeluarkan Staatsblad tahun 1823 no. 6 yang melarang orang-orang Eropa menyewa tanah di wilayah kekuasaan raja-raja Jawa. Peristiwa yang dianggap berperan bagi terjadinya Perang Diponegoro ini merupakan akibat dari penerapan dua sistem hukum yang berbeda pada objek dan dalam konteks yang sama, yaitu hukum positif dan hukum adat. Ketika keduanya diterapkan bersamaan di lokasi dan pada objek yang sama, baik subjek maupun objek hukum akan menjadi kabur dan kehilangan pedoman bagi pengambilan tindakan yang dianggap sah. Akibatnya, benturan tidak dapat dihindari dan mengakibatkan pengingkaran terhadap keabsahan keputusan yang diambil oleh pihak yang berwenang. Ketika keputusan pembatalan ini dikeluarkan, banyak orang menganggap pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan pelanggaran bukan hanya kewenangan raja Jawa melainkan juga terhadap aturan hukum yang berlaku. Pandangan itu memberikan dasar legal bagi keterlibatan banyak pemilik tanah pribumi dalam perlawanan Diponegoro. Kata kunci: sewa tanah, vorstenlanden, hukum kolonial PENDAHULUAN Pada tanggal 6 Juli 1823 Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. Baron van der Capellen mengeluarkan sebuah peraturan yang pada prinsipnya melarang persewaan tanah oleh orang-orang Eropa di wilayah Vo r s t e n l a n d e n. L a r a n g a n i n i menimbulkan kekecewaan di antara khalayak publik, baik di antara penyewa tanah maupun pemilik tanah. Kekecewaan ini, terutama di kalangan para pemilik tanah pribumi, memuncak dalam bentuk dukungan mereka kepada Pangeran D i p o n e g o r o, y a n g m e m u l a i perlawanannya terhadap intervensi kolonial Belanda di Yogyakarta pada *) Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok. 115

2 Pembatalan Sewa Tanah Di Vorstenlanden Tahun 1823: Kasus Kontra Lex Rei Sitae tanggal 22 Juli Sebagai akibatnya, tim khusus yang dibentuk oleh pemerintah di Batavia untuk menyelidiki latar belakang perlawanan Diponegoro ini mengajukan laporan. Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa faktor yang sangat menentukan terjadinya perlawanan rakyat di Vorstenlanden adalah pembatalan persewaan tanah, karena para bangsawan pemilik tanah yang kecewa bergerak memimpin perlawanan. Dalam historiografi Indonesia, kondisi tersebut di atas dianggap sebagai suatu kenyataan sejarah dan diakui kebenarannya sebagai bagian dari proses perlawanan Diponegoro. Hal itu terutama bisa diterima apabila pendekatan politik da n ekonomi dite r apka n u ntuk menganalisis dan merekonstruksi peristiwa Perang Diponegoro yang berlangsung antara (van den Kemp, 1897). Namun demikian, dalam telaah lebih lanjut terdapat sejumlah aspek yang perlu dicermati, khususnya bila dilihat dalam konteks yang berbeda dari pendekatan politik. Sejumlah pertanyaan dapat dilontarkan di sini, terutama menyangkut kewenangan van der Capellen mengeluarkan keputusan yang berlaku di wilayah yang tidak berada di bawah kewenangan pemerintah kolonial. Dilihat dari pendekatan hukum, dasar yang melandasi keputusan van der Capellen perlu dipertanyakan kembali, khususnya keabsahan dari penerapan kebijakan tersebut dan bagaimana relevansinya dengan konteks hukum adat yang berlaku di Kesultanan Yogyakarta. 1) Melalui pendekatan ilmu hukum, diharapkan akan diperoleh penjelasan lebih jauh dan mungkin juga simpulan yang berbeda dengan apa yang selama ini dipahami dalam historiografi Indonesia. D UALISME HUKUM Dalam menganalisis peristiwa pembatalan sewa tanah tersebut di atas, harus dilihat adanya tiga pihak yang terlibat dalam hal ini. Pihak pertama adalah pemerintah kolonial sebagai pelaku pencabutan peraturan yang berdampak pada pembatalan transaksi, pihak kedua adalah pengusaha asing yang menjadi penyewa tanah, dan pihak ketiga adalah elit tradisional Jawa sebagai pemilik sekaligus pihak yang menyewakan tanah. Hubungan ketiganya memiliki posisi yang berbeda. Jika penyewa dan pemilik tanah terlibat dalam transaksi yang sah secara hukum, karena masingmasing pihak melakukan aktivitas dan transaksinya tanpa paksaan atau tekanan, dan tidak melakukan pelanggaran atas aturan hukum setempat yang digunakan, pemerintah kolonial dalam hal ini memiliki posisi yang unik. Ditinjau dari aspek hukum, posisi pemerintah kolonial seharusnya adalah yang paling lemah mengingat dalam hal ini hubungan pemerintah kolonial dan raja-raja di Vorstenlanden hanya dijalin lewat kontrak-kontrak politik. Sejak Sultan Hamengku Buwono II naik tahta di Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1792 dan juga Sultan Paku Buwono IV di Surakarta memegang kekuasaan di Kesunanan Surakarta pada tahun 1788, pemerintah kolonial di Batavia lebih banyak menggunakan kontrak politik sebagai dasar hubungan antara mereka dan kerajaan-kerajaan ini. Hal ini berbeda dengan peristiwa sebelum kekuasaan mereka yang lebih terikat dengan bentuk perjanjian (ANRI No. 258). Dalam kontrak politik, raja-raja Jawa harus mengakui dan menerima petunjuk dari Belanda dalam menjalankan kekuasaan dan pemerintahannya. Namun, pasalpasal yang dimuat di dalamnya tidak menyentuh persoalan hukum, khususnya yang berkenaan dengan tanah-tanah. Dilihat dari kondisi tersebut di atas, bisa diduga bahwa pemerintah kolonial sebenarnya hanya memiliki 1) Persewaan tanah ini berlaku di Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta juga. Namun selain kuantitasnya, sistem dan jatuh tempo yang berlaku di Kesultanan Yogyakarta berbeda daripada di Kesunanan Surakarta sehingga menimbulkan dampak dan reaksi yang berbeda pada kedua kerajaan Jawa ini. 116

3 : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 14, No.2 Juli - Desember 2013: pengaruh dan kewenangan atas sosok raja. Pengikatan terhadap raja yang dimuat dalam kontrak-kontrak politik mereka juga dianggap sebagai ikatan hukum yang kabur mengingat dalam kontrak tersebut tidak dimuat apa konsekuensinya apabila pasal-pasal di dalamnya dilanggar, baik oleh raja-raja Jawa atau bahkan oleh Belanda sendiri. Dengan demikian, legalitas dari kontrak-kontrak tersebut lebih menekankan pada pengaturan hubungan diplomatik daripada ikatan hukum dengan segala bentuk tindakan hukum yang akan muncul sebagai akibat dari penyimpangan atau pelanggarannya. Melalui kerancuan kondisi tersebut di at as, penyelesaian hukum d i Vorstenlanden tidak bisa dilakukan kecuali dengan pendekatan politik. Setiap tindakan yang mengancam hak-hak orang Eropa dianggap sebagai pelanggaran kontrak politik meskipun tidak tercantum pasal yang jelas di situ. Hukuman yang diterapkan ditentukan menurut aturan hukum Eropa walaupun ketentuan hukum yang digunakan tidak ditegaskan. Misalnya kasus perlawanan dan akhirnya pembunuhan terhadap Raden Ronggo Prawirodirjo, Adipati Mancanegara Wetan, pada bulan Desember 1810 dan diikuti dengan penurunan Sultan Hamengku Buwono II dari tahta pada bulan yang sama dan sekali lagi pada bulan Juni 1812 menunjukkan bahwa hukum yang dipakai pemerintah Eropa adalah kontrak politik (Adams, 1931: 230). Di samping sifat kabur dalam sistem yuridis formal tersebut di atas, baik pada ketentuan pasal-pasal kontrak maupun pelaksanaannya, kontrak politik juga memiliki kelemahan hukum ketika diterapkan pada bidang per data, khususnya di sektor agrobisnis. Selain aneksasi agraria yang mewarnai kontrakkontrak politik pada awal abad XIX, khususnya kontrak bulan Januari 1811 dan Agustus 1812, tidak ada ketentuan yang mengatur aspek perdata dalam kontrakkontrak tersebut. Dengan demikian, secara de facto penguasa kolonial Eropa mengakui keabsahan aturan hukum yang dibuat dan diberlakukan pada wilayah Vorstenlanden oleh raja-raja Jawa. Ketika hubungan antara penguasa Eropa dan raja-raja Jawa masih terbatas pada aspek politik dan kekuasaan, persoalan perdata tidak menjadi masalah yang rumit. Kondisi ini berubah ketika intervensi ekonomi mulai muncul akibat aktivitas niaga para pemilik modal Eropa di wilayah Vorstenlanden pada awal tahun 1820-an. Pengakuan secara de facto terhadap situasi yang ada telah mengarah pada prinsip Lex Rei Sitae. Untuk memahaminya, konsep berikut ini memberikan penjelasan, The traditional conflict of laws rule for determining the enforceability of a transfer of property or a pledge of securities effected in the direct holding system is the lex rei sitae. Under the rule, the validity of the transfer is determined by the law of the place where the security is located. The principle was first applied to immovables and those movables which by their origin belong to the territory (Bernasconi, 2007: 76). Konflik kewenangan hukum tradisional untuk menentukan pemberlakuan pengalihan hak kekayaan atau janji jaminan yang muncul dalam sistem kepemilikan langsung disebut lex rei sitae. Dalam aturan ini, keabsahan pengalihan hak ditentukan oleh hukum di tempat jaminan berada. Prinsip ini pada mulanya berlaku bagi barang yang tidak bergerak dan kemudian barang bergerak menurut asal-usul wilayah pemiliknya. Dari konsep di atas, tampak bahwa lex rei sitae merupakan hukum atau aturan yang berlaku di suatu tempat di mana benda atau barang yang disengketakan berada. Dalam kasus tanah sebagai barang tidak bergerak (), inmovable aturan hukum tempat tanah berada seharusnya menjadi pedoman untuk mengatur semua transaksi yang berkaitan dengan tanah tersebut. Ketika tanah itu berada di wilayah Vo rsten la nden, baik milik r aj a () vor atau stdo mein milik rakyat (), volksdomein aturan hukum yang berlaku seharusnya adalah hukum rajaraja Jawa. 117

4 Pembatalan Sewa Tanah Di Vorstenlanden Tahun 1823: Kasus Kontra Lex Rei Sitae P ERUBAHAN H UKUMADAT Setelah pengambilalihan koloni Hindia Timur pada tanggal 16 Agustus 1816 dari Letnan Gubernur Jenderal Inggris John Fendall kepada Komisaris Jenderal Belanda, kekuasaan Belanda kembali ditegakkan di wilayah Nusantara. Semua yang dikuasai Inggris pada bulan September 1811, sesuai dengan isi Kapitulasi Tuntang, dikembalikan kepada Belanda. Oleh karena itu, kekuasaan Belanda diberlakukan juga di Jawa, sementara hubungan dengan raja-raja Jawa tetap dipertahankan seperti ketika berada di bawah kekuasaan Inggris (Brascamp, 1921: 1022; Fillet, 1895: ). Bertolak dari kondisi tersebut, daerah-daerah yang dianeksasi di bawah pemerintahan Raffles dari raja-raja Yogya dan Solo praktis menjadi hak dan kewenangan pemerintah Hindia Belanda. Begitu juga dengan jabatan residen yang mewakili pemerintah Inggris di kedua kuthagara digantikan oleh para pejabat Belanda (ANRI, 1808). Mereka memiliki status yang sama yaitu sebagai wakil pemerintah di Batavia dengan tugas utama untuk mengawasi pelaksanaan kontrakkontrak politik yang dibuat sebelumnya, memberikan nasehat kepada raja-raja Jawa, dan mewakili kepentingan pemerintah Eropa di Vorstenlanden. Salah satu residen ini adalah Nahuys van Burgst, seorang perwira angkatan darat yang telah mengabdi di Hindia Timur di bawah Marsekal Daendels dan berpengalaman di Vorstenlanden. Sosok ini lebih menunjukkan sebagai politikus daripada perwira militer, dan sekaligus seorang ekonom (Walderen-Rengers, 1947: 175). Nahuys menyadari bahwa Hindia Timur tidak banyak mengalami perubahan di bawah pemerintahan Inggris, khususnya Vorstenlanden. Jadi, pemerintahannya atas wilayah ini tidak membawa masalah. Namun demikian, justru persoalan terletak pada beban negaranya yang mengalami defisit anggaran sebagai akibat dari hilangnya koloni selama enam tahun, sementara negaranya sedang dalam proses pemulihan akibat peperangan di Eropa (Lauts, 1866: 102). Untuk itu, sebagai seorang pejabat, Nahuys wajib memikirkan bagaimana cara mengatasi krisis ekonomi dan anggaran yang melanda pemerintahnya. Selain itu, Nahuys juga memiliki koneksi yang luas di kalangan para pengusaha swasta di Belanda, yang terpaksa menganggur karena investasinya harus ditarik sebagai akibat perang. Ketika menerima jabatan sebagai residen di Yogyakarta, Nahuys telah mendengar sejumlah keluhan dari rekan-rekan pengusahany a mengenai p eluang melakukan investasi di tanah koloni (den Doel, 1996: 42). Mengingat sistem yang diterapkan oleh Komisaris Jenderal, yang didominasi oleh G.A.G.P. Baron van der Capellen, lebih menyukai dominasi dan eksploitasi oleh negara di sektor ekonomi daripada menyerahkan lahan itu kepada swasta dan pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator, para pengusaha swasta ini hampir tidak mendapatkan tempat untuk melakukan investasi di tanah-tanah pemerintah ().gouvernementlanden Kecuali tanah-tanah partikelir yang telah ada sejak era Daendels dan Raffles, praktis tidak ada usaha investasi modal swasta di sektor agraris () onderneming yang bisa dibuka di wilayah pemerintah. Karena tekanan ini, para pengusaha tersebut kemudian mendekati Nahuys untuk mencari jalan keluar. Mengingat Nahuys tidak memiliki hubungan dekat dengan para Komisaris Jenderal, ia menemukan solusi untuk menampung tuntutan para investor swasta. Di mata Nahuys solusi ini harus bisa memberikan penyelesaian bagi sejumlah persoalan. Pertama, investasi swasta juga harus menguntungkan bagi keuangan negara lewat setoran pajak atau penyisihan hasil keuntungan penjualan produknya, menguntungkan investor sendiri, sekalig us memp er kaya keuangan pribadinya sebagai seorang pejabat pemerintah kolonial (Burgst, 1850: 116; Burgst, 1835: 346). Ketiga solusi itu kemudian dijumpai 118

5 : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 14, No.2 Juli - Desember 2013: oleh Nahuys dalam pembukaan lahan bagi investasi agraria swasta di Vorstenlanden, khususnya di Yogyakarta tempat ia berkuasa. Dengan menggunakan posisinya sebagai seorang pejabat Eropa tertinggi di Kesultanan Yogyakarta, Nahuys menjamin bahwa dirinya bisa memengaruhi elite penguasa pribumi di sana untuk menyewakan tanah-tanahnya kepada para pengusaha swasta bagi investasi perkebunan, dengan produk tanaman tropis sebagai komoditi utamanya. Kondisi ini dipermudah dengan situasi politik di Kesultanan Yogyakarta, yang disebabkan oleh kevakuman kekuasaan akibat pemerintahan perwalian (Soekanto, 1984: 20). Akan tetapi, suatu kendala besar dihadapi oleh Nahuys. Meskipun secara politik ia berada dalam posisi dominan untuk melakukan pemaksaan bagi penerimaan investasi di kalangan para pemegang apanage di Kesultanan Yogyakarta, hukum yang mengatur proses transaksi itu harus ada. Para investor Eropa juga menuntut adanya jaminan hukum dan kepastian kerja ketika menyerahkan modalnya untuk menyewa tanah serta untuk mengelola produktivitas kebunnya dari resiko pelanggaran atau pembatalan sepihak oleh para pemilik tanah. Mengingat dalam hukum adat Jawa yang selama ini digunakan untuk mengatur masalah agraria di Yogyakarta, yaitu Hangger Sadasa, tidak memuat trans aks i s ewa- menyewa kecual i peminjaman tanah, jaminan hukum itu tidak bisa diperoleh. Situasi ini jelas menimbulkan ragu-ragu di kalangan para investor, yang berarti ancaman gagal terhadap rencana Nahuys (Nes, 1850: 207). 2) Untuk mengatasi hal tersebut, N a h u y s k e m b a l i m e n g g u n a k a n kepandaiannya sebagai seorang politikus. Pada masa itu, tahun , Sultan H a m e n g k u B u w o n o I V b e l u m memerintah sendiri dan pemerintahan dipegang oleh para wali. Salah satu wali yang dominan adalah K.G.P.A. Paku Alam I, yang pernah berhutang budi karena diselamatkan oleh Nahuys di Cirebon saat akan dihukum mati oleh Daendels pada tahun Melalui wali ini, dan dengan dukungan Patih R.A. Danurejo IV, Nahuys kemudian merancang upaya untuk mengubah ketentuan dalam Hangger Sadasa (Anon, 1844: 49). Perubahan terjadi pada tanggal 4 Oktober 1818 dengan adanya beberapa pasal yang memungkinkan transaksi sewa-menyewa tanah dari para bangsawan Jawa, khususnya pemegang apanage yang dianggap subur, kepada investor swasta. Di antaranya adalah pasal 20 sebagai berikut (Anon, 1868, 1-16): Over het verhuren en verpanden van desas Ook bij het verhuren en verpanden van desas, zal men een behoorlijke overeenkomst aangaan. Wanneer daaruit geschillen onstaan zullen dezelve even als in het voorgaande artikel afgedaan worden. Tentang persewaan dan penggadaian desa Juga dalam persewaan dan penggadaian desa-desa, orang hendaknya membuat suatu kesepakatan yang sewajarnya. Ketika dari situ sengketa muncul, hal itu akan diselesaikan seperti pada pasal sebelumnya. Selanjutnya juga pasal 21, Over het verpachten, verhuren of verpanden van landen Zonder schriftelijke overeenkomst Wanneer desas zonder schriftelijke overeenkomst verpacht, verhuurd of verpand worden en daarover geschillen ontstaan, zullen dezelve zoo veel doenlijk beslist worden, maar dan verbeuren beide partijen 3) Hal ini disebabkan karena dalam konsep Jawa terdapat pengertian adol sende, dari kata disendekake atau disandarkan. Jadi maksudnya di sini adalah menitipkan atau mungkin dalam pengertian modern menggadaikan dan menjaminkan. Namun pengertian sewa tidak pernah ada pada orang Jawa tampak dari istilah adol yang lebih menekankan menjual. 119

6 Pembatalan Sewa Tanah Di Vorstenlanden Tahun 1823: Kasus Kontra Lex Rei Sitae eene boete door de overheat te evenredigen. Tentang pemborongan, penyewaan atau penjaminan tanah-tanah tanpa kesepakatan tertulis Ketika desa-desa tanpa kesepakatan tertulis diborongkan, disewakan atau dijaminkan dan sengketa tentang hal itu terjadi, begitu banyak yang perlu diputuskan, tetapi kedua pihak harus menanggung denda sama seperti yang diputuskan oleh penguasa. Dari kedua pasal tersebut di atas, jelas bahwa peluang bagi persewaan tanah terbuka lebar dari pihak para penguasa pribumi. Hal ini telah dijamin oleh Nahuys dan disampaikan kepada para calon investor (ANRI, 1818). 3) Untuk memperkuat posisi para investor ini, Nahuys k emudian melaporkan semua hasil kerjanya kepada pemerintah di Batavia dan mendesak Komisaris Jenderal agar memberikan izin sekaligus jaminan bagi investasi modal swasta di Vorstenlanden. Atas tanggungan Nahuys bahwa kehadiran mereka tidak akan membahayakan dan justru akan meningkatkan produksi tropis yang tidak mampu dilakukan sendiri oleh pemerintah kolonial, pada tanggal 22 Desember 1818 Komisaris Jenderal menerbitkan Resolusi yang mengijinkan para pemilik modal swasta melakukan transaksi persewaan tanah dan investasi di sektor perkebunan. 4 ) Dengan diterbitkannya Resolusi itu, pada awal tahun 1819 sejumlah investor swasta masuk ke wilayah Kesultanan Yogyakarta dan melakukan transaksi, atas perantaraan Nahuys dan Patih Danurejo 5) IV, dengan sejumlah bangsawan pemilik tanah apanage. Mereka melakukan persewaan selama jangka waktu antara tahun dengan dibayar di muka, setidaknya uang muka separuh dan sebulan kemudian dilunasi. Dengan proses ini, tanah-tanah apanage yang sebelumnya merupakan lahan pertanian padi dan tanaman pangan untuk memasok kebutuhan para patuh berubah menjadi lahan perkebunan tanaman tropis terutama kopi (Anon, 1909: 227). Di samping kesuburan tanah yang menjadi pesona tersendiri sebagai daya tarik bagi para pemilik modal, Nahuys mempromosikan pesona lain pada tanahtanah apanage ini. Pesona ini adalah sistem yang berlaku, yaitu hubungan patron-klien dengan ikatan feodal sebagai fondasinya. Di bawah kekuasaan para patuh, petani atau cacah yang menghuni dan ikut menikmati hasil tanah-tanah apanage wajib bukan hanya menyetorkan hasilnya tetapi juga tenaganya untuk kepentingan tertentu dari para patuh (ANRI, 1825; Haspel, 1985: 14). Dengan persewaan tanah, persembahan ganda dialihkan dari patuh kepada pengusaha swasta, sesuatu yang mirip dengan sistem Preanger Stelsel oleh pemerintah di wilayah Priangan. Ketika wilayah Kesultanan Yogyakarta telah dipenuhi oleh petakpetak tanah sewaan, sejumlah investor lain yang tidak mendapatkan kesempatan berinvestasi di Yogyakarta mendesak Nahuys untuk mencari peluang lain. Kini pandangan Nahuys diarahkan ke Surakarta. Akan tetapi, kondisi di Surakarta berbeda, mengingat Sunan Paku Buwono IV masih bertahta. Selain ia memerintah langsung dan tidak 3) Pada hari pengundangan Hangger Sadasa, Nahuys juga memprakarsai kesepakatan antara dua patih dari Yogya dan Solo agar memberikan jaminan bersama bagi keselamatan dan kelancaran usaha para investor di wilayah mereka. Sebagai dasar dari keputusan ini adalah Staatsblad van Nederlandsch Indië over het jaar 1818 no. 67, yang memberikan kepastian hukum bagi orang-orang Eropa untuk menanamkan modalnya dalam pengembangan sektor perkebunan dan pertanian. Sesuai dengan kesepakatan tanggal 4 Oktober 1818, peran Danurejo IV dalam hal ini sangat besar. Bahkan Nahuys sendiri tidak mau membubuhkan persetujuannya apabila tidak terdapat cap dari patih Yogyakarta ini dalam kontrak sewa tanah antara investor asing dan pemegang apanage. Periksa Van der Kemp (1890: 150). 120

7 : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 14, No.2 Juli - Desember 2013: menggunakan perwalian, raja ini juga dikenal sebagai anti-eropa. Oleh karena itu, Nahuys tidak mau berspekulasi untuk membujuk Sunan PB IV bersedia menerima investasi modal swasta Eropa di wilayah kekuasaannya. Lebih-lebih pada akhir tahun 1819 Sunan PB IV baru saja berkonflik dengan Residen Solo Prehn yang berakhir dengan pemindahan Prehn dari jabatannya (ANRI, 1816). Meskipun peristiwa itu dianggap sebagai kemenangan Sunan, justru kepergian Prehn memberi peluang bagi Nahuys untuk bisa mendekati Sunan PB IV. Hal ini dimungkinkan oleh hubungan dekat Nahuys dengan panglima militer Belanda di Jawa, Mayor Jenderal H.M. De Kock yang berpengaruh pada Gubernur Jenderal Baron van der Capellen. Oleh karena itu kekosongan jabatan residen di Solo segera dirangkap oleh Nahuys van Burgst. Meskipun pada mulanya Nahuys tidak banyak berbuat mengingat sikap hati-hatinya terhadap Sunan dan kesibukannya di Yogyakarta, kematian Sunan PB IV dan penggantiannya dengan Sunan PB V yang masih muda memberi kesempatan Nahuys untuk bertindak seperti di Yogyakarta (ANRI, 1820). L a n g k a h p e r t a m a a d a l a h mendekati wali Sunan, Pangeran Adipati Aryo Buminoto, untuk merevisi Hangger Sadasa seperti yang dilakukan di Yogyakarta. Langkah ini berhasil dilakukan sehingga pada akhir tahun 1820 Kesunanan Surakarta juga terbuka bagi investasi modal swasta. Akan tetapi, para bangsawan Surakarta, terutama Buminoto dan Patih Sosrodiningrat II, lebih berhatihati daripada bangsawan di Yogyakarta (ANRI, 1821). Mereka tidak menyewakan tanah apanagenya dalam jangka waktu lama melainkan tiap tahun yang terus diperpanjang. Meskipun lahan yang disewa lebih banyak daripada di Yogyakarta, persewaan di Surakarta cenderung terletak terpisah-pisah dan tidak terkonsentrasi. Kedua faktor ini, p e r s ew a a n t a h u n a n d a n l o k a s i perkebunan, membedakan karakter dengan persewaan di Yogyakarta dan kelak akan berpengaruh pada krisis politik di Kesultanan Yogyakarta tahun P EMBATALAN S EWA TANAH Perkembangan persewaan tanah di Vorstenlanden berlangsung dengan lancar. Para investor, khususnya di Yogyakarta, berhasil mendapatkan apa yang dibutuhkan dan melakukan penanaman produk tropis. Mereka pada umumnya menanam tanaman tropis untuk kepentingan pasaran dunia yang memberikan prospek keuntungan jauh lebih besar daripada tanaman domestik. Produk kopi merupakan prioritas bagi lahan yang sesuai untuk tumbuhnya tanaman ini, karena kopi menjadi produk dengan posisi penawaran tertinggi dibandingkan yang lain. Di Yogyakarta, yang persewaannya berlangsung selama tahun, periode bagi produktivitas tanaman kopi menjadi jauh lebih memungkinkan daripada di Surakarta yang periodenya berlangsung lebih singkat. Di samping itu, penanaman yang berlangsung lebih dahulu di Yogyakarta memungkinkan produksi lebih awal diperoleh daripada di Surakarta. Karena lokasinya di wilayah yang di luar kekuasaan hukum pemerintah, para pengusaha ini memiliki kemampuan untuk langsung mengekspor hasil perkebunannya ke pelabuhanpelabuhan di Batavia dan Semarang. Hasil panen pertama yang dijual pada akhir tahun 1822 telah membuat pangs a pasar kopi internasional, khususnya pemasaran bagi kopi tropis Hindia, mengalami lonjakan. Harga kopi internasional yang cukup tinggi telah berhasil memberikan keuntungan bagi produsen kopi, termasuk para pengusaha penyewa tanah di Vorstenlanden. Sementara para penyewa tanah di Solo m as ih b elum sem p a t m e ma n e n produknya, para penyewa tanah di Yogyakarta telah menikmati keuntungan sehingga beberapa ada yang berpikir untuk memperpanjang masa sewa mereka. Begitu juga dengan para pemilik tanah apanage yang menerima uang sewa tunai segera bisa menikmati hasil dari penguasaan tanahnya. 121

8 Pembatalan Sewa Tanah Di Vorstenlanden Tahun 1823: Kasus Kontra Lex Rei Sitae Akan tetapi, justru kondisi ini menimbulkan dampak negatif pada pihak yang tidak terlibat dalam persewaan itu, yaitu pemerintah kolonial. Melimpahnya produksi kopi dari Vorstenlanden dan pemasarannya bersama dengan kopi pemerintah telah membuat harga kopi di pasaran dunia menurun mengingat jumlah pasokan kemudian menjadi lebih banyak daripada permintaan. Penurunan harga ini membawa dampak pada perolehan anggaran negara dari sektor perkebunan terutama kopi, karena pemerintah masih mengandalkan pada sistem lama yaitu verplichte leverantie dan pembelian produk wajib. Sementara itu, biaya produksi oleh para pengusaha swasta di Vorstenlanden bisa ditekan dengan memanfaatkan sistem ikatan primordial yang berlaku di tanah-tanah sewaan apanage. Meskipun tidak menderita kerugian, jumlah penerimaan yang tidak sesuai dengan target memengaruhi defisit anggaran belanja negara. Untuk itu, pada awal tahun 1822 Gubernur Jenderal van der Capellen memerintahkan Direktur Keuangan H.J. van der Graaff untuk melakukan penyelidikan terhadap hal ini (ANRI, 1823). Hasil penyelidikan van der Graaff yang laporannya diajukan pada tanggal 23 Maret 1822 menunjukkan b a h w a p e n y e b a b b e r k u r a n g n y a pemasukan adalah turunnya harga kopi di pasaran dunia, akibat pasokan dan kompetisi kopi dari Vorstenlanden terhadap produksi kopi pemerintah (ANRI, 1822). Atas usul Van der Graaff, Baron van d e r C a p e l l e n k e m u d i a n mempertimbangkan pengambilan tindakan yang tepat. Risiko teguran dari Raja Willem II yang memercayakan produktivitas koloni Hindia Belanda kepadanya membuat van der Capellen memutuskan untuk mengakhiri kondisi i n i. O l e h k a r e n a i t u, d e n g a n memanf aatkan pos isinya sebagai penguasa tertinggi tanah koloni dan wakil Raja Belanda di Hindia Belanda, van der Capellen melarang orang-orang Belanda melakuka n pe rsewaan t an ah d i Vorstenlanden pada bulan Mei Banyak pihak yang menunjukkan reaksi terhadap keputusan ini. Pertamatama tentu saja adalah mereka yang terlibat langsung dalam persewaan tanah, yaitu para penyewa tanah. Mereka merasa bahwa modal mereka telah terlanjur diinvestasikan pada sektor agraris dan produksi yang mereka peroleh belum m am p u me n g e m b a l i k a n j u m l a h modalnya. Oleh karena itu, kembali melalui Nahuys, mereka menuntut agar Baron van der Capellen mencabut keputusan tersebut. Nahuys pada mulanya mendesak van der Capellen untuk melakukannya, tetapi setelah usaha itu gagal Nahuys akhirnya meminta pengunduran diri sebagai Residen Yogyakarta dan Surakarta. Bahkan, kemudian ia tidak lagi mau tinggal di Hindia Timur dan kembali ke Negeri Belanda. 6) D e n g a n d i t i n g g a l k a n o l e h patronnya, para penyewa tanah kemudian mengajukan gugatan mereka langsung kepada Raja Willem II. Raja Willem II yang mendengar tuntutan ini kemudian menyerahkan kepada Baron van der Capellen untuk menyelesaikannya. Atas saran van der Graaff, Van der Capellen memaksa raja-raja Yogyakarta dan Surakarta agar para pemilik tanah apanage mengembalikan uang sewa yang tersisa kepada para penyewa tanah untuk mencegah terjadinya kerugian dalam usaha (Spengler, 1863: 29-30). 6) Nahuys sendiri menyatakan bahwa apa yang dituduhkan oleh van der Graaff tidak benar termasuk kecurigaan kolonisasi. Persewaan tanah di Vorstenlanden yang disponsori olehnya hanya merupakan aktivitas modal swasta, yang akan dimanfaatkan bagi kepentingan pemerintah dan penduduk pribumi bila diarahkan sesuai dengan tujuan negara. Dengan pemberdayaannya, modal swasta bisa menjadi kekuatan ekonomi utama yang memperkuat fondasi keuangan koloni Hindia Belanda (Burgst, 1847: 13). 122

9 : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 14, No.2 Juli - Desember 2013: Bagi para pemilik tanah di Surakarta, perintah ini tidak begitu bermasalah karena persewaan yang berlangsung hanya dibayar setiap tahun. Akibatnya, jumlah uang yang diserahkan kembali kepada para penyewa tanah tidak ter lalu bes ar (Nes, : 134). Sebaliknya, bagi para pemilik tanah di Yogyakarta, hal ini mengakibatkan terjadinya krisis di antara para pemilik apanage. Mereka telah menggunakan uang sewa yang ada dan tidak lagi mampu mengembalikan tuntutan itu. Mengingat tekanan dari pemerintah kolonial yang begitu keras dan perintah raja untuk mengembalikannya, banyak dari pemilik tanah ini yang terjebak hutang, baik kepada keraton maupun kepada kreditur swasta, dengan bunga tinggi. Bagi mereka yang berhutang kepada keraton, mereka harus rela bahwa tanah apanagenya d i a m b i l a l i h k e r a t o n d a n j i k a memungkinkan, mereka menerima jumlah lahan yang jauh lebih kecil (dikenal sebagai tanah pancasan ). PENUTUP Fenomena persewaan tanah di Vorstenlanden menunjukkan suatu kasus yang menarik untuk dicermati. Dari aspek politik, jelas jawaban bisa ditemukan sebagai bentuk dominasi kekuasaan kolonial pada penguasa pribumi Jawa, meskipun dalam hal ini bentuk kekuatan kolonial masih harus dibedakan antara pemerintah Belanda dan kekuatan modal swasta yang ironisnya saling berhadapan. Dengan demikian tidak mungkin menggambarkan suatu kondisi polarisasi antara kekuatan kolonial dan kekuatan pribumi dalam konteks ini. Akan tetapi, dengan menggunakan pendekatan ilmu hukum, simpulan tersebut bisa dipertegas atau bahkan sedikit berbeda. Pendekatan hukum akan mengungkap bagaimana legalitas dari tindakan atau kebijakan yang dijalankan oleh salah satu pihak sehingga menimbulkan persoalan hukum yang harus dicari solusinya berdasarkan nilainilai yuridis yang berlaku. Seperti telah diungkapkan, dalam peristiwa ini ada tiga pihak yang berkepentingan : pemerintah kolonial, penyewa tanah dan pemilik tanah. Dalam transaksi sewa-menyewa tanah hanya dua pihak yang berkepentingan langsung. Meskipun Residen Nahuys memberikan kesaksian, sifatnya adalah hanya mengetahui tanpa ada hak pengesahan apa pun. Justru pengesahan yang berlaku adalah cap keraton, yang dalam hal ini dipegang oleh Patih Danurejo IV. Hal ini membuktikan bahwa kewenangan hukum tertinggi dipegang oleh keraton, bukan oleh pemerintah Batavia. Bukti lain bahwa pemerintah di Batavia tidak berwenang atas transaksi ini adalah dalam persewaan tanah pemerintah tidak memungut apapun, baik atas transaksinya maupun produk yang dihasilkannya. Ketidakmamp uan pemerintah kolonial untuk memungut pajak, kecuali di pelabuhan ketika produk itu diekspor, menegaskan tidak adanya kewenangan pemerintah terhadap transaksi persewaan tersebut. Tentu saja kondisi ini menjadi sangat berbeda dengan k e p u t u s a n p e m e r i n t a h u n t u k membatalkan persewaan tersebut. Faktor kedua lainnya yang membuktikan kelemahan keputusan pemerintah adalah penerapan prinsip lex rei sitae, yaitu pemberlakuan hukum di tempat transaksi berlangsung. Dalam proses sewa-menyewa tanah tersebut, hukum raja-raja Jawa yang dimuat dalam Hangger Sadasa dinyatakan sebagai aturan yang diberlaku kan unt uk mengaturnya. Hal ini dipertegas dengan pengesahannya oleh pihak Keraton Yogyakarta lewat cap yang dipegang patih. Dengan demikian, ketika van der Capellen mengeluarkan keputusan, meskipun dimuat dalam Staatsblad, ia melakukan pelanggaran prinsip lex rei sitae karena Staatsblad merupakan bentuk perundangan yang berlaku di tanah pemerintah, bukan di tanah raja-raja (). Vorstenlanden Dengan melihat dua pandangan tersebut di atas, dalam hal ini bisa dikatakan bahwa keputusan van der Capellen untuk membatalkan persewaan 123

10 Pembatalan Sewa Tanah Di Vorstenlanden Tahun 1823: Kasus Kontra Lex Rei Sitae tanah, meskipun dengan alasan keterkaitannya pada individu penyewa tanah, tetap dinyatakan tidak sah. Individu sebagai kawula pemerintah hanya berhak mendapatkan perlindungan, dan bukan pada intervensi dalam urusan bisnisnya. Dengan demikian kesimpulan dalam hal ini bisa ditarik bahwa pemerintah kolonial melakukan pelanggaran hukum terhadap kewenangan raja-raja Jawa, dengan risiko terjadinya Perang Diponegoro sebagai bentuk hukumannya. DAFTAR PUSTAKA Adams, L Geschiedkundige a a n t e e k en i n g e n o m r en t d e Residentie Madioen. Djawa, Jilid XIX. Anon Overzicht van de voornaamste gebeurtenissen in het Djocjakartasche rijk sedert deszelf stichting (1755) tot aan de einde van het Engelsche Tusschenbestuur ( ). T i j d c h r i f t v o o r Nederlandsch Indië, Jilid IV Anon Korte Inhoud der Javaansche wetboeken en beschrijving der J a v a a n s c h e g e b r u i k e n e n instellingen. Soerakarta: Jaspers & Co. Anon Mr. C.T. als Minister van Koloniën, in zijne veroordeeling van het beleid der regeering van den Gouverneur Baron van der Capellen. BKI, Jilid 62 ANRI Punika serat pemut menggah bumi pasiten Kanjeng Sultan kadamel ing Semawis tahun 1773, bundel Yogyakarta no ANRI Ontwerp van een vast ceremonieel van residenten aan de hooven van So erakart a en Djocjakarta over het jaar 1808, bundel Solo nomor 55/9. ANRI Contract tusschen den rijksbestuurder van Soerakarta en Djokjakarta, Sosrodiningrat en Danoeredjo, 4 Oktober 1818, bundel Solo nomor 371. ANRI Surat Komisaris Jenderal Baron van der Capellen kepada Residen R. Prehn tanggal 30 November 1819 nomor 73, bundel Solo nomor 108. ANRI Extract uit het register der handelingen en besluiten van den secretaries van staat Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indië, 24 Maart 1820 no. 23, bundel Solo nomor 109. ANRI Piagemboek aangelegd op order van de waard. Residen Nahuys 1821, bundel Solo, nomor 481. ANRI Verhuurde gronden in de Javasche Vorstenlanden over het jaar 1822, Bundel Solo nomor 482. ANRI Surat Sekretaris Umum Bousquet kepada Gubernur Jenderal van der Capellen tanggal 14 Januari 1823, bundel Solo nomor 482. ANRI Landverhuuring in Vorstenlanden 1825, bundel Yogya nomor 471 Brascamp, A.J.B De contracten van 1811 en 1812 met Soerakarta en Djocjakarta. Tectona, Jilid XIV Burgst, G.B. Nahuys van Verzameling van Officiële rapporten betreffende den oorlog op Java in de jaren , eerste deel. Deventer: M. Ballot. Burgst, Baron Nahuys van Beschouwingen over Nederlandsch Indië. s Gravenhage: Gebroeders Belifante. Burgst, Baron Nahuys van Partikulier Landbezit op Java. Tijdschrift voor Nederlandsch Indië, 124

11 : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 14, No.2 Juli - Desember 2013: Jilid 1. Doel, H.W. van den Het Rijk van Insulinde: opkomst en ondergang van een Nederlandse kolonie. Amsterdam: Prohemeus. Fillet, P.W De Verhouding der Vorsten op Java tot de Ned. Indische Regeering. s Gravenhage: Martinus Nijhoff Haspel, C.Cb. van den Overwigt in Overleg: Her vormingen van Justitie, grondgebruik en bestuur in de Vorstenlanden op Java Dordrecht: Foris Publ. Kemp, Ph. Van der Het rapport van den hoofdinspecteur van financieën H.J. van der Graaff; dat aanleiding is geweest tot de intrekking der landverhuur in de Vorstenlanden. Tijdschrift van Nijverheid en Landbouw in Nederlandsch Indië, Jilid XLI. Kemp, Ph. van de r De Economische Oorzaken van de Java Oorlog van s Gravenhage : M. Nijhoff Lauts, G Geschiedenis van de vestiging, uitbreiding, bloei en v e r v a l v a n d e m a g t d e r Nederlanders in Indië, zesde deel. Amsterdam: Frederik Muller. Nes, J.F.W. van, Landverhuur in de Vorstenlanden dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indië, tahun 1850, jilid 2. N e s, W a l v a r e n v a n Ve r h a n d e l i n g e n o v e r d e waarschijnlijke oorzaken, die de aanleiding tot de onlusten van 1825 en de volgende jaren en de vorstenlanden gegeven hebben. Tijdschrift voor Nederlandsch Indië, Jilid IV. Sarcevic, Peter, and Paul Volken Yearbook of Private International Law, Vol. III. Berlin: Kluwer Publ. Soekanto Hubungan Diponegoro dan Sentot. Jakarta: Bina Aksara Spengler, Johan Albert De Nederlandsche Oost Indische Bezittingen onder het bestuur van den Gouverneur Generaal G.A.G.P. Baron van der Capellen, Utrecht: Kemink en Zoon. Staatsblad van Nederlandsch Indië over het jaar 1818 no. 67 Walderen-Rengers, Daniel Wilco van The failure of a Liberal Colonial Policy, Netherlands East Indies, The Hague: Martinus Nijhoff. 125

Di samping itu, Sultan HB VII juga menggunakan taktik dengan mengulur waktu dan mencegah penyerahan secara total semua yang diminta oleh pemerintah

Di samping itu, Sultan HB VII juga menggunakan taktik dengan mengulur waktu dan mencegah penyerahan secara total semua yang diminta oleh pemerintah BAB VI KESIMPULAN Dari pengungkapan sejumlah fakta dan rekonstruksi yang dilakukan, penelitian ini menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut ini : Sultan Hamengku Buwono VII adalah seorang raja yang

Lebih terperinci

PROSES PERKEMBANGAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT

PROSES PERKEMBANGAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT PROSES PERKEMBANGAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT DAFTAR ISI LATAR BELAKANG KEDATANGAN BANGSA BARAT KE INDONESIA What: (latar belakang) Indonesia negara dengan SDA yang melimpah Why: (Alasan) Orang-orang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Landasan Teori 1. Transportasi Kereta Api Transportasi merupakan dasar untuk pembangunan ekonomi dan perkembangan masyarakat, serta pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

SISTEM TANAM PAKSA. Oleh: Taat Wulandari

SISTEM TANAM PAKSA. Oleh: Taat Wulandari SISTEM TANAM PAKSA Oleh: Taat Wulandari E-mail: taat_wulandari@uny.ac.id TOKOH-TOKOH PENENTANG TANAM PAKSA 1. Eduard Douwes Dekker (1820 1887) Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang

Lebih terperinci

TANGGAPAN ATAS LAPORAN

TANGGAPAN ATAS LAPORAN TANGGAPAN ATAS LAPORAN PENELITIAN TRANSFORMASI SOSIAL DI PERKOTAAN PANTAI UTARA JAWA: Studi Perbandingan Cirebon dan Gresik DJOKO MARIHANDONO DAN HARTO JUWONO FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

Makalah Diskusi SEJARAH SOSIAL EKONOMI

Makalah Diskusi SEJARAH SOSIAL EKONOMI Makalah Diskusi SEJARAH SOSIAL EKONOMI Oleh: Zulkarnain JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 1 SISTEM TANAM PAKSA Oleh: Zulkarnain Masa penjajahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda antara tahun 1830 hingga akhir abad ke-19 dinamakan Culturstelsel (Tanam Paksa).

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Hindia Belanda. Setelah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) 31. besar di daerah Sumatera Timur, tepatnya di Tanah Deli.

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Hindia Belanda. Setelah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) 31. besar di daerah Sumatera Timur, tepatnya di Tanah Deli. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abad 19 dalam sejarah merupakan abad terjadinya penetrasi birokrasi dan kekuasaan kolonialisme Belanda yang di barengi dengan Kapitalisme di beberapa wilayah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

SISTEM SEWA TANAH DALAM UPAYA PENGHAPUSAN FEODALISME DI JAWA ABAD XIX ( Fragmen Sosio-kultural pada Masyarakat Jawa ) Rosalina Ginting & Agus Sutono*

SISTEM SEWA TANAH DALAM UPAYA PENGHAPUSAN FEODALISME DI JAWA ABAD XIX ( Fragmen Sosio-kultural pada Masyarakat Jawa ) Rosalina Ginting & Agus Sutono* SISTEM SEWA TANAH DALAM UPAYA PENGHAPUSAN FEODALISME DI JAWA ABAD XIX ( Fragmen Sosio-kultural pada Masyarakat Jawa ) Rosalina Ginting & Agus Sutono* ABSTRAK Pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama

Lebih terperinci

Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional. Dr. Suryanti T. Arief SH.,MKn.,MBA

Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional. Dr. Suryanti T. Arief SH.,MKn.,MBA Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional Dr. Suryanti T. Arief SH.,MKn.,MBA FUNGSI UUPA 1. Menghapuskan dualisme, menciptakan unifikasi serta kodifikasi pada hukum (tanah)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 51 TAHUN 1960 TENTANG LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK ATAU KUASANYA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 51 TAHUN 1960 TENTANG LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK ATAU KUASANYA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 51 TAHUN 1960 TENTANG LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK ATAU KUASANYA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa oleh Kepala Staf

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Dokter-Djawa diadakan di Dokter-Djawa School yang berdiri

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Dokter-Djawa diadakan di Dokter-Djawa School yang berdiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan Dokter-Djawa diadakan di Dokter-Djawa School yang berdiri pada 1849 di Weltevreden, Batavia. Sekolah ini selanjutnya mengalami berbagai perubahan kurikulum.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : perlu diadakan peraturan tentang pendaftaran tanah sebagai yang dimaksud dalam

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2016 TENTANG AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2016 TENTANG AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2016 TENTANG AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.127, 2016 KEUANGAN OJK. Efek. Perantara. Agen. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5896). PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24

Lebih terperinci

No Perbedaan Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai atas Tanah Negara. perusahaan, pertanian, diperpanjang untuk. peternakan.

No Perbedaan Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai atas Tanah Negara. perusahaan, pertanian, diperpanjang untuk. peternakan. Tabel Hak-hak atas Tanah yang ada di Indonesia No Perbedaan Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai atas Tanah Negara 1. Definisi Hak turun-temurun, Hak mengusahakan Hak untuk mendirikan Hak

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No. 51 Tahun 1960 Tentang : Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No. 51 Tahun 1960 Tentang : Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No. 51 Tahun 1960 Tentang : Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa oleh Kepala Staf

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negar

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negar No.396, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. OJK. Reksa Dana. Penjual. Agen. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5653) PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

BAB 5: SEJARAH POLITIK KOLONIAL

BAB 5: SEJARAH POLITIK KOLONIAL www.bimbinganalumniui.com 1. Pada tahun 1811, seluruh wilayah kekuasaan Belanda di Indonesia telah berhasil direbut oleh... a. Alfonso d Albuqueque b. Lord Minto c. Bartholomeus Diaz d. Thomas Stamford

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI PASAR GROSIR DAN/ATAU PERTOKOAN

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI PASAR GROSIR DAN/ATAU PERTOKOAN PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI PASAR GROSIR DAN/ATAU PERTOKOAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

-1- Bbb B U P A T I B A L A N G A N PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PASAR GROSIR DAN/ATAU PERTOKOAN

-1- Bbb B U P A T I B A L A N G A N PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PASAR GROSIR DAN/ATAU PERTOKOAN -1- Bbb B U P A T I B A L A N G A N PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PASAR GROSIR DAN/ATAU PERTOKOAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN, Menimbang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN- KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PEMAKAIAN KEKAYAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PEMAKAIAN KEKAYAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PEMAKAIAN KEKAYAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39/POJK.04/2014 TENTANG AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39/POJK.04/2014 TENTANG AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39/POJK.04/2014 TENTANG AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1956 TENTANG PENGAWASAN TERHADAP PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH-TANAH PERKEBUNAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1956 TENTANG PENGAWASAN TERHADAP PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH-TANAH PERKEBUNAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1956 TENTANG PENGAWASAN TERHADAP PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH-TANAH PERKEBUNAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : 1. bahwa pada waktu-waktu menjelang

Lebih terperinci

UU No. 8/1995 : Pasar Modal

UU No. 8/1995 : Pasar Modal UU No. 8/1995 : Pasar Modal BAB1 KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1 Afiliasi adalah: hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat a. kedua, baik

Lebih terperinci

Anti-Suap dan Korupsi (ABC) Prosedur ini tidak boleh diubah tanpa persetujuan dari kantor Penasihat Umum dan Sekretaris Perusahaan Vesuvius plc.

Anti-Suap dan Korupsi (ABC) Prosedur ini tidak boleh diubah tanpa persetujuan dari kantor Penasihat Umum dan Sekretaris Perusahaan Vesuvius plc. VESUVIUS plc Kebijakan Anti-Suap dan Korupsi PERILAKU BISNIS UNTUK MENCEGAH SUAP DAN KORUPSI Kebijakan: Anti-Suap dan Korupsi (ABC) Tanggung Jawab Perusahaan Penasihat Umum Versi: 2.1 Terakhir diperbarui:

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 101 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Bab ini merupakan kesimpulan dan saran dari penulisan skripsi yang berjudul Blokade Ekonomi Napoleon Bonaparte dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Inggris

Lebih terperinci

BAB III KARAKTERISTIK DAN BENTUK HUBUNGAN PERJANJIAN KONSINYASI. A. Karakteristik Hukum Kontrak Kerjasama Konsinyasi Distro Dan

BAB III KARAKTERISTIK DAN BENTUK HUBUNGAN PERJANJIAN KONSINYASI. A. Karakteristik Hukum Kontrak Kerjasama Konsinyasi Distro Dan BAB III KARAKTERISTIK DAN BENTUK HUBUNGAN PERJANJIAN KONSINYASI A. Karakteristik Hukum Kontrak Kerjasama Konsinyasi Distro Dan Pemasok Dalam kamus istilah keuangan dan perbankan disebutkan bahwa : Consgnment

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1964 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1963 TENTANG TELEKOMUNIKASI (LEMBARAN NEGARA TAHUN 1963 NOMOR 66) MENJADI

Lebih terperinci

: FUNGSI AKTA OTENTIK DALAM PERJANJIAN JUAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: FUNGSI AKTA OTENTIK DALAM PERJANJIAN JUAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : FUNGSI AKTA OTENTIK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI ATAS TANAH Disusun oleh : Premanti NPM : 11102114 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Tujuan Penelitian ini adalah Mengkaji

Lebih terperinci

PERJUANGAN MELAWAN PENJAJAHAN

PERJUANGAN MELAWAN PENJAJAHAN PERJUANGAN MELAWAN PENJAJAHAN Saya siswa kelas 5A Siap Belajar dengan Tenang dan Tertib dan Antusias Pada abad ke-16 berlayarlah bangsa-bangsa Eropa ke wilayah Timur. Diantaranya adalah Portugis, Spanyol,

Lebih terperinci

SULTAN HAMENGKU BUWONO II: PEMBELA TRADISI DAN KEKUASAAN JAWA

SULTAN HAMENGKU BUWONO II: PEMBELA TRADISI DAN KEKUASAAN JAWA MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 12, NO. 1, JULI 2008: 27-38 SULTAN HAMENGKU BUWONO II: PEMBELA TRADISI DAN KEKUASAAN JAWA Djoko Marihandono Program Studi Prancis, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA

K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA 1 K 29 - Kerja Paksa atau Wajib Kerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas

BAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas BAB V KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dari temuan penelitian di lapangan dan didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas penguasaan tanah ulayat oleh negara sejak masa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG RETRIBUSI JASA USAHA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG RETRIBUSI JASA USAHA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG RETRIBUSI JASA USAHA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa Retribusi Jasa Usaha Daerah sebagaimana

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tamba

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tamba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1490, 2015 KEMENKOP-UKM. Modal. Penyertaan. Koperasi. Pemupukan. Petunjuk Pelaksanaan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI TENGAH

GUBERNUR SULAWESI TENGAH GUBERNUR SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI

Lebih terperinci

BAB II SYARAT DAN KETENTUAN MENDEPORTASI ORANG ASING MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

BAB II SYARAT DAN KETENTUAN MENDEPORTASI ORANG ASING MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA BAB II SYARAT DAN KETENTUAN MENDEPORTASI ORANG ASING MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Tinjauan Umum Tentang Deportasi Deportasi suatu istilah pinjaman berasal dari bahasa Inggris deportation

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

LAND REFORM INDONESIA

LAND REFORM INDONESIA LAND REFORM INDONESIA Oleh: NADYA SUCIANTI Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tanah memiliki arti dan kedudukan yang sangat penting di

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PEMANGGILAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PADA SUATU PERSEROAN TERBATAS MENURUT

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PEMANGGILAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PADA SUATU PERSEROAN TERBATAS MENURUT 53 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PEMANGGILAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PADA SUATU PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS A. Analisa Hukum Mengenai Keharusan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat : a. bahwa Negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.212, 2012 PEMBANGUNAN. EKONOMI. Warga Negara. Kesejahteraan. Koperasi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5355) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL 1 BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL 3.1. PENGERTIAN PENDAFTARAN TANAH Secara general, pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk kepentingan negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENDIRIAN PERUSAHAAN PENJAMINAN KREDIT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi, air, ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikaruniakan

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING SALINAN 1 GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 60/1994, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 55 TAHUN 1981 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 49 TAHUN 1963 TENTANG HUBUNGAN SEWA-MENYEWA PERUMAHAN PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa masalah hubungan sewa-menyewa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan

Lebih terperinci

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN TENTANG PENGELOLAAN, PENATAUSAHAAN, SERTA PENCATATAN ASET DAN KEWAJIBAN D

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN TENTANG PENGELOLAAN, PENATAUSAHAAN, SERTA PENCATATAN ASET DAN KEWAJIBAN D BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.579, 2017 LPS. Program Restrukturisasi Perbankan. Pengelolaan, Penatausahaan, serta Pencatatan Aset dan Kewajiban. (Penjelasan Dalam Tambahan Berita Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 1.

BAB I PENDAHULUAN. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pokok-pokok pikiran yang tercantum di dalam Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menekankan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

Lebih terperinci

BAB II BADAN HUKUM YAYASAN. Apa yang sebenarnya di maksud dengan yayasan? Sekarang tentang

BAB II BADAN HUKUM YAYASAN. Apa yang sebenarnya di maksud dengan yayasan? Sekarang tentang BAB II BADAN HUKUM YAYASAN 2.1 Pengertian Badan Hukum Yayasan Apa yang sebenarnya di maksud dengan yayasan? Sekarang tentang Yayasan telah diatur dengan Hukum positif kita, yaitu dengan Undang- Undang

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP) SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

STRATEGI PENDIDIKAN BELANDA PADA MASA KOLONIAL DI INDONESIA

STRATEGI PENDIDIKAN BELANDA PADA MASA KOLONIAL DI INDONESIA STRATEGI PENDIDIKAN BELANDA PADA MASA KOLONIAL DI INDONESIA Sangkot Nasution Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN SumateraUtara Abstrak: Tujuan dari sekolah yang didirikan oleh Zending adalah untuk

Lebih terperinci

KISI-KISI SOAL PENILAIAN AKHIR SEMESTER 1

KISI-KISI SOAL PENILAIAN AKHIR SEMESTER 1 KISI-KISI PENILAIAN AKHIR SEMESTER 1 Nama Sekolah : SMA Islam Al-Azhar BSD Alokasi Waktu : 90 menit Mata Pelajaran : Sejarah Indonesia Jumlah Soal : 50 Kelas / Semester : XI / Ganjil Bentuk Soal : Pilihan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa jasa konstruksi mempunyai peran strategis dalam pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENJUALAN PRODUKSI USAHA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENJUALAN PRODUKSI USAHA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENJUALAN PRODUKSI USAHA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/12.2014 TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT PENGURUS BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa perbedaan pendapat

Lebih terperinci

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal I. Angka 1 Pasal 1. Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal I. Angka 1 Pasal 1. Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN I. UMUM 1. Undang-Undang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, Menimbang : a. bahwa dengan telah ditetapkannya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PACITAN, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING Menimbang : Mengingat DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERA

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERA No.305, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Badan Usaha Milik Daerah. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6173) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.24, 2016 KEUANGAN OJK. BPR. Badan Kredit Desa. Transformasi. Status. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5847) PERATURAN OTORITAS JASA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL (Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1994 Tanggal

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK 43 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG RETRIBUSI PEMAKAIAN KEKAYAAN DAERAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG RETRIBUSI PEMAKAIAN KEKAYAAN DAERAH SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG RETRIBUSI PEMAKAIAN KEKAYAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa jasa konstruksi mempunyai peran strategis dalam pembangunan

Lebih terperinci