BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Informasi Sistem Menurut O Brien (2005, p29), sistem adalah sekelompok komponen yang saling berhubungan,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Informasi Sistem Menurut O Brien (2005, p29), sistem adalah sekelompok komponen yang saling berhubungan,"

Transkripsi

1 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Informasi Sistem Menurut O Brien (2005, p29), sistem adalah sekelompok komponen yang saling berhubungan, bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama dengan menerima input serta menghasilkan output dalam proses transformasi yang teratur. Menurut Wahyono (2004, p12), sistem adalah suatu kesatuan utuh yang terdiri dari beberapa bagian yang saling berhubungan dan berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Sitohang (2013), suatu sistem mempunyai karakteristik atau sifat-sifat tertentu, yaitu mempunyai komponen-komponen, batas sistem, lingkungan luar sistem, penghubung, masukan, keluaran, pengolahan, dan sasaran atau tujuan. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem adalah sekelompok komponen yang saling berhubungan dan berinteraksi dengan menerima input serta menghasilkan output dalam proses transformasi yang teratur untuk mencapai tujuan tertentu Informasi Menurut Ladjamudin (2005, p8), informasi sebagai data yang telah diolah menjadi bentuk yang lebih berarti dan berguna bagi penerimanya untuk mengambil keputusan masa kini maupun yang akan datang. Menurut Wahyono (2004, p3), informasi merupakan hasil dari pengolahan data menjadi bentuk yang lebih berguna bagi yang menerimanya yang menggambarkan suatu kejadian-kejadian nyata dan dapat digunakan sebagai alat bantu untuk pengambilan suatu keputusan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa informasi adalah data yang telah diolah menjadi bentuk yang lebih berarti dan berguna yang menggambarkan suatu kejadian-kejadian nyata dan untuk membantu dalam pengambilan keputusan masa kini maupun yang akan datang Sistem Informasi Menurut O Brien (2005, p5), sistem informasi dapat merupakan kombinasi teratur apapun dari orang-orang, hardware, software, jaringan komunikasi dan sumber daya data yang mengumpulkan, mengubah, dan menyebarkan informasi dalam sebuah organisasi. Orang tergantung pada sistem informasi untuk berkomunikasi antara satu sama lain dengan menggunakan berbagai jenis alat fisik (hardware), perintah dan prosedur pemrosesan informasi (software), saluran komunikasi (jaringan), dan data yang disimpan (sumber daya data) sejak permulaan peradaban. 6

2 7 Menurut Ladjamudin (2005, p13-14), sistem informasi dapat didefinisikan sebagai berikut. a. Suatu sistem yang dibuat oleh manusia yang terdiri dari komponen-komponen dalam organisasi untuk mencapai suatu tujuan yaitu menyajikan informasi. b. Sekumpulan prosedur organisasi yang pada saat dilaksanakan akan memberikan informasi bagi pengambil keputusan dan/atau untuk mengendalikan organisasi. c. Suatu sistem di dalam suatu organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi, mendukung operasi, bersifat manajerial, dan kegiatan strategi dari suatu organisasi dan menyediakan pihak luar tertentu dengan laporan-laporan yang diperlukan. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem informasi adalah kombinasi teratur dari sumber daya yang ada yaitu: orang-orang, hardware, software, jaringan komunikasi dan sumber daya data untuk mencapai suatu tujuan yaitu menyajikan informasi; memberikan informasi bagi pengambil keputusan dan/atau untuk mengendalikan organisasi; mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi, mendukung operasi, bersifat manajerial, dan kegiatan strategi dari suatu organisasi dan menyediakan pihak luar tertentu dengan laporan-laporan yang diperlukan. 2.2 Sistem Informasi Akuntansi Sistem Informasi Akuntansi Menurut Rama dan Jones (2006, p6), Sistem Informasi Akuntansi adalah suatu subsistem dari Sistem Informasi Manajemen yang menyediakan informasi akuntansi dan keuangan, juga informasi lain yang diperoleh dari pengolahan rutin atas transaksi akuntansi. Menurut Hall (2008, p8), Sistem Informasi Akuntansi adalah suatu subsistem proses transaksi keuangan dan transaksi non keuangan yang memiliki dampak langsung proses transaksi keuangan. Menurut Rahmanto (2013), sistem informasi akuntansi merupakan salah satu sistem yang sangat berperan dalam perusahaan. Dengan adanya sistem informasi akuntansi dapat memperbaiki jalannya kegiatan operasional. Sistem informasi akuntansi yaitu suatu sistem yang memberikan gambaran mengenai informasi yang ada pada perusahaan tersebut. Sistem informasi akuntansi yang dimaksud terdiri dari formulir, jurnal, buku besar, buku pembantu dan laporan. Menurut Riris (2013), sistem informasi akuntansi sangat penting bagi perusahaan, karena menggambarkan atau mendeskripsikan sistem pencatatan yang terkomputerisasi ke pencatatan yang berupa bagan alur flowchart.

3 8 Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa Sistem Informasi Akuntansi adalah suatu sistem yang menyediakan informasi tentang proses transaksi keuangan, transaksi non keuangan, juga informasi lain yang diperoleh dari pengolahan rutin atas transaksi akuntansi dengan tujuan untuk menghasilkan informasi keuangan yang berguna bagi pemakai di dalam dan di luar perusahaan Subsistem pada Sistem Informasi Akuntansi Menurut Hall (2008, p8), Sistem Informasi Akuntansi terdiri dari tiga subsistem utama, yaitu: 1. Transaction Processing System (TPS) yang mendukung operasi bisnis sehari-hari. 2. General Ledger / Financial Reporting System (GL/FRS) yang menghasilkan laporan keuangan misalnya laporan arus kas dan laporan lain yang berhubungan dengan hukum yang berlaku, misalnya pajak. 3. Management Reporting System (MRS) yang menghasilkan laporan keuangan khusus untuk manajemen internal. Contohnya laporan anggaran dan varians Penggunaan Sistem Informasi Akuntansi Menurut Rama dan Jones (2006, p7-8), ada lima macam penggunaan informasi akuntansi yaitu : 1. Membuat laporan eksternal. Perusahaan menggunakan sistem informasi akuntansi untuk menghasilkan laporan-laporan khusus untuk memenuhi kebutuhan informasi dari para investor, kreditor, dinas pajak, badan-badan pemerintah, dan yang lain. 2. Mendukung aktivitas rutin. Para manajer memerlukan satu sistem informasi akuntansi untuk menangani aktivitas operasi rutin sepanjang siklus operasi perusahaan itu. 3. Mendukung pengambilan keputusan. Informasi juga diperlukan untuk mendukung pengambilan keputusan yang tidak rutin pada semua tingkat dari suatu organisasi. 4. Perencanaan dan pengendalian. Suatu sistem informasi juga diperlukan untuk aktivitas perencanaan dan pengendalian. 5. Menerapkan pengendalian internal. Pengendalian internal (internal control) mencakup kebijakan-kebijakan, prosedur-prosedur, dan sistem informasi yang digunakan untuk melindungi aset-aset perusahaan dari kerugian atau korupsi, dan untuk memelihara keakuratan data keuangan. 2.3 Penggajian Gaji Menurut Warren (2008, p489), dalam akuntansi, istilah gaji diartikan sebagai jumlah tertentu yang dibayarkan kepada karyawan untuk jasa yang diberikan selama periode tertentu.

4 9 Menurut Winarni dan Sugiyarso (2006, p16), gaji merupakan balas jasa yang dibayarkan kepada pemimpin-pemimpin, pengawas-pengawas, pegawai tata usaha dan pegawai-pegawai kantor serta para manajer lainnya. Jumlah pembayaran gaji biasanya ditetapkan secara per bulan. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa gaji adalah balas jasa yang dibayarkan kepada karyawan untuk jasa yang diberikan dalam jumlah tertentu yang dibayarkan secara per bulan Tunjangan Menurut Malthis dan Jackson (2006, p43), kompensasi dan tunjangan yaitu sebagai berikut : kompensasi memberikan penghargaan kepada karyawan atas pelaksanaan pekerjaan melalui gaji, insentif dan tunjangan. Para pemberi kerja harus mengembangkan dan memperbaiki sistem upah dan gaji dasar. Selain itu, program insentif seperti pembagian keuntungan dan penghargaan produktivitas mulai digunakan. Kenaikan yang cepat dalam hal biaya tunjangan, terutama tunjangan kesehatan, akan terus menjadi persoalan utama Sistem Akuntansi Penggajian Informasi yang Diperlukan oleh Manajemen Menurut Mulyadi (2008, p374), informasi yang dibutuhkan oleh manajemen dari kegiatan penggajian adalah : 1. Jumlah biaya gaji yang menjadi beban perusahaan selama periode akuntansi tertentu. 2. Jumlah biaya gaji yang menjadi setiap pusat pertanggungjawaban selama periode tertentu. 3. Jumlah gaji dan upah yang diterima setiap karyawan selama periode tertentu. 4. Rincian unsur dari biaya gaji yang menjadi beban perusahaan selama periode akuntansi tertentu Dokumen yang Digunakan Menurut Mulyadi (2008, p374), dokumen yang digunakan dalam sistem akuntansi penggajian adalah : 1. Dokumen pendukung perubahan gaji Dokumen yang isinya mengenai keputusan fungsi kepegawaian misalnya adanya karyawan baru, penurunan pangkat, pemberhentian karyawan. 2. Kartu hadir Kartu atau catatan yang berisi daftar hadir dari setiap karyawan bisa berupa daftar hadir biasa atau berupa kartu yang diisi dengan mesin pencatat daftar kehadiran. 3. Daftar gaji

5 10 Berisi jumlah keseluruhan gaji dari setiap karyawan, berisi gaji pokok, tunjangantunjangan, potongan-potongan, hutang, dan lain sebagainya. 4. Rekap daftar gaji Merupakan ringkasan gaji yang dibuat berdasarkan daftar gaji yang telah dikeluarkan. 5. Surat pernyataan gaji Dokumen yang dibuat oleh fungsi pembuat gaji bersamaan dengan pembuat daftar gaji. Dokumen ini dibuat sebagai catatan bagi setiap karyawan mengenai rincian gaji karyawan Prosedur yang Membentuk Sistem Menurut Mulyadi (2008, p385), sistem penggajian terdiri dari : 1. Prosedur pencatatan waktu hadir = berfungsi untuk mencatat waktu hadir setiap karyawan, yang mempengaruhi jumlah gaji karyawan. 2. Prosedur pembuatan daftar gaji = dalam prosedur ini fungsi pembuat daftar gaji adalah membuat rincian daftar gaji yang dikeluarkan. 3. Prosedur distribusi biaya gaji = dalam prosedur ini adalah fungsi bagian yang mendistribusikan biaya gaji ke setiap karyawan diberikan perincian. 4. Prosedur pembayaran gaji = prosedur ini melibatkan fungsi akuntansi, bagian akuntansi yang akan membuat perintah dalam pengeluaran kas untuk setiap pengeluaran gaji karyawan. 2.4 Sistem Pengendalian Internal Pengendalian Internal Menurut Romney dan Steinbart (2006, p192), pengendalian internal adalah proses yang dilaksanakan oleh dewan direksi, manajemen dan direksi di bawahnya untuk memberikan keyakinan bahwa tujuan pengendalian dapat dicapai dengan : 1. Mengamankan aset, termasuk mencegah atau mendeteksi akuisisi yang tidak sah secara tepat waktu, dan menggunakan atau mendisposisikan aset material perusahaan; 2. Menjaga data-data perusahaan secara akurat, rinci dan teratur sehingga dapat mencerminkan aset perusahaan tersebut baik; 3. Menyediakan informasi yang akurat dan handal; 4. Memberikan kepercayaan bahwa laporan keuangan disusun sesuai dengan GAAP; 5. Mempromosikan dan meningkatkan efisiensi operasional, termasuk memberikan laporan bahwa penerimaan dan pengeluaran perusahaan dibuat sesuai dengan kewenangan manajemen dan direktur; 6. Mendorong kepatuhan terhadap kebijakan material yang ditentukan;

6 11 7. Mematuhi undang-undang dan peraturan yang berlaku Tujuan Sistem Pengendalian Internal Menurut Romney dan Steinbart (2006, p196), berdasarkan COSO, tujuan sistem pengendalian internal adalah sebagai berikut : 1. menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya; 2. menghasilkan operasi yang efektif dan efisien; 3. mentaati hukum dan peraturan yang ditetapkan Komponen Sistem Pengendalian Internal Menurut Romney dan Steinbart (2006, p196), berdasarkan COSO, terdapat lima komponen yang saling berhubungan dalam sistem pengendalian internal, antara lain sebagai berikut : 1. Control Environment; Inti dari semua bisnis adalah orangnya sifat masing-masing individu, termasuk integritas nilai etika, dan kemampuan serta lingkungan dimana mereka beroperasi. Mereka adalah alat yang mengendalikan organisasi dan merupakan dasar dari segala sesuatu. 2. Control Activities; Prosedur dan kebijakan pengendalian harus ditetapkan dan dijalankan untuk membantu meyakinkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pihak manajemen untuk menanggulangi risiko dan untuk mencapai tujuan terlihat efektif. 3. Risk Assessment; Perusahaan harus berhati-hati terhadap risiko yang dihadapi. Perusahaan harus membentuk suatu tujuan, yang digabungkan dengan penjualan, produksi, pemasaran, keuangan dan aktivitas lainnya sehingga perusahaan dapat beroperasi dengan baik. Perusahaan juga harus menyusun sebuah mekanisme untuk mengidentifikasi, menganalisis dan mengatur risiko-risiko yang berhubungan dengan masing-masing bagian. 4. Information and Communication; Yang mengelilingi aktivitas pengendalian adalah sistem informasi dan komunikasi. Mereka memungkinkan orang-orang dari perusahaan menerima dan saling bertukar informasi yang dibutuhkan untuk memimpin, mengatur dan mengontrol operasi yang ada.

7 12 5. Monitoring; Keseluruhan proses harus diawasi dan melakukan perubahan bila diperlukan. Dengan cara ini, sistem dapat bereaksi dengan lebih dinamis dan berubah sesuai dengan kondisi yang ada Unsur Pengendalian Internal dalam Sistem Akuntansi Penggajian Menurut Mulyadi (2008, p386), unsur pengendalian internal dalam sistem akuntansi penggajian adalah : a. Organisasi 1. Fungsi pembuat daftar gaji harus terpisah dari fungsi keuangan. 2. Fungsi pencatat waktu hadir harus terpisah dari fungsi operasi. b. Sistem otorisasi 3. Setiap orang yang namanya tercantum dalam daftar gaji harus memiliki surat keputusan sebagai karyawan yang ditandatangani oleh direktur utama. 4. Setiap perubahan gaji karyawan karena perubahan pangkat, perubahan tarif gaji dan tambahan keluarga harus didasarkan pada surat keputusan direktur utama. 5. Setiap potongan gaji yang selain dari pajak penghasilan karyawan harus didasarkan atas surat potongan gaji yang diotorisasi oleh fungsi kepegawaian. 6. Kartu waktu kehadiran harus diotorisasi oleh fungsi pencatat waktu. 7. Perintah lembur harus diotorisasi oleh kepala departemen karyawan yang bersangkutan. 8. Daftar gaji harus diotorisasi oleh fungsi personalia. 9. Bukti kas keluar untuk pembayaran gaji harus diotorisasi oleh fungsi akuntansi. c. Prosedur pencatatan 10. Perubahan dalam catatan penghasilan karyawan harus direkonsiliasi dengan daftar gaji karyawan. 11. Jumlah gaji yang dicantumkan harus diverifikasi ketelitiannya oleh fungsi akuntansi. d. Praktik yang sehat 12. Pemasukan kartu kehadiran harus diawasi oleh fungsi pencatat waktu. 13. Pembuat daftar gaji harus diverifikasi kebenaran dan ketelitiannya oleh bagian akuntansi sebelum dilakukan pembayaran.

8 Perhitungan pajak karyawan harus direkonsiliasi dengan catatan penghasilan karyawan. 15. Catatan penghasilan karyawan harus disimpan dengan rapi oleh fungsi pembuat daftar gaji Menurut Mulyadi (2008, p388), sistem otorisasi dan prosedur pencatatan dalam kegiatan penggajian meliputi : a) Setiap orang yang namanya tercantum dalam daftar gaji dan upah harus memiliki surat keputusan pengangkatan sebagai karyawan perusahaan yang ditandatangani oleh direktur utama. b) Setiap perubahan gaji dan upah karyawan karena perubahan pangkat, perubahan tarif gaji, tambahan keluarga harus didasarkan pada surat keputusan. c) Setiap potongan atas gaji dan upah karyawan selain dari pajak penghasilan karyawan harus didasarkan surat potongan gaji dan upah yang diotorisasi oleh fungsi kepegawaian. d) Kartu jam hadir harus diotorisasi oleh fungsi pencatat waktu. e) Perintah lembur harus diotorisasi oleh kepala departemen karyawan yang bersangkutan. f) Daftar gaji dan upah harus diotorisasi oleh fungsi personalia. g) Bukti kas keluar untuk pembayaran gaji dan upah harus diotorisasi oleh fungsi akuntansi. h) Perubahan dalam pencatatan penghasilan karyawan direkonsiliasi dengan daftar gaji dan upah karyawan. i) Tarif upah yang dicantumkan dalam kartu jam kerja diverifikasi ketelitiannya oleh fungsi akuntansi biaya Kecurangan dalam Kegiatan Penggajian Menurut Gelinas (2008, p520), penggajian merupakan area yang dapat berpotensi timbulnya kecurangan, perusahaan melakukan ribuan kali pembayaran gaji kepada karyawan. Jenis kecurangan yang dapat terjadi dalam kegiatan penggajian adalah sebagai berikut : 1. Ghost employees : karyawan yang tidak benar-benar bekerja pada perusahaan tetapi menerima slip gaji. Ini bisa saja merupakan karyawan fiktif. 2. Falsified hours and salary : karyawan melebih-lebihkan waktu kerja atau dapat merubah kenaikan gaji dalam data karyawan.

9 14 3. Commision schemes : perusahaan menerapkan sistem komisi kepada karyawan, dapat menimbulkan kecurangan oleh karyawan dengan melebih-lebihkan target penjualan agar mendapat komisi lebih banyak. 4. False workers compensation claims : karyawan berpura-pura mengalami sakit untuk mendapat klaim kompensasi. 2.5 Pajak Penghasilan Pengertian Pajak Penghasilan Menurut Priantara (2012, p179), PPh adalah pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat dan memberikan kontribusi signifikan kepada penerimaan Negara. Pada dasarnya mekanisme pengenaan PPh dilakukan melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak lain dan penyetoran sendiri oleh WP. Dasar hukum PPh adalah Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tanggal 23 September 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008 nomor 4893 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3985) yang merupakan perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983 tentang PPh (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1983 nomor 50 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3263) PPh Pasal 21 Berdasarkan UU RI no. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Ketentuan Pasal 21 ayat (1) sampai ayat (5), dan ayat (8) diubah, serta di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a) sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai berikut : 1) Berdasarkan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh : a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai. b. Bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. c. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun. d. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.

10 15 e. Penyelenggaraan kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan. 2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah badan perwakilan Negara asing dan organisasi-organisasi internasional. 3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. 4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. 5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah. 5a) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak. 6) Dihapus 7) Dihapus 8) Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Penerima Penghasilan yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21 Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah : 1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

11 16 2. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai bukan subjek pajak yang tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota dan Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 Adapun penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 21 memang terkait dengan hubungan kerja : pemberi kerja dan penerima kerja, termasuk pekerjaan adalah kegiatan. Oleh karena itu, jenis-jenis penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 21 adalah : 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur; a. Penghasilan pegawai tetap yang bersifat teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodic berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur ( penghasilan teratur ). b. Penghasilan pegawai tetap yang bersifat tidak teratur adalah penghasilan selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun ( penghasilan tidak teratur ). 2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya; 3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis; 4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan; a. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian.

12 17 b. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan. c. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan. d. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu. 5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan : - Imbalan kepada bukan pegawai yang bersifat berkesinambungan adalah imbalan kepada bukan pegawai yang dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. 6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 di atas termasuk penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh : 1. Bukan WP; 2. WP yang dikenakan PPh yang bersifat final; atau 3. WP yang dikenakan PPh berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit) seperti WP usaha pelayaran. Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya didasarkan pada harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian kenikmatan yang diberikan. Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal Penghasilan yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21 Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah : 1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.

13 18 2. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh WP atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh : a. Bukan WP; b. WP yang dikenakan PPh yang bersifat final; atau c. WP yang dikenakan PPh berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit). 3. Iuran pensiun yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayarkan oleh pemberi kerja; 4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amal zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; 5. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Hak dan Kewajiban Pemotongan Pajak PPh Pasal 21 Serta Penerima Penghasilan yang Dipotong Pajak 1. Pemotong PPh Pasal 21 dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke KPP sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. Pegawai, penerima pensiun berkala, serta bukan pegawai yang berhak memperoleh pengurangan berupa PTKP wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 pada saat mulai bekerja atau mulai pensiun. 3. Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga, pegawai, penerima pensiun berkala dan bukan pegawai wajib membuat surat pernyataan baru dan menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 paling lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya. 4. Pemotong PPh Pasal 21 wajib menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan kalender. 5. Pemotong PPh Pasal 21 wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan

14 19 PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 6. Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh Pasal 21 yang terutang, oleh Pemotong PPh Pasal 21, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnya melalui SPT Masa PPh Pasal Pemotong PPh Pasal 21 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap atau penerima pensiun berkala paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir. 8. Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti pemotongan PPh Pasal 21 harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan berhenti bekerja. 9. Pemotong PPh Pasal 21 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas pemotongan PPh Pasal 21 selain pegawai tetap dan penerima pensiun berkala. 10. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama 10 (sepuluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. 11. Pemotong PPh Pasal 21 wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 ke KPP tempat pemotong PPh Pasal 21 terdaftar, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir Penghasilan Tidak Kena Pajak Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak telah mengalami beberapa kali perubahan. Besarnya PTKP yang berlaku untuk tahun pajak 2013, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No PMK-162/PMK.011/2012 tanggal 22 Oktober 2012 adalah sebagai berikut : a. Rp ,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak; b. Rp ,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; c. Rp ,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami; d. Rp ,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta

15 anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga Tarif Pemotongan Pajak dan Penerapannya Jika Penerima Penghasilan Mempunyai NPWP Atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang diterima atau diperoleh : a. Pegawai tetap; b. Penerima pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan. Diterapkan tarif progesif berdasarkan UU RI no. 36 tahun 2008 Pasal 17 ayat (1) huruf a tentang Pajak Penghasilan sebagai berikut : Tabel 2.1 Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp ,00 (lima puluh 5% (lima persen) juta rupiah) Di atas Rp ,00 (lima puluh juta 15% (lima belas persen) rupiah) sampai dengan Rp ,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) Di atas Rp ,00 (dua ratus lima 25% (dua puluh lima persen) puluh juta rupiah) sampai dengan Rp ,00 (lima ratus juta rupiah) Di atas Rp ,00 (lima ratus juta 30% (tiga puluh persen) rupiah) 2.6 Analisis dan Perancangan Berorientasi Objek Pengertian Analisis Sistem Menurut Satzinger (2009, p4), analisis sistem adalah suatu proses untuk memahami dan mengerti SI secara detail untuk merekomendasikan SI bagaimana selanjutnya. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis sistem adalah suatu proses untuk mengetahui atau mengamati SI secara detail sehingga dapat memberikan perbaikan dan pengembangan untuk ke depannya sesuai dengan kebutuhan Pengertian Perancangan Sistem Menurut Satzinger (2009, p4), perancangan sistem adalah proses menentukan secara rinci bagaimana komponen-komponen dari SI harus diimplementasikan secara fisik. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa perancangan sistem adalah suatu proses untuk menentukan bagaimana komponen-komponen SI dapat diimplementasikan secara fisik sehingga dapat digunakan oleh user Object-Oriented Analysis and Design (OOAD) Menurut Satzinger (2009, p60), object oriented analysis (OOA) mendefinisikan semua jenis objek yang melakukan pekerjaan dalam sistem dan menunjukkan interaksi pengguna yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas. Sedangkan object oriented design (OOD) mendefinisikan semua jenis objek yang diperlukan untuk berkomunikasi dengan 20

16 21 orang dan perangkat dalam sistem, menunjukkan bagaimana objek berinteraksi untuk menyelesaikan tugas. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa object-oriented analysis and design adalah Object, Attributes, and Methods Menurut Satzinger (2009, p61), object dalam sistem komputer adalah seperti sebuah objek di dunia nyata, mereka memiliki attribute dan behavior. Attribute adalah karakteristik object yang mempunyai nilai seperti ukuran, bentuk, warna, lokasi, dan keterangan mengenai tombol (button) atau label sebagai contohnya. Methods adalah perilaku (behavior) atau operasi yang menggambarkan apa yang object mampu lakukan Classes and Instances Menurut Satzinger (2009, p63), class adalah tipe atau klasifikasi yang sama dengan objectnya, sedangkan instance adalah sinonim untuk object Object Interations and Messages Object berinteraksi dengan mengirimkan messages, tetapi mereka juga menjaga hubungan asosiasi antara mereka sendiri. Menurut Satzinger (2009, p66), hubungan asosiasi (association relationship) adalah hubungan alami antara objek, seperti pelanggan dikaitkan dengan pesanannya. Beberapa hubungan asosiasi adalah one-to-one, seperti ketika satu pesanan berasosiasi dengan satu pelanggan, dan beberapa asosiasi adalah oneto-many seperti ketika satu pelanggan banyak melakukan pesanan. Hal ini disebut dengan multiplicity yang menurut Satzinger (2009, p66) adalah jumlah asosiasi dalam object Encapsulation and Information Hiding Menurut Satzinger (2009, p66), encapsulation adalah menggabungkan attribute dan methods ke dalam satu unit dan menyembunyikannya ke dalam struktur internal object. Menurut Satzinger (2009, p66), information hiding adalah karakteristik dari pengembangan object-oriented dimana data yang terkait dengan object tidak terlihat oleh dunia luar Inheritance and Polymorphism Menurut Satzinger (2009, p66), inheritance adalah sebuah konsep dimana satu class dari object berbagi beberapa karakteristik dari class yang lain. Menurut Satzinger (2009, p67), polymorphism adalah karakteristik object yang memungkinkan mereka untuk merespon secara berbeda kepada pesan (message) yang sama Unified Model Language (UML) Menurut Satzinger (2009, p48), UML adalah serangkaian standar konstruksi model dan notasi yang dikembangkan secara khusus untuk pengembangan object-oriented.

17 22 Notasi standar yang digunakan dalam OOAD adalah UML (Unified Modelling Language). UML hanya berfungsi sebagai notasi dan bukan sebagai metode dalam melakukan modeling Jenis-Jenis Perancangan Sistem Model dari komponen sistem yang menggunakan UML, meliputi : a) Activity Diagram Menurut Satzinger (2009, p141), activity diagram adalah tipe dari workflow diagram yang menggambarkan aktivitas dari user dan flownya secara berurutan. Notasi dari activity diagram dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Notasi Activity Diagram Sumber : Satzinger (2009, p142) b) Domain Model Class Diagram Menurut Satzinger (2009, p187), domain model class diagram adalah sebuah UML class diagram yang menggambarkan cara kerja problem domain classes, associations, dan attributes. Notasi dari domain model class diagram dapat dilihat pada Indeks 1. Keterangan tambahan mengenai isi dari domain class diagram : 1. Attribute : karakteristik dari sebuah objek yang memiliki nilai seperti ukuran, bentuk, warna, lokasi dan lain sebagainya. 2. Class : tipe atau klasifikasi dari objek yang sama. 3. Methods : behaviours atau operasi sebagai gambaran apa yang dapat dilakukan oleh sebuah objek. 4. Message : komunikasi dari objek yang saling berhubungan.

18 23 c) Use Case Diagram Menurut Satzinger (2009, p ), use case merupakan kegiatan yang sistem lakukan, biasanya dalam menanggapi permintaan oleh user. Use case diagram juga dikatakan sebagai diagram yang menunjukkan urutan pesan antara actor external dan sistem selama use case berlangsung. Ada beberapa notasi dalam use case diagram yang ada pada Indeks 2. d) Use Case Description Menurut Satzinger (2009, p220), use case description adalah daftar yang berisi rincian pengolahan untuk kasus penggunaan. Menurut tingkat rincian dari deskripsinya, use case description dibedakan menjadi brief description, intermediate description, dan fully developed description. Menurut Satzinger (2009, p214), statechart diagram adalah a diagram showing the life of an object in states and transitions. Menurut Satzinger (2009, p237), pseudostate adalah titik awal dari statechart yang ditujukan dengan titik hitam. Menurut Satzinger (2009, p238), state adalah kondisi selama sebuah hidup objek memenuhi beberapa criteria, melakukan aksi atau menunggu sebuah kejadian. Menurut Satzinger (2009, p238), transition adalah perpindahan sebuah objek dari satu state ke state lainnya. Menurut Satzinger (2009, p238), origin state adalah original state dari sebuah objek yang mana sebuah transisi terjadi. Menurut Satzinger (2009, p238), message event adalah pemicu untuk sebuah transisi yang mengakibatkan sebuah objek meninggalkan original state-nya. e) System Sequence Diagram Menurut Satzinger (2009, p242), system sequence diagram adalah diagram yang digunakan untuk menggambarkan aliran informasi dalam sistem. Notasi system sequence diagram dapat dilihat pada Indeks 3. f) Data Access Layer Menurut Satzinger (2009, p ), prinsip pemisahan tanggung jawab juga diterapkan pada data access layer. Walaupun begitu, dalam sistem yang lebih besar dan kompleks, masuk akal untuk menciptakan kelas-kelas yang mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan perintah database SQL, mendapatkan hasil dari query dan menyediakan informasi itu ke domain layer. Karena perangkat keras dan jaringan sudah lebih modern, multilayer design menjadi lebih penting untuk

19 24 mendukung jaringan yang multitier dimana database server ada di satu mesin, logika bisnis ada di mesin lainnya dan user interface ada di beberapa mesin desktop clients. Cara baru dalam mendesain sistem tidak hanya membuat lebih banyak sistem yang kaku tetapi juga sistem yang fleksibel. Saat objek baru instantiated, objek tersebut harus ke database untuk mengambil kembali datanya. Kelas data access membaca database dengan perintah SQL dan menempatkan informasi atribut yang cocok dari dalam objek awal dengan menggunakan parameter referensi yang sudah ada. Notasi dalam data access sequence dapat dilihat pada Indeks 4. g) User Interface Menurut Satzinger (2009, p532), user interface adalah sistem itu sendiri dan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan end user saat sedang menggunakan sistem seperti fisik, perseptual, dan konseptual. Menurut Shneiderman (2010, p88 89), ada delapan aturan yang dapat digunakan sebagai petunjuk dasar yang baik untuk merancang suatu user interface. Delapan aturan ini disebut dengan Eight Golden Rules of Interface Design, yaitu : 1. Berusaha konsisten. Konsistensi dilakukan pada urutan tindakan, perintah, dan istilah yang digunakan pada prompt, menu, serta layar bantuan. 2. Memungkinkan pengguna untuk menggunakan shortcut. Ada kebutuhan dari pengguna yang sudah ahli untuk meningkatkan kecepatan interaksi, sehingga diperlukan singkatan, tombol fungsi, perintah tersembunyi, dan fasilitas makro. 3. Memberikan umpan balik informative. Untuk setiap tindakan operator, sebaiknya disertakan suatu sistem umpan balik. Misalnya muncul suatu suara ketika salah menekan tombol pada waktu input data atau muncul pesan kesalahannya. 4. Merancang dialog untuk menghasilkan suatu penutupan. Umpan balik yang informatif akan memberikan indikasi penutupan bahwa cara yang dilakukan sudah benar dan dapat mempersiapkan kelompok tindakan berikutnya. 5. Memberikan penanganan kesalahan yang sederhana. Sedapat mungkin sistem dirancang sehingga pengguna tidak dapat melakukan kesalahan fatal. Jika kesalahan terjadi, sistem dapat mendeteksi

20 25 kesalahan dengan cepat dan memberikan mekanisme yang sederhana dan mudah dipahami untuk penanganan kesalahan. 6. Mudah kembali ke tindakan sebelumnya. Hal ini dapat mengurangi kekuatiran pengguna karena pengguna mengetahui kesalahan yang dilakukan dapat dibatalkan sehingga pengguna tidak takut untuk mengeksplorasi pilihan-pilihan lain yang belum biasa digunakan. 7. Mendukung tempat pengendali internal. Pengguna ingin menjadi pengontrol sistem dan sistem akan merespon tindakan yang dilakukan pengguna daripada pengguna merasa bahwa sistem mengontrol pengguna. 8. Mengurangi beban ingatan jangka pendek. Keterbatasan ingatan manusia membutuhkan tampilan yang sederhana atau banyak tampilan halaman yang sebaiknya disatukan serta diberikan cukup waktu pelatihan untuk kode dan urutan tindakan Rich Picture Menurut Mathiassen (2000, p25), rich picture merupakan sebuah gambaran informal yang digunakan oleh pengembang sistem untuk menyatakan pemahaman mereka terhadap situasi dari sistem yang sedang berlangsung. Rich picture juga dapat digunakan sebagai alat yang berguna untuk memfasilitasi komunikasi yang baik antara pengguna dalam sistem. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa rich picture adalah sebuah gambaran yang menyatakan pemahaman pengembang sistem dari sistem yang sedang berlangsung yang berguna sebagai komunikasi antara pengguna dalam sistem.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Perpajakan. Menurut Prof. Dr. H. Rachmat Soemitro, S.H yang dikutip dalam buku karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat

Lebih terperinci

Bab 2 LANDASAN TEORI

Bab 2 LANDASAN TEORI Bab 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Sistem Menurut O Brien, James A. dan George M. Marakas (2010: 26) sistem merupakan suatu kesatuan yang terdiri lebih dari satu elemen atau komponen yang saling terhubung

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara. langsung, untuk memeliahara negara secara umum.

BAB II LANDASAN TEORI. serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara. langsung, untuk memeliahara negara secara umum. BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pajak Menurut S.I. Djajadiningrat (dalam Siti Resmi, 2011:1), pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan,

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR. kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri (Waluyo,

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR. kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri (Waluyo, 6 BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR 2.1 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 2.1.1 Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan pajak penghasilan yang dikenakan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 I. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib

Lebih terperinci

PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA

PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA Contributed by Administrator Friday, 07 August 2015 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR

Lebih terperinci

PEMOTONGAN PPh PASAL 21

PEMOTONGAN PPh PASAL 21 PEMOTONGAN PPh PASAL 21 1 Dasar Hukum 1. Pasal 21, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1

LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 SUSUNAN SATU NASKAH PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 57/PJ/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JEDNERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS

Lebih terperinci

SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir)

SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir) SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir) 1. PT ABC mempekerjakan Tuan A (Status K3, tanpa NPWP) seorang tukang bangunan, untuk mengganti lantai keramik

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak Pajak menurut Soemitro (Resmi, 2016:1) merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN. II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan

BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN. II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN II.1. Rerangka Teori dan Literatur II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) menurut Liberti Pandiangan (2010:v) adalah salah

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PETUNJUK UMUM

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PETUNJUK UMUM DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PETUNJUK UMUM Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Sistem Menurut O Brien, James A. dan George M. Marakas (2010: 26) sistem merupakan suatu kesatuan yang terdiri lebih dari satu elemen atau komponen yang saling terhubung

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/2012

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/2012 Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2013 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/2012 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. beberapa ahli, definisi sistem adalah sebagai berikut.

BAB II LANDASAN TEORI. beberapa ahli, definisi sistem adalah sebagai berikut. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Sistem memiliki beberapa definisi yang berbeda-beda menurut pendapat beberapa ahli, definisi sistem adalah sebagai berikut. 1. Menurut Romney dan Steinbart (2003: 2), sistem

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Copyright 2002 BPHN UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 *8679 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Lebih terperinci

MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM

MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM Disusun oleh : 1. Nanda Rosyid F0311082 2. Nur Aini Kusumaningrum F0311087 3. Nur Chayati

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Informasi Akuntansi 2.1.1 Pengertian Sistem Informasi Akuntansi Menurut Jones dan Rama (2006:6), sistem informasi akuntansi merupakan subsistem dari sebuah sistem informasi

Lebih terperinci

Fransisca Hanita Rusgowanto S,Kom. M,Ak

Fransisca Hanita Rusgowanto S,Kom. M,Ak Modul ke: Perpajakan I PPh 21 Fransisca Hanita Rusgowanto S,Kom. M,Ak Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi S1. Akuntansi Pemotong PPh Pasal 21/26 pemberi kerja yang terdiri dari: a.orang pribadi dan

Lebih terperinci

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO Oleh: I s r o a h, M.Si. isroah@uny.ac.id PRODI/JURUSAN PENDIDIKAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 PAJAK PENGHASILAN UMUM

Lebih terperinci

SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26

SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-32/PJ/2009 Tanggal : 25 Mei 2009 Departemen Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak Masa Pajak SPT Masa Pajak Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Formulir

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlihat bahwa salah satu sumber penerimaan negara adalah bersumber dari sektor

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Pengertian Sistem, Informasi, dan Data

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Pengertian Sistem, Informasi, dan Data 4 BAB II LANDASAN TEORI A. Sistem Informasi Akuntansi 1. Pengertian Sistem, Informasi, dan Data Akuntan, dan pakar ekonomi telah mengembangkan konsep dan istilah sistem, informasi dan data menurut pendapat

Lebih terperinci

Makalah Tentang Pajak Penghasilan Karyawan Pasal 21 / PPh21

Makalah Tentang Pajak Penghasilan Karyawan Pasal 21 / PPh21 Makalah Tentang Pajak Penghasilan Karyawan Pasal 21 / PPh21 I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya setipa masyarakat yang hidup di suatu negara memiliki potensi untuk menjadi wajib pajak.

Lebih terperinci

Peraturan pelaksanaan Pasal 21 ayat (5) Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah

Peraturan pelaksanaan Pasal 21 ayat (5) Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Peraturan pelaksanaan Pasal 21 ayat (5) Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor, tanggal 80 Tahun 2010 20 Desember 2010 Mulai berlaku : 1 Januari

Lebih terperinci

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diatur dalam Undang - Undang No.28 tahun 2007 yaitu perubahan ketiga atas Undang-Undang No.16 tahun 2000 A.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Definisi PPh Pasal 21 Menurut PER-31/PJ/2012 Pasal 1 ayat 2 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat atas penghasilan berupa gaji,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tujuan tertentu melalui tiga tahapan, yaitu input, proses, dan output. yang berfungsi dengan tujuan yang sama.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tujuan tertentu melalui tiga tahapan, yaitu input, proses, dan output. yang berfungsi dengan tujuan yang sama. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Sistem Nugroho Widjajanto (2001:2) mengartikan sistem sebagai sesuatu yang memiliki bagian-bagian yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORI DAN PRAKTIK PEMOTONGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA ANGGOTA KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

BAB III TINJAUAN TEORI DAN PRAKTIK PEMOTONGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA ANGGOTA KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH BAB III TINJAUAN TEORI DAN PRAKTIK PEMOTONGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA ANGGOTA KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 3.1 Pajak 3.1.1 Pengertian Pajak Definisi Pajak menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pertemuan 1 PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pertemuan 1 6 P1.1 Teori Pajak Penghasilan Umum Dan Norma Perhitungan Pajak Penghasilan A. UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Sistem Informasi Akuntansi (SIA) Pengertian Sistem Informasi Akuntansi

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Sistem Informasi Akuntansi (SIA) Pengertian Sistem Informasi Akuntansi BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Informasi Akuntansi (SIA) 2.1.1 Pengertian Sistem Informasi Akuntansi Sistem Informasi bertanggung jawab atas aktivitas pengumpulan, penyimpanan, dan pengolahan data keuangan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-545/PJ/2000 TENTANG PETUNJUK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber penerimaan negara berasal dari dana publik yang harus dikelola

BAB I PENDAHULUAN. Sumber penerimaan negara berasal dari dana publik yang harus dikelola BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sumber penerimaan negara berasal dari dana publik yang harus dikelola secara bertanggung jawab. Pengelolaan keuangan publik pemerintah pusat dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI Konsep Sistem Informasi dan Akuntansi

BAB 2 LANDASAN TEORI Konsep Sistem Informasi dan Akuntansi BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Umum 2.1.1 Konsep Sistem Informasi dan Akuntansi 2.1.1.1 Pengertian Sistem Informasi Menurut Satzinger, Jackson, dan Burd (2005, p.7), Sistem Informasi adalah kumpulan komponen

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Informasi 2.1.1 Pengertian Sistem Menurut Hall (2013 : 783), System: Group of two or more interrelated components or subsystem that serve a common purpose yang dapat diartikan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 Tanggal 9 Nopember 1994 DENGAN

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. bersatu untuk mencapai tujuan yang sama.

BAB 2 LANDASAN TEORI. bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. bersatu untuk mencapai tujuan yang sama. BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Umum 2.1.1 Pengertian Sistem Menurut Mulyadi (2001, p2) Sistem pada dasarnya adalah sekelompok unsur yang berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya, yang berfungsi

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. serta informasi lainnya yang diperoleh dalam proses rutin transaksi akuntansi. kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

BAB 2 LANDASAN TEORI. serta informasi lainnya yang diperoleh dalam proses rutin transaksi akuntansi. kepada pihak-pihak yang berkepentingan. BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Informasi Akuntansi 2.1 Sistem Informasi Akuntansi Menurut Rama dan Jones (2006, p13), SIA merupakan subsistem dari sistem informasi manajemen yang menyediakan informasi

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Sistem Informasi Akuntansi Untuk memenuhi kebutuhan informasi untuk pihak ektern maupun pihak intern perusahaan, disusun suatu sistem informasi akuntansi. Sistem ini dirancang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Sistem Informasi 1. Pengertian Sistem Mulyadi (2008 : 2) berpendapat bahwa sistem adalah sekelompok unsur atau komponen yang saling berhubungan satu dengan yang

Lebih terperinci

AGENDA. PPh Pasal 26

AGENDA. PPh Pasal 26 1 AGENDA 1. PPh Pasal 21 2. PPh Pasal 26 2 Landasan Hukum: UU No 36 Th 2008, Psl 21 UU PPh Peraturan Dirjen Pajak No. PER-31/ PJ/ 2012 3 DEFINISI Pajak yang dikenakan terhadap WP Orang Pribadi Dalam Negeri

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori-teori yang menjadi dasar penulisan adalah sebagai berikut :

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori-teori yang menjadi dasar penulisan adalah sebagai berikut : BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori-teori Dasar/Umum Teori-teori yang menjadi dasar penulisan adalah sebagai berikut : 2.1.1 Sistem Pengertian sistem menurut Williams dan Sawyer (2005, p457) adalah sekumpulan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak memiliki dimensi atau pengertian yang berbeda-beda menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3) menyatakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG Menimbang : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak, diantaranya pengertian pajak menurut Santoso (1991)

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak, diantaranya pengertian pajak menurut Santoso (1991) BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Apabila membahas pengertian pajak, banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak menurut Santoso (1991) Pajak merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26

SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 SPT Masa Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Formulir ini digunakan untuk melaporkan kewajiban Pemotongan Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 SPT rmal SPT Pembetulan Ke- - Tahun Kalender Formulir

Lebih terperinci

APLIKASI BERBASIS WEB UNTUK PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (PPh 21) DENGAN SISTEM MEMBER

APLIKASI BERBASIS WEB UNTUK PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (PPh 21) DENGAN SISTEM MEMBER APLIKASI BERBASIS WEB UNTUK PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (PPh 21) DENGAN SISTEM MEMBER Risa Rahman Atmojo, Ami Fauzijah Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri,Universitas Islam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-32/PJ/2009 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-32/PJ/2009 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-32/PJ/2009 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II URAIAN TEORITIS BAB II URAIAN TEORITIS A. Perpajakan 1. Pengertian pajak Menurut Rochmat Soemitro seperti dikutip oleh Waluyo ( 2007 : 3 ) mengemukakan bahwa : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang

Lebih terperinci

badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya zaman, persaingan dalam dunia bisnis semakin ketat. Adanya persaingan ini menuntut perusahaan untuk melakukan berbagai upaya agar bertahan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Pemotongan PPH Pasal 21. Tata Cara Pemotongan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Pemotongan PPH Pasal 21. Tata Cara Pemotongan. No.691, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Pemotongan PPH Pasal 21. Tata Cara Pemotongan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori-teori Umum 2.1.1 Pengertian Sistem Informasi Menurut (Connolly & Begg, 2005: 312), Sistem informasi adalah sumber daya yang memungkinkan pengumpulan, manajemen, kontrol,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Sistem Informasi Akuntansi Menurut McLeod (2001,p.4), sistem Informasi Akuntansi bertugas untuk mengumpulkan data yang menjelaskan kegiatan perusahaan, mengubah data

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 10-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 50, 1983 FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

PAJAK PENGHASILAN (PPh) PAJAK PENGHASILAN (PPh) Pengaturan PPh UU No. 7/1983 UU No. 7/1991 UU No. 10/1994 UU No. 17/2000 UU No. 36/2008 tentang PPh Subjek Pajak Orang pribadi atau badan yang memenuhi syarat subjektif (berdomisili

Lebih terperinci

BAB III SISTEM PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) PADA KANTOR DPRD PROVINSI JAWA TENGAH

BAB III SISTEM PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) PADA KANTOR DPRD PROVINSI JAWA TENGAH BAB III SISTEM PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) PADA KANTOR DPRD PROVINSI JAWA TENGAH 3.1 Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) 3.1.1 Dasar

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI,

Lebih terperinci

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2 I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN Dengan diundangkannya

Lebih terperinci

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21. JUMLAH PENERIMA PENGHASILAN (Orang)

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21. JUMLAH PENERIMA PENGHASILAN (Orang) LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 39/PJ/2008 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUNAN 2008 BESERTA PETUNJUK PENGISIANYA FORMULIR 1721 DEPARTEMEN KEUANGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai dasar acuan pelaksanaan program-program penanggulangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai dasar acuan pelaksanaan program-program penanggulangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian PNPM PNPM adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Sistem dan Karakteristiknya. Systema yang berarti penempatan atau mengatur.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Sistem dan Karakteristiknya. Systema yang berarti penempatan atau mengatur. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Pengertian Sistem dan Karakteristiknya a. Pengertian Sistem Dalam kehidupan sehari-hari orang sering menyamakan makna istilah sistem dengan cara. Istilah

Lebih terperinci

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan Yang termasuk subjek pajak Orang pribadi Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan

Lebih terperinci

PETUNJUK UMUM DAN CONTOH PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

PETUNJUK UMUM DAN CONTOH PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26 LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER-16/PJ/2016 TENTANG : PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Rochmat Soemitro, dalam buku Mardiasmo, (2011:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

Lebih terperinci

ANALISIS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 UNTUK PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA KANTOR DIREKTORAT JENDERAL KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL

ANALISIS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 UNTUK PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA KANTOR DIREKTORAT JENDERAL KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL ANALISIS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 UNTUK PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA KANTOR DIREKTORAT JENDERAL KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL Nama/NPM Pembimbing : Kanip/24213760 : Widada, SE., MM.

Lebih terperinci

Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Terhadap Dosen Tetap Pada Universitas Krisnadwipayana. Meitri Megawati DA03

Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Terhadap Dosen Tetap Pada Universitas Krisnadwipayana. Meitri Megawati DA03 Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Terhadap Dosen Tetap Pada Universitas Krisnadwipayana Meitri Megawati 41209141 3DA03 PENDAHULUAN Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan)

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1993 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Anastasia Diana dan Lilis Setiawati Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Anastasia Diana dan Lilis Setiawati Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta. DAFTAR PUSTAKA Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. 2011. Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta. Direktorat Jenderal Pajak. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 57/PJ/2009 tentang Pedoman

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Sistem Akuntansi Sistem sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan. Sistem biasa dikatakan sebagai jantung perusahaan, karena dengan adanya sistem dalam perusahaan

Lebih terperinci

PAJAK PAJAK DEPARTEMEN IKK - IPB

PAJAK PAJAK DEPARTEMEN IKK - IPB PAJAK PAJAK . PAJAK yang dibayarkan digunakan untuk kegiatan Penyelenggaraan Negara, dan Membiayai pembangunan seperti pembangunan gedung-gedung sekolah, Sarana Kesehatan (rumah sakit), sarana umum, pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PPH 21 Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

PPH 21 Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com PPH 21 Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com 1 PPh PASAL 21 Pemotongan pajak atas penghasilan yg diterima/diperoleh WP Orang Pribadi Dalam Negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Sistem Informasi Akuntansi Untuk memenuhi kebutuhan informasi untuk pihak ekstern maupun pihak intern perusahaan, disusun suatu sistem informasi akuntansi. Sistem ini dirancang

Lebih terperinci

BAB 3 SISTEM YANG SEDANG BERJALAN

BAB 3 SISTEM YANG SEDANG BERJALAN 38 BAB 3 SISTEM YANG SEDANG BERJALAN 3.1 Gambaran Umum Perusahaan 3.1.1 Sejarah Perusahaan PT. Yoyo Toys Nusa Plasindo merupakan sebuah perusahaan distributor yang bergerak dibidang pembelian, persediaan

Lebih terperinci

BAGIAN PERTAMA : PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

BAGIAN PERTAMA : PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26 Lampiran PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2009 TENTANG : PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26

Lebih terperinci

Dosen: Adhi Prakosa, M. Sc

Dosen: Adhi Prakosa, M. Sc Dosen: Adhi Prakosa, M. Sc PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau

Lebih terperinci

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA OLEH: Yulazri M.Ak. CPA Pajak Penghasilan (PPh) Dasar Hukum : No. Tahun Undang-Undang 7 1983 Perubahan 7 1991 10 1994 17 2000 36 2008 SUBJEK PAJAK DAN WAJIB PAJAK PENGHASILAN 1. a. Orang Pribadi b. Warisan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang,

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 1 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 Pajak Penghasilan Pasal 21 Adalah pajak penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi, yaitu pajak atas penghasilan

Lebih terperinci