ORDONANSI PERKAWINAN ORANG-ORANG INDONESIA- KRISTEN DI JAWA, MINAHASA DAN AMBON (Huwelijksordonnantie Christen-Indonesiers Java, Minahasa en Amboina)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ORDONANSI PERKAWINAN ORANG-ORANG INDONESIA- KRISTEN DI JAWA, MINAHASA DAN AMBON (Huwelijksordonnantie Christen-Indonesiers Java, Minahasa en Amboina)"

Transkripsi

1 ORDONANSI PERKAWINAN ORANG-ORANG INDONESIA- KRISTEN DI JAWA, MINAHASA DAN AMBON (Huwelijksordonnantie Christen-Indonesiers Java, Minahasa en Amboina) Ketentuan-ketentuan mengenai hukum perkawinan orang-orang Indonesia-Kristen di Jawa dan Madura, di bagian residensi Manado yang dikenal dengan nama Minahasa dan di onderafdeling-onderafdeling Ambon, Saparua dan Banda, tanpa pulau-pulau Teun,Nila dan Serua di afdeling Ambon di Karesidenan Maluku. (Ord. 15 Febr. 1933) S jo. S Berdasarkan S mulai berlaku 1 Jan untuk semua daerah tersebut dalam judul di atas. TITEL I. Perkawinan. Pas. 1. Undang-undang memandang perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan keperdataannya. (KUHPerd. 26.) Sub 1. Persyaratan-persyaratan Materiel Untuk Melakukan Perkawinan. Pasal 2. Pada waktu yang sama seorang lelaki hanya dapat terikat dalam perkawinan dengan satu orang perempuan saja, dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja. (KUHPerd. 27.) Pasal 3. Sebagai asas perkawinan dipersyaratkan adanya persetujuan sukarela antara calon suami-istri. (KUHPerd. 28.) Pasal 4. (1) (s.d.u. dg. S ) Seorang anak lelaki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan seorang anak perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak boleh melakukan perkawinan. (2) Bila umur para calon suami-istri tidak diketahui, mereka tidak boleh melakukan perkawinan, kecuali bila didapat cukup kepastian, bahwa mereka telah mencapai umur yang disebut dalam ayat (1) pasal ini, dan sekali-kali tidak boleh bila ternyata mereka belum cukup matang untuk kawin. (3) (s.d.u. dg. S ; S ) Residen di daerah-daerah gubernemen di Jawa dan Madura dan kepala Pemerintahan Daerah di luar Jawa dan Madura bila ada alasan-alasan panting, dapat meniadakan larangan ini dengan memberikan dispensasi. (KUHPerd. 29.) Pasal 5. (1) Perkawinan dilarang antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dalam garis lurus ke atas dan garis ke bawah, baik karena kelahiran sah maupun tidak sah, karena hubungan perkawinan atau adopsi; dan dalam garis ke samping antara saudara lelaki dan saudara perempuan, baik karena kelahiran sah maupun tidak sah, atau karena adopsi. (KUHPerd. 30.) (2) (s.d.t. dg. S ; S ) Residen di daerah-daerah gubernemen di Jawa dan Madura dan Kepala Pemerintahan Daerah di luar Jawa dan Madura dapat meniadakan larangan ini, sejauh yang mengenai hubungan keluarga karena adopsi, dengan memberikan dispensasi.. Pasal 6. (1) Juga dilarang perkawinan antara paman atau uwa laki-laki dengan kemenakan perempuan atau cucu-kemenakan perempuan, bibi atau uwa perempuan dengan kemenakan laki-laki atau cucu-kemenakan laki-laki, sah atau tidak sah.

2 (2) Kepala Pemerintahan Daerah, bila ada alasan-alasan yang panting dapat meniadakan larangan ini dengan memberikan dispensasi. (KUHPerd. 31.) Pasal 7. Di Minahasa perkawinan dilarang antara ibu mengaku atau bapak mengaku dengan anak diaku. Ayat (2) pasal yang lalu juga berlaku, bila diperlihatkan suatu keterangan yang membuktikan bahwa empat orang dari kerabat terdekat dari kedua belah pihak mengizinkan perkawinan itu. Pasal 8. Seorang perempuan, setelah putusnya perkawinan yang terdahulu, tidak dapat melakukan perkawinan baru sebelum lampau 300 hari, kecuali bila ternyata bahwa dia tidak hamil, dan dalam hal itu dia dapat melakukan perkawinan setelah lampau 100 hari. (KUHPerd. 34.) Pasal 9. (1) Untuk melangsungkan perkawinan, anak-anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan, memerlukan izin orang tua mereka. (2) Bila salah seorang dari orang tua mereka telah meninggal, atau berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang lain. (KUHPerd. 35; HCI. 11 dst., 13.) Pasal 10. Bila kedua orang tua telah meninggal dunia atau berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk menyatakan kehendak mereka, orang yang belum dewasa memerlukan izin dari walinya atau pemeliharanya dan kakekneneknya, bila mereka masih hidup dan tidak dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk menyatakan kehendak mereka. (KUHPerd. 38; HCI. 13.) Pasal 11. Bila antara orang-orang yang tersebut dalam pasal 9 dan 10, yang izinnya diperlukan untuk melakukan perkawinan, timbul perselisihan pendapat, atau seorang atau lebih dari antara mereka tidak memberikan pendapatnya, pengadilan negeri di daerah hukum tempat tinggal orang yang belum dewasa itu dapat memberikan izin untuk melakukan perkawinan, atas permohonan orang itu, setelah mendengar atau mengadakan pemanggilan secukupnya kepada pemohon, para orang tuanya, kakekneneknya, walinya atau pemeliharannya, beserta para keluarga sedarah dan keluarga semenda orang yang belum dewasa itu. (HCI. 13 dst.) Pasal 12. (1) Bila orang yang belum dewasa itu yang hendak melakukan perkawinan, diadopsi, ia memerlukan di samping persetujuan dari para orang tuanya juga dari para orang tua yang mengadopsi. Bila timbul perselisihan pendapat antara orang-orang yang baru saja disebut, yang persetujuannya dipersyaratkan, pasal 11 berlaku juga. (HCI. 13.) (2) Bila kedua orang tua anak yang diadopsi yang belum dewasa telah meninggal atau berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk menyatakan kehendak mereka, ia hanya memerlukan persetujuan para orang tua yang mengadopsinya. (3) Bila juga para orang tua yang mengadopsi telah meninggal atau berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk menyatakan kehendak mereka, ataupun ada perselisihan pendapat, maka berlakulah ketentuan dalam pasalpasal 10 dan 11. (4) Dengan adopsi dalam arti peraturan ini tidak dimaksudkan mengaku anak di Minahasa, sejauh dalam hal ini tidak terjadi peralihan dalam lingkungan kerabat lain. Pasal 13. (1) (s.d.u. dg. S ) Yang dimaksud dengan orang yang belum dewasa, bila umurnya dapat diketahui, untuk penerapan ordonansi ini di Jawa dan Madura,

3 ialah orang yang tidak kawin yang belum mencapai umur delapan- belas tahun, dan di luar daerab itu, orang yang tidak kawin yang belum mencapai umur dua puluh tahun. (2) Bila tidak ada kepastian, setiap orang yang berkepentingan dapat memohon kepada pengadilan negeri di daerah hukum terletak tempat tinggal orang yang hendak melakukan perkawinan, untuk memutuskan apakah orang itu dewasa,ataukah belum dewasa. Pasal 14. Pemanggilan dan pendengaran kakek-nenek, wali, pemelihara atau keluarga sedarah dan semenda, di Jawa dan Madura yang bertempat tinggal di luar kabupaten dan di tuar Jawa dan Madura yang bertempat tinggal di luar onderafdeling tempat kedudukan pengadilan negeri itu, dilakukan, bila pengadilan itu menganggap perlu untuk menanyakan pendapat mereka, dengan mendelegasikan seorang pegawai pamong praja yang bertempat tinggal berdekatan, yang akan menyampaikan berita acara yang harus dibuatnya mengenai hal itu kepada pengadilan negeri. Pasal 15. (1) Keluarga sedarah dan semenda sedapat mungkin akan selalu dipanggil dalam jumlah empat dan dari yang terdekat sedapat mungkin dipilih dari kedua garis. (KUHPerd. 333.) (2) Keluarga sedarah atau semenda tidak akan dipanggil selain yang sudah dewasa dan bertempat tinggal atau berdiam di Indonesia. (HCI. 13.) Pasal 16. (1) Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan, selama mereka masih belum dewasa, tidak dapat melakukan perkawinan tanpa persetujuan orang tuanya, selama keduanya diketahui masih hidup dan tidak berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk menyatakan kehendak mereka. Anak-anak yang diadopsi di samping itu masih memerlukan persetujuan orang tua yang mengadopsi mereka. (HCI. 12.) (2) Bila ada perselisihan pendapat antara orang-orang tersebut di atas yang persetujuan mereka dipersyaratkan untuk melakukan perkawinan, atau seorang atau lebih dari mereka tidak memberikan pernyataan, pengadilan negeri dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang belum dewasa itu, atas permohonan orang itu, setelah mendengar atau setelah secukupnya memanggil para orang tua atau orang tua yang mengadopsinya, berwenang untuk memberikan izin untuk melakukan perkawinan itu. (3) Bila baik ayah maupun ibunya tidak diketahui, telah meninggal dunia atau berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk menyatakan kehendak mereka, bagi anak yang diadopsi dipersyaratkan izin dari orang tua yang mengadopsinya, bila mereka ini masih hidup dan dalam keadaan yang memungkinkan untuk memberi keterangan; bila anak itu tidak diadopsi atau orang tua yang mengadopsinya telah meninggal dunia atau dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk menyatakan kehendaknya, dipersyaratkan izin dari walinya atau dari pemelihara anak itu. (4) Bila orang ini menolak untuk memberi izin, atau tidak menyatakan kehendaknya, atas permohonan anak yang belum dewasa itu, pengadilan negeri di daerah tempat tinggal anak itu, setelah mendengar atau memanggil secukupnya wali atau pemeliharanya, berwenang untuk memberi izin untuk melakukan perkawinan itu. (KUHPerd. 39.) Pasal 17. Terhadap pemanggilan atau pendengaran para orang tua, orang tua yang mengadopsi, pemelihara dan wali dari anak yang dilahirkan di luar perkawinan, berlaku ketentuan pasal 14. Pasal 18. Ketetapan-ketetapan pengadilan negeri diberikan tanpa melalui persidangan tertentu.

4 Ketentuan-ketentuan itu tidak dapat dimintakan banding pada badan yang lebih tinggi. (KUHPerd 41.) Sub 2. Laporan Dan Pelaksanaan Perkawinan. Pasal 19. (1) Orang-orang yang hendak melakukan perkawinan, harus melaporkannya kepada pegawai catatan sipil atau pemuka agama di mana salah satu pihak bertempat tinggal. (KUHPerd. 50) (2) (s.d.u. dg. S , 607.) Bila dalam ordonansi ini, dengan kekecualian p&sal 76, disebutkan pemuka agama, maka yang dimaksud dengan itu ialah seseorang yang berdasarkan pasal 6 Peraturan catatan sipil untuk orang-orang Indonesia- Kristen diturduk sebagai pemuka agama. Pasal 20. (1) Laporan itu dilakukan secara piibadi, ataupun dengan surat-surat yang dengan cukup pasti memperlihatkan niat para calon suami-istri. (KUHPerd. 51.) (2) Pegawai catatan sipil atau pemuka agama itu dengan cara yang mereka tentukan mengumumkan seluas-luasnya tentang laporan yang telah mereka terima. (3) (s.d.u. dg. S , 607.) Dengan menyimpang dari ayat (2) pasal ini, Kepala Pemerintahan Daerah berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan tentang cara pendaftaran dan pengumuman laporan bagi pegawai catatan sipil, bila dianggapnya ada alasan untuk itu. Pasal 21. Sebelum melaksanakan perkawinan, pegawai catatan sipil atau pemuka agama yang telah menerima laporan itu, meminta agar disampaikan kepadanya: 1. akta ke dari masing-masing calon suami-istri, ataupun bila mengenai mereka yang kelahiannya sekiranya tidak didaftarkan dalam suatu daftar catatan sipil atau yang sekiranya karena alasan tertentu berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk memperlihatkan akta kelahiran, akta pembaptisan mereka. Mengenai mereka yang dalam hal termaksud di atas karena suatu alasan juga tidak mempunyai suatu akta pembaptisan, pegawai catatan sipil atau pemuka agama itu dapat meyakinkan diri melalui segala cara tentang kedudukan perdata mereka, khususnya dengan menanyakan kepada kepala-kepala kampung dari yang bersangkutan; 2. akta di bawah tangan atau akta otentik berisi persetujuan ayahnya, ibunya, ayah yang mengadopsi, ibu yang mengadopsi, kakeknya, neneknya, walinya atau pemeliharanya, ataupun izin hakim yang telah diperolehnya dalam hal-hal di mana ini dipersyaratkan. Persetujuan itu dapat juga diberikan pada akta perkawinan itu sendiri; 3. dalam hal perkawinan kedua atau berikutnya, akta perceraian perkawinan atau akta kematian suami atau istri yang dahulu, ataupun, bila akta-akta ini tidak terdaftar dalam daftar catatan sipil mana pun, atau bila para pihak itu karena alasan tertentu dalam keadaan tidak mungkin untuk memperlihatkannya, bukti lain yang demikian dari perceraian perkawinan atau dari kematian suami atau istri yang dahulu, yang akan dianggap cukup oleh pegawai catatan sipil atau pemuka agama, ataupun salinan izin dari hakim yang diberikan dalam hat ketidakhadiran suami atau istri yang lain; 4. akta kematian, ataupun, bila hat ini tidak terdaftar dalam daftar catatan sipil mana pun atau para pihak itu karena -alasan lain dalam keadaan tidak mungkin untuk memperlihatkannya, bukti lain dari kematian yang sedemikian yang oleh pegawai catatan sipil atau pemuka agama akan dianggap cukup dari mereka semua yang scharusnya membeiikan izin mereka untuk perkawinan itu; 5. dispensasi-dispensasi yang telah diberikan; 6. persetujuan untuk perwira-perwira dan anggota militer yang berpangkat lebih rendah yang dipersyaratkan untuk melakukan perkawinan. (KUHPerd. 71.)

5 Pasal 22. Pemuka agama dapat menolak pelaksanaan suatu perkawinan. Dia dalam hal itu menyuruh para pihak segera pergi kepada pegawai catatan sipil yang berwenang untuk melakukan laporan baru. Dia wajib untuk menolak dan melakukan surahan, bila dia tidak yakin, bahwa tidak ada halangan menurut undang-undang dan bahwa surat-surat yang diminta itu lengkap dan beres. Pasal 23. (1) Pegawai catatan sipil akan menolak pelaksanaan perkawinan, bila kepadanya terbukti bahwa untuk pelaksanaan perkawinan itu ada suatu halangan menurut undang-undang atau bila surat-surat dan keterangan-keterangan, yang diminta oleh ordonansi ini tidak lengkap. (2) Dalam hal penolakan olehnya atas permohonan salah satu pihak, disampaikan keterangan tertulis tentang penolakan itu yang menyebutkan alasan-alasannya. (3) Masing-masing pihak, dengan surat permohonan yang disertai surat keterangan yang dimaksud dalam ayat yang terdahulu, berhak memperoleh keputusan dari pengadilan negeri tempat kedudukan pegawai catatan sipil yang telah menolak pelaksanaan perkawinan itu, dan pengadilan setelah mengadakan pemeriksaan sedemikian yang menurut pendapatnya perlu, tanpa melalui persidangan tertentu dan tanpa hak banding, mempertahankan penolakan itu ataupun memutuskan bahwa pelaksanaan perkawinan itu akan dilakukan. Pasal 24. (1) Pegawai catatan sipil tidak akan melaksanakan perkawinan itu sebelum hari kesepuluh setelah diterimanya laporan, hari itu sendiri tidak termasuk. (2) Kepala afdeling tempat dilakukannya laporan perkawinan, berdasarkan alasanalasan penting dapat memberikan dispensasi tentang jangka waktu tersebut dalam ayat yang lalu. (KUHPerd. 75.) Pasal 25. (s.d.t. dg. S , 607.) Pemuka-pemuka agama menentukan sendiri jangka waktu yang harus dilampaui sebelum melaksanakan perkawinan. Jangka waktu ini tidak boleh lebih pendek daripada satu hari. Pasal 26. Pelaksanaan perkawinan oleh pegawai catatan sipil atau pemuka agama yang di daerah hukumnya bertempat tinggal salah seorang dari pihak itu, dilakukan di muka umum dengan dihadiri dua orang saksi. (KUHPerd, 76.) Pasal 27. Kepala afdeling menentukan kapan oleh pegawai catatan sipil dapat diberikan kesempatan untuk melakukan perkawinan tanpa biaya. Pasal 28. (1) Pelaksanaan perkawinan oleh pegawai catatan sipil dilakukan di gedung, dimana akta-akta catatan sipil dibuat. (KUHPerd. 76.) (2) Bila salah satu dari para pihak itu berdasarkan suatu halangan yang menurut pendapat pegawai catatan sipil sah, tidak dapat pergi ke gedung tersebut, perkawinan itu dapat dilaksanakan dalam suatu rumah khusus, yang terletak dalam daerah hukum pegawai catatan sipil itu. (KUHPerd. 77.) Pasal 29. (s.d.u. dg. S , 607.) (1) Untuk tiap-tiap pelaksanaan perkawinan di luar gedung tempat dibuatnya aktaakta catatan sipil, atau pada suatu hari atau jam yang tidak diperuntukkan untuk itu, terutang untuk keuntungan Kas Negara sejumlah sepuluh gulden yang dipungut dan disetorkan dalam kas iiu baik oleh yang berkepentingan ataupun oleh pegawai catatan sipil. Tanda penyetoran dilekatkan pada aktanya. (2) Akan tetapi bila para pihak itu menyatakan tidak mampu membayar dengan

6 diperkuat oleh surat keterangan yang di luar Jawa dan Madura dikeluarkan oleh kepala daerah setempat dan di Jawa dan Madura di luar daerah Kasultanan dan Kasunanan oleh bupati dan di daerah Kasultanan dan Kasunanan atau oleh kepala afdeling atau oleh seorang pegawai yang ditunjuk untuk mengeluarkan surat keterangan yang demikian, maka pelaksanaan perkawinan yang dilakukan di luar gedung tempat pembuatan akta-akta catatan sipil tanpa biaya pula. (3) Pegawai catatan sipil yang melaksanakan perkawinan, sebelum biaya yang terutang dipenuhi, bertanggung jawab atas pembayarannya. (BS. 33a, 33b.) Pasal 30. Pelaksanaan perkawinan oleh pemuka agama dilakukan di tempat dan waktu yang ditentukan olehnya, tanpa biaya. Pasal 31. Para calon suami-istri, dengan tidak mengurangi apa yang ditentukan dalam pasal 32, pada waktu pelaksanaan perkawinan mereka berkewajiban untuk datang sendiri di hadapan pegawai catatan sipil atau pemuka agama. (KUHPerd. 78; lihat wewenang kelonggaran dalam S ) Pasal 32. (1) Karena alasan-alasan yang penting salah seoiang dari calon suami-istri dapat diwakili oleh seorang yang diberikan kuasa pada petaksanaan perkawinan. (2) Pemegang kuasa harus menyerahkan kepada pegawai catatan sipil atau pemuka agama surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang oleh kepala afdeling dari ibu kota pemberi kuasa diberikan keterangan yang ditandatangani olehnya bahwa peinberi kuasa karena alasan-alasan penting berhalangan untuk datang sendiri di hadapan pegawai catatan sipil atau pemuka agama, yang melaksanakan perkawinan itu. (3) Bila pemberi kuasa, sebelum perkawinan itu dilaksanakan, telah kawin secara sah dengan orang lain, maka perkawinan yang dilaksanakan dengan seorang pemegang kuasa, dianggap tidak pernah berlangsung. (KUHPerd. 79.) Pasal 33. (1) Para calon suami-istri menerangkan di hadapan pegawai catatan sipil atau pemuka agama dan dengan dihadiri saksi-saksi, bahwa mereka secara suka-rela saling menerima sebagai suami-istri dan bahwa mereka secara setia akan memenuhi segala kewajiban yang ditentukan undang-undang terhadap kedudukan sebagai suanti istri. (KUHPerd. 80.) (2) Pegawai catatan sipil atau pemuka agama kemudian menerangkan atas nama undang-undang bahwa para pihak itu telah terikat dalam perkawinan. (BSCI. 48.) Sub 3. Bukti Perkawinan. Pasal 34. Suatu perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ordonansi ini, tidak dapat dibuktikan secara lain kecuali dengan akta perkawinan yang didaftar dalam daftardaftar catatan sipil, dengan tidak mengurangi sebagaimana yang diatur dalam pasal 35. (KUHPerd. 100; BSCI. 48 dst.; S pasal 5.) Pasal 35. Bila ternyata, bahwa tidak pernah ada daftar-daftar atau hal itu telah hilang atau dihilangkan atau juga bahwa akta perkawinannya tidak ada, maka pembuktian tentang adanya perkawinan itu diserahkan kepada penilaian penguasa yang bersangkutan, asalkan secara lahiriah kelihatan ada hubungan sebagai suami-istri. (KUHPerd. 101; S pasal 5.)

7 Sub 4. Pernyataan Batalnya Perkawinan. Pasal 36. Kebatalan suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh hakim. (KUHPerd. 85.) Pasal 37. (1) Pernyataan batalnya suatu perkawinan yang telah dilakukan bertentangan dengan pasal 2 atau dilakukan dengan melanggar keterituan dalam pasal 5, 6 dan 7, dapat dituntut oleh setiap orang yang mempunyai kepentingan pada pernyataan batal itu, dan oleh kepala jaksa. (2) Bila dalam hal pelanggaran pasal 2 kebatalan perkawinan yang terdahulu dipertahankan, maka tentang hal itu harus diputuskan lebih dahulu. (KUHPerd. 86.) Pasal 38. (1) Sahnya suatu perkawinan yang telah dilakukan tanpa persetujuan bebas kedua Suami-istri, atau juga dari salah seorang di antara mereka, hanya dapat disangkal oleh suami-istri itu atau oleh salah seorang dari mereka yang persetujuannya telah tidak bebas. (2) Bila telah terjadi kekhilafan mengenai orang yang telah dikawininya, sahnya hanya dapat disangkal oleh salah seorang dari antara suami-istri yang sejak khilaf. (3) Bila telah berlangsung kehidupan bersama yang terus-menerus selama waktu tiga bulan dalam suatu rumah tersendiri, sejak suami atau istri memperoleh kebebasan penuh, atau sejak kekhilafan diketahui olehnya, maka hak untuk menuntut kebatalan perkawinan itu hapus. (KUHPerd. 87.) Pasal 30. (1) Bila suatu perkawinan telah dilakukan oleh seorang yang berada dalam pengampuan karena menderita cacat jiwa, sahnya perkawinan dapat disangkal oleh ayahnya, ibunya dan keluarga-keluarga sedarah yang lain dalam garis ke atas, orang tuanya yang mengadopsi, anak-anaknya, cucu-cucunya, anak-anak adopsinya, saudara-saudaranya laki-laki dan perempuan, paman-paman dan bibibibinya, serta pengampunya, dan akhimya oleh jaksa. (2) Setelah pengampuan dihentikan, pembatalan itu hanya dapat diminta oleh suami atau istri yang pernah berada dalam pengampuan. (3) Setelah tinggal bersama selama enam bulan terhitung dari penghentian pengampuan itu, hak untuk menuntut kebatalan perkawinan itu hapus. (KUH-Perd. 88.) Pasal 40. (1) Bila suatu perkawinan telah dilakukan oleh orang yang belum mencapai umur yang dipersyaratkan pada pasal 4, kebatalannya dapat diminta, baik oleh suami atau istri itu, ataupun oleh jaksa. (2) Namun sahnya perkawinan itu tidak dapat disangkal: 1. bila pada hari dilakukannya tuntutan untuk kebatalan itu, suami atau istri atau kedua-duanya telah mencapai umur yang dipersyaratkan; 2. bila sang istri yang belum mencapai umur yang dipersyaratkan, sebelum hari dilakukannya tuntutan telah hamil. (KUHPerd. 89.) Pasal 41. (1) Bila suatu perkawinan telah dilakukan tanpa persetujuan ayah, ibu, orang-orang tua yang mengadopsi, kakek-nenek, wali atau pemeliharanya, kebatalannya hanya dapat dituntut oleh mereka yang persetujuannya berdasarkan ordonansi ini dipersyaratkan. (2) Tuntutan untuk kebatalan oleh mereka yang persetujuannya dipersyaratkan tidak dapat dilakukan, bila perkawinan itu oleh mereka telah disetujui secara tegas atau diam-diam, atau bila telah lampau enam bulan tanpa sanggahan dari pihak mereka, sejak saat mereka mengetahui perkawinan itu. (KUHPerd. 91.)

8 Pasal 42. (1) Kebatalan suatu perkawinan yang telah dilaksanakanan tidak di hadapan pegawai catatan sipil yang berwenang atau di hadapan pemuka agama yang berwenang, dan di hadapan sejumlah yang dipersyaratkan, dapat dituntut oleh setiap orang yang mempunyai kepentingan dalam hal itu, dan oleh jaksa. (2) Bila secara lahiriah kelihatan ada hubungan sebagai suami-istri dan dapat diperlihatkan suatu akta pelaksanakan perkawinan di hadapan seorang pegawai catatan sipil atau di hadapan pemuka agama, suami-istri itu tidak dapat meminta pembatalan perkawinan mereka berdasarkan pasal ini. (KUHPerd. 92.) Pasal 43. Setelah pembubaran perkawinan jaksa tidak dapat lagi minta pembatalannya. (KUHPerd. 94.) Pasal 44. (1) Kecuali bila pengadilan memutuskan lain, suatu perkawinan yang telah dinyatakan batal, masih mempunyai akibat-akibat keperdataannya seperti biasanya, kecuali bila hakim memutuskan lain. (2) Suami atau istri yang telah melakukan perkawinait dengan itikad buruk yang dinyatakan batal dapat dihukum untuk penggantian biaya-biaya, kerugian dan bunga-bunga terhadap pihak yang lain. (KUHPerd. 95.) Sub 5. Hak-hak Dan Kewqiiban-kewqiiban Suami-Istri Selama Perkawinan. Pasal 45. (1) Suami-istri mempunyai kewajiban secara timbal-balik untuk saling setia, saling menolong dan membantu. (KUHPerd. 103.) (2) Suami berkewajiban untuk melindungi istrinya dan memberikan kepadanya apa yang diperlukan menurut kedudukan dan kemampuannya. (KUHPerd ) Pasal 46. Suami-istri - dengan perbuatan perkawinan - mengikatkan diri secara timbal-balik untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka. (KUHPerd. 104.) Pasal 47. (1) Bila pada waktu pelaksanaan perkawinan para calon suami-istli itu menerangkan, bahwa mereka adalah ayah dan ibu dari anak yang dilahirkan di luar perkawinan, yang setelah perkawinan akan menempati kedudukan anak yang dilahirkan dari perkawinan, maka nama-nanta dan umur anak itu dicantumkan dalam akta perkawinannya. (BSCI. 49.) (2) Anak-anak yang secara demikian disebutkan dalam akta perkawinan, mempunyai kedudukan sebagai anak yang dilahirkan selama perkawinan. (3) Kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang tidak disebutkan dalam akta perkawinan, ditentukan oleh hukum adat. Pasal 48. (1) Suami-istri dengan perbuatan perkawinan itu mengikatkan diri hanya untuk bertempat tinggal bersama. (HCI. 59, 68, 71.) (2) (s.d.u. dg , 607.) Suami menentukan tempat tinggal bersama. (KUHPerd , 1071.) Pasal 49. (1) (s.d.u. dg. S , 607; S ,264.)DiresidensiMaluku, para calon suan-d-istri pada waktu melaksanakan perkawinan dapat bersepakat, bahwa semua atau beberapa anak menurut jenis kelamin dan menurut urutan kelahiran yang kemudian akan diturduk, tidak akan meneruskan keturunan suaminya, melainkan keturunan ayah istrinya. (HCI ) (2) Akibat-akibat hukum persetujuan itu ditentukan oleh hukum adat. (AB. 15.) (3) Persetujuan ini harus dicantumkan dalam akta perkawinan, sedang catatan

9 mengenai hal itu dilakukan dalam akta ketahiran anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang demikian itu; hal itu hanya dapat dibuktikan dengan akta perkawinan itu. (BSCI. 49.) Sub 6. Harta Benda Suami-Istil. Pasal 50. (1) Masing-masing suami-istri tetap memiliki apa yang telah dibawanya ke dalam perkawinan atau yang selama perkawinan diperoleh sendiri; barangbarang lain adalah milik mereka bersama. (2) Pada waktu melakukan perkawinan para calon suami-istri dapat bersepakat, bahwa juga barang-barang yang mereka bawa ke dalam perkawinan dan yang mereka peroleh secara pribadi selama perkawinan menjadi milik mereka bersama, kecuab bila hukum adat melarang hal itu. (KUHPerd. 119 dst., 139 dst.) (3) Persetujuan ini harus dimuat dalam akta perkawinan; hal itu hanya dapat dibuktikan dengan akta itu. (BSCI. 49.) (4) Bila istri bekerja untuk keuntungan rumah tangga, maka semua barang yang diperoleh selama perkawinan meroadi milik bersama suami-istri, kecuali bila hal itu telah diperoleh oleh salah seorang dari mereka dari pembagian, wasiat, atau pewarisan. Pasal 51. Perkawinan bubar: 1 0. karena kematian; TITEL II. Pembubaran Perkawinan. Sub 1. Ketentuan Umum karena ketidakhadiran salah seorang dari suami-istri di tempat tinggalnya selama dua tahun tanpa adanya berita tentang hidup atau matinya diikuti oleh perkawinan baru salah satu suami-istri itu yang dilakukan dengan izin pengadilan negeri di tempat tinggal terakhir yang diketahui dari pihak yang dalam keadaan tak hadir itu, sedapat-dapatnya setelah mendengar kepala kampungnya dan setelah memerintahkan pemanggilan terhadapnya yang dianggap perlu oleh pengadilan negeri, dan dilaksanakan sebelum masuk suatu bukti tentang masih hidup atau matinya orang yang dalam keadaan tidak hadir; 3 0. karena keputusan hakim tentang perceraian perkawinan. (KUHPerd. 199.) Sub 2. Pembubaran Perkawinan Karena Perceraian. Pasal 52. Dasar-dasar yang dapat mengakibatkan perceraian perkawinan adalah sebagai berikut: 1 0. perzinahan; (HCI. 55.) 2 0. pergi dengan niat buruk; (HCI. 56.) 3 0. penghukuman karena kejahatan untuk hukuman kebebasan selama dua tahun atau lebih lama lagi, yang diputuskan setelah perkawinan; 4 0. pencederaan berat atau penganiayaan yang sedemikian yang dilakukan oleh salah satu pihak dari suami-istri terhadap yang lain, sehingga membahayakan hidupnya, atau menyebabkan dia mendapat luka-luka yang berbahaya; (KUHPerd. 209.) 5 0. cacat-cacat badan, atau penyakit yang timbul setelah pelaksanaan perkawinan, yang menyebabkan suami atau istri menjadi tidak cocok untuk perkawinan; (HCI. 57 dst.)

10 6 0. perpecahan yang tak mungkin disembuhkan antara sualw-istri. (HCI. 58 dst.) Pasal 53. Selama persidangan pengadilan negeri akan mencoba mendamaikan suami-istri. (Rv. 834.) Pasal 54. (1) Bila antara suami-istri telah tercapai perdamaian, maka tidak dapat diputuskan perceraian perkawinan atas dasar yang telah timbul sebetum perdamaian dan yang pada waktu perdamaian diketahui oleh suami-istri itu. (KUH-Perd. 216.) (2) Suatu tingkah-laku salah seorang dari suami-istri, yang sebelumnya telah mendapat persetujuan dari yang lain, tidak dapat menjadi dasar untuk perceraian perkawinan. Pasal 55. (1) Bila salah seorang dari suami-istri telah mendapat hukuman dengan putusan hakim yang membuktikan telah dilakukannya perzinahan, maka untuk memperoleh perceraian perkawinan tidak perlu mengindahkan fonnalitasformalitas lain daripada menyampaikan kepada pengadilan negeri salinan putusan hakim itu, dengan menambahkan pada surat bukti itu bahwa putusan hakim itu tidak dapat dimintakan banding. (2) Ketentuan pada ayat (1) berlaku juga, bila perceraian perkawinan itu diminta berdasarkan penghukuman salah seorang dari suami-istri karena kejahatan untuk hukuman kebebasan setama dua tahun atau lebih lama lagi. (KUHPerd. 210.) (3) Bila pihak yang lain dari suan-d-istri itu berdiam diri dalam lampaunya waktu enam bulan terhitung dari hari diperolehnya keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti itu, dia tidak dapat diterima dengan tuntutan perceraian perkawinan. Bila yang seorang dari suami-istri itu berada di luar Indonesia pada saat penghukuman pihak yang lain, jangka waktu enam bulan itu akan mulai pada hari dia kembali di Indonesia. (KUHPerd. 219.) Pasal 56. (1) Gugatan untuk perceraian perkawinan berdasarkan alasan meninggalkan tempat kediaman bersama dengan itikad buruk, hanis diajukan kepada pengadilan negeri dari tempat tinggal penggugat. Dia hanya dapat diperkenankan, bila seorang di antara suami-istri yang meninggalkan rumahnya tanpa alasan sah, tetap bertahan dalam penolakannya untuk kembali kepada suami atau istrinya. (HCI. 54.) (2) Tuntutan hukum untuk itu tidak dapat dimulai sebelum dua tahun lampau terhitung dari saat suami atau istri itu meninggalkan rumahnya. (3) Bila kepergiannya mempunyai alasan yang sah, jangka waktu tersebut dalam ayat (2) akan mulai berjalan sejak saat berhentinya sebab itu. (KUHPerd. 207, 211, 218.) Pasal 57. Pengadilan negeri akan mengadakan penyelidikan secara mandiri dengan alat-alat yang diperuntukkan bagi keperluan itu untuk memperoleh kebenaran dari kenyataankenyataan dan tingkah laku-tingkah laku yang diajukan sebagai alasan untuk perceraian perkawinan itu. Pasal 58. Tentang adanya percekcokan yang tak mungkin didamaikan kembah, tidak boleh diterima oleh pengadilan negeri, sebelum mengenai keadaan yang menyebabkan percekcokan itu menjadi tak mungkin untuk didamaikan kembali, baginya menjadi nyata setelah mendengar suami atau istri yang telah mengajukan gugatan perceraian perkawinan dan bila mungkin, setelah mendengar pihak yang lain dari suami-istri itu dan orang-orang yang termasuk kalangan keluarga atau kalangan pergaulan hidup suami-istri itu.

11 Pasal 59. (1) Pengadilan negeri selama berjalannya persidangan perceraian perkawinan dapat meniadakan kewajiban untuk tinggal bersama bagi para pihak itu dan sekaligus memerintahkan, bahwa kepada suami atau istri yang meninggalkan tempat kediaman bersama diserahkan barang yang diperlukan untuk dipergunakan seharihari. (KUHPerd. 212.) (2) Istri berhak untuk menuntut pembayaran untuk nafkah, yang setelah ditentukan oleh pengadilan negeri, suami wajib memenuhinya kepada istri selama persidangan. (KUHPerd. 213.) Pasal 60. (1) Pengadilan negeri dapat memerintahkan tindakan-tindakan yang dianggap perlu guna pemeliharaan anak-anak dan untuk pengamanan hak-hak suami-istri itu atas barang-barang mereka atau barang-barang harta bersama, yang akan berlaku selama jalannya persidangan. (KUHPerd. 214 dst.) (2) Sebelum mengadakan penetapan itu, dia menanyakan lebih dahulu sedapat mungkin keluarga suami-istri yang seharusnya didengar dan kepala kampung mereka. Pasal 61. Dalam persidangan untuk perceraian perkawinan, keluarga sedarah dan semenda dari pihak-pihak yang berperkara dalam kedudukan mereka seperti itu, mereka tidak akan tidak cakap untuk memberikan kesaksian atau mengundurkan diri untuk memberi kesaksian, kecuati para orang tua dan anak-anak mereka. Pasal 62. Bila sang istri yang atas permohonannya diputuskan perkawinannya dengan perceraian, tidak mempunyai pendapatan yang mencukupi untuk pemeliharaan hidupnya, maka pengadilan negeri akan memberikan pembayaran kepadanya dari harta suaminya untuk pemeliharaan hidup. (KUHPerd. 225.) Pasal 63. (1) Pembayaran itu ditentukan menurut penghasilan suami. (2) Pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak, setelah mendengar atau memanggil secukupnya pihak yang lain, dapat mengubah atau menarik kembali putusannya. (KUHPerd. 226.) Pasal 64. Kewajiban untuk memberi pemeliharaan hidup berakhir karena kematian salah seorang dari suami-istri. (KUHPerd. 227.) Pasal 65. (1) Pengadilan negeri setelah mendengar saudara-saudara dari suami-istri yang dianggap perlu dan dengan memperhatikan hukum adat, dalam putusan perceraian perkawinan, juga menentukan siapa dari suami istri yang bercerai dibebani dengan pengurusan pendidikan dan pemeliharaan masing-masing anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, demikian pula berapa bantuan dalam pembiayaan untuk itu harus dipenuhi oleh pihak yang lain dari suami-istri itu. (AB. 15) (2) Untuk anak-anak yang telah dibuatkan persyaratan perjardian seperti termaksud dalam pasal 49, pengadilan negeri dapat menentukan bahwa seorang keluarga sedarah laki-laki dari pihak istri akan dibebani dengan pengurusan pendidikan dan pemeliharaan mereka, demikian pula berapa bantuan dalam pembiayaan harus dipenuhi oleh suami-istri itu atau seorang dari mereka. (3) Atas tuntutan dari salah seorang kedua suami-istri setelah mendengar atau memanggil secukupnya pihak yang lain dan keluarga yang dianggap perlu dalam hal ini, ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat diubah, bila ada alasan-alasan untuk itu. (KUHPerd. 229.)

12 Pasal 66. Pengadilan negeri bila ada alasan-alasan, setelah berunding dengan suami-istri dan dengan memperhatikan hukum adat, juga akan mengatur pembagian barang-barang yang merupakan milik mereka bersama. (AB. 15.) Pasal 67. (1) Panitera pengadilan negeri mengirimkan segera setelah putusan pengadilan yang menyatakan perceraian perkawinan mempunyai kekuatan pasti, salinan putusan itu tanpa meterai kepada pegawai catatan sipil di resort suami itu bertempat tinggal, demikian pula kepada pegawai catatan sipil yang menyimpan daftar-daftar di, mana perkawinan itu terdaftar, bila perkawinan suami-istri yang bercerai itu telah didaftar dalam daftar-daftar yang diselenggarakan berdasarkan ordonansi ini. (2) Bila panitera lalai melakukan pengiriman yang dalam ayat (1) ditugaskan kepadanya, dia bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul dari kelalaian itu bagi para bekas suami-istri itu. (BSCI. 59.) Pasal 67a. (s.d.t. dg. S ) Bila telah dibuktikan, bahwa daftar-daftar kematian tidak pernah ada, bahwa hal itu telah hilang, bahwa suatu akta yang telah didaftarkan tidak ada, atau bahwa keadaan-keadaan khusus telah menghalangi pendaftaran akta kematian itu, maka kematian itu dapat dibuktikan baik dengan saksi-saksi maupun dengan surat-surat. TITEL III. Penghapusan Kewajiban Untuk Bertempat Tinggal Bersama. Pasal 68. (1) Dalam hal-hal yang memberikan alasan perceraian perkawinan, suami-istri bebas untuk minta pengbapusan kewajiban untuk bertempat tinggal bersama kepada pengadilan negeri di tempat tinggal salah seorang dari mereka. (2) Bila suami-istri itu telah mengatur segala akibat-akibat dari penghapusan itu baik yang mengenai anak-anak mereka maupun mengenai harta benda mereka, maka pengaturan itu dicantumkan dalam putusannya. (3) Bila pengaturan demikian itu tidak ada, pengadilan negeri menetapkannya setelah diadakan pemeriksaan. (HCI. 71.) Pasal 69. Apa yang ditentukan dalam pasal-pasal 53 sampai dengan 64 dalam hal ini berlaku. Pasal 70. Putusan di mana ditetapkan tentang penghapusan kewajiban bertempat tinggal bersama yang diminta dapat dimintakan banding. Pasal 71. (1) Kewajiban bertempat tinggal bersama bagi suami-istri yang telah dibebaskan dengan putusan hakim, menurut hukum berlaku kemball karena perdamaian antara suami-istri. (2) Pengaturan tersebut dalam ayat (2) dan (3) pasal 68 dengan sendirinya menurut hukum juga hapus. TITEL IV. Peraturan Peralihan Dan Peraturan Perselisihan. Pasal 72. (s.d.u. dg. S , 607.) (1) Terhadap perkawinan-perkawinan yang telah dilaksanakan tidak menurut ketentuan-ketentuan ordonansi ini dan peraturan penyelenggaraan Reglemen catatan sipil untuk orang-orang Indonesia-Kristen (S ), ordonansi ini berlaku, bila kedua suami-istri telah atau baru masuk agama Kristen, tidak dibedakan apakah perkawinan itu telah dilaksanakan sebelum atau sesudah berlakunya ordonansi ini, kecuali dalam hal-hal dimana suami terikat oleh

13 perkawinan dengan lebih dari satu orang istri. (2) Kecuali apa yang dftentukan dalam pasal berikut, perkawinan-perkawinan yang dilaksanakan sebelum perpindahan salah seorang dari suami-istri ke agama Kristen tetap dikuasai oleh hukum yang berlaku terhadap perkawinan pada waktu peralihan itu terjadi. Pasal 73. (1) (s.d.u. dg. S , 607.) Bila salah seorang dari antara suami-istri sebelum atau sesudah mulai berlakunya ordonansi ini, setelah pelaksanaan perkawinan, berpindah kepada agama Kristen, suami-istri itu dapat bersama-sama mohon kepada pengadilan negeri untuk menentukan dengan keputusan hakim, bahwa perkawinan itu untuk selanjutnya akan dikuasai oleh ketentuanketentuan ordonansi ini. (2) Pengadilan negeri mengadakan pemeriksaan yang olehnya dianggap perlu, dan bila baginya telah nyata bahwa perkawinan itu memenuhi persyaratan-persyaratan yang diadakan oleh pasal 2 sampai dengan 7, menyatakan dalam instansi tertinggi bahwa perkawinan itu terhitung dari tanggal pendaftaran aktanya akan dikuasai oleh ketentuan-ketentuan ordonansi ini. (3) Sebuah salinan surat keputusan hakim itu oleh suami-istri disampaikan kepada pegawai catatan sipil tempat tinggal salah seorang dari suami-istri itu, yang menanganinya seperti yang diperintahkan dalam pasal 58 Reglemen catatan sipil untuk orang-orang Indonesia-Kristen. Pasal 74. Terhadap suatu perkawinan yang telah dilaksanakan dengan memperlakukan apa yang ditentukan dalam ordonansi ini, atau yang kemudian atasnya berlaku ordonansi ini, tetap berlaku ordonansi ini, juga bila suan-d-istri itu atau salah seorang dari mereka pindah ke agama lain daripada agama Kristen. Pasal 75. (1) Perkawinan seorang laki-laki bukan Kristen dengan seorang wanita Kristen atas permohonan kedua suami-istri dapat dilaksanakan dengan memperlakukan ketentuan-ketentuan ordonansi ini dan ketentuan-ketentuan peraturan penyelenggaraan Reglemen catatan sipil untuk orang-orang Indonesia-Kristen. (2) Perkawinan suami-istri dalam hal itu dikuasai seluruhnya oleh ordonansi ini. Pasal 75a. (s.d.u. dg. S , 607.) Pasal 72 ayat (1), 73 dan 74 juga berlaku atas perkawinan-perkawinan campuran. (S ) Pasal 76. (s.d.u. dg. S , 607.) Keadaan-keadaan berikut dapat dijadikan sebagai bukti, bahwa seseorang itu Kristen dalam pengertian ordonansi ini: 1 0. bahwa dia adalah anggota suatu jemaah gereja Kristen, suatu perkumpulan gereja Kristen atau perkumpulan Zending atau suatu perkumpulan keagamaan Kristen; 2 0. bahwa dia telah menerima pembaptisan Kristen; 3 0. bahwa dia dilahirkan dari orang tua Kristen; 4 0. bahwa seorang pemuka agama menerangkan bahwa dia menjalani agama Kristen; (HCI. 191.) 5 0. bahwa dia oleh umum dikenal sebagai orang Kristen. (BSCI. 2.) Pasal 77. Bila ordonansi ini mulai berlaku di daerah berlakunya ordonansi 24 Mei 1861 (S ) yang berisi penetapan beberapa ketentuan lanjutan mengenai pelaksanaan perkawinan oleh orang-orang Indonesia Kristen di daerah gubernemen pulau-pulau Maluku, baik antara mereka sendiri maupun dengan orangorang Eropa dan keturunanketurunan mereka, maka hilanglah kekuatan berlakunya ordonansi 24 Mei 1961 itu.

14 Pasal 78. (1) Ordonansi ini mulai berlaku untuk daerah-daerah yang ditunjuk oleh Gubernur Jenderal pada saat-saat yang akan ditentukan lebih lanjut oleh Beliau. (Berdasarkan S berlaku mulai 1 Januari 1937 untuk semua bagian daerah tersebut pada judul ordonansi ini.) (2) Ketentuan ini dapat disebut Ordonansi Perkawinan Orang-orang Indonesia Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon.

1. Penikmatan hak-hak kewargaan tidak tergantung pada hak-hak kenegaraan.

1. Penikmatan hak-hak kewargaan tidak tergantung pada hak-hak kenegaraan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Pertama Orang Daftar isi 1. Bab I - Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak kewargaan 2. Bab II - Tentang akta-akta catatan sipil 3. Bab III - Tentang tempat tinggal

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) (Diumumkan dengan Maklumat tgl. 30 April 1847, S ) BUKU PERTAMA ORANG

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) (Diumumkan dengan Maklumat tgl. 30 April 1847, S ) BUKU PERTAMA ORANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) (Diumumkan dengan Maklumat tgl. 30 April 1847, S. 1847-23.) BUKU PERTAMA ORANG BAB I. MENIKMATI DAN KEHILANGAN HAK-HAK KEWARGAAN (Berlaku

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) BUKU KESATU ORANG

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) BUKU KESATU ORANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) BUKU KESATU ORANG BAB I MENIKMATI DAN KEHILANGAN HAK KEWARGAAN (Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) BUKU KESATU ORANG

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) BUKU KESATU ORANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) BUKU KESATU ORANG BAB I MENIKMATI DAN KEHILANGAN HAK KEWARGAAN (Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

B U K U P E R T A M A O R A N G BAB I. MENIKMATI DAN KEHILANGAN HAK-HAK KEWARGAAN Pasal 1 s/d Pasal 3 BAB II. AKTA-AKTA CATATAN SIPIL Bagian 1.

B U K U P E R T A M A O R A N G BAB I. MENIKMATI DAN KEHILANGAN HAK-HAK KEWARGAAN Pasal 1 s/d Pasal 3 BAB II. AKTA-AKTA CATATAN SIPIL Bagian 1. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) B U K U P E R T A M A O R A N G BAB I. MENIKMATI DAN KEHILANGAN HAK-HAK KEWARGAAN Pasal 1 s/d Pasal 3 BAB II. AKTA-AKTA CATATAN SIPIL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: Bahwa untuk kelancaran pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita

Lebih terperinci

PERADILAN AGAMA Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tanggal 29 Desember 1989 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERADILAN AGAMA Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tanggal 29 Desember 1989 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERADILAN AGAMA Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tanggal 29 Desember 1989 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

www.pa-wonosari.net admin@pa-wonosari.net UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO. 3400 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

Lebih terperinci

ORDONANSI PENGANGKUTAN UDARA (Luchtvervoer-ordonnantie).

ORDONANSI PENGANGKUTAN UDARA (Luchtvervoer-ordonnantie). ORDONANSI PENGANGKUTAN UDARA (Luchtvervoer-ordonnantie). Ketentuan-ketentuan tentang pengangkutan udara dalam negeri. (Ord. 9 Maret 1939) S. 1939-100 jo. 101 (mb. 1 Mei 1939). Anotasi: Di Indonesia berlaku

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN

AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN 1 KUHPerdata 103 106 105 107 KUHPerdata 107 108 110 Akibat perkawinan terhadap diri pribadi masing-masing Suami/Istri Hak & Kewajiban Suami-Istri UU No.1/1974 30

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu

Lebih terperinci

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2004 DENGAN PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

TITEL IV CARA MENGADILI PERKARA PERDATA YANG DALAM TINGKAT PERTAMA MENJADI WEWENANG PENGADILAN NEGERI. Bagian 1. pemeriksaan Di Sidang pengadilan.

TITEL IV CARA MENGADILI PERKARA PERDATA YANG DALAM TINGKAT PERTAMA MENJADI WEWENANG PENGADILAN NEGERI. Bagian 1. pemeriksaan Di Sidang pengadilan. REGLEMEN ACARA HUKUM UNTUK DAERAH LUAR JAWA DAN MADURA (REGLEMENT TOT REGELING VAN HET RECHTSWEZEN IN DE GEWESTEN BUITEN JAVA EN MADURA (RBg) (S. 1927-227.) Catatan: Dalam reglemen ini hanya dimuat hal-hal

Lebih terperinci

Staatsblad 1872 Nomor 166

Staatsblad 1872 Nomor 166 Staatsblad 1872 Nomor 166 INSTRUKSI UNTUK BALAI-BALAI HARTA PENINGGALAN DI INDONESIA (Instruktie voor de Weeskamers in Indonesie) (Ord. 5 Oktober 1872) S. 1872-166 (berlaku 1 Juli 1873). BAB I. KETENTUAN-KETENTUAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1 Bentuk: Oleh: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: Indeks: PERKAWINAN PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pembukaan Bab I Dasar perkawinan Bab II Syarat-syarat perkawinan Bab III Pencegahan perkawinan Bab IV Batalnya perkawinan Bab V Perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1989 (AGAMA. KEHAKIMAN. PERADILAN. Perkawinan. Perceraian. Warisan. Warganegara. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

STAATBLAD 1920 TENTANG PERATURAN CATATAN SIPIL BAGI ORANG INDONESIA

STAATBLAD 1920 TENTANG PERATURAN CATATAN SIPIL BAGI ORANG INDONESIA STAATBLAD 1920 TENTANG PERATURAN CATATAN SIPIL BAGI ORANG INDONESIA Peraturan tentang pemeliharaan daftar-daftar CATATAN SIPIL bagi beberapa golongan PENDUDUK INDONESIA dari Jawa dan Madura yang tidak

Lebih terperinci

PERATURAN PERKAWINAN DI GKPS

PERATURAN PERKAWINAN DI GKPS PERATURAN PERKAWINAN DI GKPS 54 SURAT KEPUTUSAN PIMPINAN PUSAT GKPS Nomor : 119/1-PP/2006 Tentang PERATURAN PERKAWINAN DI GKPS Pimpinan Pusat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), Menimbang : a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tanggal 23 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tanggal 23 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tanggal 23 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

TITEL IV. Cara Mengadili perkara perdata Yang Dalam Tingkat pertama Menjadi Wewenang pengadilan Negeri. Bagian 1. pemeriksaan Di Sidang pengadilan.

TITEL IV. Cara Mengadili perkara perdata Yang Dalam Tingkat pertama Menjadi Wewenang pengadilan Negeri. Bagian 1. pemeriksaan Di Sidang pengadilan. REGLEMEN ACARA HUKUM UNTUK DAERAH LUAR JAWA DAN MADURA. (REGLEMENT TOT REGELING VAN HET RECHTSWEZEN IN DE GEWESTEN BUITEN JAVA EN MADURA. (RBg.) (S. 1927-227.) Anotasi: Dalam reglemen ini hanya dimuat

Lebih terperinci

NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Balai Harta Peninggalan merupakan

Lebih terperinci

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1 A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata Anak dalam kandungan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) memiliki

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang : Pendaftaran Tanah

Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang : Pendaftaran Tanah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang : Pendaftaran Tanah Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 10 TAHUN 1961 (10/1961) Tanggal : 23 MARET 1961 (JAKARTA) Sumber : LN 1961/28; TLN NO. 2171

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : perlu diadakan peraturan tentang pendaftaran tanah sebagai yang dimaksud dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

REGLEMEN INDONESIA YANG DIPERBARUI (Het Herziene Indonesisch Reglement.)

REGLEMEN INDONESIA YANG DIPERBARUI (Het Herziene Indonesisch Reglement.) REGLEMEN INDONESIA YANG DIPERBARUI (Het Herziene Indonesisch Reglement.) Reglemen tentang melakukan tugas kepolisian, mengadili perkara perdata dan penuntutan hukuman bagi bangsa Indonesia dan bangsa Timur

Lebih terperinci

BAB IV HUKUM KELUARGA

BAB IV HUKUM KELUARGA BAB IV HUKUM KELUARGA A. PENGERTIAN DAN TUJUAN PERKAWINAN Di Indonesia telah dibentuk Hukum Perkawinan Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dalam Lembaran

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan Pembangunan Nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 1 tahun ~ keharusan Perseroan menyesuaikan ketentuan Undang-undang ini Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB VII PERADILAN PAJAK BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan Pembangunan Nasional yang ber-kelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER

PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER I. HAL-HAL YANG PERLU DIKETAHUI SEBELUM BERPERKARA (PERDATA) KE PENGADILAN Bagi orang yang akan berperkara di pengadilan dan belum mengerti tentang cara membuat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: 0211/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor: 0211/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor: 0211/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sungai Penuh yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

MAHKAMAH AGUNG Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tanggal 30 Desember 1985 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

MAHKAMAH AGUNG Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tanggal 30 Desember 1985 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, MAHKAMAH AGUNG Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tanggal 30 Desember 1985 Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan orang di Indonesia

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 1958 TENTANG PENETAPAN "UNDANG-UNDANG DARURAT NO. 16 TAHUN 1957 TENTANG PAJAK BANGSA ASING (LEMBARAN-NEGARA TAHUN 1957 NO. 63)" SEBAGAI UNDANG-UNDANG PRESIDEN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN CATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,

Lebih terperinci

TELAAH TINGGINYA PERCERAIAN DI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA)

TELAAH TINGGINYA PERCERAIAN DI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA) TELAAH TINGGINYA PERCERAIAN DI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA) Abdurrahman Konoras dan Petrus K. Sarkol Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi ABSTRAK Perkawinan merupakan aspek

Lebih terperinci

Staatsblad 1849 Nomor 25

Staatsblad 1849 Nomor 25 Staatsblad 1849 Nomor 25 REGLEMEN CATATAN SIPIL UNTUK GOLONGAN EROPA (Reglement op het houden der registers van den Burgerlijken Stand voor Europeanen) Reglemen tentang penyelenggaraan daftar-daftar catatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM SURAT WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA M. WIJAYA. S / D

TINJAUAN HUKUM SURAT WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA M. WIJAYA. S / D TINJAUAN HUKUM SURAT WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA M. WIJAYA. S / D 101 08 063 ABSTRAK Membuat wasiat (testament) adalah perbuatan hukum, seseorang menentukan tentang apa yang terjadi dengan harta kekayaannya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Waris Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian.

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian. BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN PUTUSAN PERCERAIAN ATAS NAFKAH ISTRI DAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA DAN PENYELESAIANYA JIKA PUTUSAN TERSEBUT TIDAK DILAKSANAKAN A. Pelaksanaan Putusan

Lebih terperinci