BAB II. 4. Analisis Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Dikaitkan Dengan. Penggabungan Usaha Antar Bannk Swasta Nasional dan PMA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II. 4. Analisis Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Dikaitkan Dengan. Penggabungan Usaha Antar Bannk Swasta Nasional dan PMA"

Transkripsi

1 30 BAB II PENGGABUNGAN USAHA BANK SWASTA NASIONAL DENGAN PMA DIKAITKAN DENGAN PASAL 5 JO PASAL 20 UU NOMOR 25/2007, PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAN SINGLE PRESENCE POLICY 4. Analisis Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Dikaitkan Dengan Penggabungan Usaha Antar Bannk Swasta Nasional dan PMA Istilah investasi dan penanaman modal merupakan istilah-istilah yang dikenal, baik dalam kegiatan bisnis sehari-hari maupun dalam bahasa perundang-undangan. Makna investasi atau penanaman modal adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum, meyisihkan sebagian pendapatannya agar dapat digunakan untuk melakukan suatu usaha dengan harapan pada suatu waktu tertentu akan mendapatkan hasil (keuntungan). 28 Di kalangan masyarakat luas, kata investasi memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat mencakup baik investasi langsung (direct investment) maupun investasi tidak langsung (indirect investment), sedangkan kata penanaman modal lebih mempunyai konotasi kepada investasi langsung. 29 Bagi Indonesia, kegiatan investasi langsung baik yang berbentuk investasi asing langsung (foreign direct investment) maupun investasi langsung dalam negeri (penanaman modal dalam negeri), mempunyai kontribusi secara langsung bagi pertumbuhan suatu negara. Investasi langsung akan semakin mendorong 28 Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal Ida Bagus Rahmadi Supancana, Kerangka Hukum Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 1

2 31 pertumbuhan ekonomi, alih teknologi dan pengetahuan, serta menciptakan lapangan kerja baru untuk mengurangi angka pengangguran dan mampu meningkatkan daya beli masyarakat. 30 Upaya untuk mendorong investasi langsung di Indonesia merupakan keharusan yang tidak dapat dihindarkan. Investasi langsung hanya akan meningkat apabila tercipta iklim investasi yang kondusif dan sehat serta meningkatnya daya saing Indonesia sebagai tujuan investasi langsung. Beban untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan sehat kiranya bukan hanya menjadi beban pemerintah, tetapi seluruh komponen bangsa, termasuk kalangan dunia usaha dan masyarakat umum. 31 Investor yang akan menanamkan modalnya atau membuka usaha baru di Indonesia harus memperhatikan ketentuan yang berlaku untuk mulai menjalankan usahanya, hal ini penting terutama bagi investor asing, karena menyangkut hak dan kewajiban yang nantinya akan diterima atau harus dijalankan oleh investor tersebut. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh penanam modal adalah sebagai berikut (Pasal 15 UU Nomor 25/2007) : Setiap penanam modal berkewajiban : a) Menerapkan prinsip tatat kelola perushaan yang baik ; b) Melaksanakan tanggung jawab sosial yang baik ; c) Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ; 30 Ibid, hal Ibid, hal 11

3 32 d) Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal ; dan e) Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan untuk hak yang dapat diterima untuk penanam modal, baik pelaku usaha dalam negeri ataupun asing, diatur dalam Pasal 14 UU Nomor 25/2007 yaitu : Setiap penanam modal berhak mendapat : a) Kepastian hak, hukum dan perlindungan ; b) Informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankan ; c) Hak pelayanan ; dan d) Berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Beranjak dari ketentuan Pasal 14 huruf d UU Nomor 25/2007, tentang fasilitas yang berhak diterima oleh penanam modal maka terdapat persyaratan yang harus dipenuhi oleh penanam modal tersebut, salah satunya di atur pada Pasal 5 UU Nomor 25/2007 yaitu sebagai berikut : 1) Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 2) Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuai ditentukan lain oleh undang-undang 3) Penanaman modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan : a) Mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas ; b) Membeli saham ; c) Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Penanaman modal dalam negeri, menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 25/2007 adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan

4 33 menggunakan modal dalam negeri. Sesuai Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 25/2007, penanaman modal yang dilakukan dapat dalam bentuk usaha perseorangan, badan hukum atau bukan badan hukum. Sedangkan pengertian penanaman modal asing, menurut Pasal 1 angka 3 UU Nomor 25/2007 adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Penanaman modal asing ini dilakukan dalam bentuk usaha perseroan terbatas, sesuai Pasal 5 ayat 2 UU Nomor 25/2007. Pada pasal 5 ayat 3 (tiga) dijelaskan kembali bahwa penanaman modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas (PT) dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu yang pertama mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas. Hal ini jelas diatur dalam Pasal 7 ayat 2 (dua) UUPT yang menyatakan bahwa Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan. Kemudian dalam hal siapa saja yang dapat mendirikan bank umum, dapat dilihat dalam Pasal 22 ayat 1 (satu) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang mengatur tentang pendirian Bank Umum dapat dilakukan oleh : a. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau b. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.

5 34 Artinya bank umum selain dapat didirikan oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia, dapat juga didirikan oleh pihak asing baik perseorangan ataupun badan hukum asing secara kemitraan dengan pihak investor dalam negeri. Cara yang kedua (Pasal 5 (3) huruf b UU Nomor 25/2007) adalah dengan membeli saham. Cara ini tidak serta merta dapat diartikan dengan membeli saham biasa, seperti yang ada pada investasi tidak langsung, dimana investornya tidak perlu hadir secara fisik. Sebab pada umumnya tujuan utama dari investor tersebut bukanlah mendirikan perusahaan, melainkan hanya membeli saham dengan tujuan untuk dijual kembali. Tujuan investor disini adalah bagaimana memperoleh hasil yang maksimal dengan rentang waktu yang tidak terlalu lama sudah bisa menikmati keuntungan. Dengan kata lain, jenis investasi seperti ini, yang diharapkan oleh investor adalah capital gain, artinya adanya penghasilan dari selisih antara beli dan jual di bursa efek. 32 Hal ini lebih dikenal dengan istilah penanaman modal dalam bentuk portofolio, yakni pembelian efek lewat Lembaga Pasar Modal (capital market). 33 Portofolio yang dimaksud dapat berupa pembelian obligasi-obligasi, surat-surat kertas perbendaharaan negara, emisi-emisi lainnya (saham-saham) yang dikeluarkan oleh perusahaan, serta deposito dan tabungan yang berjangka waktu sekurangkurangnya satu tahun Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nuansa Aulia, Bandung, Cetakan I, 2007, hal 3 33 Hendrik Budi Untung, opcit, hal 1 34 Ibid, hal 12

6 35 Permasalahan yang ada pada Pasal 5 ayat 3 (tiga) huruf b UU Nomor 25/2007 salah satunya adalah tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian cara membeli saham seperti yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Kemudian tidak adanya ketentuan atau syarat mengenai berapa jumlah saham minimal yang harus dibeli. Namun sesuai dengan tujuan investasi yang ada pada UU Nomor 25/2007, dapatlah diartikan bahwa pembelian saham yang dimaksud dalam ketentuan tersebut, haruslah merupakan pembelian saham mayoritas. Untuk ketentuan mengenai tata cara atau prosedur jual beli efek dan lain sebagainya, landasan hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal. Dengan melakukan pembelian saham mayoritas sebagaimana yang dimaksud diatas, maka dampaknya pada suatu perusahaan menjadi pengambilalihan atau dapat dihubungkan pula dengan akuisisi. Artinya cara ini dapat dipakai untuk investor yang akan mengambil alih perusahaan lain dengan membeli saham dari perusahaan tersebut. Secara lebih spesifik, membeli saham dapat diartikan juga dengan melakukan akuisisi perusahaan yaitu merupakan tindakan untuk mengambil alih suatu perusahaan yang biasanya dengan cara membeli saham dari perusahaan tersebut. Untuk dapat dikatakan akuisisi maka pengambil alihnya dapat menjadi mayoritas biasa (simple majority), yaitu minimal 51% dari seluruh saham perusahaan yang diambil alih. 35 Dengan melakukan akuisisi (membeli saham) perusahaan lain, hal tersebut dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan merger (penggabungan 35 Munir Fuadi, opcit, hal. 2-3

7 36 usaha). Merger menurut Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentng Perbankan adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dangan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya dengan atau tanpa likuidasi. Melalui merger atau penggabungan usaha, investor asing juga dapat melakukan penanaman modal. Sehingga investor yang melakukan merger masuk pada kategori Pasal 5 ayat 3 (tiga) huruf b UU Nomor 25/2007, tetapi dengan syarat bentuk badan usahanya adalah perseroan terbatas (PT). Artinya jika bank swasta nasional (PMDN) melakukan penggabungan usaha atau merger dengan PMA, maka PMA harus masuk melalui Pasal 5 UU Nomor 25/2007, yaitu bentuk badan usahanya berupa perseroan terbatas. Hal ini juga berlaku bagi bank swasta nasional. Sehingga akibat dari merger yang dilakukan oleh bank swasta nasional dengan PMA adalah sebagai berikut 36 : a) Berubah statusnya menjadi perusahaan PMA/PMDN/perusahaan non fasilitas (non PMA/PMDN) ; b) Karena merger, perusahaan PMA/PMDN dibubarkan atau dilikuidasi ; c) Karena merger, dalam perusahaan PMA/PMDN terjadi perubahan susunan pemegang saham, perubahan susunan direksi/komisaris, penambahan atau pengurangan direksi/komisaris/pekerja asing ; d) Karena merger, tejadi perubahan-perubahan lainnya dalam perusahaan PMA/PMDN, seperti perubahan maksud dan tujuan atau perubahan anggaran dasar lainnya. Salah satu contoh bank yang melakukan merger adalah Bank Niaga dan Bank Lippo. Bank Lippo dan Bank Niaga akhirnya merger pada tanggal 3 Juni 2008 dengan nama baru PT CIMB Niaga Tbk dan selanjutnya seluruh aset dan kewajiban Bank Lippo akan di alihkan ke CIMB Niaga. Sebelum merger, Khazanah memiliki 36 Ibid, hal 72

8 37 93% saham Bank Lippo melalui Santubong Investment BV dan Greatville Pte Ltd. Sedangkan di Bank Niaga sebesar 62,41% melalui CIMB Group penyedia jasa keuangan terbesar kedua di Malaysia milik Bumiputera-Commerce Holding Berhad (BCHB). Proses merger dilakukan dengan pembelian 51% saham Bank Lippo oleh CIMB group dari Santubong ventures, anak usaha Khazanah Berhad, dengan nilai Rp 5,9 triliun.untuk selanjutnya, Khazanah akan mendapat 207,1 juta lembar saham baru di Bumiputera-Commerce Holding Berhad (BCHB), anak perusahaan CIMB Group. Setelah merger, CIMB dan Khazanah masing-masing menguasai saham sebesar 58,7% dan 18,7%. 37 Dari ketentuan di atas (Pasal 5 ayat 3 (tiga) huruf a dan huruf b, tampak bahwa pembentuk undang-undang mencoba membagi jenis penanaman modal dilihat dari sumber dana yang digunakan, yakni modal asing dan modal dalam negeri yang membawa konsekuensi terhadap risiko yang akan dihadapi oleh pemilik modal. Artinya, bagi pemodal asing maupun dalam negeri yang hendak menanamkan modalnya secara langsung, maka secara fisik ia hadir dalam menjalankan usahanya. Dengan hadirnya atau tepatnya dengan didirikannya badan usaha yang berstatus sebagai Penanaman Modal Asing badan usaha tersebut harus tunduk pada ketentuan hukum di Indonesia bisnis 38 Hendrik Budi Untung, opcit, hal 13

9 38 Cara yang ketiga atau terakhir (Pasal 5 ayat 3 (tiga) huruf c) adalah dengan melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sayangnya tidak dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan yang ada di Undang- Undang Penanaman Modal tentang cara apa saja yang dapat dilakukan dalam hal penanaman modal yang dapat dilakukan oleh para investor dalam negeri atau asing tersebut. Namun demikian, ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha untuk dapat mengembangkan usaha atau memiliki sebuah perusahaan, salah satunya adalah dengan memberikan pinjaman atau utang kepada perusahaan tertentu, yang nantinya dengan pejanjian tentunya, pengembalian pinjaman tersebut akan dikonversi dalam bentuk kepemilikan saham atas perusahaan tersebut. Untuk setiap investor, baik investor domestik maupun investor asing yang menanamkan investasi di Indonesia diberikan berbagai kemudahan oleh pemerintah Indonesia. Pemberian kemudahan ini adalah dimaksudkan agar investor dalam negeri maupun investor asing bersedia berinvestasi di Indonesia. Investasi ini sangat dibutuhkan oleh Pemerintah Indonesia terutama untuk mempercepat proses pembangunan. Kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia berupa kemudahan dalam bidang perpajakan dan pungutan lainnya. 39 Fasilitas penanaman modal tersebut baru dapat diberikan kepada penanaman modal yang melakukan perluasan usaha dan melakukan penanaman modal. Dalam Pasal 18 ayat 3 (tiga) Undang-Undang Penanaman Modal, dijelaskan bahwa Penanaman modal yang 39 Salim HS dan Budi Sutrisno, Opcit, hal. 269

10 39 mendapat fasilitas adalah yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria berikut ini : a. Menyerap banyak tenaga kerja ; b. Termasuk skala prioritas tinggi ; c. Termasuk pembangunan infrastruktur ; d. Melakukan alih teknologi ; e. Melakukan industri pionir ; f. Berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu ; g. Menjaga kelestarian lingkungan hidup ; h. Melakukan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi ; i. Bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi ; atau j. Industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanam modal dapat berupa (Pasal 18 ayat 4 (empat) UU Nomor 25/2007) ; a. Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu b. Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri c. Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu

11 40 d. Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu e. Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat f. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu Namun ketentuan diatas dibatasi dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 18 ayat 5 (lima) yang menyatakan bahwa pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman modal baru, yang merupakan industri pionir, industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. Dengan melihat berbagai fasilitas diatas, maka sebenarnya pemerintah telah memberikan kemudahan dan keuntungan yang sangat banyak bagi investor asing dalam usahanya menanamkan modal di Indonesia. Hal ini berlaku bagi investor asing yang berbadan hukum berupa perseroan terbatas (PT), tidak terkecuali di bidang perbankan. Jika dikaitkan investor asing dengan bidang perbankan maka yang dibahas selanjutnya adalah tentang bank milik asing yang ada di Indonesia. Bank asing merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, baik milik swasta asing ataupun pemerintah asing. Berikut beberapa contoh bank milik asing yang ada di Indonesia

12 41 antara lain ABN AMRO Bank, Deutsche Bank, American Express bank, Bank of America, Bank of Tokyo, Bangkok Bank, Hongkong Bank, Standart Chartered Bank, dan Chase Manhattan Bank. 40 Bank yang tersebut di atas ini memilih masuk ke Indonesia dalam bentuk status badan hukum asing (bukan berstatus perseroan terbatas). Sehingga bila dikaitkan dengan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah Indonesia terhadap para investor yang melakukan usahanya di dalam negeri, maka bank-bank milik asing tersebut tidak mendapatkan fasilitas atau kemudahan (Pasal 18 UU Nomor 25/2007, sebagaimana yang di atur pada Pasal 20 UU Nomor 25/2007 yaitu Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 tidak berlaku bagi penanaman modal asing yang tidak berbentuk perseroan terbatas. Cara investor masuk ke Indonesia melalui pasal 20 Undang-Undang Penanaman Modal di pilih oleh investor di bidang perbankan karena fasilitas yang diberikan atau ditawarkan oleh pemerintah di Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 25/2007, tidak begitu substansiil dengan apa yang dibutuhkan pada bidang perbankan. 5. Penggabungan Usaha Antar Bank dan Akibat Hukumnya Terhadap Persaingan Usaha Dalam pembangunan ekonomi yang seiring dengan timbulnya kecenderungan globalisasi perekonomian, maka bersamaan dengan itu semakin banyak pula tantangan yang dihadapi dalam dunia usaha, antara lain persaingan usaha atau 40

13 42 perdagangan yang menjurus kepada persaingan produk/ komoditi dan tarif, sebab perekonomian merupakan perdagangan globalisasi antar negara. 41 Perkembangan ekonomi yang berubah cepat dan kompetitif dengan permasalahan yang semakin kompleks memerlukan adanya penyesuaian tentang kebijakan ekonomi serta perbaikan system keuangan, khususnya perbankan. Sehat tidaknya perbankan nasional akan sangat mempengaruhi iklim usaha nasional. Untuk itu, pemerintah memandang perlu melakukan penyempurnaan dan mengadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 42 Dalam kaitannya dengan persaingan usaha, pembangunan di bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/ atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya 41 Suhasril dan M. Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, hal Agus Budianto, Merger Bank di Indonesia Beserta Akibat-Akibat Hukumnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hal.40

14 43 pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara Indonesia terhadap perjanjianperjanjian internasional., 43 sehingga untuk mewujudkan hal tersebut di atas, telah disusun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, selanjutnya disebut UU Nomor 5 Tahun Kebijakan merger adalah bagian dari kebjiakan persaingan, yang juga merupakan bagian kebijakan publik yang cukup luas, yang mempengaruhi bisnis (kegiatan usaha), pasar, dan ekonomi. Kebijakan merger diperlukan karena 44 : a. Merger mengurangi persaingan yang ada antara pihak-pihak yang melakukan merger dan mengurangi jumlah pesaing di dalam pasar, dimana pengurangan jumlah perusahaan pesaing ini memiliki efek substansial pada keseluruhan persaingan di pasar. Orientasi pasar akan tujuan konsumen dan efisiensi akan berkurang, bahkan pada kondisi dimana tidak terdapat hukum persaingan. b. Penegakan ketentuan larangan hukum persaingan usaha belumlah sempurna. Mendeteksi dan membuktikan pelanggaran terhadap ketentuan larangan sulit dilakukan. Kebutuhan akan aturan hukum berkurang dengan memperoleh kondisi persaingan sehingga insentif dan kesempatan untuk berkolusi, penyalahgunaan posisi dominan, dan pelanggaran hukum lainnya dapat 43 Pertimbangan dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 44 Andi Fahmi Lubis,Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks,KPPU, Jakarta, 2009 hal 189

15 44 dicegah sejak dini, atau setidaknya mampu menekan efek negatif dari merger. Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, pengertian merger adalah penggabungan dua badan usaha atau lebih yang relative berimbang kekuatannya, sehingga terjadi kombinasi baru yang merupakan wadah bersama yang saling memperkuat atau dengan kata lain merger adalah proses pembelian saham suatu perusahaan (target company) oleh satu perusahaan (acquiring company), sehingga acquiring company tadi mempunyai suara moyoritas dalam perusahaan/ kepemilikan perusahaan. 45 Jika dilihat dari segi usahanya, merger dapat dikategorikan ke dalam 3 jenis yaitu sebagai berikut 46 : a. Merger Horizontal Merger horizontal adalah merger antara dua atau lebih perusahaan yang bergerak di bidang yang sama. Apabila merger horizontal ini dilakukan dalam suatu kelompok usaha, ada dua perusahaan dalam satu kelompok yang di sebut sister compony. Saham-saham mereka sama-sama dipegang oleh satu perusahaan holding, tetapi kemudian setelah merger horizontal, maka perusahaan holding memegang saham pada anak perusahaan hasil merger yang telah bersatu. Tindakan-tindakan yuridis minimal yang harus 45 Info Bank No. 125, Volume XIII, Mei 1990, hal Aloysius Gunadi Brata, Struktur dan Kinerja Perbankan, Penerbitan Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, hal. 36

16 45 dilakukan dalam proses merger horizontal ini, khususnya jika dipilih merger tanpa mengadakan likuidasi adalah : 1) Semua aktiva dan pasiva dialihkan anak perusahaan yag satu kepada anak perusahaan yang lain (kecuali aktiva yang harus dibayar kepada pemegang saham minoritas yang tidak setuju merger), kecuali jika dipilih model merger dengan likuidasi ; 2) Anak perusahaan yang satu menghentikan kegiatannya, kemudian dibubarkan tanpa dilikuidasi ; 3) Pemegang saham minoritas yang tidak setuju merger dapat memilih antara menjadi pemegang saham dalam anak perusahaan atau meminta kompensasi harga saham yang sedang dipegangnya tanpa menjadi pemegang saham di anak perusahaan hasil merger. b. Merger Vertikal Merger vertikal adalah integrasi vertikal antara perusahaan industri hulu yang memasuki industri hilir atau sebaliknya, dari industri hilur bergerak ke industri hulu, dapat juga terjadi pada perusahaan yang satu bertindak sebagai produsen dan yang lainnya bertidak sebagai supplier. c. Merger Konglomerasi Konglomerasi merger adalah merger antara dua perusahaan yang berbeda sama sekali jenis usahanya, baik dalam arti secara vertical maupun secara horizontal. Misalnya kasus merger antara Vick Richardson (produsen farmasi) dengan Procter and Gamble (produsen barang konsumsi).

17 46 Pada berbagai bentuk merger yang umumnya terjadi, yaitu merger horizontal, maka potensi terjadinya konsentrasi pasar dan hambatan masuk pasar (entry barrier) bagi pelaku usaha baru akan semakin besar. Hal inilah yang sangat membahayakan. Merger menjadi vertikal dan konglomerat, maka merger horizontal merupakan bentuk merger yang perlu diwaspadai oleh hukum persaingan. Pada merger jenis ini, dua atau lebih perusahaan yang bergerak dalam lini usaha yang sama bergabung menjadi satu entitas bisnis yang lebih besar. Jika perusahaan dengan lini usaha yang sama bergabung, maka secara otomatis jumlah pesaing di pasar akan berkurang. Hal inilah yang dapat merusak iklim persaingan, sebab semakin sedikit jumlah pesaing di dalam pasar, maka akan semakin kecil fleksibilitas persaingan di pasar yang bersangkutan. Pada akhirnya, kondisi ini akan merugikan masyarakat dan kepentingan umum. Akibat dari berkurangnya jumlah pesaing dalam pasar serta semakin kuatnya posisi dominan perusahaan hasil merger di dalam sangat berbahaya apabila situasi entry barrier ini muncul di dalam pasar. 47 Maksud dan tujuan dari UU Nomor 5 Tahun 1999 tersebut dituangkan dalam pasal-pasal yang mengatur bentuk-bentuk perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan penyalahgunaan posisi dominan, yang didalamnya termasuk merger, dapat menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. 48 Ketentuan mengenai merger dalam kaitannya dengan persaingan usaha yang tidak 47 Andi Fahmi Lubis, Opcit, hal Ibid, hal 194

18 47 sehat telah diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 pada Pasal 28 dan Pasal 29 yang merupakan bagian dari Bab Posisi Dominan. Posisi dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Dengan kata lain kategori sebagai posisi dominan, jika satu perusahaan atau kelompok perusahaan menguasai pasar 50%, atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, atau lebih dua atau tiga perusahaan atau kelompok perusahaan menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, dan mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. 49 Perusahaan, termasuk bank, yang menguasai pasar besar memiliki potensi untuk menyalahgunakan posisi dominannya dengan melakukan berbagai perilaku antipersaingan. Penyalahgunaan posisi dominan sangat merugikan pelaku usaha lain, konsumen, dan perekonomian secara keseluruhan. Para pelaku usaha tidak dilarang untuk menjadi besar, tetapi yang dilarang adalah menggunakan posisi dominan yang mereka miliki untuk secara langsung maupun tidak langsung menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, membatasi pasar dan 49 Ibid, hal 142

19 48 pengembangan teknologi, serta menghambat pelaku usaha lain. 50 Sesuai dengan Pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999 mengatur sebagai berikut : 1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat ; 2) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usah tidak sehat ; 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang dimaksud dalam ayat 1 (satu), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 (dua) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bahwa penggabungan atau peleburan suatu badan usaha dilarang apabila perbuatan tersebut dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Secara substansial ada dua hal yang diatur dalam ketentuan pasal Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang pertama penggabungan dan peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 28 ayat(1)). Kemudian yang kedua adalah pengambilalihan saham perusahaan lain yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 28 ayat (2)). Pada Pasal 28 ayat tiga (3) tersebut menegaskan bahwa ketentuan tentang penggabungan, peleburan maupun pengambilalihan saham akan diatur lebih lanjutdi dalam peraturan pemerintah. Dalam penjelasan Pasal 28 ayat 1 (satu) yang dimaksud badan usaha, meliputi baik bentuk usaha yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang menjalankan 50 Ibid, hal 143

20 49 suatu jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan untuk memperoleh laba. 51 Selanjutnya dalam Pasal 29 UU No 5 Tahun 1999 di atur sebagai berikut : 1) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai asset dan/atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberritahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tersebut; 2) Ketentuan tentang nilai asset dan/atau nilai penjualan serta tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Jika Pasal 28 yang lebih substantif, maka Pasal 29 mengatur aspek prosedural, yaitu meletakkan kewajiban pada pelaku usaha yang melakukan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan seperti yang dimaksud dalam Pasal 28 untuk selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari memberitahukan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan kepada komisi, jika tindakan tersebut menyebabkan nilai asset dan/atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu. Ketentuan tentang jumlah tertentu dan tata cara pemberitahuan diatur dalam peraturan pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010, selanjutnya disebut PP Nomor 57 Tahun 2010, tentang Penggabungan dan Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diatur pada Pasal 5 PP Nomor 57 Tahun 2010 mengenai nilai asset dan nilai penjualan yaitu sebagai berikut : 51 Suhasril dan M. Taufik Makarao, Opcit, hal 147

21 50 (1) Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan lain yang berakibat nilai aset dan/atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu wajib diberitahukan secara tertulis kepada Komisi paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal telah berlaku efektif secara yuridis Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan. (2) Jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. nilai aset sebesar Rp ,00 (dua triliun lima ratus miliar rupiah); dan/atau b. nilai penjualan sebesar Rp ,00 (lima triliun rupiah). (3) Bagi Pelaku Usaha di bidang perbankan kewajiban menyampaikan pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku jika nilai aset melebihi Rp ,00 (dua puluh triliun rupiah). (4) Nilai aset dan/atau nilai penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dihitung berdasarkan penjumlahan nilai aset dan/atau nilai penjualan dari: a. Badan Usaha hasil Penggabungan, atau Badan Usaha hasil Peleburan, atau Badan Usaha yang mengambilalih saham perusahaan lain dan Badan Usaha yang diambilalih; dan b. Badan Usaha yang secara langsung maupun tidak langsung mengendalikan atau dikendalikan oleh Badan Usaha hasil Penggabungan, atau Badan Usaha hasil Peleburan, atau Badan Usaha yang mengambilalih saham perusahaan lain dan Badan Usaha yang diambilalih. Tata cara pemberitahuan seperti yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) adalah sebagai berikut ( Pasal 8 PP Nomor 57 Tahun 2010) : (1) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (3) dilakukan dengan cara mengisi formulir yang telah ditetapkan oleh Komisi. (2) Formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. Nama, alamat, nama pimpinan atau pengurus Badan Usaha yang melakukan Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan lain; b. Ringkasan rencana Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan; dan c. Nilai aset atau nilai hasil penjualan Badan Usaha. (3) Formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:

22 51 a. Ditandatangani oleh pimpinan atau pengurus Badan Usaha yang melakukan Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan lain; dan b. Dilampiri dokumen pendukung yang berkaitan dengan Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan. Dalam hal Pelaku Usaha tidak menyampaikan pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (3), Pelaku Usaha dikenakan sanksi berupa denda administratif sebesar Rp ,00 (satu miliar rupiah) untuk setiap hari keterlambatan, dengan ketentuan denda administratif secara keseluruhan paling tinggi sebesar Rp ,00 (dua puluh lima miliar rupiah). Komisi yang ada dalam Pasal 29 tersebut adalah Komisi Pengawasan Persaingan Usaha, dimana salah satu tugasnya adalah melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 UU Nomor 5 Tahun Tentang tata cara penilaian Komisi telah diatur dalam Pasal 9 PP Nomor 57 Tahun 2010 yaitu : (1) Berdasarkan pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (3), Komisi melakukan penilaian untuk memberikan pendapat terhadap ada atau tidaknya dugaan Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat akibat dari Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan. (2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal dokumen pemberitahuan tertulis diterima Komisi secara lengkap.

23 52 Penilaian yang dilakukan oleh Komisi terhadap penggabungan badan usaha, peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham perusahaan dilakukan dengan menggunakan analisis yaitu 52 ; a. Konsentrasi Pasar Konsentrasi pasar merupakan indikator awal untuk menilai apakah Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan yang menciptakan konsentrasi pasar rendah tidak berpotensi mengakibatkan Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebaliknya Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan yang menciptakan konsentrasi pasar tinggi berpotensi mengakibatkan Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat bergantung pada analisis lainnya pada pasar bersangkutan. b. Hambatan Masuk Pasar Tanpa adanya hambatan masuk pasar, Pelaku Usaha pasca Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan dengan penguasaan pangsa pasar yang besar akan kesulitan untuk melakukan perilaku anti persaingan, karena setiap saat dapat 52 Penjelasan Pasal 3 PP Nomor 57 Tahun 2010

24 53 dihadapkan dengan tekanan persaingan dari pemain baru di pasar. Sebaliknya, dengan eksistensi hambatan masuk pasar yang tinggi, Badan Usaha hasil Penggabungan, Badan Usaha hasil Peleburan, atau Pelaku Usaha yang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain dengan penguasaan pasar menengah memiliki kemungkinan untuk menyalahgunakan posisinya untuk menghambat persaingan atau mengeksploitasi konsumen karena pemain baru akan kesulitan untuk memasuki pasar dan memberikan tekanan persaingan terhadap Pelaku Usaha yang telah ada di dalam pasar. c. Potensi Perilaku Anti Persaingan Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, dan/atau Pengambilalihan saham perusahaan yang melahirkan satu Pelaku Usaha yang relatif dominan terhadap Pelaku Usaha lainnya di pasar, memudahkan Pelaku Usaha tersebut untuk menyalahgunakan posisi dominannya demi meraih keuntungan yang sebesarbesarnya bagi perusahaan dan mengakibatkan kerugian bagi konsumen. Sebaliknya, dalam hal Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan tidak melahirkan Pelaku Usaha yang dominan di pasar, namun masih terdapat beberapa pesaing signifikan, maka Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan tersebut memudahkan terjadinya tindakan anti persaingan yang dilakukan secara terkoordinasi dengan

25 54 pesaingnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan yang dilakukan secara vertikal dapat menciptakan terhalangnya akses pesaing baik pada pasar hulu maupun pasar hilir sehingga mengurangi tingkat persaingan pada pasar hulu atau pasar hilir tersebut. d. Efisiensi Dalam hal Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan yang direncanakan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, maka perlu dilakukan perbandingan antara efisiensi yang dihasilkan dengan dampak anti persaingan yang ditimbulkannya. Dalam hal nilai dampak anti persaingan melampaui nilai efisiensi yang diharapkan dicapai dari Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan, maka persaingan yang sehat akan lebih diutamakan dibanding dengan mendorong efisiensi bagi Pelaku Usaha. Persaingan yang sehat baik langsung maupun tidak langsung akan dengan sendirinya melahirkan Pelaku Usaha yang lebih efisien di pasar. e. Kepailitan Dalam hal alasan Pelaku Usaha melakukan Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan lain adalah untuk menghindari terhentinya Badan Usaha tersebut untuk

26 55 beroperasi di pasar/industri, maka diperlukan suatu penilaian. Dalam hal kerugian konsumen lebih besar apabila Badan Usaha tersebut keluar dari pasar/industri dibanding jika Badan Usaha tersebut tetap berada dan beroperasi di pasar/industri, maka tidak terdapat kekhawatiran berkurangnya tingkat persaingan di pasar berupa Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat yang diakibatkan dari Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan tersebut. Berdasarkan penilaian tersebut, Komisi memberikan saran, bimbingan, dan/atau pendapat tertulis mengenai rencana Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan lain kepada Pelaku Usaha. Saran, bimbingan, dan/atau pendapat tertulis diberikan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya formulir dan dokumen secara lengkap oleh Komisi. Penilaian yang diberikan oleh Komisi bukan merupakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan lain yang akan dilakukan oleh Pelaku Usaha, dan tidak menghapuskan kewenangan Komisi untuk melakukan penilaian setelah Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan lain yang bersangkutan berlaku efektif secara yuridis.

27 56 Jika pelaku usaha tidak melaksanakan ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 29 UU Nomor 5 Tahun 1999 maka sesuai dengan Pasal 47 huruf e jo pasal 48 ayat 1 (satu), pihak Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yaitu berupa penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburann badan usaha dan pengambilalihan saham dan/atau penetapan pembayaran ganti rugi dan/atau pidana denda serendah rendahnya Rp (duapuluh lima milyar rupiah) dan setinggi tingginya sebesar Rp (seratus milyar rupiah). Sehubungan ketentuan posisi dominan, terutama terkait dengan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi) dalam Pasal 28, ada kaitannya dengan Pasal 126 UUPT yaitu Perbuatan hukum penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan wajib memperhatikan kepentingan : a) Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan ; b) Kreditor dan mitra usaha lainnya dari perseroan ; dan c) Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha Dari dua perangkat ketentuan undang-undang di atas, secara tegas dapat di bedakan antara lain sebagai berikut : a. Ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada prinsipnya menentukan bahwa perbuatan hukum yang berbentuk penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan badan usaha, boleh

28 57 dilakukan oleh pelaku usaha sepanjang perbuatan itu tidak mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. b. Sedangkan ketentuan Pasal 126 UUPT, menentukan bahwa perbuatan hukum penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan wajib memperhatikan antara lain kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha. Dari kedua ketentuan tersebut diatas dalam pembentukan undang-undang, berarti telah melakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan mengenai penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan usaha, termasuk dalam hal ini merger yang dilakukan dalam bidang perbankan. 6. Relevansi Single Presence Policy Dalam Penggabungan Usaha dikaitkan dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Liberalisasi sektor perbankan sangat berhubungan erat dengan jalannya agenda liberalisasi di sektor-sektor yang lain. Hal ini dikarenakan liberalisasi tidak dapat berjalan dengan baik jika kondisi keuangan dan moneter tidak dalam kondisi yang sehat dan baik. World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi internasional yang memang dibuat untuk menciptakan rencana liberalisasi. WTO bekerja bersama-sama dengan lembaga keuangan internasional, seperti IMF (International Monetary Fund) dan World Bank (Bank Dunia) memastikan seluruh agenda liberalisasi berjalan dengan baik di seluruh dunia. Multilateral Agreement di dalam WTO mulai berlaku dan dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 1995, salah

29 58 satunya adalah perjanjian di bidang jasa yaitu General Agreement on Trade in Service (GATS). 53 Fokus utama liberalisasi perbankan di dalam GATS adalah menegenai akses pasar dan perlakuan nasional (National Treatment) yang menginginkan dihilangkannya hambatan di sektor jasa perbankan khususnya berkaitan dengan kemudahan masuknya bank asing untuk beroperasi di suatu negara, diperbolehkannya investor asing untuk dapat memiliki saham perbankan sampai 100 % dan keberadaan tenaga kerja asing. Selanjutnya untuk menunjang terealisasinya agenda tersebut diatas maka dibentuklah BCBS (Basel Committee on Banking Supervison), sebagai standarisasi dan menjadi acuan internasional bagi seluruh bank di dunia yang kemudian diadopsi kedalam regulasi domestik, khususnya oleh negara berkembang. 54 Sehingga implikasi penting dari pengadopsian konsep liberalisasi perbankan ke dalam regulasi perbankan nasional sebagaimana yang ditetapkan oleh BCBS adalah mulai muncul banyak bank-bank asing sehingga dampaknya adalah mendominasi pasar perbankan Indonesia. Praktek liberalisasi yang terjadi adalah pihak asing dapat menguasai pasar perbankan Indonesia. Praktek pendominasian bank asing di dalam perbankan Indonesia salah satunya di dukung dengan konsep Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari API bertujuan untuk membuat 53 www. igj.or.id // Rezim Internasional Sektor Keuangan dan Dominasi Modal Asing, hal 1 54 Ibid, hal 7

30 59 struktur perbankan nasional yang lebih kuat dan sehat dengan cara pengkonsolidasian bank sehingga jumlah bank bisa berkurang dan memiliki aspek permodalan yang kuat. Keinginan API ini ternyata menjadi peluang besar untuk dapat menguasai mayoritas saham bank umum nasional. 55 Untuk mendapatkan struktur perbankan yang efisien dan efektif maka kemudian dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor. 8/16/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kepemilikan Tunggal Perbankan Indonesia atau sering disebut Single Presence Policy (SPP), selanjutnya disebut PBI No. 8/16/PBI/2006. Single Presence Policy (SPP) atau pemilikan tunggal bank merupakan salah satu kebijakan dari Bank Indonesia yang bertujuan antara lain untuk meningkatkan economic of scale dan pengawasan terhadap bank-bank di Indonesia. Selain itu juga sebagai salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Tujuan dikeluarkannya PBI tersebut selaras dengan PBI Nomor. 7/15/PBI/2005 sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor. 9/16/PBI/2007 tentang ketentuan Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum, yaitu untuk mengarahkan bankbank di Indonesia agar memiliki struktur permodalan yang kuat, salah satu caranya adalah dengan cara konsolidasi (pemisahan), merger (penggabungan), atau akuisisi (pengambilalihan). 56 Kemudian dalam rangka mendorong konsolidasi perbankan perlu dilakukan penataan kembali struktur kepemilikan perbankan melalui penerapan kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia dan disamping itu 55 Ibid, hal 3 56 Hukumonline.com // single presence policy

31 60 kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung efektivitas pengawasan bank. Langkah-langkah konsolidasi perbankan dilakukan antara lain melalui penataan kembali struktur kepemilikan pada perbankan Indonesia, khususnya melalui penerapan kebijakan kepemilikan tunggal (single presence policy). Kepemilikan Tunggal atau SPP menurut Pasal 1 angka 2 PBI No. 8/16/PBI/2006 adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya menjadi pemegang saham pengendali pada 1 (satu) bank. Pada prinsipnya kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia diberlakukan untuk kepemilikan saham bank oleh Pemegang Saham Pengendali yang diperoleh setelah berlakunya ketentuan ini. Namun demikian untuk mendukung tercapainya tujuan dari kebijakan tersebut, maka Pemegang Saham Pengendali bank yang telah mengendalikan lebih dari 1 (satu) Bank Umum pada saat mulai berlakunya ketentuan ini juga wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sahamnya pada bank-bank yang dikendalikannya. Dalam PBI No. 8/16/PBI/2006 tersebut telah ditentukan mengenai Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum dan atau perorangan dan atau kelompok usaha yang : a. Memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara; b. Memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank baik secara langsung maupun tidak langsung.

32 61 Setelah melihat batas kepemilikan saham dari pemegang saham pengendali, di dalam Pasal 2 PBI ini diatur juga mengenai : (1) Setiap pihak hanya dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) Bank. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi: a. Pemegang Saham Pengendali pada 2 (dua) Bank yang masingmasing melakukan kegiatan usaha dengan prinsip berbeda, yakni secara konvensional dan berdasarkan prinsip Syariah; b. Pemegang Saham Pengendali pada 2 (dua) bank yang salah satunya merupakan Bank Campuran (Joint Venture Bank) ; c. Bank Holding Company sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c. Dalam ketentuan di atas dapat dijelaskan bahwa apabila Pemegang Saham Pengendali memiliki lebih dari 2 (dua) bank dan diantaranya terdapat beberapa bank yang memiliki prinsip kegiatan usaha yang sama, maka kepemilikan atas bank-bank dengan prinsip kegiatan usaha yang sama tersebut tidak memperoleh pengecualian. Sebagai contoh : Pemegang Saham Pengendali yang telah memiliki 1 (satu) bank konvensional dan 1 (satu) bank berdasarkan Prinsip Syariah yang kemudian mengakuisisi bank berdasarkan Prinsip Syariah, maka Pemegang Saham Pengendali tersebut wajib melakukan merger atau konsolidasi atas kedua bank berdasarkan Prinsip Syariah tersebut. Sejak mulai berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, pihak-pihak yang telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu) bank wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sebagai berikut sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 (satu) dalam PBI ini adalah : a. Mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih Bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga

33 62 yang bersangkutan hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) Bank; b. Melakukan merger atau konsolidasi atas Bank-bank yang dikendalikannya; c. Membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company), dengan cara : 1) Mendirikan badan hukum baru sebagai Bank Holding Company; atau 2) Menunjuk salah satu bank yang dikendalikannya sebagai Bank Holding Company. Setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pembelian saham bank lain dan mengakibatkan yang bersangkutan memenuhi kriteria sebagai Pemegang Saham Pengendali bank yang dibeli, maka yang bersangkutan wajib melakukan merger atau konsolidasi atas bank dimaksud dengan bank yang telah dimiliki sebelumnya. Dalam hal penyesuaian struktur kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat akhir Desember Atau berdasarkan permintaan pemegang saham pengendali dan bank-bank yang dikendalikannya, Bank Indonesia dapat memberikan perpanjangan jangka waktu penyesuaian struktur kepemilikan apabila menurut penilaian Bank Indonesia kompleksitas permasalahan yang tinggi yang dihadapi pemegang saham pengendali dan atau bank-bank yang dikendalikannya menyebabkan penyesuaian struktur kepemilikan tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana tersebut di atas. Menurut Pasal 9 PBI tersebut diatur pula mengenai : (1) Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang tidak melakukan penyesuaian struktur kepemilikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 (akhir Desember 2010 atau berdasarkan permintaan pemegang saham pengendali kepada Bank Indonesia) dilarang melakukan pengendalian dan dilarang memiliki

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK

Lebih terperinci

Adapun...

Adapun... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/16/PBI/2006 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/16/PBI/2006 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/16/PBI/2006 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat,

Lebih terperinci

*36403 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 28 TAHUN 1999 (28/1999) TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK

*36403 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 28 TAHUN 1999 (28/1999) TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK Copyright (C) 2000 BPHN PP 28/1999, MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK *36403 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 28 TAHUN 1999 (28/1999) TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan bank di Indonesia mengalami proses pasang surut, dimulai pada

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan bank di Indonesia mengalami proses pasang surut, dimulai pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan bank di Indonesia mengalami proses pasang surut, dimulai pada tahun 1983 dimana berbagai derelugasi (penghapusan atau pembatalan suatu peraturan) mulai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat,

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG FASILITASI PENANAMAN MODAL DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/24/PBI/2012 TAHUN 2012 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/24/PBI/2012 TAHUN 2012 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/24/PBI/2012 TAHUN 2012 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mengantisipasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 14/ 24 /PBI/2012 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 14/ 24 /PBI/2012 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 14/ 24 /PBI/2012 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mengantisipasi

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG KONSULTASI PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANJUNGPINANG, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39/POJK.03/2017 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39/POJK.03/2017 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39/POJK.03/2017 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PP. No. : 45 Tahun 1995 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 56 /POJK.03/2016 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 56 /POJK.03/2016 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 56 /POJK.03/2016 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI

MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI PENGANTAR MERGER PT A PT B DAPAT A/B PENGANTAR KONSOLIDASI PT A PT B MUNCUL C PENGANTAR AKUISISI PT A PT B ASAL: 1. 20% 2. 50% 3. 30% MENJADI: 1. 20% PT. A 50% 3. 30% Merger

Lebih terperinci

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1999 (5/1999) Tanggal: 5 MARET 1999 (JAKARTA) Tentang: LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor : 13 Tahun 2010 Tanggal : 18 Oktober 2010 BAB I LATAR BELAKANG Tindakan penggabungan, peleburan dan/atau pengambilalihan, disadari atau tidak,

Lebih terperinci

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PP. No. : 45 Tahun 1995 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KOTA TANGERANG SELATAN

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KOTA TANGERANG SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KOTA TANGERANG SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG SELATAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1992 TENTANG BANK UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1992 TENTANG BANK UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1992 TENTANG BANK UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. Bahwa perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.03/2014 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.03/2014 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.03/2014 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2006 Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2006 Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 2006 Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor:8/16/PBI/2006 mengenai Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia. Peraturan ini dikeluarkan

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG BAB I LATAR BELAKANG Tindakan penggabungan, peleburan dan/atau pengambilalihan disadari atau tidak, akan mempengaruhi persaingan antar para pelaku usaha di dalam pasar bersangkutan dan membawa dampak kepada

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pembinaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan kegiatan Pasar

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUMEDANG BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan dalam dunia perbankan mengharuskan setiap bank melakukan langkahlangkah

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan dalam dunia perbankan mengharuskan setiap bank melakukan langkahlangkah BAB I PENDAHULUAN Persaingan dalam dunia perbankan mengharuskan setiap bank melakukan langkahlangkah manajemen untuk memperkuat modal perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Saat ini salah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembinaan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] BAB VIII SANKSI Bagian Pertama Tindakan Administratif Pasal 47 (1) Komisi berwenang

Lebih terperinci

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37/POJK.04/2014 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37/POJK.04/2014 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37/POJK.04/2014 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 8 /PBI/2012 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 8 /PBI/2012 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, - 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 8 /PBI/2012 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menghadapi dinamika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Pakto 88), menjadi 240 bank pada tahun Sedangkan Bank

BAB I PENDAHULUAN. (Pakto 88), menjadi 240 bank pada tahun Sedangkan Bank DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I : Laporan Keuangan Bank CIMB Niaga Tahun 2006, 2007 Dan 2008... 83 Lampiran II : Catatan Atas Laporan Keuangan Konsolidasian Bank CIMB Niaga Tahun 2006, 2007 dan 2008... 93 Lampiran

Lebih terperinci

PETUNJUK PELAKSANAAN PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN

PETUNJUK PELAKSANAAN PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2009 Tanggal 13 Mei 2009 PETUNJUK PELAKSANAAN PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN DAFTAR ISI BAB I BAB II BAB III

Lebih terperinci

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Pedoman Pra-Notifikasi Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA, Menimbang : a. bahwa usaha mikro, kecil dan

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

2015, No.73 2 e. bahwa sehubungan dengan huruf a sampai dengan huruf d diatas diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan M

2015, No.73 2 e. bahwa sehubungan dengan huruf a sampai dengan huruf d diatas diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan M No.73, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. OJK. Modal Minimum. Modal Inti Minimum. Bank. Perkreditan Rakyat. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5686) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya suatu perusahaan didirikan dengan tujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya suatu perusahaan didirikan dengan tujuan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya suatu perusahaan didirikan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan, hal mana sejalan dengan pengertian perusahaan menurut Undang-undang No. 3 Tahun 1982

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 14 2012 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI 1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap PT. Bank CIMB Niaga, Tbk. dimana bank tersebut melakukan merger dengan PT. Bank Lippo, Tbk. pada tanggal 1 November

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari suatu benda atau hak kepada benda atau hak lainnya. Secara umum dapat

BAB I PENDAHULUAN. dari suatu benda atau hak kepada benda atau hak lainnya. Secara umum dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah merger dapat didefinisikan sebagai suatu fusi atau absorbsi dari suatu benda atau hak kepada benda atau hak lainnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa

Lebih terperinci

PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR A20110 TENTANG

PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR A20110 TENTANG PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR A20110 TENTANG PENGAMBILALIHAN (AKUISISI) PT BANK AGRONIAGA, TBK OLEH PT BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) I. LATAR BELAKANG 1.1 Pada tanggal 13 Oktober 2010,

Lebih terperinci

RANCANGAN POJK PERUSAHAAN INDUK KONGLOMERASI KEUANGAN

RANCANGAN POJK PERUSAHAAN INDUK KONGLOMERASI KEUANGAN Materi ini dapat diakses melalui http://www.ojk.go.id/id/regulasi/otoritas-jasakeuangan/rancangan-regulasi/default.aspx RANCANGAN POJK PERUSAHAAN INDUK KONGLOMERASI KEUANGAN Batang Tubuh PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan kegiatan Pasar

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.284, 2012 PERBANKAN. BI. Kepemilikan. Tunggal. Struktur. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5382) PERATURAN BANK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2005 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, DAN PERUBAHAN BENTUK BADAN HUKUM BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembinaan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5 /POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5 /POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5 /POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.9, 2016 EKONOMI. Penjaminan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1 /POJK.05/ TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMIN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1 /POJK.05/ TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMIN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1 /POJK.05/20172017 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/ 27 /PBI/2000 TENTANG BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/ 27 /PBI/2000 TENTANG BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, - 1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/ 27 /PBI/2000 TENTANG BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang mengalami perubahan yang cepat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 448/KMK.017/2000 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 448/KMK.017/2000 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 448/KMK.017/2000 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pemulihan perekonomian nasional,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2011 NOMOR 34 SERI E NOMOR 11

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2011 NOMOR 34 SERI E NOMOR 11 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2011 NOMOR 34 SERI E NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMOSIR NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA digilib.uns.ac.id 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Insentif Pajak untuk Investasi Insentif pajak untuk investasi merupakan sebuah keringanan pajak yang diberikan oleh negara untuk meningkatkan investasi di

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/25 /PBI/2003 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/25 /PBI/2003 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/25 /PBI/2003 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mendorong terciptanya sistem perbankan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR,

BUPATI BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, BUPATI BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Menimbang : bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa untuk mempercepat pembangunan ekonomi Aceh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan penanaman modal juga harus sejalan dengan perubahan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan penanaman modal juga harus sejalan dengan perubahan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan penanaman modal merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2009 Ekonomi. Lembaga. Pembiayaan. Ekspor. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN

Lebih terperinci