KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional. Drs. R. Heru Umbara

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional. Drs. R. Heru Umbara"

Transkripsi

1

2

3 KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas karunia-nya Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah IX dapat diterbitkan. Seminar dengan tema Clean Technology untuk Pengelolaan Limbah dan Lingkungan telah dilaksanakan pada tanggal 5 Oktober 2011 di Gedung Graha Widya Bhakti, Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang. Seminar ini diselenggarakan sebagai media sosialisasi hasil penelitian di bidang pengelolaan limbah radioaktif dan non radioaktif. Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah IX dijadikan sebagai media tukar menukar informasi dan pengalaman, ajang diskusi ilmiah, peningkatan kemitraan di antara peneliti dengan praktisi, penimbul dengan pengelola limbah, mempertajam visi pembuat kebijakan dan pengambil keputusan, serta peningkatan kesadaran kolektif terhadap pentingnya pengelolaan limbah yang handal. Prosiding ini memuat karya tulis dari berbagai hasil penelitian mengenai pengelolaan limbah radioaktif, industri dan lingkungan. Makalah dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu Kelompok Teknologi Proses, Keselamatan dan Lingkungan, Manajemen dan Informasi Limbah, Dekontaminasi dan Dekomisioning, serta Kelompok Penyimpanan dan Transportasi. Makalahmakalah tersebut berasal dari para peneliti di lingkungan BATAN, BAPETEN, Universitas Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta dan Institut Pertanian Bogor. Semoga penerbitan prosiding ini dapat digunakan sebagai data sekunder dalam pengembangan penelitian di masa akan datang, serta dijadikan bahan acuan dalam pengelolaan limbah. Akhir kata kepada semua pihak yang telah membantu, kami ucapkan terima kasih. Kepala Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional Drs. R. Heru Umbara i

4 SUSUNAN EDITOR Ketua : Ir. Herlan Martono, MMSc. - BATAN Anggota : 1. Prof. Ir. Zainus Salimin, M.Si. - BATAN 2. Drs. Gunandjar, SU - BATAN 3. Dr. Syahrir - BATAN 4. Dr. Budi Setiawan - BATAN 5. Heni Suseno, M.Si. - BATAN 6. Ir. Sucipta, M.Si - BATAN 7. Dr. Yus Rusdian Ahmad - BAPETEN 8. Dr. Thamzil Las - UIN Syarif Hidayatullah 9. Ir. Soesaptri Oediyani, M.Eng - FT UNTIRTA 10. Dra. Erlina Yustanti, M.Si - FT UNTIRTA ii

5 SUSUNAN PANITIA Pengarah Pembina : Dr. Djarot S. Wisnubroto - BATAN Penanggung Jawab : Drs. R. Heru Umbara BATAN Penyelenggara Ketua : Hendra Adhi Pratama, M.Si - BATAN Wakil Ketua : Irwan Santoso, ST., M.Si. - BATAN Sekretaris : Lestari Widowati, SE. - BATAN Anggota : Drs. Heru Santosa, MT. - BATAN Ir. Suryanto - BATAN Mas udhi, SST. - BATAN Gustri Nurliati, S.Si. - BATAN Jaka Rachmadetin, S.Si. - BATAN Budi Arisanto, A.Md. - BATAN Suparno, A.Md. - BATAN Mardini - BATAN Imam Sasmito - BATAN M. Cecep Cepi Hikmat, SST. - BATAN Sukismanto Widodo, S. Sos. - BATAN Adi Wijayanto, A.Md. - BATAN Staf Pendukung : Suhartono, A.Md. - BATAN Muh. Muhyidin Farid, SST. - BATAN Sariyadi - BATAN Yuli Purwanto, A.Md. - BATAN Aji Suprayoga, A.Md. - BATAN Rusfarmi Idrus - BATAN iii

6 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i SUSUNAN PANITIA... ii DAFTAR ISI... iii 1 Urgensi Amandemen Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif... Nanang Triagung Edi Hermawan 2 Kajian Tentang NSS 9/08 dan INFCIRC/225 Rev 4/99 Terkait Penentuan Tingkat Keamanan Alam Pengangkutan Zat Radioaktif... Togap Marpaung 3 Analisis Perhitungan Transmutasi Limbah Aktinida Minor: Kajian Awal Small-Scale Accelerator Driven System Berbasis Reaktor Kartini... Edi Triyono B.S, Syarip 4 Penggunaan Computer Code Origen 2 untuk Estimasi Perhitungan Radionuklida pada Komponen Reaktor Riset Triga Mark II... Mulyono Daryoko, Nurokhim 5 Optimalisasi Pendinginan Bahan Bakar Nuklir Bekas Reaktor Serbaguna Siwabessy di Kolam Penyimpanan Sementara... Kuat Heriyanto, Nurokhim 6 Peran Sampel Lingkungan Sebagai Alat Bukti dalam Penegakan Hukum Terkait Masalah Lingkungan Hidup... Lilin Indrayani 7 Pengolahan Limbah Radioaktif Terpadu dari PLTN... Husen Zamroni, Pungky Ayu Artiani 8 Sistem Kedaruratan Nuklir Irlandia... Akhmad Khusyairi 9 Dasar-Dasar Penentuan Tindakan Keamanan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif... Togap Marpaung 10 Pengelolaan Sumber Radioaktif Terbungkus Bekas dari Industri di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif... Bung Tomo, Irwan Santoso, Suhartono iv

7 11 Perubahan Komposisi Bahan Pembentuk Gelas Terhadap Karakteristik Gelas Limbah... Aisyah 12 Imobilisasi Limbah Sludge Radioaktif dari Dekomisioning Fasilitas Pemurnian Asam Fosfat Menggunakan Bahan Matriks Synroc... Gunandjar 13 Glass Frit dan Polimer untuk Solidifikasi Limbah Cair Aktivitas Rendah Skala Industri... Herlan Martono 14 Aktivitas Bromelain pada Limbah padat Pengalengan Nenas dan Pengaruh Semipurifikasi... Charlena, Aisjah Girinda, Rifan Pengolahan Limbah Cair dari Kegiatan Praktikum Analisis Spot Test dengan Koagulasi Menggunakan Polialuminium Klorida... Eti Rohaeti, Trie Nenny Febriyanti, Irmanida Batubara 16 Denitrifikasi Limbah Radioaktif Cair yang Mengandung Asam Nitrat dengan Proses Biooksidasi... Zainus Salimin, Jaka Rachmadetin Imobilisasi Limbah Sludge Radioaktif Hasil Dekomisioning Fasilitas PAF-PKG Menggunakan Bahan Matriks Synroc dengan Proses Sintering... Endang Nuraeni, Gunandjar Imobilisasi Limbah Sludge Radioaktif dari Dekomisioning Fasilitas Pemurnian Asam Fosfat dengan Matriks Campuran Bitumen dan Pasir... Mirawaty, Gunandjar Potensi Yeast pada Pengurangan Konsentrasi Uranium dalam Limbah Organik TBP-Kerosin yang Mengandung Uranium... Defi Oriza Satife, Anna Rahmawati, M. Yazid 20 Imobilisasi Alumino Siliko Phospat Jenuh Uranium Menggunakan Polimer Epoksi... Yuli Purwanto, Aisyah 21 Karakterisasi Bakteri Toleran Uranium dalam Limbah Uranium Fase Organik TBP-Kerosin... Mirna Windiya Jayanti, Bernadetta Octavia, Moch Yazid v

8 22 Konsep Pengelolaan Limbah Radioaktif Program Dekomisioning Reaktor Riset... Sutoto, Suwardiyono 23 Inventarisasi Paket Limbah Olahan untuk Penyimpanan Akhir dalam Disposal Demo Plant... Heru Sriwahyuni 24 Pengembangan Metode Drastic untuk Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability) Pencemaran Air Tanah Calon Lokasi Landfill Tenorm... Moekhamad Alfiyan 25 Pemilihan Tapak Potensial untuk Penyimpanan Lestari Limbah Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya... Sucipta, Budi Setiawan, Dadang Suganda, Arimuladi Setyo Purnomo 26 Sorpsi Radionuklida Cs-137 Oleh Batulempung Formasi Daerah Subang Sebagai Wilayah Potensial untuk Penyimpanan Lestari Limbah Radioaktif... Budi Setiawan 27 Konsep Desain Fasilitas Demo-Plant Penyimpanan Limbah Radioaktif Dekat Permukaan (Near Surface disposal) di Kawasan Nuklir Serpong... Dewi Susilowati, Sucipta, Dadang Suganda Karakterisasi Kapang Toleran Uranium pada Limbah Cair Tributil Fosfat (TBP) Kerosin yang Mengandung Uranium... Dwi Slamet SR, Anna Rahmawati, M. Yazid 29 Potensi Ancaman Emisi Udara Sistem Kelistrikan Sumatera... Edwaren Liun 30 Penyerapan Limbah Uranium dalam Rafinat Menggunakan Resin Penukar Anion dengan Pengkompleks Karbonat dan Imobilisasi Menggunakan Polimer Poliester Tak Jenuh... Wati Model Sebaran Panas Air Kanal Pendingin Instalasi Pembangkit Listrik Ke Badan Air Laut... Chevy Cahyana 32 Radioekologi Kelautan di Semenanjung Muria : Studi distribusi dan Prilaku Radionuklida Ra-226, Ra-228 dan K-40 di Perairan Pesisir... Wahyu Retno Prihatiningsih, Sumi Hudiyono PWS vi

9 33 Rona Awal Lingkungan Calon Tapak PLTN Studi Kasus Muntok, Kab. Bangka Barat... Lilin Indrayani Pengolahan Limbah Boron-10 dari Operasi PLTN Tipe PWR dengan Teknik Solidifikasi Hyper Cement... Subiarto, Cahyo Hari Utomo 317 vii

10 viii

11 URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF Nanang Triagung Edi Hermawan Staf Direktorat Pengaturan Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif - BAPETEN ABSTRAK URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF. Pemanfaatan zat radioaktif di Indonesia semakin berkembang pesat, meliputi seluruh wilayah provinsi. Kondisi ini menyebabkan kebutuhan pengangkutan zat radioaktif antar wilayah, maupun dari dan ke luar negeri juga mengalami peningkatan. Frekuensi pengangkutan zat radioaktif yang tinggi harus diatur secara komprehensif untuk menjamin keselamatan terhadap personil pengangkut, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 memiliki beberapa kelemahan yang menyebabkan kemampulaksanaan peraturan tersebut tidak optimal. Di sisi lain, isu tentang penerapan aspek keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif perlu dilakukan dengan mempertimbangkan dinamika kondisi keamanan saat ini, baik di tingkat nasional, regional, maupun global. Amandemen terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 memiliki tingkat kemendesakan yang tinggi. Amandemen harus mencakup pengaturan tentang keamanan, serta melengkapi, merinci, dan mempertegas pengaturan teknis. Dengan demikian peraturan pemerintah yang baru akan lebih komprehensif, jelas, tegas, dan memiliki tingkat kemampulaksanaan yang tinggi. Kata kunci: amandemen, peraturan pemerintah, pengangkutan, zat radioaktif. ABSTRACT AMENDMENT URGENCY OF GOVERNMENT REGULATION NUMBER 26 YEAR 2002 ABOUT THE SAFETY TRANSPORTATION OF RADIOACTIVE MATERIAL. The practice of radioactive material in Indonesia grows quickly, in all province regency. These condition caused transportation of radioactive material inter region, or internationally grows up. High frequency of radioactive material transportation has to be arranged by comprehensive regulation to reach the safety of transportation personnel, member of public, and environment. Government Regulation Number 26 Year 2002 has some leaks that makes the regulation implementation doesn t optimum. The other issue is implementation security aspect on radioactive material transportation. It needs to be done by considering security condition in national, regional, and global level. Amendment of Government Regulation Number 26 Year 2002 has high urgency. The amendment should cover security issue, complete, detail, and enforce of technical regulations. By the amendment, new government regulation will comprehensive, clear, and has high implementation. Keywords: amendment, government regulation, transportation, radioactive material. 1

12 PENDAHULUAN Pemanfaatan tenaga nuklir dewasa ini telah merambah berbagai bidang kegiatan, di antaranya penelitian dan pengembangan, pendidikan, industri, kesehatan, pertanian, dan energi. Hingga saat ini penggunaan zat radioaktif di bidang kesehatan telah mencapai izin dengan instansi pengguna. Di bidang industri pemanfaatan radiasi dilakukan oleh 662 perusahaan dengan jumlah izin sebanyak Khusus untuk kegiatan riset maupun operasional reaktor riset terdapat 79 izin untuk 14 badan hukum [1]. Aplikasi penggunaan zat radioaktif dengan sekian ribu izin tersebut menyebar hampir merata di 33 provinsi, dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan kuantitas dan kualitasnya di masa depan. Sesuai dengan perkembangan dan peningkatan penggunaan zat radioaktif yang meluas di setiap wilayah sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa kebutuhan untuk pengangkutan zat radioaktif dari satu lokasi menuju ke lokasi yang lain dengan menggunakan moda angkutan umum juga terus meningkat. Moda angkutan yang dimaksud meliputi moda angkutan darat yang terdiri atas kendaraan jalan raya dan kereta, moda angkutan air berupa kapal, serta moda angkutan pesawat udara. Karena pengangkutan zat radioaktif melintasi ranah publik, baik yang bersifat domestik ataupun lintas negara, maka harus diberlakukan peraturan perundang-undangan yang memadai untuk menjamin keselamatan kepada pekerja, anggota masyarakat, maupun kelestarian lingkungan hidup. Sejarah pengaturan terhadap pengangkutan zat radioaktif diawali dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1975 tentang Ketentuan Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif. Peraturan ini merupakan payung hukum yang dibuat berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Seiring dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran [2], maka peraturan pemerintah sebagaimana tersebut di atas diamandemen dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif [3]. Sebagaimana judulnya, peraturan tersebut mengatur pelaksanaan pengangkutan zat radioaktif dari sisi keselamatan terhadap bahaya radiasi (safety aspect). Tragedi 11 September 2001 yang menimpa WTC menyebabkan perhatian dunia terhadap aspek keamanan meningkat. Demikian halnya dalam pemanfaatan zat radioaktif, aspek keamanan menjadi hal yang penting dan tidak dapat dikesampingkan lagi. Aspek keamanan (security) menjadi sejajar prioritasnya sebagaimana keselamatan (safety) dan seifgard (safeguard). Aspek keamanan tidak hanya diterapkan dalam penggunaan zat radioaktif pada fasilitas atau instalasi pemanfaatan saja, namun juga menjadi sangat penting pada saat pengangkutan zat radioaktif yang langsung melalui wilayah publik dimana potensi ancaman berupa sabotase, teror, serta perampokan yang signifikan. Di samping perlunya pengaturan tentang aspek keamanan selama pengangkutan zat radioaktif, beberapa pengaturan dalam PP No. 26 tahun 2002 dipandang memiliki kelemahan sehingga kurang mampu diterapkan sesuai dengan kebutuhan hukum di lapangan. Beberapa hal terkait dengan desain, pembuatan, pengujian, dan penerbitan sertifikat terhadap zat radioaktif dan bungkusan perlu diatur lebih rinci dan tuntas sehingga peraturan lebih operasional. Dengan demikian amandemen terhadap peraturan pengangkutan zat radiokatif tersebut memiliki kemendesakan dan urgensi untuk segera dilaksanakan. Pembahasan dalam makalah ini hanya mencakup urgensi pengamandemenan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif dari sudut pandang perkembangan konsep pengaturan di tingkat internasional dan kebutuhan dibentuknya sistem peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif, jelas, serta memiliki kemampulaksanaan di tingkat lapangan. Adapun tujuan penulisan paparan mengenai urgensi amandemen terhadap Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2002 diantaranya adalah: a. menelaah pengaturan tentang keselamatan pengangkutan zat radioaktif yang saat ini berlaku; 2

13 b. menelaah kelemahan dan kekurangan sistem pengaturan PP No. 26 Tahun 2002; c. menelaah perkembangan pengaturan pengangkutan dari aspek keselamatan dan keamanan dari berbagai referensi internasional; d. memberikan gambaran pokok-pokok pengaturan yang harus diperbarui atau ditambahkan; e. memberikan wahana kepada setiap pemangku kepentingan dalam pengangkutan zat radioaktif untuk saling berkomunikasi dan memberikan masukan agar terwujud peraturan yang lebih komprehensif dan implementatif di lapangan. METODOLOGI PENELITIAN Dalam penyusunan makalah mengenai amandemen terhadap Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif ini, dilakukan dengan metode diskriptif melalui studi pustaka dengan tahapan langkah meliputi pengumpulan literatur dan informasi pendukung, analisa, diskusi dan pembahasan, serta penyusunan laporan. Lingkup pembahasan dititikberatkan mengenai urgensi diperlukannya amandemen peraturan tersebut, dan muatanmuatan baru yang perlu diatur. PERKEMBANGAN SISTEM INTERNASIONAL Dunia internasional telah merintis pengembangan publikasi untuk keselamatan pengangkutan barang berbahaya sejak 1953 dengan dibentuknya United Nations Committe of Experts oleh United Nations Economic and Social Council (Dewan PBB yang menangani masalah Ekonomi dan Sosial). Pada tahun 1959 komite tersebut menjalin kerja sama dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk merintis perumusan publikasi tentang keselamatan pengangkutan zat radioaktif. Hasilnya adalah diterbitkannya publikasi tentang ketentuan keselamatan dalam pengangkutan zat radioaktif pada tahun Menindaklanjuti perkembangan teknologi dan kebutuhan operasional di lapangan, IAEA terus menerus mengevaluasi, mengembangkan, untuk kemudian melakukan revisi-revisi penyempurnaan yang diperlukan. Hingga saat ini telah dilakukan enam kali revisi, masing-masing versi tahun 1967, 1973, 1985, 1996, 2005, dan yang terakhir 2009 (Regulation for the Safe Transport of Radioactive Material) [4]. Dalam hal pengangkutan bahan berbahaya, International Civil Aviation Organization (ICAO), International Maritime Organization (IMO), dan United Nations Economic Commission for Europe (UNECE) menyusun publikasi the United Nations Model Regulations for the Transport of Dangerous Goods, yang lebih dikenal sebagai The Model Regulations [5]. Menyadari urgensi peningkatan ancaman keamanan pasca peristiwa 11 September 2001, komite ahli PBB mulai mengintroduksi tindakan untuk meningkatkan keamanan dalam kegiatan pengangkutan barang berbahaya dan barang berbahaya berisiko tinggi pada revisi ke dua belas the Model Regulations yang dicantumkan pada bagian 1.4. Khusus untuk pengangkutan bahan nuklir, IAEA telah menetapkan pengamanan bahan nuklir dengan mengintroduksi sistem proteksi fisik sejak 1979 dalam the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material [6], Untuk mendukung pelaksanaan konvensi tersebut, dikeluarkanlah publikasi the Physical Protection of Nuclear Material and Nuclear Facilities [7] dan panduan teknis dalam Guidence and Considerations for the Implementation of INFCIRC/225/rev.4 [8]. Secara khusus dalam penerapan aspek keamanan untuk kegiatan pengangkutan zat radioaktif selain bahan nuklir, IAEA telah merumuskan Security in Transport of Radioactive Material yang diterbitkan September 2008[9]. Fokus utama rekomendasi ini adalah dampak radiologik dan bahaya yang ditimbulkan oleh pemindahan secara tidak sah, sabotase, pencurian, perampokan, dan tindakan melawan hukum yang lain, selama kegiatan pengangkutan zat radioaktif. POKOK PENGATURAN Ruang lingkup Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif meliputi perizinan untuk pelaksanaan pengangkutan, kewajiban dan tanggung jawab para pihak yang terlibat dalam pengangkutan, persyaratan mengenai 3

14 pembungkusan, program proteksi radiasi, pelatihan bagi personil yang terlibat, program jaminan kualitas, jenis dan batasan zat radioaktif yang diangkut, pengaturan tentang pengangkutan zat radioaktif yang memiliki sifat bahaya lain, serta penanggulangan keadaan darurat selama pengangkutan. Isi PP No. 26 Tahun 2002 bab per bab selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 1 [3]. BAB Tabel 1. Pokok-pokok pengaturan PP No.26 Tahun 2002 POKOK PENGATURAN I Ketentuan Umum II Ruang Lingkup dan Tujuan III Perizinan IV Kewajiban dan Tanggung Jawab V Pembungkusan VI Program Proteksi Radiasi VII Pelatihan VIII Program Jaminan Kualitas IX Jenis dan Aktivitas Zat Radioaktif X Zat Radioaktif dengan Sifat Bahaya Lain XI Penanggulangan Keadaan Darurat XII Sanksi Administratif XIII Ketentuan Pidana XIV Ketentuan Penutup Ketentuan umum berisi tentang definisi peristilahan yang dipergunakan dalam batang tubuh peraturan pemerintah ini. Ruang lingkup merupakan pembatasan keberlakuan peraturan beserta pengecualianpengecualian terhadap pemindahan zat radioaktif yang tidak diatur dengan peraturan ini. Adapun tujuan pengaturan memberikan uraian tentang maksud disusun dan diberlakukannya peraturan pemerintah tentang pengangkutan untuk menjamin tercapainya keselamatan bagi pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup. Bab tentang perizinan yang mempersyaratkan bahwa pihak pengirim dan penerima dalam pengangkutan zat radioaktif haruslah pihak yang memiliki izin pemanfaatan zat radioaktif. Di samping memiliki izin pemanfaatan, pada setiap pelaksanaan pengangangkutan zat radioaktif harus diajukan persetujuan pengiriman dari BAPETEN. Bab ke empat merumuskan aturan tentang kewajiban dan tanggung jawab pengirim, pengangkut, dan penerima. Pengangkut wajib menyiapkan bungkusan yang akan dikirim, diantaranya dengan memilih bungkusan yang sesuai dengan jenis zat radioaktif yang akan diangkut, memberikan tanda, label ataupun plakat. Khusus dalam pengangkutan bahan nuklir, pengirim harus melakukan sistem proteksi fisik. Pengirim juga memiliki kewajiban untuk memberikan petunjuk tertulis kepada pengangkut dalam hal bungkusan tidak mungkin diserahkan kepada penerima. Demikian halnya petunjuk mengenai penyimpanan bungkusan di tempat transit. Sedangkan kewajiban pengangkut yang diatur adalah tanggung jawab atas keselamatan bungkusan selama pengiriman, serta sistem pelaporan apabila terjadi kerusakan bungkusan atau kehilangan bungkusan saat pengiriman. Adapun pihak penerima memiliki kewajiban untuk memeriksa keutuhan bungkusan pada saat menerimanya, dan memastikan tidak ada kerusakan bungkusan yang mengakibatkan kebocoran atau kontaminasi. Apabila terjadi kebocoran atau kontaminasi, maka penerima harus menginformasikannya kepada pengirim dan BAPETEN. Bab tentang pembungkusan mengatur kesesuaian isi dan tipe bungkusan yang dipergunakan. Bungkusan harus lolos pengujian dan mendapatkan sertifikat dari laboratorium yang terakreditasi. Bungkusan yang berasal dari luar negeri harus menyertakan sertifikat bungkusan yang kemudian divalidasi oleh BAPETEN. Setiap bungkusan tidak boleh berisi barang lain, dan apabila zat radioaktif memiliki sifat bahaya lain, maka sifat tersebut harus mendapatkan perhatian dan ditangani sesuai dengan ketentuan mengenai penanganan bahan berbahaya dan beracun yang berlaku. Setiap bungkusan yang akan diangkut harus disertai dengan dokumen pengangkutan, diberi tanda, label atau plakat yang jelas. Bab mengenai program proteksi radiasi mengharuskan pengangkutan memenuhi aspek proteksi radiasi. Khusus untuk bahan nuklir harus ditambahkan persyaratan proteksi fisik sesuai dengan golongannya. Bungkusan harus ditempatkan pada jarak aman dari personil pengangkut dan terhadap personil yang dimaksud dilakukan pemantauan dosis radiasi sesuai dengan kondisi pengangkutan. Pemeriksaan bungkusan oleh instansi lain seperti Kepolisian atau Bea Cukai hanya dapat dilakukan apabila dihadiri oleh petugas 4

15 proteksi radiasi, serta bungkusan yang telah diperiksa harus dikembalikan seperti kondisi semula untuk diangkut kembali. dikembalikan seperti kondisi semula untuk diangkut kembali. Personil yang terlibat rutin dalam pengangkutan zat radioaktif harus mendapatkan pelatihan terkait, hal ini menjadi tanggung jawab pengirim. Pengirim harus membuat program jaminan mutu pengangkutan yang akan dilaksanakan oleh pengirim dalam persiapan pengangkutan, dan oleh pengangkut pada saat pengiriman berlangsung. Program jaminan mutu dimaksud harus mendapat persetujuan dari BAPETEN. Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi pada saat pengiriman, pengangkut wajib memberitahukannya kepada pengirim, penerima, BAPETEN, dan instansi lain yang terkait. Apabila terjadi kebocoran atau kontaminasi, pengangkut harus melakukan isolasi dan memberikan tanda-tanda pengamanan lokasi atau isolasi. Pengirim atau penerima harus mengirimkan petugas proteksi radiasi untuk melakukan tindakan pemulihan dan dekontaminasi. Pengaturan selanjutnya mengenai sanksi administratif sebagai konsekuensi terhadap pelanggaran aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah ini. Sanksi pidana dirujuk kepada Undangundang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran sebagai peraturan induk yang mengamanatkan peraturan ini. PEMBAHASAN Kelemahan PP No. 26 Tahun 2002 Bila dicermati norma pengaturan dalam PP No. 26 Tahun 2002 ini, terdapat beberapa aturan yang diamanatkan untuk diatur lebih teknis di tingkat Peraturan Kepala BAPETEN. Amanat pengaturan tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2. Semenjak PP No.26 Tahun 2002 diundangkan hingga saat ini, peraturan teknis setingkat Peraturan Kepala BAPETEN tentang pengangkutan zat radioaktif yang berlaku hanyalah Perka No.IV/Ka.BAPETEN/1999 tentang Ketentuan Keselamatan untuk Pengangkutan Zat Radioaktif [10] dan Perka No.05P/Ka.BAPETEN/2000 tentang Pedoman Persyaratan untuk Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif [11], sedangkan sebelas amanat pengaturan sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 2 belum satupun yang diterbitkan. Dengan demikian PP No.26 Tahun 2002 sudah pasti kurang operasional. Tabel 2. Amanat pengaturan dalam PP No. 26 Tahun 2002 No. Pasal Pengamanatan 1. Pasal 6 ayat (3) Persetujuan pengiriman 2. Pasal 12 ayat (6) Penanganan kebocoran bungkusan 3. Pasal 14 ayat (5) Tipe, kategori, pengujian, dan sertifikat bungkusan 4. Pasal 16 ayat (3) Validasi sertifikat bungkusan yang berasal dari luar negeri 5. Pasal 19 ayat (3) Dokumen, tanda, label dan plakat 6. Pasal 22 ayat (2) Proteksi fisik untuk pengangkutan bahan nuklir 7. Pasal 23 ayat (2) Jarak aman antara bungkusan dan personil pengangkut 8. Pasal 24 ayat (2) Pemantauan dosis terhadap personil pengangkut 9. Pasal 27 ayat (3) Pelatihan personil pengangkut 10. Pasal 28 ayat (4) Program Jaminan Kualitas Pengangkutan 11. Pasal 29 ayat (2) Jenis dan aktivitas zat radioaktif 5

16 Kemudian dengan mencermati kembali substansi atau pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2002, maka ditemukan beberapa kekurangan atau kelemahan pengaturan baik secara substansi yuridis maupun teknis yang berpengaruh pada kemampulaksanaan dan kepatuhan terhadap peraturan dimaksud. Kekurangan atau kelemahan tersebut meliputi, antara lain [12]: a. Lingkup pengaturan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 belum mencakup seluruh proses atau elemen yang menjadi bagian dari pelaksanaan kegiatan pengangkutan zat radioaktif. Dengan kata lain ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tersebut tidak mampu memberikan arah pengaturan dan solusi hukum untuk kegiatan desain, manufaktur, pengujian zat radioaktif dan bungkusan; b. Dalam tinjauan subjek hukum, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 tidak secara tuntas memberikan pengaturan. Pengirim, penerima, dan pengangkut yang diatur merupakan subjek hukum yang melaksanakan kegiatan pengangkutan di tahap lanjut atau akhir, sedangkan pada tahap awal seperti desainer atau pabrikan yang merupakan badan hukum terpisah atau tersendiri dalam skema pengangkutan zat radioaktif tidak disentuh; c. Pengaturan mengenai persetujuan pengiriman yang perlu peninjauan kembali secara praktik, kesesuaiannya dengan praktik internasional, dan kemanfaatan hukumnya; d. Pengaturan mengenai instrumen yuridis yang diperlukan dalam pengangkutan zat radioaktif tidak mampu laksana. Pengaturan dimaksud meliputi persyaratan dan tata cara sertifikasi zat radioaktif dan bungkusan, validasi, permohonan dan penerbitan persetujuan terhadap zat radioaktif, bungkusan, program proteksi radiasi yang diperlukan dalam pelaksanaan pengangkutan sesuai dengan standar internasional; e. Pengaturan yang tidak tuntas mengenai persyaratan keselamatan radiasi yang diperlukan untuk pengangkutan zat radioaktif, seperti misalnya pembungkus dan bungkusan, program proteksi radiasi, penentuan Indeks Angkutan atau Indeks Keselamatan Kekritisan, pemantauan dosis, nilai batas aktivitas (activity limit) atau penentuan dan penggunaan nilai A 1 dan A 2, pemasangan plakat, dan pelabelan; Perlunya menata dan mengatur kembali tanggung jawab subjek hukum, pelatihan personil yang melaksanakan pengangkutan zat radioaktif, program jaminan mutu, penanggulangan keadaan darurat dalam pengangkutan zat radioaktif; dan f. Tidak terdapatnya pengaturan mengenai compliance assurance program yang jelas dalam pengangkutan zat radioaktif. Memperhatikan dan menimbang kelemahan yang terdapat dalam PP No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif sebagaimana telah diuraikan di atas, maka urgensi kebutuhan untuk mengamandemen peraturan pemerintah tersebut memiliki prioritas kemendesakan yang tinggi. Tujuan Amandemen Adapun tujuan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah sebagai amandemen terhadap PP No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif, di antaranya untuk [12]: 1. Menyempurnakan dan memperkuat landasan hukum yang memiliki kemampulaksanaan, kedayagunaan, dan kehasilgunaan yang optimum terhadap kegiatan pengangkutan zat radioaktif; 2. Menjamin kepastian hukum yang lebih komprehensif terhadap terwujudnya keselamatan pekerja, anggota masyarakat, serta perlindungan kelestarian lingkungan hidup dari potensi timbulnya bahaya radiasi selama pengangkutan zat radioaktif; dan 3. Memberikan landasan hukum yang jelas dan pasti terhadap internalisasi dan penerapan aspek keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif pada skala nasional. 6

17 Pertimbangan Amandemen Sesuai dengan tujuan dilakukannya amandemen terhadap PP No. 26 Tahun 2002 sebagaimana telah diuraikan di atas, maka ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam mensinergikan dan menyelaraskan pola serta substansi terkait dengan aspek keselamatan dan keamanan, diantaranya adalah [12]: 1. Harmonisasi dengan rekomendasi internasional; 2. Kebutuhan hukum pemegang izin yang bertindak sebagai pengirim atau penerima dalam memenuhi dan mematuhi ketentuan, serta pihak pemerintah selaku pelaksana tugas pengawasan pengangkutan zat radioaktif; 3. Kesesuaian dan keselarasan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pengangkutan bahan berbahaya serta pengangkutan umum di tingkat nasional; interaksi atau keterkaitan implementasi antara persyaratan keselamatan dan keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif. Pokok Amandemen a. Judul Mempertimbangkan bahwa salah satu urgensi dilakukannya amandemen terhadap PP No. 26 Tahun 2002 adalah kebutuhan pengaturan dari tinjauan sistem keamanan dalam pengangkutan, maka judul peraturan yang melingkupi aspek keselamatan dan keamanan yaitu Keselamatan dan Keamanan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif. b. Subyek Hukum Subyek hukum utama dalam kegiatan pengangkutan zat radioaktif adalah pengirim dan penerima. Kedua subyek ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2008 tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir memiliki kedudukan hukum sebagai pemegang izin [13]. Dengan kedudukan demikian, pengirim dan penerima dipandang memiliki kemampuan yang memadai untuk memahami dan menerapkan persyaratan keselamatan dan keamanan, melaksanakan segala tanggung jawab dan kewajiban hukum dalam setiap tahapan kegiatan pengangkutan zat radioaktif. Dengan demikian penyiapan bungkusan, pelaksanaan pengiriman, penanganan bungkusan pada saat transit, hingga serah terima kepada pengirim dapat dilaksanakan dengan baik. Subyek hukum lain adalah pengangkut, dan pendesain, pembuat, atau penguji zat radioaktif maupun bungkusan. Pengirim harus memastikan bahwa pengangkut mengerti dan paham mengenai muatan barang yang diangkutnya secara umum, meliputi gambaran zat radioaktif, sifat dan potensi bahaya, serta tindakantindakan yang harus dilakukan dalam hal terjadi situasi kedaruratan. Adapun pengaturan yang lebih jelas dan terinci harus diterapkan kepada orang atau badan yang mendesain, membuat, atau menguji zat radioaktif dan bungkusan yang akan diangkut. Pengaturan dimaksud terkait dengan penerbitan sertifikat persetujuan desain produk, jenis uji yang harus dilakukan dan sertifikat hasil uji oleh lembaga yang terakreditasi. c. Tujuan Pengaturan Tujuan pengaturan mencakup dua aspek, yaitu keselamatan dan keamanan, dirumuskan sebagai berikut: 1. menjamin keselamatan dan memberikan perlindungan terhadap pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi dalam pengangkutan zat radioaktif; dan 2. mencegah upaya pencurian, tindakan sabotase, pemindahan tidak sah, dan perbuatan melawan hukum yang dapat mengakibatkan timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup akibat tindakan ancaman keamanan. batasan substansi hukum yang diatur dalam sebuah peraturan perundangundangan. Berbeda dengan pokok pengaturan dalam PP No. 26 Tahun 2002 sebagaimana telah ditampilkan dalam Tabel 1, lingkup pengaturan teknis dalam amandemen peraturan ini meliputi: 1. Persyaratan keselamatan dalam pengangkutan zat radioaktif; 2. Persyaratan keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif; 3. Kedaruratan dalam pengangkutan zat radioaktif; serta 4. Penatalaksanaan pengangkutan zat radioaktif. 7

18 Selain merinci ketentuan-ketentuan yang diatur secara normatif pasal per pasal, ada beberapa zat radioaktif yang pengaturan pengangkutannya dikecualikan atau tidak diatur dengan peraturan pemerintah hasil amandemen. Beberapa hal yang tidak diatur tersebut, meliputi: 1. Zat radioaktif yang merupakan bagian tak terpisahkan dari peralatan pengangkutan; 2. Zat radioaktif yang dipindahkan dalam satu kawasan yang tidak melalui sarana jalan atau rel umum; 3. Zat radioaktif yang terpasang atau melekat pada orang atau binatang untuk keperluan diagnosis atau pengobatan; 4. Zat radioaktif yang terkandung dalam produk konsumen yang distribusi dan peredarannya telah mendapatkan izin pengalihan dari BAPETEN; 5. Bahan galian alam dan bijih yang mengandung zat radioaktif alam (Naturally Occuring Radioactive Materials, NORM); 6. Benda padat yang terkontaminasi zat radioaktif di permukaannya dimana tingkat kontaminasinya tidak melebihi batas yang telah ditetapkan BAPETEN. d. Persyaratan Keselamatan Pokok-pokok pikiran yang akan diatur dalam bab ini, diantaranya klasifikasi zat radioaktif, tipe bungkusan, desain, pembuatan, serta pengujian dan sertifikasi terhadap zat radioaktif dan bungkusan, proteksi radiasi, nilai batas aktivitas, persiapan pengiriman, penanganan bungkusan selama pengiriman, pengiriman dengan pengaturan khusus, serta penanganan kondisional tertentu. Zat radioaktif yang menjadi isi bungkusan diklasifikasikan dengan mempertimbangkan tipe, jenis, serta aktivitas radionuklida, sifat fisika, kimia dan potensi bahaya, tingkat kontaminasi, dan kemampuan dapat belah. Di samping pertimbangan tersebut, klasifikasi zat radioaktif juga menekankan kepada kebutuhan teknis penanganan pada saat pelaksanaan persiapan, pemuatan, pengiriman, pembongkaran, hingga penyerahan kepada penerima. Dari pertimbangan tersebut, dan sesuai dengan rekomendasi internasional, maka zat radioaktif yang akan diangkut diklasifikasikan menjadi [4]: 1. Zat radioaktif aktivitas jenis rendah (low specific activity material); 2. Zat radioaktif bentuk khusus (special form of radioactive material); 3. Zat radioaktif daya sebar rendah (low dispersible of radioactive material); 4. Benda terkontaminasi permukaan (surface contaminated object); 5. Bahan fisil (fissile material); dan 6. Uranium Hexaflorida (UF 6 ). Bungkusan merupakan satu kesatuan antara isi bungkusan dan pembungkus. Bungkusan dibuat dengan memenuhi beberapa kriteria atau fungsi, seperti sebagai bahan penyerap (absorbent materials), kerangka (spacing structure), peralatan perawatan dan perbaikan (service equipment), peredam goncangan (shock absorbent), penanganan dan pengikat (handling and tie-down capability), pengisolasi panas (thermal insulation), pengungkung (containment), serta penyungkup (confinement). Selanjutnya berdasarkan nilai batas aktivitas dan pembatasan zat radioaktif, tipe bungkusan dibedakan menjadi [4]: 1. Bungkusan dikecualikan; 2. Bungkusan industri; 3. Bungkusan Tipe A; 4. Bungkusan Tipe B(U) dan B(M); dan 5. Bungkusan Tipe C. Zat radioaktif dan bungkusan harus didesain, dibuat dan diuji berdasarkan standar yang berlaku. Untuk zat radioaktif bentuk khusus, zat radioaktif daya sebar rendah, bungkusan yang berisi lebih dari 0,1 kg UF 6, bungkusan berisi bahan nuklir, bungkusan tipe B dan C, harus mendapatkan sertifikat persetujuan desain dari BAPETEN. Selanjutnya zat radioaktif dan bungkusan harus diuji oleh lembaga uji yang terakreditasi, dibuktikan dengan sertifikat hasil uji sesuai dengan standar yang berlaku. Khusus untuk zat radioaktif atau bungkusan yang berasal dari luar negeri, sertifikat zat radioaktif atau bungkusan dari negara asal akan divalidasi oleh BAPETEN. Dalam pengangkutan zat radioaktif, pengirim harus melaksanakan prinsip proteksi radiasi dengan menerapkan limitasi dan optimisasi. Limitasi dosis radiasi dibedakan atas potensi dosis radiasi yang 8

19 dapat diterima oleh personil pengangkut dalam satu tahun, meliputi kurang dari 1 msv, antara 1 6 msv, dan lebih besar dari 6 msv. Untuk potensi penerimaan dosis kurang dari 1 msv/thn tidak diperlukan tindakan proteksi khusus. Untuk potensi penerimaan dosis antara 1-6 msv/thn, perlu dilakukan pengukuran paparan radiasi di sekeliling kendaraan pengangkut. Adapun untuk potensi penerimaan paparan personil yang melebihi 6 msv/thn, selain dilakukan pengukuran paparan radiasi di sekeliling kendaraan pengangkut, setiap personil harus menggunakan alat pemantau dosis personal. Optimisasi dilakukan dengan mempertimbangkan paparan normal dan paparan potensial. Paparan normal adalah paparan yang diterima personil pengangkutan pada kondisi rutin dan normal. Adapun paparan potensial merupakan paparan yang tidak dapat dipastikan terjadinya, namun memiliki potensi untuk terjadi. Paparan ini dapat berasal dari kecelakaan, atau dikarenakan terjadinya suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang bersifat probabilistik, termasuk kegagalan peralatan dan kesalahan operasi. Tindakan optimisasi yang dilakukan oleh pengirim dan penerima dituangkan secara terstruktur dan sistematis ke dalam dokumen program proteksi dan keselamatan radiasi. Khusus untuk pengangkutan bahan nuklir tindakan yang sama harus tercermin dalam dokumen Laporan Analisis Keselamatan (LAK). Zat radioaktif harus dibungkus dengan pembungkus yang sesuai dengan tipe bungkusan. Batasan isi bungkusan tipe A adalah nilai A 1 untuk zat radioaktif bentuk khusus, dan nilai A 2 untuk zat radioaktif bentuk lain. Untuk zat radioaktif yang aktivitas atau konsentrasi aktivitasnya melebihi nilai 3000A 1 atau 3000A 2, harus diangkut menggunakan bungkusan tipe B atau C. Setelah zat radioaktif dibungkus dengan tipe bungkusan yang sesuai, selanjutnya dilakukan penentuan indeks angkutan. Indeks angkutan ditentukan dengan mengukur laju paparan radiasi maksimum pada jarak 1 m dari permukaan bungkusan atau pembungkus luar. Indeks angkutan berfungsi sebagai dasar pemisahan bungkusan dari bahan non radioaktif, seperti film yang belum diolah atau barang kiriman lainnya. Selain itu indeks angkutan juga berguna sebagai batasan tingkat paparan radiasi bagi anggota masyarakat, dan personil pengangkut, serta pengaturan untuk penyimpanan selama kendaraan transit. Khusus untuk isi bungkusan berupa bahan fisil harus ditentukan pula indeks keselamatan kekritisan. Bungkusan, termasuk pembungkus luar atau tambahan, harus ditentukan pengkategorisasiannya untuk penentuan tanda, label, maupun plakat. Kategorisasi ini didasarkan kepada nilai indeks angkutan dan tingkat radiasi pada permukaan. Kategori bungkusan terdiri atas kategori I-Putih, II- Kuning, dan III-Kuning. Penentuan kategori sebagaimana dimaksud di atas dilakukan berdasarkan nilai pada Tabel 3. e. Persyaratan Keamanan Pengirim, pengangkut, dan penerima harus menerapkan tindakan keamanan sesuai dengan lingkup tanggung jawab masing-masing, berdasarkan kepada potensi tingkat acaman. Tanggung jawab utama perencanaan program keamanan dilakukan oleh pengirim. Khusus untuk pengangkutan bahan nuklir, tindakan keamanan yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan mengenai proteksi fisik bahan nuklir selama pengangkutan. Indeks Angkutan (IA) Tabel 3. Kategori Bungkusan dan Pembungkus Luar [4] Kondisi Tingkat radiasi maksimum di permukaan (msv/jam) Kategori 0 0,005 < R I PUTIH 0 < IA < 1 0,005 < R < 0,5 II KUNING 1 < IA < 10 0,5 < R < 2 III KUNING IA > 10 2 < R < 10 III KUNING (penggunaan tunggal) 9

20 Untuk bungkusan yang berisi zat radioaktif selain bahan nuklir, persyaratan keamanan diberlakukan sesuai dengan tingkat keamanan. Tingkat keamanan dimaksud meliputi tingkat keamanan umum (prudent management level), dasar (basic security level), dan lanjut (enhanced security level).[9] Persyaratan dimaksud, diantaranya meliputi: 1. Data identitas personil pengangkut; 2. Sistem segel dan/atau penguncian; 3. Rencana keamanan; 4. Pelatihan untuk personil pengangkut; 5. Prosedur tertulis; 6. peralatan pemantau posisi dan komunikasi; dan/atau 7. pengawalan untuk pengiriman penggunaan tunggal. Penerapan persyaratan sebagaimana tersebut di atas, dilakukan sesuai dengan tingkatan risiko ancaman keamanan. Dalam hal pelaksanaan pengiriman memerlukan transit di suatu tempat, maka pengirim harus memastikan bahwa pengangkut melakukan tindakan keamanan selama transit sebagaimana tindakan keamanan pada saat penggunaan atau penyimpanan di lokasi pemanfaatan. f. Kedaruratan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif Keadaan kedaruratan dalam pengangkutan zat radioaktif dapat terjadi karena faktor tidak tercapainya tindakan keselamatan maupun karena adanya ancaman keamanan. Pengirim harus membuat rencana atau program penanggulangan keadaan darurat yang menjadi satu kesatuan dengan dokumen program proteksi dan keselamatan radiasi atau laporan analisis keselamatan. Dalam rencana tersebut paling tidak terdapat prosedur atau instruksi yang jelas perihal tindakan yang harus dilakukan oleh personil pengangkut, ataupun masyarakat di sekitar lokasi kejadian. Pengangkut harus melakukan tindakan sucukupnya untuk mengamankan kendaraan dan barang kiriman. Selanjutnya ia melaporkan kejadian darurat tersebut kepada polisi setempat. Dalam hal terdapat dugaan telah terjadi kerusakan pada bungkusan, maka pengangkut harus memberitahukan kepada pengirim atau petugas proteksi radiasi. Jika terdapat tanda-tanda kebocoran atau kontaminasi zat radioaktif di luar bungkusan, maka kendaraan harus dilokalisir sedemikian sehingga terdapat jarak aman dari paparan radiasi. Tindakan penanganan selanjutnya harus menunggu instruksi atau kedatangan petugas proteksi radiasi di lokasi kejadian. Untuk keadaan darurat yang dipicu oleh ancaman keamanan, seperti sabotase, perampokan, pencurian, ataupun penyanderaan terhadap barang kiriman, maka pengirim harus memastikan terdapat prosedur pelaporan kepada pengirim, penerima, BAPETEN, termasuk kepada kepolisian. Di samping itu harus ada juga tindak lanjut untuk melakukan pelacakan, penyidikan, dan penyelidikan untuk menelusuri dan menemukan keberadaan zat radioaktif yang telah berpindah tangan ke pihak yang tidak bertanggung jawab. g. Penatalaksanaan Pengangkutan Zat Radioaktif Sebelum melakukan pengangkutan zat radioaktif, pengirim harus memperoleh persetujuan pengiriman dari BAPETEN. Pengajuan tersebut dilakukan dengan mengisi formulir dan dilengkapi dengan: 1. Salinan sertifikat zat radioaktif; 2. Salinan sertifikat bungkusan; 3. Program proteksi dan keselamatan radiasi; 4. Program keamanan selama pengangkutan zat radioaktif; dan/atau 5. Program proteksi fisik, khusus untuk pengangkutan bahan nuklir. Dalam pelaksanaan pengangkutan zat radioaktif, pengangkut harus melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam hal memerlukan transit, pengangkutan bersamaan dengan barang lain, pengangkutan zat radioaktif dengan sifat bahaya lain, pengangkutan bahan fisil, dan apabila bungkusan tidak dapat terkirim ke tempat tujuan. Kendali operasional selama transit dilakukan antara lain dengan cara melakukan pemisahan atau pengaturan jarak antara bungkusan zat radioaktif dari personil pengangkut rutin, kelompok masyarakat kritis, film fotografi yang belum diolah, serta terhadap bahan berbahaya dan beracun. Apabila bungkusan zat radioaktif diangkut bersamaan dengan barang lain yang non radioaktif, maka bungkusan tidak boleh berisi barang lain selain zat radioaktif, bungkusan harus dipisahkan dari barang 10

21 berbahaya dan beracun yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur bahan berbahaya dan beracun. Di samping itu pembungkus zat radioaktif tidak boleh dipergunakan untuk mengangkut barang atau bahan lain, kecuali pembungkus tersebut telah didekontaminasi dan mencapai batasan aman sesuai ketentuan. Untuk pengangkutan bahan fisil, pengirim harus melakukan tindakan pencegahan kekritisan dengan memastikan bahwa bungkusan tidak mengalami kebocoran, efisiensi penyerap dan moderator netron tetap terjaga, tidak dilakukan penataulangan bungkusan di perjalanan, jarak antar bungkusan tidak berubah, bungkusan tidak terendam air, temperatur bungkusan stabil, dan ketentuan terkait indeks kritikalitas tetap terpenuhi. Dalam hal bungkusan tidak dapat terkirim ke tempat tujuan, maka pengirim harus memberikan prosedur atau petunjuk agar pengangkut menempatkan bungkusan tersebut di tempat yang aman. Selanjutnya pengangkut harus memberitahukan perihal tersebut kepada pengirim, penerima, dan BAPETEN. Apabila dalam proses pengiriman dilakukan pemeriksaan terhadap isi bungkusan oleh instansi selain BAPETEN, seperti kepabeanan atau kepolisian, maka tindakan tersebut hanya dapat dilakukan dengan disaksikan oleh petugas proteksi atau inspektur keselamatan BAPETEN. Hal ini untuk memastikan tidak terjadi kesalahan prosedur atau tindakan yang dapat memberikan paparan radiasi berlebih terhadap personil lain. Selanjutnya bungkusan hanya dapat diangkut kembali atau meneruskan perjalanan, apabila sudah dipastikan bahwa bungkusan dikembalikan sebagaimana kondisi dan keadaan semula. h. Inspeksi Pengaturan tentang pelaksanaan inspeksi oleh inspektur keselataman nuklir BAPETEN harus diatur berdasarkan kewenangan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan ini perlu dilakukan untuk memastikan terpenuhinya segala persyaratan pengangkutan zat radioaktif sehingga akan tercapai keselamatan dan keamanan. j. Pengaturan hal lain Pengaturan lain yang dimaksud adalah perihal sanksi administratif, ketentuan peralihan, dan penutup. Pengaturan ketiga hal tersebut harus mengacu kepada konstruksi dan formulasi norma batang tubuh rancangan peraturan amandemen secara utuh. KESIMPULAN Dari uraian dan analisis sebagaimana telah dipaparkan dalam malakah ini, maka dapat disimpulkan bahwa amandemen terhadap Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif memiliki tingkat kemendesakan dan urgensi yang tinggi. Amandemen yang dilakukan harus mencakup aspek keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif, serta mampu menutup kelemahan-kelemahan pengaturan sebelumnya. Dengan pengaturan yang lebih lengkap, rinci, tegas, dan jelas, akan terbentuk sistem peraturan yang memiliki kemampulaksanaan tinggi di lapangan, dan mempunyai kedudukan hukum yang kuat. DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim, Nuclear Safety with BAPETEN, BAPETEN, Jakarta, 2011; 2. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif; 4. IAEA, Regulation for the Safe Transport of Radioactive Material, TSR-1, IAEA, Vienna, 2009; 5. United Nations, the United Nations Model Regulations for the Transport of Dangerous Goods, New York, 2009; 6. IAEA, the Convention on Physical Protection of Nuclear Material, IAEA, Vienna, 1979; 7. IAEA, the Physical Protection of Nuclear Material and Nuclear Facilities, INFCIRC/225/rev.4, IAEA, Vienna, 1999; 8. IAEA, Guidance and Considerations for the Implementation of INFCIRC/225/rev.4, IAEA TECDOC 967(rev.1), IAEA, Vienna, 9. IAEA, Security in Transport of Radioactive Material, NSS No.9, IAEA, Vienna, 2008; 11

22 10. Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 04/Ka.BAPETEN/V-99 Tahun 1999 tentang Ketentuan Keselamatan untuk Pengangkutan Zat Radioaktif; 11. Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 05P/Ka.BAPETEN/VII-00 Tahun 2000 tentang Pedoman Persyaratan untuk Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif; 12. Anonim, Rancangan Konsepsi Amandemen PP No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif, BAPETEN, Jakarta,

23 ABSTRAK. KAJIAN TENTANG NSS 9/08 DAN INFCIRC/225 REV 4/99 TERKAIT PENENTUAN TINGKAT KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF Togap Marpaung Kepala Subdirektorat Pengaturan Kesehatan,Industri dan Penelitian-BAPETEN KAJIAN TENTANG NSS 9/08 DAN INFCIRC/225 REV 4/99 TERKAIT DENGAN PENENTUAN TINGKAT KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF. Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan dalam Pengakutan Zat Radioaktif akan diamendemen tahun 2010 ini dan salah satu alasannya adalah aspek keamanan akan menjadi bagian yang akan diatur. Amendemen PP ini akan menjadi harmonis dengan rekomendasi IAEA karena tidak hanya mengatur aspek keselamatan tetapi juga aspek keamanan. IAEA melalui Safety Standards Series TSR-1, Tahun 2005 merekomendasikan keselamatan dalam pengangkutan zat radioaktif yang mencakup sumber radioaktif dan bahan nuklir. Namun, untuk bahan nuklir berupa bahan fisil harus diperhatikan secara khusus, karena dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai akibat neutron lambat. Bahan fisil meliputi U-233, U- 235, Pu-239, Pu-241. Seiring dengan meningkatnya ancaman keamanan terhadap zat radioaktif selama pengangkutan maka IAEA melalui Nuclear Security Series No. 9 Tahun 2008 (NSS 9/08) merekomendasikan keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif. Oleh karena itu, ada perkiraan bahwa NSS 9/08 sama seperti TSR-1/05 juga mencakup sumber radioaktif dan bahan nuklir. Tetapi hal ini agak membingungkan juga karena pada tahun 1999 IAEA sudah menerbitkan publikasi INFCIRC/225/Rev.4 (Corrected) yang merekomendasikan proteksi fisik bahan nuklir, secara khusus bahan fisil. NSS No.9/08 menentukan tingkat keamanan berdasarkan aktivitas zat radioaktif sedangkan INFCIRC/225/Rev.4/99 membagi tingkat proteksi fisik berdasarkan massa bahan nuklir. Agar dapat diketahui apakah ada hubungan penentuan tingkat keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif maka dilakukan suatu kajian dengan cara mengaitkan kedua besaran parameter: aktivitas zat radioaktif dan massa bahan nuklir dengan menggunakan faktor konversi yaitu aktivitas jenis masing-masing radionuklida. Kata kunci: keamanan, pengangkutan, zat radioaktif, sumber radioaktif, bahan nuklir. ABSTRACT. STUDY ON NSS 9/08 AND INFCIRC/225 REV 4/99 RELATED TO THE DETERMINATION OF TRANSPORT SECURITY LEVEL RADIOACTIVE MATERIAL. Government Regulation (GR) No. 26 of 2002 on the Transport Safety of Radioactive Material will be amended this year and one reason is the security aspect would be the parts to be regulated. Thus the GR is going to be in harmony with the IAEA recommendations because it would regulate the safety and security aspects. IAEA through Safety Standards Series TSR-1, Year 2005 recommended safety in the transport of radioactive material including radioactive sources and nuclear materials. However, for fissile materials should be of particular concern, because it can produce a fission chain reaction due to slow neutrons. Fissile materials include: U-233, U-235, Pu-239, and Pu-241. Along with the increasing security threat to radioactive material during transport IAEA through the Nuclear Security Series No. 9 Year 2008 recommended security in the transport of radioactive material. Therefore, there is an estimation that either NSS 9 / 08 or TSR-1/05 includes radioactive sources and nuclear materials. But it s confusing because in 1999 the IAEA has issued a publication INFCIRC/225/Rev.4 (Corrected) which recommended the physical protection of nuclear material, particularly of fissile material. NSS No.9/08 determine security level based on the activity of radioactive material while INFCIRC/225/Rev.4/99 determine levels of physical protection by mass of nuclear material. In order to understand whether there is a relationship in determining the level of security in the transport of radioactive material then a study is done by linking the two scale parameters: the activity of radioactive material and nuclear materials masses by using a conversion factor, namely specific activity of each radionuclide. Key words: security, transport, radioactive material, radioactive source, nuclear material 13

24 PENDAHULUAN Makalah kajian tentang NSS No.9/08 dan INFCIRC/225 Rev 4/99 Terkait Penentuan Tingkat Keamanan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif ini merupakan lanjutan dari makalah tentang Dasar-dasar Penentuan Tindakan Keamanan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif. Masalah pengangkutan zat radioaktif ini akan semakin kompleks sehingga sulit dipahami karena pengangkutan zat radioaktif sebagai barang kiriman mencakup zat radioaktif berupa sumber radioaktif maupun bahan nuklir serta limbah radioaktif. Latar Belakang Kajian ini adalah sehubungan dengan adanya kegiatan BAPETEN untuk mengamendemen PP No. 26 yang memperkirakan bahwa pengertian zat radioaktif dalam konteks keamanan juga termasuk bahan nuklir seperti pengertian dalam konteks keselamatan dalam pengangkutan. METODE Metode Kajian adalah studi literatur terhadap 2 (dua) publikasi IAEA, yaitu: (1) IAEA, The Physical Protection of Nuclear Material and Nuclear Facilities, INFCIRC/225/Rev. 4 (Corrected), 1999; dan (2) Nulear Security Series No.9, Tujuan Kajian ini adalah untuk memastikan apakah tingkat keamanan pengangkutan zat radioaktif berdasarkan pada NSS. No 9 Tahun 2008 berlaku untuk bahan nuklir yang dilakukan dengan cara mengetahui hubungan massa bahan nuklir dengan nilai 10 D atau 3000 A 2. HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Keamanan Tingkat keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif terdiri dari: (1) Praktik Manajemen Pruden; (2) Tingkat Keamanan Dasar; dan (3) Tingkat Keamanan Dinaikkan. Mengingat Tingkat keamanan dinaikkan merupakan tingkat yang paling tinggi maka bahan nuklir ketika diangkut diperkirakan akan diklasifikasikan ke dalam Tingkat keamanan dinaikkan. Tingkat Keamanan Dinaikkan Tingkat keamanan dinaikkan ini diterapkan untuk bungkusan zat radioaktif dengan isi sesuai atau melebihi ambang batas radioaktivitas. Nilai ambang batas per bungkusan, ditentukan dengan 2 (dua) parameter sebagai berikut: D per bungkusan, untuk radionukilda-radionuklida sebagaimana diberikan pada Tabel 1, dengan pengertian: nilainya dapat mengakibatkan efek deterministik yang parah; dan nilainya sama dengan ambang batas yang digunakan mengenai impor dan ekspor sumber radioaktif A 2 per bungkusan, untuk radionuklida-radionuklida lain nilainya menunjukkan hubungan akibat penyebaran radioaktivitas yang sudah diperhitungkan; dan nilai A 2 digunakan secara luas dan digunakan dalam keselamatan pengangkutan. Nilai D (dangerous value) merupakan tingkat aktivitas spesifik, yang menunjukkan jika aktivitas sumber radioaktif di atas nilai D maka sumber radioaktif dianggap sebagai sumber yang berbahaya, karena sumber radioaktif tersebut berpotensi besar menimbulkan efek deterministik yang parah apabila tidak diawasi dan digunakan sesuai ketentuan. Penentuan tingkat keamanan selama pengangkutan zat radioaktif diuraikan sebagaimana diberikan pada Gambar 1. 14

25 Gambar 1. Diagram Alir Penentuan Tindakan Keamanan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif Tabel. 1 Radionuklida Ambang Batas Keamanan Radionuklida Ambang Batas Keamanan untuk Pengangkutan (10 D) dalam (TBq) Am-241 0,6 Au Cd Cf-252 0,2 Cm-244 0,5 Co-57 7 Co-60 0,3 Cs Fe Ge-68 7 Gd Ir-192 0,8 Ni Pd Pm Po-210 0,6 Pu-238 0,6 Ra-226 0,4 Ru Se-75 2 Sr Tl Tm Yb Hubungan antara Tabel 1 dan Diagram alir pada Gambar 1, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kemanan adalah aktivitas zat radioaktif yang diangkut baik untuk zat radioaktif bentuk khusus maupun bukan bentuk khusus. 2. Parameter A 2 adalah identik dengan zat radioaktif bukan bentuk khusus, tetapi bukan berarti tidak bisa digunakan untuk nilai batasan pada zat radioaktif bentuk khusus, karena untuk radionuklida yang sama nilai A 2 pasti lebih kecil atau sama dengan A 1 sehingga dari segi keselamatan dapat menjadi lebih selamat. 3. Nilai 10 D hanya berlaku untuk radionuklida ada dalam Tabel Nilai A 2 digunakan untuk radionuklida selain dari pada Tabel Dalam NSS No.9 tahun 2008 tidak dijelaskan secara eksplisit, apakah nilai 10D berlaku hanya untuk zat radioaktif bentuk khusus atau berlaku juga untuk zat radioaktif bukan bentuk khusus, dan aktivitas jenis rendah (AJR-II dan AJR-III) maupun benda terkontaminasi permukaan (BTP-II). Pengertian Bahan Nuklir Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1997 Dalam pasal 1, Bab I Ketentuan Umum UU No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, yang dimaksud dengan 15

26 Bahan Nuklir adalah bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai atau bahan yang dapat diubah menjadi bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai. Bahan Galian Nuklir adalah bahan dasar untuk pembuatan bahan bakar nuklir. Bahan Bakar Nuklir adalah bahan yang dapat menghasilkan transformasi inti berantai. Dalam pasal 2, Bahan Nuklir terdiri atas: (a) Bagan Galian Nuklir; (b) Bahan Bakar Nuklir; dan (c) Bahan Bakar Nuklir Bekas. Pengertian Bahan Nukir Dalam Konteks Sains Nuklir Dalam konteks sains nuklir dikenal istilah fissile material, fissionable material dan fertile material. Fissile material adalah bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai akibat interaksi dengan neutron lambat (thermal neutron). Fissionable material adalah bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai akibat neutron cepat (fast neutron), yang berarti tidak dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai akibat interaksi dengan neutron lambat. Fertile material adalah bahan yang tidak dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai tapi dapat diubah menjadi bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai. Jika diilustrasikan kaitan antara pengertian bahan nuklir yang ada dalam UU dan sains nuklir maka akan diperoleh skema, sebagaimana diberikan pada Gambar 2. Gambar 2. Skema Keterkaitan Istilah Bahan Nuklir dalam UU dan Sains Nuklir 16

27 Perhitungan Massa Bahan Fisil TSR-1 Tahun 2005 memberikan pengertian bahwa semua zat radioaktif ( radioactive material ) termasuk bahan nuklir. Namun untuk pengangkutan bahan nuklir berupa bahan fisil harus diperhatikan secara khusus, karena dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai akibat neutron lambat. Bahan fisil meliputi: (1) U-233; (2) U-235; (3) Pu-239, dan (4) Pu-241. NSS No.9 Tahun 2008 juga menyebutkan barang kiriman yang diangkut adalah zat radioaktif tetapi tidak menyinggung mengenai bahan nuklir ataupun bahan fisil. Tingkat keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif ditetapkan hanya dengan menggunakan parameter aktivitas zat radioaktif. Uraian NSS No. 9 Tahun 2008 tersebut menjadi membingungkan karena sebelumnya IAEA pada tahun 1999 sudah menerbitkan publikasi INFCIRC/225/Rev.4 (Corrected) yang membagi tingkat proteksi fisik berdasarkan massa untuk bahan nuklir, secara khusus bahan fisil, diberikan pada Tabel 2. Untuk mengaitkan kedua besaran parameter, yaitu: (1) aktivitas zat radioaktif dan (2) massa bahan nuklir harus menggunakan faktor konversi, yaitu aktivitas jenis masing-masing radionuklida. Tabel 2. Kategorisasi Bahan Nuklir No Bahan Bentuk Kategori I Kategori II Kategori III c Nuklir 1. Plutonium a Tidak teriradiasi b 2 kg 500g < massa < 2 kg 15 g < massa 500g 2. Uranium-235 Tidak teriradiasi b - Uranium diperkaya 20% U Uranium diperkaya antara 10%- 20% - Uranium diperkaya 10% 5 kg kg < massa <5 kg 10 kg - 15 g < massa 1 kg 1 kg < massa <10 kg 10 kg 3. Uranium-232 Tidak teriradiasi b 2 kg 500g < massa < 2 kg 15 g < massa 500g 4. Bahan bakar teriradiasi urainum terdeplesi atau uranium alam, thorium atau bahan bakar pengkayaan rendah (kurang dari 10% bahan fisil) d/e Keterangan: a. Semua Plutonium, kecuali yang memiliki konsentrasi isotop plutonium-238 lebih dari 80%. b. Material tidak teriradiasi dalam reaktor atau teriradiasi dalam reaktor tetapi dengan paparan 1 gy/jam (100 rad/jam) pada jarak 1 m tidak terbungkus. c. Jumlah yang tidak masuk pada kategori III dan pada uranium alam, uranium terdeplesi dan thorium harus dilindungi paling tidak sesuai dengan prudent management practice. d. Meskipun penggolongan level proteksi ini direkomendasikan, tetapi semua diserahkan ke Negara asal untuk menentukan kategori proteksi fisik yang berbeda berdasarkan evaluasi untuk keadaan-keadaan tertentu. Bahan bakar lain yang kandungan bahan fisil aslinya diklasifikasikan sebagai Katergori I atau II sebelum iradiasi dapat dikurangi satu level kategori ketika paparan dari bahan bakar tesebut melebihi 1 Gy/jam (100 Rad/jam) pada jarak 1 m tidak terbungkus. 17

28 Adapun perhitungan hubungan kedua parameter untuk masing-masing bahan nuklir sebagai berikut: Pu-239 Aktivitas Jenis Nilai A 2 Ambang Batas (3000A 2 ) Massa Ambang Batas = 2,305 x 10 9 Bq/g = 2,305 x 10-3 TBq/g 1 x 10-3 TBq = 3 TBq 3 TBq = -3 2, TBq g = 1301,52 g = 1,302 kg Pu-241 Aktivitas Jenis = = 3,819 x Bq/g 3,819 TBq/g Nilai A 2 = 6 x 10-2 TBq Ambang Batas (3000A 2 ) = 1,8 x 10 2 TBq Massa Ambang Batas U-233 Aktivitas Jenis TBq = 3,819 TBq g = 47,132 g = = Nilai A 2 = 6 x 10-3 TBq Ambang = 18 TBq Batas (3000A 2 ) Massa Ambang Batas = 3,589 x 10 8 Bq/g 3,589 x 10-4 TBq/g 18 TBq TBq g = = 50, g 50,15 kg Nilai D = 7 x 10-2 TBq Ambang = 7 x 10-1 TBq Batas (10D) Massa TBq Ambang = -4 Batas 3, TBq g = = g 1,95 kg Enriched Uranium > 20% Aktivitas Jenis 4 Bq 0, g 4 0,8 1, Bq g 4 2, Bq g 8 2, Bq g Nilai A 2 = Unlimited Nilai D = 8 x 10-5 TBq Ambang = 8 x 10-4 TBq Batas (10D) Massa TBq Ambang = -8 TBq Batas 2, g = 30,76 kg + Jika digunakan asumsi bahwa ada hubungan parameter aktivitas pada NSS No.9 tahun 2008 dan parameter massa pada INFCIRC/225/Rev.4 (Corrected) Tahun 1999 serta memperhatikan Tabel 2 pada Lampiran I maka dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pu-2.39 dengan massa di atas 1,302 kg diangkut dengan Tindakan keamanan dinaikkan. Kategori I dan sebagian Kategori II diangkut dengan Tindakan keamanan dinaikkan. 2. Pu-241 dengan massa di atas 47,123 gram diangkut dengan Tindakan keamanan dinaikkan. Kategori I dan II dan sebagian Kategori III diangkut dengan Tindakan keamanan dinaikkan. 3. Jika menggunakan nilai 10D sebagai Ambang Batas U-233 dengan massa diatas 1,95 kg diangkut dengan Tindakan keamanan dinaikkan. Hanya Kategori I yang diangkut dengan Tindakan keamanan dinaikkan. 4. Jika menggunakan nilai 3000A2 sebagai Ambang Batas U -233 dengan massa diatas 50,15 kg diangkut dengan Tindakan keamanan dinaikkan. 5. U-235 (uranium diperkaya) dengan massa diatas 30,76 kg diangkut dengan Tindakan keamanan dinaikkan. KESIMPULAN Dari hasil kajian ini dapat disimpulkan bahwa penentuann tingkat keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif tidak ada hubungan antara 18

29 publikasi IAEA-NSS-9 Tahun 2008 dengan IAEA-INFCIRC/225/Rev.4 (Corrected) Tahun Berdasarkan NSS No.9 Tahun 2008, parameter yang digunakan, yaitu aktivitas yang diyatakan dalam A 2 dan nilai D. Untuk menentukan A 2 dan nilai D dilakukan perhitungan yang menggunakan pendekatan sistem Q yang menimbulkan efek deterministik yang parah terhadap seseorang. Berdasarkan INFCIRC/225/Rev.4 (Corrected) Tahun 1999, parameter yang digunakan, yaitu massa untuk nilai ambang batas tingkat keamanan bahan nuklir. Untuk menentukan massa bahan nuklir dilakukan perhitungan yang menggunakan pendekatan berdasarkan reaksi fisi spontan yang terjadi, terkait dengan kekritisan. Tingkat keamanan ditentukan berdasarkan pada paremeter massa bahan fisil yang ditinjau dari potensi kekritisan yang dapat menghasilkan pembelahan berantai karena konfigurasi geometri dan massa bahan fisil. DAFTAR PUSTAKA 1. IAEA, The Physical Protection of Nuclear Material and Nuclear Facilities, INFCIRC/225/Rev. 4 (Corrected), Vienna, IAEA, Dangerous Quantities of Radioactive Material (D-Value), Vienna, IAEA, Advisory Material for the IAEA Regulation for the Safe Transport of Radioactive Material, IAEA Standards Series No. TS-G-1.1, Vienna, IAEA, Security in the Transport of Radioactive Material, IAEA Nuclear Security Series No. 9, Vienna,

30 20

31 ANALISIS PERHITUNGAN TRANSMUTASI LIMBAH AKTINIDA MINOR: KAJIAN AWAL SMALL-SCALE ACCELERATOR DRIVEN SYSTEM BERBASIS REAKTOR KARTINI ABSTRAK Edi Triyono B.S., Syarip Pusat Teknologi dan Proses Bahan BATAN ANALISIS PERHITUNGAN TRANSMUTASI LIMBAH AKTINIDA MINOR: KAJIAN AWAL SS-ADS BERBASIS REAKTOR KARTINI. Small Scale Accelerator Driven System (SS-ADS) adalah sistem reaktor subkritik yang dioperasikan dengan akselerator skala kecil sebagai fasilitas kajian sistem transmutasi limbah nuklir. Dengan sistem yang kecil ini dapat dilakukan beberapa eksperimen dasar untuk mendapatkan data-data penting mengenai proses transmutasi nuklida-nuklida limbah nuklir umur panjang. Suatu fasilitas SS-ADS berbasis reaktor Kartini sedang dkaji dan sebagai bagian dari kegiatan tersebut di dalam makalah ini disajikan suatu analisis perhitungan transmutasi limbah radioinuklida Np 237, Am 241, Am 243 dan Cm 244 sebagai fungsi energi neutron dan fluks neutron. Perhitungan dilakukan menggunakan program komputer ORIGEN2. Hasil perhitungan dan analisis menunjukkan bahwa transmutasi radionuklida limbah tersebut diatas akan berlangsung secara optimum dengan neutron termal (jenis reaktor termal), dibanding dengan neutron cepat. Dari keempat radionuklida tersebut yang paling banyak mengalami transmutasi adalah Am 241 yaitu dengan laju transmutasi 50% selama 1000 hari operasi pada tingkat fluks neutron termal n/cm 2 s, dan akan mencapai 100% pada tingkat fluks neutron n/cm 2 s. Pada kondisi waktu operasi dan tingkat fluks neutron yang sama seperti di atas, yang paling lambat/sedikit mengalami transmutasi adalah Cm 244 yaitu hanya 0,5%, bahkan pada tingkat fluks neutron n/cm 2 s inventori Cm 244 cenderung bertambah tetapi kemudian berkurang lagi setelah melewati waktu operasi 1400 hari. Secara keseluruhan keempat radionuklida limbah tersebut akan mengalami transmutasi rata-rata 32% selama 1000 hari operasi pada tingkat fluks neutron termal n/cm 2 s. Demikian pula tingkat radioaktivitas total aktinida minor tersebut mula-mula akan naik mencapai puncaknya selama operasi 1100 hari, kemudian menurun dan jika operasi dihentikan, tingkat radioaktivitasnya akan kembali ke tingkat semula dalam waktu 350 hari. Dapat disimpulkan bahwa sistem SS-ADS berbasis reaktor Kartini hanya akan memiliki kapabilitas transmutasi limbah nuklir yang cukup baik jika tingkat fluks neutron termalnya bisa mencapai orde n/cm 2 s. Kata kunci: Limbah nuklir, SS-ADS, reaktor subkritik, transmutasi, radionuklida, aktinida minor, fluk neutron, reaktor Kartini. ABSTRACT COMPUTATIONAL ANALYSIS OF MINOR ACTINIDE WASTE TRANSMUTATION: PRELIMINARY STUDY OF SS-ADS BASED ON KARTINI REAKTOR. Small Scale Accelerator Driven System (SS-ADS) is a subcritical reactor system operated with small scale accelerator as a facility for basic study of nuclear waste transmutation. The basic experiments to study the long life nuclide waste transmutation process can be done by using the SS-ADS. A facility for this basic experiment is being studied and as a part of the activities in this paper is presented the calculation analysis of radionuclide waste transmutation Np 237, Am 241, Am 243 dan Cm 244 as a function of neutron energy and flux. The calculation was done by usingorigen2 computer code. The analysis results show that the optimum waste transmutation of the above radionuclide will be achieved with thermal neutron (thermal reactor), instead of fast neutron. From the fourth radionuclides, the most transmuted is Am 241 with transmutation rate 50% during operating time 1000 days at thermal neutron flux n/cm 2 s, and will reach 100% at neutron flux level of n/cm 2 s. At the same operating time and neutron flux level as above, the lowest transmuted is Cm 244 i.e. only 0,5%, even at neutron flux of n/cm 2 s the inventory of Cm 244 trend to increase but then decreasing after 1400 days operating time. Generally, the fourth radionuclides will be transmuted 32% in average during 1000 days operation at n/cm 2 s thermal neutron flux level. Likewise, the total radioactivity level of minor actinide will increase at the beginning and achieve the peak at 1100 days operating time and then decrease and if the operation is shut off, the radioactivity level will return to its original level within 350 days. It can be concluded that the SS-ADS based on Kartini reactor can only have a capability for nuclear waste transmutation if the thermal neutron flux level isaround n/cm 2 s. Keywords : Nuclear waste, SS-ADS, subcritical reactor, transmutation, radionuclide, minor actinide, neutron flux, Kartini reactor. 21

32 PENDAHULUAN Masalah limbah nuklir atau limbah PLTN merupakan hal yang selalu menjadi pertanyaan masyarakat ketika program PLTN dikemukakan. Pada era transparansi seperti saat ini, hanya berbicara tentang teknologi penanganan keselamatan PLTN tidaklah cukup, namun harus diupayakan pembuktian kemampuan diri yang dapat diperoleh melalui eksperimen. Small Scale Accelerator Driven System saat ini sedang dikembangkan di beberapa negara sebagai fasilitas kajian sistem transmutasi limbah PLTN [1,2,3]. Sejalan dengan hal tersebut maka sebagai langkah awal khususnya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia dapat berperan dengan membangun fasilitas ADS skala kecil terlebih dahulu (SS-ADS) untuk eksperimen transmutasi limbah nuklir [4]. Di Indonesia, beberapa kajian teoretis maupun tinjauan terkait penelitian dan pengembangan serta aplikasi ADS telah banyak dipublikasikan [5,6,7,8,9,10]. Kajian-kajian tersebut diharapkan dapat lebih ditingkatkan jika tersedia fasilitas di dalam negeri untuk eksperimen verifikasi hasil kajian. Dengan adanya fasilitas SS- ADS berbasis reaktor Kartini diharapkan dapat memacu kerjasama sinergis antar institusi litbang terkait dalam rangka usaha menyukseskan program PLTN di Indonesia. Demikian pula dengan adanya program kegiatan ini dapat semakin mendayagunakan fasilitas reaktor Kartini agar lebih banyak memberikan kontribusi pada pemahaman proses transmutasi limbah nuklir, terkait program PLTN di Indonesia, yaitu dengan membuktikan dan menunjukkan kepada masyarakat bahwa ada solusi iptek khusus untuk mengelola limbah nuklir. Di dalam makalah ini dibahas perhitungan laju transmutasi aktinida minor sebagai fungsi waktu, energi neutron dan fluks neutron, sebagai pertimbangan untuk penentuan tingkat energi dan fluks neutron yang diperlukan pada disain SS-ADS berbasis reaktor Kartini. Sebagai sampel perhitungan diambil empat jenis radionuklida aktinida minor yaitu Np 237, Am , Am dan Cm 244. Perhitungan dilakukan dengan bantuan program komputer ORIGEN2. DASAR TEORI Radioionuklida Np 237, Am 241, Am 241, dan Cm 244 adalah kelompok nuklida aktinida yang terjadi oleh karena reaksi transmutasi inti uranium di dalam reaktor nuklir dan bersifat radioaktif dengan umur paro panjang. Radioinuklida tersebut dikategorikan sebagai limbah nuklir berbahaya karena dapat mengalami transmutasi inti menjadi radioisotop plutonium. Salah satu usaha pengamanan limbah ini adalah dengan membakar/iradiasi limbah dalam teras reaktor agar dapat bertransmutasi inti menjadi radionuklida lainnya yang tidak sensitif safeguard. Siklus atau perputaran transmutasi inti dari radionuklida tersebut disajikan pada Gambar 1 [11]. Contoh proses transmutasi isotop berumur paro panjang menjadi isotop berumur paro pendek melalui proses pembelahan inti misalnya transmutasi 239 Pu, 240 Pu, dan 241 Am, adalah sbb.: n Pu (24000 tahun) 134 Cs (2 tahun) Ru (stabil) + 2 n MeV n Pu (6600 tahun) 241 Pu (14 tahun), kemudian n Pu (14 tahun) 134 Xe (stabil) Rh (35 jam) + 3 n MeV Atau melalui proses tangkapan terlebih dahulu seperti : n Am (432 tahun) 242 Am (16 jam) [tangkapan], kemudian: 242 Am (16 jam [peluruhan β ], dan 242 Cm (163 hari) [peluruhan α], kemudian proses fisi 242 Cm (163 hari) 238 Pu (88 tahun) n Pu (88 tahun) 142 Ce (stabil)+ 95 Zr (64 hari) + 2 n MeV 22

33 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah IX Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN ISSN Gambar 1. Skema perputaran transmutasi inti Np 237, Am 241, Am 243 dan Cm 244 di dalam reaktor nuklir. Pengkajian efektivitas pembakaran/ iradiasi radionuklida tersebut di dalam reaktor dapat disimulasikan dengan bantuan program komputer. Parameter fisis yang mempengaruhi proses transmutasi yang paling dominan adalah spektrum neutron di dalam reaktor yaitu energi neutron dan tingkat fluks neutron serta waktu iradiasi. Oleh karena itu ketiga variabel tersebut di dalam perhitungan harus divariasi untuk menentukan laju transmutasi yang paling optimum. METODE PERHITUNGAN Perhitungan simulasi transmutasi inti dilakukan menggunakan program komputer ORIGEN2. Kriteria dalam simulasi ditetapkan sebagai berikut: nuklida Np 237, Am 241, Am 243, Cm 244, adalah kelompok aktinida yang dikategorikan limbah dengan umur paro panjang dan keberadaannya dalam kesetimbangan sebagai limbah tidak dapat saling dipisahkan. Dalam kajian transmutasi aktinida ini dianggap nuklida tersebut masing-masing mempunyai inventori 1 gram sebagai limbah aktinida dan diiradiasi/dibakar dalam sebuah reaktor nuklir yang mempunyai fluks neutron dan spektrum energinya disimulasikan bervariasi sbb: 1. Spektrum neutron reaktor cepat: yang disimulasikan sebagai reaktor nuklir dengan bahan bakar campuran dari bahan bakar bekas perkayaan 14% U 233 dan thorium. Tempat iradiasi berada pada zona blanked axial (dalam program ORIGEN2, spektrum ini diperoleh dengan kode pustaka data LIB: 364, 365, 366) 2. Spektrum neutron reaktor epitermal yang disimulasikan sebagai reaktor nuklir jenis PWR dengan bahan bakar uranium thorium oksida diperkaya dengan isotop U 235 (dalam program ORIGEN2, spektrum ini diperoleh dengan kode pustaka data LIB: 222, 223, 224) 3. Spektrum neutron reaktor termal yang disimulasikan sebagai reaktor riset seperti reaktor Kartini dengan bahan bakar uranium diperkaya U 235 (dalam program ORIGEN2, spektrum ini diperoleh dengan kode pustaka data LIB: 201,202,203) Fluks neutron disimulasikan dalam tiga tingkatan yaitu n/cm 2 s, n/cm 2 s dan n/cm 2 s. Sedangkan lama waktu iradiasi atau waktu operasi disimulasikan 5675 hari dan lama peluruhan 999 hari. Fluks neutron tersebut dikenakan pada target limbah nuklir dengan komposisi Np 237, Am 241, Am 243, Cm 244, masing-masing 1 gram. Spesifikasi limbah nuklir tersebut dideskripsikan pada Tabel 1. 23

34 File data masukan untuk program komputer ORIGEN2 pada masing-masing simulasi disajikan pada Lampiran 1. Tabel 1. Deskripsi limbah nuklir target iradiasi Nuklida No atom No massa HASIL PERHITUNGAN PEMBAHASAN Kode Np Am Am Cm Hasil simulasi iradiasi dan peluruhan nuklida limbah tersebut diatas disajikan dalam bentuk grafik inventori dan radioaktivitas limbah sebagai akibat iradiasi dan peluruhan pada berbagai macam spektrum neutron dan tingkat fluks neutron yang dideskripsikan diatas. Presentasi grafik diuraikan dalam dua kelompok yaitu kelompok grafik radioaktivitas limbah dan grafik inventori limbah. Hasil perhitungan selengkapnya disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar Gambar 2-6 untuk inventori dan Gambar 7-11 untuk radioaktivitas. Dari gambar-gambar grafik tersebut dapat diketahui bahwa pembakaran nuklida limbah tersebut diatas dapat terjadi secara optimal pada jenis reaktor termal karena terlihat bahwa inventori nuklida limbah dapat menurun tajam dari keadaan sebelum teriradiasi dengan setelah teriradiasi. Pada reaktor cepat, perubahahan inventori limbah paling kecil bila dibandingkan proses yang terjadi pada jenis reaktor lainnya. Apabila ditinjau dari sifat radioaktivitas limbah, berdasar grafik simulasi dapat diketahui bahwa pembakaran limbah tersebut diatas dengan iradiasi dapat menurunkan radioaktivitas limbah yang terjadi. Dari grafik dapat diketahui bahwa radioaktivitas limbah mengalami peningkatan tajam pada saat iradiasi pada reaktor termal dan kemudian meluruh sebanding dengan penurunan inventori nuklida limbah hingga pada akhir iradiasi menghasilkan radioaktivitas yang jauh lebih rendah dari radioaktivitas awal. Radioaktivitas Np-237 sebagai target iradiasi pada berbagai klasifikasi reaktor 8.00E-04 N-trml (E+12) N-epitrml (E+12) N-cpt (E+12) N-trml1 (E+13) N-trml2 (E+14) N-cpt1 (E-13) N-cpt2 (E14) N-epitrml1 (E+13) N-epitrml2 (E+14) Series6 7.00E E-04 radioaktivitas (curie) 5.00E E E E E E lama iradiasi/peluruhan (hari) Gambar 2. Presentasi grafik pembakaran/iradiasi nuklida Np 237 dalam berbagai jenis reaktor dan dalam variasi fluks neutron 10 12, dan n/cm 2 s. 24

35 Nuklida Am-241 sebagai target iradiasi pada berbagai klasifikasi reaktor 1.20E+00 N-trml (E+12) N-epitrml (E+12) N-cpt (E+12) N-trml-1 (E+13) N-trml-2 (E+14) N-cpt-1 (E+13) N-cpt-2 (E+14) N-epitrml-1 (E+13) N-epitrml-2 (E+14) batas iradiasi 1.00E E-01 Iradiasi inventori (gram) 6.00E E-01 Peluruhan 2.00E E lama iradiasi/peluruhan (hari) Gambar 3. Presentasi grafik pembakaran/iradiasi nuklida Am 241 dalam berbagai jenis reaktor dan dalam variasi fluks neutron 10 12, dan n/cm 2 s. Nuklida Am-243 sebagai target iradiasi pada berbagai klasifikasi reaktor 1.20E+00 N-trml (E+12) N-epitrml (E+12) N-cpt (E+12) N-trml-1 (E+13) N-trml-2 (E+14) N-cpt-1 (E+13) N-cpt-2 (E+14) N-epitrml-1 (E+13) N-epitrml-2 (E+14) bts iradiasi 1.00E+00 Iradiasi Peluruhan 8.00E-01 inventori (gram) 6.00E E E E lama iradiasi/peluruhan (hari) Gambar 4. Presentasi grafik pembakaran/iradiasi nuklida Am 243 dalam berbagai jenis reaktor dan dalam variasi fluks neutron 10 12, dan n/cm 2 s. 25

36 Nuklida Cm-244 sebagai target iradiasi pada berbagai klasifikasi reaktor 1.40E+00 N-trml (E+12) N-epitrml (E+12) N-cpt (E+12) N-trml-1 (E+13) N-trml-2 (E+14) N-cpt-1 (E+13) N-cpt-2 (E+14) N-epitrml-1 (E+13) N-epitrml-2 (E+14) bts iradiasi 1.20E E+00 Iradiasi Peluruhan inventori (gram) 8.00E E E E E lama iradiasi/peluruhan (hari) Gambar 5. Presentasi grafik pembakaran/iradiasi nuklida Cm-244 dalam berbagai jenis reaktor dan dalam variasi fluks neutron 10 12, dan n/cm 2 s. Total nuklida Np-237+Am-241+Am-243+Cm-244 sebagai target iradiasi pada berbagai klasifikasi reaktor 5.00E+00 N-trml (E+12) N-epitrml (E+12) N-cpt (E+12) N-trml-1 (E+13) N-trml-2 (E+14) N-cpt-1 (E+13) N-cpt-2 (E+14) N-epitrml-1 (E+13) N-epitrml-2 (E+14) Series6 4.50E E E+00 inventori (gram) 3.00E E E E E E E lama iradiasi/peluruhan (hari) Gambar 6. Presentasi grafik pembakaran/iradiasi nuklida total Np 237, Am 241, Am 243 dan Cm 244 dalam berbagai jenis reaktor dan dalam variasi fluks neutron 10 12, dan n/cm 2 s. 26

37 Radioaktivitas Np-237 sebagai target iradiasi pada berbagai klasifikasi reaktor 8.00E-04 N-trml (E+12) N-epitrml (E+12) N-cpt (E+12) N-trml1 (E+13) N-trml2 (E+14) N-cpt1 (E-13) N-cpt2 (E14) N-epitrml1 (E+13) N-epitrml2 (E+14) Series6 7.00E E-04 radioaktivitas (curie) 5.00E E E E E E lama iradiasi/peluruhan (hari) Gambar 7. Presentasi grafik pembakaran/iradiasi nuklida Np 237 dalam berbagai jenis reaktor dan dalam variasi fluks neutron 10 12, dan n/cm 2 s. Radioaktivitas Am-241 sebagai target iradiasi pada berbagai klasifikasi reaktor 4.00E+00 N-trml (E+12) N-epitrml (E+12) N-cpt (E+12) N-trml1 (E+13) N-trml2 (E+14) N-cpt1 (E-13) N-cpt2 (E14) N-epitrml1 (E+13) N-epitrml2 (E+14) bts iradiasi 3.50E E+00 radioaktivitas (curie) 2.50E E E E+00 Iradiasi Peluruhan 5.00E E lama iradiasi/peluruhan (hari) Gambar 8. Presentasi grafik pembakaran/iradiasi nuklida Am 241 dalam berbagai jenis reaktor dan dalam variasi fluks neutron 10 12, dan n/cm 2 s. 27

38 Radioaktivitas Am-243 sebagai target iradiasi pada berbagai klasifikasi reaktor 2.50E-01 N-trml (E+12) N-epitrml (E+12) N-cpt (E+12) N-trml1 (E+13) N-trml2 (E+14) N-cpt1 (E-13) N-cpt2 (E14) N-epitrml1 (E+13) N-epitrml2 (E+14) bts iradiasi 2.00E-01 radioaktivitas (curie) 1.50E E-01 Iradiasi 5.00E-02 Peluruhan 0.00E lama iradiasi/peluruhan (hari) Gambar 9. Presentasi grafik pembakaran/iradiasi nuklida Am 243 dalam berbagai jenis reaktor dan dalam variasi fluks neutron 10 12, dan n/cm 2 s. Radioaktivitas Cm-244 sebagai target iradiasi pada berbagai klasifikasi reaktor 1.20E+02 N-trml (E+12) N-epitrml (E+12) N-cpt (E+12) N-trml1 (E+13) N-trml2 (E+14) N-cpt1 (E-13) N-cpt2 (E14) N-epitrml1 (E+13) N-epitrml2 (E+14) batas iradiasi 1.00E+02 radioaktivitas (curie) 8.00E E E+01 Iradiasi Peluruhan 2.00E E lama iradiasi/peluruhan (hari) Gambar 10. Presentasi grafik pembakaran/iradiasi nuklida Cm 244 dalam berbagai jenis reaktor dan dalam variasi fluks neutron 10 12, dan n/cm 2 s. 28

39 Total Radioaktivitas nuklida Np-237+Am-241+Am-243+Cm-244 sebagai target iradiasi pada berbagai klasifikasi reaktor 1.20E+03 N-trml (E+12) N-epitrml (E+12) N-cpt (E+12) N-trml-1 (E+13) N-trml-2 (E+14) N-cpt-1 (E+13) N-cpt-2 (E+14) N-epitrml-1 (E+13) N-epitrml-2 (E+14) batas iradiasi 1.00E+03 Iradiasi Peluruhan radioaktivitas (curie) 8.00E E E E E lama iradiasi/peluruhan (hari) Gambar 11. Presentasi grafik pembakaran/iradiasi nuklida total Np 237, Am-241, Am-243 dan Cm 244 dalam berbagai jenis reaktor dan dalam variasi fluks neutron 10 12, dan n/cm 2 s. Berdasarkan hasil perhitungan simulasi dari keempat radionuklida tersebut yang paling banyak mengalami transmutasi adalah Am 241 yaitu dengan laju transmutasi 50% selama 1000 hari operasi pada tingkat fluks neutron termal n/cm 2 s, dan akan mencapai 100% pada tingkat fluks neutron n/cm 2 s. Dengan kondisi waktu operasi dan tingkat fluks neutron yang sama seperti di atas, maka dapat dilihat yang paling lambat atau sedikit mengalami transmutasi adalah Cm 244 yaitu hanya 0,5%, bahkan pada tingkat fluks neutron n/cm 2 s inventori Cm 244 cenderung bertambah tetapi kemudian berkurang lagi setelah melewati waktu operasi 1400 hari. Secara keseluruhan keempat radionuklida limbah tersebut akan mengalami transmutasi rata-rata 32% selama 1000 hari operasi pada tingkat fluks neutron termal n/cm 2 s. Demikian pula tingkat radioaktivitas total aktinida minor tersebut mula-mula akan naik mencapai puncaknya selama operasi 1100 hari, kemudian menurun dan jika operasi dihentikan, tingkat radioaktivitasnya akan kembali ke tingkat semula dalam waktu 350 hari. KESIMPULAN Berdasarkan hasil perhitungan simulasi pembakaran/iradiasi limbah nuklir aktinida minor pada berbagai jenis reaktor dapat diketahui bahwa transmutasi inti pembakaran limbah terjadi paling efektif pada reaktor termal atau pembakaran limbah menggunakan neutron termal. Sekaligus pembakaran limbah ini juga dapat menghasilkan penurunan radioaktif limbah yang teriradiasi. Secara keseluruhan keempat radionuklida limbah tersebut akan mengalami transmutasi rata-rata 32% selama 1000 hari operasi pada tingkat fluks neutron termal n/cm 2 s. Dapat disimpulkan bahwa sistem SS-ADS berbasis reaktor Kartini hanya akan memiliki kapabilitas transmutasi limbah nuklir yang cukup baik jika tingkat fluks neutron termalnya bisa mencapai orde n/cm 2 s. 29

40 DAFTAR PUSTAKA 1. A.M. KOZODAEV et al., PRAMANA- Journal of Physics, Indian Academy of Sciences, Vol. 68, No. 2, February 2007, pp A.M. KOZODAEV, et all, Construction of Small-Scale Multipurpose ADS at ITEP, Proc. Of the Second Asian Particle Accelerator Conference, Beijing, China, H. AÏT ABDERRAHIM, et-all, MYRRHA: A Multipurpose Accelerator- Driven System for R&D Pre-Design Study Completion, Report SCK CEN, Boeretang 200, B-2400 Mol (Belgium), SILAHUDIN, SYARIP AND SUPRAPTO, Progress and Status Relating to Small Scale Accelerator Driven System (SS-ADS) Development in Indonesia, paper presented at the 8 th International Workshop on Asian Network for ADS and Nuclear Transmutation Technology, Sungkyunkwan University Suwon Republic of Korea, October TEGAS SUTONDO, SYARIP DAN SLAMET SANTOSA, "SAFETY DESIGN LIMITS OF MAIN COMPONENTS OF THE PROPOSED SAMOP", Proceeding of the 3rd Asian Physics Symposium (APS 2009), Bandung, indonesia, July 22-23, ZUHAIR DAN MAMAN MULYAMAN, Analisis Perhitungan Laju Transmutasi Plutonium dan Aktinida Minor Di Reaktor Triga-Jaeri Dengan ADS, J. Tek. Reaktor. Nukl., ISSN X Vol. 9 No. 1, Februari MARSODI, K. NISHIHARA, AND ZAKI SU UD, Evaluasi Sistem Transmutasi Ma/Pu Menggunakan ADS (Accelerator Driven Transmutation System), Risalah Lokakarya Komputasi dalam Sains dan Teknologi Nuklir XVII, Agustus JATI SUSILO, Transmutasi Aktinida Minor Dengan BWR Berbahan Bakar Campuran Oksida, JURNAL TEKNOLOGI REAKTOR NUKLlR- 1R1 DASA MEGA, Vo/.2, No.1, Pebruari, 2000: 9. DJATI, H.SALIMY, ATW (Accelerator Driven Transmutation Waste) Sebagai Teknologi Alternatif Penutupan Daur Bahan Bakar Nuklir, JFN, Vol.1 No.1, ISSN , Mei PTAPB BATAN, Dokumen BEDP Perangkat SAMOP Revisi-1, Yogyakarta, ENRIQUE M. GONZALEZ Nuclear Waste Transmutation, CIEMAT, European Physics Society: Nuclear Physics Board, Valencia, May, 1 st

41 File data masukan untuk ORIGEN 2. LAMPIRAN RDA limbah aktinida RDA Iradiasi 5675 hari RDA fluks 1E12, 1E13, 1E14 RDA termal, epitermal, cepat RDA RDA LIP LIB PHO RDA READ TARGET COMPOSITION INCLUDING IMPURITIES INP MOV IRF E IRF E IRF E IRF E IRF E IRF E DEC DEC DEC OPTF 4* *8 8 OPTL 4* *8 8 OPTA 4* *8 8 HED 1 INITIAL HED HR HED HR HED HR HED HR HED HR HED HR HED 8 LRH 333HR HED 9 LRH 666HR HED 10 LRH 999HR TIT Bakar Limbah BAS (NP-137, AM-241, AM-243, AM-244) OUT END END 31

42 32

43 PENGGUNAAN COMPUTER CODE ORIGEN 2 UNTUK ESTIMASI PERHITUNGAN RADIONUKLIDA PADA KOMPONEN REAKTOR RISET TRIGA MARK II *) ABSTRAK Mulyono Daryoko, Nurokhim Pusat Teknologi Limbah radioaktif-batan PENGGUNAAN COMPUTER CODE ORIGEN 2 UNTUK ESTIMASI PERHITUNGAN RADIONUKLIDA PADA KOMPONEN REAKTOR RISET TRIGA MARK II. Telah dilakukan studi penggunaan computer code Origen 2 untuk estimasi perhitungan radionuklida pada komponen bekas reaktor riset Triga Mark II, khususnya komponen grafit reflektornya. Radionuklida di dalam reflektor tersebut harus diketahui untuk menentukan managemen pengelolaannya. Bahan yang utama dari reflektor grafit bekas tersebut adalah grafit, sedangkan bahan yang lain adalah tutup aluminium dan mur-baut dari baja tahan karat. Dari studi ini disimpulkan bahwa dari segi aktivitas C-14 dan H-3 adalah radionuklida yang paling dominan, tetapi dari paparan radiasinya Co-60 adalah yang paling dominan, sebab Co-60 mempunyai energi maksimum yang sangat tinggi, yaitu 318 kev untuk radiasi partikel β dan 2 energi radiasi sinar γ, yaitu: 1,17 MeV dan 1,33 MeV. Radionuklida yang timbul dari proses kontaminasi adalah Cs-137. Radioaktivitas Co-60 masih berperan hingga 100 tahun, tetapi setelah berakhir waktu tersebut, kemudian posisinya digantikan oleh C-14. Dari penelitian ini bisa digunakan untuk lebih memantapkan pengelolaan limbah reflektor grafit bekas tersebut. Kata Kunci: origen 2, radionuklida, triga mark II. ABSTRACT THE ESTIMATION OF RADIONUCLIDE ON TRIGA MARK II RESEARCH REACTOR COMPONENT USING COMPUTER CODE ORIGEN 2. The estimation of radionuclide calculation on Triga Mark II research reactor component, specially graphite reflector using computer code origen 2 has been conducted. The radionuclide in the reflector must be known, for management policy. The major material of spent graphite reflector is graphite, and the other materials are aluminium cover and stainless steel bolt. The conclusions of the study were: radionuclide activities of C-14 and H-3 are the most dominant, but radiation exposure Co-60 is most dominant, because it have high maximum energy 318 kev of β and two major γ rays: 1.17 MeV and 1.33 MeV. Radionuclide Cs-137 produced from radiological contamination. The radioactivity of Co-60 is significant until 100 years, and after that the dominant radioactivity is changed by C-14. The result of study can be used to guide spent graphite reflector management.. Keywords: origin 2, radionuclide, triga mark II PENDAHULUAN Reaksi netron dengan bahan bakar nuklir yang dalam hal ini U-235 antara 2% - 5% dalam U-238 sebagai "fuel element" untuk jenis reaktor LWR, akan menghasilkan tiga kelompok radionuklida sebagai berikut [1]: 1. Produk aktivasi, yang terdiri dari hampir semua nuklida yang terdapat di alam, nuklida hasil penyerapan netron dan nuklida hasil peluruhannya. Kelompok ini mencapai 720 nuklida yang biasanya ditimbulkan oleh material struktur yang digunakan disekeliling elemen bahan bakar (fuel element). 2. Aktinida, yang terdiri dari isotop turunan Th (no atom 90) sampai Es (no atom 99) yang ada dalam bahan bakar bekas reaktor serta nuklida-nuklida anak luruhnya. Kelompok aktinida mencapai 130 jenis nuklida. Transuranium (TRU) adalah nuklida nomor atom lebih besar dari Produk fisi yang terdiri dari nuklida hasil pembelahan bahan fisil (U-235 dan Pu-239) termasuk nuklida hasil peluruhannya. Kelompok produk fisi berjumlah sekitar 850 nuklida. Unsur-unsur kimia yang terdapat pada komponen-komponen di sekitar reaktor, seperti beton, reflektor, lazy susan, bellow, beam port, fuel rack, grid, sistem pendingin primer, juga mengalami reaksi aktivasi, sehingga komponen-komponen tersebut menjadi radioaktif. *) Makalah ini sudah disosialisasikan pada seminar Jasakiai di Yogyakarta Tahun

44 Pada Tabel 1 disajikan nuklida awal yang teraktivasi dan hasil aktivasinya [2]. Disamping terjadinya reaksi aktivasi, komponen-komponen tersebut juga bisa terkontaminasi radionuklida-radionuklida yang berasal dari reaksi aktivasi, hasil fisi maupun aktinida bahan bakar uranium. Di bawah ini dijelaskan kemungkinan terjadinya radionuklida pada komponen reflektor grafit dari hasil refurbishment reaktor Triga Mark II, Bandung. Grafit tersebut mempunyai diameter luar 1085,8 mm, diameter dalam 749,3 mm, dan tinggi 612,7 mm, dimana bahan utamanya adalah karbon dan tutupnya adalah alumunium alloy (Al T651), dan tebalnya 6,35 mm. Pada bahan tersebut juga menempel beberapa bolt dari baja tahan karat. Radionuklida pada grafit bekas terjadi dari 3 sumber sebagai berikut[2]: 1. Aktivasi grafit. Hasil aktivasi grafit dan pengotorpengotornya adalah:c-14, Cl-36, H-3, Co-60, Nb-94, Eu-152 and Eu Hasil aktivasi dari tutup aluminium dan baja tahan karat. Walaupun kemungkinannya kecil alumunium juga bisa teraktivasi menjadi isotop- isotop: Mn-54, Zn-65 and Fe-55, sedangkan baja tahan karat menjadi Co- 60, Zn-64, Mn-54, Zn-65 and Fe Kontaminasi dari produk fisi. Kontaminasi hasil fisi secara umum ada 2 macam: loose contamination, yaitu kontaminasi yang hanya terjadi pada permukaan luar dan mudah didekontaminasi, dan fixed contamination, yang lebih sulit untuk dilakukan dekontaminmasi [3]. Kontaminasi ini bisa merupakan produk fisi, atau hasil leaching dari produk aktivasi dan aktinida yang terbawa oleh aliran air pendingin. Radionuklida yang penting dari produk fisi adalah: Sr-90, Tc-99, Ru-106, I-129, Cs-137, Ce-144, dari aktinida adalah: Pu-238, Pu-239, Pu- 241, Am-241, Cm-242, Cm-244, dan dari isotop uranium adalah: U-232, U-233, U- 234, U-235, U-236 and U-238. Penelitian ini mencoba menganalisis kandungan radionuklida pada bahan reflektor grafit bekas tersebut menggunakan simulasi computer code origen2. Kandungan radionuklida ini penting untuk diketahui untuk menentukan kebijakan pengelolaannya. Simulasi dilakukan dengan menggunakan kode komputer ORIGEN2 yang telah dikembangkan dengan bahasa Fortran oleh Oak Ridge National Laboratory (ORNL), US DOE. ORIGEN2 menggunakan model reaktor, cross section, fission product yields, data decay dan data foton untuk data-data masukan. ORIGEN2 menyediakan keluaran berbagai karakteristik material dalam bentuk komprehensif, dengan berbagai satuan teknik, dengan sedikit netronik. Hal ini penting dilakukan supaya penanganan reflektor grafit tersebut bisa berlangsung dengan aman dan efisien. METODE Konsentrasi radionuklida sebagai fungsi waktu dalam teras reaktor nuklir dapat dinyatakan dengan persamaan diferensial non homogen orde satu[4] : dxi = dt N l ijλ lχj + φ fikσkχk ( λi + φσi + ri ) χi + F... (1) i j= 1 N k= 1 dimana : χ i = kerapatan atom nuklida i N = jumlah nuklida l ij = fraksi disintegrasi radioaktif, pembentukan nuklida j menjadi nuklida i λ i = konstante peluruhan radioaktif nuklida i φ = fluks netron rata-rata f ik = fraksi serapan netron nuklida k menjadi nuklida i σ k = spektrum serapan netron rerata nuklida k r i = laju removal nuklida i dari sistem F i = laju umpan nuklida i Dalam sistem homogen berlaku : Χ = A Χ... (2) dimana Χ A X = derivasi terhadap waktu konsentrasi nuklida ( vektor kolom) = matrik transisi nuklida = konsentrasi nuklida (vektor kolom) Persamaan ini mempunya solusi : At Χ( t ) = e Χ(0)... (3) dengan : X(t) = konsentrasi nuklida pada saat t X(0) = vektor konsentrasi nuklida mulamula T = waktu pada akhir step/langkah perhitungan 34

45 Nuklida asal Tabel 1. Nuklida Asal, Nuklida Hasil, Pancaran Nuklida Hasil dan Umur Parohnya[2] Partikel sinar penembak dan yang dihasilkan Nuklida hasil Sinar dan partikel yang dipancarkan nuklida hasil Umur paroh nuklida hasil (tahun) Abundance of parent nuclide in parent element (%) Li-6 n,α H-3 β C-13 n, γ C-14 β N-14 n, p C-14 β Na-23 n,2n Na-22 β +, EC Na-23 γ,n Na-22 β +, EC Cl-35 n, γ Cl-36 β - (β +, EC) K-39 n, p Ar-39 β Ca-40 n, γ Ca-41 EC Fe-54 n, p Mn-54 EC, γ Mn-55 n,2n Mn-54 EC, γ Fe-54 n, γ Fe-55 EC, X Ni-58 n, γ Ni-59 EC, X Ni-62 n, γ Ni-63 β Co-59 n, γ Co-60 β -, γ Zn-64 n, γ Zn-65 EC, β Zr-92 n, γ Zr-93 β Mo-92 n, γ Mo-93 EC, X Nb-93 n, γ Nb-93m IT, X Nb-93 n, γ Nb-94 β -, γ Mo-94 n, p Nb-94 β -, γ Mo-98 n, γ Tc-99 β Ag-107 n, γ Ag-108m EC, γ Ag-109 n, γ Ag-110m β -, γ Sn-124 n, γ Sb-125 β -, γ Ba-132 n, γ Ba-133 EC, X, γ Eu-151 n, γ Eu-152 EC, X, β -, γ Eu-153 n, γ Eu-154 β -, γ, X Eu-154 n, γ Eu-155 β -, γ, X Ho-165 n, γ Ho-166m β -, γ, X dengan cara ini maka konsentrasi semua nuklida pada akhir step perhitungan dapat dihitung dan disimpan, hasilnya dapat ditampilkan sebagai output atau digunakan sebagai kondisi konsentrasi awal pada step berikutnya. Pada penelitian ini ORIGEN2 dimanfaatkan untuk perhitungan fraksi berat (gram), radioaktivitas (Ci) dan daya termal(watt). Blok diagram pemanfaatan ORIGEN2 untuk analisis grafit bekas diperlihatkan pada Gambar 1. Data-data operasi reaktor diestimasi sebagai berikut: waktu operasi efektif total 7,5 tahun (50% efektif), dan fluks neutron pada reflektor: 1x10 11 n/s.cm 2. Keluaran program dirangkum untuk produk aktivasi. Karakteristik grafit reflektor seperti terlihat pada Tabel 2, dimasukkan sebagai input ORIGEN 2. Komposisi radionuklida dipelajari setelah 5 tahun reaktor shut down. Untuk mempermudah analisis, sebagian keluaran program diolah dan ditampilkan hanya untuk radionuklida-radionuklida yang dominan. HASIL DAN PEMBAHASAN Data analisis radionuklida yang terdapat pada reflektor grafit dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 2. Tabel 3 dan Gambar 2 tersebut menunjukkan bahwa kandungan radionuklida hasil aktivasi dan kontaminasi pada grafit reflektor setelah shut down adalah Mn-54, Fe-15, Ni-59, Ni- 63, H-3, C-14, Co-60 dan Cs-137, dan 35

46 sekaligus dihitung hingga periode 100 tahun. Data tersebut menunjukkan juga bahwa komponen grafit adalah penyumbang aktivitas yang paling dominan pada reflektor, sedangkan kontribusi dari tutup alumunium dan bolt baja tahan karat relatif kecil. Pada Tabel 3, untuk perhitungan kandungan radionuklida Cs-137 yang merupakan radionuklida yang paling dominan untuk produk fisi diindetikkan dengan radionuklida pada permukaan luar alat penukar panas pendingin primer, yaitu 18,5 Bq/cm 2 [dari Tabel 4]. Luas permukaan dari reflektor grafit lebih kurang 79,374 cm 2, sehingga aktivitas Cs-137 adalah 1,40 x 10 6 Bq. Radionuklida Mn-54 and Fe-55 tidak terlihat pada jajaran pendukung aktivitas grafit tersebut, sebab disamping kandungan prosentase nuklida induknya di dalam elemennya kecil, Mn-54 dan Fe-55 juga hanya mempunyai umur paroh yang sangat pendek. Terlihat bahwa radionuklida penyumbang aktivitas terbesar adalah C-14 dan H-3, disamping Ni-59, Ni-63 dan Cs- 137, sedangkan penyumbang paparan radiasi yang paling dominan adalah Co-60, sebab Co-60 mempunyai energi maksimum yang paling tinggi, yaitu 318 kev untuk β dan 2 radiasi sinar γ : 1,17 MeV dan 1,33 MeV. Gambar 2 menunjukkan juga bahwa Co-60 masih berperan hingga waktu 100 tahun, dan setelahnya baru beralih secara nyata. Emiter beta dari Co-60 dengan umur paroh 5,3 tahun konsentrasinya telah bisa diabaikan. C-14 yang mempunyai umur paroh beberapa ribu tahun sama sekali belum terlihat peluruhannya. Tabel 2. Karakterisasi reflektor grafit[3] Material Elemen Konsentrasi (ppm) Grafit Lithium 0.1 Karbon 10 6 Baja tahan karat Nitrogen 4 Klorin 4.3 Kalsium 41 Besi 4.3 Kobalt Nikel 3.65 Niobium 1 Perak 0.01 Timah putih 0.05 Barium 1 Samarium 0.02 Europium 6 x 10-4 Merkuri 0.04 Uranium 0.1 Besi 4.16 x 10 5 to Kobalt to 257, Nikel 430 to 3.3 x 10 5 Perak to 0.82 Timah putih 4.3 to 204 Samarium 2.3 x 10-4 to 1.9 x 10-3 Gambar 1. Blok diagram pemanfaatan Origen 2 dalam analisis Gambar 2. Radionuklida Reflektor Grafit 36

47 Tabel 3. Hasil Perhitungan Radionuklida Reflektor Grafit Radionuklida T ½, Aktivitas, tahun setelah shut down (Bq) tahun Mn-56 0,86 9,14x10 5 7,15x Fe-15 2,7 1,65x10 4 8,23x Ni ,95x10 5 9,95x10 5 9,95x10 5 9,95x10 5 9,95x10 5 Ni x x x x x10 5 Co-60 5,3 1.50x H-3 12,3 5.19x x x x x10 6 C ,24x10 7 9,24x10 7 9,24x10 7 9,24x10 7 9,24x10 7 Co-60 5,3 1,13x10 8 9,68x10 7 9,24x10 7 1,29x10 6 5,45 Cs ,47x10 6 1,31x10 6 9,26x10 5 5,19x10 5 1,64x10 5 Tabel 4. Pengukuran Radiasi pada Inti Reaktor dan Sekitarnya Setelah Bahan Bakar Diambil [2] No Lokasi Paparan Radiasi 1 Surface of Bellows 130 R/jam 2 Surface of Bellows 100 R/jam 3 Surface of Bellows 120 R/jam 4 Surface of Clem Bellows 150 R/jam 5 Surface of Reflector Pipe 110 R/jam 6 Surface of Clem Bellows 110 R/jam 7 Surface of CT 560 R/jam 8 Surface of Reflector 66 R/jam 9 Surface of Reflector Pipe 70 R/jam 10 Surface of Reflector Pipe 70 R/jam 11 1 m from Bellows 90 R/jam 12 Surface of Fuel Rack 8 R/jam 13 Grid (CT Parallel) 450 R/jam 14 1 m (under grid) 80 R/jam 15 Surface of PHE 18.5 Bq/cm 2 KESIMPULAN Komponen reflektor grafit bekas dari reaktor Triga Mark II, yang paling dominan adalah grafit, sedangkan tutup alumunium dan bolt dari baja tahan karat mempunyai kontribusi yang sangat kecil. Dari segi aktivitas C-14 dan H-3 adalah radionuklida yang paling dominan, disamping Ni-59, Ni- 63 dan Cs-137, tetapi dari paparan radiasinya Co-60 adalah yang paling dominan, sebab Co-60 mempunyai energi maksimum yang sangat tinggi, yaitu 318 kev untuk β dan 2 energi radiasi γ yaitu: 1,17 MeV dan 1,33 MeV. Aktivitas Co-60 masih berperan hingga 100 tahun, tetapi setelahnya posisinya berubah secara nyata, sebab emiter beta dari Co-60, yang mempunyai umur paroh 5,3 tahun konsentrasinya telah dapat diabaikan. Setelah 100 tahun aktivitas C-14 yang mempunyai umur paroh beberapa ribu tahun sama sekali belum terlihat peluruhannya. DAFTAR PUSTAKA 1. International Atomic Energy Agency, Decommissioning Techniques for Research Reactor, Final Report of a Coordinated Research Project, , IAEA-TECDOC-1273, Vienna, Daryoko, M., and Gunandjar, Inventarisasi Radionuklida dalam Komponen Nuklir, Jurnal Teknologi Pengolahan Limbah, ISSN , Volume 6 Nomor 1, Jakarta, Juni International Atomic Energy Agency, Radiological Characterization of Shut Down Nuclear Reactor for Decommissioning Purposes, IAEA- TRS No. 389, Vienna, ORNL, RSICC Computer Code Collection Origen 2.1, ORNL,

48 38

49 OPTIMALISASI PENDINGINAN BAHAN BAKAR NUKLIR BEKAS REAKTOR SERBAGUNA SIWABESSY DI KOLAM PENYIMPANAN SEMENTARA ABSTRAK Kuat Heriyanto, Nurokhim Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN OPTIMALISASI PENDINGINAN BAHAN BAKAR BEKAS REAKTOR SERBAGUNA SIWABESSY DI INSTALASI PENYIMPANAN SEMENTARA. Telah dilakukan studi optimalisasi sistem pendinginan bahan bakar nuklir bekas di instalasi penyimpanan sementara tipe basah. Penelitian dilakukan berdasarkan data spesikasi teknik dan data yang diperoleh dilapangan, diantaranya fraksi bakar 72 dan 56 %, loading bahan bakar 42 dan 24 perangkat per-tahun. Tujuan penelitian antara lain untuk memperoleh nilai beban panas total, kenaikan suhu air kolam dan waktu pengoperasian sistem pendingin pada setiap kondisi. Hasil perhitungan diperoleh kesimpulan : Fraksi bakar bahan bakar bekas mempengaruhi besaran beban pendinginan (cooling load) yang diterima air kolam penyimpanan, pada kondisi sistem pendingin berfungsi dan VAC tidak berfungsi, kenaikan suhu air kolam lebih kecil karena sebagian panas terambil oleh udara ruangan melalui konveksi dan radiasi. Sedangkan pada kondisi sistem pendingin dan VAC tidak berfungsi, seluruh panas bahan bakar bekas menaikkan suhu air kolam. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan pengoperasian kolam Penyimpanan Sementara Bahan Bakar Bekas pada saat kondisi normal dan abnormal. Kata kunci: Bahan bakar Nuklir Bekas, Perpindahan Panas ABSTRACT OPTIMIZATION OF SIWABESSY MULTI PURPOSE REACTOR SPENT NUCLEAR FUEL COOLING IN INTERIM STORAGE POOL. A study on optimization of spent fuel cooling systems in the wet type interim storage pool has been done. This study was conducted based on the technique specifications data and the data which obtained from field, including burn-up of 72 and 56%, fuel loading of 42 and 24 element per-year.this research is intend to obtain the value of the total heat load, the increase pool water temperature and the cooling system operating time on each condition. The calculation result is obtained concluded as follow: burn-up of fuel affects the amount of cooling load received by water storage ponds, on the condition of the cooling system is functioning and the VAC does not work, pool water temperature increase is smaller because some heat is picked up by the room air through convection and radiation. While on the condition of cooling system and VAC does not work, all the heat of the spent fuel to raise of temperature the pool water. It is hope that the result of this research can be used as a reference of spent fuel interim storage pool operation at the normal and abnormal conditions. Keywords: Spent fuel, heat transfer PENDAHULUAN Pengoperasian Reaktor Serba Guna G. A. Siwabessy (RSG-GAS) menimbulkan bahan bakar bekas yang harus dikelola agar aman bagi manusia dan lingkungan. Unsur radioaktif dalam bahan bakar nuklir bekas tetap dijaga utuh dalam kelongsongnya agar tidak terlepas ke lingkungan dan panas yang ditimbulkan dapat dijaga agar tidak melebihi batas yang diijinkan. Bahan bakar nuklir bekas yang keluar dari reaktor setelah berumur 100 hari disimpan dalam kolam atau Instalasi Penyimpanan Sementara Bahan Bakar Nuklir Bekas (IPSB3). Dalam menjaga kondisi bahan bakar nuklir bekas diperlukan unjuk kerja sistem pendingin yang optimal dan efektif. Agar sistem pendingin bekerja efisien, perlu diperoleh penyesuaian antara beban panas yang dikeluarkan bahan bakar nuklir bekas dengan kapasitas pendingin yang dibutuhkan. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data operasi dan waktu pengoperasian sistem pendingin dan VAC sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian diperoleh efisiensi pendinginan berdasarkan beban panas yang diterima air kolam tanpa mengabaikan faktor keselamatan. Diharapkan kondisi bahan bakar nuklir bekas setelah 25 tahun dalam kolam penyimpanan sementara tetap terjaga, baik radionuklida maupun panas peluruhannya. TEORI DASAR 1. Perpindahan Panas Secara Konduksi Proses konduksi adalah proses di mana panas mengalir dari daerah suhu yang lebih tinggi ke yang lebih rendah di dalam 39

50 satu medium padat atau antara mediummedium yang bersinggungan secara langsung. Kapasitas laju perpindahana panas secara konduksi dinyatakan dalam rumus sebagai berikut [1,2]: = Dengan:... (1) Q = laju perpindahan panas (watt), T/ x = gradien suhu karena perpindahan panas ( 0 C/m) dan k = konduktivitas atau kehantaran thermal benda (W/m. 0 C). 2. Perpindahan Panas Secara Konveksi Proses konveksi terjadi pada penyimpangan energi antara permukaan benda padat dengan cair maupun gas. Kapasitas laju perpindahan panas secara konveksi dinyatakan dalam hukum Newton sebagai berikut [1,2]: Q= ha(t w -T )... (2) Dengan: h= koefisien perpindahan panas konveksi (W/m 2. 0 C), A = luas permukaan (m 2 ), T w -= suhu plat ( 0 C) dan T = suhu fluida ( 0 C). 3. Perpindahan Panas Secara Radiasi Proses radiasi adalah proses perpindahan panas melalui udara atau ruang hampa dengan cara sinaran atau pancaran dari suatu benda yang menghasilkan panas. Kapasitas laju perpindahan panas secara radiasi dalam ruang kurung dinyatakan dalam rumus sebgai berikut [1,2]: Q= єσa (T 1 4 -T 2 4 )... (3) Dengan: Є = emisitas air, σ = tetapan Stefan Boltzaman (W/m 2.k 4 ), A= luas permukaan (m 2 ), T 1= suhu awal (K), T 2 = suhu akhir (K) 4. Laju massa alir Kapasitas perpindahana panas ditentukan juga dengan laju massa alir yang terjadi dalam media/ruangan, dihitung dengan menggunakan rumus [1,2]: m.... (4) Dengan: Qp= Panas yang diambil sistem pendingin (kw), Cp = Panas jenis (kj/kg.k) dan T = Selisih suhu masuk dengan suhu keluar ( 0 C). 5. Karakteristik Penyimpanan dan Bahan Bakar Nuklir Bekas RSG-GAS Bahan bakar nuklir bekas yang disimpan di rak penyimpanan IPSB3 adalah bahan bakar nuklir bekas RSG-GAS yang tidak cacat dan telah mengalami pendinginan awal minimum 100 hari. Kondisi Instalasi Penyimpanan Sementara Bahan Bakar Nuklir Bekas [3]: - Instalasi penyimpanan didisain mampu menerima panas total sebesar 40 kw. - Bahan bakar nuklir bekas dipindahkan ke rak kolam IPSB3 tidak secara berkelompok tetapi persatu perangkat (42 dan 24 perangkat pertahun). - Sistem pemurnian air disediakan untuk mempertahankan kualitas air sesuai dengan syarat keselamatan yang telah ditetapkan. - Suhu air kolam dijaga pada harga sekitar 35 0 C dengan cara mensirkulasikan air kolam melalui unit penukar panas (primer dan sekunder). - Suhu abnormal tidak boleh melebihi 67 0 C agar kelongsong tidak rusak. - Sistem ventilasi dipasang untuk memperkuat kungkungan kemungkinan lepasnya material radioaktif berupa gas ke lingkungan. Sistem pendingin dan pemurnian air kolam berfungsi untuk : - Memindahkan panas yang dibangkitkan dari perangkat bahan bakar bekas. - Mempertahankan sifat-sifat kimia, kejernihan dan kandungan zat radioaktif yang terlarut dalam air pada batas yang diijinkan. Pada Tabel 1 diperlihatkan data panas yang ditimbulkan bahan bakar bekas Reaktor Serba Guna G.A. Siwabessy seseuai dengan fraksi bakarnya. 40

51 Tabel 1. Panas yang ditimbulkan bahan bakar bekas RSG-GAS (Origen 2) Fraksi bakar 72 % Fraksi bakar 56 % NO. Waktu (tahun) Q (kw) Waktu (tahun) Q (kw) NO. Waktu (tahun) Q (kw) Waktu (tahun) Q (kw) hari 377,2 13 5, hari 2, , , ,2 14 3, ,7 15 4, ,2 15 3, , ,4 16 2, ,7 17 4, , , ,8 18 4, , , ,3 19 4, , , ,3 20 4, , , ,5 21 4, , , ,1 22 4, , , , , , ,4 24 3, , , ,3 25 3, , ,12 METODOLOGI Penelitian dilakukan dengan dua skenario kondisi, yaitu pertama dengan kondisi VAC tidak berfungsi dan kondisi kedua VAC serta sistem pendingin tidak berfungsi. Selain itu bahan bakar bekas dimasukkan ke dalam kolam penyimpanan secara bertahap (42 dan 24 perangkat pertahun) selama 25 tahun dengan fraksi bakar 72 dan 56 %. Suhu normal air kolam dipertahankan sebesar 35 0 C, sedangkan suhu abnormal yang diijinkan sebesar 67 0 C. 1. Perhitungan dengan asumsi sistem pendingin berfungsi dan VAC tidak berfungsi. Pada kondisi sistem pendingin berfungsi dan VAC tidak berfungsi, dengan fungsi waktu suhu air kolam akan melebihi 35 0 C sedangkan panas permukaan air ditransfer ke udara melalui radiasi dan konveksi. Perpindahan panas radiasi dari permukaan air ke udara dalam ruangan [4,5]: Q= єσa (T 1 4 -T 2 4 )... (5) Dengan diketahui nilai є=4,174, σ =5,6x10-8 (W/m 2.k 4 ), A=70 m 2, T 1 =308 K, dan T K, diperoleh perpindahan panas radiasi (Qr) sebesar 4,254 kw. Perpindahan panas konveksi dari permukaan air ke udara dalam ruangan [3,5]: Q k = ha(t w -T )... (6) Dengan diketahui nilai h = 0,61 W/m 2. 0 C, A = 70 m 2, T w -= 35 0 C dan T = 25 0 C diperoleh perpindahan panas konveksi (Q k ) sebesar 0,427 kw. Panas air kolam yang terambil udara: Q t = Qr+ Q k... (7) = 4,6812 kw Panas yang terakumulasi dalam air kolam: Q a = Q bbb - Q t... (8) Karena bahan bakar nuklir bekas dimasukkan ke dalam kolam secara bertahap, maka nilai Q bbb berbeda setiap tahunnya. 2. Perhitungan dengan asumsi sistem pendingin dan VAC tidak berfungsi. Pada kondisi sistem pendingin dan VAC tidak berfungsi diasumsikan suhu air dan udara ruangan setimbang, seluruh panas bahan bakar nuklir bekas akan menaikkan suhu air kolam. Kenaikan suhu dapat diperoleh dengan persamaan: Q p = m Cp T... (9) T= Q / m Cp... (10) Karena bahan bakar nuklir bekas dimasukkan ke dalam kolam secara bertahap, maka nilai T berbeda setiap tahunnya. 41

52 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil perhitungan dengan asumsi Sistem Pendingin Tidak berfungsi dan VAC berfungsi. Gambar 1 Memperlihatkan beban pendinginan (cooling load) yang diterima air kolam pada IPSB3. Dengan loading 42 perangkat per-tahun dengan fraksi bakar 72 % pada tahun pertama sebesar 11,16 kw sedangkan pada fraksi bakar 56 % sebesar 7,70 kw, begitu seterusnya dengan kondisi yang lain. Dari Tabel 2,3,4 dan 5 diperoleh hasil perhitungan lengkap diantaranya panas total bahan bakar bekas yang diterima air kolam, kenaikan suhu air kolam, penambahan air dan waktu yang diperlukan sistem pendingin agar suhu air kolam tidak melebihi 67 0 C. Pada tahun pertama dengan fraksi bakar 56 % (24 perangkat) merupakan skenario terbaik, diperoleh data antara lain: kenaikan suhu = 0,19 0 C per-hari, pada hari ke 170 sistem pendingin harus dioperasikan selama 5,5 jam (make up air 3,7 kg/jam) agar suhu kembali ke posisi 35 0 C. Sedangkan kondisi terburuk adalah saat waktu penyimpanan 25 tahun dengan kondisi fraksi bakar 72 % (1092 perangkat), diperoleh data antara lain: kenaikan suhu = 1,72 o C per-hari, pada hari ke 18 sistem pendingin harus dioperasikan selama 13 jam (make up air 33,6 kg/jam) agar suhu kembali ke posisi 35 0 C. Q total (kwatt) ,16 7,70 4,37 22,07 14,43 10,61 6,29 72% (42/thn) 56 % (42/thn) 72 % (24/thn) 56 % (24/thn) 0 2, Waktu (Tahun) Gambar 1. Grafik hubungan panas total bahan bakar bekas di IPSB3 dalam fungsi waktu dengan 42 perangkat per tahun. Q total (kwatt) % (42/thn) 72 % (24/thn) 56 % (24/thn) 56 % (42/thn) Waktu (tahun) Gambar 2. Grafik hubungan panas total bahan bakar bekas di IPSB3 dalam fungsi waktu dengan 1092 perangkat 42

53 2. Hasil perhitungan dengan asumsi VAC dan Sistem Pendingin Tidak berfungsi. Gambar 2 Memperlihatkan beban pendinginan (cooling load) tertinggi diperlihatkan pada fraksi bakar 72 % (1092 perangkat) saat 25 tahun penyimpanan sebesar 26,76 kw, sedangkan yang terendah diperlihatkan pada fraksi bakar 56 % sebesar 7,07 kw. Dari Tabel 6,7,8 dan 9 pada hari pertama dengan fraksi bakar 56 % (24 perangkat) merupakan skenario terbaik, diperoleh data antara lain: kenaikan suhu = 0,55 0 C per-hari, pada hari ke 57 sistem pendingin harus dioperasikan selama 7 jam (make up air 4,7 kg/jam) agar suhu kembali ke posisi 35 0 C. Sedangkan kondisi terburuk adalah saat waktu penyimpanan 25 tahun dengan kondisi fraksi bakar 72 % (1092 perangkat), diperoleh data antara lain: kenaikan suhu = 2,1 0 C per-hari, pada hari ke 15 sistem pendingin harus dioperasikan selama 16,5 jam (make up air 37,6 kg/jam) agar suhu kembali ke posisi 35 0 C. Kenaikan suhu pada kondisi sistem pendingin dan VAC tidak difungsikan dengan beban pendinginan yang sama lebih tinggi daripada kondisi lainnya. Hal tersebut disebabkan karena seluruh panas bahan bakar bekas menaikkan suhu air kolam, sedangkan pada kondisi VAC difungsikan ada panas yang ditransfer ke udara melalui konveksi dan radiasi. Kondisi ini juga mempengaruhi kapasitas penambahan air (make-up) dan waktu pengoperasian sistem pendingin. KESIMPULAN Besaran fraksi bakar bahan bakar nuklir bekas mempengaruhi kapasitas beban pendinginan (cooling load) yang diterima air kolam penyimpanan. Pada kondisi sistem pendingin berfungsi dan VAC tidak berfungsi, kenaikan suhu air kolam lebih kecil, karena sebagian panas terambil oleh udara ruangan melalui konveksi dan radiasi. Pada kondisi sistem pendingin dan VAC tidak berfungsi, seluruh panas bahan bakar bekas menaikkan suhu air kolam karena suhunya setimbang. DAFTAR PUSTAKA 1. J. P. HOLMAN, Heat Transfer, Six Edition, Mc. Graw Hill Book Co.- Singapore, DONAL Q. KERN, Process Heat Transfer, Mc. GrawHill Book Co- Singapore, TECHNICAL REPORT SERIS NO. 240, Guidebook on Spent Fuel Starage, IAEA, Viena, PERRY, R.H., Chemical Enginees s Handbook, 6 th edition, Mc. GrawHill International Editions, BATAN-IAEA Engineering Contract, Transfer Chanel and ISSF for BATAN, Prelimery Package, November

54 LAMPIRAN Tabel 2. Hasil perhitungan dengan fraksi bakar Bahan bakar 72 %, 42 perangkat/tahun. Tahun Ke: Q BBB (kw) Q total (kw) Q t (kw) Q a (kw) t (C/hari ) Waktu Maks. (Hari) Make-up air (Kg/jam) Penurunan o C/jam Waktu (jam) 1 377,2 15,84 4,681 11,16 0, ,1 4, ,6 19,31 4,681 14,63 1, ,5 3, ,7 20,76 4,681 16,08 1, ,7 3, ,52 4,681 16,84 1, ,9 3, ,7 22,06 4,681 17,38 1, ,6 3, ,8 22,47 4,681 17,79 1, ,3 3, ,3 22,82 4,681 18,14 1, ,8 3, ,3 23,13 4,681 18,44 1,444 22, 28,3 3, ,5 23,4 4,681 18,72 1, ,7 3, ,1 23,65 4,681 18,97 1, ,1 3, ,7 23,89 4,681 19,21 1, ,5 2, ,4 24,12 4,681 19,44 1, ,8 2, ,3 24,34 4,681 19,66 1, ,2 2, ,2 24,56 4,681 19,88 1, ,5 2, ,77 4,681 20,09 1, ,8 2, ,8 24,97 4,681 20,29 1, ,1 2, ,7 25,17 4,681 20,49 1, ,4 2, ,6 25,36 4,681 20,68 1, ,7 2, ,5 25,55 4,681 20,87 1, ,0 2, ,4 25,74 4,681 21,06 1, ,3 2, ,3 25,92 4,681 21,24 1, ,6 2, ,2 26,09 4,681 21,41 1, ,8 2, ,1 26,27 4,681 21,58 1, ,1 2, ,43 4,686 21,75 1, ,4 2, ,9 26,60 4,681 21,92 1, ,6 2,5 13 Tabel 3. Hasil perhitungan dengan fraksi bakar Bahan bakar 72 %, 24 perangkat/tahun. Tahun Ke: Q BBB (kw) Q total (kw) Q t (kw) Q a (kw) t (C/hari ) Waktu Maks. (Hari) Make-up air (Kg/jam) Penurunan o C/jam 1 377,2 9,053 4,681 4,372 0, ,7 5, ,6 11,04 4,681 6,354 0, ,7 4, ,7 11,87 4,681 7,187 0, ,0 4, ,3 4,681 7,619 0, ,6 4, ,7 12,60 4,681 7,924 0, ,1 4, ,8 12,84 4,681 8,159 0, ,5 4, ,3 13,04 4,681 8,358 0, ,8 4, ,3 13,21 4,681 8,533 0, ,1 4, ,5 13,37 4,681 8,689 0, ,3 4, ,1 13,52 4,681 8,836 0, ,5 4, ,7 13,65 4,681 8,972 0, ,7 4, ,4 13,78 4,681 9,102 0, ,9 4, ,3 13,91 4,681 9,229 0, ,1 4, ,2 14,04 4,681 9,354 0, ,3 4, ,16 4,681 9,474 0, ,5 4, ,8 14,27 4,681 9,589 0, ,7 4, ,7 14,38 4,681 9,702 0, ,8 4, ,6 14,49 4,681 9,812 0, ,0 4, ,5 14,60 4,681 9,920 0, ,2 4,3 7 Waktu (jam) 44

55 Tahun Ke: QBB B (kw) Qtota l (kw) Qt (kw) Qa (kw) t (C/hari ) Waktu Maks. (Hari) Make-up air (Kg/jam) Penurunan oc/jam 20 4,4 14,71 4,681 10,03 0, ,3 4, ,3 14,81 4,681 10,13 0, ,5 4, ,2 14,91 4,681 10,23 0, ,7 4, ,1 15,01 4,681 10,33 0, ,8 4, ,11 4,681 10,42 0, ,0 4, ,9 15,20 4,681 10,52 0, ,1 4,2 8 Waktu (jam) Catatan : Tabel 2, 3, 4, 5 kondisi Sistem Pendingin Tidak berfungsi dan VAC berfungsi Tabel 4. Hasil perhitungan dengan fraksi bakar Bahan bakar 56 %, 42 perangkat/tahun. Tahun Ke: Q BBB (kw) Q total (kw) Q t (kw) Q a (kw) t (C/hari) Waktu Maks. (Hari) Make-up air (Kg/jam) Penurunan o C/jam Waktu (jam) 1 377,2 12,38 4,6812 7,7004 0, ,8 4, ,6 14,70 4, ,017 0, ,3 4, ,7 15,58 4, ,905 0, ,7 4, ,06 4, ,383 0, ,4 4, ,7 16,37 4, ,687 0, ,9 4, ,8 16,59 4, ,913 0, ,2 4, ,3 16,78 4, ,103 0, ,5 4, ,3 16,95 4, ,274 0, ,8 3, ,5 17,12 4, ,434 0, ,0 3, ,1 17,27 4, ,587 0, ,3 3, ,7 17,41 4, ,734 0, ,5 3, ,4 17,56 4, ,877 1, ,7 3, ,3 17,70 4, ,015 1, ,9 3, ,2 17,83 4, ,149 1, ,1 3, ,96 4, ,280 1, ,3 3, ,8 18,09 4, ,408 1, ,5 3, ,7 18,21 4, ,533 1, ,7 3,8 8,5 18 4,6 18,34 4, ,654 1, ,9 3,7 8,5 19 4,5 18,45 4, ,772 1, ,1 3,7 8,5 20 4,4 18,57 4, ,888 1, ,3 3, ,3 18,68 4, ,001 1, ,4 3, ,2 18,79 4, ,111 1, ,6 3, ,1 18,90 4, ,218 1, ,8 3, ,00 4, ,323 1, ,9 3, ,9 19,11 4, ,426 1, ,1 3,7 9 45

56 Tabel 5. Hasil perhitungan dengan fraksi bakar Bahan bakar 56 %, 24 perangkat/tahun. Tahun Ke: Q BBB (kw) Q total (kw) Q t (kw) Q a (kw) t (C/hari) Waktu Maks. (Hari) Make-up air (Kg/jam) Penuru -nan o C/jam Waktu (jam) 1 377,2 7,075 4,6812 2,3940 0, ,6 5,4 5,5 2 82,6 8,399 4,6812 3,7179 0, ,7 5, ,7 8,907 4,6812 4,2258 0, ,4 5, ,180 4,6812 4,4986 0, ,9 5, ,7 9,353 4,6812 4,6720 0, ,1 5, ,8 9,482 4,6812 4,8012 0, ,3 5, ,3 9,591 4,6812 4,9097 0, ,5 5, ,3 9,689 4,6812 5,0074 0, ,6 5, ,5 9,780 4,6812 5,0988 0, ,8 5, ,1 9,868 4,6812 5,1861 0, ,9 5, ,7 9,951 4,6812 5,2702 0, ,0 4,9 6,5 12 5,4 10,03 4,6812 5,3516 0, ,2 4,9 6,5 13 5,3 10,11 4,6812 5,4307 0, ,3 4,9 6,5 14 5,2 10,19 4,6812 5,5076 0, ,4 4,9 6, ,26 4,6812 5,5825 0, ,5 4,9 6,5 16 4,8 10,34 4,6812 5,6555 0, ,6 4,9 6,5 17 4,7 10,41 4,6812 5,7267 0, ,7 4,9 6,5 18 4,6 10,48 4,6812 5,7961 0, ,8 4,9 6,5 19 4,5 10,55 4,6812 5,8638 0, ,0 4,9 6,5 20 4,4 10,61 4,6812 5,9298 0, ,1 4, ,3 10,68 4,6812 5,9943 0, ,2 4, ,2 10,74 4,6812 6,0572 0, ,3 4, ,1 10,80 4,6812 6,1186 0, ,3 4, ,86 4,6812 6,1785 0, ,4 4, ,9 10,92 4,6812 6,2371 0, ,5 4,8 7 Catatan : Tabel 2, 3, 4, 5 kondisi Sistem Pendingin Tidak berfungsi dan VAC berfungsi 46

57 Tabel 6. Hasil perhitungan dengan fraksi bakar Bahan bakar 72 %, 42 perangkat/tahun. Tahun Ke: Q BBB (kw) Q total (kw) t (C/hari) Waktu Maks. (Hari) Make-up air (Kg/jam) Penurunan o C/jam Waktu (jam) 1 377,2 15,8424 1, ,3 3, ,6 19,3116 1, ,3 2, ,7 20,769 1, ,3 2, ,525 1, ,4 2, ,7 22,0584 1, ,1 2, ,8 22,47 1, ,7 2, ,3 22,8186 1, ,2 2, ,3 23,1252 1, ,6 2, ,5 23,3982 1, ,0 2, ,1 23,6544 1, ,4 2, ,7 23,8938 1, ,7 2, ,4 24,1206 1, ,1 2, ,3 24,3432 1, ,4 2, ,2 24,5616 1, ,7 2, ,7716 1, ,0 2, ,8 24,9732 1, ,3 2, ,7 25,1706 1, ,5 2, ,6 25,3638 1, ,8 2, ,5 25,5528 2, ,1 2, ,4 25,7376 2, ,3 2, ,3 25,9182 2, ,6 2, ,2 26,0946 2, ,8 1, ,1 26,2668 2, ,1 1, ,4348 2, ,3 1, ,9 26,5986 2, ,6 1,8 16,5 Tabel 7. Hasil perhitungan dengan fraksi bakar Bahan bakar 72 %, 24 perangkat/tahun. Tahun Ke: Q BBB (kw) Q total (kw) t (C/hari) Waktu Maks. (Hari) Make-up air (Kg/jam) Penurunan o C/jam Waktu (jam) 1 377,2 9,0528 0, , ,6 11,0352 0, , ,7 11,868 0, , ,3 0, , ,7 12,6048 0, , ,8 12,84 1, , ,3 13,0392 1, , ,3 13,2144 1, , ,5 13,3704 1, , ,1 13,5168 1, , ,7 13,6536 1, , ,4 13,7832 1, , ,3 13,9104 1, , ,2 14,0352 1, , ,1552 1, ,7 8,5 16 4,8 14,2704 1, ,6 8,5 17 4,7 14,3832 1, ,6 8,5 18 4,6 14,4936 1, ,6 8,5 19 4,5 14,6016 1, ,6 8,5 20 4,4 14,7072 1, ,6 8,5 47

58 Tahun Ke: Waktu Maks. (Hari) Waktu (jam) QBBB (kw) Qtotal (kw) t (C/hari) Make-up air (Kg/jam) 21 4,3 14,8104 1, , ,2 14,9112 1, , ,1 15,0096 1, , ,1056 1, , ,9 15,1992 1, ,5 9 Catatan : Tabel 6, 7, 8, 9 kondisi Sistem Pendingin dan VAC Tidak berfungsi Tabel 8. Hasil perhitungan dengan fraksi bakar Bahan bakar 56 %, 42 perangkat/tahun. Tahun Ke: Q BBB (kw) Q total (kw) t (C/hari) Waktu Maks. (Hari) Make-up air (Kg/jam) Penurunan oc/jam Penurunan o C/jam Waktu (jam) 1 2,95E+02 12,3816 0, ,5 3, ,52E+01 14, , ,78 3,6 8,5 3 2,12E+01 15, , ,0 3, ,14E+01 16, , ,7 3, ,23E+00 16, , ,1 3, ,38E+00 16,5942 1, ,4 3,3 9, 7 4,52E+00 16, , ,7 3,3 9,5 8 4,07E+00 16, , ,9 3,3 9,5 9 3,81E+00 17, , ,1 3,2 9,5 10 3,64E+00 17, , ,4 3,2 9,5 11 3,50E+00 17, , ,6 3,2 9,5 12 3,39E+00 17, , ,8 3, ,30E+00 17, , ,0 3, ,21E+00 17, , ,2 3, ,12E+00 17, , ,3 3, ,04E+00 18, , ,5 3, ,97E+00 18, , ,7 3, ,89E+00 18, , ,9 3, ,82E+00 18, , ,0 3,0 10,5 20 2,75E+00 18, , ,2 3,0 10,5 21 2,69E+00 18, , ,4 3,0 10,5 22 2,62E+00 18, , ,5 3,0 10,5 23 2,56E+00 18, , ,7 3,0 10,5 24 2,50E+00 19, , ,8 3,0 10,5 25 2,44E+00 19, , ,0 3,0 10,5 48

59 Tabel 9. Hasil perhitungan dengan fraksi bakar Bahan bakar 56 %, 24 perangkat/tahun. Tahun Ke: Q BBB (kw) Q total (kw) t (C/har i) Waktu Maks. (Hari) Make-up air (Kg/jam) Penurunan o C/jam Waktu (jam) 1 2,95E+02 7,0752 0, ,0 4, ,52E+01 8, , , ,12E+01 8, , ,6 4, ,14E+01 9, , ,0 4, ,23E+00 9, , ,2 4, ,38E+00 9,4824 0, ,4 4, ,52E+00 9, , ,5 4,3 7,5 8 4,07E+00 9, , ,7 4,3 7,5 9 3,81E+00 9, , ,8 4,3 7,5 10 3,64E+00 9, , ,9 4,3 7,5 11 3,50E+00 9, , ,1 4,3 7,5 12 3,39E+00 10, , ,2 4,3 7,5 13 3,30E+00 10, , ,3 4,2 7,5 14 3,21E+00 10, , ,4 4,2 7,5 15 3,12E+00 10, , ,5 4,2 7,5 16 3,04E+00 10, , ,6 4, ,97E+00 10, , ,7 4, ,89E+00 10, , ,8 4, ,82E+00 10, , ,9 4, ,75E+00 10, , ,0 4, ,69E+00 10, , ,1 4, ,62E+00 10, , ,2 4, ,56E+00 10, , ,3 4, ,50E+00 10, , ,3 4,1 7,5 25 2,44E+00 10, , ,4 4,1 7,5 Catatan : Tabel 6, 7, 8, 9 kondisi Sistem Pendingin dan VAC Tidak berfungsi Penanya : Ir. Dyah Sulityani Rahayu Pertanyaan : TANYA JAWAB 1. Panas peluruhan bahan bakar diperoleh persamaan atau menggunakan software apa? 2. Penelitian ini di asumsikan dengan kapasitas penuh, bagaimana jika kapasitas bahan bakar nuklir bekas tidak penuh? Jawab : 1. Panas peluruhan bahan bakar bekas diperoleh dengan menggunakan sowtware origen2 2. Penelitian ini memang diasumsikan kapasitas penuh, tapi untuk kondisi tidak penuhpun dapat dicari kondisi optimalnya. 49

60 50

61 ABSTRAK PERAN SAMPEL LINGKUNGAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERKAIT MASALAH LINGKUNGAN HIDUP Lilin Indrayani Direktorat Inspeksi Instalasi dan Bahan Nuklir - BAPETEN PERAN SAMPEL LINGKUNGAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERKAIT MASALAH LINGKUNGAN HIDUP. Amanat Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak asasi untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini berarti bahwa undang-undang memberikan kemungkinan bagi setiap orang untuk mengajukan gugatan apabila terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan karena mengakibatkan kurang sehat dan bersihnya lingkungan hidup, mengingat hal ini adalah kepentingan umum dan juga kepentingan setiap orang. Salah satu masalah penting dalam kasus lingkungan seperti dalam hal terjadinya tindak pidana lingkungan adalah membuktikan ada tidaknya atau terjadi tidaknya pencemaran atau kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh berbagai pihak baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Makalah ini membahas sebagian aspek yang dapat digunakan dalam pembuktian pada penyidikan tindak pidana lingkungan yaitu sampel lingkungan dan peran laboratorium lingkungan dalam memvalidasi hasil analisis sampel yang dapat digunakan sebagai bukti teknis yang merupakan bukti utama pelanggaran. Dalam mengemban amanat Undang-undang No 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran bahwa BAPETEN sebagai Badan pengawas mempunyai fungsi dan kewajiban menjamin keselamatan pekerja, masyarakat dan perlindungan lingkungan dari potensi bahaya yang ditimbulkan dari kegiatan dibidang ketenaganukliran, maka BAPETEN memiliki peran penting sebagai saksi ahli (expert witnesses) untuk menerangkan dan menguraikan bukti dan prosedur yang digunakan dalam memperoleh bukti apabila ada kasus pencemaran lingkungan akibat kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir. Kata kunci : lingkungan hidup, penegakan hukum, ABSTRACT THE ROLE OF ENVIRONMENT SAMPLE AS EVIDENCE IN THE ENFORCMENET OF THE LAW IN CORELATION TO ENVIRONTMENTALCASES. Mandate of the Constitution of the Republic of Indonesia 1945 Article 28 states that every Indonesian citizen has the fundamental right to obtain a good environment and healthy living. This means that the law provides the possibility for everyone to sue a lawsuit in the event of pollution or environmental damage due to lead less healthy and clean environment, considering this is a public interest and also the interests of everyone. One of the important problems in environmental cases such as in the case of environmental crime is going to prove the presence or absence or absence of pollution or environmental damage done by various parties either intentionally or unintentionally. This paper discusses some aspects that can be used in evidence in criminal investigations of environmental samples and the environment is the environment's role in validating the results of laboratory analysis of samples that can be used as technical evidence which is the primary evidence offense. In undertaking the Law No. 10 year 1997 about Nucleur Power BAPETEN as a regulatory body that has the functions and obligations of ensuring the safety of workers, communities and the protection of the environment from potential hazards arising from activities in the field of nuclear energy, then BAPETEN has an important role as an expert witness (Expert Witnesses ) to explain and decipher the evidence and procedures used in obtaining the evidence if there are cases of environmental pollution due to the utilization of nuclear energy Keyword : Environtmental, enforcement of the law PENDAHULUAN. Kasus terkenal yang sering dijadikan sampel kasus pencemaran lingkungan adalah kasus Kumamoto Minamata disease pada Tahun 1953 yang telah menjadi perdebatan dengan timbulnya gejala keracunan pada syaraf otak manusia (central nerver system of toxic type) di kawasan Teluk Minamata dan sekitarnya. Kucing yang mati di kawasan ini ternyata akibat makan ikan mati yang terdampar ditepi pantai. Penyakit Minamata pada penduduk yang tinggal di kawasan ini ternyata juga disebabkan makan ikan yang berasal dari kawasan tersebut. Setelah penelitian dilakukan terhadap limbah industri Chisso Company s Minamata Plant, terbukti air limbah mengandung mangan, 51

62 selenium, thalium, dan senyawa kimia lainnya yang terakumulasi pada tubuh ikan dan lalu dimakan oleh manusia yang tinggal di daerah tersebut. Dari hasil penelitian Kumamoto University dan keterangan aparatur pemerintah Jepang setempat, dapat dipastikan bahwa senyawa mrthyl mercury yang digunakan oleh pabrik acetadehyde merupakan penyebab patogenik penyakit Minamata. Dalam kasus lingkungan tersebut pengadilan Jepang memutuskan bahwa untuk memastikan keselamatan masyarakat dan lingkungan sekitar maka limbah cair harus dianalisis terlebih dahulu untuk mengetahui apakah limbah tersebut beracun dan untuk membuktikan apakah terdapat indikasi keteledoran dilakukan oleh pihak industri dalam proses industrinya sehingga merugikan masyarakat dan lingkunga.. Sampel kasus Minamata di atas merupakan salah satu contoh kasus pencemaran lingkungan yang sering dipersoalkan dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam pada kegiatan pembangunan. Pembangunan merupakan sarana manusia untuk mencapai tingkat kesejahteraanya dan dapat dilakukan jika sumberdaya lingkungan tersedia dengan baik. Akan tetapi dengan hadirnya pembangunan, timbul resiko pada lingkungan yakni ancaman-ancaman yang membuat mutu dan kualitas lingkungan menjadi memburuk bahkan dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan, sehingga cadangan sumber daya alam menjadi tidak lestari. Masalah lingkungan hidup yang seringkali diperdebatkan seiring dengan tetap berjalannya pembangunan adalah masalah pencemaran dan perusakan lingkungan. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memperlihatkan perbedaan rumusan kedua pencemaran dan pengrusakan lingkungan tersebut. Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energi dan komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam. Sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi peruntukkannya. Sedangkan Perusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik dan atau fungsi hayati lingkungan yang mengakibatkan lingkungan itu kurang atau tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Apabila rumusan tersebut diatas diterapkan dalam kasus-kasus lingkungan di Indonesia terdapat kesulitan dalam praktek untuk membuktikannya, misalnya kasus kerusakan lingkungan akibat penebangan hutan yang akan digunakan untuk pembukaan lahan untuk tanaman hutan industri. Penebangan hutan tersebut sifatnya sementara sebagai tindakan antara (transisi) untuk kemudian ditanami lagi dengan tanaman hutan industri, hal ini sama halnya dengan penebangan hutan untuk kemudian dijadikan area perkebunan (kelapa sawit, karet, dll). Apabila kemudian dalam selang waktu satu bulan dari penebangan hutan sudah mulai ditanami lagi dengan tanaman hutan industri atau tanaman perkebunan maka apabila dilakukan pengambilan sampel yang diambil pada tanah di bekas penebangan tersebut digunakan untuk menentukan seberapa besar bentuk dan jenis kerugian terhadap pengrusakan dan pencemaran lingkungan hidup tersebut adalah tindakan yang tidak mudah. Sejauh mana penebangan hutan tersebut mempunyai akibat terhadap fungsi hutan dan pengaruhnya serta kerugianya terhadap ekosistem, jelas tidaklah mudah untuk membuktikankannya, paling tidak memerlukan waktu penelitian yang cukup lama. SAMPEL LINGKUNGAN Kegiatan pengambilan sampel merupakan kegiatan rutin yang biasa dilakukan dalam kegiatan pemantauan lingkungan. Tujuan kegiatan pengambilan sample adalah untuk mendapatkan informasi tentang kualitas (mutu) lingkungan. Akan tetapi istilah pengambilan sampel yang rutin tersebut akan memiliki arti yang berbeda bila kegiatan pengambilan sampel digunakan untuk sebagai alat bukti kepentingan penegakan hukum terkait lingkungan hidup misalnya untuk pembuktian adanya pencemaran lingkungan. Sampel yang dikumpulkan untuk keperluan tersebut mengalami pemeriksaan secara lebih ketat. Oleh karena itu beberapa prosedur tertentu harus diikuti secara ketat pula. Prosedur yang dipakai harus diterima dari sudut ilmiah agar hasilnya terlepas dari segala keraguan bahwa sampel telah 52

63 diperiksa ketelitiannya, keakuratannya, dan ketepatannya sehingga dapat diterima oleh masyarakat ilmiah. Dalam makalah ini hanya membahas secara khusus tentang pengambilan sampel air dan bagian bagian penting yang secara teknis berkaitan dengan prosedur tentang pengambilan sample yang tepat bila sample tersebut dijadikan alat bukti yang sah untuk penegakan hukum. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan oleh tim/personel yang mengambil sampel lingkungan untuk keperluan penegakan hukum misalnya polisi, jaksa, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari KLH, Inspektur BAPETEN adalah sebagai berikut: Lokasi pengambilan sampel Suatu contoh, Lokasi pengambilan sampel harus mewakili semua badan air (sungai, waduk, rawa, bendungan, dll) yang diduga merupakan lokasi yang tercemar. Lokasi pengambilan sampel air dari badan air penerima polutan harus diambil guna menunjukkan bahwa kualitas air pada lokasi tersebut, lazimnya diambil dibagian atas dari titik tempat masuknya polutan. Sampel duplikat harus diperlakukan sebagai sampel terutama bila konsentrasi zat yang sedang diambil sampelnya diperkirakan akan rendah. Sampel kontrol diambil pada lokasi yang jauh dari lokasi yang diduga tercemar untuk dibandingkan hasilnya dengan lokasi yang diduga terjadi pencemaran. Penanganan (preservasi) sample Beberapa parameter menghendaki penanganan sample yang segera, seperti oksigen terlarut, asam sulfat dan logam terlarut. Personel pengambil sampel harus yakin bahwa jenis sampel tertentu telah dilakukan penanganan sebagaimana mestinya untuk tujuan perlindungan sampel. Jika langkah penanganan telah digunakan, sampel tersebut harus merupakan sampel baru dan tidak terkontaminasi. Beberapa sampel hidup (pengukuran kandungan bakteri) yang menurun mutu sampel harus disimpan dalam tempat yang dingin dan gelap. Sampel harus dianalisis sesegera mungkin dan tidak lebih dari lima hari setelah sampel dikumpulkan. Beberapa sampel tidak akan punya nilai setelah disimpan lebih dari 24 jam. Dalam hal sampel merupakan zat yang mengandung unsur radioaktif perlu dilakukan penanganan khusus dengan memperhatikan adanya kontaminasi dengan sampel non radioaktif. Oleh karena tahapan penanganan sampel merupakan proses yang penting maka personel pengambil sampel harus selalu berkerjasama dan selalu melibatkan personel analisis sampel. Wadah sampel Wadah sampel haruslah baru atau dalam prosedur botol sampel harus dicuci sebelum dipakai lagi. Prosedur ini mencegah kemungkinan tercemarnya sampel oleh botol tersebut atau unsur lain yang pernah diambil dalam botol tersebut sebelumnya. Pengidentifikasian dan penyegelan sampel Segera setelah sampel dikumpulkan, wadah sampel harus segera diberi label. Jika wadah yang digunakan adalah plastik, tempat dimana sampel itu dibubuhi harus ditandai dengan pena yang tidak bisa dihapus untuk membantu personel pengambil dan analisis sampel dalam mengalokasikan label nantinya. Jika lebih dari satu orang yang mengambil sampel, hanya satu orang yang membubuhi label. Hal ini ditujukan agar memungkinkan bahwa semua kontener sampel dilabel dengan cara yang konsisten dan seluruh informasi ini dimasukkan kedalamnya. Nomor sampel ditujukan untuk menunjukkan catatan yang dibuat di lapangan untuk mengidentifikasikan tempat pengambilan sampel (termasuk juga sumber sampel), tanggal dan waktu pengambilan sampel, paraf pengambil sampel dan saksi atau pihak ketiga yang hadir saat kegiatan pengambilan sampel. Penyegelan sampel dilakukan pada tahap akhir yang bertujuan untuk mengetahui adanya kemungkinan bahwa telah terjadi pemalsuan sampel jika segelnya dirusak. Metode yang paling umum dalam penyegelan adalah membungkus tutupnya dengan isolator dan membubuhi inisial pengambil sampel di atas isolator pembungkus itu. Ini adalah metode yang sederhana tapi efektif. Pemindahan dan Pengangkutan Sampel Jika sampel harus disimpan semalam atau lebih, sebelum pemindahan ke laboratorium, sampel tersebut harus telah disimpan dalam sebuah tempat terkunci, 53

64 lebih baik hanya ada sebuah kunci yakni di tangan pengambil kunci. Sampel itu harus diletakkan ditempat yang dingin dan gelap. Jika sampel diangkut dengan alat transportasi umum (pesawat, bus, atau kurir) mereka harus dikirim dengan kotak yang terkunci agar sampel kontener tidak rusak dan hilang dan agar segelnya tidak rusak. Alat pendingin misalnya box es atau freezer membuat pengiriman sampel menjadi sangat luar biasa bagusnya terutama bila sampel tersebut disegel dan dikunci. Jika sampel tidak diiringi oleh personel pengambil dan analisis sampel, pelayanan pengiriman harus benar-benar berhati-hati sebab suhu panas yang berlebihan dan keterlambatan selama pemindahan dan pengangkutan dapat mengubah komposisi sampel tersebut. Foto/video Foto/Video merupakan bagian yang sangat berharga sebagai alat bukti akhirakhir ini dan sangat sering digunakan karena mereka mengemukakan gambaran yang akurat dan jelas tentang satu atau lebih dalam aspek pelanggaran. Foto/Video dapat digunakan baik secara sendirian maupun bersama-sama dengan alat bukti lainya untuk menggambarkan hal-hal sebagai berikut: - Pelanggaran yang dilakukan - Orang yang melakukan pelanggaran - Keadaan dan suasana disekitar pelanggaran - Prosedur yang dilaksanakan personel pengambil sampel - Dampak yang mungkin ditimbulkan oleh pelanggaran pencemaran. - Status Umum Fasilitas yang sedang diselidiki (kebersihan, keselamatandan kesadaran lingkungan secara umum) - Perbedaan antara keadaan normal dan abnormal yang dikaitkan dengan pelanggaran. Agar foto/videodapat diterima sebagai alat bukti, ada beberapa hal yang harus dilakukan: 1. Foto/video harus didokumentasikan dengan baik. Sewaktu foto/video sedang diambil, fotographernya harus telah merekam dalam buku catatannya tentang nomor f, lokasi, waktu dan tujuan dari foto/video yang dimaksud. 2. Nomor foto/videotidak harus sama dengan nomor dalam filenya, selama nomor-nomor ini ditunjuk ulang setelah film diproses. 3. Film harus diproses oleh laboraturium yang berkompeten segera setelah penyidikan. Jika negatifnya rusak selama pemrosesan, foto/video itu mungkin tidak dapat diterima atau tidak berguna sebagai alat bukti. Kelambatan dalam menerima film yang diproses berarti bahwa pengidentifikasian dapat menjadi lebih sulit karena kekeliruan memori pada pihak penyidik. 4. Segera setelah film diproses, orang yang mengambil foto harus menulis ulang informasi pada buku catatannya ke belakang foto tersebut atau kedalam kertas tersendiri, bersamaan dengan nomor negatifnya. Jika fotonya banyak informasinya harus dilabelkan dekat fotonya. LABORATORIUM LINGKUNGAN Hal yang berkaitan erat dengan sample lingkungan adalah laboratorium lingkungan. Untuk menjelaskan keterkaitan kedua hal tersebut bisa tergambar dengan penjelasan kasus teluk buyat. Kasus pencemaran Buyat oleh PT Newmont Minahasa Raya (NMR) diawali oleh pengaduan warga Dusun Buyat Pante, Desa Ratatotok, Kecamatan Ratatotok Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara ketika warga mengalami gangguan kesehatan di antaranya penyakit kulit (gatalgatal), kejang-kejang, benjol-benjol, dan lumpuh selama beberapabulan. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup RI menggugat PT NMR di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pemerintah menilai PT NMR telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga mencemari lingkungan hidup. Menteri Lingkungan Hidup telah melakukan evaluasi laporan periodik pelaksanaan RKL/RPL PT NMR menemukan fakta bahwa hasil analisis kualitas air tanah pada sumur penduduk menunjukkan parameter kimiawi yang melebihi baku mutu yang telah ditetapkan. Tim penanganan Kasus Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan Hidup untuk kasus teluk Buyat yang 54

65 dibentuk Menteri Lingkungan Hidup yang melibatkan BPPT, Puslabfor Mabes Polri, akademisi dari UI, Unpad, IPB, serta Universitas Sam Ratulangi, setelah melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan kualitas air sumur gali, udara, sedimen, bentos, plankton, phitoplankton dan ikan laut yang melebihi baku mutu lingkungan sehingga berakibat pada kualitas lingkungan serta kesehatan manusia. Tim Penanganan Kasus tersebut menemukan kadar Arsen total ratarata pada ikan sebesar 1,37 mg/kg yang melebihi baku mutu kadar total Arsen yang ditetapkan Dirjen POM sebesar 1 mg/kg. Kandungan merkuri pada ikan yang dikonsumsi penduduk Desa Buyat Pante mengakibatkan asupan merkuri harian sebesar 82,82 % dari Tolerable Daily Intake (TDI) per-60 kg, sedangkan pada anak-anak berbobot badan 15 kg sebesar 80,98 % dari TDI. Tingginya kadar Arsen dan merkuri tersebut jika terus-menerus masuk terakumulasi dalam tubuh manusia tentu akan menimbulkan penyakit bagi manusia. Tetapi akhirnya putusan Pengadilan Negeri Manado membebaskan PT NMR dari dakwaan dan menyatakan tidak terbukti bahwa adaya pencemaran di teluk buyat. Isi putusan Pengadilan tersebut mempertimbangkan beberapa hasil riset lembaga-lembaga luar negeri yang dibiayai oleh PT NMR, termasuk WHO, CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization). Hasil penelitian CSIRO ini menegaskan hasil penelitian WHO dan National Institute for Minamata Disease menyimpulkan bahwa tidak terjadi pencemaran di perairan Teluk Buyat. Demikianlah perkara pencemaran Pantai Buyat itu berakhir begitu dramatis. Dari contoh di atas menjelaskan bahwa hasil penelitian berbeda-beda dari laboratorium yang berbeda-beda. Ada kubu penelitian atas prakarsa pemerintah yang ditandingi hasil penelitian atas prakarsa PT NMR. Suatu pertanyaan besar bagaimana dengan validasi laboraturium dari lembaga asing tersebut? Dalam permasalahan ini menegaskan bahwa makin pentingnya adalah peranan laboraturium sebagai laboraturium rujukan yang ditunjuk resmi oleh pemerintah untuk menetapkan terjadi ada tidaknya pencemaran dalam arti hukum dalam kasus-kasus lingkungan. Peran laboratorium rujukan ini memperlihatkan pentingnya, agar terdapat persepsi dan penafsiran yang sama tentang terjadi tidaknya pencemaran. Belum dipahaminya peranan laboraturium rujukan implikasinya pada proses pembuktian terjadinya pencemaran lingkungan menyebabkan kasus ini dijadikan contoh keterlambatan sistem hukum mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi mengingat alat bukti yang paling vital adalah surat dari laboratorium yang memeriksa sampel. KESIMPULAN Proses Pengambilan sampel adalah hal rutin dalam kegiatan pemantauan lingkungan tetapi menjadi suatu hal yang sangat penting artinya apabila sampel yang kita ambil akan dijadikan alat bukti untuk penyidikan tindak pidana lingkungan. Sampel membuktikan terjadi tidaknya pencemaran di suatu lokasi dan siapa yang melakukan pelanggaran tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam prosedur pengambilan dan analisis sampel yaitu: lokasi pengambilan, penanganan, kontener, penyegelan dan identifikasi, pemindahan dan pengangkutan, foto/video. Semua tahapan tersebut di atas harus dilakukan dengan prosedur yang tepat, cermat dan sesuai dengan kaidah ilmiah yang dapat diterima oleh masyarakat dan peradilan. Hal lain yang berkaitan dengan sampel adalah makin pentingnya peran laboratorium rujukan yang ditetapkan pemerintah seiring dengan semakin meningkatnya kasus pencemaran dan pengrusakan lingkungan. Laboratorium rujukan tersebut harus mengikuti dan memenuhi standar yang berlaku dan terakreditasi secara nasional dan internasional sehingga validasi hasil analisisnya diakui oleh semua pihak termasuk oleh laboratorium dari lembaga asing lainnya. DAFTAR PUSTAKA 1 Masalah Lingkungan Hidup, Pedoman Mahkamah Agung Republik Indonesia, Tahun Pedoman Pengambilan Sample Lingkungan, BAPETEN, Tahun

66 56

67 ABSTRAK PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TERPADU DARI PLTN Husen Zamroni, Pungky Ayu Artiani Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TERPADU DARI PLTN. Fasilitas nuklir seperti Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) menghasilkan limbah radioaktif pada kondisi operasi normal sekitar 300 drum. Limbah radioaktif cair dan padat selanjutnya dikumpulkan dan disimpan dalam fasilitas penyimpanan sementara. Limbah radioaktif cair yang ditimbulkan dari PLTN yang mempunyai konsentrasi terlarut dan atau padatan tak terlarut dalam limbah cukup rendah maka limbah tersebut dapat dibuat menjadi konsentrat dengan menggunakan evaporator. Reduksi volume dapat mencapai seperseratus dan hasil volume konsentrat yang kecil dapat disimpan dalam tangki penyimpanan sambil menunggu kondisioning. Limbah padat aktivitas rendah dilakukan prapenyortiran ditempat timbulnya limbah dan diangkut dalam kontainer ke pusat pengolahan limbah. Limbah ditempatkan dalam meja sortir, dibuka dan dimasukkan dalam kotak terpisah. Limbah selanjutnya di sortir menurut kriteria dapat terbakar, terkompaksi, dapat didekontaminasi. Aktivitas limbah radioaktif diukur dan dicek laju dosisnya. Pada kasus limbah radioaktif mempunyai level tinggi teknik penanganan dengan remote digunakan untuk sortir limbah sedangkan limbah dengan aktivitas rendah dapat ditangani langsung secara normal. Limbah yang dapat dikompaksi dimasukkan dalam drum 100 dan 200 liter Drum yang sudah terisi penuh selanjutnya ditutup dan dikirim ke fasiltas kompaksi. Semua limbah yang sudah diolah dikirim ke fasilitas penyimpanan sementara sebelum dibuang. Kata kunci: Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, Reduksi Volume, Limbah Cair, Limbah Padat, Evaporasi, Kompaksi, Insenerasi ABSTRACT INTEGRATED RADIOACTIVE WASTE TREATMENT FROM NPP. Nuclear facility such as nuclear power plants produced radioactive wastes around 300 drums during the normal operation condition. The liquid and solid radioactive waste have therefore been collected and stored, in interim storage facilities. Liquid radioactive wastes are generated in nuclear power plants, have the concentration soluble and/or insoluble solid in the waste stream is low, it is standard practice to concentrate the waste using an evaporator. This typically achieves a volume reduction of ~100 and the resultant small volume concentrate can be storage in tanks while awaiting conditioning. Solid low-level radioactive waste will be pre-sorted at the place of origin and transported in a container to the waste treatment center. The waste is placed on the sorting table, unwrapped and transferred into the sorting box. The waste is then sorted according to the following criteria burnable, compactable. The activity of the radioactive waste is measured by a dose rate check. In the case of higher level radioactive waste, remote handling techniques are used for sorting whereas low level waste can normally be handled directly. The compactable waste is filled into liter drums. The filled drums are closed with a lid and transported to the compaction facility. All the waste that has been processed is sent to interim storage facilities prior to disposal. Keywords: Nuclear Power Plant, Volume Reduction, Liquid Waste, Solid Waste, Evaporation, Compaction, Incineration 57

68 PENDAHULUAN Dibeberapa negara maju Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) merupakan bagian penting dari sistem energi yang tidak terpisahkan dalam mendukung kemajuan industri. Harga energi dari PLTN yang cukup kompetitif seiring dengan kenaikan harga minyak dunia dan relatif bersih jika dibandingkan dengan energi bentuk lain seperti batubara dan minyak bumi. Pertimbangan ekonomis dan pemanasan global yang saat ini menjadi perhatian dunia maka saat ini PLTN merupakan energi alternatif karena emisi karbon yang rendah. Sebagai salah satu energi alternatif PLTN diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar dalam mendukung sistem energi nasional pada tahun Sumbangan pasokan energi nasional dari energi nuklir akan sangat diperlukan jika standar hidup dan industri di Indonesia terus meningkat. Rencana pembangunan PLTN pertama di Indonesia dalam rangka memenuhi kebutuhan energi listrik perlu diantisipasi dengan sungguh-sungguh oleh semua stake holder. Rencana ini perlu didukung dengan berbagai persiapan secara menyeluruh baik secara ekonomi, infrastukturnya dan penerimaan masyarakat (public acceptance). Salah satu infrastruktur yang sangat penting dan perlu dipersiapkan bersamaan dengan pembangunan PLTN adalah pengelolaan limbah radioaktif. Jawaban bagaimana mengelola limbah radioaktif yang timbul dari operasi PLTN yang andal akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam mendukung pembangunan PLTN. Sebagaimana tercantum dalam UU yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan limbah radioaktif adalah badan pelaksana [1]. Oleh karena itu BATAN sebagai badan pelaksana bertanggungjawab penuh bagaimana mempersiapkan pengelolaan limbah radioaktif yang timbul dari operasi PLTN. Saat ini rencaca pembangunan PLTN di Indonesia telah dievaluasi oleh IAEA melalui kegiatan Integrated Nuclear Infrastructure Review (INIR) yang berisi 19 kegiatan salah satunya adalah dalam hal pengelolaan limbah radioaktif. Pada evaluasi fase I pengelolaan limbah radioaktif sudah banyak yang dipersiapkan baik dari segi regulasi maupun infrastruktur pendukungnya sehingga diharapkan dalam INIR fase dua sudah didukung dengan action plan (rencana aksi yang lebih riil). Hasil evaluasi IAEA ini tentunya sangat menggembirakan dan sangat baik bagi BATAN untuk melangkah ke depan yang lebih riil. Dalam RPJM dan renstra BATAN diharapkan salah satu outputnya adalah prarancangan instalasi pengelolaan limbah radioaktif bentuk cair dan padat dari operasi PLTN[2,3]. Dalam rangka mensukseskan renstra BATAN dan RPJM tersebut Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) yang bertanggungjawab dalam pengelolaan limbah radioaktif di BATAN harus melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyiapan Instalasi Pengelolaan Limbah Radioaktif (IPLR) PLTN [4]. Pengkajian pengelolaan limbah PLTN dan Penyiapan IPLR PLTN dilakukan sesuai dengan road map pembangunan PLTN yang direncanakan BATAN, sehingga ketika PLTN beroperasi maka IPLR PLTN juga sudah siap beroperasi dan dapat menyelesaikan pengelolaan limbah radioaktif secara aman dan selamat. METODE Sumber limbah radioaktif Bagian ini membahas sumbersumber radioaktif yang timbul di dalam PLTN dan perlu diolah dalam sistem pengolahan limbah radioaktif cair. Material radioaktif ditimbulkan di dalam teras berupa produk fisi dan mempunyai potensi kebocoran ke dalam sistem pendingin reaktor yang disebabkan karena kerusakan/cacat pada kelongsong bahan bakar. Medan radiasi yang terjadi di teras juga menimbulkan aktivasi pendingin sehingga terbentuk N-16 dari oksigen dan aktivasi produk korosi di dalam sistem pendingin reaktor. Dua sumber utama berasal dari pendingin primer dan sekunder. Yang pertama adalah sumber yang konservatif, atau kemungkinan timbulnya sumber berdasarkan pada basis desain, yang asumsinya cacat bahan bakar maksimal adalah pada tingkat basis desain. Jumlah sumber ini berfungsi sebagai basis perhitungan persyaratan desain sistem dan sistem pelindungnya. 58

69 Sumber kedua merupakan suatu model perhitungan yang lebih realistis. Sumber ini mewakili konsentrasi rata-rata radionuklida yang ada dalam pendingin primer dan sekunder. Nilai-nilai ini ditentukan dengan menggunakan model perhitungan komputer kode PWR-GALE yang memberikan dasar untuk estimasi konsentrasi radionuklida utama yang dimungkinkan timbul[5]. Produk Fisi Sumber yang didasarkan pada basis desain, diasumsikan bahwa terdapat tingkat kecacatan/kebocoran/ kerusakan bahan bakar yang signifikan, jauh di atas yang diantisipasi selama operasi normal. Diasumsikan bahwa cacat kelongsong yang terjadi sangat kecil pada batang bahan bakar yang menghasilkan 0,25% dari output daya teras (juga dinyatakan sebagai 0,25% cacat bahan bakar). Sebagai basis perhitungan diasumsikan cacat bahan bakar terdistribusi secara merata di seluruh teras. Karena cacat bahan bakar diasumsikan terdistribusi secara merata dalam teras, koefisien laju lepasan produk fisi didasarkan pada temperatur bahan bakar rata-rata. Penentuan aktivitas pendingin reaktor didasarkan pada inventori teras produk fisi yang time-dependent (tergantung waktu) yang dihitung dengan ORIGEN [5] Aktivitas produk fisi di dalam pendingin reaktor dihitung dengan menggunakan persamaan differensial seperti persamaan (1). Untuk nuklida induk di dalam pendingin[5]: dnc FRN p p F p Q DF L p 1 = λ p + Dp + N cp dt Mc M c DF p... (1) Untuk nuklida turunan (anak) di dalam pendingin: dn FRN c d F d dp Q L DFd 1 = + fpλp Nc λ p d + Dd + Nc d dt Mc M c DF d... (2) dimana: N c = Konsentrasi nuklida di dalam pendingin reaktor (atom/gram) N f = Populasi nuklida di dalam bahan bakar (atom) T = Waktu operasi (detik) R = Koefisien lepasan nuklida (1/detik) F = Fraksi batang bahan bakar dengan kelongsong yang cacat M c = Massa pendingin reaktor (gram) λ = Konstanta peluruhan nuklida (1/detik) D = Koefisien dilusi (pelarutan) melalui umpan (feed) dan bleed =[β/(b 0 β t )] 1/DF B 0 = Konsentrasi awal boron (ppm) β = Laju penurunan konsentrasi boron (ppm/detik) DF = Faktor dekontaminasi demineralizer nuklida Q L = Laju alir massa letdown atau purifikasi (gram/detik) f = Fraksi dari kejadian peluruhan nuklida induk yang menghasilkan pembentukan nuklida anak Subskrip p = Subskrip d = menunjukkan nuklida induk. menunjukkan nuklida anak. Hasil perhitungan aktivitas hasil belah pada pendingin primer dan sekunder disajikan pada Tabel 1 [6]. Besar nilai yang disajikan merupakan nilai maksimum yang dihitung akan terjadi selama siklus bahan bakar mulai dari startup. Tabel 1. Aktivitas Pendingin Primer pada Operasi Normal[7]. Nuklida Aktivita Nuklid Aktivita s a s Kr-83m 1.8E-1 Rb Kr-85m 8.4E-1 Rb E-2 Kr-85 3 Sr E-3 Kr E-1 Sr E-5 Kr Sr E-3 Kr E-2 Sr E-4 Xe-131m 1.3 Y E-5 Xe-133m 1.7 Y-91m 9.2E-4 Xe E2 Y E-4 Xe-135m 1.7E-1 Y E-4 Xe Y E-4 Xe E-2 Zr E-4 Xe E-1 Nb E-4 Br E-2 Mo E-1 Br E-2 Tc-99m 2.0E-1 Br E-3 Ru E-4 I E-8 Rh- 1.4E-4 I E-2 Rh E-5 I E-1 Ag- 4.0E-4 I E-1 Te- 7.6E-4 I Te- 2.6E-3 I E-1 Te E-3 I E-1 Te- 6.7E-3 59

70 Tabel 1. Aktivitas Pendingin Primer pada Operasi Normal (Lanjutan) [7] Nuklid a Aktivita s Nuklid a Aktivita s Cs E-1 Te E-3 Cs Te E-2 Cs E-1 Te E-2 Cs E-1 Ba- 4.7E-1 Cr E-3 Ba E-3 Mn E-4 La E-4 Mn E-1 Ce E-4 Fe E-4 Ce E-4 Fe E-4 Pr E-4 Co E-3 Ce E-4 Co E-4 Pr E-4 Desain didasarkan pada 0,25% cacat bahan bakar digunakan untuk memastikan suatu sistem nilai desain yang konsisten untuk sistem pengolahan limbah radioaktif. Untuk angka keamanan, sistem pengolahan limbah radioaktif cair dan gas dirancang memiliki kemampuan untuk mengolah limbah yang ditimbulkan akibat kerusakan bahan bakar mencapai 1,0%. Tritium Tritium yang timbul di dalam pendingin reaktor disebabkan antara lain[7]: - Pembentukan produk fisi dalam bahan bakar (ternary fission) membentuk tritium yang akan berdifusi ke air pendingin melalui kelongsong bahan bakar yang cacat - Reaksi neutron dengan boron yang terlarut dalam pendingin reaktor - Absorber neutron dapat bakar - Reaksi neutron dengan litium yang dapat larut dalam pendingin reaktor - Reaksi neutron dengan deutrium dalam pendingin reaktor. Dua proses pertama merupakan penyumbang utama tritium dalam pendingin reaktor, kemungkinan reaksi aktivasi terjadinya tritium. Tritium yang ada dalam pendingin reaktor akan menglami kombinasi dengan hidrogen (yaitu, sebuah atom tritium menggantikan sebuah atom hidrogen dalam sebuah molekul air), sehingga tidak dapat segera dipisahkan dari pendingin dengan metode pemrosesan yang normal (konvensional). Konsentrasi maksimum tritium dalam pendingin reaktor adalah kurang dari 3,5 µci/g (1,295E+05 Bq/g) sebagai hasil dari kehilangan akibat kebocoran dan pelepasan terkontrol dari air yang mengandung tritium ke lingkungan. Nitrogen-16 Aktivasi oksigen dalam pendingin menghasilkan pembentukan N-16 yang merupakan emiter gamma kuat. Karena usiaparuh yang pendek yaitu 7,11 detik, N-16 tidak menjadi masalah di luar pengungkung. Setelah shutdown, N-16 bukan merupakan suatu sumber radiasi di dalam pengungkung. Aktivitas Pendingin Sekunder Kerusakan/Cacat tabung generator uap (steam generator) menyebabkan masuknya (difusi) radionuklida dari pendingin primer ke dalam sistem pendinginan sekunder. Konsentrasi radionuklida yang dihasikan dalam pendingin sekunder tergantung pada laju difusi dari pendingin primer ke sekunder, konstanta peluruhan nuklida, dan laju blowdown generator uap[7]. HASIL DAN PEMBAHASAN Limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang yang biasanya disebut LILW PLTN ditimbulkan dari pengolahan limbah cair, padat dan gas dari operasi PLTN. LILW-PLTN tidak termasuk limbah bahan bakar nuklir bekas dan limbah dari kegiatan dekomisioning. Pemegang ijin PLTN harus mempersiapkan rencana pengelolaan LILW- PLTN, dimana prinsip-prinsip keselamatan yang harus dipertimbangkan adalah sebagai berikut: - Limbah yang ditimbulkan harus sekecil mungkin melaui perencanaan yang tepat dan dilakukan perbaikan dan pemeliharaan secara terus menerus, melakukan kegiatan dekontaminasi, klierens dalam rangka mengurangi limbah yang timbul [8]. - Limbah harus dipisahkan, dikategorikan dan diklasifikasi dengan tepat sehingga memudahkan pengolahan, penyimpanan dan pada saat pembuangan akhir limbah[9]. - Limbah yang aktivitasnya rendah dan sudah di bawah batas klierens dapat langsung dibuang kelingkungan. 60

71 - Limbah yang belum bisa dibuang harus dikondisikan dan disimpan dengan cara yang tepat dan aman sampai dikirim ke tempat pembuangan akhir atau dilakukan pelepasan ke lingkungan. - Paparan radiasi yang diterima oleh pekerja yang disebabkan oleh paparan limbah radioaktif harus sekecil mungkin terukur dan dilakukan pencegahan terjadinya penyebaran zat radioaktif di dalam fasiltas pengelolaan limbah radioaktif maupun ke lingkungan. - Sifat dan jenis limbah radioaktif harus ditandai dan dicatat sehingga informasi tiap paket limbah yang akan dibuang atau disimpan jangka panjang dapat diindentifikasi dengan baik. Pengolahan Limbah Cair dan Limbah Padat Basah Limbah cair yang ditimbulkan dari operasi PLTN diolah dengan berbagai cara seperti penukar ion, reverse osmosis dan evaporatsi. Limbah cair dari PLTN antara lain berasal dari pembersihan air pendingin primer, pembersihan kolam penyimpanan bahan bakar dan kebocoran-kebocoran dalam sistem. Jenis Limbah, prosentase limbah radioaktif cair dan cara reduksi volumenya dapat dilihat pada Tabel 2 [10]. Limbah padat basah di beberapa negara biasanya disebut limbah basah terdiri dari konsentrat evaporator, resin bekas, filter bekas penyaringan dan limbah padat yang ditimbulkan dari proses pengolahan limbah cair. Limbah yang mempunyai komposisi kimia, konsentrasi aktivitas atau nuklida, yang berbeda harus diperlakukan terpisah jika limbah yang timbul cukup signifikan jika dibandingkan dengan jumlah limbah secara keseluruhan. Limbah yang berbeda jika jumlah yang timbul dalam jumlah kecil dapat dicampur dengan limbah lain asal tidak menimbulkan masalah pada pengolahan selanjutnya pada proses reduksi limbah. Kapasitas tangki penyimpanan limbah di dalam instalasi IPLR-PLTN harus cukup dan perlu adanya tangki cadangan hal ini untuk menghindari jika terjadi kerusakan pada salah satu wadah atau kegagalan fasilitas pada fasilitas pengolahan masih ada tangki cadangan sebagai penyimpan sampai masalah dapat diperbaiki. Pada proses penyimpanan limbah cair ini umur paro limbah harus dipertimbangkan untuk limbah umur pendek disimpan tersendiri sehingga setelah mencapai aktivitasnya dibawah batas klierens dapat dibuang ke lingkungan Tabel 2. Jenis Limbah, prosentase dan cara reduksi volume limbah cair[10] Sumber % Cara Konsentrat 0-80 Sementasi Filter 0-25 Dewater, Slurry < 10 Dewatering, Sludge < 10 Sementasi, Resin 0-80 Wadah Solven < 1 Insenerasi Dalam menyimpan limbah radioaktif cair dan limbah radioaktif basah perlu diperhatikan hal-hal seperti korosi perlu dipersiapkan pencegahannya untuk menjamin sistem keselamatan. Terjadinya korosi pada tangki wadah limbah perlu dicegah sehingga tidak ada limbah yang bocor keluar. Kemungkinan terbentuknya sedimen dan kristalisasi pada bagian bawah tangki perlu dihindari dengan dipasang pengaduk karena terjadinya sedimen dapat mempersulit perawatan lebih lanjut. Pemilihan metode pengolahan dan kondisioning limbah cair harus didasarkan pada pertimbangan dan persyaratan operasional keselamatan dan keamanan Tangki penampung resin bekas harus dapat menampung jumlah resin bekas yang berasal dari minimal 2 batch bejana dari sumber limbah resin yang terbesar. Limbah cair yang diolah dengan evaporator menghasilkan konsentrat dengan kadar garam sekitar kg/m 3 [Gambar 1][11]. Komposisi kimia konsentrat evaporator tercantum dalam Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia konsentrat evaporator [9] Parameter PLTN 1000 MWE ph 11,5-13,5 H 3 BO 3 [kg/m3] Na [kg/m3] NO 3 [kg/m3] Organics COD [kg/m 3 ] Activity [GBq/m 3 ]

72 Untuk mengurangi jumlah limbah yang timbul maka limbah cair dan limbah basah sebagian dapat digunakan kembali (reuse) melalui pengunaan kembali air pendingin, asam borat, resin yang telah diregenerasi atau pemurnian [12]. Penggunaan kembali air pendingin, asam borat dan resin akan mengurangi jumlah limbah yang timbul dan menguntungkan. Asam borat dan resin penukar ion yang harganya sangat mahal dengan penggunaan kembali ini akan menguntungkan secara ekonomis. Tipe, sumber timbulnya limbah radioaktif cair dan cara pencegahannya ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Tipe, sumber timbulnya limbah radioaktif cair dan cara pencegahannya[9] Tipe Limbah Tempat Timbulnya Pencegahan Cairan selain organik Sistem pendingin reaktor Mengurangi kebocoran pompa dan valve Kebocoran sistem primer-ke Mengurangi kebocoran sistem primer sekunder Kebocoran pada sistem bantu Mengurangi kebocoran sistem bantu Sistem purifikasi blow down generator Melepaskan air regenerasi yang tidak aktif Pengeluaran air purifikasi Optimasi proses regenerasi Regenerasi resin Meningkatkan kualitas prosedur dan operasional Dekontamisi Mengurangi konsentrasi larutan Menggunakan prinsip ALARA Penggunaan control jarak jauh Proses pencucian (laundry) Optimasi baju pelindung Mengurangi konsentrasi larutan Tangki monitor Pelepasan efluen aktivitas rendah Laboratorium Optimasi pekerjaan Solven Operasional perawatan dan laboratorium Pemisahan Penggantian dengan yang larut dalam air Minyak pelumas (oli) Kebocoran dari peralatan Regenerasi Perbaikan kebocoran Sentrifugasi Dekontaminasi Resin Sistem purifikasi Penggunaan resin yang efisien Ultrafiltrasi Reverse osmosis Hindarkan kebocoran 62

73 Untuk mengurangi jumlah limbah yang timbul maka limbah cair dan limbah basah sebagian dapat digunakan kembali (reuse) melalui pengunaan kembali air pendingin, asam borat, resin yang telah diregenerasi atau pemurnian [12]. Penggunaan kembali air pendingin, asam borat dan resin akan mengurangi jumlah limbah yang timbul dan menguntungkan. Asam borat dan resin penukar ion yang harganya sangat mahal dengan penggunaan kembali ini akan menguntungkan secara ekonomis. Tipe, sumber timbulnya limbah radioaktif cair dan cara pencegahannya ditunjukkan pada Tabel 4. Sistem Pengolahan Limbah Gas (SPLG) Sistem pengolahan limbah gas dirancang sehingga ruang simpan dapat digunakan kembali, berfungsi sebagai tempat peluruhan, kontrol, pelepasan dll. Gas-gas yang timbul diolah sampai konsentrasi dan kuantitasnya dapat diturunkan sehingga dosis yang diterima oleh publik di sekitar unit pembangkit akibat pembuangan limbah gas oleh unit pembangkit tersebut memenuhi standar yang ditentukan. Limbah gas nitrogen yang berasal dari gas ventilasi dari tiap tangki yang menggunakan nitrogen sebagai cover gas dan gas ventilasi dari tiap peralatan diberi tekanan dan dimampatkan dengan kompresor, gas limbah selanjutnya disimpan sementara di dalam tangki-tangki gas (gas surge tanks) selanjutnya limbah gas diolah dengan menggunakan karbon aktif. Limbah Gambar 1. Sistem evaporasi [11] gas yang sudah diolah dan mengalami peluruhan sampai memenuhi baku mutu yang ditentukan maka gas tersebut dapat dilepas ke lingkungan melalui sistem ventilasi yang telah diberi filter dan selalu dimonitoring konsentrasi bahan radioaktifnya[13]. Gas hidrogen diinjeksikan secara terusmenerus ke dalam tangki pengatur volume, gas yang mengandung produk fisi dapat dibuang melalui cerobong ventilasi setelah dilewatkan melalui filter-filter pada sistem ventilasi. Limbah gas yang mengandung bahan radioaktif juga dilewatkan pada sistem holdup gas mulia karbon aktif sehingga mengalami peluruhan. Setelah limbah mengalami peluruhan dan memenuhi kriteria maka dapat dilepaskan ke lingkungan. Sistem pengolahan limbah gas hidrogen dirancang dengan tujuan untuk mencegah timbulnya ledakan gas hidrogen dengan sirkulasi udara pada tiap ruangan. Komponen yang dipasang pada bangunan pendukung yang mempunyai sistem sirkulasi udara dan dikontrol pada tekanan atmosfir. Sistem pengolahan limbah gas terdiri dari satu tangki drain utama, dua alat pengering limbah gas, dua tangki charcoal, empat tangki tunda berisi arang, satu High Efficiency Particulate Air (HEPA) filter dan pipa-pipa termasuk valve-valve dan instrumentasi. Sistem pengolahan limbah gas menggunakan charcoal pada suhu lingkungan untuk menunda gas radioaktif yang melintasi sistem. Desain operasi untuk 63

74 banyaknya arang yang ditempatkan dalam tangki harus cukup untuk menyerap sedikitnya 45 hari untuk waktu tunda Xenon dan sedikitnya 3.5 hari untuk waktu tunda Kripton. Kondisi alat pengering limbah gas dipasang pada pengolah gas untuk menjaga embun dan temperatur sehingga gas dapat mencapai tangki karbon aktif. Semua kondensasi cairan yang terbentuk di dalam proses gas utama pada bangunan pendukung dan di dalam SPLG masuk melalui pipa-pipa dikumpulkan di dalam tangki drain utama pada SPLG. Tangki juga digunakan untuk mengumpulkan air kondensasi yang dipindahkan dari alat pengering limbah gas. Alat pengering limbah gas dingin dari kondensasi dan tangki penundaan digunakan untuk menghilangkan uap air pada titik embun di bawah 46 o F (7.8 o C) sebelum gas masuk melalui penyaring awal. Sensor kelembaban alat pengering limbah gas disediakan untuk mendeteksi kehilangan embun. Tangki awal yang berisi karbon aktif (charcoal guard) dipasang sebelum gas masuk tangki tunda utama. Tangki awal (guard bed) dipasang untuk melindungi tangki tunda charcoal utama dari banyaknya embun (moisture) yang masuk. Radionuklida-radionuklida berumur pendek dan Iodium ditangkap untuk peluruhan di tangki arang awal. Setelah melewati tangki peluruhan, limbah gas mengalir melalui penyaring partikulat (HEPA), termasuk debu arang, ditangkap kemudian dipindahkan ke sistem bangunan heating, ventilation, and air conditioning (HVAC). Sistem pengolahan limbah gas beroperasi pada tekanan sedikit di bawah tekanan atmosfer dengan demikian akan membatasi potensi untuk keluarnya gas akibat kebocoran. Kebocoran pada SPLG melalui sambungan pengelasan dan sambungan pipa-pipa dapat dikurangi dengan cara dilakukan pemeliharaan yang baik. Semua katup kendali dilengkapi dengan seal untuk memperkecil kebocoran sampai valve bagian atas. Alat analisis gas digunakan untuk mendeteksi pembentukan campuran gas sehingga dapat diketahui campuran gas yang akan menyebabkan terjadinya bahaya ledakan. Alat analisis ini mengambil contoh gas secara terus menerus dari SPLG tetapi juga mengambil sampel dari sistem yang lain yaitu, pemanas gas, tangki pengatur volume, dan tangki aliran dari reaktor. Bagian ventilasi gedung SPLG dirancang untuk mengumpulkan limbah gas dari semua aktivitas yang berpotensi mencemari wadah atau kontainmen dalam bangunan bantu, gedung turbin dan compound building. Pengeluaran pada sistem kondenser dimonitor apabila sudah dibawah ketentuan yang berlaku selanjutnya dilepas ke lingkungan melalui melalui unit ventilasi. Sistem Pengelolaan Limbah Padat (SPLP) Sistem pengelolaan limbah padat dirancang untuk mengolah limbah padat yang terkompaksi, tidak terkompaksi, terbakar, tidak terbakar atau limbah basah yang sudah dilakukan dewatering sehingga tinggal limbah padatnya saja. Pada proses dewatering ini cairan-cairan yang timbul selama proses dewatering dikirim ke SPLC untuk diproses sebelum dilakukan pembuangan ke lingkungan, sedangkan limbah padatnya dikirim ke SPLP. Gas-gas yang timbul selama proses pengelolaan limbah padat kering dibuang lewat sistem VAC off gas. Area kompaktor limbah padat dilengkapi dengan satu sistem filtrasi udara seperti HEPA filter dll. Sistem filtrasi ini untuk mencegah terjadinya pelepasan gas yang bisa menyebabkan kontaminasi ke lingkungan. Tempat pengelolaan limbah padat dirancang agar dapat menampung limbah radioaktif yang ada jika terjadi kegagalan dalam sistem pengelolaan limbah. Sistem pengelolaan limbah padat dirancang dengan kapasitas maksimal dan ruang simpan cukup untuk mengakomodasi limbah yang masuk dan disediakan pula ruang tambahan untuk penempatan temporary equipment jika suatu saat dilakukan modifikasi. Sistem juga harus mampu menjembatani hasil desain yaitu antara kejadian saat operasi dan perawatan berdasarkan prinsip ALARA. Agar perawatan dapat dilakukan secara kontinyu dan terpelihara maka sistem pengelolaan limbah padat dilengkapi fasilitas yang cukup memadai seperti crane, monoril, toolkit, dan ruangan yang memadai. Pada kondisi operasi normal maka semua aktivitas dikendalikan dari ruang kontrol yang terpusat. Pada kondisi ini operator yang berada di daerah radiasi rendah dilengkapi pula dengan video kamera dan shielding jika diperlukan. 64

75 Limbah padat seperti filter yang digunakan menangkap partikulat atau radionuklida dalam SPLG harus dapat diolah sampai diimobilisasi yang memenuhi standar pengangkutan dan penerimaan pada fasilitas penyimpanan yang diizinkan. Semua limbah padat yang dikirim ke fasilitas penyimpanan sementara selanjutnya dilakukan pengepakan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Limbah padat terbakar dimasukkan dalam kotak sebelum diolah dengan insenerator. Abu hasil insenerasi diimobilisasi dengan bahan semen selanjutnya disimpan dalam penyimpanan sementara[14,15]. Limbah padat yang sudah diimobilisasi diklasifikasikan menurut persyaratan yang telah ditetapkan oleh badan pengawas. Prosedur pengolahan harus dikembangkan oleh operator pemilik IPLR- PLTN dimana prosedur yang dibuat meliputi batas-batas parameter proses seperti waktu pengendapan, waktu drain, waktu pengeringan dan sebagainya. Sistem pengelolaan limbah padat dirancang sebaik mungkin sehingga memenuhi standar yang berlaku jika terjadi kecelakaan pada sistem. Jika terjadi satu kegagalan komponen utama pada SPLP, maka akibat kecelakaan harus dapat ditahan oleh struktur bangunan. Struktur bangunan SPLP yang dibangun harus tahan gempa dan cukup kuat secara konstruksi. Analisa dilakukan untuk mengevaluasi pengumpulan, kapasitas simpan SPLP yang didasarkan pada karakteristik-karakteristik sebagai berikut : 1. Frekuensi, volume dan jumlah limbah padat yang akan diproses di dalam SPLP sebelum dilakukan penyimpanan akhir. 2. Frekuensi, volume dan jumlah filter yang akan diproses di dalam SPLP sebelum dilakukan penyimpanan akhir. 3. Prosedur operasi harus mampu meminimalisasi limbah padat yang timbul Limbah radioaktif yang sudah diproses selanjutnya dikirim ke lokasi penyimpanan sementara sebelum dilakukan disposal dan harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang sudah ditetapkan. Sifat, prosentase limbah padat dan cara pengolahan ditunjukkan Tabel 5. KESIMPULAN Pembangunan PLTN sebagai penyedia energi listrik sebagai pendukung pembangunan nasional sangat diperlukan. Pembangunan PLTN harus didukung dengan fasilitas pengolahan limbah yang handal sehingga dapat meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap kehadiran PLTN. Peningkatan kemampuan SDM dalam mengelola limbah PLTN harus disiapkan sejak dini sebelum PLTN tersebut dibangun. Pengolahan limbah radioaktif gas dilakukan melalui HEPA filter yang dipasang pada instalasi sehingga semua partikulat radioaktif dapat tertangkap oleh HEPA dan udara yang keluar merupakan di bawah baku mutu lingkungan. Selanjutnya HEPA filter diolah sebagai limbah padat. Limbah cair yang ditimbulkan dari operasi PLTN diolah dengan berbagai cara seperti penukar ion, evaporasi, membran dan pengolahan kimia. Limbah cair yang sudah terkonsentrasi menjadi volume yang lebih kecil selanjutnya diimobilisasi. Sistem pengelolaan limbah padat dilengkapi dengan fasiltas pemilahan, kompaksi dan insenerasi. Pada kasus limbah radioaktif mempunyai level tinggi teknik penanganan dengan remote digunakan untuk sortir limbah sedangkan limbah dengan aktivitas rendah dapat ditangani langsung secara normal. Limbah yang dapat dikompaksi dimasukkan dalam drum 100 dan 200 liter Drum yang sudah terisi penuh selanjutnya ditutup dan dikirim ke fasiltas kompaksi. Semua limbah yang sudah diolah dikirim ke fasilitas penyimpanan sementara sebelum dibuang (disposal). 65

76 Tabel 5. Sifat, prosentase limbah padat dan cara pengolahan [9] Sumber dan Sifat Limbah % Komposisi Cara pengolahan Terbakar Insenerasi Terkompaksi tak terbakar Superkompaksi Metal 5-30 Pelelehan/dekontaminasi Kayu 0-15 Insenerasi Rak bahan bakar < 1 Pelelehan/dekontaminasi Isolasi panas < 3 Superkompaksi Filter udara < 3 Superkompaksi Karbon aktif < 3 Kondisioning Beton < 1 Disposal/kondisioning Tanah < 1 Disposal/kondisioning Absorber Pelumas, minyak < 1 Insenerasi PUSTAKA 1. Undang-Undang Ketenaga Nukliran, (1997) 2. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor 5 tahun 2010, tentang rencana pembangunan jangka menengah tahun RENSTRA BATAN , Badan Tenaga Nuklir Nasional (2010) 4. RENSTRA PTLR , Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (2010) 5. U.S. NUCLEAR REGULATORY COMMISSION., AP1000, Westinghouse, (2006) 6. OAK RIDGE NATIONAL LABORATORY., GALE86 - Calculation of Routine Radioactive Releases in Gaseous and Liquid Effluents from Boiling Water and Pressurized Water Reactors, CCC-506, Updated (1987) 7. J.E. PHILLIPS and C.E. EASTERLY., Sources of Tritium, Nuclear Safety, 22(5): , September - October (1981). 8. Pedoman Penerapan dan Pengembangan Sistem Energi Nuklir Berkelanjutan di Indonesia, Badan Tenaga Nuklir Nasional (2006) 9. INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY., Classification of Radioactive Waste, IAEA-Safety Standards, (2009) 10. INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY., Improvements of radioactive waste management at WWER nuclear power plants, IAEA- TECDOC-1492, (2006) 11. NUKEM Technologies GmbH., Evaporation of Radioactive Liquids, (2007) 12. N. P. JACOB, J. F. KRAMER., Improved PWR Waste Liquid Processing Using Zeolite and Organic Ion-Exchange Materials, EPRI NP- 5991, Electric Power Research Institute, September, (1988) 13. KOREA HYDRO NUCLEAR POWER, OPR 1400, Korea, NUKEM Technologies GmbH., Incineration of Radioactive Waste, (2007) 15. INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY, Design and Operation of Radioactive Waste Incineration Facilities., IAEA-SAFETY GUIDES, VIENNA,

77 SISTEM KEDARURATAN NUKLIR IRLANDIA Akhmad Khusyairi Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Pengawasan Instalasi dan Bahan Nuklir -BAPETEN ABSTRAK SISTEM KEDARURATAN NUKLIR IRLANDIA. Irlandia hingga saat ini belum mempunyai Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang digunakan untuk memasok kebutuhan energi listrik di negaranya. Namun demikian negara-negara di sekeliling Irlandia telah memiliki dan mengoperasikan PLTN yang mempunyai potensi dampak radiologi hingga Irlandia. Oleh karena itu Irlandia perlu membangun sistem kedaruratan nuklir nasional yang melibatkan beberapa instansi pemerintah baik pusat maupun lokal dalam menangani kejadian kedaruratan nuklir yang terjadi di negara tentangganya. Beberapa instansi pemerintah dilibatkan dalam sistem kedaruratan nasional Irlandia dan mereka memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Selain itu Irlandia telah membentuk suatu sistem komunikasi dengan badan internasional baik International Atomic Energy Agency (IAEA) maupun World Meteorological Organization (WMO) terkait dengan penanggulangan kedaruratan nuklir yang terjadi di negara tetangganya. Dan hingga kini juga telah dibangun sistem pemantau di sepanjang perbatasan negara. Kata kunci : PLTN, kedaruratan, Irlandia ABSTRACT IRELAND NUCLEAR EMERGENCY SYSTEM ASSESSMENT. Ireland so far has no nuclear power plants to supply electrical energy needs. However, the countries around the Irish already have and operate nuclear power plants (NPP) that have the potential radiological impact to Ireland. Therefore, Ireland will need to build a national nuclear emergency system involving several agencies both central and local governments in dealing with nuclear emergency incident that occurred in the country around Ireland. Some government agencies involved in national emergency system and they have duty and function of each. Besides, Ireland has established a communication system with both international agencies, World Meteorological Organization (WMO) and International Atomic Energy Agency (IAEA) related to nuclear emergency response that occurred in neighboring countries. Ireland has been operating monitoring system in State border. Key words: NPP, Emergency, Ireland PENDAHULUAN Hingga saat ini Irlandia belum memiliki dan mengoperasikan satu pun PLTN untuk memenuhi kebutuhan energi nasional mereka, namun demikian Irlandia mempunyai negara tetangga yang telah membangun dan mengoperasikan PLTN di pantai yang dekat dengan wilayah Irlandia. Jika terjadi kedaruratan pada instalasi nuklir milik negara tetangga, maka dapat dimungkinkan dampak radiologi mencapai Irlandia. Saat ini Irlandia telah menetapkan National Emergency Plan for Nuclear Accidents (NEPNA). Rencana kedaruratan ini dibangun dan dikembangkan untuk megantisipasi kedaruratan instalasi nukir dengan skala besar yang mungkin terjadi di luar negeri (Irlandia) yang mempunyai potensi dampak hingga mencapai Irlandia. Latar Belakang Hingga tahun 2010, Irlandia belum memutuskan untuk membangun dan mengoperasikan PLTN untuk memenuhi kebutuhan energi mereka, namun demikian disepanjang pantai barat Inggris telah dibangun beberapa PLTN. Yang berjarak kurang dari 100 km dari pantai Timur Irlandia. Pada tahun 2000, Irlandia menetapkan Statutory Instrument (SI) no 125/2000 tentang Rencana Kedaruratan Nuklir yang mungkin terjadi di negara tetangga yang mempunyai potensi dampak radiologi hingga Irlandia. SI 125/2000 memiliki payung hukum Undang-Undang Proteksi Radiasi (Radiological Protection Act) tahun Disamping itu, Irlandia dalam membangun system kedaruratan nuklir juga mengacu pada dokumen Safety Standard IAEA GS-R-2 Safety Standard Preparedness and Response for Nuclear or 67

78 Radiological Emergency (Department of the Environment, Heritage and Local Goverment, 2005). Populasi penduduk Irlandia pada tahun 2008 mencapai 6,2 juta jiwa. PLTN Inggris yang terdekat dengan dataran Irlandia adalah PLTN Wilfa dengan daya elektrik sebesar 980 MWe (2 x 490 MWe) yang dibangun pada tahun Masalah Sebagian besar PLTN yang dioperasikan oleh Inggris berada pada pantai Barat dataran Inggris yang berhadapan langsung dengan pantai timur Irlandia. Jika terjadi kedaruratan nuklir pada PLTN yang dioperasikan Inggris, maka potensi dampak radiologi dapat mencapai Irlandia, oleh karena itu Irlandia memerlukan system kedaruratan nuklir nasional untuk melindungi warganya dari dampak radiologi tersebut. Tujuan Mengetahui metode yang digunakan Irlandia dalam membangun system kedaruratan nuklir terkait dengan kejadian kedaruratan PLTN Inggris yang beroperasi di pantai barat dataran Inggris. Lingkup Masalah Makalah membahas bagaimana sistem yang dibangun oleh Pemerintah Irlandia dalam mengantisipasi dampak radiologi yang mungkin terjadi akibat kedaruratan PLTN di Inggris. POTENSI KEDARURATAN NUKLIR IRLANDIA Posisi Geografis Irlandia Irlandia merupakan pulau ketiga terbesar di Eropa dan terbesar keduapuluh di dunia. Irlandia terletak di barat laut benua Eropa dan dikelilingi ratusan pulau. Sebelah timur Irlandia adalah Inggris yang terpisah oleh laut Irlandia. Pulau Irlandia terbagi menjadi 2 bagian, yaitu Republik Irlandia dan Irlandia Utara. Irlandia Utara merupakan bagian dari United Kingdom. Secara geografis, Irlandia di bagian utara yang berhadapan dengan lautan Atlantik dikelilingi oleh pantai gunung. Gambar 1. Peta Geografis Irlandia 68

79 PLTN Inggris di Pantai Barat Dataran Inggris Inggris memiliki beberapa komplek PLTN yang berada di daerah pantai barat dataran Inggris. Beberapa PLTN telah mengalami shut down permanen dan sebagian lagi masih beroperasi. Beberapa PLTN di wilayah barat pantai Inggris yang masih beroperasi adalah (Wikipedia): 1. PLTN Oldbury, yang dibangun pada tahun 1962 dengan daya 434 MWe masuk kedalam jaringan listrik nasional pada tahun 1967 dan beroperasi komersial pada tahun Reaktor nuklir ini menggunakan bahan bakar type Magnox. 2. PLTN Wylfa, yang dibangun pada tahun 1963, dengan daya 2 x 490 MWe masuk dalam jaringan listrik nasional pada tahun 1971 dan beroperasi komersial pada tahun Reaktor nuklir ini menggunakan bahan bakar type Magnox. 3. PLTN Hinkley Point, yang dibangun pada tahun 1967, dengan desain daya sebesar MWe masuk pada jaringan listrik nasional pada tahun 1976 dan pada tahun yang sama juga beroperasi komersial. Reaktor nuklir ini menggunakan type reaktor AGR (Advanced Gas-cooled Reactor). 4. PLTN Hunterston B, yang dibangun pada tahun 1967, dengan kapasitas total daya MWe masuk jaringan listrik nasional 1976 dan pada tahun yang sama juga beroperasi komersial. Reaktor nuklir ini menggunakan type reaktor AGR (Advanced Gas-cooled Reactor). 5. PLTN Heysham 1, yang dibangun pada tahun 1970, dengan kapasitas total daya MWe masuk jaringan listrik nasional 1983 dan pada tahun 1989 beroperasi komersial. Reaktor nuklir ini menggunakan type reaktor AGR (Advanced Gas-cooled Reactor). 6. PLTN Heysham 2, yang dibangun pada tahun 1980, dengan kapasitas total daya MWe masuk jaringan listrik nasional tahun 1988 dan pada tahun 1989 beroperasi komersial. Reaktor nuklir ini menggunakan type reaktor AGR (Advanced Gas-cooled Reactor). Type Kedaruratan Nuklir yang Mungkin Terjadi Pemerintah Republik Irlandia telah membangun sistem kedaruratan nasional yang ditujukan untuk kedaruratan besar yang mungkin terjadi bukan hanya untuk PLTN saja namun juga untuk semua instalasi nuklir yang mempunyai potensi dampak radiologi tinggi yang mencapai hingga Irlandia seperti kecelakaan yang mungkin terjadi pada fasilitas daur ulang bahan bakar nuklir dan kejadian kecelakaan yang terjadi di Chernobyl tahun Di Irlandia sendiri bahan radioaktif telah banyak digunakan untuk tujuan kedokteran nuklir, industri dan pendidikan, sama halnya dengan pemanfaatan untuk pembangkit listrik, penggunaan bahan radioaktif untuk keperluan tersebut juga mempunyai potensi dampak terhadap masyarakat umum namun dampak yang dihasilkan hanya bersifat lokal. Meskipun bersifat lokal rencana kedaruratan harus tetap ada. Jika terjadi kedaruratan nuklir lokal, maka system kedaruratan lokal harus mempunyai akses terhadap Radiological Protection Institute of Ireland (RPII) untuk memperoleh informasi dan sumberdaya yang tepat terkait dengan upaya tanggap darurat. Kecelakaan yang Berdampak pada Penduduk Irlandia Kecelakaan nuklir yang mungkin terjadi pada instalasi nuklir luar negeri yang terdekat dengan perbatasan Irlandia dapat memberikan dampak kesehatan baik secara langsung maupun tidak. Oleh karena itu pihak Pemerintah Republik Irlandia menganggap perlu untuk melakukan upaya antisipasi guna meminimalisasi resiko yang dapat diterima oleh warganya. Tingkat keparahan insiden maupun kecelakaan instalasi nuklir telah diklasifikasikan dalan International Nuclear Event Scale (INES), Gambar 2, yang mempunyai skala keparahan tertinggi 7. Kecelakaan nuklir yang mempunyai dampak radiologi hingga Irlandia merupakan kecelakaan nuklir yang mempunyai skala keparahan 5 atau lebih. Dalam hal terjadinya kecelakaan nuklir yang terjadi di luar negeri, material radioaktif yang terlepas ke lingkungan berpotensi terbawa oleh pergerakan angin yang kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui jalur pernafasan dan dimungkinkan juga 69

80 terdeposisi di tanah setelah terbawa angin. Konsentrasi material radioaktif yang terbawa angin akan menurun seiring dengan semakin jauhnya lokasi kejadian kecelakaan instalasi nuklir. Gambar 2. Skala INES Faktor kecepatan dan arah angin dan curah hujan juga berpengaruh terhadap konsentrasi material radioaktif di suatu titik. Jika kontaminasi mencapai Irlandia, maka terdapat 3 cara terjadinya paparan terhadap penduduk Irlandia: 1. Paparan radiasi yang berasal dari material radioaktif di udara dan tanah, 2. Melalui jalur pernafasan yang menghirup udara yang terkontaminasi oleh material radioaktif, 3. Mengkonsumsi makanan dan air yang terkontaminasi. System Peringatan Dini Tanggap darurat Irlandia terkait dengan kecelakaan nuklir akan menjadi efektif jika kejadian kecelakaan diketahui sedini mungkin. Ketika terjadi kecelakaan nuklir Chernobyl tahun 1986, semua negara di luar Uni Soviet waktu itu tidak ada yang mengetahui, baru setelah 2 hari kemudian diketahui ketika system pemantauan yang terpasang di PLTN Swedia mendeteksi laju radioaktivitas di atmosfer mencapai titik abnormal. Terdapat dua system peringatan dini yang digunakan untuk memantau kejadian kecelakaan nuklir di luar negeri (di luar Irlandia). Setelah kejadian Chernobyl, negara-negara yang memiliki PLTN sepakat untuk menandatangani konvensi tentang Early Notification of a Nuclear Accident, dimana setiap negara yang mengoperasikan instalasi nuklir mempunyai kewajiban untuk menginformasikan kepada IAEA sesegera mungkin jika terjadi kecelakaan nuklir. Unit tanggap darurat IAEA yang berkedudukan di Vienna segera menginformasikan hal ini ke semua negara anggota termasuk Irlandia. Disamping itu terdapat system peringatan dini yang terpisah dari system peringatan dini yang dimiliki oleh IAEA, yaitu European Community Urgent Radiological Information Exchange (ECURIE). ECURIE merupakan system peringatan dini di bawah kendali Uni Eropa. Dengan system ini semua negara anggota Uni Eropa yang memiliki instalasi nuklir mempunyai kewajiban untuk memberikan notifikasi ke negara anggota yang lain jika terjadi kecelakaan radiologi yang berpotensi keluar dari territory negaranya. Negara tersebut juga harus melakukan upaya protektif dan memberikan hasil pengukuran yang mereka lakukan kepada negara anggota yang lain. Sistem peringatan dini ini dirancang untuk memberikan peringatan dini secepat mungkin kepada semua negara anggota. Sistem ini juga diujicoba secara berkala baik pada level nasional maupun internasional dan secara kontinyu ditingkatkan performanya baik berdasarkan pengalaman maupun perkembangan teknologi. Jaringan nasional pemantau radiasi yang dimiliki Irlandia bekerja secara 24 jam, yang tersebar di sepanjang perbatasan negara. Dengan demikian kontaminasi radioaktif yang tiba di Irlandia dapat segera terdeteksi oleh sistem pemantau ini, yang kemudian secara otomatis akan memicu alarm untuk memberikan notifikasi RPII yang bekerja 7 hari dalam seminggu dan 24 jam dalam sehari. Ketika sistem peringatan dini diterima, National Emergency Plan for Nuclear Accident sesegera mungkin bertindak dan mengiformasikan kepada masyarakat umum. 70

81 Petunjuk dan saran-saran secara resmi akan diberikan melalui radio dan televisi, hal ini akan dikeluarkan oleh Department of Environment, Heritage dan Local Government sesuai dengan arahan dari komite yang dibentuk oleh kementerian terkait. Sementara itu materi yang akan dirilis disiapkan oleh RPII melalui biro Informasinya. Metode Metode kajian yang digunakan dalam kajian ini adalah studi pustaka terhadap beberapa sumber yang memberikan informasi terkait dengan sistem kedaruratan nuklir yang telah dikembangkan oleh Irlandia, mulai dari sistem peringatan hingga koordinasi yang dilakukan antar instansi atau organiasai terkait ditujukan juga untuk meminimalisasi keterlambatan yang disebabkan oleh ketidakpastian yang ada. Proses pengambilan keputusan dapat diilustrasikan pada Gambar 3. IMPLEMENTASI KEDARURATAN NUKLIR DI IRLANDIA Proses Pengambilan Keputusan Dalam hal terjadi kedaruratan nuklir yang dampaknya bisa mencapai Irlandia, sebuah Komite Kementerian yang terbentuk dari beberapa kementerian akan memberikan rekomendasi dan arahan yang terkait dengan upaya penanggulangan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Emergency Response Co-ordination Commite (ERCC) yang berbasiskan pada saran dari RPII. ERCC kemudian akan mempertimbangkan kajian teknis yang dilakukan oleh RPII terkait dengan konsekwensi potensial dan konsekwensi aktual akibat kecelakaan nuklir yang terjadi. Rekomendasi dari RPII tentang upaya penanggulangan harus dilakukan dalam kaitannya untuk meminimalisasi paparan radiasi terhadap masyarakat umum. Di samping itu ERCC juga memberikan saran kepada komite yang dibentuk oleh beberapa kementerian tersebut terkait dengan issuesiue praktis dan implikasinya terkait dengan rekomendasi yang diberikan oleh RPII dan juga mengkoordinasikan implementasi upaya penanggulangan. Pada tahap awal terjadinya kecelakaan nuklir di luar negeri, kesulitan dalam memprediksikan dampak dialami karena terdapat ketidakpastian situasi awal yang diperoleh dan juga pengaruh signifikan musim serta cuaca. Perencanaan kedaruratan Gambar 3. Proses Pengambilan Keputusan Met Éireann, merupakan badan meteorologi nasional Irlandia. Dalam hal kedaruratan nuklir, para ahli meteorologi Met Éireann membantu tim RPII dalam melakukan kajian dampak radiologi akibat kecelakaan nuklir di luar Irlandia yang mungkin mencapai Irlandia. Met Éireann mempunyai akses terhadap data meteorologi internasional yang dapat digunakan untuk melakukan prediksi lintasan material radioaktif yang dibawa oleh pergerakan angin dari lokasi kecelakaan nuklir. Kajian yang dilakukan oleh RPII nantinya akan meliputi estimasi dosis radiasi yang diterima warga Irlandia pada saat material radioaktif tersebut tiba di Irlandia. Berdasarkan data tersebut maka pengambilan keputusan untuk melakukan upaya penanggulangan dapat dilakukan sesegera mungkin. Sesaat setelah material/debu radioactive terdeteksi di Irlandia, maka data yang diperoleh dari jaringan nasional stasiun meteorologi digunakan untuk membantu fokus pada upaya implementasi penanggulangan pada wilayah yang terkena dampak, khususnya yang terkait dengan kemungkinan terjadinya hujan. 71

URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF Nanang Triagung Edi Hermawan Staf Direktorat Pengaturan Pengawasan Fasilitas Radiasi

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang

2015, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang No.185, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Keselamatan. Keamanan. Zat Radio Aktif. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5728). PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 16 Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 16 Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 16 Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

2 Sebagai pelaksanaan amanat Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran telah diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 te

2 Sebagai pelaksanaan amanat Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran telah diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 te TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN HIDUP. Keselamatan. Keamanan. Zat Radio Aktif. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 185). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF.

M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF. 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 16 Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 27/2002, PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF *39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 16 Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4202) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 2007 LINGKUNGAN HIDUP. Tenaga Nuklir. Keselamatan. Keamanan. Pemanfaatan. Radioaktif. Radiasi Pengion.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undangundang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1549, 2013 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. TENORM. Keselamatan Radiasi. Proteksi. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG KESELAMATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Limbah Radioaktif

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Limbah Radioaktif yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

2013, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang

2013, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.152, 2013 LINGKUNGAN HIDUP. Limbah. Radioaktif- Tenaga Nuklir. Pengelolaan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5445) PERATURAN

Lebih terperinci

KAJIAN TENTANG NSS 9/08 DAN INFCIRC/225 REV 4/99 TERKAIT PENENTUAN TINGKAT KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

KAJIAN TENTANG NSS 9/08 DAN INFCIRC/225 REV 4/99 TERKAIT PENENTUAN TINGKAT KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF Prosidin Seminar Nasional Teknoloi Penelolaan Limbah IX Pusat Teknoloi Limbah Radioaktif-BATAN ISSN 14-6086 Fakultas Teknik Universitas Sultan Aen Tirtayasa ABSTRAK. KAJIAN TENTANG NSS 9/08 DAN INFCIRC/225

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 106, 2006 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4668) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

REVIU PERATURAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DI INDONESIA

REVIU PERATURAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DI INDONESIA REVIU PERATURAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DI INDONESIA Muttaqin Margo Nirwono Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat radioaktif Badan Pengawas Tenaga Nuklir ABSTRAK

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : a.

Lebih terperinci

URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Nanang Triagung Edi Hermawan Direktorat Pengaturan Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat radioaktif

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Pengembangan Pelatihan Pengangkutan Zat Radioaktif untuk Pemangku Kepentingan yang Terkait

Pengembangan Pelatihan Pengangkutan Zat Radioaktif untuk Pemangku Kepentingan yang Terkait p-issn: 2461-0933 e-issn: 2461-1433 Halaman 191 Naskah diterima: 13 Oktober 2017 Naskah direvisi: 21 November 2017 Naskah diterbitkan: 30 Desember 2017 DOI: doi.org/10.21009/1.03210 Pengembangan Pelatihan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.844, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BATAN. Unit Kerja. Rinvian Tugas. Perubahan. PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN

Lebih terperinci

KETENTUAN KESELAMATAN DEKOMISIONG REAKTOR NUKLIR 1

KETENTUAN KESELAMATAN DEKOMISIONG REAKTOR NUKLIR 1 KETENTUAN KESELAMATAN DEKOMISIONG REAKTOR NUKLIR 1 Dewi Prima Meiliasari, Zulfiandri, dan Taruniyati Handayani Direktorat Pengaturan Pengawasan Instalasi dan Bahan Nuklir Badan Pengawas Tenaga Nuklir ABSTRAK.

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL,

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL, - 1 - RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA

Lebih terperinci

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014 BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014 BUKU III Biro Peraturan Perundang-undangan, Humas dan Tata Usaha Pimpinan BKPM 2015 DAFTAR ISI 1. PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM PENYIMPANAN TECHNOLOGICALLY ENHANCED NATURALLY

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.672, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Radiasi Proteksi. Keselamatan. Pemanfaatan. Nuklir. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURANPEMERINTAHREPUBLIKINDONESIA NOMOR 58 TAHUN2015 TENTANG KESELAMATANRADIASIDANKEAMANAN DALAMPENGANGKUTANZATRADIOAKTIF

PENJELASAN ATAS PERATURANPEMERINTAHREPUBLIKINDONESIA NOMOR 58 TAHUN2015 TENTANG KESELAMATANRADIASIDANKEAMANAN DALAMPENGANGKUTANZATRADIOAKTIF PRES IDEN PENJELASAN ATAS PERATURANPEMERINTAHREPUBLIKINDONESIA NOMOR 58 TAHUN2015 TENTANG KESELAMATANRADIASIDANKEAMANAN DALAMPENGANGKUTANZATRADIOAKTIF I. UMUM Kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DALAM UTILISASI DAN MODIFIKASI REAKTOR NONDAYA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DALAM UTILISASI DAN MODIFIKASI REAKTOR NONDAYA SALINAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DALAM UTILISASI DAN MODIFIKASI REAKTOR NONDAYA DENGAN

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM PENYIMPANAN TECHNOLOGICALLY ENHANCED NATURALLY

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL PUSAT TEKNOLOGI LIMBAH RADIOAKTIF

BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL PUSAT TEKNOLOGI LIMBAH RADIOAKTIF PENGIRIMAN LIMBAH RADIOAKTIF KE BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL (PTLR - BATAN) PT-002/PTLR/SMM-06.00/II-00/2010 2010 Dilarang mengcopy/memperbanyak dokumen ini tanpa sepengetahuan dan izin tertulis dari Unit

Lebih terperinci

2 instalasi nuklir adalah instalasi radiometalurgi. Instalasi nuklir didesain, dibangun, dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tenaga

2 instalasi nuklir adalah instalasi radiometalurgi. Instalasi nuklir didesain, dibangun, dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tenaga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 107) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI

Lebih terperinci

SISTEM MANAJEMEN DOSIS PADA PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DENGAN KENDARAAN DARAT

SISTEM MANAJEMEN DOSIS PADA PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DENGAN KENDARAAN DARAT SISTEM MANAJEMEN DOSIS PADA PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DENGAN KENDARAAN DARAT Suhaedi Muhammad 1 dan Rr. Djarwanti,RPS 2 1 Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi, BATAN Gedung B Lantai 2, Kawasan

Lebih terperinci

Ruang Lingkup Perizinan Instalasi dan Bahan Nuklir meliputi:

Ruang Lingkup Perizinan Instalasi dan Bahan Nuklir meliputi: Ruang Lingkup Perizinan Instalasi dan Bahan Nuklir meliputi: Izin pembangunan dan Pengoperasian termasuk dekomisioning reaktor nuklir Izin pembangunan dan Pengoperasian Instalasi Nuklir Non Reaktor Izin

Lebih terperinci

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI B.Y. Eko Budi Jumpeno Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi BATAN Jalan Cinere Pasar Jumat, Jakarta 12440 PO Box 7043 JKSKL, Jakarta 12070 PENDAHULUAN Pemanfaatan

Lebih terperinci

2011, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir ini, yang dimaksud dengan: 1. Reaktor nondaya adalah r

2011, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir ini, yang dimaksud dengan: 1. Reaktor nondaya adalah r BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.534, 2011 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Keselamatan Operasi Reaktor Nondaya. Prosedur. Pelaporan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

2 Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir tentang Keamanan Sumber Radioaktif; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (L

2 Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir tentang Keamanan Sumber Radioaktif; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (L BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.654, 2015 BAPETEN. Radioaktif. Sumber. Keamanan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 10

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam pemanfaatan sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TENTANG IZIN BEKERJA PETUGAS IBN

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TENTANG IZIN BEKERJA PETUGAS IBN RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TENTANG IZIN BEKERJA PETUGAS IBN DIREKTORAT PENGATURAN PENGAWASAN INSTALASI DAN BAHAN NUKLIR BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TAHUN 2012 -1- RANCANGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN KESELAMATAN REAKTOR NONDAYA

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN KESELAMATAN REAKTOR NONDAYA KP PERKA- 24 OKT 2014 RANCANGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN KESELAMATAN REAKTOR NONDAYA DIREKTORAT PENGATURAN PENGAWASAN INSTALASI DAN BAHAN NUKLIR BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

Lebih terperinci

Keamanan Sumber Radioaktif

Keamanan Sumber Radioaktif Keamanan Sumber Radioaktif Pelatihan Petugas Proteksi Radiasi PUSDIKLAT BATAN Latar Balakang Pengelolaan sumber radioaktif dengan tidak memperhatikan masalah keamanan dapat menyebabkan kecelakaan Maraknya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PERSYARATAN UNTUK MEMPEROLEH SURAT IZIN BEKERJA BAGI PETUGAS TERTENTU DI INSTALASI YANG MEMANFAATKAN SUMBER RADIASI PENGION DENGAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. BAPETEN. Reaktor Nondaya. Keselamatan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. BAPETEN. Reaktor Nondaya. Keselamatan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.653, 2012 BAPETEN. Reaktor Nondaya. Keselamatan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DALAM UTILISASI

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PENINGKATAN SISTEM PROTEKSI RADIASI DAN KESELAMATAN KAWASAN NUKLIR SERPONG TAHUN 2009

PENINGKATAN SISTEM PROTEKSI RADIASI DAN KESELAMATAN KAWASAN NUKLIR SERPONG TAHUN 2009 PENINGKATAN SISTEM PROTEKSI RADIASI DAN KESELAMATAN KAWASAN NUKLIR SERPONG TAHUN 2009 L.Kwin Pudjiastuti, Syahrir,Untara, Sri widayati*) ABSTRAK PENINGKATAN SISTEM PROTEKSI RADIASI DAN KESELAMATAN KAWASAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI ADMINISTRASI. Instansi Nuklir. Bahan Nuklir. Perizinan. Pemanfaatan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 8) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR I. UMUM Pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia meliputi berbagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG INTERVENSI TERHADAP PAPARAN YANG BERASAL DARI TECHNOLOGICALLY ENHANCED NATURALLY OCCURRING RADIOACTIVE MATERIAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGAWASAN TERHADAP LIMBAH RADIOAKTIF

KEBIJAKAN PENGAWASAN TERHADAP LIMBAH RADIOAKTIF KEBIJAKAN PENGAWASAN TERHADAP LIMBAH RADIOAKTIF Prof. Dr. Jazi Eko Istiyanto, M.Sc. Kepala BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR Jl. Gajah Mada 8 Jakarta 10120 Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah XII

Lebih terperinci

2012, No Instalasi Nuklir, Reaktor Nuklir, dan Bahan Nuklir adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Keten

2012, No Instalasi Nuklir, Reaktor Nuklir, dan Bahan Nuklir adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Keten LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.107, 2012 NUKLIR. Instalasi. Keselamatan. Keamanan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5313) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURANPEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATANRADIASIDAN KEAMANAN DALAMPENGANGKUTANZAT RADIOAKTIF

PERATURANPEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATANRADIASIDAN KEAMANAN DALAMPENGANGKUTANZAT RADIOAKTIF PRES IDEN REPU8L1K INDONESIA PERATURANPEMERINTAH NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATANRADIASIDAN KEAMANAN DALAMPENGANGKUTANZAT RADIOAKTIF DENGAN RAHMATTUHANYANGMAHAESA PRESIDEN, Menimbang Mengingat a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1975 TENTANG PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1975 TENTANG PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1975 TENTANG PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa zat radioaktif mengandung bahaya radiasi, baik terhadap

Lebih terperinci

2. PERSYARATAN UNTUK PENGKAJIAN KESELAMATAN DALAM PROSES PERIJINAN REAKTOR RISET

2. PERSYARATAN UNTUK PENGKAJIAN KESELAMATAN DALAM PROSES PERIJINAN REAKTOR RISET 2. PERSYARATAN UNTUK PENGKAJIAN KESELAMATAN DALAM PROSES PERIJINAN REAKTOR RISET KRITERIA DAN TANGGUNG-JAWAB PENGKAJIAN 201. Untuk suatu reaktor riset yang akan dibangun (atau mengalami suatu modifikasi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.838, 2013 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Izin Bekerja. Petugas Instalasi dari Bahan Nuklir. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2013

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.389, 2015 BAPETEN. Reaktor Nondaya. Keselamatan. Penilaian. Verifikasi. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN

Lebih terperinci

OLEH : Dra. Suyati INSPEKSI FASILITAS RADIASI DAN INSPEKSI FASILITAS RADIASI DAN ZAT RADIOAKTIF ZAT RADIOAKTIF

OLEH : Dra. Suyati INSPEKSI FASILITAS RADIASI DAN INSPEKSI FASILITAS RADIASI DAN ZAT RADIOAKTIF ZAT RADIOAKTIF INSPEKSI OLEH : Dra. Suyati I.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN UU No 10/97 Ps. 4 : Pemerintah membentuk Badan pengawas yang bertugas melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan pemanfaatan tenaga

Lebih terperinci

JAMINAN MUTU UNTUK PERSIAPAN PEMBANGUNAN PLTN

JAMINAN MUTU UNTUK PERSIAPAN PEMBANGUNAN PLTN JAMINAN MUTU UNTUK PERSIAPAN PEMBANGUNAN PLTN Syahrudin PSJMN-BATAN, Kawasan PUSPIPTEK, GD71, Lt.2,Cisauk, Tangerang Abstrak Jaminan Mutu untuk Persiapan Pembangunan PLTN. Standar sistem manajemen terus

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

ASPEK KESELAMATAN PADA PENGANGKUTAN BAHAN NUKLIR DENGAN KENDARAAN DARAT

ASPEK KESELAMATAN PADA PENGANGKUTAN BAHAN NUKLIR DENGAN KENDARAAN DARAT ASPEK KESELAMATAN PADA PENGANGKUTAN BAHAN NUKLIR DENGAN KENDARAAN DARAT Suhaedi Muhammad Pusat Teknologi Keselamatan Dan Metrologi Radiasi BATAN Pasar Jum at email : suhaedi.muhammad@yahoo.com Rimin Sumantri

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM KEGIATAN IMPOR, EKSPOR, DAN PENGALIHAN BARANG KONSUMEN

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM KEGIATAN IMPOR, EKSPOR, DAN PENGALIHAN BARANG KONSUMEN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR TAHUN TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM KEGIATAN IMPOR, EKSPOR, DAN PENGALIHAN BARANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN 2.1. Sejarah Singkat Organisasi Tahun 1954 1957 : Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktif: Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktif dilatarbelakangi oleh adanya

Lebih terperinci

BAPETEN. Petugas Tertentu. Bekerja. Instalasi. Sumber Radiasi Pengion. Bekerja. Surat Izin. Pencabutan.

BAPETEN. Petugas Tertentu. Bekerja. Instalasi. Sumber Radiasi Pengion. Bekerja. Surat Izin. Pencabutan. No.1937, 2014 BAPETEN. Petugas Tertentu. Bekerja. Instalasi. Sumber Radiasi Pengion. Bekerja. Surat Izin. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG SURAT IZIN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 10

Lebih terperinci

2015, No Tenaga Nuklir tentang Penatalaksanaan Tanggap Darurat Badan Pengawas Tenaga Nuklir; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 te

2015, No Tenaga Nuklir tentang Penatalaksanaan Tanggap Darurat Badan Pengawas Tenaga Nuklir; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 te BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.234, 2015 BAPETEN. Tanggap Darurat. Penatalaksanaan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENATALAKSANAAN TANGGAP DARURAT BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH REGIONAL JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1550, 2013 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Keselamatan Radiasi. Impor. Ekspor. Pengalihan. Barang. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TINGKAT RENDAH DAN TINGKAT SEDANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TINGKAT RENDAH DAN TINGKAT SEDANG PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TINGKAT RENDAH DAN TINGKAT SEDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 36 - c. massa bahan nuklir. (3) Klasifikasi bahan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. bahan nuklir golongan I; b. bahan nuklir golongan II; c. bahan nuklir golongan III; dan d. bahan

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM KEGIATAN IMPOR, EKSPOR, DAN PENGALIHAN BARANG

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERATURAN TERKAIT PERIZINAN INSTALASI NUKLIR

PENGEMBANGAN PERATURAN TERKAIT PERIZINAN INSTALASI NUKLIR PENGEMBANGAN PERATURAN TERKAIT PERIZINAN INSTALASI NUKLIR Bambang Riyono, Yudi Pramono dan Dahlia Cakrawati Sinaga Direktorat Pengaturan Pengawasan Instalasi dan Bahan Nuklir Badan Pengawas Tenaga Nuklir,

Lebih terperinci