PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE BERBASIS MINAWANA (STUDI KASUS: KAWASAN MANGROVE RPH TEGAL-TANGKIL KPH PURWAKARTA, BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE BERBASIS MINAWANA (STUDI KASUS: KAWASAN MANGROVE RPH TEGAL-TANGKIL KPH PURWAKARTA, BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT)"

Transkripsi

1 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE BERBASIS MINAWANA (STUDI KASUS: KAWASAN MANGROVE RPH TEGAL-TANGKIL KPH PURWAKARTA, BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT) AHMAD MUHTADI RANGKUTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Minawana (Studi Kasus: Kawasan Mangrove RPH Tegal-Tangkil KPH Purwakarta, Blanakan, Subang, Jawa Barat) adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2013 Ahmad Muhtadi Rangkuti NIM C

3 ABSTRACT AHMAD MUHTADI RANGKUTI. Mangrove Ecosystem Management Based on Silvofishery (The Case of RPH-Tegal Tangkil, KPH Purwakarta, Blanakan Subang, West Java). Under direction of KADARWAN SOEWARDI and TARYONO. Mangrove ecosystem management based on silvofishery has been already known and practiced widely, both in Indonesia and abroad. However, today it s difficult to find silvofishery application that comply the right principles, even on biotechnical, ecologies, and institutions aspect. The aims of this research were: 1) to know ecology status, biotechnical, and economics of silvofishery system at RPH Tegal-Tangkil; 2) to formulate silvofishery management at RPH Tengal-Tangkil, Blanakan, Subang. The data were collected related to ecology, economic, and social-institution aspect. Results of this research were: 1) mangrove ecosystem has given significant contribution on shrimp catches; 2) water quality condition still suitable for fish aquaculture activities, even though there was indication of heavy metal content, so that need to improve tendon system for better water quality; 3) as biotechnical, many of the farmers still use traditional aquaculture and not implement good standards and aquaculture principles. 4) as economics, silvofishery system still can be developed to increase peoples income. Good silvofishery application can increase peoples income up to %; 5) institute management of silvofishery was still deficient. It s showed from fact condition in the field. Improvement the silvofishery management must be focus on organization system and rules of the game. Key words: biotechnical, institutional, silvofishery, RPH Tegal-tangkil

4 RINGKASAN AHMAD MUHTADI RANGKUTI. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Minawana (Studi Kasus: Kawasan Mangrove RPH Tegal-Tangkil KPH Purwakarta, Blanakan Subang Jawa Barat). Dibimbing oleh KADARWAN SOEWARDI dan TARYONO. Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis minawana ini sudah banyak dikenal dan dipraktekkan baik di dalam maupun di luar negeri. Namun, penerapan pola minawana yang memenuhi prinsip-prinsip yang benar, baik dari segi bioteknis, ekologi maupun kelembagaan belum terwujud. Minawana pertama kali diperkenalkan di Burma dan di Indonesia. Minawana yang diterapkan di Indonesia diperkenalkan oleh Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Penerapan minawana ini dengan maksud, masyarakat diberikan kesempatan untuk memanfaatkan ekosistem mangrove. Pemanfaatan ini ditujukan untuk usaha perikanan tanpa merusak ekosistem mangrove. Sehingga, diharapkan kesejahteraan masyarakat meningkat. Pada saat yang sama ekosistem mangrove tetap lestari. Namun dalam penerapannya di lapangan, pola minawana yang telah diterapkan oleh Departemen Kehutanan RI maupun yang dipraktekkan oleh masyarakat belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, ekosistem mangrove cenderung rusak (contoh; di pesisir Blanakan). Penelitian ini mengambil kasus di Perairan Pesisir Blanakan, dimana sudah ada percontohan tambak pola minawana yang dibuat oleh Perhutani. Namun ternyata tidak diacu oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui kondisi ekologis, bioteknis, dan ekonomis sistem minawana RPH Tegal-Tangkil dan 2) Merumuskan pola pengelolaan kawasan minawana di RPH Tegal-Tangkil. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi model pengelolaan kawasan pesisir berbasis minawana yang dapat diterapkan di tempat lain. Lokasi penelitian difokuskan pada kawasan minawana di Desa Jayamukti, Blanakan dan Langensari, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini adalah 8 bulan (Agustus 2011 Maret 2012). Analisa yang dilakukan terhadap penelitian ini, terdiri dari analisa ekologis, bioteknik, ekonomis dan sosial kelembagaan. Analisa status ekologis dilakukan dengan mempelajari kondisi ekosistem mangrove baik dari pengamatan langsung di lapangan maupun penelusuran hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan lokasi kajian. Analisa status ekologis dengan melihat hubungan antara penutupan mangrove dengan keberadaan udang (hasil tangkapan udang harian) menggunakan analisa ragam (anara) rancangan acak lengkap. Analisa kualitas air bagi budidaya dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil pengamatan dan hasil penelitian sebelumnya. Analisa bioteknik kawasan dilakukan dengan kajian penerapan minawana berdasarkan kondisi existing tambak dengan menggunakan analisa deskriptif. Analisa ekonomi dilakukan dengan menganalisa kelayakan usaha minawana. Analisa sosial, dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi dan persepsi masyarakat petambak terhadap penerapan sistem minawana yang dinyatakan dalam satuan persentase. Analisa kelembagaan dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi kelembagaan saat ini meliputi seluruh aktor yang terkait dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Analisa kelembagaan dalam penelitian ini dilakukan secara

5 deskriptif berdasarkan Ostrom (2011). Selanjutnya dilakukan analisa pengelolaan mangrove berdasarkan Ruddle (1998). Pengelolaan tersebut nantinya diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengelolaan mangrove di lokasi tersebut dan di tempat lain. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa penutupan mangrove memberikan kontribusi yang nyata terhadap hasil tangkapan udang harian (Selang kepercayaan 99%). Hasil pengukuran kualitas air insitu tahun 2012 didapatkan bahwa kondisi perairan masih layak untuk kegiatan budidaya. Akan tetapi adanya kandungan logam berat yang terdeteksi pada air, maka diperlukan sistem tandon untuk mengurangi/memperkecil kandungan logam berat sebelum masuk ke tambak (minawana). Sistem budidaya yang dilaksanakan penggarap minawana di RPH Tegal-Tangkil saat ini tradisional. Pengisian air pada tambak tergantung pasangsurut, sehingga ada kemungkinan air laut yang masuk pada saat pasang adalah salinitas rendah. Hal ini dikarenakan air laut yang bersalinitas lebih tinggi berada dibagian dasar perairan. Dengan demikian, terdapat perbedaan salinitas di kawasan pertambakan antara bagian hilir (dekat dengan laut), tengah dan hulu. Pada bagian hulu tingkat salinitas lebih rendah dibanding bagian tengah maupun bagian hilir. Pada kondisi ini seharusnya komoditas yang dibudidayakan tidak sama antara bagian hulu maupun hilir. Akan tetapi, komoditas yang dibudidayakan cenderung sama baik pada salinitas tinggi maupun rendah. Konsep minawana di Blanakan saat ini, belum benar dan tidak layak. Hal ini dilihat dari kondisi pengelolaan tambak yang tidak sesuai prosedur standar. Untuk itu, perlu perbaikan pengelolaan minawana baik ekologi, bioteknik dan kelembagaan. Perbaikan minawana dimulai dari perbaikan desain minawana terkait proporsi mangrove dan tambak. Berdasarkan studi pustaka, diperoleh bahwa perbandingan empang parit 60% mangrove dan 40% cukup ideal untuk peningkatan produksi perikanan baik budidaya maupun non budidaya. Langkah selanjutnya berikutnya adalah perbaikan/penerapan tata cara budidaya perikanan yang baik (Good Aquaculture Practices). Oleh karena itu, berdasarkan hasil perhitungan ekonomi pengembangan minawana di RPH Tegal-Tangkil dapat meningkatkan pendapatan penggarap maupun sekitarnya. Peningkatan pendapatan masyarakat mencapai % pada sistem polikultur antara udang dan bandeng serta meningkat hingga % pada sistem polikultur antara bandeng dan mujaer. Perbaikan pengelolaan minawana setidaknya fokus terhadap kelembagaan yakni sistem organisasi dan aturan main. Perbaikan dalam struktur organisasi pengelolaan minawana menjadi langkah pertama dalam perbaikan pengelolaan. Oleh karena itu, Perhutani tentunya perlu memberikan kewewenangan terhadap LMDH sebagai organisasi resmi yang mengatur pengelolaan di lapangan. Langkah selanjutnya adalah perbaikan pengelolaan minawana dengan perbaikan aturan main dalam pengelolaan. Selanjutnya, mempertegas penegakan hukum dan penerapan sanksi menjadi point penting dalam pengelolaan minawana. Oleh karena itu pencabutan hak garap akan memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran. Kata kunci: bioteknik, kelembagaan, RPH Tegal-tangkil, minawana.

6 Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutip hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan kritik atau tinjauan masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE BERBASIS MINAWANA (STUDI KASUS: KAWASAN MANGROVE RPH TEGAL-TANGKIL KPH PURWAKARTA, BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT) AHMAD MUHTADI RANGKUTI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Isdradjat Setyobudiandi, M.Sc.

9 Judul Tesis Nama NIM Program Studi : Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Minawana (Studi Kasus: Kawasan Mangrove RPH Tegal-Tangkil KPH Purwakarta, Blanakan Subang Jawa Barat). : Ahmad Muhtadi Rangkuti : C : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi Ketua Taryono, S.Pi., M.Si. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian:16 Januari 2013 Tanggal Lulus: 20 Maret 2013

10 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT atas selesainya penulisan tesis yang berjudul Pengelolaan Sumberdaya Ekosistem Mangrove Berbasis Minawana (Studi Kasus: Kawasan Mangrove RPH Tegal-Tangkil KPH Purwakarta, Blanakan Subang Jawa Barat). Pengelolaan suatu kawasan akan efektif jika pemangku kepentigan (pemerintah, perhutani dan masyarakat) merasakan pentingnya suatu organisasi (kelembagaan) berjalan sesuai peraturan demi tujuan bersama. Penelitian ini mengkaji aspek biofisik (ekologi) sebagai pondasi awal bagaimana kondisi suatu ekosistem (sumberdaya) apakah masih baik atau masih layak digunakan atau dikembangkan. Aspek lainnya yaitu aspek bioteknik yang dikembangkan dalam pengembangan minawana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun aspek ekonomi dikaji untuk mengetahui untung rugi suatu pemanfaatan sumberdaya dalam konteks minawana. Aspek terakhir yang mendukung kelanjutan sumberdaya adalah bagaimana sistem kelembagaan (tata aturan) yang berlaku di dalam masyakarat. Pesan yang ingin disampaikan adalah pentingnya sinergisitas ekologi, ekonomi dan sosial dalam pemanfaatan suatu sumberdaya agar lestari. Penyusunan tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu penulis dengan setulus hati mengucapkan terima kasih kepada: 1) Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi, sebagai ketua komisi pembimbing atas kepercayaan yang diberikan kepada penulis untuk memimpin tim penelitian ini serta motivasi yang diberikan dan kesabarannya dalam membimbing penulis 2) Bapak Taryono Kodiran, S.Pi, M.Si, sebagai anggota komisi pembimbing atas segala masukan, kritikan, saran dan motivasi demi penyempurnaan tesis ini baik dari segi substansi maupun penulisan 3) Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, sebagai Ketua Prodi SPL atas segala masukan, kritikan dan saran demi penyempurnaan dari mulai proposal penelitian hingga penulisan tesis ini 4) Dr. Ir. Isdradjat Setyobudiandi, M.Sc sebagai penguji luar komisi atas segala pengetahuan, motivasi, masukan, dan saran-saran yang telah diberikan baik pada saat perkuliahan maupun ujian pada ujian tesis 5) Keluarga besar Rangkuti (ayah/ibu, abang/kakak, adik-adikku dan bouk) di Tanah Mandailing atas dukungan dan doanya 6) Saudara Armansyah Rangkuti di Malaysia atas bantuan finansialnya 7) KPH Purawakarta dan Kesbang Linmas kabupaten Subang atas izin penelitian di Blanakan 8) Keluarga Yayan di Jayamukti atas tumpangan hidup dan bantuannya selama penulis melakukan penelitian 9) Tim penelitian silvo (Agoy, Oci, Deo, Jhon, Tyson dan Yona serta Popy) atas bantuan penelitian di lapangan dan laboratorium 10) Keluarga Harsono dan ibu di Bogor atas tumpangan hidup sealam penulis tinggal di Bogor 11) Dr. Yonvitner, Ali Mashar, M.Si dan Mujio, M.Si serta teman-teman perjuangan lantai 5 (mbak Dewi, mbak Desti, dan Helmi), atas segala masukan dan dukungannya

11 12) Sahabat-sahabatku SPL angkatan 17 (2010) dan SDP 2010, terutama teman terbaikku Anir dan Aay atas kerjasama dan persahabatannya yang tulus 13) Gadis kecilku Ennie Setyani Rahayu, yang selalu memberikan dukungan moril dan spritual Penulis menyadari adanya keterbatasan pemikiran, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan dan kekeliruan dalam penyusunan tesis ini. Untuk itu kritik, saran dan masukan adalah hal yang paling berarti untuk penyempurnaan penulisan tesis ini. Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat, terutama bagi penulis dan kampus untuk pengembangan ilmu serta bagi pihak-pihak yang bersedia menerapkan hasil penelitian ini, Amin Bogor, Maret 2013 Ahmad Muhtadi Rangkuti

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tanah Mandailing, pada tanggal 04 Juni 1985 dari ayah H. Muhammad Yunus Rangkuti dan Ibu (alm) Sarianun Pulungan. Penulis merupakan putra keempat dari enam bersaudara. Pada umur empat tahun ibunda penulis meninggal dunia, sehingga selama 2 tahun penulis hanya diasuh oleh ayah seorang diri. Pada umu 6 tahun ayah penulis kemudian menikah lagi dengan Hj. Masdalima Pulungan. Sehingga, sejak umur 6 tahun sampai saat ini penulis merasakan kembali kasih sayang seorang ibu. Walaupun ibu pengganti, akan tetapi sudah seperti ibu kandung sendiri. Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1998 di SD Negeri Rumbio Kecamatan Panyabungan Kabupaten Tapanuli Selatan, SLTP Negeri 5 Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal pada tahun 2001, SMA Negeri 1 Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal pada tahun Pada Tahun 2009, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan strata satu (S-1) pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2008, penulis pernah bekerja sebagai dosen asisten pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Program Diploma IPB. Kemudian pada tahun 2009, penulis bekerja pada perusahaan PT. Karsa Buana Lestari sebagai Asisten Tenaga Ahli penyusunan Analisis Mengenai Dampak lingkungan (AMDAL) di DKI Jakarta. Sejak tahun 2010 sampai sekarang penulis bekerja sebagai tenaga lepas pada berbagai konsultan di Bogor maupun di Jakarta. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan strata dua (S-2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan strata dua (S-2) ini penulis mendapatkan bantuan dana dari saudara Armansyah Rangkuti (saudara penulis yang bekerja di Malaysia).

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pikir dan Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Habitat Mangrove Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove Mangrove dan Produktivitas Serasah Asosiasi Mangrove dengan Biota Terestrial Mangrove dan Produktivitas Perikanan Kualitas Perairan Minawana Sosial-Ekonomi Masyarakat Karakteristik Masyarakat Pesisir Aspek Ekonomi dan Analisa Kelayakan Minawana Kelembagaan dan Pola Pengelolaan Pesisir METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Rancangan Penelitian Pengumpulan Data Alat dan Bahan Metode pengumpulan Data Analisa Data Analisa Status Ekologis dan Kualitas Air Bagi Budidaya Analisa status ekologis Analisa kualitas air Analisa Bioteknik Pengelolaan Budidaya Ikan dan Udang Analisa Usaha dan Kelayakan Usaha Analisa Pendapatan Usaha Analisa Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C) Break Event Point (BEP) Analisa Kriteria Investasi Analisa Kelembagaan Pengelolaan Minawana KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis xvii xix xxi xiii

14 xiv 4.2. Ekosistem Mangrove Vegetasi Mangrove Pembagian Blok Tambak Milik Tambak Tumpangsari/Minawana Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Kependudukan Pendidikan Penduduk Mata pencaharian Penduduk HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Ekologis Ekosistem Minawana Fauna Perairan Hubungan Luas Tutupan Mangrove Terhadap Produksi Perikanan Mangrove dan Keberadaan Udang Harian Mangrove dan Produksi Udang Windu Mangrove dan Produksi Ikan Bandeng Mangrove dan Keberadaan Kepiting Dan Wideng Mangrove dan Keberdaan Belut Kualitas perairan Analisa Bioteknik Sistem Minawana Kondisi Eksisting Pemulihan Kawasan Minawana Perbaikan Pola Minawana Perbaikan Jalur Hijau Pembuatan Bak Penampung Air (Tandon) Perbaikan Akses Jalan Perbaikan Saluran Pengembangan Sistem Budidaya Pengembangan Pengelolaan Budidaya Perikanan Analisa Ekonomi Sistem Minawana Analisa Ekonomi Eksisting Analisa Usaha Analisa Kelayakan Usaha Analisa Pengembangan Ekonomi Minawana Analisa Usaha Struktur biaya Penerimaan Keuntungan Analisa kelayakan usaha Net Present Value Net benefit Cost Ratio (Net B/C) Internal Rate Of Return (IRR) Perbandingan Sistem Minawana Eksisting dan Setelah Dikembangkan Analisa Kelembagaan Sistem Minawana Kondisi Kelembagaan Saat Ini... 59

15 Tata aturan pengelolaan kawasan minawana Arena Aksi Dalam Pengelolaan Kawasan Minawana Pola Interaksi Antar Aktor Dalam Pengelolaan Minawana di RPH Tegal-Tangkil Luaran/Dampak Dalam Terhadap Sumberdaya Persepsi Masyarakat Dalam Pengelolaan Minawana RPH Tegal-tangkil Perbaikan Pengelolaan Minawana Format Lembaga Mekanisme Pengambilan Keputusan Kewenangan LMDH Perbaikan Pengelolaan Kawasan Minawana Kewenanngan Pengelolaan (authority) Sistem Tata Aturan (rules) Sistem Hak (right) Sistem Monitoring dan.evaluasi Sistem Sanksi (sanctions) SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xv

16

17 DAFTAR TABEL Halaman 1. Keuntungan dan kerugian pada masing-masing pola minawana Uraian bagian-bagian penelitian dan pengumpulan data Anara dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Luas wilayah studi di RPH Tegal-tangkil Kondisi saluran/kalen di lokasi penelitian Jumlah penduduk menurut jenis kelamin Klasifikasi umur penduduk Kecamatan Blanakan Klasifikasi tingkat pendidikan formal penduduk Kecamatan Blanakan Fasilitas pendidikan Kecamatan Blanakan Mata pencaharian penduduk di lokasi penelitian Jenis ikan dan udang yang ditemukan di ekosistem minawana Hasil tangkapan udang harian di lokasi penelitian Jumlah hasil tangkapan kepiting dan wideng serta rata-rata pendapatan/ Orang Jumlah hasil tangkapan belut serta rata-rata pendapatan/orang Sistem budidaya dan pengelolaan tambak di lokasi penelitian Hasil panen udang di lokasi penelitian Hasil panen ikan bandeng di lokasi penelitian Hasil ikan mujaer/nila di lokasi penelitian Estimasi hasil produksi dan nilai produksi tambak minawana di RPH Tegal-tangkil (polikultur ikan bandeng dan nila/mujaer) Estimasi hasil produksi dan nilai produksi tambak minawana di RPH Tegal-tangkil (polikultur ikan bandeng dan udang) Analisa usaha tambak eksisting Analisa kelayakan usaha tambak eksisting Keuntungan dari perbaikan sistem minawana Identitas pemangku kepentingan dan peranannya Persentase pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang mangrove, empang, PHBM dan LMDH Persentase pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan manfaat KUD, LMDH dan Kelompok Cinta Mangrove Perolehan hak garapan empang di RPH Tegal-Tangkil xvii

18 xviii 28. Kondisi dan persepsi penggarap terhadap system aturan main di RPH Tegal-Tangkil Kondisi dan persepsi penggarap terhadap sistem hak di RPH Tegal-Tangkil Kondisi dan persepsi penggarap terhadap pemantauan yang dilakukan oleh mandor di lapangan Kondisi dan persepsi penggarap terhadap pelaksanaan sistem sanksi Permasalahan kelembagaan, kondisi ideal dan usaha yang diperlukan untuk mengurangi kesenjangan... 87

19 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian Tipe atau model tambak pada sistem minawana Kerangka pikir kelembagaan Lokasi penelitian Tahapan kegiatan pengelolaan tambak Kondisi umum mangrove di minawana lokasi penelitian;(a) mangrove dibiarkan, (b) mangrove di tebang untuk memperluas areal tambak Kondisi umum mangrove di dekat laut (sempadan pantai) di lokasi penelitian; (a) mangrove dibiarkan (ketebalan m), (b) sempaadan pantai jadi tambak Salah satu contoh kondisi tambak murni di lokasi penelitian Kondisi minawana saat ini (a) sistem minawana di penangkaran buaya (konsep lama) (b) penutupan sekitar 75%; (c) penutupan mangrove 50%; (d) penutupan mangrove hanya 30% Kondisi Kali Malang (kanan) dan kalen/saluran (kiri) Tampilan petak minawana pola 60% mangrove dan 40% tambak Pola tanam banjar secara merata Tampilan pemulihan kawasan minawana di RPH Tegal-tangkil Ilustrasi sistem tandon dalam mengairi tambak Buku anggota penggarap empang di RPH Tegal-tangkil Arena aksi dalam pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-tangkil Kegiatan wawancara terhadap responden Struktur organisasi LMDH Organisasi pengelolaan kawasan minawana xix

20

21 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta titik pengambilan contoh Prosedur pengambilan contoh Pengukuran/perhitungan kualitas air Kuisioner pengumpulan data Gambaran umum kawasan minawana Foto jenis flora dan fauna yang ditemukan di kawasan minawana Foto alat tangkap kepiting, wideng, belut, dll Foto kegiatan di lapangan Hasil tangkapan udang harian Hasil uji Anara hubungan kerapatan mangrove dengan udang Hasil tangkapan kepiting dan wideng Hasil tangkapan belut Kualitas air hasil pengukuran Kondisi umum responden Tahapan budidaya ramah lingkungan Analisa ragam R/C tambak eksisting Analisa kelayakan usaha tambak pengembangan minawana xxi

22 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan wilayah yang berfungsi sebagai jembatan antara daratan dan lautan. Ekosistem mangrove sangat penting sebagai tempat untuk berlindung, mencari makan dan berkembang biak bagi berbagai berbagai jenis ikan, udang dan moluska. Hal ini karena lingkungan mangrove menyediakan perlindungan. Ekosistem mangrove juga merupakan pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya (Mann 2000). Dengan demikian, penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem mangrove dapat mengancam kelestarian mangrove sebagai habitat flora dan fauna. Selanjutnya akan mengancam kehidupan fauna yang menggantungkan kehidupannya pada ekosistem mangrove. Pemanfaatan mangrove yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan akan mengakibatkan kemunduran terhadap fungsi-fungsi dari ekosistem mangrove. Kegiatan penebangan mangrove untuk diambil kayu bagi pembuatan arang atau pembukaan untuk areal tambak dapat mengurangi atau bahkan akan merusak fungsi ekosistem mangrove. Oleh karena itu, dalam rangka pemanfaatan ekosistem mangrove diperlukan suatu pengelolaan ekosistem mangrove yang baik dan benar. Salah satu pengelolaan wilayah pesisir di kawasan mangrove adalah dengan konsep minawana. Pengelolaan sumberdaya mangrove berbasis minawana ini sudah banyak dikenal dan dipraktekkan baik di dalam maupun di luar negeri. Namun, penerapan pola minawana yang memenuhi prinsip-prinsip yang benar, baik dari segi bioteknis, ekologi maupun kelembagaan belum terwujud. Minawana pertama kali diperkenalkan di Burma dan di Indonesia. Minawana yang diterapkan di Indonesia diperkenalkan oleh Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Minawana yang diperkenalkan di Indonesia, pada awalnya dikenal dengan istilah tambak tumpangsari, tambak empang parit, atau hutan tambak (Primavera 2000). Saat ini konsep minawana ini dikenal luas dengan istilah silvofishery. Pada awalnya pengembangan minawana didasari oleh adanya konversi ekosistem mangrove secara ilegal menjadi tambak sejak tahun 1970-an. Untuk mengurangi potensi konflik antara pembangunan tambak dan

23 2 konservasi mangrove, Departemen Kehutanan RI melalui Perum Perhutani kemudian mengembangkan program Kehutanan Sosial (Social Forestry) pada tahun Program tersebut kemudian dikenal dengan minawana. Pada program ini, masyarakat diberikan kesempatan untuk memanfaatkan ekosistem mangrove. Pemanfaatan ini ditujukan untuk usaha perikanan tanpa merusak ekosistem mangrove. Sehingga, diharapkan kesejahteraan masyarakat meningkat. Pada saat yang sama ekosistem mangrove tetap lestari. Namun dalam penerapannya di lapangan, pola minawana yang telah diterapkan oleh Departemen Kehutanan RI maupun yang dipraktekkan oleh masyarakat belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, ekosistem mangrove cenderung rusak, contohnya di pesisir Blanakan. Penelitian ini dengan maksud untuk mencari sebab-sebab kegagalan penerapan minawana baik dari segi ekologi, bioteknis budidaya perikanan, sosial ekonomi, dan kelembagaan. Sehingga nantinya diperoleh rumusan pola pengelolaan minawana yang tepat dan benar. Penelitian ini mengambil studi kasus di Perairan Pesisir Blanakan. Pada areal ini sudah terdapat percontohan tambak pola minawana yang di buat oleh Perum Perhutani. Namun diduga tidak diaplikasikan oleh masyarakat dengan benar. Hasil akhir dari penelitian ini adalah berupa rumusan pola pengelolaan pesisir berbasis minawana yang berlaku umum dan dapat diterapkan di tempat lain 1.2. Kerangka Pikir dan Perumusan Masalah Wilayah pesisir Kabupaten Subang memiliki potensi ekosistem mangrove. Wilayah ini merupakan hutan negara yang pengelolaannya dalam otoritas Perum Perhutani, Kesatuan Pemangkuan Hutan Purwakarta (KPH Purwakarta). Luas hutan mangrove di wilayah KPH Purwakarta mencapai 14, ha. Agar hutan tersebut lestari dan mampu meningkatkan kesejahtraan masyarakat, maka kemudian dikembangkan pola pemanfaatan minawana. Pola pemanfaatan ini diperoleh dari KPH Purwakarta, sebagai pemegang otoritas wilayah. Pada awalnya model minawana tersebut dikenal dengan empang parit tradisional dengan komposisi 80 % mangrove dan 20 % tambak. Sejak krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1997, mangrove tersebut ditebang oleh

24 3 masyarakat sekitar, sehingga luasan tambak lebih besar proporsinya dibanding luasan mangrovenya. Penebangan mangrove di tambak (modifikasi empang) bertujuan untuk memperluas areal budidaya dan diharapkan produksi ikan meningkat. Akan tetapi yang terjadi adalah semakin rusaknya ekosistem mangrove. Selain itu, produksi perikanan pun menurun, baik hasil budidaya maupun non budidaya (hasil tangkapan udang harian). Berdasarkan uraian diatas, untuk mengembalikan fungsi dan tujuan awal dikembangkannya pola minawana, maka perlu perbaikan sistem minawana. Perbaikan ini harus dilakukan secara menyeluruh baik dari aspek ekologi, bioteknik maupun aspek kelayakan ekonomi. Dengan demikian, akan didapatkan pola minawana yang dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat dan ekosistem mangrove tetap lestari. Perbaikan sistem ini nantinya diharapkan dapat menjadi pola pengelolaan minawana yang berkelanjutan. Untuk itu, perbaikan sistem kelembagaan mutlak dilakukan, agar pola minawana berjalan sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Berdasarkan uraian diatas, diperlukan penelitian pengelolaan ekosistem mangrove berbasis minawana. Penelitian ini nantinya diharapkan mampu mengidentifikasi faktor-faktor kegagalan penerapan minawana baik dari segi ekologi, bioteknis budidaya perikanan, sosial ekonomi, dan kelembagaan. Pemecahan permasalahan akan diuraikan sebagai berikut: Pertama, untuk mengetahui penurunan produksi perikanan dari kegiata non budidaya, maka aspek yang dilihat adalah hubungan antara mangrove (kerapatan/penutupan mangrove) dengan hasil tangkapan udang harian. Penelitian ini akan membandingkan hasil tangkapan udang harian pada berbagai rasio minawana yang berbeda. Selain itu, melakukan pengamatan terhadap hasil tangkapan kepiting, wideng dan belut di kawasan minawana untuk mendukung kontribusi mangrove terhadap produksi minawana dari non budidaya. Kedua, untuk melihat produksi perikanan dari budidaya ada 2 hal yang dilakukan yaitu: 1) mengukur sebaran salinitas di kawasan pertambakan minawana; 2) mengukur kualitas air di tambak. Pengukuran sebaran salinitas dengan maksud untuk melihat apakah komoditas yang dibudidayakan sudah tepat atau belum. Pengukuran kualitas air tambak meliputi kualitas air in situ dan logam

25 4 berat. Pengukuran kualitas air ini dengan maksud mengetahui apakah kondisi perairan masih layak atau tidak untuk kegiatan budidaya. Selain itu, untuk mendapatkan hasil produksi yang optimal baik hasil budidaya maupun non budidaya, perlu dilakukan kajian terhadap proporsi mangrove dan tambak serta prosedur standar budidaya yang layak dan berlaku umum. Kajian terhadap proporsi mangrove dan tambak ini akan dilakukan studi literatur terhadap hasil penelitian yang relevan. Untuk prosedur standar budidaya akan dilakukan dengan prosedur standar yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui instansi yang terkait. Ketiga, untuk melihat atau mengukur fungsi dan manfaat mangrove terhadap produksi perikanan, dilakukan perhitungan aspek biaya (cost) dan penerimaan (revenue) dari kegiatan minawana. Perhitungan biaya dan penerimaan ini mencakup hasil budidaya maupun hasil tangkapan udang harian. Sehingga dapat dibandingkan bagaimana kontribusi nilai ekonomi mangrove secara langsung. Selain itu, dilakukan perhitungan kelayakan ekonomi tangkap kondisi eksisting dan kondisi mendatang dengan berbagai perbaikan teknis. Keempat, untuk melihat alasan atau latar belakang mengapa masyarakat berani melakukan penebangan maupun modifiksasi minawana untuk memperluas areal budidaya, maka dilakukan analisis terhadap aturan main yang berlaku. Sistem aturan main ini dengan menganalisis terhadap kondisi eksisting dan kondisi ideal yang seharusnya dijalankan. Setelah, menganalisis permasalahan ekologi, bioteknik, sosial ekonomi dan kelembagaan serta solusinya, langkah selanjutnya dengan memperbaiki pengelolaan minawana secara sistemik yang menitik beratkan pada disain pengelolaan minawana. Dengan demikian diperlukan desain kelembagaan yang adaptif didasarkan pada karakteristik sumberdaya, lingkungan maupun pengelolaannya. Perbaikan dalam struktur organisasi pengelolaan minawana menjadi langkah pertama dalam perbaikan pengelolaan. Langkah selanjutnya dalam perbaikan pengelolaan minawana adalah perbaikan dalam aturan main pengelolaan (Taryono 2009). Kerangka pemikiran kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Minawana (studi kasus ekosistem mangrove di RPH Tegal- Tangkil, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat) disajikan pada Gambar 1.

26 5 Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui kondisi ekologi, bioteknik, dan ekonomi sistem minawana RPH Tegal-Tangkil 2. Merumuskan pola pengelolaan kawasan minawana di RPH Tegal-Tangkil. Penelitian ini diharapkan menjadi contoh pengelolaan kawasan pesisir berbasis minawana yang dapat diterapkan di tempat lain.

27 6

28 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove Tomlinson (1986) dan Wightman (1989) in Giesen et al. (2006) mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung (Saenger et al in Giesen et al. 2006). Menurut Nybakken (1992) mangrove atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu jenis komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang pada perairan asin. Secara ringkas mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe tanaman yang tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, dan muara sungai). Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove (Nybakken 1992). Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit, dan 1 jenis paku. Sebanyak 43 jenis, dari 202 jenis tersebut (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove). Sementara jenis lain ditemukan di sekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (associate mangrove) (Giesen et al. 2006) Habitat Mangrove Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur (Chapman 1977 in Giesen et al. 2006; Nybakken 1992). Hogarth (2007) menyebutkan bahwa mangrove tumbuh pada daerah pantai berlumpur, yang dapat beradaptasi terhadap pasang surut, perubahan salinitas, oksigen rendah, dan suhu yang tinggi (daerah tropis). Ekosistem mangrove umumnya berkembang di daerah intertidal (daerah pasang surut) sehingga daerahnya tergenang air laut secara berkala (setiap hari maupun saat pasang purnama), menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, terlindung dari gelombang

29 8 besar dan arus pasang surut yang kuat. Mangrove banyak ditemukan di pantaipantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove Secara fisik, vegetasi mangrove berperan dalam melindungi pantai tetap stabil. Selain itu mangrove juga berperan sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah (Naamin 1991). Mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari sungai dan memperkecil erosi atau abrasi pantai. Mangrove juga mampu dalam menekan laju intrusi air laut ke arah daratan (Sukresno dan Anwar 1999 in Anwar dan Gunawan 2006). Kajian lain yang berkaitan dengan polutan dilaporkan oleh Anwar dan Gunawan (2006) yang menemukan bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari perairan ekosistem mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang masih bermangrove (minawana) Mangrove dan Produktivitas Serasah Peranan mangrove dalam menunjang kegiatan perikanan pantai dapat disimpulkan dalam dua hal. Pertama, mangrove berperan penting dalam siklus hidup berbagai jenis ikan, udang dan moluska (Giessen et al. 2006). Hal ini karena lingkungan mangrove menyediakan tempat perlindungan. Kedua, mangrove merupakan pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya Asosiasi Mangrove dengan Biota Teresterial Hubungan ekosistem mangrove dengan biota teresterial juga sangat penting termasuk burung (lokal maupun burung migran), mamalia, reptil, amphibi maupun hewan lainnya. Keberadaan mangrove menjadi sangat penting terhadap biota teresterial karena umumnya sebagai tempat mencari makan maupun persinggahan (burung migrasi) ataupun mangrove adalah tempat hidupnya. Adapun berbagai jenis satwa liar yang dapat dijumpai pada mangrove Blanakan di RPH Tegal-Tangkil sebelum meluasnya petak lokasi tambak meliputi berbagai burung, mamalia, dan reptil (Perhutani 1995).

30 Mangrove dan Produktivitas Perikanan Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi menghabiskan sebagian siklus hidupnya pada habitat mangrove (Burhanuddin 1993 in Giessen et al. 2006). Kakap (Lates calcacifer) dan kepiting mangrove (Scylla serrata) merupakan jenis ikan dan krustase yang secara langsung bergantung kepada habitat mangrove (Griffin 1985 in Giessen et al. 2006). Menurut Djamali (1991) beberapa jenis udang penaeid di Indonesia sangat tergantung pada ekosistem mangrove. Lebih lanjut Djamali (1991) mengemukakan adanya hubungan linier positif antara luas ekosistem mangrove dengan produksi udang, dimana makin luas ekosistem mangrove makin tinggi produksi udangnya dan demikian sebaliknya Kualitas Perairan Parameter kualitas air laut merupakan faktor penting bagi kelangsungan hidup organisme. Adanya perubahan kualitas air di laut dapat menyebabkan perubahan komposisi komunitas (komposisi dan kelimpahan) organisme di perairan. Perairan yang ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan organisme dengan optimal. Kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Penentuan kualitas air dapat ditentukan dengan melihat faktor fisik, kimia, biologi maupun kandungan logam beratnya (Effendi 2003) Minawana Kegiatan minawana berupa empang parit pada kawasan ekosistem mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun Pada tahun 1977 di kawasan mangrove di Cilacap, minawana sudah mulai dikembangkan sebagai upaya reboisasi dan memberikan lapangan kerja bagi masyarakat. Sementara itu sejak tahun 1986 BPKH Ciasem Pamanukan telah menerapkan strategi Perhutanan Sosial (PS) yang pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif sebagai penggarap tambak dan udang serta wajib memelihara ekosistem mangrove. Pola ini kemudian disempurnakan pada tahun 1988 dengan program minawana (Perhutani 1984).

31 10 Definisi istilah minawana atau silvofishery atau tambak sistem tumpang sari bermacam-macam, akan tetapi menunjukkan pengertian yang sama. Sukardjo (1989) mendefinisikan tambak tumpang sari sebagai pendekatan dengan menjaga keberadaan mangrove untuk mendukung produksi perikanan yang dibuat berupa kolam di sekitar mangrove tersebut. Nugroho et al. (1990) mengemukakan minawana dalam gagasan Coupled Ecosystem Silvosishery (CES) yang mengacu pada gagasan Coupled Ecosystem Agroforestry (CEA) adalah penggunaan lahan dimana kedua ekosistem hutan dan pertanian (termasuk perikanan) baik dalam skala mikro maupun makro saling berpasangan dan menguntungkan (mutually complement). Pada kondisi tersebut ekosistem hutan dan pertanian dapat saling mempertukarkan energi dan unsur hara untuk saling mendukung dan melindungi. Lebih lanjut Salim (1986) in Nugroho et al. (1990) mengemukan penerapan CES didasarkan pada prinsip pokok: (1) kesinambungan fungsi ekosistem mangrove, (2) terpeliharanya jaringan kehidupan ekosistem mangrove, (3) terpeliharanya kemungkinan keanekaragaman kehidupan, (4) diindahkannya kedudukan mangrove sebagai milik bersama, dan (5) diindahkannya prinsip pengendalian dampak negatif pembangunan. Soewardi (1994) mendefinisikan minawana atau sering disebut sebagai silvofishery adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya perikanan dan konservasi mangrove. Konsep minawana ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan. Berdasarkan Fitzgerald (1997); Sofiawan (2000); Suryadiputra dan Telly (2006), minawana merupakan sebuah kombinasi antara kolam/tambak budidaya ikan dengan ekosistem mangrove secara berdampingan. Sualia et al. (2010) mendefinisikan minawana sebagai suatu rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan/udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian ekosistem mangrove. Menurut Sualia et al. (2010) minawana merupakan konsep tambak

32 11 ramah lingkungan dan merupakan bagian dari penerapan jalur hijau (green belt). Beberapa manfaat tambak ramah lingkungan (minawana) menurut Sualia et al. (2010) diantaranya : 1) Biaya dan resiko produksi jauh lebih rendah dan dapat dikelola dalam skala kecil. 2) Menghasilkan produksi sampingan dari hasil tangkapan alam seperti udang alam, kepiting, dan ikan liar. 3) Lingkungan terpulihkan dan meningkatnya daya dukung (carrying capacity) tambak. 4) Produk udang berkualitas baik dan bernilai jual tinggi. 5) Lebih tahan terhadap serangan penyakit, akibat kemampuan mangrove dalam menyerap limbah dan menghasilkan zat antibakteri 6) Petambak dapat mengunakan daun mangrove terutama jenis Rhizophora sp, sebagai pakan kambing 7) Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber air tawar dapat dipertahankan 8) Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global. 9) Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air pasang Adapun bentuk minawana menurut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (2009) adalah penanaman tumpangsari dengan sistem banjar harian tetapi dikombinasikan dengan kegiatan pertambakan. Penanaman selain pada jalur tanam juga dapat dilakukan di pelataran tambak dengan jarak tanam yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pada umumnya jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m dengan jumlah bibit per hektar 320 batang. Menurut Sofiawan (2000) in Puspita et al. (2005), bentuk tambak minawana memiliki 5 macam pola, yaitu empang parit tradisonal, komplangan, empang parit terbuka, kao-kao, serta tipe tasik rejo (Gambar 2). Keuntungan dan kerugian dari pola minawana disajikan pada Tabel 1.

33 12 Gambar 2. Tipe atau model tambak pada sistem minawana. Keterangan: A. Saluran air, B. Tanggul/pematang tambak, C. Pintu air, D. Empang, X. Pelataran tambak. (Sumber: Sofiawan 2000 in Puspita et al. 2005) Tabel 1 Keuntungan dan kerugian pada masing-masing pola minawana Model/pola Keuntungan Kerugian Empang parit - Tanaman terintegrasi - Parit pemeliharaan ikan memperoleh cukup sinar matahari - Penyempurnaan parit dapat dilakukan setiap saat Komplangan - pelaksanaan panen lebih mudah dilakukan - Parit pemeliharaan ikan memperoleh sinar matahari yang cukup - Penyempurnaan parit lebih mudah dilakukan Empang terbuka - Parit pemeliharaan ikan memperoleh sinar matahari yang cukup - Panen lebih mudah dilakukan Kao-kao - Ruang pemeliharaan ikan cukup lebar - Lapukan serasah tanaman dapat meningkatkan kesuburan tambak - Intensitas matahari cukup tinggi Tasikrejo - Pelataran tambak dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk budidaya tanaman semusim/perkebunan Sumber: Yuliarsana (2000) in Puspita (2005) - Tempat pemeliharaan ikan kurang terintegrasi - Tanaman perlu dijarangi - Tanaman bakau perlu dijarangi setelah umur 3 tahun dan diremajakan setelah 5 tahun - Penanaman yang dilakukan terlalu rapat dengan pematang - Pemangkasan cabang perlu dilakukan agar tidak mengganggu operasional parit - Pembersihan serasah tanaman harus sering dilakukan - Panen harus dilakukan dengan menggiring ikan pada satu sudut tambak - Tempat pemeliharaan ikan sempit - Pelaksanaan panen harus dilakukan dengan pengeringan parit pemelihara

34 Sosial-Ekonomi Masyarakat Karakteristik Masyarakat Pesisir Menurut Nikijuluw (2001) masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Definisi ini bisa juga dikembangkan lebih jauh karena pada dasarnya banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, dan penyedia sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya Aspek Ekonomi dan Analisis Kelayakan Minawana Menurut Gittinger (2008), untuk mengetahui kelayakan suatu usaha pertu dilakukan pengujian melalui analisis finansial. Analisis finansial dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kelayakan suatu kegiatan usaha. Analisis finansial dapat dilakukan melalui analisis usaha dan analisis kriteria investasi. Analisis finansial yang dimaksud terdiri dari (Gittinger 2008): 1. Analisis pendapatan usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha yang dilakukan (Soekartawi 1995). 2. Revenue Cost Ratio (RC) merupakan perbandingan nisbah antara pendapatan dengan biaya yang dikeluarkan. 3. Payback period merupakan nilai yang menunjukkan tingkat kemampuan seorang pengusaha untuk mengembalikan modal investasi yang ditanamnya. 4. Break Event Point (BEP) merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan produksi (penerimaan) sama dengan biaya produksi, sehingga pada saat itu pengusaha mengalami titik impas. 5. Net Present Value (NPV) adalah selisih nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan (operasional maupun terminal cash flow) dimasa yang akan datang.

35 14 6. Net B/C Ratio (Net B/C) adalah merupakan perbandingan antara benefit bersih dari tahun-tahun yang bersangkutan yang telah dinilai sekarang (pembilang yang bersifat positif) dengan biaya bersih dalam tahun (penyebut yang bersifat negatif) yang telah dinilai sekarang yaitu benefit bersih > benefit kotor. 7. Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat bunga yang menggambarkan bahwa antara keuntungan yang telah dinilai sekarang sama dengan nol Kelembagaan dan Pola Pengelolaan Pesisir Pemanfaatan sumberdaya secara lestari dalam jangka panjang, tidak hanya terkait dengan analisis teknik, tetapi memerlukan analisis sosial ekonomi. Dukungan masyarakat dalam program menjadi prasyarat penting untuk menjamin keberlanjutan program di masa mendatang. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya sangat penting, karena mereka juga mempunyai pengetahuan ekologi lokal (LEK =local ecological knowlegde) yang berperan dalam usaha pengelolaan sumberdaya alam (Joshi et al. 2004), termasuk sumberdaya mangrove. Perhutanan Sosial yang dilakukan oleh Perum Perhutani (sebagai contoh) merupakan program pembangunan, pemeliharaan, dan pengamanan hutan dengan cara mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Program ini diharapkan untuk meningkatkan fungsi-fungsi hutan secara optimal, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus perbaikan lingkungan dan kelestariannya. Perhutanan Sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari agroforestry termasuk minawana (Perhutani 1995). Program pelibatan masyarakat dalam pengelolaan mangrove (kawasan pesisir) dapat dilakukan dalam bentuk kelembagaan yang dibangun berbasis masyarakat. Masyarakat yang terkait secara langsung dengan pembangunan dan pengamanan ekosistem mangrove diajak untuk berpartisipasi aktif dalam melestarikan ekosistem mangrove. Peran langsung masyarakat lokal dalam pengelolaan perikanan diperkuat sesuai budaya setempat. Setiap daerah dapat memiliki sistem pengelolaan yang berbeda-beda sesuai dengan budaya masingmasing daerah. Ruddle (1998) menyebutkan agar suatu pengelolaan pesisir berjalan dan berlangsung sesuai dengan yang dikehendaki setidaknya beberapa komponen yang harus dimiliki dan dijalankan, yaitu: authority (kewenangan), rules (norma/peraturan yang mengikat), right (hak), monitoring (pemantauan),

36 15 accountability (tanggung jawab/kewajiban), enforcement (penegakan peraturan/hukum), dan sanctions (sanksi). Kelembagaan merupakan satu konsepsi yang kompleks yang mengkaitkan antar elemen-elemen secara komprehensif. Sebagai sebuah konsepsi, kelembagaan menggambarkan adanya interaksi antar individu dalam mencapai tujuan bersama serta usaha-usaha untuk menjamin bahwa harapan-harapan atau kepentingan mereka tetap terpenuhi. Jadi ada usaha kolaboratif menggabungkan beberapa kepentingan serta representasi dari nilai-nilai yang disepakati antar anggotanya. Sehingga secara sederhana, kelembagaan dapat berupa organisasi atau wadah (players of the game) dan aturan main (rules of the game) yang mengatur kelangsungan organisasi maupun kerjasama antara anggotanya untuk mencapai tujuan bersama (Taryono 2009). Untuk itu kelembagaan merupakan representasi dari tiga hal penting dalam masyarakat (Taryono 2009), yaitu (a) kelanjutan dari proses-proses sosial masyarakat; (b) menggambarkan power sharing antara para pihak yang berinteraksi; dan (c) merefleksikan adanya yang dirasakan oleh masyarakat atas kelembagaan tersebut. Ada beberapa yang perlu diperhatikan dalam memahami kelembagaan, yaitu (Djogo et al. 2003): 1. Memperhatikan prilaku, norma, etika dan nilai perorangan dan organisasi 2. Dapat dituangkan dalam peraturan 3. Memerlukan instrumen atau perangkat tertentu untuk melaksanakannya 4. Memerlukan wadah berupa pranata atau organisasi untuk menjalankannya. 5. Menjadi landasan yang fundamental untuk pembangunan. 6. Implementasi memerlukan tindakan kolektif yang memerlukan solidaritas. Konsepsi kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya pesisir di kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil mempergunakan Framework Institutional Analysis and Development (IAD). IAD ini dapat digunakan untuk menganalisis performa dan struktur aransemen kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Framework IAD dapat dilihat pada Gambar 3.

37 16 Gambar 3 Kerangka pikir kelembagaan (Sumber: dimodifikasi dari Ostrom 2011)

38 17 3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian difokuskan pada kawasan minawana di Desa Jayamukti, Blanakan dan Langensari, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Kawasan penelitian ini merupakan wilayah pengelolaan dari Resort Polisi Hutan (RPH) Tegal-Tangkil (petak 3-8), Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten. Lokasi pengambilan contoh dibagi dalam 3 wilayah. Wilayah pertama adalah daerah Kali Malang 2 dengan jarak sekitar km dari laut. Wilayah kedua adalah daerah Kali Malang 2 dengan jarak sekitar km dari laut. Wilayah ketiga adalah Kali Malang 3 dengan jarak sekitar km dari laut. Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini adalah 8 bulan (Agustus 2011 Maret 2012). Peta lokasi penelitian di sajikan pada Gambar 4. Gambar 4 Peta lokasi penelitian (Sumber: Hasil olahan 2012)

39 Rancangan Penelitian Untuk melihat adanya pengaruh dan hubungan kerapatan mangrove pada sistem minawana dengan produksi perikanan dirancang sebuah penelitian berupa rancangan percobaan satu faktor (rancangan acak lengkap). Adapun yang menjadi perlakuan adalah kerapatan mangrove, yaitu: kerapatan tinggi (penutupan mangrove >75%), kerapatan sedang (penutupan mangrove 40-60%), dan kerapatan rendah (penutupan mangrove 10-30%). Adapun sebagai kontrol adalah tambak murni yang tidak terdapat tanaman mangrove (penutupan mangrove 0%). Ulangan dilakukan masing-masing 6 kali ulangan. Titik pengambilan contoh dapat dilihat pada Lampiran Pengumpulan Data Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam tahap penelitian ini adalah peralatan pengambilan contoh, alat ukur parameter fisik-kimia air, peralatan pengambilan contoh vegetasi mangrove dan kuisioner untuk kebutuhan data sosial-ekonomi, dan kelembagaan serta alat tulis. Bahan-bahan yang dibutuhkan adalah air contoh dan vegetasi mangrove. Secara ringkas, data-data yang akan dikumpulkan dan prosedur pengumpulan data pada kajian ini disajikan pada Lampiran Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dibagi atas 4 bagian. Pada bagian I, dilakukan kajian tentang aspek biofisik (ekologi) kawasan minawana maupun perairan sekitarnya. Pada bagian II, dilakukan pengkajian tentang aspek bioteknis budidaya di kawasan empang-parit. Pada Bagian III dilakukan analisis usaha dan kelayakan usaha tambak dengan sistem minawana (aspek ekonomi). Pada bagian IV akan dilakukan kajian terhadap aspek sosial dan kelembagaan terkait pengelolaan kawasan minawana. Uraian dari tiap bagian penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Data yang dikumpulkan dalam kajian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui identifikasi (pengamatan lapang) dalam bentuk pengamatan, pengukuran dan pengambilan contoh serta wawancara langsung dengan penduduk, tokoh masyarakat, pihak Perhutani, koperasi, dan aparat pemerintah serta key person setempat di sekitar lokasi studi. Pengamatan

40 19 lapang dilakukan untuk mendapatkan data biofisik, meliputi kualitas air insitu, vegetasi perairan pesisir, biota perairan serta data sosial ekonomi dan kelembagaan. I (Ekologi) Tabel 2 Uraian bagian-bagian penelitian dan pengumpulan data Bagian Aspek Uraian Titik/Jumlah Titik Kualitas air tambak/ kanal II (Bioteknik) III (Ekonomi) IV (Sosial kelembagaan) Kualitas air Saluran dan sungai Kualitas air laut Vegetasi Hubungan udang dan mangrove Konstruksi Komoditas Sistem budidaya Produksi perikanan Analisis usaha dan kelayakan usaha Sosial Kelembagaan Pengukuran parameter fisika kimia lingkungan, yang meliputi; suhu, salinitas, ph air, kedalaman, kecerahan, dan DO, serta logam berat. Pengukuran sebaran suhu dan salinitas pada waktu pasang Pengukuran parameter fisika kimia Lingkungan, yang meliputi; suhu, salinitas, ph air, DO, serta logam berat. Pengukuran luasan mangrove terhadap tambak (rasio mangrove dan tambak) serta jenis mangrove Melakukan wawancara dengan penggarap tambak terkait dengan hasil hasil sampingan Melakukan wawancara dengan masyarakat penangkap ikan dan biota lainnya (non tambak) Mengkaji konstruksi tambak, tanggul, pintu air, dan ukuran tambak Mengkaji komoditas yang dibudidayakan di lokasi studi Mengkaji sistem budidaya yang dilaksanakan oleh masyarakat mulai dari persiapan sampai panen Mengambil data produksi dari KUD minimal 5 tahun terakhir (data sekunder) Melakukan wawancara dengan penggarap tambak terkait dengan hasil produksi dari tambak Melakukan wawancara dengan penggarap tambak terkait dengan permodalan mulai dari tahap persiapan panen Pengambilan data (primer dan sekunder) tentang karakteristik masyarakat penggarap tambak dan sekitarnya, seperti: jumlah penduduk, rasio kelamin, pendidikan, agama, sarana prasarana, dll. Pengambilan data (primer dan sekunder) tentang aspek kelembagaan baik formal maupun informal. Interaksi: antar warga, penggarap tambak pihak Perhutani dan aparat Adat istiadat, tata aturan daerah, dll. Tambak dengan kriteria penutupan mangrove yang berbeda (62 titik) Pada setiap kalen/sungai (3 titik) Pasang dan surut (3 titik) Pada 62 tambak yang berbeda Masyarakat pengumpul di 3 desa kajian Pada 62 tambak yang berbeda Pada 62 tambak yang berbeda Pada 62 tambak yang berbeda Ada 3 KUD yang masuk dalam wilayah kajian Pada 62 pemilik tambak yang berbeda Ada 3desa yang masuk dalam wilayah kajian Ada 3desa yang masuk dalam wilayah kajian

41 20 Data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka, berupa laporan-laporan kajian yang berhubungan dengan kajian ini. Laporan tersebut berasal dari BAPPEDA, BPS, Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Lingkungan Hidup, perguruan tinggi, Perhutani, dan Koperasi. Laporan tersebut didapatkan langsung dari instansi ataupun melalui laman (internet) Analisis Data Analisis Status Ekologi dan Kualitas Air Bagi Budidaya Analisis Status Ekologi Analisis status ekologi dan kualitas air bagi budidaya dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil pengamatan dan hasil penelitian sebelumnya. Analisis status ekologi dengan melihat hubungan antara penutupan mangrove dengan keberadaan udang (hasil tangkapan udang harian) dengan menggunakan Analisis ragam (Anara) Rancangan Acak Lengkap (RAL). Analisis ini digunakan untuk menguji perbedaan antar nilai tengah contoh dan antar gabungan nilai tengah. Anara RAL di modelkan dengan (Mattjik dan Jaya 2006): Y ij = + i + ij dimana: Y ij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j = Rataan umum; i Pengaruh perlakuan ke-i = galat percobaan ij Hipotesis yang dapat diuji dari rancangan diatas yaitu: H 0 : 1 = 2 = = i = 0 (perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H 1 : Paling sedikit ada satu perlakuan dimana i 0 Untuk perhitungan Anara dibantu oleh perangkat lunak Microsoft Excel 2010 pada Anova single factor. Hasil analisis Anara seperti Tabel 3. Tabel 3 Anara dengan rancangan acak lengkap (RAL) Sumber keragaman db JK KT F-Hit Perlakuan t-1 JKP KTP KTP/KTS Galat t(r-1) JKS KTS Total tr-1 JKT Sumber: Mattjik dan Jaya (2006)

42 21 Jika hasilnya menunjukkan berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (Mattjik dan Jaya 2006). Kriteria Uji BNT adalah: d = തݕ i*- തݕ j* dimana തݕ i* adalah rataan perlakuan ke-i dan തݕ j* merupakan rataan perlakuan ke-j Hipotesis dari perbandingan Uji BNT adalah: H 0 : µ i =µ j vs H 1 : µ i µ j Kaidah keputusannya adalah jika: d BNT = t db sisa) ଶ, maka gagal tolak H 0 d> BNT = t db sisa) ଶ, tolak H Analisis Kualitas Air Analisis kualitas air mempelajari kondisi kualitas air bagi peruntukan pengembangan budidaya ikan/udang di kawasan mangrove yang dibandingkan dengan baku mutu menurut SNI (budidaya udang windu). Analisis kualitas air ini mempelajari kondisi kualitas air di dalam tambak Analisis Bioteknik Pengelolaan Budidaya Ikan dan Udang Analisis bioteknik dilakukan dengan menganalisis data bioteknik kawasan pada kegiatan pengelolaan pertambakan yang ada saat ini. Pengelolaan pertambakan ini mengacu pada panduan pengelolaan tambak ramah lingkungan yang dikeluarkan oleh Wetlands International Indonesia Programme (Sualia et al. 2010) dan penerapan minawana di pantai timur surabaya. Selanjutnya membuat rencana teknik penerapan minawana yang meliputi layout kawasan, menyusun desain konstruksi, membuat/menerapkan prosedur budidaya yang tepat dan sederhana yang dapat dengan mudah diterapkan oleh masyarakat. Standar tahapan kegiatan budidaya yang diamati dapat dilihat pada Gambar Analisis Usaha dan Kelayakan Usaha Menurut Gittinger (2008), analisis finansial dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kelayakan suatu kegiatan usaha. Analisis finansial dilakukan melalui analisis usaha dan analisis kriteria investasi.

43 22 Gambar 5 Tahapan kegiatan pengelolaan tambak (Sumber: Sualia et al. 2010) Analisis Pendapatan Usaha Analisis pendapatan usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha yang dilakukan (Soekartawi 1995). Secara matematis analisis pendapatan usaha minawana dapat dirumuskan sebagai berikut: keterangan : п TR TC FC (fixed cost) VC (variable cost) maka: TR > TC, usaha minawana menguntungkan TR = TC, usaha minawana pada titik impas TR < TC, usaha minawana rugi TR TC = pendapatan (keuntungan) (Rp) = total revenue (penerimaan total) (Rp) = total cost (biaya pengeluaran total) (Rp) yang terdiri dari FC dan VC = biaya tetap (Rp) dan = biaya tidak tetap (Rp)

44 23 Biaya tetap merupakan biaya yang dikeluarkan dalam usahatani yang nilainya tidak dipengaruhi oleh besarnya penerimaan, misalnya sewa lahan dan penyusutan investasi. Sedangkan biaya tidak tetap merupakan biaya yang dikeluarkan dalam usahatani yang nilainya tergantung pada penerimaan, misalnya: sarana produksi dan tenaga kerja (Soekartawi 1995) Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C) Analisis revenue-cost ratio dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh setiap nilai rupiah (biaya) yang digunakan dalam kegiatan usaha dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya (Soekartawi 1995). Rumus yang digunakan adalah: maka: RIC > 1, usaha minawana menguntungkan RIC = 1, usaha minawana pada titik impas RIC < 1, usaha minawana rugi Secara teoritis R / C TR TC jika nilai R/C = 1 maka usaha tersebut dikatakan tidak untung dan tidak rugi. Tetapi karena dalam usahatani sering terjadi kesulitan dalam menghitung tenaga kerja yang dilakukan oleh keluarga sendiri, maka dalam menentukan tingkat kelayakan peneliti dapat menggunakan nilai R/C minimal 1.5 atau 2, untuk menyatakan bahwa usahatani tersebut layak dilakukan Break Event Point (BEP) BEP merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan produksi (penerimaan) sama dengan biaya produksi, sehingga pada saat itu pengusaha mengalami titik impas. Dalam usahatani tambak ini nilai BEP menunjukan pendapatan minimum pertahun yang harus diperoleh oleh petani sehingga petani dapat mengembalikan modal produksinya. Secara matematis nilai BEP dapat dihitung dengan rumus (Soekartawi 1995): Keterangan: FC VC GI BEP 1 FC VC GI = fixed cost (biaya tetap) = variable cost (biaya tidak tetap) = gross income (pendapatan kotor sebelum dipotong pajak)

45 Analisis Kriteria Investasi Prospek pengembangan usaha tambak dapat diketahui dengan melakukan analisis kriteria investasi (Gittinger 2008). Analisis yang dilakukan meliputi Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate of Return (lrr). 1) Net Present Value (NPV) Net present value merupakan selisih antara total present value dari benefit dan present value dari biaya pada tingkat suku bunga tertentu (Gittinger 2008). Rumus yang digunakan: Dimana : NPV Bt Ct i n t NPV n Bt Ct t t 1 (1 i) = Net present value (nilai bersih = benefit kotor dari suatu proyek pada tahun ke-t = biaya kotor dari suatu proyek pada tahun ke-t = tingkat suku bunga yang berlaku = tahun = waktu 2) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net benefit cost ratio merupakan perbandingan antara NPV total dari benefit bersih terhadap total dari biaya bersih. Rumus yang digunakan (Gittinger 2008) adalah: NPV n t 1 n t 1 Bt ( 1 Ct ( 1 Ct t i ) Bt t 1 ) Kriteria : Net B/C ratio > 1, pengusahaan minawana layak diusahakan Net B/C ratio < 1, pengusahaan minawana tidak layak untuk diusahakan 3) Internal rate of return (IRR) IRR adalah tingkat suku bunga yang menunjukkan jumlah nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh ongkos investasi proyek atau NPV sama dengan nol (Gittinger 2008). Rumus yang digunakan adalah : IRR i' NPV ' NPV ' NPV ( i" i' ) "

46 25 Keterangan : i = Tingkat bunga yang rendah yang menyebabkan NPV masih positif mendekati nol i = Tingkat bunga yang tinggi yang menyebabkan NPV negative mendekati nol NPV = NPV positif mendekati nol NPV = NPV negatif mendekati nol Kriteria : IRR > i : maka pengusahaan minawana layak diusahakan IRR < i : maka pengusahaan minawana tidak layak diusahakan IRR = i : maka pengusahaan minawana mengembalikan modal persis sebesar tingkat modal Analisis Kelembagaan Pengelolaan Minawana Kelembagaan dapat berupa organisasi atau wadah (players of the game) dan aturan main (rules of the game) yang mengatur kelangsungan organisasi maupun kerjasama antara anggotanya untuk mencapai tujuan bersama (Taryono 2009). Oleh karena itu pengembangan kelembagaan pengelolaan minawana di RPH tegal-tangkil mencakup perbaikan organisasi pengelolaan dan aturan main pengelolaan. Perbaikan organisasi pengelolaan dengan melihat kondisi organisasi pengelolaan eksisting dan melihat kesenjangan dengan kondisi yang seharusnya. Kemudian merumuskan organasisasi untuk mengoptimalkan koordinasi dan komando antar pihak yang terlibat. Untuk aturan main pengelolaan kawasan pesisir mengacu pada konsep pengelolaan yang dikembangkan oleh Ruddle (1998). Seperti halnya organisasi pengelolaan dengan melihat kondisi eksisting terhadap aturan main yang ada saat ini yang disbanding dengan kondisi yang seharusnya dilakukan. Selanjutnya merumuskan/memodifikasi aturan main peneglolaan sesuai dengan kebutuhan saat ini dan dimasa yang akan datang. Pola pengelolaan dari Ruddle (1998) mengacu pada struktur kelembagaan yang terdiri dari: 1) Kewenangan (authority) hal ini akan terkait dengan wilayah kekuasan dan bagaimana sistem pinjam dari Perum Perhutani kepada penggarap tambak. 2) Tata aturan (rules) hal ini akan berkaitan dengan norma/peraturan yang mengikat antara Perum Perhutani dan penggarap tambak, terkait apa dan bagaimana perjanjian terhadap pemanfaatan sumberdaya (minawana). 3) Hak (right) hal ini berkaitan dengan hak-hak dari kedua belah pihak yang berhubugan dengan perjanjian pemanfaatan sumberdaya

47 26 4) Pemantauan dan kontrol (monitoring) hal ini berkaitan dengan bagaimana pemantauan dari pihak Perhutani terhadap pelaksanaan terhadap semua aturan, norma, perjanjian maupun sanksi yang disepakati. Selain itu keterlibatan masyarakat (lembaga lokal) terhadap moniring juga perlu di analisis apakah perlu dilibatkan ataupun tidak. 5) Sanksi (sanctions) hal ini berkaitan dengan sanksi yang ditetapkan dan bagaimana pelaksanaannya.

48 27 4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Lokasi penelitian, khususnya ekosistem mangrove masuk dalam wilayah pengelolaan Resort Polisi Hutan (RPH) Tegal-Tangkil, BKPH Ciasem- Pamanukan. Secara administrasi terletak di Kecamatan Blanakan. Luas wilayah Kecamatan Blanakan adalah 7, ha (Profil Kecamatan Blanakan 2011). Luas ekosistem mangrove di RPH Tegal-Tangkil secara keseluruhan adalah 2, ha sedangkan luas wilayah di 3 desa kajian adalah 1, ha (KPH Purwakarta 2010). Lokasi penelitian ini difokuskan pada 3 desa yaitu Desa Jayamukti, Blanakan, dan Langensari. Luas wilayah per kelurahan/desa disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Luas wilayah studi di RPH Tegal-Tangkil Desa Luas wilayah (ha) Desa* Perhutani** Petak** Jayamukti 1, ;3;4;5 Blanakan ;7 Langensari Jumlah 3, , Sumber: *Anonimous (2011) **KPH Purwakarta (2010) Pada umumnya topografi di lokasi penelitian adalah berupa dataran, pantai dengan ketinggian 0 10 m dpl. Adapun batas wilayah penelitian ini adalah: Utara : Laut Jawa Selatan: Kec. Ciasem Timur : Desa Muara Ciasem Barat : Desa Rawameneng Berdasarkan peta tinjau tanah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten (skala 1:200,000) di dalam laporan Kelas Perusahaan Mangrove (KPH Purwakarta 2010), jenis batuan dan tanah yang terdapat di lokasi penelitian adalah jenis tanah alluvial hidromorf, alluvial dengan warna tanah kelabu, kelabu tua dan coklat. Batuan tersebut berasal dari bahan endapan liat dan pasir dengan fisiografi daratan.

49 Ekosistem Mangrove Vegetasi Mangrove Berdasarkan dokumen Kelas Perusahaan Mangrove (KPH Purwakarta 2010), luas kawasan ekosistem mangrove yang masuk dalam wilayah RPH Tegal- Tangkil adalah 1, ha. Kawasan yang bervegetasi adalah ha (55.71 %), sedangkan yang tidak bervegetasi adalah seluas ha (44.29 %). Vegetasi di lokasi penelitian empang-parit merupakan hutan tanaman dengan jenis bakau-bakau (R. mucronata) dan api-api (A. officinalis). Jenis-jenis tersebut ditanam dengan jarak 2 m x 2 m dan 5 m x 5 m, sehingga kerapatannya adalah 400 2,500 pohon/ha. Dalam perkembangannya telah terjadi penebangan atau mati, sehingga kerapatannya sudah menurun. Bahkan ada kawasan yang sudah tidak ada mangrove sama sekali (Gambar 6). Gambar 6 (a) (b) Kondisi umum mangrove di minawana lokasi penelitian; (a) mangrove dibiarkan, (b) mangrove di tebang untuk memperluas areal tambak (sumber: Dokumentasi pribadi 2012) Dari 56 petak contoh yang diamati, pohon mangrove yang ditemukan umumnya adalah jenis A. officinalis. Keliling rata-rata pohon A. officinalis berkisar antara cm dan R. mucronata berkisar antara cm. Masingmasing tinggi kedua jenis pohon berkisar antara 2-6 m. Di samping itu juga terdapat tanaman baru hasil rehabilitasi di tambak-tambak yang sudah tidak bermangrove. Untuk vegetasi mangrove di pinggir pantai pada umumnya didominasi oleh jenis anakan dari mangrove jenis A. officinalis dengan keliling berkisar antara 4 12 cm dengan tinggi 1-2 m dan kerapatan mencapai 5 ind/m 2 (Gambar 7).

50 29 (a) Gambar 7 Kondisi umum mangrove di dekat laut (sempadan pantai); (a) mangrove dibiarkan (ketebalan m), (b) sempadan pantai jadi tambak (sumber: Dokumentasi pribadi 2012) Pembagian Blok Berdasarkan pembagian Blok KP Mangrove di RPH Tegal-Tangkil yang masuk di dalam BKPH Pamanukan terbagi dalam 3 blok, yaitu 1) Blok Perlindungan sebesar % (2, ha), 2) Blok Pemanfaatan73.48 % (11, ha), dan 3) Blok Lainnya sebesar 9.20 % ( ha). Blok perlindungan merupakan zona yang difokuskan utuk kegiatan perlindungan dan konservasi. Blok perlindungan yang ideal memiliki lebar 200 m dari bibir pantai dan 50 m dari tepi sungai. Akan tetapi saat ini mengalami penurunan akibat konversi menjadi lahan tambak. Pada Blok Pemanfaatan merupakan kawasan pemanfaatan empang parit (minawana) dengan pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dan pemanfaatan jasa lingkungan berupa wisata. Pada Blok ini masyarakat diberikan kesempatan untuk menggarap empang. Untuk zona pemanfaatan jasa lingkungan terdapat Wanawisata dan Penangkaran Buaya Blanakan. Luas areal penangkaran tersebut adalah 6 ha. Pada Blok lainnya diperuntukan tempat saluran pipa oleh PT Pertamina. (b) Tambak Milik Tambak milik saat ini pada umumnya adalah tambak murni. Luas tambak milik di 3 desa kajian mencapai ha. Batas antara tambak milik dengan tambak Perum (minawana) adalah Kali Malang I. Kali tersebut membentang dari timur (S. Ciasem) sampai barat (S. Cilamaya). Sementara itu, antara tambak milik

51 30 dengan pemukiman terdapat hamparan sawah milik masyarakat desa. Saat ini pasaran harga tambak milik mencapai Rp 100 juta/ha, lebih tinggi dari pasaran tambak perum (minawana) yang berkisar antara Rp juta/ha. Akan tetapi harga tambak ini masih lebih rendah dibanding harga sawah (padi) yang mencapai Rp 250 juta/ha tergantung lokasi. Tambak milik tersebut pada umumnya dikenakan pajak desa yang berkisar antara Rp 200, Rp 300, Gambar 8 Salah satu contoh kondisi tambak milik di lokasi penelitian (Sumber: Dokumentasi pribadi 2012) Tambak Tumpangsari/Minawana Tambak tumpang sari dilaksanakan dengan pola empang parit, yaitu tambak yang dibuat berupa parit yang mengelilingi hutan bakau dalam satu petak. Pada awalnya luas parit maksimum 20% dari luas anak petak. Akan tetapi semakin lama luas parit semakin meningkat karena pembukaan lahan mangrove untuk tambak. Luas anak petak berkisar antara ha sehingga masing-masing penggarap tambak memiliki luas garapan yang berbeda. Pada awalnya luas garapan yang boleh digarap oleh petani tambak adalah maksimum 2 Ha, dengan tujuan pemerataan empang garapan. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu banyak penggarap tambak memiliki garapan lebih dari 2 ha. Bahkan ada yang mencapai ha terutama yang memiliki modal. Kondisi minawana pada saat ini dapat dilihat pada Gambar 9 dan Lampiran 5 Pada setiap petak tambak (minawana) terdapat 1 saluran yang menuju laut yang dinamakan kalen. Setiap kalen memiliki nama sesuai dengan pemilik tambak didaerah tambak milik. Panjang kalen di Desa Jayamukti mencapai 3.5 km sedangkan kalen di Desa Blanakan-Langensari mencapai 2.5 km. Lebar kalen di Desa Jayamukti dan Blanakan berkisar antara m dengan tinggi 1,5 m,

52 31 sedangkan lebar kalen di Desa Langensari mencapai m dengan kedalaman 1.5 m. Secara umum kondisi saluran/kalen di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5 (a) (b) Gambar 9 (c) Kondisi minawana saat ini (a) sistem minawana di Penangkaran buaya (konsep lama) (b) penutupan sekitar 75%; (c) Penutupan mangrove 50%; (d) penutupan mangrove hanya 30% (Sumber: Dokumentasi pribadi 2012) (d) Desa Tabel 5 Kondisi saluran/kalen di lokasi penelitian Kalen/Saluran Jumlah Panjang Lebar Atas Lebar Dasar Tinggi Luas Tambak Jayamukti , Blanakan , Langensari , Sumber: Hasil pengamatan (2012) dan KUD Karya Bukti Sejati (2012) Selain itu terdapat saluran besar yang melintang dari arah timur sampai barat yang dinamakan Kali Malang. Kawasan minawana di Desa Jayamukti terdapat 3 Kali Malang yang melintang dari Sungai Blanakan (timur) sampai Sungai Gangga (barat) sepanjang 5 km. Adapun di Desa Blanakan dan Langensari hanya terdapat 1 Kali Malang yang melintang dari desa Muara (S. Ciasem) di

53 32 sebelah timur dan sampai di S. Blanakan di sebelah barat sepanjang 5 km. Kali Malang II dan III di Desa Jayamukti memiliki panjang sekitar km. Lebar Kali Malang pada umumnya adalah 6 m dengan tinggi 2 m, akan tetapi banyak mengalami pendangkalan di lokasi tertentu terutama pada kali Malang II dan III. Baik saluran/kalen maupun kali seharusnya minimal setiap 5 tahun dilakukan pengerukan karena terjadi pendangkalan di lokasi tertentu. Kebijakan untuk pengerukan biasanya tergantung pada kebijakan desa terutama pengurus KUD. Gambar 10 Kondisi Kali Malang (kanan) dan kalen/saluran (kiri) (sumber: dokumentasi pribadi 2012) Setiap penggarap tambak diikat dengan suatu perjanjian kerjasama perum perhutani unit III yang berisikan hak dan kewajiban penggarap tambak. Hak penggarap tambak adalah hak pengelolaan tambak dan hasil tambaknya. Adapun kewajiban penggarap tambak adalah diharuskan membayar: 1. Ganti rugi penggunaan kawasan ekosistem mangrove, yaitu sebesar Rp 75,000.00/ha/thn untuk lahan hutan kelas I, Rp 45,000.00/ha/thn untuk lahan hutan kelas II dan Rp 30,000.00/ha/thn untuk lahan kelas III 2. Iuran desa dan LMDH sebesar Rp 25,000.00/ha/th 3. Menanam, memelihara, dan menjaga keamanan hutan 4. Ijin usaha tambak sebesar Rp 5,000.00/ha/thn 5. Administrasi sebesar Rp 7,500.00/ha/thn 6. Dana pelestarian lingkungan sebesar Rp 30,000.00/ha/thn untuk lahan kelas I dan II, serta Rp 25,000.00/ha/thn untuk lahan kelas III

54 Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Kependudukan Penduduk di Kecamatan Blanakan yang terdistribusi di 9 desa pemukiman pada tahun 2011 berjumlah 64,431 jiwa (21,463 KK) yang terdiri dari 32,227 lakilaki dan 32,214 perempuan. Adapun jumlah penduduk yang masuk ke dalam wilayah penelitian di 3 desa pengamatan terdiri dari 11,015 laki-laki dan 10,689 perempuan dengan total jumlah penduduk jiwa (33.65% dari jumlah penduduk Kecamatan Blanakan). Untuk lebih jelas jumlah penduduk di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin Desa Jumlah KK Blanakan Jayamukti Langensari Jumlah Kecamatan Blanakan Sumber: Anonimous (2011) 3,447 2,103 1,120 6,670 21,463 Jumlah Penduduk (jiwa) Laki-Laki Perempuan Total 5,879 5,584 11,463 3,484 3,417 6,901 1,652 1,688 3,340 11,015 10,689 21,704 32,227 32,214 64,431 Umur sangat berpengaruh terhadap kemampuan fisik bekerja dan cara berpikir. Umur penduduk di lokasi penelitian pada umumnya didominasi oleh kelompok umur tahun (57.24%). Kelompok umur ini merupakan kelompok umur produktif. Secara lebih lengkap distribusi kelompok umur di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Klasifikasi umur penduduk Kecamatan Blanakan Desa Blanakan Jayamukti Langensari Jumlah Kecamatan Blanakan Sumber: Anonimous (2011) Kelompok umur (tahun) >60 2, ,071 2,017 1, , , ,572 1, ,485 12,147 6,837 37,136 6, Pendidikan Penduduk Tingkat pendidikan formal penduduk Kecamatan Blanakan tergolong masih rendah, ada sekitar 2,719 jiwa kepala keluarga yang tidak tamat Sekolah

55 34 Dasar (SD) (36.00%) dan 3927 jiwa kepala keluarga yang hanya tamat SD (52.00%). Sedangkan penduduk yang pernah mengenyam pendidikan SLTA hanya 690 jiwa (9.14%) dan Perguruan tinggi hanya 216 jiwa (2.86%). Dari kondisi pendidikan seperti itu dapat berpengaruh terhadap pengetahuan yang bersifat teknis dan keahlian dalam melakukan kegiatan usaha yang produktif. Selain itu akan berpengaruh juga terhadap daya serap dari program-program yang akan dikembangkan oleh pemerintah. Tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Blanakan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Klasifikasi tingkat pendidikan formal penduduk di lokasi penelitian Desa Blanakan Jayamukti Langensari Jumlah Kecamatan Blanakan Sumber: Anonimous (2011) Tidak Tamat SD 1, ,719 7,951 Tamat SD/SLTP 2, ,927 11,583 Tamat SLTA ,091 Tamat AK/PT Sarana pendidikan di lokasi penelitian terdiri dari: TK sebanyak 16 unit, SD sederajat sebanyak 27, SLTP sederajat sebanyak 3 unit, dan 3 unit SLTA sederajat (Tabel 9). Di Kecamatan Blanakan tidak terdapat perguruan tinggi, jadi penduduk yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi umumnya harus ke daerah lain, seperti Karawang, Purwakarta, Subang, Cirebon, Bandung hingga ke Yogyakarta. Tabel 9 Fasilitas pendidikan Kecamatan Blanakan Fasilitas Pendidikan TK SD/MI SLTP/MTs SLTA/MA Blanakan Jayamukti 8 3 Langensari Jumlah Kecamatan Blanakan Sumber: Anonimous (2011) dan Pengamatan (2012) Desa Mata Pencaharian Penduduk Masyarakat yang bekerja di bidang pertanian (termasuk perikanan dan peternakan) baik pemilik lahan maupun buruh di lokasi penelitian mencapai

56 %. Kawasan minawana di RPH Tegal-Tangkil, bagi masyarakat Desa Jayamukti, Blanakan, dan Langensari adalah merupakan sumber kehidupan masyarakat sekitar. Masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada kawasan minawana berprofesi sebagai penggarap tambak/empang, buruh, penangkap kepiting, penangkap wideng, penangkap udang, penangkap belut, penangkap ular, penangkap burung, penangkap biawak dan pencari kayu dari luar Kecamatan Blanakan. Kelompok penangkap ini nantinya disebut dengan kelompok penangkap ikan dan biota lainnya. Keberadaan mangrove bagi penggarap tambak memberikan nilai tambah dengan adanya udang harian yang dapat dipanen setiap hari. Secara rinci mata pencaharian masyarakat di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Mata Pencaharian Penduduk di Lokasi Penelitian Jenis Mata Pencaharian Petani sawah dan tambak Buruh tani sawah dan tambak Buruh migran (TKI/TKW) Nelayan Peternak Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pensiunan PNS/TNI/POLRI Pedagang keliling Petugas kesehatan (perawat, dokter, bidan, mantri, dll) Seniman lokal Montir (bengkel) Karyawan perusahaan swasta Pembantu Rumah tangga Pengrajin Pengusaha kecil dan menengah Tidak bekerja Lainnya Jumlah Sumber: Anonimous (2011) Blanakan 1,535 2, Desa (Jiwa) Jayamukti Langensari , Persentase ,878 4,502 11, ,669 3,053 6, ,209 3, Masyarakat yang tidak memiliki sawah ataupun empang, sebagian bekerja sebagai buruh di empang/tambak ketika sawah tidak dalam masa tanam dan panen. Buruh tersebut terdiri dari buruh harian (keduk teplok) dan buruh panen (khusus panen musiman ikan/udang). Masyarakat yang menjadi buruh, biasanya

57 36 sudah memiliki pelanggan sendiri. Mereka yang mempekerjakan buruh biasa disebut dengan istilah bos. Masyarakat penangkap ikan dan biota lainnya, yang hidup di sekitar mangrove, menjadikan kawasan minawana sebagai bagian dari lahan mata pencaharian sehari-hari. Menangkap kepiting misalnya telah menjadi alternatife pekerjaan selain menjadi buruh. Bahkan penggarap tambak pun ada yang menjadi penangkap kepiting saat musim panen sedikit. Menangkap kepiting bakau merupakan pekerjaan yang paling banyak dilakukan karena harganya tinggi. Penangkapan kepiting dilakuan pada siang hari dan malam hari. Penangkapan kepiting pada siang hari menggunakan alat pancing dan bubu, sedangkan pada malam hari menggunakan bantuan cahaya senter dan atau aki. Selain menangkap ikan dan kepiting, ada juga yang mencari ular, wideng, dan burung. Penangkapan belut biasanya dilakukan pada pagi hari sebelum terik matahari. Berdasarkan hasil wawancara terhadap masyarakat penangkap kepiting, wideng, dan belut, diperoleh informasi bahwa semakin banyak mangrove di kawasan minawana, peluang untuk mendapatkan hasil tangkapan menjadi lebih besar. Hasil tangkapan akan lebih banyak pada kawasan minawana dengan penutupan yang tinggi. Kondisi sumberdaya ekosistem mangrove dalam sistem minawana saat ini cukup memprihatinkan. Luasan mangrove semakin rendah akibat penebangan oleh penggarap tambak atau orang luar. Penebangan mangrove pada kawasan sekitar pantai yang merupakan bagian dari sempadan (green belt), semakin merusak system ekologi mangrove. Walaupun demikian, secara ekologi dan ekonomi masih memberikan manfaat langsung yang nyata bagi masyarakat sekitar.

58 37 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Ekologi Ekosistem Minawana Fauna Perairan Pada ekosistem mangrove di lokasi penelitian ditemukan ikan, udang dan kepiting, baik yang khusus dibudidayakan maupun yang hidup secara liar. Jenis fauna yang ditemukan di lokasi penelitian ditemukan 15 jenis ikan, 3 jenis udang, dan 2 jenis kepiting. Secara detail jenis ikan dan udang ditemukan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 11. Foto jenis flora dan fauna yang ditemukan di kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil disajikan pada Lampiran 7. Tabel 11 Jenis ikan dan udang yang ditemukan di ekosistem minawana Nama lokal/umum Ikan Bandeng Belut Betok Blanak Blodok Boso Gabus Kakap/pelak Kerong-kerong Kipper Lundu/keting Mujair Nila Udang Api Nama ilmiah Chanos chanos Synbranchus bengalopsis Anabas testudineus Mugil cephalus Periophthalmus koelreuteri Ophiocara porocephala Channa striata Lates calcalifer Terapon jarbua Scatophagus argus Mystus wickii Oreochromis mosambicus Oreochromis niloticus Penaeus plebejushess Penaeus monodon Penaeus penicillatus Mangrove Minawana x x x x x Budidaya Liar x x x x x x x Liar Liar Liar x x Liar x x x x x x x x x x x Liar Liar Liar Liar Liar Budidaya x x Budidaya x x Liar x x Budidaya Liar x x Tambak murni Bago/windu x Peci/putih x x Kepiting Kepiting Bakau Scylla serrata x x Wideng Sesarma spp. X x Sumber: Hasil pengamatan (2012) x menunjukkan kehadiran (ditemukan) Keterangan Liar Liar

59 Hubungan Luas Tutupan Mangrove Terhadap Produksi Perikanan Mangrove dan Keberadaan Udang Harian Hasil analisis dengan Anara Rancangan Acak Lengkap (Anara RAL) pada hasil tangkapan harian menunjukan bahwa penutupan mangrove memberikan kontribusi yang nyata terhadap tangkapan harian udang (selang kepercayaan 99%). Setelah dilakukan uji lanjut dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) menunjukkan ada perbedaan yang nyata antara penutupan mangrove yang tinggi dengan tambak murni. Hasil perhitungan juga didapatkan adanya perbedaan nyata antara penutupan mangrove yang tinggi dengan yang lebih rendah (sedang dan rendah) pada selang kepercayaan 99%. Untuk lebih jelas hasil uji Anara RAL dan uji lanjut BNT di sajikan pada Tabel 12 dan Lampiran Tabel 12 Hasil tangkapan udang harian di lokasi penelitian. Hasil Tangkapan Harian (kg/ha/hari) Minimal Maksimal Rata-Rata Tinggi a Sedang b Rendah c Tambak murni d Total a,b, c, d Keterangan: huruf menunjukkan ada perbedaan nyata Sumber: Hasil analisis (2012) Kerapatan Mangrove Hal yang sama diperoleh oleh Saladin (1995); Pradana (2012) dan Maifitri (2012) menunjukkan bahwa hasil tangkapan udang penaeid pada tambak dengan penutupan tinggi (70-80%) di RPH Pamanukan dan Tegal-Tangkil menghasilkan udang tangkapan harian yang lebih tinggi dibanding penutupan yang lebih rendah Mangrove dan Produksi Udang Windu Hasil produksi udang pada tambak bervariasi pada setiap tingkat salinitas, begitu juga terdapat variasi hasil produksi pada setiap tutupan mangrove yang berbeda. Perbedaan hasil produksi udang windu pada setiap tambak dipengaruhi oleh banyak hal, diduga perbedaan hasil produksi udang windu salah satunya dipengaruhi oleh letak tambak terhadap laut (perbedaan nilai salinitas) dan luas tutupan mangrove. Pradana (2012) dan Maifitri (2012) menyebutkan luasan mangrove berpengaruh terhadap hasil produksi budidaya. Selanjutnya dijelaskan bahwa pengaruh tutupan mangrove terhadap hasil produksi tidak secara langsung.

60 39 Akan tetapi melalui siklus bahan organik, yang akan meningkatkan populasi plankton sebagai makanan ikan. Berdasarkan hasil penelitian Halidah et al. (2007) menyebutkan bahwa populasi plankton paling tinggi ditemukan pada tambak minawana dengan proporsi 60% mangrove dan 40% tambak Mangrove dan Produksi Ikan Bandeng Hasil produksi ikan bandeng tertinggi terdapat pada tambak dengan luas tutupan mangrove sedang yaitu senilai kg/ha/musim. Luas tutupan mangrove yang paling cocok bagi kelangsungan hidup ikan bandeng adalah luas tutupan mangrove sedang yaitu sekitar % dari luas tambak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Nur (2002) Halidah et al. (2007) dan Hastuti (2010) didapatkan bahwa kondisi optimum bagi produksi ikan bandeng dengan sistem minawana adalah 60% mangrove dan 40% tambak Mangrove dan Keberadaan Kepiting dan Wideng Hasil tangkapan kepiting di lokasi penelitian per orang mencapai 2 3 kg/hari. Secara umum total hasil tangkapan kepiting di lokasi penelitian mencapai 400 kg/hari dengan rata-rata 130 kg/hari. Hasil tangkapan wideng di lokasi penelitian mencapai 800 kg/hari dengan rata-rata 400 kg/hari, lebih tinggi dibanding dengan kepiting bakau. Hasil wawancara dengan penangkap kepiting didapatkan informasi, pada saat musim penangkapan kepiting pada tambak minawana mencapai 1 kg/ha. Selain itu, para penangkap kepiting lebih memilih tambak minawana dengan penutupan mangrove yang lebih tinggi. Hal ini karena keterikatan kepiting bakau pada mangrove. Hasil penelitian Sihannenia (2008) mendapatkan bahwa kepadatan kepiting bakau lebih tinggi ditemukan pada mangrove yang lebih padat dibanding dengan mangrove yang jarang. Jumlah hasil tangkapan kepting dan wideng serta pendapatan disajikan pada Tabel 13 dan secara rinci disajikan pada Lampiran 11.

61 40 Table 13 Jumlah hasil tangkapan kepiting dan wideng serta rata-rata pendapatan/orang Uraian Jumlah penangkapan Jumlah hasil tangkap Harga Nilai Biaya operasional Biaya investasi Pendapatan Rata-rata pendapatan/orang Sumber: Hasil analisis 2012 Satuan Orang Kg/Tahun Rp/Kg Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun Penangkap Kepiting 15 13, , ,840, , ,850, ,940, ,862, Penangkap Wideng 10 49, , ,656, ,516, ,160,000,00 48,033, ,803, Mangrove dan Keberadaan Belut Hasil tangkapan belut di kawasan minawana mencapai kg/hari dengan rata-rata 70 kg/hari. Rata-rata hasil tangkapan penangkap belut perhari mencapai 3 kg. Jika dilihat dari nilai hasil tangkapan menunjukan bahwa rata-rata pendapatan penangkap belut mencapai Rp 7,493, /tahun. Secara umum hasil tangkapan dan pendapatan penangkap belut di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 14 dan Lampiran 12. Tabel 14 Jumlah hasil tangkapan belut serta rata-rata pendapatan/orang Uraian Jumlah penangkapan Jumlah hasil tangkap Harga Nilai Biaya operasional Biaya investasi Pendapatan Rata-rata pendapatan/orang Sumber: Hasil analisis 2012 Satuan Orang Kg/Tahun Rp/Kg Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun Penangkap Belut 15 15, , ,158, ,380, ,440, ,404, ,493, Berdasarkan hasil diskusi dengan penangkap belut didapatkan informasi bahwa, penangkap belut lebih menyukai tambak yang memiliki tegakan mangrove dari pada yang sedikit (jarang). Hal ini dikarenakan belut menyukai daerah dengan kandungan bahan organik tinggi dan banyak terdapat pembusukan serasah. Foto alat tangkap disajikan pada Lampiran 7, foto komoditas (fauna) yang ditangkap disajikan pada Lampiran 6, dan foto kegiatan di lapangan disajikan pada Lampiran 8.

62 Kualitas Perairan Hasil pengukuran beberapa kualitas air in situ di kawasan tambak minawana di lokasi penelitian memperlihatkan bahwa kondisi kualitas air di minawana (baik yang berpenutupan tinggi, sedang maupun rendah) dan tambak murni secara umum tidak jauh berbeda. Hal ini karena air yang masuk ke pertambakan berasal dari sumber yang sama. Secara umum pengelolaan kualitas air oleh penggarap tambak hampir sama yaitu dengan sistem sirkulasi terbuka sehingga air laut bebas keluar-masuk dari tambak. Hasil penelitian terhadap parameter logam berat (kadmium, tembaga, dan timbal) baik pada air maupun pada biota menunjukkan bahwa logam berat terdeteksi di semua lokasi pengamatan baik di air laut, sungai maupun di tambak. Secara detail hasil pengukuran kualitas air disajikan pada Lampiran13. Walaupun hasil pengukuran beberapa kualitas air in situ di kawasan tambak minawana di lokasi penelitian memperlihatkan masih baik dan layak, akan tetapi hasil pengukuran terhadap logam berat baik pada air, sedimen dan biota didapatkan bahwa di lokasi penelitian telah terkontaminasi logam berat. Oleh karena itu perlu adanya sistem tandon untuk memperbaiki kualitas air sebelum masuk ke kawasan pertambakan. Sistem tandon ini akan memperbaiki kualitas air untuk budidaya sehingga mengurangi tingkat kematian dan keamanan pangan (komoditas budidaya terhindar dari kontaminasi logam berat) Analisis Bioteknik Sistem Minawana Kondisi Eksisting Pada umumnya tahapan budidaya ikan dan udang yang dilakukan oleh masyarakat masih sederhana dengan input teknologi yang sangat rendah. Keduk teplok merupakan kegiatan persiapan sebelum benih/benur di tebar tanpa di lakukan pengeringan dan atau pemberian kapur. Setelah benih/benur ditebar, kegiatan yang dilakukan adalah pemberian katalis/perangsang. Jenis perangsang yang umum diberikan antara lain: Lodan, Linex, Ursal, dan raja bandeng. Saat ini umumnya budidaya yang dilakukan adalah polikultur antara udang windu, bandeng dan nila/mujair (3 komoditas), polikultur antara udang windu dengan bandeng (2 komoditas), dan polikultur antara bandeng dengan nila/mujair. Komoditas yang dibudidayakan tersebut menyebar diseluruh kawasan. Padahal

63 42 sebaran salinitas di lokasi penelitian tidak merata. Oleh karena itu perlu perwilayahan komoditas budidaya di kawasan minawana sesuai dengan salinitas yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan organisme (komoditas) perairan.secara umum teknis budidaya yang dilakukan oleh penggarap tambak saat ini disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Sistem budidaya dan pengelolaan tambak di lokasi penelitian Komponen A. Sistem Budidaya 1. Sirkulasi 2. Pengisian Air 3. Ketersediaan Pengolahan Air 4. Ketersediaan Kincir Air 5. Sistem tendon B. Komoditas 1. Polikultur/ Monokultur 2. Perwilayahan Komoditas C. Pengelolaan Tambak 1. Pemilihan Lokasi 2. Konstruksi Tambak 3. Persiapan Lahan dan Air 4. Pemilihan dan Penebaran benih 5. Pengelolaan Kualitas Air dan Pakan Kondisi saat ini Kondisi yang seharusnya dilakukan Terbuka Mengikuti pasang surut Tidak ada Tertutup Sesuai siklus hidup ikan/udang Adanya sistem penampungan sebelum ke tempat pembesaran (sistem tendon) Tidak ada atau 1 kincir air untuk meningkatkan kandungan oksigen Harus dibuat sistem tandon Tidak ada Tidak ada Polikultur Tidak ada Disamakan Banyak mangrove ditebang Pengangkatan lumpur Tidak dilakukan pemilihan benur/nener - Pemantauan kualitas air jarang dilakukan - Tidak diberikan pakan 6. Pengelolaan Tidak dilakukan Kesehatan 7. Panen Dan Paska Panen dilakukan pada pagi Panen hari 8. Laporan Harian Tidak ada Sumber: Hasil analisis (2012) Monokultur/polikultur (disesuaikan dengan kondisinya) Harus disesuaikan dengan salinitas tambak Disesuaikan dengan kondisinya Mangrove dipertahankan Pengeringan, pengangkatan lumpur, pemberian kapur dan pemupukan Dilakukan pemilihan benur/nener - Pemantauan kualitas air dilakukan tiap hari bahkan malam - Pemberian pakan dilakukan sesuai siklus hidup Dilakukan pengecekan kondisi ikan/udang, terutama malam hari Panen dilakukan pada pagi hari dan sesegera mungkin dikirim ke penampungan Harus dibuat laporan kegiatan harian Hasil panen udang windu (udang bago) di lokasi penelitian, menunjukkan bahwa hasil panen pada tambak murni lebih tinggi (83.50 kg/ha/musim panen) dibanding pada tambak minawana (hanya mencapai kg/ha/musim panen). Hasil panen ikan bandeng pada sistem minawana menunjukkan produksi yang lebih tinggi dibanding tambak murni. Hasil produksi tambak murni hanya sekitar kg/ha/musim panen, sedangkan pada sistem minawana mencapai kg/ha/musim panen (penutupan sedang). Secara umum hasil panen di lokasi

64 43 penelitian disajikan pada Tabel 16, 17, dan 18. Kondisi umum responden disajikan pada Lampiran Tabel 16 Rata-rata hasil panen udang windu di lokasi penelitian Kompoenen Satuan Produksi Kg/ha Size panen ekor/kg Jumlah ekor/ ekor panen Survival rate % Harga udang Rp/Kg Nilai jual Rp/panen Sumber: Hasil analisis (2012) Tinggi Minawana dengan penutupan Sedang Rendah Tambak murni , , , , , ,212, , ,618, , ,502, , ,427, Tabel 17 Rata-rata hasil ikan bandeng di lokasi penelitian Kompoenen Satuan Produksi Kg/ha Size panen ekor/kg Jumlah ekor/ ekor/ha panen Survival rate % Harga bandeng Rp/Kg Nilai jual Rp/panen Sumber: Hasil analisis (2012) Minawana dengan penutupan Tinggi Sedang Rendah , ,191, , ,642, , ,857, Tambak murni , ,675, Tabel 18 Rata-rata hasil panen ikan mujair/nila di lokasi penelitian Kompoenen Satuan Produksi Kg/ha Size panen ekor/kg Jumlah ekor/ha ekor/panen Survival rate % Harga Rp/Kg Nilai jual Rp/panen Sumber: Hasil analisis (2012) Tinggi Minawana dengan penutupan Sedang Rendah Tambak murni , , , , , ,200, , ,733, , , , ,343, Hasil panen ikan nila/mujair pada tambak sistem minawana rata-rata mencapai kg/ha/musim panen (penutupan tinggi). Hasil panen ikan nila/mujair pada tambak murni sekitar kg/ha/musim panen. Jika dibandingkan dengan hasil pengamatan dari Primavera (2000) pada system minawana di pesisir utara Jawa Barat didapatkan produksi ikan mujair/tilapia mencapai 750 kg/ha/musim panen, ikan bandeng kg/ha/musim panen dan udang windu mencapai 125 1,000 kg/ha/musim panen.

65 Pemulihan Kawasan Minawana Untuk meningkatkan dan mengoptimalkan hasil perikanan di kawasan minawana, maka perlu dilakukan perbaikan sistem minawana. Perbaikan tersebut mencakup pola minawana, perbaikan jalur hijau, pembuatan tendon, perbaikan akses jalan, perbaikan saluran, perwilayahan komoditas,dan pengembangan pengelolaan budidaya perikanan Perbaikan Pola Minawana Pola minawana yang awalnya digunakan adalah pola empang parit. Untuk itu, perlu dilakukan pola dan konstruksi minawana untuk mengembalikan fungsi mangrove. Dengan demikian, produksi perikanan dapat meningkat terutama hasil tangkapan udang harian. Adapun yang menjadi permasalahan adalah perbandingan luasan antara mangrove dan tambak yang tepat, apakah 80 : 20; 70 : 30 atau 50 : 50. Hasil penelitian didapatkan bahwa tutupan mangrove optimal bagi pertumbuhan udang windu dan ikan bandeng adalah luas tutupan mangrove sedang yaitu sekitar % dari luas tambak. Selanjutnya semakin tinggi tutupan mangrove hasil produksi akan menurun. Sementara itu, hasil tangkapan udang harian akan semakin tinggi seiring dengan semakin tingginya penutupan mangrove. Dengan demikian, proporsi tambak dan mangrove ditetapkan adalah 60% mangrove dan 40% tambak/empang. Proporsi ini juga sesuai dengan hasil penelitian Nur (2002) yang mendapatkan bahwa perbandingan empang parit 60% mangrove dan 40% tambak/empang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, dengan perbandingan 60:40 ekosistem mangrove tetap terjaga. Hasil penelitian Halidah et al. (2007) dan Hastuti (2010) juga memperoleh perbandingan mangrove 60% dan 40% tambak didapatkan pertumbuhan yang optimal bagi ikan bandeng. Jadi, perbaikan minawana di RPH Tegal-Tangkil pola empang parit dengan perbandingan 60:40 dapat dijadikan dasar untuk pengembangan kawasan minawana. Dengan demikian, penggarap tambak diwajibkan menanam kembali mangrove di tambak yang sudah gundul atau dapat menebang (mengurangi mangrove) hingga mencapai 60% mangrove dan 40% tambak. Adapun mangrove yang ditanam sebaiknya adalah jenis Avicennia sp. karena lebih sesuai untuk

66 45 dijadikan tambak disekelilingnya. Jarak tanam 3 m x 2 m, dengan harapan 4-5 tahun, tajuk tanaman sudah saling menutup. Setelah tanaman membesar, dapat dijarangkan menjadi 3 x 3 meter, 2 x 4 meter atau 4 x 3 meter. Jumlah pohon total mangrove pada luas m2 (60%) adalah pohon. Nantinya jika pohon tersebut sudah besar dapat dipangkas dan bukan ditebang. Tampilan perbaikan pola minawana disajikan pada Gambar 11. Gambar 11 Tampilan petak minawana pola 60% mangrove dan 40% tambak (Sumber: Modifikasi pribadi 2012) Perbaikan Jalur Hijau Perbaikan jalur hijau (sempadan pantai dan sungai) perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan pantai dan sungai. Selain itu, adanya sempadan pantai dan sungai sebagai habitat berbagai organisme. Hingga saat ini sempadan pantai dan sempadan sungai tidak ada di lokasi penelitian. Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 1990 tentang sempadan pantai sebaiknya lebar 130 m dari bibir pantai dan 50 m untuk sungai. Oleh karena itu perlu diatur untuk kawasan sempadan pantai dan sempadan sungai. Untuk itu rencana pengembangan kawasan minawana terkait perbaikan jalur hijau di RPH TegalTangkil yang harus dilakukan adalah : 1. Pembuatan sempadan pantai minimal selebar 130 m dari bibir pantai, sepanjang 8 km. Luas untuk sempadan pantai 130 m x 8,000 m = 1,040, m2 atau 104 ha

67 46 2. Pembuatan sempadan sungai minimal selebar 50 m dari bibir Sungai Blanakan dan Sungai Gangga, sepanjang 3.5 km. Luas sempadan sungai adalah 50 m x 3,500 m x 4 = 700, m2 atau 70 ha. Adapun penanaman mangrove pada jalur hijau sebaiknya dengan sistem banjar harian (Gambar 12). Jenis mangrove yang ditanam adalah jenis Rhizophora. Jarak tanamnya adalah 1 x 1 meter dengan jumlah bibit 5.500/ha. Jadi jumlah bibit yang dibutuhkan adalah 572,000 bibit untuk sempadan pantai dan 385,000 untuk sempadan sungai. Adapun nantinya, penanaman dan pemeliharaan mangrove pada jalur hijau ini diserahkan pada anggota LMDH kelompok ikan dan biota lainnya. Pola Tampilan perbaikan jalur hijau di kawasan minawana di RPH Tegal-Tangkil dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 12 Pola tanam banjar secara merata (sumber: Permenhut no. 3 Tahun 2004) greenbelt 100 m Muara sungai 50 m Saluran sejajar sungai 50 m Saluran sejajar pantai Gambar 13 Tampilan perbaikan jalur hijau di kawasan minawana di RPH TegalTangkil (Sumber: Modifikasi pribadi 2012)

68 Pembuatan Bak Penampung Air (Tandon) Sistem budidaya yang dilaksanakan penggarap tambak minawana di RPH Tegal-Tangkil saat ini adalah tradisional. Sumber air langsung masuk ke pelataran tambak tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kualitas air yang masuk ke pelataran harus dibuat sistem tandon (kolam penampungan). Air yang masuk seluruhnya ditampung sementara di kolam penampungan untuk paling tidak satu minggu, sebelum dialirkan ke kolam pembesaran. Bila kolam penampungan ini hanya tersedia satu saja, sebaiknya dibagi menjadi dua bagian yang bisa dipakai bergantian. Pada kolam penampungan inilah salinitas air dapat dikontrol dan disesuaikan. Kolam penampungan juga membantu mengurangi, kalaupun tidak menghilangkan sama sekali, adanya inang dan pembawa penyakit dari jenis udang-udangan. Air yang dimasukkan dari kolam penampungan ke kolam pembesaran melewati bak saringan untuk mencegah spesies lain masuk. Luas kolam penampungan ini paling sedikit 25% dari kolam pembesaran.. Tandon air terdapat pada setiap 2 ha tambak dengan ukuran 25 x 100 m (2500 m2). Dengan demikian luas mangrove pada masing-masing 1 ha tambak mnjadi 75x70 m (5250 m2) dan pelataran tambaknya menjadi 3500 m2. Pembuatan dan perawatan tandon menjadi tanggung jawab penggarap tambak. Gambar 14 Ilustrasi sistem tandon dalam mengairi tambak (Sumber: Modifikasi pribadi 2012)

69 Perbaikan Akses Jalan Pengadaan dan perbaikan akses jalan diperlukan sehingga memudahkan dalam kegiatan pemanfaatan kawasan minawana. Jalan dibuat 10% dari luas lahan sehingga untuk jalan ini disediakan lahan seluas ha. Perbaikan jalan ini mencakup jalan primer dan sekunder. Jalan primer yang dibuat setidaknya dapat dilalui oleh kenderaan roda 4. Jalan primer tersebut dibuat dengan lebar minimal 3 m, sedangkan jalan sekunder dengan lebar 2 m. Jalan primer yang dibutuhkan minimal 4 jalur. Jalan primer ini yakni 2 jalur sejajar garis pantai dan 2 jalur sejajar sungai yang ditempatkan ditengah pelataran tambak Perbaikan Saluran Pembuatan/perbaikan kanal air yang baik sehingga air yang masuk ke tambak dapat dipantau dengan baik. Menurut Setiawan dan Sidabutar (2007) untuk perbedaan pasang surut yang kurang dari 1,5 m maka lebar salurannya adalah 5-7 m per 20 ha. Jadi jumlah saluran yang dibutuhkan adalah 131 saluran yang dibagi kedalam 3 saluran sejajar pantai dan 44 saluran sejajar sungai. Luas saluran keseluruhan adalah ha. Jadi luas keseluruhan yang dikembangkan menjadi tambak minawana RPH Tegal-Tangkil setelah dikurangi untuk sempadan pantai, sempadan sungai, saluran, jalan dan tandon adalah 1, ha. Adapun penanggung jawab perbaikan saluran dan akses jalan adalah LMDH. Dana untuk perbaikan/pembuatan saluran dan jalan serta prasarana lainnya adalah dari iuran anggota dan atau bantuan dari Perum Perhutani. Selain itu, dana tersebut dapat berasal dari pihak lain yang ingin berkontribusi, baik dalam bentuk dana hibah ataupun dana sosial dari perusahaan Pengembangan Sistem Budidaya Sistem budidaya yang dilaksanakan penggarap tambak minawana di RPH Tegal-Tangkil saat ini adalah sistem polikultur. Ikan yang dibudidayakan cenderung sama baik pada salinitas tinggi maupun rendah. Berdasarkan hasil penelitian tahun 2011 didapatkan bahwa terdapat perbedaan salinitas di kawasan pertambakan Jayamukti. Adanya perbedaan salinitas tersebut, maka apabila ingin

70 49 meningkatkan produksi tambak perlu penyesuain terhadap biota yang dipelihara (Rahmadya 2012). Untuk pengembangan sistem minawana di RPH Tegal-Tangkil di buat perwilayahan komoditas yakni ikan nila/mujair dan ikan bandeng pada wilayah hulu dan tengah. Pada wilayah dekat laut komoditas yang dibudidayakan adalah ikan bandeng dan udang windu (bago). Hasil estimasi pengembangan budidaya didapatkan bahwa luas wilayah untuk budidaya ikan bandeng dan nila/mujair mencapai 1, ha dan untuk komoditas bandeng dan udang hanya ha. Selain itu, didalam tambak juga dapat dibudidayakan jenis kerang (seperti Anadara sp.) sesuai dengan perwilayahan komoditas yang ditetapkan. Kerang ini nantinya dapat meningkatkan relung ekologi dan harapannya menjadi tambahan bagi petambak karena bernilai ekonomi Pengembangan Pengelolaan Budidaya Perikanan Pengelolaan budidaya di kawasan minawana masih tergolong tradisional. Untuk persiapan saja banyak masyarakat yang tidak melakukan tahapan kegiatan budidaya untuk mendapatkan hasil yang optimal. Oleh karena itu, selain perbaikan konstruksi tambak, perlu juga perbaikan pengelolaan tambak mulai dari tahap persiapan sampai tahap pemasaran. Hal yang perlu diperhatikan juga adanya pencatatan data setiap kegiatan untuk dapat dievaluasi secara tepat. Pengelolaan budidaya tambak seharusnya mengikuti standar baku "Tata cara budidaya perikanan yang baik (Good Aquaculture Practices/GAP). GAP dicirikan dengan: menggunakan teknologi yang dianjurkan, ramah lingkungan, dan produk yang dihasilkan berkualitas baik. Dengan demikian, pedoman ini diharapkan menjadi arahan tertatanya proses penerapan pengembangan budidaya tambak udang yang terencana, maju, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Tahapan budidaya ini juga nantinya diharapkan untuk mendapatkan produksi optimal sistem minawana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil. Oleh karena itu, pengelolaan tahapan budidaya yang seharusnya dijalankan di kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil ini mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Budidaya Udang di Tambak. Selain itu, Wetland International Indonesia Programme juga mengeluarkan buku Pedoman Praktis

71 50 Pengelolaan Tambak Ramah Lingkungan. Secara rinci uraian tahapan pengelolaan budidaya ditambak ini disajikan pada Lampiran 15. Penerapan meningkatkan budidaya pendapatan secara polikultur masyarakat secara sehingga tepat mampu diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Hal ini sesuai pendapat Fitzgerald dan William (2002) in Shilman (2012), bahwa penerapan sistem tambak minawana harus berdasarkan pada alasan yang tepat. Prinsip dasarnya adalah keberlanjutan pembangunan dan pertimbangan manajemen harus menjadi utama dalam pembangunan. Selain budidaya ikan dan udang di kawasan minawana, budidaya kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan hal yang dapat dikembangkan kedepan karena tersedianya lahan mangrove yang berada pada pelataran tambak. Penerapan minawana dengan baik diharapkan juga berkorelasi positif terhadap peningkatan hasil usaha tangkap saat ini. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa nelayan dan pengepul/pengumpul hasil perikanan bahwa telah terjadi penurunan hasil tangkap sejak terjadi kerusakan terhadap ekosistem mangrove. Selain itu dengan semakin baiknya mangrove di kawasan RPH Tegaltangkil dapat juga meningkatkan hasil tangkap kerang dan udang di laut. Estimasi pengembangan minawana di RPH Tegal-Tangkil disajikan pada Tabel 19 dan Tabel 20. Tabel 19 Estimasi Hasil produksi dan nilai produksi tambak minawana di RPH Tegal-Tangkil (polikultur ikan bandeng dan Nila/Mujair) Kondisi Satuan Estimasi pengembangan minawana C. chanos Oreochromus sp. Komoditas Luas Kawasan Tambak ha Jumlah Petak Unit Jumlah Petambak Orang 481 Luas Tambak yang Operasional ha Persentase Tambak Operasional % Total Produksi Kg/thn 1,538, ,311, Rata-rata Produksi pertahun Kg/thn/ha 1, Rata-rata Produksi persiklus Kg/ha Harga Jual Rata-rata Rp/kg 15, Nilai Produksi Rp/tahun 23,073,440, ,117, Penerimaan dari retribusi 1,5% Rp/tahun 346,101, ,766, Total Produksi (Rp/tahun) 35, , Total penerimaan retribusi (Rp/tahun) 533,573, Keterangan: 30% dari luas total kawasan RPH Tegal tangkil pada daerah dekat laut dangan sebaran salinitas sehingga cocok dibudidayakan udang dan bandeng Sumber: Hasil perhitungan 2012

72 51 Tabel 20 Estimasi Hasil produksi dan nilai produksi tambak minawana di RPH Tegal-Tangkil (polikultur ikan bandeng dan udang) Kondisi Satuan Estimasi pengembangan minawana Komoditas P. monodon C. chanos Luas Kawasan Tambak ha Jumlah Petak Unit Jumlah Petambak Orang Luas Tambak yang Operasional ha Persentase Tambak Operasional % Total Produksi Kg/tahun 127, , Rata-rata Produksi pertahun Kg/tahun/ha , Rata-rata Produksi persiklus Kg/ha Harga Jual Rata-rata Rp/kg 65, , Rp/tahun 8,311,245, ,536,720, Nilai Produksi Penerimaan Dari Retribusi 1,5% Rp/tahun 124,668, ,050, Total Produksi (Rp/tahun) 19,847,965, Total penerimaan retribusi (Rp/tahun) 297,719, Keterangan: 30% dari luas total kawasan RPH Tegal tangkil pada daerah dekat laut dangan sebaran salinitas sehingga cocok dibudidayakan udang dan bandeng Sumber: Hasil perhitungan Analisis Ekonomi Sistem Minawana Analisis Ekonomi Eksisting Analisis Usaha Hasil analisis usaha pada kegiatan tambak di kawasan minawana menunjukkan bahwa usaha tambak di kawasan tersebut layak diusahakan. Akan tetapi dilihat dari hasil R/C didapatkan bahwa kegiatan budidaya pada sistem minawana dengan penutupan sedang-tinggi merupakan usaha yang paling layak arena R/C lebih dari 1,50. Pada sistem minawana dengan modal yang rendah didapatkan keuntungan yang lebih besar dibanding dengan sistem tambak murni. Pada tambak murni untuk mencapai titik impas diperlukan minimal pendapatan Rp 3,567, Rp/Ha/tahun. Hasil analisis usaha pada tambak murni dan minawana di kawasan RPH Tegal-tangkil dapat dilihat pada Tabel 21 dan secara rici pada Lampiran 16. Hasil pengujian dengan ANARA RAL terhadap perbedaan R/C antara tambak murni dan sistem minawana diperoleh bahwa ada pengaruh mangrove terhadap nilai BCR pada taraf 95%. Uji lanjut dengan uji BNT didapat bahwa ada perbedaan nyata antara tambak dengan penutupan tinggi dengan rendah dan tambak murni pada selang kepercayaan 95%. Berdasarkan uraian tentang tentang kondisi ekologi dan ekonomi kawasan minawana, menunjukkan bahwa konsep

73 52 minawana memberikan nilai ekologi dan ekonomis yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tabel 21 Analisis usaha tambak eksisting Komponen Penutupan tinggi Keuntungan bersih 53,979, (Rp/Ha/tahun) R/C Break Even Point 906, (Rp/Ha/tahun) Sumber: Hasil analisis (2012) Minawana Penutupan sedang Penutupan Rendah Tambak murni 30,561, ,544, ,446, , ,090, ,567, Analisis Kelayakan Usaha Hasil perhitungan kelayakan usaha terhadap kegiatan tambak murni didapatkan bahwa secara umum kegiatan budidaya tambak murni layak dijalankan. Hal ini dapat dilihat dari BCR dari kegiatan tambak murni berkisar antara ,41, dengan rata-rata Masa pengembalian modal sangat bervariasi mulai 0.70 tahun dengan rata-rata 5.81 tahun. Akan tetapi jika dibandingkan dengan kegiatan usaha dari sistem wanamian terutama pada penutupan tinggi dan sedang lebih baik dibanding sistem tambak murni. Hal ini dapat dilihat dari masa pengembalian modalnya yang lebih cepat berkisar antara 1.24 tahun 5.46 tahun. Analisis kelayakan usaha pada tambak murni dan minawana disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Analisis kelayakan usaha pada tambak murni dan sistem minawana Penutupan tinggi 53,979, Minawana Penutupan sedang 30,561, Cash flow Komponen Penutupan Rendah Tambak murni 22,544, ,446, ,039, ,583, ,544, Net Present Value 46,938, ,575, ,604, PV Revenue 80,383, ,541, ,418, ,795, PV Cost 33,955, ,329, ,535, ,583, PV of Net Benefit 46,427, ,211, ,882, ,212, % 91.59% 69.95% % Keuntungan bersih Discount factor Internal Rate of Return Benefit-Cost Ratio Payback Period Sumber: Hasil analisis (2012) 25,355, ,432,169.28

74 Analisis Pengembangan Ekonomi Minawana Berdasarkan uraian kondisi ekosistem mangrove dan manfaat ekonomi tambak (sistem wanammina) seperti dijelaskan di atas, maka adanya analisis kelayakan pengembangan kegiatan minawana menjadi sangat penting karena analisis ini akan mengasumsikan pelaksanaan tambak sistem konvensional yang telah dilaksanakan saat ini. Perhitungan ini diharapkan meningkatkan motivasi petambak yang telah sepakat secara persepsi, dan membuktikan bahwa penerapan sistem ini secara ekonomi tetap menguntungkan. Berdasarkan uraian di atas tentang bioteknis dimana ada perwilayahan komoditas berdasarkan sebaran salinitas, maka ada beberapa skenario yang akan dibuat terhadap pengembangan minawana di RPH Tegal-Tangkil terkait dengan jenis/komoditas yang akan dibudidayakan. Pada bagian hulu dan tengah komoditas yang dibudidayakan adalah ikan bandeng dan nila/mujair, dan pada bagian dekat dengan laut adalah udang windu dengan ikan bandeng. Masingmasing dari skenario budidaya ini akan dihitung analisis usaha dan kelayakan usahanya. Pada penelitian ini estimasi pengembangan minawana mengacu pada hasil penelitian Shilman (2012). Secara rinci pada analisis usaha dan kelayakan usaha pengembangan ekonomi minawana Lampiran 17. Berdasarkan hasil perhitungan nilai ekonomi baik langsung maupun lansung yang dihitung oleh Fahrudin (1996) didapatkan bahwa nilai eknomi kawasan mangrove di RPH Tegal-Tangkil adalah Rp 15,030,595.76/ha. Jika kawasan mangrove dijadikan tambak minawana dengan proporsi tambak 40% maka nilai manfaat mangrove yang akan hilang adalah Rp 6,012, Pada saat yang sama biaya pengelolaan hutan mangrove adalah Rp 698,250.00/ha, maka nilai manfaat mangrove yang hilang adalah Rp 5,732, atau nilai tersebut pada tahun 2012 adalah Rp 9,543, Analisis Usaha Struktur Biaya Biaya yang digunakan dan manfaat yang diperoleh dalam usaha tambak sistem minawana RPH Tegal-Tangkil dikelompokkan ke dalam beberapa bagian yaitu: modal investasi, biaya penambahan investasi, biaya perawatan, nilai sisa investasi, biaya operasional, dan penerimaan. Pada penelitian ini analisis ekonomi

75 54 dilakukan untuk 20 (duapuluh) tahun periode analisis, yaitu berdasarkan nilai ekonomi dari investasi yang dilakukan. Dalam usaha tambak udang dan ikan bandeng yang akan dilaksanakan RPH Tegal-Tangkil, nilai investasi yang cukup besar adalah pembangunan konstruksi kolam yaitu sebesar Rp 21,810, berupa kegiatan rehabilitasi kolam dan pembuatan bangunan pendukung. Umur ekonomis konstruksi tambak ini sekitar 20 (tujuh) tahun. Sedangkan investasi lainnya berupa pengadaan peralatan pendukung dengan nilai investasi sebesar Rp 6,050, dan umur ekonomis berkisar 4 sampai 5 tahun. 1) Modal investasi Modal investasi yang digunakan dalam usaha tambak sistem minawana adalah sama dengan tambak konvensional yang ada. Investasi dilakukan dengan cara revitalisasi/ pembangunan kembali tambak yang sudah ada, serta dilakukan pembelian beberapa peralatan untuk proses produksi. Penanaman bibit mangrove sebanyak 5,000 batang untuk tiap petak pada pelataran tambak merupakan bentuk investasi yang khas pada sistem minawana, komponen investasi ini sebagai bagian dari upaya rehabilitasi ekosistem mangrove. Penanaman mangrove ini dilakukan dengan jarak tanam 5 x 5 m. Luasan untuk tambak berdasarkan hasil penelitian Nur (2002) agar budidaya dan hasil tangkapan cukup untuk keberlanjutan sistem ekologi di minawana adalah 60% mangrove dan 40% tambak. Oleh karena itu luasan tambak dari 2 ha tambak adalah 8,000 m2 dan mangrove 12,000 m2. Jumlah investasi tambak sistem minawana adalah Rp 27,820, Mengenai jenis investasi tambak sistem minawana secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 17. 2) Nilai sisa (residual value) Seringkali pada akhir suatu periode proyek diperkirakan adanya nilai sisa, yaitu tidak semua modal investasi habis digunakan selama periode proyek sehingga tersisa suatu nilai yang disebut nilai sisa (residual value). Oleh karena itu nilai sisa dari suatu perincian kapital dianggap sebagai manfaat proyek selama tahun terakhir dari periode analisis (Gittinger et al. 2008). Jumlah nilai sisa yang terjadi pada tahun terakhir periode analisis dapat dilihat pada Lampiran 17.

76 55 3) Biaya perawatan Menurut Gittinger et al (2008), untuk memudahkan perhitungan biaya perawatan bangunan dan peralatan, maka dapat digunakan pedoman biaya perawatan konstruksi sebesar 1%/tahun dari nilai investasi dan biaya perawatan mesin sebesar 5 %/tahun dari nilai investasi. Yang digolongkan kedalam konstruksi adalah semua bangunan dan peralatan yang tidak menggunakan mesin. Rincian biaya perawatan konstruksi dan peralatan dapat dilihat pada Lampiran 17. 4) Biaya pengganti Pada pelaksanaan proyek ada beberapa jenis investasi yang harus diganti sebelum periode proyek selesai. Oleh karena itu diperlukan biaya penggantian investasi pada saat proyek membutuhkannya. Perlakuan terhadap biaya penggantian investasi adalah dengan memasukkan biaya-biaya tersebut dalam perincian biaya modal pada tahun bersangkutan dalam analisis proyek. Penyusutan hanya merupakan persoalan pembukuan dan bukan merupakan persoalan nilai ekonomi. Penggantian investasi terjadi seperti disajikan pada Lampiran 17. 5) Biaya operasional Terjadi perbedaan satuan harga pada aspek finansial dan aspek ekonomi untuk harga bahan bakar dan upah tenaga kerja. Secara aspek ekonomi biaya operasional tambak adalah Rp 10,563,666.67/siklus atau sebesar Rp 21,127,333/33/tahun pada polikultur udang dan badeng. Pada polikultur bandeng dan nila biaya operasional mencapai Rp 17,341, /tahun atau Rp 8,670,625.00/siklus tanam. Asumsi harga bahan bakar tanpa subsidi dan upah tenaga kerja yang riil dikeluarkan. Secara aspek ekonomi jumlah biaya operasional tambak minawana dapat dilihat pada Lampiran Penerimaan Nilai penerimaan pada tambak sistem minawana yang akan diperoleh merupakan suatu estimasi berdasarkan data rata-rata penerimaan tambak yang dilakukan secara baik berdasarkan pedoman umum budidaya. Penerimaan tersebut merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi dikalikan harga jual rata-rata yang berlaku. Harga jual rata-rata diperoleh sebesar Rp 65,000.00/kilogram

77 56 udang, Rp 15,000.00/kg bandeng, dan Rp 10,000.00/kg ikan nila/mujair. Jumlah penerimaan bersih adalah penerimaan setelah dikurangi persentase retribusi yang tepat diberlakukan di lokasi penelitian, pajak yang berlaku adalah 1,5 %. Rata-rata penerimaan setelah pajak pada polikultur bandeng dan nila/mujair adalah Rp, 34,059,073.90/tahun atau Rp 17,029,536.95/sklus. Pada polikultur udang dan bandeng rata-rata penerimaan bersih dikurangi pajak adalah Rp 40,713,333.33/tahun atau Rp 20,356,666.67/siklus. Estimasi nilai penerimaan hasil budidaya tambak pengembangan minawana secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 17. Selain penerimaan dari komoditas yang dibudidayakan tambak sistem minawana juga menghasilkan panen komoditas sampingan berupa jenis udang alami, ikan, dan kepiting. Dengan penerapan tambak sistem minawana lebih memberikan potensi untuk menghasilkan komoditas sampingan jika dibandingkan tambak sistem konvensional, karena pada sistem ini tersedia ekosistem mangrove sebagai habitat pada pelataran tambak. Pada penelitian ini jumlah penerimaan dari hasil sampingan diasumsikan minimal adalah sama dengan kondisi rata-rata penerimaan tambak saat ini. Penerimaan dari hasil sampingan merupakan perkalian antara jumlah panen dari hasil sampingan dikalikan harga jual masingmasing komoditas. Estimasi nilai penerimaan dari hasil sampingan adalah Rp 15,200,000.00/siklus atau Rp 30,400,000.00/tahun. Jenis dan estimasi nilai penerimaan hasil sampingan tambak minawana secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran Keuntungan Adanya perbaikan terhadap sistem minawana baik dari segi teknik budidaya maupun manajemen budiadaya dapat meningkatkan penerimaan penggarap tambak (petambak). Peningkatan penerimaan ini tentunya akan meningkatkan keuntungan bagi penggarap tambak. Keuntungan penggarap tambak dari perbaikan sistem minawana mencapai Rp 43,259, pada komoditas bandeng dan mujair dan Rp 57,849, pada komoditas udang dan windu.

78 57 Adanya peningkatan keuntungan ini diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan penggarap tambak (petambak). Secara rinci keuntungan petambak dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Keuntungan dari perbaikan sistem minawana Komponen Komoditas (Rp) Bandeng dan mujair Udang dan Bandeng Penerimaan Hasil budidaya 34,531, Hasil sampingan 30,400, Total penerimaan 64,931, Modal operasional 21,671,666,67 Keuntungan 43,259, Sumber: Hasil analisis ,981, ,400, ,381, ,532, ,849, Analisis Kelayakan Usaha Net Present Value Adapun nilai net benefit setelah masing-masing didiskoun pada tingkat discount rate sebesar 12% diperoleh nilai NPV sebesar Rp 279,249, pada polikultur udang dan bandeng serta sebesar Rp 114,147, pada polikultur bandeng dan nila/mujair. Dengan kara lain nilai NPV positif sehingga syarat yang menyatakan NPV harus bernilai positif, dapat diterima Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Dari hasil perhitungan pada tahun pertama bernilai negatif dan pada tahun ke dua sampai tahun terakhir periode analisis bernilai positif. Nilai-nilai tersebut didiskon dengan discount rate sebesar 12% untuk memperoleh nilai Present Value Net Benefit (PVNB) setiap tahun dari tahun 2012 sampai dengan dua puluh tahun kedepan, dimana akan diperoleh nilai PVNB yang bersifat negatif dan positif. Nilai net B/C dapat dihitung dengan lebih dahulu menjumlahkan nilai PVNB yang bernilai positif kemudian dibagi dengan jumlah PVNB yang bernilai negatif. Net B/C pada polikultur udang dan bandeng adalah Sedangkan Net B/C pada polikultur udang dan bandeng adalah Nilai-nilai Net B/C ini lebih besar dari satu sehingga dapat dinyatakan proyek diterima bila nilai net B/C 1 dapat dipenuhi. Analisis Cash flow, NPV, dan Net B/C secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 17.

79 Internal Rate Of Return (IRR) Setelah dilakukan interpolasi dengan menggunakan discount rate percobaan pertama (i ) sebesar 92% pada polikultur udang dan bandeng diperoleh NPV sebesar Rp 21,319, dan percobaan kedua (i ) sebesar 93% diperoleh NPV sebesar Rp 20,933, Pada polikultur bandeng dan mujair discount rate percobaan pertama (i ) sebesar 92% didapatkan NPV sebesar Rp 1,784, dan percobaan kedua (i ) sebesar 93% diperoleh NPV sebesar Rp 1,649, Dengan demikian nilai IRR dari dua kondisi tadi didapatkan sebesar % pada polikultur udang dan bandeng serta 105,18 pada polikultur bandeng dan mujair. Nilai IRR lebih besar dari tingkat discount rate (12%,) dengan demikian proyek dinyatakan diterima bila nilai IRR lebih besar atau sama dengan tingkat discount rate terpenuhi. Analisis IRR secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 17. Dari hasil analisis kelayakan diketahui bahwa penerapan sistem minawana akan diterima dengan baik oleh masyarakat, karena secara ekonomi sistem ini akan layak untuk dilaksanakan dengan kriteria sebagai berikut: Nilai NPV Positif; Nilai Net B/C 1 dan Nilai IRR discount rate Perbandingan Sistem Minawana Pada Kondisi Eksisting dan Setelah Dikembangkan Berdasarkan hasil perhitungan analisis usaha dan kelayakan usaha pengembangan minawana di RPH Tegal-Tangkil menunjukkan bahwa konsep minawana masih dan layak untuk dikembangkan. Selain itu, revitalisasi minawana dapat meningkatkan pendapatan penggarap tambak maupun kelompok masyarakat lainnya. Peningkatan pendapatan masyarakat dari kondisi saat ini dibanding dengan kondisi ideal (pengembangan) mencapai % pada sistem polikultur antara udang dan bandeng serta meningkat hingga % pada sistem polikultur antara bandeng dan mujair. Hal ini ini menandakan revitalisasi minawana ini akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan penggarap tambak pada khususnnya. Berdasarkan uraian tentang tentang kondisi ekologi dan ekonomi kawasan minawana, menunjukkan bahwa konsep minawana memberikan nilai ekologi dan ekonomis yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, perlu

80 59 suatu konsep pengelolaan agar kelestarian sumberdaya berjalan sesuai kondisi dan keinginan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan suatu disain kelembagaan pengelolaan sumberdaya mangrove yang selanjutnya diuraikan pada sub bab berikutnya Analisis Kelembagaan Sistem Minawana Kondisi Kelembagaan Saat Ini Tata Aturan Pengelolaan Kawasan Minawana 1) Batas Yurisdiksi Batas yurisdiksi pengelolaan kawasan minawana masuk dalam pengelolaan RPH Tegal-Tangkil, BKPH Ciasem Pamanukan, KPH Purwakarta Perum Unit III Jawa-Barat Banten. Secara administrasi masuk dalam daerah Kecamatan Blanakan dengan batas: Utara : Laut Jawa Timur : RPH Pamanukan Selatan: Kali Malang I Timur : Sungai Cilamaya, Karawang Hal lain yang perlu diperhatikan terhadap batas yurisdiksi ini adalah pada batas di utara. Berdasarkan peraturan yang ada, menyebutkan bahwa setiap lahan/tanah timbul yang berbatasan langsung dengan milik Perhutani menjadi hak perhutani. Oleh karena itu, luas wilayah RPH Tegal-Tangkil semakin bertambah tiap tahun karena adanya sedimentasi di Teluk Ciasem. Tanah timbul inilah yang menjadi sengketa oleh pihak Desa yang sebagian mengklaim tanah tersebut adalah tanah desa. Saat ini seperti dikemukakan di atas tanah timbul tersebut sudah menjadi tambak. 2) Hak dan Kewajiban Penguasaan Sejak tahun 1986, melalui program Perhutanan Sosial kawasan yang dulunya hutan menjadi kawasan minawana dimana 80% adalah mangrove dan 20% untuk budidaya dalam 1 petak ha tambak. Pada awalnya hak pengelolaan minawana adalah maksimum 2 ha/kk. Berdasarkan perjanjian awal yang tertuang dalam buku anggota pemegang hak garap disebutkan bahwa setiap penggarap tambak memiliki hak garap tambak dan hasilnya. Hak garap ini pada awalnya adalah 1 tahun dan diperpanjang setiap tahun.

81 60 Pada buku anggota pemegang hak garap juga disebutkan bahwa, setiap penggarap tambak memiliki kewajiban untuk membayar hak garapan yang dibayar setiap tahun dan akan diperpanjang jika masih berniat dan mampu untuk menggarap. Jika tidak mampu menggarap lagi maka, penggarap tambak wajib mengembalikan hak garapan ke Perhutani dan Perhutani akan memberikan kepada pihak lain. Hal yang menjadi masalah saat ini adalah telah terjadi penjualan hak garapan antar anggota tanpa sepengetahuan Perhutani (diketahui namun terkesan dibiarkan). Harga tambak minawana yang diperjualkan saat ini berkisar antara Rp 30 juta/ha Rp 70 juta/ha. Gambar 15 Buku anggota penggarap tambak di RPH Tegal tangkil (sumber: Dokumentasi pribadi 2012) 3) Aturan/Peraturan dan Sanki Berdasarkan perjanjian awal pada saat pemberian hak garap oleh Perhutani, disebutkan bahwa tidak boleh menebang/memodifikasi tambak yang sudah ada. Bahkan disebutkan bahwa penggarap tambak wajib menjaga kelestarian hutan. Pada awalnya penggarap tambak tidak berani melakukan penebangan/modifikasi karena sanksi yang jelas yakni hak garap dicabut bahkan sampai dipenjara. Akan tetapi seiring dengan perubahan waktu penerapan aturan dan sanksi yang tidak jelas menyebabkan masyarakat berani untuk melakukan penebangan/modifikasi Arena Aksi Dalam Pengelolaan Kawasan Minawana Hasil identifikasi aktor dalam pengelolaan kawasan minawana di RPH Tegal-Tangkil dikenal 5 pemangku kepentingan dengan berbagai peran (Tabel 24). Secara garis besar identifikasi aktor dikelompokkan dalam peran

82 61 pemanfaatan dan peran pengaturan. Peran pemanfaatan dilakukan oleh masyarakat anggota Kelompok Penggarap tambak dan Penangkap ikan dan biota lainnya. Sementara peran pengaturan dan kontrol dilakukan oleh Perhutani (sebagai pemilik kawasan). Berdasarkan hasil pemetaan pemangku kepentingan dalam pengelolaan minawana di RPH Tegal-Tangkil maka dapat diketahui aktor pemangku kepentingan yang berperan dalam pengelolaan minawana, yaitu : 1) Subyek; ditempati oleh masyarakat anggota penggarap tambak, buruh, penangkap ikan dan biota lainnya, KUD, dan pengepul. Kelompok ini menunjukkan kelompok yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan tetapi rendah pengaruhnya dalam perumusan kebijakan. Ketergantungan tinggi disini terkait dengan proses hasil budidaya dan hasil tangkapan serta pemasaran hasil produksi perikanan. 2) Pemain; ditempati oleh Perhutani, yang merupakan kelompok aktor yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan melalui perumusan berbagai kebijakan. Perhutani berhak mengatur pemanfaatan tradisional (budidaya). 3) Penonton; ditempati oleh aparat desa. Keberadaan mereka dinilai tidak telalu tergantung terhadap sumberdaya perikanan dan juga tidak terlalu berpengaruh terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan. Aparat desa mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam mencari sumber perekonomian desa selain kegiatan pemanfaatan minawana di Kecamatan Blanakan. 4) Aktor; ditempati oleh LMDH dan Dinas Kelautan dan Perikanan, yang merupakan aktor yang berpengaruh tetapi rendah kepentingannya dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan. Tabel 24 Identitas pemangku kepentingan dan peranannya Pemangku kepentingan Perhutani (RPH TegalTangkil) Penggarap tambak Penangkap ikan dan biota lainnya Dinas Kelautan Perikanan LMDH KUD/KPD Sumber: Hasil analisis 2012 Peranan/Pemanfaatan Penentu kebijakan (pengelola sumberdaya), pengamanan peraturan dan kontrol Lokasi budidaya / usaha Lokasi penangkapan / usaha Penyuluh budidaya/peningkatan produksi Kontrol dan pembayaran iuran Penampungan hasil produksi tambak dan wadah peningkatan produksi

83 62 Secara hukum pengelolaan kawasan minawana RPH tegal-tangkil menjadi tanggung jawab Perum Perhutani, KPH Purwakarta. Berdasarkan peraturan yang ada, Perhutani diwajibkan memberikan pemanfaatan kepada masyarakat untuk berbagi peran dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan (mangrove). Untuk itu, pada tahun 2005 Perhutani membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) pada masing-masing desa administrasi di KPH Purawakarta. LMDH merupakan pengganti dari Kelompok Tani Hutan (KTH) yang dibubarkan pada akhir tahun LMDH saat ini tidak lebih sebagai perpanjangan tangan dari Perhutani, terutama pada saat pengambilan retribusi (sewa lahan) dari penggarap tambak. anggota LMDH adalah masyarakat yang memiliki hak garapan di Perum Perhutani. Selain itu, pembentukan pengurus ditunjuk oleh pihak Perhutani. Sementara itu, penggarap tambak memiliki hak garapan. Hak garapan tersebut diperoleh dari Perum Perhutani. Selain itu, banyak juga hak garapan diperoleh dari warisan orang tua, gadai, maupun jual beli hak garapan. Hasil produksi ikan dari tambak dijual di KUD. Persyaratan menjadi anggota KUD adalah memiliki tambak (milik maupun perum/minawana) di desa yang menjadi wilayah administrasi tambak. KUD selain tempat pemasaran ikan/udang juga berperan dalam kegiatan perbaikan jembatan atau saluran/kalen di kawasan minawana. KUD juga menyediakan unit Simpan Pinjam bagi anggota. Untuk peningkatan produksi dan kesejahtraan dari anggota, KUD sering bekerjasama dengan DKP Kabupaten Subang. Kerjasama tersebut adalah penyuluhan tentang budidaya mupun pengolahan ikan. Selain itu, DKP Kabupaten Subang seringkali juga memberikan bantuan bibit kepada penggarap tambak melalui KUD. Sebenarnya di kawasan minawana, selain penggarap tambak ada kelompok masyarakat yang memanfaatkan kawasan tersebut. Kelompok ini adalah penangkap ikan dan biota lainnya. Kelompok ini memang tidak terdaftar di Perum Perhutani dan bukan juga anggota LMDH maupun KUD. Mereka memanfaatkan kawasan ini baik sebagai pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan. Kelompok ini boleh melakukan penangkapan di dalam tambak selain ikan atau udang yang dibudidayakan oleh penggarap tambak. Secara ringkas arena

84 63 aksi dalam pemanfaatan dan pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil kondisi eksisting disajikan pada Gambar 16. Gambar 16 Arena aksi dalam pengelolaan kawasan minawana RPH TegalTangkil kondisi eksisting (sumber: Hasil analisis 2012) Pola Interaksi Antar Aktor Dalam Pengelolaan Minawana di RPH Tegal-Tangkil Berdasarkan aksi dan situasi yang ada saat ini terhadap pengelolaan minawana terdapat pola interaksi yang sinergis maupun kontradiktif. Pola interakasi yang sinergis adalah antara penggarap tambak dengan KUD dan DKP Subang. Penggarap tambak sangat mengharapkan produksi yang semakin meningkat, sehingga memperluas areal budidaya, dengan harapan produksi akan meningkat. KUD dan DKP Subang memberikan bantuan berupa bantuan modal maupun bibit kepada penggarap tambak. Sementara itu, pola interaksi yang kontradiktif adalah antara penggarap tambak dengan Perhutani dan kelompok penangkap ikan dan biota lainnya. Pihak Perhutani sebagai aktor yang memiliki wawasan menginginkan mangrove yang semakin banyak (konservasi). Disisi lain penggarap tambak menginginkan luasan tambak untuk meningkatkan produksinya. Selain itu kelompok masyarakat penangkap ikan dan biota lainnya berharap mangrove tetap luas karena berpengaruh terhadap tangkapan mereka. Sebenarnya, pihak Perum Perhutani memiliki hak untuk mencabut hak garapan dari penggarap tambak jika terbukti melakukan pelanggaran. Akan tetapi, rendahnya pelaksanaan aturan dan sanksi dari pihak Perhutani sebagai pemegang

85 64 kekuasaan menyebabkan penggarap tambak berani untuk melakukan penebangan. Demikian juga dengan peranan LMDH yang seharusnya membantu Perum Perhutani untuk melindungi mangrove. Akan tetapi karena kewenangan dan fungsi LMDH yang tidak jelas sehingga tidak memiliki kekuatan untuk menegakkan peraturan Luaran/Dampak Dalam Terhadap Sumberdaya Berdasarkan pola interaksi yang terjadi antar pemangku kepentingan di RPH Tegal-Tangkil menunjukkan bahwa pola interaksi kontradiktif yang paling menonjol. Dengan demikian, hasil akhir yang terjadi adalah tingginya penebangan mangrove untuk memperluas areal budidaya. Kondisi menyebabkan semakin rusaknya ekosistem mangrove Persepsi Masyarakat Dalam Pengelolaan Minawana RPH TegalTangkil Pada pengelolaan ekosistem mangrove bagian yang sangat penting dalam keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove adalah bagaimana perilaku masyarakat dalam memanfaatkan ekosistem tersebut terutama penggarap tambak. Perilaku masyarakat ini juga sangat berkaitan dengan persepsi atau pemahaman masyarakat terhadap ekosistem mangrove. Hal ini disebabkan oleh aktivitas masyarakat setempat yang tergantung dengan potensi dan kondisi sumberdaya yang ada di ekosistem mangrove. Adanya aktivitas masyarakat di sekitar kawasan mangrove akan memberikan dampak pada ekosistem mangrove. Dengan kata lain keberlanjutan pengelolaan mangrove sangat tergantung dari peran serta masyarakat. Persentase persepsi dan pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove dan persepsi penerapan minawana di lokasi penelitian disajikan dalam angka antara 0 % sampai 100 % yang menunjukan pandangan sangat buruk (0 %) sampai dengan sangat baik (100 %). Berdasarkan hasil wawancara, 100 % responden menyatakan bahwa mereka mengetahui dan memahami arti dan maksud mangrove dan empang. Selanjutnya 96.77% responden menyatakan mengetahui dan memahami fungsi dan manfaat fungsi dan manfaat mangrove. Akan tetapi masyarakat yang mengetahui dan memahami hutan lindung hanya sebesar 32.26%. Sementara itu

86 65 pengetahuan dan pemahaman responden terhadap LMDH dan PHBM pun sangat rendah yakni hanya 11.29%. Secara rinci persepsi masyarakat dan pengetahuan masyarakat (petambak) terkait mangrove disajikan pada Tabel 25. Gambar 17 Kegiatan wawancara terhadap responden (sumber: Dokumentasi pribadi 2012) Tabel 25 Persentase pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang mangrove, empang, PHBM dan LMDH Komponen % responden Pengetahuan tentang mangrove Pengetahuan tentang empang Pengetahuan tentang fungsi dan manfaat mangrove Pengetahuan tentang hutan lindung Pengetahuan tentang PHBM Pengetahuan tentang LMDH Sumber: Hasil analisis 2012 Berdasarkan Tabel 25 didapatkan suatu informasi bahwa masyarakat terutama penggarap tambak di sekitar RPH Tegal-Tangkil memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang PHBM dan LMDH sangat rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan masyarakat (Tabel 8) ataupun karena kurangnya sosialisasi dari pihak Perum Perhutani akan PHBM dan LMDH. Hal ini juga memungkinkan karena pembentukan LMDH sendiri bukan atas inisiatif masyarakat, tetapi dibentuk oleh Perum Perhutani. Lebih parah lagi pengurus LMDH diangkat dan diberhentikan oleh Perum Perhutani. Padahal, seharusnya pengurus diangkat dan diberhentikan oleh anggota LMDH sendiri. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap PHBM dan LMDH secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap

87 66 keberhasilan program-program yang dibuat oleh Perum Perhutani. Keberhasilan program Perhutani dalam rangka menjaga kelestarian hutan mangrove menjadi tidak berhasil. Hal ini terbukti dengan semakin maraknya penebangan hutan mangrove untuk memperluas areal budidaya. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap PHBM dan LMDH juga menyebabkan rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan fungsi dan manfaat LMDH. Hasil wawancara dengan masyarakat diperoleh informasi bahwa hanya 4.84% masyarakat yang mengetahui akan fungsi dan manfaat LMDH yaitu sebagai fungsi penanaman dan pemeliharaan mangrove (Tabel 26). Hal ini karena peran LMDH yang tidak melakukan pendekatan secara rutin terhadap anggota dalam himbauan untuk menjaga kelestarian hutan. Melihat peran LMDH yang sangat rendah akan kelestarian mangrove, sehingga ada beberapa kelompok masyarakat membentuk Kelompok Pecinta Mangrove. Kelompok ini bertujuan untuk melakukan rehabilitasi mangrove di kawasan minawana maupun di kawasan tambak milik. Walaupun baru berumur 2 tahun kelompok ini cukup dikenal masyarakat karena malakukan aksi langsung rehabilitasi mangrove di tambak milik (bukan milik Perum Perhutani). Saat ini kelompok ini memiliki tambak percontohan rehabilitasi mangrove di tambak milik. Dengan demikian, Kelompok Cinta Mangrove ini lebih dikenal masyarakat dibanding LMDH karena aksi nyata dilapangan dan adanya sosialisasi rutin dari masyarakat (Tabel 26). Tabel 26 Persentase pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan manfaat KUD, LMDH dan Kelompok Cinta Mangrove Organisasi LMDH - Penanaman mangrove - Pengawasan mangrove Kelompok Cinta Mangrove - Penanaman mangrove - Pengawasan mangrove KUD - simpan pinjam - pemasaran - perbaikan jalan/jembatan - santunan - komisi Sumber: Hasil analisis 2012 % responden

88 67 Berdasarkan Tabel 26 dapat diketahui bahwa hampir seluruh masyarakat mengetahui dan memahami akan fungsi dan keberadaan KUD. Hal ini tidak terlepas dari fungsi dan manfaat yang sangat besar terhadap masyarakat terutama penggarap tambak sebagai tempat menampung dan memasarkan hasil panen anggota (harian maupun musiman). KUD selain tempat pemasaran ikan/udang juga berperan dalam kegiatan perbaikan jembatan atau saluran/kalen di kawasan minawana. KUD juga menyediakan unit Simpan Pinjam bagi anggota dan santunan bagi anggota jika sakit ataupun mengalami musibah Perbaikan Pengelolaan Minawana Perbaikan ekologi dan penerapan (improvement) bioteknis pengelolaan minawana merupakan hal yang harus dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat dan menjaga kelestarian sumberdaya ekosistem mangrove. Untuk menjamin perbaikan ekologi dan penerapan bioteknis diperlukan perbaikan pengelolaan minawana. Dengan demikian diperlukan desain kelembagaan yang adaptif didasarkan pada karakteristik sumberdaya, lingkungan maupun pengelolaannya. Dengan demikian, untuk mewadahi kepentingan masing-masing pemangku kepentingan yang terlibat, maka perlu diperbaiki kelembagaan yang ada. Setidaknya ada tiga hal penting yang harus mendapatkan kesepakatan dari para pemangku kepentingan tersebut yaitu format lembaga, mekanisme pengambilan keputusan, dan kewenangan lembaga (Rudiyanto 2011): Berdasarkan uraian diatas, maka perlu disusun suatu pola pengelolaan (kelembagaan) kawasan minawana yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya. Perbaikan dalam struktur organisasi pengelolaan minawana menjadi langkah pertama dalam perbaikan pengelolaan. Organisasi pengelolaan ini terkait dengan pihak/lembaga apa saja yang terlibat dalam pengelolaan. Selain itu, masing-masing pihak yang terlibat memiliki fungsi dan peran masing-masing di dalam pengelolaan Format Lembaga Sesuai Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani No.136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM). Pada program PSDHBM ini masyarakat desa hutan

89 68 (MDH) dan Perum Perhutani diberikan kesempatan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya hutan. PSDHBM ini kemudian diperbaharui dengan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyrakata. PHBM ini berdasarkan Keputusan Direksi Perum Perhutani No.682/KPTS/DIR/2009 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat. LMDH dan Perhutani bekerjasama dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang diikat dengan akta kerjasama yang diaktenotariskan. Oleh karena itu, LMDH memiliki peran penting dalam pelaksanaan pengelolaan di lapangan (operasional) yang tentunya anggota dan pengurusnya diangkat oleh masyarakat. LMDH adalah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa yang berada didalam atau disekitar hutan untuk mengatur dan memenuhi kebutuhannya melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya (Awang et al. 2008). Selain itu, LMDH mangrove berbeda dengan LMDH yang lainnya yang berbasis daratan. LMDH mangrove ini memiliki keunikan sumberdaya yang akan dikelola, yaitu hutan mangrove dan sumber daya perairan (tambak). Keunikan ini didasarkan pada, keterikatan yang kuat antar satu lokasi dengan lokasi lainnya. Misalnya, jika terjadi pencemaran di satu tempat, maka kemungkinan besar akan berdampak ditempat lainnya. Dengan demikian, jika salah satu yang rusak maka akan sangat berdampak ke lokasi yang lain. Selama ini (di lokasi kajian) anggota LMDH adalah terbatas pada anggota masyarakat yang memiliki hak garapan di RPH Tegal-Tangkil. Demikian juga dengan pengurus diangkat dan diberhentikan oleh Perhutani. Hal ini berbeda dengan konsep yang diajukan oleh Awang et al. (2008) bahwa keanggotaan LMDH seharusnya melibatkan berbagai pihak yang baik secara langsung berhubungan dengan pemanfaatan hutan (mangrove) ataupun tidak. Pihak yang terlibat menurut Awang et al. (2008) antara lain: Masyarakat Desa Hutan, Pemerintah Desa, Perum Perhutani, dan Dinas/instansi terkait. Untuk itu, selain perbaikan struktur organisasi pengelolaan, perbaikan LMDH mutlak diperlukan. Langkah-langkah dalam perbaikan LMDH RPH Tegal-Tangkil adalah: 1) Seleksi Masyarakat Pengguna Hutan Penyeleksian terhadap masyarakat pengguna hutan penting dilakukan untuk mengetahui kelompok masyarakat yang memiliki ketergantungan hidup

90 69 terhadap ekosistem mangrove. Masyarakat yang memanfaatkan ekosistem mangrove di RPH tegal-tangkil dibagi kedalam 2 kelompok yaitu: kelompok penggarap tambak dan kelompok penangkap ikan dan biota lainnya. Kelompok penggarap tambak merupakan masyarakat yang memiliki hak garapan empang yang diperoleh baik langsung dari Perum Perhutani maupun hak yang diturunkan dari orang tua ataupun penggadaian dan bahkan dari proses jual beli. Kelompok penangkap ikan dan biota lainya terdiri dari kelompok penangkap kepiting, penangkap wideng, penangkap belut, penangkap ular, penangkap burung dan lain-lain. Selama ini anggota LMDH adalah kelompok penggarap tambak. 2) Perbaikan Visi dan Misi Bersama Perbaikan visi dan misi diperlukan untuk menyatukan tujuan bersama dalam pengelolaan minawana RPH Tegal-tangkil. Dengan demikian, masyarakat (anggota LMDH) memiliki visi dan tujuan yang sama terhadap pemanfaatan dan pengelolaan minawana 3) Perbaikan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Sebagai organisai yang sah dan memiliki aspek kekuatan hukumdalam pengelolaan minawana maka perlu adanya Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Perbaikan AD/ART ini diperlukan untuk menjamin dan menetapkan peranan masing-masing anggota terhadap pengelolaan minawana. Selain itu, didalam AD/ART diatur hal-hal yang mendasar dalam sebuah organisasi, termasuk keanggotaan dan kepengurusan LMDH serta hak dan kewajiba masing-masing anggota dan pengurus. 4) Penataan Administrasi Penataan administrasi sangat penting, sehingga organisasi berjalan sesuai dengan AD dan ART serta program-program yang dibuat. Dengan penataan administrasi ini, diharapakan LMDH ini akan memiliki tata administrasi yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. 5) Membangun Pusat Informasi Pusat informasi sangat penting sebagai media untuk menyebarluaskan program yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Saat ini pusat informasi pada masing-masing LMDH di RPH Tegal-Tangkil tidak ada. Bahkan, kantor

91 70 ataupun papan informasi tentang LMDH tidak ada. Untuk itu, perlu membangun pusat informasi pada masing-masing LMDH di RPH TegalTangkil yang berupa pembangunan/pembuatan: a) Saung LMDH. Saung ini nantinya sebagai tempat untuk melakukan diskusi, penyuluhan atau kegiatan lain terkait dengan pengelolaan kawasan minawana. Saung dapat dibangun dimasing-masing petak tambak tempat biasa para masyarakat berkumpul. b) Papan informasi, berisi: monografi LMDH, foto kegiatan, data potensi, informasi dan agenda kegiatan LMDH, papan pengumuman, dll. c) Poster, berisi foto dan slogan d) Kalender lembaga, berisi: profil, kegiatan internal, peran para pihak, potensi pangkuan, kegiatan ekonomi produktif, kontribusi LMDH. Pada kalender juga ditulis visi dan lambang LMDH. e) Leaflet, berisi: profil LMDH dan perjalanan LMDH 6) Pendidikan dan Latihan Organisasi Pendidikan dan latihan (diklat) merupakan satu bentuk pelatihan untuk mengetahui pemahaman anggota tentang manajemen organisasi. Diklat dilakukan dalam berbagai permainan yang memuat nilai atau aspek dalam manajemen organisasi. Diklat menjadi penggambaran aktivitas pengelolaan LMDH yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan individu ataupun kelompok. 7) Pengembangan Ekonomi Pengembangan ekonomi LMDH adalah suatu usaha pengembangan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan ekonomi lembaga dan masyarakat. Manfaatnya untuk mendorong peningkatan kekayaan lembaga dan meningkatkan kesejahtraan masyarakat. Mengingat, di RPH tegal-tangkil sudah ada KUD pada masing-masing desa, maka LMDH memerlukan kerjasama yang baik dengan KUD. Berdasarkan uraian diatas, maka perbaikan organisasi LMDH juga perlu diperbaiki. Perbaikan Organisasi LMDH disajikan pada Gambar 18.

92 71 Rapat Anggota Pemerintah Desa Perhutani/KPH Purwakarta Ketua FK PHBM Desa Instansi/lembaga terkait Sekretaris Sie Perencanaan Program Bendahara Sie Humas dan Organisasi Sie Bagi Hasil Sie Keamanan Sie Budidaya Anggota komando koordinasi Gambar 18. Struktur organisasi LMDH (Sumber: modifikasi Awang et al. 2008) Mekanisme Pengambilan Keputusan LMDH sebagai sebuah lembaga yang melibatkan banyak orang, tentu memiliki kepentingan masing-masing. Untuk itu, perlu ditetapkan mekanisme pengambilan keputusan dan dicantumkan dalam AD/ART. Mekanisme pengambilan keputusan dapat berupa musyawarah-mufakat, pemungutan suara atau kombinasi keduanya. Pengambilan keputusan diusahakan secara musyawarah mufakat dan jika tidak dicapai kemufakatan maka keputusan diambil dengan suara terbanyak. Jika, suara seimbang keputusan diserahkan kepada kebijaksanaan pimpinan sidang. Selain itu, ada hal lain yang perlu dijelaskan sejak awal bahwa siapa sajakah yang dapat mengambil keputusan dan hal-hal apa saja yang dapat diputuskan. Dengan demikian, pengambilan keputusan dibagi kedalam 3 kelompok yaitu: Rapat Umum Anggota (RUA), pengurus dan ketua. RUA merupakan pertemuan antara anggota, pengurus, pembina dan undangan. Pengambilan keputusan pada tingat RUA adalah: 1) perubahan AD/ART,

93 72 2) pemilihan ketua dan pertanggung jawaban ketua 3) iuran anggota. 4) meninjau dan mengevaluasi jalannya program kerja pengurus 5) menetapkan program kerja yang dibuat oleh pengurus 6) RUA dilaksanakan sesuai dengan yang ditetapkan dalam AD/ART. Pengambilan keputusan pada tingkat pengurus adalah: 1) Pembuatan/perbaikan saluran, jalan, jembatan, dan prasarana lainnya 2) Pegangkatan dan pemberhentian anggota 3) Penanaman mangrove atas persetujuan Perum Perhutani Sementara itu, pengambilan keputusan pada ketua LMDH terkait dengan: 1) Susunan dan tugas pengurus 2) Kerjasama dengan pihak asing, seperti pengadaan benih/benur, pupuk dan atau kegiatan penyuluhan yang terkait dengan pengelolaan/pemanfaatan minawana 3) Penyediaan bibit mangrove Kewenangan LMDH Sebagai pemilik penuh kawasan minawana, Perhutani tentunya memiliki otoritas penuh terhadap kebijakan pengelolaan. Untuk itu, Perhutani melalui KPH Purwakarta memiliki kekuasaan penuh untuk mengambil dan menetapkan kebijakan pengeloaan sesuai amanat PP No.72 Tahun 2010 pada pasal 3. Akan tetapi, melalui peraturan pemerintah tersebut Perhutani juga memiliki kewajiban untuk melibatkan masyarkat untuk ambil bagian dalam pengelolaan yang ditetapkan oleh Perhutani (Pasal 7 ayat 6). Oleh karena itu, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya pemberian wewenang (delegasi kekuasaan) terhadap Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Pemberian kewenangan ini seharusnya dituangkan dalam struktur organisasi pengelolaan yang jelas antara Perhutani dengan LMDH sebagai organisasi resmi yang mengatur pengelolaan di lapangan. Walaupun LMDH yang memiliki kewenangan pengelolaan di RPH TegalTangkil, akan tetapi kekuatan lokal sepenuhnya yang akan diikuti penggarap tambak adalah anjuran dari KUD. Hal ini dikarenakan ketergantungan masyarakat terutama penggarap tambak terhadap KUD. Hal ini didasarkan pada peran KUD

94 73 yang sangat besar terhadap peningkatan ekonomi penggarap tambak. Hal ini terkait dengan peran KUD yang menampung hasil produksi dari kegiatan minawana. Selain itu, KUD juga merupakan wadah untuk kegiatan simpan pinjam, perbaikan jalan, pemberian santunan dan komisi yang didapatkan oleh penggarap tambak pada setiap tahun. Akan tetapi, kedepan KUD hanya memiliki kewenangan terhadap kegiatan pemasaran dari hasil produksi minawana. Terkait dengan perbaikan jalan ataupun saluran dan bahkan penyediaan penyuluhan kegiatan budidaya menjadi tanggung jawab LMDH. Untuk itu, penulis mengusulkan skematik organisasi pengelolaan kawasan minawana RPH TegalTangkil seperti terlihat pada Gambar 17. Gambar 19 Organisasi pengelolaan kawasan minawana (sumber: Hasil analisis 2012) Perbaikan Pengelolaan Kawasan Minawana Perbaikan pengelolaan kawasan minawana adalah perbaikan dalam aturan main pengelolaan. Aturan main ini terkait dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap pengelolaan minawana. Selain itu, tentunya sanksi atau imbalan apa yang diperoleh jika melanggar aturan yang ditetapkan. Berdasarkan studi kasus pola pengelolaan perikanan yang berbasisi masyarakat di Vietnam, maka pola pengelolaan yang baru ini mengadopsi dari Ruddle (1998). Pola pengelolaan ini sendiri terdiri dari 5 komponen pola pengelolaan pesisir, yaitu: kewenangan (authority), tata aturan (rules), hak (right), pemantauan dan kontrol (monitoring), kewajiban dan tanggung jawab (accountability), pelaksanaan

95 74 (enforcement), dan sanksi (sanctions). Secara rinci kelima komponen tersebut akan diuraikan pada pembahasan berikut ini Kewenangan Pengelolaan (authority) Pada pengelolaan suatu sumberdaya alam, diperlukan suatu kejelasan pihak atau lembaga yang memiliki kewenangan dalam pemanfataan atau perlindungan sumberdaya alam agar tetap lestari termasuk pengelolaan mangrove. Hutan mangrove di kawasan pantai Subang bagian utara berada di bawah otoritas pengelolaan RPH Tegal-Tangkil BKPH Ciasem-Pamanukan, KPH Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat - Banten. Sejak tahun 1986 BPKH Ciasem Pamanukan telah menerapkan strategi Perhutanan Sosial (PS). Pelaksanaan Perhutanan Sosial dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif sebagai penggarap tambak. Disisi lain penggarap tambak wajib memelihara ekosistem mangrove. Pola ini kemudian disempurnakan pada tahun 1988 dengan program minawana (Perum Perhutani 1984). Sejak tahun 2001, sebagai keberlanjutan dari program Perhutanan Sosial dilanjutkan dengan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan Masyarakat Desa Hutan maupun dengan pihak lain yang berkepentingan (stakeholder). PHBM ini dengan maksud berbagai peran antara Perum Perhutani dengan LMDH. Dengan demikian, kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Dasar Hukum Perum Perhutani sendiri ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1972 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1978, kemudian disempurnakan/diganti berturut-turut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1986, Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2001, dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun Saat ini pengelolaan perusahaan Perum Perhutani dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara. Beradasarakan Peraturan Pemerintah ini, Pemerintah melanjutkan penugasan kepada Perusahaan untuk melakukan Pengelolaan Hutan di Hutan Negara yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten,

96 75 kecuali hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (pasal 3 ayat 1). Pada pasal 7 PP No 72 Tahun 2010 ayat (1) disebutkan Perusahaan menyelenggarakan kegiatan Pengelolaan Hutan sebagai ekosistem sesuai dengan karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari segi ekologi, sosial, dan ekonomi, bagi perusahaan dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan tujuan nasional dan daerah, yang dituangkan dalam Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) yang disusun oleh Perusahaan dan disetujui oleh Menteri Teknis atau pejabat yang ditunjuk. Upaya melibatkan masyarakat sekitar hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dilakukan dengan cara : a) memberikan dan menyelenggarakan penyuluhan, bimbingan, pendampingan, pelayanan, bantuan teknik, pendidikan, dan/atau pelatihan; b) menyebarluaskan informasi mengenai proses pengelolaan hutan kepada masyarakat secara terbuka; dan c) masyarakat dilibatkan pada pelaksanaan pengelolaan hutan, sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2010 Tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara, maka pengelolaan hutan merupakan kegiatan yang meliputi tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi, dan reklamasi hutan, serta perlindungan hutan dan konservasi alam. Oleh karena itu, ekosistem mangrove (hutan bakau) di wilayah pantai utara Subang (termasuk RPH Tegal-Tangkil) menjadi wilayah pengelolaan Perum Perhutani dalam hal ini KPH Purwakarta, BKPH Ciasem-Pamanukan. Hasil wawancara tentang pemahaman dan pengetahuan petambak terhadap kewenangan pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil sepenuhnya dibawah kewenangan Perhutani/BKPH Ciasem-Pamanukan (100%). Akan tetapi walaupun masyarakat mengakui bahwa kawasan minawana merupakan kewenangan Perhutani, boleh melakukan kegiatan budidaya (bagi yang memiliki hak garapan) dan melakukan penangkapan kepiting, wideng, belut, ular dan burung. Bahkan penggarap tambak banyak yang melakukan penebangan dan

97 76 modifiksi terhadap tambak. Selain itu, banyak terjadi jual beli hak garapan diluar sepengetahuan pihak Perhutani. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1) Pada awalnya empang dijadikan sebagai jaminan oleh penggarap tambak kepada orang lain (penggadai) untuk meminjam uang. Akan tetapi jika tidak terbayar empang tersebut menjadi hak garapan pihak penggadai yang tidak dilaporkan kepada pihak Perhutani 2) Penggarap tambak dengan sengaja menjual hak garapan kepada pihak lain tanpa sepengetahuan oleh pihak Perhutani Pada umumnya penggarap tambak memperoleh hak garapan tambak berasal dari jual beli (44.44%) dan hak yang diturunkan oleh orang tua (37.04%). Penggarap tambak yang langsung memperoleh izin garapan dari Perhutani hanya 11.11%% sedangkan sisanya diperoleh melalui hasil gadaian dari pihak lain (7.41%). Untuk selengkapnya perolehan hak garapan disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Perolehan hak garapan empang di RPH Tegal-Tangkil Perolehan empang Langsung dari Perhutani Hak yang diturunkan dari orang tua Jual-beli empang Gadai Total Sumber: Hasil analisis 2012 % responden Perolehan hak garapan dari pembelian ataupun warisan memberikan dampak yang berbeda jika diperoleh langsung dari Perhutani. Penggarap tambak yang memperoleh hak garapan dari Perhutani pada umumnya berkomitmen untuk tetap mempertahankan mangrove dibanding dengan jika didapatkan dari warisan atau dari proses jual-beli. Oleh karena itu, penebangan atau modifikasi empang biasanya dilakukan oleh penggarap tambak yang memperoleh empang dari jual beli. Hal ini dikarenakan mereka merasa empang tersebut adalah miliknya, walaupun masih mengakui tanah tersebut milik Perhutani. Selain itu, maraknya penebangan dan modifikasi empang adalah ketidaktahuan masyarakat tentang fungsi dan peranan Perhutani terhadap pengelolaan hutan Negara. Oleh karena itu, melihat permasalahan yang terjadi saat ini, hal yang perlu dilakukan oleh pihak Perhutani antara lain:

98 77 1) Sosialisasi mengenai fungsi dan peranan Perhutani terhadap kelestarian mangrove. 2) Sosialisasi bagaimana peranan (kontribusi) masyarakat terhadap pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya mangrove. 3) Sosialisasi fungsi dan peranan LMDH terhadap pengelolaan ekosistem mangrove. 4) Pemberian kewenangan kepada LMDH sebagai mitra Perhutani dalam pengelolaan minawana di RPH Tegal-Tangkil mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi bersama Perhutani (Kep. Dir Perum Perhutani N0. 682/KPTS/DIR/2009). 5) Perbaikan organisasi LMDH baik dari keaggotaan, AD/ART, visi/misi atau hal lainnya sesuai standar organisasi yang memiliki badan hukum. 6) Pengangkatan pengurus LMDH oleh masyarakat bukan oleh Perhutani. Perhutani hanyalah kontrol terhadap kinerja pengurus LMDH terkait dengan kelestarian mangrove. Jika misalnya suatu kawasan mangrove adalah bukan milik Negara, maka kewenangan pengelolaan seharusnya diserahkan kepada kelompok masyarakat. Pemberian kewenangan kepada kelompok masyarakat tersebut harus dituangkan (dilegalkan) dalam peraturan. Pada dalam peraturan tersebut harus dituangkan dengan jelas fungsi dan peranan kelompok masyarakat terhadap pengelolaan. Selain itu, dituangkan kontrol (peranan) pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya tersebut. Hal ini untuk memperkuat posisi kelompok pengelola terhadap pengelolaaan sumberdaya mangrove Sistem Tata Aturan (rules) Aturan/regulasi merupakan salah satu sistem kelembagaan yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan minawana RPH TegalTangkil. Pada kasus penelitian ini aturan main dalam pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya mangrove (minawana) adalah aturan yang yang dibuat oleh Perhutani sebagai pihak yang memiliki kewenangan penuh terhadap kawasan minawana. Tentunya aturan tersebut juga disosialisasikan dan disepakati dengan masyarakat (LMDH). Masyarakat sebagai rekanan perhutani dalam memanfaatkan kawasan

99 78 minawana hanya dapat memanfaatkan kawasan sesuai dengan peruntukannya. Masyarakat tidak dilibatkan dalam pembuatan sistem aturan karena wilayah minawana tersebut adalah tanah Negara yang dikuasakan pengelolaannya kepada Perhutani. Jadi masyarakat penggarap tambak wajib untuk mengikuti aturan yang ada baik suka maupun tidak jika ingin memperoleh hak garapan. Berdasarkan perjanjian awal pada saat pemberian hak garap oleh Perhutani, disebutkan bahwa tidak boleh menebang/memodifikasi tambak yang sudah ada. Bahkan disebutkan bahwa penggarap tambak wajib menjaga kelestarian hutan. Pada buku anggota pemegang hak garap juga disebutkan bahwa setiap penggarap tambak memiliki kewajiban untuk membayar hak garapan. Pembayaran dilakukan setiap tahun dan akan diperpanjang jika masih berniat dan mampu untuk menggarap. Jika tidak mampu menggarap lagi maka, penggarap tambak wajib mengembalikan garapan ke Perhutani dan Perhutani akan memberikan kepada pihak lain. Hal yang menjadi masalah saat ini adalah telah terjadi penjualan hak garapan antar anggota tanpa sepengetahuan Perhutani (diketahui namun terkesan dibiarkan). Harga tambak minawana yang diperjualkan saat ini berkisara antara Rp 30 juta/ha Rp 70 juta/ha. Selain itu terjadi penebangan tanaman mangrove baik sengaja maupun tidak sengaja oleh penggarap. Sebanyak % responden mengakui melakukan penebangan mangrove. Penebangan ini terkait dengan memperluas areal budidaya dengan harapan meningkatkan produksi perikanan. Penggarap tambak yang melakukan modifikasi dan jual-beli masing-masing mencapai 66.67% dan 44,44%. Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap sistem aturan main di RPH Tegal-Tangkil disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Kondisi dan persepsi penggarap terhadap sistem aturan main di RPH Tegal-Tangkil Aturan main Pembayaran iuran Kondisi lapangan Pembayaran iuran dilakukan oleh penggarap tambak setiap tahun Tidak boleh melakukan Beberapa penggarap tambak melakukan penebangan penebangan mangrove untuk memperluas areal budidaya Tidak boleh melakukan Beberapa penggarap tambak melakukan modifikasi modifikasi empang untuk memperluas areal budidaya Tidak boleh melakukan Beberapa penggarap tambak melakukan jual-beli empang jual-beli untuk mendapatkan hak garapan tanpa sepengetahuan pihak Perhutani Sumber: Hasil analisis 2012 %responden

100 79 Berdasarkan uraian diatas untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam keberlanjutan pengelolaan mangrove antara lain dapat dilakukan dengan: 1) Mempertegas penegakan hukum dan penerapan sanksi 2) Perbaikan terhadap proporsi luasan mangrove terhadap tambak. Proporsi yang ditetapkan adalah perbandingan empang parit 60% mangrove dan 40% tambak/empang. Perbaikan proporsi mangrove dan tambak menjadi tanggung jawab masing-masing penggarap tambak, yang dikoordinasikan oleh LMDH masing-masing. Adapun bibit mangrove disediakan oleh LMDH yang bekerjasama dengan Perum Perhutani. Untuk itu, penggarap tambak wajib memlihara mangrove tersebut dan hanya diperbolehkan untuk memangkas bukan untuk menebang. Penebangan pohon dapat dilakukan setelah umur 25 tahun dan wajib ditanam kembali. 3) Penetapan kawasan jalur hijau. Adapun jalur hijau pada sempadan pantai adalah minimal 130 m dari bibir pantai dan sempadan sungai minimal 50 m dari bibir sungai. Penanaman mangrove pada jalur hijau diserahkan kepada kelompok penangkap ikan dan biota lainnya yang dikoordinasikan oleh LMDH. Dengan demikian, kelompok penangkap ikan dan biota lainnya wajib untuk memlihara mangrove dan berhak untuk memanfaatkan hasil perikanannya seperti udang, kepiting, ular, belut, dll. Untuk mempermudah koordinasi seharusnya dibuat kelompok kecil sesuai dengan petak tambak dan masing-masing sub kelompok memiliki koordinator kelompok. Adapun bibit mangrove disediakan oleh LMDH yang bekerjasama dengan Perum Perhutani. 4) Perbaikan kanal air, jalan, jembatan dan prasarana lainnya menjadi tanggung jawab LMDH. Perbaikan kanal air, hendaknya dilakukan minimal sekali dalam 5 tahun. Perbaikan jalan, jembatan dan prasarana lainnya tergantung kondisi dan kebutuhan. Dana untuk perbaikan/pembuatan saluran dan jalan serta prasarana lainnya adalah dari iuran anggota dan atau bantuan dari Perum Perhutani. Selain itu, dana tersebut dapat berasal dari pihak lain yang ingin berkontribusi, baik dalam bentuk dana hibah ataupun dana sosial dari perusahaan 5) Pembuatan bak penampungan air (tandon), penerapan GAP dan perwilayahan komoditas harus dilakukan untuk meningkatkan produksi. Pembuatan bak

101 80 penampungan air (tandon) serta perawatannnya, penerapan GAP dan perwilayahan komoditas menjadi tanggung jawab masing-masing penggarap tambak. LMDH memiliki hak untuk memaksakan pembuatan tandon, penetapan GAP dan penerapan perwilayahan komoditas. LMDH juga memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan/mengadakan penyuluhan (bimtek/diklat) terkait peningkatan produksi perikanan. Segala kegiatan yang berhubungan dengan penyuluhan (bimtek/diklat) terhadap anggota LMDH harus diketahui/disetujui oleh pengurus LMDH 6) Pelibatan masyarakat terhadap program kelestarian mangrove. Mangrove yang ditanam di sekitar empang menjadi tanggung jawab masing-masing penggarap tambak. Mangrove yang ditanam pada sempadan pantai dan sungai (green belt) menjadi tanggung jawab penangkap ikan dan biota lainnya. Masingmasing penggarap tambak dan penangkap ikan dan biota lainnya dibuat dalam kelompok petak tambak yang dibawah koordinasi LMDH. 7) Segala kegiatan yang dilakukan oleh pihak asing terhadap kegiatan di kawasan minawana harus seijin dari pengurus LMDH. Selanjutnya harus disampaikan kepada Perhutani 8) Tidak boleh melakukan jual-beli dan penggadaian hak garapan. Jika sudah tidak sanggung untuk mengelola tambak diserahkan ke Perhutani, kemudian Perhutani yang menentukan siapa yang berhak untuk mengelola tambak. Jika pemindahan hak garapan karena meninggal harus sepengetahuan dan persetujuan Perhutani. 9) Tidak boleh melakukan penebangan, modifikasi dan kegiatan yang merusak mangrove dan perairan sekitarnya. 10) Setiap masyarakat yang memanfaatkan kawasan minawana dikenakan biaya/pajak, kecuali kegiatan penelitian. Nilai dan besaran biaya/pajak ditentukan oleh rapat anggota. Dalam hal ini, Perhutani juga menetapkan biaya sewa sesuai keputusan dewan direksi Sistem Hak (right) Kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil merupakan sumberdaya yang dikuasai oleh pemerintah (Negara). Oleh karena itu, kawasan ini merupakan sumberdaya yang dimiliki oleh Negara dalam hal ini hak pengelolaannya

102 81 diserahkan pada Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten. Seperti yang diungkapkan oleh Nikijuluw (2002), kawasan yang dikelola oleh pemerintah akan memunculkan berbagai konflik di masyarakat, seperti terjadinya kerusakan sumberdaya, konflik antar kelas sosial masyarakat, kemiskinan yang terus dirasakan oleh masyarakat pesisir, dan lain-lain. Melihat hal tersebut sejak tahun 1986 oleh Perhutani, kawasan yang dulunya hutan mangrove dijadikan tambak yang berdampingan dengan hutan yang disebut empang-parit (minawana). Sejak saat itu, masyarakat di sekitar hutan diberikan hak garap untuk memanfaatkan empang parit dimana masyarakat dapat melakukan budidaya tanpa merusak hutan (mangrove). Pada awalnya hak pengelolaan minawana (hak garap) adalah maksimum 2 ha/kk. Berdasarkan perjanjian awal yang tertuang dalam buku anggota pemegang hak garap disebutkan bahwa setiap penggarap tambak memiliki hak garap tambak dan hasilnya. Hak garap ini pada awalnya adalah 1 tahun dan diperpanjang setiap tahun. Dengan demikian masyarakat dapat memanfaatkan empang dengan tidak merusak mangrove. Hasil wawancara dengan penggarap tambak didapatkan bahwa 100 % penggarap tambak mengakui memperoleh hak garapan berupa hasil perikanan baik budidaya maupun udang harian. Kondisi dan persepsi masyarakat terhadap sistem hak disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap sistem hak di RPH Tegal-Tangkil Hak Memperoleh hasil perikanan Luas garapan maksimal 2 ha Kondisi lapangan Penggarap tambak memperoleh hasil perikanan dari kegiatan budidaya dan udang harian Banyak penggarap tambak yang memiliki luas garapan lebih dari 2 ha, yang diperoleh dari proses jual beli hak garapan tanpa sepengetahuan Perhutani Banyak penggarap tambak yang berasal dari luar desa terdekat %responden Hak garapan diperoleh oleh penduduk domisili desa terdekat Sumber: Hasil analisis Pada saat ini, ada beberapa penggarap tambak yang memiliki tanah garapan hingga 20 ha. Hal ini terjadi karena penggarap tambak menjual/menggadaikan tanah garapannya kepada pihak lain tanpa sepengetahuan pihak Perhutani. Selain itu, tanah timbul di pantai (hasil sedimentasi) sudah dijadikan tambak yang seharusnya menjadi sempadan pantai. Oleh karena itu,

103 82 dilakukan upaya perbaikan oleh Perhutani terkait dengan hak-hak masyarakat terhadap wilayah mangrove, antara lain: 1) Melakukan pendataan terhadap penggarap tambak terkait kondisi dan luasan lahan garapan. 2) Pembatasan hak guna garap dan domisili penggarap tambak. Seperti konsep awal masing-masing penggarap tambak hanya dapat tanah garapan maksimal 2 ha dan berdomisili pada desa administrasi lahan minawana. 3) Masyarakat penggarap tambak berhak melakukan budidaya ikan/udang sesuai dengan perwilayahan komoditas dan GAP yang telah ditetapkan. Penggarap tambak juga berhak untuk hasil tangkapan udang harian dari tambak yang dikelolanya. 4) Masyarakat non penggarap tambak berhak melakukan penangkapan kepiting, wideng, belut, ular, burung, dan biawak. Penangkapan terhadap kepiting, wideng, belut, ular, burung, dan biawak dengan cara yang tidak merusak lingkungan, baik mangrove maupun perairan sekitarnya. Khusus penangkapan terhadap burung adalah burung yang tidak dilindungi. Masyarakat yang boleh melakukan penangkapan adalah anggota LMDH yang terdaftar pada masingmasing wilayah LMDH. 5) Penampungan dan pemasaran hasil produksi dan hasil tangkapan dilakukan di KUD masing-masing administrasi LMDH. Hal ini dengan tujuan mengendalikan harga pada saat panen maupun paceklik. Selain itu, untuk mempermudah evaluasi terhadap hasil produksi dan hasil tangkapan di kawasan minawana setempat. 6) Pengurus dan anggota LMDH berhak untuk menegur, melaporkan ke pihak yang berwajib dan mencegah pihak-pihak yang akan melakukan perusakan mangrove dan perairan sekitarnya Sistem Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi merupakan aktivitas pengamatan yang dilakukan secara terus-menerus terhadap pelaksanaan aturan yang telah dibuat. sistem monitoring akan memberikan kontrol yang berkualitas dalam pelaksanaan pengelolaan suatu sumberdaya, mengidentifikasi tantangan operasional dan melaporkan keberhasilan atau kegagalan dari intervensi pengelolaan untuk

104 83 menyelesaikan masalah (Ostrom 2011). Pemanfaatan sumberdaya pesisir biasanya dikontrol oleh kewenangan tradisi yang secara alami mencerminkan organisasi masyarakat dan pemilik hak (ownership). Agar hak-hak dapat diterapkan perlu adanya monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan aturan. Sedangkan bagi yang melanggar akan terkena sanksi hukumnya. Selanjutnya Ostrom (2011) mengemukakan bahwa pemantauan haruslah bertujuan menciptakan kepastian hukum dan alat kendali pelaksanaan kegiatan. Lebih lanjut Ruddle (1998) mengemukakan bahwa pemantauan merupakan kontrol terhadap pelaksanaan sistem aturan yang ditetapkan. Pelaksanaan pemantauan terhadap aturan di kawasan RPH Tegal-Tangkil dilaksanakan oleh Perhutani sebagai pemegang otoritas dan hak pengelolaan. Pemantauan ini dilakukan oleh Asisten Perhutani (Asper) yang ditempatkan disetiap BKPH. Pada dasarnya pemantauan ini dilakukan terhadap kegiatan yang merusak mangrove, terutama kegiatan penebangan baik dari penggarap tambak maupun masyarakat pencari kayu di sekitar hutan. Petugas lapangan yang melakukan pemantauan, terdiri dari 3 orang mandor yaitu mandor tanam, mandor tebang dan mandor keuangan. Ketiga mandor tersebut dibantu oleh pengurus LMDH yang ditunjuk oleh Perhutani Mandor tanam bertugas mengawasi/memantau terhadap program rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh Perhutani maupun penggarap tambak termasuk pihak luar/swasta (perorangan maupun kelompok) yang bersedia berkontribusi terhadap rehabilitasi mangrove. Mandor tebang berfungsi untuk memantau/mengawasi masyarakat terhadap kegiatan penebangan mangrove. Mandor keuangan lebih fokus pada pengambilan uang sewa garapan lahan minawana. Pada awalnya pemantauan dilakukan hampir setiap hari dan bekerjasama dengan KTH (LMDH zaman dulu). Akan tetapi seiring dengan perubahan waktu hingga saat ini pemantauan sangat jarang dilakukan oleh mandor sehingga sangat sering terjadi pelanggaran di lapangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan penggarap tambak terhadap kegiatan pemantauan yang dilakukan oleh pihak Mandor, menyebutkan bahwa tidak ada responden (0.00%) yang melihat mandor melakukan pemantauan langsung dilapangan setiap hari ataupun setioap minggu. Responden hanya melihat mandor

105 84 melakukan pemantauan sesekali tiap bulan dan itupun hanya 5,56 % yang menyatakan melihat mandor melakukan pemantuan. Pemantauan yang rutin dilakukan oleh para mandor adalah setiap tahun, ketika akan mengambil retribusi dari penggarap tambak. Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap pemantauan yang dilakukan oleh mandor di lapangan disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap pemantauan yang dilakukan oleh mandor di lapangan Monitoring Kondisi lapangan Setiap hari Tidak dilakukan Setiap minggu Tidak dilakukan Setiap bulan Sangat jarang dilakukan Setiap tahun Hal ini dilakukan pada saat pengambilan retribusi Sumber: Hasil analisis 2012 % responden Dengan melihat permasalahan diatas, hal-hal yang harus dilakukan oleh pengelola terkait dengan monitoring antara lain: 1) Pemberian kewenangan kepada LMDH (melibatkan pengurus LMDH) terkait dengan pemantauan pelaksanaan aturan yang berkaitan dengan kelestarian mangrove, seperti: reboisasi, penebangan dan modifikasi empang dan pemindahan hak garap. 2) Pemantauan dan kontrol terhadap pelaksanaan GAP dan perwilayahan komoditas menjadi tanggung jawab LMDH 3) Pemantauan dan kontrol terhadap penangkapan kepiting, wideng, belut, ular, dan burung menjadi tanggung jawab LMDH 4) Para mandor hendaknya berkoordinasi dengan LMDH terkait dengan permasalahan empang dan produksi perikanan. 5) Kegiatan pemantauan dari Asper hendaknya minimal dilakukan seminggu sekali dan dilakukan diskusi dengan penggarap tambak terkait permasalahan minawana terutama terhadap kelestarian mangrove 6) Penambahan staff (polisi hutan) untuk meningkatkan pengawasan di kawasan RPH Tegal-Tangkil Sistem Sanksi (sanctions) Menurut Ostrom (2011) sistem sanksi merupakan kontrol sosial terhadap penegakan hukum atau aturan untuk keberlanjutan kelembagaan/organisasi. Untuk

106 85 menjaga agar nilai, norma, dan aturan aturan itu dapat tetap terpelihara, terjaga dan dijadikan pedoman berkehidupan bagi masyarakat pendukungnya maka pelaksanaannya disertai dengan sanksi (baik sanksi positif maupun sanksi negatif). Akan tetapi menurut Ruddle (1998) sanksi yang paling baik terhadap penyalahgunaan aturan adalah adanya sanksi moral yang dimiliki oleh masyarakat, terutama di daerah Asia Timur. Ketidaktaatan terhadap norma atau perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku menyebabkan seseorang dikenai sanksi. Bentuk sanksi terhadap pelanggaran norma dapat berupa tindakan (hukuman) dan bisa berupa sanksi sosial yang lebih sering ditunjukkan dalam bentuk sikap, seperti penolakan atau tidak melibatkan seseorang yang melanggar norma untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan komunitas (Coleman 2010). Penegakan hukum atau aturan sangat penting, karena pada akhirnya hukum/aturan yang dibuat baru mempunyai arti jikalau sudah dipraktikkan di lapangan dengan jaminan sistem sanksi yang dapat dikenakan apabila terjadi pelanggaran terhadapnya. Berdasarkan perjanjian awal pada saat pemberian hak garap oleh Perhutani, disebutkan bahwa tidak boleh menebang/memodifikasi tambak yang sudah ada. Bahkan disebutkan bahwa penggarap tambak wajib menjaga kelestarian hutan. Pada awalnya penggarap tambak tidak berani melakukan penebangan/modifikasi karena sanksi yang jelas yakni hak garap dicabut bahkan sampai dipenjara. Akan tetapi seiring dengan perubahan waktu penerapan aturan dan sanksi yang tidak jelas, menyebabkan masyarakat berani untuk melakukan penebangan/modifikasi. Banyak penebang kayu (mangrove) yang ditangkap dan dipenjarakan yang kemudian dikeluarkan hanya gara-gara uang bisa keluar. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat semakin berani untuk menebang mangrove karena ketidakjelasan penerapan hukum dan sanksi yang tidak jelas. Apalagi dengan faktor uang semua bisa diatur sehingga penebangan mangrove semakin tinggi. Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap pelaksanaan sistem sanksi disajikan pad Tabel 31. Tidak adanya sanksi moral yang berlaku dari masyarakat juga turut memberikan andil bagi para pelaku untuk menebangi mangrove atau memodifikasi empang. Selain itu tidak adanya sistem insentif bagi masyarakat

107 86 yang mempertahankan mangrove juga dapat menurunkan animo masyarakat untuk tetap mempertahankan mangrove. Padahal dengan adanya sistem insentif dan disinsentif akan mendorong masyarakat untuk menjaga kelestarian mangrove. Oleh karena itu, hal-hal yang perlu dilakukan oleh pengelola terkait sistem sanksi dalam pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil antara lain: 1) Jika melakukan penebangan/modifikasi empang diberikan peringatan dan hukuman harus menanam kembali seperti sedia kala 2) Pencabutan hak garap jika tidak mengindahkan peringatan dan hukuman yang diberikan. Hendaknya dilakukan terlebih dahulu teguran (peringatan) yang jika melakukan pelanggaran 2 kali akan dicabut hak garapnya 3) Jika pelanggaran terhadap pindah garap baik jual-beli dan penggadaian adalah tidak mengakui hak garap yang baru. Perhutani selanjutnya memproses siapa yang berhak untuk mengelolanya. 4) Tindak tegas terhadap penebang liar atau kegiatan yang dapat merusak mangrove dan perairan sekitarnya. Sanksi yang diberikan mulai dari peringatan, denda ataupun atau penjara sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan. 5) Pemberian insentif kepada masyarakat yang secara langsung aktif melakukan pelestarian mangrove. Misalnya: pemberian beasiswa bagi anak atau berupa santunan lainnya. Tabel 31 Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap pelaksanaan sistem sanksi Sistem sanksi Kondisi lapangan Teguran Pihak Asper hanya sebatas teguran terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran Hukuman penjara bagi orang yang melakukan penebangan liar Pencabutan hak garap bagi yang melakukan pelanggaran Penjara Pencabutan hak garap Sumber: Hasil analisis 2012 % responden Secara singkat pola pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil terkait kondisi saat ini dan saran perbaikan disajikan pada Tabel 32.

108 87 Tabel 32 Matriks permasalahan kelembagaan, kondisi ideal dan usaha yang diperlukan untuk mengurangi kesenjangan Komponen kelembagaan Kewenangan Aturan Kondisi Aktual Kondisi Ideal Kewenangan ada di pihak Perhutani (BKPH Ciasem Pamanukan), akan tetapi masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui fungsi dan peranan Perhutani dalam pengelolaan hutan negara termasuk hutan mangrove - Diperbolehkan memodifikasi empang atas persetujuan pihak Perhutani BKPH Ciasem-Pamanukan - Melakukan jual-beli hak garapan - Sempadan pantai dan sempadan sungai dijadikan tambak - Kewenangan penuh ada di pihak Perhutani (BKPH Ciasem Pamanukan) - Pemberian kewenangan kepada LMDH sesuai Kep. Dir Perum Perhutani N0. 682/KPTS/DIR/ Tidak boleh memodifikasi empang - Tidak boleh melakukan jualbeli hak garapan - Sempadan pantai minimal 130 m dan sempadan sungai minimal 50 m Usaha yang perlu dilakukan - Hak - - Penggarap tambak mengelola empang termasuk memanfaatkan hasilnya Ada beberapa penggarap tambak memiliki hak garapan seluas 20 ha - Mengelola empang termasuk memanfaatkan hasilnya - Masing-masing penggarap tambak hanya boleh memiliki hak garapan selus 2 ha - Seharusnya penggarap tambak - Sosialisasi tentang fungsi dan peranan Perhutani sesuai amanat PP No. 72 Tahun 2010 Sosialisasi peranan masyarakat dalam pengelolaan minawana Sosialisasi fungsi dan peranan LMDH (sejenis) terhadap pengelolaan ekosistem mangrove Pemberian kewenangan kepada LMDH sesuai Kep. Dir Perum Perhutani N0. 682/KPTS/DIR/2009 Perbaikan organisasi LMDH baik dari keaggotaan, AD/ART, visi/misi atau hal lainnya sesuai standar organisasi yang memiliki badan hukum Pengurus LMDH dipilih dan diangkat oleh anggota Mempertegas penegakan hukum dan penerapan sanksi Perbaikan terhadap proporsi luasan mangrove terhadap tambak (60% mangrove:40% tambak) Penetapan kawasan sempadan pantai minimal 130 m bibir pantai Penetapan sempadan sungai minimal 50 m bibir sungai Perbaikan kanal air jalan, jembatan dan prasarana lainnya menjadi tanggung jawab LMDH. Pembuatan bak penampungan air (tandon), penerapan GAP dan perwilayahan komoditas menjadi tanggung jawab masing-masing penggarap tambak yang diawasi oleh LMDH Pelibatan masyarakat terhadap program kelestarian mangrove. Masing-masing penggarap tambak dan penangkap ikan dan biota lainnya dibuat dalam kelompok petak tambak yang dibawah koordinasi LMDH. Segala kegiatan yang dilakukan oleh pihak asing terhadap kegiatan di kawasan minawana harus seijin dari pengurus LMDH Tidak boleh melakukan jual-beli dan penggadaian hak garapan.. Tidak boleh melakukan penebangan, modifikasi dan kegiatan yang merusak mangrove dan perairan sekitarnya Setiap masyarakat yang memanfaatkan kawasan minawana dikenakan biaya/pajak, kecuali kegiatan penelitian. Melakukan pendataan terhadap penggarap tambak terkait kondisi dan luasan lahan garapan Pembatasan hak guna garap maksimal 2 ha/kk Domisili penggarap tambak seharusnya dari desa administrasi setempat Masyarakat penggarap tambak berhak melakukan budidaya ikan/udang sesuai dengan perwilayahan komoditas dan GAP yang telah ditetapkan. 87

109 88 88 Tabel 32. Lanjutan. Komponen kelembagaan Kontrol Kondisi Aktual - Ada beberapa penggarap tambak dari luar wilayah adiministrasi desa terdeka t - Sangat jarang Kurangnya staf Asper dilapangan Rendahnya fungsi dan peranan LMDH dalam kontrol dilapangan - Hanya sebatas teguran untuk penebangan mangrove Ada beberapa kasus, penebang mangrove dipenjara. Akan tetapi dengan uang tebusan para pelanggar tersebut dibebaskan - - Sanksi Kondisi Ideal - Sumber: Hasil analisis 2012 berasal dari domisili terdekat - Usaha yang perlu dilakukan - Penggarap tambak juga berhak untuk hasil tangkapan udang harian dari tambak yang dikelolanya. - Masyarakat non penggarap tambak berhak melakukan penangkapan kepiting, wideng, belut, ular, burung, dan biawak. Masyarakat yang boleh melakukan penangkapan adalah anggota LMDH yang terdaftar pada masing-masing wilayah LMDH. - Penampungan dan pemasaran hasil produksi dan hasil tangkapan dilakukan di KUD masing-masing administrasi LMDH. - Pengurus dan anggota LMDH berhak untuk menegur, melaporkan ke pihak yang berwajib dan mencegah pihak-pihak yang akan melakukan perusakan mangrove dan perairan sekitarnya Minimal sekali seminggu - Para mandor/asper hendaknya berkoordinasi dengan LMDH dan KUD Pengurus LMDH diberi - Kegiatan pemantauan hendaknya minimal dilakukan seminggu sekali dan dilakukan diskusi kesempatan ikut terlibat dalam dengan penggarap tambak kontrol - Pemantauan dan kontrol terhadap pelaksanaan GAP dan perwilayahan komoditas menjadi 1 desa minimal 2 orang petugas tanggung jawab LMDH lapangan - Pemantauan dan kontrol terhadap penangkapan kepiting, wideng, belut, ular, dan burung menjadi tanggung jawab LMDH - Para mandor hendaknya berkoordinasi dengan LMDH dan KUD terkait dengan permasalahan empang dan produksi perikanan. - Kegiatan pemantauan dari Asper hendaknya minimal dilakukan seminggu sekali dan dilakukan diskusi dengan penggarap tambak terkait permasalahan minawana terutama terhadap kelestarian mangrove - Penambahan staff (polisi hutan) untuk meningkatkan pengawasan di kawasan RPH TegalTangkil Pencabuatan hak garap jika - Jika melakukan penebangan diberikan peringatan dan hukuman harus menanam kembali terbukti pelanggaran seperti semula - Pencabutan hak garap jika tidak mengindahkan peringatan dan hukuman yang diberikan - Jika pelanggaran terhadap pindah garap tanpa sepengetahuan pihak Perhutani adalah tidak mengakui hak garap tersebut - Tindak tegas terhadap penebang liar berupa denda atau penjara - Pemberian insentif kepada penggarap tambak/masyarakat yang secara langsung aktif melakukan pelestarian mangrove.

110 89 6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan 1) Secara ekologi didapatkan bahwa: a) penutupan mangrove memberikan kontribusi yang nyata terhadap hasil tangkapan udang harian (Selang kepercayaan 99%). b) kualitas air insitu masih dapat menunjang kegiatan budidaya. Akan tetapi, adanya indikasi terdeteksi logam berat, sehingga perlu pembuatan sistem tandon untuk memperbaiki kualitas air. 2) Secara bioteknis didapatkan bahwa: a) masyarakat penggarap tambak melakukan budidaya secara tradisional dan umumnya tidak melakukan standar budidaya yang baik. b) Tidak ada perwilayahan komoditas sesuai sebaran salinitas di kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil. 3) Perhitungan ekonomi pengembangan minawana di RPH Tegal-Tangkil dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat mencapai a) % pada sistem polikultur antara udang dan bandeng b) % pada sistem polikultur antara bandeng dan mujair. 4) Perbaikan pengelolaan minawana setidaknya fokus terhadap kelembagaan yakni sistem organisasi dan aturan main. a) Perbaikan dalam struktur organisasi pengelolaan minawana menjadi langkah pertama dalam perbaikan pengelolaan. Oleh karena itu, Perhutani tentunya perlu memberikan kewewenangan terhadap LMDH sebagai organisasi resmi yang mengatur pengelolaan dilapangan. b) Langkah selanjutnya adalah perbaikan pengelolaan minawana adalah perbaikan dalam aturan main dalam pengelolaan. Aturan main ini terkait dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap pengelolaan minawana. Selain itu, tentunya sanksi atau imbalan apa yang diperoleh jika melanggar aturan yang ditetapkan.

111 Saran 1) Perbaikan dalam struktur organisasi pengelolaan minawana menjadi langkah pertama dalam perbaikan pengelolaan. Oleh karena itu, Perhutani tentunya perlu memberikan kewenangan terhadap LMDH sebagai organisasi resmi yang mengatur pengelolaan di lapangan. Langkah selanjutnya adalah perbaikan aturan main dalam pengelolaan. 2) Mempertegas penegakan hukum dan penerapan sanksi menjadi point penting dalam pengelolaan minawana. Oleh karena itu pencabutan hak garap akan memberikan efek jera bagi setiap yang melakukan pelanggaran.

112 91 DAFTAR PUSTAKA Anonimous Monografi Kecamatan Blanakan tahun Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang. Anwar C, Gunawan H Peranan Ekologi Dan Sosial Ekonomis Ekosistem mangrove Dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006 Awang, S. A et al Panduan Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Montpellier, France: French Agricultural Research Centre for International Development (CIRAD), Bogor, Indonesia: Center for International Forestry Research (CIFOR), dan Yogyakarta, Indonesia: PKHR Fakultas Kehutanan UGM. [ Coleman J Dasar-dasar Teori Sosial. Terjemahan dari Foundations of Sosial Theory, The Belknap Pres of Harvard University Press, 1994; Penerjemah: Imam Muttqien, Derta Srie W, dan Siwi Purwandari. Bandung. Penerbit Nusa Media Djamali A Telaah Ekologi Kelimpahan Juwana Udang Jerbung (Penaeus merquiensis de Haan) di Perairan Sekitar Mangrove Sungai Donan, Cilacap,Jawa Tengah. Dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove. Jakarta.Hal 175. Djogo T, Suharjito D, Sirait MT Kelembagaan dan kebijakan dalam pengembangan agroforestri. Bahan Ajaran Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. 32 p. Effendi H Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm. Fahrudin A Analisis Ekonomi Pengelolaan Lahan Peisir Kabupaten Subang Jawa Barat. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Fitzgerald WJ Integrated Mangrove Forest and Aquaculture Systems (Silvofisheries) in Indonesia. Report of the Bangkok FAO Technical Consultation on Policies for Sustainable Shrimp Culture. Bangkok, Thailand, 8-11 December FAO Fisheries Report No Rome. 31p Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Schoelten L Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International - Indonesia Programme. Bogor. Penerjemah: Noor Yus Rusila, M Khazali, I NN Suryadiputra. Terjemahan dari: A Field Guide of Indonesian Mangrove. Gittinger JP Analisis Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Terjemahan dari Economic Analysis of Agriculture Project. Penerjemah Komet Mangiri dan Slamet Sutomo. Jakarta. UI Press. Gunawan H, Anwar C Kualitas Perairan Dan Kandungan Merkuri (Hg) Dalam Ikan Pada Tambak Empang Parit Di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Ciasem-Pamanukan, Kesatuan Pemangkuan Hutan Purwakarta,

113 92 Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam; Vol. V No. 1 : 1-10, 2008 Gunawan H, Anwar C, Sawitri R, Karlina E. 2007a. Status Ekologi Minawana Pola Empang Parit Di Bagian Pemangkuan Hutan Ciasem-Pamanukan, Kesatuan Pemangkuan Hutan Purwakarta. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam; Vol. IV No. 4 : , 2007 Gunawan H, Anwar C, Sawitri R, Karlina E. 2007b. Peranan Minawana Dalam Peningkatan Pendapatan masyarakat Dan Konservasi Mangrovedi Bagian Pemangkuan Hutan Ciasem-Pamanukan,Kesatuan Pemangkuan Hutan Purwakarta. Info Hutan; Vol. IV No. 2 : , 2007 Halidah MQ, Anwar C Produktivitas Tambak Pada Berbagai Penutupan Mangrove. Info Hutan: Vol. IV No. 4 : , 2007 Hastuti RB Penerapan Minawana (silvofishery) Berwawasan Lingkungan Di Pantai Utara Kota Semarang. Lingkungan Tropis, vol.5, no.1, Maret 2011 Hogarth PJ The Biology of Mangroves and Seagrasses. Oxford University Press Inc. New York [KepMen] Keputusan Menteri Kelautan Perikanan dan Kelautan Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor: Kep. 28/Men/2004 Tentang Pedoman Umum Budidaya Udang Di Tambak. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta [KepPres] Keputusan Presiden Republik Indonesia No.32 tahun Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta [KPH] Kesatuan Pemangkuan Hutan Purwakarta Renstra Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove KPH Purwakarta. Perhutani KPH Purwakarta. Purwakarta Maifitri Y Keterkaitan Antara Penutupan Hutan Mangrove Dan Salinitas Dengan Produksi Udang Windu Dan Ikan Bandeng Di Kawasan Silvofishery, Blanakan, Subang. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor Mattjik AA, Jaya IS Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor. IPB Press Naamin N Penggunaan lahan mangrove untuk budidaya tambak, keuntungan dan kerugiannya. Dalam Subagjo Soemodihardjo et al. Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove, Bandar Lampung 7-9 Agustus Panitia Nasional Pangan MAB Indonesia-LIPI Jakarta. Nikijuluw VPH Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta Strategi Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu. Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Pesisir Terpadu. Usahatani Pesisir, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (IPB).

114 93 Nugroho SG, Setaiawan A, Harianto SP Coupled Ecosystem Silvo-Fishery; Bentuk Pengelolaan Ekosistem mangrove-tamnbak yang Saling Mendukung dan Melindungi. Dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Mngrove, Bandar Lampung 7-9 Agustus Panitia Nasional Program MAB IndonesiaLIPI Nur SH Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove Secara Lestari Untuk tambak Tumpangsari di kabupaten Indramayu Jawa Barat. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Nybakken JW Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi. Muhammad Eidman, Dietrich G B, Malikusworo Utomo, Sukristijono Sukardjo. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Terjemahan dari: Marine Biology: An Ecological Approach. Ostrom E Background on the Institutional Analysis and Development Framework. The Policy Studies Journal, Vol. 39, No. 1, 2011 Perhutani Pengelolaan Ekosistem mangrove KPH Purwakarta. Prosiding Seminar II: Ekosistem Mangrove: LIPI, Balai Penelitian Hutan, Perum Perhutani, Biotrop dan Dit. Bina Program Kehutanan, Jakarta. Perhutani Pengelolaan Ekosistem mangrove dengan Pendekatan Sosial Ekonomi pada Masyarakat Desa Pesisir Pulau Jawa. Prosidings Seminar V: Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6 Agustus 1994: Kontribusi MAB Indonesia No. 72-LIPI, Jakarta. [PP] Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara. Pradana Y Pengaruh Lingkungan Mangrove Terhadap Produksi Udang Dan Ikan Bandeng Di Kawasan Silvofishery Blanakan Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor Primavera JH Integrated Mangrove-Aquaculture System in Asia. Aquaculture Departement. Southeast Asean Fisheries Development Center. Tigbauan. Philippines. Rahmadya A Perwilayahan Komoditas Budidaya Berbasis Salinitas Di Kawasan Mangrove Pola Silvofishery Blanakan, Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor Ruddle K Traditional Community - Based Coastal Marine Fisheries Management in Viet Nam. Ocean dan Coastal Management. Elsevier Sciences. Rudiyanto BY Analisis Kelembagaan Dan Biaya Transaksi Dalam Pengelolaan Sea Farming Di Pulau Panggang Kabupaten Administrasikepulauan Seribu. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

115 94 Saladin A Keberdaan dan Hasil Tangkapan Alami Udang Penaeid Di Silvofishery. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK IPB. Bogor Setiawan H, Sidabutar JL Perencanaan Jaringan Irigasi Tambak Memanfaatkan Pasang Surut Air Laut Di Kali Tenggang Kecamatan Genuk Kota Semarang. [Tugas Akhir]. Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Shilman M.I Kajian Penerapan Silvofishery Untuk Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Di Desa Dabong Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat.[Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Soewardi K Minawana Technology Development In The Northcoast Of West Java, Indonesia. Paper yang disampaikan pada; Third International Seminar on Experience of Sustainable Agriculture Development in South East Asia (ESA III), Univ. Khon Kaen, Khon Kaen, Thailand November 1994 Soekartawi Analisis Usahatani. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Sualia I, Eko BP, Suryadiputra INN Panduan Pengelolaan Budidaya Tambak Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor. Sukardjo S Tumpang Sari Pond As A Multiple Use Concept To Save The Management Forest in Java. In Simposium on Mangrove management; Its Ecological and Economic Consideration. Bogor August 9-11, Biotrop Special Publication N0.37; SEAMEO-BIOTROP. Bogor [SNI] Standar Nasional Indonesia Produksi udang windu (Penaeus monodon) di tambak dengan teknologi sederhana. SNI 7310:2009. Badan Standardisasi Nasional Taryono Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya. Lecture Notes pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir (PS-SPL), Dept. MSPFPIK, IPB

116 Laut Pengambilan contoh sosek Pengambilan contoh biofisik Lampiran 1. Peta titik pengambilan contoh

117 96 Lampiran 2 Prosedur pengumpulan data A. Prosedur pengumpulan data ekobiologi Pengkuran parameter fisika dan kimia lingkungan dilakukan langsung di lapangan pada tiap sub stasiun penelitian (Gambar 12). Pengukuran tiap parameter dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1) Suhu air permukaan dan DO diukur dengan menggunakan DO meter dengan mencelupkan probe DO meter kedalam air, yang kemudian di lihat angka yang tercantum pada layar 2) 3) Pengukuran salinitas air dilakukan dengan cara meletakkan beberapa tetes air pada permukaan hand refraktormeter, tutup dengan kaca penutup, kemudian tempatkan alat di bawah sinar agar skala dapat terbaca. 4) ph air diukur dengan cara mencelupkan kertas lakmus pada sampel air yang diambil, kemudian membandingkan warna yang muncul dengan nilai warna yang ada, sedangkan ph substrat diukur dengan menggunakan ph meter substrat yang ditancapkan langsung ke substrat. 5) Kedalaman air diukur dengan menggunakan tongkat berskala. 6) Kecerahan air diukur dengan menggunakan secchi disc yang ditenggelamkan dan diamati kedalaman air melalui dengan penampakan disc. 7) Air contoh untuk analisa logam berat diambil dan dimasukkan ke dalam botol dan ditempatkan pada box yang diberi es dan selanjutnya di analisis di laboratorium 8) Penentuan penutupan dan rasio mangrove terhadap tambak di ukur berdasarkan luasan tambak dan luasan mangrove yang menutupi tambak 9) Penentuan jenis mangrove dengan melihat ciri pada akar, daun maupun buahnya berdasarkan Giesen et al. (2006) B. Prosedur pengumpulan data sosial-ekonomi dan kelembagaan Untuk kebutuhan data sosial, ekonomi dan kelembagaan akan diambil data primer berdasarkan wawancara langsung dengan penggarap tambak, tokoh masyarakat, pihak Perhutani, koperasi, dan aparat pemerintah serta tokoh masyarkat/tokoh agama setempat di sekitar lokasi studi. Selain itu akan diambil data skunder dari pihak terkait yang berhubungan dengan data sosial ekonomi kegiatan pertambakan. Secara ringkas, data-data yang akan dikumpulkan pada kajian ini disajikan pada berikut ini. Tabel Jenis dan metode pengumpulan data ekologi Jenis Data Lokasi Pengamatan Metode Pengukuran Keterangan Fisika - Suhu Insitu Termometer Primer - Salinitas Insitu Refraktometer Primer - Kecerahan Insitu Secchi disk Primer Kimia - ph Insitu ph meter Primer - DO Insitu DO meter Primer Logam berat Cadmium Laboratorium AAS Primer (air dan biota) Tembaga Laboratorium AAS Primer (air dan biota) Timbal Laboratorium AAS Primer (air dan biota) Biota Perairan insitu dan Primer dan skunder Visualisasi laboratorium Vegetasi Pesisir Insitu Visualisasi Primer

118 Tabel Jenis dan metode pengumpulan data sosial-ekonomi dan kelembagaan Jenis Data Lokasi Pengamatan Metode Pengukuran Keterangan Sosial/kependudukan primer dan wawancara dan dari laporan elemen yang terkait dan instansi sekunder dinas terkait Kelembagaan primer dan wawancara dan dari laporan elemen yang terkait dan instansi sekunder dinas terkait Ekonomi primer dan wawancara dan dari laporan elemen yang terkait dan instansi sekunder dinas terkait Lampiran 3 Pengukuran/perhitungan kualitas air 1) Kecerahan Kecerahan perairan di hitung dengan menggunakan rumus : D 1 D K 2 2 Keterangan: K = Kecerahan (m) D 1 = Kedalaman pada saat secchi disc tepat menghilang (m) = Kedalaman pada saat secchi disc tepat terlihat kembali (m) D 2 2) Logam berat Terlebih dahulu dilakukan destruksi/ekstraksi/preparasi, seperti uraian berikut: Air sampel diambil sebanyak 250 ml Selanjutnya ditambahkan HCL sebanyak 2 ml Selanjutnya ditambahkan APDC sebanyak 2 ml Kemudian dipanaskan selama 1 jam Kemudian didinginkan Selanjutnya dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan dikocok Selanjutnya ditambahkan isobuthyl methylketon sebanyak 10 ml (5 ml+5 ml, diaduk selama 10 menit) Kemudia dibuang air laut (endapan dibawah) Selanjutnya ditambahkan asam nitrat 25 ml, kemudia encerkan (1:4) dengan cara: o Masukan aquades 100 ml o Masukan asam nitrat 25 ml o Selanjutnya ditambahkan aquades hingga 500 ml (labu takar ukuran 500 ml) Kemudian diaduk selama 1 menit Kemudian diambil bagian bawah dan dimasukkan ke dalam botol sampel Selanjutnya di anaslis dengan AAS Logam berat di dapatkan dengan rumus: ( Ac ab) a x100 Logamberat ( ppm ) bxwx 1000 Keterangan : Ac = Absorban contoh Ab = Absorban blanko A= Intercep dari persamaan regresi standar b = Slope dari persamaan regresi standar W = Berat sampel (g) 97

119 98 Lampiran 4 Qusioner pengumpulan data A. Qusioner pengumpulan data penggarap Kuesioner Penelitian KUESIONER PENELITIAN PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR BERBASIS WANAMINA (Studi Kasus Kawasan Wanamina RPH Tegal-tangkil Kab. Subang Jawa Barat ) Assalamu alaikum Wr, Wb. Kami sedang melakukan penelitian dalam rangka penulisan Tesis: Nama : Ahmad Muhtadi Rangkuti NRP : C Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB) Kami akan melakukan survai di desa yang masuk dalam kawasan Rencana Pengelolaan Hutan (RPH) Tegal Tangkil, KPH Purwakarta, Perum Perhutani unit III Jawa Barat-Banten. Secara administrasi termasuk wilayah Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini mengambil kasus di Perairan Pesisir Blanakan, dimana sudah ada percontohan tambak pola wanamina yang di buat oleh Perhutani namun ternyata tidak di acu oleh masyarakat. Wanamina pertamakali diperkenalkan di Burma dan kemudian di Indonesia diperkenalkan oleh Departemen Kehutanan dengan tujuan memberikan kesempatan pemanfaatan hutan mangrove bagi masyarakat sekitar untuk kegiatan perikanan tanpa merusak hutan mangrove sehingga diharapkan kesejahteraan masyarakat meningkat dan pada saat yang sama hutan mangrove tetap lestari. Namun dalam penerapannya di lapangan, ternyata tidak dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pada umumnya hutan mangrove cenderung rusak. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mencari sebab-sebab kegagalan penerapan wanamina baik dari segi kondisi ekologis, bioteknis budidaya perikanan, sosial ekonomi dan kelembagaan untuk mencari rumusan pola pengelolaan wanamina yang tepat dan benar. Kami akan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Bapak/Ibu/Saudara. Kami sangat berterima kasih jika Bapak/Ibu/Saudara bersedia menjawab pertanyaan kami. Kecamatan : Blanakan Desa/Dusun :.. Nama Enumerator :.. Tanggal wawancara :.. Waktu wawancara :.. No Quisioner :.. I. DATA UMUM RESPONDEN Nama : Jenis kelamin : Umur : Pendidikan terakhir : Pekerjaan utama : Pekerjaan sampingan : Status perkawinan : Status sosial : Agama : II. KONDISI RUMAH TANGGA 1. Jumlah anggota rumah tangga Bapak/Ibu/Saudara? orang a. Laki-laki,.. orang b. Perempuan,..orang c. Anggota keluarga lainnya..laki-laki, perempuan

120 99 keterangan 2. Struktur umur anggota keluarga a th,.. orang b th,. orang c. > 60 th,. Orang 3. Pendidikan terakhir anggota keluarga a. Tidak sekolah,.. orang e. tamat SMA, orang b. SD tidak tamat,.. orang f. Sarjana, orang c. Tamat SD,.. orang g. lain-lain,.. orang d. Tamat SMP,.. orang 4. Pendapatan (kotor) rumah tangga Bapak/Ibu/saudara secara keseluruhannya setiap bulan a. Usaha tambak, Rp. b. Non tambak, Rp. c. Total, Rp. 5. Pengeluaran rumah tangga Bapak/Ibu secara keseluruhannya setiap bulan? Rp. (total pengeluaran) No Peruntukan Rp (bulan) 1 Pangan 2 Pendidikan 3 Kesehatan 4 Pakaian 5 Operasional Tambak 6 Lain-lain III. KARAKTERISTIK FISIK-TEKNIS DAN EKONOMI SUMBERDAYA 1. Apakah tambak yang ada saat ini, sudah ada atau memang bapak/ibu/saudara sendiri yang bangun? 2. Mohon diisikan tabel di bawah ini? No Bagian Unit/volume Harga satuan (Rp) Total nilai A Luas Tambak/empang (m 2 ) B Biaya Tetap 1 Sewa Tambak (ha/tahun) 2 Biaya pembuatan tambak 4 Iuran/administrasi 5 Ijin usaha 6 Dana pelestarian lingkungan 7 Lain-lain C Total biaya tetap Biaya operasional 1 Persiapan (paket) 2 Benih a. Udang Windu - Padat tebar (ekor/m 2 ) - Jumlah tebar (ekor) b. Bandeng - Padat tebar (ekor/m 2 ) - Jumlah tebar (ekor) c. Nila 3 Pupuk - Padat tebar (ekor/m 2 ) - Jumlah tebar (ekor) a. Pupuk Urea (kg)

121 100 No Bagian Unit/volume Harga satuan (Rp) Total nilai b. Phonska (NPK) (kg) c. TSP (kg) d. Kapur Tohor (kg) e. Lain-lain 4 Pestisida a. HCN (kg) b. Ursal (liter) c. Lodan (kg) d. Raja udang (bks) e. Saponin (kg) f. Dolomit (kg) g. Linex h. Katalis CNI i. Raja bandeng j. Lain-lain 5 Biaya Panen musiman (paket) 6 Biaya panen harian (bubu) D E Total Biaya Operasional Total Biaya PANEN 1 Udang Windu Kelangsungan Hidup Size Panen (ekor/kg) Produksi (kg) Harga Udang (Rp/kg) Nilai Jual (Rp) Size Panen (ekor/kg) Produksi (kg) Harga Udang (Rp/kg) Nilai Jual (Rp) 2 Bandeng 3 Nila F Kelangsungan Hidup Size Panen (ekor/kg) Produksi (kg) Harga Bandeng (Rp/kg) Nilai Jual (Rp) Kelangsungan Hidup Size Panen (ekor/kg) Produksi (kg) Harga Bandeng (Rp/kg) Nilai Jual (Rp) Sub total Tangkapan harian a. Udang Api b. Udang Bago

122 101 No Bagian Unit/volume Harga satuan (Rp) Total nilai F G H I c. Udang Peci d. Ikan Mujaer e. Ikan Bandeng f. Ikan Blanak g. Ikan Kakap h. Ikan Pelak i. Laian-lain Sub Total Total Nilai Penjualan (Rp) Keuntungan (Rp) Biaya Hidup (Rp/MT) Keuntungan Bersih 1 a. Rp/petak/MT 2 b. Rp/Ha/MT 3. Berapa kali bapak melakukan penangkapan dari hasil sampingan? 4. Penangkapan harian yang dilakukan oleh bapak/ibu/saudara di mulai kapan? 5. Apakah hasil tangkapan sampingan yang Bapak/Ibu/Sdr(i) lakukan, dijual atau dimanfaatkan? a. Ya di jual (semuanya) b. Dijual sebagian c. dimanfaatkan 6. Bagaimana sistem pengisian air? a. dibiarkan mengikuti pasang-surut b. dibuka tiap hari c. tiap bulan pada saat pasang tertinggi d. 1 kali untuk satu kali tanam e. lain-lain 7. Permasalahan apa saat ini yang dialami oleh bapak/ibu/saudara terkait dengan pengelolaan/pemanfaatan empang? 8. Mohon bapak/ibu/sdr uraikan tekhnis (proses-proses) pemanfaatan empang (tambak) mulai dari persiapan sampai panen dan pemasaran? IV. PENGETAHUAN/PEMAHAMAN TENTANG MANGROVE DAN WANAMINA (EMPANG PARIT) DAN YANG TERKAIT 1. Apakah bapak tahu atau pernah mendengar/membaca istilah mangrove/hutan bakau? a. tidak b. ya, artinya. 2. Apakah bapak tahu atau pernah mendengar/membaca istilah empang parit? a. tidak b. ya, artinya. 3. (kalau tahu) dari mana bapak/ibu tahu kedua istilah tersebut? a. media (tv, Koran, majalah) b. dijelaskan dari teman/kerabat/saudara b. penjelasan dari pihak perhutani d. lain-lain (sebutkan) 4. Apakah bapak/ibu/sdr juga tahu atau pernah mendengar/membaca istilah rehabilitasi dan konservasi mangrove? a. tidak b. ya, artinya. 5. Apakah bapak/ibu/sdr juga tahu atau pernah mendengar/membaca istilah pengelolaan hutan bersama masyaraka (PHBM)? a. tidak b. ya

123 102 artinya. 6. Apakah bapak/ibu/sdr juga tahu atau pernah mendengar/membaca istilah lembaga masyarkat desa hutan (LMDH)? a. tidak b. ya, artinya. 7. Apakah bapak/ibu/sdr juga tahu atau pernah mendengar/membaca istilah hutan lindung? a. tidak b. ya, artinya. 8. Apakah bapak/ibu/sdr mengetahui manfaat dari hutan bakau? Tolong sebutkan? 9. Adakah bagi bapak/ibu/saudara manfaat dari hutan bakau? Sebutkan? 10. Adakah bagi bapak/ibu/saudara kerugian yang ditimbulkan oleh adanya hutan bakau? 11. Menurut Bapak/Ibu ancaman kegiatan manusia apa saja yang dapat menggangu kelestarian dari fungsi dan manfaat hutan bagi masyarakat di sini? 12. Seandainya hutan di sini berkurang atau habis, apa yang akan Bapak/Ibu lakukan? 13. Bagaimana caranya agar hutan ini tidak musnah? V. SOSIAL 1. Sudah berapa lama bapak/ibu tinggal di desa/dusun ini? 2. Sudah berapa lama perkampungan ini ada? Dalam 5 tahun terakhir apakah perkampungan ini mengalami kemajuan pesat? Mohon bapak/ibu/saudara jelaskan? 3. Dapatkah bapak/ibu/saudara jelaskan kondisi lingkungan komunitas penggarap empang saat ini? 4. Bagaimana sistem kekerabatan di tempat bapak/ibu/saudara? Misal, marga atau dsb? 5. Bagaimana (masih adakah) sistem gotong royong di tempat bapak/ibu/saudara? 6. Jika bapak ada masalah pribadi dan ingin mendapatkan pertolongan (misal: mendapat musibah, meminjam uang, dst) kepada siapakah yang pertama kali bapak hubungi? Apakah saudara atau tetangga atau toke? Mengapa? 7. Norma (sistem nilai) apakah yang masih kuat (masih ada) terkait dengan pemanfaatan/pengelolaan hutan bakau? 8. Apakah ada peraturan yang berlaku diantara masyarakat yang mengatur tentang pemanfataan/pengelolaan hutan bakau (empang)? 9. Siapakah di tempat bapak/ibu/saudara yang paling dituakan? Mengapa? 10. Bagaimana peran antar tokoh agama, tokoh adat dan pemilik modal di tempat saudara? 11. Bagaimana penyelesaian konflik (pengambilan keputusan) yang terjadi di tempat bapak/ibu/saudara? 12. Bagaimana cara menjadi pemimpin informal? Bagaimana pemimpin informal baru tsb terpilih? 13. Apakah ada tempat-tempat yang secara adat dilindungi atau tidak boleh diganggu di tempat bapak/ibu/saudara? Mengapa? 14. Apakah di kalangan masyakat di sini masih ada pantangan, kepercayaan, atau aturan adat khusus yang masih berlaku? Mengapa? 15. Apakah ada binatang atau tanaman yang khusus dilindungi (tidak boleh diambil/ditangkap)? Mengapa? VI. KELEMBAGAAN 1. Sejak kapan bapak//ibu/saudara menjadi penggarap empang? 2. Siapakah pemilik sah, empang parit yang bapak/ibu/saudara garap? 3. Apakah mudah atau sulit untuk mendapatkan empang yang baru? Mengapa? 4. Bagaimana prosesnya supaya empang parit tersebut dapat bapak/ibu/saudara garap? 5. Jika empang parit tersebut dapat digarap dengan sistem sewa, berapa lama jangka waktu pemakaiannya? 6. Jika waktu sewa berakhir, apakah dapat diperpenjang secara otomatis? Atau proses penyewaan mulai dari awal lagi? Jika otomatis berapa lama jangka waktu penyewaannya? 7. Apakah bapak/ibu/saudara menyewa empang parit tersebut langsung dari Perhutani? Atau pihak yang lain? Siapa?

124 8. Bagaimana aturan (perjanjian) dari penyewaan empang parit tersebut baik langsung dari Perhutani ataupun dari pihak lain? (termasuk modifikasi empang?) 9. Setelah bapak/ibu/saudara dapat ijin untuk menggunakan (menggarap empang parit) tersebut di peroleh, hak-hak apakah yang dapat bapak peroleh terhadap pemanfaatan empang tersebut? 10. Jika terjadi pelanggaran terhadap hak dan kewajiban terkait dengan pemanfaatan empang, sangsi apa yang berlaku baik dari Perhutani atau sangsi dari masyarakat (kelompok masyarakat)? 11. Bagaiamana pelaksanaan terhadap penegakan aturan dan atau sangsi jika terjadi pelanggaran dari Perhutani atau masyarakat (kelompok masyarakat)? 12. Apakah ada monitoring/pemantauan dari Perhutani atau kelompok masyarakat terhadap penegakan aturan yang ada? 13. Apakah bapak/ibu/saudara telah/akan memodifikasi empang? 14. Jika ya, kenapa bapak/ibu/saudara melakukan hal tersebut? Apakah bapak/ibu/saudara tidak takut dengan sangsi dari Perhutani/masyarakat? Mengapa? 15. Jika tidak, kenapa bapak/ibu/saudara tidak melakukan hal tersebut? Jika tetap menjaga empang sesuai dengan aslinya apakah ada hadiah dari pihak Perhutani? 16. Sanksi-sanksi apa yang dikenakan bila seseorang memodifikasi empang? 17. Saat ini banyak empang yang sudah dimodifikasi untuk memperluas areal budidaya dengan alasan meningkatkan produksi empang. Apakah bapak/ibu/saudara hal tersebut bapak setuju? Mengapa? 18. Akan tetapi disisi lain hasil tangkapan harian (impes) menurun, selain itu komoditas budidaya mudah mati. Apakah hal tersebut benar? Menurut bapak/ibu/saudara kenapa? 19. Jika hutannya semakin banyak (tebal) apa yang terjadi dengan budidaya dan hasil tangkapan? 20. Kalau bakaunya sudah lebat apa yang seharusnya dilakukan oleh bapak/ibu/sudara? 21. Jika misalkan suatu saat ada penataan empang di tempat bapak/ibu/saudara untuk memperbaiki kondisi dan meningkatkan produksi perikanan apakah bapak/ibu/saudara bersedia? Mengapa? 22. Menurut bapak/ibu/sudara empang ini sebaiknya mau di apakan? (terkait: hak milik/hak sewa/hak guna/keamanan berusaha) 23. Jika ada pilihan pekerjaan antara penggarap empang, bertani, buruh atau pekerjaan lainnya, bapak/ibu/saudara pilih yang mana? Mengapa?? 24. Organisasi apa saja yang masih aktif di daerah bapak/ibu/saudara? 25. Apakah seluruh organisasi tersebut berhubungan langsung dengan pengelolaan/pemanfaatan empang-parit?, kalau tidak organisasi apa saja yang berhubungan? 26. Bagaimana organisasi tersebut terbentuk (organisasi yang berhubungan dengan pengelolaan empang)? 27. Bagaimana peran dari organisasi/lembaga tersebut terhadap kemajuan penggarap? 28. Bagaimana peran organisasi tersebut terkait dengan pelestarian hutan bakau/mangrove (keberlanjutan empang-parit)? 103

125 104 Lampiran 5 Gambaran umum kawasan wanamina saat ini a) Kali Malang ditumbuhi semak-semak b) saluran/kalen terjadi pendangkalan c) kondisi sempadan pantai/pinggir laut d) kondisi sempadan sungai

126 105 Lampiran 6 Foto Jenis Flora dan Fauna yang ditemukan di kawasan wanamina a) Jenis flora Api-api Bakau Semak Semak ` b) Jenis fauna perairan Udang bago/windu Udang putih/peci Kepiting bakau Wideng

127 106 Lampiran 6 Foto Jenis Flora dan Fauna yang ditemukan di kawasan wanamina (lanjutan ) Ikan bandeng Ikan mujaer Ikan kakap Ikan lundu Ikan kiper Ikan betok Belut Burung

128 107 Lampiran 7 Foto alat tangkap kepiting, wideng dan belut. Alat penangkapan udang harian Alat penangkapan wideng Alat penangkapan kepiting Alat penangkapan belut

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove Habitat Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove Habitat Mangrove 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove Tomlinson (1986) dan Wightman (1989) in Giesen et al. (2006) mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut. Mangrove juga

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan wilayah yang berfungsi sebagai jembatan antara daratan dan lautan. Ekosistem mangrove sangat penting sebagai tempat untuk berlindung, mencari

Lebih terperinci

Gambar 4 Peta lokasi penelitian (Sumber: Hasil olahan 2012)

Gambar 4 Peta lokasi penelitian (Sumber: Hasil olahan 2012) 17 3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian difokuskan pada kawasan minawana di Desa Jayamukti, Blanakan dan Langensari, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Tabel 4 Luas wilayah studi di RPH Tegal-Tangkil

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Tabel 4 Luas wilayah studi di RPH Tegal-Tangkil 27 4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Lokasi penelitian, khususnya ekosistem mangrove masuk dalam wilayah pengelolaan Resort Polisi Hutan (RPH) Tegal-Tangkil, BKPH Ciasem- Pamanukan.

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan p ISSN Volume 7 Nomor 1. Juni 2017 e ISSN Halaman : 25-39

Jurnal Perikanan dan Kelautan p ISSN Volume 7 Nomor 1. Juni 2017 e ISSN Halaman : 25-39 Jurnal Perikanan dan Kelautan p ISSN 2089 3469 Volume 7 Nomor 1. Juni 2017 e ISSN 2540 9484 Halaman : 25-39 Pengelolaan Sumberdaya Ekosistem Mangrove Berbasis Minawana (Studi Kasus: Kawasan Mangrove RPH

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove biasa ditemukan di

TINJAUAN PUSTAKA. daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove biasa ditemukan di TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Berdasarkan buku Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (9), wilayah mangrove desa Jayamukti Kecamatan Blanakan secara administrasi kehutanan termasuk

Lebih terperinci

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Diperoleh model dalam pengelolaan lahan mangrove dengan tambak dalam silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat bermanfaat bagi pengguna

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di sekitarnya. Kawasan pesisir memiliki beberapa ekosistem vital seperti ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari  diakses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta jumlah pulau di Indonesia beserta wilayah laut yang mengelilinginya ternyata menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah pesisir yang terpanjang

Lebih terperinci

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Legonkulon berada di sebelah utara kota Subang dengan jarak ± 50 km, secara geografis terletak pada 107 o 44 BT sampai 107 o 51 BT

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA 48 BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA 6.1. Dampak Konversi Mangrove Kegiatan konversi mangrove skala besar di Desa Karangsong dikarenakan jumlah permintaan terhadap tambak begitu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari PENDAHULUAN Latar Belakang ndonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17 508 pulau dan panjang garis pantainya kira-kira 81 000 kin serta wilayah laut pedalaman dan teritorialnya

Lebih terperinci

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SALINAN PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem Mangrove. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem Mangrove. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

Acta Aquatica 2:1 (April, 2015) Acta Aquatica. Aquatic Sciences Journal

Acta Aquatica 2:1 (April, 2015) Acta Aquatica. Aquatic Sciences Journal ISSN. 2406-9825 Acta Aquatica 2:1 (April, 2015) 41-47 Acta Aquatica Aquatic Sciences Journal Status Ekologis dan Pengembangam Minawanabagi Peningkatan Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus: Kawasan Minawana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan hutan mangrove Kecamatan Lagonkulon, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Dipilihnya Kecamatan Legonkulon karena Kecamatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan masyarakat tumbuhan atau hutan yang beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki peranan penting dan manfaat yang

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 37 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Ekologi Ekosistem Minawana 5.1.1. Fauna Perairan Pada ekosistem mangrove di lokasi penelitian ditemukan ikan, udang dan kepiting, baik yang khusus dibudidayakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang oleh air laut, komunitasnya dapat bertoleransi terhadap air garam, dan

Lebih terperinci

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung V.1. Kajian keberlanjutan dengan Metode Ecological Footprint Seperti telah disebutkan sebelumnya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber data secara langsung.

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia,

TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia, karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR LEMBAR PERSEMBAHAN ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR LEMBAR PERSEMBAHAN ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii LEMBAR PERSEMBAHAN... iv ABSTRAK... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air laut baik. Mangrove juga memiliki keunikan tersendiri dibandingkan lain, keunikannya diantaranya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

Melaksanakan tanaman hutan di setiap lokasi garapan masing-masing. pasang surut air laut dan aliran sungai. pengembangan pengelolaan ikan dan lainnya.

Melaksanakan tanaman hutan di setiap lokasi garapan masing-masing. pasang surut air laut dan aliran sungai. pengembangan pengelolaan ikan dan lainnya. Melaksanakan tanaman hutan di setiap lokasi garapan masing-masing Ikut menerbitkan pemukiman/perambah dalam kawasan hutan mangrove Gotong royong memperbaiki saluran air yang dangkal untuk mempelancar pasang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN MUARA SUNGAI DAN PANTAI DALAM WILAYAH KABUPATEN BULUNGAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan

Jurnal Perikanan dan Kelautan Jurnal Perikanan dan Kelautan Volume 7 Nomor 1 Juni 2017 Jurnal Perikanan dan Kelautan memuat hasil-hasil penelitian / kajian yang meliputi bidang perikanan laut, perikanan budidaya, pengolahan perikanan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Mangrove didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung, hutan yang tumbuh terutama pada tanah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis memiliki sebagian besar wilayahnya berupa pesisir dan pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya interaksi/peralihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

SYLVOFISHERY (MINA HUTAN) : PENDEKATAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SECARA LESTARI ABSTRAK

SYLVOFISHERY (MINA HUTAN) : PENDEKATAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SECARA LESTARI ABSTRAK SYLVOFISHERY (MINA HUTAN) : PENDEKATAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SECARA LESTARI Benny Hartanto Staf Pengajar Akademi Maritim Yogyakarta (AMY) ABSTRAK Penerapan sistem mina hutan (sylvofishery) di ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan mengandung pengertian suatu perubahan besar yang meliputi perubahan fisik wilayah, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang didukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Menurut Sedjo dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

Oleh. Firmansyah Gusasi

Oleh. Firmansyah Gusasi ANALISIS FUNGSI EKOLOGI HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA JURNAL Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menempuh Ujian Sarjana Pendidikan Biologi Pada Fakultas Matematika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir. Hutan mangrove menyebar luas dibagian yang cukup panas di dunia, terutama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan selalu atau secara teratur digenangi oleh air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii BERITA ACARA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci