Kontrol Geologi terhadap Respon Lahan dalam Gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006: upaya pembuatan peta zonasi mikro di daerah Bantul

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kontrol Geologi terhadap Respon Lahan dalam Gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006: upaya pembuatan peta zonasi mikro di daerah Bantul"

Transkripsi

1 Kontrol Geologi terhadap Respon Lahan dalam Gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006: upaya pembuatan peta zonasi mikro di daerah Bantul Salahuddin Husein, Dwikorita Karnawati dan Subagyo Pramumijoyo Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Antonius Ratdomopurbo Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian SARI: Lebih dari 5700 orang meninggal dan lebih dari 200 ribu keluarga kehilangan tempat tinggal akibat gempabumi Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006, yang berlangsung selama 57 detik dengan kekuatan 5,9 skala Richter. Selain dipengaruhi oleh kualitas bangunan yang buruk dengan material dan rancangan yang tidak tahan terhadap gempabumi, kondisi geologi tampaknya menjadi faktor utama dalam respon lahan setempat terhadap tingkat kerusakan bangunan. Untuk mempelajari hal itu, Jurusan Teknik Geologi FT UGM melakukan pengukuran mikrotremor pada 243 titik di daerah bencana yang didukung oleh pengukuran magnetotelurik dan pemboran geologi teknik. Obyektif dari penelitian tersebut adalah untuk meneliti berbagai faktor geologi pengontrol sifat respon lahan yang mempengaruhi tingkat kerusakan rumah diatasnya dan untuk selanjutnya dikembangkan menjadi suatu peta zonasi mikro kerentanan gempabumi. Kehadiran peta zonasi mikro tersebut sangat penting untuk mendukung perbaikan kode pembangunan (building code) dan manajemen pemanfaatan lahan di daerah rawan gempabumi. Terdapat 4 zonasi mikro di daerah Bantul yang mengindikasikan berbagai tingkat respon lahan terhadap getaran gempabumi, yaitu zona penguatan sangat tinggi, penguatan tinggi, penguatan sedang dan penguatan rendah. Pengontrol utama tingkat respon lahan adalah kondisi stratigrafi atau urutan vertikal batuan setempat, terutama yang terkait dengan jenis batuan, berat jenisnya serta ketebalannya. Pengontrol lainnya adalah kehadiran sistem-sistem patahan pada batuan dasar. 1 PENDAHULUAN Pada tanggal 27 Mei 2006, pukul WIB telah terjadi gempabumi tektonik dengan kekuatan 5,9 skala Richter atau dengan intensitas VI VII skala MMI (BMG, 2006). Pusat gempa berada pada kedalaman 11.8 km dan titik episentrum gempa tersebut terletak 37.2 km selatan Yogyakarta pada lokasi 8.03 LS BT (Gambar 1). Getaran gempabumi dirasakan selama 57 detik di seluruh wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta dan sebagian Provinsi Jawa Tengah, menghasilkan orang meninggal, orang terluka, orang menjadi pengungsi, rumah roboh, rumah rusak berat, rumah rusak ringan, 386 fasilitas kesehatan roboh dan rusak, tempat ibadah roboh dan rusak, sekolah roboh dan rusak, serta kantor pemerintahan roboh dan rusak (Bakornas PBP, 2006). Melihat dampak kerusakan sosial-ekonomi yang sangat serius tersebut, Jurusan Teknik Geologi FT UGM dengan dibantu oleh Jurusan Teknik Sipil, Jurusan Teknik Geodesi, Program Studi Geofisika UGM, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta, serta Universitas Kyushu dan Universitas Kyoto di Jepang, segera mengambil langkah-langkah kajian ilmiah untuk mendukung program pemulihan dan perbaikan daerah bencana. Kondisi geologi lokal dan pengaruh topografi mengontrol sebaran kerusakan akibat gempabumi. Pada daerah yang berada di suatu lembah perbukitan dan disusun oleh sedimen lunak, penguatan atau amplifikasi getaran gempabumi seringkali terjadi dan menambah tingkat kerusakan yang ada. Sehingga penguatan atau amplifikasi getaran gempabumi oleh kondisi lokal tersebut memiliki implikasi penting dalam penataan ruang dan wilayah. 1

2 Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kerusakan sosial-ekonomi yang serius tersebut disebabkan oleh tingkat pemahaman masyarakat terhadap bencana alam gempabumi yang masih rendah. Hampir semua bangunan yang rusak dibangun tidak mengikuti kode pembangunan (building code) untuk daerah rawan gempabumi. Aturan pembangunan yang ada umumnya masih bersifat regional dan berdasarkan pada informasi geologi yang bersifat regional pula. Keragaman tingkat kehancuran yang ada akibat gempabumi Yogyakarta tersebut menunjukkan adanya kontrol geologi lokal. Sehingga penyediaan informasi skala detail mengenai karakteristik lahan dan geologi setempat dimana bangunan tersebut berada menjadi sangat diperlukan. Makalah ini mencoba untuk memaparkan karakteristik lahan dan geologi skala detail untuk Kabupaten Bantul, sebagai upaya untuk memberikan informasi yang diperlukan dalam penyusunan kode pembangunan (building code) dalam rangka perogram pemuliham kondisi pasca gempa. 2 KONDISI GEOLOGI DAN SEJARAH KEGEMPAAN YOGYAKARTA 2.1 Geologi Yogyakarta Yogyakarta merupakan suatu depresi atau cekungan yang dibatasi di bagian utara oleh Gunung Merapi yang berumur Kuarter; bagian timurnya dibatasi oleh Pegunungan Selatan dan bagian baratnya dibatasi oleh Pegunungan Kulon Progo, dimana keduanya disusun oleh batuan berumur Tersier; serta bagian selatannya dibatasi oleh Samudera India (Gambar 2). Batuan berumur Tersier yang ada di Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo terdiri dari serial batuan klastik produk gunungapi purba (Formasi Nanggulan, Kebobutak, Semilir, Nglanggran, Wuni dan Sambipitu) dengan kisaran umur sekitar juta tahun lalu, yang ditumpangi oleh serial batuan karbonat produk pengendapan laut dangkal (Formasi Wonosari, Jonggrangan, Kepek dan Sentolo) dengan kisaran umur sekitar juta tahun silam. Pengangkatan Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo pada sekitar 1.6 juta tahun lalu telah menciptakan sebuah cekungan atau depresi diantara keduanya, yang diberinama geografis sebagai Cekungan Yogyakarta. Gunungapi Merapi kemudian muncul di sebelah utara dan mengisi Cekungan Yogyakarta dengan endapan volkaniknya, yang sebagian besar dibawa oleh sungai-sungai yang berhulu di lereng gunungapi tersebut. Ketebalan endapan volkanik Merapi tersebut dapat mencapai lebih dari 100 m (Hendrayana, 1993). Hingga saat ini, proses sedimentasi oleh sungai masih terus mendominasi di Cekungan Yogyakarta, mengendapkan kerikil, pasir, lanau dan lempung di sepanjang lembah alirannya. Di sepanjang pesisir selatan, pasir halus yang kaya unsur besi yang telah dibawa oleh sungai-sungai tersebut ke laut diendapkan kembali oleh angin sebagai gumuk-gumuk pasir. Suatu sistem patahan yang terletak diantara Cekungan Yogyakarta dan Pegunungan Selatan berhasil dikenali dari survey gaya berat (Untung dkk., 1973). Patahan tersebut dikenal dengan nama Patahan Opak dengan blok bagian baratnya relatif turun terhadap blok bagian timur (Gambar 2; Rahardjo dkk., 1995). Kertapati dkk. (1992) menginterpretasikan Patahan Opak sebagai patahan aktif namun tidak diketahui jenis pergerakannya. Sudarno (1997) melengkapi sistem Patahan Opak dan mengidentifikasi berbagai patahan berarah utara selatan dan baratlaut tenggara di sekitar Patahan Opak. MacDonald & Partners (1984) dengan pemboran geoteknik dan survey geolistrik telah menginterpretasikan sistem patahanyang tertimbun endapan volkanik Merapi yang berarah utara selatan dan timur barat yang merupakan kelanjutan dari Patahan Opak ke arah Cekungan Yogyakarta. 2.2 Sejarah kegempaan Yogyakarta Yogyakarta seringkali mengalami peristiwa gempabumi. Berikut beberapa gempabumi historis yang pernah dicatat oleh BMG (Gambar 3). Pada tanggal 10 Juni 1867 pernah terjadi gempabumi dengan intensitas VIII IX skala MMI, menyebabkan 5 orang meninggal dan 372 rumah roboh. Titik episentrumnya diperkirakan berada di darat di sekitar Patahan Opak (Visser, 1922). Getarannya terasa sampai Surakarta, Jawa Tengah, dan mengakibatkan runtuhnya tugu Kraton Yogyakarta dan rusaknya kompleks peristirahatan raja di Tamansari. Kediaman Residen Belanda di Gedung Agung juga turut ambruk. Pada tanggal 27 September 1937 terjadi gempabumi dengan intensitas VII IX skala MMI yang berpusat pada posisi 8.7 LS BT. Akibat gempa ini dilaporkan rumah 2

3 roboh di Klaten, 326 rumah roboh di Prambanan, banyak rumah yang rusak di Yogyakarta dan seorang menunggal. Dilaporkan getaran gempa ini terasa sampai ke Lombok. Pada tanggal 23 Juli 1943 terjadi gempabumi yang berpusat di 8.6 LS BT pada kedalaman 90 km dengan kekuatan 8,1 skala Richter atau dengan intensitas VII VIII skala MMI. Getarannya terasa dari Garut hingga Surakarta. Gempa di Samudra Hindia ini menelan korban 213 orang meninggal, orang luka berat, luka ringan, rumah roboh, 166 rumah rusak berat dan rumah rusak ringan (van Bemmelen, 1949). Pada tanggal 12 Oktober 1957 terjadi gempabumi dengan kekuatan 6.4 skala Richter atau intensitas VII skala MMI dan berpusat di 8.3 LS BT pada kedalaman 87 km. Getaran gempa terasa di Yogyakarta. Pada tanggal 14 Maret 1981 terjadi gempa berkekuatan 6 skala Richter atau intensitas VII skala MMI. yang berpusat pada 7.2 LS BT di kedalaman 33 km. Gempa tersebut meretakan dinding Hotel Ambarukmo. Pada tanggal 9 Juni 1992 terjadi gempa tektonik berkekuatan 6.5 skala Richter dengan kedalaman 106 km. Kejadian ini berlangsung sekitar satu menit dan sangat terasa di daerah Yogyakarta, Semarang, Solo, dan Magelang. Pada tanggal 25 Mei 2001 terjadi gempa dengan kekuatan 6.2 skala Richter yang berpusat di 8.62 LS BT dan mengguncang Semarang, Kudus, Surakarta, Magelang, dan Yogyakarta. Beberapa bangunan di Bantul mengalami keretakan. Pada tanggal 19 Agustus 2004 terjadi gempa tektonik mengguncang wilayah Yogyakarta berkekuatan 6.3 skala Richter yang berpusat 9.22 LS BT dan kedalaman 55 km. Pada tanggal 19 Juli 2005 kembali terjadi gempabumi dengan kekuatan 5.5 skala Richter dengan pusat gempa pada jarak 220 km di selatan Yogyakarta di Samudra Indonesia dengan kedalaman 33 km dengan. Gempa tersebut hanya berlangsung selama 5 detik dan tidak menimbulkan kerusakan berarti. 3 METODOLOGI Untuk mengetahui kondisi geologi lokal, beberapa metode penyelidikan dipilih. Data amplifikasi lahan diperoleh dengan survei mikrotremor. Data sebaran patahan diinterpretasi dari survei magnetotelurik dan pemboran geologi teknik. Untuk mendapatkan hasil maksimum tentang geologi Cekungan Yogyakarta, survei mikrotremor dan magnetotelurik dilakukan tegaklurus terhadap orientasi struktur cekungan yang umumnya berarah utara-timurlaut selatan-baratdaya. Karakteristik sedimen lepas pengisi Cekungan Yogyakarta didapatkan dari data pemboran geologi teknik. 3.1 Mikrotremor Mikrotremor adalah pengukuran frekuensi resonansi alamiah suatu titik di permukaan bumi. Prinsip dasarnya adalah untuk menjelaskan gejala amplifikasi gelombang gempabumi yang terjebak di dalam perlapisan sedimen lepas. Proses terjebaknya gelombang gempabumi tersebut mengikuti pola resonansi yang frekuensinya adalah sebesar: Vs f = ( 2 n +1) 4H dimana Vs adalah kecepatan gelombang S dan H adalah ketebalan lapisan sedimen (Gambar 4). Amplifikasi dari amplitudo gempabumi tergantung terutama pada perbedaan atau kontras impedansi (nilai perkalian berat jenis batuan dan kecepatan gelombang S) antara lapisan keras dibawah dengan lapisan sedimen lunak diatasnya. Dalam beberapa kasus, nilai besaran amplifikasi dapat mencapai 20 kali, yang terjadi karena adanya lapisan sedimen sangat lunak yang berada diatas batuan dasar yang sangat keras. Sebuah teknik empiris untuk memperkirakan karakteristik resonansi lapisan sedimen adalah dengan teknik Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR) atau sering pula disebut sebagai metoda Nakamura (1989). Teknik ini membandingkan komponen spektrum horisontal terhadap komponen spektrum vertikalnya. Secacara teori, frekuensi resonansi yang diukur nilainya mendekati nilai yang dihitung dari analisa standar rekaman langsung dari gempabumi besar (Lermo dkk., 1988). Namun demikian, faktor amplifikasi dari HVSR cenderung lebih kecil dari faktor amplifikasi sebenarnya dari gempabumi sesungguhnya. Dengan demikian faktor amplifikasi dari HVSR masih dapat dipergunakan sebagai nilai pendekatan minimal terhadap faktor amplifikasi tanah (Ratdomopurbo, 2006). Data diperoleh dari 243 titik yang terletak pada enam lintasan ukur masing-masing sepanjang antara 5 sampai 13 km (Gambar 5). Lintasan tersebut sejajar satu sama lain dalam orien- 3

4 tasi barat-baratlaut timur-tenggara, kecuali lintasan 6a yang berarah tegak lurus terhadap lintasan lainnya. Jarak antar lintasan sekitar 2-3 km. Lintasan 1 berada paling selatan, sekitar 5 km dari garis pantai. Dalam satu lintasan, jarak antara titik ukur adalah sekitar 250 m. Sedangkan perekaman mikrotremor dilakukan sekitar 5 menit dengan menggunakan seismometer L4C-D dan data-logger Datamark LS Hasil terolah dibagi menjadi empat kelas, yaitu amplifikasi sangat kuat bila terjadi getaran tanah > 7 kali lebih besar daripada getaran di batuan dasar, amplifikasi kuat bila getaran tanah 5 7 kali lebih besar daripada getaran batuan dasar, amplifikasi menengah bila getaran tanah 3 5 kali lebih kuat daripada getaran batuan dasar dan amplifikasi rendah bila getaran tanah < 3 kali lebih besar daripada getaran batuan dasar (Ratdomopurbo, 2006). 3.2 Magnetotelurik Magnetotelurik dengan sumber energi buatan (controlled source audio magneto telluric - CSAMT) adalah salah satu metode geofisika untuk mengetahui kondisi geologi bawah permukaan, yaitu derajat resistivitas batuan berdasarkan pengukuran medan listrik dan medan magnet yang dihasilkan oleh sebuah sumber pemancar buatan. Frekuensi audio yang dipergunakan berada pada kisaran Hz. Terdapat 63 titik pengukuran CSAMT yang terbagi dalam 3 jalur dengan orientasi timurtenggara barat-baratlaut (Gambar 5). Rentang antar lintasan sekitar 5 dan 7 km, dan jarak antar titik ukur dalam satu jalur adalah 1 km. Peralatan yang digunakan adalah Stratagem dari Geometric dengan 2 elektroda medan listrik dan 2 kumparan medan magnet. Lama pengukuran di setiap titik sekitar 30 menit untuk 6 pita frekuensi. Secara umum, batuan sedimen lepas atau batuan yang telah lapuk memiliki nilai resistivitas yang rendah, sebaliknya batuan yang kompak memiliki nilai resistivitas yang tinggi. Sehingga metoda magnetotelurik ini dapat dipergunakan untuk menentukan batas batuan lepas dan batuan dasarnya yang kompak, serta untuk melacak bidang-bidang patahan yang umumnya ditandai oleh perbedaan kontras resistivitas dari dua blok batuan yang bersebelahan. 3.3 Pemboran geologi teknik Pemboran geologi teknik untuk mendapatkan data-data batuan bawah permukaan secara langsung dilakukan di 13 titik yang tersebar di Kabupaten Bantul (Gambar 5). Selain itu, datadata bor yang telah ada juga dikumpulkan untuk dianalisa, mencakup 10 titik dari Mac- Donald (1984) dan 32 titik dari IWRM (2004) (Gambar 5). Pemboran geologi teknik dalam penelitian ini dilakukan dengan mesin pemboran inti. Kedalaman target adalah mencapai batuan dasar yang keras, atau bila tidak dijumpai dilanjutkan hingga kemampuan maksimum penetrasi 50 m. Selubung pembungkus yang terbuat dari PVC dipergunakan untuk mencegah runtuhnya lubang bor. Contoh inti yang diperoleh disimpan untuk dianalisa sifatsifat fisik dan keteknikannya di laboratorium. Karakteristik tanah dan batuan diidentifikasi secara visual dan data kedalaman muka airtanah diukur secara langsung. Bersamaan dengan proses pemboran, uji penetrasi standar (standard penetration test SPT) dilakukan pada setiap selang kedalaman 1 m. Hasil uji SPT tersebut juga dipergunakan untuk menginterpretasikan keberadaan batuan dasar yang memiliki nilai SPT jauh lebih besar dibandingkan dengan sedimen lunak diatasnya. 4 HASIL DAN DISKUSI Batuan dasar di daerah Yogyakarta tersusun dalam bentuk lembah cekungan besar dan dibatasi oleh dua patahan turun yang berarah timurlaut-baratdaya. Patahan turun yang menjadi batas barat membentuk lembah aliran Sungai Progo, sedangkan patahan timur lainnya yang menjadi batas timur membentuk lembah aliran Sungai Opak. Dari berbagai titik pemboran geologi teknik, dapat diketahui bahwa batuan dasar cekungan yang tersusun oleh breksi andesit dijumpai pada kedalaman sekitar 40 m dari permukaan tanah. Batuan dasar breksi andesit tersebut kemudian ditutup oleh endapan lumpur dari rawa purba dengan ketebalan sekitar 2 m. Setelah pengendapan lumpur rawa tersebut, cekungan Yogyakarta kemudian terisi oleh endapan sungai yang bersifat lepas dan tersusun oleh pasir kerikilan dan pasir lempungan dengan diselingi oleh endapan lahar yang tersusun oleh pasir kerikilan masif. Penguatan respon lahan terhadap gempabumi diinterpretasikan dari pengukuran mikrotremor dan hasilnya menunjukkan bahwa proses penguatan tersebut hanya terjadi pada endapan sungai yang bersifat lepas dalam jangkauan kedalaman sekitar 30 m saja. 4

5 Hasil penelitian menunjukkan secara umum zona tanah yang sensitif merespon terhadap getaran berada pada kedalaman kurang dari 30 m, dan wilayah Bantul terbagi menjadi empat zona penguatan atau amplifikasi (Gambar 6) dengan tingkatan yang bervariasi, meliputi: 1) zona amplifikasi sangat tinggi. 2) zona amplifikasi tinggi. 3) zona amplifikasi menengah. 4) zona amplifikasi rendah. Zona dengan amplifikasi sangat tinggi merupakan zona dengan kondisi lahan yang paling kuat dalam merespon getaran gempabumi. Zona amplifikasi sangat tinggi dijumpai di wilayah Bantul timur, terutama di sepanjang Sungai Opak, misalnya sebagian Kecamatan Kretek bagian timur-tenggara, sebagian Kecamatan Pundong memanjang dari selatan hingga utara dan sebagian kecil Kecamatan Imogiri bagian barat-baratlaut, sebagian besar Kecamatan Jetis memanjang di bagian tengah dari bagian selatan hingga timurlaut, sebagian Kecamatan Pleret memanjang dari bagian baratdaya hingga timurlaut, sebagian kecil Kecamatan Piyungan bagian baratdaya dan sebagian kecil Kecamatan Banguntapan bagian tenggara, serta Kecamatan Pandak bagian barat daya-barat-barat laut. Sangat tingginya tingkat amplifikasi ini dikontrol oleh kombinasi beberapa faktor berikut : 1. Jenis tanah yang merupakan endapan sungai Opak saat ini yaitu pasir kerikilan, yang bersifat lepas-lepas dan tebal. Tanah dengan sifat lepas-lepas cenderung tidak memiliki kohesi (ikatan antar butir) yang kuat, sehingga sangat mudah bergetar saat dilalui gelombang gempa. 2. Kehadiran zona patahan, yang sensitif untuk turut bergetar ketika gelombang gempa melalui zona patahan tersebut. Zona amplifikasi tinggi dijumpai di sebagian wilayah Bantul timur, terutama yang berdekatan dengan kaki perbukitan, serta di sebagian wilayah Bantul utara bagian tengah, misalnya meliputi wilayah : sebagian besar Kecamatan Imogiri (kecuali di bagian timur), sebagian kecil Kecamatan Panggang bagian utara, sebagian Kecamatan Pleret dari bagian tenggara hingga baratdaya, sebagian kecil Kecamatan Banguntapan bagian selatan, sebagian Kecamatan Jetis memanjang dari bagian selatan hingga timurlaut, sebagian kecil Kecamatan Pundong di bagian timur yang memanjang dari bagian selatan hingga utara, sebagaian kecil Kecamatan Kretek bagian timurlaut memanjang dari bagian tengah hingga timurlaut dan di bagian baratlaut, sebagian kecil Kecamatan Sanden bagian timurlaut, serta sebagian kecil Kecamatan Bambanglipuro di bagian baratdaya hingga timurlaut, sebagian besar Kecamatan Sewon memanjang dari bagian baratdaya hingga timurlaut dan sebagian kecil Kecamatan Kasihan memanjang dari bagian tengah hingga utara. Di wilayah Kodya Yogyakarta adalah sebagian kecil di Kecamatan Purbayan, Kecamatan Giwangan, Kecamatan Sorosutan, Kecamatan Brontokusuman, Kecamatan Mantrijeron, Kecamatan Suryodiningratan di bagian selatan. Tingginya tingkat amplifikasi di daerah tersebut karena akibat kondisi tanahnya yang berupa pasir lepas. Namun endapan pasir ini merupakan endapan sungai purba, sehingga relatif lebih kompak dan lebih padat daripada endapan pasir Sungai Opak saat ini yang dijumpai di zona kerentanan sangat tinggi. Posisi wilayah-wilayah tersebut di atas yang relatif masih dekat dengan zona patahan juga mengontrol tingginya tingkat amplifikasi. Zona dengan amplifikasi menengah, dijumpai di sebagian kecil wilayah Kecamatan Kasihan bagian baratlaut dan memanjang di bagian timur dari timurlaut hingga selatan, dijumpai di sebagian kecil Kecamatan Pajangan bagian timur, sebagian besar Kecamatan Bantul bagian tengah memanjang dari bagian selatan hingga utara, sebagian besar Kecamatan Pandak bagian baratlaut dan di bagian selatan, timur hingga utara, hampir seluruh Kecamatan Bambanglipuro, sebagian kecil Kecamatan Sanden bagian utara dan timurlaut, sebagian Kecamatan Kretek bagian timurlaut hingga baratlaut, sebagian Kecamatan Pundong bagian barat, sebagian kecil Kecamatan Jetis bagian baratdaya, barat, dan baratlaut, sebagian kecil Kecamatan Pleret bagian tengah memanjang dari bagian baratdaya hingga timurlaut. Endapan tanah pada zona ini merupakan pasir sungai purba yang relatif lebih padat daripada endapan pasir sungai purba di zona dengan amplifikasi tinggi. Frekuensi patahan pada batuan dasar relatif lebih rendah. Kombinasi antara kondisi kepadatan tanah dan jarangnya dijumpai patahan pada batuan dasar mengakibatkan zona amplifikasi menengah ini kurang kuat dalam merespon terhadap getaran gempa apabila dibandingkan dengan zona dengan amplifikasi yang lebih tinggi. 5

6 Zona dengan amplifikasi rendah dijumpai di hampir seluruh Kecamatan Pajangan, sebagian kecil Kecamatan Sedayu bagian tenggara, sebagian kecil Kecamatan Pandak memanjang di bagian utara dari bagian utara hingga tengah dan di bagian selatan, sebagian kecil Kecamatan Bantul bagian barat dan di bagian tengah, dan sebagian kecil Kecamatan Sanden bagian utara, sebagian kecil Kecamatan Sewon bagian tenggara, dan sebagian kecil Kecamatan Pleret bagian barat. Kondisi tanah pada zona ini relatif kompak dan posisinya relatif lebih jauh dari patahan di batuan dasar. 5 PENUTUP Terdapat 4 zonasi mikro di daerah Bantul yang mengindikasikan berbagai tingkat respon lahan terhadap getaran gempabumi, yaitu zona penguatan sangat tinggi, penguatan tinggi, penguatan sedang dan penguatan rendah. Pengontrol utama tingkat respon lahan adalah kondisi stratigrafi atau urutan vertikal batuan setempat, terutama yang terkait dengan jenis batuan, berat jenisnya serta ketebalannya. Pengontrol lainnya adalah kehadiran sistemsistem patahan pada batuan dasar. Peta zonasi mikro respon amplifikasi lahan dan sebaran patahan tertimbun yang dipaparkan dalam makalah ini berfungsi sebagai parameter yang harus dipertimbangkan dalam menyusun peta zonasi mikro tingkat kerentanan terhadap gempabumi (microzonation map for earthquake susceptibility). Parameter lainnya yang harus dimasukkan adalah kedalaman muka airtanah dan jarak terhadap sumber gempabumi. Sehingga peta zonasi mikro tingkat kerentanan terhadap gempabumi tersebut dapat dipakai sebagai acuan untuk memperhitungkan potensi tingkat kerusakan bangunan saat terjadi gempabumi, dan dimanfaatkan sebagai acuan rekonstruksi pembangunan di wilayah tersebut. Hingga saat ini, analisa untuk peta kerentanan tersebut masih mempergunakan sumber gempa 27 Mei 2006 saja. Lebih lanjut, Teknik Geologi UGM juga telah mengembangkan peta bahaya gempabumi skala besar (earthquake hazard microzonation map) yang mempertimbangkan kemungkinan gempabumi dari patahan-patahan aktif lainnya, sehingga dapat dipergunakan sebagai acuan umum untuk pembangunan jangka panjang. Badan Meterologi dan Geofisika Berita Gempabumi No. : 66 /NSC/V/2006, 27 Mei Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Buletin Laporan Perkembangan Penanganan Bencana Gempa Bumi Di Jogjakarta dan Jawa Tengah, No. 32, 3 Juli 2006, 13 halaman + lampiran. Hendrayana, H., Hydrogeologie und Grundwasssergewinnung im Yogyakarta Becken, Indonesien. Doktors der Naturwissenschaften genehmigte Dissertation, Technischen Hochschule Aaachen, 117 hal. Kertapati, E. K., Soehaemi, A. dan Djuhanda, A., Peta Seismotektonik Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Lermo, J., Rodriguez, M. dan Singh, S.K., Natural Periods of Sites in the Valley of Mexico from Microtremor Measurements and Strong Motion Data. Earthquake Spectra, 4-4, hal Nakamura, Y., A Method for Dynamic Characteristics Estimation of Subsurface Using Microtremor on the Ground Surface. QR of R.T.R., Vol. 30, No.1, hal Rahardjo, W., Sukandarrumidi dan Rosidi H. M. D., Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Ratdomopurbo, A., Laporan Survei Mikrotremor Pengukuran Amplifikasi Lahan di Wilayah Bantul, Jogjakarta. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian, Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. 22 hal. MacDonald, Sir M., dan Partners., Greater Yogyakarta Groundwater Resources Study - Vol 2 Hydrology. Report of Groundwater Development Project (P2AT), Directorate General of water Resources Development, Ministry of Public Works, Government of the Republic of Indonesia, Sir M MacDonald & Partners in association with Binnie & Partners, Hunting Technical Services Ltd. Suantika, G. dan Surono, Aftershock and Deformation Research of Yogyakarta Earthquake May 27, Dipresentasikan pada Seminar Nasional Geologi Indonesia: Dinamika dan Produknya. Bandung, 5 Desember Sudarno, Ign Kendali Tektonik Terhadap Pembentukan Struktur pada Batuan Paleogen dan Neogen di Pegunungan Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sekitarnya. Thesis Magister Program Studi Geologi, Institut Teknologi Bandung, 167 p. Untung, M., Ujang K. dan Ruswandi E Penyelidikan gaya berat di daerah Yogyakarta- Wonosari, Jawa Tengah. Publikasi Teknik Seri Geofisika, no. 3, Direktorat Geologi Bandung UNOSAT Preliminary Damage Assessment Java Earthquake. /prod_free.asp?id=21. Van Bemmelen, R.W The Geology of Indonesia, vol. 1A, General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Martinus Nijhoff, The Haque. Visser, S., Inland and Submarine Epicentra of Sumatra and Java Earthquakes. Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium te Batavia, 9, hal REFERENSI 6

7 Gambar 1. Titik episentrum gempabumi 27 Mei 2006 (bintang merah; BMG, 2006) dan peta intensitas gempabumi dalam skala MMI (garis merah; Suantika and Surono, 2006) untuk daerah Yogyakarta dan sekitarnya, serta peta sebaran kerusakan fisik sementara (poligon berwarna; UNOSAT, 2006). Garis hitam tebal adalah sebaran patahan (Rahardjo dkk., 1995) dan garis hitam putus-putus adalah sebaran patahan tertimbun (MacDonald, 1984). Daerah dengan kerusakan paling parah dan daerah dengan intensitas paling tinggi terletak di sepanjang zona Patahan Opak yang berarah timurlaut baratdaya. Gambar 2. Diagram 3 dimensi kondisi geologi Yogyakarta (dimodifikasi dari Rahardjo dkk., 1985). Garis putus-putus merupakan batas administratif Provinsi Yogyakarta. Garis tebal adalah patahan, dimana garis tebal putus-putus adalah Patahan Opak. 7

8 Gambar 3. Sebaran episentrum gempabumi yang pernah terjadi di Yogyakarta dan pesisir selatan Jawa Tengah (sumber data dari BMG; kecuali garis episentral tahun 1867 dari Visser, 1922). Gambar 4. Konsep dasar fenomena amplifikasi gelombang seismik oleh adanya satuan sedimen yang berada diatas batuan dasar (basement) dengan perbedaan berat jenis ρ serta kecepatan Vs dan Vo yang mencolok (Ratdomopurbo, 2006). Frekuensi resonansi banyak ditentukan oleh fisik dari lapisan sedimen, yaitu ketebalan h dan kecepatan gelombang Vs. 8

9 Gambar 5. Lokasi survei mikrotremor, survei magnetotelurik dan pemboran geologi teknik. Gambar 6. Sebaran tingkat amplifikasi lahan terhadap gempabumi dan sebaran patahan pada batuan dasar yang tertimbun sedimen lepas Merapi. 9

Pemetaan Zonasi Mikro Kerentanan Gempabumi Propinsi D.I. Yogyakarta

Pemetaan Zonasi Mikro Kerentanan Gempabumi Propinsi D.I. Yogyakarta Pemetaan Zonasi Mikro Kerentanan Gempabumi Propinsi D.I. Yogyakarta Salahuddin Husein, Subagyo Pramumijoyo, and Dwikorita Karnawati Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada corresponding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Judul Penelitian. I.2. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Judul Penelitian. I.2. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian yang dilakukan mengambil topik tentang gempabumi dengan judul : Studi Mikrotremor untuk Zonasi Bahaya Gempabumi Daerah Surakarta Provinsi Jawa Tengah.

Lebih terperinci

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT Suranta Sari Bencana gerakan tanah terjadi beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian Utara, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi khususnya Bidang Mitigasi Gempabumi dan Gerakan Tanah, yang

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta Seismisitas Indonesia (Irsyam et al., 2010 dalam Daryono, 2011))

Gambar 1. Peta Seismisitas Indonesia (Irsyam et al., 2010 dalam Daryono, 2011)) BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Berdasarkan tatanan tektoniknya, wilayah Indonesia merupakan daerah pertemuan antara tiga lempeng benua dan samudra yang sangat aktif bergerak satu terhadap

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... 1 HALAMAN PENGESAHAN... ii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv KATA PENGANTAR... v INTISARI... vii ABSTRACT... viii DAFTAR ISI... ix DAFTAR

Lebih terperinci

MIKROZONASI INDEKS KERENTANAN SEISMIK BERDASARKAN ANALISIS MIKROTREMOR DI KECAMATAN JETIS, KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

MIKROZONASI INDEKS KERENTANAN SEISMIK BERDASARKAN ANALISIS MIKROTREMOR DI KECAMATAN JETIS, KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 18 Mei 2013! MIKROZONASI INDEKS KERENTANAN SEISMIK BERDASARKAN ANALISIS MIKROTREMOR DI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi yang baik dan tahan lama. Bandara merupakan salah satu prasarana

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi yang baik dan tahan lama. Bandara merupakan salah satu prasarana I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dewasa ini, transportasi memiliki peranan yang penting dalam perkembangan suatu negara, sehingga kegiatan perencanaan dalam pembangunan sarana dan prasarana perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gempa bumi yang terjadi di Pulau Jawa yang terbesar mencapai kekuatan 8.5 SR, terutama di Jawa bagian barat, sedangkan yang berkekuatan 5-6 SR sering terjadi di wilayah

Lebih terperinci

Karakteristik mikrotremor dan analisis seismisitas pada jalur sesar Opak, kabupaten Bantul, Yogyakarta

Karakteristik mikrotremor dan analisis seismisitas pada jalur sesar Opak, kabupaten Bantul, Yogyakarta J. Sains Dasar 2014 3(1) 95 101 Karakteristik mikrotremor dan analisis seismisitas pada jalur sesar Opak, kabupaten Bantul, Yogyakarta (Microtremor characteristics and analysis of seismicity on Opak fault

Lebih terperinci

ANALISIS GSS (GROUND SHEAR STRAIN) DENGAN METODE HVSR MENGGUNAKAN DATA MIKROSEISMIK PADA JALUR SESAROPAK

ANALISIS GSS (GROUND SHEAR STRAIN) DENGAN METODE HVSR MENGGUNAKAN DATA MIKROSEISMIK PADA JALUR SESAROPAK Analisis Nilai GSS...(Yuni Setiawati) 132 ANALISIS GSS (GROUND SHEAR STRAIN) DENGAN METODE HVSR MENGGUNAKAN DATA MIKROSEISMIK PADA JALUR SESAROPAK ANALYSIS OF GSS (GROUND SHEAR STRAIN) USING HVSR METHOD

Lebih terperinci

Deputi Bidang Koordinasi Insfratruktur Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman

Deputi Bidang Koordinasi Insfratruktur Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman TSUNAMI WORKSOP TEMA : DUKUNGAN INSFRASTRUKTUR YANG HANDAL UNTUK PROYEK STRATEGIS NASIONAL (PSN) DI PROVINSI DIY Sub Tema : Mengungkap dan Menghitung Potensi Bahaya Gempabumi-Tsunami Di Bandara Kulon Progo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan Indonesia termasuk dalam daerah rawan bencana gempabumi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan Indonesia termasuk dalam daerah rawan bencana gempabumi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian Utara, dan lempeng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempabumi sangat sering terjadi di daerah sekitar pertemuan lempeng, dalam hal ini antara lempeng benua dan lempeng samudra akibat dari tumbukan antar lempeng tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Tektonik Indonesia (Bock, dkk., 2003)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Tektonik Indonesia (Bock, dkk., 2003) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada tiga pertemuan lempeng besar dunia yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Pasifik di bagian timur, dan Lempeng Eurasia di

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 84 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisa Hazard Gempa Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Ez-Frisk dan menghasilkan peta hazard yang dibedakan berdasarkan sumber-sumber gempa yaitu

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Tanggal 27 Mei 2006 pukul 22.54.01 (UTC) atau pukul 05.54.01 (WIB) menjelang fajar kota Yogyakarta dan sekitarnya, termasuk di dalamnya wilayah Kabupaten Bantul,

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. 3.1 Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gempa bumi dan struktur dalam bumi

BAB III TEORI DASAR. 3.1 Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gempa bumi dan struktur dalam bumi 20 BAB III TEORI DASAR 3.1 Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gempa bumi dan struktur dalam bumi dengan menggunakan gelombang seismik yang dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup di muka bumi. Makhluk hidup khususnya manusia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup di muka bumi. Makhluk hidup khususnya manusia melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air tanah merupakan sumber daya yang sangat bermanfaat bagi semua makhluk hidup di muka bumi. Makhluk hidup khususnya manusia melakukan berbagai cara untuk memenuhi

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

KEGEMPAAN DI INDONESIA PERIODE BULAN APRIL AGUSTUS 2008

KEGEMPAAN DI INDONESIA PERIODE BULAN APRIL AGUSTUS 2008 KEGEMPAAN DI INDONESIA PERIODE BULAN APRIL AGUSTUS 2008 DEVY K. SYAHBANA, GEDE SUANTIKA Bidang Pengamatan Gempabumi dan Gerakan Tanah, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari Pada periode bulan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen.

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen. 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kimia airtanah menunjukkan proses yang mempengaruhi airtanah. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen. Nitrat merupakan salah

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT RESIKO GEMPABUMI BERDASARKAN DATA MIKROTREMOR DI KOTAMADYA DENPASAR, BALI

PEMETAAN TINGKAT RESIKO GEMPABUMI BERDASARKAN DATA MIKROTREMOR DI KOTAMADYA DENPASAR, BALI KURVATEK Vol.1. No. 2, November 2016, pp.55-59 ISSN: 2477-7870 55 PEMETAAN TINGKAT RESIKO GEMPABUMI BERDASARKAN DATA MIKROTREMOR DI KOTAMADYA DENPASAR, BALI Urip Nurwijayanto Prabowo Prodi Pendidikan Fisika,

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Geologi Daerah Yogyakarta dan Sekitarnya II.1.1. Batuan

Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Geologi Daerah Yogyakarta dan Sekitarnya II.1.1. Batuan 7 Bab II Tinjauan Pustaka Dalam kajian pustaka ini akan dibahas geologi regional daerah penelitian, struktur sesar aktif, pengaruh sesar terhadap wilayah sekitarnya, pengertian gempa, periode predominan,

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

Analisis Peak Ground Acceleration (PGA) dan Intensitas Gempabumi berdasarkan Data Gempabumi Terasa Tahun di Kabupaten Bantul Yogyakarta

Analisis Peak Ground Acceleration (PGA) dan Intensitas Gempabumi berdasarkan Data Gempabumi Terasa Tahun di Kabupaten Bantul Yogyakarta ISSN:2089-0133 Indonesian Journal of Applied Physics (2016) Vol. No. Halaman 65 April 2016 Analisis Peak Ground Acceleration (PGA) dan Intensitas Gempabumi berdasarkan Data Gempabumi Terasa Tahun 1981-2014

Lebih terperinci

III. TEORI DASAR. A. Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. akumulasi stress (tekanan) dan pelepasan strain (regangan). Ketika gempa terjadi,

III. TEORI DASAR. A. Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. akumulasi stress (tekanan) dan pelepasan strain (regangan). Ketika gempa terjadi, 1 III. TEORI DASAR A. Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik Gempa bumi umumnya menggambarkan proses dinamis yang melibatkan akumulasi stress (tekanan) dan pelepasan strain (regangan). Ketika gempa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat merugikan manusia. Kebencanaan geologi mengakibatkan kerusakan infrastruktur maupun korban manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang berada pada iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Fenomena alam gempabumi sering terjadi berbagai belahan dunia terutama di Indonesia. Setiap tahunnya, dapat terjadi lebih dari sepuluh gempabumi dengan magnitudo besar

Lebih terperinci

MIKROZONASI PERCEPATAN GETARAN TANAH MAKSIMUM MENGGUNAKAN METODE KANAI (1966) DAN INTENSITAS GEMPABUMI DI KAWASAN JALUR SESAR OPAK

MIKROZONASI PERCEPATAN GETARAN TANAH MAKSIMUM MENGGUNAKAN METODE KANAI (1966) DAN INTENSITAS GEMPABUMI DI KAWASAN JALUR SESAR OPAK Mikrozonasi Percepatan Getaran... (Rifka Addawiyah) 184 MIKROZONASI PERCEPATAN GETARAN TANAH MAKSIMUM MENGGUNAKAN METODE KANAI (1966) DAN INTENSITAS GEMPABUMI DI KAWASAN JALUR SESAR OPAK MICROZONATION

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Daerah Penelitian Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara geografis, daerah penelitian terletak dalam selang koordinat: 6.26-6.81

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan daerah yang rawan terhadap bencana gempabumi tektonik. Hal ini disebabkan karena Indonesia terletak pada kerangka tektonik yang didominasi oleh interaksi

Lebih terperinci

Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta. Dian Novita Sari, M.Sc. Abstrak

Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta. Dian Novita Sari, M.Sc. Abstrak Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta Dian Novita Sari, M.Sc Abstrak Telah dilakukan penelitian dengan menggunakan metode gravity di daerah Dlingo, Kabupaten Bantul,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MIKROTREMOR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRUM, ANALISIS TFA (TIME FREQUENCY ANALYSIS) DAN ANALISIS SEISMISITAS PADA KAWASAN JALUR SESAR OPAK

KARAKTERISTIK MIKROTREMOR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRUM, ANALISIS TFA (TIME FREQUENCY ANALYSIS) DAN ANALISIS SEISMISITAS PADA KAWASAN JALUR SESAR OPAK Karakteristik Mikrotremor Berdasarkan (Umi Habibah) 93 KARAKTERISTIK MIKROTREMOR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRUM, ANALISIS TFA (TIME FREQUENCY ANALYSIS) DAN ANALISIS SEISMISITAS PADA KAWASAN JALUR SESAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rumit yang bekerja sejak dahulu hingga sekarang. Proses-proses tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. rumit yang bekerja sejak dahulu hingga sekarang. Proses-proses tersebut, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bentuk muka bumi yang kita lihat pada saat ini merupakan hasil dari prosesproses rumit yang bekerja sejak dahulu hingga sekarang. Proses-proses tersebut, secara garis

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan Penelitian 21 Bab III Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian secara lengkap diberikan pada gambar 3.1. berikut: Persiapan Data Kegempaan Peta Geologi Katalog gempa Seismogram mikrotremor Data Geologi Pemisahan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI ZONA SESAR OPAK DI DAERAH BANTUL YOGYAKARTA MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFRAKSI

IDENTIFIKASI ZONA SESAR OPAK DI DAERAH BANTUL YOGYAKARTA MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFRAKSI IDENTIFIKASI ZONA SESAR OPAK DI DAERAH BANTUL YOGYAKARTA MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFRAKSI Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang Email: lutfinur.ismi@ymail.com

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah telah mencatat bahwa Indonesia mengalami serangkaian bencana

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah telah mencatat bahwa Indonesia mengalami serangkaian bencana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah telah mencatat bahwa Indonesia mengalami serangkaian bencana bumi, dimulai dari letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami karena wilayah nusantara dikepung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hari Sabtu tanggal 27 Mei 2006, Yogyakarta dan sebagian wilayah Klaten digoncang gempa tektonik, dengan kekuatan 6,3 SR. Gempa yang terjadi tidak hanya meluluh

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI PEAK GROUND ACCELERATION DAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK BERDASARKAN DATA MIKROSEISMIK PADA DAERAH RAWAN GEMPABUMI DI KOTA BENGKULU

ANALISIS NILAI PEAK GROUND ACCELERATION DAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK BERDASARKAN DATA MIKROSEISMIK PADA DAERAH RAWAN GEMPABUMI DI KOTA BENGKULU ANALISIS NILAI PEAK GROUND ACCELERATION DAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK BERDASARKAN DATA MIKROSEISMIK PADA DAERAH RAWAN GEMPABUMI DI KOTA BENGKULU Yeza Febriani, Ika Daruwati, Rindi Genesa Hatika Program

Lebih terperinci

ANALISIS MIKROTREMOR UNTUK MIKROZONASI INDEKS KERENTANAN SEISMIK DI KAWASAN JALUR SESAR SUNGAI OYO YOGYAKARTA

ANALISIS MIKROTREMOR UNTUK MIKROZONASI INDEKS KERENTANAN SEISMIK DI KAWASAN JALUR SESAR SUNGAI OYO YOGYAKARTA Analisis Mikrotremor untuk... (Ika Kurniawati) 88 ANALISIS MIKROTREMOR UNTUK MIKROZONASI INDEKS KERENTANAN SEISMIK DI KAWASAN JALUR SESAR SUNGAI OYO YOGYAKARTA MICROTREMOR ANALYSIS FOR SEISMIC VULNERABILITY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan

Lebih terperinci

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*)

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*) POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA Oleh : Hendro Murtianto*) Abstrak Aktivitas zona patahan Sumatera bagian tengah patut mendapatkan perhatian,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN IV.1. Area Penelitian IV.2. Tahap Pengolahan IV.3. Ketersediaan Data IV.4.

BAB IV METODE PENELITIAN IV.1. Area Penelitian IV.2. Tahap Pengolahan IV.3. Ketersediaan Data IV.4. DAFTAR ISI PRAKATA... i INTISARI... iii ABSTRACT... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR ISTILAH... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1. Latar Belakang... 1 I.2. Perumusan Masalah...

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR (SG ) ANALISA STABILITAS LERENG BERDASARKAN MIKROZONASI DI KECAMATAN BUMI AJI,BATU- MALANG

TUGAS AKHIR (SG ) ANALISA STABILITAS LERENG BERDASARKAN MIKROZONASI DI KECAMATAN BUMI AJI,BATU- MALANG TUGAS AKHIR (SG 091320) ANALISA STABILITAS LERENG BERDASARKAN MIKROZONASI DI KECAMATAN BUMI AJI,BATU- MALANG Disusun Oleh : IRMA NOVALITA CRISTANTY (1106 100 048) Pembimbing : Prof.Dr.rer.Nat BAGUS JAYA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Konsep dasar fenomena amplifikasi gelombang seismik oleh adanya

BAB III METODE PENELITIAN. Konsep dasar fenomena amplifikasi gelombang seismik oleh adanya BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metoda Mikrozonasi Gempabumi Konsep dasar fenomena amplifikasi gelombang seismik oleh adanya batuan sedimen yang berada di atas basement dengan perbedaan densitas dan kecepatan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Yogyakarta, 21 September 2012 BAPPEDA DIY Latar Belakang UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Seluruh

Lebih terperinci

Peta Geomorfologi Daerah Istimewa Yogyakarta

Peta Geomorfologi Daerah Istimewa Yogyakarta Peta Geomorfologi Daerah Istimewa Yogyakarta Salahuddin Husein Srijono Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta corresponding email: shddin@gmail.com I. Pendahuluan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta

BAB I PENDAHULUAN. Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta yang disusun oleh Novianto dkk. (1997), desa ini berada pada Satuan Geomorfologi Perbukitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Pada tahun 2016 di Bulan Juni bencana tanah longsor menimpa Kabupaten Purworejo,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara tektonik, Indonesia terletak pada pertemuan lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng mikro Filipina. Interaksi antar lempeng mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah pertemuan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Pasirmunjul, Kabupaten Purwakarta, masuk ke dalam zona

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Pasirmunjul, Kabupaten Purwakarta, masuk ke dalam zona BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Daerah Pasirmunjul, Kabupaten Purwakarta, masuk ke dalam zona kerentanan gerakan tanah yang cukup tinggi karena memiliki batu lempung mengembang formasi jatiluhur,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik),

BAB I PENDAHULUAN. dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis, posisi Indonesia yang dikelilingi oleh ring of fire dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik), lempeng eura-asia

Lebih terperinci

OUTLINE PENELITIAN PENDAHULUAN. Tinjauan Pustaka METODOLOGI PEMBAHASAN KESIMPULAN PENUTUP

OUTLINE PENELITIAN PENDAHULUAN. Tinjauan Pustaka METODOLOGI PEMBAHASAN KESIMPULAN PENUTUP OUTLINE PENELITIAN PENDAHULUAN Tinjauan Pustaka METODOLOGI PEMBAHASAN KESIMPULAN PENUTUP PENDAHULUAN Latar Belakang TUJUAN BATASAN MASALAH Manfaat Surabaya merupakan wilayah yang dekat dengan sesar aktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lempeng Pasifik, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Hindia-Australia yang lazim

BAB I PENDAHULUAN. Lempeng Pasifik, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Hindia-Australia yang lazim 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan titik temu antara tiga lempeng besar dunia, yaitu Lempeng Pasifik, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Hindia-Australia yang lazim disebut Triple Junction.

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENELITIAN DETIL DI CEKUNGAN BATURETNO

PENTINGNYA PENELITIAN DETIL DI CEKUNGAN BATURETNO PENTINGNYA PENELITIAN DETIL DI CEKUNGAN BATURETNO Purna Sulastya Putra Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Bandung Sari Hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh penulis di bagian barat Cekungan Baturetno

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

Analisis Indeks Kerentanan Tanah di Wilayah Kota Padang (Studi Kasus Kecamatan Padang Barat dan Kuranji)

Analisis Indeks Kerentanan Tanah di Wilayah Kota Padang (Studi Kasus Kecamatan Padang Barat dan Kuranji) 42 Analisis Indeks Kerentanan Tanah di Wilayah Kota Padang (Studi Kasus Kecamatan Padang Barat dan Kuranji) Friska Puji Lestari 1,*, Dwi Pujiastuti 1, Hamdy Arifin 2 1 Jurusan Fisika Universitas Andalas

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

PEMETAAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK KOTA PADANG SUMATERA BARAT DAN KORELASINYA DENGAN TITIK KERUSAKAN GEMPABUMI 30 SEPTEMBER 2009

PEMETAAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK KOTA PADANG SUMATERA BARAT DAN KORELASINYA DENGAN TITIK KERUSAKAN GEMPABUMI 30 SEPTEMBER 2009 PEMETAAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK KOTA PADANG SUMATERA BARAT DAN KORELASINYA DENGAN TITIK KERUSAKAN GEMPABUMI 30 SEPTEMBER 2009 Saaduddin 1, Sismanto 2, Marjiyono 3 1 Prodi Teknik Geofisika, Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling

BAB I PENDAHULUAN. alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Geologi lingkungan merupakan suatu interaksi antara manusia dengan alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus berkembang bukan hanya dalam hal kuantitas, namun juga terkait kualitas

BAB I PENDAHULUAN. terus berkembang bukan hanya dalam hal kuantitas, namun juga terkait kualitas PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Air merupakan kebutuhan utama setiap makhluk hidup, terutama air tanah. Kebutuhan manusia yang besar terhadap air tanah mendorong penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana merupakan suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Evolusi Struktur Geologi Daerah Sentolo dan Sekitarnya, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. I.2. Latar Belakang Proses geologi yang berupa

Lebih terperinci

lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian mineral logam. Secara umum daerah Pegunungan Selatan ini

lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian mineral logam. Secara umum daerah Pegunungan Selatan ini BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Pegunungan Selatan Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan bagian dari lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN 1950-2013 Samodra, S.B. & Chandra, V. R. Diterima tanggal : 15 November 2013 Abstrak Pulau Sumatera dan Pulau Jawa merupakan tempat yang sering

Lebih terperinci

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Tipe-Tipe Tanah Longsor 1. Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. 2. Longsoran Rotasi Longsoran

Lebih terperinci

Unnes Physics Journal

Unnes Physics Journal UPJ 5 (2) (2016) Unnes Physics Journal http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/upj Identifikasi Struktur Lapisan Tanah Daerah Rawan Longsor di Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang dengan Metode Horizontal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), kepadatan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Kabupaten Sleman mencapai 1.939 jiwa/km 2. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara geografis Provinsi Bengkulu terletak pada posisi 101 1-103 46 BT dan 2 16-5 13 LS, membujur sejajar dengan Bukit Barisan dan berhadapan langsung dengan Samudra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Hubungan Persebaran Episenter Gempa Dangkal dan Kelurusan Berdasarkan Digital Elevation Model di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta I.2.

Lebih terperinci

STUDI KERENTANAN SEISMIK TANAH TERHADAP FREKUENSI ALAMI BANGUNAN DI KOTA PALU BERDASARKAN ANALISIS DATA MIKROTREMOR

STUDI KERENTANAN SEISMIK TANAH TERHADAP FREKUENSI ALAMI BANGUNAN DI KOTA PALU BERDASARKAN ANALISIS DATA MIKROTREMOR STUDI KERENTANAN SEISMIK TANAH TERHADAP FREKUENSI ALAMI BANGUNAN DI KOTA PALU BERDASARKAN ANALISIS DATA MIKROTREMOR Mauludin Kurniawan 1* Kirbani Sri Brotopuspito 2 Agung Setianto 3 1 Magister Geo-Informasi

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang memiliki wilayah sangat luas dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang memiliki wilayah sangat luas dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang memiliki wilayah sangat luas dan sumber daya alam yang berlimpah. Kondisi sumber daya alam Indonesia saat ini, sangat

Lebih terperinci

Spatial Analysis of Surface Aquifer Thickness Based Frequency predominant in Bantul District

Spatial Analysis of Surface Aquifer Thickness Based Frequency predominant in Bantul District ISSN:2089 0133 Indonesian Journal of Applied Physics (2015) Vol.5 No.1 Halaman 62 April 2015 Spatial Analysis of Surface Aquifer Thickness Based Frequency predominant in Bantul District Nugroho Budi Wibowo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Daerah Rembang secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Rembang (van Bemmelen, 1949) yang terdiri dari endapan Neogen silisiklastik dan karbonat. Stratigrafi daerah

Lebih terperinci

ANALISIS LITOLOGI LAPISAN SEDIMEN BERDASARKAN METODE HVSR DAN DATA BOR DI KAWASAN JALUR SESAR OPAK

ANALISIS LITOLOGI LAPISAN SEDIMEN BERDASARKAN METODE HVSR DAN DATA BOR DI KAWASAN JALUR SESAR OPAK Analisis Litologi Lapisan... (ArifSudrajat)149 ANALISIS LITOLOGI LAPISAN SEDIMEN BERDASARKAN METODE HVSR DAN DATA BOR DI KAWASAN JALUR SESAR OPAK ANALYSIS OF SEDIMENT LAYER LITHOLOGY BASED ON HVSR METHOD

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Hindia-Australia, dan lempeng Pasifik. Pada daerah di sekitar batas

Lebih terperinci