VI PENERAPAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI UNI EROPA DAN PENGARUHNYA TERHADAP EKSPOR UDANG INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI PENERAPAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI UNI EROPA DAN PENGARUHNYA TERHADAP EKSPOR UDANG INDONESIA"

Transkripsi

1 VI PENERAPAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI UNI EROPA DAN PENGARUHNYA TERHADAP EKSPOR UDANG INDONESIA 6.1. Kebijakan Perdagangan Internasional Pada dasarnya, suatu kebijakan yang ditetapkan berdasarkan suatu kesepakatan adalah untuk melindungi pihak tertentu sebagai pelaku perdagangan. Koo dan Kennedy (2005) juga mengatakan bahwa beberapa negara yang menggunakan bermacam-macam kebijakan perdagangan adalah untuk melindungi industri yang tidak efisien. Suatu kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi tertentu akan menjadi hambatan bagi pihak lain jika tidak dapat memenuhi kebijakan tersebut. Dalam bidang perdagangan internasional dikenal adanya hambatan-hambatan perdagangan atau trade barriers yang dapat digolongkan menjadi tiga bidang yaitu tariff barrier, non tariff barrier, dan administrative barrier. Tariff barrier adalah kebijakan penetapan kuota dan tarif bea masuk oleh suatu negara pengimpor terhadap suatu produk tertentu. Non tariff barrier merupakan standar internasional dalam food safety sebagaimana dirumuskan oleh Codex Alimentarius Commission yaitu suatu badan internasional antarnegara. Persyaratan yang penting antara lain adalah konsep HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) sebagai instrumen untuk mengaplikasikan SPS (Sanitary and Phytosanitary Agreement) dimana untuk dapat memenuhi standar tersebut dibutuhkan biaya yang besar yang nantinya akan menambah biaya produksi. Selain itu, dalam technical barrier yang menetapkan health and sanitary regulations, setiap negara memiliki standar yang berbeda-beda kriteria atau ambang batasnya. Sedangkan yang termasuk dalam administrative barrier adalah health certificate dari competent authority negara pengekspor dan ecolabelling yang bertujuan untuk mempromosikan ramah lingkungan. Menurut Pruto (2001), salah satu kelompok perjanjian internasional yang berpengaruh langsung bahkan cenderung mengatur mekanisme perdagangan komoditas perikanan di pasar internasional tentang perdagangan adalah perjanjian General Agreement on Tariff and Trade (GATT oleh WTO), dimana terdapat perjanjian Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS), dan Agreement on Technical Barrier on Trade (TBT oleh WTO).

2 Penerapan Kebijakan Hambatan Tarif di Uni Eropa Penetapan kuota dan tarif bea masuk merupakan kebijakan tarif yang ditetapkan oleh Uni Eropa. Semua tarif produk perikanan Uni Eropa telah ditetapkan dalam Persetujuan Umum Perdagangan dan Tarif atau General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang sekarang digantikan oleh Organiasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Tujuan utama dibentuknya GATT/WTO adalah: 1) Liberalisasi perdagangan untuk meningkatkan volume perdagangan dunia sehingga produksi meningkat. 2) Memperjuangkan penurunan dan bahkan penghapusan hambatan-hamban tarif bea masuk (tariff barrier) maupun hambatan lainnya (non tariff barrier). 3) Mengatur perdagangan jasa yang mencakup tentang intellectual property rights dan investasi. Penetapan tarif bea masuk yang ditetapkan oleh ketiga importir terbesar dunia perlu diketahui untuk melihat dan membandingkan penerapan yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan negara lainnya. Tarif bea masuk yang dikenakan Amerika Serikat pada produk udang yang tidak di olah (beku, direbus, digarami, dan dikeringkan) adalah nol persen atau free. Untuk produk udang olahan, tarif bea masuk yang dikenakan adalah lima persen sampai sepuluh persen, bahkan kadang udang diterapkan special rate yang lebih tinggi yaitu 20 persen. Sebelum Indonesia bergabung dalam EPA (Economic Partnership Agreement) tahun 2007, tarif umum yang ditetapkan Jepang pada komoditas udang olahan adalah sebesar 4,8-6 persen sementara tarif dari WTO diwajibkan sebesar 4,8-5,3 persen. Special rate yang diberikan negara Jepang untuk produk olahan sebesar 3,2 persen, tetapi untuk produk olahan yang termasuk kategori other diberikan tarif nol persen atau free. Setelah Indonesia bergabung dalam EPA, penetapan tarif yang diberlakukan Jepang untuk produk udang olahan Indonesia adalah free. Untuk produk udang non olahan (beku, direbus, digarami, dan dikeringkan) juga diberikan tarif bea masuk nol persen atau free. Penerapan tarif bea masuk produk perikanan ke negara-negara Uni Eropa berkisar nol persen untuk belut hidup (live eels) sampai 25 persen untuk produk kaleng (canned mackerel, bonito and anchovies). Secara umum, tingkat tarif yang 39

3 diberlakukan oleh Uni Eropa tergolong paling tinggi jika dibandingkan negaranegara maju lainnya seperti Amerika Serikat dan Jepang. Tarif bea masuk biasanya akan semakin tinggi bagi value added products, namun Uni Eropa menyediakan mekanisme yang berbeda untuk mengurangi pajak (duties) yaitu rata-rata tarif dikurangi sekitar 3-4 persen (KKP, 2010). Data tarif bea masuk komoditas udang di pasar tradisional dapat dilihat pada Tabel 10 berikut. Tabel 10. Tarif Bea Masuk komoditas udang di Uni Eropa, Amerika Serkikat, dan Jepang Tarif Bea Masuk (%) Kode HS Produk Uni Eropa Amerika Serikat Jepang MFN GSP MFN MFN Of the familiy pandalidae 12,0 4,2 Free Free Shrimp of the genus crangon by boiling in water 12,0 4,2 Free Free Deepwater rose shrimps (Parapenaeus) 12,0 4,2 Free Free Shrimps of the genus penaeus 12,0 4.2 Free Free Other 12,0 4,2 Free Free Rock lobster by boiling in water 12,5 4,3 Free Free Live lobster 8,0 2,8 Free Free Shrimp of the genus crangon fresh, chilled, live, dried, salted 18,0 14,5 Free Free Shrimps and prawns 20,0 7,0 5,0 Free Lobster 20,0 7,0 10,0 Free Sumber: DG Taxud (2012), USITC (2012), Japan Customs (2012), (diolah) Keterangan: Kode HS : Beku: udang kecil dan udang biasa Kode HS x: Segar: udang besar, udang kecil, dan udang biasa Kode HS x0: Udang besar, kecil, dan udang biasa, diolah atau diawetkan Tabel 10 menunjukkan bahwa penetapan tarif yang diberlakukan Uni Eropa lebih tinggi jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Jepang. Tarif yang ditetapkan oleh Uni Eropa untuk produk udang Indonesia adalah sebesar 12 persen untuk udang beku, 8-18 persen untuk produk udang segar, dan 20 persen untuk produk udang olahan. Oleh karena itu, Uni Eropa sebagai kelompok negara maju, memberikan skema khusus kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia, yaitu berupa Generalized System of Preferences (GSP) guna memperluas akses pasar ke negara-negara Uni Eropa. Berdasarkan pasal 7 point 2 dari skema GSP untuk periode 1 Januari 2002 s/d 31 Desember 2004, produk 40

4 shrimps prawns merupakan produk yang termasuk dalam daftar sensitif. Oleh sebab itu, produk tersebut mendapatkan preferensi 3,5 persen, namun pada skema yang lama penurunan tarif yang diperoleh lebih besar dari 3,5 persen. Berdasarkan pasal 7 point 3 beneficiary diperbolehkan untuk menggunakan ketentuan yang lama jika tarif pada skema GSP sebelumnya lebih tinggi. Oleh sebab itu, tarif produk udang beku di Uni Eropa dengan GSP akan diberlakukan sesuai dengan tarif yang lama yaitu sebesar 4,2 persen dengan tarif MFN (Most Favoured Nations) sebesar 12 persen. Masyarakat Uni Eropa pertama kali menerapkan skema GSP pada tahun Peraturan yang tercantum dalam GSP terus mengalami perkembangan. Pada tahun 2002, dikeluarkan skema GSP, yaitu Council Regulation (EC) 2211/2002. Pemberlakuan skema tersebut dimulai tanggal 1 Januari Desember Pada tahun 2005 dikeluarkan Council Regulation (EC) 980/2005 yang dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 2006 hingga 31 Desember Pada tahun 2008 juga dikeluarkan Council Regulation (EC) 732/2008 yang dilaksanakan untuk periode 1 januari 2009 sampai 31 Desember Penetapan skema GSP sejak tahun telah ditetapkan berlaku sampai tahun 2015 mendatang dengan maksud memberikan kontinuitas dan stabilitas bagi negara-negara penerima GSP (European Commission, 2010). Selama periode 1 januari 2009 sampai 31 Desember 2011, berdasarkan Council Regulation (EC) 732/2008, terdapat tiga skema peraturan yang ditetapkan: 1) Skema umum (general scheme), yaitu kepada negara-negara berkembang penerima GSP dapat menikmati fasilitas GSP 2) Skema intensif khusus (GSP+) untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan pemerintahan yang bersih, GSP (+) menyediakan keuntungan tambahan terhadap negara yang menerapkan standar internasional terhadap kebebasan manusia (HAM) dan buruh, perlindungan lingkungan, perlawanan terhadap obat-obatan terlarang, dan pemerintahan yang bersih. 3) Skema khusus bagi negara tertinggal (LCDs) yang juga dikenal sebagai Everything But Arms (EBA). EBA memberikan perlakuan yang paling menguntungkan terhadap semua dengan tujuan membebaskan bea tarif dan bebas kuota untuk akses pasar ke Uni Eropa. 41

5 Penetapan tarif oleh Uni Eropa terhadap produk ekspor Indonesia merupakan hambatan yang paling menonjol yang dihadapi industri perikanan Indonesia. Jika dibandingkan penetapan tarif yang diberlakukan Uni Eropa terhadap Indonesia dengan negara-negara bekas jajahan negara-negara Eropa seperti yang tergabung dalam ACP (Africa, Carribea, Pacific Countries), tarif yang diberlakukan terhadap Indonesia merupakan suatu jumlah yang besar. Negara-negara yang tergabung dalam ACP dikenakan tarif rendah atau bahkan bebas tarif seperti yang dialami negara-negara persemakmuran yang mengekspor ke Inggris. Perlakuan istimewa tersebut tidak dialami Indonesia yang pernah dijajah Belanda sebagai anggota Uni Eropa dalam kurun waktu sangat panjang. Menurut Purnomo (2007b), pendekatan dan usulan untuk mendapatkan kompensasi tarif dari Belanda karena Indonesia pernah dijajah Belanda memang pernah dilakukan namun tidak berhasil. Pemberlakuan tarif bea masuk oleh Uni Eropa sebagai salah satu negara importir utama terbesar di dunia pada dasarnya telah memberatkan negara-negara eksportir udang, khususnya Indonesia. Apabila pengurangan tarif dilakukan lebih besar lagi dalam bentuk GSP, maka nilai ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa dapat lebih meningkat. Painthe (2008) dalam penelitiannya mengatakan bahwa selama ini negara-negara impotir, khususnya negara berkembang terus berjuang untuk mendapatkan zero tariff untuk komoditas ekspor negara tersebut. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan juga menyebutkan dengan adanya penurunan tarif, nilai ekspor komoditas udang Indonesia akan meningkat. Meskipun demikian, Uni Eropa sebagai salah satu negara importir udang terbesar di dunia tetap menjadi pangsa ekspor strategis untuk Indonesia karena permintaan akan udang di pasar Eropa cenderung meningkat. Oleh karena itu, untuk mengatasi pemberian tarif yang tergolong tinggi, Indonesia perlu melakukan trade creation antara Indonesia dan Uni Eropa seperti yang telah dilakukan antara Indonesia dengan Jepang dalam bentuk EPA (Economic Partnership Agreement). Trade creation bagi Indonesia nantinya akan memberikan produk ekspor perikanan Indonesia yang masuk ke Uni Eropa dikenakan tarif yang berbeda dengan negara-negara di luar kerja sama antara Indonesia dan Uni Eropa. 42

6 Penerapan Kebijakan Hambatan Nontarif di Uni Eropa Semua kebijakan ekspor yang tidak berkaitan dengan pengenaan pajak atau pungutan impor dan menjadi hambatan bagi pelaku eksportir dapat dimasukkan ke dalam hambatan nontarif yang ternyata menjadi hambatan paling dominan. Kesepakatan akan konsep Sanitary and Phytosanitary (SPS) yang mecakup keamanan pangan (food safety attributes) dan kandungan gizi (nutrion attributes) yang ditetapkan oleh Komisi Eropa bila tidak dipenuhi, produk udang Indonesia akan mengalami banyak hambatan yang akhirnya berakibat penolakan dengan alasan non tariff barrier to trade. Hambatan nontarif ini pada hakekatnya menjadi hambatan utama dan sering melebar ke berbagai hal (Purnomo, 2007b). Perhatian utama Uni Eropa saat ini berada pada bahan pangan yang masuk ke Uni Eropa. Menerapkan persyaratan mutu bagi produk yang diimpor sudah menjadi hak importir dalam menjamin dan melindungi keselamatan konsumen. Ketentuanketentuan dari kelompok negara di Uni Eropa dapat yang diidentifikasikan sebagai hambatan nontarif adalah sebagai berikut: 1) Kondisi kesehatan dalam produksi dan penempatan di pasar-pasar produk perikanan. 2) Peraturan syarat hygiene minimum yang harus diterangkan pada produk perikanan tangkap di tempat-tempat pelabuhan kapal perikanan. 3) Pengaturan maksimal kontaminasi-kontaminasi makanan. Kebijakan terkait nontarif yang diterapkan Uni Eropa untuk produk udang sebagian besar sama dengan peraturan yang diterapkan untuk produk perikanan lainnya khususnya mengenai standar kesehatan, keselamatan konsumen, dan perlindungan bagi kelestarian lingkungan. Dewasa ini, perhatian publik di negara maju terhadap sanitary dan hygene produk pangan telah meningkat (Ahmed, 2006). Hal ini menyebabkan negara pengimpor (negara maju) melakukan pengetatan atas aturan keamanan produk yang diimpor. Negara-negara berkembang seperti Indonesia sering mengeluhkan terkena dampak aturan sanitary and phytosanitary yang ketat dari negara-negara pengimpor utama. Daftar kebijakan nontarif di Uni Eropa yang berpengaruh terhadap produk udang dapat dilihat pada Tabel

7 Tabel 11. Inventarisasi Kebijakan Nontarif Uni Eropa yang Berpengaruh Terhadap Produk Ekspor Udang Indonesia No Regulasi Deskripsi 1. Council Directive 91/493/EEC Mengatur mengenai kondisi kesehatan untuk produk dan pemasaran produk perikanan Ketentuan bagi negara dunia ketiga harus mempunyai sistem yang setara dengan yang ada di UE agar adapat melakukan ekspor hasil perikanan ke Uni Eropa. 2. Council Directive No. 92/48/EEC Menenai ketentuan batas minimum higien untuk produk perikanan 3. Regulasi (EC) No. 446/ Menetapkan taraf maksimum bagi pencemar Maret Regulasi (EC) No. 178/2002 dari Dewan dan Parlemen Eropa 28 Januari Regulasi (EC) No. 852/ April Regulasi (EC) No. 853/ April Regulasi (EC) No. 854/ April Regulasi (EC) No. 2073/ November Commission Decision 2006/236/EC 21 Maret Commission Decision 2008/660/EC 31 Juli Commission Decision 2010/220/EU 16 April 2010 Sumber: KKP (2011), Commission Decision (2012), (diolah) tertentu dalam bahan pangan. Prinsip-prinsip umum dan persyaratan hukum pangan, pembentukan otoritas keamanan pangan eropa dan penetapan prosedur yang terkait dengan keamanan pangan Regulasi ini merupakan ratifikasi SPS dari WTO dan standar keamanan pangan internasional yang memuat Codex Alimentarius. Persyaratan umum produksi primer, persyaratan teknis, HACCP, pendaftaran/ pengakuan usaha makanan, petunjuk nasional untuk praktik yang baik. Aturan higienis yang spesifik untuk makanan dari asal hewan (pengakuan dari perusahaan, kesehatan, dan identifikasi pendanaan, impor, informasi rantai pangan) Aturan khusus bagi organisasi pengawasan resmi atas produk asal hewan yang dimaksudkan untuk konsumsi manusia. Kriteria mikrobiologis untuk bahan pangan Kondisi khusus untuk produk perikanan asal Indonesia dan yang ditujukan untuk konsumsi manusia dan mengatur systemic border control yaitu mengecek setiap consignment/container di setiap port entry Mengubah keputusan dari CD 2006/236/EC menjadi persyaratan untuk uji produk perikanan yang berasal dari Indonesia untuk keberadaan logam berat dan histamin pada produk tangkap Mewajibkan uji sampel terhadap paling sedikit 20 persen dari produk perikanan budidaya di semua pelabuhan pintu masuk ke Eropa 44

8 Regulasi yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa (European Commission) pada Tabel 11 secara umum diberlakukan dua puluh hari setelah diterbitkan dalam Official Journal (OJ). European Commision adalah lembaga eksekutif pemerintah Uni Eropa yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan Uni Eropa kepada dewan dan parlemen Eropa, termasuk di dalamnya peraturan mengenai pengawasan mutu dan keamaan pangan (EU, 2010) Menurut Ababouch (2006) yang diacu dalam Lambaga (2009), peraturan yang disyaratkan negara importir seringkali menjadi penghambat dalam perdagangan. Negara berkembang yang umumnya merupakan eksportir utama produk perikanan seringkali dihadapkan pada penolakan akibat kompleksitas program sanitasi dan persyaratan mutu dari negara tujuan eskpor. Selain itu, tidak harmonisnya standar dan sistem yang digunakan pada negara tujuan eskpor juga menghambat perdagangan internasional. Uni Eropa memberlakukan persyaratan mutu yang lebih ketat terhadap produk perikanan budidaya. Sesuai dengan EC Food Law No. EC/2002/178 dan EU Regulation No. 2377/90 tentang Regulation on Residue Control and Monitoring of Aqualucture Products, maka semua negara eksportir produk perikanan budidaya diwajibkan untuk menyampaikan laporan hasil monitoring residu obat-obatan dan antiobiotik kepada Directorate General of Health and Consumer Protection (DG Sanco) secara rutin setiap tahun. Peraturan tersebut pun terus berkembang menjadi ketentuan zero tolerance terhadap residu antibiotik untuk setiap perikanan budidaya yang akan masuk ke Uni Eropa. Kunci pokok regulasi yang ditetapkan Komisi Eropa menitikberatkan pada perlindungan konsumen tingkat tinggi terkait standar mutu dan keamanan pangan di Uni Eropa yaitu EC No. 178/2002 tentang persyaratan mutu undang-undang pangan secara prosedur keamanan pangan. Hal ini juga dikatakan oleh Painthe (2008) dalam penelitiannya. Saat peraturan tersebut dikeluarkan, salah satu kebijakan yang cukup signifikan mempengaruhi perkembangan impor pangan Uni Eropa adalah diterapkannya Rapid Alert System for Food and Feeds (RASFF). Pengaruh ini berdampak kepada peredaran produk negara eksportir di Uni Eropa. RASFF merupakan jejaring kerja dalam sistem siaga cepat untuk pemberitahuan risiko langsung atau tak langsung pada kesehatan manusia yang berasal dari 45

9 pangan atau pakan. Melalui RASFF yang diacu dalam Saputra (2011), produk pangan Indonesia yang teridentifikasi membahayakan kesehatan di Eropa akan menerima tiga notification yaitu alert notification, information notification, dan border rejection notification. Alert notification merupakan sebuah pemberitahuan peringatan atau peringatan yang dikirim melalui RASFF ke negara anggota apabila pangan atau pakan memiliki risiko serius di pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan, sedangkan information notification merupakan sebuah pemberitahuan informasi menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar negara yang memberitahukan dimana risiko telah diidentifikasi dan tidak memerlukan tindakan cepat. Border rejection notification merupakan notification untuk produk pangan yang teridentifikasi membahayakan sebelum masuk ke pasar Eropa atau mengalami penolakan di Eropa. Peraturan lain pada EC/853/2004 yang juga dikeluarkan oleh Komisi Eropa, menempatkan persyaratan kesehatan makanan untuk produk yang berasal dari hewan, mencakup sistem prosedur HACCP. Aturan ini memberikan tanggung jawab pada produsen pangan utama untuk keamanan pangan melalui pengecekan sendiri dan teknik pengendalian terhadap bahaya. Peraturan ini diberikan karena pengembangan budidaya produk perikanan, khususnya udang, hanya mengutamakan peningkatan produksi dan menyampingkan aspek mutu dan keamanan pangan, padahal menurut Putro (2008) produk udang budidaya sangat rentan terhadap kontaminasi bakteri-bakteri patogen maupun residu antibiotik/obat-obatan dan pestisida yang membahayakan kesehatan konsumen. Oleh karena itu, ditetapkannya konsep HACCP oleh Komisi Eropa juga perlu diterapkan dalam industri udang nasional dalam standardisasi budidaya untuk mencegah residu obat-obatan dan kontaminasi berbagai senyawa kimia dalam produk udang budidaya, serta mencegah terjadinya kontaminasi mikrobiologi ketika udang dibudidayakan di kolam/tambak maupun di tempat pengolahan menjadi produk beku untuk di ekspor. Berdasarkan peraturan atau regulasi yang ditetapkan oleh Uni Eropa sebagai hambatan nontarif (Tabel 11), maka Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan kewajiban dasar bagi pengolah, buyer, dan competent authority dari negara pengekspor yang akan melakukan ekspor produk udang ataupun produk 46

10 perikanan lainnya ke Uni Eropa untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut, diantaranya: 1) Pengolah (Unit pengolahan/perusahaan/eksportir) harus menerapkan dan memantau kegiatan pengolahan berdasarkan: a. Article 3 sampai 6 dari EC 852/2004, secara umum kewajiban bagi perusahaan untuk mengawasi atau memonitor keamanan pangan produk dan proses pengolahan yang menjadi tanggung jawabnya. b. Menerapkan keadaan umum hygienic primary production article 4.1 dan PART A annex I dari EC 852/2004. c. Menerapkan detail (detail requirements) setelah primary production (article 4.2 dan Annex II EC 852/2004). d. Persyaratan Mikrobiologi pada Article 4.3 EC 852/2004 dan EC No. 2073/2005. e. Menerapkan prosedur prinsip-prinsip HACCP (article 5 dari EC 852/2004). f. Unit pengolah harus teregistrasi sesuai article 6 dari EC 852/ ) Buyer/Importer (food business operators importing products) melaksanakan pengawasan sesuai dengan persyaratan EC 853/2004, dan harus menjamin bahwa produk-produk tersebut telah memiliki dan menerapkan sistem penanganan pengolahan yang sehat dan produk tersebut diperiksa di border inspection posts. 3) Pemerintah (competent authority) di negara pengekspor berkewajiban: a. Competent authority melakukan pengawasan (official control) yang memenuhi kriteria yang tercantum dalam EC 882/2004 b. Competent authority mengawasi perusahaan yang diberi wewenang untuk ekspor ke Uni Eropa agar tetap memenuhi European Community Requirements c. Competent authority mempertahankan, memperbaharui, dan mengkomunikasikan kepada Komisi Eropa mengenai perusahaan yang tidak memenuhi atau tidak lagi memenuhi European Community Requirements. Compentent authority melakukan ini sesuai dengan Article 12 paragraf 2 EC 854/

11 d. Sertifikat-sertifikat yang dipersyaratkan harus diterbitkan sebelum pengapalan atau meninggalkan pelabuhan. Kewajiban lain dapat diterapkan seiring dengan perkembangan kebijakan yang diberikan oleh Komisi Eropa dalam memberikan regulasi bagi negara-negara eksportir. Pada tahun 2008, Komisi Eropa menetapkan kebijakan CD 2008/660/EC dimana keputusan dari CD 2006/236/EC tidak hanya mengatur systemic border control yang mengecek setiap consignment/container di setiap port entry, melainkan menjadi persyaratan untuk uji produk perikanan yang berasal dari Indonesia untuk keberadaan logam berat dan histamin pada produk perikanan tangkap. Kebijakan yang ditetapkan Komisi Eropa mengharuskan eksportir Indonesia melakukan pengujian terhadap setiap komoditas perikanan. Kebijakan yang diterapkan Uni Eropa ini secara nyata juga menyebabkan volume ekspor produk perikanan Indonesia khususnya tuna sebagai produk perikanan tangkap mengalami penurunan sejak diberlakukannya kebijakan tersebut yaitu dari 12,610 ton pada tahun 2007 menjadi 12,132 ton pada tahun Meskipun pada tahun berikutnya terjadi kenaikan volume menjadi 13,370 ton, namun pada tahun 2010 kembali mengalami penurunan menjadi 8,434 ton. Regulasi yang ditetapkan oleh Komisi Eropa terhadap produk perikanan Indonesia, pada dasarnya telah membawa para pelaku eksportir untuk meningkatkan kualitasnya. Keseriusan pelaku eksportir tersebut telah didukung oleh pemerintah Indonesia dalam pemenuhan standardisasi yang ditetapkan Uni Eropa. Pada tanggal 15 Maret 2010 melalui CD 2010/219/EU, Komisi Eropa mencabut CD 2006/236/EC dan CD 2008/660/EC untuk uji logam berat dan histamin pada produk perikanan tangkap. Pencabutan ini didasari karena hasil tes yang dilakukan Komisi Eropa terhadap produk perikanan di Indonesia tidak melebih tingkat maksimum kandungan logam berat dan histamine. Oleh karena itu, setiap kali pengiriman produk perikanan ke Uni Eropa tidak perlu dilakukan tes uji logam berat dan histamin. Pada tahun 2011, pencabutan peraturan tersebut membuat para pelaku ekspor perikanan tangkap kembali mengekspor secara besar-besaran ke Uni Eropa, sehingga terjadi peningkatan volume ekspor untuk produk perikanan tangkap seperti tuna, yakni dari 8,434 ton menjadi 30,134 ton. 48

12 Hingga saat ini, kebijakan nontarif untuk produk ekspor perikanan Indonesia ke Uni Eropa diberatkan oleh ketentuan yang diterapkan Komisi Eropa dalam CD 220/2010. Kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa memberikan dampak yang berbeda untuk setiap produk perikanan, khususnya udang yang adalah produk perikanan budidaya. Peraturan CD 220/2010 ini mewajibkan uji sampel bebas antibiotik terhadap paling sedikit 20 persen dari produk perikanan budidaya di semua pelabuhan pintu masuk ke Eropa. Kebijakan ini didasari karena ditemukannya kandungan antibiotik pada penjual pakan ikan yang berada sekitar tempat budidaya perikanan Indonesia. Kewajiban uji atas produk ekspor perikanan budidaya dapat mengancam daya saing ekspor dan mengurangi pendapatan negara dari produk udang yang biasanya diekspor ke Uni Eropa.. Berdasarkan data statistik ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa, terbukti bahwa pada tahun 2010 volume ekspor udang Indonesia mengalami penurunan sebesar 43,51 persen. Penurunan ini terjadi selain karena produksi rendah pada tahun tersebut, adalah akibat kebijakan yang diterapkan oleh Uni Eropa dalam CD 220/2010. Peraturan ini mewajibkan sampel yang diperiksa diambil 20 persen dari total volume udang yang diekspor. Oleh sebab itu, jika ada lima kontainer udang, maka satu kontainer harus diperiksa. Satu kontainer biayanya bisa mencapai euro dan ditanggung sendiri oleh eksportir. Akibatnya, pengusaha atau pelaku ekspor harus menanggung beban dengan mengurangi margin keuntungan 4. Hal ini berarti kewajiban untuk uji sampel bebas antibiotik mengharuskan para pengusaha ekspor membayar lebih untuk setiap kontainer yang diuji, sehingga untuk mengimbangi biaya pengujian yang ditetapkan Uni Eropa, pengusaha ekspor Indonesia bisa saja melakukan kenaikan harga ekspor. Namun, menurut Darmawan (2011) sebagai Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), kenaikan harga ekspor udang hampir tidak mungkin dilakukan Indonesia karena akan sulit bersaing dengan produk udang dan perikanan lainnya dari Thailand dan Vietnam yang juga menjadi pemasok terbesar ekspor perikanan di Asia Tenggara. Selain itu, produk perikanan dari kedua negara itu pun tidak dikenai kewajiban pemeriksaan residu antibiotik seperti Indonesia. Kewajiban uji sampel bebas antibiotik menjadi alasan kuat 4 ( Ekspor Udang ke Uni Eropa Bakal Turun 11 persen. Diakses tanggal 20 Mei

13 banyaknya pelaku eksportir yang mengganti tujuan ekspornya ke negara lain, sehingga pada tahun 2010 terjadi penurunan volume ekspor udang ke Uni Eropa dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan analisis deskriptif tentang penerapan kebijakan Uni Eropa terhadap seluruh produk perikanan yang diimpor, seluruh kebijakan nontarif oleh Uni Eropa haruslah dipenuhi oleh seluruh eksportir karena menyangkut kesehatan dan keamanan konsumen. Meskipun kebijakan yang ditetapkan oleh Uni Eropa sangat ketat terhadap produk perikanan, khususnya udang yang adalah produk perikanan budidaya, namun pasar Eropa masih tetap prospektif untuk terus dimasuki oleh negara-negara pengekspor udang di dunia seperti Indonesia. Ketetapan adanya zero tolerance yang diangkat oleh Uni Eropa terhadap produk udang budidaya akan antibiotik seharusnya tidaklah menjadi masalah bagi pelakupelaku eksportir jika ingin memasuki pasar Eropa. Bagi Indonesia, adanya zero tolerance harusnya membawa seluruh stakeholder untuk mencermati secara intensif setiap tahapan dalam budidaya udang di tingkat petambak/pembudidaya hingga unit pengolah Penerapan Kebijakan Adminstratif di Uni Eropa Masalah lain yang dapat menjadi hambatan bagi produk ekspor hasil perikanan adalah masalah yang berkaitan dengan administrasi. Alasan yang paling umum menjadi hambatan administratif adalah approval number, health certificate, dan competent authority. Mengenai health certificate, Komisi Eropa menetapkan bahwa setiap eksportir harus dilengkapi dengan dua health certificate yaitu: (1) Health certificae atau sertifikat kesehatan produk perikanan eskpor untuk tujuan konsumsi manusia yang dikeluarkan oleh Balai/Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan dan (2) Health certificate atau sertifikat kesehatan produk perikanan ekspor untuk hama dan penyakit ikan atau media pembawanya yang dikeluarkan oleh Stasiun Karantina, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang biasanya berlokasi di lingkungan pelabuhan umum atau bandar udara. Eksportir/pengolah/unit pengolahan juga harus dilengkapi Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP). Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) merupakan dokumen yang menyatakan bahwa unit pengolahan tempat produk perikanan 50

14 diolah telah memenuhi standar kelayakan dasar penanganan/pengolahan ikan atau Good Manufacturing Practices (GMP), dan prosedur standar sanitasi atau Standard Sanitation Operating Procedures (SSOP). Dalam proses mendapatkan SKP, maka Dinas Perikanan dan Kelautan berkewajiban untuk melakukan kegiatan penilikan awal/prainspeksi (preinspection) atau dapat diistilahkan pra- SKP. Hal ini merupakan pembinaan terhadap perusahaan/unit pengolahan ikan sebelum institusi teknis yaitu Direktorat Standarisasi dan Akreditasi, Ditjen P2HP melakukan penilikan/inspeksi SKP lebih lanjut. Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) merupakan salah satu persyaratan bagi unit pengolahan ikan/eksportir pengolah dalam memperoleh health certificate yang diterbitkan oleh LPPMHP. Selain persyaratan SKP, eksportir produsen/pengolah juga harus memiliki surat keterangan validasi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points) apabila melakukan eskpor produk perikanan ke Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Khusus untuk ekspor ke Uni Eropa, eksportir harus dilengkapi dengan approval number yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa atas usulan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan sebagai Otoritas Kompeten (Competent Authority). Persetujuan (approval) izin ekspor yang diberikan oleh Komisi Eropa kepada para eksportir ternyata hanya diberikan kepada perusahaan eksportir yang sudah dianggap qualified-fulfiling the equivalence conditions for production and plecing on the market dan bukan diberikan kepada semua perusahaan di suatu negara. Selanjutnya, Komisi Eropa akan memberikan informasi daftar perusahaan yang layak ekspor (list of authorized countries) kepada publik melalui website dan dokumen publik lainnya. Hingga tahun 2011, jumlah unit pengolah/eksportir produk perikanan Indonesia yang telah mempunyai approval number adalah 189 unit. Produk hasil perikanan Indonesia umumnya ditolak karena unit pengolah (eksportir) yang bersangkutan belum mempunyai approval number yang dikeluarkan Komisi Eropa. Tahapan Pengawasan secara administratif hasil perikanan yang masuk (impor) ke Uni Eropa dapat dilihat sebagai berikut (KKP, 2010): 1) Competent authority negara pengirim menghubungi Komisi Eropa untuk memohon persetujuan approval number of fisheries establishments atau perusahaan/eksportir hasil perikanan. 51

15 2) Approval number yang diusulkan, jika diterima atau ditolak akan diterbitkan dalam official journal dari European Community dan disebarkan secara elektronik ke semua member states. 3) Melalui commission decision ditetapkan format health certificate dan list of establishments (unit pengolahan) yang disetujui (telah mendapat approval number). 4) Competent authority dari negara pengirim menerbitkan health certificate dan stempel yang dikeluarkan oleh commission decision. 5) Komisi Eropa melalui Food and Veterinary Office (FVO), Directorate General of Consumer Protection (DG Sanco) melakukan kunjungan ke negara pengirim baik member states maupun negara ketiga untuk misi inspeksi sistem/standar higienis apakah ekuivalen dengan peraturan Uni Eropa. 6) Prosedur ekspor harus masuk mealalui pos pengawasan perbatasan (Border Inspection Post/BIP). 7) Buyer/Importer di negara Uni Eropa harus memberitahu kepada BIP tentang kedatangan Consignment dalam kurun waktu 24 jam melalui laut dan enam jam melalui udara. 8) Official fish inspector atau official veterinary surgeon melakukan pemeriksaan seperti diuraikan berikut: a. Documentary check (pengecekan dokumen) adalah memeriksa dokumendokumen terkait dengan pengiriman barang/produk, termasuk certificate of origin dan health certificate. b. Identity check (identifikasi dokumen) adalah pengecekan visual untuk melihat kecocokan dan konsistensi antara dokumen-dokumen dan produk-produk, termasuk dokumen lain seperti certificate of origin, approval number, dll. c. Physical check (Pemeriksaan fisik) adalah pemeriksaan produk yang dilakukan oleh fish/veterinary inspector sendiri (BIP) seperti organoleptik, pengepakan dan pengemasan (packaging), suhu (temperature), dan atau memungkinkan mengambil contoh dan menguji ke laboratorium (sampling and laboratory testing). 52

16 9) Jika pemeriksaan dokumen memuaskan pihak inspektur sesuai dengan Common Veterinary Entry Document (CVED) yang diterbitkan, maka consignment tersebut dapat masuk ke Uni Eropa. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan gagal karena masalah mutu dan keamanan produk yang tidak memenuhi syarat atau kandungan tertentu melebih batas yang diberlakukan, maka dilakukan salah satu dari dua pilihan yaitu: dikirim kembali (re-export) atau dihancurkan (destroyed). Berdasarkan Council Regulation (EC) No. 1005/2008 tanggal 28 September 2009 mengenai establishing a community system to prevent, deter, and eliminate illegal, unreported and unregulated fishing, Uni Eropa juga mewajibkan adanya catch certification atas semua produk perikanan hasil tangkapan dari laut yang diekspor ke kawasan tersebut sejak 1 Januari Sertifikat hasil tangkapan ikan mencakup beberapa hal antara lain: 1) Sertifikasi hasil tangkapan merupakan persyaratan bagi produk perikanan, termasuk produk olahannya yang masuk pasar Uni Eropa. 2) Sertifikasi diisi dan dilengkapi oleh eksportir yang telah memiliki approval number, serta diajukan kepada competent authority, yaitu Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap untuk divalidasi. Hal ini berarti produk perikanan yang akan diekspor merupakan hasil tangkapan dari kegiatan yang telah memenuhi ketentuan pengolahan/konservasi perikanan Analisis Kasus Penolakan Ekspor Udang di Uni Eropa Berdasarkan data yang dilansir oleh RASFF sejak , produk perikanan Indonesia menerima tiga notification oleh European-RASFF, yaitu alert notification, information notification, dan border rejection notification. Alert notification merupakan sebuah pemberitahuan peringatan atau peringatan di pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan, sedangkan information notification merupakan sebuah pemberitahuan informasi menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar negara yang memberitahukan dimana risiko telah diidentifikasi dan tidak memerlukan tindakan cepat. Border rejection notification merupakan notification untuk produk pangan yang teridentifikasi membahayakan sebelum masuk ke pasar Eropa atau mengalami penolakan di Eropa. Perkembangan jumlah 53

17 kasus produk perikanan yang menerima notification dari European-RASFF dapat dilihat pada Gambar 6. Jumlah kasus Ikan Udang Tahun Gambar 6. Perkembangan Jumlah Kasus Produk Ikan dan Udang yang Menerima Notification dari European-RASFF Tahun Sumber: DG Sanco (2012), (diolah) Berdasarkan Gambar 6, secara menyeluruh dapat dilihat bahwa jumlah kasus produk ikan dan udang yang menerima notification dari tahun sudah mengalami penurunan. Ini menunjukkan bahwa standardisasi produk hasil perikanan Indonesia sudah semakin mendekati standar internasional. Dari tahun , produk ikan menerima notification sebanyak 149 kasus yang terdiri dari 61 persen notification information, 29 persen alert notification, dan 10 persen border rejection notification. Berbeda dengan produk ikan, produk udang hanya menerima notification sebanyak 34 kasus yang terdiri dari 82 persen information notification, dan sisanya alert notification dan border rejection notification masing-masing sembilan persen. Banyaknya produk yang menerima notification berupa information dan alert berarti produk ikan dan udang diketahui memiliki masalah atau dapat membahayakan kesehatan setelah masuk ke dalam pasar di Uni Eropa, sedangkan notification berupa border rejection berarti produk telah ditolak masuk ke pasar Uni Eropa karena membahayakan kesehatan. Dari Gambar 6, khususnya untuk produk udang terlihat perkembangan yang baik dimana sejak tiga tahun terakhir produk udang Indonesia hampir tidak menerima notification dari European- RASFF. Berbeda dengan produk ikan, meskipun sudah mengalami penurunan 54

18 penerimaan notification selama tahun , namun notification yang diterima tetap tergolong membahayakan, khususnya dari tahun yang tercatat ada 11 kasus produk ikan yang menerima border rejection notification. Ini berarti produk ikan Indonesia tidak bisa masuk ke Uni Eropa, dengan kata lain harus dihancurkan atau dikembalikan. Produk ikan yang teridentifkasi berbahaya dan menerima notification oleh European-RASFF disebabkan oleh beberapa alasan yang diterima dari produk ikan tersebut. Alasan terjadinya notification pada produk ikan asal Indonesia dapat dilihat pada Gambar mercury carbon monoxide treatment Jumlah alasan histamine cadmium poor hygienic state unauthorised substances malachite green, chrystal violet, and leucomalachite green ohters Tahun Gambar 7. Perkembangan Jumlah Alasan Kasus Produk Ikan yang Menerima Notification dari European-RASFF Tahun Sumber: DG Sanco (2012), (diolah) Berdasarkan Gambar 7, dapat dilihat bahwa notification yang diterima dari European-RASFF adalah karena banyaknya produk ikan yang belum sesuai dengan standardisasi Uni Eropa. Alasan terbesar terjadinya notification dari tahun pada produk ikan tersebut adalah karena produk ikan Indonesia melebihi batas kandungan logam berat seperti mercury dan cadmium. Untuk alasan logam berat, setiap tahunnya Indonesia menerima notification karena produk ikan terdeteksi mengandung mercury ataupun cadmium. Pada periode tersebut, Indonesia menerima notification adanya kandungan logam berat untuk produk ikan sebanyak 41 persen dari 169 total alasan yang diterima dari European-RASFF, 10 persen karena alasan bahwa produk ikan Indonesia 55

19 mengandung zat beracun yang dapat membahayakan kesehatan seperti histamine, dan sisanya karena alasan proses seperti pengolahan, penangkapan, pengepakan, dll. Jika dilihat perkembangannya dari tahun , alasan notification yang diterima Indonesia sudah banyak berkurang terutama mengenai standardisasi proses seperti unauthorised substances malachite green, chrystal violet, and leucomalachite green, poor hygienc, dan carbon monoxide treatment, namun untuk hal logam berat, produk ikan Indonesia masih terdeteksi adanya produk ikan yang melebih batas maksimum. Adapun kasus notification yang diterima karena produk ikan terdeteksi logam berat seperti mercury dan cadmium pada tahun 2008 adalah karena adanya kebijakan CD 2008/660 yang ditetapkan Uni Eropa yang mengharuskan eksportir Indonesia melakukan pengujian terhadap setiap komoditas perikanan. Kasus penolakan ini dikarenakan produk ikan Indonesia melewati batas maksimum kandungan logam berat untuk perikanan tangkap. Meskipun sudah mengalami penurunan dari periode tahun , namun kasus notification yang diterima tetap harus menjadi perhatian khusus bagi seluruh stakeholder, terutama karena masih ditemukannya produk ikan yang melebih batas kandungan logam berat. Ikan dan produk perikanan lainnya secara umum diberikan regulasi atau peraturan yang sama, tetapi setiap produk bisa menerima alasan yang berbedabeda, tergantung pada penanganan/budidaya untuk produk perikanan budidaya dan penangkapan untuk produk perikanan tangkap. Seperti halnya udang, produk udang sebagai produk perikanan budidaya teridentifkasi berbahaya dan menerima notification oleh European-RASFF disebabkan paling banyak karena alasan antibiotik. Kandungan antibiotik yang terkandung dalam produk perikanan budidaya, khususnya udang telah menjadi perhatian khusus oleh Uni Eropa. Berbagai alasan lain sehingga terjadinya notification pada produk udang asal Indonesia dapat dilihat pada Gambar 8. 56

20 Jumlah Alasan Cadmium Prohibited subtance nitrofuran (metabolite), furazolidone and nitrofurazone Prohibited subtance chloramphenicol Vibrio spp. Too high count of aerobic mesophiles Other Tahun Gambar 8. Perkembangan Jumlah Alasan Pasus Produk Udang yang Menerima Notification dari European-RASFF Tahun Sumber: DG Sanco (2012), (diolah) Gambar 8 menunjukkan perkembangan penurunan kasus notification yang diterima oleh Indonesia untuk produk udang. Untuk alasan antibiotik seperti prohibited substance chloramphenicol, nitrofuran (metabolite) furazolidone, dan nitrofurazone, notification yang diterima menunjukan penurunan kasus. Pada tahun 2004, notification yang diterima sangat tinggi, tetapi pada tahun selanjutnya notification untuk alasan antibiotik semakin berkurang. Berbeda dengan produk ikan, produk udang lebih banyak mengalami penolakan dengan alasan yaitu menggunakan zat yang dilarang seperti chloramphenicol dan nitrofuran serta alasan karena mengandung mikroorganisme seperti Vibrio parahaemolyticus. Produk udang Indonesia dari Gambar 8 menunjukkan perkembangan yang baik dalam hal pemenuhan standardisasi yang sesuai dengan negara importir. Hal ini terbukti bahwa pada tahun , Indonesia tidak menerima notification adanya produk yang membahayakan kesehatan. Adapun satu notification yang diterima pada tahun 2010 hanya karena alasan proses yaitu poor temperature control pada produk udang beku. Adapun kebijakan yang ditetapkan oleh Komisi Eropa terhadap produk udang sebagai produk perikanan melalui CD 2010/220, yang mewajibkan uji sampel bebas antibiotik terhadap paling sedikit 20 persen dari produk perikanan budidaya di semua pelabuhan pintu masuk ke Eropa tidak mengakibatkan terjadi 57

21 notification oleh European-RASFF. Data kasus notification pada Gambar 8 telah menunjukkan bahwa kebijakan CD 2010/220 yang ditetapkan Uni Eropa terhadap residu antibiotik ternyata tidak ditemukan. Kebijakan CD 2010/220 dapat diajukan kepada Komisi Eropa oleh competent authority untuk segera dicabut karena berdasarkan ketetapan yang disepakati bahwa apabila kebijakan yang ditetapkan sudah dipenuhi dalam waktu satu tahun maka kebijakan tersebut perlu ditinjau ulang. Kasus notification yang terjadi untuk produk udang dan ikan Indonesia di Uni Eropa dapat menjadi jawaban untuk melihat bahwa kebijakan yang diterapkan khususnya nontarif terkait Sanitary and Phytosanitary berpengaruh pada kinerja ekspor udang dan produk perikanan Indonesia lainnya, dimana produk ekspor udang Indonesia telah memenuhi standar keamanan dan kesehatan konsumen di pasar internasional, khususnya Uni Eropa. Selain itu, menurunnya jumlah kasus notification untuk produk ikan dan udang yang diterima dari European-RASFF menunjukkan bahwa penanganan yang dilakukan para pelaku eksportir Indonesia sudah baik dalam memenuhi segala persyaratan yang ditetapkan oleh Uni Eropa. Berdasarkan hasil analisis penerapan kebijakan Uni Eropa dan kasus notification yang di terima Indonesia oleh European-RASFF menunjukkan bahwa setiap kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa untuk setiap produk udang dan perikanan yang masuk dari negara-negara eksportir memang haruslah dipenuhi karena menyangkut kesehatan dan keamanan konsumen. Penurunan volume ekspor udang dan produk perikanan lainnya ke Uni Eropa tidak hanya sematamata karena peraturan yang ditetapkan Uni Eropa melainkan juga karena faktor produksi udang dan penanganan pada setiap produk perikanan. Sedikitnya kasus notification dalam tiga tahun terakhir yang di terima Indonesia dari European- RASFF terhadap produk udang harus dapat dipertahankan oleh seluruh stakeholder. Mengadopsi ketentuan Uni Eropa mengenai zero tolerance terhadap antibiotik berbahaya sangat penting sebagai standar mutlak bagi seluruh pelaku eksportir agar dapat meningkatkan kinerja ekspornya. Tindakan yang dapat dilakukan dalam mengadopsi hal tersebut adalah dengan mencermati secara intensif setiap tahapan dalam budidaya udang baik di tingkat petambak/pembudidaya hingga unit pengolah yaitu dengan melakukan farm 58

22 registration, farm inspection, feed quality control, farm monitoring, dan raw materials control Kebijakan Pengembangan Ekspor Hasil Perikanan Indonesia Kebijakan pemerintah dalam pengembangan ekspor hasil perikanan harusnya bertumpu pada kebijakan pengembangan mutu dan keamanan pangan. Meskipun menurt Painthe (2008) perlu juga dilakukan kebijakan pengembangan produk dan pasar yang berorientasi pada market base development melalui diversifikasi produk dan pasarnya, namun dalam hal pengembangan pasar ekspor hasil perikanan, Sub Direktorat Pengembangan Ekspor pada tahun 2010 telah menetapkan target pencapaian pasar ekspor baru hingga tahun Target pasar yang akan ditambah dalam ekspor hasil perikanan Indonesia diantaranya: Uni Emirat Arab, Ceko, dan Ukraina pada tahun 2010; Slovakia, Turki, dan India pada tahun 2011; Mesir, New Zealand, dan Islandia pada tahun 2012; Bahrain, Venezuela, Brazil, dan Papua Nugini pada tahun 2013; Oman, Peru, Kroasia, Afrika Selatan, dan Lithuania pada tahun Untuk pencapaian pengembangan pasar sesuai target yang ditetapkan, langkah awal yang harus dilakukan dalam pengembangan ekspor hasil perikanan di Indonesia adalah perlunya mengetahui prosedur umum ekspor barang (lampiran 1), alur prosedur ekspor hasil perikanan (lampiran 2), dan dokumen yang harus dimiliki dalam perdagangan hasil perikanan (lampiran 3). Ketiga hal tersebut menjadi dasar yang harus diketahui dan dimiliki oleh seluruh pelaku ekspor agar dapat mengembangkan pasar ekspor hasil perikanan. Menjawab tantangan peraturan negara-negara importir utama hasil perikanan seperti Uni Eropa yang memiliki persyaratan yang cukup ketat mengenai standar mutu dan keamanan pangan, pemerintah mempunyai tanggung jawab dan peran penting untuk menghasilkan produk perikanan yang sehat, aman, dan bermutu baik. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah membangun Sistem Perkarantinaan Ikan dan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Sistem tersebut merupakan suatu sistem yang terintegrasi dari hulu ke hilir untuk memberikan jaminan terhadap produk hasil perikanan yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha sejak praproduksi sampai dengan pendistribusian agar dapat 59

23 memenuhi persyaratan kesehatan ikan dan aman untuk dikonsumsi manusia. Sebagai upaya pelaksanaan pengendalian hama dan penyakit ikan karantina serta penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan membentuk Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) yang kemudian ditunjuk sebagai otoritas kompeten dalam pengendalian. Peraturan lainnya untuk meningkatkan mutu dan keamanan hasil perikanan Indonesia, (BKIPM, 2012 ) yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. 2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun ) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan. 4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. 5) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2005 tentang Tindakan Karantina Ikan untuk Pengeluaran Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina. 6) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2007 tentang Tindakan Karantina Untuk Pemasukan Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina dari Luar Negeri dan dari Suatu Area ke Area lain di dalam Wilayah Republik Indonesia. 7) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.26/MEN/2008 tentang Kewenangan Penerbitan, Format dan Pemeriksaan Sertifikat Kesehatan dibidang Karantina Ikan dan Sertifikat Kesehatan dibidang Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. 8) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan. 60

24 9) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. 10) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/MEN/2011 tentang Instalasi Karantina Ikan. 11) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.25/MEN/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. 12) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.53/MEN/2010 tentang Penetapan Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina. 13) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.03/MEN/2010 tentang Penetapan Jenis-jenis Hama dan Penyakit Ikan Karantina, Golongan, Media Pembawa dan Sebarannya. 14) Peraturan Kepala Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan selaku Otoritas Kompeten Nomor PER. 03/BKIPM/2011 tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. 15) Keputusan Kepala Pusat Karantina Ikan Nomor KEP.209/PKRI/VIII/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemantauan Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK). Selain kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam pengembangan ekspor hasil perikanan Indonesia, berlandaskan pada kebijakan Uni Eropa dalam pemberlakuan ketentuan zero tolerance terhadap residu antibiotik tertentu pada udang seperti chloramphenicol, nitrofuran dan furazolidone yang dapat mengakibatkan pada pemusnahan produk udang di port of entry Uni Eropa, maka Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, KKP menetapkan mekanisme pelaksanaan NRCP (National Residu Control Plan) sebagai berikut (KKP, 2011): 1) Pelaku Usaha Pelaku usaha bertanggung jawab untuk melakukan identifikasi dan dokumentasi segala informasi terkait produk perikanan budidaya yang 61

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.15/MEN/2011 TENTANG PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN YANG MASUK KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.17/MEN/2010 TENTANG PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN YANG MASUK KE DALAM WILAYAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.15/MEN/2011 TENTANG PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN YANG MASUK KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Agribisnis dalam Kancah Diplomasi Ekonomi

Agribisnis dalam Kancah Diplomasi Ekonomi Agribisnis dalam Kancah Diplomasi Ekonomi Dr. Andriyono Kilat Adhi Pendahuluan Sektor perikanan dan kelautan Indonesia memegang peranan penting dalam perekonomian nasional, terutama sebagai sumber devisa

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HAMBATAN NON TARIF DI PASAR UNI EROPA TERHADAP EKSPOR KOMODITAS UDANG INDONESIA

KEBIJAKAN HAMBATAN NON TARIF DI PASAR UNI EROPA TERHADAP EKSPOR KOMODITAS UDANG INDONESIA KEBIJAKAN HAMBATAN NON TARIF DI PASAR UNI EROPA TERHADAP EKSPOR KOMODITAS UDANG INDONESIA Melisa Sunorita & Drs. Idjang Tjarsono, M.Si melisa.sunorita@muslim.com Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 01/MEN/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 01/MEN/2007 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 01/MEN/2007 TENTANG PENGENDALIAN SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. peraturan..

BAB I KETENTUAN UMUM. peraturan.. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.19/MEN/2010 TENTANG PENGENDALIAN SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KEAMANAN PANGAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KEAMANAN PANGAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. KEAMANAN PANGAN Menurut UU RI No. 7 tahun 1996, pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011 TENTANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN TERHADAP PEMASUKAN DAN PENGELUARAN PANGAN SEGAR ASAL TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.842, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Keamanan Pangan. Pengawasan Pemasukan. Pangan Segar. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46/PERMEN-KP/2014 TENTANG PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN YANG MASUK KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1532, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KKP. Hasil Perikanan. Wilayah Negara RI. Keamanan. Mutu. Pengendalian. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2011 TENTANG HASIL PERIKANAN DAN SARANA PRODUKSI BUDIDAYA IKAN DARI NEGARA JEPANG YANG MASUK KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengolahan hasil perikanan memegang peranan penting dalam kegiatan pascapanen, sebab ikan merupakan komoditi yang sifatnya mudah rusak dan membusuk, di samping itu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.28/MEN/2009 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.28/MEN/2009 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.28/MEN/2009 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2015 LINGKUNGAN HIDUP. Perikanan. Hasil. Jaminan Mutu. Keamanan. Sistem. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5726). PERATURAN

Lebih terperinci

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN HIDUP. Perikanan. Hasil. Jaminan Mutu. Keamanan. Sistem. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 181). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perdagangan global, tidak dapat dipungkiri bahwa lalu lintas barang semakin terbuka, sehingga memungkinkan tidak adanya batasan negara dalam lalu lintas

Lebih terperinci

BAB IV MANAJEMEN MUTU TERPADU

BAB IV MANAJEMEN MUTU TERPADU BAB IV MANAJEMEN MUTU TERPADU Salah satu upaya untuk memenangkan persaingan dagang di pasar internasional adalah memasarkan produk yang berkualitas baik. Produk yang ditawarkan harus memiliki mutu lebih

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN PERATURAN KEPALA BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SELAKU OTORITAS

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERIKANAN

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERIKANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERIKANAN NOMOR : KEP.076/DJ-P2HP/2011 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/2012 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/2012 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/2012 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

2016, No tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);

2016, No tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073); No.2156, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-KP. Hasil Perikanan. Pengendalian Mutu dan Keamanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74/PERMEN-KP/2016

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan dan industri yang bergerak dibidang perikanan memiliki potensi yang tinggi untuk menghasilkan devisa bagi negara. Hal tersebut didukung dengan luas laut Indonesia

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN NOMOR 66/KEP-BKIPM/2017 TENTANG

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN NOMOR 66/KEP-BKIPM/2017 TENTANG KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN NOMOR 66/KEP-BKIPM/2017 TENTANG SKEMA SERTIFIKASI LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI PENGENDALI HAMA PENYAKIT DAN MUTU IKAN

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017

- 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 - 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENERBITAN SERTIFIKAT PENERAPAN PROGRAM MANAJEMEN MUTU TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.669,2012 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/2012 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT 1 MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT Disampaikan pada Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia, Kamis, 21 November 2007 Oleh Direktur Jenderal Pengolahan dan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.26/MEN/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.26/MEN/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.26/MEN/2008 TENTANG KEWENANGAN PENERBITAN, FORMAT, DAN PEMERIKSAAN SERTIFIKAT KESEHATAN DI BIDANG KARANTINA IKAN DAN SERTIFIKAT KESEHATAN

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Pembentukan kerangka pemikiran dalam penelitian ini didukung oleh teori-teori yang terkait dengan tujuan penelitian. Teori-teori tersebut meliputi

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM EKSPOR UDANG INDONESIA

V GAMBARAN UMUM EKSPOR UDANG INDONESIA V GAMBARAN UMUM EKSPOR UDANG INDONESIA 5.1. Perdagangan Internasional Hasil Perikanan Selama lebih dari beberapa dekade ini, sektor perikanan dunia telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan. Berdasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna produksi,

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.148, 2017 KEMTAN. Karantina Tumbuhan. Pengeluaran Media Pembawa Organisme Pengganggu Tumbuhan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01/PERMENTAN/KR.020/1/2017

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.26/MEN/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.26/MEN/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.26/MEN/2008 TENTANG KEWENANGAN PENERBITAN, FORMAT, DAN PEMERIKSAAN SERTIFIKAT KESEHATAN DI BIDANG KARANTINA IKAN DAN SERTIFIKAT KESEHATAN

Lebih terperinci

PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN PENGAWASAN PEMASUKAN DAN DISTRIBUSI IKAN IMPOR KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN PENGAWASAN PEMASUKAN DAN DISTRIBUSI IKAN IMPOR KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN PENGAWASAN PEMASUKAN DAN DISTRIBUSI IKAN IMPOR KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA Oleh : Pandapotan Sianipar Kepala Seksi Pengawasan Usaha P3 Wilayah Timur Direktorat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 18/Permentan/OT.140/3/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 18/Permentan/OT.140/3/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 18/Permentan/OT.140/3/2011 TENTANG PELAYANAN DOKUMEN KARANTINA PERTANIAN DALAM SISTEM ELEKTRONIK INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW (INSW) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 199, 2000 BADAN STANDARISASI. Standarisasi Nasional. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Kandungan Gizi dan Vitamin pada Ikan Layur

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Kandungan Gizi dan Vitamin pada Ikan Layur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan layur (Trichiurus sp.) adalah salah satu jenis ikan demersal ekonomis penting yang banyak tersebar dan tertangkap di perairan Indonesia terutama di perairan Palabuhanratu.

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93

2016, No Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2154, 2016 KEMEN-KP. Sertifikat Kelayakan Pengolahan. Penerbitan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72/PERMEN-KP/2016 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

Hukum dan Kebijakan Mutu Hasil Perikanan BAB VIII HUKUM DAN KEBIJAKAN MUTU HASIL PERIKANAN. 8.1. Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan

Hukum dan Kebijakan Mutu Hasil Perikanan BAB VIII HUKUM DAN KEBIJAKAN MUTU HASIL PERIKANAN. 8.1. Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan BAB VIII HUKUM DAN KEBIJAKAN MUTU HASIL PERIKANAN 8.1. Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan Globalisasi dan pertumbuhan ekonomi semakin meningkatnya kesadaran manusia menjaga kesehatan; melahirkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penanganan maupun pengolahan merupakan suatu cara ataupun tindakan untuk mempertahankan mutu dan kualitas bahan pangan, termasuk di sektor perikanan. Menurut data Dirjen

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

2015, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH P

2015, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH P LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2015 LINGKUNGAN HIDUP. Perikanan. Hasil. Jaminan Mutu. Keamanan. Sistem. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5726). PERATURAN

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.1629, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KKP. Hasil Perikanan. Pengendalian. Mutu dan Keamanan. Perubahan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/PERMEN-KP/2015 TENTANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, \ PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39/PERMEN-KP/2015 TENTANG PENGENDALIAN RESIDU OBAT IKAN, BAHAN KIMIA, DAN KONTAMINAN PADA KEGIATAN PEMBUDIDAYAAN IKAN KONSUMSI DENGAN

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Ekspor Barang Secara Umum

Lampiran 1. Prosedur Ekspor Barang Secara Umum LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Ekspor Barang Secara Umum Berdasarkan sumber KKP (2010), prosedur ekspor barang secara umum dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Eksportir dan importir mengadakan korespondensi/negoisasi.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Jaminan Mutu Pangan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Jaminan Mutu Pangan. No.81, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Jaminan Mutu Pangan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Saat ini, dunia memasuki era globalisasi yang berdampak terhadap sistem perdagangan internasional yang bebas dan lebih terbuka. Keadaan ini memberi peluang sekaligus tantangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agribisnis buah-buahan Indonesia saat ini dan masa mendatang akan banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses globalisasi, proses yang ditandai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/ TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/ TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/2007................... TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keamanan Pangan Keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan P

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan P No.1730, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPERIN. SNI. Air Mineral Demineral. Air Mineral CAlami. Air Minum Embun. Pemberlakuan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.946, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Impor. Produk Hortikultura. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60/M-DAG/PER/9/2012 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara Wajib

Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara Wajib LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR : 1 TAHUN 20118.A/PER/BSN/2/2010 TANGGAL : 1 Februari 2011 Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberlakuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah perairan yang mencapai 5,8 juta km 2 dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Hal ini membuat Indonesia memiliki

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA KERTAS DAN KARTON UNTUK KEMASAN PANGAN SECARA WAJIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan 1. Jaminan Mutu Mutu didefinisikan sebagai keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembuatan, dan pemeliharaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2008 TENTANG PERSYARATAN PEMASUKAN MEDIA PEMBAWA BERUPA IKAN HIDUP

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2008 TENTANG PERSYARATAN PEMASUKAN MEDIA PEMBAWA BERUPA IKAN HIDUP PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2008 TENTANG PERSYARATAN PEMASUKAN MEDIA PEMBAWA BERUPA IKAN HIDUP MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

EVALUASI RISIKO BAHAYA KEAMANAN PANGAN (HACCP) TUNA KALENG DENGAN METODE STATISTICAL PROCESS CONTROL. Oleh: TIMOR MAHENDRA N C

EVALUASI RISIKO BAHAYA KEAMANAN PANGAN (HACCP) TUNA KALENG DENGAN METODE STATISTICAL PROCESS CONTROL. Oleh: TIMOR MAHENDRA N C EVALUASI RISIKO BAHAYA KEAMANAN PANGAN (HACCP) TUNA KALENG DENGAN METODE STATISTICAL PROCESS CONTROL Oleh: TIMOR MAHENDRA N C 34101055 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran N

2017, No Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran N BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1603, 2017 KEMEN-KP. Jenis Komoditas Wajib Periksa Karantina Ikan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50/PERMEN-KP/2017 TENTANG JENIS

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/PERMEN-KP/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 46/PERMEN-KP/2014 TENTANG PENGENDALIAN MUTU DAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN MUTU HASIL PERIKANAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN MUTU HASIL PERIKANAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN MUTU HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT, Menimbang : a. bahwa pengawasan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 21/MEN/2006 TENTANG TINDAKAN KARANTINA IKAN DALAM HAL TRANSIT

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 21/MEN/2006 TENTANG TINDAKAN KARANTINA IKAN DALAM HAL TRANSIT PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 21/MEN/2006 TENTANG TINDAKAN KARANTINA IKAN DALAM HAL TRANSIT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan internasional memiliki peranan penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu negara terhadap arus

Lebih terperinci

SISTEM SERTIFIKASI EKSPOR KARANTINA TUMBUHAN PETUNJUK OPERASIONAL PELAKSANAAN IN LINE INSPECTION

SISTEM SERTIFIKASI EKSPOR KARANTINA TUMBUHAN PETUNJUK OPERASIONAL PELAKSANAAN IN LINE INSPECTION SISTEM SERTIFIKASI EKSPOR KARANTINA TUMBUHAN PETUNJUK OPERASIONAL PELAKSANAAN IN LINE INSPECTION PUSAT KARANTINA TUMBUHAN BADAN KARANTINA PERTANIAN TAHUN 2010 Pedoman In Line Inspection 0 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/Permentan/PD.410/5/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/Permentan/PD.410/5/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/Permentan/PD.410/5/2014 TENTANG TINDAKAN KARANTINA HEWAN TERHADAP PEMASUKAN DAN PENGELUARAN HASIL BAHAN ASAL HEWAN KONSUMSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dari segi kepentingan nasional, sektor peternakan memerlukan penanganan dengan seksama karena dapat memenuhi kebutuhan protein hewani, gizi masyarakat, membuka lapangan kerja,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH, BIBIT TERNAK, DAN TERNAK POTONG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

Lebih terperinci

DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP.322/DJ-PSDKP/2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS VERIFIKASI PENDARATAN IKAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN

Lebih terperinci

PERATURAN-PERATURAN DALAM KEMASAN PANGAN

PERATURAN-PERATURAN DALAM KEMASAN PANGAN PERATURAN-PERATURAN DALAM KEMASAN PANGAN Kemasan produk pangan selain berfungsi untuk melindungi produk, juga berfungsi sebagai penyimpanan, informasi dan promosi produk serta pelayanan kepada konsumen.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN STANDARDISASI NASIONAL. SNI. Pemberlakuan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN STANDARDISASI NASIONAL. SNI. Pemberlakuan. Pedoman. No.105, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN STANDARDISASI NASIONAL. SNI. Pemberlakuan. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN STANDARDISASI NASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGUATAN DAYA SAING PRODUK KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 120/KEP-DJPDSPKP/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGUATAN DAYA SAING PRODUK KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

PROGRAM UNGGULAN BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN (BKIPM)

PROGRAM UNGGULAN BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN (BKIPM) PROGRAM UNGGULAN BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN (BKIPM) BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN (BKIPM) KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN MINAMATA CONVENTION ON MERCURY (KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN MINAMATA CONVENTION ON MERCURY (KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN MINAMATA CONVENTION ON MERCURY (KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia berada pada posisi yang strategis antara dua benua dan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia berada pada posisi yang strategis antara dua benua dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah Indonesia berada pada posisi yang strategis antara dua benua dan dua samudra yaitu benua Asia dan Australia sehingga memiliki potensi perikanan yang sangat

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 09/Permentan/OT.140/2/2009

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 09/Permentan/OT.140/2/2009 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 09/Permentan/OT.140/2/2009 TENTANG PERSYARATAN DAN TATACARA TINDAKAN KARANTINA TUMBUHAN TERHADAP PEMASUKAN MEDIA PEMBAWA ORGANISME

Lebih terperinci

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.49/MEN/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP Menimbang

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERIKANAN

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERIKANAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERIKANAN NOMOR : PER.09/DJ-P2HP/2010 TENTANG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.552, 2012 PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 59/M-IND/PER/5/2012 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA () PELEK KENDARAAN BERMOTOR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN LABORATORIUM PENGUJI MUTU HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERAN MUTU DALAM MENUNJANG EKSPOR UDANG NASIONAL

PERAN MUTU DALAM MENUNJANG EKSPOR UDANG NASIONAL Squalen Vol. 3 No. 1, Juni 2008 PERAN MUTU DALAM MENUNJANG EKSPOR UDANG NASIONAL ABSTRAK Sumpeno Putro *) Udang merupakan komoditi andalan ekspor dari sektor perikanan Indonesia. Akan tetapi, volume ekspor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat adalah salah satu negara tujuan utama ekspor produk

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat adalah salah satu negara tujuan utama ekspor produk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Amerika Serikat adalah salah satu negara tujuan utama ekspor produk perikanan Indonesia. Nilai ekspor produk perikanan Indonesia ke Amerika Serikat lebih besar daripada

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.716, 2017 KEMTAN. Impor Produk Hortikultura. Rekomendasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMENTAN/HR.060/5/2017 TENTANG REKOMENDASI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: TENTANG

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: TENTANG PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) CERMIN KACA LEMBARAN BERLAPIS PERAK SECARA WAJIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN, KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN NOMOR 251/KEP-BKIPM/2013 TENTANG PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR DAN SERVICE LEVEL ARRANGEMENT UNTUK IMPOR KOMODITAS IKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena PR mempunyai peran yang sangat penting dalam suatu instansi tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. karena PR mempunyai peran yang sangat penting dalam suatu instansi tersebut. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan Public Relation (PR) saat ini maju dengan pesatnya. Setiap instansi dipastikan membutuhkan praktisi PR. Keberadaannya sangat dibutuhkan karena

Lebih terperinci

2015, No Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2015, No Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No. 1083, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPERIN. Tepung Terigu. Standar Nasional Indonesia. Pemberlakuan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59/M-IND/PER/7/2015

Lebih terperinci

Riati Anggriani, SH, MARS., M.Hum Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Pengawas Obat dan Makanan 6 Februari 2017

Riati Anggriani, SH, MARS., M.Hum Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Pengawas Obat dan Makanan 6 Februari 2017 Riati Anggriani, SH, MARS., M.Hum Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Pengawas Obat dan Makanan 6 Februari 2017 Agenda Sistem Pengawasan Badan POM Peraturan Tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan

Lebih terperinci

SYARAT DAN TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGAKUAN SISTEM PENGAWASAN KEAMANAN PSAT DI SUATU NEGARA

SYARAT DAN TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGAKUAN SISTEM PENGAWASAN KEAMANAN PSAT DI SUATU NEGARA LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 27/Permentan/PP.340/5/2009 TANGGAL : 18 Mei 2009 SYARAT DAN TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGAKUAN SISTEM PENGAWASAN KEAMANAN PSAT DI SUATU NEGARA A.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lingkungan Industri Perusahaan Ekspor Pembekuan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lingkungan Industri Perusahaan Ekspor Pembekuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lingkungan Industri Perusahaan Ekspor Pembekuan Menurut Rosyidi (2007), dalam melakukan kegiatan ekspor suatu perusahaan dapat menentukan sendiri kebijakan mengenai pemasaran

Lebih terperinci

SISTEM INSPEKSI DAN SERTIFIKASI PRODUK PERIKANAN TUJUAN EKSPOR. Sentul, 12 April 2017

SISTEM INSPEKSI DAN SERTIFIKASI PRODUK PERIKANAN TUJUAN EKSPOR. Sentul, 12 April 2017 SISTEM INSPEKSI DAN SERTIFIKASI PRODUK PERIKANAN TUJUAN EKSPOR Sentul, 12 April 2017 RUANG LINGKUP I. Definisi Internasional (Based on Codex Alimentarius Commission/CAC) II. Sistem Inspeksi dan Sertifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan dengan mengurangi atau menghapuskan hambatan perdagangan secara diskriminatif bagi negara-negara

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan

Lebih terperinci