PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION. Penulisan Hukum (Skripsi)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION. Penulisan Hukum (Skripsi)"

Transkripsi

1 PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : ADITYA NOR PRATAMA NIM. E FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

2 PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi) PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION Oleh : ADITYA NOR PRATAMA E Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Dosen Pembimbing Kristiyadi, S.H., M.Hum NIP ii

3 PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum ( Skripsi ) PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION Oleh : ADITYA NOR PRATAMA E Telah disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari : Selasa Tanggal : 25 Januari 2011 DEWAN PENGUJI 1. Edy Herdyanto, S.H., M.H. :... Ketua 2. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. : Sekertaris 3. Kristiyadi, S.H., M.Hum : Anggota Mengetahui : Dekan (Mohammad Jamin, S.H., M.Hum) NIP iii

4 HALAMAN PERNYATAAN Nama : Aditya Nor Pratama NIM : E Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pancabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini. Surakarta, 17 Januari 2011 Yang menyatakan (Aditya Nor Pratama) NIM. E iv

5 ABSTRAK Aditya Nor Pratama, 2011, PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION. Penelitian ini mengkaji mengenai keberlakuan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi berkait potensi penyalahgunaan asas non self incrimination. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif, karena penelitian ini adalah suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi hukum. Dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang undangan. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur yang sesuai dengan obyek penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer dan sekunder dari studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, kesatu untuk memudahkan penanganan perkara korupsi digunakan sistem pembuktian terbalik berdasarkan UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang Undang tersebut menerapkan 2 (dua) sistem pembuktian, yaitu pembuktian terbalik terbatas (pasal 37 dan 37A) dan pembuktian terbalik penuh/murni (pasal 12B ayat 1a). Tetapi Indonesia sampai saat ini belum menerapkan pembalikan beban pembuktian seperti yang diatur dalam Undang Undang tersebut, baik pembuktian terbalik terbatas maupun pembuktian terbalik penuh/murni. Pembuktian yang diterapkan di Indonesia terhadap kasus korupsi adalah bersifat negatif atau berdasarkan pada asas beyond reasonable doubt yang berorientasi pada ketentuan Pasal 183 KUHP. Kedua, Pada Pasal 37 dan 37 A Undang-Undang 20 Tahun 2001 tersebut tampak jelas bahwa Tedakwa dibebani kewajiban pembuktian. Tedakwa diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi dan memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Pada dasarnya, apabila dijabarkan lebih terperinci, dengan dianutnya pembalikan beban pembuktian menyebabkan beralihnya asas praduga tidak bersalah (Presumption of innonccen) menjadi asas praduga bersalah (presumption of Guilt). Konsekuensi logis dimensi demikian maka praduga bersalah relatif cenderung dianggap sebagai penggingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap asas praduga tak bersalah dan asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination). Kata Kunci : Pembuktian terbalik, korupsi, non self incrimination v

6 ABSTRAK Aditya Nor Pratama, 2011, PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION. Fakultas Hukum UNS. Penelitian ini mengkaji mengenai keberlakuan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi berkait potensi penyalahgunaan asas non self incrimination. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif, karena penelitian ini adalah suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi hukum. Dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang undangan. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur yang sesuai dengan obyek penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer dan sekunder dari studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, kesatu untuk memudahkan penanganan perkara korupsi digunakan sistem pembuktian terbalik berdasarkan UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang Undang tersebut menerapkan 2 (dua) sistem pembuktian, yaitu pembuktian terbalik terbatas (pasal 37 dan 37A) dan pembuktian terbalik penuh/murni (pasal 12B ayat 1a). Tetapi Indonesia sampai saat ini belum menerapkan pembalikan beban pembuktian seperti yang diatur dalam Undang Undang tersebut, baik pembuktian terbalik terbatas maupun pembuktian terbalik penuh/murni. Pembuktian yang diterapkan di Indonesia terhadap kasus korupsi adalah bersifat negatif atau berdasarkan pada asas beyond reasonable doubt yang berorientasi pada ketentuan Pasal 183 KUHP. Kedua, Pada Pasal 37 dan 37 A Undang-Undang 20 Tahun 2001 tersebut tampak jelas bahwa Tedakwa dibebani kewajiban pembuktian. Tedakwa diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi dan memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Pada dasarnya, apabila dijabarkan lebih terperinci, dengan dianutnya pembalikan beban pembuktian menyebabkan beralihnya asas praduga tidak bersalah (Presumption of innonccen) menjadi asas praduga bersalah (presumption of Guilt). Konsekuensi logis dimensi demikian maka praduga bersalah relatif cenderung dianggap sebagai penggingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap asas praduga tak bersalah dan asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination). Kata Kunci : Pembuktian terbalik, korupsi, non self incrimination vi

7 MOTTO Kemungkinan terbesar adalah berusaha membuat kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan Kebenaran dan keadilan tak pernah bisa ditegakkan dengan kebencian. Kebenaran dan keadilan bagi kebahagiaan kehidupan hanya dapat ditegakkan dengan kasih sayang. Karna kasih sayang, seperti kemerdekaan, berasal dari Tuhan, dan kebencian, seperti belenggu, berasal dari setan. (A. Mustofa Bisri) Kebahagiaan diri kita tidak tergantung pada apa yang orang lain pikirkan dan cara mereka bertindak, tetapi sangat tergantung kepada apa yang kita pikirkan dan cara kita bertindak. Sesungguhnya kita masing-masing bisa memerankan peranan penting dalam menentukan masa depan kita sendiri. (Daug Hooper) Hadapilah problem hidup diri kamu dan akuilah keberadaannya, tetapi jangan biarkan diri kamu dikuasainya. Biarkanlah diri kamu menyadari adanya pendidikan situasi berupa kesabaran, kebahagiaan, dan pemahaman makna (Hellen Keller). Memecahkan masalah itu mengenal masalah lebih sulit, tetapi menemukan masalah jauh lebih sulit (Albert Einstein). vii

8 PERSEMBAHAN Karya kecil ini penulis persembahkan kepada : Bapak Ibuku Tercinta Terima kasih ya Allah, aku telah diberi orang tua seperti mereka... Terima kasih atas segala ketulusan dan kasih sayangmu... Terima kasih atas semua do a dan kesabaranmu... Semoga aku dapat membahagiakan kalian... Teman Teman & Sahabatku Without you I m Nobody, with you I m Somebody... Almamaterku viii

9 KATA PENGANTAR Segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang melimpahkan segala rahmad dan hidayah-nya. Yang selalu memberikan jalan dan kemudahan kepada penulis sehingga Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul, PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION dapat terselesaikan tepat waktu. Banyak hambatan dan permasalahan yang dihadapi penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ini. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ini tidak bisa terlepas dari bantuan semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung, secara materiil maupun non materiil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya, terutama kepada : 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk dapat melaksanakan Penulisan Hukum ini. 2. Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III yang telah membantu dalam pemberian ijin dilakukannya penulisan ini. 3. Bapak Edy Herdyanto S.H. M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum UNS. 4. Bapak Bambang Santoso, S.H.,M.Hum., selaku Ketua Laboratorium Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS. 5. Bapak Kristiyadi, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Penulisan Hukum ini, yang telah memberikan masukan serta bimbingannya. Terima kasih atas segala kemudahan dan bantuan yang sangat penulis butuhkan 6. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H, M.H selaku Dosen Acara Pidana dan Pembimbing Proposal Skripsi ini. 7. Bapak Dr.Hari Purwadi,S.H, M.Hum. selaku Pembimbing Akademik penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas semua ilmu pengetahuan yang tiada terkira berharganya bagi hidup dan kehidupan penilis. ix

10 9. Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatankesempatan yang telah diberikan. 10. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum UNS 11. Seluruh keluarga, terima kasih untuk semua doa, perhatian, kasih sayang yang diberikan. 12. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas semua bantuan baik materiil maupun imateriil. Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dari para pembaca yang budiman. Akhir kata, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Surakarta, 17 Januari 2011 Aditya Nor Pratama NIM. E x

11 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERNYATAN... iv ABSTRAK... v HALAMAN MOTTO... vii HALAMAN PERSEMBAHAN... viii KATA PENGANTAR... ix DAFTAR ISI... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Perumusan Masalah... 4 C. Tujuan Penelitian... 5 D. Manfaat Penelitian... 5 E. Metode Penelitian... 6 F. Sistematika Penulisan Hukum... 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi a) Pengertian Korupsi b) Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Umum Tentang Pembuktian a) Pengertian Pembuktian b) Teori Teori Pembuktian c) Sistem Pembuktian Yang Dianut KUHAP d) Sistem Pembalikan Beban Pembuktian e) Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Umum Tentang Asas Pembuktian Terbalik a) Pengertian Asas Pembuktian Terbalik b) Pengaturan Asas Pembuktian Terbalik Tinjauan Umum Tentang Asas Non Self Incrimination a) Pengertian Asas Non Self Incrimination xi

12 B. Kerangka Pemikiran BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 28 A. Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi di Indonesia B. Sistem Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi terkait Asas Non Self Incrimination BAB IV PENUTUP SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA xii

13 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kearah kemajuan di Indonesia dapat dilihat dari berbagai sektor kehidupan seperti, sektor sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya, teknologi dll, namun disamping adanya perkembangan yang cukup baik tersebut, ternyata Indonesia mengalami perkembangan lain yang cukup memprihatinkan. Akibat dari kemajuan tersebut ternyata membawa pengaruh terhadap pola perilaku masyarakat yang negatif antara lain adanya kemajuan itu adalah tindak kejahatan. Kejahatan tidak terlepas dari proses-proses dan strukturstruktur sosial ekonomi yang tengah berlangsung Salah satu jenis/bentuk kejahatan yang ada adalah korupsi. Korupsi merupakan bentuk kejahatan yang sulit untuk diberantas. Korupsi merupakan kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa / Extraordinary Crime. Kejahatan ini telah menggerogoti hampir semua sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga Usaha penanggulangan bentuk kejahatan tersebut sangat diprioritaskan karena korupsi dipandang dapat mengganggu dan menghambat pembangunan nasional, merintangi tercapainya tujuan nasional, mengancam keseluruhan sosial, merusak citra aparatur yang bersih dan berwibawa yang pada akhirnya akan merusak kualitas manusia dan lingkungannya (Widodo T Novianto, 2007:1). Korupsi itu sendiri merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata laksanan pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengambalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi. Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan pintu xiii

14 masuk bagi tindak korupsi. Inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton dalam H.M. Arsyad Sanusi, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19. Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan: Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut) (H.M. Arsyad Sanusi. 2009:83). Lahirnya UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun Terdapat banyak ketentuan baru mengenai korupsi, baik hukum materiil maupun hukum formalnya semangat bangsa Indonesia untuk memberantas korupsi dapat dilihat juga dari sebagian program kerja 100 hari tahun 2009 dari Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tekad Pemerintah SBY guna memberantas korupsi di Indonesia sampai keakar-akarnya. Harapan kedepan pembuktian perkara korupsi akan lebih baik dan dapat menjunjung nilai keadilan. Strategi penegakkan hukum tersebut menjadi semakin relevan berhubung dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tertanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Perkembangan praktik korupsi yang semakin menyulitkan ini dalam proses penyidikannya, kini disikapi serius oleh beberapa negara. Penelitian oleh negara maju memunculkan alternatif asas pembuktian baru yang dipandang tidak bertentangan dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi. Strategi hukum ini dinilai sangat efektif dalam menguak asal usul harta kekayaan yang diduga diperoleh karena korupsi. Teori pembuktian korupsi dan tindak kriminal lain yang selama ini digunakan di Indonesia adalah asas pembuktian beyond reasonable doubt. Teori ini digunakan karena dinilai tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence). Namun penggunaan teori ini dalam regulasi hukum untuk tindak pidana korupsi sering kali menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi Salah satu kendala utama dalam upaya pengungkapan perkara korupsi secara tuntas, adalah berkaitan dengan masalah pembuktian di pengadilan. Pelaksanaan pembuktian yang dilakukan oleh Penuntut Umum dalam perkara korupsi, bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan. Tindak Pidana korupsi adalah tindak pidana yang mempunyai karakteristik tertentu, yang menyulitkan bagi penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Banyaknya perkara korupsi yang gagal dibuktikan di pengadilan, yang ditandai dengan dijatuhkannya putusan xiv

15 bebas bagi terdakwa, menunjukkan bahwa perkara korupsi memang mengandung tingkat kesulitan yang sangat tinggi dalam masalah pembuktian Di tengah kebuntuan proses hukum pembuktian untuk menghadapkan para pelaku korupsi kehadapan proses peradilan pidana, penerapan sistem pembalikan beban pembuktian oleh sementara ahli hukum diyakini mampu mengeliminasi tingkat kesulitan pembuktian. Terlebih lagi, sampai detik ini kita semua menyadari akan lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia Dalam sistem pembuktian terbalik, tesangka atau terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap "presumption of innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun bertentangan dengan asas yang berlaku. Salah satu indikator fair trial adalah asas Non Self Incrimination. Dalam menentukan atas setiap dakwaan yang ditujukan padanya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa untuk memberikan keterangan yang memberatkan dirinya atau dipaksa mengaku bersalah Prinsip ini dalam KUHAP tercermin secara parsial melalui beberapa pasal yaitu Pasal 66 KUHAP bahwa tidak ada beban kewajiban pembuktian bagi Tersangka. Beban pembuktian menjadi kewajiban Jaksa Penuntut Umum, Pasal 189 ayat (3) bahwa keterangan Terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri. Penulisan hukum ini hendak membicarakan salah satu asas yang aktual dan relevan dalam penuntasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dewasa ini, yakni asas non-self incrimination. Asas ini sangat penting karena proses penegakan hukum di satu sisi harus dihindari dari kemungkinan kesewenang-wenangan dan karena itu harus menghormati asas praduga tak bersalah. Asas non-self incrimination itu sendiri adalah suatu hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan pidana. Hal itu dapat berupa tindakan atau pernyataan yang diambil atau berasal dari seseorang sehingga dengan tindakan atau pernyataan itu dirinya menjadi in a crime. Larangan ini berangkat dari beban negara untuk menuduh dan membawa seseorang ke pengadilan, untuk membuktikan kesalahannya itu. Seseorang yang menjadi tertuduh tidak dapat dipaksa membantu kewajiban negara itu. Tetapi disisi lain dalam memberlakukan pembuktian terbalik terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. xv

16 Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengkaji kembali mengenai sistem pembuktian terbalik dengan asas non self incrimination, oleh karena itu peneliti ingin menuangkan hasil penelitian tersebut dalam penulisan hukum yang berjudul PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION. B. Rumusan Masalah Dalam suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah untuk mengidentifikasi persoalan yang diteliti, sehingga penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang hendak diteliti, yang dapat memudahkan peneliti dalam mengumpulkan, menyusun, dan menganalisa data. Untuk mempermudah dalam pembahasan permasalahan yang akan diteliti maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penerapan sistem pembuktian terbalik di Indonesia dalam perkara tindak pidana korupsi? 2. Bagaimana pelaksanaan sistem pembuktian terbalik dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self incrimination? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan masalah dari judul penelitian itu sendiri untuk memberikan arah yang tepat dalam proses penelitian agar penelitian berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Oleh karena itu peneliti mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini.adapun tujuan obyektif dan subyektif yang hendak dicapai peneliti adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif Untuk mengetahui bagaimana penerapan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi di Indonesia dan bagaimana sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi bila dikaitkan dengan asas non self incrimination. xvi

17 2. Tujuan Subyektif a) Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti di bidang Hukum Acara Pidana khususnya mengenai penerapan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi di Indonesia dan bila dikaitkan dengan asas non self incrimination. b) Untuk memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan skripsi dalam rangka memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar SI dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Peneliti berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi peneliti maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat Teoritis a) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang Hukum Acara Pidana secara teoritis khususnya mengenai penerapan pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self incrimination, guna pengembangan ilmu pengetahuan. b) Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk mengetahui lebih jauh mengenai penerapan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self incrimination, dalam bentuk konsep maupun teori hukumnya. 2. Manfaat Praktis a) Menambah ilmu dan pengalaman peneliti di bidang penelitian karya ilmiah khususnya karya penelitian ilmu hukum. b) Hasil penelitian dapat memberikan jawaban atas permasalahanpermasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini. c) Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini, bagi masyarakat pada umumnya dan mahasiswa fakultas hukum terkhususnya dalam menyikapi keberlakuan system pembuktian xvii

18 terbalik pada tindak pidana korupsi terkait dengan asas non self incrimination. E. Metode Penelitian Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian antara lain sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki, Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 35). Penelitian hukum menurut Hutchison dibedakan menjadi 4 tipe yaitu: a. Doctrinal Research; b. Reform-Oriented Research; c. Theoretical Research; d. Fundamental Research (Hutchison dalam Peter Mahmud Marzuki, 2007: 32 33). Ketiga tipe penelitian hukum yang dikemukakan Hutchinson yaitu Doctrinal Research, Reform-Oriented Research, dan Reform-Oriented Research menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan penelitian doctrinal sedangkan penelitian sosiolegal termasuk dalam tipe keempat yaitu Fundamental Research (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 33). Penelitian hukum ini masuk kedalam penelitian doktrinal karena keilmuan hukum memang bersifat preskriptif yaitu melihat hukum sebagai norma sosial bukan gejala sosial. 2. Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini dalah penelitian yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai suatu ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep konsep hukum dan norma norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki. 2005:22) xviii

19 Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti akan memberikan preskripsi mengenai keberlakuan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi yang dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan asas non self incrimination. 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dipakai dalam penelitian hukum diantaranya: a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). b. Pendekatan kasus (Case Approach). c. Pendekatan historis (Historical Approach). d. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach). e. Pendekatan konseptual (Conseptual Approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2007:93-94). Peneliti dalam hal ini menggunakan pendekatan perundang - undangan (Statute Approach) yaitu pendekatan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah: a. Batang Tubuh UUD RI tahun 1945 b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana c. Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi d. Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi xix

20 b. Bahan Hukum sekunder Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:141) Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data yang digunakan dalam penelitian ini ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Setelah isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu hukum yang dihadapi. Dalam hal penelitian menggunakan pendekatan perundang - undangan (statute approach), yang dilakukan adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan isu tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu masalah yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006:393) 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja yang disarankan oleh data (Lexi J. Moleong, 2009:103). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan menarik kesimpulan untuk menentukan hasil. F. Sistematika Penelitian Hukum Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai xx

21 dengan aturan dalam penelitian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun penulis menyususn sistematika penelitian hukum sebagai berikut: BAB I BAB II BAB III BAB IV : PENDAHULUAN Pada bab ini diuraikan mengenai pendahuluan yang terdiri dari : Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan Hukum. : TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini diuraikan mengenai tinjauan pustaka yang terdiri dari kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori berisi tentang tinjauan umum tentang tindak pidana korupsi, tinjauan umum tentang pembuktian, tinjauan umum tentang asas pembuktian terbalik serta tinjauan tentang asas non self incrimination. Sedangkan kerangka pemikiran berisi pemikiran mengenai bagaimana keberlakuan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi berkait potensi penyalahgunaan asas non self incrimination. : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini merupakan penjelasan dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai penerapan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self incrimination. : PENUTUP Merupakan bagian akhir dari penulisan hukum yang berisikan beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. DAFTAR PUSTAKA xxi

22 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi a. Pengertian Korupsi Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin Corruptie atau Corruptus. Selanjutnya, disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari kata Corrumpore, suatu kata latin kuno. Dari bahasa latin inilah, istilah Corruptio turun kebanyak bahasa Eropa, seperti inggris: Corruption, Corrupt; Prancis: Corruption; dan Belanda: Corruptie (korruptie. (Lilik Mulyadi:2000:16) Menurut Black s Law Dictionary, pengertian korupsi adalah: The act of doing something with an intent to give some advantage in consistent with official duty and the rights of others; a fiduciary s of official s use of a station or office to procure some benefit either personally of for someone else, contrary to the rights of others (Bryan Garner, 1999). Arti harfiah dari kata Corrupt ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah (Andi Hamzah, 1984: 9), sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1990: 462). Andi Hamzah (2005:13) menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya korupsi: 1. Kurangnya gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) jika dibandinkan dengan kebutuhan sehari hari yang semakin meningkat. 2. Kultur kebudayaan Indonesia yang merupakan sumber meluasnya korupsi. xxii

23 3. Manajemen yang kurang baik serta komunikasi yang tidak efektif dan efisien. 4. Modernisasi. b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana Korupsi merupakan salah satu satu bagian dari hukum pidana khusus disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, sepeerti adanya penyimpangan pada hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka secara langsung atau tidak langsung dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin kebocoran dan penyimpangan keuangan dan perekonomian negara. Dengan diantisipasi sedini mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Secara Yuridis Formal pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 serta Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21 sampai dengan 24 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Suatu perbuatan atau tindakan untuk dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana mempunyai unsur-unsur tindak pidana yang harus dipenuhi. Demikian halnya suatu tindak pidana untuk dikatakan sebagai suatu tindak pidana korupsi terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi. Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah: 1) Pasal 2 ayat (1) : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 2) Pasal 3 : Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, xxiii

24 menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Mengacu kepada definisi dari masing-masing Pasal maka dapat diuraikan unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi, yaitu: Setiap orang termasuk pegawai negeri, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Selain pengertian sebagaimana tersebut di atas termasuk setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi. Secara melawan hukum adalah melawan hukum atau tidak, sesuai dengan ketentuan-ketentuan baik secara formal maupun material, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan-peraturan maupun perundang-undangan. Selain dari itu juga termasuk tindakan-tindakan yang melawan prosedur dan ketentuan dalam sebuah instansi, perusahaan yang telah ditetapkan oleh yang berkompeten dalam organisasi tersebut. Melakukan perbuatan adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 Undang-undang No. 31 tahun 1999, yaitu berupa upaya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Jadi walaupun belum terbukti telah melakukan suatu tindakan pidana korupsi, namun jika dapat dibuktikan telah ada upaya percobaan, maka juga telah memenuhi unsur dari melakukan perbuatan. Memperkaya diri, atau orang lain atau suatu korporasi adalah memberikan manfaat kepada pelaku tindak pidana korupsi, baik berupa pribadi, atau orang lain atau suatu korporasi. Bentuk manfaat yang diperoleh karena meperkaya diri adalah, terutama berupa uang atau bentuk-bentuk harta xxiv

25 lainnya seperti surat-surat berharga atau bentuk-bentuk asset berharga lainnya, termasuk di dalamnya memberikan keuntungan kepada suatu korporasi yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Dalam hal yang berkaitan dengan korporasi, juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubunganhubungan lainnya. Dapat merugikan keuangan negara adalah sesuai dengan peletakan kata dapat sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi adalah cukup dengan adanya unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat dari sebuah perbuatan, dalam hal ini adalah kerugian negara. 2. Tinjauan Umum tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian. Dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan tugas hakim adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran yaitu bahwa tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa benar-benar telah terjadi dan ia dapat dipersalahkan melakukan perbuatan itu. Oleh karena itu di depan persidangan hakim berupaya merekonstruksi kebenaran peristiwa yang ada. Merekonstruksi peristiwa adalah membuktikan kebenaran peristiwa tersebut. Masalah pembuktian ini merupakan masalah yang pelik (ingewikkeld) dan justru masalah pembuktian menempati titik sentral dalam hukum acara pidana. Pembuktian menurut Yahya Harahap adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undangundang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa (Yahya Harahap:1986:36). Menurut Bambang Poernomo pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau aturan undang-undang mengenai kegunaan untuk merekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa xxv

26 lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang lain yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Bambang Poernomo: 1985 :38) Dari pengertian pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan inti dari hukum pembuktian adalah : 1. Hukum pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang memberikan pedoman mengenai cara-cara untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa yang dibenarkan oleh undang-undang 2. Hukum pembuktian mengatur mengenai jenis-jenis alat bukti yang boleh digunakan hakim dan diakui undangundang yang digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa 3. Hukum pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur cara menggunakan maupun menilai kekuatan pembuktian dari masingmasing alat bukti. b. Teori Teori Pembuktian Secara teoritis teori tentang pembuktian ada 4 (empat) macam, yaitu : 1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie). Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian berdasar undangundang secara positif. Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada Undang - Undang. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut undangundang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheori). Menurut D. Simons sebagaimana dikutip Andi hamzah, bahwa system atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijke) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara xxvi

27 ketat menurut peraturan pembuktian yang keras (Andi Hamzah :1996:269). 2) Sistem atau teori Pembuktian Negatif. Dalam sistem ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah yang berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh Undang-undang sehingga hakim memperoleh keyakinan akan hal itu (Andi Hamzah, 1996: ). Perkataan negatif dipakai untuk menunjukkan bahwa adanya bukti bukti yang disebutkan dalam undang-undang yang dengan cara mempergunakannya yang disebut juga dalam undang-undang itu, belum berarti hakim harus menjatuhkan hukuman. Hal tersebut masih tergantung dengan keyakinan hakim atas kebenarannya. 3) Sistem atau teori Pembuktian Bebas. Menurut sistem ini, hakim tidak terikat pada alat-alat bukti yang sah dimana bila ada keyakinan pada hakim tentang kesalahan terdakwa yang didasarkan pada alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman. Teori yang disebut juga Confiction intime ini merupakan suatu pembuktian yang walaupun tidak cukup bukti, asalkan hakim yakin maka hakim dapat menjalankan dan memidana terdakwa. 4) Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (La Confiction Raisonnee) Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah atas dasar keyakinannya. Yang mana keyakinan itu harus berpijak pada dasar dasar pembuktian disertai suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertulis tertentu. Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar pada keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah ke dua jurusan. Yang pertama tersebut diatas yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (Confiction Raisonnee) dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie). xxvii

28 Persamaan diantara keduanya ialah keduanya berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolakpada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan pada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undangundang tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturanaturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undangundang tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim (Andi Hamzah, 1996:262). c. Sistem Pembuktian yang dianut KUHAP Berdasarkan teori dan alat bukti menurut Hukum Pidana Formal diatur pada Bab XVI bagian keempat Pasal 183 sampai Pasal 232 KUHAP. Pada KUHAP, sistem pembuktian hukum pidana menganut pendekatan Pembuktian Negatif berdasarkan Undang-Undang atau Negatief Wettelijk Overtuiging. Dengan dasar teori Negatief Wettelijk Overtuiging ini, hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan (Hakim) dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. (Andi Hamzah, 1991: 102) Sedang yang dimaksud dengan 2 (dua) alat bukti yang sah haruslah memperhatikan tata urutan alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat xxviii

29 d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa Dalam sistem Hukum Pidana Formil Indonesia, khususnya KUHAP, sudah dimaklumi bahwa beban pembuktian ada atau tidaknya pidana yang dilakukan terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 137 KUHAP menyebutkan : Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya. Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP maka penuntutan suatu perkara pidana tetap memiliki limitasi minimum dua alat bukti untuk menentukan apakah seorang terdakwa ini bersalah atau tidak bersalah. Jadi sebagai suatu lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum. d. Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa secara teoitis Ilmu Pengetahuan Hukum Acara Pidana asasnya mengenal 4 (empat) teori hukum pembuktian,yaitu: Pertama, Teori Hukum Pembuktian menurut Undang Undang secara Positif. Kedua, Teori hukum pembuktian menurut Undang undang secara negative. Ketiga,Teori system atau pembuktian bebas. Keempat, Teori hukum pembuktian menurut keyakinan hakim. Konsekuensi logis teori hukum pembuktian tersebut berkorelasi dengan eksistensi terhadap asas beban pembuktian. Dikaji dari prespektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian, yaitu : 1) Beban Pembuktian pada Penuntut Umum Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum harus mempersiapkan alat alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jikalau tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Konsekuensi logis beban pembuktian ada pada penuntut umum ini berkorelasi asas praduga tak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination). xxix

30 Pasal 66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Pembuktian seperti ini merupakan pembuktian biasa atau konvensional. 2) Beban Pembuktian pada Terdakwa Dalam konteks ini, terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada dasarnya teori pembuktian jenis ini dinamakan teori pembalikan beban pembuktian (Omkering van het Bewijslast atau reversal of Burden of Proof). Dikaji dari prespektif teoritik dan praktik teori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni. 3) Beban Pembuktian Terbatas dan Berimbang Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa dan/atau Penasehat hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sebaliknya terdakwa beserta Penasehat Hukumnya akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang di dakwakan. (Djoko Sumaryanto, 2009 : 88). e. Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi.. Berpijak dari pengertian sistem pembuktian dan sistem pembebanan pembuktian tersebut diatas, maka kekhususan dalam hukum acara pidana korupsi lebih mengacu pada sistem pembebanan pembuktian (burden of proof). Hukum pidana korupsi tentang pembuktian membedakan antara 3 (tiga) sistem pembuktian, yaitu: 1. Pembuktian terbalik penuh/murni xxx

31 Dimana beban pembuktian dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembalikan beban pembuktian ini berlaku untuk tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya sebesar Rp ,00 (sepuluh juta) rupiah atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a) dan terhadap harta benda yang belum didakwakan yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi (Pasal 38B). 2. Pembuktian terbalik terbatas atau berimbang terbalik Dimana beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum secara berimbang terhadap obyek pembuktian yang berbeda secara berlawanan (Pasal 37A) 3. Sistem konvensional Dimana pembuktian tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum. Aspek ini dilakukan terhadap tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp ,00 (sepuluh juta) rupiah (Pasal 12B ayat (1) huruf b) dan tindak pidana korupsi pokok. 3. Tinjauan tentang Asas Pembuktian Terbalik a. Pengertian Asas Pembuktian Terbalik Dalam sistem pembuktian terbalik, tesangka atau terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik ini merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap "presumption of innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun bertentangan dengan asas yang berlaku. Dalam delik korupsi di Indonesia diterapkan dua sistem sekaligus, yakni Sistem Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 dan sekaligus dengan sistem KUHAP. Kedua teori itu ialah penerapan hukum pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, dan yang mengunakan sistem pembuktian negatif menurut undang-undang. Jadi tidak menerapkan teori pembuktian terbalik murni, (zuivere omskering bewijstlast), tetapi teori pembuktian terbalik terbatas dan berimbang. xxxi

32 Dalam penjelasan atas Undang - Undang no. 31 tahun 1999 dikatakan pengertian pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benada istrinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan Penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaannya. Kata-kata bersifat terbatas di dalam memori atas Pasal 37 dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korpsi, Hal itu tidak berarti terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi sebab Penuntut Umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaanya. (Martiman Prodjomidjojo, 2001 : 107). b. Pengaturan Asas Pembuktian Terbalik Polemik penerapan pembuktian terbalik yang sudah lama terjadi dan argumentasi hukum yang diungkapkan para pakar hukum di negeri ini tidak dapat dijadikan alasan penghambat penerapan pembuktian terbalik diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Pemikiran-pemikiran yang hanya disandarkan pada pandangan positivisme hukum tidak bisa dijadikan sebagai tameng penghambat pengaturan asas pembuktian terbalik dituangkan dalam UU yang baru. Apalagi menjustifikasi (membenarkan) pembuktian terbalik dianggap bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), dan asas non self incrimination (sesuatu hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan pidana). Asas pembuktian terbalik terbatas, meski tidak secara utuh, namun ruang permberlakuan asas tersebut cukup jelas disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tidak secara utuh disini, dimaksudkan bahwa, meski seseorang telah gagal membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang patut dicurigai dari xxxii

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, negara Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana di dalam KUHP tidak dirumuskan secara tegas tetapi hanya menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut telah

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia merupakan Negara hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke IV yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia perlu melaksanakan pembangunan di segala bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Page 14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana bisa terjadi kepada siapa saja dan dimana saja. Tidak terkecuali terjadi terhadap anak-anak, hal ini disebabkan karena seorang anak masih rentan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur tindak pidana terhadap harta kekayaan yang merupakan suatu penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penipuan merupakan salah satu tindak pidana terhadap harta benda yang sering terjadi dalam masyarakat. Modus yang digunakan dalam tindak pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia dan kepentingan manusia tersebut harus terlindungi, sehingga hukum harus ditegakkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah tindak pidana pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu

Lebih terperinci

PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI SKRIPSI

PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI SKRIPSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI SKRIPSI Disusun Oleh: AMIRUL IKHSAN NIM. 2005-20-064 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MURIA KUDUS 2013 i HALAMAN PENGESAHAN PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman yang sangat pesat ini mengakibatkan meningkatnya berbagai tindak pidana kejahatan. Tindak pidana bisa terjadi dimana saja dan kapan saja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi dapat dipastikan tidak akan pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan semua uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini kejahatan meningkat dalam berbagai bidang, baik dari segi intensitas maupun kecanggihan. Demikian juga dengan ancaman terhadap keamanan dunia. Akibatnya,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3), menjelaskan dengan tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan dengan tujuan untuk mengatur tatanan masyarakat, dan memberikan perlindungan bagi setiap komponen yang berada dalam masyarakat. Dalam konsideran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pencurian sering terjadi dalam lingkup masyarakat, yang kadang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Tindak pidana pencurian dilakukan seseorang

Lebih terperinci

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : KARYA ILMIAH SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui salah satu asas yang dianut oleh KUHAP adalah asas deferensial fungsional. Pengertian asas diferensial fungsional adalah adanya pemisahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan kejahatan yang mempunyai akibat sangat kompleks dan sangat merugikan keuangan Negara, dan di Indonesia sendiri korupsi telah menjadi masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima

Lebih terperinci

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya,

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam persidangan perkara pidana saling berhadapan antara penuntut umum yang mewakili Negara untuk melakukan penuntutan, berhadapan dengan

Lebih terperinci

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI Anjar Lea Mukti Sabrina Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini telah berada dalam tahap yang parah, mengakar dan sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Undang, dengan minimal dua alat bukti yang sah, demikian KUHAP, barulah

Undang, dengan minimal dua alat bukti yang sah, demikian KUHAP, barulah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian Secara umum tujuan acara pidana untuk mendapatkan kebenaran tentang terjadinya suatu tindak pidana. Disamping itu acara pidana juga bertujuan untuk mengatasi kekuasaan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

III. METODE PENELITIAN. hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang III. METODE PENELITIAN Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsipprinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 30 A. Pendekatan Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai fakta-fakta. Dengan adanya bahan yang mengenai fakta-fakta itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan ideal pembangunan nasional adalah mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur sejahtera dan tertib, berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehubungan dengan istilah pencucian uang. Dewasa ini istilah money

BAB I PENDAHULUAN. sehubungan dengan istilah pencucian uang. Dewasa ini istilah money BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pencucian uang atau lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah money laundering, merupakan istilah yang sering didengar dari berbagai media massa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum, Indonesia menjujung

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini adalah masalah di bidang hukum, khususnya masalah kejahatan. Hal ini merupakan fenomena kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016 PEMBUKTIAN TERBALIK ATAS HARTA KEKAYAAN SESEORANG TERSANGKA KORUPSI 1 Oleh: Nurasia Tanjung 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian untuk mengetahui apakah alasan yuridis penerapan pembalikan beban pembuktian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah i BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 ayat (3) Amandemen ke-iv Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Dengan dimasukkannya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D ABSTRAK

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D ABSTRAK PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D101 11 005 ABSTRAK Korupsi telah dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa yang talah membawa bencana bagi kehidupan Perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan atau tindak pidana merupakan sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Perkembangan serta dinamika masyarakat menyebabkan hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era Globalisasi dan seiring dengan perkembangan zaman, tindak pidana kekerasan dapat terjadi dimana saja dan kepada siapa saja tanpa terkecuali anak-anak. Padahal

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DANA ANGGARAN PEMBANGUNAN SARANA AIR BERSIH DESA JELBUK

ANALISIS YURIDIS PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DANA ANGGARAN PEMBANGUNAN SARANA AIR BERSIH DESA JELBUK SKRIPSI ANALISIS YURIDIS PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DANA ANGGARAN PEMBANGUNAN SARANA AIR BERSIH DESA JELBUK (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor : 971/Pid.Sus/2010/PN.Jr) JURIDICAL ANALYSIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narkotika dan psikotropika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan pada sisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makumur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bidang hukum ditinjau dari beberapa aspek. Ditinjau dari hubungan hukum yang diatur dikenal Hukum Publik dan Hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia didalam menemukan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam Konstitusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran auditor investigatif dalam mengungkap tindak pidana khususnya kasus korupsi di Indonesia cukup signifikan. Beberapa kasus korupsi besar seperti kasus korupsi simulator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebarkan seluruh tubuh pemerintahan sehingga sejak tahun 1980 an langkah-langkah pemberantasannya pun masih tersendat-sendat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak terjadi kasus kejahatan seksual seperti pemerkosaan, pencabulan, dan kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. commit to user digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Uang mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia. Selain berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah dalam suatu negara, uang juga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku yang tidak sesuai dengan norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Penipuan yang berasal dari kata tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur atau bohong, palsu dan sebagainya dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali

Lebih terperinci

MENGGAGAS SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK YANG TEPAT DAN APLIKABEL DALAM MENUNJANG EFEKTIFITAS PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

MENGGAGAS SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK YANG TEPAT DAN APLIKABEL DALAM MENUNJANG EFEKTIFITAS PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Menggagas Sistem Pembuktian Terbalik... (Tri Agus Gunawan) 45 MENGGAGAS SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK YANG TEPAT DAN APLIKABEL DALAM MENUNJANG EFEKTIFITAS PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh: Tri Agus

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH digilib.uns.ac.id 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia adalah negara yang termasuk dalam kategori negara berkembang dan tentunya tidak terlepas dari permasalahan kejahatan. Tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zaman sekarang korupsi sudah menjadi hal yang biasa untuk diperbincangkan. Korupsi bukan lagi menjadi suatu hal yang dianggap tabu untuk dilakukan bahkan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 perpustakaan.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa Abstrak Penelitian ini mengkaji dan menjawab beberapa permasalahan hukum,pertama, apakah proses peradilan pidana konsekuensi hukum penerapan asas praduga tidak bersalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah telah membuktikan bahwa Negara Indonesia adalah negara bahari, yang kejayaan masa lampaunya dicapai karena membangun kekuatan maritim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 amandemen ke-empat, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang membentang dari Sabang sampai Merauke terbagi dalam provinsi- provinsi yang berjumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19945. Salah satu prinsip penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan yang sangat marak terjadi dalam birokrasi pemerintahan mempunyai dampak negatif dalam kehidupan sosial masyarakat, salah satunya tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum

Lebih terperinci