Untuk Kebutuhan Advokasi Pembaharuan Tata Kelola Hutan dan Lahan Tingkat Kabupaten

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Untuk Kebutuhan Advokasi Pembaharuan Tata Kelola Hutan dan Lahan Tingkat Kabupaten"

Transkripsi

1 Untuk Kebutuhan Advokasi Pembaharuan Tata Kelola Hutan dan Lahan Tingkat Kabupaten

2 1 Struktur Instrumen Penelitian IKHL Sebelumnya Instrumen IKHL dibagi kedalam 3 (tiga) bagian, dimana instrumen Bagian I dan Bagian II digunakan untuk mengukur prinsip transparansi, sementara instrument Bagian III digunakan untuk mengukur prinsip Partisipasi, Akuntabilitas, dan Koordinasi. Instrumen bagian III merupakan gabung keseluruhan aktivitas pengelolaan hutan dan lahan yang diukur dan dikelompokan berdasarkan tahapan kegiatan. Berdasarkan evaluasi penggunaan di lapangan, format pengelompokan pertanyaan dan indicator pengukuran diubah untuk memudahkan peneliti di lapangan. Sehingga saat ini instrument IKHL hanya terdiri dari 2 (dua) bagian, yakni : Instrumen bagian I, merupakan instrument uji akses yang merupakan salah satu komponen perhitungan dalam prinsip transparansi. Dalam instrument bagian I ini terdapat daftar dokumen yang akan diminta untuk menguji prinsip transparansi dalam tata kelola hutan dan lahan. Dokumen yang diminta terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap perencanaan, implementasi dan pengawasan. Total jenis dokumen yang diminta ada 35 jenis. Instrumen bagian II, merupakan instrumen yang mengukur 4 prinsip yang terdiri dari prinsip transparansi, partisipasi, koordinasi dan akuntabilitas. Masing-masing prinsip terdiri dari pertanyaan yang berbeda. Pada prinsip transparansi terdiri dari 41 pertanyaan. Pada prinsip partisipasi terdapat 38 pertanyaan, koordinasi 12 pertanyaan dan akuntabilitas terdiri dari 9 pertanyaan. Scaraa substantif tidak ada perbedaan antara format instrument yang digunakan sebelumnya (3 bagian) dengan yang saat ini digunakan (2 bagian). Instrumen bagian I dan bagian II berisi pertanyaan-pertanyaan tertutup yang digunakan untuk mengukur sejauhmana pemerintah daerah memperhatikan prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan hutan dan lahan (lebih jelas lihat Buku Panduan LGI). Pertanyaan dalam instrument IKHL merupakan Indikator Terdapat satu atau lebih pilihan jawaban yang dapat diisi, sesuai dengan konteks pertanyaan yang tersedia. Setiap pilihan jawaban dalam pertanyaan merupakan elemen kualitas yang masing-masing memiliki bobot/skor penilaian yang berbeda. Dari sinilah kemudian penghitungan indeks dilakukan. Prinssip Good Governance Indikator 1 Indikator 2 Elemen Kualitas 1 Elemen Kualitas 2 Elemen Kuallitas 1 Elemen Kualitas 2

3 2 Metodologi Penghitungan Indeks 2.1 Penjelasan bobot/skoring Sebagaimana telah disebutkan, elemen kualitas merupakan penentu skor yang didapat dari setiap pertanyaan, dan menjadi komponen yang menentukan penghitungan indeks. Setiap pertanyaan maximal bernilai 1 dan terendah nol. Berikut ini adalah penjelasan bobot penilaian/skoring yang digunakan dalam Instrumen Penelitian IKHL 2.2 Penghitungan Indeks Perhitungan indeks dilakukan dengan menggunakan perhitungan metode bobot tertimbang. Metode perhitungan indeks dengan menggunakan bobot tertimbang artinya masing-masing bobot dari prinsip yang diukur berbeda-beda bobotnya sesuai dengan jumlah pertanyaan pada masing-masing prinsip. Langkah-langkah menghitung indeks yaitu: Tentukan jumlah pertanyaan yang menjadi unsur pembangun indeks Pastikan skor pada masing-masing pertanyaan terisi dengan benar Jumlahkan skor sesuai dengan jumlah pertanyaan Tentukan bobot dengan mengalikan jumlah pertanyaan pembangun indeks dengan 1 Bagi skor total dengan bobot Kalikan hasilnya dengan 1 Contoh perhitungan akan dijelaskan sebagai berikut: Misalnya pada prinsip koordinasi kota A yang terdiri dari 12 pertanyaan skornya terdiri dari: Total Setelah skor dihitung maka hitung bobot untuk prinsip koordinasi: Total Setelah diperoleh skor dan bobot maka untuk mendapatkan angka indeks kedua skor akhir tersebut dibagi dan dikalikan dengan 1, sehingga hasilnya: (69/12) x 1 = 57,5 57,5 merupakan indeks koordinasi kota A. Cara perhitungan indeks secara umum dilakukan dengan cara yang telah dijelaskan diatas. Sementara itu perhitungan indeks dapat dihitung dengan dimensi lain tidak hanya berdasarkan prinsip good governance seperti transparansi, partisipasi, koordinasi dan akuntabilitas tetapi dapat melihat dimensi tahapan yang terdiri dari perencanaan,

4 implementasi dan pengawasan. Hal yang sama juga berlaku untuk melihat indikator pembangun indeks sehingga dapat diketahui indikator mana yang paling berkontribusi terhadap indeks tersebut. Setelah mendapatkan angka indeks sesuai dengan masing-masing prinsip atau sesuai dengan tahapan di masing-masing daerah maka hasil tersebut dapat dianalisis atau diinterpretasikan. Dalam menganalisis angka indeks ada beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu: Menggunakan angka indeks sebagai pembanding antar daerah Suatu angka indeks dari satu daerah tidak akan dapat berdiri sendiri untuk dianalisis atau diinterpretasikan. Oleh karena itu dalam penelitian yang menggunakan angka indeks sebagai suatu bentuk pengukuran sebaiknya dilakukan dengan mengambil beberapa sampel sebai objek. Hal ini untuk membandingkan sehingga angka indeks dapat bermakna misalnya daerah mana yang memiliki angka indeks paling tinggi dan paling rendah Menggunakan data indeks secara time series Jika sampel yang digunakan dalam penelitian sangat sedikit maka pengukuran indeks dapat dilakukan secara time series. Dengan data time series atau runtut waktu dapat dilihat tren perkembangan indeks apakah semakin membaik atau memburuk. Membandingkan antar dimensi Dalam suatu penelitian, biasanya angka indeks yang diukur tidak hanya melihat satu prinsip, seperti dalam penelitian ini yang mencoba melihat tata kelola dalam empat prinsip transparansi, akuntabilitas, koordinasi, dan partisipasi. Meskipun aspek yang diukur berbeda, namun dapat dilihat dengan membandingkan keempat prinsip tersebut, prinsip mana yang nilainya paling baik. Menggabungkan ketiga cara diatas baik melihat perbandingan antar daerah dalam beberapa periode dan membandingkan antar prinsip. Disamping itu untuk memudahkan analisis dan interpretasi angka indeks maka ditentukan suatu ukuran bentuk klasifikasi dimana peneliti dapat menggolongkan angka indeks yang dihasilkan dalam suatu perhitungan bermakna baik atau buruk. Dalam penelitian ini, klasifikasi tersebut telah ditentukan melalui metode panel judgement atau expert judgement dengan klasifikasi sebagai berikut: Kategori Skor Indeks Transparansi Skor Indeks Partisipasi Skor Indeks Akuntabilitas Skor Indeks Kordinasi Skor Indeks LGI Sangat Baik 71,7-1 75,8-1 73,9-1 76,-1 73,4-1 Baik 46,7-71,6 5,9-75,7 53,3-73,87 51,-75,9 49,8-73,3 Sedang 23,4-46,6 25,1-6, 25,3-53,2 25,6-5,9 24,6-49,8 Buruk -23,3-25,1-25,2-25,5-24,5

5

6 Lampiran 1 Penjelasan Skoring Instrumen IKHL Aksesibilitas Dokumen dan Informasi Berkaitan dengan Pengelolaan Hutan dan Lahan I. Transparansi (Instrumen Bagian I dan II) Indikator Elemen Kualitas Skoring Penjelasan Dokumen dipublikasikan Dokumen diperoleh dengan permintaan 1-1 hari kerja Dokumen diperoleh dengan permintaan hari kerja Dokumen diperoleh dengan permintaan hari kerja Dokumen tidak bisa diperoleh Pemohonan informasi tidak ditanggapi 1 Indikator ini digunakan untuk mengukur sejauhmana pemerintah daerah membuka dokumen dan informasi yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dan lahan kepada publik. Terdapat satu pilihan jawaban yang sesuai, diisi setelah peneliti melakukan uji akses permohonan informasi kepada badan public yang diidentifikasi memegang dan menguasai dokumen yang diminta Dokumen dipublikasikan (tersedia secara serta merta) mendapatkan bobot skor tertinggi (1). Hal tersebut mengndikasikan : a. Adanya pengelolaan dan pengarsipan dokumen, data, dan/atau informasi yang relevan dengan hutan dan lahan sehingga memudahkan untuk diperoleh kembali untuk tujuan diseminasi maupun untuk kebutuhan internal pemerintahan b. Adanya diseminasi dokumen, data, dan/atau informasi yang relevan dengan pengelolaan hutan dan lahan

7 c. Adanya political will dari pemerintah daerah untuk membuka seluas-luasnya informasi yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dan lahan kepada public. Jika dokumen tidak diperoleh atau tidak permohonan informasi tidak ditanggapi oleh badan public, maka mendapatkan skor terendah (). Hal dapat menjadi indikasi : a. Adanya perbedaan persepsi badan public tentang status dokumen / informasi public yang diminta. b. Rendahnya political will pemerintah daerah untuk membuka dokumen/informasi berkaitan dengan pengelolaan hutan dan lahan c. Pengelolaan dan pengarsipan dokumen/informasi berkaitan dengan pengelolaan hutan dan lahan yang tidak dilakukan dengan baik. Dokumen yang diperoleh dengan permintaan dan dalam jangka waktu tertentu, namun masih dalam jangka waktu yang dimungkinkan menurut UU KIP, mendapatkan nilai yang lebih tinggi (75). Semakin lama waktu yang diperlukan untuk memperoleh dokumen skor yang diperoleh semakin rendah. Hal ini sejalan dengan prinsip kemudahan dan kecepatan pelayanan permohonan informasi public.

8 Informasi yang disampaikan mencakup tahapan proses Keterbukaan Proses Dalam Pengelolaan dan Pengambilan Kebijakan Hutan dan Lahan Informasi yang disampaikan mencakup jadwal pembahasan 15 Indikator ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana pemerintah daerah membuka seluasluasnya informasi dalam pengelolaan serta proses 15 pengambilan kebijakan di sector kehutanan dan lahan. Semakin luas informasi mengenai hal ini didiseminasikan kepada public, membuka peluang bagi public untuk terlibat dalam proses pengelolaan dan pengambilan kebijakan di sector hutan dan lahan. Indikator ini dapat diketahui dengan melakukan wawancara dan/atau observasi dalam realisasi keterbukaan informasi di pemerintah daerah. Pilihan jawaban bisa lebih dari satu. Skor tertinggi (1) diperoleh jika semua pilihan jawaban terisi. Terdapat 3 elemen kualitas dalam indicator ini yakni : i) ruang lingkup informasi yang diberikan (totol skor 3) ; ii) Target penerima informasi yang diberikan (totoal skor 35); iii) Sarana yang digunakan untuk menyebarluaskan informasi tersebut (total skor 35). Elemen kualitas ii dan iii mendapatkan porsi bobot skor lebih besar dari elemen kualitas i karena dampak kepada masyarakat lebih terasa. Elemen kualitas i mengukur : a. Tahapan proses : informasi mengenai prosedur, tahapan kegiatan yang dilakuan dalam proses pengambilan kebijakan

9 dan/atau proses yang berkaitan dengan aktivitas pengelolaan (mis: proses terbitnya perizinan) b. Jadwal pembahasan : informasi mengenai waktu pelaksanaan kegiatan atau proses yang berkaitan dengan pengelolaan dan/atau pengambilan kebijakan public. Informasi disampaikan kepada masyarakat terdampak Informasi disampaikan kepada masyarakat luas Informasi disampaikan kepada masyarakat kalangan terbatas 12,5 Elemen kualitas ii mengatur mengenai target penerima informasi yang ditanyakan di elemen 12,5 1 kualitas i. total skor 35 dengan pilihan jawaban terdiri dari : a. Masyarakat terdampak : merupakan kelompok masyarakat yang merasakan langsung dampak dari pelksanaan usaha/kegiatan yang berada di sekitar lokasi tempat tinggal mereka; dan/atau masyarakat yang mengalami dampak langsung atas penerapan sebuah kebijakan, rencana, dan/atau program. Bobot penilaian 12,5. b. Masyarakat luas : merupakan masyarakat umum secara keseluruhan, tidak bergantung pada apakah terkena dampak langsung dari usaha/kegiatan atau pelaksanaan kebijakan, rencana, dan/atau program. Bobot penilaian 12,5. c. Masyarakat kaangan terbatas adalah orang atau kelompok masyarakat yang dianggap sebagai representasi kelompok masyarakat

10 Informasi disampaikan melalui media yang dapat diakses masyarakat secara luas tersedia. Informasi disampaian melalui media yang dapat diakses kalangan terbatas 25 Elemen kualitas iii mengukur sejauhmana pemerintah daerah membuka dokumen dan informasi public melalui sarana diseminasi yang 1 Agar informasi dapat disampaikan seluas-luasnya, maka pemerintah daerah harus menggunakan media yang dapat diakses dengan mudah oleh semua orang maupun media yang dapat diakses kalangan terbatas. Media yang mudah diakses misalnya televise, radio, sms, atau media lain sesuai dengan konteks daerah. Sementara media yang dapat diakses kalangan terbatas misalnya mading/papan informasi di lingkup pemerintahan, bulletin/terbitan internal pemerintah. Keterbukaan proses dalam kegiatan pemerbian perizinan (khusus No ) Pemerintah daerah segera melakukan diseminasi public atas semua pemohonan peizinan yang diajukan Pemerintah daerah melakukan rekapitulasi izin yang diberikan Informasi yang disebarkan melalui media yang mudah diakses masyarakat mendapatkan bobot tertinggi (25), sementara informasi yang dapat diakses masyarakat secara terbatas mendapatkan bobot penilaian sebesar 1. 1 Kegiatan perizinan merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengelolaan LH dan SDA. Menurut UU 32/29 hak untuk mendapatkan informasi dalam pengelolaan dan perlindungan LH dan 75 SDAmerupakan hak yang diajmin oleh undangundang. Hal ini sejalan dengan mandate Prinsip ke- 1 Deklarasi Rio yang menyatakan bahwa pengelolaan LH harus dibuat sedemikian rupa

11 setiap 6 (enam) bulan sekali Pemerintah daerah 5 melakukan rekapitulasi izin yang diberikan setiap 1 (satu) tahun sekali Pemerintah daerah belum memiliki mekanisme transparansi public atas perizinan yang diterbitkan sehingga melibatkan masyarakat semaksimal mungkin dengan memberikan akses informasi seluas-luasnya dan akses pada keadilan. Informasi mengenai perizinan sebagai bagian dari kegiatan pengelolaan sudah seharusnya didiseminasikan kepada public sejak tahapan awal proses perizinan tersebut diajukan. Hal ini dapat memastikan masyarakat, khususnya yang tinggal di area terdampak untuk mengetahui rencana usaha/kegiatan yang akan dilakukan di daerahnya sehingga dapat memberikan respon atas rencana usaha/kegiatan tersebut. Keterbukaan proses perizinan sejak tahapan awal (permohonan perizinan) sudah ada presdennya dalam proses penerbitan Izin Lingkungan dan penyusunan AMDAL sesuai dengan Peraturan Menteri Negara LH No. 17 Tahun 212. Dalam instrument ini skor tertinggi diperoleh jika pemerintah melakukan diseminasi informasi sejak permhonan pertama kali diterbitkan (skor 1). Jika pemerintah hanya melakukan rekapitulasi izin yang telah dikeluarkan pemerintah mendapatkan skor 75 (rekapitulasi setiap 6 bulanan) dan 5 (rekapitulasi setiap tahun). Ada kemungkinan pemerintah daerah melakukan diseminasi dan melakukan rekapitulasi. Jika demikian, maka skor tertinggi tetap 1.

12 Memiliki isntrumen pelayanan yang sudah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah Ketersediaan Instrumen Pelayanan Informasi Publik Memiliki instrument pelayanan yang sudah dtetapkan dengan SK Kepala Daerah Memiliki instrument pelayanan namun belum ditetapkan Belum memiliki isntrumen pelayanan 1 Instrumen pelayanan informasi public yang dimaksud adalah keberadaan PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) serta SOP Pelayanan Informasi. Keberadaan PPID dan SOP, merupakan mandat dari UU No. 14 Tahun 28 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dengan keberadaan instrument pelayanan tersebut pelaksanaan keterbukaan informasi public di daerah dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Elemen kualitas ini mengukur apakah daerah telah memiliki instrument pelayanan keterbukaan informasi public serta bagaimana status dari instrument pelayanan tersebut. Jika sudah memilki dan ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah maka akan memperoleh bobot skor tertinggi (1), jika ditetapkan dengan SK kepala daerah mendapatkan bobot skor 75. JIka sudah memiliki namun belum ditetapkan mendapatkan skor 25, dan nol jika belum memiliki instrument pelayanan. Penetapa oleh peraturan Kelapa Daerah dianggap lebih kuat dan jika ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Beleidsregel, kebijakan yang memiliki dimensi pengauturan) dibandingkan penetapan dengan SK (Beshchiking, hanya berisi penetapan) atau tanpa penetapan sama sekali. II. Partisipasi (Instrumen Bagian III)

13 Level Pelibatan Masyarakat Masyarakat dilibatkan dalam bentuk sosialisasi Ragam Partisipan yang Dilibatkan dalam Pengelolan dan/atau Proses Pembuatan Kebijakan Keberadaan regulasi yang mejamin partisipasi public Masyarakat dilibatkan melalui proses konsultasi public yang berjalan dua arah Masyarakat dilibatkan sampai dalam tahapan pemberian persetujuan atas rencana kebijakan dan/atau pengelolaan yang akan dilakukan 2 Level pelibatan masyarakat menentukan kualitas partisipasi public yang dilakukan. Partisipasi semu 5 1 Tikda ada pelibatan masyarakat Perwakilan masyarakat Masyarakat terkena dampak Pelaku usaha 2 LSM 2 Akademisi 2 Tidak ada masyarakat yang dilibatkan Ada regulasi/kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah terjadi proses partisipasi dilakukan dalam model komunikasi searah. Kualitas partisipas public semakin meningat jika masyarakat semakin memiliki ruang untuk memberikan pandangan serta memberikan perseetujuan atas kebijakan yang akan diambil. Oleh karena itu skor tertinggi diperoleh jika partispasi public dilakukan sampai tahapan adanya persetujuan public atas pengesahan suatu kebijakan atau rencana pengelolaan. 2 Partisipasi public yang utuh adalah proses partisipasi yang melibatkan semua pihak yang 2 berkepentingan dengan pengelolaan dan/atau kebijakan yang dilakukan. Jika seluruh komponen masyarakat (yang disebutkan dalam instrument ini) dilibatkan, maka dapat menjadi indikasi partisipasi public yang utuh, dengan bobot skor 1. 1 Dalam konteks budaya hukum Indonesia, ketiadaan aturan dapat menjadi hambatan dalam pelaksanaan inisitif-inisiatif pembaharuan tata kelola (misalnnya partisipasi public). Hal ini berkaitan dengan aspek

14 disertai dengan pengaturan teknis pelaksanaannya Ada regulasi/kebijakan dalam bentuk Perda namun tidak ada pengaturan teknis pelaksanaannya Regulasi/kebijakan dalam bentuk Peraturan Kepala Daerah Bentuk kebijakan lain dalam hirarki yang lebih rendah. Tidak ada regulasi/kebijakan yang menjamin partisipasi public leglitas serta keabsahan alokasi pendanaan untuk pelaksanaan kegiatan tersebut. Sehingga political will saja tidak serta mera menjamin partisipasi publik dapat berjalan. Adanya regulasi dan/atau kebijakan karenanya dapat menjamin partisipasu public dapat berjalan. Yang dimaksud dengan regulasi dalam indicator ini adalah produk hukum yang memiliki dimensi pengauran (regeling), misalnya Peraturan Daerah atau beliedsregel atau kebjakan yang memiliki dimensi pengaturan seperti Peraturan Kepala Daerah. Sementara kebijakan adalah diskresi yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan untuk menentukan dan membuat pilihan-pilihan yang digunaan dalam pelaksanaan kewenangannya. Termasuk dalam kategori kebijakan daam instrument ini misalnya surat edaran, memo tertulis, atau kebijana tertulis lain yang secara substantive berisi dukungan dan/atau prosedur partisipasi public dalam pengelolaan hutan dan lahan. Oleh karena itu skor tertnggi (1) diperoleh jika jaminan pelaksanaan partisopasi public diundangkan dalam bentuk peraturan daerah yang disertai dengan penjabaran teknis implementasinya. Sktor akan semakin turun seiring dengan semakin lemahnya bentuk pengundangan atas jaminan

15 partisipasi public. Dengan diundangkan dalam bentuk peraturan, selain lebih menjamin partisipasi dilakukan, terbuka peluang untuk memberikan sanksi yang lebih tegas bila partisipasi tidak dilakukan. Penyusunan Perencanaan Penataan Ruang III. Akuntabilitas (Instrumen Bagian III) Indikator Elemen Kualitas Skoring Penjelasan Akuntabilitas Internal : Indikator Akuntabilitas Eksternal bersifat tematik, sesuai dengan karakteristik kegiatan pengelolaan hutan dan lahan yang diukur Sudah memiliki Perda 1 Pelaksanaan revisi RTRW merupakan mandat UU RTRW yang No. 26 Tahun 27 tentang Penataan Ruang. UU penyusunannya 26/27 memandatkan revisi RTRW dilakukan 2 didahului dengan (dua) tahun setelah diundangkannya UU 26/27. KLHS RTRW Sedang dalam tahap persetujuan dari pemerintah dan penyusunannya didahului dengan KLHS Sudah memiliki Perda RTRW namun penyusunannya tidak didahului dengan KLHS 75 5 Namun sampai saat ini, secara agregat nasional, belum semua daerah merampungkan proses revisi. Hal ini berkaitan dengan adanya persetujuan teknis dan substansi dari pemerintah pusat berkenaan dengan usulan revisi RTRW dari daerah. Dengan demikian indicator ini secara tidak langsung juga dapat menjadi indikasi sejauhmana pemerintah pusat merespon usulan revisi RTRW dari daerah. Secara khusus indicator ini mengukur tidak hanya proses revisi RTRW namun bagaimana proses revisi tersebut dilakukan. Sesuai dengan mandat UU No.

16 RTRW sedang dalam tahap persetujuan dari pemerintah dan penyusunannya tidak didhului dengan KLHS Belum melakukan proses revisi RTRW 1 32 Tahun 29 tentang Perlindungan dan Pengelolaan LH, semua penyusunan kebijakan, rencana, dan program (KRP) termasuk perencanaan penataan ruang harus didahului dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Selain itu pengarusutamaan KLHS dalam proses penyusunan rencana tata ruang daerah juga sudah diatur dalan Permendagri tentang BKPRD dan sebelumnya sudah ada nota kesepahaman bersama Antara Mendagri dan Menlh tentang KLHS dalam proses revisi tata ruang sebelum disahkannya UU 32/29. Ketersediaan dan kualitas basis data dan informasi spasial yng digunakan dalam proses revisi RTRW Data dan informasi spasial yang digunakan merupakan yang paling mutakhir Data dan informasi spasial terintegrasi dalam lingkup horizontal Daerah yang sudah memiliki perda RTRW defiinitif dan dilakukan KLHS pada awal proses pembahasan mendapatkan sktor tertinggi (1), sebab dapat menjadi indikasi kesungguhan pemerintah dalam mengaursutamakan isu lingkungan hidup dalam perencanaan pembangunan. Adanya perda RTRW definitif juga memberikan kepastian hukum status kawasan sehingga data meminimalisir pelanggaran yang terjadi. 4 RTRW merupakan penjabaran spasial atas perencanaan pembangunan yang dtetapkan baik di lingkup nasional maupun daerah. RTRW juga 3 menjadi dasar legitimasi status kawasan, sehingga pemanfaatan ruang untuk keperluan budidaya atau konservasi dapat dilakukan tanpa melanggar ketentuan perundang-undangan.

17 Data dan informasi spasial terintegrasi dalam lingkup vertical 3 Dengan demikian data dan informasi spasial yang digunakan untuk menyusunan revisi RTRW harus dipastikan kualitasnya. Instrumen ini membagi 3 komponen yang sekurang-kurangnya dapat menjamin kulitas data informasi spaisial yang digunakan : a. Adanya kemutakhiran data yang digunakan. Elemen ini merupakan yang terpenting sebab data yang mutakhir dapat meminimalisir rencana pemanfaatan ruang yang tidak lagi sesuai dengan kondisi actual di lapangan. Data yang mutair juga mengndikasikan adanya upaya pembaharuan data dan informasi dengan melakukan pengawasan dan pengecekan di lapangan. b. Terintegrasinya data dan informasi spasial baik di lingkup kabupaten maupun dengan instansi lain secara vertical. Hal ini sejalan dengan upaya pembentukan Jariangan Data Dan Informasi Geospaisal dalam peraturan Presiden No. 75 Tahun 28. Dengan data yang terintegrasi dapat diminimalisir perbedaan data dan informasi spaisla yang digunakan (misalnya mengenai peruntukan kawasan atau pemanfaatan ruang) Skor tertinggi diperoleh jika semua elemen kualitas terisi.

18 Inventarisasi dilakukan sesuai dengan ketentuan dan telah dibukukan Dilakukannya inventarisasi kawasan hutan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya Inventarisasi dilakukan sesuai dengan ketentuan, namun belum di bukukan Inventarisasi sudah dilakukan namun tidak sesuai dengan ketentuan dan sudah diukukan. Inventarsiasi dilakukan namun tidka sesuai dengan ketentuan dan belum dibukukan Belum dilakukan inventarisasi kawasan hutan 1 Berdasarkan ketentuan perundang-undangan pemerintah kabupaten memiliki kewenangan untuk : Penyelenggaraan Inventarisasi Hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam wilayah Kabupaten/Kota Produksi data dan informasi hasil inventarisasi tingkat provinsi/skala DAS Kabupaten Pendokumentasian, penyebarluasan, penggunaan, dan pelaporan inventarisasi hasil hutan Inventarisasi merupakan elemen vital untuk melakukan perencanaan. Kegagalan dalam melakukan inventarisasi akan berdampak pada buruknya perencanaan sehingga mendorong pemanfaatan yan tidak berkelanjutan. Instrumen ini mengukur sejauhmana pemerintah daerah melakukan inventarisasi sesuai dengan standard dan kriteria yang ditetapkan oleh pusat. Hal ini berkaitan dengan ruang lingkup yang harus tercantu dalam inventarisasi oleh pemerintah kabupaten. Instrumen ini juga mengukur apakah inventarisasi kawasan telah dibukukan sesuai dengan standar pusat, sehingga memudahkan penggunaannya baik oleh instansi pemerintah lain (dalam perumusan kebijakan) atau oleh masyarakat (untuk pengawasan).

19 *) Penyelesaian sengketa pihak ketiga dalam proses pengesahan berita acara tata batas kawasan hutan Bentuk kelembagaan KPH yang dibentuk oleh pemerintah daerah Penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan kesepakata bersama Penyelesaian sengketa dilakukan secara sepihak Tidak ada upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan Dalam bentuk BLU dengan dukungan APBD Dalam bentuk BLU tanpa dukungan APBD Skor tertinggi (1) diperoleh jika inventarisasi dan pendokumetasian nya dilakukan sesuai dengan standar pusat. Komponen bentuk pendokumentasian dianggap tidak sepeting komponen ruang lingkup inventarisasi yang dilakukan sehingga berturut-turut skor semakin rendah jika inventarisasi dilakukan tanpa mengukuti standar pusat. 1 Dalam proses penatabatasan kawasan hutan, panitia tata batas memiliki kewenangan untuk menyelesaikan hak-hak pihak ketiga dalam areal yang berada atau bersinggungan dengan kawasan hutan. Penyelesaian sengketa menjadi penentu apakah berita acara tata batas yang dilakukan sudah final (temu gelang) atau belum. Karena itu proses ini menjadi sangat penting. Instrumen ini memberikan sktor tinggi bagi proses penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan proses yang melibatkan masyarakat terdampak dan memperhatikan pertimbangan dan kepentingan mereka. 1 Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan mandate UU 41/999. Dengan membagi habis 8 seluruh kawasan hutan ke dalam KPH diharapkan tidak ada lagi areal open access sehingga dapat

20 Dalam bentuk UPTD dengan dukungan APBD Adanya mekanisme akuntabilitas dalam penerbitan perizinan Dalam bentuk UPTD tanpa dukungan APDB Bentuk lain dengan dukungan APDB Bentuk lain tanpa dukungan APBD Tidak ada KPH dibentuk Adanya kejelasan jangka waktu proses Adanya kejelasan tahapan proses yang harus dilakukan Kejelasan staff /pihak yang memproses permohonan perizinan Kejelasan biaya yang diperlukan untuk memperoleh izin 6 memicu penyerobotan lahan serta pelanggaran penggunaan kawasan hutan lainnya Pemerintah daerah berdasarkan kewenangannya memiliki kewenagan untuk membentuk KPHP dan KPHL. Persoalannya adalah masih adanya perbedaan interpretasi mengenai bentuk kelembagaan KPH. Instrumen ini memberikan sktor tinggi bila KPH dibentuk dengan status hukum berupa BLU dan mendapatkan porsi anggaran yang dipisahkan dari APBD. Dengan status hukum itu maka KPH akan lebih independen ketimbang berada di bawah dinas sebagai salah satu bentuk UPT (Unit Pelaksana Teknis).

21 Tidak ada kejelasan mekanisme Surat rekomendasi 4 berisi letak areal yang dimohonkan Kelengkapan surat rekomendasi persetujuan prinsip / ijin pinjam pakai yang diberikan untuk pertambangan (pertanyaan serupa untuk rekomendasi IUPHHK) Pemberian IUPerkebunan di areal yang sesuai dengan ketentuan perundangundangan Keberadaan lembaga/mekanisme pengaduan dan/atau keberatan dalam proses pengeolaan hutan dan lahan Adanya lampiran peta yang domohon izin/pinjam pakai Berisi analisis kondisi vegetasi kawasan hutan Tidak ada kejelasan mengenai kelengkaan surat rekomendasi IUPerkebunan diberikan di HPK IUPerkebunan diberikan di laur HPK Akuntabilitas Eksternal : Ada lembaga yang secara khusus dbentuk dan ditetapkan dengan peraturan Ada lembaga yang dibentk di setiap unit dan menangani pengaduan/keberatan sesuai dengan Keberadaan lembaga/mekanisme untuk menerima dan menanganai pengaduan/kebreatan merupakan salah satu bentuk upaya menjamin akuntabilitas pengelolaan hutan dan lahan dari asek eksternal. Beberapa hal yang ahrus diperhatiakan adalah : 75 a. Bentuk kelembagaan. JIka lembaga/mekanisme pengaduan dibentuk secara khusus dalam arti terpisah dari instansi yang melakukan penyelenggaraan

22 kewenangannya. Keberadaannya ditetapkan dengan peraturan Aksesibilitas lembaga/mekanisme pengaduan Ada lembaga yang secara khusus dibentuk namun tidak ditetapkan dengan peraturan Ada lembaga yang dibentk di setiap unit dan menangani pengaduan/keberatan sesuai dengan kewenangannya. Keberadaannya tidak ditetapkan dengan peraturan Tidak ada lembaga yang menangani pengaduan Mekanisme/lembaga pengaduan tersedia di tingkat desa Mekanisme/lembaga pengaduan tersedia di tingkat kecamatan Mekanisme/lembaga pengaduan tersedia di 5 25 urusan pemerintahan maka imparsialitas penanganan pengaduan/keberatan akan lebih terjaga ketimbang mekansime pengaduan yang disediakan di instansi yang bersangkutan. b. Bentuk pengundangan. JIka keberadaan lembaga/mekanisme pengaduan ditetapkan dengan bentuk peraturan perundangundangan lebih tinggi, maka akn menjamin kebradaannya dan dukungan pendanaan yang dapat disediakan. Dengan demikian sktor tertinggi diperoleh jika lembaga/mekanisme pengaduan ditangani oleh lembaa yang secara khusus dibentuk dan dibentuk dengan legitimasi peraturan perundang-undangan. 5 Mekanisme/lembaga pengaduan dan penyampaian keberatan atas kebijakan dan/atau pelaksanaan usaha/kegiatan ahrus tersedia sampai dengan level 3 pemerintahan terendah, dalam hal ini pemerintahan tingkat desa. Dengan demikian memudahkan masyarakat dalam menyampakan 2 keluahnnya kepada pemerintah.

23 tingkat ibu kota kabuaten Tidak ada mekanisme/lembaga yang etrsedia Instrumen ini memberikan sktor lebih tinggi bila aksesibilitas pengaduan tersedia di level pemerintahan terendah, namun skor tertinggi diberikan jika di semua level pemerintahan pengaduan dan keberatan dapat disampaikan Kelengkapan mekanisme keberatan/pengaduan dalam proses pengesahan berita acara tata batas Kelengkapan mekanisme pemberian masukan atas pelaksanaan monitoring perseujuan prinsip dan izin pinjam pakai kawasan hutan Diseminiasi berita acara tata batas Jangka waktu mengajukan keberatan Ada pihak yang ditugasi untuk menamung keberatan Ada jangka waktu respon atas keberatan yang disampaikan Keberatan dan respon dicatat dalam berita acara tata batas yang disahkan Tidak kelengkapan mekanisme Diseminiasi hasil monitoring Jangka waktu memberikan masukan Ada pihak yang ditugasi untuk menamung masukan

24 Ada jangka waktu 2 respon atas masukan yang disampaikan Keberatan dan respon 2 dicatat dalam dokumen monitoring yang diberikan kepada Menteri Tidak kelengkapan mekanisme Diseminiasi info 25 mengenai izin lokasi yang diberikan Kelengkapan mekanisme keberatan/pengaduan dalam proses pemberian izin lokas perkebunan Jangka waktu mengajukan keberatan Ada pihak yang ditugasi untuk menamung keberatan Ada jangka waktu respon atas keberatan yang disampaikan Tidak kelengkapan mekanisme IV. Koordinasi (Instrumen Bagian III)

25 Pertukaran data dan informasi berjalan karena adanya mekanisme formal ruang. Berjalannya koordinasi berupa pertukaran data dan informasi spsial (interoperbilitas) antar institusi Dilakukannya koordinasi dalam pelaksanaan inventarisasi kawasan hutan Pertukaran data dan infrmasi berjalan karena adanya mekanisme informal Tidak ada pertukaran data dan informasi spasial yang berjalan Inventarisasi dilakukan berkoordinasi dengan instansi lintas sektoral dalam lingkup kabupatn Inventarisasi dilakukan berkoordinasi dengan instansi lintas sektoral antar kabupaten Inventarisasi dilakukan berkoordinasi dengan instansi vertical yang ada di daerah Tidak ada koordinasi dalam inventarsiasi 1 Interoperabbilitas atau saling tukar data dan informasi merupakan aktivtas yang membantu proses koordinasi dalam penysunan rencana tata 5 1/3 1/3 1/3 Instrumen ini memberikan skor tinggi bila koordinasi dilakukan karena adanya isitem bukan semata adanya kedekatan personal

26 Lembaga koordinasi dengan dukungan APBD untuk operasional Bentuk kelembagaan dan dukungan pendanaan Lembaga koordinasi tidak mendapatkan dukungan APBD untuk pendanaan operasinalnya Tidak ada lembaga koordinasi 1 Bentuk kelembagaan koordinasi dipengaruhi diantaranya oleh dukungan pendanaan dari pemerintah. Lembaga koordinasi yang tidak 5 mendapatkan dukungan pendanaan APBD umumnya bersifat ad hoc dan karenanya cenderung untuk tidak dipatuhi keputusannya oleh instansi yang tergabung di dalamnya.

Tata Kelola Yang Tak Kunjung Membaik: Penilaian Masyarakat Sipil Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Hutan Dan Lahan Di 16 Kabupaten

Tata Kelola Yang Tak Kunjung Membaik: Penilaian Masyarakat Sipil Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Hutan Dan Lahan Di 16 Kabupaten Tata Kelola Yang Tak Kunjung Membaik: Penilaian Masyarakat Sipil Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Hutan Dan Lahan Di 16 Kabupaten Kondisi tutupan hutan di Kalimantan Barat, diambil

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Disampaikan pada acara : Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Jakarta, 22

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 42 2012 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.228, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5941) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH KOTA TEGAL

WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH KOTA TEGAL WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH KOTA TEGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TEGAL, Menimbang a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 7/Menhut-II/2011 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 7/Menhut-II/2011 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 7/Menhut-II/2011 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

LAPORAN PERMOHONAN INFORMASI

LAPORAN PERMOHONAN INFORMASI LAPORAN PERMOHONAN INFORMASI JARI Indonesia Kalimantan Tengah Indonesian Center for Environmental Law Oleh: Linggarjati, Dessy Eko Prayitno, Nisa I. Nidasari 1. Latar Belakang Hak atas informasi memegang

Lebih terperinci

2. Tujuan dilahirkannya UU. No. 14 Tahun 2008 adalah: menjamin hak warga negara utk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan

2. Tujuan dilahirkannya UU. No. 14 Tahun 2008 adalah: menjamin hak warga negara utk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan PANDUAN PPID 1. Informasi merupakan kebutuhan mendasar setiap orang sebagai pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional. Hak memperoleh informasi

Lebih terperinci

O L E H : M A H Y U D I N Y U S D A R

O L E H : M A H Y U D I N Y U S D A R O L E H : M A H Y U D I N Y U S D A R INFORMASI PRIVAT INFORMASI PUBLIK Apa bedanya? INFORMASI PRIVAT INFORMASI PUBLIK Tertutup Terbuka UU KIP: Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan,

Lebih terperinci

LAPORAN TAHUNAN LAYANAN INFORMASI PUBLIK

LAPORAN TAHUNAN LAYANAN INFORMASI PUBLIK LAPORAN TAHUNAN LAYANAN INFORMASI PUBLIK PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI (PPID) TAHUN 2014 SEKRETARIAT JENDERAL DEWAN KETAHANAN NASIONAL 2014 1 1. Latar Belakang Dalam rangka mencegah terjadinya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH (BKPRD) KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,

PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH (BKPRD) KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, B U P A T I K U D U S PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH (BKPRD) KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

LAPORAN KOMISI INFORMASI PROVINSI JAWA BARAT Tahun 2012

LAPORAN KOMISI INFORMASI PROVINSI JAWA BARAT Tahun 2012 LAPORAN KOMISI INFORMASI PROVINSI JAWA BARAT Tahun 2012 Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat pada awal Tahun 2012 telah melaksanakan pertemuan internal membahas rencana strategis (Renstra) 2011-2015 dan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN KEPUTUSAN BUPATI BANGKA TENGAH NOMOR : / /DIHUBKOMINFO/2016 TENTANG

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN KEPUTUSAN BUPATI BANGKA TENGAH NOMOR : / /DIHUBKOMINFO/2016 TENTANG BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN KEPUTUSAN BUPATI BANGKA TENGAH NOMOR : 188.45/ 180.5 /DIHUBKOMINFO/2016 TENTANG PENETAPAN PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI BUPATI BANGKA

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Sejalan dengan sifat peran serta masyarakat di atas, pada intinya terdapat 6 (enam) manfaat lain terhadap adanya peran serta masyarakat tersebut, anta

Sejalan dengan sifat peran serta masyarakat di atas, pada intinya terdapat 6 (enam) manfaat lain terhadap adanya peran serta masyarakat tersebut, anta BUKU RENCANA BAB VIII PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG 8.1 PERAN SERTA MASYARAKAT Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan

Lebih terperinci

PROSEDUR TUGAS POKOK DAN FUNGSI PPID RUMAH SAKIT JIWA MENUR

PROSEDUR TUGAS POKOK DAN FUNGSI PPID RUMAH SAKIT JIWA MENUR PROSEDUR TUGAS POKOK DAN FUNGSI PPID RUMAH SAKIT JIWA MENUR No. Dokumen No. Revisi Halaman RS JIWA MENUR JL. MENUR 120 Surabaya 10.11.005 3 1/5 SOP Tanggal Terbit 06 Januari 2015 Unit Kerja PPID RS JIWA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 36/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 36/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 36/Menhut-II/2010 TENTANG TIM TERPADU DALAM RANGKA PENELITIAN PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN B. MAKSUD DAN TUJUAN

BAB I PENDAHULUAN B. MAKSUD DAN TUJUAN LAMPIRAN PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 35 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

M E M U T U S K A N :

M E M U T U S K A N : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.2/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN FORMULASI, IMPLEMENTASI, EVALUASI KINERJA DAN REVISI KEBIJAKAN PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DENGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA SALINAN NOMOR : 3 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA Menimbang :

Lebih terperinci

BAHAN PERTEMUAN ROUND TABLE DISCUSSION. Deputi Tata Lingkungan - LHK 10 Nopember 2014

BAHAN PERTEMUAN ROUND TABLE DISCUSSION. Deputi Tata Lingkungan - LHK 10 Nopember 2014 BAHAN PERTEMUAN ROUND TABLE DISCUSSION Deputi Tata Lingkungan - LHK 10 Nopember 2014 Pencapaian target 100 % 14 Capaian Ukuran Keberhasilan No UKURAN KEBERHASILAN / INDIKATOR OUTPUT UKURAN KEBERHASILAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa hak untuk berkomunikasi dan memperoleh

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG - 1 - BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH SALINAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 41 TAHUN 2014 T E N T A N G PENGELOLAAN KAWASAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI DALAM USAHA PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA, CIPTA KARYA DAN TATA RUANG KABUPATEN BANYUWANGI TAHUN 2013-2015 Disusun oleh: Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga, Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten

Lebih terperinci

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 87 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH KOTA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 1/MENHUT-II/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT PROVINSI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 1/MENHUT-II/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT PROVINSI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 1/MENHUT-II/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT PROVINSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.2/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN FORMULASI, IMPLEMENTASI, EVALUASI KINERJA DAN REVISI KEBIJAKAN PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DENGAN

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 33 TAHUN 2014 T E N T A N G

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 33 TAHUN 2014 T E N T A N G GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 33 TAHUN 2014 T E N T A N G PENGELOLAAN KAWASAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI DALAM USAHA PERKEBUNAN DI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Oleh : Ketua Tim GNPSDA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pontianak, 9 September 2015

Oleh : Ketua Tim GNPSDA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pontianak, 9 September 2015 Oleh : Ketua Tim GNPSDA Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pontianak, 9 September 2015 Data dan Informasi Kawasan Hutan 2 KAWASAN HUTAN KALIMANTAN BARAT, KALIMANTAN TENGAH, KALIMANTAN SELATAN,

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT

MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT BAB VIII KELEMBAGAAN DAN PERAN MASYARAKAT 8.1 KELEMBAGAAN Lembaga penataan ruang memegang peran krusial dalam proses penyelenggaraan penataan ruang. Proses penyelenggaraan penataan ruang memerlukan lembaga

Lebih terperinci

POTRET KETIMPANGAN v. Konsentrasi Penguasaan Lahan ada di sektor pertambangan, perkebunan dan badan usaha lain

POTRET KETIMPANGAN v. Konsentrasi Penguasaan Lahan ada di sektor pertambangan, perkebunan dan badan usaha lain POTRET KETIMPANGAN Konsentrasi Penguasaan Lahan ada di sektor pertambangan, perkebunan dan badan usaha lain Lebih dari 186.658 hektar area yang ditetapkan kawasan hutan merupakan perkampungan penduduk

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG SINGLE DATA SYSTEM UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH DI JAWA TENGAH

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG SINGLE DATA SYSTEM UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH DI JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG SINGLE DATA SYSTEM UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH DI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA GUBERNUR GORONTALO PERATURAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

Hidup dan Sumber Daya Alam

Hidup dan Sumber Daya Alam KERTAS POSISI Lima Tahun Pemberlakuan UU Keterbukaan Informasi Publik Buka Informasi, Selamatkan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam April 2015 Pengantar Masyarakat sipil Indonesia mengapresiasi langkah

Lebih terperinci

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh : Purba Robert Sianipar Assisten Deputi Urusan Sumber daya Air Alih fungsi lahan adalah salah satu permasalahan umum di sumber daya air yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SALATIGA DAFTAR INFORMASI PUBLIK RINGKASAN RENCANA KERJA BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU DAN PENANAMAN MODAL KOTA SALATIGA

PEMERINTAH KOTA SALATIGA DAFTAR INFORMASI PUBLIK RINGKASAN RENCANA KERJA BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU DAN PENANAMAN MODAL KOTA SALATIGA PEMERINTAH KOTA SALATIGA DAFTAR INFORMASI PUBLIK RINGKASAN RENCANA KERJA BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU DAN PENANAMAN MODAL KOTA SALATIGA TAHUN 2017 1 PERENCANAAN KINERJA 2.1. PERENCANAAN STRATEGIS

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS DINAS PENANAMAN MODAL, PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DAN TENAGA KERJA KABUPATEN TUBAN TAHUN BAB I PENDAHULUAN

RENCANA STRATEGIS DINAS PENANAMAN MODAL, PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DAN TENAGA KERJA KABUPATEN TUBAN TAHUN BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN KEPUTUSAN BUPATI TUBAN NOMOR 188.45/ /KPTS/414.031/2017 TENTANG RENCANA STRATEGIS DINAS PENANAMAN MODAL, PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DAN TENAGA KERJA KABUPATEN TUBAN TAHUN 2016-2021 RENCANA STRATEGIS

Lebih terperinci

PENGENDALIAN INFORMASI BPJS KETENAGAKERJAAN

PENGENDALIAN INFORMASI BPJS KETENAGAKERJAAN PENGENDALIAN INFORMASI BPJS KETENAGAKERJAAN Informasi BPJS Ketenagakerjaan Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna dan pesan, baik data, fakta maupun

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA 5 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PARTICIPATORY MAPPING (PM) ATAU PEMETAAN PARTISIPATIF

PELAKSANAAN PARTICIPATORY MAPPING (PM) ATAU PEMETAAN PARTISIPATIF Halaman: 1 dari 7 MAPPING (PM) ATAU Dibuat Oleh Direview Oleh Disahkan Oleh 1 Halaman: 2 dari 7 Riwayat Perubahan Dokumen Revisi Tanggal Revisi Uraian Oleh 2 Halaman: 3 dari 7 Daftar Isi 1. Tujuan... 4

Lebih terperinci

LAPORAN LAYANAN INFORMASI PUBLIK KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN Daerah Istimewa Yogyakarta

LAPORAN LAYANAN INFORMASI PUBLIK KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN Daerah Istimewa Yogyakarta LAPORAN LAYANAN INFORMASI PUBLIK KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2016 Daerah Istimewa Yogyakarta Komisi Pemilihan Umum Daerah Istimewa Yogyakarta Jalan Aipda Tut Harsono No. 47,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa air minum

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 02 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 02 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 02 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DEPOK,

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan gambaran pelaksanaan UU KIP oleh Pemkab Kediri selama

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan gambaran pelaksanaan UU KIP oleh Pemkab Kediri selama BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan gambaran pelaksanaan UU KIP oleh Pemkab Kediri selama tahun 2008-2013 yang telah diuraikan sebelumnya bisa disimpulkan bahwa pelaksanaan UU KIP pada badan publik

Lebih terperinci

KRITERIA COMMUNITY DEVELOPMENT

KRITERIA COMMUNITY DEVELOPMENT KRITERIA COMMUNITY DEVELOPMENT COMMUNITY DEVELOPMENT Kebijakan Community Development 1. Terdapat kebijakan tertulis mengenai pengembangan masyarakat di unit yang dinilai (2) 2. Terdapat sistem tata kelola

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sejarah Singkat Badan Pertanahan Nasional Provinsi Lampung

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sejarah Singkat Badan Pertanahan Nasional Provinsi Lampung 24 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Sejarah Singkat Badan Pertanahan Nasional Provinsi Lampung Badan Pertanahan Nasional adalah suatu lembaga Pemerintah

Lebih terperinci

Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyerasikan dan mensinergikan

Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyerasikan dan mensinergikan GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2H TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN BUPATI BANTUL NOMOR 107 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN BUPATI BANTUL NOMOR 107 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TENTANG PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH, SEKRETARIAT, DAN KELOMPOK KERJA PENATAAN RUANG DAERAH Menimbang : a. bahwa dalam rangka perencanaan,

Lebih terperinci

LAPORAN PELAYANAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI TAHUN 2012

LAPORAN PELAYANAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI TAHUN 2012 LAPORAN PELAYANAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI TAHUN 2012 PPID Kementerian PPN/Bappenas Maret 2013 LAPORAN PELAYANAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS TAHUN 2012 1. PENINGKATAN KETERBUKAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH KOTA PROBOLINGGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG 1 BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN PENETAPAN JUMLAH KURSI DAN DAERAH PEMILIHAN PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPRD

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA DINAS PENATAAN RUANG DAN PERMUKIMAN Jl. Willem Iskandar No. 9 Telepon : (061) M E D A N

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA DINAS PENATAAN RUANG DAN PERMUKIMAN Jl. Willem Iskandar No. 9 Telepon : (061) M E D A N PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA DINAS PENATAAN RUANG DAN PERMUKIMAN Jl. Willem Iskandar No. 9 Telepon : (061) 6619431 6623480 M E D A N - 20222 PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 50 TAHUN 2009 TENTANG

Lebih terperinci

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 49/Menhut-II/2008 TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR. TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR. TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR. TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

LAYANAN INFORMASI PUBLIK

LAYANAN INFORMASI PUBLIK Laporan Tahunan LAYANAN INFORMASI PUBLIK 1 Gambaran Umum Kebijakan Pelayanan Informasi Publik di Badan POM 2 Gambaran Umum Pelaksanaan Pelayanan Informasi Publik 3 Rincian Pelayanan Informasi Publik di

Lebih terperinci

PANDUAN EVALUASI KINERJA BAP PAUD DAN PNF

PANDUAN EVALUASI KINERJA BAP PAUD DAN PNF PANDUAN EVALUASI KINERJA BAP PAUD DAN PNF BADAN AKREDITASI NASIONAL PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DAN PENDIDIKAN NON FORMAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2017 KATA PENGANTAR Undang-Undang Republik

Lebih terperinci

TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.340, 2015 DJSN. Informasi Publik. Pelayanan. PERATURAN DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN DEWAN JAMINAN

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 93 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS LINGKUNGAN HIDUP

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2012 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2012 TENTANG SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI

Lebih terperinci

2013, No BAB I PENDAHULUAN

2013, No BAB I PENDAHULUAN 2013, No.233 6 LAMPIRAN PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN ARSIP ELEKTRONIK BAB I PENDAHULUAN A. Umum Kemajuan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. terdahulu, dapat diambil kesimpulan-kesimpulan selama penelitian dilakukan.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. terdahulu, dapat diambil kesimpulan-kesimpulan selama penelitian dilakukan. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah disampaikan pada bab-bab terdahulu, dapat diambil kesimpulan-kesimpulan selama penelitian dilakukan. Efektivitas strategi

Lebih terperinci

BUPATI GAYO LUES PROVINSI ACEH

BUPATI GAYO LUES PROVINSI ACEH 1 BUPATI GAYO LUES PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI GAYO LUES NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DALAM KABUPATEN GAYO LUES BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH

Lebih terperinci

Rapat Persiapan Monev PPID Tahun 2018

Rapat Persiapan Monev PPID Tahun 2018 disajikan pada Rapat Persiapan Monev PPID Tahun 2018 Temanggung, 9 dan 10 April 2018 Prinsip-prinsip dalam penyusunan Daftar Informasi Publik adalah: 1. Setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat

Lebih terperinci

PROSES REGULASI PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN/KOTA (PERDA RTRWK)

PROSES REGULASI PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN/KOTA (PERDA RTRWK) PROSES REGULASI PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN/KOTA (PERDA RTRWK) Disampaikan oleh : Dr. H. Sjofjan Bakar, MSc Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup Pada Acara

Lebih terperinci

Sekretariat Jenderal KATA PENGANTAR

Sekretariat Jenderal KATA PENGANTAR RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) SEKRETARIAT JENDERAL 2014 KATA PENGANTAR Sesuai dengan INPRES Nomor 7 Tahun 1999, tentang Akuntabilits Kinerja Instansi Pemerintah yang mewajibkan kepada setiap instansi pemerintah

Lebih terperinci

2016, No informasi geospasial dengan melibatkan seluruh unit yang mengelola informasi geospasial; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

2016, No informasi geospasial dengan melibatkan seluruh unit yang mengelola informasi geospasial; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.429, 2016 KEMEN-LHK. Jaringan Informasi Geospasial. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.28/Menlhk/Setjen/KUM.1/2/2016

Lebih terperinci

PEDOMAN TATA KERJA BKPRD PROVINSI SUMATERA SELATAN

PEDOMAN TATA KERJA BKPRD PROVINSI SUMATERA SELATAN PEDOMAN TATA KERJA BKPRD PROVINSI SUMATERA SELATAN LATAR BELAKANG BKPRD merupakan lembaga ad-hoc lintas sektor yang dibentuk sebagai respon atas kebutuhan berbagai instansi pemerintah dalam menangani masalah

Lebih terperinci

Peraturan Perundangan. Pasal 33 ayat 3 UUD Pasal 4 UU 41/1999 Tentang Kehutanan. Pasal 8 Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung

Peraturan Perundangan. Pasal 33 ayat 3 UUD Pasal 4 UU 41/1999 Tentang Kehutanan. Pasal 8 Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung LAMPIRAN 129 130 Lampiran 1. Peraturan Perundanga Undangan Aspek Hak Kepemilikan Terhadap Kawasan HLGD Pemantapan dan Penetapan Peraturan Perundangan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 Pasal 4 UU 41/1999 Tentang

Lebih terperinci

Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH KABUPATEN CILACAP BABI KETENTUAN UMUM.

Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH KABUPATEN CILACAP BABI KETENTUAN UMUM. BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR - TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH KABUPATEN CILACAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2017 KEMEN-LHK. Pengelolaan Pengaduan Dugaan Pencemaran. Perusakan Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan Hutan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN

Lebih terperinci

LIMA TAHUN PEMBERLAKUAN UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK:

LIMA TAHUN PEMBERLAKUAN UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK: Kertas Posisi LIMA TAHUN PEMBERLAKUAN UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK: Buka Informasi, Selamatkan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam! Disusun oleh: ICEL, Seknas FITRA, IPC, JARI Kalteng, JARI Borneo,

Lebih terperinci

2013, No

2013, No 2013, No.834 8 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK

Lebih terperinci

LAYANAN UTAMA DAN LAYANAN PENDUKUNG. Untuk Rancangan Lampiran RPP-PUPK

LAYANAN UTAMA DAN LAYANAN PENDUKUNG. Untuk Rancangan Lampiran RPP-PUPK LAYANAN UTAMA DAN LAYANAN Untuk Rancangan Lampiran RPP-PUPK LATAR BELAKANG Konsideran UU 23/ 2014 : Huruf b.: bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

Lebih terperinci

Forest Tenure. Jaminan Hukum Umum Prinsip Kriteria Indikator Elemen Kualitas PJaminan Hukum Umum yang mengakomodasi Tata Kelola Pemerintah yang Baik.

Forest Tenure. Jaminan Hukum Umum Prinsip Kriteria Indikator Elemen Kualitas PJaminan Hukum Umum yang mengakomodasi Tata Kelola Pemerintah yang Baik. Forest Tenure Jaminan Hukum Umum PJaminan Hukum Umum yang mengakomodasi Tata Kelola Pemerintah yang Baik. Peraturan menjamin transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan kordinasi #1 jaminan hukum memandatkan

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fungsi yang sangat signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan tidak bisa digantikan

BAB I PENDAHULUAN. fungsi yang sangat signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan tidak bisa digantikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perbaikan pelayanan birokrasi perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah tidak bisa dipisahkan dari konteks reformasi birokrasi. Institusi birokrasi memiliki peran

Lebih terperinci

- 308 - I. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1.

- 308 - I. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. - 308 - I. PEMBAGIAN URUSAN AN PERTANAHAN SUB 1. Izin Lokasi 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria izin lokasi. 2.a. Pemberian izin lokasi lintas provinsi. b.

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 59 TAHUN 2016

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 59 TAHUN 2016 SALINAN BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN BLITAR

Lebih terperinci

2014, No.31 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL. BAB I K

2014, No.31 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL. BAB I K No.31, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA WILAYAH. Geospasial. Informasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5502) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Mendorong Partisipasi dan Akuntabilitas melalui UU KIP

Mendorong Partisipasi dan Akuntabilitas melalui UU KIP Mendorong Partisipasi dan Akuntabilitas melalui UU KIP Alamsyah Saragih Sentul, Juli 2011 Good Governance Pemerintahan yang baik dapat memenuhi tiga hak politik warga: Warga dapat mengetahui proses pengambilan

Lebih terperinci

I. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1.

I. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. - 235 - I. PEMBAGIAN URUSAN AN PERTANAHAN SUB 1. Izin Lokasi 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria izin lokasi. 2.a. Pemberian izin lokasi lintas provinsi. b.

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN. Overview ANALISIS EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK. Oleh:

PUSANEV_BPHN. Overview ANALISIS EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK. Oleh: Overview ANALISIS EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK Oleh: Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan

Lebih terperinci