BAB II KAJIAN TEORI. pemerintah yang bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Besar Bahasa Indonesia, 2007 : 886). Polisi adalah anggota badan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN TEORI. pemerintah yang bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Besar Bahasa Indonesia, 2007 : 886). Polisi adalah anggota badan"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan tentang Polisi 1. Pengertian Polisi Polisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai badan pemerintah yang bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban (menangkap dan melanggar Undang-Undang dan sebagainya). (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007 : 886). Polisi adalah anggota badan pemerintah yang bertugas dan memelihara keamanan dan ketertiban umum. Namun, kata polisi dapat merujuk kepada salah satu dari tiga hal, yaitu orang, institusi (lembaga), atau fungsi. Polisi yang bermakna institusi biasa kita sebut kepolisian. Contohnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri, dan Kepolisian Daerah atau Polda. (Erma Yulihastin, 2008 : 3). Polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat (Satjipto Rahardjo, 2009 : 111), selanjutnya Satjipto Rahardjo yang mengutip pendapat Bitner menyebutkan bahwa apabila hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, diantaranya melawan kejahatan. Akhirnya polisi yang menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakan ketertiban (Satjipto Rahardjo, 2009 : 117). Menurut Charles Reith yang dikutip Djoko Prakoso, polisi adalah suatu kekuatan untuk mengawasi masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan yang telah 19

2 20 disepakati guna tercapainya keadaan yang tertib dan aman dalam kehidupan bersama (Djoko Prakoso, 1987: 165). Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 juga dijelaskan bahwa polisi merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Berdasar uraian tersebut di atas dapat dikemukakan pengertian dari polisi adalah badan pemerintah yang bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta mengawasi keadaan masyarakat. Di samping itu, polisi juga melindungi, mengayomi, dan memberi pelayanan kepada masyarakat. 2. Tugas Polisi Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia). Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 diatas, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas: a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

3 21 c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangundangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia). 3. Wewenang Polisi Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia di atas, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a. menerima laporan dan/atau pengaduan; b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

4 22 e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti; j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu (Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia). Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia seperti yang telah diuraikan di atas, di bidang proses pidana Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan; i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

5 23 k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab (Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia). Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l di atas adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut: a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia (Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia). B. Tinjauan tentang Penanggulangan terhadap Tindak Pidana oleh Polisi 1. Pengertian Penanggulangan Tindak Pidana Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia penanggulangan memiliki arti suatu tindakan yang dilakukan untuk mengatasi dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007 : 1138). Di lingkungan Polri istilah penanggulangan diartikan sebagai salah satu usaha, tindakan dan kegiatan untuk mencegah dan menindak suatu kejahatan dan pelanggaran serta untuk memelihara dan meningkatkan pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Penanggulangan meliputi dua usaha yaitu usaha pencegahan dan usaha penindakan. Dengan demikian

6 24 penanggulangan yang dimaksudkan melaksanakan segala kegiatan tindakan dan pekerjaan baik yang menyangkut segi preventif maupun represif dalam upaya meniadakan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. (Nurdjana, 2009 : 28). Tindak pidana adalah peristiwa pidana. Peristiwa pidana adalah suatu kejadian yang mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga siapa yang menimbulkan peristiwa itu dapat diketahui sanksi pidana (hukuman). (Yulies Tiena Masriani, 2004 : 62) Menurut Apeldoorn, peristiwa pidana adalah sesuatu yang dapat dikenakan hukuman menurut hukum negeri Belanda, hanyalah tindakantindakan (handelingen) yang oleh Undang-Undang dengan tegas dinyatakan dapat dikenakan hukuman. Namun, karena kita berada di wilayah Negara Indonesia maka segala tingkah laku harus disesuaikan dengan hukum yang berlaku. Sesuatu hanya dapat dikenai hukuman, jika tindakan itu didahului oleh ancaman hukuman dalam Undang-Undang. (Van Apeldoorn, 2005 : 324). Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). (Barda Nawawi Arief, 2011 : 28) Menurut G. P Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

7 25 a. Penerapan hukum pidana (criminal law a application); b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan. Dengan demikian, upaya penanggulangan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal (bukan/di luar hukum pidana). Dalam pembagian G. P Hoefnagels di atas, upaya-upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non penal. Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventive (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. (Barda Nawawi Arief, 2011 : 45 46) Dari pengertian-pengertian tersebut yang dimaksud dengan penanggulangan adalah usaha mengatasi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi secara penal yaitu repressive (menindak) dan secara non penal yaitu preventif (pencegahan). Dan tindak pidana sendiri adalah peristiwa pidana. Jadi yang dimaksud dengan penanggulangan tindak pidana adalah usaha untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan menindak dan mencegah suatu peristiwa pidana. 2. Tindakan Preventif dan Represif terhadap Tindak Pidana oleh Polisi a. Tindakan Preventif Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali dari seluruh sektor kebijakan sosial. Sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktorfaktor kondusif ini antara lain bermuara pada kondisi-kondisi sosial yang

8 26 secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan terjadinya kejahatan (Nandang Sambas, 2013 : 44) Pencegahan diperluas mencakup lembaga-lembaga dan individuindividu di luar sistem peradilan pidana. Upaya non penal atau preventif memfokuskan pada campur tangan sosial, ekonomi, dan berbagai area kebijakan publik dengan maksud mencegah terjadinya kejahatan sebelum terjadi. Bentuk lain dari keterlibatan masyarakat tampak dari upaya pencegahan kejahatan yang terfokus pada akar kejahatan, atau pencegahan situasional dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam penggunaan sarana kontrol sosial informal (Nandang Sambas, 2013 : 46) Penggarapan masalah mental health (kesehatan mental), national mental health (kesehatan mental diri), dan child welfare (yang dikemukakan oleh Hoefnagels merupakan salah satu jalur prevention (of crime) withouth Punishment (jalur non penal ). Menurut Prof. Soedarto yang dikutip Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa kegiatan Karang Taruna, kegiatan Pramuka, dan penggarapan kegiatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama merupakan upaya-upaya non penal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan. Dengan pendidikan dan penyuluhan keagamaan yang efektif, tidak hanya diharapkan terbinanya pribadi manusia yang sehat jiwa/rohaninya tetapi juga terbinanya keluarga yang sehat dan lingkungan sosial yang sehat. Pembinaan dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat memang tidak berarti semata-mata kesehatan

9 27 rohani/mental, tetapi juga kesehatan budaya dan nilai-nilai pendangan hidup kemasyarakatan (Barda Nawawi Arief, 2011 : 50 & 51). Dari beberapa pengertian di atas yang dimaksud dengan tindakan preventif adalah tindakan pencegahan yang mencakup kegiatan sosial yang ada dalam lingkungan masyarakat, kegiatan pendidikan dan keagamaan agar tidak menimbulkan kejahatan. Selain itu, untuk menciptakan jiwa/rohani seseorang yang sehat, serta keluarga dan lingkungan yang sehat. b. Tindakan Represif Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan represif adalah suatu usaha yang bersifat represi (menekan, mengekang, menahan, atau menindas) dan bersifat menyembuhkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007 : 890). Dari pengertian tersebut, yang dimaksud represif adalah suatu tindakan yang menekan, menindak, menahan, atau menindak suatu peristiwa. Adapun tindakan represif yang dilakukan oleh pihak kepolisian adalah : 1) Penyelidikan Di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan. Dari pengertian ini dapat dimengerti bahwa fokus tujuan penelitian adalah

10 28 untuk mengumpulkan bukti-bukti atau permulaan untuk menentukan secara hukum telah ditemukan bukti yang cukup ke arah tindakan penyidikan. Akibat tercapainya tujuan penyelidikan itu, maka tahap selanjutnya dalam penyidikan akan menjadi lebih mudah membuktikannya karena sudah adanya dasar hukum yang kuat dari temuan itu (Nikolas Simanjuntak, 2009 : 50-51). Dari pengertian tersebut yang dimaksud dengan penyelidikan adalah tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap sebagai tindak pidana. Hal itu sebagai permulaan untuk ditentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan KUHAP. Jika dihubungkan dengan teori hukum acara pidana seperti yang dikemukakan Van Bemmelen maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dari tujuh tahap hukum acara pidana, yang berarti mencari kebenaran (Andi Hamzah, 1985 : ). Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa penyelidikan ini dilakukan oleh penyelidik. Sesuai Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Pasal 4 yang dimaksud dengan penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa polisi adalah penyelidik tunggal karena tidak ada pejabat lain yang ditunjuk KUHAP sebagai penyelidik selain polisi. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang untuk: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana

11 29 b. Mencari keterangan dan barang bukti c. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri d. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab (Pasal 5 ayat (1) a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa: a. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; b. pemeriksaan dan penyitaan surat; c. mengambil sidik jari dan memotret seorang; d. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik (Pasal 5 ayat (1) b Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. Dalam hal tertangkap tangan, tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangkan penyelidikan. (Anang Priyanto, 2012 : 14) Terhadap semua tindakan yang dilakukan seperti tersebut di atas, penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum (Pasal 102 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

12 30 Pidana). Kemudian laporan atau pengaduan yang diajukan kepada penyelidik secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu. Apabila pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut. (Pasal 103 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda pengenalnya, serta di bawah koordinasi, pengawas dan petunjuk Polri (Pasal 104 dan 105 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Hasil penyelidikan wajib diserahkan oleh penyelidik kepada penyidik (Polri) untuk melakukan penyidikan. 3) Penyidikan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Kesejajaran makna penyidikan dengan penyelidikan masih tampak tetapi titik beratnya sudah berbeda. Mencari di dalam penyelidikan bertujuan supaya menemukan yang kemudian menjadi mengumpulkan di dalam penyidikan, karena sudah ada ditemukan, tetapi belum terkumpul.

13 31 Untuk itu, berarti penyelidik tidak ditugaskan mengumpulkan tetapi dia sudah tahu itu ada. Walau mungkin masih tercerai berai, tentu saja mengumpul itu bisa dan baik dilakukan, walau bukan yang utama. Sasaran temuan penyelidik adalah dugaan delik telah meningkat menjadi terang, ada delik dan tersangka dalam penyelidikan. Terang, karena sudah terkumpul bukti kualitas hukum yang sebelumnya dalam penyelidikan masih sedang dicari-cari (Nikolas Simanjuntak, 2009 :52). Yang dimaksud dengan penyidikan dari pengertian di atas adalah tindakan yang dilakukan penyidik sesuai dengan KUHP untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang tercerai berai, agar bukti tindak pidana menjadi terang. Guna menemukan tersangkanya sesuai dengan bukti yang ada. Dapat dikatakan bahwa penyidikan merupakan tindak lanjut setelah tahap penyelidikan. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat polisi negara atau pejabat pegawai negeri sispil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Dalam pelaksanaanya lebih lanjut ditetapkan syarat kepangkatan penyidik sebagai berikut:

14 32 a. pejabat polisi negara Republik Indonesia. Untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, calon harus memenuhi persyaratan: 1) berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara; 2) bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun; 3) mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal; 4) sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan 5) memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi. (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo Pasal 2A ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). b. pejabat pegawai negeri sipil. Untuk dapat diangkat sebagai pejabat PPNS, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua) tahun; 2) berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a; 3) berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara; 4) bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum; 5) sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah; 6) setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai negeri sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo Pasal 3A ayat

15 33 (1) Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penyidik sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas (penyidik polisi) ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 2A ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), sedangkan penyidik sebagaimana dimaksud dalam huruf b di atas (penyidik PNS) diangkat oleh Menteri atas usul dari pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pegawai negeri sipil tersebut Indonesia (Pasal 3C ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Ketika penyidik polisi mulai melakukan penyidikan pada suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. (Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Namun, apabila penyidik melakukan penghentian penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti dan ternyata peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum maka ia harus memberitahukan hal itu kepada penyidik penuntut umum, tersangka, dan keluarganya (Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

16 34 Di samping penyidik, ada penyidik pembantu yang mempunyai wewenang sama dengan penyidik, kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Pelimpahan wewenang penahanan kepada penyidik pembantu hanya diberikan apabila perintah dari penyidik tidak dimungkinkan karena hal dan dalam keadaan yang sangat diperlukan atau di mana terdapat hambatan perhubungan di daerah terpencil atau tempat yang belum ada petugas penyidik atau dalam hal lain yang dapat diterima menurut kewajaran. (Pasal 11 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi; 2) mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal; 3) bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun; 4) sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan 5) memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi (Pasal 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana jo. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penyidik pembantu diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing (Pasal 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang

17 35 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Keberadaan penyidik pembantu adalah untuk mengatasi hambatan penyelesaian penyidikan, karena tidak semua tempat yang ada di Indonesia terutama daerahdaerah terpencil mempunyai penyidik yang memenuhi syarat kepangkatan sebagai penyidik. Penyidik Polri karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagai berikut: a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Dengan demikian tugas-tugas penyidikan saat ini (berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dimonopoli oleh pejabat kepolisian, kecuali terhadap tindak pidana khusus seperti yang diatur dalam Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

18 36 Undang Hukum Acara Pidana sebagai ketentuan peralihan (Anang Priyanto, 2012: 18). Acara penyidikan atau proses jalannya pemeriksaan penyidikan adalah sebagai berikut: a. Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan (Pasal 106 Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu (Pasal 108 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Namun apabila laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik (Pasal 108 ayat (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan (Pasal 108 ayat (6) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana)

19 37 b. Setelah menerima penyerahan tersangka yang tertangkap tangan, penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan (Pasal 111 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) c. Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ke tempat kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di situ belum selesai (Pasal 111 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana). Terhadap pelanggar larangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan dimaksud di atas selesai (Pasal 111 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana). d. Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum (Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). e. Apabila penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi

20 38 hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya (Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). f. Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum (Pasal 110 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik (Pasal 110 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana). g. Dalam melakukan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang, dan mengindahkan ketentuan bahwa tiada seorang pun yang dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal menurut cara- cara yang diatur dengan undang-

21 39 undang (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Bahkan juga harus mengindahkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/ atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik yang sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana meliputi sebagai berikut: 1) Penangkapan Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 angka 20 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan (Pasal 16 ayat (2) Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti

22 40 permulaan yang cukup (Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Hal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana (Anang Priyanto, 2012: 21). Dalam hal penangkapan biasa, penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa (Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Surat perintah penangkapan dikeluarkan oleh pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang berwenang dalam melakukan penyidikan di daerah hukumnya. Segera setelah penangkapan dilakukan, tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya (Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Dalam hal tertangkap tangan, maka siapa saja berhak menangkap dengan tanpa surat perintah dan harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang buktinya kepada penyidik atau penyidik pembantu. Yang wajib menangkap tersangka dalam

23 41 hal tertangkap tangan adalah setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum untuk diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik (Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Yang dimaksud dengan tertangkap tangan di atas adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu (Pasal 1 angka 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Lamanya penangkapan maksimum satu hari, artinya 1x24 jam. Bagi tersangka yang melakukan pelanggaran tidak boleh dilakukan penangkapan sebelum dua kali berturut-turut dipanggil secara sah dan tersangka tidak mau hadir tanpa alasan yang jelas. (Pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

24 42 2) Penahanan Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 angka 21 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Berdasarkan pengertian diatas maka yang berwenang melakukan penangkapan ialah penyidik atau penyidik pembantu untuk kepentingan penyidikan, penuntut umum untuk kepentingan penuntutan, dan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya untuk kepentingan pemeriksaan (Pasal 20 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Untuk melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa harus dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut: a) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana). Syarat ini sifatnya sangat subjektif, sebab kata kekhawatiran dari pejabat sulit untuk

25 43 mengukurnya, sehingga keadaan ini dapat dikatakan bertitik tolak dari penilaian subjektif. Oleh karena itulah syarat penahanan ini dapat dikatakan sebagai syarat subjektif utuk penahanan (Bambang Poernomo, 1985: 17). b) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan (Pasal 21 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim harus diberikan kepada keluarganya (Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana). Syarat ini disebut sebagai syarat kelengkapan formal, karena keharusan adanya surat perintah penahanan (Bambang Poernomo, 1985: 17-18). c) Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

26 44 Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086) (Pasal 21 ayat (4) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Syarat ini dinamakan sebagai syarat objektif penahanan. Mengenai penahanan terhadap tersangka maupun terdakwa, dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana dikenal adanya tiga jenis penahanan yaitu: a) Penahanan rumah tahanan negara b) Penahanan rumah Penahanan rumah adalah penahanan yang dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa

27 45 dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). c) Penahanan kota Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan (Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Dari ketiga jenis penahanan di atas, jenis penahanan yang satu dapat dialihkan kepada jenis penahanan yang lain. Wewenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain ini ada pada penyidik atau penuntut umum atau hakim. Pengalisan jenis penahanan ini dinyatakan secara tersendiri dengan perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim dan tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa dan keluarganya serta instansi yang berkepentingan (Pasal 23 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik hanya berlaku paling lama dua puluh hari. Apabila diperlukan guna

28 46 kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari. Perpanjangan penahanan itu hanya dapat diberikan oleh penuntut umum atas dasar alasan yang kuat dan melampirkan resume hasil pemeriksaan sementara yang dilakukan oleh penyidik kepadanya. Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dan tahanan demi hukum (Pasal 24 ayat (1), (2) dan (4) Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Terdapat pengecualian terhadap ketentuan jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut di atas. Guna kepentingan guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih (Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana). 3) Penggeledahan Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau

29 47 penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam KUHAP (Pasal 32 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup Iainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 angka 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), sedangkan penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita (Pasal 1 angka 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Dalam melakukan penggeledahan rumah, harus dipenuhi syarat sebagai berikut: a) Dengan surat izin ketua Pengadilan Negeri b) Disaksikan oleh dua orang saksi. Yang dimaksud dua orang saksi adalah warga dari lingkungan yang bersangkutan. c) Harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan apabila tersangka atau penghuni rumah menolak. Yang dimaksud dengan ketua lingkungan adalah ketua atau wakil ketua rukun kampung, ketua atau wakil rukun tetangga, ketua atau wakil

30 48 rukun warga, ketua atau wakil lembaga yang sederajat. (Anang Priyanto, 2012 : 30) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas, penyidik dapat melakukan penggeledahan (Pasal 34 Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana): a) Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya; b) Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam; c) Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya. d) Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya. Penyidik dalam melakukan penggeledahan seperti dimaksud di atas penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh

31 49 persetujuannya. Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki: ruang di mana sedang berlangsung sidang MPR, DPR, dan DPRD; ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan. (Anang Priyanto, 2012 : 33) Apabila penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam pasal 33 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana seperti yang telah diuraikan di atas, maka penggeledahan harus diketahui oleh kepala Pengadilan Negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana penggeledahan itu dilakukan (Pasal 36 Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). 4) Penyitaan Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan (Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat (Pasal 38 ayat (1) Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

32 50 Acara Pidana), namun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) di atas, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya (Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Benda-benda yang dapat dikenai penyitaan adalah bendabenda sebagai berikut: a) benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana; b) benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c) benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d) benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e) benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan (Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Sepanjang memenuhi Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas, benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan,

33 51 penuntutan dan mengadili perkara pidana (Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Sedangakan dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti (Pasal 40 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara. Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga (Pasal 44 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Apabila benda sitaan terdiri atas benda yang mudah rusak atau membahayakan, sehingga tidak mungkin disimpan sampai adanya putusan pengadilan, perkara yang bersangkutan tetap memiliki kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan terlalu tinggi, maka dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan: a) Apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan

34 52 oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya; b) Apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual yang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya (Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Hasil pelelangan benda yang bersangkutan berupa uang dipakai sebagai barang bukti (Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Sedangkan benda sitaan yang terlarang atau dilarang diedarkan dirampas untuk digunakan bagi kepentingan negara atau dimusnahkan (Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila: a) Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; b) Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; c) Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu

35 53 diperoleh dan suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana (Pasal 46 ayat(1) Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagal barang bukti dalam perkara lain (Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). 5) Pemeriksaan Surat Dalam hal pemeriksaan surat, penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri (Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Untuk kepentingan tersebut diatas penyidik dapat meminta kepada kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan, atau perusahaan

36 54 komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat yan dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan (Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutanya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal danpadanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersaugkutan, harus diberikan surat tanda penenimaan (Pasal 41 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Untuk kepentingan pemeriksaan, penyidik dapat memerintahkan kepada orang yang mengenal surat atau tulisan lain, apabila surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau apabila surat atau tulisan tersebut merupakah alat untuk melakukan tindak pidana (Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

37 55 Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara (Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Namun apabila sesudah diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi "telah dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tandatangan beserta identitas penyidik (Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses pengadilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang dikembalikan itu (Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penyidik membuat berita acara tentang tindakannya melakukan pemeriksaan surat tersebut dan turunan berita acaranya tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahan telekomunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan (Pasal 49 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

BAB II KAJIAN TEORI. A. Tinjauan tentang Polisi. 1. Pengertian Polisi. Menurut M.Karjadi polisi adalah kontrol yang artinya

BAB II KAJIAN TEORI. A. Tinjauan tentang Polisi. 1. Pengertian Polisi. Menurut M.Karjadi polisi adalah kontrol yang artinya 20 BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan tentang Polisi 1. Pengertian Polisi Menurut M.Karjadi polisi adalah kontrol yang artinya pengawasan dan pengadilan terhadap sesuatu yang tidak beres, menurutnya dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 Bab I Ketentuan Umum Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang Bab III Dasar Peradilan Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kesatu:

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa keamanan dalam negeri

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG ADMINISTRASI PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Lebih terperinci

C. Penggeledahan Definisi Penggeledahan rumah penggeledahan badan Tujuan Pejabat yang berwenang melakukan penggeledahan Tata cara penggeledahan

C. Penggeledahan Definisi Penggeledahan rumah penggeledahan badan Tujuan Pejabat yang berwenang melakukan penggeledahan Tata cara penggeledahan C. Penggeledahan Definisi Menurut M. Yahya Harahap, penggeledahan yaitu adanya seorang atau beberapa orang petugas mendatangi dan menyuruh berdiri seseorang, kemudian petugas memeriksa segala sudut rumah

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM

Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kedua, Penyidikan Oleh Kepolisian RI 3.2 Penyidikan Oleh Kepolisian RI 3.2.1 Penyelidikan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL GUBERNUR

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 28-1997 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 2, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

-1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

-1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG -1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 58 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERIN TAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepolisian Republik Indonesia 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan

Lebih terperinci

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 Bab I Ketentuan Umum Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang Bab III Dasar Peradilan Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kesatu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 butir 1 Undang-Undang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 butir 1 Undang-Undang BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinajuan tentang Kepolisian 1. Pengertian Polisi Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai

Lebih terperinci

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BUTON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan

Lebih terperinci

PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA METRO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penegakan atas

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA PERIKANAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 7 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANJUNGPINANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, Menimang : a. b. bahwa dalam upaya penegakan Peraturan Daerah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. WALIKOTA

Lebih terperinci

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, WALIKOTA MADIUN PROPINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MADIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia Oleh : Iman Hidayat, SH.MH Abstrak Fungsi penegakan hukum dalam rangka menjamin keamanan, ketertiban dan HAM. Dalam rangka

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan: 1.Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Ta

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Ta No.407, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENATR/BPN. PPNS. Penataan Ruang. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Intelijen dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Intelijen dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Intelijen Intelijen dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan langsung dari Intelligence dalam bahasa Inggris yang berarti kemampuan berpikir/analisa manusia. Mudahnya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 SERI E =============================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pelaksanaan mekanisme pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pelaksanaan mekanisme pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pelaksanaan Mekanisme Pengangkatan Pelaksanaan mekanisme pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilakukan sebagai berikut, yaitu: a. Pengusulan pengangkatan Penyidik

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013 SALINAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT Menimbang : a. Mengingat : 1. BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA

BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA A. Peraturan Perundang-undangan Yang Dapat Dijadikan Penyidik Sebagai Dasar Hukum Untuk Melakukan Penanganan Tempat

Lebih terperinci

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG S A L I N A N BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 12 BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 2.1. Pengaturan Alat Bukti Dalam KUHAP Alat bukti merupakan satu hal yang mutlak adanya dalam suatu persidangan. Macam-macam

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 3 2013 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 Draft Final 14 Desember 2011 Jam 15.00 WIB RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2011 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KOTA PEKALONGAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KOTA PEKALONGAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KOTA PEKALONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa keberadaan dan peranan Penyidik Pegawai

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam upaya

Lebih terperinci

TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penegakan hukum di

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-Ol.Hl.07.02 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN MANAJEMEN PENYIDIKAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG

PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG QANUN KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DILINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN

Lebih terperinci

2 perpajakan yang terkait dengan Bea Meterai telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai; e. bahwa ketentuan mengenai tin

2 perpajakan yang terkait dengan Bea Meterai telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai; e. bahwa ketentuan mengenai tin No.1951. 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Pemeriksaan. Bulat Permukaan. Tindak Pidana Perpajakan. Pencabutan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239 /PMK.03/2014 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Bab I Ketentuan Umum Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang Bab III Dasar Peradilan Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum

Lebih terperinci

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL SALINAN BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN Peraturan Peraturan Menteri Keuangan - 239/PMK.03/2014, 22 Des 2014 PencarianPeraturan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM Oleh : Sumaidi ABSTRAK Penyitaan merupakan tindakan paksa yang dilegitimasi (dibenarkan) oleh undang-undang atau dihalalkan oleh hukum,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 3 TAHUN 2008

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset hasil tindak

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci