FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009"

Transkripsi

1 ANALISIS TERHADAP UNSUR-UNSUR DARI SUATU PERCOBAAN MELAKUKAN KEJAHATAN/ POGING ( STUDI KASUS PUTUSAN PN TANJUNG BALAI KARIMUN No. 135/PID.B/2008/PN.TBK) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : BOB SADIWIJAYA NIM DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

2 ANALISIS TERHADAP UNSUR-UNSUR DARI SUATU PERCOBAAN MELAKUKAN KEJAHATAN/ POGING ( STUDI KASUS PUTUSAN PN TANJUNG BALAI KARIMUN No. 135/PID.B/2008/PN.TBK) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : BOB SADIWIJAYA NIM DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh : Ketua Departemen Hukum Pidana (Abul Khair, SH, M.Hum) NIP Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum. Nurmalawaty, S.H., M.Hum NIP NIP FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

3 KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan segala puji dan syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas berkat yang telah diberikan serta hikmat dan kebijaksanaan serta kekuatan lahir bathin kepada penulis dapat mengikuti dan menyelesaikan perkuliahan serta menyusun skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan kewajiban bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan hormat kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Syafruddin, S.H., M.Hum., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak M. Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 5. Bapak Abul Khair, S.H., M. Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4 6. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I, yang telah banyak memberikan bimbingan serta masukan bagi penulis dalam proses menyelesaikan skripsi ini. 7. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, yangt telah banyak memberikan bimbingan serta masukan bagi penulis dalam proses menyelesaikan skripsi ini. 8. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 9. Orang tua saya yang tercinta, Ayahanda Fahuwusa Laia, S.H., M.H., dan Ibunda Nur Asna Larosa yang telah mendorong penulis untuk menyelesaikan perkuliahan dan membimbing penulis untuk melakukan penyusunan skripsi ini hingga selesai. 10. Saudara-saudara saya yang terkasih: Abangnda Filpan Fajar Dermawan Laia,S.H.; Kakaknda Megaria Keristiana Laia, S.S.T.P., M.Si.; Abangnda B.A.S. Faomasi Jaya Laia, S.H., dan Abangnda Agung Cory Fondara Dodo Laia, yang telah memberi semangat dan dukungan serta doanya dalam menyelsaikan perkuliahan ini. 11. Sepupuku Kak Kening, Bang Ucok, Bang Darta, Kak Yuli, Bang arif (A. Singgih), Bang Edwin, dan seluruh sepupuku yang tak dapat disebut satu per satu, terima kasih atas doa dan bantuannya. 12. Teman-temanku yang tergabung dalam Gank Rose (Renhard, Firdaus, Martina, Indah Tompul, Indah Siahaan, Adelina, Puteq), terima kasih

5 atas doa dan bantuannya serta persahabatan yang telah kita jalani dari awal perkuliahan tahun Teman-Temanku yang tergabung dalam IMH (Ikatan Mahasiswa/ mahasiswi Hukum): Jona, Diki, Yanri, Ai, Wesi, Radith, Duma, Bulek, Rika, Juita, Eta, Dini, Pepep, Tika, dan juga SEGI. Terima kasi buat dukungannya dan doanya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas persahabatan kita yang kita jalani walaupun itu rasanya sangat sebentar dan aku berharap kita semuannya tidak lupa dengan MOTO dari IMH. 14. Rekan-rekan GMNI Komisariat Fakultas Hukum, tetaplah berjuang untuk mewujudkan visi dan misi dari GMNI. Terima kasih atas dukungannya dalam perkuliahan saya. 15. Seluruh pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih banyak atas dukungan kalian semua. Penulis menyadari sebagai seorang pemula dalam penulisan suatu karya ilmiah masih mempunyai banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan baik dalam isi, penyusunan kalimat, maka penulis mengharapkan kritik dan saran agar penulis dapat membuat karya ilmiah yang lebih sempurna kemudian. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa kiranya memberi perlindungan, petunjuk, dan anugerah-

6 Nya bagi kita sekalian dalam kehidupan kita sehari-hari di dalam mengemban tugas yang akan datang. Medan, Februari 2009 Penulis BOB SADIWIJAYA

7 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... i v ABSTRAKSI... vii Bab I PENDAHULUAN... 1 A. Latar belakang... 1 B. Perumusan Masalah... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 5 D. Keaslian Penulisan... 6 E. Tinjauan Kepustakaan Pengertian Kejahatan Pengertian Percobaan Pembagian Bentuk-Bentuk Kejahatan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia Pembagian Jenis Kejahatan Pencurian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia F. Metode Penulisan G. Sistematika Penulisan Bab II Perumusan Percobaan Melakukan Kejahatan/ Poging Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia A. Perumusan Percobaan dalam KUHP... 26

8 B. Perumusan Percobaan di Luar KUHP C. Bentuk-Bentuk Percobaan D. Perbuatan Yang Mirip Percobaan E. Percobaan Pada Delik Kealpaan Bab III Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Melakukan Percobaan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan A. Unsur-Unsur Pencurian Dengan Pemberatan B. Dasar Hukum Percobaan Pencurian Dengan Pemberatan C. Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Percobaan Pencurian Dengan Pemberatan Bab IV Kasus Posisi dan Analisa Kasus A. Kasus Posisi B. Analisa Kasus Bab V Penutup A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA... 94

9 ABSTRAKSI Pertumbuhan perekonomian yang terjadi belakangan ini mengalami perkembangan yang tidak seimbang. Hal ini dapat dilihat dimana pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan taraf hidup masyarakat sehingga jumlah masyarakat miskin masih sangat besar di Indonesia. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang kemudian akan dapat menjadi penyebab atau latar belakang dari setiap kejahatan atau tindak pidana dalam masyarakat. Kejahatan adalah suatu fenomena yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dapat kita ketahui bahwa perkembangan kejahatan adalah merupakan suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri lagi, baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat yang modern. Hal ini disebabkan karena kejahatan adalah suatu tingkah laku yang menyimpang yang dilakukan oleh manusia sebagai bagian dari masyarakat, yang memberikan suatu kerugian baik dalam arti moril maupun dalam arti materil. Salah satu bentuk kejahatan yang semakin berkembang baik dari segi frekuensi maupun dari segi cara melakukannya adalah pencurian. Dari kejahatan pencurian tersebut, ternyata sebagian dari kejadian tersebut tidak tercapai, dalam arti kata perbuatan kejahatan pencurian tersebut tidak selesai dilakukan, hal inilah yang disebut dengan percobaan melakukan kejahatan atau poging. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui perumusan unsur-unsur percobaan melakukan suatu kejahatan (poging) menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia dan juga untuk mengetahui dasar pemikiran seorang Hakim mengenai pertimbangan pertimbangan hukum dalam perkara percobaan melakukan kejahatan (poging). Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode juridis normatif deskriptif dan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder dan data primer. Sedangkan analisis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah analisis kualitatif yaitu data yang diperoleh baik yang berupa data sekunder dan data primer dikelompokan kemudian dianalisis untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini. Percobaan melakukan kejahatan seseorang baru bisa diancam dengan Pasal 53 KUHP apabila telah memenuhi unsur-unsur yang telah dirumuskan dalam pasal tersebut yaitu: adanya niat, adanya permulaan pelaksanaan, dan pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan kehendak pelaku. Dalam KUHp dikemukakan bahwa hanya percobaan terhadap kejahatan, sedangkan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana. Dalam percobaan terhadap kejahatan menurut Pasal 53 ayat (2) KUHP maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah maksimum pidana untuk kejahatan yang bersangkutan dikurangi sepertiga. Jadi, hukuman maksimal bagi pelaku percobaan pencurian dengan pemberatan adalah maksimal empat tahun delapan bulan. Dalam menentukan cocok atau tidaknya penerapan Pasal 53 KUHP untuk percobaan melakukan kejahatan harus dilihat dari rangkaian perbuatan yang dilakukan pelaku kejahatan serta dapat dilihat dari proses pembuktian di pengadilan, dimana hakim akan menentukan apakah tersebut termasuk dalam poging/ percobaan melakukan kejahatan atau tidak sebagaimana diatur dalam Pasal 53 KUHP.

10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini, dunia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut terutama dapat dirasakan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena perkembangan tersebut, juga telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap perkembangan pertumbuhan perekonomian. Pada dasarnya, pertumbuhan perekonomian yang terjadi belakangan ini mengalami perkembangan yang tidak seimbang. Hal ini dapat di lihat dimana pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan taraf hidup masyarakat sehingga jumlah masyarakat miskin masih sangat besar di Indonesia. Dapat diketahui bahwa keadaan masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan tersebut menyebabkan sangat rendahnya tingkat daya beli masyarakat. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang kemudian akan dapat menjadi penyebab atau latar belakang dari setiap kejahatan atau tindak pidana dalam masyarakat, dimana salah satu bentuknya adalah pencurian. Kejahatan adalah suatu masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, dimana setiap masalah sosial dapat berbeda-beda dari setiap masyarakat, tergantung dari kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Adapun faktor lain yang menjadi penyebab dari terjadinya masalah sosial tersebut adalah berasal dari faktor lingkungan, sifat dari masyarakat tersebut, serta

11 keadaan dari setiap orang yang menjadi anggota penduduk dari masyarakat tersebut. Kejahatan adalah suatu fenomena yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Telah diketahui bahwa ada berbagai macam faktor yang dapat menjadi latar belakang dari suatu kejahatan, namun perlu dipahami bahwa kejahatan sebagai salah satu bentuk tingkah laku masyarakat sebagai fenomena, mengalami perkembangan yang sejalan dengan perkembangan dari masyarakat tersebut. Hal ini berarti bahwa dengan semakin berkembangnya pula bentuk dan jumlah kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dapat kita ketahui bahwa perkembangan kejahatan adalah merupakan suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri lagi, baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat yang modern. Hal ini disebabkan karena kejahatan adalah suatu tingkah laku yang menyimpang yang dilakukan oleh manusia sebagai bagian dari masyarakat, yang memberikan suatu kerugian baik dalam arti moril maupun dalam arti materil. Mengenai fenomena tentang kejahatan dalam masyarakat ini, dapat dilihat dari pemberitaan yang dilakukan oleh media massa setiap harinya. Dapat dilihat bahwa berdasarkan pemberitaan yang ada, jumlah kejahatan yang terjadi dalam lingkup nasional sangatlah besar. Bahkan dapat dilihat bahwa tingginya jumlah kejahatan yang terjadi, seolah-olah telah menjadi suatu komoditi bagi media massa karena jumlah kuantitasnya yang sangat besar. Salah satu jenis kejahatan yang semakin berkembang baik dari segi frekuensi maupun dari segi cara melakukannya adalah kejahatan pencurian.

12 Seperti telah dijelaskan diatas, bahwa hal ini terjadi karena banyak kalangan masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya karena daya beli masyarakat yang sangat rendah. Saat ini kejahatan pencurian sangat marak terjadi tidak hanya di kota-kota besar saja, tetapi juga di desa-desa, dengan cara atau modus yang semakin bervariasi. Tingginya tingkat pencurian, bukanlah suatu masalah baru di Indonesia. Masalah tersebut telah ada sejak lama. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang berkembang dalam masyarakat, bahwa apakah hukum pidana Indonesia tidak efektif untuk dapat menanggulangi kejahatan terutama kejahatan pencurian? Dalam hukum pidana Indonesia, pengaturan tentang delik Pencurian diatur dalam bab tersendiri dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kejahatan, yaitu pada Bab XXII tentang pencurian. Pada Pasal 362, menjelaskan secara umum bahwa yang dimaksud dengan pencurian adalah suatu tindakan mengambil barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum. Berdasarkan pasal tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa setiap tindakan yang dilakukan secara sengaja, dengan tujuan untuk memiliki barang yang merupakan milik orang lain secara tidak sah atau melawan hukum, adalah tergolong sebagai bentuk kejahatan pencurian. Dari kejahatan pencurian tersebut, ternyata sebagian dari kejadian tersebut tidak tercapai, dalam arti kata perbuatan kejahatan pencurian tersebut tidak selesai dilakukan, dimana pelaku menginginkan terjadi peristiwa tersebut, tetapi

13 dikarenakan ada pengahalang yang datangnya dari luar diri pelaku sehingga kejahatan pencurian tersebut tidak selesai. Apabila hal ini terjadi pelaku kejahatan tersebut tidak hanya diancam dengan pasal mengenai pencurian tetapi juga diancam dengan pasal yang lain yaitu: Pasal 53 KUHP yaitu tentang tindak pidana percobaan yang hukumannya dikurangi sepertiga dari hukuman pokok. Tetapi hukuman tambahan terhadap percobaan kejahatan sama dengan hukuman terhadap tindak pidana yang selesai dilaksanakan, hukuman ini berlaku untuk seluruh percobaan tindak pidana yang dilarang termasuk percobaan pencurian. Berbicara tentang percobaan melakukan kejahatan seseorang baru bisa diancam dengan Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) apabila telah memenuhi unsur-unsur yang telah dirumuskan dalam pasal tersebut yaitu: 1. adanya niat 2. Adanya permulaan pelaksanaan 3. pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan kehendak pelaku Walaupun ancaman pidana percobaan pembunuhan lebih ringan dari pada tindak pidana yang telah diselesaikan dengan sempurna, andaikata masalah percobaan tidak dirumuskan seperti yang disebutkan dalam Pasal 53 KUHP, sudah tentu pelaku yang tidak menyelesaikan kejahatan tidak boleh dihukum, sebagaimana diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana hanyalah terhadap si pembuat yang telah menyelesaikan suatu kejahatan secara sempurna sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang, prinsip ini mengandung konsekuensi bahwa si pelaku yang belum menyelesaikan tindak pidana secara sempurna

14 sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang tidak boleh dibebani pertanggungjawaban dan tidak boleh dihukum. Jadi dengan adanya Pasal 53 KUHP ini, maka pelaku yang tidak menyelesaikan kejahatan dapat dibebani pertanggungjawaban dan dapat dihukum. Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan tentang percobaan/ poging dengan judul skripsi Analisis Terhadap Unsur-Unsur Dari Suatu Percobaan Melakukan Kejahatan/ Poging (Studi Kasus Putusan PN Tanjung Balai Karimun No. 135/Pid.B/2008/PN.TBK). B. Perumusan Permasalahan 1. Bagaimanakah perumusan unsur-unsur percobaan melakukan suatu kejahatan (poging) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana perkara percobaan melakukan kejahatan (poging) dalam kasus perkara pidana No. 135/Pid.B/2008/PN.TBK? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan Sesuai dengan latar belakang dan pokok permasalahan yang telah penulis kemukakan yang telah penulis kemukakan di atas maka penulisan skripsi ini memiliki tujuan untuk:

15 1. Mengetahui perumusan unsur-unsur percobaan melakukan suatu kejahatan (poging) menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. 2. Mengetahui pertanggungjawaban pidana perkara percobaan melakukan kejahatan (poging) dalam kasus perkara pidana No. 135/Pid.B/2008/PN.TBK. Manfaat Penulisan Penulisan skripsi ini dilakukan dengan penelitian yang penulis yakin dapat memberikan hasil dan manfaat yang cukup berarti baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum khususnya dan setiap orang yang membaca hasil penelitian ini pada umumnya. Manfaat penelitian secara umum yang dapat diambil dalam penulisan skripsi ini terdiri dari manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yang bersifat praktis. 1. Manfaat Teoritis Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan perkembangan hukum pidana khususnya dalam menganalisis unsur-unsur dari suatu percobaan melakukan kejahatan (poging). 2. Manfaat Praktis Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada kalangan praktisi hukum, civitas akademika dan pemerintah dalam menganalisis unsur-unsur dari suatu percobaan melakukan kejahatan (poging) serta kepada penegak hukum seperti hakim dalam memberikan dasar pertimbangan kepada

16 hakim mengenai pertanggungjawaban pidana perkara percobaan melakukan kejahatan (poging). D. Keaslian Penulisan Analisis Terhadap Unsur-Unsur Dari Suatu Percobaan Melakukan Kejahatan/ Poging (Studi Kasus Putusan PN Tanjung Balai Karimun No.135/Pid.B/2008/PN.TBK) yang diangkat menjadi judul skripsi ini merupakan hasil karya dari penulis sendiri dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan dan media massa baik media cetak maupun media elektronik, serta ditambah lagi dengan hasil riset lapangan, sekaligus dari hasil pemikiran penulis sendiri. Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama sebelum judul ini dibuat maka penulis bertanggung jawab sepenuhnya. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Kejahatan Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang di berikan orang untuk menilai perbuatan-pebuatan tertentu sebagai perbuatan jahat. 1 Menurut G W Bawengan, kejahatan dibedakan atas 3 (tiga) jenis sesuai dengan penggunaannya, yaitu : i. Kejahatan dalam arti praktis. ii. Kejahatan dalam arti religius.

17 iii. Kejahatan dalam arti yuridis. Kejahatan dalam arti praktis banyak kita jumpai di dalam kehidupan kita sehari-hari. Kalimat-kalimat Teman yang jahat atau anjing yang jahat ialah penggunaan kata dalam arti praktis itu. Kejahatan dalam arti religius ialah suatu pengertian yang mengidentikkan jahat dengan dosa. Jahat dan dosa dalam arti religius itu merupakan sinonim. Berbuat jahat adalah dosa, sebaliknya berbuat dosa adalah kejahatan. Berbeda dengan kedua pengertian terdahulu, maka kejahatan dalam arti yuridis dapat dilihat dari perbuatan-perbuatan yang digolongkan sebagai pelanggaran. Dengan demikian, maka hanyalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan pasal-pasal buku ke II (dua) KUHPidana, itulah perbuatan yang disebut kajahatan.selain KUHPidana kita dapat pula menjumpai hukum pidana khusus, hukum pidana militer, fiscal, ekonomi, politik, atau pada ketentuan lain yang menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan. R.Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara yuridis dan sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis pengertian kejahatan adalah suatu tingkah laku perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. Untuk dapat melihat apakah perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang, maka undang-undang itu harus diciptakan lebih dahulu sebelum adanya peristiwa berpidana, hal ini selain untuk mencegah adanya tindakan yang sewenang-wenang dari pihak penguasa juga agar dapat memberikan kepastian hukum. Asas ini dalam ilmu hukum 1 GW Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminal, Jakarta, PT Pradnya Paramitha, 1973,

18 disebut sebagai Nullum delictum nulla poena sine proviea seperti tertera didalam pasal 1 KUHP : tiada satu perbuatan boleh dijatuhi hukuman selain berdasarkan undang-undang yang telah dibuat sebelumnya. Ditinjau dari segi sosiologis maka yang dimaksud kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya kesimbangan, ketentraman dan ketertiban. 2 H. Ridwan Hasibuan, SH membagi pengertian kejahatan dalam 3 (tiga) sudut, yaitu : A. Kejahatan dipandang dari sudut sosiologis Dipandang dari sudut sosiologis, kejahatan adalah salah satu jenis gejala sosial, yaitu suatu kelakuan asosial dan amoral yang tidak dikehendaki oleh kelompok pergaulan dan secara sadar ditentang oleh pemerintah. Defenisi ini di berikan oleh W.A. Bonger. 3 H. Ridwan Hasibuan, juga meletakkan defenisi kejahatan yang diberikan oleh Paul Mudikdo Muliono, ke dalam sudut sosiologi ini, yaitu : Kejahatan adalah perbuatan manusia yang merupakan pelanggaran norma yang dirasakan merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan. Disini tentu dimaksudkan bahwa apabila terjadi juga perbuatan tersebut maka si pembuat harus di tindak dan sarana yang paling tepat menindaknya adalah sarana hukum (pidana). 4 B. Kejahatan dipandang dari segi hukum hal Bawengan, Psikology, Hal 3 3 H. Ridwan Hasibuan, Kriminologi Dalam Arti Sempit dan Ilmu-ilmu Forensik, Medan, USU Press, 1994, hal 8.

19 Kejahatan adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang tersebut maka ia akan dihukum. Jadi tegasnya, kejahatan disini adalah setiap perbuatan yang telah ditetapkan atau dirumuskan dalam suatu peraturan (Pidana). C. Kejahatan dipandang dari segi kejiwaan (psikologis) Dipandang dari segi psikologis maka kejahatan adalah suatu tindakan (perbuatan) yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat tertentu tersebut yang oleh karena itu pula perbuatan itu dapat dikatakan tidak normal (Abnormal). 5 Diluar dari defenisi-defenisi di atas, beberapa ahli juga memberikan defenisi kejahatan, diantaranya yaitu : Paul Mudigdo Moeliono, kejahatan adalah perbuatan manusia, yang merupakan pelanggaran. 6 W A Bonger mengatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan. 7 Noach mengartikan kejahatan sebagai setiap perbuatan yang melanggar undang-undang dan merugikan masyarakat. 8 J M Bemmelen mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat,sehingga 4 Ibid. 5 Ibid, Hal 10 6 H.M. Ridwan dan Ediwarman,Azas-azas Kriminologi,USU Press, Medan, 1994, hal Ibid. hal Ibid

20 dalam masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menenteramkan masyarakat negara harus menjatuhkan hukuman pidana kepada penjahat Pengertian Percobaan a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab 1V Pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari Pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut: Pasal 53 (1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. (2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga. (3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai. Pasal 54 : Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana. Kedua pasal tersebut tidak memberikan defenisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging), yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan percobaan. 9 Ibid, hal 47

21 Jika mengacu kepada arti kata sehari-hari, percobaan itu diartikan sebagai menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju itu, atau dengan kata lain hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya seseorang bermaksud membunuh orang tetapi orangnya tidak mati, seseorang hendak mencuri barang tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu. 10 Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan: Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen. (Yang artinya adalah: percobaan untuk melakukan kejahatan itu dapat dihukum, apabila maksud pelakunya itu telah diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan, pelaksanaannya itu sendiri telah tidak selesai, dikarenakan masalah-masalah yang tidak bergantung pada kemauannya). 11 Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 10 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Jakarta, 1994, hal P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1997, hal. 535.

22 a. Adanya niat/kehendak dari pelaku; b. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu; c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku. Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan kata lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut. b. Menurut Tata Bahasa Dari segi tata bahasa istilah percobaan adalah usaha hendak berbuat atau melakukan sesuatu dalam keadaan diuji, dengan demikian dapat ditarik 2 arti dari percobaan. Pertama, tentang apa yang dimaksud dengan hendak berbuat, ialah orang yang telah mulai berbuat (untuk mencapai suatu tujuan) yang mana perbuatan itu tidak menjadi selesai. Kedua, tentang apa yang dimaksud dengan melakukan sesuatu dalam keadaan diuji adalah pengertian yang lebih spesifik yaitu berupa melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan dalam hal untuk menguji suatu kajian tertentu di bidang ilmu pengetahuan tertentu, misalnya percobaan mengembangkan suatu jenis udang laut di air tawar. Tetapi pengertian menurut tata bahasa ini tidaklah dapat digunakan sebagai ukuran dari percobaan melakukan kejahatan sebagaimana dalam hukum pidana. Menurut hukum pidana untuk terjadinya percobaan kejahatan sehingga dapat dipidana mempunyai ukuran yang khusus dan berbeda dari ukuran percobaan menurut arti tata bahasa. Ukuran percobaan menurut arti bahasa hanyalah salah satu aspek saja dari percobaan sebagaimana yang dikenal dalam hukum pidana. Satu aspek itu adalah bahwa

23 dalam percobaan melakukan kejahatan yang dapat dipidana, si pelaku telah memulai melakukan perbuatan tetapi perbuatan itu tidak selesai, sama dengan aspek yang sama dengan pengertian percobaan menurut tata bahasa yang pertama, tetapi dalam hukum pidana, untuk dapatnya dipidana bagi si pelaku percobaan kejahatan tidaklah cukup dengan demikian, tetapi jauh lebih luas baik dari sudut subjektif si pelaku maupun dari sudut objektif perbuatannya yang walaupun baru dimulai dan belum selesai. 12 c. Menurut Para Sarjana Selain pengertian menurut tata bahasa, para sarjana juga memberikan pendapatnya tentang apa yang dimkasud dengan percobaan melakukan kejahatan antara lain : 1) Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa pada umunya percobaaan (poging) dapat diartikan suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. 13 2) Jonkers, ia menyatakan bahwa mencoba berarti berusaha untuk mencapai sesuatu, tetapi tidak tercapai Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, PT Raja Grafindo, Jakarta hal Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit RT. Eresco, Jakarta, 1981, hal J.E. Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda. Judul Asli: Handboek van het Nederlandsch Indische Strafrecht, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 155.

24 3. Pembagian Bentuk-Bentuk Kejahatan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia Pada dasarnya, apa yang menjadi bentuk dasar kejahatan adalah hakikat dari perbuatan jahat itu sendiri, misalnya pembunuhan, pencurian, atau penganiayaan. Dan untuk bisa mendapatkan perbedaan antara suatu bentuk kejahatan dengan bentuk kejahatan lainnya adalah dengan memberikan suatu batasan defenisi yang jelas dan tepat untuk masing-masing bentuk kejahatan tersebut. Mengenai perumusan defenisi dari berbagai bentuk kejahatan tersebut sudah terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Sesuai dengan apa yang tercantum dalam buku kediua dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut, maka didapat beberapa bentuk kejahatan, yaitu: 1. Kejahatan terhadap keamanan negara (Pasal ) 2. Kejahatan melanggar martabat Presiden dan martabat Wakil Presiden (Pasal ) 3. Kejahatan terhadap negara yang bersahabat dan terhadap kepala dan wakil kepala negara yang bersahabat (Pasal 139a-145) 4. Kejahatan mengenai perlakuan kewajiban negara dan hak-hak negara (Pasal ) 5. Kejahatan terhadap ketertiban umum (Pasal ) 6. Kejahatan perkelahian satu lawan atu (Pasal ) 7. Kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum manusia atau barang (Pasal )

25 8. Kejahatan terhadap kekuasaan umum (Pasal ) 9. Kejahatan sumpah palsu dan keterangan palsu (Pasal ) 10. Kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas negara serta uang bank (Pasal ) 11. Kejahatan memalsukan materai dan merek (Pasal ) 12. Kejahatan memalsukan surat-surat (Pasal ) 13. Kejahatan terhadap kedudukan warga negara (Pasal ) 14. Kejahatan terhadap kesopanan (Pasal ) 15. Meninggalkan orang yang membutuhkan pertolongan (Pasal ) 16. Penghinaan (Pasal ) 17. Membuka rahasia (Pasal ) 18. Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang (Pasal ) 19. Kejahatan terhadap jiwa seseorang (Pasal ) 20. Kejahatan penganiayaan (Pasal ) 21. mengakibatkan orang mati atau luka karena salahnya(pasal ) 22. Pencurian (Pasal ) 23. Pemerasan dan ancaman (Pasal ) 24. Penggelapan (Pasal ) 25. Penipuan (Pasal ) 26. Merugikan petagih hutang atau yang berhak (Pasal ) 27. Menghancurkan atau merusak barang (Pasal ) 28. Kejahatan yang dilakukan dalam jabatan (Pasal ) 29. Kejahatan pelayaran (Pasal )

26 30. Kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/ prasarana penerbangan (Pasal r) 31. Pertolongan (jahat) (Pasal ) 32. Kejahatan residivis (Pasal ) Berdasarkan bentuk-bentuk atau defenisi dari kejahatan yang telah dipaparkan diatas, dapat kita ketahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum dapat memberikan defenisi terhadap semua bentuk kejahatan, terutama kejahatan-kejahatan baru yang berkembang saat ini dalam masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa perkembangan dalam masyarakat lebih cepat dari pada perkembangan hukum positif yang berlaku. Hal inlah yang menyebabkan timbulnya kendala dalam mengantisipasi kejahatan, karena adanya keterlambatan dalam pembuatan hukum atau Undang-Undang. Bentuk-bentuk kejahatan dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu: 1. cara melakukan kejahatan Jika ditinjaudari cara, maka terbagi dalam dua bentuk, yaitu dengan cara yang dilihat oleh si korban, seperti misalnya menganiaya si korban dengan benda tajam atau tumpul. Bentuk yang kedua adalah dengan cara yang tidak terlihat oleh si korban, misalnya penipuan yang dilakukan lewat media Handphone. 2. Luasnya perlakuan jahat Dalam hal ini bentuk kejahatan dilihat dari apa yang menjadi titik berat atau objek dari kejahatan, tempat atau lokasi kejahatan itu terjadi, waktu yang bagaimana kejahatan tersebut sering terjadi.

27 3. Frekuensi kejahatan Jumlah kejahatan yang terjadi dalam suatu lingkungan masyarakat pada suatu periode tertentu dicatat dan dipelajari sehingga kelihatan bentuk kejahatan mana yang lebih dominan dalam masyarakat tersebut Pembagian Jenis Kejahatan Pencurian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesi, pengaturan tentang bentuk kejahatan pencurian diatur dalam buku kedua pada Bab ke XXII, tentang pencurian yang diatur dalam Pasal 362 sampai dengan Pasal 367. Sebelum mengenal beberapa bentuk pencurian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka perlu diketahui pengertian dari pencurian itu sendiri. Kata pencurian dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata dasar curi yang memperoleh imbuhan, yaitu awalan pe dan akhiran an, sehingga membentuk kata pencurian. Kata pencurian tersebut memiliki arti proses, perbuatan cara mencuri dilaksanakan. Dalam kamus Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa mencuri adalah suatu perbuatan yang mengambil barang milik orang lain dengan jalan yang tidak sah H. Ridwan Hasibuan, op.cit. hal Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Modern English Press, Jakarta, 2002, hal Ibid

28 Untuk mendapatkan batasan yang jelas tentang pencurian, maka dapat di lihat dari Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi sebagai berikut: Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.900,- 18 Berdasarkan defenisi yang telah diberikan diatas, maka dapat kita ketahui bahwa Pasal 362 ini adalah merupakan delik pencurian biasa yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Perbuatan mengambil b. Yang diambil haruslah suatu barang c. Barang yang diambil tersebut haruslah secara keseluruhan atau sebagian merupakan kepunyaan dari orang lain. d. Pengambilan tersebut harus dilakukan scara sengaja dengan maksud untuk dapat memilki barang tersebut dengan cara yang melawan hukum. 19 Berdasarkan sistematika jenis kejahatan yang telah dipaparkan diatas, maka dapat di ketahui bahwa delik pencurian adalah salah satu jenis kejahatan terhadap kepentingan individu yang merupakan kejahatan terhadap harta benda ata kekayaan orang lain. Adapun yang menjadi klasifikasi atau pembagian dari jenis kejahatan pencurian tersebut adalah sebagai berikut: 18 R. Soesilo, op.cit, hal Ibid

29 a. Pencurian biasa; b. Pencurian dengan pemberatan; c. Pencurian ringan; d. Pencurian dalam Keluarga; e. Pencurian dengan kekerasan. 20 a. Pencurian Biasa Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan di atas, bahwa pencurian biasa adalah pencurian yang diatur pada Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berdasarkan isi dari pasal tersebut, maka dapat di lihat bahwa unsur-unsur dari pencurian biasa adalah: 1) Mengambil, yang dimaksud dengan mengambil adalah pada saat pelaku pencurian tersebut mengambil barang itu, dimana barang itu belum ada dalam kekusaannya. 2) Suatu barang. Yang dimaksud dengan suatu barang disini adalah segala sesuatu yang berwujud, termasuk pula binatang. 3) Barang tersebut secara kesluruhan atau sebagian merupakn kepunyaan dari orang lain. 4) Perbuatan mengambil tersebut haruslah dilakukan secara sengaja dengan tujuan untuk dapat memilki barang tersebut. b. Pencurian Dengan Pemberatan Hal mengenai kejahatan pencurian dengan pemberatan ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Pasal 363. maksud dari 20 Ibid, hal

30 pemberatan disini adalah apabila pencurian tersebut memenuhi unsur-unsur pada pasal ini, maka akan diancam dengan hukuman yang lebih berat. Yang dimaksud dengan kejahatan pencurian dengan pemberatan adalah apabila pencurian biasa disertai dengan keadaan tertentu. Adapun keadaan tersebut adalah: 1) Benda yang dicuri tersebut adalah hewan. 2) Pencurian tersebut dilakukan pada saat terjadinya suatu peristiwa malapetaka seperti kebakaran, bencana alam, kapal karam, huru-hara dan sebagainya. 3) Pencurian yang dilakukan pada malam hari, dalam rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya. 4) Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, dimana kedua orang atau lebih tersebut, semuanya adalah bertindak sebagai pelaku, atau turut melakukan. 5) Pencurian dimana cara yang dilakukan untuk dapat masuk ke tempat pencurian tersebut dengan jalan membongkar, memecah, memanjat, atau dengan menggunakan kunci palsu atau dengan jabatan palsu. 6) Pencurian yang dilakukan pada malam hari, dalam rumah atau pekarangan yang tertutup yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, dengan cara membongkar, memecah, memanjat, atau menggunakan kunci palsu, perintah palsu dan pakaian jabatan palsu. c. Pencurian Ringan

31 Pencurian ringan ini diatur di dalam Pasal 364 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Berdasarkan Pasal 364 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersesut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pencurian ringan adalah pencurian biasa atau pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih atau yang dilakukan atau yang dilakukan dengan jalan membongkar, memecah atau yang lainnya dimana harga barang yang dicuri tersebut tidak boleh lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, dan pencurian tersebut tidak dilakukan dalam rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya. d. Pencurian Dalam Keluarga Mengenai pencurian dalam keluarga ini datur dalam Pasal 367 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Berdasarkan Pasal 367 tersebut, apabila pelaku atau pembantu dalam kejahatan pencurian ini adalah suami atau istri yang belum bercerai, maka ia tidak dapat dituntut. Namun apabila diantara mereka telah terjadi perceraian, maka pelaku dapat dituntut apabila ada pengadiuan yang dilakukan yang dilakukan oleh orang yang menjadi korban dalam pencurian tersebut (delik aduan). Demikian pula apabila dalam keluarga yang berdasrkan keturunan ibu seperti yang berlaku pada masyarakat Minangkabau (Padang), hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari korabn pencurian tersebut. e. Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian dengan kekerasan ini dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada diatur dalam Pasal 365. mengenai batasan pengertian kekerasan, dapat kita ketahui dari Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum

32 Pidana (KUHP), yang berbunyi: yang dimaksud melakukan kekerasana itu, membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). F. Metode Penulisan Adapun metode penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Spesifikasi Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian Hukum Normatif (juridis normatif). Dalam hal ini penelitian normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan-peraturan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi penulis ini yaitu Analisis Terhadap Unsur-Unsur Dari Suatu Percobaan Melakukan Kejahatan/ Poging (Studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun No.135/Pid.B/2008/PN.TBK) 2. Lokasi Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Tanjung Balai Karimun, provinsi Kepulauan Riau, tepatnya di Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun. 3. Metode Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode sebagai berikut: a. Library research (Penelitian Kepustakaan) yakni suatu penelitian untuk mengumpulkan data sekunder melalui: 1) Bahan hukum primer, yaitu: bahan hukum yang mengikat, antara lain : peraturan perundang-undangan.

33 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti: majalah, artikel, hasil-hasil penelitian atau tulisan para sarjana. 3) Bahan tersier, yaitu bahan hukum yang memeberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus dan ensiklopedia. b. Field research (Penelitian Lapangan), yang dalam hal ini penulis melakukan studi kasus di Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun. 4. Analisa Data Analisa data yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan cara analisis kualitatif yaitu data yang diperoleh, yang berupa data sekunder kemudian dianalisis untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini. G. Sistematika Penulisan berikut: Sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab, yaitu sebagai BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan (yang terdiri dari pengertian kejahatan, pengertian percobaan, pembagian bentuk-bentuk kejahatan dalam KUHP, pembagian jenis kejahatan pencurian dalam KUHP), metode penulisan dan sistimatika penulisan.

34 BAB II : Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang perumusan percobaan melakukan kejahatan menurut KUHP Indonesia yang terdiri dari unsur-unsur kejahatan, unsur-unsur percobaan, bentukbentuk percobaan melakukan kejahatan, perbuatan yang mirip dengan percobaan, percobaan pada delik kealpaan, dan unsur-unsur pencurian dengan pemberatan. BAB III : Dalam bab ini penulis akan membahas tentang dasar hukum pertanggungjawaban pidana pencurian dengan pemberatan dan penerapan sanksi pidana terhadap pelaku percobaan pencurian dengan pemberatan. BAB IV : Bab ini berisikan analisis kasus percobaan pencurian dengan pemberatan (Putusan PN Tanjung Balai Karimun No.135/Pid.B/2008/PN.TBK) BAB V : Bab ini merupakan akhir dari penulisan skripsi ini, dan bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran.

35 BAB II PERUMUSAN PERCOBAAN MELAKUKAN KEJAHATAN/ POGING MENURUT KUHP A. Perumusan Percobaan Dalam KUHP Berdasarkan uraian mengenai pengertian percobaan dalam Bab I sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa unsur-unsur percobaan (poging) adalah sebagai berikut: a. Adanya niat/kehendak dari pelaku; b. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu; c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku. Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang telah diatur dalam UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat dipidana. Menurut Loebby Loqman pembedaan antara kejahatan ekonomi dengan pelanggaran ekonomi ditentukan oleh apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau dengan tidak sengaja. Dianggap sebagai kejahatan ekonomi jika perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja, tetapi jika perbuatan tersebut

36 dilakukan karena kelalaian pelaku maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran ekonomi (1996:3). 21 Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5)), percobaan menganiaya binatang (Pasal 302 ayat (3), dan percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat (5)) Niat Niat adalah salah satu syarat dari percobaan untuk melakukan kejahatan. Jika mengacu kepada penafsiran otentik atau penafsiran pada waktu suatu undangundang disusun, dalam hal ini Memori Penjelasan (MvT) WvS Belanda 1886 yang merupakan sumber dari KUHP Indonesia yang berlaku saat ini, disebutkan bahwa sengaja (opzet) berarti : de (bewuste) richting van den will op een bepaald wisdrijf (kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu). Beberapa sarjana beranggapan bahwa niat dalam kaitannya dengan percobaan adalah sama dengan semua bentuk kesengajaan (kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan berinsyaf kepastian, dan kesadaran berinsyaf kemungkinan). Sebagaimana dalam doktrin hukum, menurut tingkatannya kesengajaan (opzettelijk) ada 3 macam, yaitu: a. kesengajaan sebagau maksud atau tujuan (opzet als oogmerk), yang dapat juga disebut kesengajaan dalam arti sempit. 21 Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan, Dan Gabungan Tindak Pidana, Universitas

37 b. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheids bewustzijn) atau kesadaran/ keinsyafan mengenai perbuatan yang disadari sebagai pasti menimbulkan suatu akibat c. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids bewustzijn) atau suatu kesadaran/ keinsyafan mengenai suatu perbuatan terhadap kemungkinan timbulnya suatu akibat dari suatu perbuatan, disebut juga dengan dolus eventualis. 23 Para ahli hukum yang berpendapat bahwa niat adalah kesengajaan dianut antara lain oleh D. Hazewinkel-Suringa, Simons, van Hammel, van Hattum, Jonkers, dan van Bemmelen. Menurut Memori Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama dengan kehendak atau maksud. Hazeinkel-Suringa mengemukakan bahwa niat adalah kurang lebih suatu rencana untuk mengadakan suatu perbuatan tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam rencana itu selalu mengandung suatu yang dikehendaki mungkin pula mengandung bayangan-bayangan tentang cara mewujudkannya yaitu akibat-akibat tambahan yang tidak dikehendaki, tetapi dapat direka-reka akan timbul. Maka jika rencana tadi dilaksanakan dapat menjadi kesengajaan sebagai maksud, tetapi mungkin pula menjadi kesengajaan dalam corak lain (sengaja sebagai keinsyafan kepastian ataupun sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan).- Tarumanegara, Jakarta, 1996, hal R. soesilo, op.cit., hal Adami Chazawi, op.cit., hal

38 Sedangkan Simons tidak ragu-ragu dan tegas menyatakan bahwa Voornemen (niat) tidak mempunyai pengertian lain daripada telah dipergunakan untuk mengganti perkataan opzet, yang dalam hal ini dapat diterjemahkan dengan perkataan maksud. Jadi di sini disyaratkan, bahwa pelaku itu haruslah mempunyai opzet/ maksud untuk melakukan sesuatu tindakan yang oleh undangundang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 24 Dalam hal niat, Jonkers secara tegas menyatakan bahwa si pembuat harus berkehendak untuk melakukan kejahatan. Jadi ini berarti bahwa pada orang itu ada kesengajaan. Kesengajaan yang berhubungan dengan percobaan dapat juga terjadi pada tingkatan-tingkatan, yaitu kesengajaan sebagai tujuan, kesengajaan yang diinsyafi sebagai sesuatu yang perlu dilakukan (noodzakelijkheidsbewustzijn), kesengajaan yang diinsyafi bahwa mungkin terjadi sesuatu (mogelijksheidsbewustzijn). 25 Sedangkan Mulyatno memberikan pendapat hubungan niat dan kesengajaan adalah sebagai berikut: a. Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi niat secara potensial bisa berubah menjadi kesengajaan apabila sudah diwujudkan menjadi perbuatan yang dituju. Dalam hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak timbul, di sinilah niat sepenuhnya menjadi kesengajaan. Sama halnya dalam delik yang telah selesai. 24 Ibid, hal Ibid.

39 b. Akan tetapi apabila niat itu belum semua diwujudkan menjadi kejahatan, maka niat masih ada dan merupakan sifat bathin yang memberi arah kepada perbuatan, yaitu subjektif onrechts-element. c. Oleh karena niat tidak dapat disamakan dengan kesengajaan, maka isi niat itu jangan diambil dari isinya kejahatan apabila kejahatan timbul. Untuk itu diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi juga sudah ada sejak niat belum diwujudkan menjadi perbuatan Permulaan Pelaksanaan (Begin van Uitvoeringshandeling). Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dihukum karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP adalah unsur niat yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan ia berada di alam bathiniah seseorang. Sangat sulit bagi seseorang untuk mengetahui apa niat yang ada di dalam hati orang lain. Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakannya kepada orang lain. Namun niat itu juga dapat diketahui dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan dari pelaksanaan niat. Permulaan pelaksanaan sangat penting diketahui untuk menentukan apakah telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan atau belum. Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang dikehendaki, 26 Moeljatno, Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, tanpa tahun, hal

40 biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat perbedaan antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan. Jika kita menggunakan penafsiran secara tata bahasa (taalkundige interpretatie) maka sesuai dengan perumusan percobaan, kata-kata permulaan pelaksanaan tindakan harus dihubungkan dengan kata-kata niat yang mendahuluinya yang terdapat dalam pokok kalimat perumusan tersebut. Jadi yang dimaksud ialah: permulaan pelaksanaan tindakan dari niat (pelaku). Jika penafsiran ini dihubungkan dengan ajaran tentang dasar-dasar pemidanaan percobaan, maka ia termasuk dalam ajaran percobaan subjektif. Tetapi jika digunakan penafsiran secara sistematis, baik pada pokok kalimatnya demikian pula pada anak kalimatnya (yang berbunyi: Dan pelaksanaan tindakan itu tidak selesai... ) terdapat istilah yang sama yaitu pelaksanaan tindakan. Karena istilah-istilah itu hampir sama artinya, maka istilah itu harus dikembalikan kepada persoalan pokoknya yaitu percobaan terhadap kejahatan. Sehingga yang dimaksud adalah: pelaksanaan tindakan dari kejahatan. Dihubungkan dengan ajaran pemidanaan percobaan, maka hal ini termasuk dalam ajaran percobaan objektif. Akibat dari perbedaan cara penafsiran tersebut, pemecahan persoalan tidak semakin mudah. Kini dipersoalkan apakah yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan tindakan (baik dihubungkan dengan niat maupun dengan kejahatan), karena undang-undang sendiri tidak memberikan suatu pembatasan. Dalam Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP, telah diberikan beberapa penjelasan yaitu antara lain:

1. PERCOBAAN (POGING)

1. PERCOBAAN (POGING) Hukum Pidana Lanjutan Rabu, 25 Mei 2016 Diskusi Mata Kuliah Gemar Belajar Poging, Deelneming,Residive, dan Pasal Tindak Pidana dalam KUHP Pembicara : 1. Sastro Gunawan Sibarani (2009) 2. Sarah Claudia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN A. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Kata pencurian dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata dasar curi yang memperoleh imbuhan pe diberi akhiran

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN. (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan) SKRIPSI

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN. (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan) SKRIPSI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT PASAL 365 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh : Fentry Tendean 2 ABSTRAK Pandangan ajaran melawan hukum yang metarial, suatu perbuatan selain

Lebih terperinci

BAB III PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA TAK TERKENAN. dipakai dalam kitab undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti atau definisi

BAB III PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA TAK TERKENAN. dipakai dalam kitab undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti atau definisi BAB III PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA TAK TERKENAN A. Percobaan Tindak Pidana Di dalam Bab IX Buku 1 KUHP (tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang), tidak dijumpai rumusan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. PERCOBAAN MELAKUKAN KEJAHATAN MENURUT PASAL 53 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh: Dodi Ksatria Damapolii 2

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. PERCOBAAN MELAKUKAN KEJAHATAN MENURUT PASAL 53 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh: Dodi Ksatria Damapolii 2 PERCOBAAN MELAKUKAN KEJAHATAN MENURUT PASAL 53 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh: Dodi Ksatria Damapolii 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakaukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana cakupan unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pencurian Dengan Kekerasan Dalam KUHP 1. Pengertian Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindakan yang menyimpang.

Lebih terperinci

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU. (STUDY PUTUSAN NOMOR 1515/Pid.B/2013/PN/MDN SKRIPSI

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU. (STUDY PUTUSAN NOMOR 1515/Pid.B/2013/PN/MDN SKRIPSI PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU (STUDY PUTUSAN NOMOR 1515/Pid.B/2013/PN/MDN SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari 9 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyertaan dalam pasal 55 KUHP di klasifikasikan atas 4 bagian yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan dikatakan terjadi jika dalam suatu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Perumusan tentang pengertian anak sangat beragam dalam berbagai

BAB II TINJAUAN UMUM. Perumusan tentang pengertian anak sangat beragam dalam berbagai BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian Anak dan Batasan Umur Anak Perumusan tentang pengertian anak sangat beragam dalam berbagai undang-undang. Pengertian tersebut tidak memberikan suatu konsepsi tentang

Lebih terperinci

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hakikat dari tindak pidana ringan dan bagaimana prosedur pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat baik masyarakat modren maupun masyarakat

Lebih terperinci

PENGGUNAAN KEKERASAN SECARA BERSAMA DALAM PASAL 170 DAN PASAL 358 KUHP 1 Oleh : Soterio E. M. Maudoma 2

PENGGUNAAN KEKERASAN SECARA BERSAMA DALAM PASAL 170 DAN PASAL 358 KUHP 1 Oleh : Soterio E. M. Maudoma 2 PENGGUNAAN KEKERASAN SECARA BERSAMA DALAM PASAL 170 DAN PASAL 358 KUHP 1 Oleh : Soterio E. M. Maudoma 2 ABSTRAK Penggunaan kekerasan oleh seseorang terhadap orang lain, merupakan hal yang dilarang dalam

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 PERCOBAAN SEBAGAI ALASAN DIPERINGANKANNYA PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT KUHP 1 Oleh: Meril Tiameledau 2 ABSTRAK Penelitiahn ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa yang menjadi dasar

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

PERCOBAAN (Poging) MOHAMMAD EKAPUTRA, SH.,M.Hum Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

PERCOBAAN (Poging) MOHAMMAD EKAPUTRA, SH.,M.Hum Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara PERCOBAAN (Poging) MOHAMMAD EKAPUTRA, SH.,M.Hum Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara A. Pengertian Percobaan (Poging) 1. Percobaan Menurut KUHP Percobaan melakukan kejahatan diatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Surastini Fitriasih

Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Surastini Fitriasih Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan Surastini Fitriasih Dalam Buku II KUHP: Bab XXII : Pencurian Bab XXIII: Pemerasan & Pengancaman Bab XXIV: Penggelapan Barang Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXVI: Merugikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dan Pemberatan Pengertian Tindak Pidana Pencurian

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dan Pemberatan Pengertian Tindak Pidana Pencurian BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dan Pemberatan 2.1.1 Pengertian Tindak Pidana Pencurian pencurian merupakan perbuatan pengambilan barang. Kata mengambil (wegnemen) merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, yang berupa perintah atau larangan yang mengharuskan untuk ditaati oleh masyarakat itu. Berkaitan dengan tindak pidana,

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 PEMALSUAN DOKUMEN DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2007 (Studi Putusan No. 2960/PID.B/2008/PN.Medan) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017 KAJIAN YURIDIS TENTANG SYARAT UNTUK DAPAT DIPIDANANYA DELIK PERCOBAAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER 1 Oleh: Stewart Eliezer Singal 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R.

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R. Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana Disampaikan oleh : Fully Handayani R. Pendahuluan Istilah Hukum Pidana menurut Prof. Satochid mengandung beberapa arti atau dapat dipandang dari beberapa sudut,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN (SODOMI) TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR YANG MENYEBABKAN ANAK MENJADI TRAUMA

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN (SODOMI) TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR YANG MENYEBABKAN ANAK MENJADI TRAUMA PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN (SODOMI) TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR YANG MENYEBABKAN ANAK MENJADI TRAUMA (Studi di Pengadilan Negeri Tanjung Balai) S K R I P S I Diajukan Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) RISKA YANTI / D 101 07 622 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Pertimbangan Hakim

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Pengertian Tindak Pidana Tindak Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaranpelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Umumnya tindak pidana atau pelanggaran hukum pidana didasari adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang mudah, jalan pintas serta mendapatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab XXII : Pencurian Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci

KONVENSI KETATANEGARAAN

KONVENSI KETATANEGARAAN KONVENSI KETATANEGARAAN (Makalah ini untuk melengkapi kriteria penilaian mata kuliah Hukum Pidana) NAMA DOSEN : HOLLYONE, S.H. NAMA MAHASISWA : UJANG SETIAWAN NPM : 0941173300014 MATA KULIAH : HUKUM PIDANA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Lebih terperinci

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA ABTRAKSI SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

PIDANA BERSYARAT PADA PELAKU KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PRAKTIK (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.

PIDANA BERSYARAT PADA PELAKU KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PRAKTIK (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT. 1 PIDANA BERSYARAT PADA PELAKU KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PRAKTIK (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg) SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

FAIQ TOBRONI, SHI., MH

FAIQ TOBRONI, SHI., MH FAQ TOBRON, SH., MH Sejarah dan Upaya Pembaharuan Hukum Pidana SEJARAH HUKUM PDANA Prof. Mr. J. E. Jonkers mengatakan orang-orang Belanda yang dengan melewati lautan dan samudra luas memiliki jalan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang yang melangsungkan perkawinan pasti berharap bahwa perkawinan yang mereka lakukan hanyalah satu kali untuk selamanya dengan ridho Tuhan, langgeng

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA. tertentu tanpa menyebutkan wujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA. tertentu tanpa menyebutkan wujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA A. Pengertian Pembunuhan Berencana Pembunuhan oleh pasal 338 KUHP dirumuskan sebagai barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bentuk klasik perbuatan pidana pencurian biasanya sering dilakukan pada waktu malam hari dan pelaku dari perbuatan pidana tersebut biasanya dilakukan oleh satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk sosial dan sebagai mahluk individu. Dalam kehidupan sehari-harinya

BAB I PENDAHULUAN. mahluk sosial dan sebagai mahluk individu. Dalam kehidupan sehari-harinya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pada umumnya mempunyai kedudukan sebagai mahluk sosial dan sebagai mahluk individu. Dalam kehidupan sehari-harinya untuk dapat mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis.

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis. BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Banyak orang, terutama orang awam tidak paham apa arti Penipuan yang sesungguhnya, yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana, khususnya Pasal 378, orang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisa dilakukan secara merata ke daerah-daerah, khususnya di bidang ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. bisa dilakukan secara merata ke daerah-daerah, khususnya di bidang ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan tercipta dari pembangunan yang baik dan merata bagi seluruh rakyat. Di Indonesia pembangunan yang dilakukan pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai fitrah dan

Lebih terperinci

TINDAK PIDANA PENGHINAAN DAN PENCEMARAN NAMA BAIK

TINDAK PIDANA PENGHINAAN DAN PENCEMARAN NAMA BAIK TINDAK PIDANA PENGHINAAN DAN PENCEMARAN NAMA BAIK (Paper ini untuk melengkapi kriteria penilaian mata kuliah Hukum Pidana) NAMA DOSEN : HOLLYONE, S.H. NAMA MAHASISWA : DINI MERDEKANI NPM : 09411733000134

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan. tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus pidana semakin

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan. tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus pidana semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri karena kejahatan merupakan produk dari masyarakat dan ini perlu ditanggulangi

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. Pangemanan, SH, MH; M.G. Nainggolan, SH, MH, DEA. 2. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM,

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. Pangemanan, SH, MH; M.G. Nainggolan, SH, MH, DEA. 2. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM, DELIK PENGADUAN FITNAH PASAL 317 AYAT (1) KUH PIDANA DARI SUDUT PANDANG PASAL 108 AYAT (1) KUHAP TENTANG HAK MELAPOR/MENGADU 1 Oleh: Andrew A. R. Dully 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk menyebutkan kata Tindak Pidana di dalam KUHP. Selain itu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Pencurian 1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku kedua, Bab XXII, Pasal 362 yang berbunyi:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nullum delictun, nulla poena sine praevia lege poenali yang lebih dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Nullum delictun, nulla poena sine praevia lege poenali yang lebih dikenal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu perbuatan hanya dapat dikenakan pidana jika perbuatan itu didahului oleh ancaman pidana dalam undang-undang. Artinya bahwa suatu perbuatan hanya dapat dikenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 372 KUHP tindak pidana penggelapan adalah barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan

Lebih terperinci

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana 1. Jenis-jenis Tindak Pidana Kekerasan di dalam KUHP Kekerasan adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PENANGGULANGAN PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR. an, sehingga menjadi penanggulangan yang berarti proses, cara, perbuatan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PENANGGULANGAN PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR. an, sehingga menjadi penanggulangan yang berarti proses, cara, perbuatan BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PENANGGULANGAN PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR 2.1 Penanggulangan Penanggulangan itu sendiri berasal dari kata tanggulang yang berarti menghadapi, mengatasi. Kemudian ditambah

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016 TINDAK PIDANA PERCOBAAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) 1 Oleh: Astri C. Montolalu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah yang menjadi dasar teori dari

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D 101 08 100 ABSTRAK Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa

Lebih terperinci

PASAL 340 SKRIPSI HUKUM FAKULTAS UNIVERSI MEDAN

PASAL 340 SKRIPSI HUKUM FAKULTAS UNIVERSI MEDAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI TERDAKWA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHANN SESUAI DENGAN PASAL 340 KUHP (Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 20092 / PN. Mdn) SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi tugas-tugas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Pengertian Anak 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 10 2.

Lebih terperinci

BAB I PERCOBAAN (POGING)

BAB I PERCOBAAN (POGING) Percobaan dan Penyertaan BAB I PERCOBAAN (POGING) A. Pengertian Percobaan Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku I tentang Aturan Umum, Bab IV pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang tidak dapat terelakkan akibat meningkatnya laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang cukup tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

ANALISIS NORMATIF TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN ARCA DI MUSEUM SKRIPSI

ANALISIS NORMATIF TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN ARCA DI MUSEUM SKRIPSI ANALISIS NORMATIF TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN ARCA DI MUSEUM SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Oleh : HERI SUBADI NIM. 07020441

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan dunia saat ini yang telah memasuki era globalisasi, maka aktivitas manusia di segala bidang juga semakin meningkat. Meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Primary needs, Pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. Primary needs, Pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pergaulan hidup manusia diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma yang pada hakekatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan

Lebih terperinci

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG A. PENGANIAYAAN Kejahatan terhadap tubuh orang lain dalam KUHP diatur pada pasal 351-358 KUHP. Penganiayaan diatur dalam pasal 351 KUHP yang merumuskan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : Putusan Pengadilan adalah

Lebih terperinci