TRAKTAT KERJASAMA PATEN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TRAKTAT KERJASAMA PATEN"

Transkripsi

1 TRAKTAT KERJASAMA PATEN (Patent Cooperation Treaty) Dibuat di Washington pada tanggal 19 Juni 1970, Perubahan pada tanggal 28 September 1979 Disempurnakan/modifikasi pada tanggal 3 Februari 1984 (Berlaku dari sejak tanggal 1 Januari 1994) WIPO Organisasi Hak Atas Kekayaan Intelektual Dunia Jenewa 1995

2 Traktat (Perjanjian) Kerjasama Paten (Patent Cooperation Treaty) Dibuat di Washington pada tanggal 19 Juni 1970, Diamandir pada tanggal 28 September 1979, Dan dimodifikasi pada tanggal 3 Februari 1984 World lntelectual Property Organization GENEVA 1998 Negara-negara Peserta, Yang berkeinginan untuk memberikan sumbangan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, Yang berkeinginan untuk menyempumakan perlindungan hukum atas penemuan-penemuan, Yang berkeinginan untuk mempermudah dan memberikan perolehan perlindungan atas penemuan yang lebih ekonomis, di mana perlindungan dimintakan di beberapa negara, Yang berkeinginan untuk mempermudah dan mempercepat akses oleh masyarakat terhadap informasi teknologi yang terkandung dalam dokumen-dokumen yang menguraikan penemuan-penemuan baru, Yang berkeinginan untuk menjalin dan mempercepat pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang melalui pemakaian nilai-nilai yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi sistem-sistem hukum negara-negara tersebut, baik nasional maupun regional, yang dibangun untuk perlindungan atas penemuan-penemuan dengan menyediakan informasi yang dapat diperoleh secara mudah tentang tersedianya pemecahan-pemecahan teknologi yang dapat diterapkan pada kebutuhan-kebutuhan khusus mereka dan dengan mempermudah akses atas teknologi maju yang selalu berkembang, Berkeyakinan bahwa kerjasama antar negara-negara akan sangat mempermudah pencapaian tujuan-tujuan ini, Telah menyepakati Traktat ini.. Ketentuan-ketentuan Pendahuluan

3 Pasal 1 Pembentukan Serikat (1) Negara-negara Anggota Traktat ini (selanjutnya disebut "Negara-negara Peserta") membentuk sebuah Serikat untuk kerjasama dalam pengajuan, penelusuran, dan pemeriksaan permintaan-permintaan perlindungan atas penemuan-penemuan, dan untuk memberikan layanan-layanan khusus. Serikat ini disebut sebagai Serikat Kerjasama Paten Internasional. (2) Ketentuan-ketentuan Traktat ini tidak mengurangi hak-hak warga negara atau penduduk negara yang menjadi peserta Konvensi tersebut, berdasarkan Paris Convention for the Protection of Industrial Property. Pasal 2 Pengertian-pengertian Untuk tujuan-tujuan Traktat ini dan Peraturannya, dan kecuali dinyatakan sebaliknya: (i) (ii) (iii) (iv) (v) (vi) "permintaan paten" adalah permintaan untuk perlindungan atas sebuah penemuan; acuan-acuan untuk sebuah "permintaan paten" harus dipahami sebagai acuan-acuan untuk penemuan, sertifikat penemu, serifikat paten sederhana, paten sederhana, paten atau sertifikat tambahan, sertifikat penemu tambahan, dan sertifikat paten sederhana tambahan; acuan-acuan untuk sebuah "paten" harus dipahami sebagai acuan-acuan untuk penemuan, sertifikat penemu, sertifikat paten sederhana, paten sederhana, paten atau sertifikat tambahan, sertifikat penemu tambahan, dan sertifikat paten sederhana tambahan; "paten nasional" adalah paten yang diberikan oleh suatu Badan National; "paten regional" adalah paten yang diberikan oleh suatu Badan Nasional atau Badan Antar pemerintah yang mempunyai kekuasaan untuk memberikan paten yang berlaku pada lebih dari satu negara; "permintaan paten regional" adalah permintaan paten untuk sebuah paten regional; acuan-acuan atas sebuah "permintaan paten nasional" harus dipahami sebagai acuan-acuan atas permintaanpermintaan paten nasional dan paten regional, selain permintaan-permintaan yang diajukan berdasarkan Traktat ini; (vii) "permintaan paten internasional" adalah permintaan paten yang diajukan berdasarkan Traktat ini; (viii) acuan-acuan atas sebuah "permintaan" harus dipahami sebagai acuan-acuan atas permintaan-permintaan paten internasional dan permintaan-permintaan paten nasional; (ix) (x) (xi) acuan-acuan atas sebuah "paten" harus dipahami sebagai acuan-acuan atas paten-paten nasional dan patenpaten regional; acuan-acuan atas "hukum nasional" harus dipahami sebagai acuan-acuan atas hukum nasional dari sebuah Negara Peserta atau, bila suatu permintaan paten regional atau melibatkan sebuah paten regional, atas Traktat yang mengurus pengajuan permintaan paten regional atau pemberian paten regional; "tanggal prioritas", untuk tujuan-tujuan penghitungan batas waktu, adalah: (a) bila paten internasional memuat suatu klaim prioritas berdasarkan Pasal 8, tanggal penerimaan permintaan yang dimintakan prioritasnya; (b) bila permintaan paten internasional memuat sejumlah klaim prioritas berdasarkan Pasal 8, tanggal penerimaan permintaan paten paling awal yang dimintakan prioritasnya; (c) bila permintaan paten internasional tidak memuat klaim prioritas berdasarkan Pasal 8, tanggal penerimaan permintaan internasional dari permintaan paten tersebut; (xii) "Kantor Paten Nasional" adalah Badan pemerintah dari sebuah Negara Peserta yang dipercayakan untuk memberikan paten; acuan-acuan atas sebuah "Kantor Paten Nasional" juga harus dipahami mengacu pada Badan antar-pemerintah yang telah dipercaya oleh sejumlah negara dengan tugas memberikan paten

4 regional, dengan syarat bahwa salah satu dari negara-negara tersebut adalah Negara Peserta, dan dengan syarat negara-negara tersebut telah memberikan kuasa kepada Badan tersebut untuk memikul kewajibankewajiban dan melaksanakan wewenang yang ditetapkan oleh Traktat ini dan Peraturannya berkaitan dengan Kantor Paten Nasional; (xiii) "Kantor Ditunjuk" adalah Kantor Paten Nasional atau Kantor Paten yang bertindak untuk Negara Ditunjuk oleh pemohon berdasarkan BAB I dari Traktat ini; (xiv) "Kantor Dipilih" adalah Kantor Paten Nasional atau Kantor Paten yang bertindak untuk Negara yang dipilih pemohon berdasarkan BAB II dari Traktat ini; (xv) "Kantor Penerima" adalah Kantor Paten Nasional atau organisasi antar-pemerintah di mana permintaan paten internasional diajukan; (xvi) "Serikat" adalah Serikat Kerjasama Paten Internasional; (xvii) "Majelis" adalah Majelisdari Serikat; (xviii) "Organisasi" adalah World Intellectual Property Organization (WIPO); (xix) "Biro Internasional" adalah Biro Internasional dari Organisasi dan, selama Biro berdiri, United International Bureau for the Protection of Intellectual Property (BIRPI); (xx) "Direktur Jenderal" adalah Direktur Jenderal dari Organisasi, dan selama BIRPI berdiri, Direktur BIRPI. BAB I Permintaan Paten Internasional dan Penelusuran Internasional Pasal 3 Permintaan Paten Internasional (1) Permintaan perlindungan atas penemuan pada Negara Peserta dapat diajukan sebagai permintaan paten internasional berdasarkan Traktat ini. (2) Sebuah permintaan paten internasional harus memuat, sebagaimana dijelaskan dalam Traktat ini dan Peraturannya, sebuah permohonan, sebuah uraian penemuan, sebuah klaim atau lebih, sebuah gambar atau lebih (bila diminta), dan sebuah abstrak. (3) Abstrak semata-semata berfungsi untuk tujuan informasi teknis dan tidak bisa diperhitungkan untuk tujuan lain, terutama tidak untuk tujuan menjelaskan lingkup perlindungan yang dimintakan. (4) Permintaan paten internasional harus: (i) dibuat dalam bahasa yang ditentukan; (ii) memenuhi persyaratan fisik yang ditentukan; (iii) memenuhi syarat yang ditentukan tentang kesatuan penemuan; (iv) membayar biaya-biaya yang ditentukan. Pasal 4 Permohonan (1) Permohonan harus memuat: (i) sebuah permintaan agar permintaan paten internasional diproses menurut Traktat ini; (ii) penunjukan Negara-negara Peserta di mana perlindungan atas penemuan diinginkan dengan dasar permintaan paten internasional ("Negara-negara Ditunjuk"); jika untuk Negara Ditunjuk sebuah paten regional bisa didapatkan dan pemohon berkeinginan untuk mendapatkan sebuah paten regional daripada paten nasional, maka hal ini dinyatakan dalam permohonan; jika, berdasarkan sebuah Traktat tentang paten regional, pemohon tidak bisa membatasi permintaan patennya pada Negaranegara Peserta tertentu saja dari Traktat tersebut, maka penunjukan salah satu negara-negara tersebut dan petunjuk tentang keinginan untuk mendapatkan paten regional dianggap sebagai penunjukan

5 (iii) (iv) (v) seluruh negara Peserta dari Traktat tersebut; jika, berdasarkan hukum nasional dari Negara Ditunjuk, penunjukan negara tersebut mempunyai pengaruh sebagai permintaan untuk sebuah paten regional maka penunjukan negara tersebut diangap sebagai petunjuk atas keinginan untuk mendapatkan paten regional; nama dan data lain sebagaimana ditetapkan tentang pemohon dan kuasanya (jika ada); judul penemuan; nama dan data lain yang ditetapkan tentang penemu bila hukum nasional dari sekurang-kurangnya satu Negara Ditunjuk menghendaki dilengkapinya petunjuk-petunjuk ini pada saat pengajuan sebuah permintaan paten nasional. Jika tidak, petunjuk-petunjuk tersebut hanya dapat dilengkapi baik dalam permohonan atau dalam pemberitahuan-pemberitahuan terpisah yang dialamatkan ke masing-masing Kantor Ditunjuk yang hukum nasionalnya menghendaki pelengkapan petunjuk-petunjuk tersebut namun mengizinkan untuk dilengkapi pada waktu yang melewati tanggal penerimaan permintaan sebuah permintaan paten nasional. (2) Setiap penunjukan harus membayar biaya yang ditentukan dalam jangka waktu yang ditentukan. (3) Kecuali jika pemohon meminta perlindungan jenis lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, penunjukan memiliki arti bahwa perlindungan yang diinginkan terdiri atas pemberian sebuah paten oleh atau untuk Negara Ditunjuk. Untuk tujuan-tujuan ayat ini, Pasal 2(ii) tidak berlaku. (4) Kegagalan untuk mencantumkan nama dan data lain yang ditentukan tentang penemu dalam permohonan tidak memiliki akibat pada Negara Ditunjuk yang hukum nasionalnya menghendaki dilengkapinya petunjuk-petunjuk namun mengizinkan petunjuk-petunjuk tersebut dilengkapi pada waktu setelah pengajuan sebuah permintaan paten nasional. Kegagalan untuk melengkapi petunjuk-petunjuk tersebut dalam suatu pemberitahuan terpisah tidak mempunyai akibat pada Negara Ditunjuk yang hukum nasionalnya tidak menghendaki pelengkapan petunjuk-petunjuk tersebut. Pasal 5 U raian Penemuan Uraian penemuan harus mengungkapkan penemuan dengan cara yang cukup jelas dan lengkap sehingga penemuan tersebut dapat dilaksanakan oleh seseorang yang ahli di bidang terkait. Pasal 6 Klaim Klaim atau klaim-klaim harus menjelaskan hal yang dimintakan perlindungan, harus jelas dan ringkas, serta harus didukung sepenuhnya oleh uraian penemuan. Pasal 7 Gambar (1) Sesuai dengan ketentuan-ketentuan sub-ayat (2)(ii), gambar-gambar akan diminta bila gambar-gambar tersebut diperlukan untuk memahami penemuan. (2) Bila, tidak diperlukan untuk memahami penemuan, sifat penemuan tersebut memungkinkan ilustrasi dengan gambar-gambar: (i) pemohon dapat memasukkan gambar-gambar tersebut dalam permintaan paten internasional ketika diajukan, (ii) Kantor Ditunjuk dapat meminta pemohon untuk mengajukan gambar-gambar tersebut dalam jangka waktu yang ditentukan. Pasal 8 Permintaan Prioritas (1) Permintaan paten internasional dapat memuat sebuah pernyataan, sebagaimana ditentukan dalam Peraturan, yang meminta prioritas dari sebuah permintaan terdahulu atau lebih, yang diajukan pada atau untuk negara anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property.

6 (2) (a) Memenuhi ketentuan-ketentuan sub-ayat (b), kondisi-kondisi, dan pengaruh, permintaan prioritas yang dinyatakan menurut ayat (1) harus sesuai dengan sebagaimana ditentukan dalam Stockholm Act dari Paris Convention for the Protection of Industrial Property. (b) Permintaan paten internasional, yang dimintakan prioritas dari satu atau lebih permintaanpermintaan paten terdahulu yang diajukan pada sebuah Negara Peserta dimintakan, dapat memuat penunjukan Negara Peserta tersebut. Bila, dalam permintaan paten internasional, prioritas dari satu atau lebih permintaan paten nasional yang diajukan pada sebuah Negara Ditunjuk, dimintakan, atau bila prioritas dari sebuah permintaan paten internasional yang telah menunjuk hanya satu Negara dimintakan, maka kondisi-kondisi dan pengaruh dari prioritas yang dimintakan pada Negara tersebut diatur oleh hukum nasional Negara tersebut. Pasal 9 Pemohon (1) Setiap penduduk atau warga negara dari sebuah Negara Peserta dapat mengajukan permintaan paten internasional. (2) Majelis dapat memutuskan untuk mengizinkan penduduk dan warganegara dari Negara Peserta Paris Convention for the Protection of Industrial Property yang bukan anggota Traktat ini untuk mengajukan permintaan paten internasional. (3) Konsep kependudukan atau kewarganegaraan, dan penerapan konsep-konsep tersebut dalam kasus-kasus di mana terdapat sejumlah pemohon atau di mana para pemohon tidak sama untuk semua Negara Ditunjuk, dijelaskan dalam Peraturan. Pasal l0 Kantor Penerima Permintaan paten internasional harus diajukan ke Kantor Penerima yang ditentukan, yang akan memeriksa dan memproses permintaan tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Traktat ini dan Peraturannya. Pasal 11 Tanggal Penerimaan Permintaan Paten dan Pengaruh-pengaruh Permintaan Paten Internasional (1) Kantor Penerima memberikan tangal penerimaan permintaan paten internasional sebagai tanggal penerimaan permintaan paten internasional, dengan syarat, pada saat penerimaan: (i) pemohon secara jelas tidak kekurangan, untuk alasan-alasan kependudukan dan kewarganegaraan, hak untuk mengajukan permintaan paten internasional pada Kantor Penerima, (ii) permintaan paten internasional dibuat dalam bahasa yang ditentukan, (iii) permintaan paten internasional memuat sekurang-kurangnya elemen-elemen berikut ini: (a) suatu petunjuk bahwa permintaan paten tersebut dimaksudkan sebagai sebuah permintaan paten internasional, (b) penunjukan sekurang-kurangnya satu Negara Peserta, (c) nama pemohon, sebagaimana ditentukan, (d) sebuah bagian yang merupakan uraian penemuan, (e) sebuah bagian yang merupakan sebuah atau sejumlah klaim. (2) (a) Jika Kantor Penerima mengetahui bahwa permintaan paten internasional pada saat penerimaan, tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut dalam ayat (1), maka kantor Penerima, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan, meminta pemohon untuk mengajukan perbaikan yang dibutuhkan, (b) Jika pemohon memenuhi permintaan tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan, Kantor Penerima memberikan tanggal diterimanya perbaikan yang dibutuhkan sebagai tanggal penerimaan permintaan paten internasional. (3) Memenuhi Pasal 64(4), permintaan paten internasional yang memenuhi persyaratan yang disebutkan dalam item (i) sampai (iii) ayat (1) dan telah diberikan sebuah tanggal penerirnaan permintaan internasional mempunyai pengaruh sebagai sebuah permintaan paten nasional biasa pada masing-masing Negara

7 Ditunjuk mulai dari tanggal penerimaan pemintaan internasional, yang dianggap sebagai tanggal penerimaan permintaan paten yang sebenamya pada masing-masing Negara Ditunjuk. (4) Setiap permintaan paten internasional yang memenuhi persyaratan yang disebutkan dalam item (i) sampai (iii) ayat (1) adalah sama dengan pengajuan nasional biasa dalam pengertian Paris Convention for the Protection of Industrial Property. Pasal 12 Pengiriman Permintaan Paten Internasional ke Biro Internasional dan Badan Penelusuran Internasional (1) Sebuah tembusan permintaan paten internasional harus disimpan oleh Kantor Penerima ("home copy"), sebuah salinan ("record copy") harus dikirimkan ke Biro Internasional dan sebuah salinan yang lain ("Search copy") harus dikirirnkan ke Badan Penelusuran Internasional yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan. (2) record copy dianggap sebagai salinan yang asli dari permintaan paten internasional. (3) Permintaan paten internasional dianggap ditarik kembali jika record copy tidak diterima oleh Biro Internasional dalam batas waktu yang telah ditentukan. Pasal 13 Ketersediaan Salinan Permintaan Paten Internasional pada Kantor Ditunjuk (1) Kantor Ditunjuk dapat meminta Biro Internasional untuk mengirimkan sebuah salinan permintaan paten internasional sebelum komunikasi yang ditetapkan dalam Pasal 20, dan Biro Internasional harus mengirimkan salinan tersebut ke Kantor Ditunjuk sesegera mungkin setelah berakhirnya masa satu tahun sejak tanggal prioritas. (2) (a) Pemohon dapat, kapan saja, mengirimkan sebuah salinan permintaan paten internasionalnya ke Kantor Ditunjuk. (b) Pemohon dapat, kapan saja, meminta Biro Internasional untuk mengirimkan sebuah salinan permintaan paten internasionalnya ke Kantor-kantor Ditunjuk, dan Biro Internasional harus mengirimkan salinan tersebut sesegera mungkin. (c) Kantor Paten Nasional dapat memberitahukan Biro Internasional bahwa Kantor tersebut tidak ingin menerima salinan-salinan sebagaimana ditetapkan dalam sub-ayat (b), yang dalam hal ini sub-ayat (b) tidak berlaku berkenaan dengan Kantor tersebut. Pasal 14 Cacat-cacat Tertentu dalam Permintaan Paten Internasional (1) (a) Kantor Penerima harus memeriksa apakah permintaan paten internasional memuat cacat-cacat berikut ini, yaitu : (i) tidak ditandatangani sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan; (ii) tidak memuat petunjuk-petunjuk yang ditentukan tentang pemohon; (iii) tidak mempunyai judul; (iv) tidak mempunyai sebuah abstrak; (v) tidak memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan dengan persyaratan fisik yang ditentukan. (b) Jika Kantor Penerima menemukan cacat-cacat tersebut, Kantor Penerima harus meminta pemohon untuk memperbaiki permintaan paten internasional tersebut dalam jangka waktu yang ditentukan, di mana kegagalan untuk memenuhi permintaan tersebut maka permintaan paten akan dianggap ditarik kembali dan Kantor Penerima harus mengumumkan penarikan kembali permintaan paten tersebut. (2) Jika paten internasional mengacu pada gambar-gambar yang sebenarnya tidak terdapat dalam permintaan paten, maka Kantor Penerima harus memberitahukan pemohon dan pemohon dapat melengkapinya dalam batas waktu yang ditentukan dan jika tidak, maka tanggal penerimaan dari permintaan paten international

8 tersebut adalah tanggal pada saat gambar-gambar tersebut diterima oleh Kantor Penerima. Jika tidak, acuan-acuan pada gambar-gambar tersebut dianggap tidak ada. (3) (a) Jika Kantor Penerima mengetahui bahwa, dalam jangka waktu yang ditentukan, biaya-biaya yang ditentukan berdasarkan Pasal 3(4)(iv) belum dibayar, atau belum ada biaya-biaya yang ditentukan berdasarkan Pasal 4(2) yang dibayarkan berkenaan Negara-negara Ditunjuk, maka permintaan paten internasional dianggap ditarik kembali dan diumumkan oleh Kantor Penerima. (b) Jika Kantor Penerima mengetahui bahwa biaya yang ditentukan berdasarkan Pasal 4(2) telah dibayarkan berkenaan dengan satu atau lebih (namun kurang dari semua) Negara Ditunjuk dalam jangka waktu yang ditentukan, penunjukan Negara-negara yang belum dibayarkan dalam batas waktu yang ditentukan tersebut dianggap ditarik kembali dan diumumkan oleh kantor Penerima. (4) Jika, setelah memberikan tanggal penerimaan permintaan internasional pada sebuah permintaan paten internasional, Kantor Penerima mengetahui, dalam jangka waktu yang ditentukan, bahwa persyaratan yang disebutkan dalam item (i) sampai (iii) Pasal 11(1) tidak dipenuhi pada tanggal tersebut, maka permintaan paten tersebut dianggap ditarik kembali dan diumumkan oleh Kantor Penerima. Pasal 15 Penelusuran Internasional (1) Setiap permintaan paten internasional harus menjalani penelusuran internasional. (2) Tujuan penelusuran internasional adalah untuk mendapatkan penemuan terdahulu (prior art) yang terkait. (3) Penelusuran internasional dilakukan berdasarkan klaim-klaim, yang berkenaan dengan uraian penemuan dan gambar-gambar (jika ada). (4) Badan Penelusuran Internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 harus berupaya mendapatkan penemuan terdahulu yang terkait sebanyak-banyaknya sebagaimana dimungkinkan oleh fasilitas yang dimilikinya, dan, dalam keadaan apa saja, harus menggunakan dokumentasi sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan. (5) (a) Jika hukum nasional Negara Peserta memungkinkan, pemohon yang mengajukan sebuah perrnintaan paten nasional ke Kantor Paten Nasional atau Kantor yang bertindak untuk Negara tersebut, sesuai dengan kondisi-kondisi yang ditentukan dalam hukum tersebut, meminta agar sebuah penelusuran yang sama dengan penelusuran internasional ("penelusuran tipe-internasional") dilakukan atas permintaan paten tersebut. (b) Jika hukum nasional Negara Peserta memungkinkan, Kantor Paten Nasional atau Kantor yang bertindak untuk Negara tersebut dapat mewajibkan permintaan paten nasional yang ajukan pada kantor tersebut dilakukan penelusuran tipe-internasional. (c) Penelusuran tipe-internasional dilakukan oleh Badan Penelusuran Internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang mampu untuk melakukan penelusuran internasional, jika permintaan paten nasional merupakan permintaan paten internasional dan diajukan pada Kantor sebagaimana dimaksud dalam sub-ayat (a) dan (b). Jika permintaan paten nasional dibuat dalam bahasa yang, menurut Badan Penelusuran Internasional tidak bisa ditanganinya, maka penelusuran tipeinternasional dilakukan pada terjemahan yang disiapkan oleh pemohon dalam bahasa yang ditentukan untuk permintaan paten internasional dan Badan Penelusuran Internasional telah menerima bahasa tersebut untuk permintaan paten internasional. Permintaan paten nasional dan terjemahannya, bila diminta, disajikan dalam bentuk yang ditetapkan untuk permintaan paten internasional. Pasal 16 Badan Penelusuran Internasional (International Searching Authority) (1) Penelusuran internasional dilakukan oleh sebuah Badan Penelusuran Internasional yang dapat berupa Kantor Paten Nasional atau sebuah organisasi antar-pemerintah, seperti Institut Paten Internasional (lnternasional Patent Institute), yang tugasnya mencakup membuat laporan-laporan penelusuran dokumenter tentang penemuan terdahulu berkenaan dengan penemuan-penemuan yang merupakan subjek permintaan paten.

9 (2) Jika, sambil menunggu pendirian sebuah Badan Penelusuran Internasional tunggal, terdapat sejumlah Badan Penelusuran Internasional, maka masing-masing Kantor Penerima, sesuai dengan ketentuanketentuan dari kesepakatan yang ada sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)(b), menentukan Badan Penelusuran Internasional atau Badan-badan yang mampu untuk melakukan penelusuran atas permintaan paten internasional yang diajukan pada Kantor tersebut. (3) (a) Badan-badan Penelusuran Internasional ditunjuk oleh Majelis, Kantor Paten Nasional atau organisasi antar-pemerintah yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam sub-ayat (c) dapat ditunjuk sebagai Badan Penelusuran Internasional. (b) Penunjukan tergantung pada persetujuan Kantor Paten Nasional atau organisasi antar-pemerintah yang akan ditunjuk dan hasil akhir dari sebuah kesepakatan, yang harus disetujui oleh Majelis, antara Kantor Paten Nasional atau organisasi antar-pemerintah dan Biro Internasional. Kesepakatan tersebut harus menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak, khususnya, usaha formal oleh Kantor Nasional atau organisasi antar-pemerintah untuk menerapkan dan mematuhi semua aturan umum dari penelusuran internasional. (c) Peraturan menentukan persyaratan minimum, khususnya berkenaan dengan sumber daya manusia dan dokumentasi, yang harus dipenuhi oleh setiap Kantor Paten Nasional atau organisasi antarpemerintah sebelum Kantor Paten Nasional atau organisasi antar-pemerintah tersebut dapat ditunjuk dan harus tetap memenuhi memenuhi persyaratan tersebut selama Kantor Paten Nasional atau organisasi antar-pemerintah tersebut ditunjuk. (d) Penunjukan dilakukan untuk suatu jangka waktu tertentu dan dapat diperpanjang untuk periodeperiode selanjutnya. (e) Sebelum Majelis membuat keputusan tentang, penunjukan Kantor Paten Nasional atau organisasi antar-pemerintah, atau tentang perpanjangan penunjukannya, atau sebelum Majelis mengizinkan berakhirnya penunjukan, Majelis harus mendengarkan Kantor Paten Nasional atau organisasi antarpemerintah yang berminat dan meminta nasihat dari Komite Kerjasama Teknis (Committee for Technical Cooperation) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 setelah Komite tersebut dibentuk. Pasal 17 Prosedur pada Badan Penelusuran Internasional (1) Prosedur pada Badan Penelusuran Internasional diatur dengan ketentuan-ketentuan Traktat ini, Peraturannya, dan kesepakatan yang dihasilkan oleh Biro Internasional, yang sesuai dengan Traktat ini dan Peraturannya, dengan Badan tersebut. (2) a) Jika Badan Penelusuran Internasional menganggap : (i) bahwa permintaan paten internasional berkaitan dengan suatu subject matter yang tidak dimintakan untuk ditelusuri oleh Badan Penelusuran Internasional, berdasarkan Peraturan, dan dalam kasus tertentu memutuskan untuk melakukan penelusuran, atau (ii) bahwa uraian, klaim-klaim, atau gambar-gambar tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan sehingga suatu penelusuran yang berarti tidak bisa dilaksanakan, maka Badan tesebut mengumumkan hal tersebut dan memberitahukan pemohon dan Biro Internasional bahwa tidak ada laporan penelusuran internasional report yang akan dibuat. (b) Jika keadaan-keadaan sebagaimana dimaksud dalam sub-ayat (a) ditemukan dalam hubungannya dengan klaim-klaim tertentu saja, laporan penelusuran internasional harus menyatakan hal tersebut berkenaan dengan klaim-klaim dimaksud, sementara itu, untuk klaim-klaim yang lain, laporan tersebut dibuat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18. (3) (a) Jika Badan Penelusuran lnternasional menganggap bahwa permintaan paten internasional tidak memenuhi persyaratan tentang kesatuan penemuan sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan, maka Badan Penelusuran lnternasional meminta pemohon untuk membayar biaya-biaya tambahan, Badan Penelusuran lnternasional membuat Laporan Penelusuran lnternasional tentang bagian-bagian permintaan paten internasional yang berkaitan dengan penemuan yang pertama kali disebutkan dalam klaim ("penemuan utama") dan, apabila blaya-biaya tambahan yang ditentukan sudah dibayarkan dalam jangka waktu yang ditentukan, tentang bagian-bagian permintan paten internasional yang berkaitan dengan penemuan-penemuan yang sudah dibayarkan biayanya tersebut. (b) hukum nasional Negara Ditunjuk dapat menetapkan bahwa, bila Kantor Paten Nasional dari Negara tersebut mengetahui permintaan, sebagaimana dimaksud dalam sub-ayat (a), dari Badan Penelusuran lnternasional yang diakui dan bila pemohon belum membayar semua biaya-biaya tambahan, bagian-

10 bagian dari permintaan paten internasional yang belum ditelusuri, sejauh pengaruh permintaan paten di Negara tersebut, dianggap ditarik kembali kecuali jika suatu biaya khusus dibayar oleh pemohon ke Kantor Paten Nasional dari Negara tersebut. Pasal 18 Laporan Penelusuran Internasional (International Search Report) (1) Laporan penelusuran internasional dibuat dalam jangka waktu yang ditentukan dan dalam bentuk yang ditentukan. (2) Laporan penelusuran internasional, segera setelah dibuat, dikirimkan oleh Badan Penelusuran Internasional kepada pemohon dan Biro Internasional. (3) Laporan penelusuran internasional atau pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17(2) (a) harus diterjemahkan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Terjemahan harus dipersiapkan oleh atau di bawah tanggung jawab Biro Internasional. Pasal 19 Perubahan Klaim pada Biro Internasional (1) Pemohon, setelah menerima laporan penelusuran internasional, mempunyai sebuah kesempatan untuk merubah klaim-klaim permintaan paten internasional dengan mengajukan perubahan-perubahan pada Biro lnternasional dalam jangka waktu yang ditentukan. Pemohon, pada saat yang sama, mengajukan sebuah pernyataan singkat, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan, yang menjelaskan perubahan- perubahan dan menyatakan kemungkinan pengaruh-pengaruh perubahan tersebut pada uraian penemuan dan gambar-gambar. (2) Perubahan-perubahan tidak boleh keluar dari pengungkapan permintaan paten internasional sebagaimana diajukan. (3) Jika hukum nasional dari Negara-negara Ditunjuk mengizinkan perbaikan-perbaikan keluar dari pengungkapan tersebut, maka kegagalan untuk memenuhi ayat (2) tidak mempunyai akibat dalam Negara tersebut. Pasal 20 Komunikasi pada Kantor Ditunjuk (l) (a) Permintaan paten internasional, bersamaan dengan Laporan Penelusuran Internasional (termasuk petunjuk-petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17(2)(b) atau pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17(2)(a), diberitahukan pada masing-masing Kantor Ditunjuk, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan, kecuali jika Kantor Ditunjuk melepaskan syarat tersebut secara keseluruhan atau sebagian. (b) Pemberitahuan mencakup terjemahan (sebagaimana ditentukan) dari laporan atau pernyataan tersebut. (2) Jika klaim-klaim telah diubah sehubungan dengan Pasal 19(1), pemberitahuan tersebut memuat naskah utuh dari klaim-klaim sebagaimana diajukan dan sebagaimana diubah, atau memuat naskah utuh dari klaimklaim sebagaimana diajukan dan menentukan perbaikan-perbaikannya, dan mencakup pernyataan, jika ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19(1). (3) Atas permintaan Kantor Ditunjuk atau pemohon, Badan Penelusuran Internasional mengirimkan ke Kantor atau pemohon tersebut, masing-masing, salinan dokumen-dokumen yang disebutkan dalam laporan penelusuran internasional, sebagaimana ditetapkan Peraturan. Pasal 21 Publikasi Internasional (1) Biro Internasional mempublikasikan permintaan paten internasional.

11 (2) (a) Sesuai dengan pengecualian-pengecualian yang ditentukan dalam sub-ayat (b) dan dalam Pasal 64(3), publikasi internasional dari permintaan paten internasional dilakukan segera setelah habisnya jangka waktu 18 bulan dari tanggal prioritas permintaan paten tersebut. (b) Pemohon dapat meminta Biro Internasional untuk mempublikasikan permintaan paten internasionalnya sebelum habisnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam sub-ayat (a). Biro Internasional harus menyanggupi permintaan tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan. (3) Laporan penelusuran internasional atau pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17(2)(a) dipublikasikan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan. (4) Bahasa dan bentuk Publikasi internasional dan rincian lainnya diatur dalam Peraturan. (5) Publikasi internasional tidak dilakukan jika permintaan paten internasional ditarik kembali atau dianggap ditarik kembali sebelum persiapan teknis untuk publikasi diselesaikan. (6) Jika permintaan paten internasional memuat ungkapan-ungkapan atau gambar-gambar yang, menurut pendapat Biro Internasional bertentangan dengan kesusilaan atau aturan masyarakat, atau jika, menurut pendapat Biro Internasional permintaan paten internasional memuat pernyataan-pernyataan yang meremehkan sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan, Biro Internasional dapat menghilangkan pernyataan-pernyataan tersebut, gambar-gambar dari publikasinya, dengan menyatakan tempat dan jumlah kata atau gambar-gambar yang dihilangkan, dan memberikan, atas permintaan, salinan-salinan tersendiri dari bagian-bagian yang dihilangkan. Pasal 22 Salinan, Terjemahan, dan Biaya pada Kantor Ditunjuk (1) Pemohon harus menyediakan sebuah salinan permintaan paten internasional (kecuali jika pemberitahuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 20 telah dilakukan) dan sebuah terjemahannya (sebagaimana ditentukan), dan membayar biaya nasional (jika ada), kepada masing-masing Kantor Ditunjuk sebelum berakhirnya jangka waktu 20 bulan dari tanggal prioritas. Bila hukum nasional dari Negara Ditunjuk menghendaki petunjuk-petunjuk nama dan data yang ditentukan lainnya tentang penemu namun mengizinkan petunjuk-petunjuk tersebut dilengkapi setelah tanggal penerimaan permintaan paten nasional, maka pemohon, kecuali jika terdapat dalam permohonan, harus melengkapi petunjuk-petunjuk pada Kantor Paten Nasional atau kantor Paten yang bertindak untuk Negara, tersebut sebelum berakhirnya jangka waktu 20 bulan dari tanggal prioritas. (2) Apabila Badan Penelusuran Internasional membuat sebuah pernyataan, berdasarkan Pasal 17(2)(a), bahwa tidak ada laporan penelusuran internasional yang akan dibuat, maka jangka waktu untuk melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini adalah sama dengan yang ditentukan dalam ayat (1). (3) Hukum nasional, untuk melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau (2), dapat menetapkan batas-batas waktu yang berakhir setelah jangka waktu yang ditetapkan dalam ayat-ayat tersebut. Pasal 23 Penundaan Prosedur Nasional (1) Kantor Ditunjuk tidak akan memproses atau memeriksa permintaan paten internasional sebelum berakhirnya batas waktu yang ada berdasarkan Pasal 22. (2) Namun demikian, Kantor Ditunjuk, atas permohonan yang jelas dari pemohon, dapat memproses atau memeriksa permintaan paten internasional kapan saja.

12 Pasal 24 Kemungkinan Hilangnya Pengaruh pada Negara-negara Ditunjuk (1) Sesuai dengan, dalam hal (ii) di bawah ini, ketentuan-ketentuan Pasal 25, pengaruh permintaan paten internasional yang ditetapkan dalam Pasal 11(3) hilang pada Negara Ditunjuk dengan akibat-akibat yang sama sebagai penarikan kembali permintaan paten nasional pada Negara tersebut: (i) Jika pemohon menarik kembali permintaan paten internasionalnya atau penunjukan atas Negara tersebut; (ii) Jika permintaan paten internasional dianggap ditarik kembali berdasarkan Pasal 12(3), 14(1)(b), 14(3)(a), atau 14(4), atau jika penunjukan Negara tersebut dianggap ditarik kembali berdasarkan PasaI 14(3)(b); (iii) Jika pemohon gagal melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dalam jangka waktu yang dapat dipakai, (2) Mengabaikan ketentuan-ketentuan sub-ayat (1), Kantor Ditunjuk dapat mempertahankan pengaruh yang ditetapkan dalam Pasal 11(3) meskipun pengaruh tersebut tidak harus dipertahankan berdasarkan Pasal 25(2). Pasal 25 Peninjauan Kembali oleh Kantor Ditunjuk (1) (a) Apabila Kantor Penerima telah menolak untuk memberikan sebuah filing date international atau telah menyatakan bahwa permintaan paten internasional dianggap ditarik kembali, atau apabila Biro Internasional telah membuat suatu penemuan berdasarkan Pasal 12(3), Biro Internasional segera mengirimkan, atas permintaan pemohon, salinan-salinan dokumen dalam berkas ke Kantor Ditunjuk yang disebutkan oleh pemohon. (b) Apabila Kantor Penerima telah menyatakan bahwa penunjukan suatu Negara dianggap ditarik kembali, Biro Internasional segera mengirimkan, atas permintaan pemohon, salinan-salinan dokumen dalam berkas ke Kantor Paten Nasional dari Negara tersebut. (c) Permintaan berdasarkan sub-ayat (a) atau (b) diserahkan dalam jangka waktu yang ditentukan. (2) (a) Sesuai dengan ketentuan-ketentuan sub-ayat (b), masing-masing Kantor Ditunjuk harus dengan syarat biaya nasional (jika ada) telah dibayar dan terjemahan yang pantas (sebagaimana ditentukan) telah dilengkapi dalam batas waktu yang ditentukan, memutuskan apakah penolakan, pernyataan, atau penemuan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah benar berdasarkan ketentuanketentuan Traktat ini dan Peraturannya, dan, jika Kantor Ditunjuk mendapatkan bahwa penolakan atau pernyataan merupakan akibat dari suatu kesalahan atau penghilangan pada bagian Kantor Penerima atau bahwa penemuan tersebut merupakan akibat dari suatu kesalahan atau penghilangan bagian Biro Internasional, Kantor Ditunjuk, sejauh pengaruh dalam Negara dari Kantor Ditunjuk yang terkait, memperlakukan permintaan paten internasional seakan-akan kesalahan tersebut tidak terjadi. (b) Apabila record copy telah sampai pada Biro Internasional setelah berakhirnya batas waktu yang ditentukan berdasarkan Pasal 12(3) disebabkan oleh kesalahan atau penghilangan pada bagian pemohon, ketentuan-ketentuan sub-ayat (a) hanya berlaku pada keadaan-keadaan dimaksud dalam Pasal 48(2). Pasal 26 Kesempatan untuk Memperbaiki pada Kantor Ditunjuk Kantor Ditunjuk tidak akan menolak sebuah permintaan paten internasional dengan dasar tidak dipenuhinya persyaratan Traktat ini dan Peraturannya tanpa sebelumnya memberikan kesempatan kepada pemohon untuk memperbaiki permintaan paten tersebut sesuai dengan dan berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh hukum nasional untuk situasi-situasi yang sama atau setara dalam hal permintaan paten nasional. Pasal 27 Persyaratan Nasional (1) Hukum nasional menghendaki dipenuhinya persyaratan yang berhubungan dengan bentuk atau isi permintaan paten internasional yang berbeda dari atau yang merupakan tambanan dari ketentuanketentuan dalam Traktat ini dan Peraturannya.

13 (2) Ketentuan-ketentuan sub (I) tidak mempengaruhi penerapan ketentuan-ketentuan Pasal 7(2) dan juga tidak menghalangi hukum nasional untuk mengharuskan, setelah dimulainya proses atas permintaan paten internasional pada Kantor Ditunjuk, dilengkapinya: (i) bila pemohon merupakan sebuah badan hukum, nama seorang pegawai yang berhak mewakili badan hukum tersebut, (ii) dokumen-dokumen yang bukan merupakan bagian permintaan paten internasional namun merupakan bukti dugaan atau pernyataan-pertanyaan yang dibuat dalam permintaan paten tersebut, termasuk pengesahan permintaan paten internasional yang ditandatangani pemohon ketika permintaan paten tersebut, sebagaimana diajukan, ditandatangni oleh wakil atau kuasanya. (3) Apabila pemohon, untuk tujuan-tujuan Negara ditunjuk, tidak memenuhi syarat menurut hukum nasional Negara tersebut untuk mengajukan sebuah permintaan paten nasional karena pemohon bukan merupakan penemu, permintaan paten internasional tersebut dapat ditolak oleh Kantor Ditunjuk. (4) Apabila hukum nasional menetapkan, berkenaan dengan bentuk atau isi permintaan paten nasional persyaratan yang menurut hemat pemohon lebih menguntungkan dari persyaratan yang ditetapkan oleh Traktat ini dan Peraturannya berkenaan dengan permintaan paten internasional, maka Kantor Paten Nasional pengadilan dan lembaga-iembaga yang berwenang lainnya atau lembaga-lembaga yang bertindak mewakili Negara Ditunjuk dapat menerapkan persyaratan yang ditetapkan hukum nasional, sebagai pengganti persyaratan yang ditetapkan oleh Traktat ini dan Peraturannya, kecuali bila pemohon tetap meminta agar persyaratan yang ditetapkan oleh Traktat ini dan Peraturannya diterapkan pada permintaan paten internasionalnya. (5) Ketentuan-ketentuan dalam Traktat ini dan Peraturannya tidak dimaksudkan untuk dipahami sebagai penentu hal apapun yang akan membatasi kebebasan masing-masing Negara Peserta untuk menentukan kondisi-kondisi substantif patentabilitas sebagaimana diinginkan. Secara khusus, ketentuan-ketentuan dalam Traktat ini dan Peraturannya yang berkenaan dengan pengertian penemuan terdahulu adalah secara ekslusif untuk tujuan-tujuan prosedur internasional, dan dengan demikian, Negara Peserta bebas untuk menerapkan, pada saat menentukan patentabilitas penemuan yang dimintakan dalam suatu permintaan paten internasional kriteria-kriteria hukum nasionalnya berkenaan dengan penemuan terdahulu dan kondisi-kondisi lain dari patentabilitas yang bukan merupakan persyaratan tentang bentuk dan isi permintaan paten. (6) Hukum nasional dapat meminta pemohon untuk melengkapi bukti berkenaan dengan kondisi substantif dari patentabilitas yang ditentukan oleh hukum tersebut. (7) Kantor Penerima atau, segera setelah dimulainya proses atas permintaan paten internasional pada Kantor Ditunjuk, Kantor tersebut dapat menerapkan hukum nasional sejauh hukum tersebut berkaitan dengan persyaratan agar pemohon diwakili oleh seorang kuasa yang mempunyai hak untuk mewakili pemohon pada Kantor tersebut dan/atau agar pemohon memiliki sebuah alamat di Negara Ditunjuk untuk tujuan penerimaan pemberitahuan. (8) Ketentuan-ketentuan dalam Traktat ini dan Peraturannya tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan Negara Peserta untuk menerapkan langkah-langkah yang dianggap perlu untuk penjagaan keamanan nasionalnya atau untuk membatasi, untuk perlindungan kepentingan ekonomi umum Negara tersebut, hak penduduk atau warganegaranya sendiri untuk mengajukan permintaan paten internasional. Pasal 28 Perbaikan Klaim, Uraian Penemuan, dan Gambar-gambar pada Kantor Ditunjuk (1) Pemohon harus diberikan kesempatan untuk merubah klaim-klaim, uraian penemuan, dan gambargambar, pada masing-masing Kantor Ditunjuk dalam batas waktu yang ditentukan. Kantor Ditunjuk tidak akan memberikan sebuah paten, atau menolak pemberian sebuah paten, sebelum batas waktu tersebut berakhir kecuali dengan permohonan yang jelas dari pemohon. (2) Perubahan-perubahan tidak boleh keluar dari pengungkapan dalam permintaan paten internasional sebagaimana diajukan kecuali jika hukum nasional Negara Ditunjuk mengizinkan perubahan-perubahan tersebut keluar dari pengungkapan.

14 (3) Perubahan-perubahan harus sesuai dengan hukum nasional Negara Ditunjuk dalam segala hal yang tidak ditetapkan dalam Traktat ini dan Peraturannya. (4) Apabila Kantor Ditunjuk menghendaki sebuah terjemahan dari permintaan paten internasional, perubahanperubahan tersebut harus dibuat dalam bahasa terjemahan. Pasal 29 Pengaruh-pengaruh Publikasi Internasional (1) Sehubungan dengan perlindungan hak-hak pemohon pada sebuah Negara Ditunjuk, pengaruh-pengaruh publikasi internasional dari sebuah permintaan paten internasional, pada Negara itu, yang harus memenuhi ketentuan-ketentuan ayat (2) sampai (4), adalah sama dengan pengaruh-pengaruh yang ditetapkan oleh hukum nasional dari Negara Ditunjuk tersebut untuk publikasi nasional yang wajib dari permintaan paten nasional yang tidak diperiksa tersebut. (2) Jika bahasa yang dipakai dalam publikasi internasional berbeda dengan bahasa yang dipakai berdasarkan hukum nasional pada Negara Ditunjuk, hukum nasional tersebut dapat menetapkan bahwa pengaruhpengaruh yang ditetapkan dalam ayat (1) dapat diterapkan hanya dari waktu seperti: (i) sebuah terjemahan ke dalam bahasa nasional telah dipublikasikan sebagaimana ditetapkan oleh hukum nasional, atau (ii) sebuah terjemahan ke dalam bahasa nasional telah bisa didapatkan oleh masyarakat, dengan mengumumkan kepada masyarakat sebagaimana ditetapkan oleh hukum nasional, atau (iii) sebuah terjemahan ke dalam bahasa nasional telah dikirimkan oleh pemohon kepada pemakai atau calon pemakai yang tidak berhak dari penemuan yang dimintakan dalam permintaan paten internasional, atau (iv) kedua tindakan yang diuraikan dalam (i) dan (iii), atau kedua tindakan yang diuraikan dalam (ii) dan (iii), telah berlangsung, (3) Hukum nasional Negara Ditunjuk dapat menetapkan bahwa, bila publikasi internasional telah dilakukan, atas permintaan pemohon, sebelum berakhirnya, jangka waktu 18 bulan dari tanggal prioritas, pengaruhpengaruh sebagaimana ditetapkan dalam ayat (1) dapat diterapkan hanya dari berakhirnya jangka waktu 18 bulan dari tanggal prioritas. (4) Hukum nasional Negara Ditunjuk dapat menetapkan bahwa pengaruh-pengaruh yang ditetapkan dalam ayat (1) dapat diterapkan hanya dari tanggal di mana sebuah tembusan permintaan paten internasional sebagaimana dipublikasikan berdasarkan Pasal 21 telah diterima di Kantor Paten Nasional atau Kantor yang bertindak atas nama Negara tersebut. Kantor tersebut mempublikasikan tanggal penerimaan dalam berita resmi/jurnal sesegera mungkin. Pasal 30 Sifat Kerahasiaan Permintaan Paten Internasional (1) (a) Memenuhi ketentuan-ketentuan sub-ayat (b), Biro Internasional dan Badan-badan Penelusuran Internasional tidak mengizinkan akses oleh siapa saja atau Badan mana saja terhadap permintaan paten internasional sebelum publikasi internasional dari permintaan paten tersebut kecuali jika diminta atau diberi kuasa oleh pemohon. (b) Ketentuan-ketentuan sub-ayat (a) tidak berlaku untuk pengiriman pada Badan Penelusuran Internasional yang berkepentingan, untuk pengiriman-pengiriman sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 13, dan pemberitahuan-pemberitahuan yang ditetapkan dalam Pasal 20. (2) (a) Kantor Paten Nasional tidak mengizinkan akses terhadap permintaan paten internasional oleh pihakpihak ketiga, kecuali jika diminta atau diberi kuasa oleh pemohon, sebelum awal tanggal-tanggal berikut: (i) tanggal publikasi internasional dari permintaan paten internasional, (ii) tanggal penerimaan pemberitahuan permintaan paten internasional berdasarkan Pasal 20, (iii) tanggal penerimaan sebuah tembusan permintaan paten internasional berdasarkan Pasal 22. (b) Ketentuan-ketentuan sub-ayat (a) tidak menghalangi Kantor Paten Nasional untuk memberitahukan pihak-pihak ketiga bahwa kantor Paten Nasional tersebut telah ditunjuk, atau dari publikasi fakta

15 (c) tersebut. Namun demikian, informasi atau publikasi tersebut hanya dapat memuat data-data berikut ini: penyebutan Kantor Penerima, nama pemohon, tanggal penerimaan internasional, nomor permintaan paten internasional, dan judul penemuan, Ketentuan-ketentuan sub-ayat (a) tidak menghalangi Kantor Ditunjuk untuk mengizinkan akses terhadap permintaan paten internasional untuk tujuan-tujuan Badan-badan peradilan. (3) Ketentuan-ketentuan ayat (2)(a) berlaku pada Kantor Penerima kecuali dalam hal pengiriman-pengiriman yang ditetapkan berdasarkan Pasal 12(1). (4) Untuk tujuan-tujuan Pasal ini, istilah "akses" mencakup cara-cara apa saja yang dipakai oleh pihak-pihak ketiga untuk mencari tahu, termasuk komunikasi pribadi dan publikasi umum, namun dengan syarat bahwa Kantor Paten Nasional tidak mempublikasikan secara umum permintaan paten internasional atau terjemahannya sebelum publikasi internasional atau, jika publikasi internasional belum dilakukan sampai berakhirnya jangka waktu 20 bulan sejak tanggal prioritas, sebelum berakhirnya jangka waktu 20 bulan sejak tanggal prioritas tersebut. BAB II Pemeriksaan Pendahuluan Internasional Pasal 31 Permintaan untuk Pemeriksaan Pendahuluan Internasional (1) Pemohon dapat meminta untuk dilakukan suatu pemeriksaan pendahuluan internasional atas permintaan paten internasionalnya, sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan-ketentuan berikut ini dan dalam Peraturan. (2) (a) Pemohon yang merupakan penduduk atau warganegara, sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan, dari sebuah Negara Peserta yang terikat oleh BAB II, dan telah mengajukan permintaan paten internasional pada Kantor Penerima atau Kantor yang bertindak untuk Negara tersebut, dapat mengajukan permintaan untuk pemeriksaan pendahuluan internasional. (b) Majelis dapat memutuskan untuk mengizinkan orang-orang yang berhak mengajukan permintaan paten internasional untuk mengajukan permintaan pemeriksaan pendahuluan internasional meskipun mereka merupakan penduduk atau warganegara dari Negara yang bukan merupakan anggota Traktat atau tidak terikat oleh BAB II. (3) Permintaan pemeriksaan pendahuluan internasional dibuat secara terpisah dari permintaan paten internasional, Permintaan tersebut memuat keterangan-keterangan yang ditentukan dan dalam bahasa dan bentuk yang ditentukan. (4) (a) Permintaan menyebutkan Negara-negara Peserta atau Negara-negara di mana pemohon ingin menggunakan hasil pemeriksaan pendahuluan internasional ("Negara-negara Terpilih"), Negaranegara Peserta tambahan dapat dipilih kemudian. Pemilih hanya dapat terkait pada Negara-negara Peserta yang telah ditunjuk berdasarkan Pasal 4. (b) Pemohon sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)(a) dapat memilih Negara-negara Peserta yang terikat oleh BAB II, Pemohon sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)(b) hanya dapat memilih Negara-negara Peserta yang terikat oleh BAB II sebagaimana telah menyatakan bahwa negara-negara tersebut siap untuk dipilih oleh pemohon tersebut. (5) Permintaan harus membayar biaya-biaya yang ditentukan dalam batas waktu yang ditentukan. (6) (a) Permintaan diserahkan kepada Badan Pemeriksa Pendahuluan Internasional yang mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32. (b) Pemilihan selanjutnya diserahkan kepada Biro Internasional. (7) Masing-masing Kantor Dipilih diberitahukan tentang pemilihannya.

16 Pasal 32 Badan Pemeriksa Pendahuluan Internasional (International Preliminary Examination Authority) (1) Pemeriksaan pendahuluan internasional dilakukan oleh Badan Pemeriksa pendahuluan Internasional. (2) Dalam hal permintaan-permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31(2)(a), Kantor Penerima, dan, dalam hal permintaan-permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31(2)(b), Majelis, sesuai dengan kesepakatan yang ada antara Badan atau Badan-badan Pemeriksa Pendahuluan Internasional yang berminat dan Biro Internasional, menentukan Badan Pemeriksa Pendahuluan yang mampu melakukan pemeriksaan pendahuluan. (2) Ketentuan-ketentuan Pasal 16(3) berlaku, mutatis mutandis, berkaitan dengan Badan-badan Pemeriksa Pendahuluan Internasional. Pasal 33 Pemeriksaan Pendahuluan Internasional (1) Tujuan pemeriksaan pendahuluan internasional adalah, untuk merumuskan sebuah pendapat pendahuluan dan tidak mengikat tentang pertanyaan-pertanyaan apakah penemuan yang dimintakan perlindungan merupakan penemuan yang baru, mengandung langkah penemuan (non-obvious), dan bisa diterapkan dalam industri. (2) Untuk tujuan-tujuan pemeriksaan pendahuluan internasional, sebuah penemuan yang dimintakan perlindungan dianggap baru bila penemuan tersebut tidak diantisipasi oleh prior art sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan. (3) Untuk tujuan-tujuan pemeriksaan pendahuluan internasional, sebuah penemuan yang dimintakan perlindungan dianggap mengandung suatu langkah penemuan jika, setelah memperhatikan penemuan terdahulu sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan, penemuan tersebut, pada tanggal relevan yang ditentukan, tidak bisa diduga (not obvious) bagi seseorang yang memiliki keahlian dalam bidang tersebut. (4) Untuk tujuan-tujuan pemeriksaan pendahuluan internasional, sebuah penemuan yang dimintakan perlindungan dianggap dapat diterapkan dalam industri jika, berdasarkan pada sifatnya, penemuan tersebut dapat dibuat atau digunakan (dalam pengertian teknologi) dalam industri. "Industri" dipahami dalam pengertian yang luas, sebagaimana dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property. (5) Kriteria yang diuraikan diatas semata-mata berguna untuk tujuan-tujuan pemeriksaan pendahuluan internasional. Negara Peserta dapat menerapkan kriteria tambahan atau kriteria lain untuk tujuan menentukan apakah, pada Negara tersebut, penemuan yang dimintakan bisa diberikan paten atau tidak. (6) Pemeriksaan pendahuluan internasional harus mempertimbangkan seluruh dokumen yang disebutkan dalam Laporan Penelusuran Internasional. Pemeriksaan pendahuluan internasional dapat mempertimbangkan dokumen-dokumen tambahan yang dianggap relevan dalam kasus tertentu. Pasal 34 Prosedur pada Badan Pemeriksa Pendahuluan Internasional (1) Prosedur pada Badan Pemeriksa Pendahuluan Internasional diatur dengan ketentuan-ketentuantraktat ini, Peraturannya, dan kesepakatan yang akan dihasilkan oleh Biro Internasional, yang sesuai dengan Traktat ini dan Peraturannya, dengan Badan tersebut. (2) (a) Pemohon mempunyai hak untuk berhubungan secara langsung dan secara tertulis dengan Badan Pemeriksa Pendahuluan Internasional. (b) Pemohon mempunyai hak untuk mengubah klaim-klaim, uraian penemuan dan gambar-gambar dengan cara-cara yang ditetapkan dan dalam batas waktu yang ditetapkan, sebelum laporan pemeriksaan pendahuluan internasional dibuat. Perubahan tidak boleh keluar dari pengungkapan dalam permintaan paten internasional sebagaimana diajukan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sejalan dengan retifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan hak kekayaan intelektual yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan Kekayaan Intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n 2 000 Tentang Desain Industri DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 243, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1991 TENTANG TATA CARA PERMINTAAN PATEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1991 TENTANG TATA CARA PERMINTAAN PATEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1991 TENTANG TATA CARA PERMINTAAN PATEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan sistem paten sebagaimana diatur

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1991 TENTANG TATA CARA PERMINTAAN PATEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1991 TENTANG TATA CARA PERMINTAAN PATEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1991 TENTANG TATA CARA PERMINTAAN PATEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan sistem paten sebagaimana diatur

Lebih terperinci

Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Desain Industri;

Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Desain Industri; Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Desain Industri; UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 PENJELASAN ATAS TENTANG DESAIN INDUSTRI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 PENJELASAN ATAS TENTANG DESAIN INDUSTRI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI I. UMUM Indonesia sebagai negara berkembang perlu memajukan sektor industri dengan meningkatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.252, 2016 HUKUM. Merek. Indikasi Geografis. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5541) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pem

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5541) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pem No.2134, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Pendaftaran Merek. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG PENDAFTARAN MEREK DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 244, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 32/2000, DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU *12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 PENJELASAN ATAS TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 MEREK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 PENJELASAN ATAS TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 MEREK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING

KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA 1958 Konvensi mengenai Pengakuan

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa di dalam era perdagangan global,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dengan adanya perkembangan kehidupan

Lebih terperinci

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 3444 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 42) UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS Halaman 1

UNDANG-UNDANG TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS Halaman 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa di dalam era perdagangan global,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 302, 1997 (HAKI. PATEN. Perdagangan. Penemuan. Ekonomi. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention)

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) BAB 1 PRINSIP UMUM 1.1. Standar Definisi, Standar, dan Standar

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

DAFTAR ISI. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE PROSES Acara Cepat KLRCA Bagian II SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI Bagian III PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

Lebih terperinci

KEPPRES 74/2004, PENGESAHAN WIPO PERFORMANCES AND PHONOGRAMS TREATY, 1996 (TRAKTAT; WIPO MENGENAI PERTUNJUKAN DAN REKAMAN SUARA, 1996)

KEPPRES 74/2004, PENGESAHAN WIPO PERFORMANCES AND PHONOGRAMS TREATY, 1996 (TRAKTAT; WIPO MENGENAI PERTUNJUKAN DAN REKAMAN SUARA, 1996) Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 74/2004, PENGESAHAN WIPO PERFORMANCES AND PHONOGRAMS TREATY, 1996 (TRAKTAT; WIPO MENGENAI PERTUNJUKAN DAN REKAMAN SUARA, 1996) *51746 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Undang-Undang Arbitrase Tahun 2005 3 SUSUNAN BAGIAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan

Lebih terperinci

BAB IV PANDUAN PATEN BAGI PENELITI LIPI

BAB IV PANDUAN PATEN BAGI PENELITI LIPI BAB IV PANDUAN PATEN BAGI PENELITI LIPI I. CARA MENGAJUKAN PATEN DI LIPI Paten atas suatu invensi diperoleh dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE PROSES Acara Cepat KLRCA Bagian II SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI Bagian III PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

TRAKTAT WORLD INTELLECTUAL PROPERTY ORGANIZATION MENGENAI PERTUNJUKAN DAN REKAMAN SUARA. WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) (1996)

TRAKTAT WORLD INTELLECTUAL PROPERTY ORGANIZATION MENGENAI PERTUNJUKAN DAN REKAMAN SUARA. WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) (1996) TRAKTAT WORLD INTELLECTUAL PROPERTY ORGANIZATION MENGENAI PERTUNJUKAN DAN REKAMAN SUARA WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) (1996) Mukadimah Para Negara Peserta Konvensi,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE KLRCA (Direvisi pada tahun 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada tahun 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS

KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS Disetujui dan dibuka bagi penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 2106 A (XX) 21 Desember 1965 Berlaku 4 Januari 1969

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

PERSYARATAN PERMOHONAN (FORMALITAS) PATEN, PCT, PPH dan ASPEC. Peten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas

PERSYARATAN PERMOHONAN (FORMALITAS) PATEN, PCT, PPH dan ASPEC. Peten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas PERSYARATAN PERMOHONAN (FORMALITAS) PATEN, PCT, PPH dan ASPEC PENDAHULUAN Peten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama

Lebih terperinci

Tanya Jawab Tentang Paten

Tanya Jawab Tentang Paten Tanya Jawab Tentang Paten Apakah paten itu? Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 5 TAHUN 1973 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI TATA CARA PEMBERIAN HAK ATAS TANAH

MENTERI DALAM NEGERI PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 5 TAHUN 1973 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI TATA CARA PEMBERIAN HAK ATAS TANAH MENTERI DALAM NEGERI PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 5 TAHUN 1973 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI TATA CARA PEMBERIAN HAK ATAS TANAH MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa melaksanakan Peraturan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN WIPO PERFORMANCES AND PHONOGRAMS TREATY, 1996 (TRAKTAT WIPO MENGENAI PERTUNJUKAN DAN REKAMAN SUARA, 1996) PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN (Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN (Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN (Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) Pembukaan Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Menegaskan

Lebih terperinci

PERSYARATAN PERMOHONAN (FORMALITAS) PATEN, PCT, PPH dan ASPEC

PERSYARATAN PERMOHONAN (FORMALITAS) PATEN, PCT, PPH dan ASPEC PERSYARATAN PERMOHONAN (FORMALITAS) PATEN, PCT, PPH dan ASPEC MAHRUZAR Pemeriksa Paten Mekanik dan Tek. Umum DIREKTORAT JENDERAL KEKAYAAN INTELEKTUAL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM Pemeriksaan Persyaratan Permohonan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE. ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) ARBITRASE ISLAM KLRCA

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE. ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) ARBITRASE ISLAM KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Islam KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan Undang-Undang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Keanekaragaman budaya yang dipadukan

BAB I PENDAHULUAN. dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Keanekaragaman budaya yang dipadukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang perlu memajukan sektor industri dengan meningkatkan kemampuan daya saing. Salah satu daya saing tersebut adalah dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN, PEMERIKSAAN, DAN PENYELESAIAN BANDING MEREK

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN, PEMERIKSAAN, DAN PENYELESAIAN BANDING MEREK PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN, PEMERIKSAAN, DAN PENYELESAIAN BANDING MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979)

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) PARA PIHAK DALAM KONVENSI MEMPERHATIKAN arti penting yang tercantum dalam beberapa konvensi mengenai pemberian

Lebih terperinci

NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN MENIMBANG: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan di Indonesia

Lebih terperinci

KONVENSI ROMA 1961 KONVENSI INTERNASIONAL UNTUK PERLINDUNGAN PELAKU, PRODUSER REKAMAN DAN BADAN-BADAN PENYIARAN

KONVENSI ROMA 1961 KONVENSI INTERNASIONAL UNTUK PERLINDUNGAN PELAKU, PRODUSER REKAMAN DAN BADAN-BADAN PENYIARAN KONVENSI ROMA 1961 KONVENSI INTERNASIONAL UNTUK PERLINDUNGAN PELAKU, PRODUSER REKAMAN DAN BADAN-BADAN PENYIARAN Diselenggarakan di Roma Tanggal 26 Oktober 1961 HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DUNIA JENEWA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN, PEMERIKSAAN, DAN PENYELESAIAN BANDING MEREK

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN, PEMERIKSAAN, DAN PENYELESAIAN BANDING MEREK PERATURAN PRESIDEN NOMOR 20 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN, PEMERIKSAAN, DAN PENYELESAIAN BANDING MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2003 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 81 CONCERNING LABOUR INSPECTION IN INDUSTRY AND COMMERCE (KONVENSI ILO NO. 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 LAMPIRAN : Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor : Kep-04/BAPMI/11.2002 Tanggal : 15 Nopember 2002 Nomor : Kep-01/BAPMI/10.2002 Tanggal : 28 Oktober 2002 PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE

Lebih terperinci

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011)

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011) DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur SUSUNAN BAGIAN Bagian I Pendahuluan 1. Judul singkat

Lebih terperinci

L E M B A R A N - N E G A R A R E P U B L I K I N D O N E S I A

L E M B A R A N - N E G A R A R E P U B L I K I N D O N E S I A L E M B A R A N - N E G A R A R E P U B L I K I N D O N E S I A No. 39, 1989 PERDATA, PERINDUSTRIAN, PIDANA, KEHAKIMAN, HAK MILIK, PATEN, TEKNOLOGI. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK I. UMUM Salah satu perkembangan yang aktual dan memperoleh perhatian saksama dalam masa sepuluh tahun terakhir ini dan kecenderungan

Lebih terperinci

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN 1 K-81 Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan

Lebih terperinci

RGS Mitra 1 of 19 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RGS Mitra 1 of 19 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RGS Mitra 1 of 19 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di

II. TINJAUAN PUSTAKA. hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Paten 1. Pengertian Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU Paten, yang dimaksud dengan Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1, 2005 HAKI. Industri. Desain. Pemohon. Pemegang. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

TENTANG SYARAT DAN TATACARA PERMOHONAN DAN PEMBERIAN HAK PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN MENTERI PERTANIAN,

TENTANG SYARAT DAN TATACARA PERMOHONAN DAN PEMBERIAN HAK PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN MENTERI PERTANIAN, KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 442/Kpts/HK.310/7/2004 TENTANG SYARAT DAN TATACARA PERMOHONAN DAN PEMBERIAN HAK PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa sebagai penghargaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

PATEN. Disusun oleh : Dr. Henny Medyawati, SKom,MM. Sumber: UU NO. 14 tahun 2001, tentang Paten,2010, New Merah Putih, Yogyakarta

PATEN. Disusun oleh : Dr. Henny Medyawati, SKom,MM. Sumber: UU NO. 14 tahun 2001, tentang Paten,2010, New Merah Putih, Yogyakarta PATEN Sejarah dan pengertian hak paten, objek dan subjek hak paten, sistem pendaftaran, pengalihan hak paten, jangka waktu dan ruang lingkup hak paten, pemeriksaan permintaan paten, lisensi dan pembatalan

Lebih terperinci

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL Hak Kekayaan Intelektual didefinisikan sebagai hak yang diberikan atas hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia Hak Kekayaan Intelektual

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.370, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL. Keterbukaan Informasi Publik. PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 148/KA/VII/2010 TENTANG

Lebih terperinci

PERJANJIAN KERJASAMA DISTRIBUSI ANTARA PEMASARAN REKAMAN SUARA

PERJANJIAN KERJASAMA DISTRIBUSI ANTARA PEMASARAN REKAMAN SUARA PERJANJIAN KERJASAMA DISTRIBUSI ANTARA PT INSAN INFONESIA dengan ARTIS-ARTIS INSAN MUSIC STORE tentang PEMASARAN REKAMAN SUARA Dengan dibuatnya dokumen ini, diadakan Perjanjian Kerjasama Antara: I. PT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang;

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undangundang tentang

Lebih terperinci