BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH ATAS PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH ATAS PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI"

Transkripsi

1 BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH ATAS PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI 3.1 Perlindungan Nasabah Pelaku usaha dan konsumen di bidang jasa keuangan atau yang sering disebut dengan nasabah adalah dua pihak yang saling memerlukan. Pelaku usaha perlu menjual barang dan jasanya kepada konsumen. Sebaliknya konsumen memerlukan barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan dijual oleh pelaku usaha guna memenuhi keperluannya sehingga kedua belah pihak saling memperoleh manfaat atau keuntungan. Dalam prakteknya sering kali konsumen dirugikan oleh pelaku usaha yang tidak jujur, yang jika ditinjau dari aspek hukum merupakan tindak pelanggaran hukum. Akibatnya konsumen menerima barang dan atau jasa tidak sesuai dengan kebutuhan mereka baik dari segi kualitas, kuantitas dan harganya. Di sisi lain karena ketidaktahuan dan kurangnya kesadaran konsumen akan hak-haknya maka konsumen menjadi korban pelaku usaha. 40 Kondisi tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang 40 Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen, FH. Unlam Press, 2008, Banjarmasin, h.v. lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis bagi pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya melalui promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.

2 Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen juga disebabkan karena mulai dari awal proses sampai hasil produksi barang dan/ atau jasa yang dihasilkan tanpa campur tangan konsumen sedikitpun sehingga dibutuhkan hukum untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. 41 Untuk melindungi keberadaan konsumen (nasabah) dalam proses jual-beli di dunia perbankan maka dibentuklah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013. Diharapkan dengan diterbitkannya peraturan khusus dibidang jasa keuangan, ada landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum terhadap kedudukan nasabah. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen dibidang jasa keuangan dalam memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa sesuai kebutuhan serta mempertahankan atau membela hakhaknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha sebagai penyedia kebutuhan konsumen. Adapun tujuan dari perlindungan konsumen ini tidak diatur secara 41 Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen Mandar Maju, 2000, Bandung, h.37. khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013 (Lex Specialis Derogat Legi Generali), tetapi diatur secara umum dalam Pasal 3 Undang- Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu sebagai berikut : a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan / atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

3 e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang, menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Tujuan-tujuan perlindungan konsumen ini merupakan sasaran akhir yang harus dicapai. Sampai saat ini secara universal diakui adanya hak-hak konsumen yang secara universal pula harus dilindungi dan dihormati yaitu : 42 a. Hak keamanan dan keselamatan b. Hak atas informasi c. Hak untuk memilih d. Hak untuk di dengar e. Hak atas lingkungan hidup 42 Ibid.,h.39. Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsipprinsip yang berlaku dalam bidang hukum. Prinsip-prinsip itu ada yang masih berlaku sampai sekarang tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan kosumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, termasuk dalam kelompok ini adalah: 43 a. Let the buyer beware (caveat emptor) b. The due care theory c. The prifity of contract

4 Let The Buyer Beware merupakan asas yang menekankan bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi konsumen. Akan tetapi di dalam perkembangannya, konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsikannya. Ketidakmampuan bukan hanya karena keterbatasan pengetahuan konsumen, tetapi lebih karena ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya. Jika konsumen mengalami kerugian, pelaku usaha dapat dengan mudah berdalih semua itu karena kelalaian konsumen itu sendiri. Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen kecenderungan ini mulai diarahkan menuju doktrin bahwa pelaku usaha yang 43 Sidharta,Op.Cit.,h perlu berhati-hati (caveat venditor). 44 Diharapkan dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen masyarakat atau konsumen tidak akan dirugikan oleh pelaku usaha dan mendapatkan haknya seiring dengan barangdan/atau jasa yang mereka butuhkan. Selain itu pelaku usaha juga harus selalu menerapkan kejujuran dan keterbukaan terhadap barang dan/jasa yang mereka perdagangkan atau perjualbelikan. The Due Care Theory. Prinsip atau doktrin yang menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan atau memasyarakatkan produknya, baik barang maupun jasa. Jika ditafsirkan secara a- contrario, untuk mempermasalahkan si pelaku usaha maka seseorang atau konsumen harus dapat membuktikan

5 bahwa pelaku usaha telah melanggar prinsip kehati-hatian. Hal ini sesuai dengan hukum pembuktian di Indonesia pada umumnya menganut pembagian beban pembuktian kepada si penggugat, yaitu Pasal 1865 BW yang menyatakan bahwa barangsiapa yang mendalilkan maka ia wajib membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. 45 Jadi apabila masyarakat atau konsumen ada yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha, maka ia harus mampu membuktikkannya bahwa pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya. 44 Ibid., h Ibid.,h.51. The Privity of Contract. Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan. 46 Artinya, konsumen boleh menggugat pelaku usaha atas dasar wanprestasi apabila pelaku usaha tidak melaksanakan kewajibannya atau hak konsumen tidak terpenuhi sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dalam kontrak. Penggunaan perjanjian-perjanjian baku merupakan contoh yang sangat jelas bahwa konsumen tidak berdaya dalam menghadapi dominasi pelaku usaha. Dalam kontrak baku, pelaku usaha dapat menghilangkan sebagian atau bahkan seluruh tanggung jawab (kewajiban) yang seharusnya dipikul melalui klausula eksonerasi.

6 Perlindungan terhadap konsumen dipandang semakin penting, mengingat makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi faktor dalam mencapai sasaran usahanya untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen, karena dengan dijaminnya hak-hak konsumen tersebut akan tercipta keseimbangan dan iklim usaha yang sehat. Pengertian konsumen diatur dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013 adalah pihakpihak yang 46 Ibid., h.52. menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Sedangkan yang dimaksud pelaku usaha adalah Pelaku Usaha Jasa Keuangan adalah Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah.

7 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa nasabah bank termasuk konsumen, yaitu, pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan sehingga segala hak dan kewajiban yang ada dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan berlaku bagi dirinya. Ketentuan tersebut berlaku pula bagi bank syariah yang berkedudukan sebagai lembaga jasa keuangan secara syariah. Bank Syariah dan nasabah dalam akad murabahah telah terjadi suatu hubungan kontraktual dimana nasabah memiliki kebutuhan terhadap suatu barang tertentu dan bank syariah akan memenuhi kebutuhan nasabahnya melalui hubungan hukum yaitu jual-beli. Berdasarkan prinsip the privity of contract seharusnya bank syariah mempunyai kewajiban untuk melindungi nasabahnya dalam memenuhi kebutuhan mereka, bukan mengalihkan sebagian atau bahkan seluruh tanggung jawabnya melalui klausula eksonerasi. Hak-hak konsumen telah diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan diakui dan dilindunginya hak-hak konsumen menunjukkan bahwa telah tercapainya kesejahteraan konsumen. Adapun hak-hak yang dimiliki oleh konsumen adalah sebagai berikut : a. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8 h. hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan kewajiban pelaku usaha juga diatur secara tegas dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu sebagai berikut : a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Dengan pengaturan undang-undang tersebut maka diharapkan kepada para pelaku bisnis untuk melakukan peningkatan dan pelayanan sehingga konsumen tidak merasa dirugikan. Dalam hal ini yang terpenting adalah bagaimana sikap produsen agar memberikan hak-hak konsumen yang seharusnya diperoleh. Di samping itu juga agar konsumen menyadari apa saja yang menjadi kewajibannya sehingga kedua belah pihak saling memperhatikan hak dan kewajibannya masing-masing. Apa yang menjadi hak konsumen merupakan kewajiban produsen dan begitu pula sebaliknya. Dengan saling menghormati apa yang menjadi hak maupun kewajiban masingmasing, akan terjadilah keseimbangan (tawazun) sebagaimana yang diajarkan ekonomi Islam. Adanya prinsip keseimbangan akan menyadarkan setiap pelaku

9 bisnis agar segala aktivitasnya tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, namun juga harus memperhatikan kepentingan orang lain. 47 Pelaku usaha sangat menyukai penggunaan prinsip tanggung jawab dengan pembatasan untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. 48 Sebenarnya prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, seharusnya pelku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas. Untuk terciptanya suatu iklim usaha yang sehat, keadilan serta keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen tidak hanya bergantung pada pengaturan secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan.keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen tidak hanya bergantung pada pengaturan secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan. Namun juga dibutuhkan kesadaran yang tinggi dari pelaku usaha terhadap hak-hak konsumen agar tercipta harmonisasi diantara pelaku usaha dan konsumen, yaitu tujuan produsen ingin memperoleh laba dan konsumen 47 Muhammad Djakfar,Op.Cit.,h Sidharta,Op.Cit.,h.64. ingin memenuhi kebutuhannya serta memiliki kepuasan maksimum atas kebutuhannya tersebut.

10 3. 2 Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Pada Pembiayaan Murabahah Dalam Pasal 4 Undang-Undang Perbankan Syariah diatur bahwa bank syariah dan unit usaha syariah (UUS) wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Berdasarkan kedua fungsi tersebut, terlihat adanya dua hubungan hukum antara bank dan nasabah, yaitu : a. hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana; dan b. hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur. 49 Bila dikaitkan dengan perjanjian pembiayaan murabahah, maka perjanjian murabahah ini juga merupakan suatu hubungan hukum setara penyedia dana (bank) dengan pengguna dana (nasabah) yang melahirkan perikatan. Hubungan hukum ini timbul karena adanya suatu peristiwa hukum, yaitu jual-beli yang merupakan kesepakatan antara bank syariah dengan nasabah untuk sama-sama mengikatkan diri dalam suatu perjanjian pembiayaan. Perjanjian pembiayaan ini sebagai landasan bagi para pihak untuk melakukan suatu prestasi, dimana pembiayaan ini dipersamakan dengan salah satunya berupa transaksi jual beli dalam bentuk murabahah. Nasabah sebagai pihak yang membutuhkan pembiayaan, berkewajiban untuk 49 Sutan Remy Sjahdeini-II, Op.Cit.,h.127. melakukan suatu prestasi dan setelah prestasi tersebut dipenuhi maka nasabah akan mendapatkan haknya. Bank sebagai pihak yang menyediakan pembiayaan (pemberi dana) mempunyai hak untuk menuntut prestasi dari nasabah dan melakukan kewajiban sesuai dengan apa yang tertuang dalam perjanjian pembiayaan. Prestasi ini berupa kewajiban nasabah maupun pihak bank syariah untuk memenuhi dan melaksanakan semua ketentuan yang telah disepakati bersama dalam perjanjian pembiayaan murabahah. Setelah bank menyalurkan dananya, bank

11 mempunyai hak untuk menuntut nasabah agar melaksanakan dan mematuhi semua prestasi itu tepat pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Semua prestasi tersebut harus sudah dilaksanakan atau terpenuhi pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Adanya prestasi diatas sebagai akibat dari adanya hubungan hukum antara nasabah dan bank syariah, yaitu hubungan kontraktual. Dalam bahasa Indonesia istilah kontrak sama pengertiannya dengan perjanjian. Kedua istilah tersebut merupakan terjemahan dari contract atau agreement dan overeenkomst (bahasa Belanda). Kontrak atau perjanjian dalam bahasa Arab disebut dengan istilah akad berasal dai Al-Aqdun yang berarti ikatan atau simpul tali. Kata akad secara terminology fikih adalah perikatan antara ijab (penawaran) dengan kabul (penerimaan) secara yang dibenarkan syara. 50 Apabila ketentuanketentuan yang telah disepakati tersebut dilanggar atau tidak dipenuhi, maka hubungan yang terbentuk diantara bank syariah dan nasabahnya juga akan menimbulkan akibat hukum sehingga diperlukan perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan. Seringkali pihak yang mengalami kerugian dalam perjanjian pembiayaan murabahah adalah nasabah karena perjanjian baku yang telah dibuat oleh pihak bank mengandung klausula eksonerasi yang mengalihkan sebagian atau seluruh tanggung jawab pelaku usaha. Dari sudut pandang hukum perjanjian, regulasi mengenai perlindungan nasabah Bank diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013. Pengalihan tanggung jawab ini dilarang berdasarkan Pasal 22 ayat (3) huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013. Akibat hukum pengalihan tanggung jawab yang dicantumkan dalam perjanjian baku ini belum diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013, tetapi diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Akibat hukum dari penggunaan klausula baku yang mengandung klausula

12 eksonerasi ini diatur dalam Pasal 18 ayat (3), yaitu, setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha 50 Abdul Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Prenada Media, Jakarta,2010,h.177. pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. Ketentuan diatas jelas menunjukkan bahwa pengalihan sebagian atau seluruh tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh pelaku usaha tersebut dilarang secara tegas dalam peraturan perundang-undangan demi terciptanya keseimbangan dan keadilan dalam dunia usaha. Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini akan dikenakan sanksi sesuai Pasal 53 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013 berupa sanksi administratif, yaitu : a. Peringatan tertulis; b. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan kegiatan usaha; d. Pembekuan kegiatan usaha; dan e. Pencabutan izin kegiatan usaha. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. Dalam Pasal 53 ayat (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013 menentukan bahwa sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, atau huruf e.

13 Sedangkan besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada Pasal 53 ayat ayat (1) huruf b Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013 ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan ketentuan tentang sanksi administratif berupa denda yang berlaku untuk setiap sektor jasa keuangan. Praktek perbankan dan praktek dunia bisnis pada umumnya untuk pemberian fasilitas pembiayaan atau jasa perbankan lainnya, hubungan hukum antara bank syariah dengan pengguna dana dituangkan dalam perjanjian tertulis. Dalam praktek perbankan, hubungan jasa-jasa tertentu, bank menyediakan pula ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum yang berlakunya ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum tersebut adalah berdasarkan surat pernyataan yang ditandatangani oleh nasabah atau berdasarkan perjanjian antara bank dengan nasabah yang didalamnya memuat pernyataan bahwa nasabah tunduk pada ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum tersebut. Jika melihat pada Pasal 1320 BW (Burgerlijk Wetboek), suatu perjanjian hanya sah apabila perjanjian itu dibuat oleh para pihak yang oleh hukum diangggap cakap membuat perjanjian dan dibuat berdasarkan kesepakatan di antara para pihak yang membuatnya, Dengan kata lain, perjanjian itu dibuat tanpa adanya paksaan oleh satu pihak terhadap pihak lain. Disamping itu, hukum perjanjian menentukan bahwa isi perjanjian hanyalah sah apabila tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kepatutan dan ketertiban umum serta dibuat dan dilaksanakan dengan itikat baik oleh para pihak yang membuatnya. 51 Selain hal-hal diatas, terdapat asas lain yang harus diperhatikan dalam hukum perjanjian, yaitu, apabila dalam suatu perjanjian tidak diatur mengenai suatu hal yang dipermasalahkan oleh para pihak, tetapi hal itu sudah diatur oleh hukum perjanjian dalam BW, maka ketentuan dalam tersebut yang diberlakukan. Namun, apabila

14 masalah-masalah tersebut sudah diatur dalam perjanjian, sedangkan ketentuanketentuan tersebut bertentangan dengan BW (Burgerlijk Wetboek), maka yang harus diberlakukan adalah ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian tersebut Dalam hukum perjanjian syariah dan penerapannya ada beberapa asas yang harus diperhatikan dan tidak boleh diabaikan dalam membuat perjanjian. Asas-asas ini berpengaruh pasa status suatu akad. Ketika asas ini tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan batal atau tidak sahnya perjanjian yang dibuatnya. Asas-asas tersebut sebagai berikut : 52 a. Al-Hurriyah b. Al-Musawah c. Al-Adalah d. Al-Ridha e. Ash-Shiddiq f. Al-khitabah 51 Gemala Dewi,Op Cit., h Ibid.,h Al-Hurriyah merupakan asas kebebasan. Para pihak mempunyai kebebasan dalaam membuat perjanjian (akad), baik dari segi obyek perjanjian, pernyataan-pernyataan lain maupun dalam hal penyelesaian sengketa. Al-Musawah, yaitu asas persamaan dan kesetaraan. Kedua belah pihak yang melakukan perjanjian mempunyai kedudukan yang sama satu sama lain sehingga dalam menentukan hak dankewajiban masing-masing pihak didasaran pada asas ini. Sedangkan Al-Adalah adalah asas yang menekankan pada keadilan. Dalam pelaksanaan akad dituntut harus benar dalam pengungkapan kehendak dan pemenuhan kewajiban kedua belah pihak. Asas ini juga berkaitan dengan asas kesamaan, meskipun keduanya tidak sama, tapi merupakan lawan dari kezaliman.

15 Salah satu bentuk kezaliman adalah mencabut hak-hak kemerdekaan orang lain atau tidak memenuhi kewajibannya yang telah tertuang di dalam akad. 53 Al-Ridha adalah asas yang menekankan bahwa semua transaksi harus didasarkan pada kerelaan dari masing-masing pihak (tidak boleh ada paksaan). Jika asas ini tidak terpenuhi, maka artinya sama dengan memakan suatu yang bathil. 54 Al-Shiddiq yaitu asas kejujuran dan kebenaran. Dalam pelaksanaan akad 53 Ibid.,h Ibid.,h.98. harus didasarkan pada kejujuran. Apabila dalam suatu akad mengandungketidakbenaran atau kebohongan maka akan mengurangi keabsahan dari akad itu sendiri. Al-Khitabah merupakan asas yang menekan bahwa semua perjanjian harus dituangkan secara tertulis agar jelas kepastian hukumnya. Setelah penjelasan asas-asas diatas maka dapat disimpulkan bahwa bank syariah sebagai lembaga keuangan yang eksistensinya mutlak bergantung pada kepercayaan dari nasabah yang mempercayakan dananya atau yang menggunakan jasa-jasa bank lainnya. Dengan demikian, hubungan bank syariah dan nasabahnya tidak hanya berlandaskan hubungan kontraktual tetapi juga dilandasi oleh asas kepercayaan sehingga tidak boleh hanya memikirkan kepentingan bank itu sendiri tetapi juga harus memperhatikan kepentingan nasabah baik nasabah penyimpan dana maupun nasabah pengguna dana serta pengguna jasa bank lainnya. Pentingnya kepercayaan nasabah (masyarakat) terhadap bank syariah harus selalu dijaga untuk menjalin hubungan hukum yang sehat dan seimbang diantara

16 keduanya. Dalam hubungan hukum harus ada perlindungan hukum yang menjadi salah satu aspek penting dalam suatu negara dalam melindungi warga negaranya. Dalam suatu negara, pasti terjadi hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hubungan inilah yang melahirkan hak dan kewajiban. Perlindungan Hukum akan menjadi hak bagi warga negara. Di sisi lain perlindungan hukum menjadi kewajiban bagi negara. Negara wajib memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya. Hal ini berarti bahwa perlindungan hukum menjadi unsur yang esensial serta menjadi konsekuensi dalam negara hukum. Negara wajib menjamin hak-hak hukum warga negaranya. Perlindungan hukum merupakan pengakuan terhadap harkat dan martabat warga negaranya sebagai manusia. Perlindungan Hukum memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan oleh orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Dengan kata lain, berbagai upaya hukum harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun. Perlindungan Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang diharapkan akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya yang berkaitan dengan konsumen, nasabah atau siapapun pengguna barang dan/atau jasa lainnya. Hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut. Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama

17 manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum, manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum. 55 Dalam menciptakan perlindungan hukum, ada dua macam sarana yang dapat ditempuh, yaitu : 56 a. Sarana Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi. Preventif termasuk salah satu pengendalian sosial atau usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya suatu pelanggaran. Dalam preventif masyarakat atau seseorang diarahkan, dibujuk, atau diingatkan supaya jangan melakukan pelanggaran yang telah disebutkan. a. Sarana Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan. Represif termasuk salah satu pengendalian sosial yang dilakukan setelah terjadinya 55 CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Maria Alfons, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang, 2010,h.18. suatu pelanggaran atau bisa juga diartikan sebagai usaha-usaha yang dilakukan setelah pelanggaran terjadi. Dalam represi, seseorang yang telah melanggar perbuatan akan dihukum ataupun ditangkap oleh polisi dan dijebloskan dalam penjara. Wujud perlindungan hukum pada dasarnya merupakan upaya penegakan hukum, yang secara konsepsional penegakan hukum itu sendiri merupakan suatu kegiatan

18 menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. 57 Dalam penegakan hukum terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Kepaastian hukum merupakan kehendak setiap orang, bagaimana hukum harus berlaku atau diterapkan dalam peristiwa konkrit. Kepastian hukum juga berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dapat dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi menurut hukum. Berikutnya adalah kemanfaatn yang berarti bahwa pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat dan yang terakhir harus memperhatikan 1993, h Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, keadilan bagi semua lapisan masyarakat. Perlindungan hukum dalam transaksi perbankan harus memperhatikan ketiga unsur diatas. Perlindungan hukum yang dimaksud mencakup yang terdapat dalam Undang-Undang Perbankan Syariah dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013. Undang-Undang Perbankan Syariah tidak mengatur secara langsung mengenai perlindungan bagi nasabah, Namun dalam perkembangannya, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/7/PBI/2005 mengatur tentang penyelesaian pengaduan nasabah dan yang terbaru adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

19 Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank tidak selalu dapat memuaskan nasabah dan berpotensi menimbulkan sengketa di bidang perbankan antara bank dan nasabahnya. Selain itu penyelesaian sengketa nasabah dapat berlarut-larut (lama) dan akan berdampak pada nama baik serta tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank. Akhirnya dibentuklah Peraturan Bank Indonesia tentang mediasi perbankan yang dianggap lebih mudah, murah dan cepat dalam menyelesaikan sengketa nasabah dan bank. Mediasi di bidang perbankan dilakukan oleh lembaga Mediasi perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan. Dalam pelaksanaan tugasnya, lembaga Mediasi perbankan independen melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia. Selain itu dalam dunia perbankan syariah untuk terciptanya keadilan dan menimbulkan rasa aman bagi nasabahnya, maka dalam Undang-Undang Perbankan Syariah diatur mengenai asas dari kegiatan usaha perbankan syariah, yaitu, prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Yang dimaksud dengan berasaskan prinsip syariah adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung riba, maysir, gharar, objek haram dan menimbulkan kezaliman. Sedangkan yang dimaksud dengan berasaskan demokrasi ekonomi adalah kegiatan usaha yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan dan kemanfaatan. Dengan adanya suatu akad dalam bank syariah maka para pihak terkait oleh ketentuan hukum Islam yang berupa hak-hak dan pemenuhan kewajiban-kewajiban yang harus diwujudkan. Oleh karena itu, akad harus dibentuk oleh hal-hal yang dibenarkan syariah. Sahnya suatu akad menurut hukum Islam ditentukan dari terpenuhinya rukun dan syarat akad. Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam kontrak. Sedangkan syarat adalah hal yang sangat berpengaruh atas keberadaan sesuatu, tetapi bukan merupakan bagian atau unsur pembentuk dari sesuatu tersebut.

20 Ini berarti apabila syarat tidak ada maka sesuatu tersebut juga tidak akan terbentuk. 58 Masing-masing bentuk akad memiliki karakteristik yang khas, tetapi secara umum setiap akad 58 Gemala Dewi, Op Cit.,h.14. mengandung rukun. Seperti yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya, rukun akad yang utama adalah ijab dan qabul, syarat yang harus ada dalam rukun dapat menyangkut subjek dan objek suatu perjanjian. Ijab dan qabul ini dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu lisan, tulisan, isyarat dan yang terakhir adalah perbuatan. Dalam akad pembiayaan murabahah ijab qabul dilakukan dengan cara tulisan (tertulis). Ada kalanya suatu perikatan dilakukan secara tertulis karena para pihak tidak dapat bertemu langsung untuk melakukan perikatan. Selain itu ijab qabul yang dilakukan dengan tulisan memiliki kepastian dalam hal pembuktian. Akad dalam muamalah memiliki kedudukan yang sangat menentukan bagi keabsahan transaksi yang terjadi di antara para pihak yang membuat akad itu. Jika terdapat syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dalam akad yang bertentangan dengan prinsip syariah, maka akad itu akan batal. 59 Dalam akad murabahah, seperti akadakad muamalah lainnya, tidak boleh mengandung syarat-syarat dan ketentuanketentuan yang berisi kewajiban melakukan hal-hal yang dilarang oleh syariah. Pencantuman klausula eksonerasi dalam akad pembiayaan murabahah telah melanggar salah satu prinsip syariah, yaitu, zalim sehingga akad pembiayaan murabahah tersebut menjadi batal. 59 Sutan Remy Sjahdeini-III.,Op.Cit.,h.202.

21 Dalam pembuatan akad sering kali konsumen atau nasabah dirugikan oleh pelaku usaha. Berbagai kemungkinan penyalahgunaan kelemahan yang dimiliki oleh konsumen dapat terjadi saat sebelum transaksi jual beli berlangsung yakni berupa iklan atau promosi yang tidak benar, saat transaksi itu sendiri berlangsung atau setelah transaksi berlangsung dimana pelaku usaha tidak tahu menahu dengan kerugian yang ditanggung konsumen. Oleh karena itu, untuk menghindari kerugian tersebut diharapkan pelaku usaha dan konsumen benar-benar sadar akan hak dan kewajibannya yang telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Selain sanksi administratif yang telah disebutkan pada halaman sebelumnya, dibutuhkan juga perlindungan hukum dari Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk mengawasi bank-bank yang ada dibawah pengawasannya agar selalu menjalankan kegiatan usahanya sesuai dengan prinsip syariah dan merevisi klausula-klausula yang sering kali dipergunakan oleh bank untuk membatasi atau membebaskan dirinya dari tanggung jawab yang seharusnya dipikul. Penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank tidak hanya melalui mediasi perbankan saja. Dalam Undang-Undang Perbankan Syariah dibentuk badan penyelesaian sengketa dalam suatu akad di lingkungan perbankan syariah dapat melalui Pengadilan Agama atau Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Badan Arbitrase Syariah Nasional merupakan instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya bahkan dari kalangan nonmuslim pun dapat memanfaatkan lembaga ini selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa. Klausula arbitrase ini

22 sering dicantumkan dalam setiap akad di bank syariah. Penyelesaian sengketa dapat melalui jalur litigasi dan non litigasi. Litigasi melalui Pengadilan Agama. Sedangkan non litigasi melalui mediasi dan BASYARNAS.

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Pengertian dan Bentuk-bentuk Sengketa Konsumen Perkembangan di bidang perindustrian dan perdagangan telah

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.12, 2014 KEUANGAN. OJK. Sengketa. Penyelesaian. Alternatif. Lembaga. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5499) PERATURAN OTORITAS JASA

Lebih terperinci

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh: Wahyu Simon Tampubolon, SH, MH Dosen Tetap STIH Labuhanbatu e-mail : Wahyu.tampubolon@yahoo.com ABSTRAK Konsumen

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK 43 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA 2.1 Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat manusia serta pengakuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh terhadap semakin banyaknya kebutuhan masyarakat akan barang/ jasa tertentu yang diikuti

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.07/2014 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.07/2014 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.07/2014 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat kompleks karena mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Salah satu kegiatan usaha yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan

Lebih terperinci

STIE DEWANTARA Perlindungan Konsumen Bisnis

STIE DEWANTARA Perlindungan Konsumen Bisnis Perlindungan Konsumen Bisnis Hukum Bisnis, Sesi 8 Pengertian & Dasar Hukum Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Penggunaan Klausula Baku pada Perjanjian Kredit

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Penggunaan Klausula Baku pada Perjanjian Kredit BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Dari pembahasan mengenai Tinjauan Hukum Peran Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Penerapan Klausula Baku Dalam Transaksi Kredit Sebagai Upaya Untuk Melindungi Nasabah Dikaitkan

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERJANJIAN PADA PROGRAM INVESTASI

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERJANJIAN PADA PROGRAM INVESTASI BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERJANJIAN PADA PROGRAM INVESTASI A. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Sejarah lahirnya perlindungan konsumen di Indonesia ditandai dengan disahkannya

Lebih terperinci

BAB IV PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 8

BAB IV PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 8 BAB IV PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 DAN KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH A. Persamaan Perlindungan Hukum Konsumen Dalam

Lebih terperinci

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. tidak menawarkan sesuatu yang merugikan hanya demi sebuah keuntungan sepihak.

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. tidak menawarkan sesuatu yang merugikan hanya demi sebuah keuntungan sepihak. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Bisnis merupakan salah satu aktivitas kehidupan manusia dan bahkan telah merasuki semua sendi kehidupan masyarakat modern. Dengan fenomena ini mustahil orang

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Klausula baku yang dipergunakan dalam praktek bisnis di masyarakat,

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Klausula baku yang dipergunakan dalam praktek bisnis di masyarakat, BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Klausula baku yang dipergunakan dalam praktek bisnis di masyarakat, masalahnya terdapat di klausula baku tersebut dengan adanya klausula eksonerasi yang berpihak kepada pelaku

Lebih terperinci

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit Kehadiran bank dirasakan semakin penting di tengah masyarakat. Masyarakat selalu membutuhkan

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia Penyelenggaraan jasa multimedia adalah penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. Tujuan negara Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah :

BAB. I PENDAHULUAN. Tujuan negara Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah : BAB. I PENDAHULUAN Tujuan negara Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah : Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH

BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH 3.1 Kegagalan Suatu Akad (kontrak) Kontrak sebagai instrumen pertukaran hak dan kewajiban diharapkan dapat berlangsung

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK, PERLINDUNGAN KONSUMEN, DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK, PERLINDUNGAN KONSUMEN, DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK, PERLINDUNGAN KONSUMEN, DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM 2.1. Bank 2.1.1. Pengertian bank Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara. Bank adalah

Lebih terperinci

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS CACAT TERSEMBUNYI PADA OBJEK PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL YANG MEMBERIKAN FASILITAS GARANSI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS H}URRIYYAT AL-TA A>QUD TERHADAP KONTRAK BAKU SYARI AH PADA KLAUSULA EKSEMSI

BAB IV ANALISIS H}URRIYYAT AL-TA A>QUD TERHADAP KONTRAK BAKU SYARI AH PADA KLAUSULA EKSEMSI BAB IV ANALISIS H}URRIYYAT AL-TA A>QUD TERHADAP KONTRAK BAKU SYARI AH PADA KLAUSULA EKSEMSI A. Analisis Penerapan Kontrak Baku Syari ah di Bank BRI Syari ah KCP Gresik Kontrak baku merupakan sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI KOTA

PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI KOTA LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 178 TAHUN : 2014 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGANN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CIMAHI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pada saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi maka hubungan antar manusia menjadi hampir tanpa batas, karena pada dasarnya manusia adalah

Lebih terperinci

POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1

POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1 POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1 Abstrak: Klausula perjanjian dalam pembiayaan yang sudah ditentukan terlebih dahulu

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D 101 09 185 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Kredit Bank.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Keabsahan dari transaksi perbankan secara elektronik adalah. Mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

BAB V PENUTUP. 1. Keabsahan dari transaksi perbankan secara elektronik adalah. Mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Keabsahan dari transaksi perbankan secara elektronik adalah Mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebenarnya tidak dipermasalahkan mengenai

Lebih terperinci

Majelis Perlindungan Hukum (MPH) Ikatan Laboratorium Kesehatan Indonesia (ILKI) BAB I KETENTUAN UMUM

Majelis Perlindungan Hukum (MPH) Ikatan Laboratorium Kesehatan Indonesia (ILKI) BAB I KETENTUAN UMUM Majelis Perlindungan Hukum (MPH) Ikatan Laboratorium Kesehatan Indonesia (ILKI) BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Perlindungan hukum adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2016 TENTANG AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2016 TENTANG AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2016 TENTANG AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN UU PERLINDUNGAN KONSUMEN NOMOR 8 TAHUN 1999 TERHADAP JUAL BELI BARANG REKONDISI

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN UU PERLINDUNGAN KONSUMEN NOMOR 8 TAHUN 1999 TERHADAP JUAL BELI BARANG REKONDISI BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN UU PERLINDUNGAN KONSUMEN NOMOR 8 TAHUN 1999 TERHADAP JUAL BELI BARANG REKONDISI A. Analisis Praktik Jual Beli Barang Rekondisi 1. Proses Jual Beli Praktik jual beli barang

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016 KAJIAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN BAKU ANTARA KREDITUR DAN DEBITUR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 1 Oleh : Glen Wowor 2 ABSTRAK Penelitian ini dialkukan bertujuan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Perdagangan bebas berakibat meluasnya peredaran barang dan/ jasa yang dapat

Lebih terperinci

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Persyaratan Pembangunan Rumah Susun dalam Tindakan. Hukum Pemesanan Rumah Susun

BAB V PENUTUP. 1. Persyaratan Pembangunan Rumah Susun dalam Tindakan. Hukum Pemesanan Rumah Susun BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan penulis, jawaban atas identifikasi masalah pada Bab I skripsi ini adalah: 1. Persyaratan Pembangunan Rumah Susun dalam Tindakan Hukum Pemesanan Rumah

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2015 TENTANG AGEN PEMASARAN EFEK

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2015 TENTANG AGEN PEMASARAN EFEK OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2015 TENTANG AGEN PEMASARAN EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN I. UMUM Pasal 4 UU OJK menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumen di Indonesia. Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 8 tahun

BAB I PENDAHULUAN. konsumen di Indonesia. Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 8 tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan. Konsumen memerlukan barang dan jasa dari pelaku usaha guna memenuhi keperluannya. Sementara

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL Suluh Setiawan Sutarman Yodo Ratu Ratna Korompot ABSTRAK Jurnal ini berjudul Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM.

PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM. PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM. 1 PERLINDUNGAN KONSUMEN setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dan Hukum Islam Dalam Jual Beli

Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dan Hukum Islam Dalam Jual Beli Prosiding Peradilan Agama ISSN: 2460-6391 Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dan Hukum Islam Dalam Jual Beli 1 Deska Nur Finnisa, 2 M. Roji

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb).

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb). BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN 2.1. Konsumen 2.1.1. Pengertian Konsumen Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan konsumen adalah pemakai

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.07/2017

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.07/2017 OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.07/2017 TENTANG LAYANAN PENGADUAN KONSUMEN DI SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. mengenal batas Negara membuat timbul berbagai permasalahan, antara lain

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. mengenal batas Negara membuat timbul berbagai permasalahan, antara lain BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha. Perkembangan globalisasi ekonomi dimana arus barang dan jasa tidak lagi mengenal batas Negara membuat timbul berbagai

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI UNIT KONDOTEL. Dalam perspektif hukum perjanjian, sebagaimana diketahui perikatan yang

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI UNIT KONDOTEL. Dalam perspektif hukum perjanjian, sebagaimana diketahui perikatan yang BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI UNIT KONDOTEL 1. Hak- hak dan kewajiban dari pembeli unit kondotel Dalam perspektif hukum perjanjian, sebagaimana diketahui perikatan yang dilahirkan dari perjanjian

Lebih terperinci

BAB I Latar Belakang Pemilihan Kasus. berdasarkan sistem syariah (hukum islam) 2. Usaha pembentukan sistem ini

BAB I Latar Belakang Pemilihan Kasus. berdasarkan sistem syariah (hukum islam) 2. Usaha pembentukan sistem ini BAB I Latar Belakang Pemilihan Kasus Bank Bagi Hasil sering disebut Bank Syariah (Bank Islam) merupakan lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan operasi berdasarkan prinsipprinsip hukum atau syariah

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. terhadap turis asing sebagai konsumen, sehingga perjanjian sewamenyewa. sepeda motor, kepada turis asing sebagai penyewa.

BAB V PENUTUP. terhadap turis asing sebagai konsumen, sehingga perjanjian sewamenyewa. sepeda motor, kepada turis asing sebagai penyewa. BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut : 1. Perjanjian sewa-menyewa sepeda motor antara turis asing dan Rental motor Ana Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melayani masyarakat yang ingin menabungkan uangnya di bank, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. melayani masyarakat yang ingin menabungkan uangnya di bank, sedangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting dalam masyarakat. Oleh karena itu hampir setiap orang pasti mengetahui mengenai peranan bank

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 43 /POJK.04/2015 TENTANG PEDOMAN PERILAKU MANAJER INVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Konsumen Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah, pemakai terakhir dari benda dan jasa yang diserahkan kepada mereka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen 18 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA 2.1 Hukum Perlindungan Konsumen 2.1.1 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Ada dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, saat ini hampir setiap orang dalam satu ruang lingkup keluarga memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan nasional suatu bangsa mencakup di dalamnya pembangunan ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi diperlukan peran serta lembaga keuangan untuk

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 1 /PBI/2014 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA SISTEM PEMBAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 1 /PBI/2014 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA SISTEM PEMBAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 1 /PBI/2014 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA SISTEM PEMBAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.10, 2014 PERBANKAN. BI. Perlindungan Konsumen. Sistem Pebayaran. Jasa. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5498) PERATURAN BANK INDONESIA

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2016 TENTANG DANA INVESTASI REAL ESTAT SYARIAH BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.03/2015 TENTANG PRODUK DAN AKTIVITAS BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.03/2015 TENTANG PRODUK DAN AKTIVITAS BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.03/2015 TENTANG PRODUK DAN AKTIVITAS BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya adalah usaha jasa pencucian pakaian atau yang lebih dikenal dengan jasa laundry. Usaha ini banyak

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KONSUMEN. Business Law Semester Gasal 2014 Universitas Pembangunan Jaya

PERLINDUNGAN KONSUMEN. Business Law Semester Gasal 2014 Universitas Pembangunan Jaya PERLINDUNGAN KONSUMEN Business Law Semester Gasal 2014 Universitas Pembangunan Jaya MENGAPA KONSUMEN DILINDUNGI??? 2 ALASAN POKOK KONSUMEN PERLU DILINDUNGI MELINDUNGI KONSUMEN = MELINDUNGI SELURUH BANGSA

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. PERIKATAN & PERJANJIAN Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN TELEKOMUNIKASI

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN TELEKOMUNIKASI BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN TELEKOMUNIKASI A. Ketentuan Hukum Mengenai Perlindungan Konsumen Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia, mengamanatkan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI BLACKBERRY MESSENGER (BBM) Oleh. Ardhita Dwiyana NIM.

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI BLACKBERRY MESSENGER (BBM) Oleh. Ardhita Dwiyana NIM. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI BLACKBERRY MESSENGER (BBM) Oleh. Ardhita Dwiyana NIM. B 111 08 873 Pembimbing: Prof.Dr. Ahmadi Miru, S.H.,M.H. Hj. Sakka Pati, S.H., M.H.

Lebih terperinci

A. Pengertian konsumen dan perlindungan konsumen. Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

A. Pengertian konsumen dan perlindungan konsumen. Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau A. Pengertian konsumen dan perlindungan konsumen 1. Pengertian Konsumen Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). 15 Pengertian tersebut secara

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL YANG DIBUAT OLEH NOTARIS

PELAKSANAAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL YANG DIBUAT OLEH NOTARIS PELAKSANAAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL YANG DIBUAT OLEH NOTARIS Bambang Eko Mulyono Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan. ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

-1- RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

-1- RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH -1- RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN

PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PELALAWAN, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017 PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN MELALUI MEDIASI MENURUT UU NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN 1 Oleh: Adistya Dinna 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Al-Qishthu Volume 13, Nomor 2 2015 185 ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Pitriani Dosen Jurusan Syari ah

Lebih terperinci

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 9/POJK.04/2015 TENTANG PEDOMAN TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 9/POJK.04/2015 TENTANG PEDOMAN TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 9/POJK.04/2015 TENTANG PEDOMAN TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

1. Pelaksanaan Perlindungan yang Diberikan kepada Konsumen Atas. Penggunaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya dalam Makanan Dikaitkan

1. Pelaksanaan Perlindungan yang Diberikan kepada Konsumen Atas. Penggunaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya dalam Makanan Dikaitkan 74 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PENGGUNAAN BAHAN- BAHAN KIMIA BERBAHAYA DALAM MAKANAN YANG BEREDAR DI MASYARAKAT DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5896 KEUANGAN OJK. Efek. Perantara. Agen. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 127). PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 17 /POJK.05/2017 TENTANG PROSEDUR DAN TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DI BIDANG PERASURANSIAN DAN PEMBLOKIRAN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melalui uraian teori dan analisis diatas, maka dalam penelitian

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melalui uraian teori dan analisis diatas, maka dalam penelitian BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah melalui uraian teori dan analisis diatas, maka dalam penelitian diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut : 1. Berkaitan dengan praktek perlindungan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN 1 SALINAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI

Lebih terperinci

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH PADA MANAJER INVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH PADA MANAJER INVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2016 TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH PADA MANAJER INVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku, meskipun di dalam praktek kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut telah membubuhkan tanda tangannya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 93, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 93, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 93, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : 1. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian Menurut pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan

2017, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.135, 2017 KEUANGAN OJK. Reksa Dana. Target Waktu. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6082) PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : 1. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 53 /POJK.04/2015 TENTANG AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 53 /POJK.04/2015 TENTANG AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 53 /POJK.04/2015 TENTANG AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci