Petunjuk Teknis Penyusunan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Petunjuk Teknis Penyusunan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil"

Transkripsi

1 1

2 SAMBUTAN Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikenal pula sebagai negara maritim dengan luas lautan mencapai 5,8 juta km 2 yang terdiri dari perairan territorial 3,1 juta km 2 dan ZEE Indonesia 2,7 km 2. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia terdiri dari buah pulau dan panjang pantai mencapai km (KKP, 2011). Kondisi ini merupakan anugrah yang sangat besar bagi pembangunan perikanan dan kelautan. Disamping itu, sumberdaya ikan yang hidup di wilayah perairan Indonesia memiliki tingkat keragaman hayati (bio-diversity) sangat tinggi, dan bahkan laut Indonesia merupakan wilayah Marine Mega-Biodiversity terbesar di dunia. Disamping sumberdaya dapat pulih sebagaimana dikemukakan di atas, perairan laut Indonesia juga memiliki sumberdaya tidak pulih seperti mineral (minyak, gas dan lain sebagainya) serta jasa-jasa lingkungan. Kondisi ini selanjutnya menjadikan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sangat potensial untuk dikembangkan berbagai kegiatan. Agar potensi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dikelola secara optimal dan tepat sasaran, maka perlu dikelola melalui Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pulau-Pulau Kecil dan Pulau-Pulau Kecil. Rencana pengelolaan berisi kerangka kebijakan, prosedur dan tanggung jawab yang diperlukan untuk mendukung pembuatan keputusan oleh administrator sektoral dalam pengelolaan, penggunaan dan pengalokasian sumberdaya pesisir secara tepat. Rencana pengelolaan memungkinkan penetapan sasaran pengelolaan untuk masing-masing zona dan/atau subzona dalam Rencana Zonasi, untuk mengeluarkan izin penggunaan sumberdaya oleh dinas-dinas sektoral. Tujuan penyusunan Pedoman Teknis ini adalah untuk memberikan panduan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota pesisir dalam menyusun Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K) agar sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan dalam UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 16/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dengan disusunnya Pedoman Teknis ini, diharapkan akan memberikan kesamaan persepsi dalam memberikan arahan teknis kepada Kelompok Kerja Penyusunan RPWP-3-K Kabupaten/Kota dan memberikan kemudahan dalam proses penyusunan RPWP-3-K Kabupaten/Kota kepada pihakpihak yang diberikan tugas penyusunan RPWP-3-K Kabupaten/Kota.. Jakarta, Desember 2013 Sudirman Saad Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil 2

3 KATA PENGANTAR Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terdiri atas: (1) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RSWP-3-K; (2) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RZWP-3-K; (3) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RPWP-3-K; dan (4) Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RAWP-3- K. Sebagaimana amanat UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pada pasal 7 ayat 3 pemerintah daerah wajib untuk menyusun keempat perencanaan tersebut. Rencana pengelolaan berisi kerangka kebijakan, prosedur dan tanggung jawab yang diperlukan untuk mendukung pembuatan keputusan oleh administrator sektoral dalam pengelolaan, penggunaan dan pengalokasian sumberdaya pesisir secara tepat. Rencana pengelolaan memungkinkan penetapan sasaran pengelolaan untuk masing-masing zona dan/atau subzona dalam Rencana Zonasi, untuk mengeluarkan izin penggunaan sumberdaya oleh dinas-dinas sektoral. Diharapkan dengan adanya Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini, dapat memberikan kesamaan persepsi dan memberikan kemudahan dalam proses penyusunan RPWP-3-K Kabupaten/Kota, sehingga dapat menunjang upaya mengoptimalkan perencanaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kami menyadari bahwa buku Pedoman Teknis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaannya. Ucapan terimakasih dan penghargaan kami sampaikan sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan pedoman ini. Semoga pedoman ini dapat bermanfaat dalam upaya Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Jakarta, Desember 2013 Subandono Diposaptono Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil 3

4 DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan 1.3 Ruang Lingkup 1.4 Landasan Hukum 1.5 Fungsi dan Manfaat 1.6 Hirarki Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 1.7 Daftar Istilah dan Definisi BAB II. SISTEMATIKA DAN MUATAN RENCANA PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU- PULAU KECIL 2.1 Sistematika Rencana Pengelolaan WP3K 2.2 Muatan Rencana Pengelolaan WP3K Bab 1 Pendahuluan Bab 2 Gambaran Umum Wilayah Pengelolaan Bab 3 Pendekatan dan Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan Bab 4 Rencana Pemanfaatan Sumberdaya Bab 5 Kebijakan dan Prosedur Pengelolaan WP3K Bab 5 Implementasi Rencana Pengelolaan Bab 6 Peninjauan Kembali Dokumen RPWP-3-K Bab 7 Daftar Kontak Person Daftar Pustaka 2.3 Masa Berlaku Rencana Pengelolaan WP3K BAB III. PROSES PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU- PULAU KECIL 3.1 Sosialisasi 3.2 Pembentukan Kelompok Kerja 3.3 Inventarisasi Program dan Kegiatan PWP-3-K 3.4 Penyusunan Dokumen Awal 3.5 Kerjasama Antar Instansi 3.6 Konsultasi Publik 3.7 Perumusan Dokumen Final 3.8 Penetapan BAB IV. PERSETUJUAN 4

5 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Contoh Struktur Pengelolaan Program ICZPM Gambar 2. Contoh Proses Kaji Ulang Proyek Pengelolaan Wilayah Pesiisr Terpadu DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Contoh Ringkasan Mandat Instansi Serta Program Yang Relevan Tabel 2.2. Contoh Keanggotaan Panitia/Sub-Panitia Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Tabel 2.3. Total Anggaran Berdasarkan Format RAB Tabel 2.4. Contoh Dokumentasi Persyaratan Pelaporan Tabel 2.5. Contoh Standar Pelayanan untuk Proses Telaah Proyek Tabel 2.6. Contoh Daftar Biaya untuk Setiap Jenis Permohonan Review/Telaah Tabel 2.7. Contoh Daftar Biaya untuk Setiap Jenis Permohonan Data Tabel 2.8. Contoh Jenis Pemanfaatan Sumberdaya dan Kriteria Tabel 2.9. Contoh Proses Pembatalan Sebuah Izin Pemanfaatan Sumberdaya Tabel Contoh Petunjuk untuk Menentukan Tingkat Konsultasi Publik 5

6 BAB I PENDAHULUAN 1.8 Latar Belakang Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan domain utama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti yang telah jelas dan tegas disebutkan pada pasal 25 Undang- Undang Dasar RI bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk kepulauan. NKRI mempunyai jumlah pulau lebih dari dan panjang garis pantai (coastline) tidak kurang dari km. Kekayaan sumberdaya alam pesisir dan pulau-pulau kecil yang terkandung di dalamnya harus dikelola sedemikian rupa sehingga dapat menjadi lokomotif bagi pembangunan ekonomi bangsa yang bermuara pada terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai tujuan mulia tersebut, diperlukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terpadu, partisipatif dan berkelanjutan. Sesuai dengan amanat Undang-Undang No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (selanjutnya disebut dengan PWP-3-K), pengelolaan wilayah pesisir dan laut merupakan sebuah rangkaian kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk mewujudkan tata kelola pesisir dan laut yang baik (good coastal and small islands governance), pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hirarki perencanaan yang terkait satu sama lain, mulai dari Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RSWP3K), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K), Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RPWP-3-K) dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil (RAPWP3K). Berdasarkan hierarkhi perencanaan pengelolaan WP3K, Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RPWP-3-K) berisi kerangka kebijakan, prosedur dan penanggung jawab dalam implementasi pengelolaan, penggunaan dan pengalokasian sumberdaya secara tepat sebagaimana tertuang dalam dokumen rencana zonasi. Lebih penting lagi, dalam RPWP-3-K harus mengidentifikasi pejabat yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu, serta struktur dan komposisi institusi yang akan melaksanakan pengelolaan. RPWP-3-K memungkinkan 6

7 sasaran pengelolaan ditetapkan untuk masing-masing zona (atau sub-zona) dalam RZWP-3- K, melalui suatu sistem terkoordinir dalam mengeluarkan dan mengadministrasikan izin penggunaan sumberdaya oleh dinas-dinas sektoral. Pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota menyusun RPWP-3-K yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan/atau komplemen dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan mengacu pada RSWP3K dan RZWP-3-K. Untuk meningkatkan kualitas proses penyusunan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, diperlukan Petunjuk Teknis yang dapat dijadikan panduan bagi Pemerintah Provinsi, Kabupaten atau Kota pesisir dalam penyusunan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. (RPWP-3-K) perlu memperhatikan prinsip-prinsip perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu: a. Merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan/atau komplemen dari sistem perencanaan pembangunan daerah; b. Mengintegrasikan kegiatan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat, antara ekosistem darat dan ekosistem laut, dan antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen; c. Dilakukan sesuai dengan kondisi biogeofisik dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah, serta dinamika perkembangan sosial budaya daerah dan nasional; dan d. Melibatkan peran serta masyarakat setempat dan pemangku kepentingan lainnya. 1.9 Maksud dan Tujuan Petunjuk Teknis ini dimaksudkan sebagai pedoman dalam kegiatan penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- pulau Kecil oleh Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota. Tujuan penyusunan Pedoman Teknis ini adalah untuk memberikan panduan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota pesisir dalam menyusun Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K) agar sesuai dengan ketentuan yang 7

8 disyaratkan dalam UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 16/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ruang Lingkup Ruang lingkup Pedoman Teknis ini memuat tentang ketentuan teknis, proses dan prosedur, serta ketentuan minimal lain yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan penyusunan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K) Landasan Hukum Petunjuk Teknis ini dilandasi berbagai peraturan dan perundang- undangan yang berlaku antara lain : (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil; (2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 16 Tahun 2008 tentang Perencanaan P engelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil Fungsi dan Manfaat Fungsi Dokumen Rencana Pengelolaan WP-3-K antara lain untuk: a. Sebagai perangkat operasional RZWP-3-K dalam rangka mengkoordinasikan pengambilan keputusan di antara berbagai lembaga/instansi pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan sumber daya atau kegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan; b. Arahan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan berdasarkan skala prioritas di setiap kawasan, zona dan/atau subzona pemanfaatan yang ditetapkan; c. Arahan skala prioritas agar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah; d. Kerangka prosedur dan tanggung jawab dalam rangka pengkoordinasian pengambilan keputusan di antara berbagai lembaga/instansi pemerintah mengenai kesepakatan 8

9 penggunaan sumberdaya atau kegiatan pembangunan di setiap kawasan/zona dan subzona yang ditetapkan; e. Melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari pencemaran dan kerusakan lingkungan; dan f. Acuan bagi penyusunan RAPWP3K, rencana sektoral jangka menengah dan jangka pendek. Manfaat Dokumen Rencana Pengelolaan WP-3-K adalah menjadi pedoman yang rinci untuk penanggung jawab penyelenggara sektoral dalam persiapan berbagai macam aksi-aksi pengelolaan seperti pelaksanaan studi penelitian, pengumpulan data monitoring, persetujuan penggunaan sumberdaya dan izin pembangunan, pembuatan pedoman kepada pemegang izin, perumusan peraturan baru, pembuatan petunjuk pelaksanaan, petujuk praktek, standar industri, dsb. Sehingga memudahkan keefektifan mekanisme pengawasan, pelaksanaan dan melakukan amandemen secara periodik terhadap dokumen rencana pengelolaan wilayah pesisir Hirarki Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Hirarki Rencana Pengelolaan WP3K digambarkan sebagai 4 (empat) dokumen perencanaan yang terpisah dan ditambahkan atlas sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, untuk mengenali tahapan penting dan tindak lanjut kegiatan-kegiatan perencanaan yang harus dilakukan. Piramid terbalik menggambarkan peningkatan fokus cakupan spasial untuk kerincian rencana. Tujuan dan isi setiap dokumen dapat diuraikan sebagai berikut. ATLAS Rencana Strategis WP3K Rencana Zonasi WP3K Rencana Pengelolaan WP3K Rencana Aksi Pengelolaan WP3K 9

10 a. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Untuk mempermudah penyusunan dokumen RSWP3K dapat disusun Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merupakan kompilasi dan analisis data tahap awal pada perencanaan strategis, dan harus meliputi seluruh kawasan pesisir provinsi. Pada umumnya, kebanyakan atlas menampilkan kompilasi data tabel dari sumber sekunder seperti laporan penelitian, dinas sektoral dan biro statistik dengan kecenderungan data time-series (runtun-waktu). Data time-series dan analisa yang disediakan dalam atlas dimaksudkan untuk membantu identifikasi isu-isu kunci yang akan dibahas sebagai bagian dari Rencana Strategis. b. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP3K) Rencana strategis harus secara luas menjabarkan seluruh wilayah pesisir dalam yurisdiksi satuan pemerintahan yang sedang menyiapkannya (Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota). Rencana strategis harus merupakan arah kebijakan lintas sektor untuk pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dan indikator yang tepat untuk memonitor rencana. c. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Rencana zonasi akan mendukung rencana strategis dengan mengarahkan aksi pada lokasi geografi yang sesuai. Aspek penting yang terdapat dalam rencana strategis dapat diringkas sebagai lampiran dalam rencana zonasi. Rencana zonasi mengalokasikan ruang dengan fungsi utama sebagai : (i) kawasan konservasi, (ii) kawasan pemanfaatan umum, (iii) kawasan strategis nasional tertentu, dan (iv) alur laut. Rencana zonasi akan menjadi pedoman untuk penyusunan Rencana Pengelolaan WP3K dan Rencana Aksi Pengelolaan WP3K. d. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Rencana pengelolaan berisi kerangka kebijakan, prosedur dan tanggung jawab yang diperlukan untuk mendukung pembuatan keputusan oleh administrator sektoral dalam pengelolaan, penggunaan dan pengalokasian sumberdaya pesisir secara tepat. Rencana pengelolaan memungkinkan penetapan sasaran pengelolaan untuk masing- 10

11 masing zona dan/atau subzona dalam Rencana Zonasi, untuk mengeluarkan izin penggunaan sumberdaya oleh dinas-dinas sektoral. e. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Rencana Aksi adalah suatu mekanisme pendanaan dalam pelaksanaan ketetapan dokumen rencana pengelolaan. Rencana aksi antara lain berisi kegiatan/program antar sektor yang disusun sesuai prioritas kegiatan pemanfaatan, lokasi dan ketersediaan anggaran, serta kegiatan-kegiatan baik fisik dan non fisik yang berdampak langsung dalam peningkatan kualitas lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Rencana aksi juga berisi indikator kinerja pencapaian sasaran Daftar Istilah dan Definisi Istilah dan definisi yang digunakan dalam Petunjuk Teknis penyusunan rencana strategis wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mencakup : 1) Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2) Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Secara operasional, batas ke arah darat ditentukan sebagai batas kecamatan pesisir dan ke arah laut adalah 12 mil untuk Provinsi dan 1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan Provinsi untuk Kabupaten/Kota. 3) Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. 4) Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi laut yang terdapat di wilayah pesisir. 11

12 5) Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas. 6) Bioekoregion adalah bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus. 7) Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. 8) Kawasan adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. 9) Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tersedia 10) Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur kepentingan didalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya pesisir dan pulaupulau kecil yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah atau daerah dalam jangka waktu tertentu 11) Rencana Strategis adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional. 12) Rencana Zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. 13) Rencana Pengelolaan adalah rencana yang memuat susunan kerangka kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka pengkoordinasian pengambilan keputusan di antara berbagai lembaga/instansi pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan sumberdaya atau kegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan. 14) Rencana Aksi Pengelolaan adalah tindak lanjut Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil pengelolaan sumber daya 12

13 pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap Kawasan perencanaan. 15) Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi yang dapat disusun oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang dapat diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. 16) Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagianbagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. 17) Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. 18) Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan. 19) Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 20) Rehabilitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah proses pemulihan dan perbaikan kondisi ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya berbeda dari kondisi semula. 21) Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. 22) Daya Dukung Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kemampuan wilayah pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. 23) Mitigasi Bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 24) Pencemaran Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat adanya kegiatan 13

14 Orang sehingga kualitas pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang penyebabkan lingkungan pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. 25) Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudidaya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan masyarakat pesisir. 26) Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan atau bantuan kepada masyarakat pesisir agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil secara lestari. 27) Konsultasi publik adalah suatu proses penggalian dan dialog masukan, tanggapan dan sanggahan antara pemerintah daerah dengan Pemerintah, dan pemangku kepentingan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilaksanakan antara lain melalui rapat, musyawarah/rembug desa, dan lokakarya. 28) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 29) Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah organisasi/lembaga pada pemerintah daerah yang bertanggungjawab pada pelaksanaan tugas di bidang tertentu di provinsi, atau kabupaten/kota. 30) Instansi terkait adalah instansi pemerintah dan/atau pemerintah daerah, unit pelaksana teknis, dan instansi vertikal 31) Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri dari masyarakat adat dan masyarakat lokal yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil. 32) Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,dan hukum. 33) Masyarakat Lokal adalah kelompok masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil tertentu. 34) Masyarakat Tradisional adalah masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional. 35) Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. 14

15 36) Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun ) Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 38) Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang kelautan dan perikanan. 39) Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang bertanggung jawab di bidang kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil. 15

16 BAB II SISTEMATIKA DAN MUATAN RENCANA PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL 2.1 Sistematika Rencana Pengelolaan WP3K Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K) sedikitnya memuat dan disusun menurut sistematika sebagai berikut : Bab I Bab II Bab III PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Petunjuk Teknis 1.2 Maksud dan Tujuan 1.3 Ruang Lingkup Pengelolaan (Lingkup Geografis dan Substansi) 1.4 Kedudukan RPWP-3-K dalam ICM dan Perencanaan Pembangunan 1.5 Daftar istilah GAMBARAN UMUM WILAYAH PENGELOLAAN 2.1 Deskripsi Umum 2.2 Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 2.3 Pola Penggunaan Lahan dan Perairan 2.4 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir 2.5 Permasalahan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pendekatan dan Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan 3.1 Proses Pendekatan 3.2 Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan 3.3 Tata Cara Penyusunan Bab IV RENCANA PEMANFAATAN SUMBERDAYA 4.1 Rencana Pemanfaatan Sumberdaya pada Kawasan, Zona dan Sub Zona 4.2 Ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Kawasan, Zona dan Sub Zona (Zoning Text) 4.3 Arahan Prioritas Pemanfaatan Sumberdaya pada Kawasan, Zona dan Sub Zona BAB V Bab VI KERANGKA KEBIJAKAN DAN PROSEDUR ADMINISTRASI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL 5.1 Kerjasama Antar Instansi Nota Kesepahaman Mandat Lembaga Kerjasama Antar Pemerintah 5.2 Tatalaksana Pengelolaan Koordinasi Pengelolaan Struktur Pengelolaan dan Keanggotaan 5.3 Pertemuan dan Pelaporan Rencana Kerja Tim Koordinasi Dokumentasi dan Pelaporan 5.4 Pengaturan Pembiayaan 5.5 Kewenangan Pengambilan Keputusan 5.6 Kebijakan Operasional 5.7 Mekanisme Perijinan Proposal Proyek 5.8 Standar Pelayanan dan Rekomendasi Perijinan 5.9 Penetapan Penggunaan Sumberdaya 5.10 Resolusi Konflik 5.11 Konsultasi Publik 5.12 Akses terhadap Informasi IMPLEMENTASI KEGIATAN PENGELOLAAN 16

17 2.2 Muatan Rencana Pengelolaan WP3K Bab 1 Pendahuluan a. Latar Belakang Bagian ini menjelaskan urgensi atau alasan mengapa perlu disusun dokumen Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sebagai bagian tidak terpisahkan dari pengelolaan pesisir secara terpadu. Juga disajikan isu-isu dan permasalahan utama di wilayah yang perencanaan yang perlu dikelola secara terpadu. Rencana Pengelolaan WP3K merupakan bagian dari sejumlah rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang saling melengkapi; karenanya, tidak perlu mengulang lagi informasi yang sudah tercantum pada dokumen rencana lainnya. Namun demikian, Rencana Pengelolaan WP3K hendaknya dengan ringkas menggambarkan atau merujuk rencana-rencana lain, dan merangkum secara lengkap informasi latar belakang supaya dapat dibaca sebagai dokumen yang terpisah. b. Maksud dan Tujuan Bagian ini menyajikan maksud, tujuan dan manfaat disusunnya dokumen Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RPWP-3-K) dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Juga dijelaskan pihak-pihak yang akan memanfaatkan dokumen pengelolaan ini. c. Ruang Lingkup Pengelolaan Bagian ini menjelaskan isi atau muatan teknis dokumen rencana pengelolaan serta penjelasan cakupan geografis implementasi wilayah pengelolaan sesuai batas pengelolaan administrasi pemerintahan. Misalnya, jika Rencana Pengelolaan WP3K 17

18 disiapkan untuk kabupaten/kota, maka cakupan geografis Rencana Pengelolaan tersebut akan terbatas hanya pada wilayah pesisir (daratan dan perairan) yang berada pada batas wilayah administratif darat kabupaten dan 4 ml bagian dari wilayah lepas pantai. d. Kedudukan RPWP-3-K dalam ICM dan Rencana Pembangunan Lain Bagian ini berisi uraian kedudukan Rencana Pengelolaan WP3K dalam system perencanaan pembangunan daerah dan dalam kerangka perencanaan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (ICM). Selain itu, bagian ini juga menjelaskan tentang bagaimana kaitan antara dokumen Rencana Pengelolaan dengan rencana-rencana lain yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Seluruh dokumen rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu (pengelolaan wilayah pesisir terpadu) tunduk pada berbagai peraturan perundangan yang berlaku di wilayah administratif pemerintahan (provinsi atau kabupaten) yang mendasarinya; dan juga pada perundang-undangan yang lebih tinggi seperti Undang-undang Penataan Ruang (Undang- undang No. 26/2008). Pada dasarnya suatu dokumen rencana yang lebih rendah pada urut-urutan hukum harus seazas dengan rencana yang lebih tinggi di atasnya, demikian halnya dengan Rencana Operasional pengguna sumberdaya setempat harus seazas dengan rencana pemerintah. Misalnya, peruntukan wilayah pada Rencana Zonasi pengelolaan pesisir wilayah terpadu tidak boleh berlawanan dengan peruntukan untuk wilayah yang sama yang telah termuat pada rencana di tingkat lebih tinggi seperti Rencana Tata Ruang Wilayah. Secara umum, pengelolaan wilayah pesisir terpadu harus menambah rencana lain dengan mengisi kesenjangan pada cakupan ruang yang ada. Ringkasan rencana-rencana dan perundang-undangan yang relevan dan secara sah sudah ditetapkan dalam hukum yang berlaku hendaknya dimasukkan dalam bentuk tabel pada Rencana Pengelolaan ini Bab 2 Gambaran Umum Wilayah Pengelolaan a. Deskripsi Umum 18

19 Deskripsi umum menjabarkan informasi geografis wilayah perencanaan dalam koordinat geografis dan batas-batas wilayah perencanaan, iklim, geomorfologi, kondisi biologi/ekologinya dan pola hubungan sosial dan kegiatan ekonomi dengan wilayah pesisir kabupaten/kota atau provinsi tetangga dan luar kawasan. Bagian ini juga menyajikan suatu kaji ulang tentang terbentuknya budaya seperti kelompok etnik utama, nilai agama, organisasi sosial dan tradisi dan sejarah unik yang telah membentuk keadaan sosial- budaya masyarakat pesisir sekarang dan interaksi ekonomi diantara masyarakat dengan pihak luar. b. Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Bagian ini menjelaskan kondisi sumber daya pesisir dan pulau-pulau yang terdapat di seluruh wilayah lingkup pengelolaan, yang dikelompokkan dalam empat kategori: 1) Sumber daya hayati: vegetasi pantai, mangrove, padang lamun, terumbu karang, biota darat dan perairan; dan lain-lain. 2) Sumber daya non hayati : mineral, migas, pasir laut dan lain-lain. 3) Sumber daya buatan: prasarana perikanan, prasarana perhubungan, bangunan pantai, pemecah gelombang (break water), tambat labuh (jetty), tembok laut (sea wall), dan tambak. 4) Jasa-Jasa Lingkungan: obyek wisata bahari, media pelayaran, energi gelombang laut, tempat penyerapan karbon (carbon sink), dan lain-lain. Informasi ini diperlukan untuk menunjukkan kuantitas dan kualitas sumber daya yang ada beserta peluang pembangunan masa depan. Informasi ini disajikan menggunakan istilah non-teknis dan tanpa data rinci statistik. c. Pola Penggunaan Lahan dan Perairan Bagian ini menjelaskan kondisi pola penggunaan lahan dan perairan yang didasarkan pada potensi sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Beberapa sektor utama yang berperan dalam pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, diantaranya: Sektor kehutanan dan Sektor pertanian; Sektor perikanan dan kelautan; Sektor pertambangan; Sektor pariwisata, dan Sektor pembangunan daerah/perkotaan agar digambarkan secara ringkas dan jelas. Selain itu diperlukan ruang terbuka hijau untuk mitigasi bencana (antara lain: tsunami, gempa bumi, badai, 19

20 dan lain-lain). d. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir Bagian ini menggambarkan kondisi sosial-budaya-ekonomi yang terdapat di wilayah pengelolaan yang meliputi keadaan demografi dan kecenderungan dalam memanfaatkan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil: 1) Distribusi populasi, jenis kelamin dan struktur umur, angka harapan hidup, angka kelahiran, jumlah pekerja dan pendapatan dll; 2) Karakter sosial budaya, seperti pendidikan, kepercayaan budaya/pantangan, penyakit, sumber utama pencaharian atau pekerjaan dan pendapatan, kearifan lokal dll.; 3) Struktur ekonomi, pada kawasan perencanaan berdasarkan kontribusi produk domestik pembangunan regional kotor (GDP) dari sektor utama seperti kehutanan, perikanan, pertambangan, pertanian, pariwisata, perhubungan, dsb. Berdasarkan kondisi sosial-budaya-ekonomi tersebut diharapkan dapat diantisipasi arahan pola demografi dan pertumbuhan ekonomi ke depan melalui ekstrapolasi/prediksi dari data kuantitatif yang telah dikumpulkan dari pusat data spatial provinsi yang sudah terbentuk, BAPPEDA, Dinas Kelautan dan Perikanan, Biro Pusat Statistik, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi terkait lainnya. Skenario masa depan sebaiknya diprediksi berdasarkan data empiris beberapa tahun sebelumnya dan diberi penjelasan singkat mengenai proyeksinya berdasarkan pandangan lingkungan, sosial dan ekonomi. e. Permasalahan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Bagian ini menjelaskan berbagai isu dan permasalahan terkait dengan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah, sedang maupun yang diperkirakan akan terjadi di wilayah pengelolaan. Wilayah pesisir di Indonesia memiliki berbagai potensi, mulai dari potensi perikanan, pariwisata, transportasi, dan energi. Namun yang perlu kita sadari adalah wilayah pesisir juga menyimpan potensi bencana, baik 20

21 yang disebabkan oleh alam maupun oleh ulah manusia. Potensi tersebut dapat berupa tsunami, gempa bumi, abrasi, rob, banjir, pencemaran dan salah satu isu yang terjadi diseluruh dunia adalah pemanasan global (Global Warming) yang mengakibatkan kenaikan paras muka air laut (Sea Level Rise). Diharapkan dengan mengetahui isu-isu permasalahan atau potensi bencana yang ada di wilayah pesisir, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan strategi untuk mengurangi dampak bencana yang akan terjadi Bab 3 Pendekatan dan Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan 1. Proses Pendekatan Bagian ini menjelaskan beberapa pendekatan yang digunakan dalam menyusun dokumen Rencana Pengelolaan. 2. Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan Bagian ini menjelaskan tahap-tahap yang dilalui selama proses penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan. Biasanya diawali dengan pembentukan Tim Kerja dan diakhiri dengan legalisasi dokumen Rencana Pengelolaan. Dalam dokumen Rencana Pengelolaan agar dijabarkan durasi waktu yang diperlukan untuk masing-masing tahap kegiatan yang dilaksanakan. 3. Partisipasi Stakeholder Bagian ini menjelaskan pihak-pihak stakeholder yang dilibatkan selama proses penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan. Selain itu, dijelaskan pula mekanisme partisipasi stakeholder yang dilaksanakan Bab 4 Rencana Pemanfaatan Sumberdaya 1. Rencana Pemanfaatan Sumberdaya pada Kawasan, Zona dan Sub Zona Bagian ini menjelaskan pembagian pemanfaatan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil ke dalam kawasan, zona dan sub zona sesuai hasil kajian sebagaimana tertuang dalam dokumen rencana zonasi (Provinsi/Kabupaten/Kota). Penjabarannya meliputi arahan 21

22 rencana peruntukan ruang untuk fungsi konservasi, fungsi kawasan strategis nasional tertentu, fungsi pemanfaatan umum dan fungsi alur laut mencakup informasi mengenai lokasi dan luas untuk setiap kawasan/zona/sub zona. 2. Ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Kawasan, Zona dan Sub Zona Bagian ini menjelaskan berbagai ketentuan pemanfaatan untuk setiap kawasan, zona dan sub zona sebagai alat penertiban pemanfaatan ruang yang meliputi pernyataan kawasan/zona/sub zona tentang kegiatan yang diperbolehkan atau dilarang, ketentuan perizinan, ketentuan pemberian insentif dan disinsetif yang mengacu pada zoning text. 3. Arahan Prioritas Pemanfaatan Sumberdaya pada Kawasan, Zona dan Sub Zona Bagian ini menjelaskan penjabaran dari indikasi program utama pengelolaan/pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil selama kurun waktu 5 (lima) tahun berdasarkan skala prioritas yang disesuaikan dengan kemampuan pembiayaan, kondisi fisik lingkungan dan sosial-ekonomi-budaya Bab 5 Kebijakan dan Prosedur Pengelolaan WP3K 1 Kerjasama Antar Instansi Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut akan melibatkan berbagai instansi lintas sektor. Karena itu perlu dirumuskan kewenangan atau mandat masing-masing instansi/lembaga, serta bentuk-bentuk kerjasama antar instansi yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir, termasuk peran dan komitmen masing-masing instansi secara teknis maupun financial. Bagian ini memuat kewenangan lembaga/instansi yang terlibat serta bentuk-bentuk pola kerjasama antar instansi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam satu kawasan/zona, antara lain : (1) Nota Kesepakatan atau Memorandum of Understanding (MoU) Nota kesepakatan merupakan kontrak yang menetapkan komitmen formal untuk bekerjasama diantara instansi-instansi pemerintah daerah. Bagian ini menjelasakan beberapa kesepakatan yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman antar Instansi di daerah dalam kaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Nota Kesepakatan, 22

23 jika ada, bisa disertakan sebagai Lampiran pada RPWP-3-K. Jika Nota Kesepakatan sudah ditandatangani, hendaknya nota tersebut dikutip pada bagian RPWP-3-K ini dan salinannya disertakan sebagai Lampiran. (2) Mandat Lembaga Bagian ini menjelaskan peran dan kewenangan masing-masing lembaga/instansi SKPD yang terkait dalam pengelolaan dan pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penjelasan mandat dan kewenangan serta tugas pokok dan fungsi tiap instansi/skpd dapat digali dari Surat Keputusan pembentukannya. Kemungkinan semua lembaga pemerintah akan memiliki tanggungjawab atau program- program yang sedang berjalan yang relevan dengan masyarakat pesisir. Namun demikian, mandat lembaga pemerintah inti bersama dengan program dan kegiatannya yang relevan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir hendaknya dirangkum sebagai satu Lampiran pada RPWP-3-K (lihat Tabel 2.1). Tabel 2.1 Contoh Ringkasan Mandat Instansi Serta Program Yang Relevan Instansi Kehutanan Mandat Melindungi dan melestarikan hutan dan taman-taman sejenis serta sumberdaya rekreasi milik negara. Mempraktekkan pengelolaan sumberdaya terpadu melalui kerjasama sepenuhnya dengan lembaga lain, masyarakat, dan pihak-pihak terkait. Memastikan bahwa persyaratan perundangan untuk pelestarian hutan yang berkelanjutan diindahkan. Mendorong produktivitas maksimum sumberdaya hutan milik pemerintah untuk memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Relevansi dengan Pengelolaan Pesisir Melaksanakan pelestarian bakau dan program rehabilitasi. Menerbitkan izin memanen bakau dan hutan pesisir secara berkelanjutan. Mengatur cagar alam di wilayah pesisir yang telah ditentukan dan wilayah konservasi lainnya. Diadaptasi dari Nootka Resource Board 2001 (3) Kerjasama Antar Pemerintah Sumberdaya pesisir dan laut terdiri dari ekosistem yang fungsinya seringkali melampaui batas-batas wilayah administrasi kabupaten atau provinsi. Misalnya, keberlanjutan sumberdaya setempat yang memiliki nilai ekonomis seperti udang laut, 23

24 sangat tergantung pada pelestarian ekosistem hutan bakau yang bisa saja terletak diluar wilayah administrasi setempat. Karenanya, diperlukan kerjasama antar pemerintah daerah dalam penerapan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu untuk pengelolaan sumberdaya yang secara fungsional saling berhubungan. Salah satun bentuk kerjasama antar pemerintah daerah biasanya dituangkan dalam bentuk Nota Kesepahaman. Bagian ini menjelaskan bentuk-bentuk kerjasama yang sedang maupun akan dilakukan antar pemerintah daerah dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Contoh Nota Kesepahaman antar wilayah hukum yang berdekatan seperti ini disertakan sebagai Lampiran 1 pada pedoman ini. Dalam dokumen RPWP-3-K hendaknya dijelaskan mengapa diperlukan suatu kerjasama antar pemerintah daerah, sumberdaya alam yang dikerjasamakan pengelolaannya serta siapa yang menandatangani dokumen kerjasama tersebut. Rancangan atau model Nota Kesepahaman, jika ada, dapat disertakan sebagai Lampiran pada RPWP-3-K. 2 Tatalaksana Pengelolaan Rencana Pengelolaan yang efektif memerlukan suatu sistem yang ditetapkan secara jelas untuk mengatur dan mengkordinasikan berbagai kegiatannya. Tanggung jawab rencana pengelolaan bisa didelegasikan kepada instansi pemerintah yang ada, atau kepada badan yang khusus dibentuk untuk tujuan tersebut. Bagian ini menjelaskan sistem tata laksana pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil secara terpadu yang akan diterapkan termasuk instansi atau badan pemerintah yang diberi tanggung jawab pengelolaan. (1) Badan Pengelola Bagian ini menjelaskan instansi atau badan yang diberi kewenangan sebagai penanggung jawab koordinasi dan administrasi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta uraian tugas pokok dan fungsinya. 24

25 (2) Struktur Organisasi Pengelolaan dan Keanggotaan Bagian ini menjelaskan struktur organisasi badan pengelola yang diajukan untuk mengadministrasikan program Rencana Pengelolaan, termasuk peran dan tanggung jawab masing-masing komponen yang ada dalam organisasi tersebut. Hirarki struktur pengelolaan harus mengambarkan semua pihak yang terdapat dalam organisasi yang akan dibentuk untuk mengkoordinir proses pengambilan keputusan. Struktur tersebut biasanya terdiri dari Penanggung Jawab, Tim Pengarah, Tim Koordinasi serta Kelompok Kerja Teknis, dan Sekretariat. Contoh struktur bagi pengelolaan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu disajikan pada Gambar 1. Penanggung jawab implementasi pengelolaan wilayah pesisir terpadu biasanya dipegang oleh kepala daerah (gubernur / bupati / walikota). Tim Pengarah program pengelolaan wilayah pesisir terpadu biasanya terdiri dari kepala badan yang bersifat koordinatif, dan kepala SKPD yang membidangi kelautan dan perikanan (al. Bappeda dan Dinas Kelautan dan Perikanan). Tim Pengarah bertugas memberikan arahan terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dipecahkan di tingkat-tingkat lain pada struktur pengelolaan. Selain itu, Tim Pengarah juga berwenang merumuskan dan menyetujui peran, tanggung jawab dan kewenangan untuk masing-masing Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Teknis. Gambar 1 Contoh Struktur Pengelolaan Program ICZPM 25

26 Panitia Pengarah Panitia Pengelola Sekretariat Kajian Proyek Perencanaan Lingkungan Penggunaan Sumberdaya dan Perencanaan Tata Ruang Pembangunan Ekonomi Penilaian Lingkungan Klasifikasi Sumberdaya GIS Tenaga Kerja dan Investasi Konsultasi Publik Pedoman Pelaksanaan Peruntukan Zona/Area Promosi dan Pemasaran Tim Pengarah juga memiliki kewenangan untuk melibatkan pejabat dari instansiinstansi pemerintah luar daerah (pusat, provinsi atau kabupaten/kota yang bertetangga) untuk berpartisipasi sebagai anggota atau pengamat. Tim Pengarah juga bertanggung jawab untuk membuat keputusan rutin tentang pengelolaan program dan persoalan kebijakan, termasuk rencana kerja tahunan dan pengalokasian dana. Tim Pengelolaan dibantu oleh beberapa kelompok kerja teknis yang terdiri dari wakil badan- badan berkepentingan dengan masalah-masalah tertentu dan para pemangku kepentingan stakeholders dapat ikut serta dalam menjalankan peran sebagai penasehat. Struktur pengelolaan terpadu ini didukung oleh sebuah Sekretariat. Rencana Pengelolaan harus mengidentifikasi instansi mana saja yang akan menjalankan fungsi program kesekretariatan jika suatu lembaga terpisah seperti Kantor Pengelolaan Pantai Terpadu tidak dibentuk. Badan yang ditunjuk, diharapkan melaksanakan fungsi kesekretariatan. (3) Keanggotaan Badan Pengelola 26

27 Bagian ini menjelaskan susunan anggota badan pengelola untuk masing-masing bidang kerja serta ketentuan yang mengatur keanggotaan masing-masing bidang yang ada. Setiap bidang harus diketuai oleh seorang anggota dari Badan Pengelolaan, biasanya dengan pangkat kepala bidang serta memiliki latar belakang yang sesuai. Anggota bidang tetap adalah pejabat lembaga pemerintah setempat, biasanya dengan pangkat kepala sub-bidang. Meskipun setiap anggota dari Badan Pengelolaan cenderung hanya memimpin satu bidang, para anggota setiap bidang boleh bekerja di beberapa bidang atau kelompok kerja yang relevan bagi instansi mereka. Usul keanggotaan dari berbagai panitia dan sub-panitia dapat disajikan dalam bentuk tabel pada RPWP-3-K (lihat Tabel 2.2). Tabel 2.2 Contoh Keanggotaan Panitia/Sub-Panitia Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Panitia / Kelompok Ketua Anggota Panitia Pengarah Kepala Bappeda Kabupaten Kadinas Kelautan & Perikanan Kadinas Kehutanan Kadinas Pertanian Kepala Bapedalda Dst. Pengamat : Kabid Fisik & Prasarana, Bappeda Provinsi Panitia Pengelolaan KaBid X, Bappeda Kabupaten KaBid Z, Dinas Kelautan & Perikanan KaBid A, Dinas Kehutanan KaBid Y, Dinas Pertanian KaBid A, Bapedalda Dst. Sub-Panitia Kajian Proyek KaBid A, Bapedalda Dst. 3. Pertemuan dan Pelaporan Bagian ini menjelaskan tata cara dan agenda pertemuan-pertemuan yang sedang atau akan dilaksanakan oleh seluruh anggota Badan Pengelola. Meskipun diperlukan banyak pertemuan, biasanya Tim Pengarah mengadakan pertemuan sekurang-kurang 6 bulan sekali untuk mendiskusikan kemajuan menyeluruh Rencana Pengelolaan, menyetujui rencana kerja dan anggaran, serta menelaah laporan kerja. Anggota Tim Koordinasi harus bertemu secara formal 27

28 sekurang-kurangnya sekali sebulan. Pokja dapat melakukan pertemuan lebih jarang atau lebih sering, tergantung dari sifat pekerjaan yang harus diselesaikannya. Jadwal pertemuan tetap menentukan kewajiban anggota dan menentukan tenggang waktu penyelesaian tugas-tugas yang diamanatkan. Sebagai contoh, komentar tertulis dari bidang Kajian Proyek kepada Dinas Kelautan dan Perikanan sehubungan dengan satu permohonan izin yang diusulkan kepada DKP oleh pihak perusahaan untuk proyek budidaya kerang harus siap didiskusikan pada pertemuan bidang berikutnya. Cara ini memberikan kepastian waktu kepada para penelaah yang telah ditunjuk, lembaga/ instansi sektoral bersangkutan dan pengusul proyek untuk menyerahkan/menerima tanggapan. Rencana Pengelolaan harus menentukan frekwensi pertemuan minimum bagi masing-masing Bidang/sub bidang, dan menegakkan bahwa jadwal atau tanggal pertemuan harus ditentukan setiap tahun sebagai bagian dari Rencana Kerja Pengelolaan. (1) Penyusunan Rencana Kerja Pengelolaan Sebagaimana disebutkan di atas, Badan Pengelolaan harus mempersiapkan Rencana Kerja dan anggaran tahunan agar dapat memperoleh pendanaan bagi kegiatan operasional mereka, yang kemungkinan besar melalui instansi anggota badan sebagai penanggung jawab rencana pengelolaan. Bagian ini menjelaskan bagaimana badan pengelolaan dalam mempersiapkan Rencana Kerja Pengelolaan yang juga melibatkan instansi-instansi yang akan terlibat. Struktur Rencana Kerja Pengelolaan dan anggaran juga harus dijelaskan secara lengkap termasuk rencana alokasi waktu pelaksanaan Rencana Kerja Pengelolaan harus selesai. Diharapkan bahwa perencanaan pekerjaan akan sejalan dengan siklus perencanaan proyek di Indonesia. Biasanya, Rencana Kerja Pengelolaan gabungan (juga disebut Rencana Bisnis atau Rencana Pelayanan) diajukan dalam seksi di masing-masing Bidang/sub bidang yang menguraikan secara singkat hasil-hasil yang telah dicapai di masa lalu, tanggung jawab (masing-masing sesuai dengan TOR), kegiatan yang diusulkan, jadwal, hasil/luaran yang diharapkan, dan kebutuhan anggaran. 28

29 Jadwal kegiatan diuraikan secara ringkas dengan menggunakan diagram Gantt (diagram batang). Rencana anggaran diharapkan dapat mengikuti format RAB (lihat Tabel 2.3). Tabel 2.3 Total Anggaran Berdasarkan Format RAB No Uraian Kegiatan Volume Fisik Volume Kegiatan Biaya Satuan Jumlah Satuan Jumlah Satuan (Rp.) Jumlah Biaya (Rp.) Rencana Kerja Pengelolaan yang digambarkan di atas adalah khusus untuk kegiatan berbagai panitia program. Lebih jauh lagi, Badan Pengelolaan diharapkan mengkordinasikan persiapan Rencana Kerja pengelolaan wilayah pesisir terpadu lintas sektoral untuk setiap tahun fiskal berdasarkan Rencana Aksi pengelolaan wilayah pesisir terpadu multi-tahun. (2) Dokumentasi dan Pelaporan Bagian RPWP-3-K ini menjelaskan persyaratan untuk mempersiapkan laporan kinerja, pengarsipan dan sirkulasi dokumen, serta aksesibilitasnya. Biasanya, laporan kemajuan kegiatan pengelolaan per triwulan disampaikan dalam jangka waktu 30 hari pada akhir triwulan tahun fiskal. Laporan triwulan terakhir pada tahun fiskal tersebut berfungsi sebagai laporan tahunan yang merangkum semua kegiatan dan kemajuan pada tahun tersebut. Laporan administrasi ini boleh mengikuti struktur Rencana Kerja. Lebih jauh lagi, pengelola program mungkin memilih untuk menyiapkan berbagai laporan teknis seperti Laporan Status Pembangunan dan Lingkungan Pantai. Laporan Status tersebut diharapkan dapat memantau tolok ukur (indikator) kinerja untuk pencapaian tujuan dan sasaran program rencana pengelolaan sesuai dengan Rencana Strategis, dan bisa dijadikan sebagai laporan tahunan atau dua-tahunan. Semua anggota badan pengelola termasuk pokja harus membuat catatan tertulis untuk mendokumentasikan proses pengambilan keputusan. Catatan-catatan ini biasanya diterima oleh pihak Sekretariat program segera setelah pertemuan selesai. Semua tanggal pertemuan harus ditandai. Semua laporan yang dibuat setelah berlangsungnya suatu peristiwa atau keputusan, sering dianggap mengada-ada. Laporan kinerja harus dilaporkan kepada masyarakat. Biasanya, laporan hasil rapat internal dan perihal surat menyurat hanya perlu diedarkan kepada kalangan lembaga dan panitia yang relevan saja. Sifat dokumen dan persyaratan pelaporannya dapat dirangkum dengan menggunakan tabel (lihat Tabel 2.4). Tabel

30 Contoh Dokumentasi Persyaratan Pelaporan Jenis Dokumen Tugas Standar Sirkulasi Laporan Rapat Sub- Panitia Pimpinan Rapat Dikirim ke Sekretariat dalam waktu tidak lebih dari 7 hari setelah pertemuan Panitia Pengelolaan. Anggota Sub-Panitia. Pihak lain yang ditentukan. 4. Pengaturan Pembiayaan Seperti telah diuraikan, kegiatan-kegiatan panitia penyusunan rencana pengelolaan harus mendapatkan dukungan pembiayaan. Kecuali untuk honor anggota panitia, operasional sekretariat dan bahan rapat. Oleh karena itu, tergantung dengan kesepakatan yang ada, setiap lembaga yang terlibat program diharapkan untuk menyediakan sendiri biaya-biaya untuk jam kerja stafnya, perjalanan, peralatan, komunikasi dan publikasi, sebagai bagian dari kontribusi lembaganya dalam rencana pengelolaan. Bagian ini menjelasakan uraian tentang pengaturan pembiayaan untuk semua aktivitas terkait pengelolaan pesisir. Walaupun pengaturan tersebut mungkin sudah dicantumkan dalam Nota Kesepakatan antar lembaga yang terlibat, kesepakatan tersebut tetap harus ditegaskan kembali di sini. 5. Kewenangan Pengambilan Keputusan Hirarki kewenangan pengambilan keputusan dan kriteria untuk penyerahan ke jenjang yang lebih tinggi harus dijelaskan pada bagian ini dalam RPWP-3-K. Misalnya, proyekproyek yang sejalan dengan tujuan Rencana Zonasi, tidak menimbulkan dampak lingkungan dan sedikit bersentuhan dengan masyarakat, lembaga/instansi sektor mempunyai kewenangan penuh untuk memberikan izin. Jika menyangkut masalah lingkungan yang lebih serius terkait dengan proyek sehingga harus dilakukan mitigasi, maka hak veto atau persetujuan akhir mungkin harus diberikan kepada Bapedalda. Jika terdapat dampak lingkungan besar dan juga manfaat ekonomi besar yang harus dipertimbangkan, maka kewenangan arbitrasi dapat saja diberikan Kepada Bappeda (atau Bupati). Kriteria penyerahan wewenang harus dijelaskan dengan rinci untuk menghindari penafsiran ganda, dan harus merupakan pelengkap dan bukan sebaliknya malah menimbulkan konflik dengan peraturan yang sudah ada. 30

31 6. Kebijakan Operasional Petunjuk Teknis Di bagian ini dalam RPWP-3-K sebaiknya ditetapkan, setiap standar fisik perencanaan nasional atau internasional, sistem klasifikasi habitat, prosedur penilaian dampak lingkungan, standar kerja industri, dsb. yang harus dipakai dalam pengambilan keputusan program pengelolaan pesisir terpadu. Misalnya, pada komponen Survei dan Pemetaan MCRMP, Standar Nasional Indonesia (SNI) diperlukan untuk peta topografi sedangkan International Hydrographic Organization (IHO) Standard 44 dipakai untuk mengumpulkan data batimetri. Standar keakuratan peta pada pengelolaan spasial wilayah tercantum dalam PP 10/2000. Standar-standar ini sudah ditetapkan sebagai kebijakan resmi MCRMP. SNI dan perundang-undangan yang terkait dengan pemetaan dapat diperoleh dari Bakosurtanal, dan standar Penilaian Dampak Lingkungan dapat diperoleh dari Kantor Menteri Lingkungan Hidup. Instansi-instansi lain seperti Kehutanan dan Pertambangan akan mempunyai petunjuk operasional atau praktek pengelolaan terbaik untuk para pengguna sumberdaya yang mungkin saja dapat dipakai sebagai pegangan dalam penilaian proposal proyek. Persyaratan untuk memasukkan informasi kedalam database standar provinsi dan nasional seperti GMRIS harus juga ditentukan dengan jelas. 7. Mekanisme Perijinan Bagian ini dalam RPWP-3-K harus menjelaskan proses permohonan dan kaji ulang terkordinasi yang harus diikuti menurut tahapannya oleh pemohon proyek/pelamar untuk mendapatkan izin pemanfaatan sumberdaya atau pembangunan. Izin adalah suatu persetujuan yang diberikan oleh pemerintah untuk melaksanakan aktivitas tertentu yang sesuai dengan sasaran suatu zona; dan merupakan alat pengelolaan sumberdaya utama yang ada pada lembaga pemerintahan. (1) Formulir dan Prosedur Permohonan Sudah biasa pada setiap program pengelolaan wilayah pesisir terpadu untuk menentukan suatu Formulir Permohonan Umum (FPU) yang akan digunakan oleh semua lembaga yang terlibat untuk mengumpulkan semua informasi yang diperlukan 31

32 bagi penilaian suatu proyek atau pemanfaatan sumberdaya yang diajukan. Akan tetapi, jika FPU tidak harus dibuat, maka cukup dengan merinci formulir permohonan apa yang cocok pada masing-masing lembaga sektor. Berdasarkan lokasi, ukuran dan dampak potensial dari aktivitas yang diajukan, berbagai alur prosedur bisa saja direncanakan. Alur prosedur dan kriteria-kriteria seleksi ini harus dijelaskan dalam RPWP-3-K. Misalnya dapat saja digunakan sistem tiga alur sebagai berikut: Alur Telaah Cepat: cocok untuk proyek pemanfaatan sumberdaya atau pembangunan yang sejalan dengan sasaran zona; tersedia petunjuk baku pelaksanaan atau pengelolaan kerja; kecil kemungkinan terjadi dampak yang merugikan; tidak beresiko terhadap habitat sensitif dan sumberdaya berharga; dan kepentingan masyarakat akan kecil. Telaah dilakukan oleh lembaga sektor terkait atas nama program pengelolaan wilayah pesisir terpadu, meskipun bisa saja berkonsultasi dengan mitra program yang lain, dan keputusan akhir diarsipkan di Sekretariat program. Telaah Standar: sesuai untuk diterapkan pada proyek-proyek pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya yang sejalan dengan sasaran zona, namun tidak dilengkapi dengan petunjuk operasional atau praktek pengelolaan kerja baku; kemungkinan menimbulkan dampak lingkungan yang cukup besar, ada kemungkinan berpengaruh terhadap habitat sensitif dan sumberdaya yang berharga; dan diantisipasi akan berkaitan dengan kepentingan masyarakat (publik). Telaah dilakukan oleh sub- Panitia Kajian Proyek dari program pengelolaan wilayah pesisir terpadu, disertai rekomendasi tertulis kepada lembaga sektor (pengelola). Keputusan akhir akan diarsipkan di Sekretariat program. Telaah Menyeluruh: tepat untuk proyek-proyek pembangunan yang mungkin tidak sejalan dengan sasaran zona; tidak ada petunjuk operasional atau praktek pengelolaan kerja terbaik; kemungkinan menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan, ada ancaman terhadap habitat sensitif dan sumberdaya yang berharga; dan jelas-jelas ada konflik atau kepentingan publik. Telaah dilakukan oleh suatu Kelompok Kerja (Task Force) yang dibentuk oleh Panitia Pengelolaan program 32

33 pengelolaan wilayah pesisir terpadu disertai rekomendasi tertulis kepada lembaga sektor (pengelola). Gambar 2 Contoh Proses Kaji Ulang Proyek Pengelolaan Wilayah Pesiisr Terpadu Pra -Permohonan Diskusi antar Lembaga Sektor dan Pemohon Permohonan Proyek disampaikan oleh pemohon kepada slembaga Sektor Alur Telaah Proyek ditetapkan dan Pemohon diberitahu oleh Lembaga Sektor Tahapan Pra-Telaah Permohonan lengkap disampaikan oleh Lembaga Sektor kepada Sekretarian Pengelolaan Telaah awal dan konfirmasi alur telaah oleh sub-panitia pengkaji proyek (P3) Tahapan Telaah Proyek Permohonan disebarkan oleh sekretariat pengelolaan wilayah pesisir terpadu kepada para instansi dan pusat informasi publik Tanggapan instansi dan masyarakat dikembalikan ke sekretariat pengelolaan wilayah pesisir terpadu Pemohonan dan komentar dipertimbangkan oleh P3. Dilakukan pertemuan "open house" jika diperlukan Tahapan Pasca Telaah P3 mempersiapkan satu "jawaban terkoordinir" sebagai wakil anggota program pengelolaan Jawaban dari program dikirim oleh sekretariat pengelolaan wilayah peisisr terpadu kepada Lembaga Sektor Lembaga Sektor menyetujui atau menolah permohonan proyek Lembaga sektor menyampaikan keputusan kepada pemohon proyek (2) Proses Telaah Bagian ini harus menjelaskan proses telaah permohonan yang harus diikuti (lihat Gambar 2). Proses yang ditentukan harus memberikan kesempatan bagi publik untuk berpartisipasi dengan maksud untuk membangun kepercayaan publik terhadap proses tersebut. Harap dicatat bahwa Panitia program pengelolaan wilayah pesisir terpadu tidak mengeluarkan izin, tetapi memberikan rekomendasi kepada lembaga sektor (pengelola) sebelum mereka memberikan keputusan perizinan terhadap proyek. Dari perspektif pemohon proyek, telaah yang dilakukan haruslah 33

34 memfasilitasi dialog yang efektif dengan lembaga pemerintah dan menyoroti isu-isu penting dalam perencanaan proyek sedini mungkin sehingga langkah-langkah perbaikan dapat dilakukan. Secara umum, telaah proyek harus mengikuti tiga tahapan prosedur: Pada tahapan Pra-Telaah, pengusul proyek akan bekerja dengan lembaga sektor (pengelola) untuk memastikan bahwa proposal sudah dibuat dengan memuat semua informasi yang diperlukan. Pada tahapan Kajian Proyek, proposal diserahkan oleh lembaga sektor melewati alur prosedur yang benar dan dilanjutkan dengan tahapan-tahapan telaah. Pada tahap Pasca-Telaah, penilaian dan rekomendasi dari program pengelolaan wilayah pesisir terpadu diserahkan lagi ke lembaga sektor untuk pengambilan keputusan. Arsip program pengelolaan wilayah pesisir terpadu untuk masingmasing proposal harus diperbaharui dengan informasi berdasarkan rekomendasi kajian proyek dan keputusan final oleh lembaga sektor (pengelola). 8. Standar Pelayanan Untuk memberikan tingkat pelayanan yang konsisten terhadap masyarakat publik, waktu tanggapan maksimum harus ditentukan pada setiap tahapan proses telaah proyek. Waktu tanggapan maksimum biasanya akan bervariasi tergantung pada alur prosedur yang ditentukan untuk suatu proposal proyek. Di dalam RPWP-3-K standar pelayanan untuk setiap tahapan prosedur telaah proyek dapat disajikan dalam bentuk tabel (lihat Tabel 2.5). 1. Diskusi pra- Permohonan Tabel 2.5 Contoh Standar Pelayanan untuk Proses Telaah Proyek Tahapan Alur Telaah Cepat Telaah Standar Telaah Menyeluruh 2. Pemilihan Jalur Review dan Pengumuman Pemohon Sesering mungkin tergantung kebutuhan, dan dilaksanakan dalam 5 hari kerja dari permohonan perjanjian Dalam 3 hari kerja setelah hari penyerahan permohonan Sesering mungkin tergantung kebutuhan, dan dilaksanakan dalam 5 hari kerja dari permohonan perjanjian Dalam 5 hari kerja setelah hari penyerahan permohonan Sesering mungkin tergantung kebutuhan, dan dilaksanakan dalam 5 hari kerja dari permohonan perjanjian pertama Dalam 7 hari kerja setelah hari penyerahan permohonan Disadur dari FREMP

35 Biaya-Biaya Permohonan Telaah dan Perizinan Bagian ini dalam RPWP-3-K harus mengidentifikasi setiap biaya yang harus dibayar untuk setiap jenis review/telaah, dan kapan biaya-biaya tersebut harus dibayarkan. Berbagai biaya permohonan kajian dapat dirangkum dalam sebuah tabel (lihat Tabel 2.6). Tabel 2.6 Contoh Daftar Biaya untuk Setiap Jenis Permohonan Review/Telaah Jenis Review Biaya Review Jadwal Pembayaran Alur Telaah Cepat (ATC) Rp. xx.xxx.xxx Biaya ATC dapat dibayarkan kepada pihak pengelola bersamaan dengan permohonan Telaah Standar (TS) Rp. xx.xxx.xxx Biaya ATC dapat dibayarkan kepada pihak pengelola bersamaan dengan permohonan Saldo biaya TS akan dibukukan jika Telaah Standar dianggap perlu Telaah Standar (TS-OHP) dengan Open House Publik Rp. xx.xxx.xxx Sama seperti Telaah Standar di atas kecuali saldo biaya dapat dibayarkan sebelum pelaksanaan Open House Disadur dari Port of Vancouver 2001 Biasanya untuk biaya telaah minimum yang harus dibayar (seperti Alur Telaah Cepat) dikumpulkan pada lembaga sektoral (pengelola) pada saat pengumpulan formulir permohonan lengkap. Satu tabel lainnya (lihat Tabel 2.7) bisa saja diikutsertakan untuk mengidentifikasi biaya-biaya perizinan sebenarnya yang dipungut oleh setiap lembaga sektoral berdasarkan peraturan pemerintah saat ini. Tabel 2.7 Contoh Daftar Biaya untuk Setiap Jenis Permohonan Data No. RP Penanggung Jawab Jenis Perizinan Biaya Perizinan No Peraturan 1.01 Dinas Pertambangan Kab. A Kelas C Pasir & Krikil Rp. x per tahun Perda XYZ/1995 No. RP. Nomor rujukan bagi Rencana Pengelolaan (RP) 9. Penetapan Penggunaan Sumberdaya Bagian ini dalam RPWP-3-K harus menjelaskan persyaratan untuk mendapatkan izin membangun atau memanfaatkan sumberdaya dan batasan apa saja yang harus 35

36 dilampirkan dalam izin tersebut. Fungsi izin lebih luas dari sekedar mendapatkan sewa dari eksploitasi suatu sumberdaya negara atau untuk mengontrol aktivitas pembangunan. Izin memberikan arti yang bermanfaat untuk mengumpulkan informasi tentang pengguna sumberdaya dan data tentang bagaimana pola pemanfaatan sumberdaya tersebut. Setiap wilayah administrasi dan instansi sektoral kemungkinan akan mempunyai sedikit perbedaan persyaratan bagi orang yang membutuhkan izin, jenis izin apa yang akan dikeluarkan, dan kapan serta di mana izin tersebut akan diberlakukan. Kriteria dan kondisi perizinan ini untuk pemanfaatan sumberdaya yang penting beserta maksud untuk menetapkan persyaratan baru bagi perizinan lokal dapat dirangkum dalam sebuah tabel (lihat Tabel 2.8). Tabel 2.8 Contoh Jenis Pemanfaatan Sumberdaya dan Kriteria Pemanfaatan Sumberdaya PENANGKAPAN IKAN Nafkah (Pemenuhan Kebutuhan Sendiri) Izin yang diperlukan * Tidak ada Kriteria Kapal penangkap ikan tanpa mesin atau kurang dari 1 GT menggunakan pancing, bubu, jaring insang, lempara dasar atau alat tangkap kecil lainnya No. Peraturan (Jika ada) Kepmen YZ/2000 Berlakunya Semua wilayah, kecuali zona SR16, E05 & SA12 dan DPL yang dibuat berdasarkan peraturan lokal * Jika diperlukan izin, gunakan No. Referensi Rencana Pengelolaan pada Tabel 2.7. Pada akhirnya, semua pengguna sumberdaya seharusnya diminta mendapatkan izin. Perizinan akan mendukung proses perencanaan, walaupun izin pemanfaatan sumberdaya harus dikeluarkan secara gratis (tanpa biaya) kepada warga masyarakat miskin. Spesifikasi kebiasaan (praktek) atau teknologi pemanfaatan sumberdaya yang dibolehkan harus merupakan bagian dari izin pemanfaatan sumberdaya yang dikeluarkan untuk tempat/lokasi tertentu oleh lembaga sektor terkait, atau yang diminta sebagai bagian dari Rencana Operasional pengembang. Jika praktek pemanfaatan sumberdaya dibuat sebagai bagian dari rencana pemerintah (misalnya Rencana Zonasi) maka praktek tersebut harus secara konsisten diikuti semua pemegang izin. Meskipun demikian, prosedur ini dapat saja mengurangi fleksibilitas di masa yang akan datang dalam penggunaan metode-metode alternatif dan untuk memperkenalkan inovasi-inovasi teknis pada tingkat operasional. Karena itu, praktek-praktek yang ditentukan dalam suatu 36

37 rencana pemerintah harus berdasarkan pengertian yang jelas tentang pilihan yang ada serta implikasinya. Disarankan praktek dan teknologi tidak diperjelaskan sebagai bagian dari suatu rencana pemerintah kecuali jika alasan untuk penerapan hal tersebut layak secara teknis dan dapat diterima secara umum. Misalnya, jika diperlukan untuk mencapai sasaran-sasaran pengelolaan tertentu. Persetujuan pemanfaatan sumberdaya dapat berupa beberapa bentuk. Misalnya, dalam hal perikanan tangkap bentuk-bentuk persetujuan bisa meliputi: Pemanfaatan untuk memenuhi kebutuhan hidup/tradisional; Izin masuk musiman atau temporer; Izin panen komersial skala kecil; Izin panen skala komersial (industri). Persyaratan-persyaratan persetujuan harus dilampirkan pada izin pemanfaatan. Persyaratan minimum seharusnya memuat tanggal berakhir izin, lokasi/daerah tertentu dan teknologi yang akan digunakan (seperti jenis alat tangkap, jumlah alat, ukuran mata jaring). Persyaratan lain bisa saja memuat jenis spesies yang ditargetkan, besarnya produksi (seperti total tangkapan yang dibolehkan), persyaratan laporan pendaratan, dan sebagainya. Persyaratan persetujuan ini dimaksudkan untuk melaksanakan monitoring dan untuk mengelola secara efektif sumberdaya yang dapat diperbaharui. Izin pembangunan harus memberikan penjelasan yang detil tentang wilayah dan sumberdaya yang akan terpengaruh; dan semua persyaratan bagi praktek pemanfaatan yang berkelanjutan, rehabilitasi dan konservasi. Persyaratan mininum apa saja untuk izin pemanfaatan sumberdaya atau pembangunan harus dijelaskan pada bagian ini dalam RPWP-3-K. Prosedur pembatalan suatu izin pemanfaatan sumberdaya harus juga diidentifikasi dalam RPWP-3-K. Pembatalan izin mungkin diperlukan karena berbagai alasan di antaranya: Penerapan kegiatan-kegiatan ilegal oleh pemegang izin (seperti pengeboman ikan, menangkap ikan dengan cara meracun, pemakaian alat tangkap ilegal atau tidak berizin, penangkapan spesies yang dilindungi, dst); Merubah peruntukan zona yang telah ditentukan, atau sasaran pengelolaannya; 37

38 Mengurangi aktivitas dengan tujuan untuk melakukan mitigasi/rehabilitasi di habitat sensitif dan di wilayah yang memiliki spesies langka atau terancam punah. Pembatalan izin dilakukan oleh lembaga sektor (pengelola) dan harus mengikuti proses pengambilan keputusan yang telah ditentukan serta tanggung jawab dan persyaratan informasi yang jelas. Proses ini dapat dirangkum dalam sebuah diagram atau tabel (lihat Tabel 2.9). Tabel 2.9 Contoh Proses Pembatalan Sebuah Izin Pemanfaatan Sumberdaya Tahapan Kegiatan Penanggung Jawab 1. Keputusan untuk memulai proses pembatalan dilakukan dan dicatat secara tertulis dengan justifikasi dikirim ke instansi sektor terkait dan pemegang izin 2. Menentukan konsultasi ekternal dan internal apa yang diperlukan dan menyiapkan proposal bagaimana konsultasi akan dilakukan 3. Menetapkan apakah diperlukan peringatan publik pada awal proses pembatalan Pegawai Lembaga Sektor (Pengelola) Lembaga Sektor (Pengelola) 4. Membuat proposal untuk mencabut izin dan Lembaga Sektor (Pengelola) membuat rekomendasi kepada pihak yang berwenang 5. Mempersiapkan konsultasi publik (jika diperlukan) Lembaga Sektor (Pengelola) 6. Menyediakan hasil konsultasi publik, dan informasi lain 7. yang diperlukan kepada otoritas penanggung jawab (al. Bupati) Membuat ketetapan tentang proposal dan semua penolakan, dan menginformasikannya ke lembaga sektor. Lembaga Sektor (Pengelola) Otoritas Penanggung Jawab (al. Bupati) 8. Pemegang izin diberitahu apakah pembatalan dikabulkan Lembaga Sektor (Pengelola) 9. Jika dikabulkan, pembatalan dicatat di Buku Registrasi Publik Kordinator Program ICZM (Bappeda) Diambil dari Pemerintah Daerah New Zealand Resolusi Konflik Penyelesaian konflik (perselisihan) harus sejalan dengan tingkatan kewenangan yang diberikan kepada pembuat keputusan berdasar perundang-undangan. Kebanyakan perselisihan antara instansi pemerintah akan bermula pada saat penetapan sasaran pengelolaan dan batas-batas zona. Pada umumnya, perselisihan antar instansi harus diatasi pada tingkat profesional dan teknis sedini mungkin pada proses perencanaan. Perselisihan antara pemangku kepentingan yang lain bisa saja terjadi dalam beberapa kombinasi: Antar kelompok yang berbeda di tingkat desa; 38

39 Antar kelompok dari desa yang berbeda; Antar kelompok lokal dan instansi pemerintah; Petunjuk Teknis Antar kelompok lokal dan perusahaan swasta atau Lembaga Swadaya Masyarakat. Konflik dalam pengelolaan sumberdaya biasanya berasal dari perbedaan interpretasi tentang distribusi sumberdaya dan wewenang pengambilan keputusan terhadap pemakaiannya. Isu-isu ini dapat dibicarakan melalui suatu proses klarifikasi dan pengakuan terhadap hak-hak ulayat untuk akses atau memanfaatkan sumberdaya. Proses-proses yang seharusnya diikuti dalam penyelesaian berbagai jenis konflik dijelaskan di bagian ini dalam RPWP-3-K. Jalur penyelesaian konflik lainnya harus juga disediakan. Misalnya, isu antara pengguna sumberdaya bisa saja diatasi melalui diskusi langsung antara pihak-pihak yang terkait yang dijembatani oleh wakil dari instansi sektoral (pengelola). Jika tidak ada jalan keluar, kemudian semua pihak bisa bersepakat mengikuti kesepakatan arbitrasi di mana semua pihak akan tunduk kepada keputusan wasit netral yang ditunjuk oleh instansi sektoral. Jika konflik terjadi antara pemohon proyek dan instansi sektoral, maka proses pengajuan permintaan banding harus dijelaskan. Dalam proses banding, pengambil keputusan akhir harus diidentifikasi. Pada kebanyakan kasus, pengambil keputusan akhir adalah Eksekutif Senior di daerah (Bupati). 11. Konsultasi Publik Proses yang harus diikuti untuk menyelenggarakan konsultasi publik dalam keputusankeputusan pengelolaan wilayah pesisir terpadu harus dijelaskan pada bagian ini dari RPWP-3-K. Pada proses Partisipasi Publik, para Pemangku Kepentingan sebenarnya merembukkan penyelesaian yang bisa diterima dan bermanfaat bagi semua pihak bersama-sama dengan lembaga sektor (pengelola). Akan tetapi, proses Konsultasi Publik hanya mengikutsertakan pandangan-pandangan Pemangku Kepentingan yang diperlukan sebelum keputusan akhir dibuat oleh lembaga sektor. Konsultasi publik biasanya menyangkut pemberian informasi kepada Pemangku Kepentingan tentang proposal tertentu yang sedang dipertimbangkan, dan mengumpulkan berbagai masukan dari mereka. Informasi pendahuluan yang disediakan oleh sebuah lembaga harus 39

40 menyarankan pihak-pihak yang tertarik tentang isu yang sedang berkembang dan mungkin juga mengemukakan beberapa pilihan spesifik. Informasi yang diberikan bisa juga menjelaskan kecenderungan pilihan lembaga sendiri diantara beberapa pilihan yang ada. Prinsip-prinsip konsultasi efektif termasuk: Harus sungguh-sungguh konsultasi harus memberitahukan bahwa keputusan masih belum diambil; Memberikan informasi yang cukup kepada semua pihak yang berkepentingan tentang latar belakang yang relevan; Memberikan waktu yang cukup bagi keterlibatan semua pihak; Menyikapi semua tanggapan mereka dengan pikiran terbuka; Mengeluarkan keputusan yang wajar dan adil berdasarkan berbagai komentar yang didapatkan. (1) Proses Konsultasi Publik Petunjuk untuk menentukan tingkat konsultasi publik yang diperlukan dalam telaah satu proposal dan metode yang akan digunakan harus dijelaskan di dalam sub-bagian RPWP-3-K. Pembentukan kelompok kerja tenaga ahli dan dewan (gugus) penasehat yang terdiri dari lintas kepentingan merupakan langkah penting pada kebanyakan konsultasi. Akan tetapi, konsultasi jangan sampai hanya terbatas kepada orangorang yang memiliki pengetahuan teknis dan kepentingan komersial. Ketergantungan hanya kepada individu tertentu bisa menimbulkan kesan bahwa kepentingan-kepentingan tertentu lebih diutamakan. Tidak setiap lapisan masyarakat harus dikonsultasi secara langsung. Pada saat penentuan siapa yang harus dikonsultasi, pertimbangan perlu diberikan kepada berapa besar ukuran kelompok-kelompok Pemangku Kepentingan yang sebenarnya, lokasi dan kepentingan mereka. Biaya yang harus dikeluarkan oleh semua pihak, kecenderungan pilihan masyarakat berkenaan dengan format masukan (tertulis, lisan, orang-per-orang), dan tingkat pengetahuan atau pemahaman terhadap isu-isu berikut implikasinya, merupakan beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi efektivitas proses konsultasi. Terdapat metoda yang banyak untuk menjangkau Pemangku Kepentingan yang 40

41 diinginkan dan metoda ini dapat disesuaikan dengan tingkatan konsultasi yang dirasakan perlu untuk dilakukan. Beberapa metoda ini meliputi: Pencatatan dalam Buku Registrasi Publik Terbuka; Pengumuman terbuka di media masa untuk mengundang tanggapan tertulis; Mengumpulkan pendapat (polling) dari sejumlah pejabat pemerintah pengambil keputusan dan tokoh-tokoh masyarakat; Kelompok kerja ahli terdiri dari para teknokrat profesional; Dewan (gugus) penasehat terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, industriawan, LSM dan pemerintah; Diskusi kelompok fokus kecil yang merupakan wakil dari reaksi Pemangku Kepentingan yang terkena dampak; Survei (misalnya, Participatory Rapid Appraisal/PRA); Seminar dan Lokakarya; Rapat-rapat kelompok kecil masyarakat di daerah yang terpengaruh; Pertemuan umum (Open House) di lokasi yang terkena dampak. Metoda-metoda di atas diurut menurut besarnya biaya dan tingkat kompleksitasnya dalam penyelenggaraan. Metoda konsultasi yang sesuai dapat dipilih berdasarkan ruang lingkup dan pentingnya permasalahan (isu) yang dihadapi. Pemangku Kepentingan dapat diinformasikan dan diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan berkenaan dengan hal-hal rutine melalui pencatatan publik dan pengumuman terbuka. Keseluruhan metoda dapat digunakan bila diperlukan untuk isu-isu kontroversial atau yang memiliki dampak lingkungan penting. Sebagai contoh, implementasi Rencana Zonasi, atau amandemen rencana tersebut, dapat memiliki konsekuensi nyata untuk pengguna sumberdaya yang ada sekarang maupun terhadap kepentingan para Pemangku Kepentingan yang lain. Karena itu biasanya disarankan untuk menggunakan metode konsultasi seluas-luasnya dan suatu rencana konsultasi harus dipersiapkan untuk mengorganisir proses tersebut. Tabel 2.10 Contoh Petunjuk untuk Menentukan Tingkat Konsultasi Publik Isu/Ha l Karakteris tik Metode Konsultasi 41

42 Izin Alur Telaah Cepat Sejalan dengan tujuan pengelolaan zona terlibat; Tidak mengancam sumberdaya berharga dan habitat sensitif; Kepentingan publik terbatas; Tercatat dalam Buku Registrasi Publik Terbuka Terpampang pada Papan Penumuman Desa. Karena Rencana Pengelolaan kemungkinan tidak kontroversial terhadap pengguna sumberdaya, konsultasi bisa saja dibatasi menjadi pengumuman publik atau diskusi kelompok kerja para ahli. Persyaratan minimum konsultasi bagi berbagai hal pengelolaan sumberdaya dapat dirangkum dalam tabel (lihat Tabel 2.10). (2) Bentuk-bentuk Pendapat Masyarakat Kesempatan harus diberikan kepada publik untuk menggunakan berbagai cara dalam menyampaikan pendapat. Kebanyakan, masukan tertulis merupakan bentuk yang dapat diterima dalam penyampaian pendapat. Bentuk-bentuk yang lebih maju lagi seperti dan web-logs bisa juga diterima seiring dengan peningkatan akses teknologi informasi. Akan tetapi kesempatan untuk melakukan hal yang sama harus juga diberikan kepada Pemangku Kepentingan tertentu yang barangkali buta huruf atau merasa lebih suka memberikan tanggapan secara tatap muka. Untuk pertemuan-pertemuan masyarakat dan Open House publik, fasilitator independen bisa saja dikontrak untuk menyelenggarakan pertemuan dan merekam pendapat-pendapat yang ditujukan kepada lembaga pengelola. Pemangku Kepentingan mungkin juga merasa lebih yakin bahwa pendapat mereka akan didengar jika disampaikan melewati pihak ketiga yang netral. Jika tidak ada pertemuan publik yang direncanakan, maka perlu diidentifikasi secara jelas ke mana dan kepada siapa komentar tertulis harus disampaikan; dan juga siapa yang mungkin bisa dikontak di tingkat lokal untuk merekam dan meneruskan pendapat-pendapat lisan. Bisa juga Kepala Desa atau Camat mau menerima tanggung jawab di lokasi yang sulit dijangkau; tetapi, adalah kewajiban dari lembaga pengelola untuk menindak lanjuti dengan orang kontak yang ditunjuk untuk meyakinkan bahwa hal tersebut memang sudah dilakukan. RPWP-3-K harus menjelaskan sistem apa yang akan dilaksanakan untuk mengumpulkan komentar secara tertulis dan lisan 42

43 dari para Pemangku Kepentingan. Petunjuk Teknis (3) Kerangka Waktu Konsultasi Waktu minimum dan konteks untuk mendapatkan pendapat para Pemangku Kepentingan harus diidentifikasi di bagian ini dalam RPWP-3-K. Konsultasi efektif mensyaratkan bahwa orang-orang yang sedang dikonsultasi harus mempunyai waktu cukup untuk mempertimbangkan informasi yang diberikan, membuat permohonan untuk informasi lanjutan atau klarifikasi, konsultasi dengan Pemangku Kepentingan lain dan secara umum membuat pandangan mereka sendiri. Menurut ketentuan umum paling tidak harus disediakan : 10 hari kerja untuk tanggapan dari lembaga pemerintah lokal; 30 hari kerja untuk tanggapan dari pihak-pihak yang terpengaruh, Pemangku Kepentingan terkait lain, dan pemerintah pusat atau daerah; 40 hari kerja untuk konsultasi yang mengikutsertakan organisasi internasional. Kerangka waktu ini harus diperhitungkan dari tanggal pada saat bahan-bahan informasi pertama kali diterima oleh Pemangku Kepentingan atau dari tanggal pengumuman publik dipublikasikan. Isu-isu kompleks mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama atau bisa melewati beberapa kali konsultasi terus menerus secara berurutan. Konteks bagi konsultasi tertentu harus dinyatakan pada pengumumannya dan pada bahan-bahan yang dibagikan. Tambahan waktu harus diberikan selama masa liburan. (4) Standar Dokumentasi Bagian ini dalam RPWP-3-K harus menjelaskan persyaratan minimum dalam penyiapan dan penyebaran dokumen-dokumen yang berkaitan dengan suatu konsultasi. Pertimbangan perlu diberikan dengan cara yang paling sesuai dari pencatatan informasi untuk setiap metode konsultasi yang digunakan. Kebanyakan, catatan tertulis dari pertemuan akan dikompilasi dalam bentuk draf laporan oleh instansi pengelola. Draf laporan tersebut harus dikirim kepada peserta pertemuan, atau perwakilan kelompok mereka, untuk diverifikasi. Sudah biasa dilakukan bahwa untuk mengetahui daftar semua peserta pada suatu kegiatan maka digunakan 43

44 lembar daftar hadir yang ditandatangani para peserta. Untuk komentar tertulis, akan sangat berguna jika semua tanggapan lembaga dan komentar juga dikompilasi. Ada kemungkinan bahwa tanggapan lisan, khususnya yang disampaikan pada saat pertemuan Open House publik, harus direkam di kaset atau video untuk menjaga keakuratan dan sebagai referensi kemudian. Akan tetapi, peserta harus diberi tahu sebelumnya bahwa hasil pertemuan sedang direkam. Kontribusi orang-orang atau kelompok-kelompok yang membuat tanggapan harus mendapatkan ucapan terima kasih secara luas (al. pengumuman di media massa) pada bagian kesimpulan proses konsultasi dengan tujuan untuk mendorong partisipasi di masa datang. (5) Analisis Tanggapan Publik Pemangku Kepentingan harus diyakinkan bagaimana memanfaatkan tanggapantanggapan yang mereka berikan. Proses analisis harus mempertimbangkan setiap masukan yang diterima. Adalah hal yang tidak dapat diterima untuk hanya mengambil salah satu contoh masukan atau hanya fokus kepada masukan yang diterima dari orang yang berpengaruh atau kelompok para ahli saja. Akan tetapi, masukan dapat diklasifikasi dan ditabulasi untuk analisis. Laporan-laporan harus dapat diterima umum dan tanpa nama. Pada kebanyakan kasus, pendapat lembaga atau masyarakat akan dirangkum dalam laporan pertemuan dan dokumen lain tanpa memperhatikan siapa yang membuat tanggapan- tanggapan tersebut. Walaupun masukan-masukan dikompilasi dan diedarkan tanpa nama-nama pemberi tanggapan, namun masukan-masukan tersebut tidak termasuk rahasia. Karena itu, jika peninjauan hukum dilakukan terkait dengan suatu keputusan, sumber dari semua tanggapan yang menjadi pertimbangan akan terbuka untuk diperiksa. Bagian ini dalam RPWP-3-K harus menjelaskan prosedur standar yang akan dipakai untuk menganalisa masukan publik dan dalam kondisi bagaimana sumber-sumber tanggapan tersebut bisa diungkapkan. 12. Akses terhadap Informasi 44

45 Metode dan tanggung jawab untuk memfasilitasi akses publik terhadap dokumendokumen yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir terpadu harus dijelaskan pada bagian ini dalam RPWP-3-K. Sudah dijelaskan di atas bahwa publik harus mampu mengakses informasi secara terus menerus, khususnya yang berkenaan dengan penentuan zona, izin yang disetujui dan permohonan izin yang baru. Paling tidak, Buku Registrasi Publik yang terbuka untuk diperlihatkan selama jam kerja normal harus disediakan oleh lembaga utama (penanggung jawab) pengelolaan wilayah pesisir terpadu (misal, Bappeda). Di masa depan, buku registrasi publik mungkin bisa dibuat terbuka melalui website prngelolaan wilayah pesisir terpadu. Akan tetapi, dalam waktu dekat, akses publik terhadap dokumen cetakan sangatlah penting dan harus didukung oleh jejaring Pusat Informasi Publik yang ditunjuk di wilayah pengelolaan peisir, dan juga di ibu kota provinsi. Pusat-pusat informasi publik yang ditunjuk bisa mengikutsertakan kantor-kantor pemerintah tertentu, perpustakaan umum, atau sekolahsekolah. Pusat informasi tersebut harus dilengkapi dengan cetakan dokumentasi yang relevan termasuk Laporan Kemajuan Triwulanan pengelolaan program pengelolaan wilayah pesiisr terpadu, Rangkuman Konsultasi, dan Formulir-formulir Permohonan Izin serta petunjuk pengisiannya. Orang yang ditunjuk untuk mengoperasikan pusat informasi tersebut harus dilatih tentang tanggung jawab mereka, dan masyarakat diinformasikan di mana letak pusat informasi tersebut berada. Sekretariat program biasanya bertanggung jawab untuk menjaga agar dokumen- dokumen dan bahan-bahan informasi selalu tersedia pada pusat-pusat informasi yang ditunjuk dan bisa juga membuat suatu Hotline atau sambungan langsung untuk pelayanan masyarakat. Juga sangat tepat untuk menyatakan persiapan apa yang harus dibuat bagi anggota masyarakat untuk mendapatkan duplikat (fotokopi) dari dokumen-dokumen yang ada. Misalnya, bisa dinyatakan dalam RP bahwa fotokopi dokumen akan disediakan dengan harga tertentu dan softcopy-nya (seperti file pdf Adobe Acrobat) akan disediakan gratis Bab 5 Implementasi Rencana Pengelolaan 45

46 Bagian ini harus menjelaskan tahapan-tahapan apa yang harus dilalui untuk melaksanakan secara efektif dan memantau kemajuan dari RPWP-3-K. Setelah RPWP-3-K dicanangkan, sangatlah diperlukan pembuatan struktur pengelolaan dan melaksanakan lokakarya-lokakarya pelatihan bagi lembaga- lembaga sektor. Jangka waktu untuk menyusun badan pengelola program pengelolaan wilayah pesisir terpadu, jadwal dimulainya lokakarya-lokakarya pelatihan dan kursus-kursus penyegaran berkala harus dirancang di sini. Proses pemantauan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu harus diidentifikasi untuk memantau pelaksanaan semua rencana pengelolaan pesisir, termasuk RPWP-3-K. Pemantau (monitor) bisa berupa posisi yang ditunjuk dalam lembaga utama (penanggung jawab) pengelola (misal, Bappeda) atau lembaga lainnya yang terlibat. Uraian Tugas dan kewajiban pemantau program harus disertakan, dan pernyataan maksud tentang keinginan untuk menyiapkan Rencana Pemantauan dan Evaluasi pengelolaan wilayah pesisir dalam kurun waktu tertentu (misalnya 6 bulan) sejak mulai dilaksanakan program. Dokumen Sistem dan Petunjuk Monitoring & Evaluasi Proyek (Project Monitoring & Evaluation System and Guidance) dalam MCRMP merupakan suatu model yang bermanfaat dan dapat disadur untuk tujuan ini Bab 6 Peninjauan Kembali Dokumen RPWP-3-K Sebagai dokumen yang hidup semua rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu, termasuk RPWP-3-K, tidak bisa dilepaskan dari proses pinjauan ulang dan amandemen. Proses untuk menyusun dan memadukan amandemen ke dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir harus dijelaskan pada bagian ini. Amandemen-amandemen rencana yang diusulkan biasanya didiskusikan pada jangka waktu yang ditetapkan sebelumnya oleh Panitia Pengarah dan Panitia Pengelola. Misalnya: Telaah Tahunan: perbaikan ringan dari semua rencana pengelolaan wilayah pesisir mengikutsertakan semua lembaga terkait; Telaah Pertengahan Masa: perbaikan signifikan dari semua rencana pengelolaan wilayah pesisir mengikutsertakan lembaga terkait dan Pemangku Kepentingan yang terpengaruh. 46

47 Penilaian Akhir Masa dan permulaan proses perencanaan baru untuk mempersiapkan generasi berikut dari rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Bukanlah sesuatu yang aneh bagi rencana baru untuk memerlukan amandemen ringan segera setelah pelaksanaan dimulai. Karena itu, suatu mekanisme harus dibuat dalam RPWP-3-K untuk perbaikan tahunan dari pesisir untuk membaiki masalah-masalah ringan. semua rencana-rencana pengelolaan wilayah Akan tetapi, amandemen penting (seperti perubahan peruntukkan zona) tidak boleh dipertimbangkan tanpa melaksanakan konsultasi-konsultasi publik yang diperlukan. Masalah-masalah yang ditemui harus diagendakan secara sistematis oleh lembagalembaga sektor dan utama penanggung jawab program pengelolaan wilayah pesisir (al. Bappeda) pada saat masalah tersebut muncul, dan pemecahan teridentifikasi yang dapat diterima. Jika rencana-rencana dicanangkan oleh Keputusan Eksekutif Senior (seperti SK Bupati) maka amandemen rencana dapat juga dibuat dengan pencanangan. Lebih baik jika semua amandemen kecil dibuat pada saat pertemuan tinjauan ulang tahunan yang terkordinir untuk mengurangi kebingungan dan biaya administrasi yang terkait dengan perbaikan berkali-kali dan tidak menentu Bab 7 Daftar Kontak Person Daftar orang-orang kontak berkaitan dengan pelaksanaan Rencana Pengelolaan, alamat dan nomor telepon mereka harus dicantumkan pada bagian RPWP-3-K ini. Orang-orang kontak adalah individu-individu yang bertanggung jawab untuk menjelaskan atau mengklarfikasi semua aspek RPWP-3-K. Orang-orang kontak sebaiknya bukan pimpinan lembaga tetapi individu-individu yang mudah dihubungi secara rutin oleh administrator/pengelola dari lembaga pemerintah dan juga oleh masyarakat. Sebaiknya, orang-orang ini pernah terlibat dalam proses penyusunan RPWP-3-K dan karenanya memiliki pengetahuan yang cukup mengenai isi dokumen RPWP-3-K Daftar Pustaka 47

48 Adalah hal biasa untuk memasukkan suatu daftar pustaka dari referensi dokumen-dokumen utama yang digunakan untuk mempersiapkan Rencana Pengelolaan. Dalam kebanyakan kasus, daftar pustaka akan memasukkan semua referensi tentang segala perundangundangan yang sudah dikutip dalam teks atau tabel, dan juga publikasi-publikasi relevan lainnya. 2.3 Masa Berlaku Rencana Pengelolaan WP3K Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berlaku dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dan ditinjau kembali sekurang-kurangnya 1 (satu) kali. Pelaksanaan peninjauan kembali RPWP-3-K Provinsi atau Kabupaten/Kota dikoordinasikan pelaksanaannya oleh Bappeda provinsi atau Kabupaten/Kota. 48

49 BAB III PROSES PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL 3.1 Sosialisasi Langkah awal dari penyusunan RPWP-3-K ini adalah sosialisasi tentang proses dan mekanisme penyusunan RPWP-3-K kepada seluruh pemangku kepentingan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sosialisasi dilaksanakan kepada instansi terkait didaerah untuk menyamakan persepsi tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di dalam penyusunan dokumen tersebut. Di dalam sosialisasi hal yang perlu disampaikan adalah urgensi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu, proses tahapan penyusunan dokumen RPWP-3-K, penyampaian orientasi, penjaringan isu dan dan kelembagaan kelompok kerja (pokja) penyusun dokumen RPWP3K. Sosialisasi dapat dilakukan melalui beberapa saluran komunikasi, misalnya: 1. Media massa (televisi, radio, surat kabar, majalah); 2. Brosur, leaflet, flyers, surat edaran, buletin, jurnal; 3. Kegiatan kebudayaan (misal: pagelaran wayang dengan menyisipkan informasi yang ingin disampaikan di dalamnya); 4. Multimedia (video, VCD, DVD); 5. Website; 6. Ruang pamer atau pusat informasi; dan/atau 7. Pertemuan terbuka dengan masyarakat/kelompok masyarakat. 3.2 Pembentukan Kelompok Kerja Penyusunan RPWP-3K merupakan kewenangan Pemerintah Daerah. Pembentukan kelompok kerja dilaksanakan sebelum pertemuan dan pembahasan dokumen RPWP-3-K yang dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota. Pokja terdiri BKPRD Provinsi atau BKPRD Kabupaten/Kota dengan Kepala Bappeda sebagai ketua dan kepala dinas yang membidangi kelautan dan perikanan sebagai sekretaris, dengan anggota terdiri 49

50 dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)/instansi terkait sesuai dengan kewenangan dominan dan karakteristik daerah yang bersangkutan, serta pemangku kepentingan utama lainnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil baik dari pelaku usaha maupun masyarakat lokal. Pembentukan tim penyusun disahkan oleh Kepala Daerah dan dapat dimungkinkan untuk memasukkan fasilitator penyusunan dari unsur akademisi maupun lembaga non- pemerintah. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan penyusunan dokumen RPWP-3-K kelompok kerja dapat dibantu tim teknis yang ditetapkan oleh ketua kelompok kerja. Tim Teknis terdiri dari perwakilan dari berbagai stakeholder. Tim Pokja memiliki tugas dan tanggung jawab, diantaranya : a. Menyamakan persepsi terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan isu strategis. b. Menginventarisir dan mengkoordinasikan rencana kegiatan masing-masing sektor di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. c. Guna kelancaran pelaksanaan penyusunan RPWP-3-K Kelompok Kerja dapat dibantu tim teknis yang ditetapkan oleh ketua kelompok kerja. BAGAN PENYUSUNAN RPWP-3-K 50

51 3.3 Inventarisasi Program dan Kegiatan PWP-3-K Inventarisasi program dan kegiatan PWP-3-K dilakukan dengan menelaah dokumen RZWP-3- K dan RSWP-3-K dan rencana-rencana pembangunan sektoral jangka menengah dan jangka pendek baik spasial maupun non-spasial di wilayah perencanaan. Rencana pengelolaan membantu memilah penggunaan sumberdaya pesisir yang dibolehkan dan yang bertentangan pada masing-masing zona peruntukan yang telah ditentukan, sehingga terciptalah keseimbangan antara pelestarian sumberdaya pesisir dan kepentingan pengembangan/pembangunan ekonomi. Rencana pengelolaan merupakan alat untuk mengarahkan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan berdasarkan skala prioritas di setiap kawasan, zona dan/atau subzona pemanfaatan yang telah ditetapkan dan menjadi acuan bagi penyusunan RAPWP3K, rencana sektoral jangka menengah dan jangka pendek. 3.4 Penyusunan Dokumen Awal 51

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG PERENCANAAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SUKAMARA TAHUN 2015-2035 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, 1 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2016 TENTANG PERENCANAAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2014 WILAYAH. Kepulauan. Pesisir. Pulau-Pulau Kecil. Pengelolaan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL 1 of 65 8/29/2007 12:06 PM 28/08/07 - Program Khusus: RUU Pesisir UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 [ kembali ] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG PERENCANAAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34/PERMEN-KP/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERENCANAAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Wilayah

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

SAMBUTAN. Jakarta, Desember 2013 Sudirman Saad. Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

SAMBUTAN. Jakarta, Desember 2013 Sudirman Saad. Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil SAMBUTAN Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikenal pula sebagai negara maritim dengan luas lautan mencapai 5,8 juta km 2 yang terdiri dari perairan territorial 3,1 juta km 2 dan ZEE

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL.

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Wilayah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.862, 2013 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Wilayah Pesisir. Pulau-Pulau Kecil. Pengelolan. Pengawasan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 074 TAHUN 2015

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 074 TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 074 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2015-2035 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 2TAHUN 2013 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013 TENTANG PERIZINAN REKLAMASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.573, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Pertanahan. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penataan. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2014 WILAYAH. Kepulauan. Pesisir. Pulau-Pulau Kecil. Pengelolaan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Kementerian Kelautan dan Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan Jakarta, 6 November 2012 Wilayah Pesisir Provinsi Wilayah Pesisir Kab/Kota Memiliki 17,480 pulau dan 95.181 km panjang garis pantai Produktivitas hayati tinggi dengan keanekaragaman hayati laut tropis

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Aksi Pengelolaan WP3K

Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Aksi Pengelolaan WP3K 1 SAMBUTAN Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikenal pula sebagai negara maritim dengan luas lautan mencapai 5,8 juta km 2 yang terdiri dari perairan territorial 3,1 juta km 2 dan ZEE

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai tindak lanjut Pasal

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1 BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 42 TAHUN 2014 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 42 TAHUN 2014 RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL PROVINSI NUSA TENGGARA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K

-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 228) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

SAMBUTAN. Jakarta, Desember 2013 Sudirman Saad. Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

SAMBUTAN. Jakarta, Desember 2013 Sudirman Saad. Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil SAMBUTAN Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikenal pula sebagai negara maritim dengan luas lautan mencapai 5,8 juta km 2 yang terdiri dari perairan territorial 3,1 juta km 2 dan ZEE

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013 TENTANG PERIZINAN REKLAMASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGALIHAN SAHAM DAN BATASAN LUASAN LAHAN DALAM PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PEMANFAATAN PERAIRAN DI SEKITARNYA DALAM RANGKA

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

Kebijakan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Kebijakan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kebijakan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Oleh: Dr,Ir. Subandono Diposaptono, MEng Direktur Perencanaan Ruang Laut Hp. 081585659073 Disampaikan Pada : FGD Reklamasi FB ITB Bandung, 28

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, Menimbang : a. bahwa pantai merupakan garis pertemuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.228, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5941) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR, LAUT DAN PULAU PULAU KECIL

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR, LAUT DAN PULAU PULAU KECIL PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR, LAUT DAN PULAU PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang:

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 45 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN DENPASAR, BADUNG, GIANYAR, DAN TABANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.121, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SERBAGITA. Kawasan Perkotaan. Tata Ruang. Perubahan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 45 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN DENPASAR, BADUNG, GIANYAR, DAN TABANAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.20/MEN/2008 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PERAIRAN DI SEKITARNYA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.20/MEN/2008 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PERAIRAN DI SEKITARNYA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.20/MEN/2008 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PERAIRAN DI SEKITARNYA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Keterkaitan Rencana Strategis Pesisir dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai Timur

Keterkaitan Rencana Strategis Pesisir dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai Timur P E M E R I N T A H KABUPATEN KUTAI TIMUR Keterkaitan Rencana Strategis Pesisir dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai Timur Oleh: Ir. Suprihanto, CES (Kepala BAPPEDA Kab. Kutai Timur)

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2011 NOMOR 23 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

2 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 54

2 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 54 No.1178, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Wilayah Pesisir. Pulau-Pulau Kecil. Pengelolaan. Perencanaan. Pencabutan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34/PERMEN-KP/2014

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN INSENTIF DAN DISINSENTIF PENATAAN RUANG PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN 2007 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN 2007 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN KAWASAN NELAYAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT, Menimbang

Lebih terperinci

Kriteria, Prinsip Dasar dan Mekanisme Perizinan Dalam Pelaksanaan Reklamasi Wilayah Perairan

Kriteria, Prinsip Dasar dan Mekanisme Perizinan Dalam Pelaksanaan Reklamasi Wilayah Perairan Kriteria, Prinsip Dasar dan Mekanisme Perizinan Dalam Pelaksanaan Reklamasi Wilayah Perairan KEWENANGAN DAN PERYARATAN REKLAMASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL MENURUT PERPRES 122 TAHUN 2012,

Lebih terperinci

BUPATI BATANG PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI BATANG PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI BATANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA ZONASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN BATANG TAHUN 2014 2034 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 1 TAHUN 2013 SERI E NOMOR 1 TAHUN 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 1 TAHUN 2013 SERI E NOMOR 1 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 1 TAHUN 2013 SERI E NOMOR 1 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH LOMBOK BARAT NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR 2007

PERATURAN DAERAH PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR 2007 PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT 11.1210.50A PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR 2007 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jalan Urip Sumoharjo

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT TATA RUANG LAUT PESISIR DAN PULAU-PULAU

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT TATA RUANG LAUT PESISIR DAN PULAU-PULAU KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT TATA RUANG LAUT PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Rapat Koordinasi BKPRN tingkat Es. II Rabu, 12 Maret

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PERMEN-KP/2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN UNTUK PERAIRAN DARAT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

BUPATI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENGELOLA PERBATASAN KABUPATEN NATUNA. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci