PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM INVESTASI PERDAGANGAN. Soemali, SH., MHum. 1. Lidia Noor Yulyanti 2 ABSTRAK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM INVESTASI PERDAGANGAN. Soemali, SH., MHum. 1. Lidia Noor Yulyanti 2 ABSTRAK"

Transkripsi

1 Jurnal Hukum, Vol. XVIII, No. 18, April 2010 : ISSN PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM INVESTASI PERDAGANGAN Soemali, SH., MHum. 1 Lidia Noor Yulyanti 2 ABSTRAK Penyelesaian sengketa investasi perdagangan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu litigasi dan non litigasi. Salah satu bentuk penyelasain sengketa nin litigasi yang biasa digunakan dalam investasi perdagangan adalah arbtrase. Arbistrase mulai dikenal dalam sistem hukum di Indonesia semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun Penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada suatu perjanjian yang bersifat tertulis yang disepakati oleh kedua belah pihak. Terhadap putusan arbitrase pada dasarnya adalah bersifat final dan mengikat sehingga dapat dieksekusi secara sederhana. Akan tetapi apabila salah satu merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat. Kata Kunci: Penyelesaian sengeta Non litigasi, Arbitrase, final dan mengikat. PENDAHULUAN Latar Belakang Era perdagangan bebas menjadikan negara seakan-akan tanpa batas khususnya dalam bidang perdagangan internasional atau dagang internasional, yaitu yang melibatkan beberapa negara. Dalam menyongsong perdagangan bebas diperlukan suatu perangkat aturan yang jelas dan memadai, yang tidak menimbulkan masalah di kemudian hari dalam mengadakan transaksi dagang. Timbulnya masalah dari perdagangan atau dagang internasional umumnya berkaitan dengan risiko tertentu yang terjadi karena penerapan peraturan hukum yang berbeda, apalagi jika salah satu negara tidak mengakui hukum nasional negara asing. 3 Dalam menjalin hubungan dagang antara para pihak, baik dalam skala domestik maupun internasional, para pihak senantiasa menghendaki agar segala apa yang telah disepakati dan dituangkan kedalam perjanjian dapat dipenuhi dan dilaksanakan 1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya 2 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya 3 Keinichi Ohmal, Berderless Word, Herper Business, Maknesey Company Inc., Printed In USA, 1990, h. vii

2 54 sebagaimana mestinya, yaitu, sesuai dengan tujuan diadakannya kesepakatan dalam kontrak tersebut.. Hal ini mengandung maksud bahwa ikatan dagang yang telah disepakatinya tersebut terdapat kepastian hukum terhadap segala hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian dagang tersebut. Pemenuhan hak dan kewajiban sebagaimana telah diperjanjikn akan menimbulkan proses resiprositas diantara para pihak, dengan maksud agar para pihak yang telah mencapai kata sepakat untuk mengadakan perjanjian dagangterjalin suatu hubungan yang langgeng, sehingga dapat berlangsung untuk jangka panjang, serta mencegah kemungkinan timbulnya sengketa. Penyelesaian sengketa dagang baik domestik maupun internasional semula diselesaikan oleh lembaga peradilan umum (litigasi), namun dengan pertimbanganpertimbangan tertentu, sengketa dagang internasional tersebut diselesaikan melalui lembaga di luar sidang pengadilan (non litigasi). Penyelesaian dagang melalui lembaga peradilan umum dilangsungkan oleh lembaga pengadilan negeri, sedangkan penyelesaian sengketa dagang melalui lembaga non litigasi diselenggarakan oleh lembaga arbitrase. Penyelesaian melalui lembaga arbitrase di Indonesia diawali pada tahun 2007 dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal. Diundangkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 (selanjutnya disingkat UU No. 25 Tahun 2007) merupakan suatu bentuk ratifikasi dari Konvensi International Centre for the Settlement of Investment Desputes between States and Nationals of other States (ICSID). Meskipun telah ada ketentuan yang mengaturnya, namun dibentuk juga peraturan yang mengatur masalah arbitrase yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase (selanjutnya disingkat UU No. 30 Tahun 1999). Rumusan Masalah 1. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam investasi perdagangan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun Upaya hukum para pihak yang menolak putusan arbitrase. Metode Penulisan 1. Pendekatan Masalah Penelitian ini tergolong penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Statute approach yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi yang dibahas. Sedangkan conceptual approach yaitu pendekatan dengan cara membahas pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung pembahasan.

3 55 2. Sumber Bahan Hukum a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, yaitu, UU No. 30 Tahun 1999 dan peraturan lainnya yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas. b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, dalam hal ini bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berupa buku-buku literatur, catatan kuliah, karya ilmiah dan berbagai media cetak yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang dibahas. PEMBAHASAN A. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam investasi perdagangan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation". Istilah arbitrase (arbitrage = arbitration) berasal dari bahasa Latin, yakni arbitrari yang berarti suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim (arbitrator) atau para hakim (arbitrator) berdasarkan persetujan bahwa mereka tunduk dan mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut. 4 H.M.N. Putwosutjipto menerjemahkan istilah arbitration (Inggris) atau arbitrage (Belanda) dengan perwasitan. Kemudian perwasitan itu didefinisikan sebagai suatu peradilan perdamaian dimana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat kedua belah pihak. 5 Arbitrase menurut Subekti diartikan sebagai berikut: Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para halim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim mereka pilih atau tunjuk tersebut. 6 Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 mengartikan arbitrase sebagai berikut: Arbitrase adalah cara 4 Mariam Darus Badrulzaman, Peranan BAMUI dalam Pembangunan Hukum Nasional, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, h Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1, Djambatan, Jakarta, 1992, h Subekti, Arbitrase Perdagangan, BPHN-Binacipta, Jakarta, 1981, h 5. 13

4 56 penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Memperhatikan definisi arbitrase sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa arbitrase merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar peradilan umum, didasarkan perjanjian, yang dibuat secara tertulis, oleh para pihak yang bersengketa. Perihal arbitrase, terdapat tiga hal yang dapat dikemukakan dari definisi perjanjian arbitrase, di antaranya: 1. perjanjian arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian; 2. perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis; 3. perjanjian tersebut ditujukan untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum. Penyelesaian perkara perdata melalui lembaga peradilan tidak cukup hanya pada lembaga peradilan dalam arti Pengadilan Negeri saja, karena jika dengan putusan peradilan tingkat pertama tersebut terdapat pihak yang merasa dirugikan, dapat mengajukan upaya hukum pada peradilan yang lebih tinggi yaitu upaya banding pada Pengadilan Tinggi. Jika putusan Pengadilan Tinggi tersebut mengakibatkan salah satu pihak merasa keberatan karena dirugikan, maka dapat mengajukan upaya hukum kasasi pada Mahkamah Agung, dan demikian juga jika salah satu pihak merasa keberatan terhadap putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali pada Mahkamah Agung. Pada kondisi yang demikian tentunya penyelesaian melalui lembaga peradilan memerlukan waktu yang cukup lama, tentunya juga menyangkut masalah biaya dan tenaga yang tidak sedikit jumlahnya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sudargo Gautama, bahwa para pedagang pada umumnya takut untuk berperkara bertahun-tahun lamanya. Tentunya banyak biaya yang harus dikeluarkan sebelum dapat diperoleh suatu putusan dengan kekuatan pasti (enforceable), artinya dapat dijalankan melalui eksekusi. 7 Oleh karena itu tentunya penyelesaian melalui lembaga peradilan khususnya bagi para pedagang kurang diminati, sesuai pula dengan yang dikemukakan oleh Ridwan Khairandy bahwa pada perkembanganya, terutama menyangkut masalah transaksi (kerjasama) bidang dagang internasional, penyelesaian sengketa melalui pengadilan kurang begitu diminati oleh pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini disebakan oleh adanya beberapa faktor, di antaranya: 8 1. lamanya proses beracara dalam persidangan penyelesaian perkara perdata; 2. lamanya penyelesaian sengketa dapat pula disebabkan oleh panjangnya tahapan penyelesaian sengketa, 3. lama dan panjangnya proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan tersebut tentunya membawa akibat yang berkaitan dengan tingginya biaya yang diperlukan; 7 Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru 1999, (selanjutnya disingkat Sudargo Gautama 1), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h Ridwan Khairandy, et. all, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Ghama Media, Yogyakarta, 1999.

5 57 4. sidang pengadilan di Pengadilan Negeri dilakukan secara terbuka, padahal disisi lain kerahasiaan adalah sesuatu yang diutamakan di dalam kegiatan dagang; 5. seringkali hakim yang menangani atau menyelesaikan sengketa dalam dagang kurang menguasai substansi hukum sengketa yang bersangkutan atau dengan perkataan lain hakim dianggap kurang profesional, dan 6. adanya citra yang kurang baik terhadap dunia peradilan Indonesia. Penyelesaian sengketa dagang dapat dilakukan di luar lemabaga peradilan yaitu penyelesaian dengan menggunakan jasa arbitrase (non litigasi). Pada umumnya pengusaha asing lebih senang menyelesaikan sengketa melalui lembaga arbitrase, dengan pertimbangan: Pertama, pengusaha asing lebih suka menyelesaikan sengketa melalui perjanjian arbitrase di luar negeri karena menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka. Kedua, pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan bahwa hakim-hakim negara berkembang tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubunganhubungan niaga dan keuangan internasional yang rumit. Ketiga, pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan memakan waktu yang lama dan ongkos yang besar, karena proses pengadilan yang panjang dari tingkat pertama sampai dengan tingkat Mahkamah Agung. Keempat, keengganan pengusaha asing untuk menyelesaikan sengketa di depan Pengadilan bertolak dari anggapan bahwa Pengadilan bersifat subjektif kepada mereka, karena sengketa diperiksa dan diadili berdasarkan bukan hukum negara mereka, oleh hakim bukan dari negara mereka. Kelima, penyelesaian sengketa di Pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan hasilnya akan dapat merenggangkan hubungan dagang antar mereka. Keenam, penyelesaian sengketa melalui perjanjian arbitrase tertutup sifatnya, sehingga tidak ada publikasi mengenai sengketa yang timbul. Publikasi mengenai sengketa suatu yang tidak disukai oleh para pengusaha. Dengan kondisi sebagaimana di atas, penyelesaian melalui lembaga arbitrase mempunyai kelebihan-kelebihan jika dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur peradilan umum. Kelebihan tersebut di antaranya adalah: a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal proseduran dan administrasi; c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempu-nyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup menge-nai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; d. para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;

6 58 e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tatacara (prosedur) yang sederhana saja ataupun lang-sung dapat dilaksanakan. 9 Arbitrase merupakan salah satu alternatif diantara sekian banyak alternatif forum penyelesaiann sengketa dagang. Arbitrase termasuk dalam model penyelesaian sengketa yang bersifat non ligitigasi (out of court dispute settlement). Selain arbitrase, terdapat pula berbagai alternatif penyelesaian sengketa dagang secara non litigasi, antara lain meliputi: negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan lain sebagainya. Di antara berbagai model penyelesaian sengketa non litigasi tersebut, maka arbitrase yang memiliki ciri tersendiri yang tergolong unik. Di satu pihak, arbitrase termasuk sebagai model non litigasi, oleh karena menyangkut penyelesaian sengketa dagang di luar lembaga peradilan atas dasar kesukarelaan para pihak. Para pihak yang bersengketa memiliki otonomi luas (party autonomie) dalam dan menentukan forum, aturan, prosedur, arbitrase, dan lain sebagainya yang dianggap sesuai dengan kehendak bersama para pihak. Termasuk adanya prinsip private and confidential yang merupakan ciri yang paling litigasi. Di pihak lain, putusan yang telah dihasilkan melalui proses arbitrase bersifat final dan mengikat (final and binding) sehingga putusannya dimungkinkan untuk dilaksanakan sebagaimana layaknya sebagai putusan lembaga peradilan (enforceable). Putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat memberikan penyelesaian sengketa dagang yang efektif dan efisien kepada pihak yang bersengketa. Selain dari pada itu, dengan dimungkinkannya pelaksanaan putusan arbitrase melalui lembaga peradilan memberikan efek kepastian hukum kepada pihak yang bersengketa. Menurut. Subekti 10 bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa ia dilakukan : a) dengan cepat; b) oleh ahli dari; c) secara rahasia. Sementara itu Purwosutjipto 11 mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah: Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha. Namun Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase, ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya. 9 Periksa Penjelasan UU No. 30 Tahun Subekti 1, Op. cit., h Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang, Jambatan, Jakarta: 1988.

7 59 Apabila hubungan dagang terjadi suatu sengketa, penyelesaian sengketa dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, di antaranya: 1) model penyelesaian sengketa dagang dilakukan oleh dan melalui lembaga peradilan (in court dispute settlement), 2) model penyelesaian sengketa dagang dilakukan di luar lembaga peradilan (out of court dispute settlement), yang masing-masing mempunyai karakteristik dan konsekuensi yang berlainan. 12 Apabila memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa dasar penunjukkan lembaga arbitrase oleh para pihak dalam hubungan dagang adalah kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak dagang tersebut. Hal ini mengandung maksud bahwa penunjukkan penyelesaian sengketa dagang oleh lembaga arbitrase harus dicantumkan secara jelas dalam klausula dagang, sejalan dengan asas yang terkandung dalam kebebasan berkontrak, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 angka 1 KUH Perdata). Perihal arbitrase, terdapat tiga hal yang dapat dikemukakan dari definisi Arbitrase sebagai bentuk perjanjian yang dibuat antara pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan baik nasional maupun internasional, maka harus dibuat memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif perjanjian arbitrase, selain perjanjian harus dibuat oleh pihakpihak yang telah cakap bertindak dalam hukum dan sepakat antara kedua belah pihak, perjanjian tersebut harus dibuat oleh pihak-pihak yang demi hukum dianggap mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian. Para pihak yang membuat perjanjian arbitrase tidak dibatasi hanya untuk subjek hukum menurut hukum perdata, melainkan juga termasuk di dalamnya subjek hukum publik. Meskipun sebagai salah satu pihak adalah subjek hukum publik, tidaklah berarti arbiter dapat mengadili segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum publik. Sengketa yang melibatkan subjek hukum publik diselesaikan melalui arbitrase yang sifatnya terbatas. Syarat objektif perjanjian arbitrase atau dalam hal ini adalah sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase (dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 UU Arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu ayat 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam B.W. Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d Penyelesaian perselelisihan melalui arbitrase adalah institusi hukum alternatif bagi penyelesaian sengketa di luar lembaga pengadilan. Sebagian pengusaha lebih suka 12 Ibid., h. 4.

8 60 menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka melalui perjanjian arbitrase dari pada pengadilan. Pengusaha asing lebih suka menyelesaikan sengketa melalui perjanjian arbitrase di luar pengadilan karena menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka. Oleh karenanya bisa saja negara yang bersangkutan mempunyai prasangka yang jelek terhadap sistem hukum negara di mana modal akan ditanamkan, khususnya yang menyangkut masalah kepastian hukum dan keadilan serta kredibilitas hakim penyelesaian sengketa tersebut. Oknum-oknum yang cenderung mempersulit proses pencarian keadilan, peradilan yang ada di Indonesia saat ini dianggap kurang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Berdasarkan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa penyelesaian masalah secara arbitrase di Indonesia berkembang setelah diundangkannya UU No. 30 Tahun Penyelesaian melalui arbitrase banyak dipilih karena sifat kerahasiaannya dan waktu yang dibutuhkan jauh lebih pendek bila dibandingkan dengan penyelesaian melalui peradilan umum. Selain itu penyelesaian melalui arbitrase lebih menjaga kerahasiaan pihak-pihak B. UPAYA HUKUM PARA PIHAK YANG MENOLAK PUTUSAN ARBITRASE Di atas telah dijelaskan bahwa arbitrase diatur dalam Rv., sebagai satu-satunya aturan arbitrase yang berlaku umum pada masa pendudukan Hindia Belanda sampai masa kemerdekaan Republik Indonesia, hingga dikeluarkannya Undang-undang No. 30 tahun 1999 ini. Sebagaimana telah disinggung pada uraian terdahulu bahwa keberadaan lembaga arbitrase diatur dalam RV mulai Pasal 615 sampai dengan Pasal 651. Pasal 615 ayat (1) Rv. menguraikan: Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuaaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit. Kemudian dalam ayat (3) Pasal 615 ayat (3) Rv. ditentukan : Bahkan adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit. Ketentuan tersebut jelas bahwa setiap orang atau pihak yang bersengketa berhak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa mereka kepada seorang atau beberapa orang arbiter, yang akan memutuskan sengketa mereka tersebut menurut asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa berhak untuk melakukan penunjukkan itu setelah ataupun sebelum sengketa terjadi, dilakukan dengan pencantuman klausula arbitrase dalam perjanjian pokok mereka (Pactum De Kompromitendo). Sedangkan penunjukan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa setelah sengketa terbit dilakukan dengan membuat persetujuan arbitrase sendiri (Akta Compromis). Sehubungan dengan macam-macam arbitrase, secara umum dalam praktek dikenal dua macam arbitrase dalam praktek, yaitu : 1. Arbitrase Ad-Hoc (Volunter Arbitrase); 2. Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase) Ibid., h. 19.

9 61 Arbitrase ad-hoc atau volunter arbitrase sifatnya tidak permanen atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutus dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad hoc inipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. Arbiter yang menanganai penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian pula tata cara pengangkatan para arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaiann sengketa tidak memiliki bentuk yang baku. Hanya saja dalam pemilihan dan penentuan tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh undang-undang. BATAS WAKTU PROSES PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI LEMBAGA ARBITRASE Huruf Pasal Uraian Pointer Jumlah hari N E G O S I A S I A 6 (2) Pertemuan langsung 14 M E D I A S I B 6 (4) Melalui mediator independen A C 6 (5) Penunjukkan mediator oleh Lembaga Arbitrase B D 6 (6) Melalui mediator yang ditun- juk oleh Lembaga Arbitrase C E 6 (7) Pendaftaran kesepakatan di PN A/B/D F 6 (8) Pelaksanaan kesepakatan F JANGKA WAKTU PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI LEMBAGA ALTERNATIF PENYELE- 125 SAIAN SENGKETA DAN PELAKSANAAN PUTUSAN A R B I T R A S E G Persetujuan untuk melaksanakan - - penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan penunjukan arbiter H 14 (3) Pengangkatan arbiter tunggal G I 15 (3) Pengangkatan arbiter dalam Majelis arbitrase G J 15 (4) Pengangkatan arbiter ketiga dalam Majelis arbitrase I

10 62 K 16 (2) Penentuan atau penolakan oleh Arbiter H/J L 24 (3) & Tuntutan ingkar terhadap arbiter H/I (4) M 38 Pemasukan surat permohonan gugatan - - N 39 Jawaban oleh termohon arbitrase M O 40 (2) & Panggilan untuk menghadap di depan N sidang arbitrase P 44 (2) Panggilan ke-2 untuk menghadap di - - Depan sidang arbitrase Q 44 (2) Pemeriksaan sidang tanpa kehadiran P Termohon R 48 JANGKA WAKTU PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE S 57 Putusan diucapkan R T 58 Koreksi putusan S U 59 (1) Pendaftaran di Pengadilan Negeri S V 62 (2) Eksekusi oleh Pengadilan Negeri U PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE 270 W 71 Permohonan pembatalan putusan U K 72 (2) Putusan permohonan pembatalan pu- tusan arbitrase oleh Mahkamah Agung W Y 72 (4) Pengajuan banding ke Mahkamah Agung W Z 72 (5) Putusan oleh Mahkamah Agung atas R banding putusan pembatalan AA 74 (2) Penundaan tugas arbiter (48) R AB 75 (3) Pengangkatan arbiter pengganti R JANGKA WAKTU TAMBAHAN 150 TOTAL JANGKA WAKTU YANG DIPERLUKAN 455 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 memberikan maksimum jangka waktu penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak arbiter atau majelis arbitrase tersebut. Selain itu Undang-undang juga

11 63 melahirkan tanggung jawab perdata bagi arbiter atau majelis arbitrase atas pemenuhan perjanjian penyelesaian sengketa diantara arbiter atau majelis arbitrase trersebut denga para pihak yang bersengketa. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tatacara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Karena para arbitrator ditunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa, maka logisnya putusan arbitrator harus ditaati oleh kedua belah pihak. Jika salah satu pihak tidak mau tunduk pada putusan tersebut, maka ia menjadi pihak yang melakukan wanprestasi. Putusan arbitrase adalah putusan terakhir, termasuk dalam kesepakatan kedua belah, bahwa putusan wasit maupun putusan terakhir, jadi tidak ada banding atau kasasi, sesuai dengan Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999, bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa (Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999). Terhadap putusan Arbitrase Internasional diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, namun penyelesaiannya harus melalui lembaga ICSID dan putusan arbitrase internasional tersebut harus ditempuh dengan syarat-syarat bahwa, putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan, putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertibann umum, putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan segelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999): Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan: lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahann resminya dalam Bahasa Indonesia, lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia, keterangan dari perwakilan diplomatik Republik di negara tempat Putusann Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara

12 64 pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, (Pasal 68 UU No. 33 Tahun 1999). Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaann, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukann oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa sebagaimana Pasal 70 UU No. 30 Tahun Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri sebagaimana Pasal 71 UU No. 30 Tahun Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri. Apabila permohonan dikabulkan, ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima. Terhadap putusan Pengadilann Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 172 UU No. 30 Tahun Berdasarkan uraian dan pembahasan sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa putusan arbitrase sifatnya final, namun jika dengan putusan tersebut ada pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan atas keputusan arbitrase tersebut. Permohonan pembatalan atas putusan arbitrase diajukan kepada Pengadilan Negeri pada daerah hukum di mana para pihak tersebut bersengketa. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Penyelesaian masalah secara arbitrase di Indonesia didasarkan atas UU No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian melalui arbitrase dapat menekan lamanya waktu, biaya dan tenaga serta sifatnya tertutup, sehingga sangat tepat untuk para pebisnis dari negara asing. 2. Putusan Arbitrase pada hakikatnya adalah bersifat final dan mengikat secara langsung terhadap pihak yang bersengketa. Karena Penyelesaian menggunakan arbitrase merupakan pilihan kedua belah pihak yang bersengketa dan seharusnya hasil keputusan arbiter tersebut mengikat kedua belah pihak, namun jika hasil

13 65 keputusan arbitrase tersebut merugikan salah satu pihak, maka upaya hukum para pihak yang menolak putusan arbitrase adalah mengajukan permohonan pembatalan keputusan arbitrase tersebut pada Pengadilan Negeri. B. Saran 1. Penyelesaian secara arbitrase di Indonesia nampaknya kurang sosialisasi, sehingga sebagian masyarakat belum mengetahui eksistensi lembaga arbitrase untuk itu hendaknya mengenai eksistensi lembaga arbitrase ini disosialisasikan kepada masyarakat luas. 2. Penyelesaian secara arbitrase merupakan suatu hasil kesepakatan kedua belah pihak yang ditungkan dalam perjanjian, untuk itu kaitannya dengan upaya hukum permohonan pembatalan keputusan pada Pengadilan Negeri, hendaknya Pengadilan Negeri mempertimbangkan kesepakatan kedua belah pihak dan menekan waktu dalam menerbitkan penetapan atas permohonan tersebut.

14 66 DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, Boediono, Ekonomi Internasional, BPFE, Yogyakarta, Keinichi Ohmal, Berderless Word, Herper Business, Maknesey Company Inc., Printed In USA, 1990 Mariam Darus Badrulzaman, Peranan BAMUI dalam Pembangunan Hukum Nasional, Pradnya Paramita, Jakarta, Pitlo, Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Intermasa, Jakarta, Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1, Djambatan, Jakarta, Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, Ricky W. Griffin dan Michail W. Pustay, Bisnis Internasional, Jilid I, Indeks, Jakarta, Ridwan Khairandy, et. all, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Ghama Media, Yogyakarta, Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1995., Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Jakarta Subekti, Arbitrase Perdagangan, BPHN-Binacipta, Jakarta, 1981., Hukum Perjanjian,, Intermasa, Jakarta, Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru 1999, Citra Aditya Bakti, Bandung, Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Vollmar, Inleiding tot de studie van het Nederlands Burgerlijk Recht, Terjemahan Adiwimarta, Gajahmada, Yogyakarta, Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur Bandung, 1991.

15 67 B. Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengetahuan Ratifikasi Trade Relate Asfect Propertus Rungkit.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2) BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2) G. Prosedur Pemeriksaan Perkara Prosedur pemeriksaan di arbitrase pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan di pengadilan karena

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG DASAR HUKUM TRANSAKSI ELEKTRONIK DI INDONESIA

TINJAUAN TENTANG DASAR HUKUM TRANSAKSI ELEKTRONIK DI INDONESIA Jurnal Hukum, Vol. XIX, No. 19, Oktober 2010: 63-76 ISSN 1412-0887 63 TINJAUAN TENTANG DASAR HUKUM TRANSAKSI ELEKTRONIK DI INDONESIA M. Yusron, MZ SH., MH 1 ABSTRAK Transaksi elektronik diatur dalam KUHPerdata

Lebih terperinci

Oleh: Hengki M. Sibuea *

Oleh: Hengki M. Sibuea * Perbandingan Efektivitas Penyelesaian Sengketa Komersial Melalui Pengadilan dan Arbitrase, Ditinjau dari Jangka Waktu, Pasca Diterbitkannya SEMA No. 2 Tahun 2014 Tentang Penyelesaian Perkara Di Pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

Arbitrase. Pengertian arbitrase

Arbitrase. Pengertian arbitrase Arbitrase Miko Kamal S.H., Bung Hatta LL.M., Deakin Ph.D Macquarie ireformbumn (institut untuk Reformasi Badan Usaha Milik Negara) Anggrek Building Lt. 2 Jl. Permindo No. 61-63 Padang 25111 Phone: 0751-24552

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA 1 of 27 27/04/2008 4:06 PM UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

SKRIPSI TANGGUNG GUGAT BANK CENTURY ATAS DANA INVESTOR PERSEROAN TERBATAS ANTABOGA DELTA SEKURITAS OLEH : HADI WIBOWO NIM

SKRIPSI TANGGUNG GUGAT BANK CENTURY ATAS DANA INVESTOR PERSEROAN TERBATAS ANTABOGA DELTA SEKURITAS OLEH : HADI WIBOWO NIM SKRIPSI TANGGUNG GUGAT BANK CENTURY ATAS DANA INVESTOR PERSEROAN TERBATAS ANTABOGA DELTA SEKURITAS OLEH : HADI WIBOWO NIM 02106074 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA 2 0 1 0 i ABSTRAKSI Penelitian

Lebih terperinci

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 Oleh : Aryani Witasari,SH.,M.Hum Dosen Fakultas Hukum UNISSULA Abstrak Arbitrase sebagai salah

Lebih terperinci

ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Firda Zulfa Fahriani

ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Firda Zulfa Fahriani ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Firda Zulfa Fahriani Pendahuluan Setiap subjek hukum baik orang maupun badan hukum terdapat suatu kebiasaan untuk menyelesaikan suatu masalah masalah

Lebih terperinci

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di dunia bisnis, perdagangan, sosial budaya, ekonomi dan lain sebagainya, namun dalam penyelesaiannya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2 PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2 ABSTRAK Arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016 PELAKSANAAN DAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 1 Oleh : Martin Surya 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara pelaksanaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang

I. PENDAHULUAN. menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian pada era globalisasi dan modernisasi dewasa ini, menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang melibatkan pihak-pihak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

ARBITRASE. Diunduh dari :

ARBITRASE. Diunduh dari : ARBITRASE Diunduh dari : http://ualawyer.ru/id/media/95/ A. Latar Belakang Dalam suatu perjanjian antara para pihak atau suatu hubungan bisnis, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS Di dalam menjalankan suatu bisnis para pelaku usaha kadang terlibat dalam conflict of interest, kenyataan ini dapat terjadi karena bermula dari situasi dimana ada salah

Lebih terperinci

PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN ARBITRASE DI INDONESA Oleh: Suwardjo Dosen Kopertis VI Jateng Dpk. Pada Fakultas Hukum Universitas Surakarta.

PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN ARBITRASE DI INDONESA Oleh: Suwardjo Dosen Kopertis VI Jateng Dpk. Pada Fakultas Hukum Universitas Surakarta. PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN ARBITRASE DI INDONESA Oleh: Suwardjo Dosen Kopertis VI Jateng Dpk. Pada Fakultas Hukum Universitas Surakarta. ABSTRAK Dunia bisnis merupakan dunia yang harus ditangani

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 LAMPIRAN : Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor : Kep-04/BAPMI/11.2002 Tanggal : 15 Nopember 2002 Nomor : Kep-01/BAPMI/10.2002 Tanggal : 28 Oktober 2002 PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 38 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014 PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN Ada dua bentuk penyelesaian sengketa perdagangan yakni melalui jalur litigasi (lembaga peradilan) dan jalur non litigasi (di luar lembaga peradilan) Penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi BAB V P E N U T U P A. Kesimpulan Sebagaiman telah dikemukakan di awal, bahwa lembaga arbitrase adalah forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan dan ketidakpuasan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.6,2004 KESRA Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah.Tenaga Kerja. Ketenagakerjaan. Perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin kompleksnya permasalahan dalam bidang ekonomi dan semakin hiterogennya pihak yang terlibat dalam lapangan

Lebih terperinci

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum dalam Ilmu

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Yati Nurhayati ABSTRAK Permasalahan perburuhan yang terjadi antara pekerja dan pengusaha atau antara para pekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perlindungan Konsumen Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dan bukan Undang-Undang tentang Konsumen. menyebutkan pengertianpengertian

Lebih terperinci

KONTRAK STANDAR PERJANJIAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KEGIATAN BISNIS. Oleh : Deasy Soeikromo 1

KONTRAK STANDAR PERJANJIAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KEGIATAN BISNIS. Oleh : Deasy Soeikromo 1 Soeikromo D.: Kontrak Standar Perjanjian.. Vol.22/No.6/Juli /2016 Jurnal Hukum Unsrat KONTRAK STANDAR PERJANJIAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KEGIATAN BISNIS Oleh : Deasy Soeikromo

Lebih terperinci

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum 1 PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PPHI) Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh

Lebih terperinci

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN XII) PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL copyright by Elok Hikmawati 1 Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum Sejalan dengan perkembangan zaman era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa perburuhan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian dan Syarat Sah Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa hukum antara para pihak yang melakukan perjanjian.

Lebih terperinci

Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul

Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul Oleh: Hengki M. Sibuea, S.H., C.L.A. apple I. Pendahuluan Arbitrase, berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK A. Penyelesaian Sengketa Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 1. Ketentuan Berproses Di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perbedaan-perbedaan yang dapat menimbulkan suatu. dirugikan haknya dapat mengajukan gugatan. Pihak ini disebut penggugat.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perbedaan-perbedaan yang dapat menimbulkan suatu. dirugikan haknya dapat mengajukan gugatan. Pihak ini disebut penggugat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia saling berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa interaksi dalam kehidupan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG PENANAMAN MODAL ANTARA PEMERINTAH DAN PENANAM MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Chidir, 2005, Badan Hukum, cet ke 3, Alumni, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Chidir, 2005, Badan Hukum, cet ke 3, Alumni, Bandung. DAFTAR PUSTAKA A.Buku Ali, Chidir, 2005, Badan Hukum, cet ke 3, Alumni, Bandung. Agustina, Rosa, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Pascasarjana Fakultas Hukum Univeritas Indonesia, Aminuddin dan Zainal Asikin,

Lebih terperinci

ARBITRASE SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

ARBITRASE SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 ARBITRASE SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 Afrik Yunari Mahasiswa S-2 IAIN Tulungagung Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung Email: afrik.yunari@yahoo.com ABSTRACT

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Hukum dan Peradilan Niaga SHPDT1210 2 VI Marnia Rani Deskripsi Mata Kuliah Standar Kompetensi Mata kuliah Hukum dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sektor kegiatan bisnis yang terjadi saat ini tidak dapat dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian saja, tetapi juga

Lebih terperinci

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Penyelesaian Sengketa Dagang Melalui Arbitrase

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Penyelesaian Sengketa Dagang Melalui Arbitrase BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Penyelesaian Sengketa Dagang Melalui Arbitrase Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR 3.1. Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan hubungan kerja oleh majikan adalah jenis PHK yang sering terjadi,

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan Hukum Kepailitan di Indonesia pasca reformasi tahun 1998 sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir seluruh negara-negara

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 7/Juli/2016

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 7/Juli/2016 EFEKTIVITAS ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL DI INDONESIA 1 Oleh : Refly Umbas 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana efektivitas arbitrase dalam

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian

Lebih terperinci

PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL

PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL Safrina No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp. 135-151. PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL ROLE OF COURTS IN THE IMPLEMENTATION OF THE DECISIONS OF INTERNATIONAL ARBITRATION

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama di bidang bisnis. Apabila kegiatan bisnis meningkat, maka sengketa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan prinsip syari ah tidak mungkin dihindari akan terjadinya konflik. Ada yang berujung sengketa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi perlindungan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini perkembangan bisnis dan perdagangan sangat pesat dan tidak dapat dibatasi oleh siapa pun. Pelaku bisnis bebas dan cepat untuk menjalani transaksi bisnis secara

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH A. Undang - Undang No. 30 Tahun 1990 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya perselisihan/sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara

Lebih terperinci

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang : Arbitrase Dan Penyelesaian Masalah

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang : Arbitrase Dan Penyelesaian Masalah Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang : Arbitrase Dan Penyelesaian Masalah Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Presiden Republik Indonesia Menimbang : a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENERAPAN HUKUM ACARA PERDATA KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN

Lebih terperinci

ELIZA FITRIA

ELIZA FITRIA EKSEKUSI RIIL TERHADAP PUTUSAN HAKIM YANG TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI BATUSANGKAR KLAS II (STUDI KASUS PERKARA PERDATA NO. 02/Pdt.G/2007/PN.BS) SKRIPSI DIAJUKAN GUNA MEMENUHI

Lebih terperinci

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama? PANDUAN WAWANCARA Mediator: 1. Apa saja model-model Pendekatan Agama dalam proses mediasi terhadap perkara perceraian? a. Bagaimana cara menerapkan model-model pendekatan agama dalam proses mediasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pada saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi maka hubungan antar manusia menjadi hampir tanpa batas, karena pada dasarnya manusia adalah

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. TAHAPAN DAN PROSES MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN 1 Oleh: Agung Akbar Lamsu 2

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. TAHAPAN DAN PROSES MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN 1 Oleh: Agung Akbar Lamsu 2 TAHAPAN DAN PROSES MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN 1 Oleh: Agung Akbar Lamsu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang

Lebih terperinci

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut:

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut: DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU Perhatikan desain-desain handphone berikut: 1 1. Pengertian Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang SIRKUIT TERPADU (integrated

Lebih terperinci

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

Lebih terperinci

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA PENGADAAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

Oleh Helios Tri Buana

Oleh Helios Tri Buana TINJAUAN YURIDIS TERHADAP MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEWARISAN DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA (Studi Kasus Perkara Nomor : 168/Pdt.G/2013/PN.Ska) Jurnal Ilmiah Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya adalah usaha jasa pencucian pakaian atau yang lebih dikenal dengan jasa laundry. Usaha ini banyak

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta) MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam. ekonomi dan budaya pada masa pembangunan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam. ekonomi dan budaya pada masa pembangunan suatu negara. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional dewasa ini merupakan kebutuhan dari setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam mengadakan perubahan-perubahan

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000 Tentang : Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan

Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000 Tentang : Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000 Tentang : Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 54 TAHUN 2000 (54/2000)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233.

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat terlepas dari hubungan dengan manusia lainnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hubungan tersebut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

FUNGSI PERJANJIAN ARBITRASE

FUNGSI PERJANJIAN ARBITRASE 20 FUNGSI PERJANJIAN ARBITRASE Oleh : Suphia, S.H., M.Hum. Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Jember Abstract Disputes or disagreements can happen anytime and anywhere without being limited space and

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut:

BAB IV PENUTUP. (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut: BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Proses pembatalan putusan arbitrase oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut: tahap pertama Pemohon mengajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan, baik langsung untuk kehidupan seperti bercocok tanam atau tempat tinggal,

Lebih terperinci

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA Oleh: Anastasia Maria Prima Nahak I Ketut Keneng Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 10/Nov/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 10/Nov/2015 FUNGSI PERADILAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN 1 Oleh: Klenen Wowor 2 ABSTRAK Hukum di Indonesia tebagi atas 3 bagian penting, yaitu; Hukum Perdata, Hukum Pidana

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini:

Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini: NAMA: Catherine Claudia NIM: 2011-0500-256 PELAKSANAAN KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE KOMERSIAL NTERNASIONAL MENURUT KONVENSI NEW YORK 1958 Salah satu fokus utama dalam Konvensi New York 1958, yakni Convetion

Lebih terperinci