ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATASAN MILITER TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT (Studi Kasus Talang Sari)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATASAN MILITER TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT (Studi Kasus Talang Sari)"

Transkripsi

1 1 ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATASAN MILITER TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT (Studi Kasus Talang Sari) Muhammad Rizky Widhiarto, Eddy Riffa i, Tri Andrisman. ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia beratdan faktorfaktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat khususnya dalam kasus Talangsari.Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa: a. Pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat didasarkan pada hierarkhi jabatan komandan dalam struktur organisasi, yaitu setiap komandan militer hanya bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya langsung. Hal ini sesuai dengan prinsip, Atasan Langsung berperan sebagai Atasan Yang Berwenang Menghukum (Ankum). Unsur pokok pertanggungjawaban komando atau atasan militer, yaitu: 1) ada pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang berada dibawah komando atau pengendaliannya; 2) adanya hubungan subordinasi langsung atau tidak langsung antara komandan dengan pelaku; 3) adanya pengetahuan komandan bahwa anak buahnya akan, sedang atau telah melakukan pelanggaran; dan 4) komandan atau atasan dengan kekuasaan yang dimilikinya gagal melakukan pencegahan atau menghentikan atau menindak dan menyerahkan pelaku pelanggaran kepada yang berwajib.b. Faktor-faktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat, yaitu 1)faktor aparat penegak hukum, yaitu kurangnya komitmen semua unsur pemerintahan mulai dari legislatif, eksekutif maupun yudikatif untuk bersamasama menyelesaikan pelanggaran HAM berat; 2)sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukumproses penyelesaian pelanggaran HAM; 3) masyarakat yang kurang memahami dan kurang peduli dengan penegakan HAM. Kata kunci: pertanggungjawaban pidana, atasan militer, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia

2 2 ANALYSIS OF CRIMINAL ACCOUNTABILITY MILITARY SUPERIORS THE COMMISSION OF A CRIME AGAINST HUMAN RIGHTS ABUSES HEAVILY (Case Studies Talang Sari) Muhammad Rizky Widhiarto, Eddy Riffa i, Tri Andrisman. rizkywidhiarto@gmail.com. ABSTRACT The purpose of this research is to find accountability criminal military superiors the commission of a crime against human rights abuses and the factors heavy an impediment to the completion of the criminal act of human rights abuses particularly acute in the case of Talangsari. The results of research and discussion showed that: a. Criminal accountability military superiors the commission of a crime against human rights abuses heavy based on hierarkhi the post of commander in organizational structure, which is that every military commander were responsible for the works that are done by his subordinates direct. This is in accordance with a principle immediate superior had a role as a boss who is authorized punish. Basic element of the accountability of a command or a superior military namely: 1) there is an offense or misdemeanor committed by those who are under the command; 2) to exist in subordination directly or indirectly between commanders by a doer; 3) commander the knowledge that his boys will, being or of having committed an offense; and 4) the commander or superiors with power that she had failed to put the prevention or stop or take action against and handed offenders to authorities. b. Factors an impediment to the completion of the criminal act of human rights abuses heavy, such as 1) factors law enforcement officials, namely a lack of commitment every element of government ranging from legislative and executive and judicial branches of resolve to work together in human rights violations heavy; 2) a means or a facility that support law enforcement process of resolving the human rights violation; 3) the people do not understand and less concerned with enforcement of human rights. keywords: criminal accountability, military superiors, and human rights abuses.

3 3 I. PENDAHULUAN Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, pernyataan demikian membawa konsekuensi bahwa hukum hendaknya dapat dijadikan sebagai kerangka/landasan/dasar pijakan dalam mengatur dan menyelesaikan berbagai persoalan (hukum) dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, tentunya tak satu pun suatu institusi maupun personalnya, apakah itu militer (TNI), kepolisian (Polri), maupun sipil lainnya kebal terhadap ketentuan hukum dan perundangan yang berlaku bila melakukan suatu tindak pidana kejahatan pada umumnya, termasuk didalamnya pelanggaran Hak Asasi Manusia. Menurut Bambang Sunggono dan Aries Harianto, sebagai negara hukum, maka harus memiliki tiga ciri pokok sebagai berikut: a. Adanya pengakuan dan perlindungan atas HAM yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain sebagainya; b. Peradilan yang bebas, tidak memihak dan dipengaruhi kekuasaan lainnya; dan c. Menjunjung tinggi asas legalitas. 1 Berbagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap HAM di 1 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994), hlm. 130 berbagai belahan dunia tanpa terkecuali Indonesia, bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat mudah untuk dilakukan, akan tetapi memerlukan suatu proses panjang yang di dalamnya setidaknya terkait dengan tiga variabel utama yang harus dipertimbangkan. Ketiga variabel tersebut adalah adanya dinamika internasional; instrumen hukum yang ada; dan bagaimana menentukan pendekatan terhadap warisan masa lalu. 2 Upaya perampasan terhadap nyawa termasuk pula tindak kekerasan lainnya yang melanggar harkat dan martabat kemanusiaan adalah merupakan bentuk pelanggaran HAM, bila dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa dasar pembenaran yang sah menurut hukum dan perundangan yang berlaku. 3 Dalam sejarah perkembangan hukum, para pelaku pelanggaran HAM khususnya atasan militer dapat dituntut dan diadili berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando. Yang dimaksudkan dengan pertanggungjawaban komando (command responsibility) adalah bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya atas tindak pidana pelanggaran HAM di Indonesia yang dilakukan anak buah atau bawahan yang berada dibawah komando atau kendali efektifnya. 2 Sigit Riyanto, Penegakan HAM Di Indonesia Beberapa Catatan Kritis, (Yogyakarta: Majalah Mimbar Hukum No.38/VI/2001 FH-UGM, 2001), hlm Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm

4 2 Negara melalui pemerintahan yang sah dan berdaulat, merupakan pelindung utama masyarakat, Namun realitas seringkali menunjukkan adanya tindakan aparat keamanan cenderung berpotensi melakukan berbagai pelanggaran seperti contoh peristiwa Talang Sari, peristiwa Talangsari adalah salah satu dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi selama pemerintah Orde Baru berkuasa. Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila yang termanifetasi dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Atas dasar tersebut pemerintah tidak akan mentolelir setiap aktivitas yang dianggap bertentangan dan membahayakan Pancasila. 4 Pendekatan masalah yang digunakan, yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Nara sumber dalam penelitian ini adalah Kanit II Subdit Direktorat Reserse anggota Kominasi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang diperoleh dari penelitian kemudian akan diolah dengan langkah-langkah, yaitu klasifikasi, editing, interpretasi dan sistematisasi. Data yang diolah dianalisis secara kualitatif. Penarikan 4 0Talangsari%20Lampung.pdf diakses pada tanggal 20 maret 2014, pukul WIB. kesimpulan dengan menggunakan metode induktif. II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Nara Sumber Peneliti dalam memperoleh informasi mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat khususnya dalam kasus Talangsarii, peneliti melakukan wawancara dengan nara sumber yang terdiri dari hakim, jaksa dan akademisi bidang hukum pidana, yaitu: 1. Dr. Maroni, S.H., M.H., yaitu akademisi dan Dosen Bagian Hukum Pidana FH Unila; 2. Shafruddin, S.H., M.H, yaitu praktisi dan dan Dosen Bagian Hukum Pidana FH Unila; dan 3. Kabul Supriyadhie, yaitu Anggota Komisioner Komnas HAM. B. Pertanggungjawaban Pidana Atasan Militer Terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Pelanggaran hak asasi manusia dalam pandangan para pakar dapat diselesaikan melalui mekanisme pengadilan, dan komisi kebenaran, untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia dengan pengadilan dimaksudkan untuk menjunjung rule of law dan keadilan. 5 Undang- 5 Priyambudi Sulistiyanto, Keadilan Transisional di Indoneisa Pasca Soeharto: Kasus Pembantaian Tanjung Priok, Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia, Elsam, Volume IV No I Tahun 2006, hlm. 20

5 3 Undang No. 26 Tahun 2000 mempunyai mandat untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, dengan kewenangannya untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia barat di Indonesia, tetapi pada tatanan das sein tidak ada satupun pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat yang dijatuhkan sanksi oleh Pengadilan HAM, yang secara hukum berarti tidak pernah terjadi Pelanggaran HAM, sedangkan pada tatanan das sollen diatur apa saja yang merupakan Pelanggaran HAM Berat yang dituangkan dalam Undang- Undang No. 26 Tahun 2000, yang meliputi kajahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Dengan unsur-unsur kejahatannya yang diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun Tahapan penyelidikan dalam pelanggaran hak asasi manusia adalah kewenangan Komnas HAM berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang hasilnya selalu merekomendasikan adanya pelanggaran HAM. Komnas HAM dalam menjalankan perannya melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang dibuktikan dengan rekomendasirekomendasi Komnas HAM dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Kejaksaan selalu menuntut adanya pelanggaran hak asasi manusia berat dalam tuntutannya dan selama ini dikarenakan tidak ada pilihan bagi kejaksaan dalam menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia berat selain dengan tuntutan atas kejahatan terhadap kemanusiaan, dikarenakan hanya hal tersebut yang dapat dipergunakan dalam Undang- Undang No. 26 Tahun 2000, selain ketentuan mengenai genosida yang tidak dapat diterapkan dalam kasuskasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Pelanggaran HAM baik oleh Komandan Militer dan Atasan Sipil, maupun tersangka/terdakwanya dari anggota militer dan sipil, yang diadili berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, ternyata banyak yang dibebaskan atau dinyatakan tidak bersalah. Demikian pula masalah pertanggungjawaban pidana komandan militer berdasarkan Pasal 129 dan Pasal 132 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) yang menyatakan: a. Pasal 129 KUHPM: Anggota tentara yang dengan sengaja, baik dengan melampaui batas kekuasaannya, maupun di dalam suatu keadaan yang asing bagi kepentingan dinas, memerintahkan kepada seorang bawahan untuk berbuat, tidak berbuat atau membiarkan sesuatu, dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya dua tahun delapan bulan. b. Pasal 132: Seorang atasan militer yang sengaja mengizinkan seorang bawahan melakukan suatu kejahatan, atau yang menjadi saksi dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang bawahan dengan sengaja tidak mengambil sesuatu tindakan kekerasan yang diharuskan sesuai dengan kemampuannya. Kemudian jika dihubungkan dengan Pasal 42 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak

6 4 Asasi Manusia (HAM), maka terdapat pasal yang mengatur tanggung jawab komandan militer atau atasan sipil yang ancaman pidananya lebih tinggi: (1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dan tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu: a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. (2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni: a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sanksi pidana yang diformulasikan berdasarkan Pasal 129 KUHPM paling lama hanya dua tahun delapan bulan, sedangkan Pasal 36 s.d. Pasal 40 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, bisa dipidana mati, seumur hidup, penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. Tanggung jawab komando bukan tanggung jawab komandan terhadap kejahatan yang dilakukan secara pribadi, tetapi merupakan tanggung jawab komandan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya atau tanggung jawab atas keputusan yang diambil oleh komandan yang menimbulkan akibat terhadap orang lain. Untuk meminta pertanggungjawaban seorang komandan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh prajurit yang berada di bawah komando dan pengendaliannya perlu ada unsur keterlibatan (involvement), hubungan (connection) pengetahuan

7 5 (knowledge) atau maksud (intent) dari seorang komandan dengan tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya tersebut. 6 Menurut Muladi dapat diidentifikasi elemen utama dari pertanggungjawaban komando, yaitu: (1) adanya hubungan antara atasan dengan bawahan; (2) atasan mengetahui atau beralasan untuk mengetahui bahwa telah terjadi atau sedang dilakukan; dan (3) atasan gagal untuk mengambil langkahlangkah yang diperlukan dan beralasan untuk mencegah tindak pidana atau menghukum pelaku. Hubungan atasan dengan bawahan bisa de jure de facto. 7 Pelanggaran terhadap tugas atau dinas tersebut harus mempunyai hubungan langsung atau menjadi penyebab utama dari timbulnya kejatan. Dalam hal ini, kejahatan tidak akan terjadi kalau tidak terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dinas. Kemudian, komandan harus memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk mencegah terjadinya tindak pidana/kejahatan tersebut. 8 Pertanggungjawaban atas sebuah pelanggaran HAM berat terdiri dari: 1. Pertanggungjawaban perorangan Pertanggungjawaban pidana perorangan adalah seseorang bertanggung jawab secara pidana dan dapat dikenai hukuman atas suatu pelanggaran HAM berat yang dilakukan sendiri. Termasuk di dalam hal ini adalah setiap orang 6 Muladi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Habibie Centre, 2002), hlm Muladi, Op.cit. hlm Natsir Anshari, Op. Cit. hlm. 49 yang melakukan perbuatan Percobaan, permufakatan jahat dan perbantuan untuk melakukan pelanggaran HAM berat dipidana dengan pidana yang sama ketentuan bagi pelaku perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 2. Pertanggung jawaban komandan militer dan atasan sipil Komandan Militer Komandan militer dan atasan sipil dapat dipertanggungjawabkan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pasukan atau anak buah yang berada di bawah komandonya. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 42 yaitu: Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan pelanggaran HAM berat tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat, dan ii. Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan

8 6 penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Pertanggungjawaban Atasan Sipil Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni: i. Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat; dan atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. 3. Pertanggungjawaban Komando Konsep tentang tanggung jawab komando ini, seperti halnya konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan juga mengalami distorsi dalam perumusan di Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengertian tanggung jawab komando dalam Pasal 42 ayat (1) menyatakan: Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif. Pasal 42 ayat (1) huruf (a) juga mensyaratkan penanggung jawab komando untuk seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Padahal sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu Pasal 28 ayat (1) huruf (a) Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kajahatan. Selain harus bertanggung jawab jika menjadi pelaku langsung, penganjur, atau penyerta, seorang atasan seharusnya juga bertanggung jawab secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas (dereliction of duty) dan kealpaan (negligence). Standar hukum kebiasaan internasional untuk kealpaan dan kelalaian dalam arti yang luas menyatakan bahwa seorang atasan bertanggung jawab secara pidana jika: a. ia seharusnya mengetahui bahwa pelanggaran hukum telah dan atau sedang terjadi, atau akan terjadi dan dilakukan oleh bawahannya; b. ia mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan; dan c. ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu. Pengaturan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, permasalahan mengenai pertanggung jawaban

9 7 pidana diatur dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40, yaitu: a. Mengenai kejahatan Genocida dengan cara 1 sampai 5 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana HAM mengenai kejahatan Genocida di atas yaitu dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pertanggungjawabannya dipidana penjara paling lama 25 tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. b. Mengenai kejahatan kemanusiaan dengan cara 1 sampai 5 dan 10 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana HAM mengenai kejahatan kemanusiaan diatas yaitu pertanggunjawabannya dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. c. Mengenai kejahatan kemanusiaan dengan cara No. 3 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana HAM mengenai kejahatan kemanusiaan di atas yaitu pertanggunjawabannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. d. Mengenai kejahatan kemanusiaan dengan cara No. 6 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana HAM mengenai kejahatan kemanusiaan di atas yaitu pertanggunjawabannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. e. Mengenai kejahatan kemanusiaan dengan cara 7 sampai 9 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana HAM mengenai kejahatan kemanusiaan diatas yaitu pertanggunjawabannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Tanggung jawab komandan militer berdasarkan hierarkhi jabatan komandan dalam struktur organisasi TNI adalah setiap komandan militer hanya bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya langsung. Hal ini sesuai dengan prinsip, Atasan Langsung berperan sebagai Atasan Yang Berwenang Menghukum (ANKUM). Sebagai contoh, Komandan Batalyon sebagai atasan langsung dari Komandan Kompi, sedangkan Komandan Kompi merupakan atasan langsung dari Komandan Peleton, dan Komandan Peleton sebagai atasan langsung dari Komandan Regu. Komandan regu bertanggung jawab langsung terhadap prajurit di bawah komandonya. Tetapi keterlibatan Komandan Batalyon, Komandan Kompi, dan Komandan Peleton secara bersama-sama bisa saja terjadi apabila memenuhi unsurunsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 dan Pasal 132 KUHPM, dalam Pasal 36 sampai Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Maroni, untuk dapat seorang pimpinan dihukum atas dasar tanggung jawab pimpinan, ada tiga unsur yang harus dibuktikan secara kumulatif. Ketiga unsur ini adalah:

10 8 a. adanya pengendalian efektif antara anak buah yang melakukan pelanggaran HAM berat dengan pimpinan yang dipersalahkan; b. pimpinan harus dalam posisi mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa anak buah akan atau sedang melakukan pelanggaran HAM berat; c. pimpinan harus dibuktikan bahwa ia tidak melakukan tindakan apapun terhadap anak buah yang akan atau telah melakukan pelanggaran HAM berat. 9 Unsur dapat mempersalahkan individu yang merupakan pimpinan dari anak buah yang melakukan pelanggaran HAM berat, unsur pertama yang harus dibuktikan adalah adanya kendali efektif antara pimpinan dengan anak buah yang melakukan pelanggaran HAM berat. Ada dua hal penting di sini, pertama harus ada indikasi pelanggaram HAM berat yang dilakukan oleh pelaku yang memiliki atasan. Kedua, istilah efektif adalah unsur penting karena menjadi faktor untuk menentukan siapa pimpinan yang harus bertanggung jawab. Efektif harus diterjemahkan sebagai rentang kendali dimana pimpinan mempunyai hubungan langsung dengan anak buah. 10 Apabila ada sejumlah prajurit dalam sebuah kompi yang melakukan pelanggaran HAM berat maka yang bisa ditimpakan tanggung jawab pimpinan adalah komandan kompinya. Tanggung jawab ini tidak dapat ditarik lebih tinggi lagi. Pimpinan dari pimpinan kompi tidak 9 Wawancara tanggal 15 Juli Ibid. bisa dimintakan pertanggungjawaban pimpinan. Tanggung jawab ini harus berhenti sampai dengan pimpinan yang mempunyai kendali efektif terhadap anak buahnya. Kedua adalah kendali efektif yang tidak didasarkan pada aturan, melainkan didasarkan pada kenyataan. Kendali efektif jenis ini disebut sebagai kendali efektif secara de facto. Dari dua upaya efektif pembuktian ini yang penting adalah kendali efektif secara de fakto. Hal ini karena belum tentu pimpinan yang memiliki kendali efektif secara de yure selalu diikuti oleh anak buah. Namun kendali efektif secara de facto sangat menentukan patuh tidaknya anak buah terhadap pimpinan. Unsur kedua yang harus dibuktikan adalah pimpinan harus mengetahui atau seharusnya mengetahui tindakan anak buah yang akan atau telah melakukan pelanggaran HAM berat. Istilah seharusnya mengetahui berarti meskipun individu yang dipersalahkan mengargumentasikan bahwa ia tidak mengetahui namun melalui ukuran yang obyektif seharusnya individu tersebut diasumsikan sebagai mengetahui. Unsur mengetahui atau seharusnya mengetahui penting, karena bila pimpinan tidak tahu menahu tentang pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh anak buah, maka pimpinan tersebut tidak dapat dipersalahkan atas dasar tanggung jawab pimpinan. Dalam tanggung jawab pimpinan unsur mengetahui atau seharusnya mengetahui mengindikasikan agar pimpinan tersebut bisa melakukan pencegahan (sebelum pelanggaran HAM berat)

11 9 ataupun penghukuman (bila telah terjadi pelanggaran HAM berat) terhadap anak buahnya. Unsur ketiga yang harus dibuktikan oleh pimpinan adalah pimpinan dianggap melakukan pembiaran, bahkan pembenaran terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh anak buah. Ini terjadi bila pimpinan tidak mengambil suatu tindakan terhadap anak buah. Atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh anak buah, pimpinan yang mempunyai kendali efektif memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan pencegahan (sebelum terjadinya peristiwa) ataupun penghukuman (setelah terjadinya peristiwa) terhadap anak buah. Tidak adanya tindakan oleh pimpinan dianggap sebagai pembiaran dan pembenaran pimpinan terhadap tindakan anak buah yang melakukan pelanggaran HAM berat. Pimpinan seolah mentolerir tindakan anak buah yang salah. Negara melalui pemerintahan yang sah dan berdaulat, merupakan pelindung utama masyarakat, Namun realitas seringkali menunjukkan adanya tindakan aparat keamanan cenderung berpotensi melakukan berbagai pelanggaran seperti contoh peristiwa Talang Sari, peristiwa Talangsari adalah salah satu dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi selama pemerintah Orde Baru berkuasa. Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila yang termanifetasi dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Atas dasar tersebut pemerintah tidak akan mentolelir setiap aktivitas yang dianggap bertentangan dan membahayakan Pancasila. 11 Pemerintah melalui aparat setempat baik sipil maupun militer mulai mencurigai dan melontarkan berbagai stigma terhadap aktivitas Jema ah yang tinggal di dusun Talangsari III Desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Situasi menjadi tidak menentu setelah pemerintah lebih mengedepankan pendekatan represif. Berturut-turut pada tanggal 5 Februari 1989 terjadi penculikan terhadap 5 orang jema ah yang sedang meronda di Pos Kamling. Kemudian Tanggal 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kampung (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) menyerang dusun Talangsari III tanpa didahului proses dialog. Kapten Soetiman melakukan penembakan membabibuta terhadap jemaah dan setelah kehabisan peluru, jemaah yang tadinya bertahan balik menyerang hingga akhirnya menewaskan Kapten Soetiman. 12 Kemudian pada tanggal 7 Februari 1989 terjadi penyerbuan oleh pasukan yang dipimpin Kolonel AM Hendropriyono (Danrem Garuda Hitam Lampung). Dampak dari penyerangan tersebut banyak jatuh korban diantarnya pembunuhan langsung 45 orang, penculikan 5 orang, penghilangan paksa 88 orang, Talangsari%20Lampung.pdf diakses pada tanggal 20 maret 2014, pukul WIB. 12 Ibid.

12 10 penyiksaan 36 orang, peradilan rekayasa 23 orang, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 173 orang. Hampir seluruh rumah beserta perabotannya didusun tersebut habis dibakar oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI). 13 Atas kejadian tersebut para korban dan keluarga korban berupaya untuk meminta keadilan atas peristiwa tersebut upaya mereka ini dmulai pada tanggal 7 Mei 2001, setelah perjuangan yang panjang didampingi dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), terdapat secercah harapan ketika dikeluarkannya hasil penyelidikan pro justisia Komisi Nasional HAM (2006) menyebutkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Talangsari, berupa pembunuhan terhadap 130 orang, pengusiran penduduk secara paksa 77 orang, perampasan kemerdekaan 53 orang, penyiksaan 46 orang, dan penganiayaan atau persekusi sekurang-kurangnya berjumlah 229 orang. Namun sampai saat ini setelah hampir lebih dari 25 tahun kenyataan pahitlah yang ditelan oleh para korban dan keluarga korban karena tidak ada penyelesaian yang jelas atas kasus Talang Sari, kasus ini dibuat menggantung dan jalan di tempat, lalu dimanakah posisi negara yang bertugas untuk melindungi rakyatnya. Kabul Supriyadhie mengatakan kasus di Talangsari sudah termasuk pelanggaran HAM berat. Jumlah korban jiwa baik yang meninggal, Talangsari%20Lampung.pdf diakses pada tanggal 20 maret 2014, pukul WIB. hilang dan luka-luka cukup banyak. Dampaknya pun masih dirasakan oleh korban dan keluarganya sampai pada saat ini. Pemerintah dalam hal menentukan siapa yang harus bertanggung jawab dalam kasus pelanggaran HAM berat di Talangsari sebenarnya tidaklah terlalu sulit, akan tetapi saat ini belum ada upaya serius yang dilakukan. 14 Kabul Supriyadhie mengatakan bahwa Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM untuk mengadili pihak-pihak yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat. Undang-Undang ini seharusnya menjadi sarana pemerintah untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat di Indonesia. Akan tetapi, setelah lebih kurang 24 tahun undang-undang ini disahkan belum ada hasil yang memuaskan. Keberadaan Pengadilan HAM juga tidak terlihat perannya. 15 Berkaitan dengan siapa yang harus bertangggung jawab atas kasus pelanggaran HAM di Talangsari, Kabul Supriyadhie mengatakan pelaku penyerangan tersebut yang diduga kuat berasal dari sekelompok anggota TNI/ABRI. Apabila dugaan tersebut terbukti di pengadilan HAM, tentunya yang harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut adalah komandan militer atau atasan dari sekelompok orang yang diduga kuat anggota TNI/ABRI memiliki tanggung jawab secara komando atas tindakan anak buahnya Wawancara tanggal 03 Oktober Ibid. 16 Ibid.

13 11 Berdasarkan uraian di atas, Peneliti berpendapat bahwa seharusnya atasan langsung pada saat itu seharusnya bertanggung jawab atas perbuatannya dan diadili di Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Akan tetapi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kasus pelanggaran HAM berat sampai saat ini tidak ada kejelasan penyelesaiannya dikarenakan banyak faktor. Faktor utama dari yang menghambat proses penyelesaian ini menurut Peneliti adalah kemauan semua unsur pemerintahan mulai dari legislatif, eksekutif maupun yudikatif untuk bersama-sama menyelesaikan pelanggaran HAM ini. C. Faktor-Faktor Penghambat Penyelesaian Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Soerjono Soekamto menyatakan dalam proses penegakan hukum terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi berjalannya proses penegakan. Faktor-faktor tersebut sebagai berikut: a. Faktor hukumnya sendiri, yaitu peraturan perundangundangan yang menjamin pelaksanaan suatu aturan hukum; b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membuat atau membentuk maupun yang menerapkan hukum; c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; d. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 17 Upaya pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sebagai sarana untuk menuntut pertanggungjawaban komando atas pelanggaran HAM berat menyiratkan adanya pengakuan telah terjadi pelanggaran tersebut dalam batas wilayah kedaulatannya. Berdasarkan kedaulatannya, negara Indonesia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan hukum sekaligus menegakkannya dengan cara mengadili para pelaku. Mengingat negara merupakan suatu entitas yang tidak dapat dipidana, maka pertanggungjawaban negara Indonesia secara internasional atas tindakan atau perbuatan yang melanggar Hukum Internasional, yang dalam hal ini adalah pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, antara lain dilakukan dengan cara mengadili para pelaku berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. HAM di Indonesia dinilai kurang begitu ditegakkan karena banyak kaum-kaum ploletar atau orangorang yang memiliki status sosial yang minoritas maupun keadaan sosio-ekonominya kurang, yang tersinggirkan haknya sehingga tidak 17 Soerjono Soekamto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada: 2007), hlm. 5

14 12 ada ruang gerak sedikitpun untuk bisa memasuki wilayah hukum maupun wilayah dunia kerja yang di mata hukum masih dipandang sebelah mata bahkan tidak dianggap sedikitpun karena keadaannya. Faktor-faktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Indonesia khususnya dalam kasus Talang Sari, yaitu: 1. Faktor aparat penegak hukum Buruknya capaian HAM yang ada di Indonesia dalam tataran implementasi selain disebabkan oleh sistem yudisial dan politik, selain itu juga disebabkan oleh masih sempitnya pemahaman penyelenggara negara akan HAM. Pemahaman akan pelanggaran HAM di sini masih terbatas pada bentukbentuk pelanggaran kasus HAM berat. Penegakan hukum HAM progresif tidak bisa dilepaskan dengan institusi-institusi penegakan hukum HAM itu sendiri. Semakin pasti kedudukan hukumnya, independensinya, berdaya dan jelas arah kewenangannya, akan semakin besar potensi institusi-institusi itu melakukan langkah-langkah penegakan hukum. Tetapi sebaliknya, semakin tidak jelas dasar hukum dan kewenangan, serta independensi institusi tersebut, akan sulit mendorong institusi dan manusia pelaksana hukum itu bertindak progresif. Oleh sebab itu, pembenahan institusi dimaksud diharapkan tercipta situasi yang kondusif yang mendukung institusi dan manusia pelaksana hukum menegakkan hukum progresif dalam melindungi hak asasi manusia. Institusi yang harus dilakukan penguatan, yaitu: (1) Penguatan Komnas HAM, (ii) Penguatan Kejaksaan, (iii) Penguatan Hakim, (iv) Penguatan Mahkamah Konstitusi. Setelah lebih dari satu dekade reformasi, berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu belum juga mendapat penyelesaian yang adil. Sejauh sebelum ada penyelesaian yang adil, tuntutan para korban dan pembela HAM akan terus mengemuka. Saat ini, tuntutan penyelesaian tersebut tidak hanya semakin menguat, namun juga secara bersamaan menunjuk para pihak yang diidentifikasi sebagai penghambatnya. 18 Faktor utama dari yang menghambat proses penyelesaian pelanggaran HAM adalah kemauan semua unsur pemerintahan mulai dari legislatif, eksekutif maupun yudikatif untuk bersama-sama menyelesaikan pelanggaran HAM ini. Penyelesaian berbagai pelanggaran HAM di masa lalu yang lain, seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II (1998 dan 1999), Peristiwa Mei 1998, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, serta Peristiwa Wasior dan Wamena, Papua (2001 dan 2003) dinilai berhenti di Kejaksaan Agung. 19 Selanjutnya, Kabul Supriyadhie mengatakan bahwa untuk mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia dibutuhkan komitmen dan kerja sama antara legislatif, ekseskutif dan yudikatif. Ketiga unsur pemerintah ini harus satu pendapat dan dan 18 Otto Adi Yulianto. Memetakan Hambatan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa. (Jakarta: Elsam, 2009). 19 Ibid.

15 13 mengambil langkah yang saling terorganisasi satu sama lainnya. Komnas HAM dalam melakukan usaha mengungkap pelanggaran HAM berat khususnya di dalam kasus Talangsari sudah melakukan hal-hal yang diperlukan, akan tetapi akibat kurangnya dukungan dari pemerintah upaya tersebut terkesan tidak mendapatkan hasil yang diinginkan Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum Sarana atau fasilitas yang dimaksud di sini salah satunya adalah sarana yang digunakan untuk mendapatkan alat bukti yang dapat mengungkapkan aktor atau dalang dari kasus Talang Sari. Kabul Supriyadhie mengatakan penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran HAM berat di Talangsari Lampung yang terjadi pada tahun 1989 sulit untuk diungkap disebabkan oleh faktor masih kurangnya komitmen dan kemauan dari pemerintah saat ini dalam mengungkap siapa saja yang harus bertanggung jawab atas peristiwa pelanggaran ini. Selain itu, kasus ini sudah lama terjadi sehingga untuk mendapatkan bukti-bukti yang kuat yang dapat mendukung pembuktian di persidangan terasa sulit. Hal ini ditambah lagi dengan adanya kesan menutup-nutupi peristiwa ini Faktor Masyarakat yang kurang memahami dan kurang peduli dengan penegakan HAM a. Kondisi ini diperburuk lagi oleh masih rendahnya juga pemahaman masyarakat akan HAM, sehingga menyebabkan 20 Ibid. 21 Wawancara tanggal 03 Oktober 2014 rendahnya kapasitas masyarakat untuk mengartikulasikan hakhaknya. Padahal pelanggaran HAM bukan hanya pada besar kecilnya kasus tetapi semua kejadian yang melanggar hak hak asasi manusia yang merupakan hak dasar hidup manusia. Faktor lain yang juga turut memperburuk capaian HAM di Indonesia adalah masih terpecah-pecahnya masyarakat madani, sudah terkooptasinya kelompok profesi oleh kepentingan modal dan tidak terorganisasinya masyarakat. Mayoritas masyarakat Indonesia kurang memperdulikan proses penegakan hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi khususnya pada kasus Talang Sari. Ini dikarenakan kejadian tersebut sudah terjadi cukup lama. III. SIMPULAN Pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat didasarkan pada hierarkhi jabatan komandan dalam struktur organisasi, yaitu setiap komandan militer hanya bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya langsung. Hal ini sesuai dengan prinsip, Atasan Langsung berperan sebagai Atasan Yang Berwenang Menghukum (Ankum). Unsur pokok pertanggungjawaban komando atau atasan militer, yaitu: 1) ada pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang berada di bawah komando atau pengendaliannya; 2) adanya hubungan subordinasi langsung atau tidak langsung antara komandan dengan pelaku; 3) adanya

16 14 pengetahuan komandan bahwa anak buahnya akan, sedang atau telah melakukan pelanggaran; dan 4) komandan atau atasan dengan kekuasaan yang dimilikinya gagal melakukan pencegahan atau menghentikan atau menindak dan menyerahkan pelaku pelanggaran kepada yang berwajib. b. Faktorfaktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat, yaitu 1) faktor aparat penegak hukum, yaitu kurangnya komitmen semua unsur pemerintahan mulai dari legislatif, eksekutif maupun yudikatif untuk bersamasama menyelesaikan pelanggaran HAM berat; 2) sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum proses penyelesaian pelanggaran HAM; 3) masyarakat yang kurang memahami dan kurang peduli dengan penegakan HAM.. No.38/VI/2001 Yogyakarta. FH-UGM, Soekamto, Soerjono Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Yulianto, Otto Adi Memetakan Hambatan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa. Elsam, Jakarta. IV. DAFTAR PUSTAKA Bambang Sunggono dan Aries Harianto Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung. Barda Nawawi Arief Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Muladi, dkk, Demokratisasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta. Riyanto, Sigit Penegakan HAM Di Indonesia Beberapa Catatan Kritis, Majalah Mimbar Hukum

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, pernyataan demikian membawa konsekuensi bahwa hukum hendaknya dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 telah terjadi perubahan arus global di dunia internasional

Lebih terperinci

Pembuktian : Tanggungjawab Komando

Pembuktian : Tanggungjawab Komando Pembuktian : Tanggungjawab Komando I. Pendahuluan Saat ini Pengadilan HAM Tanjung Priok telah memasuki tahap pembuktian, yaitu tahap pemeriksaan saksi. Bahkan, dalam salah satu berkas, yaitu berkas perkara

Lebih terperinci

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG !"#$%&'#'(&)*!"# $%&#'''(&)((* RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998

Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998 Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta, 7 November 2009 I. Pendahuluan Menjelang

Lebih terperinci

POSISI KASUS; HAMBATAN DAN PERMASALAHAN

POSISI KASUS; HAMBATAN DAN PERMASALAHAN POSISI KASUS; HAMBATAN DAN PERMASALAHAN Kasus pelanggaran HAM Berat LATAR BELAKANG Paksa reformasi 1998, nilai nilai HAM dan kewajiban pemenuhan, penghormatan dan perlindungan HAM telah menjadi menjadi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum mempunyai berbagai cara dan daya upaya untuk menjaga ketertiban dan keamanan dimasyarakat demi terciptanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan masyarakat, sehingga berbagai dimensi hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang khas dalam struktur kenegaraan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang membedakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu satuan pertahanan yang dimiliki oleh negara Indonesia. Tugas dari TNI sendiri adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan agar warga negara

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelanggaran hak asasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN Oleh : I Gusti Ngurah Ketut Triadi Yuliardana I Made Walesa Putra Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjadi penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat dipertanyakan. Bagaimana. hambatan dari hal-hal yang dapat menggangu kinerja hukum.

I. PENDAHULUAN. menjadi penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat dipertanyakan. Bagaimana. hambatan dari hal-hal yang dapat menggangu kinerja hukum. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini proses penegakan hukum di dalam masyarakat kembali menjadi topik yang sangat hangat untuk dibicarakan, keberadaan hukum yang seharusnya menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap manusia dan bersifat Universal B. Jenis jenis HAM -Menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai kumpulan manusia, karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada sesudah meninggal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga kedaulatan Negara yang bertugas untuk menjaga, melindungi dan mempertahankan keamanan serta kedaulatan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu menimbulkan keresahan serta rasa tidak aman pada masyarakat. Tindak pidana yang terjadi di Indonesia juga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009.... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan genersi penerus bangsa di masa yang akan datang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan genersi penerus bangsa di masa yang akan datang, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan genersi penerus bangsa di masa yang akan datang, karena anak mempunyai peran yang sangat penting untuk memimpin dan memajukan bangsa. Peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Dalam hukum acara pidana ada beberapa runtutan proses hukum yang harus dilalui, salah satunya yaitu proses penyidikan. Proses Penyidikan adalah tahapan-tahapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara, digariskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Hukum. Dengan demikian, segala

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk mendukung dan mempertahankan kesatuan, persatuan dan kedaulatan sebuah negara. Seperti

Lebih terperinci

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelanggaran hak asasi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat Indonesia, lahir dan berjuang bersama rakyat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi ketentraman dan rasa aman merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang tertuang dalam

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: dalam tahap pembahasannya. Alasan pertama selalu munculnya deadlock

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: dalam tahap pembahasannya. Alasan pertama selalu munculnya deadlock 121 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang diuraikan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Alasan di balik belum direvisinya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Salah satunya dalam hal ini mengenai pengakuan, jaminan, perlindungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini terlihat dari sedikitnya hak-hak korban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke- 19, dimana anak

I. PENDAHULUAN. Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke- 19, dimana anak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Pembahasan mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah sekaligus cermin

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN KOMNAS HAM TERHADAP PERISTIWA PELANGGARAN HAM YANG BERAT YANG BELUM DITINDAKLANJUTI JAKSA AGUNG

PENYELIDIKAN KOMNAS HAM TERHADAP PERISTIWA PELANGGARAN HAM YANG BERAT YANG BELUM DITINDAKLANJUTI JAKSA AGUNG PENYELIDIKAN KOMNAS HAM TERHADAP PERISTIWA PELANGGARAN HAM YANG BERAT YANG BELUM DITINDAKLANJUTI JAKSA AGUNG NO PERISTIWA KESIMPULAN REKOMENDASI TINDAK LANJUT KETERANGAN 1. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA. Oleh: Laras Astuti

PENEGAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA. Oleh: Laras Astuti PENEGAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Laras Astuti Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta E-mail: larasastuti@law.umy.ac.id Abstrak Hak Asasi

Lebih terperinci