VII. DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN TERHADAP STABILITAS EKONOMI MAKRO. Berdasarkan hasil pengujian awal variabel yang digunakan merupakan beda

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII. DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN TERHADAP STABILITAS EKONOMI MAKRO. Berdasarkan hasil pengujian awal variabel yang digunakan merupakan beda"

Transkripsi

1 168 VII. DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN TERHADAP STABILITAS EKONOMI MAKRO Berdasarkan hasil pengujian awal variabel yang digunakan merupakan beda pertama (first difference), ordo lag optimum yang digunakan adalah tiga, dan rank kointegrasinya adalah dua. Dengan demikian dari sembilan persamaan dalam model ada dua persamaan yang dapat menjelaskan hubungan jangka panjang untuk menjelaskan keseluruhan fenomena yang tercakup dalam model yang dianalisis. Setelah dilakukan pengujian awal dilanjutkan dengan pendugaan model VECM yang akan digunakan untuk inovasi akuntansi dengan teknik IRF dan FEVD Hasil Pendugaan Model Sebelum pendugaan model terlebih dahulu dilakukan restriksi umum (general restriction atau just identifying restriction) berdasarkan metode Johansen yaitu dengan membuat matriks identitas 2 x 2 sesuai rank kointegrasi yang dihasilkan sebelumnya. Pada penelitian yang tujuan utamanya hanya menganalisis IRF dan FEVD, seperti yang dilakukan Supriana (2004) dan Bafadal (2005), tidak dilakukan restriksi spesifik untuk menentukan dua persamaan yang terkointegrasi. Pada penelitian ini, seperti yang dilakukan Nuryati (2004) dan Riswandi (2004), dianggap perlu mengetahui dua persamaan yang terkointegrasi dalam jangka panjang. Oleh karena itu, selain melakukan restriksi umum juga dilakukan restriksi khsusus. Restriksi tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga mampu memberikan informasi yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Hasil uji restriksi umum dan restriksi spesifik dapat dilihat pada Lampiran 20 dan Lampiran 21. Hasil uji statistik dari restriksi umum dan restriksi spesifik menunjukkan bahwa sistem persamaan yang digunakan exactly identifying dengan nilai Likelihood Ratio dan persamaan kointegrasi over identifying dengan nilai Likelihood

2 169 Ratio dengan nilai p-value lebih besar dari 0.01 yaitu Ini berarti hipotesis nol dapat diterima yaitu restriksi yang disusun sesuai (compatible) dengan perilaku data dan model VECM cukup valid untuk digunakan dalam melakukan berbagai shock kebijakan atau inovasi perekonomian untuk jangka pendek dan jangka panjang dengan teknik IRF dan FEVD Setelah dilakukan restriksi kemudian dilakukan pendugaan model VECM. Hasil lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 22. Hasil pendugaan VECM terdiri dari persamaan jangka pendek dan vektor kointegrasi yang merupakan persamaan residual sebagai persamaan jangka panjang. Persamaan jangka pendek menjelaskan hubungan antara lag diferensiasi (sesuai ordo VECM=Ordo VAR 1) dari masingmasing logaritma variabel-variabel dalam sistem, misal dlihk1 terhadap diferensiasi logaritma variabel endogennya, misal dlrinv. Untuk persamaan jangka panjang yaitu ecm1 dan ecm2 menjelaskan hubungan jangka panjang residual dari masingmasing diferensiasi logaritma variabel yang terkandung pada vektor kointegrasi dari suatu sistem kointegrasi. Tidak seperti studi yang dilakukan Supriana (2004), Nuryati (2004), Riswandi (2004), dan Bafadal (2005) dimana hasil pendugaan VECM sama sekali tidak dibahas karena hanya merupakan tujuan antara untuk digunakan melakukan analisis peramalan jangka panjang dengan menggunakan teknik IRF dan FEVD. Pada penelitian ini selain membahas peramalan jangka panjang juga akan dibahas hasil pendugaan model VECM yang dianggap relevan yaitu melihat pengaruh kebijakan harga pangan dalam jangka pendek dan melihat dua persamaan jangka panjang yang over identivied diperoleh dari hasil restriksi spesifik.

3 Hubungan Jangka Pendek Kebijakan Harga Pangan dan Stabilitas Ekonomi Makro Dari hasil pendugaan VECM terdapat sembilan persamaan dalam satu sistem persamaan. Pada masing-masing persamaan dapat dilihat bagaimana respon variabel endogen terhadap perubahan kebijakan harga pangan. Bahasan hubungan jangka pendek ini dibatasi hanya pada hal tersebut. Untuk jelasnya dapat dilihat Tabel 24. Ternyata kebijakan harga pangan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap semua variabel ekonomi makro yang dipengaruhinya. Demikian juga variabel ekonomi makro tidak responsif terhadap peningkatan dana untuk mendukung kebijakan harga pangan, kecuali variabel tingkat suku bunga dan neraca perdagangan. Tabel 24. Nilai Pendugaan Paremater/Elastisitas Jangka Pendek Kebijakan Harga Pangan No. Variabel Dependent Koefisien dlriopp1 T-Ratio [Prob] 1 dlihk [0.638] 2 dlriopp [0.372] 3 dlrexr [0.396] 4 dlunm [0.248] 5 dlrmsi [0.634] 6 dlrgdp [0.263] 7 drirt [0.265] 8 dlrinv [0.686] 9 drbot ^ [0.755] Koefisien dlriopp2 T-Ratio [Prob] [0.717] [0.460] [0.937] [0.524] [0.419] [0.274] # [0.272] [0.335] [0.742] R Keterangan: Nilai elastisitas: + = / = ; # = / = ; ^ = / = - = / = Nilai elastisitas bentuk fungsi Linier-log: Y=b 1 + b 2 ln X adalah b 2 /Y (Ramanathan, 1995)

4 171 Jika pemerintah meningkatkan dana untuk mendukung kebijakan harga pangan sebesar satu persen akan menurunkan suku bunga sebesar enam persen. Namun penurunan suku bunga tersebut terjadi 1 2 triwulan berikutnya. Penurunan suku bunga ini disebabkan dana kebijakan harga pangan berasal dari kredit yang bersumber dari dana KLBI dan dana APBN dengan tingkat bunga yang jauh lebih rendah dari tingkat suku bunga perbankan. Kondisi tersebut direspon perbankan dengan menurunkan suku bunga agar nasabah tertarik menggunakan dana perbankan. Demikian juga yang terjadi pada neraca perdagangan. Peningkatan dana untuk mendukung kebijakan harga pangan sebesar satu persen akan menurunkan neraca perdagangan sebesar 1.5 persen pada 1 2 triwulan berikutnya. Penurunan ini disebabkan kebijakan harga mampu merangsang peningkatan pangan dalam negeri sehingga impor pangan menjadi berkurang Hubungan Jangka Panjang Kebijakan Harga Pangan dan Stabilitas Ekonomi Makro Dari hasil restriksi khusus diperoleh dua persamaan yang terkointegrasi yaitu persamaan inflasi (56) dan persamaan kebijakan harga pangan (57). Persamaan kebijakan harga pangan disebut juga fungsi reaksi kebijakan. Angka dalam kurung merupakan standar error. LIHK = LRIOPP* LREXR* LRMSI* (0.0331) (0.1583) (0.2699) RIRT* LRINV* (0.0121) (0.0298) RBOT Trend.. (56) ( ) (0.0069) LRIOPP = LIHK* LREXR* LUNM* (4.0504) (1.5553) (1.0037) LRGDP* RIRT* LRINV* (8.4626) (0.1002) (0.7112) RBOT* Trend.(57) ( ) (0.1766)

5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi Persamaan (56) menunjukkan bahwa dalam jangka panjang inflasi secara statistik sangat signifikan dipengaruhi oleh adanya kebijakan harga pangan, nilai tukar rupiah, penawaran uang, suku bunga dan investasi, kecuali neraca perdagangan. Namun inflasi tidak responsif (tidak elastis) terhadap perubahan semua variabel tersebut termasuk suku bunga dan neraca perdagangan yang memiliki nilai elastisitas 1 masing-masing adalah dan 0.41, kecuali terhadap penawaran uang dengan nilai elastisitas Jika penawaran uang meningkat sebesar 10 persen inflasi akan meningkat 10.3 persen. Temuan ini sesuai dengan teori kuantitas uang dimana inflasi berbanding lurus dengan jumlah uang beredar. Walaupun tidak elastis akan tetapi secara signifikan kebijakan harga pangan mampu menurunkan inflasi. Untuk program pengendalian stabilitas ekonomi makro kebijakan harga pangan menjadi penting. Demikian juga untuk program ketahanan pangan, penurunan inflasi akan meningkatkan akses penduduk terhadap pangan. Temuan ini sejalan dengan temuan pada bab sebelumnya dimana kebijakan harga pangan secara signifikan sangat mempengaruhi ketahanan pangan dan penurunan inflasi akan meningkatkan akses penduduk terhadap pangan. Dalam prakteknya salah satu penyebab inflasi adalah kenaikan harga pangan yang antara lain disebabkan oleh langkanya pangan di pasar. Melalui kebijakan harga pangan seperti operasi pasar ketersediaan pangan menjadi meningkat dan harga akan menurun. Menurunnya harga pangan di satu sisi dan besarnya komponen pengeluaran untuk belanja pangan disisi lain akan mendorong turunnya tingkat inflasi. Seperti hasil beberapa peneliti lain, selama rezim nilai tukar mengambang (floating managed) perubahan nilai tukar cukup signifikan mempengaruhi inflasi. 1 Nilai elastisitas bentuk fungsi Log-linier: ln Y=b 1 + b 2 X adalah b 2 X. Nilai rataan RIRT dan RBOT masing-masing adalah dan

6 173 Melemahnya nilai tukar akan meningkatkan ekspor sehingga neraca perdagangan meningkat dan mendorong peningkatan output nasional. Pada harga yang stabil akan meningkatkan permintaan agregat yang menyebabkan terjadinya inflasi. Di sisi lain meningkatnya ekspor secara umum harus didukung dengan investasi pabrik dan bahan baku. Selama ini sebagian produk ekspor Indonesia kandungan impornya tinggi. Tingginya komponen impor akan menyebabkan terjadinya impor inflasi sehingga inflasi domestik akan meningkat. Kenaikan suku bunga riil akan menurunkan inflasi. Hal ini sesuai dengan teori dimana inflasi merupakan selisih sukubunga nominal dan sukubunga riil. Inflasi juga akan turun dengan semakin meningkatnya investasi karena jumlah produk di pasar semakin meningkat. Dengan jumlah uang beredar yang tetap peningkatan jumlah barang akan menurunkan laju inflasi Fungsi Reaksi Kebijakan Harga Pangan Persamaan (57) menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kebijakan harga pangan sangat reaktif terhadap perubahan ekonomi makro. Hal ini dapat dilihat dari signifikannya pengaruh variabel ekonomi makro terhadap kebijakan harga pangan dan responsifnya kebijakan harga pangan terhadap perubahan ekonomi makro termasuk variabel suku bunga dan neraca perdagangan dengan nilai elastisitas 1 masing-masing 1.82 dan Meningkatnya inflasi direspon dengan melakukan kebijakan harga pangan agar terjadi penurunan harga, terutama harga pangan sehingga inflasi menjadi stabil. Kebijakan harga pangan ditentukan oleh anggaran pemerintah. Keterbatasan anggaran menyebabkan berkurangnya subsidi yang mendukung kebijakan harga pangan. Makin tinggi output nasional akan meningkatkan penerimaan pemerintah sehingga kebijakan harga pangan semakin meningkat. 1 Menghitungnya menggunakan formula bentuk fungsi yang Log-linier seperti sebelumnya.

7 174 Meningkatnya investasi akan meningkatkan suku bunga bank baik nominal maupun riil. Karena investasi non pangan lebih menguntungkan alokasi dana KLBI untuk pertanian menurun sehingga kebijakan harga pangan menurun. Pengaruh faktor eksternal, meningkatnya sukubunga mengakibatnya banyak modal asing masuk ke dalam negeri sehingga terjadi kenaikan penawaran dollar AS dan nilai rupiah menguat. Hal yang sama jika neraca perdagangan mengalami peningkatan. Dengan menguatnya rupiah impor pangan menjadi lebih murah, sehingga dana untuk kebijakan harga pangan menjadi menurun. Sebaliknya jika nilai tukar melemah, harga pangan impor menjadi meningkat sehingga diperlukan dana lebih besar untuk melakukan kebijakan harga pangan Respon Dinamik Variabel Ekonomi Makro terhadap Kebijakan Harga Pangan Respon dinamik variabel ekonomi makro terhadap guncangan stok pangan yang direprsentasikan oleh adanya kebijakan harga pangan dianalisis dengan menggunakan teknik Impulse Response Function. Namun sebelumnya perlu dibatasi bagaimana pengaruh gangguan pangan baik positif maupun negatif, terhadap variabel ekonomi makro. Seperti telah diutarakan pada Bab III sebelumnya, menurut Dawe (2002) pengaruh tersebut dapat terjadi pada tiga kondisi yaitu: (1) tanpa intervensi pemerintah dan ekonomi tertutup, (2) ada intervensi pemerintah berupa kebijakan buffer stock dan perekonomian tertutup, dan (3) pada perekonomian terbuka. Kondisi yang digunakan pada penelitian ini sesuai dengan kondisi saat ini yaitu ada intervensi pemerintah berupa kebijakan buffer stock dan perekonomian terbuka. Namun karena dalam prakteknya pasar pangan dunia, khususnya beras, terbatas maka gangguan stok pangan tidak dengan mudah distabilisasi oleh keberadaan pasar internasional. Di samping itu kebijakan harga pangan yang dimaksud tidak hanya kebijakan buffer stock tetapi termasuk kebijakan harga input.

8 175 Pengaruh guncangan kebijakan harga pangan sebesar satu standar deviasi terhadap stabilitas ekonomi makro di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 35 Gambar 43, sedangkan data lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 23. Guncangan kebijakan harga pangan dapat berupa impor pangan dan input produksi pertanian seperti pupuk (TSP dan KCl) dan pestisida. Akibatnya BOT yang masih surplus 9.9 juta USD pada saat terjadi guncangan pada triwulan pertama menjadi defisit 51.8 juta USD. Defisit terus membesar hingga triwulan ke 16 yaitu sebesar juta USD. Setelah itu defisit sedikit berkurang dan mulai stabil pada triwulan ke-14 hingga dalam jangka panjang defisit stabil pada nilai 98.8 juta USD. Meningkatnya Kebijakan harga pada triwulan pertama menyebabkan PDB mengalami ekspansi. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penawaran uang akibat kebijakan harga sehingga merangsang aktivitas ekonomi. Namun karena sebagian dana kebijakan harga pangan tersebut digunakan untuk impor, maka pada triwulan 2 4 PDB mengalami kontraksi mencapai angka terendah pada triwulan ke-4 yaitu persen. Selanjutnya secara fluktuatif PDB cenderung mengalami ekspansi dan mulai stabil pada triwulan ke 13 hingga dalam jangka panjang pertumbuhan PDB stabil pada 0.84 persen. Dengan demikian setiap peningkatan satu standar deviasi kebijakan harga pangan akan menurunkan PDB sebesar 0.84 persen. Kontraksinya aktivitas ekonomi menyebabkan penerimaan pemerintah menjadi menurun, sehingga sejak dilakukan guncangan kebijakan harga pangan maka pertumbuhan dana yang digunakan untuk mendukung kebijakan tersebut cenderung menurun dari persen pada awal kebijakan mengalami pertumbuhan terendah menjadi persen pada triwulan ke 13. Pertumbuhan mulai stabil pada triwulan ke-18 dan dalam jangka panjang stabil kembali pada pertumbuhan persen.

9 176 Respon Kebijakan Harga Pangan Gambar 39. Respon Kebijakan Harga Pangan terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan Gambar 35. Respon Kebijakan Harga Pangan terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan 50 Respon Neraca Perdagangan Gambar 36. Respon Neraca Perdagangan terhadap Guncangan Kebijakan Harga Respon PDB Gambar 37. Respon PDB terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan

10 Penawaran Uang Gambar 38. Respon Penawaran Uang terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan Respon Inflasi Gambar 39. Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan 0.2 Gambar Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan Respon Suku Bunga Gambar 40. Respon Suku Bunga terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan

11 Respons Investasi Gambar 41 Respon Investasi terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan Gambar 41. Respon Pengangguran Guncangan Kebijakan Harga Pangan Respon Nilai Tukar an Gambar 42 Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan Respon Pengangguran Gambar 43. Respon Pengangguran terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan

12 179 Di pasar uang dampak kebijakan harga pangan pada triwulan pertama meningkatkan penawaran uang 1.47 persen karena dana kebijakan harga sebagian berasal dari dana segar KLBI. Peningkatan penawaran uang diikuti oleh peningkatan inflasi sebesar 0.11 persen. Dugaan terjadinya inflasi akibat kebijakan harga diantisipasi pihak Bank Indonesia dengan melakukan sterilisasi sehingga penawaran uang menurun mencapai titik terendah hingga 0.54 persen triwulan ke-6 yang diikuti dengan penurunan inflasi. Sterilisasi yang dilakukan hingga triwulan ke-6 ternyata terlalu berlebihan sehingga menyebabkan PDB kontraksi hingga triwulan ke 4. Oleh karena itu Bank Indonesia meningkatkan kembali jumlah penawaran uang ke posisi hampir sama dengan posisi awal yang mulai stabil pada triwulan ke 25 dan dalam jangka panjang stabil pada 1.14 persen. Naiknya penawaran uang sejak triwulan ketujuh menyebabkan PDB mengalami sedikit ekspansi. Jadi terlihat jelas adanya hubungan antara penawaran uang, inflasi dan PDB. Hanya saja penawaran uang dan Inflasi sifatnya lebih volatil dibandingkan PDB. Hal ini disebabkan pemerintah melakukan intervensi terhadap penawaran uang dan efeknya berdampak langsung pada inflasi. Pada triwulan pertama naiknya penawaran uang dan inflasi menyebabkan suku bunga riil meningkat pada triwulan pertama. Tetapi ketika inflasi meningkat mencapai nilai tertinggi pada triwulan ke-5 yaitu 1.52 persen maka suku bunga riil menjadi turun mencapai titik terendah pada triwulan ke-3 yaitu 0.43 persen. Turunnya suku bunga tidak direspon oleh investor, apalagi saat suku bunga naik kembali mencapai titik tertinggi pada triwulan ke-8 yaitu 0.14 persen. Suku bunga tersebut kemudian turun kembali dan mulai stabil pada triwulan ke-21 dan dalam jangka panjang stabil pada tingkat persen Kenaikan suku bunga riil ini disebabkan karena menurunnya inflasi dan mulai stabil pada triwulan ke-9 kemudian dalam jangka panjang stabil pada tingkat 1.04 persen.

13 180 Kenaikan suku bunga menyebabkan investasi mengalami penurunan dan mencapai titik terendah pada triwulan ke-6 yaitu 7.43 persen. Investasi mulai stabil kembali pada triwulan ke-18 dan dalam jangka panjang stabil pada angka persen. Penurunan investasi ini menyebabkan PDB kontraksi. Jadi penurunan PDB disebabkan oleh dua hal yaitu menurunnya investasi dan neraca perdagangan. Ternyata guncangan kebijakan harga pangan dalam jangka panjang tidak berpengaruh terhadap suku bunga. Kondisi suku bunga yang fluktuatif dan kembali stabil pada kondisi semula ini mungkin yang menyebabkan investor tidak perlu meresponnya. Turunnya suku bunga domestik menyebabkan terjadinya pelarian modal ke luar negeri. Untuk itu dibutuhkan dollar sehingga permintaan dollar AS meningkat dan rupiah terdepresiasi mencapai nilai tertinggi yaitu 4.56 persen pada triwulan ke-3. Sebaliknya saat suku bunga meningkat terjadi kapital inflow dan rupiah menguat lagi kondisi ini menyebabkan nilai tukar mulai stabil pada triwulan ke-18 kemudian dalam jangka panjang menjadi stabil relatif sama pada kondisi sebelum ada guncangan kebijakan harga pangan yaitu pada tingkat Artinya guncangan kebijakan harga pangan tidak berpengaruh besar terhadap nilai tukar rupiah. Di pasar tenaga kerja naiknya harga barang atau inflasi direspon pengusaha dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja hingga triwulan ke-2 setelah guncangan terjadi pengurangan pengangguran mencapai titik terendah yaitu 1.81 persen. Namun setelah diamati ternyata inflasi yang terjadi akibat impor bukan akibat meningkatnya permintaan produk dalam negeri. Kondisi ini menyebabkan pengusaha menurunkan permintaan tenaga kerja sehingga pengangguran meningkat kembali dan mulai stabil pada triwulan ke-14 kemudian dalam jangka panjang stabil mendekati kondisi semula yaitu 0.64 persen. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam jangka panjang keseimbangan yang terjadi akibat guncangan kebijakan harga pangan menyebabkan

14 181 stagflasi yaitu peningkatan inflasi dan kontraksi ekonomi. Sementara itu nilai tukar, suku bunga, penawaran uang dan tingkat pengangguran relatif stabil. Stabilnya penawaran uang menunjukkan ketatnya pihak Bank Indonesia melakukan pengendalian Inflasi melalui pengendalian penawaran uang. Ketatnya pengendalian penawaran uang termasuk dalam mengeluarkan dana KLBI untuk program kebijakan harga pangan selalu dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini sesuai dengan hasil komunikasi langsung dengan Staf Biro Kredit Bank Indonesia sebagai berikut: Saat ada dana KLBI, status BI merupakan bagian dari Pemerintah. Dengan demikian jika ada sektor yang dianggap prioritas maka diperlukan bantuan dana dari BI yang merupakan fresh money sehingga menyebabkan penawaran uang meningkat. Untuk melihat dampak meningkatnya penawaran uang terhadap inflasi, setiap minggu dilakukan evaluasi. Apakah perlu dilakukan operasi pasar terbuka dengan SBI atau tidak. Umumnya dilakukan operasi pasar namun tidak selalu 100% (1 : 1), tetapi sangat tergantung pada kondisi pasar. Setelah tahun 1999 dengan UU BI No. 23 tidak demikian lagi. Karena BI sudah merupakan lembaga yang independen. Kalaupun KLBI masih ada, hanya merupakan sisa-sisa dana yang merupakan hasil kesepakatan sebelum tahun Jika diamati lebih rinci (Tabel 26) dinamika inflasi dimulai dari 0.00 persen saat guncangan menjadi 1.52 persen pada saat terjadi inflasi tertinggi pada triwulan ke-5 dan kemudian stabil pada tingkat inflasi 1.04 persen. Kenaikan yang terjadi hanya sekitar 1.00 persen. Kenaikan tersebut tidak memberikan efek besar bagi perekonomian. Kontraksi PDB saat guncangan terjadi sebesar 0.34 persen kemudian kontraksi paling dalam terjadi pada triwulan ke-4 yaitu 0.99 dan dalam jangka panjang stabil menjadi persen. Peurunan pertumbuhan hanya 0.65 persen

15 182 merupakan angka yang relatif kecil sehingga dapat dikatakan kebijakan harga pangan tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Terjadinya stagflasi disebabkan kebijakan harga pangan yang dilakukan masih didukung dengan pengadaan pangan impor (beras, jagung, kedele, gula, dll). Peningkatan impor menurunkan BOT akibatnya PDB mengalami kontraksi dan inflasi juga meningkat. Kedepan sebaiknya kebijakan harga pangan dilakukan dengan dominan mengandalkan produksi dalam negeri sehingga tidak menurunkan BOT dan diduga akan menyebabkan PDB ekspansi. Hasil studi Suparmin (2005) juga menyarankan hal yang senada yaitu jika konsumsi beras terus meningkat (diversifikasi pangan pokok tetap tidak berlangsung), maka diperlukan adanya peningkatan suplai yang berkesinambungan melalui upaya peningkatan produktivitas perluas areal panen, dan pengurangan kehilangan pasca panen. Namun karena modelnya tidak memasukkan unsur BOT yang mempengaruhi permintaan agregat dan pertumbuhan ekonomi maka dengan tujuan untuk stabilisasi harga beras/gabah Suparmin (2005) juga menganjurkan peningkatan impor beras Respon Dinamik Variabel Ekonomi Makro terhadap Guncangan Kebijakan Moneter Pengaruh guncangan kebijakan moneter sebesar satu standar deviasi terhadap stabilitas ekonomi makro di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 44 Gambar 52, sedangkan data lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 24. Ketika guncangan terjadi hingga triwulan pertama penawaran uang naik sedikit dari 3.36 persen menjadi 3.37 persen. Namun hal ini telah meningkatkan inflasi dari nol persen menjadi 0.23 persen pada triwulan pertama dan terus meningkat menjadi 0.33 persen pada triwulan ke-2. Kemudian inflasi turun mencapai titik rendah yaitu persen kemudian naik sedikit dan stabil pada triwulan ke-13 dalam kondisi deflasi. Guncangan kebijakan moneter awalnya menyebabkan jumlah uang

16 183 yang ditawarkan fluktuatif dan mulai stabil pada triwulan ke-12 serta akhirnya meningkatkan penawaran uang dari 3.36 persen saat guncangan menjadi 3.62 persen dalam jangka panjang Kecilnya respon penawaran uang akibat kebijakan moneter pada triwulan pertama, sedangkan inflasi meningkat relatif tajam menyebabkan naiknya suku bunga nominal sehingga suku bunga riil juga meningkat dari 0.08 persen saat terjadi guncangan menjadi 0.03 persen pada triwulan pertama. Peningkatan suku bunga riil direspon investor dengan mengurangi investasi sehingga laju investasi menurun. Demikian juga sebaliknya jika terjadi penurunan suku bunga investor meningkatkan investasinya. Perilaku demikian hanya berlaku hingga triwulan ketiga karena fluktuasi suku bunga relatif tinggi. Setelah itu fluktuasi suku bunga relatif mengecil dan pengaruhnya tidak signifikan terhadap perilaku investasi. Fluktuasi suku bunga mulai stabil pada triwulan ke-13 hingga stabil dalam jangka panjang. Naiknya suku bunga pada triwulan pertama meningkatkan kapital inflow akibatnya nilai tukar mengalami apresiasi. Nilai tukar yang terapresiasi ini berperan mengendalikan inflasi. Walau pada dua triwulan pertama kebijakan moneter menyebabkan meningkatnya inflasi namun dalam jangka panjang pengaruhnya dapat meningkatkan nilai tukar rupiah sehingga inflasi menjadi terkendali. Dalam jangka panjang guncangan kebijakan moneter menyebabkan rupiah terapresiasi dan mulai stabil pada triwulan ke-10 hingga stabil pada 3.92 persen. Inflasi yang meningkat tajam hingga triwulan ke-2 menyebabkan daya saing produk ekspor menurun. Hal ini terlihat dari nilai tukar yang menguat sehingga neraca perdagangan juga menurun dari surplus juta USD menjadi defisit juta USD. Defisit terus berlanjut dan mulai stabil pada triwulan ke-8 hingga jangka panjang stabil pada juta USD.

17 184 Defisit neraca perdagangan menyebabkan PDB kontraksi pada triwulan pertama namun meningkat kembali hinga triwulan ke-4 dan sedikit menurun pada triwulan ke-5 kemudian meningkat kembali dan stabil pada triwulan ke-13, namun masih tetap kontraksi. Turunnya neraca perdagangan sedangkan penawaran uang meningkat memberi peluang untuk meningkatkan aktivitas ekonomi domestik khususnya sektor konsumsi domestik. Konsumsi domestik ini mampu meningkatkan PDB. Akan tetapi peningkatan PDB yang disebabkan oleh bukan sektor produksi karena terlihat kecenderungan investasi yang menurun dan mulai stabil pada triwulan ke-11. Penurunan investasi menyebabkan angka pengangguran meningkat dan mulai stabil pada triwulan ke-8. Untuk mengendalikan inflasi biasanya jika BI melakukan penyuntikan dana ke pasar selalu diikuti oleh sterilisasi dalam bentuk lainnya. Dengan demikian guncangan kebijakan moneter dapat menyebabkan dana untuk kebijakan harga pangan menurun. Hal ini terus berlanjut hingga triwulan kedua. Namun demikian karena kebijakan moneter juga menyebabkan inflasi hingga triwulan ke-2 maka dana untuk kebijakan harga pangan ditingkatkan sebagai reaksi terhadap inflasi. Akan tetapi pada triwulan ke-3 dan seterusnya inflasi mengalami penurunan hingga stabil pada persen. Kondisi demikian direaksi oleh kebijakan harga dengan menurunkan dana untuk dukungan kebijakan harga dan sedikit meningkat sebelum mulai stabil pada triwulan ke-10. Peningkatan penawaran uang melalui kebijakan moneter bertujuan untuk meningkatkan aktivitas perekonomian. Namun dalam jangka pendek meningkatkan inflasi sehingga daya saing produk ekspor menurun dan menurunkan neraca perdagangan. Akibatnya PDB mengalami kontraksi. Dalam jangka panjang kebijakan tersebut mampu meningkatkan aktivitas ekonomi khususnya sektor konsumsi bukan

18 185 di investasi dan mampu meningkatkan PDB tetapi tidak mengurangi pengangguran, bahkan sebaliknya. Dari temuan ini disimpulkan bahwa kebijakan moneter mampu menurunkan inflasi, namun belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tidak mampu mengurangi pengangguran dan tidak mengurangi defisit perdagangan. Jika pemanfaatan uang beredar mampu menggerakkan sektor riil dari sisi investasi diduga kebijakan moneter juga mampu mengatasi masalah pengangguran dan defisit perdagangan luar negeri. Untuk mencapai kinerja ekonomi yang baik perlu didukung oleh kebijakan yang mampu meningkatkan kinerja sektor riil Respon Penawaran Uang Gambar 44. Respon Penawaran Uang terhadap Guncangan Kebijakan Moneter Respon Inflasi Gambar 45. Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Moneter

19 186 Respon Suku Bunga Bank Gambar 46. Respon Suku Bunga terhadap Guncangan Kebijakan Moneter 0.00 Respon Nilai Tukar Gambar 47. Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Kebijakan Moneter 0.06 Respon Pengangguran Gambar 48. Respon Pengangguran terhadap Guncangan Kebijakan Moneter

20 Respon PDB Gambar 49. Respon PDB terhadap Guncangan Kebijakan Moneter 0.15 Respon Investasi Gambar 50. Respon Investasi terhadap Guncangan Kebijakan Moneter Respon Neraca Perdagangan Gambar 51. Respon Neraca Pedagangan terhadap Guncangan Kebijakan Moneter

21 Respon Kebijakan Harga Pangan Gambar Respon Kebijakan Harga Pertanian terhadap Guncangan Kebijakan Moneter 7.4. Respon Dinamik Variabel Ekonomi Makro terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan Guncangan kebijakan perdagangan dapat disebabkan oleh menurunnya nilai impor, meningkatnya nilai ekspor, keduanya meningkat tapi peningkatan nilai ekspor lebih besar dari nilai impor, atau keduanya menurun tapi penurunan nilai impor lebih besar dari nilai ekspor. Pengaruh guncangan kebijakan perdagangan sebesar satu standar deviasi terhadap stabilitas ekonomi makro di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 53 Gambar 61, sedangkan data lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 25. Pada saat terjadi guncangan neraca perdagangan mengalami surplus 742 juta USD. Dampak surplus BOT menyebabkan rupiah terapresiasi hingga nilai tertinggi pada triwulan ke-2. Menguatnya rupiah menyebabkan ekspor menurun atau impor meningkat sehingga surplus neraca perdagangan menurun hinga triwulan ke-2. Penurunan surplus ini kembali melemahkan nilai tukar hingga puncaknya pada triwulan ke-5. Keduanya saling mempengaruhi hingga neraca perdagangan mulai stabil pada triwulan ke-11 dan nilai tukar mulai stabil pada triwulan ke 11. Penguatan nilai tukar yang cukup tajam hingga triwulan ke-2 direspon BOT hingga triwulan ke-3. Demikian juga peningkatan BOT antara triwulan 3-4

22 189 direspon menguatnya rupiah hinggga triwulan ke-5. Terlihat adanya lag waktu saat keduanya saling mempengaruhi, namun pada pergerakan dengan osilasi yang lebih kecil pada triwulan berikutnya tidak terjadi lag waktu. Bagaimana kebijakan perdagangan tersebut dilakukan sehingga mampu meningkatkan BOT. Hasil analisis menunjukkan bahwa meningkatnya BOT akibat adanya penurunan penawaran uang sampai triwulan ke-2 sehingga inflasi menjadi menurun. Penurunan inflasi meningkatkan daya saing sehingga ekspor meningkat dan menyebabkan BOT surplus. Namun seperti diutarakan sebelumnya surplus BOT ini menyebabkan rupiah terapresiasi. Untuk menjaga kestabilan ekonomi otoritas moneter mengendalikan jumlah penawaran uang hingga BOT, nilai tukar, dan inflasi cenderung stabil. Kestabilan tersebut mulai tercapai saat jumlah uang beredar mulai stabil pada triwulan ke-18. Guncangan kebijakan perdagangan yang didukung oleh pengendalian uang beredar awalnya menurunkan inflasi. Reaksi kebijakan harga pangan akibat penurunan inflasi adalah menurunkan dana yang digunakan hingga triwulan ke-2 untuk kebijakan tersebut. Melambatnya penurunan inflasi antara triwulan 2 3 diantisipasi dengan meningkatkan dana untuk kebijakan harga pangan. Demikian juga ketika inflasi terus naik hingga mencapai puncak pada triwulan ke-7, walaupun terjadi osilasi pemerintah tetap mengantisipasi dengan kebijakan harga pangan. Osilasi ini dapat disebabkan oleh sumber dana yang tersedia dan kondisi inflasi itu sendiri, hingga akhirnya mulai stabil pada triwulan ke-14. Namun demikian, dalam jangka panjang kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi kebijakan harga pangan. Di pasar uang dinamika suku bunga riil mengikuti dinamika inflasi. Penuruan inflasi mencapai titik terendah pada triwulan ke-3 diikuti kenaikan suku bunga tertinggi pada triwulan yang sama demikian seterusnya hingga mulai stabil pada

23 190 triwulan ke-19 dan dalam jangka panjang terjadi peningkatan suku bunga menjadi 0.24 persen. Dinamika suku bunga dikuti pula oleh dinamika investasi. Pada triwulan pertama naiknya suku bunga 0.11 persen dikuti dengan penurunan investasi persen. Pada triwulan berikutnya suku bunga masih naik tetapi justru investasi juga naik Artinya osilasi yang terjadi pada investasi waktunya lebih pendek dibandingkan dengan osilasi yang terjadi pada suku bunga. Fenomena ini mengindikasikan bahwa investasi tidak hanya dipengaruhi oleh suku bunga tetapi ada faktor lain, adalah stabilitas sosial poltik suatu negara. Guncangan kebijakan perdagangan yang menyebabkan BOT surplus meningkatkan pertumbuhan PDB hingga 0.71 persen pada triwulan ke-3. Namun karena kenaikan ini tidak banyak didukung oleh sektor riil, karena disisi lain investasi cenderung turun, PDB kontraksi kembali hingga 0.18 persen dan mulai stabil pada triwulan ke-13. Peningkatan PDB yang tidak didukung kenaikan investasi menyebabkan angka pengangguran meningkat hingga stabil menjadi 1.66 persen. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keseimbangan akhir akibat kebijakan perdagangan menyebabkan BOT surplus, pertumbuhan ekonomi yang diikuti inflasi namun tidak mampu menurunkan tingkat pengangguran. Peningkatan BOT dapat disebabkan penurunan impor atau peningkatan ekspor akibat melemahnya nilai tukar. Penurunan impor dapat terjadi karena pemerintah mengenakan tarif impor,melalui kebijakan nilai tukar, pada produk pangan hingga menurunkan nilai impor. Jika demikian dapat ditafsirkan bahwa kebijakan pengenaan tarif pada produk pangan impor menyebabkan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi tersebut belum mampu mengurangi pengangguran. Untuk mengatasi masalah pengangguran diperlukan penciptaan iklim investasi yang kondusif untuk menggerakkan sektor riil dan menciptakan kesempatan kerja.

24 Respon Nerca Perdagangan Gambar 53. Respon Neraca Perdagangan terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan Respon Nilai Tukar Gambar 54. Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan Respon Inflasi Gambar 55. Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan

25 192 Respon Kebijakan Harga Pangan Gambar 56. Respon Kebijakan Harga Pangan terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan Respon PDB Gambar 57. Respon PDB terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan Respon Pengangguran Gambar 58. Respon Pengangguran terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan

26 Respon Penawaran Uang Gambar 59. Respon Penawaran Uang terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan 0.5 Respon Suku Bunga Gambar 60. Respon Suku Bunga terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan 0.00 Respon Investasi Gambar 61. Respon Ivestasi terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan

27 194 Tiga guncangan ekonomi yang disebabkan kebijakan harga pangan, kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan mempunyai kelebihan dan kekurangan (Tabel 25). Kelebihan kebijakan harga pangan tidak menyebabkan naiknya tingkat pengangguran namun menyebabkan kontraksi ekonomi. Kontraksi ekonomi dapat dihindari jika kebijakan harga pangan yang dilakukan didukung oleh produksi dalam negeri. Selama ini kebijakan tersebut banyak didukung oleh produk impor baik berupa impor pangan maupun sarana produksi. Hal tersebut menyebabkan BOT defisit sehingga PDB kontraksi. Jika kebijakan harga pangan lebih didukung oleh produksi dalam negeri, ini berarti terjadi pengurangan impor sehingga nilai ekspor lebih besar dari nilai impor. Kebijakan perdagangan yang mengurangi impor menyebabkan BOT surplus sehingga PDB mengalami ekspansi, namun pengangguran dan inflasi menjadi meningkat. Tabel 25. Dampak Kebijakan Harga Pangan, Moneter, dan Perdagangan terhadap Keseimbangan Ekonomi Makro dalam Jangka Panjang No Kebijakan 1 Kebijakan Harga Pangan (meningkat) 2 Kebijakan Moneter (ekspansi) 3 Kebijakan Perdagangan (penurunan impor) Dampak terhadap Indikator Kunci Ekonomi Makro PDB kontraksi Inflasi BOT defisit Pengangguran stabil PDB kontraksi Deflasi BOT defisit Pengangguran naik PDB ekspansi Inflasi BOT surplus Pengangguran naik Dampak kebijakan moneter menyebabkan keseimbangan jangka panjang mengalami kontraksi, pengangguran meningkat, BOT defisit, dan deflasi. Hasil ini sesuai dengan mandat Bank Indonesia (2006), yaitu memelihara kestabilan nilai rupiah melalui kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem

28 195 pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank. Kebijakan moneter tersebut dilakukan untuk mengendalikan laju inflasi. Selanjutnya dikatakan bahwa bukti-bukti empiris menunjukan dalan jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi tingkat inflasi dan tidak dapat mempengaruhi variabel riil, seperti pertumbuhan output ataupun tingkat pengangguran. Tabel 25 memperlihatkan dampak ketiga kebijakan terhadap keseimbangan jangka panjang yang sifatnya kualitatif dan belum menggambarkan apakah kebijakan tersebut menyebabkan instabilitas ekonomi makro. Untuk melihat dampak kebijakan terhadap stabilitas ekonomi makro diperlukan ukuran-ukuran kuantitatif. Ada empat ukuran yang digunakan dalam melihat dampak kebijakan terhadap stabilitas. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Dampak Kebijakan Harga Pangan, Moneter dan Perdagangan terhadap Stabilitas Ekonomi Makro Kebijakan Variabel Ekonomi Makro Waktu mencapai stabil (triwulan) Ukuran Stabilitas Perbedaan dampak maksimum dan minimum (%) Perbedaan petumbuhan awal dan akhir (%) Koefisien Variasi 1. Kebijakan Harga Pangan (meningkat) 1. Inflasi 2. PDB 3. BOT 4. UNM (0-5) 0.86 (2-4) 62* (0-1) 1.23 (2-7) Kebijakan Moneter (ekspansi) 1. Inflasi 2. PDB 3. BOT 4. UNM (2-5) 0.58 (1-4) 492* (0-3) 4.79 (0-4) Kebijakan Perdagangan (penurunan impor) 1. Inflasi 2. PDB 3. BOT 4. UNM (3-7) 0.71 (0-3) 506* (0-3) 1.58 (0-4) Keterangan : Diolah dari Gambar dan Lampiran * dalam Juta USD. + diperoleh saat pertumbuhan triwulan ke-1 ke-2 dan triwulan saat akan mencapai stabil. (n): angka dalam kurung menunjukkan periode titik maksimum-minimum terpanjang. BOT=neraca perdagangan; PDB: Produk Domestik Bruto; UNM : pengangguran

29 196 Ukuran pertama yaitu waktu yang dibutuhkan hingga dampak guncangan mulai stabil (kolom tiga Tabel 26). Dari tiga kebijakan terlihat bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai stabil relatif sama yaitu berkisar 8-14 triwulan atau tahun. Waktu ini menjadi penting jika fluktuasi yang terjadi cukup tajam atau panjang gelombang (jarak titik maksimum dan minimum) yang terjadi cukup besar. Kolom empat pada Tabel 26 memperlihatkan ukuran kedua dalam menentukan stabilitas yaitu perbedaan antara pertumbuhan pada saat mencapai titik maksimum dan titik minimum. Secara umum ketiga kebijakan tidak menyebabkan instabilitas pada variabel kunci ekonomi makro dengan perbedaan jarak titik maksimum dan minimum antara persen, kecuali pada neraca perdagangan perbedaan tersebut cukup besar. Ukuran ketiga adalah dampak kebijakan terhadap perbedaan pertumbuhan saat awal dan akhir (kolom lima Tabel 26). Sama seperti ukuran sebelumnya, secara umum ketiga kebijakan tidak menyebabkan instabilitas pada variabel kunci ekonomi makro dengan perbedaan persen, kecuali pada neraca perdagangan perbedaan tersebut cukup besar. Ukuran keempat adalah koefisien variasi 1. Secara relatif nilai koefisien variasi variabel kunci ekonomi makro yang diakibatkan guncangan kebijakan harga pangan memiliki nilai kecil dibandingkan koefisien variasi variabel kunci ekonomi makro yang diakibatkan guncangan kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan. Indikasi ini makin mendukung bahwa dampak kebijakan harga pangan tidak menyebabkan instabilitas ekonomi makro. Temuan ini sama dengan penelitian Kannapiran (2000), skim stabilitas harga komoditas dapat mengurangi instabilitas ekonomi makro, tetapi pada beberapa tinjauan hasil penelitian sebelumnya ada yang menciptakan sedikit fluktuasi, khususnya pada balance of 1 cv=sd/rataan

30 197 payment (BOP). Secara relatif nilai koefisien variasi inflasi dan PDB akibat dampak kebijakan harga pangan lebih kecil dari dua kebijakan lainnya. Hasil tersebut dapat saja berbeda antar negara karena perbedaan sistem pemerintahan sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil juga berbeda. Pernyataan ini sesuai dengan hasil simulasi Gylfason (1990) yang menunjukkan bahwa hasil kebijakan endogenus dapat memiliki perbedaan yang mendasar sesuai dengan tipe pemerintahan, yaitu konservatif, liberal, atau netral. Studi Gunawan (1991) di Indonesia menunjukkan bahwa ketatnya pengaturan harga di Indonesia menyebabkan berkurangnya ketidakstabilan ekonomi makro Faktor-faktor yang Menentukan Kebijakan Harga Pangan dan Stabilitas Ekonomi Makro Salah satu tujuan utama penelitian ini adalah ingin menjawab apakah kebijakan harga pangan yang dilakukan akibat adanya gangguan suplai, baik posistif maupun negatif, mampu meredam instabilitas ekonomi makro. Hal tersebut dalam model ini diterjemahkan sebagai berapa besar peran kebijakan tersebut dalam menjelaskan variabilitas variabel-variabel ekonomi makro. Makin besar perannya berarti kebijakan harga pangan dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi makro. Untuk memperjelas permasalahan, penelitian ini juga akan menjawab variabel apa saja yang berperan terhadap variabel-variabel ekonomi makro. Untuk mengetahui besarnya peran setiap guncangan (shocks) dalam menjelaskan variabilitas variabel ekonomi makro dianalisis dengan menggunakan teknik dekomposisi ragam kesalahan peramalan yang diorthogonalisasi (Orthogonalized forecast error variance decomposition-fevd). Hasil pendugaan dekomposisi ragam kesalahan peramalan dapat dilihat pada Tabel 27.

31 Faktor-faktor yang Menentukan Kebijakan Harga Pangan Hasil analisis menunjukkan bahwa pada saat awal dilakukan kebijakan harga pangan, variabilitas kebijakan harga pangan dijelaskan oleh guncangan kebijakan harga pangan itu sendiri yaitu 99.98%. Variabel lain yang mampu menjelaskannya hanya inflasi itupun hanya 0.02%. Akan tetapi semakin lama inflasi semakin menentukan hingga dalam jangka panjang peran inflasi terhadap kebijakan harga pangan mencapai 28.15% dan kebijakan harga pangan itu sendiri perannya makin menurun menjadi 47.05% (Tabel 27). Salah satu bentuk kebijakan harga pangan adalah dana kredit pertanian. Besarnya dana yang terserap antara lain ditentukan oleh tingkat suku bunga. Kaitan tersebut terlihat sejak triwulan kedelapan dimana variabilitas kebijakan harga dijelaskan 4.00% oleh suku bunga hingga dalam jangka panjang mencapai 6.71%. Sejak triwulan keempat investasi menjelaskan 4.44% variabilitas kebijakan harga pangan sampai jangka panjang mencapai 8.90%. Investasi yang mendukung kebijakan harga pangan antara lain adalah investasi dalam industri pupuk. Dari temuan tersebut disimpulkan bahwa sesuai dengan tujuan kebijakan harga pangan yaitu secara mikro mampu meningkatkan ketersediaan pangan untuk mendukung ketahanan pangan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya kebijakan harga pangan menjelaskan dirinya sendiri. Ini dapat ditafsirkan bahwa dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan terutama karena sangat terkait dengan stabilitas sosial, pemerintah yang berkuasa tetap memiliki perhatian yang penting terhadap ketahanan pangan dengan tidak banyak memperhitungkan aspek makro. Aspek makro yang menentukan kebijakan harga pangan adalah inflasi. Artinya kebijakan harga pangan dilakukan sebagai reaksi untuk menstabilkan inflasi. Hal ini ditunjukkan oleh peran inflasi menjelaskan variabilitas kebijakan harga pangan. Sebaliknya, kebijakan harga pangan, walaupun lebih kecil, juga memberikan

32 199 peran terhadap inflasi sehingga dapat dikatakan adanya hubungan kausalitas antara inflasi dan kebijakan harga pangan. Hasil ini sesuai dengan hasil studi Suparmin (2005) dimana pada masa Perintahan Orde Baru kenaikan harga beras signifikan pengaruhnya terhadap kenaikan jumlah operasi pasar murni. Bulog melakukan operasi pasar murni bila ada sinyal kenaikan harga beras di tingkat konsumen. Sebaliknya tidak ada pengaruh OPM terhadap penurunan harga beras di konsumen Faktor-faktor yang Menetukan Stabilitas Ekonomi Makro Dalam jangka pendek guncangan tingkat harga sepenuhnya menjelaskan variabilitas inflasi. Guncangan lain yang memberikan peran cukup tinggi adalah guncangan nilai tukar 6.85% pada triwulan kedua kemudian makin meningkat hingga dalam jangka panjang mencapai 53.04% melampaui peran dari tingkat harga itu sendiri yang hanya 34.73%. Temuan ini menunjukkan bahwa ke depan perekonomian Indonesia semakin terbuka. Pada perekonomian yang semakin terbuka volume perdagangan semakin meningkat sehingga tingkat inflasi domestik ditentukan oleh kestabilan nilai tukar. Hasil ini senada dengan pendapat Bank Indonesia (2002) dan Hartati (2004) yang menyatakan pengaruh depresiasi nilai tukar ke inflasi sangat kuat terjadi sejak berlakunya sistem nilai tukar mengambang bebas. Dengan rezim nilai tukar floating managed, nilai tukar tidak dapat secara langsung dikendalikan untuk menstabilkan inflasi. Tabel 27 menunjukkan pengendalian nilai tukar dapat dilakukan dengan kebijakan moneter. Artinya kebijakan moneter memberikan pengaruh tak langsung terhadap pengendalian inflasi melalui nilai tukar. Hal ini dapat dilihat dari besarnya pengaruh guncangan kebijakan moneter terhadap variabilitas nilai tukar. Selanjutnya, sejak triwulan keempat nilai tukar mampu menjelaskan variabilitas inflasi yang cukup tinggi yaitu 34.48% dan

33 200 dalam jangka panjang meningkat menjadi 53.04%. Perilaku demikian sesuai dengan pendapat Svensson (2000) pengaruh suatu guncangan terhadap variabel lain dapat secara langsung (direct pass through) maupun secara tidak langsung (indirect pass through). Guncangan lain yang mempengaruhi inflasi adalah guncangan kebijakan harga pangan. Namun guncangan kebijakan harga pangan pengaruhnya baru terjadi pada triwulan keempat dan hanya menjelaskan 3.52% kemudian dalam jangka panjang menjadi 5.75%. Dari hasil sebelumnya terlihat bahwa antara inflasi dan kebijakan harga pangan saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa pengendalian inflasi sangat efektif dilakukan melalui pengendalian nilai tukar dengan melakukan kebijakan moneter, sedangkan kebijakan harga pangan pengaruhnya kurang signifikan dalam melakukan pengendalian inflasi. Namun dalam praktek harga pangan secara psikologis dapat mempengaruhi inflasi. Pengendalian inflasi yang disebabkan naiknya harga pangan dapat dilakukan melalui kebijakan harga pangan. Dalam jangka pendek guncangan output mampu menjelaskan 71.29% terhadap variabilitas PDB. Guncangan lain yang memberikan peran cukup berarti adalah inflasi dan nilai tukar. Dari sisi penawaran, naiknya harga-harga memicu pengusaha untuk berproduksi. Sebaliknya dari sisi permintaan naiknya harga akan menurunkan ekspor dan konsumsi domestik. Ketiga faktor tersebut akhirnya akan mempengaruhi PDB. Nilai tukar mempengaruhi PDB melalui perdagangan luar negeri. Makin menguat nilai tukar neraca perdagangan akan semakin menurun dan sebaliknya. Dalam jangka panjang, variabilitas PDB dijelaskan oleh guncangan output sebesar 35.96%, guncangan tingkat harga 30.63%, nilai tukar 22.11% dan kebijakan harga pangan 7.86%. Peran inflasi cukup efektif menentukan variabilitas PDB. Sama

34 201 seperti pengendalian inflasi, upaya untuk meningkatkan pertumbuhan PDB dapat dilakukan melalui kebijakan moneter. Kebijakan ini akan mempengaruhi nilai tukar dan selanjutnya mempengaruhi inflasi dan PDB. Guncangan lain yang mempengaruhi variabilitas PDB adalah guncangan kebijakan harga pangan. Namun pengaruhnya tidak seefektif kebijakan moneter. Guncangan kebijakan harga pangan mulai berperan sejak triwulan keempat. Perilaku ini sama seperti kebijakan harga pangan mempengaruhi inflasi. Dari temuan ini disimpulkan bahwa kebijakan moneter secara tidak langsung efektif mempengaruhi PDB, sedangkan kebijakan harga pangan pengaruhnya kurang efektif. Guncangan terhadap penurunan kesempatan kerja mampu menjelaskan 98.04% variabilitas pengangguran. Guncangan lain yang mampu menjelaskan variabilitas pengangguran adalah kebijakan moneter. Dibandingkan pengaruhnya terhadap inflasi dan PDB, kebijakan moneter memberikan pengaruh langsung terhadap tingkat pengangguran melalui meningkatnya penawaran uang untuk meningkatkan aktivitas ekonomi yang menentukan penyerapan tenaga kerja. Sementara itu guncangan kebijakan harga pangan baik langsung maupun tidak langsung tidak memberikan peran yang berarti dalam menentukan variabilitas pengangguran. Dengan demikian kebijakan harga pangan tidak efektif mempengaruhi tingkat pengangguran. Hasil analisis sebelumnya menunjukkan bahwa kebijakan harga pangan yang kurang signifikan pengaruhnya terhadap PDB dan Inflasi tidak mampu ditranmisikan ke tingkat pengangguran. Karena kedua variabel itu tidak berperan mentukan variabilitas tingkat pengangguran Variabel ekonomi makro yang penting lainnya adalah neraca perdagangan. Guncangan kebijakan perdagangan dalam jangka pendek mampu menjelaskan variabilitas neraca perdagangan sebesar 78.09% dan guncangan nilai tukar yaitu 9.15%, sedangkan guncangan lain tidak memberikan peran berarti. Dalam jangka

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Guncangan (shock) dalam suatu perekonomian adalah suatu keniscayaan. Terminologi ini merujuk pada apa-apa yang menjadi penyebab ekspansi dan kontraksi atau sering juga

Lebih terperinci

VII. DAMPAK GUNCANGAN DOMESTIK TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA

VII. DAMPAK GUNCANGAN DOMESTIK TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA 87 VII. DAMPAK GUNCANGAN DOMESTIK TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA 7.1 Dinamika Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan Domestik 7.1.1 Guncangan Penawaran (Output) Guncangan penawaran dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin lama semakin tak terkendali. Setelah krisis moneter 1998, perekonomian Indonesia mengalami peningkatan

Lebih terperinci

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani 70, Bogor. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Jl. Raya Pajajaran, Bogor ABSTRACT

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani 70, Bogor. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Jl. Raya Pajajaran, Bogor ABSTRACT DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI MAKRO Impact of Food Price Policy and Monetary Policy on Macro Economic Stability Nyak Ilham 1 dan Hermanto Siregar 2 1 Pusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makro adalah pandangan bahwa sistem pasar bebas tidak dapat mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. makro adalah pandangan bahwa sistem pasar bebas tidak dapat mewujudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan perekonomian setiap negara tidak selalu stabil, tetapi berubahubah akibat berbagai masalah ekonomi yang timbul. Salah satu aspek penting dari kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah

I. PENDAHULUAN. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah diterapkannya kebijakan sistem nilai tukar mengambang bebas di Indonesia pada tanggal 14 Agustus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai perekonomian terbuka kecil, perkembangan nilai tukar merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. Pengaruh nilai tukar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis dampak..., Wawan Setiawan..., FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis dampak..., Wawan Setiawan..., FE UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pesatnya perkembangan ekonomi dunia dewasa ini berimplikasi pada eratnya hubungan satu negara dengan negara yang lain. Arus globalisasi ekonomi ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kurs (Nilai Tukar) a. Pengertian Kurs Beberapa pengertian kurs di kemukakan beberapa tokoh antara lain, menurut Krugman (1999) kurs atau exchange rate adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara, terutama untuk negara-negara yang sedang berkembang. Peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia dewasa ini ditandai dengan semakin terintegrasinya perekonomian antar negara. Indonesia mengikuti perkembangan tersebut melalui serangkaian

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. motor penggerak perekonomian nasional. Perdagangan internasional dapat

BAB I PENDAHULUAN. motor penggerak perekonomian nasional. Perdagangan internasional dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional mempunyai peranan sangat penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional. Perdagangan internasional dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum angka inflasi yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan harga dan perubahan nilai dapat dipakai sebagai informasi dasar dalam pengambilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) untuk mencapai tujuannya yaitu

I. PENDAHULUAN. kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) untuk mencapai tujuannya yaitu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini dipersiapkan dan dilaksanakan untuk menganalisis penerapan kebijakan moneter berdasarkan dua kerangka perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter Bank

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, investasi yang dapat meningkatkan barang modal,

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, investasi yang dapat meningkatkan barang modal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian negara dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan tersebut muncul dari faktor internal maupun faktor eksternal. Namun saat ini, permasalahan

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Penelitian ini menyajikan faktor faktor ekonomi yang mempengaruhi

VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Penelitian ini menyajikan faktor faktor ekonomi yang mempengaruhi 112 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Penelitian ini menyajikan faktor faktor ekonomi yang mempengaruhi pergerakan atau fluktuasi nilai tukar, seperti sukubunga dunia, industrial production

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 85 BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi serta menelaah perbedaan pengaruh faktor-faktor tersebut pada masa

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam 219 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan 8.1.1. Berdasarkan pengujian, diperoleh hasil bahwa guncangan ekspor nonagro berpengaruh positip pada kinerja makroekonomi Indonesia, dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin bertambah tinggi dalam kondisi perekonomian global seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. semakin bertambah tinggi dalam kondisi perekonomian global seperti yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kompleksitas sistem pembayaran dalam perdagangan internasional semakin bertambah tinggi dalam kondisi perekonomian global seperti yang berkembang akhir-akhir ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih terbuka (openness). Perekonomian terbuka dalam arti dimana terdapat

BAB I PENDAHULUAN. lebih terbuka (openness). Perekonomian terbuka dalam arti dimana terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Globalisasi ekonomi mendorong perekonomian suatu negara ke arah yang lebih terbuka (openness). Perekonomian terbuka dalam arti dimana terdapat aktivitas perdagangan

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP,

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP, V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP, selisih tingkat suku bunga, selisih inflasi dan selisih neraca pembayaran terhadap kurs

Lebih terperinci

VI. DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA

VI. DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA 69 VI. DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA 6.1 Dinamika Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan Eksternal Impulse Response Function (IRF) digunakan untuk menganalisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki karakteristik perekonomian yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki karakteristik perekonomian yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang memiliki karakteristik perekonomian yang tidak berbeda jauh dengan negara sedang berkembang lainnya. Karakteristik perekonomian tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah sektor riil dalam pembahasan mengenai ekonomi makro menggambarkan kondisi perekonomian dipandang dari sisi permintaan dan penawaran barang dan jasa. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah)

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam beberapa dekade terakhir, perekonomian Indonesia telah menunjukkan integrasi yang semakin kuat dengan perekonomian global. Keterkaitan integrasi ekonomi

Lebih terperinci

Indeks Nilai Tukar Rupiah 2000 = 100 BAB 1 PENDAHULUAN

Indeks Nilai Tukar Rupiah 2000 = 100 BAB 1 PENDAHULUAN 1990Q1 1991Q1 1992Q1 1993Q1 1994Q1 1995Q1 1996Q1 1997Q1 1998Q1 1999Q1 2000Q1 2001Q1 2002Q1 2003Q1 2004Q1 2005Q1 2006Q1 2007Q1 2008Q1 2009Q1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator penting

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. time series. Data time series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. time series. Data time series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit 48 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Uji Kestasioneritasan Data Uji stasioneritas data dilakukan pada setiap variabel yang digunakan pada model. Langkah ini digunakan untuk menghindari masalah regresi lancung

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA 5.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja moneter difokuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Mekanisme transmisi kebijakan moneter didefenisikan sebagai jalur yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Mekanisme transmisi kebijakan moneter didefenisikan sebagai jalur yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mekanisme transmisi kebijakan moneter didefenisikan sebagai jalur yang dilalui oleh sebuah kebijakan moneter untuk mempengaruhi kondisi perekonomian, terutama

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya. Kemudian, akan

BAB V PENUTUP. penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya. Kemudian, akan BAB V PENUTUP Sebagai penutup dari skripsi ini, akan disajikan kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya. Kemudian, akan disampaikan pula saran yang didasarkan pada hasil kesimpulan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di dalam negeri maupun di tingkat dunia

Lebih terperinci

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 49 IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 4.1 Produk Domestik Bruto (PDB) PDB atas dasar harga konstan merupakan salah satu indikator makroekonomi yang menunjukkan aktivitas perekonomian agregat suatu negara

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Meningkatnya peran perdagangan internasional dibandingkan dengan. perdagangan domestik merupakan salah satu ciri yang menandai semakin

I.PENDAHULUAN. Meningkatnya peran perdagangan internasional dibandingkan dengan. perdagangan domestik merupakan salah satu ciri yang menandai semakin I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya peran perdagangan internasional dibandingkan dengan perdagangan domestik merupakan salah satu ciri yang menandai semakin berkembangnya globalisasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor utama dalam perekonomian Negara tersebut. Peran kurs terletak pada nilai mata

BAB I PENDAHULUAN. sektor utama dalam perekonomian Negara tersebut. Peran kurs terletak pada nilai mata BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nilai mata uang Rupiah dan perbandingan dengan nilai mata uang acuan internasional yaitu Dollar Amerika, merupakan salah satu gambaran pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana dan kekurangan dana (Mishkin, 2009). Bank memiliki peranan

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana dan kekurangan dana (Mishkin, 2009). Bank memiliki peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank merupakan lembaga keuangan yang menerima simpanan dan membuat pinjaman serta sebagai lembaga perantara interaksi antara pihak yang kelebihan dana dan kekurangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya di dalam pembangunan nasional. Dalam konteks pembangunan nasional maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya US dollar, ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya US dollar, ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semenjak diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating system) di Indonesia pada tahun 1997, telah menyebabkan posisi nilai tukar rupiah terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Small open economic, merupakan gambaran bagi perekonomian Indonesia saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap perekonomian dunia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terlepas dari kegiatan ekonomi internasional. Kegiatan ekonomi internasional

I. PENDAHULUAN. terlepas dari kegiatan ekonomi internasional. Kegiatan ekonomi internasional I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara penganut sistem perekonomian terbuka yang tidak terlepas dari kegiatan ekonomi internasional. Kegiatan ekonomi internasional yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nilai tukar sering digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. Nilai tukar sering digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nilai tukar sering digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian suatu negara. Nilai tukar mata uang memegang peranan penting dalam perdagangan antar negara, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar kontribusi perdagangan internasional yang telah dilakukan bangsa

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar kontribusi perdagangan internasional yang telah dilakukan bangsa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perekonomian global yang terjadi saat ini sebenarnya merupakan perkembangan dari proses perdagangan internasional. Indonesia yang ikut serta dalam Perdagangan internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan ekonomi secara makro, di samping kebijakan fiskal juga terdapat kebijakan moneter yang merupakan

Lebih terperinci

Skripsi ANALISA PENGARUH CAPITAL INFLOW DAN VOLATILITASNYA TERHADAP NILAI TUKAR DI INDONESIA OLEH : MURTINI

Skripsi ANALISA PENGARUH CAPITAL INFLOW DAN VOLATILITASNYA TERHADAP NILAI TUKAR DI INDONESIA OLEH : MURTINI Skripsi ANALISA PENGARUH CAPITAL INFLOW DAN VOLATILITASNYA TERHADAP NILAI TUKAR DI INDONESIA OLEH : MURTINI 0810512077 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS Mahasiswa Strata 1 Jurusan Ilmu Ekonomi Diajukan

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur perekonomian bercorak agraris yang rentan terhadap goncangan kestabilan kegiatan perekonomian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kebijakan moneter merupakan kebijakan bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan yaitu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan estimasi yang telah dilakukan maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil uji Impulse Response Function menunjukkan variabel nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan ekonomi suatu negara pada dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan negara lain

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 56 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Metode analisis yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector Error Correction Model (VECM).

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. antar negara. Nilai tukar memainkan peran vital dalam tingkat perdagangan

I.PENDAHULUAN. antar negara. Nilai tukar memainkan peran vital dalam tingkat perdagangan I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nilai tukar atau kurs merupakan indikator ekonomi yang sangat penting karena pergerakan nilai tukar berpengaruh luas terhadap aspek perekonomian suatu negara. Saat

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. langkah yang penting sebelum mengolah data lebih lanjut. Data time series yang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. langkah yang penting sebelum mengolah data lebih lanjut. Data time series yang 60 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Uji Stasioneritas Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini akan didasarkan pada langkahlangkah yang telah dijelaskan sebelumnya pada Bab III. Langkah pertama merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector 52 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Metode analisis yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector Error Correction Model (VECM).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan

I. PENDAHULUAN. makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan moneter merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro. Kebijakan moneter ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran ekonomi makro, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian di Indonesia. Fluktuasi kurs rupiah yang. faktor non ekonomi. Banyak kalangan maupun Bank Indonesia sendiri yang

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian di Indonesia. Fluktuasi kurs rupiah yang. faktor non ekonomi. Banyak kalangan maupun Bank Indonesia sendiri yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat krisis keuangan global beberapa tahun belakan ini kurs, inflasi, suku bunga dan jumlah uang beredar seolah tidak lepas dari masalah perekonomian di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negeri, seperti tercermin dari terdapatnya kegiatan ekspor dan impor (Simorangkir dan Suseno, 2004, p.1)

BAB 1 PENDAHULUAN. negeri, seperti tercermin dari terdapatnya kegiatan ekspor dan impor (Simorangkir dan Suseno, 2004, p.1) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ekonomi internasional semakin pesat sehingga hubungan ekonomi antar negara menjadi saling terkait dan mengakibatkan peningkatan arus perdagangan barang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Secara umum perekonomian Indonesia 2005 menghadapi tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang menguntungkan, terutama meningkatnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga perekonomian

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga perekonomian masih sangat bergantung pada negara lain. Teori David Ricardo menerangkan perdagangan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Uji Stasioneritas Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji VECM, maka perlu terlebih dahulu dilakukan uji stasioneritas. Uji stationaritas yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lalu-lintas modal, dan neraca lalu-lintas moneter. perdagangan dan neraca jasa. Terdapat tiga pokok persoalan dalam neraca

BAB I PENDAHULUAN. lalu-lintas modal, dan neraca lalu-lintas moneter. perdagangan dan neraca jasa. Terdapat tiga pokok persoalan dalam neraca 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan perdagangan internasional yang dilakukan oleh suatu negara seringkali menggunakan perhitungan mengenai keuntungan dan kerugian yang dilihat dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Monetaris berpendapat bahwa inflasi merupakan fenomena moneter. Artinya,

BAB I PENDAHULUAN. Monetaris berpendapat bahwa inflasi merupakan fenomena moneter. Artinya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan moneter dan kebijakan fiskal memiliki peran utama dalam mempertahankan stabilitas makroekonomi di negara berkembang. Namun, dua kebijakan tersebut menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, perekonomian Indonesia sudah mengalami perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan melakukan kebijakan deregulasi.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Uji Pra Estimasi Uji Akar Unit (Unit Root Test) Pada penerapan analisis regresi linier, asumsi-asumsi dasar yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Uji Pra Estimasi Uji Akar Unit (Unit Root Test) Pada penerapan analisis regresi linier, asumsi-asumsi dasar yang 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Uji Pra Estimasi 4.1.1. Uji Akar Unit (Unit Root Test) Pada penerapan analisis regresi linier, asumsi-asumsi dasar yang telah ditentukan harus dipenuhi. Salah satu asumsi

Lebih terperinci

KAUSALITAS INFLASI DAN KURS DI INDONESIA Mirza Winanda 1, Chenny Seftarita 2* Abstract

KAUSALITAS INFLASI DAN KURS DI INDONESIA Mirza Winanda 1, Chenny Seftarita 2* Abstract KAUSALITAS INFLASI DAN KURS DI INDONESIA Mirza Winanda 1, Chenny Seftarita 2* 1) Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Email: Mirza.winanda38@gmail.com 2)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang penuh/ bebas

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang penuh/ bebas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sejak diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang penuh/ bebas (freely floating system) yang dimulai sejak Agustus 1997, posisi nilai tukar rupiah terhadap mata uang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Uang merupakan alat pembayaran yang secara umum dapat diterima oleh

I. PENDAHULUAN. Uang merupakan alat pembayaran yang secara umum dapat diterima oleh 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uang merupakan alat pembayaran yang secara umum dapat diterima oleh masyarakat. Dalam kehidupannya, manusia memerlukan uang untuk melakukan kegiatan ekonomi, karena uang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional sangatlah diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi

I. PENDAHULUAN. nasional sangatlah diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang masih memiliki tingkat kesejahteraan penduduk yang relatif rendah. Oleh karena itu kebutuhan akan pembangunan nasional sangatlah diperlukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kestasioneran data diperlukan pada tahap awal data time series

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kestasioneran data diperlukan pada tahap awal data time series IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengujian Pra Estimasi 4.1.1. Kestasioneran Data Pengujian kestasioneran data diperlukan pada tahap awal data time series untuk melihat ada tidaknya unit root yang terkandung

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,Triwulan III - 2005 135 ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2005 Tim Penulis

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. mengandung akar-akar unit atau tidak. Data yang tidak mengandung akar unit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. mengandung akar-akar unit atau tidak. Data yang tidak mengandung akar unit 32 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Estimasi VAR 4.1.1 Uji Stasioneritas Uji kestasioneran data pada seluruh variabel sangat penting dilakukan untuk data yang bersifat runtut waktu guna mengetahui apakah

Lebih terperinci

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA 4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia 4.1.1. Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar Uang primer atau disebut juga high powered money menjadi sasaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan tersebut atau lebih dikenal dengan perdagangan internasional.

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan tersebut atau lebih dikenal dengan perdagangan internasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu negara yang memiliki rasa ketergantungan dari negara lainnya, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dirasa tidaklah mencukupi, apabila hanya mengandalkan sumber

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. riil, dan meningkatnya lapangan kerja sehingga mengurangi pengangguran.

BAB 1 PENDAHULUAN. riil, dan meningkatnya lapangan kerja sehingga mengurangi pengangguran. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan ekonomi merupakan bagian penting dalam mencapai pertumbuhan dan kestabilan ekonomi, tanpa adanya kebijakan ekonomi maka segala tujuan kegiatan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, seperti Indonesia serta dalam era globalisasi sekarang ini, suatu negara tidak terlepas dari kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cadangan devisa merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Cadangan devisa merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Cadangan devisa merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk menunjukan kuat atau lemahnya fundamental perekonomian suatu negara. Selain itu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diartikan sebagai nilai tambah total yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. diartikan sebagai nilai tambah total yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produk domestik bruto (PDB) merupakan salah satu di antara beberapa variabel ekonomi makro yang paling diperhatikan oleh para ekonom. Alasannya, karena PDB merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia sangat tidak terbatas sedangkan alat pemenuh kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia sangat tidak terbatas sedangkan alat pemenuh kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia sangat tidak terbatas sedangkan alat pemenuh kebutuhan tersebut sangat terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut setiap manusia tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis mata uang di Amerika Latin, Asia Tenggara dan di banyak negara

BAB I PENDAHULUAN. Krisis mata uang di Amerika Latin, Asia Tenggara dan di banyak negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis mata uang di Amerika Latin, Asia Tenggara dan di banyak negara telah menunjukkan bahwa ketidakseimbangan kebijakan moneter dapat menyebabkan konsekuensi serius

Lebih terperinci

ekonomi Kelas X KEBIJAKAN MONETER KTSP A. Kebijakan Moneter Tujuan Pembelajaran

ekonomi Kelas X KEBIJAKAN MONETER KTSP A. Kebijakan Moneter Tujuan Pembelajaran KTSP Kelas X ekonomi KEBIJAKAN MONETER Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami instrumen kebijakan moneter. 2. Memahami kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. moneter akan memberi pengaruh kepada suatu tujuan dalam perekonomian.

BAB I PENDAHULUAN. moneter akan memberi pengaruh kepada suatu tujuan dalam perekonomian. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transmisi kebijakan moneter merupakan proses, dimana suatu keputusan moneter akan memberi pengaruh kepada suatu tujuan dalam perekonomian. Perencanaan dalam sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengambilan keputusan bisnis. Pertumbuhan ekonomi menjadi indikator kondisi

BAB I PENDAHULUAN. pengambilan keputusan bisnis. Pertumbuhan ekonomi menjadi indikator kondisi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu negara masih menjadi acuan dalam pengambilan keputusan bisnis. Pertumbuhan ekonomi menjadi indikator kondisi perekonomian negara dimana pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara sedang berkembang selalu berupaya untuk. meningkatkan pembangunan, dengan sasaran utama adalah mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara sedang berkembang selalu berupaya untuk. meningkatkan pembangunan, dengan sasaran utama adalah mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara sedang berkembang selalu berupaya untuk meningkatkan pembangunan, dengan sasaran utama adalah mewujudkan masyarakat demokratis, yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau nilai tukar (Miskhin, 2007:435). Bagi negara berkembang dengan

I. PENDAHULUAN. atau nilai tukar (Miskhin, 2007:435). Bagi negara berkembang dengan 0 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Harga mata uang suatu negara dalam harga mata uang negara lain disebut kurs atau nilai tukar (Miskhin, 2007:435). Bagi negara berkembang dengan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi merupakan suatu isu yang tak pernah basi dalam sejarah panjang

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi merupakan suatu isu yang tak pernah basi dalam sejarah panjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Inflasi merupakan suatu isu yang tak pernah basi dalam sejarah panjang ekonomi dunia, dia selalu menjadi buah bibir. Berbagai studi dan riset dilakukan untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Obyek Penelitian Dalam penelitian ini, obyek yang diamati yaitu inflasi sebagai variabel dependen, dan variabel independen JUB, kurs, BI rate dan PDB sebagai variabel yang

Lebih terperinci

SURVEI PERSEPSI PASAR

SURVEI PERSEPSI PASAR 1 SURVEI PERSEPSI PASAR Triwulan I 2010 Inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010 diperkirakan berada pada kisaran 5,1-5,5%. Mayoritas responden (58,8%) optimis bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7,

BAB I PENDAHULUAN. inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fokus utama dari kebijakan moneter adalah mencapai dan memelihara laju inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7, tujuan Bank Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memasuki era globalisasi, perekonomian dunia memberikan peluang yang besar bagi berbagai negara untuk saling melakukan hubunga antarnegara, salah satunya dibidang ekomomi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan oleh adanya currency turmoil, yang melanda Thailand dan menyebar

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan oleh adanya currency turmoil, yang melanda Thailand dan menyebar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tinggi rendahnya nilai mata uang ditentukan oleh besar kecilnya jumlah penawaran dan permintaan terhadap mata uang tersebut (Hadiwinata, 2004:163). Kurs

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan konsumsi telah melekat di sepanjang kehidupan sehari-hari manusia.

I. PENDAHULUAN. Kegiatan konsumsi telah melekat di sepanjang kehidupan sehari-hari manusia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan konsumsi telah melekat di sepanjang kehidupan sehari-hari manusia. Manusia melakukan kegiatan konsumsi berarti mereka juga melakukan pengeluaran. Pengeluaran untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter Bank Indonesia selaku otoritas moneter. BI Rate merupakan instrumen kebijakan utama untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Penanaman modal dapat dijadikan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aspek yang tidak terpisahkan dari perkembangan ekonomi negara terbuka. Keterbukaan ekonomi Indonesia akan membawa konsekuensi pada

I. PENDAHULUAN. aspek yang tidak terpisahkan dari perkembangan ekonomi negara terbuka. Keterbukaan ekonomi Indonesia akan membawa konsekuensi pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang menggunakan sistem perekonomian terbuka dalam menjalankan aktivitas perekonomiannya sehingga hal tersebut memungkinkan terjadinya interaksi

Lebih terperinci