BAB III PROSES PEMUTAKHIRAN PETA LAUT SECARA PERIODIK
|
|
- Herman Yuwono
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB III PROSES PEMUTAKHIRAN PETA LAUT SECARA PERIODIK 3.1 Media Pemutakhiran Peta Laut Perubahan pada wilayah laut dan pesisir mengharuskan dilakukannya pemutakhiran peta laut secara berkala dan terus menerus agar dapat menjaga keselamatan navigasi dan memperbarui informasi peta laut sesuai dengan keadaan wilayah tersebut di lapangan. Informasi pemutakhiran ini disampaikan kepada pengguna peta melalui 4 cara, yaitu: 1. Berita Pelaut 2. Radio Navigasi 3. Global Maritime Distress and Safety System (GMDSS) 4. Peta edisi baru/ diperbarui Jenis Informasi Navigasi yang Terbarukan Informasi yang umumnya disampaikan untuk memutakhirkan peta laut adalah: 1. Dangkalan, karang, batu, kerangka kapal, gosong, atau anomali kedalaman lainnya pada kedalaman kurang dari 30 meter yang baru ditemukan dan belum terpetakan. 2. Pemasangan sarana bantu navigasi pelayaran (SBNP) baru, perubahan SBNP yang telah ada sebelumnya, atau kerusakan SBNP dan dampaknya pada jalur pelayaran. Ketentuan mengenai SBNP di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No.7 Tahun Posisi pipa atau kabel bawah laut atau kegiatan pemasangan pipa atau kabel tersebut. 4. Pekerjaan konstruksi di luar wilayah pelabuhan dan di luar atau di dalam jalur pelayaran. 13
2 5. Informasi yang berhubungan dengan operasi khusus (latihan atau percobaan senjata AL). Jenis bahaya lainnya seperti laporan atas pembajakan kapal oleh perompak di laut, tsunami, atau peringatan meteorologi disampaikan lewat radio navigasi Dinamika Pesisir dan Laut Dinamika pesisir dan laut merupakan suatu proses perubahan bentuk wilayah pesisir dan laut yang dapat diakibatkan oleh faktor alam (air, darat, dan udara) dan faktor kegiatan manusia. Perubahan wilayah pesisir dan laut yang disebabkan oleh aktivitas manusia yaitu adanya pembukaan lahan, pemasangan pipa atau kabel bawah laut, atau eksploitasi bahan galian di daratan pesisir yang dapat merubah keseimbangan garis pantai melalui suplai muatan sedimen yang berlebihan (Sianturi, 2010). Perubahan kondisi fisik dari suatu pantai bergantung pada proses alam maupun buatan manusia. Berikut beberapa faktor penyebab terjadinya perubahan garis pantai (Fitria, 2007 dan Affan, 2009) : a) Pasang surut merupakan fenomena naik turunnya permukaan air laut yang terjadi secara periodik yang disebabkan oleh pengaruh utama dari gaya tarik menarik antara bulan, bumi, dan matahari. b) Arus merupakan pergerakan massa air laut dari satu tempat ke tempat lain secara horizontal. Besarnya arus akan mempengaruhi banyak sedimen terangkut yang mengakibatkan perubahan garis pantai. c) Gelombang, dimana proses pembentukan gelombang oleh angin tergantung pada kecepatan angin bertiup, lamanya angin bertiup pada arah tertentu, dan cakupan wilayah (fetch area) dimana angin terjadi. Semakin lama angin bertiup, energi yang ditransfer untuk menghasilkan gelombang semakin besar dan energi inilah penyebab terjadinya abrasi. 14
3 d) Kondisi morfologi pantai, dimana kontur dan kedalaman akan mempengaruhi pola arus di perairan. e) Kegiatan masyarakat di sepanjang pesisir dan daerah aliran sungai (DAS) yang mengakibatkan perubahan tata guna lahan di sepanjang pesisir dan DAS seperti eksploitasi mangrove, pembangunan tambak dan pelabuhan, penggundulan hutan, dan sebagainya. f) Pembangunan infrastruktur, terutama jalan dan bangunan dapat mengakibatkan limpasan air dan erosi permukaan. g) Pemanfaatan kawasan dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, misalnya tumpang tindih penggunaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan prioritas peruntukan dan daya dukung tanahnya. Wujud dari dinamika pesisir dan laut tersebut dapat berupa abrasi ataupun sedimentasi. a) Abrasi merupakan proses pengikisan pantai oleh dinamika laut. Abrasi yang terjadi terus menerus akan menimbulkan perubahan garis pantai dan kerusakan lingkungan. b) Sedimentasi adalah suatu proses pengendapan material yang ditransport oleh media air, angin, es, atau gletser di suatu daerah. Sedimentasi biasanya mengakibatkan penumpukan material di muara sungai dan dasar laut yang dapat mengakibatkan munculnya dangkalan yang berpotensi bahaya bagi pelayaran Metode Penentuan Bahaya Navigasi Bahaya pelayaran yang berupa anomali kedalaman sangat penting untuk diselidiki agar dapat menghindari kecelakaan navigasi di laut. Tujuan dari penentuan bahaya pelayaran adalah untuk mendapatkan lokasi pasti dan menentukan kedalaman terkecil (least depth) dari obyek bahaya pelayaran tersebut (Djunarsjah, 2005). 15
4 Gejala-gejala bahaya pelayaran dapat ditemukan lewat: 1. Interpretasi ganjil bacaan kedalaman pada kertas echogram 2. Informasi langsung dari sumber lokal (pelaut atau nelayan) yang telah sering berlayar pada suatu daerah tertentu. 3. Pengamatan langsung secara visual pada lingkungan perairan yang akan diselidiki, seperti warna air laut dan keberadaan burung laut. Keberadaan anomali kedalaman dapat ditentukan dengan metode-metode berikut: 1. Metode akustik Echosounder (perum gema) Side Scan Sonar (lebih efisien jika dioperasikan dengan echosounder) 2. Metode mekanik Penyapuan drift Penyapuan drag Penyapuan rod Penyapuan bar 3. Metode Magnetik Magnetometer (mengukur intensitas magnetik dari obyek-obyek yang ada di dasar laut) 4. Metode Optis Fotogrametrik Elektro-optis (LIDAR) Dengan metode-metode penentuan anomali kedalaman tersebut kemudian akan didapatkan lokasi pasti dan jenis obyek bahaya pelayaran; Status bahaya pelayaran (bahaya baru, perluasan bahaya yang sudah ada sebelumnya, atau perbaikan data sebelumnya); 16
5 Tinggi bahaya pelayaran yang muncul pada permukaan laut; Kedalaman terkecil dari bahaya pelayaran yang selalu tenggelam. Data-data inilah yang nantinya harus dicantumkan dalam Hydrographic Notes dan disampaikan ke dinas hidrografi yang berwenang mengeluarkan peta laut. Format penulisan Hydrographic Notes mengacu kepada Instruksi BPI yang dikeluarkan Dishidros-TNI AL dan kemudian akan disebarluaskan lewat Berita Pelaut Indonesia untuk dimanfaatkan dalam memutakhirkan peta laut. 3.2 Jenis Pemutakhiran Peta Laut Volume data yang digunakan pada saat memutakhirkan peta laut akan berbeda jika dikaitkan dengan periode pemutakhirannya. Berdasarkan volume data tersebut maka pemutakhiran peta laut dibedakan atas 2 jenis, yaitu pemutakhiran koreksi kecil dan pemutakhiran koreksi penuh Pemutakhiran Koreksi Kecil Kumpulan koreksi kecil ini biasanya diterima pelaut lewat tiga cara, yaitu (SP-57 IHO Appendix 1): 1. Berita Pelaut Berita Pelaut merupakan kumpulan informasi untuk memutakhirkan peta laut dalam bentuk cetak yang diterbitkan secara berkala oleh kantor hidrografi untuk dimanfaatkan oleh pelaut dalam memutakhirkan peta laut. Berita Pelaut adalah kumpulan koreksi paling utama dan diprioritaskan untuk diterapkan dalam memperbaharui peta laut. Pada Berita Pelaut umumnya terdapat beberapa bagian khusus, seperti: a. Penjelasan secara umum; b. Kumpulan pemberitahuan koreksi peta laut; 17
6 c. Publikasi peta laut baru, peta diperbarui (edisi baru), pencabutan peta yang beredar sebelumnya; d. Pemberitahuan yang mempengaruhi keseluruhan peta yang pernah dipublikasikan oleh kantor hidrografi berwenang, berkaitan dengan: (1) Isi, perubahan isi, atau penggantian; (2) Kumpulan daftar peringatan pada kawasan NAVAREA tertentu; (3) Koreksi daftar suar; (4) Koreksi arah layar (kepanduan bahari); dan (5) Koreksi daftar sinyal radio navigasi. Gambar 3.1 BPI No.01/ 2010 dan NM Jepang No.50/ 2011 (sumber: Radio Navigasi Radio navigasi menyampaikan peringatan awal jika terdapat bahaya navigasi. Peringatan lewat radio navigasi umumnya bersifat sementara dan berjangka waktu pendek dan akan tetap disiarkan sampai diambil tindakan dalam mengoreksi peta lewat penerbitan Berita Pelaut. Pelaut diharapkan mengantisipasi dan memperhatikan peringatan ini ketika 18
7 memasuki wilayah geografis yang berhubungan dengan peringatan tersebut. Ada tiga jenis peringatan navigasi lewat radio dan masingmasing peringatan tersebut diterima di lokasi tertentu serta diterima lewat jaringan radio yang berbeda. Peringatan ini merupakan bagian dari Maritime Safety Information (MSI). Jenis peringatan yang disampaikan lewat radio navigasi adalah: NAVAREA Warning Service yang menyiarkan peringatan di sepanjang jalur pelayaran utama kepada kapal di laut lepas lewat. NAVAREA merupakan daerah geografis laut yang menjadi tanggung jawab beberapa negara dalam tujuan mengoordinasikan peringatan cuaca dan navigasi. Gambar 3.2 Wilayah NAVAREA XI (Japan Coast Guard Annual Edition of Notices to Mariners, 2012) Indonesia termasuk ke dalam NAVAREA XI (Gambar 3.2) bersama Cina, Filipina, Korea Utara, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Jepang sebagai koordinator regional. NAVAREA Warning disampaikan dalam bahasa Inggris dan disiarkan melalui frekuensi HF (high frequency). 19
8 Coastal Warning yang menyampaikan peringatan ke kapal lewat komunikasi suara pada frekuensi MF (medium frequency) dan VHF (very-high frequency). Coastal warning bersifat temporer dan hanya berlaku di wilayah laut yang dekat dengan pemancar (misalnya peringatan tentang lampu menara suar yang padam). Coastal Warning disampaikan dalam bahasa Inggris. Local Warning adalah pemberitahuan bahaya navigasi lewat komunikasi radio dan disampaikan oleh pihak pelabuhan atau pengawas pantai lokal yang memegang otoritas. Peringatan ini umumnya disampaikan lewat komunikasi suara pada frekuensi VHF dan menggunakan bahasa lokal. 3. Global Maritime Distress and Safety System (GMDSS) GMDSS adalah sistem pemberitahuan kondisi darurat yang dikembangkan oleh IMO (bersama IHO, WMO, dan INMARSAT) di pertengahan dekade 90-an. Tujuan utama GMDSS adalah untuk menyampaikan pemberitahuan tentang kesulitan dan operasi penyelamatan. Sejak tahun 1999, GMDSS menggantikan sinyal SOS sebagai metode standar pemberitahuan kondisi darurat. GMDSS beroperasi dengan bantuan empat buat satelit geostasioner INMARSAT yang menjangkau hampir seluruh dunia kecuali daerah kutub utara dan selatan (Gambar 3.3). 20
9 Gambar 3.3 Daerah Jangkauan Satelit INMARSAT (sumber: Pemutakhiran Koreksi Penuh Koreksi penuh pada peta laut dilakukan secara periodik dan akan menghasilkan peta edisi baru/ diperbarui yang dimutakhirkan oleh kumpulan informasi dalam Berita Pelaut (Notices to Mariners) yang keluar sejak diterbitkannya edisi peta laut tersebut sebelumnya. Periode ideal pemutakhiran total ini adalah setiap lima tahun sekali atau maksimal sepuluh tahun sekali. Variasi dalam periode pemutakhiran ini muncul karena beberapa faktor antara lain perbedaan laju perubahan wilayah pesisir dan laut, ketersediaan anggaran untuk survei dan pemetaan laut, ataupun jumlah armada survei dan sumber daya manusia yang tersedia. 3.3 Proses Pemutakhiran Dalam memperbaharui peta laut dibutuhkan data-data yang menjadi sumber informasi dan dijadikan acuan untuk mengoreksi peta. Data ini umumnya bersumber dari kapal survei milik kantor hidrografi yang secara berkala dan rutin memonitor alur-alur pelayaran utama di perairan suatu negara. Selain itu, informasi tentang penemuan bahaya navigasi juga dapat berasal dari kapal bukan milik kantor hidrografi yang melintas atau melakukan survei hidrografi 21
10 di laut dan menemukan bahaya-bahaya pelayaran yang baru dan belum terpetakan dan melaporkan hal tersebut lewat dokumen khusus yang bernama Hydrograhic Notes yang dikeluarkan oleh kantor hidrografi. Data yang berasal bukan dari kantor hidrografi merupakan data sekunder yang harus diverifikasi terlebih dahulu oleh kantor hidrografi tersebut. Data yang dianggap valid dan Diagram umum proses pemutakhiran mulai dari pelaporan penemuan bahaya navigasi laut sampai penerapan pemutakhiran peta laut dapat dilihat pada Gambar 3.4. Gambar 3.4 Diagram Umum Proses Pemutakhiran Peta Laut Pelaporan bahaya navigasi harus disampaikan dengan seksama dan sesuai dengan instruksi kantor hidrografi dan standar internasional. Di Indonesia, pelaporan penemuan bahaya navigasi ditulis di lembar IH102 yang diatur oleh Dishidros TNI-AL dalam Instruksi Berita Pelaut Indonesia (terlampir). 22
11 3.3.1 Pihak Terkait Dalam Pemutakhiran Peta Laut Di dalam proses pemutakhiran, terdapat beberapa pihak yang berperan mulai dari pelaporan informasi terkait nautika sampai penerapan informasi pembaruan peta laut. Pihak-pihak tersebut adalah: Sumber/ penyedia: kantor hidrografi atau pihak non-kantor hidrografi (misalnya pelaut yang menemukan bahaya navigasi atau institusi lain yang melakukan penelitian) yang menyediakan informasi esensial terkait navigasi. Penerbit: kantor hidrografi yang memproses dan menyusun kumpulan data untuk pemutakhiran yang berasal dari berbagai sumber. Distributor: kantor hidrografi atau agen di bawahnya yang bertanggung jawab mengemas dan menyebarluaskan kumpulan informasi pemutakhiran ke pengguna peta laut. Di Indonesia, distribusi peta laut dan publikasi nautika lainnya hanya dilakukan oleh Dishidros TNI-AL. Pengguna: pelaut yang menerima dan memanfaatkan informasi pemutakhiran untuk memperbarui peta laut Pemutakhiran Peta Laut Analog/ Konvensional Setiap kantor hidrografi yang berwenang dalam membuat peta laut wajib menyediakan layanan rutin dalam memutakhirkan semua peta laut analog/konvensional bagi penggunanya secara berkala. Pemutakhiran peta laut analog dapat dilakukan lewat media berupa Berita Pelaut (Notices to Mariners), radio navigasi, ataupun GMDSS. Obyek-obyek yang dikoreksi dengan Berita Pelaut harus dituliskan dengan tinta (permanen) pada peta laut dan pada bagian bawah peta dituliskan keterangan koreksi terakhir peta lengkap dengan edisi Berita Pelaut yang digunakan. Sebagai catatan, informasi yang diterima lewat radio navigasi dan GMDSS merupakan Maritime Safety Information (MSI) dan bukan sebagai Notices to Mariners, sehingga penandaannya dalam peta laut analog tidak boleh 23
12 ditulis dengan tinta kecuali MSI tersebut telah dimasukkan ke dalam Berita Pelaut Pemutakhiran Peta Laut Dijital (ENC) Peta laut dijital umum dikenal dengan nama Electronic Navigational Chart (ENC) yang dioperasikan dengan bantuan perangkat Electronic Chart Display and Information System (ECDIS). Kelebihan ECDIS adalah kemampuannya menampilkan posisi kapal secara real-time terhadap daratan, sarana bantu navigasi, bahaya-bahaya pelayaran, dan obyek lainnya yang terdapat pada peta dijital yang bersangkutan. ENC dalam ECDIS dimutakhirkan dengan ENC cell update yang dikompilasi dan diterbitkan oleh kantor hidrografi. ENC cell update yang diinput kemudian akan diproses secara otomatis oleh ECDIS untuk menghasilkan tampilan ENC yang diperbarui (Gambar 3.5). Gambar 3.5 Contoh ENC Setelah Dikoreksi dengan ENC Cell Update (sumber: 24
13 Prosedur pemutakhiran untuk ENC hampir sama peta laut konvensional di mana ada tahap penemuan bahaya navigasi, pelaporan, investigasi kantor hidrografi, sampai diterapkannya pemutakhiran peta. Perbedaannya terdapat penerapan (format dan jenis transfer) data pemutakhirannya. Kategori pemutakhiran ENC berdasarkan penerapannya adalah sebagai berikut: Pemutakhiran Manual Informasi untuk memutakhirkan ENC secara manual didapat dari Berita Pelaut atau dari peringatan navigasi lewat komunikasi radio. Informasi ini kemudian dimasukkan secara manual ke dalam sistem ECDIS dengan keyboard untuk diproses. Pemutakhiran Otomatis Pemutakhiran otomatis ENC melibatkan basis data kantor hidrografi yang terhubung langsung (jaringan komunikasi, internet) dengan receiver ECDIS. Proses ini berlangsung tanpa ada peran individu sebagai perantara. Pemutakhiran Semi-otomatis Pemutakhiran semi-otomatis berlangsung dengan adanya media perantara (disket atau CD yang berisi cell update) dan diinput ke dalam ECDIS oleh pelaut. Pemutakhiran ENC berdasarkan kategori dan format data yang digunakan dapat dilihat pada Gambar
14 Gambar 3.6 Proses Pemutakhiran ENC pada Perangkat ECDIS (IHO, SP 52 Appendix 1) Keterangan Gambar :Transfer Telekom :Transfer Non-Telekom KH : Kantor Hidrografi ECDIS : Electronic Chart Display and Information System ENC : Electronic Navigational Chart 26
BAB II PEMUTAKHIRAN PETA LAUT
BAB II PEMUTAKHIRAN PETA LAUT 2.1 Peta Laut Peta laut adalah representasi grafis dari permukaan bumi yang menggunakan simbol, skala, dan sistem proyeksi tertentu yang mengandung informasi serta menampilkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau, baik pulau besar maupun kecil, yang mengandung informasi-informasi geospasial untuk digali dan
Lebih terperinciBAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI
BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI Lokasi pada lepas pantai yang teridentifikasi memiliki potensi kandungan minyak bumi perlu dieksplorasi lebih lanjut supaya
Lebih terperinciRINGKASAN SKEMA SERTIFIKASI SUB BIDANG HIDROGRAFI
RINGKASAN SKEMA SERTIFIKASI SUB BIDANG HIDROGRAFI No Klaster Unit Kompetensi Kode Unit Judul Unit Elemen Persyaratan Dasar Metode Uji Durasi Biaya Uji 1 Operator Utama M.711000.015.01 Mengamati Pasut Laut
Lebih terperinciJENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERTAHANAN
LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2013 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERTAHANAN JENIS DAN TARIF ATAS
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SALINAN PRESIDEN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 57 TAHUN 2013 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERTAHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 213 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERTAHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2013 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERTAHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 160, 2000 Perhubungan.Kelautan.Pelayaran.Kapal.Kenavigasian. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai kenavigasian sebagaimana diatur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pelabuhan merupakan salah satu jaringan transportasi yang menghubungkan transportasi laut dengan transportasi darat. Luas lautan meliputi kira-kira 70 persen dari luas
Lebih terperinciP E N J E L A S A N A T A S PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN
P E N J E L A S A N A T A S PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN I. UMUM Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai terpanjang
Lebih terperinciBAB I. Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari
BAB I BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari 95.181 km. Sehingga merupakan negara dengan pantai terpanjang nomor empat di dunia setelah
Lebih terperinciStudi Working Party. a. Deteksi pesan AIS dari satelit b. Penyiaran informasi keamanan dan keselamatan dari dan ke kapal dan pelabuhan
AGENDA ITEM 1.10 Latar Belakang Agenda item 1.10 bertujuan untuk mengkaji kebutuhan alokasi frekuensi dalam rangka mendukung pelaksanaan system keselamatan kapal dan pelabuhan serta bagian-bagian terkait
Lebih terperinciBAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi
BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi Hal yang perlu diperhatikan sebelum pelaksanaan survey hidrografi adalah ketentuan teknis atau disebut juga spesifikasi pekerjaan. Setiap pekerjaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I - 1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih dari 3.700 pulau dengan luas daratan ± 1.900. 000 km 2 dan lautan ± 3.270.000 km 2.Garis
Lebih terperinciKajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi)
Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi) Mario P. Suhana * * Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Email: msdciyoo@gmail.com
Lebih terperinciSPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI
SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI Spesifikasi Pekerjaan Dalam pekerjaan survey hidrografi, spesifikasi pekerjaan sangat diperlukan dan
Lebih terperinciRANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,
Menimbang RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan telah diatur ketentuan
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN UMUM Kegiatan kenavigasian mempunyai peranan penting dalam mengupayakan keselamatan berlayar guna mendukung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)
Lebih terperinciMENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengerukan dan reklamasi sebagaimana diatur dalam Pasal 102 dan Pasal 107 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 46, 1991 ( PERHUBUNGAN. TELEKOMUNIKASI. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI [LN 1999/154, TLN 3881]
UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI [LN 1999/154, TLN 3881] BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 47 11 ayat (1) 1, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda
Lebih terperinciSMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.
SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1991 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1991 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk terciptanya pelayanan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian terdapat kesepakatan umum bahwa wilayah pesisir didefinisikan sebagai
Lebih terperinciPEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA
PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA By : I PUTU PRIA DHARMA APRILIA TARMAN ZAINUDDIN ERNIS LUKMAN ARIF ROHMAN YUDITH OCTORA SARI ARIF MIRZA Content : Latar Belakang Tujuan Kondisi Geografis Indonesia Metode
Lebih terperinciKETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;
Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI
Lebih terperinciSistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan
Lebih terperinci2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L
No.394, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Terminal Khusus. Terminal untuk Kepentingan Sendiri. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 20 TAHUN 2017 TENTANG
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan transisi ekosistem terestrial dan laut yang ditandai oleh gradien perubahan ekosistem yang tajam (Pariwono, 1992). Kawasan pantai merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan
Lebih terperinciPETA LOKASI KEGIATAN STRATEGIS PEMBANGUNAN TRANSPORTASI DALAM RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN PERHUBUNGAN TAHUN
PETA LOKASI KEGIATAN STRATEGIS PEMBANGUNAN TRANSPORTASI DALAM RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN PERHUBUNGAN TAHUN 2015-2019 Rencana Strategis Kementerian Perhubungan Tahun 2015-2019 Peta - 1 LOKASI PEMBANGUNAN
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai kenavigasian sebagaimana diatur
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan mengenai kenavigasian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM
BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM Indonesia merupakan negara kepulauan dengan potensi luas perairan 3,1 juta km 2, terdiri dari 17.508 pulau dengan panjang garis pantai ± 81.000 km. (Dishidros,1992).
Lebih terperinciDINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo
DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo 09.02.4.0011 PROGRAM STUDI / JURUSAN OSEANOGRAFI FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA 2012 0 BAB
Lebih terperinciDeteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo
Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo Nurin Hidayati 1, Hery Setiawan Purnawali 2 1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya Malang Email: nurin_hiday@ub.ac.id
Lebih terperinciPERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang
PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang Konfigurasi Survei Hidrografi 1. Penentuan posisi (1) dan penggunaan sistem referensi (7) 2. Pengukuran kedalaman (pemeruman)
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]
UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 100 (1) Barangsiapa dengan sengaja merusak atau melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan tidak
Lebih terperinciKL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN
Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari Bab 1 PENDAHULUAN Bab PENDAHULUAN Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari 1
Lebih terperinciPemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam
Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Arif Roziqin 1 dan Oktavianto Gustin 2 Program Studi Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam, Batam 29461 E-mail : arifroziqin@polibatam.ac.id
Lebih terperinciMITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran
K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1089, 2012 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Pelayaran. Sungai. Danau. Alur. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 52 TAHUN 2012 TENTANG ALUR-PELAYARAN SUNGAI
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN SARANA BANTU NAVIGASI PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN SARANA BANTU NAVIGASI PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) memiliki lebih kurang 17.500 pulau, dengan total panjang garis pantai mencapai 95.181 km
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kondisi Fisik Daerah Penelitian II.1.1 Kondisi Geografi Gambar 2.1. Daerah Penelitian Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52-108 36 BT dan 6 15-6 40 LS. Berdasarkan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1989 TENTANG TELEKOMUNIKASI [LN 1989/11, TLN 3391]
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1989 TENTANG TELEKOMUNIKASI [LN 1989/11, TLN 3391] BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 35 Setiap perbuatan yang dilakukan tanpa hak dan dengan sengaja untuk mengubah jaringan telekomunikasi
Lebih terperinci2014, No.31 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL. BAB I K
No.31, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA WILAYAH. Geospasial. Informasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5502) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Survei dan pemetaan dasar laut telah mengalami perkembangan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya kebutuhan informasi akan sumber daya
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1974 TENTANG PENGAWASAN PELAKSANAAN EKSPLORASI DAN EKSPLOITASI MINYAK DAN GAS BUMI DI DAERAH LEPAS PANTAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU No.27 tahun 2007, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai 13.466 pulau dan mempunyai panjang garis pantai sebesar 99.093 km. Luasan daratan di Indonesia sebesar 1,91 juta
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinas Hidro-Oseanografi adalah salah satu instansi pemerintah yang bergerak di bidang survei dan pemetaan laut, Instansi Pemerintah ini memiliki ruang lingkup antara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terdapat dua jenis perairan di dunia ini, yaitu perairan laut dan perairan kedalaman atau yang juga disebut inland water. Perairan kedalaman dapat diklasifikasikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Survei batimetri merupakan proses untuk mendapatkan data kedalaman dan kondisi topografi dasar laut, termasuk lokasi obyek-obyek yang mungkin membahayakan. Pembuatan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian
TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian berada di kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan Lhoknga mempunyai 4 (empat)
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI. Studi pustaka terhadap materi desain. Mendata nara sumber dari instansi terkait
BAB III METODOLOGI 3.1 Persiapan Persiapan merupakan rangkaian sebelum memulai pengumpulan dan pengolahan data. Dalam tahap persiapan disusun hal hal yang harus dilakukan dengan tujuan untuk efektifitas
Lebih terperinciIDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL
IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU
Lebih terperinciPETA LOKASI LAPANGAN MATINDOK-SULAWESI TENGAH LAMPIRAN A
DAFTAR PUSTAKA Adil, Irdam. (2007). Komunikasi Pribadi. Djunarsjah, E. (2001). Standar Survei (Baru) dalam Survei Hidrografi (SP-44 IHO tahun 1998). Forum Ilmiah Tahunan ISI. Surabaya. Djunarsjah, E. (2005).
Lebih terperinciAnalisa Perubahan Garis Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 1 Analisa Perubahan Garis Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban Liyani, Kriyo Sambodho, dan Suntoyo Teknik Kelautan, Fakultas
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan mengenai kenavigasian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 3700 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km. Wilayah pantai ini merupakan daerah yang sangat intensif
Lebih terperinciMENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciBAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR
BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR Pengolahan data side scan sonar terdiri dari dua tahap, yaitu tahap real-time processing dan kemudian dilanjutkan dengan tahap post-processing. Tujuan realtime
Lebih terperinciBAB 4 ANALISIS. Gambar 4.1 Indikator Layar ROV (Sumber: Rozi, Fakhrul )
BAB 4 ANALISIS 4.1. Penyajian Data Berdasarkan survei yang telah dilakukan, diperoleh data-data yang diperlukan untuk melakukan kajian dan menganalisis sistem penentuan posisi ROV dan bagaimana aplikasinya
Lebih terperinciGerakan air laut yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan sehari-hari adalah nomor
SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.5 1. Bagi para nelayan yang menggunakan kapal modern, informasi tentang gerakan air laut terutama digunakan untuk... mendeteksi
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan mengenai kenavigasian
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan mengenai kenavigasian
Lebih terperinci2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1867, 2016 KEMENHUB. Pelabuhan Laut. Penyelenggaraan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 146 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
Lebih terperinciBUPATI MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN BUPATI MUSI BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2017 TENTANG
SALINAN BUPATI MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN BUPATI MUSI BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2017 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN SUNGAI YANG MELINTASI JEMBATAN DI WILAYAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1879, 2014 KEMENHUB. Pelabuhan. Terminal. Khusus. Kepentingan Sendiri. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 73 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL I. UMUM Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang
Lebih terperinciBAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN
BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN Tujuan pembahasan analisis pelaksanaan perencanaan alur pelayaran untuk distribusi hasil pertambangan batubara ini adalah untuk menjelaskan kegiatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I-1
I-1 BAB I 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali merupakan bagian dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Pemali-Comal yang secara administratif berada di wilayah Kabupaten Brebes Provinsi Jawa
Lebih terperinciGUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 59 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR
Lebih terperinciSURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang
SURVEI HIDROGRAFI Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang Tahapan Perencanaan Survey Bathymetri Pengukuran bathimetri dilakukan berdasarkan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum pantai didefenisikan sebagai daerah di tepi perairan (laut) sebatas antara surut terendah dengan pasang tertinggi, sedangkan daerah pesisir adalah daratan
Lebih terperinciAGENDA ITEM Latar Belakang
AGENDA ITEM 1.10 1. Latar Belakang Agenda item 1.10 bertujuan untuk mengkaji kebutuhan alokasi frekuensi dalam rangka mendukung pelaksanaan system keselamatan kapal dan pelabuhan serta bagian-bagian terkait
Lebih terperinciKONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 LAMPIRAN BAB 1 ISTILAH DAN DEFINISI
KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 LAMPIRAN BAB 1 ISTILAH DAN DEFINISI 1.1 "Wajib" digunakan dalam Lampiran untuk menunjukkan suatu ketentuan, penerapan yang seragam
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL
SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penelitian Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah pesisir di Kabupaten Bekasi yang berada pada zona 48 M (5 0 59 12,8 LS ; 107 0 02 43,36 BT), dikelilingi oleh perairan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Dinamika morfologi muara menjadi salah satu kajian yang penting. Hal ini disebabkan oleh penggunaan daerah ini sebagai tempat kegiatan manusia dan mempunyai
Lebih terperinciBAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI
87 BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI 6.1 Perlindungan Pantai Secara alami pantai telah mempunyai perlindungan alami, tetapi seiring perkembangan waktu garis pantai selalu berubah. Perubahan garis
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN [LN 2008/64, TLN 4846]
UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN [LN 2008/64, TLN 4846] BAB XIX KETENTUAN PIDANA Pasal 284 Setiap orang yang mengoperasikan kapal asing untuk mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dengan luas daratan ± 1.900.000 km 2 dan laut 3.270.00 km 2, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan ditinjau dari luasnya terdiri atas lima pulau
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa
II. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan banjir pasang antara lain dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002),
Lebih terperinci1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998)
1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998) Adopsi Amandemen untuk Konvensi Internasional tentang Pencarian
Lebih terperinci