BAB V RANCANG BANGUN/DISAIN LANDFILL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V RANCANG BANGUN/DISAIN LANDFILL"

Transkripsi

1 BAB V RANCANG BANGUN/DISAIN LANDFILL 5.1. Penimbunan/Landfill Limbah B3 Penimbunan/landfill hasil pengolahan limbah B3 merupakan tahap akhir dari pengelolaan limbah B3. Lokasi landfill merupakan lokasi khusus yang diperuntukkan sebagai tempat penimbunan limbah B3 dengan disain yang dilengkapi dengan sistem pengumpulan timbulan lindi dan unit pengolahannya. Limbah B3 yang dapat ditimbun adalah limbah yang telah telah diolah atau limbah yang tidak memerlukan pengolahan lagi tetapi sudah memenuhi kriteria (lulus uji TCLP, uji kuat tekan/ compressive strength, mempunyai nilai tekan minimum 10 ton/m 2, dan lolos uji paint filter test) Tujuan dari penimbunan limbah B3 di tempat penimbunan (landfill) adalah untuk menampung dan mengisolasi limbah B3 yang sudah tidak dimanfaatkan lagi dan menjamin perlindungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dalam jangka panjang. Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) harus dilakukan secara tepat, baik tempat, tata cara maupun persyaratannya. Meskipun limbah B3 yang akan ditimbun sudah diolah (secara fisika, kimia, biologi) sebelumnya, tetapi limbah tersebut masih berpotensi mencemari lingkungan dari timbulan lindinya. Untuk mencegah pencemaran akibat timbulan lindi, maka limbah B3 harus ditimbun pada lokasi yang memenuhi persyaratan-persyaratan teknis tertentu. Selain itu lokasi bekas (pasca) pengolahan dan penimbunan limbah B3-pun harus ditangani dengan baik untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Secara sistematis teknik penimbunan limbah B3 dapat dilihat seperti 60

2 Gambar 5.1. Di lokasi landfill limbah yang sudah ditimbun dihindarkan terjadi kontak dengan air tanah yang ada. 5.2.Jenis/Kategori Landfill Ada tiga jenis/kategori disain landfill untuk tempat penimbunan limbah B3, yang mana setiap jenis landfill tersebut dapat digunakan untuk menimbun limbah sesuai dengan jenis dan karakteristik dari limbah yang akan ditimbun. Rancang bangun/disain pelapisan dasar bagi masing-masing kategori landfill yang digunakan untuk tempat penimbunan limbah B3 dan penutup dari ketiga jenis landfill tersebut adalah sebagai berikut: A. Kategori I (Secure Landfill Double Liner). Rancangan bangun minimum untuk kategori I (secure landfill double liner) adalah sebagai berikut: Sistem pelapisan dasar landfill dari bawah ke atas terdiri dari komponen-komponen berikut : 61

3 (1). Lapisan Dasar (Subbase) Sebelum dilakukan konstruksi pelapisan dasar tersebut harus dilakukan pekerjaan penyiapan di antaranya : a. pengupasan tanah yang tidak kohesif; b. perbaikan kondisi tanah (perataan, pemadatan, dan sebagainya); c. pemenuhan konstruksi daya dukung muatan (bearing capacity) yang diperlukan untuk menopang muatan (landfill dan limbahnya) di atasnya. Lapisan dasar (subbase) berupa tanah lempung yang dipadatkan ulang yang memiliki konduktivitas hidraulik jenuh maksimum 1 x 10-9 m/detik di atas lapisan tanah setempat. Ketebalan minimum lapisan dasar adalah satu meter. Lapisan setebal satu meter tersebut terdiri dari lapisanlapisan tipis (15-20 cm) dimana setiap lapisan dipadatkan untuk mendapatkan permeabilitas (konduktivitas hidraulik) dan daya dukung yang dibutuhkan untuk menopang lapisan di atasnya, limbah B3 yang ditimbun dan lapisan penutup. (2). Lapisan Geomembran Kedua (Secondary Geomembrane) Lapisan dasar dilapisi dengan lapisan geomembran kedua berupa lapisan sintetik yang terbuat dari HDPE (High Density Polyethylene) dengan ketebalan minimum 1,5-2,0 mm (60-80 mil). Semua lapisan sintetik pada peraturan ini harus dipasang sesuai dengan American Society of Testing Materials (ASTM) D atau yang setara. Lapisan sintetik ini 62

4 harus dirancang agar tahan terhadap semua tekanan selama instalasi, operasi dan penutupan landfill. (3). Lapisan untuk Sistem Pendeteksi Kebocoran (Leak Detection System) Sistem Pendeteksi Kebocoran dipasang di atas lapisan geomembrane kedua dan terdiri dari geonet HDPE. Geonet HDPE tersebut harus memiliki transmisivitas planar sama dengan atau lebih besar dari transmisivitas planar bahan/tanah butiran setebal 30 cm dengan konduktivitas hidraulik jenuh 1 x 10-4 m/detik. Komponen teratas dari sistem pendeteksi kebocoran ini adalah "non woven geotextile" yang dilekatkan pada geonet pada proses pembuatannya. Sistem Pendeteksi Kebocoran harus dirancang sedemikian rupa dengan kemiringan tertentu menuju bak pengumpul, sehingga timbulan lindi akan terkumpul. Timbulan lindi tersebut dialirkan dengan menggunakan pompa submersible menuju ke tangki penampung atau pengumpul lindi; (4). LapisanTanahPenghalang (Barrier Soil Liner) Lapisan tanah penghalang berupa tanah liat yang dipadatkan hingga berpermeabilitas 10-9 m/detik dengan ketebalan minimum 30 cm atau "geosynthetic clay liner (GCL)" dengan tebal minimum 6 mm. GCL tersebut berupa bentonit yang diselubungi oleh lapisan geotekstil. Jenisjenis GCL adalah: Claymax, Bentomat, Bentofix, atau yang sejenis. 63

5 (5). Lapisan Geomembran Pertama (Primary Geomembrane) Lapisan Geomembran pertama berupa lapisan sintetik yang terbuat dari HDPE dengan ketebalan minimum 1,5-2,0 mm (60-80 mil). Lapisan geomembran pertama ini harus dirancang agar tahan terhadap semua tekanan selama proses instalasi, konstruksi, operasi dan penutupan landfill. (6). Sistem Pengumpulan dan Pemindahan Lindi (SPPL) SPPL pada dasar landfill terdiri dari sekurang-kurangnya 30 cm bahan/tanah butiran yang memiliki konduktivitas hidraulik minimum 1 x 10-4 m/detik. Pada dinding landfill digunakan geonet sebagai SPPL nya. Transmisivitas geonet tersebut sama dengan atau lebih besar dari transmisivitas planar 30 cm bahan/tanah butiran dengan konduktivitas hidraulik jenuh minimum 1 x 10-4 m/detik. (7). Lapisan Pelindung (Operation Cover) Sistem pungumpulan lindi dilapisi Lapisan Pelindung Selama 0perasi (LPSO) dengan ketebalan minimum 30 cm, dirancang untuk mencegah kerusakan komponen pelapisan dasar landfill selama penempatan limbah di landfill. LPSO berupa tanah setempat atau tanah dari tempat lain yang tidak mengandung material tajam. LPSO dipasang pada dasar landfill selama konstruksi awal. Lapisan pelindung tambahan akan dipasang pada dinding set selama masa aktif sel landfill. Rancang bangun landfill kategori I dapat dilihat pada Gambar

6 Cover Geomembran primer Geomembran sekunder Gambar 5.2 : Landfill Kategori I (Secure Landfill Double Liner). B. Kategori II (Secure Landfill Single Liner) Rancangan bangun minimum untuk kategori II (secure landfill single liner) adalah sebagai berikut : Sistem pelapisan dasar landfill dari bawah ke atas terdiri dari komponen-komponen berikut: (1). Lapisan Dasar (Subbase) Sebelum dilakukan konstruksi pelapisan dasar tersebut harus dilakukan pekerjaan penyiapan lahan diantaranya : a. pengupasan tanah yang tidak kohesif; b. perbaikan kondisi tanah (perataan, pemadatan, dan sebagainya); c. pemenuhan konstruksi daya dukung muatan (bearing capacity) yang diperlukan untuk menopang muatan (landfill dan limbahnya) di atasnya. Lapisan dasar (subbase) berupa tanah lempung yang dipadatkan ulang yang memiliki konduktivitas hidraulik jenuh maksimum 1 x 10-9 m/detik di atas lapisan tanah setempat. 65

7 Ketebalan minimum lapisan dasar adalah satu meter. Lapisan setebal satu meter tersebut terdiri dari lapisan-lapisan tipis (15-20 cm) dimana setiap lapisan dipadatkan untuk mendapatkan permeabilitas (konduktivitas hidraulik) dan daya dukung yang dibutuhkan untuk menopang lapisan di atasnya, limbah B3 yang ditimbun, dan lapisan penutup. (2). Lapisan untuk Sistem Pendeteksi Kebocoran (Leak Detection System) Sistem Pendeteksi Kebocoran dipasang di atas lapisan dasar (subbase) dan terdiri dari geonet HDPE. Geonet HDPE tersebut harus memiliki transmisivitas planar sama dengan atau lebih besar dari transmisivitas planar bahan/tanah butiran setebal 30 cm dengan konduktivitas hidraulik jenuh 1 x 10-4 m/detik. Komponen teratas dari sistem pendeteksi kebocoran ini adalah "non woven geotextile" yang dilekatkan pada geonet pada proses pembuatannya. Sistem Pendeteksi Kebocoran harus dirancang sedemikian rupa dengan kemiringan tertentu menuju bak pengumpul, sehingga timbulan lindi akan terkumpul. Timbulan lindi tersebut dialirkan dengan menggunakan pompa submersible menuju ke tangki penampung atau pengumpulan lindi; (3). Lapisan Geomembran (Geomembrane) Lapisan dasar dilapisi dengan lapisan geomembran berupa lapisan sintetik yang terbuat dari HDPE (High Density Polyethylene) dengan ketebalan minimum 1,5-2,0 mm (60-80 mil). Semua lapisan sintetik pada peraturan ini harus dipasang sesuai dengan American Society of Testing Materials (ASTM) D atau yang setara. Lapisan sintetik ini harus 66

8 dirancang agar tahan terhadap semua tekanan selama instalasi, konstruksi operasi dan penutup landfill. (4). Lapisan Tanah Penghalang (Barrier Soil Liner) Lapisan tanah penghalang berupa tanah fiat yang dipadatkan hingga berpermeabilitas 10-9 m/detik dengan ketebalan minimum 30 cm atau geosynthetic clay liner (GCL) dengan tebal minimum 6 mm. GCL tersebut berupa bentonit yang diselubungi oleh lapisan Geotekstil. Jenis-jenis GCL adalah Claymax, Bentomat, Bentofix, atau yang sejenis. (5). Sistim Pengumpulan dan Pemindahan Lindi (SPPL) SPPL pada dasar landfill terdiri sekurang-kurangnya 30 cm bahan/tanah butiran yang memiliki konduktivitas hidraulik minimum 1 x 10-4 m/detik. Pada dinding landfill digunakan geonet sebagai SPPLnya. Transmisivitas geonet tersebut sama dengan atau lebih besar dari transmisivitas planar 30 cm bahan/tanah butiran dengan konduktivitas hidraulik jenuh minimum 1 x 10-4 m/detik. Untuk meminimumkan terjadi penyumbatan pada SPPL, harus dipasang geotekstil pada bagian atas SPPL. SPPL harus mempunyai kemiringan sedemikian rupa sehingga timbulan lindi akan terkumpul dan dapat dipindahkan ke tangki penampungan penampung/pengumpul lindi. (6). Lapisan Pelindung (Operation Cover) Sistim pengumpulan lindi dilapisi Lapisan Pelindung Selama Operasi (LPSO) dengan ketebalan minimum 30 cm, dirancang untuk mencegah kerusakan komponen pelapisan dasar landfill selama pelapisan limbah di landfill. LPSO berupa tanah setempat atau tanah dari tempat yang lain yang tidak mengandung material tajam. LPSO dipasang pada dasar 67

9 landfill selama konstruksi awal. Lapisan pelindung tambahan akan dipasang pada dinding sel selama masa aktif sel landfill. Rancang bangun landfill kategori II dapat dilihat pada Gambar 5.3. Gambar 5.3 : Landfill Kategori II (Secure Landfill Single Liner). C. Kategori III (Landfill Clay Liner). Rancangan bangun minimum untuk kategori III (landfill clay liner) adalah sebagai berikut : Sistem pelapisan dasar landfill dari bawah ke atas terdiri dari komponen-komponen berikut : (1). Lapisan Dasar (Subbase) Sebelum dilakukan konstruksi pelapisan dasar tersebut harus dilakukan pekerjaan penyiapan lahan diantaranya : a. pengupasan tanah yang tidak kohesif; b. perbaikan kondisi tanah (perataan, pemadatan, dan sebagainya); c. pemenuhan konstruksi daya dukung muatan (bearing capacity) yang diperiukan untuk menopang muatan (landfill dan limbahnya) di atasnya. 68

10 Pelapis dasar berupa tanah lempung yang dipadatkan ulang yang memiliki konduktivitas hidraulik jenuh maksimum 1x10-9 m/detik di atas tanah setempat. Ketebalan minimum pelapis dasar adalah satu meter. Lapisan setebal satu meter tersebut terdiri dari lapisan-lapisan tipis (15-20 cm) dimana setiap lapisan dipadatkan untuk mendapatkan permeabilitas (konduktivitas hidraulik) dan daya dukung yang dibutuhkan untuk menopang lapisan-lapisan di atasnya, limbah B3 yang ditimbun, dan lapisan penutup; (2). Lapisan untuk Sistem Pendeteksi Kebocoran (Leak Detection System) Sistem Pendeteksi Kebocoran dipasang di atas lapisan tanah setempat terdiri dari bahan butiran atau geonet HDPE dan "non woven geotextile". Bahan butiran atau geonet HDPE tersebut harus memiliki transmisivitas planar sama atau lebih besar dari transmisivitas planar bahan butiran setebal 30 cm dengan konduktivitas hidrolik 1 x 10-4 m/detik. Sistem Pendeteksi Kebocoran harus dirancang sedemikian rupa sehingga timbulan lindi akan terkumpul dan dapat dipindahkan ke tempat penampungan/pengumpulan lindi; (3). Lapisan Tanah Penghalang (Barrier Soil Liner) Lapisan tanah penghalang berupa tanah liat yang dipadatkan hingga berpermeabilitas 10-9 m/detik dengan ketebalan minimum 30 cm atau "geosynthetik clay liner (GCL)" dengan tebal minimum 6 mm. GCL tersebut berupa bentonit yang diselubungi oleh lapisan geotekstil. Jenis-jenis GCL adalah : Claymax, Bentomat, Bentofix, atau yang sejenis; 69

11 (4). Sistem Pengumpulan atau Pemindahan Lindi (SPPL) SPPL pada dasar landfill terdiri dan sekurang-kurangnya 30 cm bahan/tanah butiran yang memiliki konduktivitas hidraulik minimum 1 x 10-4 m/detik. Pada dinding landfill digunakan geonet sebagai SPPL nya. Transmisivitas geonet tersebut sama dengan atau lebih besar dari transmisivitas planar 30 cm bahan/tanah butiran dengan konduktivitas hidraulik jenuh minimum 1 x 10-4 m/detik. Untuk meminimumkan terjadi penyumbatan pada SPPL, harus dipasang geotekstil pada bagian atas SPPL. SPPL harus mempunyai kemiringan sedemikian rupa sehingga timbulan lindi akan terkumpul dan dapat dipindahkan ke tangki penampung/pengumpul lindi; (5). Lapisan Pelindung (Operation Cover) Sistem pengumpulan lindi dilapisi Lapisan Pelindung Selama Operasi (LPSO) dengan ketebalan minimum 30 cm, dirancang untuk mencegah kerusakan komponen pelapisan dasar landfill selama penempatan limbah di-landfill. LPSO berupa tanah setempat atau tanah dari tempat lain yang tidak mengandung material tajam. LPSO dipasang pada dasar landfill selama konstruksi awal. Lapisan pelindung tambahan akan dipasang pada dinding sel selama masa aktif set landfill. Rancang bangun landfill kategori III dapat dilihat pada Gambar

12 Gambar 5.4 : Landfill Kategori III (Landfill Clay Liner). D. Pelapisan Penutup Akhir (Final Cover) Landfill Kategori I, II & III Setelah landfill diisi penuh dengan limbah, landfill harus ditutup dengan pelapis penutup akhir (PPA). PPA tersebut harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu : a. meminimumkan perawatan di masa yang akan datang setelah landfill ditutup; b. meminimum infiltrasi air permukaan ke dalam landfill, dan c. mencegah lepasnya unsur-unsur limbah dari landfill. Pelapis penutup akhir landfill limbah B3, mulai dari bawah ke atas, terdiri dari : (1). Tanah Penutup Perantara (Intermediate Soil Cover) Tanah penutup perantara (TPP) ditempatkan di atas limbah ketika tahap akhir dari penimbunan limbah di landfill limba B3 telah dicapai. TPP berupa tanah dengan ketebalan sekurang-kurangnya 15 cm. Lapisan ini harus berfungsi memberikan dasar yang stabil untuk penempatan dan pemadatan lapisan di atasnya; 71

13 (2). Tanah Tudung Penghalang (Cap Soil Barrier) Tanah tudung penghalang berupa lapisan lempung yang dipadatkan hingga permeabilitas maks.1 x 10-9 m/detik. Ketebalan min.tanah penghalang penutup adalah 60 cm; (3). Tudung Geomembran (Cap Geomembrane) Tudung geomembran berupa HDPE dengan ketebalan minimum 1 mm (40 mil) dan permeabilitas maksimum 1 x 10-9 m/detik. Tudung geomembran ini harus dirancang tahan terhadap semua tekanan selama instalasi, konstruksi lapisan atas, dan saat penutupan landfill; (4). Pelapisan untuk Tudung Drainase (Cap Drainage Layer) Pelapisan untuk tudung drainase (PTD) harus dirancang mampu mengumpulkan air permukaan yang meresap ke dalam lapisan tumbuhan yang ada di atasnya dan kemudian menyalurkan ke tepian landfill. PTD ini berupa bahan butiran atau geonet HDPE dengan transmisivitas planar minimum sama dengan transmisivitas planar lapisan bahan.tanah butiran setebal 30 cm dengan konduktivitas hidraulik minimum 1 x 10-4 m/detik. Untuk memperkecil penyumbatan pada PDT oleh lapisan tanah tumbuhan di atasnya maka harus dipasang geotekstil di atas PTD; (5). Pelapisan Tanah untuk Tumbuhan (Vegetative Layer) Pelapisan tanah untuk tumbuhan (PTT) berupa tanah setempat atau tanah dari tempat lain dengan sifat fisik perbedaan kembang kerut kecil. Ketebalan minimum 60 cm. PTT harus mampu mendukung tumbuhnya tumbuhan di atasnya; 72

14 (6). Tumbuh-tumbuhan (Vegetation) Setelah konstruksi selesai untuk meminimumkan erosi pada PTT atau sistem penutup. Tanaman yang digunakan/ditanam adalah tanamana yang membutuhkan perawatan sederhana, cocok dengan daerah setempat dan tidak mempunyai potensi merusak lapisan di bawahnya (tanaman rerumputuan). Rancang bangun penutup akhir dapat dilihat pada Gambar 5.5 Gambar 5.5 : Pelapis penutup akhir untuk landfill limbah B3 kategori I, II dan III 5.3. Sistem Penimbunan Limbah Ada tiga sistem penimbunan limbah yang dapat diterapkan menurut jenis limbah yang akan ditimbun, yaitu sistem penimbunan limbah anorganik (inorganic waste landfill), sistem penimbunan limbah organik (organic waste landfill) dan sistem penimbunan limbah berbahaya dan beracun /B-3 (hazardous waste landfill). Pemilihan sistem yang akan diterapkan pada suatu pusat penimbunan limbah tergantung jenis limbah dan kondisi lokasi penimbunan itu sendiri 73

15 dengan memperhatikan faktor keamanan dari sistem itu. Gambar detail dari ketiga sistem tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.5 sampai Gambar 5.8. Timbunan limbah organik dan limbah berbahaya dapat menghasilkan cairan lindi (leachate) yang mengandung bahan-bahan kimia dari hasil reaksi limbah yang ditimbun atau dari kemungkinan terlepasnya bahan kimia dari limbah yang telah disolidifikasi, sehingga jika leachate ini terlepas langsung ke lingkungan dapat menimbulkan pencemaran. Untuk mengendalikan leachate agar tidak terlepas langsung ke lingkungan maka pada bagian bawah sistem penimbunan dilengkapi dengan sistem pengumpul leachate. Leachate yang terkumpul di bagian bawah landfill akan mengalir melalui pipa-pipa pengumpul menuju ke unit/kolam pengumpul leachate. Leachate yang telah terkumpul di kolam dipompa ke unit pengolah leachate. Padatan hasil pengolahan leachate ditimbun bersama-sama dengan limbah kembali, sementara cairan hasil pengolahan leachate yang telah memenuhi baku mutu limbah buangan baru boleh dibuang ke perairan. Dengan penerapan sistem dan operasional yang baik seperti tersebut di atas, maka terjadinya pencemaran terhadap air dan tanah di sekitar lokasi penimbunan dapat dihindari. Diagram alir dari sistem penimbunan limbah organik dan limbah berbahaya dapat dilihat pada Gambar Bagi wilayah yang telah padat penduduknya, penempatan lokasi penimbunan limbah merupakan permasalahan yang serius dan sulit untuk dipecahkan terutama untuk penempatan lokasi penimbunan limbah organik dan limbah berbahaya. Untuk penimbunan limbah anorganik yang bukan limbah berbahaya hal ini dapat dilakukan di suatu tempat dan bagian atas dari lokasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembangunan fasilitas umum, seperti stadion atau sarana lainnya. Gambar lengkap dari sistem ini dapat dilihat seperti pada Gambar

16 Pagar (Fence) Tembok beton (Concrete wall) Gambar 5.6 : Penimbunan Limbah An-organik non B3 Pagar pengaman Unit pengolahan air leachate (lindi) Pengumpul leachate Pipa pengumpul leachate Lapisan pengaman kebocoran Gambar 5.7 : Penimbunan Limbah Organik dan Limbah B3 Atap Saluran air Beton penutup Dinding/beton Timbunan limbah Gambar 5.8 : Penimbunan Limbah Berbahaya Sederhana Dengan Skala Kecil 75

17 Tumbuhan penutup Ventilasi gas Tanah penutup akhir Lapisan drainase Membran penutup Timbunan limbah beracun Lapisan membran primer Lapisan drainase Lapisan membran sekunder Pipa pengambilan sampel untuk analisis leachate Aliran leachate/lindi ke unit pengolahan air lindi Gambar 5.9 : Potongan sistem penimbunan limbah organik dan limbah berbahaya Gambar 5.10 : Diagram Alir Sistem Penimbunan Limbah Organik Dan Limbah Berbahaya 76

18 Gambar 5.11 : Bangunan Lengkap Sistem Penimbunan Limbah Anorganik 5.4. Pemilihan Jenis dan Sistem Penimbunan Limbah Jenis limbah yang dapat ditimbun di suatu landfill merupakan limbah padat atau limbah yang sudah dijadikan dalam bentuk padat atau limbah yang telah dipadatkan dan sudah dalam kondisi yang stabil sehingga dihindari terjadinya reaksi kimia atau perubahan bentuk dari limbah tersebut. Limbah padat yang telah siap untuk ditimbun ini ditempatkan pada suatu bangunan landfill yang telah disiapkan sebelumnya. Dalam menyiapkan bangunan landfill untuk suatu jenis limbah tertentu harus memperhatikan faktor biaya investasi awal dan biaya operasional yang akan ditanggung disamping faktor keamanan dari sistem yang harus diutamakan. Ada dua hal yang dapat dipertimbangkan agar biaya investasi dan operasional ini dapat ditekan tanpa mengabaikan faktor keamanan sistem, yaitu: a. pemilihan jenis landfill disesuaikan dengan jenis limbah (limbah an-organik, limbah organik atau limbah berbahaya) yang akan di-landfill (lihat sub bab 5.3). 77

19 b. pemilihan kategori landfill disesuaikan dengan jenis limbah yang akan di-landfill (lihat kategori landfill I, II dan III di sub bab 5.2); Pemilihan Kategori Landfill Pemilihan kategori landfill untuk limbah B3 didasarkan atas tingkat bahaya yang kemungkinan dapat ditimbulkan dari timbunan limbah tersebut. Untuk limbah B3 dari sumber yang spesifik seperti yang tertera pada Tabel 5.1 berikut, tempat penimbunannya harus di landfill kategori I (seperti tertera pada Gambar 5.2). Sedangkan untuk limbah B3 dari sumber spesifik lainnya yang mengandung zat pencemar tertentu dengan kadar yang telah diketahui melalui hasil uji laboratorium penimbunannya (landfill) mengacu pada Tabel 5.2 berikut Pemilihan Jenis Landfill Pemilihan jenis landfill yang akan digunakan tergantung dari jenis limbah yang akan ditimbun. Ada tiga pilihan jenis landfill yang dapat dipakai, yaitu landfill untuk limbah an-organik non-b3, untuk limbah organik non-b3 dan untuk limbah B3 (organik maupun an-organik). Ketiga jenis landfill tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.6 s/d

20 Tabel 5.1 : Jenis industri/kegiatan penghasil limbah B3 dari sumber yang spesifik yang tempat penimbunan limbahnya harus di-landfill Kategori I Kode limbah Jenis Industri Uraian Limbah D202 Pestisida - Sludge pengolahan limbah cair - Tong dan macam-macam alat yang digunakan untuk formulasi D203 Proses kloro alkali - Sludge pengolahan limbah cair (proses merkuri) D204 Adesif (UF, PF, MF, lain-lain) - Buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi D205 Industri polimer (PVC, PVA, lainlain) - Katalis - Monomer yang tidak bereaksi - Katalis D207 Pengawetan kayu - Sludge D210 Peleburan timbal bekas - Sludge - Debu - Slag D212 Pabrik tinta - Sludge D214 Perakitan kendaraan - Sludge D215 Elektrogalvani dan elektroplating - Sludge D216 Industri cat - Sludge D217 Baterai kering - Sludge - Sludge yang mengandung logam berat - Pasta (Mix) D218 Aki - Sludge - Buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi - Debu D219 Perakitan dan komponen - Sludge elektronika D224 Penyamakan dan pengolahan - Sludge kulit D225 Zat warna - Sludge D228 Laboratorium riset dan komersil - Sisa contoh Sumber : Kep. Kepala Bapedal No. 04/BAPEDAL/09/

21 Tabel 5.2 : Total Kadar Maksimum Limbah B3 yang belum terolah dan Tempat Penimbunannya Catatan: Bahan Pencemar Total Kadar Maksimum (mg/kg berat kering) KOLOM A Lebih Besar Dari atau Sama Dengan Tempat Penimbunannya di Landfill KATEGORI I Lebih Kecil Dari -- Tempat Penimbunannya di Landfill KATEGORI II Total Kadar Maksimum (mg/kg berat kering) KOLOM B Lebih Kecil Dari atau Sama Dengan - Tempat Penimbunannya di Landfill KATEGORI I Arsenic Barium - - Cadmium 50 5 Chromium Copper Cobalt Lead Mercury 20 2 Molybdenum Nickel Tin Selenium Silver - - Zinc Cyanide Fluoride Phenols: 10 1 Pentachlorophenol (PCP) 2,4,5-trichlorophenol 2,4,6-trichlorophenol Monocyclic Aromatic 70 7 Hydrocarbons: Benzene Nitrobenzene Monocyclic Aromatic Hydrocarbons: o-cresol m-cresol p-cresol total cresol 2,4-dinitrotoluene methyl ethyl ketone pyridine Total Petroleum Hydrocarbons (C6 to C9) TPH (all Cn) Total Petroleum Hydrocarbons (> C9) Organochlorine Compounds : Carbon tetrachloride Chlorobenzene Chloroform Tetrachloroethylene (PCE) Trichloroethylene (TCE) 1,4-dichlorobenzene 1,2 dichloroethane 1,2-dichloroethylene Hexachlorobenzene Hexachlorobutadiene Hexachloroethene Vynil chloride 10 1 Sumber : Kep. Kepala Bapedal No. 04/BAPEDAL/09/

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP-04/BAPEDAL/09/1995 TENTANG

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP-04/BAPEDAL/09/1995 TENTANG KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP-04/BAPEDAL/09/1995 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN PENIMBUNAN HASIL PENGOLAHAN, PERSYARATAN LOKASI BEKAS PENGOLAHAN, DAN LOKASI BEKAS

Lebih terperinci

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indones

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indones BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1132, 2016 KEMEN-LHK. Penimbunan Limbah B3. Persyaratan dan Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.63/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2016

Lebih terperinci

Limbah B3 dan Pengelolaannya

Limbah B3 dan Pengelolaannya PELATIHAN NASIONAL LINGKUNGAN HIDUP PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA & BERACUN (B3) DAN PENGENDALIAN LIMBAH B3 6 7 AGUSTUS 2009 DI HOTEL INNA SIMPANG, SURABAYA Limbah B3 dan Pengelolaannya Oleh : Ir. M. Razif,

Lebih terperinci

KEPUTUSA N KEPALA BA DAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGA N NOMOR : KEP-04/BAPEDAL/09/1995 TENTANG TATA CARA PERSYARATAN PENIMBUNAN HASIL PENGOLAHAN,

KEPUTUSA N KEPALA BA DAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGA N NOMOR : KEP-04/BAPEDAL/09/1995 TENTANG TATA CARA PERSYARATAN PENIMBUNAN HASIL PENGOLAHAN, KEPUTUSA N KEPALA BA DAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGA N NOMOR : KEP-04/BAPEDAL/09/1995 TENTANG TATA CARA PERSYARATAN PENIMBUNAN HASIL PENGOLAHAN, PERSYARATAN LOKASI BEKAS PENGOLAHAN DAN LOKASI BEKAS PENIMBUNAN

Lebih terperinci

X. BIOREMEDIASI TANAH. Kompetensi: Menjelaskan rekayasa bioproses yang digunakan untuk bioremediasi tanah

X. BIOREMEDIASI TANAH. Kompetensi: Menjelaskan rekayasa bioproses yang digunakan untuk bioremediasi tanah X. BIOREMEDIASI TANAH Kompetensi: Menjelaskan rekayasa bioproses yang digunakan untuk bioremediasi tanah A. Composting Bahan-bahan yang tercemar dicampur dengan bahan organik padat yang relatif mudah terombak,

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PEMBANGUNAN IPLT SISTEM KOLAM

PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PEMBANGUNAN IPLT SISTEM KOLAM PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PEMBANGUNAN IPLT SISTEM KOLAM TATA CARA PEMBANGUNAN IPLT SISTEM KOLAM BAB I DESKRIPSI 1.1 Ruang lingkup Tatacara ini meliputi ketentuan-ketentuan, cara pengerjaan bangunan utama

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1994 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1994 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1994 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup perlu dijaga kelestariannya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pemerintah No 18 tahun 1999).

BAB II LANDASAN TEORI. Pemerintah No 18 tahun 1999). BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Limbah a. Definisi Limbah Limbah adalah sisa suatu usaha dalam/ atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1999). Limbah adalah bahan atau sisa buangan

Lebih terperinci

TATA CARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENYIMPANAN DAN PENGUMPULAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

TATA CARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENYIMPANAN DAN PENGUMPULAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN Lampiran : Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep-01/Bapedal/09/1995 Tanggal : 5 September 1995 TATA CARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENYIMPANAN DAN PENGUMPULAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA

Lebih terperinci

PENGELOLAAN LIMBAH B3 PENIMBUNAN DAN DUMPING

PENGELOLAAN LIMBAH B3 PENIMBUNAN DAN DUMPING PENGELOLAAN LIMBAH B3 PENIMBUNAN DAN DUMPING Hotel Sahid Rich Jogja, 18-19 November 2015 Subdirektorat Penimbunan dan Dumping Limbah B3 Direktorat Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 dan Non B3 Direktorat

Lebih terperinci

PERENCANAAN TEMPAT PEMROSESAN AKHIR (TPA) SAMPAH DENGAN SISTEM SANITARY LANDFILL DI TPA PECUK KABUPATEN INDRAMAYU

PERENCANAAN TEMPAT PEMROSESAN AKHIR (TPA) SAMPAH DENGAN SISTEM SANITARY LANDFILL DI TPA PECUK KABUPATEN INDRAMAYU PERENCANAAN TEMPAT PEMROSESAN AKHIR (TPA) SAMPAH DENGAN SISTEM SANITARY LANDFILL DI TPA PECUK KABUPATEN INDRAMAYU Oleh: Hamdani Abdulgani Sipil Fakultas Teknik Universitas Wiralodra Indramayu ABSTRAK Tempat

Lebih terperinci

Teknik Bioremediasi Hidrokarbon

Teknik Bioremediasi Hidrokarbon MATERI KULIAH BIOREMEDIASI TANAH Prodi Agroteknologi UPNVY Minat Sumber Daya Lahan Pertemuan ke 11 Teknik Bioremediasi Hidrokarbon Ir. Sri Sumarsih, MP Sumarsih_03@yahoo.com Sumarsih07.wordpress.com Peraturan

Lebih terperinci

Keputusan Kepala Bapedal No. 1 Tahun 1995 Tentang : Tata Cara Dan Persyaratan Teknis Penyimpanan Dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun

Keputusan Kepala Bapedal No. 1 Tahun 1995 Tentang : Tata Cara Dan Persyaratan Teknis Penyimpanan Dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Keputusan Kepala Bapedal No. 1 Tahun 1995 Tentang : Tata Cara Dan Persyaratan Teknis Penyimpanan Dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Oleh : KEPALA BAPEDAL Nomor : 1 TAHUN 1995 Tanggal :

Lebih terperinci

PENGELOLAAN LIMBAH B3. Disampaikan oleh: Deputi MENLH Bidang Pengeloaan B3, Limbah B3, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup

PENGELOLAAN LIMBAH B3. Disampaikan oleh: Deputi MENLH Bidang Pengeloaan B3, Limbah B3, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup PENGELOLAAN LIMBAH B3 Disampaikan oleh: Deputi MENLH Bidang Pengeloaan B3, Limbah B3, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup 1 PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN Penetapan Limbah B3 (Kategorisasi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan panas bumi dan Iain-lain. Pertumbuhan industri akan membawa dampak positif,

BAB I PENDAHULUAN. dan panas bumi dan Iain-lain. Pertumbuhan industri akan membawa dampak positif, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan industri di Indonesia semakin pesat dalam bermacammacam bidang, mulai dari industri pertanian, industri tekstil, industri elektroplating dan galvanis,

Lebih terperinci

Disampaikan Pada Kegiatan Bimbingan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B September 2016

Disampaikan Pada Kegiatan Bimbingan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B September 2016 PENYAMPAIAN RANCANGAN PERATURAN MENLHK TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENYIMPANAN LIMBAH B3; DAN PENGEMASAN LIMBAH B3 DALAM RANGKA REVISI KEPUTUSAN KEPALA BAPEDAL NOMOR 01/BAPEDAL/09/1995 DAN PERATURAN

Lebih terperinci

Persyaratan Tempat Penyimpanan Sementara Limbah B3 Yulinah Trihadiningrum 11 Nopember 2009

Persyaratan Tempat Penyimpanan Sementara Limbah B3 Yulinah Trihadiningrum 11 Nopember 2009 Persyaratan Tempat Penyimpanan Sementara Limbah B3 Yulinah Trihadiningrum 11 Nopember 2009 Sumber pencemar di perkotaan Hazardous waste storage Acuan Permen LH no. 30/2009 tentang Tentang Tata Laksana

Lebih terperinci

STABILISASI SOLIDIFIKASI LIMBAH MENGANDUNG KROM DAN HIDROKARBON MENGGUNAKAN SEMEN PORTLAND DAN BENTONIT

STABILISASI SOLIDIFIKASI LIMBAH MENGANDUNG KROM DAN HIDROKARBON MENGGUNAKAN SEMEN PORTLAND DAN BENTONIT STABILISASI SOLIDIFIKASI LIMBAH MENGANDUNG KROM DAN HIDROKARBON MENGGUNAKAN SEMEN PORTLAND DAN BENTONIT Ayu Nindyapuspa 1, *), Masrullita 2) dan Yulinah Trihadiningrum 3) 1) Jurusan Teknik Lingkungan,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP-01/BAPEDAL/09/1995

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP-01/BAPEDAL/09/1995 Salinan BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN ( BAPEDAL ) KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP-01/BAPEDAL/09/1995 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENYIMPANAN DAN PENGUMPULAN

Lebih terperinci

Kriteria Agregat Berdasarkan PUBI Construction s Materials Technology

Kriteria Agregat Berdasarkan PUBI Construction s Materials Technology Kriteria Agregat Berdasarkan PUBI 1987 Construction s Materials Technology Pasir Beton Pengertian Pasir beton adalah butiranbutiran mineral keras yang bentuknya mendekati bulat dan ukuran butirnya sebagian

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP- 01/BAPEDAL/09/1995 TENTANG

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP- 01/BAPEDAL/09/1995 TENTANG KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP- 01/BAPEDAL/09/1995 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENYIMPANAN DAN PENGUMPULAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN KEPALA BADAN

Lebih terperinci

METODE PENGUJIAN KEPADATAN BERAT ISI TANAH DI LAPANGAN DENGAN BALON KARET

METODE PENGUJIAN KEPADATAN BERAT ISI TANAH DI LAPANGAN DENGAN BALON KARET METODE PENGUJIAN KEPADATAN BERAT ISI TANAH DI LAPANGAN DENGAN BALON KARET SNI 19-6413-2000 1. Ruang Lingkup 1.1 Metode ini mencakup penentuan kepadatan dan berat isi tanah hasil pemadatan di lapangan atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Mulai tahap perencanaan hingga tahap analisis, penelitian dilaksanakan berdasarkan sumber yang berkaitan dengan topik yang dipilih, yaitu penelitian tentang agregat

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN 1. LATAR BELAKANG PENGELOLAAN SAMPAH SNI 19-2454-1991 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, mendefinisikan sampah sebagai limbah yang bersifat padat, terdiri atas

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PERENCANAAN IPLT SISTEM KOLAM

PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PERENCANAAN IPLT SISTEM KOLAM PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PERENCANAAN IPLT SISTEM KOLAM TATA CARA PERENCANAAN IPLT SISTEM KOLAM BAB I DESKRIPSI 1.1 Ruang lingkup Tata cara ini memuat pengertian dan ketentuan umum dan teknis dan cara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN 27/07/2010. Efek Limbah Batubara. Pencemaran Logam Berat (Pb, Cr, Ar) Pencemaran lindi limbah batubara

PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN 27/07/2010. Efek Limbah Batubara. Pencemaran Logam Berat (Pb, Cr, Ar) Pencemaran lindi limbah batubara DACHLIANA SARASWATI 3306.100.052 Dosen Pembimbing IDAA Warmadewanthi, ST, MT, PhD Latar Belakang Limbah PT. SRC Limbah Sisa dan Ceceran Lem Limbah Sisa dan Ceceran Tinta Limbah Batubara Wastewater Treatment

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup perlu dijaga kelestariannya sehingga tetap mampu menunjang

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI & TEKNIK PENYIMPANAN LIMBAH B3

IDENTIFIKASI & TEKNIK PENYIMPANAN LIMBAH B3 IDENTIFIKASI & TEKNIK PENYIMPANAN LIMBAH B3 Disampaikan oleh: EUIS EKAWATI Kasubdit Prasarana dan Jasa Direktorat Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 Direktorat Jenderal Pengelolaan

Lebih terperinci

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN PENDAHULUAN Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi berdampak terhadap air tanah dan air permukaan. Perubahan

Lebih terperinci

Limbah B3 adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya baik secara langsung maupun

Limbah B3 adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya baik secara langsung maupun Pengelolaan Bahan Kimia Dan Limbah B3 Limbah B3?? Limbah B3 adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya baik secara langsung maupun tidak

Lebih terperinci

2014, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disin

2014, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disin LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.333, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Limbah. Bahan Berbahaya. Beracun. Pengelolaan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5617) PERATURAN

Lebih terperinci

ISBN : Oleh: Ir. Setiyono, MSi

ISBN : Oleh: Ir. Setiyono, MSi ISBN : 979-8465-25-3 Oleh: Ir. Setiyono, MSi Email : setiyonoi@hotmail.com Diterbitkan Oleh : Kelompok Teknologi Pengelolaan Air Bersih dan Limbah Cair, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan,

Lebih terperinci

Tugas Akhir Pemodelan Dan Analisis Kimia Airtanah Dengan Menggunakan Software Modflow Di Daerah Bekas TPA Pasir Impun Bandung, Jawa Barat

Tugas Akhir Pemodelan Dan Analisis Kimia Airtanah Dengan Menggunakan Software Modflow Di Daerah Bekas TPA Pasir Impun Bandung, Jawa Barat BAB V ANALISIS DATA 5.1 Aliran dan Pencemaran Airtanah Aliran airtanah merupakan perantara yang memberikan pengaruh yang terus menerus terhadap lingkungan di sekelilingnya di dalam tanah (Toth, 1984).

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PERATURAN DAN KEBIJAKAN DI BIDANG PENGUMPULAN DAN PEMANFAATAN LIMBAH B3

IMPLEMENTASI PERATURAN DAN KEBIJAKAN DI BIDANG PENGUMPULAN DAN PEMANFAATAN LIMBAH B3 IMPLEMENTASI PERATURAN DAN KEBIJAKAN DI BIDANG PENGUMPULAN DAN PEMANFAATAN LIMBAH B3 Bidakara, 20 November 2014 Penyimpanan & Pengumpulan LB3 Kegiatan menyimpan limbah B3 yang dilakukan oleh penghasil

Lebih terperinci

JENIS DAN KOMPONEN SPALD

JENIS DAN KOMPONEN SPALD LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 04/PRT/M/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK JENIS DAN KOMPONEN SPALD A. KLASIFIKASI SISTEM PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 0 TAHUN 204 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup perlu dijaga kelestariannya

Lebih terperinci

Bagian III: JARINGAN AIR KOTOR

Bagian III: JARINGAN AIR KOTOR Bagian III: JARINGAN AIR KOTOR PENGERTIAN Air buangan atau Air Limbah (Waste Water) adalah air yang telah selesai digunakan oleh berbagai kegiatan manusia (rumah tangga, industri, bangunan umum dll.).

Lebih terperinci

Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas. Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum

Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas. Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum Jurusan Teknik Lingkungan FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya * email:

Lebih terperinci

BAB 5 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH FASILITAS LAYANAN KESEHATAN SKALA KECIL

BAB 5 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH FASILITAS LAYANAN KESEHATAN SKALA KECIL BAB 5 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH FASILITAS LAYANAN KESEHATAN SKALA KECIL 5.1 Masalah Air Limbah Layanan Kesehatan Air limbah yang berasal dari unit layanan kesehatan misalnya air limbah rumah sakit,

Lebih terperinci

Kajian Peningkatan Daya Dukung Sub Base Menggunakan Pasir Sumpur Kudus

Kajian Peningkatan Daya Dukung Sub Base Menggunakan Pasir Sumpur Kudus Kajian Peningkatan Daya Dukung Sub Base Menggunakan Pasir Sumpur Kudus Enita Suardi 1) Lusyana 1) Yelvi 2) 1) Teknik Sipil, Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Padang, Padang Kampus Limau Manis Padang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Umum Setiap manusia akan menimbulkan buangan baik cairan, padatan maupun

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Umum Setiap manusia akan menimbulkan buangan baik cairan, padatan maupun BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum Setiap manusia akan menimbulkan buangan baik cairan, padatan maupun dalam bentuk gas. Buangan cair yang berasal dari masyarakat yang di kenal sebagai air buangan atau air limbah

Lebih terperinci

PENYIMPANAN SEMENTARA LIMBAH B3

PENYIMPANAN SEMENTARA LIMBAH B3 PENYIMPANAN SEMENTARA LIMBAH B3 Oleh: Aep Purnama Kabid Prasarana Jasa dan Non Institusi Asdep Pengelolaan LB3 dan Kontaminasi LB3 DEFINISI UU No. 32/2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada suatu konstruksi, tanah merupakan pondasi pendukung suatu bangunan. Keruntuhan suatu konstruksi sangat dipengaruhi oleh tanah dasarnya sehingga tanah dasar atau

Lebih terperinci

PENGELOLAAN EMISI GAS PADA PENUTUPAN TPA GUNUNG TUGEL DI KABUPATEN BANYUMAS

PENGELOLAAN EMISI GAS PADA PENUTUPAN TPA GUNUNG TUGEL DI KABUPATEN BANYUMAS PENGELOLAAN EMISI GAS PADA PENUTUPAN TPA GUNUNG TUGEL DI KABUPATEN BANYUMAS Puji Setiyowati* dan Yulinah Trihadiningrum Jurusan Teknik Lingkungan FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya * email:

Lebih terperinci

Pengelolaan dan Pengendalian Limbah B3

Pengelolaan dan Pengendalian Limbah B3 Materi yang terdapat dalam halaman ini adalah materi yang disampaikan dalam Pelatihan Audit Lingkungan yang diadakan atas kerja sama antara Departemen Biologi FMIPA IPB bekerja sama dengan Bagian PKSDM

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 204 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH PENGGUNAAN PASIR DARI BEBERAPA DAERAH TERHADAP KUAT TEKAN BETON. Abstrak

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH PENGGUNAAN PASIR DARI BEBERAPA DAERAH TERHADAP KUAT TEKAN BETON. Abstrak STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH PENGGUNAAN PASIR DARI BEBERAPA DAERAH TERHADAP KUAT TEKAN BETON Jeffry 1), Andry Alim Lingga 2), Cek Putra Handalan 2) Abstrak Beton merupakan salah satu bahan konstruksi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air adalah materi esensial di dalam kehidupan. Tidak ada satupun makhluk hidup di dunia ini yang tidak membutuhkan air. Sel hidup seperti tumbuh-tumbuhan atau hewan,

Lebih terperinci

Spesifikasi Pipa Beton untuk Air Buangan, Saluran Peluapan dari Gorong-Gorong

Spesifikasi Pipa Beton untuk Air Buangan, Saluran Peluapan dari Gorong-Gorong Spesifikasi Pipa Beton untuk Air Buangan, Saluran Peluapan dari Gorong-Gorong SNI 03-6367-2000 1 Ruang lingkup Spesifikasi ini meliputi pipa beton tidak bertulang yang digunakan sebagai pembuangan air

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah merupakan sisa-sisa aktivitas manusia dan lingkungan yang sudah tidak diinginkan lagi keberadaannya. Sampah sudah semestinya dikumpulkan dalam suatu tempat

Lebih terperinci

Kawasaki Motor Indonesia Green Industry Sumber Limbah

Kawasaki Motor Indonesia Green Industry Sumber Limbah Bab ii Limbah pt. Kawasaki motor indonesia 2.1. Sumber Limbah Dalam pelaksanaan kegiatan perakitan tersebut, PT. Kawasaki banyak menggunakan air untuk proses produksi (terutama untuk proses pengecatan)

Lebih terperinci

TEKNIK PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA PIYUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR PENGELOLAAN LIMBAH PADAT *) Oleh : Suhartini **) Abstrak

TEKNIK PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA PIYUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR PENGELOLAAN LIMBAH PADAT *) Oleh : Suhartini **) Abstrak TEKNIK PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA PIYUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR PENGELOLAAN LIMBAH PADAT *) Oleh : Suhartini **) Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik pengelolaan sampah di TPA Piyungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Koener (1988) geosintetik terdiri dari 2 suku kata, geo yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Koener (1988) geosintetik terdiri dari 2 suku kata, geo yang 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Filosofi Geosintetik Menurut Koener (1988) geosintetik terdiri dari 2 suku kata, geo yang bearti tanah dan sintetik bearti tiruan. Geosintetik adalah bahan tiruan (sintetis)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.63/Menlhk/Setjen/KUM.1/7/2016 TAHUN TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENIMBUNAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI FASILITAS

Lebih terperinci

PETUNJUK PRAKTIS PEMELIHARAAN RUTIN JALAN

PETUNJUK PRAKTIS PEMELIHARAAN RUTIN JALAN PEMELIHARAAN RUTIN JALAN DAN JEMBATAN PETUNJUK PRAKTIS PEMELIHARAAN RUTIN JALAN UPR. 02 UPR. 02.4 PEMELIHARAAN RUTIN TALUD & DINDING PENAHAN TANAH AGUSTUS 1992 DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

PENGUJIAN INFILTRASI FINAL CLAY COVER PADA BANGUNAN SANITARY LANDFILL

PENGUJIAN INFILTRASI FINAL CLAY COVER PADA BANGUNAN SANITARY LANDFILL PENGUJIAN INFILTRASI FINAL CLAY COVER PADA BANGUNAN SANITARY LANDFILL Erwin Galung Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar ABSTRACT The aim of the study is to analyze the

Lebih terperinci

Solusi TenCate untuk Kelestarian Lingkungan Hidup

Solusi TenCate untuk Kelestarian Lingkungan Hidup Solusi TenCate untuk Kelestarian Lingkungan Hidup Protective Fabrics Space Composites Aerospace Composites Advanced Armour Geosynthetics Industrial Fabrics Grass Polyfelt Enviromat Geosynthetic Clay Liner

Lebih terperinci

Definisi. Limbah Organik. Jenis-jenis Limbah. Jenis-jenis Limbah. Limbah Anorganik. Pengelolaan Limbah L/O/G/O

Definisi. Limbah Organik. Jenis-jenis Limbah. Jenis-jenis Limbah. Limbah Anorganik. Pengelolaan Limbah L/O/G/O L/O/G/O Definisi Pengelolaan Limbah Week 9 Khamdi Mubarok, S.T, M.Eng Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga) Limbah padat lebih dikenal

Lebih terperinci

PENGELOLAAN TPA BERWAWASAN LINGKUNGAN

PENGELOLAAN TPA BERWAWASAN LINGKUNGAN PENGELOLAAN TPA BERWAWASAN LINGKUNGAN I. UMUM Lokasi TPA merupakan tempat pembuangan akhir sampah yang akan menerima segala resiko akibat pola pembuangan sampah terutama yang berkaitan dengan kemungkinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah terjadi perubahan-perubahan dalam tatanan lingkungan sehingga tidak sama lagi

BAB I PENDAHULUAN. telah terjadi perubahan-perubahan dalam tatanan lingkungan sehingga tidak sama lagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pencemaran atau polusi adalah suatu kondisi yang telah berubah dari bentuk asal pada keadaan yang lebih buruk. Suatu lingkungan dikatakan tercemar apabila telah terjadi

Lebih terperinci

Spesifikasi lapis fondasi agregat semen (LFAS)

Spesifikasi lapis fondasi agregat semen (LFAS) Standar Nasional Indonesia Spesifikasi lapis fondasi agregat semen (LFAS) ICS 91.100.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2015 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian

Lebih terperinci

PEDOMAN. Penggunaan tailing untuk lapis pondasi dan lapis pondasi bawah DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan

PEDOMAN. Penggunaan tailing untuk lapis pondasi dan lapis pondasi bawah DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan PEDOMAN Konstruksi dan Bangunan Pd T-14-2004-B Penggunaan tailing untuk lapis pondasi dan lapis pondasi bawah DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH Daftar isi Daftar isi... i Daftar tabel... i Prakata...

Lebih terperinci

Pasal 6 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Pasal 6 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PEMANFAATAN AIR HUJAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa air hujan merupakan sumber air yang dapat dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi, yang juga akan membawa permasalahan lingkungan.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR, BUPATI BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI BANJAR NOMOR 45 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI KABUPATEN BANJAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

SOLIDIFIKASI DEINKING SLUDGE DAN FLY ASH BATU BARA UNTUK PEMENUHAN PERSYARATAN PENIMBUNAN DI LANDFILL

SOLIDIFIKASI DEINKING SLUDGE DAN FLY ASH BATU BARA UNTUK PEMENUHAN PERSYARATAN PENIMBUNAN DI LANDFILL Solidifikasi Deinking Sludge dan Fly Ash Batu Bara Untuk Pemenuhan... : Krisna Adhitya Wardhana, dkk. SOLIDIFIKASI DEINKING SLUDGE DAN FLY ASH BATU BARA UNTUK PEMENUHAN PERSYARATAN PENIMBUNAN DI LANDFILL

Lebih terperinci

PERKUATAN TANAH LUNAK PADA PONDASI DANGKAL DI BANTUL DENGAN BAN BEKAS

PERKUATAN TANAH LUNAK PADA PONDASI DANGKAL DI BANTUL DENGAN BAN BEKAS PERKUATAN TANAH LUNAK PADA PONDASI DANGKAL DI BANTUL DENGAN BAN BEKAS Sumiyati Gunawan 1 dan Ferdinandus Tjusanto 2 1 Program Studi Teknik Sipil, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari 44 Yogyakarta

Lebih terperinci

DAFTAR STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BIDANG BAHAN KONSTRUKSI BANGUNAN DAN REKAYASA SIPIL

DAFTAR STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BIDANG BAHAN KONSTRUKSI BANGUNAN DAN REKAYASA SIPIL DAFTAR (SNI) BIDANG BAHAN KONSTRUKSI BANGUNAN DAN REKAYASA SIPIL No. Judul Standar Nomor Standar Ruang Lingkup D Pemukiman (Cipta Karya) 4. Air Bersih/ Air Minum 1. Metode Pengujian Meter Air Bersih (Ukuran

Lebih terperinci

AUDIT LIMBAH B3 Bahan Berbahaya dan Beracun

AUDIT LIMBAH B3 Bahan Berbahaya dan Beracun AUDIT LIMBAH B3 Bahan Berbahaya dan Beracun Limbah Sisa suatu usaha dan atau kegiatan Limbah B3 Sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun Sifat, konsentrasi, dan

Lebih terperinci

BAYU TEGUH ARIANTO NIM : D NIRM :

BAYU TEGUH ARIANTO NIM : D NIRM : ANALISIS PARAMETER KUAT GESER TANAH DENGAN GEOTEXTILE Tugas Akhir untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-1 Teknik Sipil diajukan oleh : BAYU TEGUH ARIANTO NIM : D 100 030 074 NIRM

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1.Tanah Lempung Tanah Lempung merupakan jenis tanah berbutir halus. Menurut Terzaghi (1987) tanah lempung merupakan tanah dengan ukuran mikrokopis sampai dengan sub mikrokopis

Lebih terperinci

TATA CARA PERENCANAAN BANGUNAN MCK UMUM

TATA CARA PERENCANAAN BANGUNAN MCK UMUM TATA CARA PERENCANAAN BANGUNAN MCK UMUM COPY SNI 03-2399 - 2002 TATA CARA PERENCANAAN BANGUNAN MCK UMUM 1 Ruang Iingkup Tata cara ini meliputi istilah dan definisi, persyaratan yang berlaku untuk sarana

Lebih terperinci

LAPIS PONDASI AGREGAT SEMEN (CEMENT TREATED BASE / CTB)

LAPIS PONDASI AGREGAT SEMEN (CEMENT TREATED BASE / CTB) BAB V LAPIS PONDASI AGREGAT SEMEN (CEMENT TREATED BASE / CTB) 5.1. UMUM a. Lapis Pondasi Agregat Semen (Cement Treated Base / CTB) adalah Lapis Pondasi Agregat Kelas A atau Kelas B atau Kelas C yang diberi

Lebih terperinci

Drainase Lapangan Olahraga

Drainase Lapangan Olahraga Drainase Lapangan Olahraga Pendahuluan Sistem drainase untuk lapangan olah raga bertujuan untuk mengeringkan lapangan agar tidak terjadi genangan air bila terjadi hujan, karena bila timbul genangan air

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 19-1994::PP 12-1995 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 31, 1999 LINGKUNGAN HIDUP. BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN. Dampak Lingkungan.

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN. Menimbang :

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN. Menimbang : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP-3/BAPEDAL//998 TENTANG PROGRAM KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Beracun (B3) yang dihasilkan di PT Saptaindra Sejati site ADMO bahwa

BAB V PEMBAHASAN. Beracun (B3) yang dihasilkan di PT Saptaindra Sejati site ADMO bahwa BAB V PEMBAHASAN A. Identifikasi Limbah B3 Hasil observasi identifikasi mengenai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang dihasilkan di PT Saptaindra Sejati site ADMO bahwa limbah B3 yang terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup. Sebagian besar bumi terdiri atas air karena luas daratan lebih kecil dibandingkan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 204 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

STUDI KAPASITAS DUKUNG PONDASI LANGSUNG DENGAN ALAS PASIR PADA TANAH KELEMPUNGAN YANG DIPERKUAT LAPISAN GEOTEKSTIL

STUDI KAPASITAS DUKUNG PONDASI LANGSUNG DENGAN ALAS PASIR PADA TANAH KELEMPUNGAN YANG DIPERKUAT LAPISAN GEOTEKSTIL STUDI KAPASITAS DUKUNG PONDASI LANGSUNG DENGAN ALAS PADA TANAH KELEMPUNGAN YANG DIPERKUAT LAPISAN GEOTEKSTIL M. Iskandar Maricar 1 1 Jurusan.Teknik Sipil, Unhas, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Makassar

Lebih terperinci

PROSES PENGAWETAN KAYU. 1. Persiapan Kayu untuk Diawetkan

PROSES PENGAWETAN KAYU. 1. Persiapan Kayu untuk Diawetkan PROSES PENGAWETAN KAYU 1. Persiapan Kayu untuk Diawetkan Tujuan dari persiapan kayu sebelum proses pengawetan adalah agar 1 ebih banyak atau lebih mudah bahan pengawet atau larutannya meresap ke dalam

Lebih terperinci

TATA CARA PEMANFAATAN AIR HUJAN

TATA CARA PEMANFAATAN AIR HUJAN Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 12 Tahun 2009 Tanggal : 15 April 2009 TATA CARA PEMANFAATAN AIR HUJAN I. Pendahuluan Dalam siklus hidrologi, air hujan jatuh ke permukaan bumi,

Lebih terperinci

BUPATI PENAJAM PASER UTARA

BUPATI PENAJAM PASER UTARA 9 BUPATI PENAJAM PASER UTARA PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) DI WILAYAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Metode pengujian kuat lentur kayu konstruksi Berukuran struktural

Metode pengujian kuat lentur kayu konstruksi Berukuran struktural SNI 03-3975-1995 Standar Nasional Indonesia Metode pengujian kuat lentur kayu konstruksi Berukuran struktural ICS Badan Standardisasi Nasional DAFTAR ISI Daftar Isi... Halaman i BAB I DESKRIPSI... 1 1.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paling sering ditemui diantaranya adalah sampah plastik, baik itu jenis

BAB I PENDAHULUAN. paling sering ditemui diantaranya adalah sampah plastik, baik itu jenis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah merupakan hasil aktivitas manusia yang tidak dapat dimanfaatkan. Namun pandangan tersebut sudah berubah seiring berkembangnya jaman. Saat ini sampah dipandang

Lebih terperinci

2011, No Menetapkan : 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

2011, No Menetapkan : 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.261, 2011 KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP. Baku Mutu Air Limbah. Usaha. Eksplorasi dan Eksploitasi. PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Karakteristik Limbah Padat

Karakteristik Limbah Padat Karakteristik Limbah Padat Lab Bioindustri Limbah Padat? hasil buangan industri yang berupa padatan, lumpur, dan bubur yang berasal dari sisa proses pengolahan. Karakteristik serta komposisi limbah sangat

Lebih terperinci

Spesifikasi lapis tipis aspal pasir (Latasir)

Spesifikasi lapis tipis aspal pasir (Latasir) Standar Nasional Indonesia Spesifikasi lapis tipis aspal pasir (Latasir) ICS 93.080.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... I Prakata... II Pendahuluan... III 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan

Lebih terperinci

Judul Tugas Akhir STABILISASI LIMBAH MENGANDUNG Cu DENGAN CAMPURAN SEMEN PORTLAND DAN BENTONIT

Judul Tugas Akhir STABILISASI LIMBAH MENGANDUNG Cu DENGAN CAMPURAN SEMEN PORTLAND DAN BENTONIT Judul Tugas Akhir STABILISASI LIMBAH MENGANDUNG Cu DENGAN CAMPURAN SEMEN PORTLAND DAN BENTONIT Oleh Komang Ritayani 3310100054 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Yulinah Trihadiningrum, M. App. Sc Jurusan Teknik

Lebih terperinci

Penyehatan Lingkungan Permukiman bertujuan untuk mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni, sehat, aman, produktif dan berkelanjutan melalui

Penyehatan Lingkungan Permukiman bertujuan untuk mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni, sehat, aman, produktif dan berkelanjutan melalui Penyehatan Lingkungan Permukiman bertujuan untuk mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni, sehat, aman, produktif dan berkelanjutan melalui peningkatan kualitas kesehatan masyarakat dan menjaga kelestarian

Lebih terperinci

BAB IV DISAIN DAN REKOMENDASI TPA SANITARY LANDFILL KABUPATEN KOTA

BAB IV DISAIN DAN REKOMENDASI TPA SANITARY LANDFILL KABUPATEN KOTA BAB IV DISAIN DAN REKOMENDASI TPA SANITARY LANDFILL KABUPATEN KOTA 4.1. Latar Belakang Pemilihan lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan langkah awal yang harus dilakukan apabila pemerintah pusat

Lebih terperinci

Pemantauan Limbah Cair, Gas dan Padat

Pemantauan Limbah Cair, Gas dan Padat Pemantauan Limbah Cair, Gas dan Padat Paryanto, Ir.,MS Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Sebelas Maret Bimbingan Teknis Pengendalian B3 Pusat Pelatihan

Lebih terperinci

Standart Kompetensi Kompetensi Dasar

Standart Kompetensi Kompetensi Dasar POLUSI Standart Kompetensi : Memahami polusi dan dampaknya pada manusia dan lingkungan Kompetensi Dasar : Mengidentifikasi jenis polusi pada lingkungan kerja 2. Polusi Air Polusi Air Terjadinya polusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Skema Proses Pengolahan Air Limbah

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Skema Proses Pengolahan Air Limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Sewon dibangun pada awal Januari 1994 Desember 1995 yang kemudian dioperasikan pada tahun 1996. IPAL Sewon dibangun di lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pulau-pulau : Kalimantan, Sumatera dan Irian Jaya. Gambut adalah tanah lunak,

BAB I PENDAHULUAN. pulau-pulau : Kalimantan, Sumatera dan Irian Jaya. Gambut adalah tanah lunak, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki lahan gambut seluas 27.000.000 ha yang terpusat di pulau-pulau : Kalimantan, Sumatera dan Irian Jaya. Gambut adalah tanah lunak, organik, sulit

Lebih terperinci

Petunjuk Operasional IPAL Domestik PT. UCC BAB 5 SPESIFIKASI BANGUNAN IPAL DAN PERALATAN

Petunjuk Operasional IPAL Domestik PT. UCC BAB 5 SPESIFIKASI BANGUNAN IPAL DAN PERALATAN BAB 5 SPESIFIKASI BANGUNAN IPAL DAN PERALATAN 42 5.1. Spesifikasi Bangunan a. Bak Pengumpul Ukuran : lihat gambar as built. Jumlah ruang : 2 ruang. Material : Beton tebal 15 cm, besi 10 mm satu lapis.

Lebih terperinci

Spesifikasi bangunan pelengkap unit instalasi pengolahan air

Spesifikasi bangunan pelengkap unit instalasi pengolahan air Standar Nasional Indonesia ICS 91.140.60 Spesifikasi bangunan pelengkap unit instalasi pengolahan air Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi.. i Prakata ii Pendahuluan.iii 1 Ruang lingkup..

Lebih terperinci

Tata cara perencanaan bangunan MCK umum

Tata cara perencanaan bangunan MCK umum Standar Nasional Indonesia Tata cara perencanaan bangunan MCK umum ICS 27.180 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Halaman Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3

Lebih terperinci