Teknik Perangkap untuk Para Koruptor
|
|
- Bambang Darmali
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Edisi Juni 2005 Korupsi Teknik Perangkap untuk Para Koruptor Arsil Pengantar Seperti diketahui bersama korupsi merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi oleh negara ini. Korupsi tersebut tidak hanya terjadi di tingkat elit namun hampir dapat dipastikan masalah ini terdapat hampir di seluruh lapisan institusi negara ini. Tingkatan korupsi di masing-masing lapisan tersebut juga beragam, mulai dari korupsi yang jumlahnya kecil-kecilan, seperti korupsi dalam pembuatan SIM, KTP, dan perizinan-perizinan, hingga korupsi besarbesaran yang jumlahnya bisa mencapai angka trilyunan rupiah. Bentuk tindak pidana ini juga cukup beragam, mulai dari mark-up pembelian-pembelian barang, penyuapan, kolusi, pemalsuan bukti pembayaran dan lain sebagainya. Banyak upaya yang telah dilakukan untuk melakukan pemberantasan korupsi, mulai dari upaya-upaya pembenahan sistem-sistem administrasi yang rentan praktek-praktek haram tersebut, pembenahan peraturan perundang-undangan, pembentukan tim-tim khusus maupun institusi khusus yang ditugaskan untuk melakukan pemberantasan korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) yang baru saja dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan kini kita mempunyai pengadilan khusus yang khusus hanya menangani perkara korupsi. 1 Upaya-upaya tersebut sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam hal pembenahan peraturan perundang-undangan upaya ini telah dilakukan setidaknya sejak tahun 1970-an, yaitu dengan dikeluarkannya UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian telah diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun Selain itu pada tahun 1980 juga dikeluarkan sebuah undang-undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana suap yaitu UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, serta masih banyak lagi peraturan perundangundangan yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi. Begitu juga dalam hal pembentukan tim-tim khusus maupun institusi khusus macam KPK maupun Tim Tastipikor. Sejak awal Orde Baru tim-tim serupa sebenarnya sudah pernah ada, bahkan mungkin hampir setiap dasawarsa dibentuk satu tim atau institusi khusus yang ditugaskan khusus untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, satu persatu tim-tim tersebut ternyata tidak dapat bertahan lama dan korupsi terus saja terjadi bahkan makin merajalela. 1Walaupun perkara korupsi yang ditangani hanya sebatas perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh KPK, sementara untuk perkara korupsi lainnya yang penuntutannya dilakukan oleh Kejaksaan tetap disidangkan di pengadilan biasa. 1
2 Untuk saat ini tentunya kita belum dapat menilai bagaimana kinerja KPK maupun Tim Tastipikor, apakah akan mengikuti sejarah yang telah gagal tersebut atau mampu mengubah sejarah pemberantasan korupsi. Tentunya masih diperlukan sejumlah rentang waktu beberapa tahun untuk menjawabnya. Sementara itu yang dapat dilakukan publik adalah terus mengawasi kinerja kedua lembaga tersebut sekaligus memikirkan alternatif-alternatif upaya pemberantasan korupsi. Tulisan ini ditujukan sebagai bahan masukan atas pemikiran tersebut. Belajar dari Kasus Mulyana W. Kusumah Berita tertangkap tangannya Mulyana W. Kusumah (MWK), salah seorang anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) ketika sedang menyuap salah seorang auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membuka peluang bagi munculnya satu wacana baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Wacana tersebut adalah pemerangkapan (entrapment) sebagai suatu teknik dalam upaya penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan korupsi. Dalam perkara di atas, MWK, menurut versi KPK, terlebih dulu menghubungi salah seorang auditor BPK yang bertugas melaksanakan audit investigasi laporan keuangan KPU untuk melakukan pertemuan di sebuah hotel. Dalam pertemuan tersebut MWK membawa sejumlah uang untuk diserahkan kepada auditor tersebut sebagai bentuk penyuapan agar auditor tersebut tidak mempermasalahkan laporan keuangan KPU atau setidaknya untuk melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum. Namun tanpa sepengetahuan MWK ternyata auditor tersebut sebelumnya telah bekerja sama dengan KPK yang saat itu memang sedang melakukan penyelidikan atas dugaan korupsi di tubuh KPU. Auditor tersebut kemudian berpura-pura akan menerima uang suap yang diberikan oleh MWK, dan KPK ternyata telah menyiapkan peralatan audio visual untuk merekam proses penyuapan. Pada saat MWK selesai menyerahkan uang suap kepada auditor BPK tersebut, penyidik KPK yang pada saat itu memang telah berada di hotel, langsung menangkap MWK. Dengan cara seperti ini akhirnya KPK berhasil mendapatkan buktibukti yang sangat kuat dan sulit untuk dibantah bahwa MWK setidaknya melakukan upaya penyuapan. Apa yang menarik dari kasus tersebut? Saya mengistilahkan teknik yang digunakan oleh KPK dalam kasus di atas sebagai Teknik Perangkap. Bayangkan jika apa yang dilakukan oleh KPK dalam kasus MWK di atas secara serius digunakan sebagai salah satu teknik dalam pemberantasan korupsi. Katakanlah misalnya KPK atau Tim Tastipikor memiliki tim khusus untuk melakukan teknik perangkap macam ini dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi. Cara kerja tim ini sangat sederhana. Tim dibagi dua kelompok, dengan kelompok pertama berfungsi mencari informasi mengenai institusi-institusi negara apa saja yang selama ini rentan terjadi praktek-praktek KKN serta mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk melakukan pemerangkapan. Kelompok kedua terdiri dari sejumlah orang yang identitasnya dirahasiakan yang berfungsi sebagai agent provocateur (agen provokator) yang memiliki tugas melakukan penyamaran. Untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi dengan memanfaatkan tim khusus ini, KPK, misalnya, perlu menetapkan tahapan-tahapan prosedurnya. Dalam tahap pertama misalnya, target yang ingin dicapai adalah melakukan pemberantasan praktek-praktek suap yang ada di 2
3 institusi-institusi birokrasi yang mempunyai kewenangan mengeluarkan berbagai macam perizinan. Institusi-institusi ini biasanya sangat rentan terhadap praktek-praktek KKN. Selain itu, insitusi macam ini biasanya berhubungan langsung dengan masyarakat seperti misalnya kantor pajak, kantor pertanahan, imigrasi, kepolisian dan lainnya. Terhadap institusi-institusi yang telah ditetapkan sebagai target operasi ini kemudian diturunkan para agen provokator untuk melakukan perangkapan-perangkapan. Agen yang menyamar tersebut kemudian berpura-pura menawarkan sejumlah uang kepada aparat yang dicurigai sering menerima suap untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya. Untuk membuat agar perangkap ini lebih sempurna, sebelumnya uang tersebut telah diberi tanda khusus atau telah dicatat nomor serinya. Agen tersebut harus dilengkapi dengan alat perekam. Kemudian jika aparat tersebut mau menerima tawaran dari agen yang menyamar tersebut setelah uang berpindah tangan pada saat itu juga dilakukan penangkapan. Seperti dalam kasus MWK, tim ini akan memiliki bukti yang sangat kuat untuk menjerat petugas tersebut. Apa manfaat dari teknik perangkapan ini bagi pemberantasan korupsi? Terdapat setidaknya dua manfaat dari teknik semacam ini. Pertama, cara ini dapat secara efektif membersihkan institusi-institusi yang selama ini rentan dengan praktek-praktek KKN. Satu permasalahan akut yang dihadapi oleh birokrasi di negeri ini adalah cukup banyaknya oknum-oknum yang bermasalah. Selama oknum-oknum tersebut masih terdapat dalam institusiinstitusi publik maka upaya-upaya pembenahan sistemik akan sulit dilakukan. Resistensi terhadap upaya pembenahan akan cukup tinggi karena hal tersebut akan menghilangkan sumber ekonomi mereka. Pembersihan dari oknum-oknum semacam ini selama ini sulit untuk dilakukan. Negara tentunya tidak bisa dengan serta merta tanpa alasan yang jelas memberhentikan oknum-oknum tersebut, kecuali jika mereka terbukti melakukan suatu tindak pidana atau melakukan pelanggaran disiplin yang tergolong berat. Dalam hal yang terakhir ini salah satu kendala yang dihadapi biasanya terkait dengan masalah pembuktian. Namun jika teknik perangkap ini diterapkan terhadap oknum-oknum tersebut, maka tentunya masalah pembuktian tidak lagi menjadi isu yang berarti. Kedua, teknik ini dapat secara bertahap mengubah budaya kerja yang birokratis. Bukan rahasia lagi kalau saat ini budaya kerja birokrasi kita masih cukup korup. Salah satu faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya praktek tersebut karena selama ini cukup mudah untuk melakukan korupsi. Aparat birokrasi dengan kewenangannya dapat membuat kondisi yang memaksa masyarakat untuk menyuap jika tidak ingin proses administrasi yang sedang dilaluinya dipersulit. Jika dalam institusi tersebut terdapat beberapa contoh kasus sejumlah oknum yang berhasil dijerat dengan menggunakan teknik perangkap ini, tentu ada kemungkinan dapat berefek kepada aparat-aparat lainnya, khususnya bagi aparat-aparat yang potensial berlaku korup. Teknik ini memang tidak dapat mengubah budaya kerja birokrasi secara mendasar, jika hanya dilakukan satu atau dua kali. Namun jika teknik ini dilakukan berulang kali, maka saya yakin cara ini dapat menimbulkan rasa ketidakpastian bagi para aparat yang ingin menerima suap. Ia akan berfikir dua kali ketika akan menerima suap, karena bisa jadi orang yang akan memberi atau menerima suap tersebut adalah agen yang menyamar. Jika rasa ketidakpastian tersebut telah melembaga, maka secara perlahan diharapkan budaya KKN dapat berkurang. 3
4 Pengaturan Teknik Perangkap di Indonesia Secara yuridis, teknik perangkap ini baru dikenal di bidang pemberantasan tindak pidana narkotika maupun psikotropika. Kita bisa melihatnya dalam Pasal 56 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Pasal 68 UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dalam kedua undang-undang tersebut, dikenal istilah Teknik Penyidikan Penyerahan yang Diawasi dan Teknik Pembelian Terselubung. Memang dalam kedua undang-undang tersebut tidak dijelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan kedua teknik tersebut. Namun jika dilihat dari penerapannya selama ini, hakikat kedua teknik ini merupakan teknik perangkap yang sudah saya jelaskan panjang lebar di atas. Kini yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana teknik perangkap khusus korupsi diatur dalam hukum di Indonesia. Apakah ada suatu ketentuan mengenai hal ini dalam peraturan perundang-undangan korupsi kita? Jika melihat UU Nomor 30 Tahun 2002 ternyata memang belum ada satu ketentuan dalam UU KPK itu yang secara tegas menyatakan penyidik maupun penuntut umum boleh melakukan teknik perangkap macam ini. Begitu juga dalam KUHAP. Dalam pasal 7 ayat (1) huruf j hanya disebutkan penyidik memiliki kewenangan untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Namun apakah ketentuan ini boleh digunakan sebagai dasar untuk menerapkan teknik perangkap di bidang korupsi, tentunya masih debatable. Mengingat belum adanya ketentuan tegas mengenai teknik perangkap khusus di bidang korupsi, terdapat sejumlah kemungkinan yang muncul jika teknik ini diterapkan. Kemungkinan yang pertama adalah agen provokator yang melakukan penyamaran tersebut dapat ikut dikenakan ancaman pidana. Misalnya saja agen provokator tersebut berpura-pura melakukan suap terhadap seorang pejabat negara atau aparat birokrasi tertentu. Mengingat dalam hukum pidana aturan mengenai suap tidak hanya dapat menjerat penerima, melainkan juga dapat disangkakan pada penyuap, maka hal ini sangat tidak menguntungkan bagi agen provokator tersebut. Tanpa ada dasar hukum yang cukup kuat yang dapat melegalkan teknik perangkap ini, khususnya dalam bidang pemberantasan tindak pidana korupsi, tentunya perlindungan hukum bagi para agen provokator atau penyamar tersebut sangat lemah. Pembatasan Teknik Perangkapan Seperti halnya teknik-teknik penyidikan lainnya, teknik perangkap pada dasarnya juga rentan terhadap penyalahgunaan. Salah satu bentuk penyalahgunaan yang sangat mungkin terjadi adalah agen provokator mengondisikan sedemikian rupa sehingga orang yang tadinya tidak memiliki niat untuk melakukan tindak pidana dalam hal ini korupsi menjadi terpaksa harus melakukan tindakan tersebut. Untuk menghindarinya, saya kira, harus dibuat suatu batasan yang cukup ketat mengenai kapan teknik perangkap ini dianggap sah dilakukan, kapan teknik ini dianggap tidak sah. Dalam sistem hukum Amerika Serikat, tindakan penegak hukum dalam menggunakan teknik perangkap macam ini, cukup dibatasi. Jika teknik perangkap dinilai melampaui batas kewenangan penegak hukum, tersangka yang terjerat perangkap tersebut dapat menggunakan alasan entrapment sebagai dasar untuk melepaskan diri dari tuntutan hukum. Untuk mengetahui sah atau tidaknya suatu 4
5 tindakan perangkap dari penegak hukum terdapat dua pendekatan yang berkembang, yaitu pendekatan subyektif atau Subjective Test dan pendekatan obyektif atau Objective Test. 2 Pada pendekatan subyektif, teknik perangkap dapat diperbolehkan jika perangkap dilakukan terhadap unwary criminal. Sementara jika pemerangkapan dilakukan terhadap unwary innocent, maka pemerangkapan tersebut jadi tidak sah dan tuntutan hukum karenanya dapat dibatalkan. 3 Untuk menilai apakah suatu perangkap tersebut dilakukan terhadap unwary criminal atau unwary innocent, maka yang harus dibuktikan adalah apakah sebelumnya pelaku telah memiliki track record atau rekam jejak atas suatu kejahatan atau belum. Selain itu harus terdapat kesesuaian antara track record dengan pelanggaran pidana yang dilakukan pelaku karena setting pemerangkapan penyidik. Misalnya, jika seorang residivis kasus narkotika yang tidak memiliki track record dalam hal korupsi, maka ia dianggap sebagai innocent dalam hal korupsi. Sehingga perangkapan korupsi tidak dapat dilakukan terhadapnya. Sebagai ilustrasi, dalam kasus United States versus Russell, 4 terdakwa merupakan pembuat ampetamin secara illegal. Kemudian seorang agen yang menyamar mencoba menawarkannya bahan-bahan untuk memproduksi satu jenis narkotika yang sulit didapat. Terdakwa kemudian menyetujui tawaran agen tersebut. Dalam persidangan terdakwa mengajukan pembelaan bahwa ia dijebak oleh agen tersebut. Pengadilan akhirnya memutuskan menolak pembelaan tersebut karena melihat bahwa terdakwa memang memiliki track record sebagai pelaku kejahatan di bidang narkotika, atau dengan kata lain terdakwa termasuk dalam kategori unwary criminal. Dalam kasus lain di mana pemerangkapan dianggap tidak sah karena dilakukan terhadap unwary innocent terjadi dalam kasus Sorells versus United States. 5 Dalam kasus ini pelaku didakwa karena menjual setengah galon whisky kepada seorang agen yang menyamar sebagai turis. Penjualan tersebut dilakukan karena sang agen yang saat itu bertamu ke rumahnya menanyakan kepada terdakwa apakah ia bisa menolongnya untuk membelikan sejumlah whisky. Pada saat itu terdakwa menolak permintaan agen tersebut. Kemudian agen tersebut kembali mencoba memintanya lagi namun terdakwa masih tetap juga menolak. Pada permintaan ketiga akhirnya terdakwa memenuhi permintaan sang agen. Dalam kasus ini Supreme Court atau Mahkamah Agung Amerika Serikat akhirnya membatalkan perkara tersebut karena dianggap terdakwa tidak terbukti sebelumnya memiliki track record dalam hal penjualan minuman keras serta perbuatan tersebut dilakukan karena permintaan yang berulang-ulang dari agen yang menyamar tersebut. Jika pada pendekatan subyektif penekanan untuk membuktikan terletak pada kondisi jiwa pelaku, maka pada pendekatan obyektif penekanan pembuktian terletak pada tindakan dari agen yang menyamar dalam melakukan upaya pemerangkapan. Tindakan pemerangkapan dianggap tidak sah jika tindakan tersebut dilakukan berdasarkan common sense jauh di bawah standar kewenangan yang dapat diperbolehkan. Untuk mengujinya maka pertanyaannya adalah apakah tindakan agen tersebut secara hipotetis dapat mendorong seseorang yang jika ia tidak didorong 2 Joshua Dressler, Understanding Criminal Procedure, Second Edition. (New York: Lexis Publishing, Mathew Bender & Co., 1996), hlm Ibid. hlm Ibid. hlm Frank R. Prasel, Criminal Law, Justice and Society, (California: Goodyear Publishing Company, 1937), hlm. 5
6 oleh agen tersebut tidak akan melakukan tindakan tersebut atau tidak. Jika iya, maka pemerangkapan tersebut jadi tidak sah. Jika dilihat dari sistem di Amerika Serikat tersebut memang terdapat perbedaan tradisi antara sistem hukum yang dianut oleh Indonesia dengan Amerika. Dalam tradisi sistem hukum Amerika Serikat, pengaturan pembatasan tersebut berkembang dalam yurisprudensiyurisprudensi, sementara dalam tradisi hukum Indonesia, tentunya, pengaturan-pengaturan macam ini akan lebih tepat jika dimasukkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Jika teknik perangkap ini akan diterapkan dalam pemberantasan korupsi maka pengaturan mengenai teknik ini dapat dibentuk khusus atau dimasukkan dalam perubahan undang-undang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, seperti misalnya UU KPK. Mengenai materi pengaturannya sendiri kita dapat belajar dari pengalaman di Amerika Serikat tersebut. Misalnya, perangkap hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang sebelumnya telah dicurigai akan melakukan tindakan yang akan dikenakan perangkapan. Tentunya sulit jika pemerangkapan hanya dapat dilakukan terhadap residivis, apalagi dalam perkara korupsi, mengingat saat ini walaupun disinyalir jumlah koruptor di Indonesia sangat banyak, namun pada kenyataannya hanya sedikit yang secara hukum telah terbukti. Oleh karena dalam konteks Indonesia tampaknya hal ini perlu sedikit diperlunak. Selain itu, sebagaimana halnya penggunaan teknik perangkap dalam tindak pidana narkotika dan psikotropika, perangkap dalam bidang tindak pidana korupsi juga harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan lembaga penegak hukum dimaksud. Rambu-rambu lainnya yang dapat diatur, misalnya, agen provokator tidak boleh melakukan pemaksaan terhadap tersangka yang dijadikan target pemerangkapan dan lain sebagainya. 6
SALAH PERSEPSI SOAL KORUPSI
SALAH PERSEPSI SOAL KORUPSI Oleh: ANATOMI MULIAWAN Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Pemberantasan korupsi merupakan isu yang sedang hangat di Indonesia. Rasanya semua media
Lebih terperinciBAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak
BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan
Lebih terperinciNOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG
PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA
Lebih terperinciBAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG 2.1 Bentuk Kejahatan Narkotika Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan
Lebih terperinciPERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli
Lebih terperinciMatriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK
Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan
Lebih terperinciINDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013
LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan
Lebih terperinciKomisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciNOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4.1 Kewenangan KPK Segala kewenangan yang
Lebih terperinciTENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)
Lebih terperinciMenetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORI
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun
Lebih terperinciBAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam
BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan
Lebih terperinciNama : ALEXANDER MARWATA
Nama : ALEXANDER MARWATA 1. Pengadilan adalah tempat seseorang mencari keadilan. Pengadilan bukan tempat untuk menjatuhkan hukuman. Meskipun seorang Terdakwa dijatuhi hukuman penjara hal itu dalam rangka
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinciRESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006
RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006 I. PARA PEMOHON Prof. DR. Nazaruddin Sjamsuddin sebagai Ketua KPU PEMOHON I Prof. DR. Ramlan Surbakti, M.A., sebagai Wakil Ketua
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan telah diratifikasi
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan semua uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat ini belum dapat dilaksanakan dengan optimal. Lemahnya penegakan hukum dan dihentikannya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. manapun (Pasal 3 Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga independen,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia perlu melaksanakan pembangunan di segala bidang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Lebih terperinciKEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
RESUME KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I. Latar Belakang Tindak pidana korupsi maksudnya adalah memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negri atau pejabat Negara dengan maksud
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PERAN SERTA MASYARAKAT DAN PEMBERIAN PENGHARGAAN DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tua. Bahkan korupsi dianggap hampir sama kemunculanya dengan masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Korupsi adalah masalah yang sudah cukup lama lahir dimuka bumi ini. Pada umumnya diakui bahwa korupsi adalah problem yang berusia tua. Bahkan korupsi dianggap hampir
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.Hum sebagai Pemohon I; 2. Hotman Tambunan, S.T., MBA.sebagai Pemohon II; 3. Dr.
Lebih terperinciPresiden, DPR, dan BPK.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan
Lebih terperinciPernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI
Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional tersebut
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinci2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.901,2011 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Tahanan. Pengeluaran. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-24.PK.01.01.01 TAHUN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dikarenakan sistem kontrol sosial yang belum memadai dan penegakan hukum yang
10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi sebenarnya termasuk penyakit universal, sebab hampir seluruh negara dihinggapi penyakit ini, terlebih lagi pada negara yang sedang berkembang dikarenakan
Lebih terperinciUPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H
1 UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H A. LATAR BELAKANG Pemerintah sangat menjunjung tinggi perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya, sehingga diperlukan pemantapan-pemantapan
Lebih terperinciPERAN SERTA MASYARAKAT
PERAN SE R MASYARA TA KAT KORUPSI TERJADI DI BANYAK SEKTOR. SETIDAKNYA ADA 11 SEKTOR YANG POTENSIAL RAWAN KORUPSI: PENDIDIKAN ANGGARAN DANA BANTUAN SOSIAL PENYALAHGUNAAN APBD MAFIA HUKUM DAN PERADILAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Untuk mewujudkannya perlu secara terus menerus ditingkatkan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,
Lebih terperinciI. UMUM. Perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain meliputi:
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG I. UMUM Perkembangan dan kemajuan ilmu
Lebih terperinciRANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN
RANCANGAN LAPORAN SINGKAT FIT AND PROPER TEST KOMISI III DPR RI TERHADAP CALON PIMPINAN KPK ------------------------------------- (BIDANG HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang :
Lebih terperinciEksistensi KPK Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Oleh Bintara Sura Priambada, S.Sos., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta
Eksistensi KPK Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Oleh Bintara Sura Priambada, S.Sos., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. Latar Belakang Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang
Lebih terperinciPENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010
Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1 Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1.1 Pemeriksaan oleh PPATK Pemeriksaan adalah proses identifikasi
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI
20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia di sisi lain dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam penjelasan UUD 1945 adalah negara yang berdasar atas hukum yang berarti hukum di Negara Indonesia ditegakkan dalam
Lebih terperinci2 Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembar
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1846, 2014 BSN. Pelanggaran. Sistem Pelaporan. Pedoman PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM PELAPORAN
Lebih terperinciRANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN
1 RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI III DPR RI DENGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) ------------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN,
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I. Pemohon 1. Iwan Budi Santoso S.H. 2. Muhamad Zainal Arifin S.H. 3. Ardion
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1408, 2013 KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI. Whistleblower System. Pelaksanaan. Pedoman.
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1408, 2013 KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI. Whistleblower System. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pakar hukum maupun pakar politik adalah permasalahan KPK melawan Polri.
BAB I PENDAHULUAN Permasalahan politik hukum Indonesia yang paling banyak dibicarakan para pakar hukum maupun pakar politik adalah permasalahan KPK melawan Polri. Permasalahan tersebut muncul kembali pada
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN KHUSUS BAGI PELAPOR DAN SAKSI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN KHUSUS BAGI PELAPOR DAN SAKSI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk
Lebih terperinciKORUPSI MENGHAMBAT PEMBANGUNAN NASIONAL. Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH Kadilmil I-02 Medan
KORUPSI MENGHAMBAT PEMBANGUNAN NASIONAL Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH Kadilmil I-02 Medan Salah satu tujuan Pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan kesejahteraan Rakyat yang adil dan makmur
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peranan Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan dimana kedudukan itu
Lebih terperinciBAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA A. KONDISI UMUM Penghormatan, Pengakuan, dan Penegakan atas Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam tahun 2005 mencatat
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciV. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra
90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim
Lebih terperinciMEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI
MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL,
PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM PELAPORAN PELANGGARAN DI LINGKUNGAN BADAN STANDARDISASI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN DAN SAKSI DALAM PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam kondisi perekonomian yang sedang menurun dan kurang optimalnya dampak dari peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintahan Indonesia saat ini, menjadikan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat
Lebih terperinciKinerja Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam Perspektif Due Process Of Law 1. Eddy O.S Hiariej 2
Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Perspektif Due Process Of Law 1 Eddy O.S Hiariej 2 Sejak bergulirnya reformasi, isu pemberantasan korupsi selalu menjadi tema sentral dalam penegakan hukum di
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan kejahatan yang mempunyai akibat sangat kompleks dan sangat merugikan keuangan Negara, dan di Indonesia sendiri korupsi telah menjadi masalah
Lebih terperinciKAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM
KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM Oleh : Sumaidi ABSTRAK Penyitaan merupakan tindakan paksa yang dilegitimasi (dibenarkan) oleh undang-undang atau dihalalkan oleh hukum,
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PERAN SERTA MASYARAKAT DAN PEMBERIAN PENGHARGAAN DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PERATURAN
Lebih terperinciMENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG
MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN WHISTLEBLOWER SYSTEM DI KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. ini berarti bahwa Republik Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan
Lebih terperinci