Bahan Perkuliahan Hukum Perdata (Yusuf Faisal Ali., M.H)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bahan Perkuliahan Hukum Perdata (Yusuf Faisal Ali., M.H)"

Transkripsi

1 Bahan Perkuliahan Hukum Perdata (Yusuf Faisal Ali., M.H) Konsep dan Pengertian Hukum Perdata Hukum Perdata disebut juga dengan hukum privat (privaatrechts) atau hukum sipil (civielrechts). Istilah perdata berasal dari bahasa Sangsekerta yang berarti warga (burger), pribadi (privaat). Dari sudut etimologi, hukum perdata berarti hukum mengenai warga, pribadi, sipil. Hukum Perdata ialah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban (hubungan hukum) yang timbul dari pergaulan masyarakat. Unsur-unsur keperdataan 1. Aturan hukum (rechts regel, rule of law) 2. Hubungan hukum (rechts betrekking, legal relation) 3. Orang (persoon, person) a. Manusia sebagai pribadi kodrati (natuurlijk persoon) atau menurut konsep biologis. b. Badan hukum sebagai pribadi hukum (rechts persoon) atau menurut konsep yuridis. Hubungan hukum 1. Perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak lainnya seperti jualbeli, sewa-menyewa, utang piutang. 2. Ketentuan undang-undang yang bermanfaat atau saling menguntungkan bagi pihak-pihak seperti pewarisan. 3. Ketentuan undang-undang yang merugikan orang lain seperti perbuatan melawan hukum. Catatan: Hukum perdata pada umumnya adalah sebagai norma (kaidah) yang khusus untuk mempertahankan kepentingan perseorangan dalam hubungan yang sebenarnya dalam suatu masyarakat tertentu. Hukum perdata pada satu pihak memberikan hak-hak dan di lain pihak membebani kewajiban-kewajiban. Hukum perdata pada umumnya bersifat mengatur (regelend, fakultatif) di antara para pihak yang berkepentingan. Klasifikasi Hukum Perdata Aspek Ruang Lingkup 1. Hukum perdata dalam arti luas/umum meliputi hukum perdata dalam arti sempit dan hukum dagang. 2. Hukum perdata dalam arti sempit dan lazim disebut dengan "hukum perdata" saja.

2 Aspek Bentuk 1. Hukum perdata tertulis hukum perdata sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Hukum perdata tidak tertulis hukum adat. Tegasnya, hukum adapt termasuk dalam hukum perdata namun dalam bentuk yang tidak tertulis. Aspek Materi 1. Hukum perdata materil mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat dan lazim disebut dengan hukum perdata subtantif. 2. Hukum perdata formil mengatur bagaimana cara melaksanakan hak dan kewajiban. Atau dengan kata lain, mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila di langgar oleh orang lain. Hukum perdata formil lazim disebut dengan hukum acara perdata, dan juga ada yang menyebutnya hukum perdata prosedural. Catatan. Hukum perdata materil selalu dipasangkan dengan hukum perdata formil. Dalam hubungan bahwa hukum perdata formil mempertahankan hukum perdata materil. Karena hukum perdata formil berfungsi menerapkan hukum perdata materil apabila ada yang melanggarnya. Sejarah Singkat Hukum Perdata A. Hukum Perdata Belanda Hukum perdata Belanda yang dikodifikasi dalam Kitab Undang-Undang Perdata yang dikenal dengan sebutan Burgerlijk Wetboek (disingkat: BW) berasal dari hukum perdata Prancis yang berinduk pada Code Civil Prancis (Code Napoleon). Karena pada jaman pemerintahan Napoleon, Prancis pernah menjajah Belanda dan Code Civil tersebut diberlakukan pula di Belanda.. Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corfus Juris Civilis) yang pada waktu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Setelah merdeka dari penjajahan Prancis, Belanda menginginkan pembentukan kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sendiri yang bebas dari pengaruh Prancis. Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan cara membentuk hukum perdata Belanda. Pembutan kodifikasi Belanda diselesaikan pada tanggal 5 Juli 1830 dan direncanakan pemberlakuannya pada tanggal 1 Pebruari Akan tetapi dalam Bulan Agustus 1830 terjadi pemberontakan di wilayah bagian selatan Belanda yang memisahkan diri dari Kerajaan Belanda yang sekarang disebut dengan Kerajaan Belgia dan Luksemburg. Dengan adanya peristiwa tersebut pemberlakuan kodifikasi pun ditangguhkan dan baru terlaksana pada tanggal 1 Oktober Patut dikemukakan, bahwa meskipun BW Belanda itu adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, namun isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil Prancis. Menurut J. Van Kan, BW Belanda adalah saduran Code Civil Prancis, hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Belanda. B. Hukum Perdata Indonesia Sebagai akibat Belanda pernah menjajah Indonesia, maka BW Belanda diupayakan agar dapat diberlakukan pula di Indonesia. Caranya adalah dibentuk BW Indonesia yang susun dan isinya serupa dengan BW Belanda. Dengan kata lain, BW Belanda

3 diberlakukan juga di Indonesia berdasarkan asas konkordansi (persamaan). BW Indonesia ini disahkan oleh Raja pada tanggal 16 Mei 1846 yang diundangkan melalui Staatsblad (Stb/S= lembaran negara) Nomor 23 tahun 1847 dan dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Mei Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II, maka BW Indonesia tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan oleh undangundang baru berdasar atas UUD ini. BW Indonesia ini disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (KUHPdt) sebagai induk hukum perdata Indonesia. Hukum Perdata Indonesia yang dimaksud adalah hukum perdata Barat yang berinduk pada KUHPdt, yang dalam bahasa aslinya disebut Burgerlijk Wetboek (BW). BW Indonesia ini sebagian materinya ada yang sudah dicabut pemberlakuannya dan diganti dengan undangundang RI. Selain dari KUHPdt, hukum perdata Indonesia meliputi juga undang-undang RI misalnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Perceraian; UU No. 5 tahun 1960 tentang Pertanahan dan Hak-hak atas Tanah (Undang-Undang Pokok Agraria/UUPA); serta Keputusan Presiden (Kepres) No. 12 Tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Catatan Sipil. Perkembangan Hukum Perdata Indonesia Hukum Perdata Adat yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan antara individu dalam masyarakat adapt yang berkaitan dengan kepentingankepentingan persorangan. Hukum Perdata Eropa yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum yang menyangkut kepentingan orang-orang Eropa dan orangorang yang diberlakukan ketentuan itu termasuk bagi setiap orang yang pada dirinya secara sukarela berlaku ketentuan itu. Ketentuan-ketentuan hukum perdata Eropa itu mempunyai bentuk tertulis dan berlakunya sesuai ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD Bagian Hukum Perdata yang bersifat nasional yaitu bidang-bidang hukum perdata sebagai produk nasional. Artinya, ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kepentingan perorangan yang dibuat dan diberlakukan untuk seluruh penghuni Indonesia. Bagian hukum perdata nasional itu antara lain terdiri dari Hukum Perkawinan dan Hukum Agraria. Sistematika Hukum Perdata Dalam BW Hukum Perdata yang diatur dalam BW terdiri dari empat bagian dengan sistematika sebagai berikut: 1. Buku I mengenai "orang" (van persoonen) memuat hukum perorangan dan hukum kekeluargaan. 2. Buku II mengenai "benda" (van zaken) memuat hukum benda dan hukum waris. 3. Buku III mengenai "perikatan" (van verbintenissen) memuat hukum kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak terentu. 4. Buku IV mengenai "pembuktian dan daluwarsa" (van bewijs en verjaring) memuat tentang alat-alat pembuktian dan akibat lewat waktu terhadap hubungan hukum.

4 Hukum perdata materil dalam BW (KUHPdt) diatur dalam buku I, II dan III, sedangkan hukum perdata formil diatur dalam buku IV. Sistematika Hukum Perdata Menurut Ilmu Pengetahuan Menurut ilmu pengetahuan, hukum perdata materil dalam perkembangan saat ini lazim dibagi menjadi empat bagian yaitu: 1. Hukum tentang orang atau Hukum Perorangan (persoonenrecht, personal law) yang mengatur antara lain tentang: a. Orang sebagai subjek hukum atau sebagai pendukung hak dan kewajiban. b. Orang yang dalam kecakapannya untuk memiliki hak-hak dan bertindak sendiri untuk melaksanakan haknya itu. 2. Hukum Kekeluargaan atau Hukum Keluarga (familierecht, family law) yang memuat persoalan antara lain: a. Perkawinan (huwelijk), perceraian (eichtseiding) beserta hubungan yang timbul di dalamnya seperti hukum harta kekayaan antara suami dan istri. b. Hubungan hukum antara orang tua dan anak-anaknya atau kekuasaan orang tua (ouderlijk macht). c. Perwalian (voogdij). d. Pengampuan/pengawasan (curatele). 3. Hukum kekayaan atau Hukum Harta Kekayaan (vermogensrecht, property law) mengatur hak dan kewajiban antara subjek hukum yang satu dengan lainya dengan benda sebagai objeknya dan benda tersebut dapat dinilai dengan uang yang meliputi hukum benda, hukum perikatan dan hukum hak immaterial. 4. Hukum Waris (erfrecht, heritage law) mengatur tentang benda atau kekayaan dalam kaitannya dengan pemindahan hak milik seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Bidang-bidang hukum perdata materil di atas sebagaimana menurut ilmu pengetahuan, dalam BW penempatannya termuat pada: Hukum tentang orang diatur dalam Buku I Bab 1-3 dan Buku III Bab 9. Hukum keluarga diatur dalam Buku I Bab Hukum kekayaan diatur dalam Buku II Bab 1-2, Bab dan Buku III. Hukum waris diatur dalam Buku II Bab Hukum Perorangan (Persoonenrecht) Dalam hukum perdata, istilah "orang" (person) menunjuk pada pengertian subjek hukum yang artinya segala pihak yang berperan sebagai pembawa/pendukung hak dan kewajiban. Orang menurut konsep hukum terdiri atas: 1. Manusia atau subjek hukum sebagai pribadi kodrati (natuurlijke persoon), atau subjek hukum menurut konsep biologis sebagai makhluk budaya ciptaan Tuhan yang dilengkapi akal, perasaan dan kehendak. 2. Badan hukum atau subjek hukum sebagai pribadi hukum (rechtpersoon), atau subjek hukum menurut konsep yuridis yaitu subjek hukum buatan hukum atau sebagai ciptaan manusia berdasar pada hukum, yang diberi status atau wewenang sebagai pembawa hak dan kewajiban seperti manusia.

5 A. Manusia Sebagai Subjek Hukum Pengakuan manusia sebagai subjek hukum terjadi sejak ia dilahirkan dan berakhir setelah meninggal dunia. Bahkan dalam Pasal 2 KUHPdt (BW) dinyatakan bahwa anak yang dalam kandungan ibunya dianggap sudah menjadi sebagai subjek hukum dengan ketentuan ia dilahirkan dalam keadaan hidup. Akan tetapi apabila ia lahir dalam keadaan meninggal dunia maka dianggap tidak pernah ada. Ketentuan ini mempunyai arti penting (relevan) apabila kepentingan anak itu menghendakinya misalnya saja dalam memperoleh warisan. Ketentuan yang termuat dalam Pasal 2 BW tersebut dinamakan rechtfictie (fiksi hukum). Kedudukan manusia sebagai subjek hukum diakui oleh undang-undang. Dengan diakui oleh undang-undang maka tidak ada satu hukuman pun yang dapat menghilangkan hak keperdataan manusia sebagai subjek hukum (Pasal 3 BW). Ini berarti bahwa betapun seseorang memiliki kesalahan sehingga dijatuhi hukuman oleh pengadilan, hukuman tersebut tidak boleh menghilangkan kedudukan hukum seseorang sebagai subjek hukum. Di Indonesia sebagai negara hukum mengakui manusia sebagai subjek hukum pendukung hak dan kewajiban. Semua warga negara memiliki kedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjungjung tinggi hukum dan pemerintahannya itu dengan tidak ada kecualinya (UUD NRI 1945 Pasal 27 ayat1). Di negara lain seperti Aprika Selatan yang diperintah oleh rezim kulit putih, penguasanya menganut ras diskriminasi, tidak semua diakui sebagai subjek hukum pendukung hak, tetapi hanya sebagai pendukung kewajiban belaka. B. Badan Hukum Sebagai Subjek Hukum Adanya badan hukum timbul sebagai akibat: 1. Adanya suatu kebutuhan untuk memenuhi kepentingan tertentu atas dasar kegiatan yang dilakukan bersama. 2. Adanya tujuan ideal yang perlu dicapai tanpa selalu bergantung kepada pribadi secara perorangan. Sebagai subjek hukum, maka badan hukum pun memiliki hak dan kewajiban, dapat mengadakan hubungan hukum, terlibat dalam suatu peristiwa hukum dan lain sebagainya. Berdasarkan eksistensinya badan hukum dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian: 1. Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah yaitu badan hukum public yang sengaja diadakan oleh pemerintah untuk kepentingan negara, seperti lembaga-lembaga negara, departemen pemerintahan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). 2. Badan hukum yang diakui oleh pemerintah yaitu badan hukum yang dibentuk oleh pihak swasta atau pribadi warga negara untuk kepentingan pembentuknya sendiri. Umumnya bertujuan memperoleh keutungan atau kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan usaha tertentu, seperti Perseroan Terbatas (PT) dan koperasi. 3. Badan hukum yang diperbolehkan yaitu badan hukum yang tidak dibentuk oleh pemerintah dan tidak pula memerlukan pengakuan dari pemerintah menurut undang-undang, tetapi diperbolehkan karena tujuannya bersifat ideal di bidang pendidikan, sosial, keagamaan, ilmu pengetahuan, kebudayaan

6 dan kemanusiaan. Badan hukum ini selalu berupa yayasan (Pasal 1653 KUHPdt). Menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia, ada beberapa jenis badan hukum sesuai dengan tujuannya masing-masing. Setiap jenis badan hukum diatur dengan undang-undang tersendiri. Jenis badan hukum tersebut sebagai berikut: 1. Badan hukum koperasi diatur dalam UU No. 25 Tahun Badan hukum perseroan diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 menggantikan UU No. 1 Tahun badan hukum yayasan diatur dalam UU No. 16 Tahun 2001 menggantikan UU Yayasan sisa colonial Belanda. 4. Badan hukum perusahaan milik negara diatur dalam UU No. 19 Tahun Tentang Kecakapan Dalam Hukum Kecakapan dalam hukum artinya kemampuan melakukan perbuatan hukum sendiri karena memenuhi syarat memenuhi hukum. Menurut Pasal 330 KUHPdt, orang sebagai subjek hukum dapat dinyatakan "tidak cakap" atau "kurang cakap" untuk melakukan perbuatan hukum sendiri (onbekwaam, incapable) yaitu (1) anak dibawah umur (belum dewasa); dan (2) orang yang sakit ingatan atau gila dan keborosan. Kedua golongan ini adalah subjek hukum yang tidak cakap hukum, atau disebut subjek hukum terlindung. Karena anak di bawah umur atau belum dewasa berada di bawah kekuasaan orang tuanya, sedangkan orang yang sakit ingatan dan keborosan adalah orangorang yang perlu ditaruh di bawah pengampuan/pengawasan (curatele). Kecakapan melakukan perbuatan hukum sendiri (bekwaam, capable) akan dapat berwujud apabila orang sebagai subjek hukum itu telah dewasa (meerderjarig). Atau dengan kata lain, orang yang sudah dewasa oleh hukum dianggap sudah cakap melakukan perbuatan hukum. Namun apabila orang yang dewasa itu dalam keadaan sakit ingatan dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri karena boros, ia disamakan dengan orang yang belum dewasa (minderjarig). Orang yang cakap hukum dalam arti sudah dewasa memenuhi syarat hukum dan tidak dalam keadaan sakit ingatan dan keborosan, maka ia disebut juga dengan subjek hukum mandiri. Menurut ketentuan undang-undang, istilah belum dewasa ini berarti belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin. Dari sini dapat dipahami bahwa orang yang sudah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin meskipun belum berumur 21 tahun, maka ia disebut dewasa. Dan apabila perkawinan itu putus sebelum mencapai umur 21 tahun, maka ia ditetapkan dewasa. Perlu untuk ditegaskan, pengertian sudah berumur 21 tahun atau sudah pernah kawin disebut dewasa dalam undang-undang (dewasa hukum) dalam hal untuk menunjukkan cakap dan tidaknya untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum atau tidak mampu menurut hukum adalah tidak sah karena tidak memenuhi syarat hukum dan dapat dimintakan pembatalan melalui pengadilan (vernietigbaar). Kepentingan orang yang tidak cakap atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum diurus oleh pihak yang mewakilinya yaitu: (1) kepentingan anak yang belum dewasa diurus oleh orang tuanya (Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974); (2) kepentingan anak yang berada di bawah perwalian diurus oleh walinya (Pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974); dan (3) kepentingan orang dewasa yang berada di bawah pengampuan diurus oleh wali pengampunya (Pasal 1433 KUHPdt).

7 Tentang Perkawinan Asas, Konsep dan Tujuan Perkawinan Asas-asas Perkawinan 1. Persetujuan bebas (sukarela atau suka sama suka) 2. Partisipasi keluarga 3. Perceraian dipersulit 4. Poligami dibatasi dengan ketat 5. Kematangan calon mempelai 6. Meningkatkan derajat kaum wanita 7. Pencatatan perkawinan 8. Perkawinan menurut hokum agama 9. Larangan dan pembatalan perkawinan Konsep dan Tujuan Perkawinan Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Perkawinan Dalam Sistem Hukum Positif 1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2. UU No. 9 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 3. Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 4. Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 1995 tentang Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Perkawinan Monogami Perkawinan monogami yaitu perkawinan yang terjadi antara seorang pria dan seorang wanita. Artinya, selama ada ikatan perkawinan tersebut suami tidak boleh melangsungkan perkawinan kedua dengan seorang wanita lain sebagai istri kedua. Syarat-syarat 1. Persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan). 2. Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan). 3. Izin orang tua/pengadilan jika belum berumur 21 tahun (Pasal 6 ayat (2-5) UU Perkawinan). 4. Tidak masih terikat dalam satu perkawinan (Pasal 9 UU Perkawinan). 5. Tidak bercerai untuk ketiga kali dengan suami/istri yang sama yang hendak dikawini (Pasal 10 UU Perkawinan). 6. Bagi janda, sudah lewat waktu tunggu (Pasal 11 ayat (1) UU Perkawinan). a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari. b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan tiga kali suci dengan sekurangkurangnya 90 hari; bagi yang tidak lagi datang bulan ditetapkan 90 hari; bagi yang sedang hamil ditetapkan sampai melahirkan anak; dan

8 bagi yang belum pernah disetubuhi oleh mantan suaminya tidak ada masa tunggu. c. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum. d. Bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu dihitung sejak kematian suami (Pasal 39 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975). 7. Pemberitahuan kepada pegawai pencatat perkawinan (Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975). 8. Tidak ada yang mengajukan pencegahan (Pasal 14 ayat (1) UU Perkawinan). 9. Tidak ada larangan perkawinan. Menurut UU Perkawinan, perkawinan dilarang antara pria dan wanita yang mempunyai: a. Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah misalnya antara perempuan/laki-laki dan bapak/ibu, antara cucu perempuan/laki-laki dan kakek/nenek. b. Hubungan dalam garis keturunan menyamping misalnya antara kakak dan adik kandung, serta antara keponakan dan paman/bibi. c. Hubungan semenda misalnya antara menantu dan mertua, anak tiri dan ayah/ibu tiri. d. Hubungan susuan misalnya orang tua dan anak susuan, anak dan saudara susuan, serta antara bibi/paman dan keponakan susuan. e. Hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau keponakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. f. Hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin (Pasal 8 UU Perkawinan) Catatan. Syarat-syarat di atas bersifat kumulatif, artinya harus dipenuhi semua. Apabila syarat semua dipenuhi perkawinan dapat dilangsungkan. Namun jika satu syarat belum terpenuhi, perkawinan ditunda sampai semua dipenuhi. Perkawinan Poligami Alasan perkawinan poligami 1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. 2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit tidak dapat disembuhkan. 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan (Pasal 4 ayat UU Perkawinan). Catatan. Alasan-alasan tersebut sifatnya alternatif, artinya perlu dipenuhi salah saja dan itu sudah cukup. Syarat perkawinan poligami 1. Ada persetujuan dari istri/istri-istri. 2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. 3. Ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anakanak mereka (Pasal 5 UU Perkawinan). Catatan. Syarat-syarat di atas bersifat kumulatif, artinya harus dipenuhi semua.

9 Perkawinan Campuran Pengertian Menurut UU Perkawinan, perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, yang di Indonesia tunduk pada hokum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia (Pasal 57). Dari sini dapat dipahami bahwa perkawinan campuran menurut UU Perkawinan hanya menekankan pada perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya harus warga negara Indonesia. Atau dengan kata lain, perkawinan antara warga negara Indonesia dan warga asing. Syarat dan pelaksanaan perkawinan campuran 1. Perkawinan campuran dapat dilaksanakan di Indonesia dan dapat pula di luar Indonesia (luar negeri). 2. pabila dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran dilaksanakan menurut UU Perkawinan (Pasal 59 ayat (2) UU Perkawinan). Sedangkan jika perkawinan campuran di negara pihak lainnya, berlakulah tata cara menurut hukum di negara yang bersangkutan (Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan). 3. Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan campuran harus dipenuhi syarat-syarat perkawinan yang berlaku menurut hukum masing-masing pihak (Pasal 60 ayat (1) UU Perkawinan). Pencatatan perkawinan campuran 1. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang (Pasal 61 ayat (1) UU Perkawinan). 2. Pegawai pencatat yang berwenang bagi beragama Islam adalah Pegawai Penacatat Nikah (PPN)/Pembantu Pencatat Nikah Cerai Talak Rujuk (P3NTCR). Sedangkan bagi mereka yang bukan beragama Islam adalah Pegawai Kantir Pencatatan Sipil Akibat Hukum Perkawinan Perkawinan yang memenuhi syarat-syarat seperti ditentukan dalam UU Perkawinan dinyatakan dan diakui sebagai perkawinan sah dengan segala akibat hukumnya. Akibat hukum perkawinan sah adalah timbul hubungan hukum antara suami dan istri, antara orang tua dan anak, antara wali dan anak, serta harta kekayaan dalam harta kekayaan dalam perkawinan. Hubungan Hukum antara Suami dan Istri Hak suami-istri 1. Suami dan istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1) UU Perkawinan). 2. Suami dan istri sama-sama berhak melakukan perbuatan hokum (Pasal 31 ayat (2) UU Perkawinan). 3. Suami dan istri mempunyai kesempatan yang sama untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan apabila ada yang melalaikan kewajiban (Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan).

10 Kewajiban suami-istri 1. Suami dan istri berkewajiban luhur menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat (Pasal 31 UU Perkawinan). 2. Suami dan istri mempunyai tempat kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami-istri bersama (Pasal 32 UU Perkawinan). 3. Suami dan istri saling mencintai, saling menghormati, saling setia dan sering memeri bantuan lahir batin (Pasal 33 UU Perkawinan). 4. Suami dan istri wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak itu dapat mandiri atau kawin (Pasal 45 UU Perkawinan). Hubungan Hukum antara Orang dan Anak Salah satu akibat perkawinan antara suami dan istri adalah lahir anak. Akibat hukum dari kelahiran anak adalah timbul hubungan hukum antara orang tua dan anak. Dalam hubungan hokum tersebut orang tua mempunyai hak dan kewajiban terhadap anaknya, dan sebaliknya anak mempunyai hak dan kewajiban terhadap orang tua. Hak dan kewajiban orang tua terhadap anak lazim disebut "kekuasaan orang tua". Kekuasaan Orang tua Kekuasaan orang tua terhadap anak berlangsung hingga anak itu mencapai umur 18 tahun atau anak itu kawin atau ada pencabutan kekuasaan orang tua oleh pengadilan (Pasal 47 UU Perkawinan). Kekuasaan otang tua meliputi: 1. Kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak (sebagaimana dipahami dari Pasal 47 ayat (1) UU Perkawinan). Kekuasaan ini meliputi antara lain: nafkah, rumah tempat tinggal, pendidikan, pengarahan kehidupan masa depan anak dan menetapkan perkawinan anak. 2. Kekuasaan terhadap perbuatan anak (sebagaimana dipahami dari Pasal 47 ayat (2) UU Perkawinan). Kekuasaan ini meliputi perbuatan hukum dan akibat hukum yang timbul dari perbuatan anak, mengarahkan perbuatan anak untuk kebaikan. 3. Kekuasaan terhadap harta benda anak (sebagaimana dipahami dari Pasal 48 UU Perkawinan). Kekuasaan ini meliputi mengurus, menyimpan, membelanjakan harta anak untuk kepentingannya sebelum berumur 18 tahun atau sebelum ia kawin. Dengan pembatasan orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua Menurut Ketentuan Pasal 46 UU Perkawinan, anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas menurut kemampuannya, dan jika mereka itu memerlukan bantuannya. Harta Kekayaaan dalam Perkawinan Menurut Pasal 35 UU Perkawinan, harta kekayaan dalam perkawinan dibedakan menjadi tiga macam:

11 1. Harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh suami dan istri selama dalam ikatan perkawinan. Harta bersama dikuasai oleh suami dan istri. Suami atau istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan). Terhadap istri bersama, suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama. 2. Harta bawaan yang dibawa dan dikuasai oleh masing-masing suami dan istri ketika terjadi perkawinan. Yaitu suami menguasai harta miliknya dan istri menguasai harta miliknya. Masing-masing suami atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hokum mengenai kekayaannya (Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan). 3. Harta perolehan yang diperoleh masing-masing suami atau istri sebagai warisan atau hadiah. Harta perolehan masing-masing secara prinsip penguasaannya sama seperti harta bawaan. Masing-masing, baik suami atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan mengenai harta perolehannya. Putusnya Perkawinan dan Akibatnya Konsep Menurut ketentuan Pasal 38 UU Perkawinan, perkawinan dapat putus karena tiga hal yaitu kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Putusnya kematian karena perceraian sering disebut masyarakat dengan istilah "cerai mati". Putusnya perkawinan karena perceraiana ada dua sebutan yaitu "cerai gugat" dan "cerai talak". Putusnya perkawinan karena berdasar putusan pengadilan disebut "cerai batal". Jadi perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan pembatalan. Alasan perceraian suami dan istri Menurut ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar untuk disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa ada alasan yang sah, atau karena hal lain di luar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. 5. Salah satu pihak cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. 6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

12 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian Karena terjadi perceraian, ada tiga akibat yang perlu diperhatikan yaitu akibat terhadap anak dan istri, terhadap harta perkawinan dan terhadap status. Akibat terhadap anak dan istri Menurut ketentuan Pasal 41 UU Perkawinan, ada tiga hal yang perlu dipatuhi sebagai akibat perkawinan putus karena perceraian yaitu: 1. Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanak mereka semata-mata untuk kepentingan anak. Apabila ada perselisihan tentang penguasaan anak, pengadilan memberi putusannya. 2. Bapak bertanggungjawan atas semua biaya pemerliharaan dan pendidikan anak. Apabila bapak dalam kenyataan tidak memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada manta suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada mantan istri atau menentukan suatu kewajiban bagi mantan istri. Akibat terhadap harta perkawinan 1. Untuk harta bawaan dan harta perolehan tidak menimbulkan masalah karena harta tersebut tetap dikuasai dan adalah hak masing-masing pihak. Apabila terjadi penyatuan harta karena perjanjian, penyelesaian juga disesuaikan dengan ketentuan perjanjian dan kepatutan. 2. Untuk harta bersama, diatur menurut ketentuan Pasal 37 UU Perkawinan yaitu apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Akibat terhadap status Bagi mereka yang putus perkawinan karena perceraian memperoleh status perdata dan kebebasan sebagai berikut: 1. Kedua mereka itu tidak terikat dengan lagi dengan tali perkawinan dengan status janda dan duda. 2. Kedua mereka itu bebas untuk melakukan perkawinan dengan pihak lain. 3. Kedua mereka itu boleh untuk melakukan perkawinan kembali sepanjang tidak dilarang oleh undang-undang atau agama mereka.

Hukum Perdata disebut juga dengan hukum privat (privaatrechts) atau hukum sipil (civielrechts). Istilah perdata berasal dari bahasa Sangsekerta yang

Hukum Perdata disebut juga dengan hukum privat (privaatrechts) atau hukum sipil (civielrechts). Istilah perdata berasal dari bahasa Sangsekerta yang Hukum Perdata disebut juga dengan hukum privat (privaatrechts) atau hukum sipil (civielrechts). Istilah perdata berasal dari bahasa Sangsekerta yang berarti warga (burger), pribadi (privaat). Dari sudut

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

www.pa-wonosari.net admin@pa-wonosari.net UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita

Lebih terperinci

BAB IV HUKUM KELUARGA

BAB IV HUKUM KELUARGA BAB IV HUKUM KELUARGA A. PENGERTIAN DAN TUJUAN PERKAWINAN Di Indonesia telah dibentuk Hukum Perkawinan Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dalam Lembaran

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pembukaan Bab I Dasar perkawinan Bab II Syarat-syarat perkawinan Bab III Pencegahan perkawinan Bab IV Batalnya perkawinan Bab V Perjanjian

Lebih terperinci

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1 Bentuk: Oleh: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: Indeks: PERKAWINAN PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harta Bersama dan Perceraian 1. Harta Bersama Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami atau isteri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 974 TENTANG P E R K A W I N A N Menimbang : Mengingat: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara No.755, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMSANEG. Pegawai. Perkawinan. Perceraian. PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI LEMBAGA SANDI

Lebih terperinci

HUKUM PERDATA ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM.

HUKUM PERDATA ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM. HUKUM PERDATA ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM. 1 HUKUM PERDATA Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah

Lebih terperinci

SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN

SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI MODUL 8 UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN Hukum Perdata Dan Hukum Bisnis OLEH : M. BATTLESON SH DESKRIPSI : Hukum Perdata mengatur hubungan antara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur

Lebih terperinci

b. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan,

b. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan, Pernikahan PNS Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: Bahwa untuk kelancaran pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (ekonomis) hingga ratusan juta rupiah menjadi semakin marak. Undian-undian

BAB I PENDAHULUAN. (ekonomis) hingga ratusan juta rupiah menjadi semakin marak. Undian-undian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan undian dengan hadiah yang memiliki nilai materil (ekonomis) hingga ratusan juta rupiah menjadi semakin marak. Undian-undian berhadiah ini umumnya

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: : U N D A N G-U N D A N G T E N T A N G PER K A W I N A N BAB I. P a s a l 1

MEMUTUSKAN: : U N D A N G-U N D A N G T E N T A N G PER K A W I N A N BAB I. P a s a l 1 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA U N D A N G-U N D A N G R E P U B L IK I ND ON E S I A N O M O R I TA HU N 1 974 T E N T A N G PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, M e

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, merupakan salah satu badan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana yang dinyatakan pada Pasal

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PENGERTIAN IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL Perkawinan sah ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga/ rumah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL Tanggal: 6 SEPTEMBER 1990 (JAKARTA)

Lebih terperinci

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK TEKNIS DAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL Presiden Republik

Lebih terperinci

BAB III ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM JUAL BELI PASAL 1493 KUH PERDATA

BAB III ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM JUAL BELI PASAL 1493 KUH PERDATA 40 BAB III ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM JUAL BELI PASAL 1493 KUH PERDATA A. Gambaran Umum Tentang KUH Perdata. 1. Sejarah KUH Perdata Sejarah terbentuknya KUH Perdata di Indonesia tidak terlepas dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan

BAB I PENDAHULUAN. seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial ataupun mahluk pribadi tidak dapat hidup seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan

BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan. Sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan adalah untuk dapat membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1

Lebih terperinci

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA)

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA) SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL Muchamad Arif Agung Nugroho Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang agungprogresif@gmail.com ABSTRAK Perkawinan heteroseksual merupakan suatu perikatan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK A. Alasan-alasan Pengajuan Izin Perceraian Pegawai Negeri

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan Perkara Nomor 1061/Pdt.G/2016/PA.Bwi di Pengadilan Agama Banyuwangi) perspektif UU No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan

BAB I PENDAHULUAN. keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab. Sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI LEMBAGA SANDI NEGARA

PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI LEMBAGA SANDI NEGARA - 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan tugas pokok pegawai Lembaga Sandi Negara dibutuhkan kehidupan keluarga yang harmonis dan serasi agar dapat menciptakan suasana

Lebih terperinci

2018, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ten

2018, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ten No.13, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk bagi Pegawai. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2017 TENTANG PERKAWINAN, PERCERAIAN,

Lebih terperinci

BAB III. POLIGAMI MENURUT PP No. 45 TAHUN Ketentuan Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil

BAB III. POLIGAMI MENURUT PP No. 45 TAHUN Ketentuan Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil BAB III POLIGAMI MENURUT PP No. 45 TAHUN 1990 1. Ketentuan Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990 mengatur tentang perubahan atas PP No. 10 Tahun

Lebih terperinci

Pasal 3 Pasal 3 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Pasal 3 Pasal 3 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. 1 KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA BUKU I HUKUM PERKAWINAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dengan: a. Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal, terdapat di semua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal, terdapat di semua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal, terdapat di semua lapisan dan kelompok masyarakat di dunia. Keluarga adalah miniatur masyarakat, bangsa dan negara.

Lebih terperinci

M E M U T U S K A N. Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL.

M E M U T U S K A N. Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 1

Lebih terperinci

TELAAH TINGGINYA PERCERAIAN DI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA)

TELAAH TINGGINYA PERCERAIAN DI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA) TELAAH TINGGINYA PERCERAIAN DI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA) Abdurrahman Konoras dan Petrus K. Sarkol Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi ABSTRAK Perkawinan merupakan aspek

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI Oleh : DODI HARTANTO No. Mhs : 04410456 Program studi : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. PERKAWINAN 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan Pengertian perkawinan terdapat di dalam UUP No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa : Perkawinan adalah ikatan lahir

Lebih terperinci

PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER

PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER I. HAL-HAL YANG PERLU DIKETAHUI SEBELUM BERPERKARA (PERDATA) KE PENGADILAN Bagi orang yang akan berperkara di pengadilan dan belum mengerti tentang cara membuat

Lebih terperinci

AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN

AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN 1 KUHPerdata 103 106 105 107 KUHPerdata 107 108 110 Akibat perkawinan terhadap diri pribadi masing-masing Suami/Istri Hak & Kewajiban Suami-Istri UU No.1/1974 30

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialahikatan lahir

Lebih terperinci

PERATURAN PERKAWINAN DI GKPS

PERATURAN PERKAWINAN DI GKPS PERATURAN PERKAWINAN DI GKPS 54 SURAT KEPUTUSAN PIMPINAN PUSAT GKPS Nomor : 119/1-PP/2006 Tentang PERATURAN PERKAWINAN DI GKPS Pimpinan Pusat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), Menimbang : a.

Lebih terperinci

Hukum Perdata. Rahmad Hendra

Hukum Perdata. Rahmad Hendra Hukum Perdata Rahmad Hendra Hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian hukum menurut pendapat para ahli hukum : E. Utrecht, dalam bukunya pengantar dalam hukum indonesia :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian hukum menurut pendapat para ahli hukum : E. Utrecht, dalam bukunya pengantar dalam hukum indonesia : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Pengertian hukum menurut pendapat para ahli hukum : 1 1. E. Utrecht, dalam bukunya pengantar dalam hukum indonesia : Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang

Lebih terperinci

ASAS-ASAS HUKUM PERDATA

ASAS-ASAS HUKUM PERDATA ASAS-ASAS HUKUM PERDATA Hukum perdata yang dimaksud dalam hal ini adalah hukum perdata material (bukan hukum perdata formal), adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan hukum

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 KAJIAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN YANG BELUM MEMENUHI SYARAT PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 1 Oleh: Billy Bidara 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

Hukum Perdata, Hukum Pidana Dan Hukum Administrasi Negara

Hukum Perdata, Hukum Pidana Dan Hukum Administrasi Negara Hukum Perdata, Hukum Pidana Dan Hukum Administrasi Negara HUKUM PERDATA 1. Sejarah Hukum perdata (burgerlijkrecht) bersumber pokok burgerlijk wet boek (KHUS) atau kitab undang-undang hukum sipil yang berlaku

Lebih terperinci

KETENTUAN KETENTUAN DALAM PERCERAIAN BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. Oleh :

KETENTUAN KETENTUAN DALAM PERCERAIAN BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. Oleh : KETENTUAN KETENTUAN DALAM PERCERAIAN BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh : Sriono, SH, M.Kn Dosen Pengampu Mata kuliah Hukum Perkawinan STIH Labuhanbatu ABSTRAK Perceraian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta beserta isinya yang meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk-nya, baik pada manusia, Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-nya untuk berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. Sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk-nya, baik pada manusia, Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-nya untuk berkembang, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam mensyariatkan perkawinan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai ibadah dan untuk memadu kasih sayang serta untuk memelihara kelangsungan hidup

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial. Manusia tidak dapat terlepas dari interaksi dengan lingkungan dan manusia disekitarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB III KEWENANGAN PERADILAN AGAMA

BAB III KEWENANGAN PERADILAN AGAMA BAB III KEWENANGAN PERADILAN AGAMA A. Deskripsi Singkat Bab ini membahas tentang kewenangan peradilan agama. Pembahasan ini mempunyai arti penting karena sebelum diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 1989 sering

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memahami informasi tentang dunia atau lingkungan melalui penglihatan, penghayatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memahami informasi tentang dunia atau lingkungan melalui penglihatan, penghayatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Persepsi Persepsi pada dasrnya adalah proses kognitif yang dialami seseorang dalam memahami informasi tentang dunia atau lingkungan melalui penglihatan, penghayatan dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah akad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

KEWAJIBAN PELAPORAN DALAM HAL PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

KEWAJIBAN PELAPORAN DALAM HAL PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL KEWAJIBAN PELAPORAN DALAM HAL PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL Oleh : Komang Agus Giri Amerta Cokorde Dalem Dahana Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Penulisan

Lebih terperinci

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict Heniyatun 1 *, Puji Sulistyaningsih 2, Bambang Tjatur Iswanto 3 1,2,3 Hukum/Fakultas Hukum, *Email: heniyatun@ummgl.ac.id Keywords:

Lebih terperinci

BAB II. A. Mengenai Perkawinan. 1. Perkawinan. Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara

BAB II. A. Mengenai Perkawinan. 1. Perkawinan. Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara 23 BAB II TANGGUNG JAWAB MANTAN SUAMI TERHADAP PENAFKAHAN ANAK PASCA PERCERAIAN JIKA PENGHASILANNYA KURANG CUKUP MEMENUHI KEBUTUHAN ANAK YANG TELAH DITETAPKAN PENGADILAN A. Mengenai Perkawinan 1. Perkawinan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945; PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAHAN NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

HAK JANDA/DUDA ATAS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA LUBUK-LINGGAU SKRIPSI

HAK JANDA/DUDA ATAS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA LUBUK-LINGGAU SKRIPSI HAK JANDA/DUDA ATAS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA LUBUK-LINGGAU SKRIPSI Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata -1 Fakultas

Lebih terperinci

STATUS PERKAWINAN INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN PERKAWINAN. (Analisis Kasus WNI Yang Menikah Dengan Warga Negara Prancis di Jepang)

STATUS PERKAWINAN INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN PERKAWINAN. (Analisis Kasus WNI Yang Menikah Dengan Warga Negara Prancis di Jepang) STATUS PERKAWINAN INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN PERKAWINAN (Analisis Kasus WNI Yang Menikah Dengan Warga Negara Prancis di Jepang) A. Latar Belakang Masalah Seorang WNI menikah dengan warga Negara Prancis

Lebih terperinci

HUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH

HUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH Hukum Keluarga dan Waris HUKUM WARIS ISTILAH Didalam hukum waris dikenal istilah-istilah seperti pewaris, ahli waris, harta waris, boedel, testament, legaat, dan legitieme portie[1]. Yang dimaksud Pewaris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam menjalani kehidupan bermasyarakat ternyata tidak lepas untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Hukum Perdata a. Pengertian Hukum dan Hukum Perdata Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019); 2. Und

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019); 2. Und No.476, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BATAN. Izin. Perkawinan. Peceraian. Pegawai. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN PERKAWINAN

Lebih terperinci

POKOK-POKOK PP. No. 10 TAHUN 1983 Jo PP. No. 45 TAHUN 1990 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PNS

POKOK-POKOK PP. No. 10 TAHUN 1983 Jo PP. No. 45 TAHUN 1990 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PNS POKOK-POKOK PP. No. 10 TAHUN 1983 Jo PP. No. 45 TAHUN 1990 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PNS Pelaporan Perkawinan dan Perceraian: Setiap Perkawinan harus dilaporkan dlm tempo 1 tahun Setiap Perceraian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Setiap manusia di muka bumi ini diciptakan saling berpasang-pasangan. Seorang pria dan seorang wanita yang ingin hidup bersama dan mereka telah memenuhi persyaratan-persyaratan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.72, 2008 DEPARTEMEN PERTAHANAN. Perkawinan. Perceraian. Rujuk. Pencabutan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.72, 2008 DEPARTEMEN PERTAHANAN. Perkawinan. Perceraian. Rujuk. Pencabutan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.72, 2008 DEPARTEMEN PERTAHANAN. Perkawinan. Perceraian. Rujuk. Pencabutan. NOMOR: 23 TAHUN 2008 TENTANG PERKAWINAN, PERCERAIAN DAN RUJUK BAGI PEGAWAI DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN

Lebih terperinci