BAB II LANDASAN TEORI. efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI II. A. Keterampilan Sosial II. A.1. Definisi Keterampilan Sosial Keterampilan sosial adalah kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Remaja dengan keterampilan sosial akan mampu mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa harus melukai orang lain (Hargie, Saunders, & Dickson dalam Gimpel & Merrell, 1998). Keterampilan sosial membawa remaja untuk lebih berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi dan sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka tidak mencari pelarian ke hal-hal lain yang justru dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Libet dan Lewinsohn (dalam Cartledge dan Milburn, 1995) mengemukakan keterampilan sosial sebagai kemampuan yang kompleks untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh lingkungan. Kelly (dalam Gimpel & Merrel, 1998) mendefinisikan keterampilan sosial sebagai perilaku-perilaku yang dipelajari, yang digunakan oleh individu pada situasi-situasi interpersonal dalam lingkungan. Keterampilan sosial, baik secara langsung maupun tidak membantu remaja untuk dapat menyesuaikan diri 15

2 dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di sekelilingnya (Matson, dalam Gimpel & Merrell, 1998). Mu tadin (2006) mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan masa remaja madya dan remaja akhir adalah memiliki ketrampilan sosial (social skill) untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Keterampilanketerampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dsb. Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja pada fase tersebut maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Hal ini berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan aspek psikososial dengan maksimal. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial merupakan kemampuan seseorang untuk berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, memiliki tanggung jawab yang cukup tinggi dalam segala hal, penuh pertimbangan sebelum melakukan sesuatu, mampu menolak dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan. II.A.2. Arti Penting Keterampilan sosial Johnson dan Johnson (1999) mengemukakan 6 hasil penting dari memiliki keterampilan sosial, yaitu : 16

3 1. Perkembangan Kepribadian dan Identitas Hasil pertama adalah perkembangan kepribadian dan identitas karena kebanyakan dari identitas masyarakat dibentuk dari hubungannya dengan orang lain. Sebagai hasil dari berinteraksi dengan orang lain, individu mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri. Individu yang rendah dalam keterampilan interpersonalnya dapat mengubah hubungan dengan orang lain dan cenderung untuk mengembangkan pandanagn yang tidak akurat dan tidak tepat tentang dirinya. 2. Mengembangkan Kemampuan Kerja, Produktivitas, dan Kesuksesan Karir Keterampilan sosial juga cenderung mengembangkan kemampuan kerja, produktivitas, dan kesuksesan karir, yang merupakan keterampilan umum yang dibutuhkan dalam dunia kerja nyata. Keterampilan yang paling penting, karena dapat digunakan untuk bayaran kerja yang lebih tinggi, mengajak orang lain untuk bekerja sama, memimpin orang lain, mengatasi situasi yang kompleks, dan menolong mengatasi permasalahan orang lain yang berhubungan dengan dunia kerja. 3. Meningkatkan Kualitas Hidup Meningkatkan kualitas hidup adalah hasil positif lainnya dari keterampilan social karena setiap individu membutuhkan hubungan yang baik, dekat, dan intim dengan individu lainnya. 17

4 4. Meningkatkan Kesehatan Fisik Hubungan yang baik dan saling mendukung akan mempengaruhi kesehatan fisik. Penelitian menunjukkan hubungan yang berkualitas tinggi berhubungan dengan hidup yang panjang dan dapat pulih dengan cepat dari sakit. 5. Meningkatkan Kesehatan Psikologis Penelitian menunjukkan bahwa kesehatan psikologis yang kuat dipengaruhi oleh hubungan positif dan dukungan dari orang lain. Ketidakmampuan mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengarah pada kecemasan, depresi, frustasi, dan kesepian. Telah dibuktikan bahwa kewmampuan membangun hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengurangi distress psikologis, yang menciptakan kebebasan, identitas diri, dan harga diri. 6. Kemampuan Mengatasi Stress Hasil lain yang tidak kalah pentingnya dari memiliki keterampilan sosial adalah kemampuan mengatasi stress. Hubungan yang saling mendukung telah menunjukkan berkurangnya jumlah penderita stress dan mengurangi kecemasan. Hubungan yang baik dapat membantu individu dalam mengatasi stress dengan memberikan perhatian, informasi, dan feedback. II.A.3. Ciri-ciri Keterampilan Sosial Gresham & Reschly (dalam Gimpel dan Merrell, 1998) mengidentifikasikan keterampilan sosial dengan beberapa ciri, antara lain: 18

5 1. Perilaku Interpersonal Perilaku interpersonal adalah perilaku yang menyangkut keterampilan yang digunakan selama melakukan interaksi sosial yang disebut dengan keterampilan menjalin persahabatan. 2. Perilaku yang Berhubungan dengan Diri Sendiri Perilaku ini merupakan ciri dari seorang yang dapat mengatur dirinya sendiri dalam situasi sosial, seperti: keterampilan menghadapi stress, memahami perasaan orang lain, mengontrol kemarahan dan sebagainya. 3. Perilaku yang Berhubungan dengan Kesuksesan Akademis Perilaku ini berhubungan dengan hal-hal yang mendukung prestasi belajar di sekolah, seperti: mendengarkan guru, mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, dan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di sekolah. 4. Penerimaan Teman Sebaya Hal ini didasarkan bahwa individu yang mempunyai keterampilan sosial yang rendah akan cenderung ditolak oleh teman-temannya, karena mereka tidak dapat bergaul dengan baik. Beberapa bentuk perilaku yang dimaksud adalah: memberi dan menerima informasi, dapat menangkap dengan tepat emosi orang lain, dan sebagainya. 5. Keterampilan Berkomunikasi Keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan sosial yang baik, berupa pemberian umpan balik dan perhatian terhadap lawan bicara, dan menjadi pendengar yang responsif. 19

6 Adapun ciri-ciri individu yang memiliki keterampilan sosial, menurut Eisler dkk (L Abate & Milan, 1985) adalah: orang yang berani berbicara, memberi pertimbangan yang mendalam, memberikan respon yang lebih cepat, memberikan jawaban secara lengkap, mengutarakan bukti-bukti yang dapat meyakinkan orang lain, tidak mudah menyerah, menuntut hubungan timbal balik, serta lebih terbuka dalam mengekspresikan dirinya. Sementara Philips (dalam L Abate & Milan, 1985) menyatakan ciri-ciri individu yang memiliki keterampilan sosial meliputi: proaktif, prososial, saling memberi dan menerima secara seimbang. II.A.4. Dimensi Keterampilan Sosial Caldarella dan Merrell (dalam Gimpel & Merrell, 1998) mengemukakan 5 (lima) dimensi paling umum yang terdapat dalam keterampilan sosial, yaitu : 1. Hubungan dengan teman sebaya (Peer relation), ditunjukkan melalui perilaku yang positif terhadap teman sebaya seperti memuji atau menasehati orang lain, menawarkan bantuan kepada orang lain, dan bermain bersama orang lain. 2. Manajemen diri (Self-management), merefleksikan remaja yang memiliki emosional yang baik, yang mampu untuk mengontrol emosinya, mengikuti peraturan dan batasan-batasan yang ada, dapat menerima kritikan dengan baik. 3. Kemampuan akademis (Academic), ditunjukkan melalui pemenuhan tugas secara mandiri, menyelesaikan tugas individual, menjalankan arahan guru dengan baik. 20

7 4. Kepatuhan (Compliance), menunjukkan remaja yang dapat mengikuti peraturan dan harapan, menggunakan waktu dengan baik, dan membagikan sesuatu. 5. Perilaku assertive (Assertion), didominasi oleh kemampuankemampuan yang membuat seorang remaja dapat menampilkan perilaku yang tepat dalam situasi yang diharapkan. Tabel 1 Dimensi Umum Keterampilan Sosial Dimensi Hubungan dengan teman sebaya (peer relation) Pola Perilaku Interaksi sosial, prososial, empati, partisipasi sosial, sociability-leadership, kemampuan sosial pada teman sebaya. Manajemen diri (Self-management) Kontrol diri, kompetensi sosial, tanggung jawab sosial, peraturan, toleransi terhadap frustasi. Kemampuan akademis (academic) Penyesuain sekolah, kepedulian pada peraturan sekolah, orientasi tugas, tanggung jawab akademis, kepatuhan di kelas, murid yang baik. Kepatuhan (Compliance) Kerjasama secara sosial, kompetensi, cooperation-compliance Perilaku Asertif (Assertion) Keterampilan sosial asertif, social initiation, social activator, gutsy 21

8 II.A.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Sosial Hasil studi Davis dan Forsythe (Mu tadin, 2006), terdapat 8 aspek yang mempengaruhi keterampilan sosial dalam kehidupan remaja, yaitu : 1. Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis (broken home) di mana anak tidak mendapatkan kepuasan psikis yang cukup maka anak akan sulit mengembangkan ketrampilan sosialnya. Hal yang paling penting diperhatikan oleh orang tua adalah menciptakan suasana yang demokratis di dalam keluarga sehingga remaja dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua maupun saudara-saudaranya. Dengan adanya komunikasi timbal balik antara anak dan orang tua maka segala konflik yang timbul akan mudah diatasi. Sebaliknya komunikasi yang kaku, dingin, terbatas, menekan, penuh otoritas, dsb. hanya akan memunculkan berbagai konflik yang berkepanjangan sehingga suasana menjadi tegang, panas, emosional, sehingga dapat menyebabkan hubungan sosial antara satu sama lain menjadi rusak. 2. Lingkungan Sejak dini anak-anak harus sudah diperkenalkan dengan lingkungan. Lingkungan dalam batasan ini meliputi lingkungan fisik (rumah, pekarangan) dan lingkungan sosial (tetangga). Lingkungan juga meliputi lingkungan keluarga (keluarga primer dan sekunder), lingkungan sekolah 22

9 dan lingkungan masyarakat luas. Dengan pengenalan lingkungan maka sejak dini anak sudah mengetahui bahwa dia memiliki lingkungan sosial yang luas, tidak hanya terdiri dari orang tua, saudara, atau kakek dan nenek saja. 2. Kepribadian Secara umum penampilan sering diindentikkan dengan manifestasi dari kepribadian seseorang, namun sebenarnya tidak. Karena apa yang tampil tidak selalu menggambarkan pribadi yang sebenarnya (bukan aku yang sebenarnya). Dalam hal ini amatlah penting bagi remaja untuk tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan semata, sehingga orang yang memiliki penampilan tidak menarik cenderung dikucilkan. Di sinilah pentingnya orang tua memberikan penanaman nilai-nilai yang menghargai harkat dan martabat orang lain tanpa mendasarkan pada hal-hal fisik seperti materi atau penampilan. 3. Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri Untuk membantu tumbuhnya kemampuan penyesuaian diri, maka sejak awal anak diajarkan untuk lebih memahami dirinya sendiri (kelebihan dan kekurangannya) agar ia mampu mengendalikan dirinya sehingga dapat bereaksi secara wajar dan normatif. Agar anak dan remaja mudah menyesuaikanan diri dengan kelompok, maka tugas orang tua / pendidik adalah membekali diri anak dengan membiasakannya untuk menerima dirinya, menerima orang lain, tahu dan mau mengakui kesalahannya, dsb. Dengan cara ini, remaja tidak akan terkejut menerima kritik atau umpan balik dari orang lain / kelompok, mudah membaur dalam kelompok dan 23

10 memiliki solidaritas yang tinggi sehingga mudah diterima oleh orang lain / kelompok. Berdasarkan ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial dipengaruhi berbagai faktor, antara lain faktor keluarga, lingkungan, serta kemamapuan dalam penyesuaian diri. II.B. Homeschooling II.B.1. Sejarah Homeschooling Setiap kegiatan pendidikan merupakan bagian dari suatu proses yang sangat penting dan diharapkan dapat mengarah ke suatu tujuan. Gambaran kepercayaan masyarakat abad 20 ini terhadap pendidikan berkembang sama luasnya dengan perluasan pendirian sekolah-sekolah umum dan diberlakukannya undang-undang wajib belajar. Asumsi sekolah sebagai hal yang dibutuhkan dalam pendidikan anak didik begitu besar, sehingga meskipun banyak perdebatan mengenai bentuk sekolah dan bahan-bahan yang harus diajarkan, tetap saja sekolah menjadi suatu lembaga yang tidak tergantikan (Griffith, 2006). Tapi, seiring perkembangan zaman, timbullah suatu pengecualianpengecualian. Sebagian anak yang tinggal di daerah yang terpencil dan terlalu jauh dari sekolah formal menyulitkan mereka untuk datang ke sekolah. Kemudian sebagian lainnya merasa tidak tahan berada di sekolah atau datang dari keluarga dengan ide-ide yang tidak tradisional mengenai makna pembelajaran (Griffith, 2006). Para pembelajar yang tidak konvensional ini kemudian mengambil jalur pendidikan yang berbeda. Hingga pada akhirnya John Holt di akhir tahun 1970-an 24

11 mempelopori terbentuknya sekolah di rumah kepada publik. Pada tahun 1977, Holt mulai mempublikasikan buletin berita sebanyak 4 halaman, yang berjudul Growing Without Schooling (Tumbuh Tanpa Sekolah) bagi keluarga-keluarga yang menginginkan ide-ide dan dukungan untuk membantu anak-anak mereka belajar di luar sekolah. Ide-ide Holt mempengaruhi banyak orang tua yang juga memikirkan hal yang serupa, dan dalam waktu singkat banyak yang mendukungnya. Pada awalnya Holt menggunakan kata pendidikan tanpa sekolah untuk menggambarkan tindakan pendidikan anak didik di luar sekolah formal. Namun, hal tersebut segera menjadi sinonim untuk sebutan sekolah di rumah (homeschooling). Selama dua dekade terakhir, arti istilah itu telah berubah dan menyempit, sehingga pendidikan tanpa sekolah mengacu pada gaya khusus sekolah di rumah (homeschooling) yang dianjurkan Holt dan pembelajarannya terpusat pada anak. Kemudian sejak tahun 1970-an, pergerakan dari homeschooling telah mendapat dukungan luas dan tumbuh dengan pesat (Griffith, 2006). Menurut data dari National Household Education Surveys Program (NHES) seperti dikutip dari National Center for Education Statistics, di Amerika Serikat, pada tahun 2003 terdapat sekitar 1,096,000 anak yang homeschooling. Empat tahun sebelumnya, yaitu tahun 1999, terdapat sekitar anak (sekitar 1,7 % dari populasi usia sekolah) yang homeschooling. Hal ini berarti terjadi peningkatan sekitar 0,5 % jumlah anak yang mengikuti program pendidikan homeschooling. 25

12 Di tahun 2003 pula, NHES melakukan survei terhadap para orang tua, mengenai alasan mereka menerapkan homeschooling pada anak-anak mereka. Sekitar 31 % orang tua menyatakan khawatir terhadap lingkungan sekolah; 30 % mengatakan alasannya adalah memberikan ajaran agama dan moral; dan alasan berikutnya, sekitar 16 % adalah ketidakpuasan terhadap sistem akademis di sekolah. II.B.2. Sejarah Homeschooling di Indonesia Negara menjamin adanya pendidikan di Indonesia, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara di sektor pendidikan. Pendidikan di sekolah merupakan salah satu sub sistem dari keseluruhan sistem pendidikan yang terdiri dari sentra keluarga, masyarakat, media, dan sekolah. Pemerintah Indonesia pada hakekatnya telah melakukan beberapa kebijakan pendidikan guna mengakomodasi dan melayani kebutuhan pendidikan bagi anak-anak di Indonesia, karena pendidikan merupakan usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Kegiatan pengajaran tersebut diselenggarakan pada semua satuan dan jenjang pendidikan yang meliputi wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Depdiknas, 2001). Namun, pada saat ini banyak fenomena yang mengarah pada bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap signifikansi proses pendidikan dalam sistem sekolah formal untuk merubah kualitas hidup. Proses yang terjadi di 26

13 sekolah dianggap sebagai ritual formalitas yang berkisar dari menjemukan sampai dengan menyiksa anak, namun perlu dilakukan agar mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah berupa ijazah untuk bisa memasuki jenjang selanjutnya. Sekolah hanya dianggap sebagai lembaga pemberi ijazah. Di tingkat perguruan tinggi, terungkapnya kasus pembelian gelar dan ijazah sebagai jalan pintas yang juga melibatkan beberapa pejabat dan anggota dewan merupakan pucuk gunung es dari ketidakpercayaan terhadap proses pembelajaran dalam sistem formal ( comments.php?id=p153_0_9_0_c). Sejalan dengan hal tersebut muncul sekolah-sekolah alternatif yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ketika masyarakat tergerak untuk mengambil alih kembali pendidikan, muncul pendidikan alternatif yang diprakarsai sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Terdapat sanggar anak, sekolah anak rakyat, komunitas pinggir kali, dan sebagainya. Dan akhir-akhir ini yang lebih menggembirakan lagi, muncul sebuah gerakan sekolah rumah (homeschooling) sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada sekolah formal. Walaupun masih belum cukup banyak dibanding kompleksitas berbagai permasalahan dalam masyarakat, upaya-upaya alternatif ini merupakan bagian dari dinamika proses negosiasi dimensi formal dan non-formal dari pendidikan ( comments.php?id=p153_0_9_0_c). Prasetyawati (2006) mengatakan bahwa kegiatan belajar yang dialihkan dari sekolah ke rumah (homeschooling) disebabkan oleh ketidakpuasan orang tua terhadap sistem pendidikan, ketidaksesuaian anak terhadap mata pelajaran sehingga tidak bisa mengembangkan potensi anak, pergaulan di sekolah yang memberi dampak buruk, misalnya: penyalahgunaan obat terlarang yang sudah 27

14 menyusup di kalangan pelajar, serta adanya fleksibilitas dalam memberikan pelajaran oleh orang tua. Ibuka (dalam Sukadji, 2000) menyatakan tulisannya mengenai pendidikan anak, bahwa anak hendaknya mulai dididik sejak lahir oleh orang tuanya sendiri. Pendidikan anak pada hakikatnya berasal dari rumah dan yang menjadi guru pertama kali dalam hidup anak adalah orang tua, yang mana pendidikan dalam rumah dapat membuat anak sehat jasmaninya, lebih bermental fleksibel, lebih cerdas, dan lebih sopan. Yulfiansyah (2006) mengatakan bahwa pada homeschooling yang menjadi guru untuk mendidik dan mengajarkan anak adalah orang tua. Selanjutnya orang tua dapat pula mengundang siapa saja untuk memberikan transfer keahlian pada anak-anaknya, bisa seorang mahasiswa untuk bidang yang dikuasainya, seorang suster untuk masalah kesehatan, seorang satpam untuk belajar bela diri, seorang cleaning service untuk kegigihan dan kesungguhan dalam bekerja, seorang buruh pabrik, dan lain sebagainya. Pada dasarnya dengan pengalaman yang mereka miliki, wawasan anak didik menjadi lebih berkembang oleh karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa oleh siapa saja. Suyanto (2006) mengatakan bahwa orang tua yang ragu-ragu terhadap kualitas pendidikan formal yang ada, sah-sah saja jika ingin mendidik sendiri anaknya di rumah. Namun, tentu materinya harus sesuai dengan standard yang berlaku. Untuk itulah anak-anak yang mengikuti homeschooling harus menempuh ujian kesetaraan, yang dapat diikuti melalui lembaga yang dikelola oleh pemerintah, seperti di Sanggar Kegiatan Belajar-Unit Pelaksaanaan Teknis Daerah (SKB-UPTD) yang sudah menyebar di seluruh kabupaten di Indonesia, dan di 28

15 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang penyebarannya mencapai tingkat kelurahan. Dengan demikian anak yang homeschooling dapat memperoleh ijazah sama seperti anak yang sekolah di sekolah formal, dan dapat melanjutkan pendidikannya di sekolah yang lebih tinggi pula. II.B.3. Pengertian Homeschooling Lines (1995) mendefinisikan homeschooling sebagai suatu situasi pembelajaran yang singkat atau lama, di mana siswa dididik dengan beragam subjek pelajaran di dalam rumah oleh orang tuanya, orang lain, teman-teman, atau orang yang ahli. Homeschooling merupakan sebuah situasi pembelajaran di mana pada umumnya anak diajarkan oleh orang tua mereka sendiri dalam lingkungan yang non-tradisional (Wichers, 2001). Menurut Yulfiansyah (2006) homeschooling merupakan sebuah wacana pembelajaran yang menitikberatkan pada pemanfaatan potensi anak didik dengan sedikit supervisi. Anak yang homeschooling diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bernalar secara komprehensif, optimal, dan mengoptimalkan kreativitasnya. Holt (dalam Griffith, 2006) mengatakan bahwa homeschooling merupakan sebuah pendidikan yang dilakukan tanpa sekolah dan dilakukan di dalam rumah, serta berdasarkan pada pembelajaran yang terpusat pada anak. Pada dasarnya homeschooling bersifat unik, karena setiap keluarga mempunyai nilai dan latar belakang berbeda, setiap keluarga akan melahirkan pilihan-pilihan model homeschooling yang unik. 29

16 Sekolah rumah pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: 1. Sekolah Rumah Tunggal Merupakan format sekolah rumah yang dilaksanakan oleh orang tua dalam satu keluarga yang dalam pelaksanaannya dengan sengaja tidak bergabung dengan keluarga lain yang menerapkan sekolah rumah tunggal lainnya. Format sekolah rumah tunggal biasanya dipilih oleh keluarga yang ingin memiliki fleksibilitas maksimal dalam penyelenggaraan homeschooling. Mereka bertanggunjawab sepenuhnya atas seluruh proses yang ada dalam homeschooling, mulai perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pengadministrasian, hingga penyediaan sarana pendidikan. Dalam format ini, keluarga biasanya menggunakan fasilitas keluarga atau sarana-sarana umum sebagai penunjang kegiatan belajar putra-putrinya. 2. Sekolah Rumah Majemuk Merupakan format sekolah rumah yang dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga sekolah rumah yang memilih untuk menyelenggarakan satu atau lebih kegiatan bersama-sama. Dalam sekolah rumah majemuk setiap keluarga tetap memiliki fleksibilitas untuk menjalankan kegiatan inti maupun kegiatan lainnya secara mandiri. Format sekolah rumah ini memberikan kemungkinan pada keluarga untuk saling bertukar pengalaman dan sumber daya yang dimiliki tiap keluarga. Sebuah keluarga dapat melakukan pertukaran keahlian untuk mnegekspos anak-anak pada keahlian lain yang tidak 30

17 dimiliki oleh sebuah keluarga. Selain itu, format sekolah rumah ini juga dapat menambah sosialisasi sebaya (horizontal socialization) dalam kegiatan bersama di antara anak-anak homeschooling. 3. Sekolah Rumah Komunitas Merupakan gabungan beberapa sekolah rumah majemuk yang menyusun dan menentukan silabus serta bahan ajar bagi anak-anak sekolah rumah. Berbeda dengan sekolah rumah tunggal / majemuk, Komunitas Sekolah Rumah menyelenggarakan proses belajar mengajar dalam keluarga dengan komitmen orang tua dan komunitas dengan perbandingan tertentu, misalnya: 50 : 50. Menurut panduan yang diterbitkan Depdiknas, pertimbangan pelaksanaan Komunitas Sekolah Rumah adalah untuk membuat struktur yang lebih lengkap dalam penyelenggaraan aktivitas pendidikan akademis untuk pembangunan akhlak mulia, pengembangan intelegensi, keterampilan hidup dalam pembelajaran, penilaian, dan kriteria keberhasilan dalam standard mutu tertentu tanpa menghilangkan jati diri dan identitas diri yang dibangun dalam keluarga dan lingkungannya. II.B.4. Legalitas Homeschooling di Indonesia Ada 3 (tiga) jalur pendidikan yang dikenal dalam sistem pendidikan di Indonesia ( view&id=314&itemid=80), yaitu: 1. formal, yaitu: SD, SMP, SMU, dan universitas. 31

18 2. non formal, yaitu: lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, serta satuan pendidikan sejenis. 3. informal, yaitu: pendidikan oleh keluarga dan lingkungan secara mandiri, salah satunya adalah homeschooling. Dalam sistem pendidikan di Indonesia, homeschooling merupakan jalur pendidikan informal. Keberadaan homeschooling telah diatur dalam UU 20 / 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 27 ayat (1), yaitu: "Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri" Pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan informal, kecuali standar penilaian apabila akan disetarakan dengan pendidikan jalur formal dan non formal sebagaimana yang dinyatakan pada UU No. 20 / 23, pasal 27 ayat (2). Ketika banyak pihak yang melaksanakan homeschooling bergabung dan menyusun atau menentukan silabus serta bahan ajar bagi peserta didiknya, maka itu merupakan suatu kelompok belajar atau disebut Komunitas Belajar. Komunitas Belajar merupakan satuan pendidikan jalur non formal. Acuan dalam UU mengenai Komunitas Belajar ada pada UU 20 / 2003 pasal 26 ayat (4): "Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis." Peserta didik dari Komunitas Belajar yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti ujian nasional pendidikan kesetaraan pada jalur pendidikan non formal. Hal tersebut sejalan dengan UU 20 / 2003 pasal 26 ayat (6): 32

19 "Hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan." Agar kegiatan homeschooling bisa memperoleh penilaian dan penghargaan melalui pendidikan kesetaraan, perlu ditempuh langkah-langkah pembentukan Komunitas Belajar sebagai berikut: 1. Mendaftarkan kesiapan orang tua / keluarga untuk menyelenggarakan pembelajaran di rumah / lingkungan kepada Komunitas Belajar. 2. Berhimpun dalam suatu komunitas. 3. Mendaftarkan komunitas belajar pada bidang yang menangani pendidikan kesetaraan pada Dinas Pendidikan kabupaten / kota setempat. 4. Mengadministrasikan peserta didik sesuai dengan program paket belajar yang diikutinya. 5. Menyusun program belajar dan strategi penyelenggaraan secara menyeluruh dan berkesinambungan sesuai dengan program paket belajar yang diselenggarakannya. 6. Mengembangkan perangkat pendukung pembelajaran. 7. Melakukan penilaian terhadap hasil belajar yang dicapai peserta didik secara berkala per semester. 8. Mengikutsertakan peserta didik yang sudah memenuhi persyaratan dalam Ujian Nasional. Sejalan dengan hal di atas, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk: 33

20 1. Melakukan pendataan Komunitas Belajar dan sekolah rumah yang menjadi anggotanya. 2. Melakukan pembinaan terhadap Komunitas Belajar. 3. Memfasilitasi terselenggaranya ujian nasional bagi peserta didik sekolah rumah yang terdaftar pada Komunitas Belajar. II.B.5. Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan Homeschooling Alifa (2006) mengatakan bahwa keberhasilan homeschooling dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini ( yaitu: 1. Kedisiplinan dan Komitmen Pengajar dan anak didik yang diajar harus menerapkan sikap yang disiplin. Belajar di rumah tentu memiliki keleluasaan waktu. Namun, orang tua bersama anak harus membuat kesepakatan bersama perihal waktu belajar. Taati waktu yang telah dipilih dan tidak melanggarnya. Terlewat satu hari berarti telah melewatkan beberapa materi yang harus dipelajari. 2. Mengenali Kemampuan Anak Dengan mengenali kemampuan anak, maka si pengajar atau tutor dapat memberikan materi yang sesuai baginya. Orang tua tidak boleh memaksa anak melebihi kemampuannya karena dapat membuatnya frustrasi. 34

21 3. Menciptakan Suasana Belajar yang Menyenangkan Kelebihan sistem homeschooling ini adalah dapat memilih lokasi belajar di mana saja, di dalam ruangan, di luar ruangan, dan di sekitar rumah, sehingga suasana belajar menjadi lebih menyenangkan. 4. Memberikan Kesempatan pada Anak untuk Bersosialisasi Kemampuan bersosialisasi anak tetap dapat dikembangkan dengan cara memberinya kesempatan mengikuti kegiatan ekskul yang melibatkan anak-anak sebayanya. Sesuaikan bidang ekskul dengan minat anak sehingga semangat selalu menyertainya. 5. Memperkaya Kemampuan Pengajaran Tutor hendaknya selalu menambah pengetahuannya, baik dalam hal teknik mengajar kreatif dan interaktif maupun materi yang disampaikan. Mengakses informasi di internet, televisi, surat kabar, buku, dan forum-forum orangtua homeschooling tentu akan sangat membantu. II.C Program Reguler Pengertian Program reguler dalam kamus Bahasa Indonesia adalah teratur, tetap atau biasa (Daryanto, 1997). Berdasarkan pengertian tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud kelas reguler adalah kelas yang secara umum diselenggarakan oleh sekolah-sekolah dengan sistem tetap atau biasa yang memberikan kepada siswa suatu metode pengajaran yang biasa dilaksanakan selama ini yang membutuhkan waktu tempuh pendidikan selama enam tahun SD dan tiga tahun di SMP/SMU. Waktu belajar yang digunakan kelas reguler 35

22 maksimal delapan jam, secara umum belajar yang digunakan adalah tujuh sampai dengan delapan jam (Balitbag Depdikbud, 1986) Menurut Widyastono (2004) kelas reguler diselenggarakan berdasarkan kurikulum nasional yang berlaku. Dalam kelas reguler semua peserta didik atau siswa diberikan perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan kemampuan mereka. II.D Remaja Istilah adolescence atau remaja (Hurlock, 1999) berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Pengertian adolescence atau remaja mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja adalah suatu masa peralihan, periode transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa yang mensyaratkan suatu perubahan-perubahan biologis, kognitif dan psikososial individu (Santrock, 2001). Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari tiga belas tahun enam belas tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia enam belas atau tujuh belas tahun sampai delapan belas tahun, yaitu usia matang secara hukum. Lazimnya masa remaja dianggap mulai pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Pada umumnya remaja masih belajar di Sekolah Menengah atau Perguruan tinggi (Hurlock, 1999). Hurlock (1998) mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan remaja adalah untuk mencapai kematangan emosional. Perkembangan emosi yang terjadi pada masa remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, dan teman-teman sebaya serta 36

23 aktivitas-aktivitas yang dilakukannya sehari-hari. Jadi seberapa jauh remaja dapat mengadakan hubungan dengan orang lain tergantung pada kualitas interpersonal yang diciptakannya. II.E. Perbedaan Keterampilan Sosial antara siswa Homeschooling dan siswa yang mengikuti Program Reguler Saat ini di Indonesia program pendidikan homeschooling sudah semakin meluas dan cukup dikenal. Banyak para para pendidik dan tokoh masyarakat menyambut positif kebijakan ini, karena program ini adalah salah satu program pendidikan bagi anak didik yang melibatkan partisipasi orang tua di dalamnya. Pemerintah juga telah memberikan perhatian pada homeschooling, karena homeschooling sudah ada landasan hukumnya, dan telah diakui oleh Departemen Pendidikan Nasional. Saat ini para peserta homeschooling bisa mendapatkan ijazah juga seperti di sekolah formal. Dalam homeschooling penekanannya lebih kepada partisipasi dari orang tua dalam merancang pendidikan anak-anaknya. Dalam belajar dan mendidik anak yang menjadi guru pertama kali dalam hidup anak adalah orang tua. Dewey mengatakan (dalam Lines, 2000) orang tua yang lebih mengenal karakter, minat, dan bakat anak-anaknya, sehingga dapat dirancang suatu pola didik yang paling sesuai dengan karakter, minat, dan bakat mereka tersebut. Dan tentu saja orang tua juga harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi tentang metode belajar dan pembelajaran. Selanjutnya orang tua bisa mengundang siapa saja untuk memberikan transfer keahlian untuk anak-anaknya, bisa seorang mahasiswa untuk bidang yang dikuasainya, seorang suster untuk masalah 37

24 kesehatan, seorang satpam untuk belajar beladiri, seorang cleaning service untuk kegigihan dan kesungguhan dalam bekerja, seorang buruh pabrik, dan lain sebagainya. Pada dasarnya dengan pengalaman mereka wawasan anak-anak akan menjadi lebih berkembang, karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa oleh siapa saja (Yulfiansyah, 2006). Namun, tidak sedikit pula pihak yang pesimis dengan pelaksanaan program homeschooling ini. Pelaksanaan homeschooling kebanyakan dilakukan di rumah dengan melibatkan peran orang tua sebagai guru atau tutor yang didatangkan. Sebagian kekhawatiran mereka adalah homeschooling hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga dari kalangan mampu sehingga memunculkan suatu elitisme baru. Kekhawatiran lainnya adalah pertanyaan mengenai apakah homeschooling menyentuh aspek sosial dan afektif anak didik. Ada anggapan bahwa homeschooler (sebutan bagi anak didik homeschooling), kurang bersosialisasi, tidak realistis terhadap dunia, dan bahkan tidak demokratis (Lines, 2000). Siswa akan kehilangan waktu senggang dan masa bermainnya, serta menghambat dan membatasi siswa untuk berinteraksi dengan teman sebaya, dan dengan demikian hubungan interpersonal pun juga akan semakin merenggang (Griffith, 2006). Karena itu sebagai mahluk sosial, individu dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan linkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku. Oleh karena itu setiap individu dituntut untuk menguasai keterampilan-keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Keterampilan-keterampilan tersebut biasanya disebut 38

25 sebagai aspek psikososial. Keterampilan tersebut harus mulai dikembangkan sejak masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup buat anakanak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan tugas dan tanggungjawab sesuai perkembangan anak, dsb. Dengan mengembangkan ketrampilan tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat (Mu tadin, 2002). Keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri menjadi semakin penting dan krusial manakala anak sudah menginjak masa remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan (Mu tadin, 2002). Sejumlah hal yang dapat memudahkan remaja dalam proses sosialisasinya tercakup dalam keterampilan sosial. Keterampilan sosial memudahkan remaja untuk berhubungan dan berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, selektif terhadap berbagai pengaruh yang ada di lingkungan, bertanggung jawab dan penuh pertimbangan atas semua yang dilakukan, serta mampu menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi secara tepat. Remaja yang mempunyai keterampilan sosial tidak akan mudah lagi terjebak dalam sikap, perilaku, kebiasaan ataupun hal-hal lain yang justru akan menghambat perkembangannya menuju dewasa. Keterampilan sosial yang tinggi pada masa remaja akan membawa individu untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang semakin baik di masyarakat (Sunarti, 2004). Sedangkan kegagalan remaja dalam menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial akan menyebabkan dia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat 39

26 menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif (misalnya asosial ataupun anti sosial), dan bahkan dalam perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dan sebagainya. Siswa-siswa yang mengikuti pendidikan homeschooling diperkirakan memiliki keterampilan sosial yang berbeda dibandingkan dengan siswa-siswa reguler yang belajar di sekolah formal. Siswa-siswa yang mengikuti program homeschooling lebih terfokus pada pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan di dalam rumah, sehingga menimbulkan anggapan bahwa mereka lebih sedikit mengadakan sosialisasi dan partisipasi aktif dalam aktivitas-aktivitas sosial lainnya. Hal ini tentu akan berpengaruh pada keterampilan sosial siswa tersebut. Namun, keterampilan sosial belum tentu sama antara siswa yang satu dengan siswa lainnya. Dengan demikian keterampilan sosial siswa yang homeschooling belum tentu sama dengan keterampilan sosial yang dimiliki oleh siswa di sekolah reguler. II.F. Hipotesis Berdasarkan uraian teoritik yang dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : Ada perbedaan keterampilan sosial antara siswa homeschooling dengan siswa yang mengikuti program reguler. 40

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Kegiatan pengajaran

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Kegiatan pengajaran BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Kegiatan pengajaran tersebut diselenggarakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sikap. Suatu pengaruh dikatakan berhasil apabila terjadi sebuah perubahan pada si

II. TINJAUAN PUSTAKA. sikap. Suatu pengaruh dikatakan berhasil apabila terjadi sebuah perubahan pada si 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Pengertian Pengaruh Pengaruh merupakan efek yang terjadi setelah dilakukannya proses penerimaan pesan sehingga terjadilah proses perubahan baik pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang terus berkembang pesat, sehingga dibutuhkan individu-individu

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang terus berkembang pesat, sehingga dibutuhkan individu-individu BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Era globalisasi ditandai dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang pesat, sehingga dibutuhkan individu-individu yang mampu menyesuaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini, di Indonesia pilihan jalur untuk menempuh pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini, di Indonesia pilihan jalur untuk menempuh pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada saat ini, di Indonesia pilihan jalur untuk menempuh pendidikan semakin beragam, mulai dari jalur pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Burgess & Locke (Duvall & Miller, 1985), Keluarga adalah

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Burgess & Locke (Duvall & Miller, 1985), Keluarga adalah BAB II LANDASAN TEORI A. Keluarga 1. Defenisi Keluarga Menurut Burgess & Locke (Duvall & Miller, 1985), Keluarga adalah sekelompok orang dengan ikatan perkawinan, darah, atau adopsi; terdiri dari satu

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan primer bagi masing-masing individu, dan sudah menjadi hak setiap manusia untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pada Undang-Undang Sistem

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ketrampilan Sosial a. Pengertian Ketrampilan sosial adalah kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap perkembangan yang harus dilewati. Perkembangan tersebut dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hasil akhir dari pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hasil akhir dari pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hasil akhir dari pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal yang telah di pelajari dapat membantunya dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia 1 B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia akan mengalami serangkaian tahap perkembangan di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia adalah tahap remaja. Tahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk mampu mengatasi segala masalah yang timbul sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungan sosial dan harus mampu menampilkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Hurlock (1999) orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Penyesuaian Sosial 2.1.1 Pengertian penyesuaian sosial Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi. Agar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Formal Ibu 1. Pengertian Ibu Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada pada diri anaknya dalam hal mengasuh, membimbing dan mengawasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 1 2.1 Kajian Teoritis BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1.1 Hakikat Keterampilan Sosial Keterampilan sosial adalah kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tua, lingkungan masyarakat sekitarnya, dan negara. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasiona No 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. tua, lingkungan masyarakat sekitarnya, dan negara. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasiona No 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan potensi sumber daya manusia (SDM) serta penerus cita perjuangan bangsa. Untuk mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut anak perlu mendapatkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Kreativitas merupakan suatu aktivitas yang sifatnya sangat kompleks,

BAB II LANDASAN TEORI. Kreativitas merupakan suatu aktivitas yang sifatnya sangat kompleks, BAB II LANDASAN TEORI II. A. Kreativitas II. A.1. Definisi Kreativitas Kreativitas merupakan suatu aktivitas yang sifatnya sangat kompleks, sehingga tidak dapat dipungkiri pengertian kreativitas menyebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usia 4-6 tahun merupakan waktu paling efektif dalam kehidupan manusia untuk mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI MODEL HOMESCHOOLING (Studi Kasus di Homeschooling Kak Seto Surakarta Tahun 2012)

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI MODEL HOMESCHOOLING (Studi Kasus di Homeschooling Kak Seto Surakarta Tahun 2012) IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI MODEL HOMESCHOOLING (Studi Kasus di Homeschooling Kak Seto Surakarta Tahun 2012) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana penting untuk meningkatkan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana penting untuk meningkatkan kualitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sarana penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam menjamin kelangsungan pembangunan suatu bangsa. Ilmu pengetahuan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia terlahir dalam keadaan yang lemah, untuk memenuhi kebutuhannya tentu saja manusia membutuhkan orang lain untuk membantunya, artinya ia akan tergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dianggap sebagai masa labil yaitu di mana individu berusaha mencari jati dirinya dan mudah sekali menerima informasi dari luar dirinya tanpa ada pemikiran

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan formal di Indonesia merupakan rangkaian jenjang pendidikan yang wajib dilakukan oleh seluruh warga Negara Indonesia, di mulai dari Sekolah Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sebuah kebutuhan yang harus ditempuh oleh setiap warga negara. Pemerintah Indonesia telah mengambil kebijakan bahwa setiap warga negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seorang individu, karena individu tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seorang individu, karena individu tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seorang individu, karena individu tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga di rumah atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup bersama dengan orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut Walgito (2001)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju masa dewasa, serta masa dimana seseorang mulai mengembangkan dan memperluas kehidupan sosialnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah besar budaya yang berbeda. Siswanya sering berpindah berpindah dari satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan, sebab seseorang tidak bisa dikatakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penyesuaian Sosial Penyesuaian sosial adalah sebagai keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompoknya pada khususnya. Orang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kematangan Sosial Emosional Anak. (1) Perkembangan, proses pencapai kemasakan/usia masak, (2) proses

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kematangan Sosial Emosional Anak. (1) Perkembangan, proses pencapai kemasakan/usia masak, (2) proses BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kematangan Sosial Emosional Anak 1. Pengertian Kematangan Sosial Emosional Anak Chaplin (2011), mengartikan kematangan (maturation) sebagai: (1) Perkembangan, proses pencapai kemasakan/usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wangi Citrawargi, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wangi Citrawargi, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan berlanjut menjadi orang tua merupakan proses yang dilalui oleh setiap manusia secara berkesinambungan dalam hidupnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan interaksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya untuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami perubahan-perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini merupakan saat seseorang mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat dalam kehidupannya. Perkembangan dan pertumbuhan pada anak usia

Lebih terperinci

POKOK BAHASAN MATA - KULIAH BK PRIBADI SOSIAL (2 SKS) :

POKOK BAHASAN MATA - KULIAH BK PRIBADI SOSIAL (2 SKS) : POKOK BAHASAN MATA - KULIAH BK PRIBADI SOSIAL (2 SKS) : 1. Konsep dasar bimbingan dan konseling pribadi - sosial : a. Keterkaitan diri dengan lingkungan sosial b. Pengertian BK pribadi- sosial c. Urgensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vivit Puspita Dewi, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vivit Puspita Dewi, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hubungan interpersonal sangat penting untuk perkembangan perasaan kenyamanan seseorang dalam berbagai lingkup sosial. Hubungan Interpersonal membantu dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional harus mencerminkan kemampuan sistem pendidikan nasional untuk mengakomodasi berbagi tuntutan peran yang multidimensional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu wadah yang didalamnya terdapat suatu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu wadah yang didalamnya terdapat suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu wadah yang didalamnya terdapat suatu proses kegiatan berfungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Keberhasilan dalam dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial, individu di dalam menjalin hubungan dengan individu lain perlu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial, individu di dalam menjalin hubungan dengan individu lain perlu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara hakiki merupakan makhluk sosial yang membutuhkan pergaulan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai makhluk sosial, individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan yang mutlak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan yang mutlak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan yang mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin besarnya kebutuhan akan tenaga kerja profesional di bidangnya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku, di mana individu

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku, di mana individu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam rentang kehidupan manusia, manusia akan mengalami perubahan, baik perubahan dari luar maupun dari dalam. Dari dalam seperti fisik, pertumbuhan tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN DAN TEORI HASIL PENELITIAN. 1. Indikator dan tujuan rencana pelaksanaan pembelajaran berbasis

BAB V PEMBAHASAN DAN TEORI HASIL PENELITIAN. 1. Indikator dan tujuan rencana pelaksanaan pembelajaran berbasis 67 BAB V PEMBAHASAN DAN TEORI HASIL PENELITIAN A. Pembahasan 1. Indikator dan tujuan rencana pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter di SMP Muhammadiyah 3 Ampel Boyolali Perencanaan adalah proses dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanah dari Allah SWT, Setiap orang tua menginginkan anakanaknya

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanah dari Allah SWT, Setiap orang tua menginginkan anakanaknya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanah dari Allah SWT, Setiap orang tua menginginkan anakanaknya cerdas, berwawasan luas dan bertingkah laku baik, berkata sopan dan kelak suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia perlu berkomunikasi dan berinteraksi

Lebih terperinci

KONTRIBUSI KONSEP DIRI DAN PERSEPSI MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SISWA SMA GAMA YOGYAKARTA TAHUN 2009 TESIS

KONTRIBUSI KONSEP DIRI DAN PERSEPSI MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SISWA SMA GAMA YOGYAKARTA TAHUN 2009 TESIS KONTRIBUSI KONSEP DIRI DAN PERSEPSI MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SISWA SMA GAMA YOGYAKARTA TAHUN 2009 TESIS Diajukan Kepada Program Studi Manajemen Pendidikan

Lebih terperinci

MENINGKATKAN KEDISIPLINAN ANAK MELALUI PEMBIASAAN DI KELOMPOK B PAUD NEGERI PEMBINA PALU

MENINGKATKAN KEDISIPLINAN ANAK MELALUI PEMBIASAAN DI KELOMPOK B PAUD NEGERI PEMBINA PALU MENINGKATKAN KEDISIPLINAN ANAK MELALUI PEMBIASAAN DI KELOMPOK B PAUD NEGERI PEMBINA PALU Aisan Saniapon 1 ABSTRAK Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah kedisiplinan anak dapat ditingkatkan melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu sejak dilahirkan akan berhadapan dengan lingkungan yang menuntutnya untuk menyesuaikan diri. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu diawali dengan penyesuaian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Perbedaan Kecerdasan..., Muhammad Hidayat, FPSI UI, 2008

I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Perbedaan Kecerdasan..., Muhammad Hidayat, FPSI UI, 2008 I. PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional yang rendah berhubungan dengan meningkatnya penggunaan obat-obatan terlarang dan kekerasan, terutama pada laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan bagian penunjang kehidupan manusia yang sangat penting, dalam UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dengan transisi adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dengan transisi adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap individu mengalami masa peralihan atau masa transisi. Yang dimaksud dengan transisi adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan (Papalia & Olds, 2001).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan kelompok yang sangat berpotensi untuk bertindak agresif. Remaja yang sedang berada dalam masa transisi yang banyak menimbulkan konflik, frustasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam

BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan manusia seutuhnya bertujuan agar individu dapat mengekspresikan dan mengaktualisasi diri dengan mengembangkan secara optimal dimensi-dimensi kepribadian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat keberhasilan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat keberhasilan pendidikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang, baik dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa. Kemajuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan tantangan, bangsa Indonesia dituntut untuk meningkatkan Sumber

PENDAHULUAN Latar Belakang Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan tantangan, bangsa Indonesia dituntut untuk meningkatkan Sumber 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan tantangan, bangsa Indonesia dituntut untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai modal penting untuk membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Disiplin merupakan kesadaran diri yang muncul dari batin terdalam untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum yang berlaku dalam satu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dalam kontek sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dalam kontek sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk Tuhan yang dapat berinteraksi sosial dengan orang lain dalam kontek sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Setiap manusia harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Setiap manusia harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sarana untuk menjadikan seseorang atau individu menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Setiap manusia harus mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan bantuan orang lain. Oleh karena itu, setiap manusia diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. (Stanley Hall dalam Panuju, 2005). Stres yang dialami remaja berkaitan dengan proses perkembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lingkungan merupakan sesuatu yang berada di luar batasan-batasan kemampuan

I. PENDAHULUAN. Lingkungan merupakan sesuatu yang berada di luar batasan-batasan kemampuan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Lingkungan merupakan sesuatu yang berada di luar batasan-batasan kemampuan dan potensi genetik seseorang. Lingkungan berperan dalam menyiapkan fasilitasfasilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN Bab I ini menguraikan inti dari penelitian yang mencakup latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi skripsi. 1.1 Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bagian ini akan menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bagian ini akan menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah BAB I PENDAHULUAN Bagian ini akan menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah yang meliputi: 1) Bagaimana efektivitas kebijakan pendidikan Budi Pekerti pada komunitas Homeschooling sekolah Dolan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan, kecerdasan dan keterampilan manusia lebih terasah dan teruji dalam menghadapi dinamika kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan tugas Negara yang amat penting. pembukaan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945, yaitu untuk

BAB I PENDAHULUAN. merupakan tugas Negara yang amat penting. pembukaan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945, yaitu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar yang sengaja (terkontrol, terencana dengan sadar dan secara sistematis) diberikan kepada anak didik oleh pendidik agar anak didik dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak dan masa dewasa. Dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan psikis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja dalam arti adolescence (Inggris) berasal dari kata latin adolescere tumbuh ke

BAB I PENDAHULUAN. Remaja dalam arti adolescence (Inggris) berasal dari kata latin adolescere tumbuh ke BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Remaja dalam arti adolescence (Inggris) berasal dari kata latin adolescere tumbuh ke arah kematangan (Muss dalam Sarwono 2010:11). Kematangan disini tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Oka Nazulah Saleh, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Oka Nazulah Saleh, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belajar adalah proses yang aktif, peserta didik sendiri yang membentuk pengetahuan. Pada proses belajar, peserta didik diharapkan mampu menyesuaikan konsep dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Imay Ifdlal fahmy, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Imay Ifdlal fahmy, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pendidikan di era modern seperti sekarang merupakan sebuah kebutuhan seperti halnya sandang dan pangan. Pendidikan adalah hak setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yudi Fika Ismanto, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yudi Fika Ismanto, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permainan bola voli di Indonesia merupakan salah satu cabang olahraga yang banyak digemari masyarakat, karena dapat dilakukan oleh anak-anak hingga orang dewasa,

Lebih terperinci

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini masalah pendidikan yang menyangkut akhlak, moral, etika, tata krama dan budi pekerti luhur mencuat di permukaan, karena banyak perilaku yang menyimpang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah yang sering terjadi pada masa remaja yaitu kasus pengeroyokan

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah yang sering terjadi pada masa remaja yaitu kasus pengeroyokan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah yang sering terjadi pada masa remaja yaitu kasus pengeroyokan ataupun kasus tawuran dan keributan antara pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) yang pada akhirnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain. Sejak manusia dilahirkan, manusia sudah membutuhkan kasih sayang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Dengan pendidikan seorang dapat mengembangkan berbagai pengetahuan. Pendidikan juga mampu membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 KonteksMasalah Keluarga merupakan sebuah kelompok primer yang pertama kali kita masuki dimana didalamnya kita mendapatkan pembelajaran mengenai norma-norma, agama maupun proses sosial

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga investasi dalam pendidikan bukan hanya memberikan dampak bagi

BAB I PENDAHULUAN. sehingga investasi dalam pendidikan bukan hanya memberikan dampak bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan jaminan pencapaian hak dalam masyarakat, sehingga investasi dalam pendidikan bukan hanya memberikan dampak bagi peningkatan kualitas kehidupan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang berbeda-beda, diantaranya faktor genetik, biologis, psikis dan sosial. Pada setiap pertumbuhan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, remaja berasal dari kata Latin adolensence yang berarti tumbuh atau

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, remaja berasal dari kata Latin adolensence yang berarti tumbuh atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu masa yang penuh dengan dinamika. Dikatakan demikian karena memang masa remaja adalah masa yang sedang dalam tahap pertumbuhan. Ini

Lebih terperinci