KEJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA SAAT MENGHADAPI UJIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA SAAT MENGHADAPI UJIAN"

Transkripsi

1 KEJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA SAAT MENGHADAPI UJIAN NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh: LELLA KUSUMASTUTI F FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015 i

2 KEJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA SAAT MENGHADAPI UJIAN NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh : LELLA KUSUMASTUTI F Kepada: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015 ii

3

4

5 KEJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA SAAT MENGHADAPI UJIAN Lella Kusumastuti Sri Lestari Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk kejujuran dan ketidakjujuran akademik pada siswa SMP, serta tujuan yang ingin dicapai. Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner terbuka dengan skala vignette. Partisipan dalam penelitian ini sebanyak 150 siswa SMP. Pertanyaan penelitian pada penelitian ini adalah Bagaimana bentuk kejujuran dan ketidakjujuran akademik, serta tujuan yang ingin dicapai dari perilaku jujur dan tidak jujur pada siswa SMP?. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada situasi ujian perilaku jujur lebih tinggi (61,1%) daripada perilaku tidak jujur (33,5%). Bentuk perilaku jujur yang muncul antara lain belajar lagi sebelum ujian, berusaha mengerjakan sendiri, menolak bertindak curang, menegakkan kejujuran, berusaha mengingat kembali materi yang dipelajari, membatalkan niat mencontek, berdoa dan pasrah. Tujuannya untuk meningkatkan kompetensi diri, spiritual, menegakkan kejujuran, dan menghindari hukuman. Bentuk perilaku tidak jujur yang muncul yaitu bertindak curang dan tidak berusaha terlebih dahulu. Tujuannya agar tidak bersusah payah, tidak kesulitan dalam mengerjakan, menghindari hukuman, dan adanya kesempatan. Kata kunci: jujur, tidak jujur, ujian, siswa SMP PENDAHULUAN Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Fungsi dan tujuan tersebut tercantum dalam UU RI No. 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 tentang dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional. Muhyiddin (2012) berpendapat bahwa dalam praktiknya, arah pendidikan nasional yang sudah berjalan selama ini 95% hanya menitikberatkan pada unsur 1

6 2 kepandaian dan intelektual saja, sedangkan unsur pembangunan moral hanya menjadi pendidikan sekunder belaka. Pendidikan yang terjadi dan dilakukan di sekolah masih belum sempurna. Pengembangan ranah pikir (kognitif) lebih mendapat perhatian dan porsi yang lebih besar, sementara ranah rasa, karsa dan religi terabaikan. Kenyataan bahwa sistem pendidikan Indonesia yang menggunakan nilai tes atau evaluasi belajar terhadap materi yang diberikan sebelumnya menyebabkan masyarakat memandang keberhasilan prestasi belajar hanya bisa tercermin dari pencapaian nilai yang tinggi, bukan pada prosesnya. Pandangan tersebut menimbulkan tekanan pada siswa untuk mencapai nilai yang tinggi. Tekanan yang dirasakan membuat siswa lebih berorientasi pada nilai, bukan pada memperoleh ilmu. Siswa menganggap bahwa ujian adalah alat untuk menunjukkan prestasi (nilai), bukan sebagai alat memantau kemajuan dalam proses belajar. Hal inilah yang memicu perilaku kecurangan di bidang akademik menjadi meningkat baik dari jenjang SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi. Kecurangan dalam pendidikan cukup tinggi yang terjadi sejak di bangku SD. Hasil penelitian yang dilakukan Komisi Pembelajaran ITB terhadap mahasiswa yang terdaftar pada tahun ajaran 2009/2010, sebanyak 58% mengaku berbuat curang di SD, 78% di SMP, dan 80% di SMA (dalam Kompas, 2011). Pusat Psikologi Terapan Jurusan Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) melakukan survei online atas pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun (dalam Suara Pembaruan, 2 Oktober 2013). Ditemukan bahwa kecurangan UN terjadi secara massal lewat aksi mencontek, serta melibatkan peran tim sukses yang terdiri dari guru, kepala sekolah, dan pengawas. Survei UN melibatkan 597 responden yang berasal dari 68 kota dan 89 kabupaten di 25 provinsi. Survei dilakukan secara online untuk mengurangi bias data. Responden berasal dari sekolah negeri (77%) dan sekolah swasta (20%). Para responden mengikuti UN antara tahun Dari hasil survei, 75% responden mengaku pernah menyaksikan kecurangan dalam UN. Jenis kecurangan terbanyak yang diakui adalah mencontek massal lewat pesan singkat (sms), group chat, kertas contekan, atau kode bahasa tubuh. Ada pula modus jual beli bocoran soal

7 3 dan peran dari tim sukses (guru, sekolah, pengawas) atau pihak lain (bimbingan belajar dan joki). Dalam survei juga terungkap sebagian besar responden tidak melakukan apapun saat melihat aksi kecurangan, sedangkan, sisanya ikut melakukan kecurangan atau sekadar sebagai pengamat. Responden yang melaporkan kecurangan hanya sedikit sekali (3%). Nilai Jujur Permasalahan tentang kejujuran selalu berkaitan dengan nilai-nilai dalam kehidupan. Menurut Maryati dan Suryawati (2001) nilai adalah pertanyaan mengapa dan bagaimana suatu kondisi dapat terjadi di lingkungan masyarakat yang di dalamnya terdapat penentuan tentang yang baik dan yang buruk atau benar dan salah yang dipengaruhi oleh kebudayaan dalam masyarakat tersebut. Salah satu nilai dasar yang perlu ditanamkan dalam pembentukan perilaku akhlak mulia adalah nilai kejujuran. Dengan demikian apabila pelajar sejak dini telah memiliki dan mampu menerapkan nilai kejujuran dalam kehidupan seharihari, maka diharapkan untuk jangka waktu kedepan, pelajar senantiasa mampu berperilaku jujur. Penanaman sikap jujur tidak hanya diawali di sekolah formal (dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi), tetapi harus diawali sejak dini di lingkungan keluarga (Suparman, 2011). Kejujuran diartikan dengan memperoleh kepercayaan dengan melaporkan fakta atau kebenaran, tidak berbohong dan berbuat curang, lurus hati, dapat dipercaya, tidak berkhianat, berani mengakui kesalahan, selalu melakukan yang benar, serta mengatakan kebenaran dengan tulus (Hidayatullah, 2010) Dalam pendidikan formal maupun nonformal adalah nilai jujur yang dinyatakan dengan menyatakan apa adanya (konsisten antara apa yang dikatakan dan dilakukan), terbuka, berani karena benar, dapat dipercaya, serta tidak melakukan kecurangan dalam bentuk apapun (Samani dan Hariyanto, 2012). Indikator perilaku jujur dibagi menjadi dua kategori, yaitu menyampaikan kebenaran dengan cara menyampaikan informasi yang diketahuinya sedemikian rupa sehingga informasi tersebut dapat diterima dengan benar, dan bertindak fair atau fairness atau adil dengan cara mengakui sesuatu yang menjadi haknya dan tidak mengambil hak orang lain (Lestari dan Adiyanti, 2012).

8 4 Ketidakjujuran akademik merupakan tindakan seseorang yang meminjam dan menyalin tugas dari siswa lain, menyalin jawaban pada saat ujian, atau memperoleh tugas dan/atau ujian dari semester sebelumnya, serta menulis jawaban di bagian tubuh (kaki atau tangan), pakaian, meja, atau kertas, serta menggunakan kode dengan teman sebaya dalam rangka memajukan diri pada saat ujian (Koss, 2011). Siswa SMP Sebagi Remaja Awal Remaja merupakan masa transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja dimulai dari usia tahun dan berakhir pada usia tahun (Santrock, 2003). Beberapa ahli membagi masa remaja menjadi tiga kelompok, yaitu remaja awal (early adolescence), remaja madya (middle adolescence), dan remaja akhir (late adolescence). Menurut Blos (dalam Sarwono, 2012), remaja awal (early adolescence) adalah masa di mana remaja dapat mengembangkan pikiran baru serta sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa. Suatu analisis yang dikemukakan oleh Monks, Knoers, dan Haditomo (2002) masa remaja berlangsung antara usia tahun, yaitu masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja madya (15-18 tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Menurut Santrock (2003), masa remaja awal (early adolescence) kirakira sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencakup kebanyakan perubahan pubertas. Remaja merupakan masa transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja dimulai dari usia tahun dan berakhir pada usia tahun. Beberapa ahli membagi masa remaja menjadi tiga kelompok, yaitu remaja awal (early adolescence), remaja madya (middle adolescence), dan remaja akhir (late adolescence). Menurut Blos (dalam Sarwono, 2012), remaja awal (early adolescence) adalah masa di mana remaja dapat mengembangkan pikiran baru serta sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa. Suatu analisis yang dikemukakan oleh Monks, Knoers, dan Haditomo (2002) masa remaja

9 5 berlangsung antara usia tahun, yaitu masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja madya (15-18 tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Menurut Santrock (2003), masa remaja awal (early adolescence) kira-kira sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencakup kebanyakan perubahan pubertas. Generasi remaja menurut Kohlberg (dalam Papalia dan Feldman, 2009) berada dalam tahap perkembangan moral yaitu tahap perkembangan konvesional. Seseorang yang berada pada tahap ini menilai moralitas berasal dari tindakan yang dilakukan kemudian akan dibandingkan dengan harapan dan pandangan dari masyarakat pada lingkungan sosialnya. Perilaku yang dimiliki merupakan hasil obeservasi dan adaptasi dari perilaku lingkungan sosial seperti orang tua, teman dan masyarakat. Tahap ini memfokuskan konformitas sebagai kebutuhan sosial utamanya yang dibagi menjadi dua yaitu pemahaman yang berorientasi menjadi anak baik dan pemahaman untuk mempertahankan norma sosial dan otoritas. Masa remaja adalah masa kritis dalam pencapaian prestasi. Tekanan sosial dan akademik memaksa remaja untuk berprestasi secara efektif pada tekanan akademik dan sosial yang baru ini, sebagian lagi ditentukan oleh faktor psikologis dan motivasi. Motivasi berprestasi adalah keinginan untuk menyelesaikan sesuatu untuk mencapai suatu standar kesuksesan dan berusaha untuk mencapai kesuksesan (Santrock, 2003). Seperti yang diungkapkan oleh Koss (2011); McCabe dan Trevino (1993), remaja selalu mempunyai keinginan untuk diterima di kelompok bermainnya dengan cara melakukan hal-hal yang salah meskipun remaja itu mengetahui jika hal itu salah. Sebagai contoh, dalam ujian salah satu teman sekelompoknya meminta jawaban pada siswa yang lain, karena takut dibenci atau ditinggalkan oleh teman, dengan terpaksa dia memberikan jawaban tersebut kepada temannya. Kejujuran Akademik pada Siswa SMP Penanaman nilai kejujuran pada siswa SMP perlu diberi pemahaman dan penjelasan tentang arti dan manfaat kejujuran untuk kehidupan sehari-hari, melatih anak untuk mengambil sikap yang benar dalam masalah kejujuran, serta

10 6 menyampaikan bahwa nilai dan sikap kejujuran sangat erat kaitannya dengan nilai keadilan, kebenaran, dan tanggung jawab pada diri manusia (Zuriah, 2007). Menurut Stephens, Yukymenko, dan Romakin (2009), ketidakjujuran akademik dapat terjadi karena siswa berorientasi pada tujuan untuk memperoleh hasil yang bagus, keyakinan moral tentang kecurangan dan keterlibatan dalam perilaku kecurangan. Hasil penelitian longitudinal Anderman (2007), menunjukkan bahwa menyontek sering dilakukan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dikarenakan adanya perubahan keadaan lingkungan belajar yang dialami siswa, yaitu siswa mengalami masa transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah, lalu perubahan struktur kelas yang kecil menjadi struktur kelas yang lebih besar, sehingga lingkungan sekolah menjadi lebih kompetitif. Beberapa faktor yang mempengaruhi ketidakjujuran akademik, antara lain: (a) lingkungan sekolah yang meliputi guru dan kondisi kelas. Ketika siswa merasakan hubungan yang lebih kuat dengan guru, siswa akan lebih nyaman ketika guru sedang mengajar sehingga siswa dapat memahami informasi yang disampaikan oleh guru. Selain itu, kelas yang memiliki struktur yang baik serta norma-norma di dalam kelas yang disampaikan guru akan mengurangi perilaku ketidakjujuran pada siswa (Koss, 2011); (b) faktor keluarga, khususnya orangtua yang menuntut anaknya untuk selalu mendapatkan prestasi yang tinggi; (c) pengaruh teman sebaya. Remaja selalu mempunyai keinginan untuk diterima di kelompok bermainnya dengan cara melakukan hal-hal yang salah meskipun remaja itu mengetahui jika hal itu salah (Koss, 2011; McCabe dan Trevino, 1993). Perilaku mencontek sering diakibatkan oleh pengaruh kelompok di mana seseorang cenderung berani melakukan karena melihat orang lain di kelompoknya juga melakukan. Perilaku mencontek muncul disebabkan oleh kesuksesan teman dalam mencontek. Misalnya tidak ketahuan oleh pengawas saat mencontek atau nilai yang diperoleh teman yang mencontek lebih tinggi akan menjadi dorongan siswa untuk mencontek. Berdasarkan keberhasilannya, perilaku mencontek akan terus tumbuh menjadi kebiasaan dalam pelaksanaan ujian (Friyatni, 2011).

11 7 METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di wilayah Surakarta untuk melihat bagaimana bentuk perilaku jujur dan tidak jujur yang dilakukan oleh siswa SMP, serta tujuan yang ingin dicapai. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan alat ukur kuesioner terbuka. Kuesioner Bentuk perilaku jujur dan tidak jujur yang akan diteliti adalah perilaku jujur dan tidak jujur saat menghadapi ujian 2 mata pelajaran, saat melihat teman mencontek ketika pengawas keluar dari ruang ujian, dan saat membawa contekan ketika ujian Partisipan Total partisipan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 150 siswa SMP, yang terdiri dari laki-laki (63,3%) dan perempuan (36,7%). Koding Kecocokan konsep peneliti dengan hasil penelitian dalam penelitian ini akan didapatkan dengan tekhnik cross-check coding atau disebut juga dengan intercoders agreement, yaitu pengecekan hasil koding data kuesioner terbuka oleh tiga orang pengkode/coders (Creswell, 2009). Pengkode (coders) dilibatkan saat pengkodingan untuk memastikan hasil koding peneliti sudah sesuai dengan tema dan kategori yang muncul dari setiap jawaban responden. Hasil pengelompokan data dari responden penelitian akan dikatakan konsisten apabila telah mendapatkan persetujuan atau kesepakatan dari peneliti dan pengkode (coders). Analisis Berdasarkan dalam tema terbesar dari hasil kategori, ditemukan hasil yang ditampilkan pada tabel 1, 2, dan 3.

12 8 Tabel 1. Bentuk perilaku jujur dan tidak jujur saat siswa menghadapi ujian dua mata pelajaran tetapi belum sempat belajar materi ujian mata pelajaran yang lain KATEGORI BENTUK PERILAKU F % TUJUAN PERILAKU F JUJUR Belajar lagi sebelum ujian Belajar lagi di sekolah sebelum ulangan Agar mendapatkan nilai yang bagus 24 Agar dapat mengerjakan ujian 2 pelajaran tersebut 28 Agar tidak kesulitan mengerjakan soal ujian 7 Agar dapat mengingat materi ujian 9 Untuk memanfaatkan waktu belajar 7 Tidak relevan 8 Memanfaatkan waktu untuk belajar Agar mendapatkan nilai yang bagus 3 Agar dapat mengerjakan ujian 2 pelajaran tersebut 3 Agar dapat mengingat materi yang dipelajari 1 Agar dapat menghafal materi ujian 1 Untuk memanfaatkan waktu belajar 1 Fokus belajar satu mata pelajaran Agar dapat mengingat materi ujian 1 Berusaha mengerjakan sendiri Mengerjakan sebisanya Agar dapat mengerjakan ujian 2 pelajaran tersebut 4 Agar mendapatkan nilai yang bagus 3 Ingin tetap jujur 1 Tidak relevan 6 Mengingat kembali materi yang dipelajari Agar mendapatkan nilai yang bagus 2 Spiritual Berdoa Pasrah Agar mendapatkan nilai yang bagus 2 Agar dapat mengerjakan ujian 2 pelajaran tersebut 1 Agar diberi pertolongan saat mengerjakan ujian 1 Pasrah Agar dapat menghadapi ujian tersebut 1 TOTAL TOTAL 114

13 9 Lanjutan tabel 1 TIDAK JUJUR Bertindak curang Mencontek teman Agar mendapatkan nilai yang bagus 5 Agar cepat selesai 4 Agar dapat mengerjakan ujian 2 pelajaran tersebut 3 Agar mengetahui jawabannya 2 Tidak relevan 6 Bertanya pada teman Agar cepat selesai 1 Agar mendapatkan nilai yang bagus 1 Agar dapat mengerjakan ujian 2 pelajaran tersebut 1 Tidak relevan 1 Meminta bantuan teman Agar dapat menyelesaikan ujian 1 Tidak berusaha Memilih untuk tidak belajar lagi Tidak relevan 1 TOTAL TOTAL 26 LAIN-LAIN Tidak relevan Agar tidak bangun pagi lagi 1 Agar mendapatkan nilai yang bagus 1 Agar tidak lupa bahan ujian yang pertama 1 Agar dapat belajar dengan baik 1 Agar dapat mengerjakan ujian 2 pelajaran tersebut 1 Tidak relevan 5

14 10 Tabel 2. Bentuk perilaku jujur dan tidak jujur saat siswa kesulitan menjawab soal ujian dan melihat teman-temannya saling menyontek, sementara pengawas sedang keluar ruangan KATEGORI BENTUK PERILAKU F % TUJUAN PERILAKU F JUJUR Menolak bertindak curang Tidak ikut mencontek Ingin tetap jujur 7 Tidak ingin curang 6 Agar mendapatkan nilai yang bagus 3 Agar percaya diri dengan jawabannya sendiri 2 Untuk berusaha mandiri saat mengerjakan ujian 2 Agar puas dengan hasil kemampuan sendiri 2 Agar tidak berdosa 1 Agar tidak menerima azab Allah dan mendapat petunjuknya 1 Agar tidak dimarahi guru 1 Agar tidak dihukum guru 1 Diam dan tetap melanjutkan mengerjakan Agar tidak ikut-ikutan mencontek 2 Tidak ingin curang 3 Ingin tetap jujur 1 Agar tidak dimarahi guru 1 Agar tidak ramai saat ujian 1 Tetap fokus mengerjakan soal ujian Diam 1 Menegakkan kejujuran Menasihati teman agar tidak mencontek Agar teman-temannya tidak mencontek lagi 4 Agar teman-temannya berusaha mengerjakan sendiri 3 Agar dapat melanjutkan mengerjakan dengan tentram 2 Menegakkan kebenaran 1 Melaporkan teman kepada pengawas Agar teman-temannya tidak mencontek lagi 8 Jujur 1 Menegur teman yang mencontek Agar teman-temannya tidak berbuat curang 3 Agar teman-temannya jujur 1 Agar jawabannya tidak sama satu sama lain 1 Agar nilainya tidak lebih jelak dari teman-temannya 1

15 11 Lanjutan tabel 2 TIDAK JUJUR Berusaha mengerjakan sendiri Mengerjakan sendiri Agar mendapatkan nilai yang bagus 4 Ingin tetap jujur 4 Agar berusaha mandiri dalam mengerjakan ujian 1 Agar puas dengan hasil kemampuan sendiri 1 Agar percaya diri dengan jawabannya sendiri 1 Berusaha menjawab semampunya Agar mendapatkan nilai yang bagus 1 Agar puas dengan hasil kemampuan sendiri 1 Percaya diri pada jawaban sendiri Agar mendapatkan nilai yang bagus 1 Mencontek belum tentu benar 1 TOTAL TOTAL 75 Bertindak curang Ikut mencontek Agar mendapatkan nilai yang bagus 20 Agar dapat menjawab soal ujian 11 Agar cepat selesai 9 Agar tidak kesulitan dalam menjawab soal ujian 9 Adanya peluang atau kesempatan mencontek 3 Agar senang 1 Tidak relevan 9 Bertanya jawaban pada teman Agar dapat menjawab soal ujian 3 Agar tidak kesulitan dalam menjawab soal ujian 2 Agar cepat selesai 1 Tidak relevan 1 Mencontek sebagian Agar dapat menjawab soal ujian 1 Agar mendapatkan nilai yang bagus 1 Bertanya cara mengerjakan soal pada teman Agar dapat menjawab soal yang belum dipahami 1 TOTAL TOTAL 72 LAIN-LAIN Tidak Relevan Tidak relevan 3

16 12 Tabel 3. Bentuk perilaku jujur dan tidak jujur saat siswa kesulitan menjawab soal ujian dan membawa catatan kecil ke dalam ruang ujian, akan tetapi dia juga tahu pengawas ujian di ruangannya terkenal disiplin KATEGORI BENTUK PERILAKU F % TUJUAN PERILAKU F JUJUR Membatalkan niat mencontek Tidak membuka contekan Agar tidak ketahuan oleh pengawas jika membawa contekan 16 Ingin berperilaku jujur 8 Agar tidak dimarahi guru 3 Agar tidak dihukum guru 2 Agar melatih disiplin mengerjakan ujian 2 Agar tidak kesulitan mengerjakan soal ujian 2 Untuk mendapatkan nilai yang bagus 1 Agar berlatih mandiri dalam mengerjakan ujian 1 Agar puas dengan hasil pekerjaan sendiri 1 Tidak relevan 7 Tidak mencontek pada kertas tersebut Agar tidak dimarahi guru 6 Agar tidak dihukum guru 4 Agar tidak ketahuan oleh pengawas jika membawa contekan 3 Ingin berperilaku jujur 3 Agar tidak berdosa 2 Agar mendapatkan nilai yang bagus 1 Agar berlatih mandiri dalam mengerjakan ujian 1 Tidak relevan 3 Membuang contekan Ingin berperilaku jujur 2 Agar hasilnya murni dari kemampuan sendiri 1 Tidak relevan 1

17 13 Lanjutan tabel 3 TIDAK JUJUR Berusaha mengerjakan sendiri Berusaha mengerjakan sendiri Ingin berperilaku jujur 3 Agar tidak dimarahi guru 2 Agar tidak ketahuan oleh pengawas jika membawa contekan 2 Agar mendapatkan nilai yang bagus 1 Untuk mencari aman 1 Tidak relevan 1 Mengerjakan sebisanya Agar tidak ketahuan oleh pengawas jika membawa contekan 2 Ingin berperilaku jujur 1 Agar mendapatkan nilai yang bagus 1 Tidak relevan 1 Percaya pada jawaban sendiri Ingin berperilaku jujur 1 Berusaha mengingat materi Mempelajari contekan sebelum ujian Agar cepat dalam menjawab soal 1 Agar tidak dimarahi guru 1 Mengingat catatan Agar mendapatkan nilai yang bagus 1 TOTAL TOTAL 89 Bertindak curang Mencontek dengan hati-hati Agar tidak kesulitan mengerjakan soal ujian 5 Agar dapat menjawab soal ujian 5 Agar cepat selesai 2 Agar mendapatkan nilai yang bagus 1 Tidak relevan 2

18 14 Lanjutan tabel 3 Mencontek catatan kecil Agar mendapatkan nilai yang bagus 10 Agar dapat menjawab soal ujian 5 Agar tidak kesulitan mengerjakan soal ujian 5 Agar jawabannya benar 2 Agar tidak dimarahi guru 1 Tidak relevan 6 Mencontek ketika pengawas keluar Agar tidak ketahuan oleh pengawas jika membawa contekan 2 Agar tidak kesulitan mengerjakan soal ujian 1 Tidak relevan 1 Bertanya jawaban pada teman Agar mendapatkan jawaban 2 Mencontek jawaban teman Tidak relevan 2 Membohongi pengawas Tidak relevan 1 TOTAL TOTAL 53 LAIN-LAIN Tidak relevan Agar mendapatkan nilai yang bagus 2 Agar dapat mengingat materi pelajaran 1 Agar menjadi pandai 1 Ingin berperilaku jujur 1 Tidak relevan 3

19 15 HASIL Perilaku berusaha mengerjakan sendiri dan belajar lagi di sekolah merupakan wujud kejujuran siswa yang dilakukan pada saat ujian. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan dalam ujian. Selaras dengan pendapat Alkhoiroti (2013), perilaku jujur dalam lingkup akademik dapat berupa berkata dan bertindak benar, mengakui kesalahan, menuntut dan mempertahankan keadilan, menolak berbuat curang dan berusaha atas upaya sendiri, berusaha mencari informasi yang benar. Menurut Santrock (2003), tekanan sosial dan akademik memaksa remaja untuk berprestasi secara efektif pada tekanan akademik dan sosial yang baru, sebagian lagi ditentukan oleh faktor psikologis dan motivasi untuk mencapai suatu standar kesuksesan dan berusaha untuk mencapai kesuksesan. Bentuk perilaku lain yang dilakukan siswa saat ujian adalah menolak berbuat curang dengan tidak memberikan jawaban ke teman lain maupun mencontek jawaban. Hal ini mengindikasikan bahwa siswa percaya dengan kemampuan diri sendiri dan tidak mau merugikan dirinya sendiri dengan berbuat curang. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Kushartanti (2009) berpendapat bahwa semakin tinggi kepercayaan diri maka semakin rendah perilaku menyontek, dan semakin rendah kepercayaan diri maka semakin tinggi perilaku menyontek. Apabila siswa melihat atau mengetahui bahwa ada teman yang berbuat curang dalam mengerjakan ujian, siswa memilih mengatakan yang sebenarnya pada guru. Hal ini sejalan dengan pendapat Lestari dan Adiyanti (2012) bahwa salah satu indikator perilaku jujur, yaitu menyampaikan kebenaran dengan cara menyampaikan informasi yang diketahuinya sedemikian rupa sehingga informasi tersebut dapat diterima dengan benar. Perilaku membatalkan niat mencontek merupakan perilaku jujur yang paling banyak dilakukan dengan cara tidak membuka contekan yang telah dibuat. Hal ini dilakukan karena siswa takut apabila nanti diketahui oleh pengawas bahwa dia mencontek. Sesuai pendapat Sierra dan Hyman (2006) yang menyatakan bahwa keputusan seseorang untuk melakukan tindakan curang akan dipengaruhi oleh intensi atau niatnya untuk berlaku curang.

20 16 Adapun tujuan siswa berperilaku jujur karena ingin mengetahui seberapa jauh penguasaan kompetensi diri di bidang akademik. Siswa mempunyai tujuan untuk mendapatkan nilai yang bagus, memahami materi sehingga dapat menjawab ujian dengan baik sesuai dengan kompetensinya tanpa harus berbuat curang. Hal ini sesuai dengan pendapat Tas dan Tekkaya (2010) yang menemukan bahwa siswa yang memiliki orientasi tujuan personal penguasaan terhadap materi cenderung kurang melakukan kecurangan akademik. Siswa berperilaku jujur juga didasari oleh rasa takut siswa terhadap hukuman yang akan diberikan oleh guru apabila ketahuan mencontek. Sesuai pendapat Sarwono (2011) bahwa alasan siswa berbuat jujur adalah agar tidak dimarahi atau dihukum. Perasaan takut yang dialami oleh remaja termasuk dalam kecemasan yang disosialisasikan, Kecemasan tersebut dalam dosis yang tepat akan membawa perilaku positif dan mendorong remaja untuk menjaga tingkah lakunya agar selalu sesuai dengan norma masyarakat. Siswa tidak ingin berbuat curang karena tidak ingin mendapatkan dosa sebagai akibat dari perbuatannya. Hal ini merupakan wujud dari manifestasi keimanan siswa dalam kehidupannya. Sesuai dengan pendapat Gunarsa (1992) yang menyatakan bahwa segi keagamaan akan berpengaruh terhadap perkembangan moral. Menurut Suparman (2011) agama sangat menekankan sikap jujur pada umat manusia. Dalam agama dinyatakan bahwa kejujuran menuju ke kebaikan, dan kebaikan menuju ke surga, serta kebohongan atau kedustaan menuju ke dosa, dan dosa menuju ke neraka. Dari hasil penelitian diketahui bahwa siswa ingin berbuat jujur untuk mendorong temannya untuk melakukan kejujuran juga. Dalam hal ini siswa menginginkan sesuatu yang adil antara yang dia lakukan dengan teman lakukan. Hal ini selaras dengan Lestari dan Adiyanti (2012) bahwa salah satu indikator perilaku jujur yaitu bertindak fair atau fairness atau adil dengan cara mengakui sesuatu yang menjadi haknya dan tidak mengambil hak orang lain. Sejalan dengan hal itu, Samani dan Hariyanto (2012), salah satu nilai kejujuran yang dikembangkan di sekolah adalah fairness (sifat adil, jujur dan sportif) yang dimaknai dengan memberlakukan orang lain seperti keinginannya diberlakukan

21 17 oleh orang lain, mengatakan yang sebenarnya, bermain sesuai aturan mainnya, tidak menyalahkan orang lain karena kesalahan sendiri, tidak mengambil keuntungan dari orang lain, dan bertindak berlandaskan favoritism. Adapun bentuk perilaku tidak jujur yang terungkap adalah bertindak curang berupa membuka contekan pada kertas kecil, mencontek ketika pengawas keluar. Menurut Agustin, Sano, dan Ibrahim (2013), bentuk perilaku menyontek yang dominan dilakukan siswa adalah bentuk independent-planned seperti menggunakan catatan ketika ujian berlangsung, dan/atau membawa jawaban yang dipersiapkan sebelum ujian, dan social-active seperti siswa mengcopy atau melihat jawaban dari orang lain. Selain itu siswa juga berbuat curang dengan memberikan jawaban yang salah pada teman. Hal ini menunjukkan bahwa di satu sisi siswa berperilaku jujur karena tidak mau nilai teman yang mencontek lebih tinggi, di sisi lain siswa tersebut berbohong degan memberikan jawaban yang salah. Hal ini mengindikasikan bahwa di dalam pertemanan siswa terdapat persaingan prestasi. Sesuai dengan penelitian Burns dkk. (1988) bahwa persaingan dalam memperoleh nilai yang tinggi dan peringkat yang tinggi memicu terjadinya mencontek. Kecurangan yang lain meliputi memberikan jawaban pada teman, mencontek dan bertanya jawaban pada teman yang lain. Hal ini selaras dengan penapat Koss (2011) bahwa ketidakjujuran akademik merupakan tindakan seseorang yang meminjam dan menyalin tugas dari siswa lain, menyalin jawaban pada saat ujian, atau memperoleh tugas dan/atau ujian dari semester sebelumnya, serta menulis jawaban di bagian tubuh (kaki atau tangan), pakaian, meja, atau kertas, serta menggunakan kode dengan teman sebaya dalam rangka memajukan diri pada saat ujian. Para siswa sangat takut apabila dimarahi ataupun dihukum oleh guru apabila diketahui melakukan kesalahan. Oleh sebab itu, siswa melakukan kecurangan dalam mengerjakan ujian untuk menghindari hukuman dari guru tersebut. Kemudian, nilai yang bagus dianggap sebagai salah satu hal yang dapat mengukur kecerdasan siswa sehingga siswa akan melakukan apapun agar mendapatkan nilai yang bagus. Siswa menganggap bahwa dia bisa mendapatkan

22 18 nilai yang bagus tanpa bersusah payah, sehingga hal inilah yang akan mendorong siswa untuk selalu berbuat tidak jujur. Hal ini sesuai dengan pendapat Zusnaini (2013) perilaku berbohong pada anak disebabkan oleh dua faktor yaitu karena takut dan khawatir seperti takut akan sanksi atau dimarahi, faktor kedua karena keinginan untuk merealisasikan maksud dan tujuan, seperti keinginan untuk puas, memiliki, bersahabat dengan teman yang lain, dan sebagainya. Kecurangan yang terjadi pada saat ujian dapat terjadi karena adanya kesempatan atau peluang dari kurangnya pengawasan, misalnya pada saat pengawas ujian menerima telepon di luar ruangan. Situasi ini dapat dimanfaatkan siswa untuk mencontek. Sesuai dengan pendapat Becker (2006) dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa kesempatan merupakan faktor yang mendorong terjadinya kecurangan akademik. Kesempatan akan berpengaruh secara positif terhadap perilaku kecurangan, dimana semakin besar kesempatan yang tersedia bagi seseorang untuk melakukan kecurangan maka akan semakin besar pula kemungkinan orang tersebut untuk melakukan kecurangan. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa pekerjaan rumah akan lebih banyak memunculkan kesempatan siswa untuk berbuat curang daripada ulangan maupun ujian. KESIMPULAN Berdasarkan paparan hasil penelitian dan pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Perilaku jujur yang muncul antara lain: a) belajar lagi sebelum ujian (meliputi belajar sebelum ujian, memanfaatkan waktu untuk belajar), b) berusaha mengerjakan sendiri (meliputi mengerjakan sendiri sebaik mungkin, percaya diri pada jawaban sendiri), c) menolak bertindak curang (meliputi tidak ikut mencontek), d) menegakkan kejujuran (meliputi menegur dan menasihati teman yang mencontek, melaporkan teman yang curang pada pengawas, diam dan tetap melanjutkan mengerjakan), e) berusaha mengingat kembali materi yang dipelajari (meliputi mengingat kembali materi yang dipelajari), f) membatalkan niat mencontek (meliputi tidak membuka contekan, membuang contekan), dan g) spiritual (meliputi berdoa dan pasrah). Tujuannya untuk

23 19 meningkatkan kompetensi diri, spiritual, menegakkan kejujuran, dan menghindari hukuman. 2. Bentuk perilaku tidak jujur yang muncul antara lain a) bertindak curang (meliputi mencontek dengan hati-hati atau menunggu saat pengawas keluar ruangan, bertanya jawaban pada teman, membohongi pengawas, bertanya cara mengerjakan pada teman) dan b) tidak berusaha terlebih dahulu (dengan cara tidak belajar sebelum ujian). Tujuannya agar tidak bersusah payah, tidak kesulitan dalam mengerjakan, menghindari hukuman, dan adanya kesempatan untuk mencontek. SARAN Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, peneliti memberikan saran yang dapat dipertimbangkan oleh beberapa pihak, yaitu: 1. Siswa diharapkan dapat mempertahankan kejujurannya untuk tidak memberikan jawaban maupun tugas kepada teman yang ingin mencontek dan melaporkan kepada guru apabila ada teman yang berbuat curang. Selain itu, diharapkan siswa selalu menjalankan kewajibannya untuk belajar, bukan hanya pada saat akan ulangan maupun ujian saja. 2. Untuk guru mata pelajaran, dalam membuat soal ujian sebaiknya bentuk soal yang digunakan berbentuk essay, bukan check point atau jawaban singkat. Diharapkan guru juga dapat memaksimalkan pengawasan saat siswa mengerjakan tugas, ulangan, maupun ujian. Untuk guru BK atau psikolog sekolah, pada saat pelajaran BK memberikan edukasi mengenai akibat dan kerugian dari tindakan menyontek yang berdampak pada diri sendiri dan orang lain, dan dampak yang dirasakan bukan hanya saat ia duduk di bangku pendidikan saja tetapi juga berdampak lebih besar ke depannya. 3. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk menindaklanjuti penelitian ini, diharapkan agar dapat melakukan penelitian berkenaan dengan dampak yang akan ditimbulkan siswa yang melakukan tindakan menyontek, menyempurnakan dan mengembangkan instrumen dengan metode kuantitatif, serta survei dengan menguji variabel-variabel yang berpengaruh, seperti hubungan dengan teman sebaya dan faktor internal.

24 20 DAFTAR PUSTAKA Agustin, A., Sano, A., & Ibrahim, I. (2013). Perilaku Menyontek Siswa SMA Negeri di Kota Padang Serta Upaya Pencegahan oleh Guru BK. Jurnal Ilmiah Konseling, 2(1):71-75 Alkhoiroti, F. N. (2013). Kejujuran Akademik dan Nonakademik Siswa Sekolah Menengah Pertama Bukit Indah Lawu. Skripsi Tidak Diterbitkan. Universitas Muhammadiyah Surakarta Anderman, E. M., & Murdock, T. B. (2007). The Psychology of Academic Cheating. Kansas City: Academic Press Inc. Becker, J. C, Paula L, & J. Morrison. (2006). Using the Business Fraud Triangle to Predict Academic Dishonesty Among Business Students. Academy of Educational Leadership Journal, 10(1), 37:45 Burns. S. R., Davis, S.F., Hoshino, J., & Miller, R. L. (1988). Academic Dishonesty: A Delineation of Cross-Cultural Patterns. College Students Journal, 32(4): Friyatni. (2011). Faktor-Faktor Penentu Perilaku Mencontek di Kalangan Mahasiswa Fakultas Ekonomi UNP. Tingkap, 8(2), Gunarsa, S. D. (1992). Psikologi Perkembangan. Jakarta: BPK Gunung Mulia Hidayatullah, M. F. (2010). Pendidikan Karakter: Membangun Peradabaan Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka Koss, J. (2011). Academic Dishonesty Among Adolescents. American Psychological Association, 6 (33): 5-33 Kushartanti, A. (2009). Perilaku Menyontek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri. Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, 11(2): Lestari, S., & Adiyanti, M. G. (2012). Konsep Jujur dalam Perspektif Orang Jawa. Anima, Jurnal Psikologi Indonesia, 27 (3): Maryati, K., & Suryawati, J. (2001). Sosiologi Jilid 1. Jakarta: Esis Muhyiddin, A. H. (2012). Meluruskan Arah Pendidikan Nasional. Kompas, Sabtu, 14 April 2012, diunduh dari McCabe, D. L. & Trevino, L. K. (1993). Academic Dishonesty: Honor Codes and Other Contextual Influences. The Journal of Hogher Education, 64 (5):

25 21 Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Haditomo, S. R. (2002). Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah mada University Press Samani, M., & Hariyanto. (2012). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset Santrock, J. W. (2003). Adolescence: Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga Sarwono. S.W. (2011). Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Sarwono, S. W. (2012). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers. Sierra, J.J & Hyman, M.R. (2006). A Dual-Process Model of Cheating Intentions. Journal of Marketing Education, 28(3) Stephen, Jason M., Yukhymenko, M., & Romakin, V. (2009). Academic Motivation and Misconduct in Two Cultures: A Comparative Analysis of U.S. and Ukrainian Undergraduates. Paper. University of Connecticut Suara Pembaruan. (2013). Survei UPI: Kecurangan UN Libatkan Guru dan Kepala Sekolah. Suara Pembaruan, Rabu, 2 Oktober 2013, diunduh dari Suparman. (2011). Studi Perbedaan Kualitas Sikap Jujur Siswa Kelas III SMTA Negeri Kota Madiun. Interaksi, 7(1): 1-13 Tas & Tekkaya (2010). Personal and Contextual Factors Assosiated With Students' Cheating in Science. The Journal ofexperimental Education, 78, Zuriah, N. (2007). Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara. Zusnaini, L. (2013). Mendidik Anak Agar Jujur. Platinum Publishing

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga pendidikan mempunyai peranan yang cukup penting dalam membentuk kepribadian, karakter, serta tingkah laku moral para peserta didik. Di bangku sekolah, para peserta

Lebih terperinci

KEJUJURAN AKADEMIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS PADA SITUASI UJIAN. Naskah Publikasi

KEJUJURAN AKADEMIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS PADA SITUASI UJIAN. Naskah Publikasi i KEJUJURAN AKADEMIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS PADA SITUASI UJIAN Naskah Publikasi Oleh: YUYUN KASMANINGSIH F 100 100 186 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015 KEJUJURAN AKADEMIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan setiap individu, baik berupa pendidikan formal ataupun nonformal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak remaja yang sudah duduk di bangku SMP dan SMA umumnya menghabiskan waktu sekitar 7 jam sehari di sekolahnya. Ini berarti bahwa hampir sepertiga dari waktunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah penilaian terhadap hasil usaha tersebut. ( Suryabrata, 2002 : 293 ).

BAB I PENDAHULUAN. masalah penilaian terhadap hasil usaha tersebut. ( Suryabrata, 2002 : 293 ). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha manusia ( pendidik ) untuk bertanggung jawab membimbing anak didik menuju ke kedewasaan. Sebagai usaha yang mempunyai tujuan atau cita-cita

Lebih terperinci

KEJUJURAN DAN KETIDAKJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA SMA YANG BERBASIS AGAMA NASKAH PUBLIKASI

KEJUJURAN DAN KETIDAKJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA SMA YANG BERBASIS AGAMA NASKAH PUBLIKASI KEJUJURAN DAN KETIDAKJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA SMA YANG BERBASIS AGAMA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Psikologi Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecurangan akademik bukanlah masalah yang baru dalam pendidikan di Indonesia, sehingga fenomena kecurangan akademik dapat dikatakan telah menjadi kebiasaan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan memiliki budi pekerti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan memiliki budi pekerti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan nasional pendidikan Indonesia adalah mencerdaskan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada

Lebih terperinci

KEJUJURAN AKADEMIK PADA MAHASISWA SAAT MENGHADAPI UJIAN. Naskah Publikasi

KEJUJURAN AKADEMIK PADA MAHASISWA SAAT MENGHADAPI UJIAN. Naskah Publikasi KEJUJURAN AKADEMIK PADA MAHASISWA SAAT MENGHADAPI UJIAN Naskah Publikasi Diajukan oleh: DIMAS SATRIO NUGROHO F 100 100 190 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015 KEJUJURAN AKADEMIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia. Individu pertama kali mendapatkan pendidikan berada dalam lingkungan keluarga. Dalam keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penilaian bahkan sampai pada penulisan tugas akhir. Cheating merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penilaian bahkan sampai pada penulisan tugas akhir. Cheating merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecurangan (cheating) merupakan salah satu fenomena pendidikan yang sering muncul menyertai aktivitas proses pembelajaran dan dalam proses penilaian bahkan sampai

Lebih terperinci

Bila guru melihat : Perilaku jujur dan tidak jujur siswa SMA berbasis agama pada situasi ujian

Bila guru melihat : Perilaku jujur dan tidak jujur siswa SMA berbasis agama pada situasi ujian Bila guru melihat : Perilaku jujur dan tidak jujur siswa SMA berbasis agama pada situasi ujian Aulia Kirana 1, Sri Lestari 2 1 Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta email: aulia.kirana@ums.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi manusia dan bertujuan untuk meningkatkan potensi sumber daya manusia. Hal ini sejalan dengan pernyataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan potensi ilmiah yang ada pada diri manusia secara. terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan potensi ilmiah yang ada pada diri manusia secara. terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya pendidikan merupakan suatu pembentukan dan pengembangan kepribadian manusia secara menyeluruh, yakni pembentukan dan pengembangan potensi ilmiah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. warganya belajar dengan potensi untuk menjadi insan insan yang beradab, dengan

BAB I PENDAHULUAN. warganya belajar dengan potensi untuk menjadi insan insan yang beradab, dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemerintah kini telah ramai membicarakan penekanan untuk merencanakan pendidikan berkarakter pada siswa. Pendidikan berkarakter akan mengantarkan warganya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah penilaian terhadap hasil usaha tersebut. 1. Pendidikan nasional Indonesia memiliki tujuan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. masalah penilaian terhadap hasil usaha tersebut. 1. Pendidikan nasional Indonesia memiliki tujuan untuk mewujudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha manusia (pendidik) untuk bertanggung jawab membimbing anak didik ke kedewasaan. Sebagai usaha yang mempunyai tujuan atau cita-cita tertentu sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan. Pendidikan juga berfungsi untuk membentuk karakter manusia yang lebih baik. Menurut UU No.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu proses pendidikan tidak lepas dari Kegiatan Belajar Mengajar

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu proses pendidikan tidak lepas dari Kegiatan Belajar Mengajar BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu proses pendidikan tidak lepas dari Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), baik itu di dalam maupun di luar ruang kelas. Dalam KBM seorang pendidik akan selalu berusaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kecurangan akademik merupakan fenomena umum di sekolah menengah dan perguruan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kecurangan akademik merupakan fenomena umum di sekolah menengah dan perguruan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecurangan akademik merupakan fenomena umum di sekolah menengah dan perguruan tinggi (Cizek, 1999; Evans & Craig, 1990a, 1990b; Leveque & Walker, 1970; Schab,

Lebih terperinci

KEJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN NASKAH PUBLIKASI

KEJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN NASKAH PUBLIKASI KEJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN NASKAH PUBLIKASI Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Oleh : Tyas Ayu Astrini F 100100185 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab I ini, akan memaparkan beberapa sub judul yang akan digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab I ini, akan memaparkan beberapa sub judul yang akan digunakan BAB I PENDAHULUAN Pada bab I ini, akan memaparkan beberapa sub judul yang akan digunakan dalam penelitian. Sub judul tersebut yaitu latar belakang, fokus masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi suatu bangsa, dikatakan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi suatu bangsa, dikatakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi suatu bangsa, dikatakan maju apabila pendidikannya berkualitas. Bangsa yang memiliki pendidikan yang berkualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengetahuan dimana kunci suksesnya terletak pada dunia pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengetahuan dimana kunci suksesnya terletak pada dunia pendidikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia (SDM) merupakan satu modal penting dalam meningkatkan kualitas hidup manusia di segala bidang. Dimana pada era modern ini, banyak terjadi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Data tentang kecurangan akademik di Amerika menunjukkan bahwa satu dari tiga orang siswa dalam rentang usia 12-17 tahun mengaku pernah berbuat curang (Sussman, 2004).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat keberhasilan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat keberhasilan pendidikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang, baik dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa. Kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan muncul generasi-generasi yang berkualitas. Sebagaimana dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan muncul generasi-generasi yang berkualitas. Sebagaimana dituangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan satu hal yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pembangunan. Pemerintah berusaha untuk mewujudkan pendidikan yang kedepan diharapkan muncul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Deasy Yunika Khairun, Layanan Bimbingan Karir dalam Peningkatan Kematangan Eksplorasi Karir Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Deasy Yunika Khairun, Layanan Bimbingan Karir dalam Peningkatan Kematangan Eksplorasi Karir Siswa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan proses yang esensial untuk mencapai tujuan dan cita-cita individu. Pendidikan secara filosofis merupakan proses yang melibatkan berbagai

Lebih terperinci

2016 ANALISIS POLA MORAL SISWA SD,SMP,SMA,D AN UNIVERSITAS MENGENAI ISU SAINS GUNUNG MELETUS D ENGAN TES D ILEMA MORAL

2016 ANALISIS POLA MORAL SISWA SD,SMP,SMA,D AN UNIVERSITAS MENGENAI ISU SAINS GUNUNG MELETUS D ENGAN TES D ILEMA MORAL BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia termasuk negara yang sering terjadi bencana alam, seperti banjir, gunung meletus dan lain-lain. Salah satu yang sering terjadi pada tahun 2014 adalah gunung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa

BAB 1 PENDAHULUAN. bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah sumber daya manusia menjadi salah satu permasalahan paling penting bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa terlepas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin mengglobal dan kompetitif memunculkan tantangan-tantangan

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin mengglobal dan kompetitif memunculkan tantangan-tantangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kondisi bangsa Indonesia yang sudah pada tingkat mengkhawatirkan seperti sekarang ini tentu tidak lepas dari kualitas sumber daya manusianya. Didalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sikap, perilaku, intelektual serta karakter manusia. Menurut Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. sikap, perilaku, intelektual serta karakter manusia. Menurut Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan memiliki peran penting dalam meningkatkan sumber daya manusia. Tujuan utama pendidikan yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan tujuan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini masalah kenakalan remaja menjadi semakin

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini masalah kenakalan remaja menjadi semakin 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini masalah kenakalan remaja menjadi semakin mengkhawatirkan. Banyak anak di bawah umur yang sudah mengenal rokok, narkoba, freesex, dan terlibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dari ketiga hal tersebut terlihat jelas bahwa untuk mewujudkan negara yang

BAB I PENDAHULUAN. Dari ketiga hal tersebut terlihat jelas bahwa untuk mewujudkan negara yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak zaman pemerintahan Ir. Soekarno, ada tiga hal penting yang menjadi tantangan. Pertama adalah mendirikan negara yang bersatu dan berdaulat, kedua adalah membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembelajaran di sekolah baik formal maupun informal. Hal itu dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembelajaran di sekolah baik formal maupun informal. Hal itu dapat dilihat dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan kewarganegaraan (PKn) menjadi bagian penting dalam suatu pembelajaran di sekolah baik formal maupun informal. Hal itu dapat dilihat dari keberadaan pendidikan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi. Disusun Oleh :

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi. Disusun Oleh : PENGARUH MINAT BACA DAN LINGKUNGAN BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR EKONOMI PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 3 KALIWIRO KABUPATEN WONOSOBO TAHUN AJARAN 2007/2008 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merubah dirinya menjadi individu yang lebih baik. Pendidikan berperan

BAB I PENDAHULUAN. merubah dirinya menjadi individu yang lebih baik. Pendidikan berperan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan manusia untuk merubah dirinya menjadi individu yang lebih baik. Pendidikan berperan penting dalam proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gia Nikawanti, 2015 Pendidikan karakter disiplin pada anak usia dini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gia Nikawanti, 2015 Pendidikan karakter disiplin pada anak usia dini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya disiplin merupakan kebutuhan dasar bagi perkembangan perilaku anak mengingat masa ini merupakan masa yang sangat efektif untuk pembentukan perilaku moral

Lebih terperinci

KEJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS. Skripsi

KEJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS. Skripsi KEJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagaian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting untuk menghasilkan tenaga ahli yang tangguh dan kreatif dalam menghadapi tantangan pembangunan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERCAYA DIRI DENGAN INTENSI MENYONTEK

HUBUNGAN ANTARA PERCAYA DIRI DENGAN INTENSI MENYONTEK HUBUNGAN ANTARA PERCAYA DIRI DENGAN INTENSI MENYONTEK Naskah Publikasi Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh: PANGESTU PINARINGAN PUTRI F100

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan karena pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan karena pendidikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan karena pendidikan merupakan suatu proses yang berlangsung seumur hidup, pendidikan mampu melakukan proses pengubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang lebih tinggi. Salah satu peran sekolah untuk membantu mencapai

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang lebih tinggi. Salah satu peran sekolah untuk membantu mencapai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu bentuk lembaga pendidikan adalah sekolah. Sekolah sebagai suatu lembaga formal yang berperan dalam membantu siswa untuk mencapai tugas-tugas perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Beberapa tahun terakhir ini sering kita melihat siswa siswi yang dianggap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Beberapa tahun terakhir ini sering kita melihat siswa siswi yang dianggap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beberapa tahun terakhir ini sering kita melihat siswa siswi yang dianggap tidak sopan dan tidak bertanggung jawab terhadap tindakannya. Hal ini bisa dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap anak dalam periode tertentu. Prestasi belajar yang dicapai oleh siswa

BAB I PENDAHULUAN. setiap anak dalam periode tertentu. Prestasi belajar yang dicapai oleh siswa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu upaya untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Tujuan dari pendidikan Nasional Indonesia adalah mengembangkan potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamika perubahan sosial budaya masyarakat. mengembangkan dan menitikberatkan kepada kemampuan pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamika perubahan sosial budaya masyarakat. mengembangkan dan menitikberatkan kepada kemampuan pengetahuan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan sebagai kegiatan pembelajaran telah dilakukan manusia dalam pelaku pendidikan. Pendidikan merupakan suatu sistem yang harus dijalankan secara terpadu

Lebih terperinci

JURNAL RELATIONSHIP BETWEEN SOCIAL INTERACTION WITH INDEPENDENCE PEERS TEENS ON STUDENTS CLASS X IN SMK MUHAMMADIYAH 2 KEDIRI LESSON YEAR 2016/2017

JURNAL RELATIONSHIP BETWEEN SOCIAL INTERACTION WITH INDEPENDENCE PEERS TEENS ON STUDENTS CLASS X IN SMK MUHAMMADIYAH 2 KEDIRI LESSON YEAR 2016/2017 JURNAL HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL TEMAN SEBAYA DENGAN KEMANDIRIAN REMAJA PADA PESERTA DIDIK KELAS X DI SMK MUHAMMADIYAH 2 KEDIRI TAHUN PELAJARAN 2016/2017 RELATIONSHIP BETWEEN SOCIAL INTERACTION

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu ilmu yang mendidik yang harus ada dan dimiliki setiap manusia, agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan investasi yang berharga bagi peradaban umat manusia, pada saat yang bersamaan pendidikan dan penalaran moral juga merupakan pilar yang sangat

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSAINGAN MERAIH NILAI TINGGI DENGAN INTENSITAS PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA MENENGAH KEJURUAN SKRIPSI.

HUBUNGAN ANTARA PERSAINGAN MERAIH NILAI TINGGI DENGAN INTENSITAS PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA MENENGAH KEJURUAN SKRIPSI. HUBUNGAN ANTARA PERSAINGAN MERAIH NILAI TINGGI DENGAN INTENSITAS PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA MENENGAH KEJURUAN SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang benar, tetapi juga disertai dengan tanggung jawab atas apa yang dikerjakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang benar, tetapi juga disertai dengan tanggung jawab atas apa yang dikerjakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Makna kejujuran tidak hanya terbatas pada teorinya saja seperti mengatakan yang benar, tetapi juga disertai dengan tanggung jawab atas apa yang dikerjakan sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didik, sehingga menghasilkan peserta didik yang pintar tetapi tidak

BAB I PENDAHULUAN. didik, sehingga menghasilkan peserta didik yang pintar tetapi tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini dinilai sarat dengan muatanmuatan pengetahuan dan tuntutan arus global yang mana mengesampingkan nilai-nilai moral budaya

Lebih terperinci

Disusun Oleh : LINA FIRIKAWATI A

Disusun Oleh : LINA FIRIKAWATI A PENGARUH KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR AKUNTANSI PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 2 SUKOHARJO TAHUN AJARAN 2009/2010 SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

PROBLEM PSIKOSOSIAL PADA REMAJA YANG ORANG TUA NYA MERANTAU NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

PROBLEM PSIKOSOSIAL PADA REMAJA YANG ORANG TUA NYA MERANTAU NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta PROBLEM PSIKOSOSIAL PADA REMAJA YANG ORANG TUA NYA MERANTAU NASKAH PUBLIKASI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu faktor yang menentukan berkembangnya suatu Negara ialah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu faktor yang menentukan berkembangnya suatu Negara ialah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu faktor yang menentukan berkembangnya suatu Negara ialah pendidikan di dalam Negara itu sendiri. Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan, kecerdasan dan keterampilan manusia lebih terasah dan teruji dalam menghadapi dinamika kehidupan

Lebih terperinci

(PTK Pada Siswa Kelas VIII B SMP Muhammadiyah 10 Surakarta)

(PTK Pada Siswa Kelas VIII B SMP Muhammadiyah 10 Surakarta) PENINGKATAN KREATIVITAS SISWA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI MODEL TREFFINGER (PTK Pada Siswa Kelas VIII B SMP Muhammadiyah 10 Surakarta) SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik. Oleh Karena itu, pendidikan secara terus-menerus. dipandang sebagai kebutuhan yang mendesak.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik. Oleh Karena itu, pendidikan secara terus-menerus. dipandang sebagai kebutuhan yang mendesak. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pendidikan hingga kini masih dipercaya sebagai media yang sangat ampuh dalam membangun kecerdasan sekaligus kepribadian anak manusia menjadi lebih baik. Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan wadah mencerdaskan kehidupan bangsa sebab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan wadah mencerdaskan kehidupan bangsa sebab 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan wadah mencerdaskan kehidupan bangsa sebab melalui pendidikan tercipta sumber daya manusia yang terdidik dan mampu menghadapi perkembangan zaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional, pendidikan merupakan usaha secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut ditujukan untuk membantu anak dalam menghadapi dan. dalam perkembangan anak (Suryosubroto, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. tersebut ditujukan untuk membantu anak dalam menghadapi dan. dalam perkembangan anak (Suryosubroto, 2010). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha yang sengaja dan terencana untuk membantu perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang MasalahPendidikan di Indonesia diharapkan dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang MasalahPendidikan di Indonesia diharapkan dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang MasalahPendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi. Disusun Oleh : ELY ERNAWATI A

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi. Disusun Oleh : ELY ERNAWATI A PENGARUH KEDISIPLINAN BELAJAR DAN SIKAP SISWA DALAM MENERIMA PELAJARAN TERHADAP PRESTASI BELAJAR AKUNTANSI PADA SISWA KELAS X PROGRAM KEAHLIAN AKUNTANSI SMK NEGERI 1 BANYUDONO TAHUN AJARAN 2009/ 2010 SKRIPSI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan karakter merupakan suatu upaya penanaman nilai-nilai karakter

I. PENDAHULUAN. Pendidikan karakter merupakan suatu upaya penanaman nilai-nilai karakter I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan karakter merupakan suatu upaya penanaman nilai-nilai karakter kepada generasi penerus bangsa yang berakar pada nilai karakter dari budaya bangsa dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan lingkungannya, baik dari lingkungan keluarga, sekolah, dan pergaulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan lingkungannya, baik dari lingkungan keluarga, sekolah, dan pergaulan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri manusia sepanjang hidup. Proses belajar terjadi karena adanya interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat (PP No.19 tahun 2005). Salah satu

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN KECENDERUNGAN MENYONTEK PADA MAHASISWA. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN KECENDERUNGAN MENYONTEK PADA MAHASISWA. Skripsi HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN KECENDERUNGAN MENYONTEK PADA MAHASISWA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Oleh : Willis Jati Nirmala Putri F 100 030 114

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi majunya sumber daya manusia, agar terbentuk generasi generasi masa depan yang lebih baik. Proses pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siapa pun itu, pasti pernah berbohong ataupun berlaku tidak jujur tanpa pandang usia. Bahkan, anak-anak sekolah dasar pun pun bisa melakukannya. Ada yang kedapatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan untuk mengubah perilaku

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan untuk mengubah perilaku BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan untuk mengubah perilaku manusia. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk menghasilkan sumber daya manusia sehingga terjadilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial (homo sosius), yang dibekali

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial (homo sosius), yang dibekali 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial (homo sosius), yang dibekali Tuhan dengan akal, dimana akal akan menjadikan manusia mengetahui segala sesuatu (Qadir, 2006). Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan bagi kehidupan manusia; demikian pula bagi kehidupan suatu bangsa. Untuk mencapai tujuan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat (PP No.19 tahun 2005). Salah satu

Lebih terperinci

INVENTORI TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SD. Berikut ini 50 rumpun pernyataan, setiap rumpun terdiri atas 4 pernyataan

INVENTORI TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SD. Berikut ini 50 rumpun pernyataan, setiap rumpun terdiri atas 4 pernyataan L A M P I R A N 57 INVENTORI TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SD Berikut ini 50 rumpun pernyataan, setiap rumpun terdiri atas 4 pernyataan Anda diminta untuk memilih 1 (satu) pernyataan dari setiap rumpun yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Generasi muda adalah generasi penerus bangsa. Membangun manusia Indonesia diawali dengan membangun kepribadian kaum muda. Sebagai generasi penerus, pemuda harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan.

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional harus mencerminkan kemampuan sistem pendidikan nasional untuk mengakomodasi berbagi tuntutan peran yang multidimensional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. No. 20/2003 tentang Sistem pendidikan Nasional Pasal I Ayat I,

BAB I PENDAHULUAN. No. 20/2003 tentang Sistem pendidikan Nasional Pasal I Ayat I, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat yang berkualitas. Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan kehidupan yang cerdas, damai,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pada bagian ini akan diuraikan mengenai latar belakang penelitian, identifikasi masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat/ signifikansi penelitian, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional merupakan salah satu tujuan dari kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Upaya mewujudkan pendidikan karakter di Indonesia yang telah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Upaya mewujudkan pendidikan karakter di Indonesia yang telah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Upaya mewujudkan pendidikan karakter di Indonesia yang telah tertuang dalam fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional, yaitu Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa. Dalam UU No 20 Tahun 2003

Lebih terperinci

PENGARUH KONDISI SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DAN PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR EKONOMI PADA SISWA KELAS XI IPS SMA NEGERI 1

PENGARUH KONDISI SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DAN PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR EKONOMI PADA SISWA KELAS XI IPS SMA NEGERI 1 PENGARUH KONDISI SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DAN PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR EKONOMI PADA SISWA KELAS XI IPS SMA NEGERI 1 PURWANTORO TAHUN AJARAN 2013/2014 NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI SISWA TERHADAP PERAN GURU BIMBINGAN KONSELING DENGAN KEDISIPLINAN SISWA DALAM MENAATI TATA TERTIB SEKOLAH.

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI SISWA TERHADAP PERAN GURU BIMBINGAN KONSELING DENGAN KEDISIPLINAN SISWA DALAM MENAATI TATA TERTIB SEKOLAH. HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI SISWA TERHADAP PERAN GURU BIMBINGAN KONSELING DENGAN KEDISIPLINAN SISWA DALAM MENAATI TATA TERTIB SEKOLAH Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat S-1

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi. penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

I. PENDAHULUAN. memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi. penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didik dapat mempertahankan hidupnya kearah yang lebih baik. Nasional pada Pasal 1 disebutkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. didik dapat mempertahankan hidupnya kearah yang lebih baik. Nasional pada Pasal 1 disebutkan bahwa : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era zaman sekarang, pendidikan merupakan salah satu aspek utama yang memiliki peranan penting dalam mempersiapkan sekaligus membentuk generasi muda. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peningkatan sumber daya manusia diupayakan melalui pendidikan baik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peningkatan sumber daya manusia diupayakan melalui pendidikan baik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan sumber daya manusia diupayakan melalui pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan merupakan suatu kunci utama dalam pembangunan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 3 Undang-undang RI nomor 20 tahun 2003 (Burhanuddin, 2007: 82), mengungkapkan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 3 Undang-undang RI nomor 20 tahun 2003 (Burhanuddin, 2007: 82), mengungkapkan bahwa: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan selanjutnya. Dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, pasal 17

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan. demokratis serta bertanggung jawab.

BAB I PENDAHULUAN. bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan. demokratis serta bertanggung jawab. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 mengatakan dengan jelas bahwasanya tujuan pendidikan adalah untuk Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. positif dan negatif pada suatu negara. Orang-orang dari berbagai negara

I. PENDAHULUAN. positif dan negatif pada suatu negara. Orang-orang dari berbagai negara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Teknologi informasi dan komunikasi berkembang secara cepat seiring dengan globalisasi sehingga interaksi dan penyampaian informasi akan berkembang dengan cepat.

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh. Gelar Sarjana Strata-1. Program Studi Pendidikan Akuntansi

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh. Gelar Sarjana Strata-1. Program Studi Pendidikan Akuntansi 0 PENGARUH PERSEPSI SISWA TENTANG PROPORSI WAKTU BELAJAR DAN MINAT BACA TERHADAP PRESTASI BELAJAR EKONOMI PADA SISWA KELAS VII DI SMP NEGERI 14 PURWOREJO TAHUN AJARAN 2009/2010 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG SISDIKNAS NOMOR 20 TAHUN Oleh. I Kadek Arta Jaya, S.Ag.,M.Pd.H

ANALISIS UNDANG-UNDANG SISDIKNAS NOMOR 20 TAHUN Oleh. I Kadek Arta Jaya, S.Ag.,M.Pd.H ANALISIS UNDANG-UNDANG SISDIKNAS NOMOR 20 TAHUN 2003 Oleh I Kadek Arta Jaya, S.Ag.,M.Pd.H I. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dan yang paling pokok dalam menentukan kemajuan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ajaran agama diwahyukan Tuhan untuk kepentingan manusia. Dengan bimbingan agama, diharapkan manusia mendapatkan pegangan yang pasti untuk menjalankan hidup dan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah proses pengembangan daya nalar, keterampilan, dan moralitas kehidupan pada potensi yang dimiliki oleh setiap manusia. Suatu pendidikan dikatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif dalam berbagai aspek, seperti misalnya meningkatkan kemampuan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. positif dalam berbagai aspek, seperti misalnya meningkatkan kemampuan ekonomi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia dapat mengembangkan hidup ke arah yang lebih positif dalam

Lebih terperinci