SVLK DALAM KONTEKS OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA 5 Kasus Terkait Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SVLK DALAM KONTEKS OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA 5 Kasus Terkait Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat"

Transkripsi

1 STOCKTAKING ASSESSMENT SVLK DALAM KONTEKS OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA 5 Kasus Terkait Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat Disusun Oleh : Paramita Iswari Edi Suprapto Max J. Tokede Lyndon B. Pangkali

2 Ringkasan Eksekutif Dalam rangka mewujudkan tata-kelola kehutanan yang baik (Good Forestry Governance/GFG) menuju Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kementrian Kehutanan memberlakukan Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (dalam assessment ini disingkat dengan sebutan SVLK). Kebijakan ini diterapkan pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 yang disempurnakan melalui P.68/Menhut-II/2011. Konsekuensinya adalah adanya kondisi yang mewajibkan setiap pemegang hak, pemegang izin pemanfaatan hasil hutan, pemegang izin usaha pengolahan kayu lanjutan dan pedagang ekspor, untuk melaksanakan SVLK, termasuk di Provinsi Papua. Papua sebagai provinsi terluas di Indonesia yang 85,05%nya adalah hutan, memiliki kondisi spesifik yang tidak dimiliki wilayah lain di Indonesia. Dilatarbelakangi dengan sejarah politik yang kerap diwarnai dengan ketegangan, saat ini Papua dinaungi oleh Otonomi Khusus yang secara legal dipayungi dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dengan latar belakang kekhususan Papua tersebut, secara teoritik dapat diasumsikan bahwa tidak seluruh kebijakan nasional maupun peraturan turunannya dapat berlaku begitu saja. Sudah tentu dalam praktek memerlukan penyesuaian dengan berbagai kebijakan dan aturan lain, seperti UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Kehutanan No 38 Tahun 1999 jo. No 68 Tahun 2011 Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Berdasarkan asumsi tersebut, assessment ini dilakukan dalam rangka menciptakan kondisi di mana sistem Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi Legalitas Kayu dapat bekerja dengan optimal di Papua, sehingga tata-kelola kehutanan yang baik (Good Forestry Governance) dalam rangka mencapai sistem pengelolaan hutan lestari dapat diwujudkan. Untuk mendalami terutama terkait bagaimana masyarakat mengelola hutannya, assessment ini mengambil lima kasus industri kayu rakyat yaitu KSU Lwagubin Srem dan KSU Jibogol di Jayapura, KSU Yera Asai di Yapen, Kelompok Pengelolaan Hasil Hutan Mo Make Unaf di Merauke dan KSU Nuwoa Baru di Nabire. Dari assessment ini diperoleh 3 (tiga) kesimpulan utama yaitu : 1. Pengakuan atas otonomi khusus Papua adalah keniscayaan. Tanpa pengakuan atas otonomi khusus, maka SVLK hanya akan menjadi instrumen penyingkiran peran masyarakat adat Papua dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan (atau disebut dengan legal exclusion). 1

3 2. SVLK akan menjadi instrumen tata kelola hutan yang baik (good forest governance apabila terdapat kejelasan kewenangan antara UU 41/1999 dan kebijakan-kebijakan di tingkat daerah. 3. Kebijakan-kebijakan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus akan dapat berperan optimal dalam mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat adat serta melestarikan sumberdaya alam Papua jika menerapkan prinsip afirmatif yang optimal. Apabila ketiga hal di atas berhasil diatasi, maka akan ada konsekuensi yang harus dihadapi, termasuk melakukan sejumlah penyesuaian terhadap implementasi SVLK apabila akan dilaksanakan di Provinsi Papua dan mengevaluasi efektif tidaknya kebijakan di daerah berdasarkan implementasinya selama ini. Tanpa hal ini, tujuan mewujudkan tata kelola kehutanan yang baik (good forest governance) dalam kerangka mencapai pengelolaan hutan lestari akan jauh dari harapan. Bahkan kebijakankebijakan ini hanya akan menjadi instrumen yang akan menghambat kemajuan pengelolaan hutan terutama yang berbasis masyarakat adat di Provinsi Papua. Diharapkan usulan intervensi program yang dilakukan di Papua seperti yang menjadi hasil assessment ini, dapat menciptakan kondisi yang mendukung optimalnya implementasi sistem Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi Legalitas Kayu demi tata kelola kehutanan yang baik (Good Forestry Governance) dalam rangka mencapai sistem pengelolaan hutan lestari di Papua. 2

4 DAFTAR ISI Bagian I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Tujuan dan Keluaran Metodologi Sistematika Laporan 14 Bagian II Konteks Umum Kehutanan Papua 2.1 Luas dan Potensi Hutan Papua Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Dalam Konteks Otonomi Khusus Kelembagaan Kepengurusan Hutan Papua Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan di Provinsi Papua Perusahaan IUPHHK Industri Primer Hasil Hutan Kayu Tata Niaga Hasil Hutan Kayu 31 Bagian III Analisis Pemangku Kepentingan dan Problem Pengelolaan Hutan Lestari di Papua 3.1 Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Hutan Lestari di Papua Identifikasi Pemangku Kepentingan Peran dan Fungsi Pemangku Kepentingan Permasalahan dalam Pengelolaan Hutan dan Penerapan SVLK di Papua Permasalahan Terkait Harmonisasi Kebijakan Permasalahan Terkait Kapasitas Organisasi dan Sumberdaya Manusia Permasalahan Lain Terkait Implementasi SVLK Potret Kesiapan IUPHHK-MHA dalam Implementasi SVLK (5 Kasus) Penyiapan Kelembagaan Penataan Kawasan Peran dan Dukungan Multipihak Monitoring dan Evaluasi 66 Bagian IV Analisis Kesesuaian SVLK dalam Konteks Pengelolaan Hutan di Papua 4.1 Analisis Kesesuaian Standard SVLK dengan Konteks Pengelolaan Hutan Papua Analisis Kesesuaian Standard SVLK Terkait Pengelolaan 69 Hutan dan Industri Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Hukum Adat Analisis Kesesuaian Standard SVLK Terkait Pengelolaan 3

5 Hutan dan Industri Hasil Hutan Kayu oleh Pihak Lain Analisis Kesesuaian Tata Kelembagaan SVLK dengan Konteks Pengelolaan Hutan Papua Analisis Kesesuaian Terkait Pengajuan dan Penanganan Keluhan dan Banding 82 Bagian V Usulan Kegiatan Strategis 85 Lampiran 4

6 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Alur Stocktaking Assessment Papua 13 Gambar 2 Potensi Tegakan per-hektar Pada Hutan Produksi di Papua Berdasarkan Kelas Diameter 19 Gambar 3 Hubungan Antar Aktor yang Terlibat dalam Pengelolaan Hutan di Papua 34 Gambar 4 Struktur Organisasi Koperasi Serba Usaha Lwagubin Srem Kampung Beniek, Distrik Unurum Guay Kabupaten Jayapura 55 5

7 DAFTAR TABEL Tabel 1 Luas Kawasan Hutan dan Perairan Berdasarkan Fungsi 17 Tabel 2 Luas Tutupan Hutan Papua 18 Tabel 3 Potensi Tegakan per-hektar Pada Hutan Produksi di Papua 18 Berdasarkan Kelas Diameter Tabel 4 Potensi Hasil Hutan Non-Kayu 19 Tabel 5 Peran dan Fungsi Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Hutan di Provinsi Papua Dalam Rangka Implementasi Perdasus dan 37 SVLK Tabel 6 Karakter Khusus Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan di Provinsi Papua era Otonomi Khusus 40 Tabel 7 Perbandingan Kebijakan Terkait IUPHHK HA/HTI/RE dengan IUPHHK MHA 41 Tabel 8 Perbandingan Kebijakan Terkait IUPHHK HTR dengan IUPHHK HTRMHA 42 Tabel 9 Perbandingan Kebijakan Terkait IUIPHHK dengan IUIPHHK Rakyat 43 Tabel 10 Ketersediaan GANIS PHPL s/d Desember Tabel 11 Analisis Kesesuaian SVLK pada Hutan Negara yang Dikelola Pemegang Izin dan Pemegang Hak Pengelolaan 70 Tabel 12 Analisis Kesesuaian SVLK pada Hutan Negara yang Dikelola Masyarakat (HTR, HKm, HD) 74 Tabel 13 Kegiatan Pengembangan Kapasitas di Tingkat Sistem Kelembagaan 86 Tabel 14 Kegiatan Pengembangan Kapasitas di Tingkat Organisasi Kelembagaan 89 Tabel 15 Kegiatan Pengembangan Kapasitas di Tingkat Individu 92 6

8 Bagian I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka mewujudkan tata-kelola kehutanan yang baik (Good Forestry Governance/GFG) menuju Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kementrian Kehutanan memberlakukan Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (umumnya dikenal dengan sebutan SVLK). Kebijakan ini diterapkan pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 yang disempurnakan melalui P.68/Menhut-II/2011 (untuk selanjutnya akan disingkat dengan P.38 jo P.68), dan beberapa aturan turunannya. Berbeda dari sistem sertifikasi yang bersifat sukarela (voluntary), kebijakan ini lahir utamanya sebagai bagian dari upaya perbaikan tata kelola internal (internal governance) kehutanan. Seiiring dengan itu, berkenaan dengan kepentingan internasional, terdapat upaya penegakan hukum, perdagangan dan tata kelola kehutanan (European Union-Forest Law Enforcement, Trade and Governance/EU-FLEGT), dimana upaya ini dimaksudkan untuk mendorong peran serta pemerintah dari negara baik produsen maupun konsumen, untuk melakukan pembaruan guna mencegah terjadinya kejahatan kehutanan dan masuknya kayu ilegal ke pasar Uni Eropa, melalui skema yang disebut dengan Perjanjian Kemitraan Sukarela (Voluntary Partnership Agreements/VPA). Indonesia telah menandatangani VPA ini pada bulan Mei tahun 2011 lalu, dengan P.38 jo P.68 sebagai salah satu instrumennya. Diharapkan melalui kebijakan ini, kayu tidak hanya sekedar dapat terbukti legalitasnya, namun lebih jauh lagi bahwa unit usaha kehutanan dapat meningkatkan performanya untuk melakukan praktek - praktek pengelolaan hutan lestari. 1 Namun, berdasarkan hasil serangkaian studi maupun pengalaman berbagai pihak dalam beberapa waktu terakhir, terdapat sejumlah tantangan dalam pencapaian tujuan sistem tersebut. Konsekuensi dari hal tersebut di atas adalah adanya kondisi yang mewajibkan bagi setiap pemegang hak, pemegang izin pemanfaatan hasil hutan, pemegang izin usaha pengolahan kayu lanjutan (bahkan termasuk industri rumah tangga/pengrajin), dan pedagang ekspor, untuk melaksanakan SVLK sebagai sistem penjaminan legalitas yang diakui secara internasional. 1 Berdasarkan butir Menimbang bagian D dalam P 38, disebutkan bahwa Standard Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak ditetapkan dalam rangka menuju Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), penerapan tata kelola kehutanan serta pemberantasan penebangan liar dan perdagangannya. 7

9 SVLK Beserta Tantangan terkait Implementasinya SVLK sebagaimana diatur dalam P.38 jo P.68, dan peraturan turunannya merupakan sistem sertifikasi yang bersifat wajib (mandatory). Dalam arti, penilaian suatu pemegang ijin merupakan permintaan atau persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah yang harus dilaksanakan. Dalam hal ini hasil penilaian dari pihak ketiga merupakan informasi yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk pembinaan dan pengambilan keputusan perpanjangan maupun persetujuan ijin usaha pemegang ijin terkait. Kelahiran SVLK ini disebut-sebut merupakan jalan tengah yang ditempuh Kementerian Kehutanan, di tengah tuntutan green market yang memiliki prinsip, kriteria dan indikator yang masih sulit dapat dipenuhi oleh unit manajemen dan masih lemahnya sistem tata kelola (governance system) sektor kehutanan Indonesia. Sulitnya unit manajemen memenuhi prinsip, kriteria dan indikator dari sistem yang bersifat sukarela (voluntary) yang ada sebagian bersumber dari masih buruknya sistem tata kelola hutan (forest governance system). Dengan SVLK yang bersifat wajib (mandatory) maka pemerintah memiliki alat (tools) untuk memperbaki kinerja forest governance system. 2 Namun, dalam perjalanan implementasi SVLK, beberapa hasil studi 3 maupun pengalaman 4 dari berbagai pihak menemukan adanya sejumlah tantangan. Secara umum, berdasarkan temuan studi yang dilakukan oleh Institut KARSA (2010), tantangan dikelompokkan menjadi: a. Terkait pada pemenuhan syarat penting, yang meliputi kebijakan, tata kelembagaan, kriteria dan indikator sampai kepada standard operational procedure (SOP) yang terkandung di dalam sistem; b. Terkait pada pemenuhan syarat cukup, meliputi kewenangan (authority), sosialisasi, ketrampilan individu (personal skill), independen (independency), keterbukaan alur informasi dan pembiayaan. Keseluruhan tantangan tersebut jelas muncul akibat sejumlah ketidakjelasan pengaturan dan kesimpangsiuran pemahaman dari berbagai pihak terhadap SVLK. Dampaknya sebagian aturan mengalami kebuntuan sehingga implementasi SVLK menjadi tidak optimal. Sebagai upaya untuk mengatasi tantangan di atas, telah dilakukan 2 Selengkapnya lihat Institut KARSA, Beberapa studi yang diacu diantaranya adalah studi yang dilakukan oleh Institut KARSA terkait SVLK seperti Studi Komparasi Model Kelembagaan Penyelesaian Keberatan di Indonesia dan Relevansinya dengan Pengembangan Mekanisme Penyelesaian Keberatan (Dispute Resolution Mechanism) dalam Konteks SVLK (Kasus : KOMNAS HAM, Ombudsman RI, PNPM dan BPN) Maret 2010, Kajian atas Kebijakan dan Perundang-Undangan sebagai Alas Legalitas dari Mekanisme Penyelesaian Keberatan dalam Konteks SVLK Maret 2010, Studi Membangun Model Kelembagaan Penyelesaian Keberatan Dalam Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi LK Desember 2010, Kajian Yuridis Kebijakan Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi LK, PKBH UGM Institut KARSA Juni Lihat kumpulan tulisan mengenai pengalaman empiris Pemantauan Independen dan/atau Pengajuan Serta Penyelesaian Keberatan di Regio Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua yang difasilitasi Institut KARSA, Juli

10 revisi 5 P.38/2009 yang melahirkan P.68/2011 beserta aturan turunannya. Dalam aturan terbaru hasil revisi, telah dilakukan perubahan dan penambahan terhadap beberapa klausul dalam P.38 yang menimbulkan ketidakjelasan dan penafsiran beragam, kriteria dan indikator, pengayaan terhadap pedoman operasional, khususnya terkait penilaian, pemantauan serta pengajuan dan penanganan keluhan serta banding. Misalnya terkait Kriteria dan Indikator, disebutkan bahwa bagian ini tidak dirumuskan dengan baik karena selain menimbulkan kerancuan di beberapa indikator, banyak hal belum tercakup menjadi indikator, verifiernya tidak jelas dan ketiadaan norma/nilai kematangan verifikasi. Namun hal ini telah diatasi dengan lahirnya Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2011 tentang Standard dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) sebagai revisi atas Kriteria dan Indikator sebelumnya. Terkait dengan kelembagaan, ditemukan bahwa dengan pelibatan Komite Akreditasi Nasional (KAN) maka terdapat 3 (tiga) kecenderungan yang berbeda dari sistem terkait, yaitu : 1. Merupakan bagian dari pengaturan internal (internal governance); 2. Merupakan bagian dari sebuah gerakan pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management movement); dan 3. Merupakan bagian dari sebuah rejim standarisasi internasional. Di mana masing-masing memiliki konsekuensinya tersendiri, yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya dan berimplikasi pada sejumlah kontradiksi dan implementasi di lapangan yang problematik. Sedangkan terkait mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan dan banding, juga ditemukan sejumlah tantangan di mana mekanisme terkait tidak dapat memenuhi sejumlah prinsip penyelesaian sengketa yaitu Legitimate, Accessible, Predictable, Equitable, Rights-Compatible, dan Transparant. Seiring dengan hal tersebut, mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan dan banding tidak dapat bekerja secara efektif, diukur dari 7 (tujuh) tolok ukur efektifitas sebuah mekanisme yaitu Subject Clearity, Receiver, Filtering, Processing, Decision Making, Acceptance, Post Resolution dan Feed Back. Selain temuan studi yang dijabarkan di atas, pengalaman dari berbagai inisiatif yang perhatian terhadap isu ini, juga mendeskripsikan sejumlah tantangan yang ditemui di lapangan. Sebagai contoh pengalaman pendampingan persiapan hutan rakyat di Jawa Tengah menyebutkan bahwa kesulitan utama di lapangan dalam pemenuhan SVLK adalah terkait kelembagaan hutan rakyat (status badan hukum organisasi tidak jelas, belum memiliki aturan main organisasi), administrasi dari segala bentuk dokumen legalitas pengangkutan kayu dan penjualan yang sama sekali tidak baik, 5 Proses revisi P38/2009 tidaklah semudah membalik telapak tangan. Diawali dengan membangun proses diskusi P38/2009 di berbagai pihak. Berbagai kajian dilakukan dari berbagai sudut pandang. Kemudian diikuti dengan sebuah konsultasi publik di regio Sumatera, Jawa-Bali-NTT-NTB, Kalimantan, Sulawesi dan Papua dan konsultasi nasional. Maka sebuah Tim yang diwakili berbagai pihak mencoba mengakomodir segala masukan sehingga kemudian lahir P68/2011 dan peraturan turunannya. 9

11 pembiayaan yang masih belum mandiri sampai kepada keterbatasan pemahaman pemilik hutan hak tentang sertifikasi dan tata kelola kehutanan. 6 Berdasarkan tantangan tersebut, maka beberapa organisasi non pemerintah (Ornop) pendamping hutan rakyat memfokuskan pada kerjakerja pendampingan dalam persiapan menuju SVLK. Selain itu peningkatan kapasitas baik untuk pelaku industri maupun pendamping secara terusmenerus diselenggarakan. Konteks Otonomi Khusus Papua Papua sebagai provinsi terluas di Indonesia yang 85,05%-nya adalah hutan, memiliki kondisi spesifik yang tidak dimiliki wilayah lain di Indonesia, baik tatanan adat-istiadatnya, karakteristik ekologis-nya bahkan latar belakang politiknya. Dilatarbelakangi dengan sejarah politik yang penuh warna dan kerap diwarnai dengan ketegangan-ketegangan politik, maka pada tahun 2001 sebagai penawaran tertinggi dalam mengatasi ketegangan politik tersebut, Pemerintah memberikan status Otonomi Khusus (selanjutnya akan disingkat dengan otsus) bagi Provinsi Papua. Secara legal otsus ini dinaungi melalui payung Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Satu poin penting dari UU ini adalah adanya klausul yang memberikan penghargaan dan pengakuan atas hak masyarakat adat dan masyarakat hukum adat (selanjutnya akan disingkat dengan MHA) di Papua. Berdasarkan UU Otsus tersebut, Gubernur Provinsi Papua diwajibkan menyusun sejumlah Peraturan Daerah Khusus (selanjutnya disebut Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi). Bahkan kemudian lahir beberapa Perdasus yang menjadi tonggak pengakuan hak masyarakat adat, yakni Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua dan Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Ditambah lagi dengan adanya Keputusan Bersama Gubernur Papua dan Papua Barat yang telah melarang ekspor kayu bulat (zero log) pada 19 Desember 2008 dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah di Tanah Papua, khususnya bagi masyarakat adat Papua. Dengan latar belakang kekhususan situasi Papua tersebut, 7 secara teoritik dapat diasumsikan bahwa tidak seluruh kebijakan nasional maupun peraturan turunannya dapat berlaku begitu saja. Dengan situasi ini, tentu dalam praktek memerlukan penyesuaian dengan berbagai kebijakan dan 6 Presentasi ARuPA mengenai pengalaman pendampingan hutan rakyat dalam acara Sosialisasi SVLK Menuju Implementasi FLEGT VPA dan Perdagangan Global Produk Kayu Legal Indonesia Bagi Pelaku Usaha Industri Kayu Kecil-Menengah dan Asosiasi se-jawa Tengah, di Surakarta Januari Berdasarkan prinsip hukum yang berlaku di Indonesia, Undang-Undang Otsus di Papua bersifat Lex Specialis dan hanya berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat beserta dengan segala kewenangan yang telah diberikan oleh Pemerintah untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat. 10

12 peraturan lain, dalam hal ini khususnya UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Kehutanan No 38 Tahun 1999 jo. No 68 Tahun 2011 Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak. Membaca kedua hal di atas (tantangan dalam implementasi SVLK serta kondisi spesifik Papua), ditambah lagi dengan berbagai permasalahan umum 8 yang mewarnai pengelolaan sektor kehutanan maka lahirlah beberapa pertanyaan seperti : Permasalahan apa saja yang menonjol dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Papua saat ini? Kebijakan-kebijakan khusus apa yang muncul sebagai akibat pemberlakuan Otonomi Khusus di Papua yang perlu diperhatikan dalam penerapan SVLK cq. P38 jo. P68? Apa implikasi kebijakan-kebijakan khusus itu terhadap Kriteria dan Indikator, sistem kelembagaan, dan mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan dan banding sebagaimana telah diatur dalam P38/2009 Jo. P 68/2011 dan kebijakan-kebijakan lain yang menyertainya? Sejauh mana kesiapan para pihak, termasuk pelaku industri hasil hutan kayu dari kalangan masyarakat hukum adat di Papua dalam menerapkan SVLK di masa yang akan datang? Kegiatan-kegiatan strategis apa saja yang perlu dilaksanakan dalam mengatasi tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam implementasi SVLK di Papua? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, maka sebuah upaya berupa stocktaking assessment 9 dilakukan oleh Multistakeholder Forestry Programme II (MFP II). Upaya ini sekaligus akan menjadi bahan masukan untuk persiapan program MFP III di Papua. Diharapkan, melalui assessment ini maka tujuan pencapaian pengelolaan hutan lestari di Papua khususnya dan Indonesia pada umumnya dapat maju selangkah lagi. 1.2 Tujuan dan Keluaran Outcome dari program ini adalah menciptakan kondisi di mana sistem Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi Legalitas Kayu dapat bekerja dengan optimal di Papua, sehingga tata-kelola kehutanan yang baik (Good Forestry Governance) dalam rangka mencapai sistem pengelolaan hutan lestari dapat diwujudkan. Berdasarkan outcome, maka tujuan dari program ini adalah : 8 Permasalahan umum yang terkait dengan tata kelola kehutanan, diantaranya: tarik menarik wewenang antara pusat dan daerah, tidak sinkronnya substansi kebijakan dan peraturan turunannya antar sektor maupun antara pusat dan daerah, masalah terkait ketidaksiapan kelembagaan dan sumberdaya manusia, dan lain sebagainya. Selengkapnya mengenai hal ini dapat dilihat pada Bagian 2 dan 3 laporan ini. 9 Stocktaking adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan terkait kegiatan ekonomi, yaitu physical verification of the quantities and condition of items held in an inventory, as a basis for accurate inventory audit and valuation (selengkapnya lihat Dalam kegiatan ini, stocktaking assessment dimaknai sebagai assessment untuk memberikan gambaran informasi terkini yang dimaksudkan untuk memahami permasalahan, mengangkat kisah sukses berdasarkan praktek di lapangan untuk perbaikan ke depan. 11

13 1. Memberikan informasi terkini terkait permasalahan yang menonjol dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Papua. 2. Menelaah implikasi kebijakan-kebijakan khusus yang muncul sebagai akibat pemberlakuan otsus di Papua dikaitkan dengan SVLK (meliputi Kriteria dan Indikator, Sistem Kelembagaan, dan Mekanisme Pengajuan dan Penanganan Keluhan dan Banding). 3. Menggambarkan kesiapan para pihak, termasuk pelaku industri hasil hutan kayu dari kalangan masyarakat hukum adat di Papua dalam implementasi SVLK di masa yang akan datang. 4. Mengidentifikasi kegiatan-kegiatan strategis yang perlu dilaksanakan dalam mengatasi tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam implementasi SVLK di Papua. Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, maka output yang akan dicapai adalah rekomendasi intervensi program yang dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi MFP III ke depan 1.3 Metodologi Alur yang akan dilakukan dalam stoctaking assessment ini dapat dilihat pada Gambar 1. Stocktaking assessment diawali dengan melakukan telaah terhadap berbagai hal terkait kehutanan di Papua, seperti situasi dan kondisi terkini kehutanan Papua, kebijakan terkait kehutanan baik kebijakan nasional dikaitkan dengan lokal, kelembagaan kepengurusan hutan di Papua serta tata niaga kayu termasuk di dalamnya mengenai sumber bahan baku dan produknya. Selain itu juga digambarkan potret pengelolaan hutan dan industri kayu yang dikelola oleh Masyarakat Hukum Adat. Bahan yang digunakan untuk bagian ini adalah data sekunder berupa berbagai hasil studi, data-data statistik, informasi dari media massa, dan lain sebagainya. Berdasarkan penelaahan tersebut, dirumuskan pernyataan masalah (problem statement) awal terkait tujuan assessment. Hasil tahap awal ini akan menjadi Laporan Draft 0. Kemudian tahap selanjutnya akan diselenggarakan diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD) I yang dihadiri pihak-pihak kunci terkait. Dalam proses FGD ini akan dipetakan permasalahan yang dihadapi para pihak dalam rangka implementasi SVLK dan kemudian dirumuskan berbagai upaya pemecahannya beserta dukungan yang dibutuhkan. Hasil FGD ini akan menyempurnakan problem statement yang dihasilkan dalam proses sebelumnya. Hasil dari tahap ini akan menjadi Laporan Draft 1 12

14 Gambar 1 Alur Stoctaking Assessment Kehutanan Papua Draft 1 Laporan : - Pendahuluan - Konteks Kehutanan Papua - Potret Industri Kehutanan Masyarakat Hukum Adat - Analisis Para Pihak Mengumpulkan dan Menganalisa Konteks Kehutanan Papua berdasarkan Data Sekunder Problem Statement Focus Group Discussion I Pemetaan Masalah Dari Perspektif Key Stakeholders berikut dengan Usulan Pemecahannya Draft Nol Laporan : - Pendahuluan - Konteks Kehutanan Papua o Situasi dan Kondisi Terkini o Kebijakan (Nasional vs Lokal) o Kelembagaan o Tata Niaga Kayu - Potret Industri Kehutanan Masyarakat Hukum Adat Pengumpulan Data Primer : - Interview - FGD dengan kelompok masy - Observasi lapangan Draft 2 Laporan : - Pendahuluan - Konteks Kehutanan Papua - Potret Industri Kehutanan Masyarakat Hukum Adat - Analisis Para Pihak - Analisis Kesesuaian - Analisis Kesesuaian - Rekomendasi Focus Group Discussion II Presentasi Hasil Studi untuk Mendapatkan Masukan guna Penyempurnaan Laporan - Laporan Final Tahap berikutnya akan dilakukan pengumpulan data primer dengan instrumen wawancara, FGD di kampung untuk masyarakat serta observasi lapangan. Wawancara untuk memperdalam laporan akan dilakukan kepada berbagai pihak terkait, seperti Dinas Kehutanan (baik Provinsi maupun Kabupaten), Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BPPHP,) organisasi masyarakat hukum adat, akademisi dan organisasi masyarakat sipil. Kemudian kunjungan lapangan akan dilakukan ke-lima lokasi pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat yang ditetapkan menjadi 13

15 studi kasus di awal studi. Dengan berbagai pertimbangan seperti representasi lokasi, model pengelolaan serta perijinannya maka di awal ditentukan lima industri kayu rakyat yang akan disajikan sebagai kasus dalam assessment ini. Lima kasus tersebut adalah Distrik Unurum Guay (KSU Lwagubin Srem dan KSU Jibogol), Yapen (KSU Yera Asai), Merauke (Kelompok Pengelolaan Hasil Hutan Mo Make Unaf) dan Nabire (KSU Nuwoa Baru). Keseluruhan data yang diperoleh kemudian akan dianalisis secara deskriptif kualitatif dan menjadi bahan utama dalam menyempurnakan isi laporan sebelumnya yang hanya bersumber dari data sekunder dan hasil FGD. Kemudian akan dilakukan juga analisis kesesuaian yang mecari kesesuaian antara kekhususan situasi Papua dengan sistem yang terdiri dari kriteria dan indikator, kelembagaan serta mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan dan banding. Keseluruhan analisis ini kemudian akan melahirkan kegiatan-kegiatan strategis yang akan menjadi program yang diusulkan di Papua. Hasil dari tahap ini akan menjadi Laporan Draft 2. Hasil dari assessment ini kemudian dikonsultasikan dalam diskusi terbatas (FGD 2) untuk memperoleh masukan dari berbagai pihak. Dan masukan dari diskusi terbatas tersebut menjadi bahan utama dalam menghasilkan laporan final. 1.4 Sistematika Laporan Laporan assessment ini terdiri dari 5 (lima) bagian. Bagian I, Pendahuluan, memuat uraian tentang latar belakang kerangka pikir perlunya stocktaking assessment, tujuan dan keluaran yang hendak dicapai, metodologi, serta uraian sistematika laporan. Dijelaskan pula bahwa stocktaking assessment ini merupakan upaya MFP II untuk mendapatkan bahan masukan bagi pelaksanaan program MFP III maupun program institusi lain yang terkait sektor kehutanan. Bagian II berisi potret terkini situasi dan kondisi kehutanan Papua. Di dalamnya termuat informasi mengenai luasan dan potensi hutan, kebijakan kehutanan di Papua, kelembagaan kepengurusan hutan di Papua, pemanfaatan hutan dan industri kehutanan serta tata niaga kayu termasuk di dalamnya sumber bahan baku dan produknya. Selanjutnya Bagian III mendeskripsikan hasil pemetaan pemangku kepentingan kunci (key stakeholder) beserta dengan peran dan kepentingannya. Juga diuraikan mengenai permasalahan umum yang merupakan hasil keluaran FGD 1. Dalam bagian ini juga digambarkan potret dan permasalahan dari industri kayu yang dikelola oleh Masyarakat Hukum Adat pada lima lokasi. Kemudian pada bagian IV, dideskripsikan hasil analisis kesesuaian SVLK dalam konteks pengelolaan hutan di Papua. Analisis dilakukan pada tiga bagian penting dalam sistem yaitu, Kriteria dan Indikator, kelembagaan serta mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan dan banding. Dalam analisis 14

16 ini diuraikan hal-hal apa saja dari ketiga hal tersebut yang sesuai ataupun tidak sesuai dengan kekhususan Papua. Pada bagian akhir (bagian V), disajikan kesimpulan dan sejumlah usulan kegiatan strategis yang sebaiknya dilakukan untuk menciptakan kondisi yang mendukung implementasi SVLK di Papua untuk mencapai tatakelola kehutanan yang baik dan pengelolaan hutan lestari. 15

17 Bagian II KONTEKS UMUM KEHUTANAN PAPUA Provinsi Papua (selanjutnya disebut Papua) dengan luas wilayah hektar atau mencapai 2.5 kali luas pulau Jawa merupakan provinsi terluas di Indonesia. 10 Papua merupakan provinsi yang terletak di paling timur wilayah Indonesia dan berbatasan langsung dengan negara tetangga Papua New Guinea. Secara administratif pemerintahan, Papua dibagi menjadi 28 kabupaten dan 1 kota. Sejak dulu Papua dihuni oleh beragam suku bangsa. Setidaknya tercatat 264 macam bahasa yang mencirikan suku bangsa dan dan adat istiadatnya. 11 Pada tahun 2009, provinsi ini memiliki jumlah penduduk sebanyak jiwa (hasil Sensus Penduduk Provinsi Papua 2010) Luas dan Potensi Hutan Papua Luas tutupan hutan Papua selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Akan tetapi perubahan tersebut bukan ke arah positif melain ke arah pengurangan tutupan hutan. Di seluruh wilayah Indonesia, pengurangan luas tutupan hutan bukan hal baru. Berdasar hasil analisis Forest Watch Indonesia luas tutupan hutan di seluruh wilayah Indonesia telah dimulai sejak masa pra-pertanian. Hingga pada tahun 1950 pembukaan hutan dilakukan untuk kepentingan membuka lahan pertanian terutama untuk budidaya padi. Berdasar peta yang diterbitkan oleh pemerintah pada tahun 1950, 84% luas daratan Indonesia atau sekitar 145 juta hektar tertutup hutan primer dan sekunder. Khusus untuk Irian Jaya pada masa itu luas hutannya adalah ha dari 41 juta ha luas wilayah daratan. Setelah tahun 1950, luas hutan tersebut terus mengalami penyusutan Tercatat sejak tahun 1970 pengurangan luas hutan mengalami percepatan akibat penebangan hutan secara komersial. Menurut hasil survei yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk pengembangan program transmigrasi, tutupan hutan pada tahun 1985 turun menjadi 119 juta hektar. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan luas hutan sebesar 27 persen dari luas kawasan hutan pada tahun Antara tahun 1970-an dan 1990-an, laju deforestasi diperkirakan antara 0,6 dan 1,2 juta ha (Sunderlin dan 10 Buku Statistik Indonesia Tahun 2011, Badan Pusat Statistik. Sebelum tahun 2001 provinsi ini bernama Irian Jaya. Sebelum terjadi pemekaran, wilayah Irian Jaya meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat sekarang yang luasnya hampir mencapai 3.5 kali luas Pulau Jawa. 11 Max J. Tokede, Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan Papua: Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dalam Pengusahaan Hutan di Kabupaten Manokwari 12 Buku Hasil Sensus Penduduk 2010 Provinsi Papua., BPS Provinsi Papua. Sedangkan Buku Statisitik Indonesia 2011 melaporkan penduduk Papua pada tahun 2010 adalah sebesar jiwa. 16

18 Resosudarmo, 1996). Melalui kegiatan pemetaan tutupan hutan pada tahun 1999, pemerintah Indonesia menyimpulkan bahwa bahwa laju deforestasi rata-rata dari tahun mencapai 1,7 juta ha. Laju deforestasi terberat terjadi di pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Dalam periode yang sama, hutan di Irian Jaya mengalami pengurangan sebesar 5% yaitu dari hektar menjadi hektar. 13 Berdasar SK No. 891/Kpts-II/99 luas kawasan hutan dan perairan Provinsi Papua dan Papua Barat adalah sebesar ha yang meliputi ha kawasan hutan dan ha perairan. Dari kedua data tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 1999 luas tutupan hutan Papua dan Papua Barat adalah 81% dari luas kawasan hutan. Pada saat era desentralisasi dan pemberlakukan Otonomi Khusus, nama provinsi Irian Jaya diganti dengan nama Papua. Selanjutnya terjadi pemekaran wilayah provinsi yang membagi Papua menjadi dua provinsi yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Berdasar hasil pendataan BPKH Wilayah X Jayapura, luas kawasan hutan dan perairan yang masuk wilayah Papua setelah proses pemekaran adalah seluas hektar. 14 Pada tahun 2011 setelah dilakukan pemutakhiran data dan rekomendasi yang dibuat oleh Tim Terpadu yang dibentuk oleh Kementerian Kehutanan melalui surat keputusan menteri (Kepmenhut No. SK.598/Menhut- VII/2010 Tanggal 21 Oktober 2010) dalam rangka penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua , luas kawasan hutan di Provinsi Papua adalah Ha, dengan pembagian fungsi sebagai berikut: Tabel 1 Luas Kawasan Hutan dan Perairan Berdasarkan Fungsi No Fungsi Hutan Luas Prosentase 1 Hutan Lindung (HL) 8,133,488 24,82 % 2 Hutan Produksi (HP) 4,783,076 14,59 % 3 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 5,984,244 18,26 % 4 Hutan Produksi Konversi (HPK) 4,242,432 12,94 % 5 Kawasan Konservasi (KSA/KPA) 7,773,397 23,72 % 6 Kawasan Hutan 30,916,637 94,33% 7 APL 1,306,386 3,99% 8 Tubuh Air 551,290 1,68 % 9 Bukan Kawasan Hutan 1,857,676 5,67 % TOTAL KAWASAN 32,774, % Sumber : Tim Terpadu, 2011 Pengurangan luas tutupan hutan terus berlanjut pada era desentralisasi dan pemberlakukan Otonomi Khusus. Berdasar buku Statistik BPPHP Wilayah XVII Jayapura 2010, luas tutupan hutan Provinsi Papua adalah seluas hektar dari hektar luas kawasan hutan dan perairan. Hampir 6.5 juta hektar kawasan hutan di Papua saat ini tidak 13 Potret Keadaan Hutan Indonesia, Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, 2001 hal Buku Statistik BPPHP Wilayah XVII Jayapura Tahun 2010 hal Dalam penyusunan buku statistik tersebut BPPHP bersumber pada data dari BPKH Wilayah X Papua 17

19 berupa hutan. Berikut adalah tabel penutupan lahan hutan Papua yang dikutip dari Statistik BPPHP Wilayah XVII Jayapura Tahun Tabel 2 Luas Tutupan Hutan Papua Penutupan Hutan Luas tutupan hutan Hutan Primer 15,518, Hutan Sekunder 3,279, Hutan Rawa Primer 4,626, Hutan Rawa Sekunder 629, Hutan Mangrove Primer 1,177, Hutan Mangrove Sekunder 71, Hutan Tanaman 3, Jumlah 25,306, Sumber : Buku Statistik BPPHP Wilayah XVII Jayapura 2010 Jika dibandingkan dengan data yang dirilis oleh BPKH X Jayapura tahun 2007, pengurangan luas tutupan hutan paling luas justru terjadi pada kategori hutan primer dimana pada tahun tersebut tercatat luas hutan primer di Papua adalah hektar. 15 Beberapa kegiatan yang teridentifikasi sebagai penyebab perubahan luas tutupan hutan antara lain kegiatan HPH, kebakaran, perluasan areal pertanian/perkebunan dan perluasan areal pemukiman serta transmigrasi. Hutan Papua memiliki potensi yang besar, baik berupa potensi hasil hutan kayu, non kayu maupun jasa lingkungan. Di dalam hutan Papua terdapat banyak jenis kayu komersial, menurut Statistik Dinas Kehutanan Papua 2007 setidaknya terdapat 16 jenis komersial yaitu Bintangur, Bipa, Dahu, Gia, Hopea, Kelat, Kenari, Ketapang, Lancat, Merbau, Mersawa, Nyatoh, Piak, Resek dan jenis lain-lain. Potensi tegakan per hektar pada hutan produksi di Papua berdasar kelas diameter dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3 Potensi Tegakan per-hektar Pada Hutan Produksi di Papua Berdasarkan Kelas Diameter Kelas Diameter (cm) up N/ha V/ha (m3) Sumber : Statistik Dinas Kehutanan Papua Statistik Kehutanan Provinsi Papua 2008, BPKH X Jayapura hal.4 18

20 Gambar 2 Potensi Tegakan per-hektar Pada Hutan Produksi di Papua Berdasarkan Kelas Diameter Sumber : Statistik Dinas Kehutanan Papua 2007 Menurut buku Neraca Sumber Daya Hutan Papua tahun 2009, potensi kayu komersial pada kawasan hutan produksi di Papua adalah sebesar 229,37 juta m 3 dengan rincian: Hutan Produksi Terbatas : 22,31 juta m 3 (9,73%) Hutan Produksi : 106,40 juta m 3 (46,39%) HP yang dapat dikonversi : 100,66 juta m 3 (43,88%) Dari sekian banyak jenis komersial yang terdapat pada hutan produksi di Papua jenis merbau dan meranti merupakan jenis paling dominan. Khusus untuk jenis merbau, Dinas Kehutanan Papua menyebutkan potensi jenis kayu tersebut yang berdiameter 50 up adalah sebesar 16,87 m3/ha 16. Selain memiliki potensi kayu 17, hutan Papua juga memiliki potensi hasil hutan non kayu yang melimpah. Beberapa hasil hutan non kayu yang teridentifikasi antara lain gambir, masohi, lawang, rotan, bakau, sagu, nipah, buah merah dan lain sebagainya. Tabel 4 Potensi Hasil Hutan Non-Kayu Jenis Komoditas Potensi Satuan Gambir 17,67 juta kg Masohi 35,33 juta kg Rotan 2,14 miliar kg Bakau 65 juta m 3 Sagu 496,09 juta kg Nipah 51,90 juta m 3 Kulit lawang tidak ada data - Buah merah 11,53 juta buah Sumber: Buku Neraca Sumber Daya Hutan Papua Statistik Dinas Kehutanan Papua Selengkapnya mengenai pemanfaatan hasil hutan kayu di Papua dapat dilihat pada Sub Bab

21 2.2 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Dalam Konteks Otonomi Khusus Kebijakan pengelolaan hutan Papua sebelum era desentralisasi (otonomi daerah) tidak berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Kebijakan pengelolaan pada masa itu bersifat sentralistik. Dalam rejim yang sentralistik tersebut peran dan kewenangan pemerintah provinsi, kabupaten/kota dalam pengelolaan hutan sangat terbatas. Pengaturan peran Pemerintah Daerah dalam pengelolaan hutan pada masa itu berpangkal pada sejumlah undangundang seperti UU Nomor 5 tahun 1967 Tentang Undang Undang Pokok Kehutanan dan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Undang Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). 18 Peran Pemerintah Daerah Tingkat II pun hanya terbatas hanya pada pemanfaatan hutan untuk kepentingan non-komersial, seperti penghijauan, konservasi tanah dan air, persuteraan alam, perlebahan, pengelolaan hutan rakyat atau hutan milik, dan pelatihan keterampilan masyarakat di bidang kehutanan, apabila mengacu pada Keputusan Menteri No. 86/Kpts-II tahun 1994 Pada era pengusahaan hutan ini, jumlah unit dan luas konsesi HPH di Papua selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada periode setidaknya terdapat 67 unit HPH dan 7 unit industri terpadu beroperasi di Papua. Beberapa ciri dari pola sentralistik kebijakan pengelolaan hutan pada masa itu antara lain terjadinya konglomerasi dalam pemanfaatan hutan, dimana Papua hanya dijadikan sebagai penyedia bahan baku industri skala besar dan padat modal, sementara pendapatan dan penerimaan sektor kehutanan dikuasai oleh pemerintah pusat. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah kebijakan yang terbit cenderung tidak berpihak kepada keterwakilan kepentingan dan kebutuhan masyarakat di daerah. Masyarakat tidak terlibat sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan hutan dan termarginalkan. Konglomerasi dalam pemberian izin konsesi HPH cenderung tidak transparan, koruptif dan kolutif. Dengan demikian, kebijakan pengelolaan hutan pada era sebelum otonomi khusus belum memenuhi prinsip-prinsip good forest governance. Runtuhnya kekuasaan Soeharto pada pertengahan 2008 merupakan titik tolak mulainya era reformasi. Dalam era reformasi ini segala kebijakan merupakan antitesis kebijakan pada era sebelumnya. Begitu juga dalam pengelolaan hutan berubah dari yang bersifat sentralistik ke arah desentralisasi. Desentralisasi sektor kehutanan telah merubah kebijakan pengelolaan hutan dari state based forest management ke community based forest management 18 Undang-undang No.5 tahun 1967 memberikan landasan yang sangat luas kepada pemerintah mulai dari penentuan kawasan, pembagian areal tebang, sampai penyetoran kewajiban pengusaha kepada pemerintah. Sedangkan dua undang-undang lain yang lebih popular dengan sebutan undang-undang penanaman modal memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memberikan izin konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada pihak swasta yang hanya cukup melalui pengajuan permohonan kepada menteri. 20

22 dan dari timber management ke arah ecosystem based forest management. Perubahan kebijakan ini berawal diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (sekarang UU Nomor 32 Tahun 2004) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah (sekarang UU Nomor 33 Tahun 2004). Khusus bagi Papua, pelaksanaan otonomi daerah juga diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Di sektor kehutanan perubahan yang paling menonjol adalah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menggantikan UU No.5 tahun Terjadi pro-kontra mewarnai pemberlakuan undang-undang baru tersebut. Sebagian kalangan beranggapan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan semangat desentralisasi karena memperkuat kewenangan pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) dalam pengurusan hutan. Pemberian kewenangan setengah hati ini diantaranya dapat dilihat dalam Pasal 66 berikut ini: 1. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah. 2. Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. 3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun demikian UU Nomor 41 tahun 1999 memberikan pengakuan terhadap hak-hak MHA dalam pengelolaan hutan. 19 Seperti tercantum dalam Pasal 67 ayat 1: Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; (b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan (c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Dan Pasal 67 ayat 2: Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Setidaknya dari sana, UU ini telah memberikan peluang bagi masyarakat adat 19 Walaupun bagi sebagian pihak pengakuan ini masih bersifat setengah hati, bahkan cenderung klausul ini menafikkan esensi apa yang disebut dengan masyarakat hukum adat, terbukti dari permohonan Judicial Review atas UU 41/1999 yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke Mahkamah Konstitusi dikarenakan anggapan bahwa undang-undang ini bertentangan dengan pasal 18B UUD 1945 mengenai pengakuan atas masyarakat adat. 21

23 untuk mengelola hutan Negara yang berstatus hutan adat. 20. Selain itu terdapat beberapa peraturan perundangan maupun kebijakan lain yang dirancang untuk memperkuat desentralisasi dalam pengelolaan hutan. 21 Akan tetapi harus diakui bahwa sebagian kebijakan tersebut pada akhirnya justru melemahkan otonomi daerah. Sehingga yang muncul adalah tarik menarik kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi Tarik menarik kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi juga terjadi dalam kebijakan pemberian IUPHHK. Semangat otonomi daerah memunculkan keinginan daerah untuk terlibat aktif dalam pengelolaan sumber daya hutan. Hal ini ditanggapi dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan Nomor 051/Kpts-II/2000 tentang Kriteria dan Standarisasi Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Perizinan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Alam Produksi. Berdasarkan keputusan ini, Gubernur dan Bupati/Walikota diberi wewenang dalam proses pemberian perijinan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan dalam bentuk IUPHHK. Akan tetapi sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, maka pemberian IUPHHK pada hutan alam dan hutan tanaman menjadi kewenangan Menteri Kehutanan berdasarkan Rekomendasi Bupati/Walikota dan Gubernur. Konsekuensi diterbitkannya PP No. 34 Tahun 2002, maka diterbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 541/Kpts-II/2002 yang mencabut Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 051/Kpts- II/2000. Dalam konteks Papua, semangat desentralisasi di Papua disambut dengan terbitnya Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor 522.1/1401 tanggal 04 Agustus 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan HPHH Masyarakat Hukum Adat. Penerbitan surat keputusan ini mengacu pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 317/Kpts- II/1999 tanggal 7 Mei 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal Hutan Produksi dan Surat Keputusan Dirjen PH Nomor 199/Kpts/VI-SET/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal Hutan Produksi. Kebijakan yang diambil oleh Dinas Kehutanan inilah yang menjadi dasar oleh masyarakat adat untuk mengajukan IPK-MA melalui wadah KOPERMAS. Pada Tahun 2002 dalam rangka menjalankan amanah otonomi khusus, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua menerbitkan Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor KEP.522/1648 tanggal Selengkapnya dapat dibaca pada Devolusi dan Undang-Undang Kehutanan Baru Indunesia oleh Wollemberg dan Kartodihardjo dalam Buku Kemana harus Melangkah? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Selengkapnya mengenai beberapa peraturan perundangan dan kebijakan dalam pengelolaan hutan yang mencerminkan semangat desentralisasi disajikan dalam tabel pada Lampiran 1 22

24 Agustus 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat/Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat. Penerbitan SK ini mengacu pada Surat Edaran Gubernur Provinsi Papua Nomor 522.2/3386/SET tanggal 22 Agustus 2002 tentang Pengaturan Pemungutan Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Adat. Akan tetapi pada tahun 2003, melalui Surat Menteri Kehutanan Nomor 112/VI-PHA/2003 Menteri Kehutanan meminta penangguhan pemberlakukan IPK-MA. Dan sejak akhir tahun 2004, Dinas Kehutanan Provinsi Papua menyatakan bahwa IPK-MA tidak beroperasi lagi. Melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.07/Menhut-II/2005, pengelolaan hutan masyarakat adat melalui IPK-MA KOPERMAS dihentikan seluruhnya. 22 Kemudian terbit Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan sebagai pengganti PP Nomor 34 tahun Diharapkan melalui PP pengganti ini, konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, konflik kepentingan antara pengusaha dengan masyarakat adat dapat teratasi. Khususnya bagi pengelolaan hutan alam produksi, dengan lahirnya PP ini diharapkan paradigma pengelolaan hutan berbasis sumberdaya dan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat dapat terimplementasikan secara efektif menuju pencapaian tujuan pengelolaan hutan lestari dan berkelanjutan. Dalam peraturan pemerintah tersebut diatur pula kewenangan pemberian izin industri primer hasil hutan. Khusus untuk izin usaha industri penggergajian kayu dengan kapasitas produksi sampai dengan meter kubik per tahun dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi. Peluang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan industri kayu rakyat dalam kerangka pemberdayaan ekonomi kerakyatan di sektor Kehutanan 23. Untuk itu pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2008 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan (IUIPHH). Berdasarkan peraturan ini Gubernur dan atau Bupati/Walikota diberi kewenangan untuk memberikan izin IUIPHHK sampai dengan kapasitas meter kubik per-tahun dan skala industri kecil yang memiliki tenaga kerja kurang dari 50 orang. Dengan alas kewenangan ini, pemerintah daerah Papua mengembangkan dan memberdayakan masyarakat melalui IUPHHK-MHA dan IUIPHHK-MHA untuk hutan adatnya. Dampak dari ketegangan terkait pemberian kewenangan pemerintah daerah dalam hal pemberian izin pengelolaan hutan, khususnya di Papua, menghasilkan konflik kewenangan yang berkepanjangan dan konflik terkait akses masyarakat adat dalam mengelola hutan adatnya yang akhirnya hanya menuai kemiskinan di atas kekayaan hutannya sendiri. Dengan kata lain, ketegangan ini menjadi hambatan bagi pemerintah daerah untuk 22 Lebih jelasnya mengenai hal ini dijelaskan pada Boks tentang Kasus IPK-MHA di Provinsi Papua pada Bagian III Sub Bagian Salah satu landasan legitimasi yang digunakan oleh Tokede, et.all Dalam mengusulkan salah satu model PHMA yang diusulkan untuk Papua pada era desentralisasi. 23

25 mewujudkan tanggung jawabnya dalam memberikan pengakuan dan pemberdayaan hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat di wilayahnya. Dinamika perubahan kebijakan pengelolaan hutan di provinsi Papua terus berlanjut. Setelah penangguhan IPK-MA dan pencabutan kewenangan Gubernur dan Bupati/Walikota dalam penerbitan IUPHHK pada tanggal 22 Desember 2008 sesuai mandat UU No 21 tahun 2001, pasal 38 yaitu : 1. Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan. 2. Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus. Maka pemerintah Provinsi Papua menerbitkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua 24 yang didukung juga dengan keberadaan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. 25 Kebijakan baru kehutanan di Papua ini menjadi tonggak sejarah baru dalam pengelolaan hutan berkelanjutan di Papua ke depan. Gubernur Papua Barnabas Suebu menyatakan bahwa : 24 Beberapa pertimbangan penerbitan Perdasus tersebut antara lain: a. Pengelolaan hutan di Provinsi Papua selama ini belum meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, khususnya MHA Papua dan belum memperkuat fiskal pemerintah di Provinsi Papua; b. Hutan di Provinsi Papua wajib dimanfaatkan secara bijaksana bagi kesejahteraan umat manusia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang; c. Dengan diberlakukannya otonomi khusus bagi Provinsi Papua, negara dan rakyat Indonesia mengakui, menghormati dan menghargai hak-hak MHA Papua atas sumber daya alam termasuk sumber daya hutan 25 Sayangnya Perdasus Nomor 23 Tahun 2008, substansinya sama sekali tidak mengatur hakhak MHA atas kawasan hutan yang berada dalam wilayah hukum adatnya, termasuk sistem penguasaan dan kepemilikan serta hak-hak pengelolaannya. Perdasus ini lebih banyak mengatur hak kepemilikan tanah masyarakat hukum adat dan sistem pengalihan hak atas tanah baik tanah komunal maupun tanah milik. Seharusnya dalam perdasus inilah prinsip afirmatif secara optimal berperan dalam pengakuan hak-hak masyarakat adat Papua dituangkan. Hak ulayat MHA adalah masalah/beban (sebagai penyebab penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan lahan, dan peningkatan konflik) ketimbang modal budaya yang dapat dikembangkan menjadi modal pokok masyarakat adat Papua dalam meningkatkan taraf kehidupannya. Niat baik pengakuan hak ulayat masyarakat yang tertuang dalam perdasus No. 23 tahun 2008 bisa bermuara pada penihilan yang akan mengarah pada pengakuan negatif. Lebih lanjut mengenai hal ini dapat diperiksa pada Catatan atas perdasus Nomor 23 tahun 2008 tetang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan masyarakat Hukum Adat Tanah oleh R. Yando Zakaria, KARSA, Yogyakarta. 24

26 Papua mempunyai aturan kebijakan pengelolaan hutan di Papua, dimana kepemilikan hutan yang selama ini dikuasai oleh negara maka saat ini kepemilikan itu dikembalikan kepada masyarakat adat Papua dan pengaturannya yang lestari akan dilaksanakan bersama pemerintah daerah 26 Permasalahan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi MHA Papua menjadi salah satu isu yang dominan dalam perdasus ini. Hal ini tampak sekali dalam tujuan pengelolaan hutan berkelanjutan yang diatur dalam perdasus tersebut adalah untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan MHA Papua pada khususnya dan rakyat Papua pada umumnya. Dalam pasal 4 dari perdasus ini juga disebutkan bahwa Peraturan Daerah Khusus ini mengatur tentang keberpihakan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat. Beberapa klausul yang mengatur mengenai hal tersebut antara lain: Dalam Pasal 5 menyebutkan : Masyarakat hukum adat di Provinsi Papua memiliki hak atas hutan alam sesuai dengan batas wilayah adatnya masing-masing Pasal 9 juga mendukung dengan klausul : Dalam hal pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan oleh pihak lain, masyarakat hukum ada berhak o mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; o memberi informasi, saran serta pertimbangan dalam pemanfaatan hutan o memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan dan tanah miliknya akibat pemanfaatan kawasan hutan o memperoleh manfaat sosial dan ekonomi o menikmati lingkungan yang berkualitas dari kawasan hutan Pasal 11 perihal pemberian perlindungan, sebagai berikut : 1. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memberikan perlindungan atas hakhak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan 2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membentuk dan melaksanakan peraturan dan kebijakan yang berpihak dan memberdayakan masyarakat hukum adat untuk mencapai kemandirian. Pasal 32, ayat 2 : Pasal 31 : Masyarakat hukum adat berhak memanfaatkan kawasan hutan dan hasil hutan Pemanfaatan hutan oleh MHA dalam bentuk kegiatan usaha dapat dilaksanakan pada semua kawasan hutan sesuai jenis perizinan pada fungsi kawasan hutan 26 Disampaikan dalam Salah Satu Sesi pada Kongres Kehutanan IV, tahun

27 Dan Pasal 34 : Untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan berorientasi secara komersial, masyarakat hukum adat dapat membentuk badan usaha Selain itu, dalam Perdasus diatur pelarangan peredaran kayu bulat ke luar Papua, seperti yang dinyatakan oleh Gubernur Papua:...kalau dulu Papua adalah provinsi bahan baku karena hanya menyiapkan bahan baku untuk industri pengolahan kayu di Jawa,, maka sekarang dan ke depan sudah tidak lagi. Semua produk kayu log harus diolah di Papua untuk meningkatkan nilai tambahnya sebelum diperdagangkan antar pulau atau diekspor ke luar Papua 27 Hal tersebut diatur dalam Pasal 52 pada ayat 1 dan 2 : 1. Kayu bulat dan hasil hutan lainnya wajib di olah di Provinsi Papua untuk optimalisasi Industri Kehutanan, meningkatkan nilai tambah, menciptakan lapangan kerja, menambah peluang usaha, meningkatkan pengetahuan dan teknologi 2. Untuk menjamin keseimbangan ketersediaan bahan baku dan kapasitas industri, maka dibuat zona-zona industri perkayuan disesuaikan dengan daya dukung hutan. Pemerintah Provinsi Papua juga telah mengeluarkan Peraturan Pelaksanaan Perdasus melalui Peraturan Gubernur. Salah satunya adalah Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Peredaran dan Pengolahan Hasil Hutan Kayu, yang isinya sebagai berikut : Pada Pasal 2 ayat 1 dan 2 : 1. Setiap produksi kayu bulat yang berasal dari IUPHHK/IPK wajib di olah seluruhnya di wilayah Provinsi Papua, 2. IUPHHK/IPK wajib memiliki industri primer pengolahan hasil hutan kayu di Provinsi Papua dan atau bekerjasama dengan pemegang industri primer hasil hutan kayu di Provinsi Papua. Pada Pasal 3 ayat 1 dan 2 : 1. Peredaran hasil hutan kayu ke luar Provinsi papua hanya diperkenankan bagi hasil hutan kayu olahan. Kebijakan ini diperjelas lagi dalam Peraturan Gubernbur Nomor 12 Tahun 2010 Bab II Tentang Peredaran hasil Hutan 2. Setiap produksi kayu bulat yang berasal dari IUPHHK/IPK wajib di olah seluruhnya di wilayah Provinsi Papua. Berdasarkan hal tersebut, diharapkan kebijakan baru ini akan membuka ruang untuk peningkatan lapangan kerja, peningkatan nilai pajak daerah, meningkatkan keterampilan dan keahlian masyarakat adat Papua, yang pada akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat adat Papua ke arah yang lebih sejahtera. 27 Ibid Berbagai peraturan pelaksanaan dari Perdasus Nomor 21 Tahun

28 pun disiapkan oleh Pemerintah Provinsi Papua melalui Peraturan Gubernur, yang terdiri dari : Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Hutan Tanaman Rakyat Masyarakat Hukum Adat; Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2010 tentang Peredaran dan Pengolahan Hasil Hutan Kayu Peraturan Gubernur Nomor: 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA) 28 Peraturan Gubernur Nomor 14 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemanfaatan Kayu Limbah Pembalakkan Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2010 tentang Tata Cara Industri Primer Hasil Hutan kayu Rakyat Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemetaan Hutan Masyarakat Hukum Adat Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Peraturan Gubernur Nomor 18 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) di Provinsi Papua Peraturan Gubernur Nomor: 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara dan Prosedur Pemberian izin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan. Keseluruhan peraturan di atas dilahirkan atas amanat Otonomi Khusus maupun oleh peraturan nasional. Memperhatikan kondisi terkini dalam pengelolaan hutan di Provinsi Papua, berbagai regulasi dan kebijakan pusat terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Provinsi Papua belum sepenuhnya mengakomodir kekhususan sebagaiman yang diamanatkan oleh UU Nomor 21 Tahun Tarik ulur kewenangan perizinan antara pusat dan daerah telah menjadikan pemerintah daerah belum dapat menjalankan tanggung jawabnya untuk memberdayakan dan meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan pada era pasca desentralisasi dan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Lebih lanjut mengenai kesesuaian kebijakan nasional dengan kebijakan atas amanat otonomi khusus Papua ini dapat dilihat pada Bab Masyarakat adat diberi kesempatan untuk memperoleh IUPHHK-MHA dengan luasan 2000 ha sampai 5000 ha dengan syarat potensi jenis komersial minimal 20 m3/ha dengan limit diameter tebang >40 cm untuk hutan rawa dan >50 cm untuk hutan kering. IUPHHK- MHA diizinkan mengolah langsung kayu bulat di dalam hutan dengan menggunakan Portabel Sawmill setelah mendapat ijin Usaha Industri Penggergajian Kayu untuk skala produksi< 2000 m3/tahun dan m3/tahun. Peraturan Gubernur Nomor : 15 Tahun 2010 tentang tatacara Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Rakyat telah mengakomodir izin untuk industri kayu rakyat ini dengan masa waktu izinh 10 tahun sama dengan IUPHHK-MHA terutama yang memasok bahan baku dari usaha sendiri. Jenis produk yang diusahakan adalah sortimen gergajian, moulding dan flooring dan dapat dipasarkan secara lokal, regional dan ekspor. 27

29 2.3 Kelembagaan Kepengurusan Hutan Papua Pada awal tahun 1960an, kepengurusan hutan Papua berada dibawah Dinas Perekonomian Rakyat Sub Dinas Kehutanan. Kondisi ini terus bertahan hingga tahun 1974 pada saat terbentuk Dinas Kehutanan. Selanjutnya pada masa-masa awal pengusahaan hutan Papua yaitu pada tahun 1983 Kanwil Kehutanan sebagai representasi pemerintah pusat dibentuk. Lembaga ini terus bertahan hingga tahun 1997, kemudian dilikuidasi dan diintegrasikan dengan Dinas Kehutanan. Pada tahun 2008, Dinas Kehutanan Provinsi mengalami perubahan nomenklatur, yang disesuaikan dengan penambahan tanggung jawab untuk turut bertanggung jawab atas kawasan konservasi di Papua. Perubahan nomenklatur dari Dinas Kehutanan Provinsi Papua menjadi Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi serta pada saat bersamaan kebijakan pembentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (selanjutnya akan disingkat dengan KPH) diimplementasikan. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK. 481/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Provinsi Papua, di Provinsi Papua telah ditetapkan 56 unit KPH yang terdiri atas 31 unit KPHP dan 25 unit KPHL dan KPHK dengan luasan keseluruhan hektar atau 58,49% dari luas kawasan hutan di Provinsi Papua. Menurut Kepala Dinas Kehutanan dan Provinsi Papua, pada tahun 2012 ini seluruh hutan berada di wilayah Provinsi Papua sudah akan teregistrasi dalam wilayah KPH dan telah ditetapkan Unit KPH Model di Provinsi Papua. Berdasarkan Strategi Umum Pembangunan Kehutanan di Provinsi Papua, bahwa kepengurusan hutan diselenggarakan dan diintegrasikan dengan kelembagaan KPH. Pembentukan KPH di Provinsi Papua, bukan semata-mata menjalankan kebijakan pemerintah pusat melainkan sekaligus sebagai bentuk implementasi Perdasus tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Pembentukan KPH di wilayah Provinsi Papua merupakan amanat otonomi khusus. Pengaturan mengenai KPH, di dalam Perdasus 21 tahun 2008 dapat dijumpai pada Bab IV yang meliputi pasal 17 sampai dengan pasal 20. Dalam pasal 17 ayat (1) secara eksplisit disebutkan: Pelayanan pemerintah terdepan dan terdekat kepada masyarakat hukum adat dan pengguna hutan lainnya dilakukan melalui KPH. Hal tersebut adalah karena dalam unit-unit HPH dapat dialokasikan areal kelola bagi masyarakat hukum adat yang wilayahnya berada dalam unit KPH bersangkutan. Pada sisi lain, dengan model KPH pengorganisasian kawasan dalam unit-unit managemen tingkat tapak lebih pasti dan disesuaikan dengan fungsi dan tujuan pengelolaanya. Dinamika kelembagaan pengelolaan hutan di Papua ini diupayakan untuk mewujudkan tata kelola kehutanan yang lebih baik dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Sedangkan khusus kelembagaan pengelolaan hutan dalam kawasan hutan produksi, selengkapnya akan disajikan dalam sub bab berikut. 28

30 2.4 Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan di Provinsi Papua Kegiatan pemanfaatan hutan meliputi kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Kawasan hutan Produksi Papua yang telah dimanfaatkan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu berupa Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Perusahaan IUPHHK. Berdasarkan data BPPHP, di Provinsi Papua hingga Februari 2012 terdapat 26 unit IUPHHK-HA dengan luas areal konsesi ha. Jumlah ini jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan tahun 2007 yang berjumlah 34 unit dengan luas hutan hektar (daftar lengkap perusahaan IUPHHK-HA yang terdaftar di Provinsi Papua keadaan hingga Februari 2012 disajikan pada Lampiran 2, Tabel L2-1). Dari 26 unit IUPHHK-HA yang terdaftar tersebut yang aktif hanya 15 unit, dan yang tidak aktif (stagnasi) 9 unit. Sementara yang belum beroperasi sejumlah 2 unit. Jumlah unit IUPHHK-HA terbesar berada di Kabupaten Bovendigul sebanyak 6 unit dengan luas ha sedangkan pemegang terluas adalah PT Memberamo Alas Mandiri di Kabupaten Memberamo dengan luas areal hutan hektar. Selain IUPHHK-HA, terdapat pula IUPHHK-HT, terdiri atas 2 IUPHHK-HTI seluas ha dan 3 Unit IUPHHK- HTR dengan luas ,35 ha. Dari 2 unit IUPHHK-HTI yang ada kedua-duanya telah memperoleh SK Definitif begitu pula halnya dengan 3 unit IUPHHK-HTR. 29 Berdasar SK 71/Menhut-II/2009 di Kabupaten Biak Numfor terdapat ha areal pencadangan untuk IUPHHK-HTR dan berdasar SK 278/Menhut- II/2009 di kabupaten Nabire areal pencadangan untuk IUPHHK-HTR seluas hektar 30 (data selengkapnya dari IUPHHK-HT di Provinsi Papua disajikan pada Lampiran 2, Tabel L2-2). Di samping ke dua jenis IUPHHK tersebut terdapat pula Izin Pemanfaatkan Kayu (IPK) hasil land clearing areal hutan konversi untuk menjadi areal non kehutanan. Jenis izin ini berjumlah 6 unit dengan luasan areal ha. Khusus untuk tiga unit IUPHHK-HTR di Kabupaten Nabire, sekalipun telah memperoleh izin areal dari Menteri Kehutanan, namun hingga saat ini belum beroperasi (berproduksi). Alasannya adalah bahwa pemilik izin dalam hal ini Koperasi MHA tidak memiliki modal usaha dan belum ada mitra kerja yang akan berkolaborasi dengan masyarakat sebagai bapak angkat yang dapat membantu baik dalam bentuk modal usaha 29 Sumber: Laporan Kinerja BPPHP XVII Bulan Februari 2012 ( 30 Sumber: Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan, Dirjen Planologi Kehutanan

31 maupun peralatan Industri Primer Hasil Hutan Kayu Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) adalah pengolahan kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Jenis IPHHK, terdiri dari : industri penggergajian kayu, industri serpih kayu, industri kayu lapis, industri LVL (laminated veneer lumber), dan industri veneer. Industri primer tersebut, termasuk industri primer yang dibangun dengan industri kayu lanjutannya (integrated wood industry) yang menggunakan bahan baku kayu bulat dan/atau kayu bulat kecil. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) adalah izin untuk mengolah kayu bulat dan atau kayu bulat kecil menjadi satu atau beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang diberikan kepada satu pemegang izin oleh pejabat yang berwenang. IUIPHHK ini diatur dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2008 jo P.9/Menhut- II/2009. Berdasar peraturan tersebut, penerbitan IUIPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan (enam ribu) meter kubik per-tahun merupakan kewenangan Gubernur. Gubernur dapat melimpahkan kewenangan penerbitan IUIPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan (dua ribu) meter kubik per-tahun kepada Bupati/Walikota. Saat ini, IUIPHHK dengan kapasitas produksi s/d m 3 per tahun di Provinsi Papua yang aktif sebanyak 28 unit dan yang tidak aktif sebanyak 2 unit. Industri-industri tersebut tersebar di lima Kabupaten Provinsi Papua, dengan perincian di Kabupaten Jayapura 15 unit, Kabupaten Keerom 3 unit, Kabupaten Sarmi 2 unit, Kabupaten Nabire 7 unit, Kabupaten Timika 1 unit. Dua unit industri yang tidak aktif berproduksi masing masing satu unit di Jayapura dan satu unit di Keerom. Sedangkan penerbitan IUIPHHK kapasitas produksi diatas (enam ribu) meter kubik per-tahun berada merupakan kewenangan perizinan oleh Menteri Kehutanan. Jumlah Industri Primer Hasil Hutan Kayu di Provinsi Papua Tahun 2010 dengan kapasitas produksi diatas m 3 /thn sebanyak 6 unit (daftar selengkapnya disajikan pada Lampiran 2, Tabel L2-3). Produksi kayu olahan pada tahun 2010 berdasarkan data Laporan Produksi yang dikirimkan ke BPPHP Wilayah XVII Jayapura adalah sebesar 499, m³, dimana 459, m³ diproduksi oleh IUIPHHK dengan kapasitas produksi > 6000 m³ per tahun dan 40, m³ diproduksi oleh IUIPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan 6000 M³ per tahun. Produksi Kayu Olahan terbesar dalam bentuk Plywood yaitu sebesar ,79 m³, produk Chips ,02 m³, Sawn Timber sebesar ,72 m³ dan Veneer sebesar 8.654,70 m³. Produksi kayu olahan terbesar dihasilkan oleh PT. Sinar Wijaya Plywood Industry di Kabupaten Kepulauan Yapen yaitu sebesar ,48 m³. 31 Hasil interview dengan Kabid Potensi Hutan (Bpk Natzir Mutari) Dinas Kehutanan Nabire, 19 April

32 2.5 Tata Niaga Hasil Hutan Kayu Berdasar buku Statistik BPPHP Wilayah XVII Jayapura kayu bulat yang dihasilkan dari hutan alam (IUPHHK-HA dan IPK) Provinsi Papua pada tahun 2010 adalah sebesar ,01 m 3 dengan rincian produksi per jenis kayu sebagai berikut : untuk jenis kayu Merbau sebesar ,75 m 3 ; kelompok Meranti sebesar ,17 m 3 ; kelompok Rimba Campuran sebesar ,98 m 3 dan untuk kelompok Kayu Indah sebesar 2.712,11 m 3. Jika dibandingkan dengan produksi kayu bulat tahun-tahun sebelumnya, terjadi penurunan yang sangat tajam. Dinas Kehutanan Papua melaporkan produksi kayu bulat (log) secara berangsung-angsur mengalami penurunan sejak tahun 2002 hingga 2007 dari ,84 m 3 hingga menjadi ,99 m 3. Penurunan ini disebabkan banyaknya IUPHHK-HA yang tidak beroperasi lagi (stagnasi) dan juga sebagai akibat dari kebijakan untuk tidak menjual lagi kayu bulat keluar Papua dan kewajiban bagi pemegang IUPHHK untuk membangun IPHHK untuk mengolah kayu log menjadi kayu olahan sesuai dengan izin yang dimiliki. Sebagai penjelasan, pemerintah Provinsi Papua sesuai dengan semangat Otonomi Khusus yang dituangkan dalam Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua khususnya Pasal 52 dan peraturan pelaksananya 32 telah menetapkan untuk meniadakan peredaran kayu bulat ke luar Papua. Dengan ini secara praktis dan legal semua kayu bulat yang bersumber dari Hutan Alam Produksi melalui IUPHHK/IPK hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pemenuhan bahan baku industri. Namun tidak demikian halnya dengan Provinsi Papua Barat, karena peredaran kayu bulat yang berasal dari IUPHHK/IPK di Provinsi Papua Barat masih diperbolehkan dengan prosentase tertentu, sampai industri primer hasil Hutan mampu mengolah semua kayu bulat yang diproduksi. Perbedaan kebijakan ini menjadikan kemungkinan masih ada kayu bulat yang secara ilegal keluar dari Provinsi Papua melalui Papua Barat. Modusnya adalah kayu bulat itu dikirim untuk memenuhi bahan baku industri perkayuan di Sorong, Provinsi Papua Barat. Setelah tiba di Sorong, perusahaan IUPHHK pemasok bahan baku kayu bulat tersebut merubah dokumen SKSKB seakan-akan kayu bulat tersebut adalah hasil produksinya (terutama dari jenis Merbau). Kayu tersebut kemudian dikirimkan antar pulau dengan tujuan di beberapa daerah di luar Papua. Sebagai gambaran perdagangan kayu bulat merbau asal Papua tahun berdasarkan Laporan Peredaran Kayu BSPHH Wilayah XVII, disebutkan bahwa berdasarkan Lembar 3 SKSHH diketahui seluruh kayu bulat hanya beredar di dalam negeri, yaitu untuk kebutuhan lokal Papua dan perdagangan antar pulau. Sebanyak 64,14 % jumlah kayu bulat merbau yang 32 Dalam hal ini yang terkait langsung adalah yaitu Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2010 tentang Peredaran dan Pengolahan Hasil Hutan Kayu khususnya pasal 2, Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha pemanfaatan Hasil Hutan kayu masyarakat Hukium Adat (IUPHHK-MHA), Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2010 tentang tatacara Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Rakyat 31

33 diperdagangkan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir diperuntukkan untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri yang ada di Papua, termasuk Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat). Sisanya sebesar 35,86% diperdagangkan antar pulau dengan tujuan utama Jawa Timur, Maluku, Kalimantan dan Jakarta. Ke-empat daerah tujuan tersebut diketahui sebagai daerah pusat industri perkayuan (penggergajian kayu) di Indonesia. Pada tahun 2003, berdasarkan Laporan BSPHH Wilayah XVII, bahwa negara tujuan ekspor kayu olahan asal Tanah Papua adalah Jepang, Korea, Saudi Arabia, Kuwait, Dubai, Doha, Dammam, Bahrain dan Jeddah dengan total volume eksport ,93 m 3. Sebagian besar kayu olahan yang diekspor dengan negara tujuan teraebut adalah jenis produk Kayu Lapis (Plywood). Sedangkan untuk tujuan peredaran antar pulau dengan tujuan kebutuhan lokal, Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi (Makasar), Maluku dan Sumatera dengan volume ,98 m3. Jenis produk kayu olahan adalah Kayu Lapis (Plywood) dan sortimen kayu gergajian (Sawn Timber). Sortimen gergajian ini umumnya jenis merbau. Tata niaga kayu gergajian untuk pemenuhan lokal umumnya berasal dari Industri Kayu Rakyat yang langsung dijual ke konsumen atau melalui depot-depot penjualan kayu atau ke industri meubel. Sedangkan bila dikirim antar pulau, umumnya bersumber dari Industri Kayu Limbah dan Indutri Kayu Rakyat melalui Industri Primer Hasil Hutan Kayu sebagai penampung. Kayu-kayu olahan setengah jadi produksi masyarakat selanjutnya diolah kembali menjadi sortimen tertentu (sesuai pesanan), kemudian diperdagangkan ke luar Papua. Selengkapnya mengenai hal ini akan disajikan pada Bagian 3. Berdasarkan peredaran dan tata niaga kayu yang diuraikan di atas maka SVLK dipandang sebagai suatu hal penting untuk diterapkan ke depan. Dengan demikian penting untuk mempersiapkan agar SVLK dapat diimplementasikan dan dipenuhi oleh semua pelaku usaha baik pemegang izin konsesi maupun izin industri primer dan industri lanjutan, termasuk izin kios penyalur dan mebel. Bagaimana dengan IUPHHK-MHA dan IUIPHHK- MHA? Selengkapnya untuk menjawab pertanyaan ini akan disajikan dalam bagian berikutnya. 32

34 Bagian III ANALISIS PEMANGKU KEPENTINGAN DAN PROBLEM PENGELOLAAN HUTAN LESTARI DI PAPUA 3.1 Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Hutan Lestari di Papua Identifikasi dan analisis pemangku kepentingan kehutanan ini dilakukan dengan pendekatan Analisis Kwadran 33. Analisis kwadran ini dimaksudkan untuk mengenali peran kunci yang dimainkan oleh pemangku kepentingan dalam rangka mengimplementasikan sebuah program. Tujuan dari analisis ini adalah mengetahui kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan. Dari sini akan terlihat siapa yang paling perlu diakomodasikan dalam rangka perencanaan dan implementasi program terkait penfelolaan hutan lestari di Provinsi Papua Berdasarkan pendekatan ini maka pihak-pihak yang terlibat di dalam pengelolaan hutan di Papua dibagi penjadi 4 (empat) kelompok, yaitu 1. Kwadran 1 pihak yang memiliki kepentingan tinggi dan power rendah 2. Kwadran 2 pihak yang memiliki kepentingan tinggi dan power tinggi 3. Kwadran 3 pihak yang memiliki kepentingan rendah tetapi power tinggi 4. Kwadran 4 pihak yang memiliki kepentingan rendah dan power rendah Analisis Kwadran ini dilakukan dalam diskusi bersama-sama pemangku kepentingan yang menjadi rangkaian dalam proses assessment. Dalam diskusi ini diidentifikasi siapa saja yang menjadi pemangku kepentingan dan diposisikan dimana dalam sebuah gambar kwadran. Hasil analisis kwadran disajikan pada gambar 3 : 33 Bahan bacaan terkait analisis ini adalah Reed, et.all (2009) 33

35 Gambar 3 Hubungan Antar Aktor yang Terlibat dalam Pengelolaan Hutan di Papua I II IV III Identifikasi Pemangku Kepentingan Berdasarkan identifikasi dengan pendekatan analisis kwadran tersebut tampak bahwa pada kwadran I dan II adalah kelompok pemangku kepentingan yang tergolong sebagai subyek dan aktor utama dalam mengimplementasikan perdasus kehutanan di Provinsi Papua atau disebut dengan pemangku kepentingan primer. Kelompok pemangku kepentingan ini adalah pihak-pihak yang sangat berkepentingan tinggi dengan tingkat kekuasaan rendah sampai tinggi. Sedangkan pihak-pihak yang berada pada kwadran III dan kwadran IV adalah kelompok pemangku kepentingan pendukung implementasi perdasus kehutanan dari aspek politik, pendanaan dan pendampingan, atau disebut dengan pemangku kepentingan sekunder. Kelompok pemangku kepentingan ini sekalipun memiliki kepentingan rendah, namun memiliki kekuasaan yang rendah sampai tinggi untuk mendukung implementasi pengelolaan hutan di Provinsi Papua. Semua kelompok pemangku kepentingan ini diharapkan memiliki pemahaman bersama mengenai perdasus kehutanan di Provinsi Papua sebagai kebijakan pengelolaan hutan yang ditujukan untuk mengimplementasikan pengelolaan hutan yang secara murni memiliki keberpihakan pada masyarakat hukum adat dan keberlanjutan kelestarian hutan Papua. Penjelasan lebih lanjut dua kelompok besar di atas adalah sebagai berikut : a. Pemangku Kepentingan Primer Pihak-pihak yang tergolong sebagai subyek dan sekaligus aktor utama dalam pengelolaan hutan di Provinsi Papua berkenaan dengan implementasi perdasus kehutanan adalah para pemegang izin konsesi, izin Industri dan kios penyalur kayu/depot kayu, masyarakat hukum 34

36 adat (MHA), tokoh adat, Menteri Kehutanan, Gubernur, Bupati/Wali Kota, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. Pemangku kepentingan primer yang berperan sebagai subyek, yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan tinggi tetapi kekuasaan yang terbatas untuk pengambilan keputusan. Pihak-pihak ini adalah pelaksana teknis pengelolaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan yang diberi izin oleh pemerintah. Pemangku kepentingan primer yang berperan sebagai pelaku kunci pengelolaan hutan, yaitu pihakpihak yang memiliki kepentingan besar dan memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan dalam proses pengelolaan hutan. b. Pemangku Kepentingan Sekunder Pihak-pihak yang tergolong dalam pemangku kepentingan sekunder ini terbagi dua, yaitu pertama, pihak-pihak yang memiliki kepentingan rendah tetapi memiliki kekuasaan yang besar dalam proses pengambilan keputusan politik dan penganggaran serta regulasi/kebijakan terkait dengan pengelolaan hutan di Provinsi Papua. Kedua, pihak-pihak yang memiliki kepentingan rendah dan kekuasaan rendah dalam implementasi perdasus. Pihak-pihak ini umumnya berperan sebagai pendamping teknik, pengamanan dan membantu dalam proses penegakan hukum serta berperan pendamping dalam proses pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan lestari dengan mengimplementasikan perdasus kehutanan Peran dan Fungsi Pemangku Kepentingan Untuk merealisasikan Perdasus Kehutanan, dan peraturan teknis turunannya serta kaitannya dengan implementasi SVLK tentunya masih memerlukan prakondisi dan sosialisasi dengan mengacu pada dasar pemikiran berikut: 1) pelaku utama/subyek adalah masyarakat adat yang tidak memiliki kapasitas yang cukup baik dari segi teknis kehutanan maupun segi kelembagaan (ekonomi dan sosial), 2) tujuan akhir yang diharapkan adalah kesejahteraan masyarakat adat, maka harus berorientasi pada pengembangan ekonomi jangka panjang yang tidak lain menuntut kemandirian masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adatnya, 3) semua pelaku utama harus ikut serta dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Pemahaman bersama antar pemangku kepentingan baik utama maupun pendukung tentang perdasus kehutanan dan peraturan teknis turunannya serta peraturan nasional terkait dengan kriteria dan indikator SVLK masih dibutuhkan dan sunguh-sungguh dipersiapkan dengan baik. Mengacu kepada kebutuhan pemahaman bersama terhadap pengakuan hak masyarakat dalam pengelolaan hutan sesuai dengan amanat perdasus 35

37 kehutanan dan peraturan tenis turunannya, maka strategi yang harus dijalankan disarankan sebagai berikut : Masyarakat adat diberikan hak sepenuhnya untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutannya, sedangkan pemerintah bertindak sebagai regulator, motivator dan evaluator. 2. Masyarakat diberikan hak sepenuhnya menentukan apakah hutan akan dikelola sendiri atau bekerjasama dengan pihak luar /pemodal. Bentuk pendekatan pengusahaan adalah Silvo Bisnis (Usaha Kehutanan), dimana hutan adatnya dikelola tidak hanya untuk produksi kayu saja, tetapi juga hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan dapat diusahakan sekaligus dalam areal hutan adatnya. 3. Menerapkan sistem silvikultur yang dapat menjamin kelestarian hasil dan kelestarian lingkungan. Strategi ini diterapkan melalui pengaturan dan penataan areal, pengaturan panenan untuk periode produksi tertentu. 4. Meningkatkan kapasitas masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan serta pendampingan terutama pada aspek manajemen bisnis dan pengetahuan teknis kehutanan. Strategi ini ditempuh melalui peningkatan peran instansi teknis, LSM dan akademisi untuk memberdayakan dan membangun kapasitas masyarakat ke arah kemandirian. 5. Meningkatkan keterlibatan masyarakat adat dalam kegiatan usaha. Strategi ini ditempuh dengan mewajibkan pengusaha swasta atau investor yang bekerjasama dengan masyarakat adat untuk melibatkan secara aktif dalam seluruh kegiatan dan memposisikan masyarakat setara. 6. Meningkatkan pemahaman dan membangun koordinasi yang lebih baik antara Gubernur, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten, Bupati, Tokoh Adat dan MHA, dengan tetap memperhatikan kewenangan masing-masing pihak. Demikian pula koordinasi antara intansi teknis terkait perlu ditingkatkan terutama dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi dari regulasi sektoral. Peran pemangku kepentingan baik primer maupun sekunder yang terindentifikasi pada Gambar 3 dideksripsikan seperti pada tabel berikut : 34 Tokede, et.all Pengelolaan Hutan Alam Lestari Berkeadilan : Implementasi Pengelolaan Hutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat Adat. Fakultas Kehutanan Unipa, Manokwari 36

38 Tabel 5 Peran dan Fungsi Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Hutan di Provinsi Papua Dalam Rangka Implementasi Perdasus dan SVLK Pemangku No. Fungsi Peran Kepentingan 1. Koperasi Masyarakat 2. Kepala Suku/Ketua Adat/Ketua Klan 3. Masyarakat Adat/Kelompok Marga 5. Lembaga Musyawarah Adat/Dewan Adat 6. Pemerintah, Pemerintah Daerah/Intansi Teknis Terkait dan Legislator Organisasi usaha ekonomi masyarakat Representasi masyarakat adat Wadah masyarakat adat untuk berperan dalam pengelolaan hutan di wilayah hukum adat Mewakili masyarakat adat dalam pengambilan keputusan Menyelesaikan konflik horizontal dalam marga Pemilik hutan adat Pemilik hutan adat/marga Anggota pemilik hutan adat/marga Lembaga Representasi Masyarakat adat Regulator, Fasilitator, Pengontrol dan Evaluator pelaksanaan pengelolaan hutan oleh masyarakat adat dan investor Penyediaan Anggaran/Pendanaan Sarana untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat adat atas sumberdaya hutannya Wadah untuk mengorganisasikan dan mendistribusikan manfaat yang diperoleh kepada anggota masyarakat adat secara merata dan berkeadilan Pengambil keputusan tertinggi dalam suku, kelompok marga dan marga Memberi pertimbangan dalam kemitraan masyarakat adat dan pihak ke tiga (luar) Menyuarakan pendapat masyarakat adat Legitimasi areal hutan adat Menentukan subyek dan obyek hak adat Merumuskan dan memutuskan pemanfaatan sumberdaya hutan dan mendistribusikan manfaat kepada masyarakat adat/anggota marga Memberi pertimbangan dan persetujuan pola pemanfaatan dan pendistribusian manfaat kepada anggota masyarakat adat Wadah penyaluran aspirasi masyarakat adat Merumuskan, menetapkan dan mensosialisasikan perturan dan kebijakan dalam pengelolaan hutan masyarakat adat Memberikan pertimbangan dan penyediaan pengganggaran Memberi dan menolak permohonan ijin usaha pengelolaan hutan oleh masyarakat adat Menfasilitasi dan memonitoring kemitraan masyarakat adat dengan investor Monitoring dan evaluasi 37

39 7. Investor/Mitra Kerja/Swasta/ Pemegang Izin Konsesi 8. LSM, Akademisi dan lembaga penelitian 9. Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan TNI) Membawa modal dan teknologi profesional pengelolaan hutan Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan hutan lestari (IUPHHK- MHA, PHPL, SVLK) Menyelenggarakan penegakan hukum Pengamanan dan perlindungan masyarakat Pengamanan aset negara pelaksanaan ijin usaha pengelolaan hutan oleh masyarakat adat Pelaksana pengelolaan dan pengusahaan hutan Sumber pajak pengelolaan dan pengusahaan hutan Pelaksana reboisasi dan rehabilitasi hutan paska izin usaha Perumusan model pengelolaan hutan masyarakat adat yang lebih sesuai dengan kondisi oyektif wilayah Pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat adat Fasilitator bagi masyarakat adat dan pemerintah (advokasi) Pelaksana Pelatihan teknis PHPL dan SVLK Menyelenggarakan penuntutan hukum Melaksanakan penyidikan pelanggaran pidana Melaksanakan bantuan pengamanan Fungsi dan peran yang dideskripsikan tersebut akan dapat dijalankan secara optimal apabila selalu dilakukan koordinasi dan komunikasi secara terus menerus sejak perencanaan sampai pada evaluasi. Pemangku kepentingan primer yang berada pada Kwadran I dan II yang telah disebutkan di atas menjadi motor untuk melakukan koordinasi dan komunikasi sejak awal sehingga proses pengambilan keputusan berjalan demokratis, transparan dan berkeadilan. Membangun kapasitas masyarakat adat untuk menerapkan pengelolaan hutan secara lestari disadari tidaklah mudah. Strategi yang telah diuraikan di atas tentunya tidak dapat diimplementasikan bila tidak didukung oleh semua pemangku kepentingan. Untuk itu setiap pemangku kepentingan harus memerankan perannya secara optimal yang bersimpul pada tujuan menumbuhkan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang berkelanjutan. 38

40 3.2 Permasalahan Dalam Pengelolaan Hutan dan Penerapan SVLK di Papua Pengalaman pengelolaan hutan selama ini di Papua belum juga memberikan kabar yang menggembirakan, khususnya bila dilihat dari aspek pengelolaan hutan secara lestari. Walaupun kebijakan pemerintah Provinsi Papua mendukung terlaksananya pengelolaan hutan lestari namun dalam prakteknya masih jauh dari harapan. Di sisi lain, terdapat realita bahwa SVLK secara mandatory harus diimplementasikan di Papua dalam rangka mencapai pengelolaan hutan lestari. Berikut ini identifikasi permasalahan secara umum terkait pengelolaan hutan dan terkait implementasi SVLK ke depan di Papua : Permasalahan Terkait Harmonisasi Kebijakan Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana situasi terkini pengelolaan hutan di Provinsi Papua dalam rangka implementasi Undang- Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dimana terdapat sejumlah peraturan daerah khusus dan juga peraturan gubernur berkaitan dengan pengelolaan hutan Papua. Semangat dari Perdasus dan beberapa Peraturan Gubernur tersebut adalah menata pengelolaan hutan di Provinsi Papua untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua khususnya masyarakat hukum adat, menghormati dan menghargai hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat guna mencapai kesejahteraan dan kemandirian. Sebagai peraturan dan kebijakan yang bersifat khusus sudah tentu ada hal-hal yang sesuai dengan kebijakan nasional tetapi tentu juga tidak bisa dihindari beberapa perbedaan sebagai implikasi dari sifat khusus tersebut yang menyebabkan ketidakhamonisan kebijakan. Hal ini disebabkan karena Departemen Kehutanan Republik Indonesia masih tetap berprinsip bahwa untuk Tata Kepengurusan Hutan di Indonesia tetap mengacu kepada undang-undang sektoral yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sedangkan Pemerintah Daerah Provinsi Papua berdiri pada prinsip bahwa undang-undang otonomi khusus bersifat lex specialis, sehingga segala hal tentang kewenangan-kewenangan terkait tata kepemerintahan dalam berbagai bidang, terkecuali lima kewenangan yang masih di urus oleh Pemerintah, sudah secara langsung diurus oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua. Untuk lebih jelasnya, karakter-karakter khusus pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Provinsi Papua pada era Otonomi Khusus yang menjadi sumber ketidakharmonisan dideskripsikan 35 Pemetaan permasalahan ini diperoleh berdasarkan hasil Focus Group Discussion yang melibatkan pemangku kepentingan kunci dalam pengelolaan hutan di Papua. FGD yang diselenggarakan pada tanggal 3-4 April 2012 di Hotel Aston Jayapura ini sendiri merupakan bagian dari rangkaian proses assessment. Selengkapnya mengenai hasil FGD, khususnya terkait pemetaan permasalahan yang dirumuskan oleh pemangku kepentingan kunci dapat dilihat pada Lampiran 3 39

41 secara singkat pada tabel berikut : Tabel 6 Karakter Khusus Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan di Provinsi Papua era Otonomi Khusus Bentuk-Bentuk Pengusahaan Nasional IUPHHK-HA IUPHHK-HTI IUIPHHK-KR IUI TDI HKm HD HTR Papua 1. IUPHHK- MHA 2. IUPHHHTR- MHA 3. IUIPHHK- MHA Kebijakan Daerah Pendukung Perdasus No. 21/2008, Perdasus,No.23/ 2008 Pergub.No.11/2010 Pergub No. 12/2010 Pergun. No. 16/2010 Ketidakharmonisan Dengan Kebijakan Pusat Kewenangan Pengurusan Sumber penerimaan Negara Hubungan Pusat dan daerah Mekanisme Perizinan dan Pengawasan Pusat, Cq. Meteri Kehutanan, atas Pertimbangan teknis Dinas Kehutanan Provinsi, Kab. Kota Gubernur cq. Dinas kehutanan Provinsi, Verifikasi Pusat. Pergub. No.13/2010 Pergub. No. 15/2010 Pergub. 17 /2010 Pergub,No.19/2010 Kewenangan perizinan Tanggung jawab pengawasan Penetapan kriteria dan indikator Keterlibatan Masyarakat Tata Niaga Obyek Pengelolaan Hutan Negara/ Pemegang Izin SI-PUHH On Line/Mannual (SKSHH hutan Negara SAK- KB/ Cap Kalok,/Cap KR);SAK-KO Hutan Hak- SKAU (FakKB/FAKO) Pemilik Hutan Adat, Subyek/ Pelaku Utama Pengelolaan SI-PUHH On Line/Manual SKSHH hutan Negara SAK- KB/ Cap Kalok,/Cap KR);SAK-KO Hutan Hak-SKAU (FakKB/FAKO Masyarakat Asli Papua Koperasi Bermitra Pergub. No. 12/2010 Kepemilikan Kepentingan dengan swasta Keabsahan Verifier PHPL dan VLK Berdasarkan tabel di atas, tergambar sejumlah ketidakharmonisan kebijakan di tingkat nasional dengan kekhususan Papua yang berpotensi konflik ke depan. Untuk lebih detailnya, sebagai contoh kecil ketidakharmonisan terkait pengelolaan hutan oleh masyarakat. Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan menyusun sejumlah kebijakan dengan mengaju pada PP Nomor 6 tahun 2007 sebagaimana diatur pada Bagian Kesebelas mengenai Pemberdayaan Masyarakat Setempat. Pada bagian kesebelas ini, mulai dari pasal 83 sampai dengan pasal 99 diatur mengenai bagaimana pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui tiga skema pengelolaan yaitu melalui Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (Hkm) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) Kemitraan. Sejumlah peraturan menteri kehutanan untuk mengatur hal tersebut juga sudah diterbitkan. Namun demikian dalam skema tersebut, hak adat atas hutan dalam wilayah 40

42 masyarakat hukum tidak diakui, bahkan disebutkan bahwa baik skema hutan desa, hutan kemasyarakan maupun HTI kemitraan semuanya adalah hutan Negara yang pengelolaannya diserahkan pada Lembaga Desa, Perorangan, Kelompok Masyarakat Adat dan /atau Bermitra Dengan Masyarakat Adat 36 Persepsi pemerintah ini bertentangan dengan persepsi pemerintah daerah dan MHA dengan kata lain pandangan UU Nomor 41 Tahun 1999 tidak sesuai dengan semangat UU Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 dan Perdasus Nomor 21 tentang Kehutanan. Hal inilah yang dikuatirkan menjadi sumber konflik kewenangan perizinan dan pengawasan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Keberpihakan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat yang secara normatif termuat dalam Perdasus Kehutanan Provinsi Papua disebutkan dalam pasal 5, sebagai berikut : Masyarakat hukum adat memiliki hak atas hutan alam sesuai dengan batas wilayah adatnya masing-masing Selanjutnya dalam pasal 8 juga disebutkan bahwa : Masyarakat hukum adat berhak mengelola dan memanfaatkan hutan yang berada di dalam wilayah hukum adatnya. Sebenarnya tidak ada pengaturan secara khusus bentuk-bentuk pemberdayaan seperti yang diatur dalam PP 6 tahun Hal ini mengandung arti bahwa dalam rangka perlindungan hak-hak MHA dan pemberdayaan MHA segala bentuk pemanfaatan hasil hutan yang diatur melalui perdasus ini dimungkinkan untuk dilakukan oleh MHA. Berdasarkan Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 dan sejumlah Peraturan Gubernur tersebut, model pemanfaatan hutan yang khusus untuk Provinsi Papua adalah : Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Tanaman Rakyat Masyarakat Hukum Adat (IUPHHHTR-MHA), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA), Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) dan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUIPHHK-MHA). Hal ini berbeda dengan model pengusahaan yang diakomodir dalam kebijakan nasional. Beberapa perbedaan antara model pemanfaatan hutan kebijakan nasional dengan kebijakan pengelolaan khusus Papua dapat dicermati dalam tabel berikut : Tabel 7 Perbandingan Kebijakan Terkait IUPHHK HA/HTI/RE dengan IUPHHK-MHA Dasar Kebijakan Kebijakan Nasional Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No : P.50/Menhut-II/2010 tentang Tata Kebijakan Khusus Papua Pergub Papua No 13 tahun 2010 tentang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat di 36 Sebagaimana didefinisikan dalam penjelasan umum Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemesyarakatan dan Permenhut No: P.48/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. 41

43 Cara Pemberian dan Perluasan Areal Provinsi Papua Kerja IUPHHK dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, atau IUPHHK HTI Pada Hutan Produksi. Bentuk Izin IUPHHK HA/HTI/RE IUPHHK MHA Lokasi Pemohon Penerbit SK Kawasan hutan produksi yang tidak dibebani izin/hak Untuk IUPHHK-HTI dan RE diutamakan pada hutan produksi yang tidak produktif Pencadangan/penunjukan oleh Menteri Untuk IUPHHK HA/HTI/RE pemohon adalah Perorangan; Koperasi; Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMSI); Badan Usaha Milik Negara (BUMN); atau Badan Usaha Milik Daerah. Khusus untuk HTI, pemohon perorangan tidak diperbolehkan. Menteri Kehutanan dengan Rekomendasi dari Gubernur. Rekomendasi Gubernur didasarkan pada: Pertimbangan Bupati/ Walikota yang didasarkan pada pertimbangan teknis Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, bahwa areal dimaksud tidak dibebani hak-hak lain; Analisis fungsi kawasan hutan dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan, yang berisi fungsi kawasan hutan sesuai Luas Areal ha Pengolahan hasil hutan kayu IUIPHHK di dalam areal kerja dapat diberikan kepada pemegang IUPHHK dengat syarat telah memperoleh Sertifikat PHPL secara mandatory dengan peringkat baik atau sangat baik dan/atau memperoleh Sertifikat PHPL secara voluntary Kawasan hutan produksi tetap, Hutan produksi yang dapat dikonversi, Kawasan Budidaya Non Kehutanan/ Areal Penggunaan Lain Apabila areal telah dibebani perizinan usaha pemanfaatan hutan kayu dilakukan pola kerjasama kemitraan Untuk IUPHHK-MHA Koperasi masyarakat pemilik hak ulayat Badan usaha milik masyarakat hukum adat Gubernur Papua dengan rekomendasi dari Bupati/Walikota dan pertimbangan teknis dari Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Papua Pemegang ijin wajib memiliki IUIPHHK yang diterbitkan oleh Gubernur. IUIPHHK dengan peralatan berupa portable sawmill berada di dalam areal kerja IUPHHK Tabel 8 Perbandingan Kebijakan Terkait IUPHHK HTR dengan IUPHHK HTR-MHA Kebijakan Nasional Kebijakan Khusus Papua Dasar Kebijakan Permenhut Nomor : P.23/Menhut- II/2007 jo. Permenhut Nomor : P.5/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Pergub Provinsi Papua No 11 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Hutan Tanaman Rakyat Masyarakat Hukum Adat (HTR-MHA) Hasil Hutan Kayu pada HTR dalam Hutan Tanaman Bentuk Izin IUPHHK HTR IUPHHK HTR-MHA 42

44 Lokasi Pencadangan dan Perijinan Pemohon Luas Lama ijin Kewajiban Pemegang Ijin Kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan Tidak dibebani izin/hak lain Letaknya diutamakan dekat dengan industri hasil hutan. Pencadangan lokasi oleh Menteri Perijinan diterbitkan oleh Bupati/Walikota Pemohon IUPHHK HTR adalah: Perorangan Koperasi Maksimal 15 ha untuk setiap keluarga Bagi koperasi luasnya disesuaikan kemampuan 60 tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu selama 35 (tiga puluh lima) tahun. Menyusun RKU IUPHHK HTR dan RKT. Tanah hak ulayat yang merupakan lahan kritis, tidak produktif, baik yang berada di dalam kawasan hutan produksi atau kawasan budidaya non kehutanan Tidak dibebani izin/hak lain Letaknya diutamakan dekat dengan lokasi industri hasil hutan. Pencadangan lokasi oleh Gubernur Perijinan diterbitkan oleh Bupati/Walikota Pemohon IUPHHK HTR-MHA Kelompok tani atau koperasi atau badan usaha yang dibentuk oleh pemilik hak ulayat yang telah memperoleh pengesahan dari lembaga adat, kepala kampung dan diketahui oleh kepala distrik Kelompok tani/ koperasi/ badan usaha yang dibentuk masyarakat suku lain selain pemilik hak ulayat yang diberi izin oleh pemilik hak ulayat dan disahkan oleh lembaga adat, ketua kampung dan diketahui oleh kepala distrik Maksimal 5000 ha untuk setiap ijin 30 tahun dan dapat diperpanjang Membayar iuran kehutanan Menyusun rencana kerja PHHK yang terdiri dari rencana umum dan rencana operasional Melaksanakan kegiatan selambatlambatnya 3 bulan sejak ijin terbit Melaksanakan PUHH sesuai ketentuan Menyampaikan laporan kegiatan pada pemberi izin Tabel 9 Perbandingan Kebijakan Terkait IUIPHHK dengan IUIPHHK Rakyat IUIPHHK IUIPHHK Rakyat Permenhut No: P.35/Menhut-II/2008 Pergub Papua No 15 tahun 2010 Dasar Kebijakan Pemohon ijin Kapasitas produksi s/d m 3 /tahun, dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, BUMN, dan BUMD, Kapasitas produksi s/d m 3 per-tahun hanya dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi. Untuk IUIPHHK Rakyat, pemohon adalah: perorangan, koperasi dan badan usaha milik masyarakat adat (BUMMA). Hanya mengatur pemberian ijin dengan kapasitas dibawah 6000 m 3 43

45 Sumber Bahan Baku Jenis Produk Tujuan Pemasaran Permohonan Diajukan Pada Persyaratan Administrasi Persyaratan Teknis Penerbit Ijin Lama Ijin Wajib memiliki RPBBI Kayu gergajian; Serpih Kayu (Wood Chip); Vinir (Veneer); Plywood; dan Laminated Veneer Lumber Permohonan IUIPHHK kapasitas produksi s/d m3/tahun disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri dan Bupati/Walikota. Gubernur dapat melimpahkan kewenangan penerbitan IUIPHHK dengan kapasitas produksi s/d m3/tahun kepada Bupati/Walikota. Rekomendasi teknis Bupati/walikota Akte pendirian Perusahaan/Koperasi beserta perubahannya atau copy KTP untuk pemohon perorangan; NPWP; Izin Gangguan; Izin Lokasi; Izin Tempat Usaha; Laporan kelayakan investasi pembangunan industrinya; Jaminan pasokan bahan baku. Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) Berlaku selama industri yang bersangkutan beroperasi yaitu apabila industri berproduksi secara kontinyu, berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan paling sedikit 1 kali dalam 3 tahun RPBBI sebagai syarat teknis dalam permohonan ijin IUPHHK/IUPHHK-MHA/IPK Limbah Pembalakan IPHHK Kayu Lelang Hutan Tanaman Rakyat ISL Kayu Gergajian Moulding Flooring Pemasaran lokal, regional, nasional dan eksport Khusus bahan baku dari IPHHK hanya untuk pemasaran lokal Bupati/walikota untuk kapasitas dibawah 2000 m3/tahun Gubernur untuk kapasitas Dapat diberikan bersamaan dengan IUPHHK MHA Rekomendasi Kepala Dinas Kabupaten/Kota Fotocopy KTP untuk pemohon perorangan dan akte pendirian beserta perubahannya untuk Koperasi SIUP SITU RPBBI Daftar nama, tipe dan jenis peralatan Perjanjian kerjasama suplai bahan baku dengan pemegang ijin pemanfaatan/pemungutan hasil hutan kayu Rencana pengelolaan lingkundan dan rencana pemantauan lingkungan Gubernur/Bupati/Walikota Dapat dilimpahkan kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota 10 tahun bagi yang tidak memiliki jaminan suplai bahan baku Selama jangka waktu perijinan IUPHHK-MHA bagi yang memiliki jaminan suplai bahan baku 44

46 Apabila industri tidak beroperasi selama satu tahun dikenakan sanksi pencabutan izin usaha industrinya. Perbedaan di atas hanya potret kecil dari sejumlah perbedaan lainnya yang berpotensi menimbulkan permasalahan. 37 Contoh permasalahan lainnya adalah terkait alas hak atas tanah di mana peraturan yang dibuat oleh Departemen Kehutanan secara kontekstual tidak sesuai dengan kondisi di Papua. Seperti Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak, yang diperkirakan akan menimbulkan chaos di Papua, jika diterapkan. 38 Hal ini dikarenakan alat pembuktian untuk hutan hak adalah berdasarkan alas titel/ hak atas tanah berupa sertifikat hak milik dan lain. Di negara Indonesia, sertifikat hak milik tanah diberikan kepada perorangan, atau badan hukum, dan lain-lain, tetapi belum bisa diberikan kepada masyarakat adat pemilik adat atas sumberdaya hutan mereka berupa sertifikat yang bersifat komunal. Hal ini dikarenakan sistem kepemilikan tanah adat di Papua adalah bersifat komunal. Seharusnya alas hak yang sesuai dengan kondisi Papua yang telah diakomodir dalam UU Otonomi Khusus dan Perdasus Kehutanan lah yang digunakan sebagai landasan untuk implementasi berbagai kebijakan di Papua. Karena pemaksaan penerapan kebijakan nasional dapat menimbulkan konflik horizontal di antara masyarakat adat Papua Permasalahan lain yang cukup besar dan berdampak luas di Papua adalah terkait IPKMHA yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Papua kepada masyarakat adat Papua yang memiliki Koperasi/Kopermas. Sesungguhnya kebijakan yang diterbitkan sebagai dasar pelaksanaan dari bentuk keberpihakan dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan kehutanan secara nasional sudah diterapkan tetapi masih terjadi kegamangan di pihak pemerintah sehingga kebijakan tersebut setelah diterbitkan kemudian ditarik kembali. Selengkapnya mengenai hal ini dapat dilihat pada Boks. 37 Diperlukan sebuah studi khusus untuk membedah dan menemukan ketidaksinkronan peraturan di level nasional dengan Papua untuk kemudian merumuskan langkah-langkah menuju sinkronisasi dan harmonisasi keduanya. 38 Dalam sebuah acara sosialisasi peraturan-peraturan kehutanan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan di Jayapura, semua pemangku kepentingan yang terlibat menyatakan bahwa P.51 tahun 2006 tidak bisa dilaksanakan di Papua. 45

47 Ketidakharmonisan ini ditunjukkan juga pada saat diterbitkannya Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 72 Tahun 2002 tentang Ketentuan Ekspor Kayu Bulat Jenis Merbau di Provinsi Papua. Dengan berbagai pertimbangan, terutama berdasarkan otonomi khusus, pemerintah Daerah Provinsi Papua membuat peraturan tersebut tetapi kemudian mendapat pertentangan dari Departemen Kehutanan. Sebenarnya sebagai upaya mengatasi potensi konflik dikarenakan perbedaan-perbedaan tersebut, pada tahun 2006, Menteri Kehutanan membentuk Tim Harmonisasi yang melibatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah Provinsi Papua untuk membahas kebijakan kehutanan di Provinsi Papua. Tim pemerintah c.q. Departemen Kehutanan diisi oleh para pejabat Eselon I Departemen Boks Kasus IPKMHA di Provinsi Papua Menjelang akhir tahun 1998, masyarakat khususnya masyarakat adat atau masyarakat lokal memperoleh tempat dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm), yakni sejak diterbitkan dan diberlakukannya SK Menhut No. 677/Kpts-II/1998. Bahkan pada awal tahun 1999, Pemerintah menerbitkan PP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi, yang pada intinya membatasi luas HPH bagi setiap pemegang HPH. Dari kebijakan ini selanjutnya Pemerintah melakukan redistribusi sumberdaya hutan dengan sasaran utama masyarakat dalam bentuk HPHKm dan Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat (HPHHMHA) pada Areal Hutan Produksi. Pengelolaan hutan di Provinsi Papua selama ini dilaksanakan dalam bentuk HPH dan sejak tahun 1999 Pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat khususnya masyarakat pemilik hak ulayat dalam pengelolaan hutan. Dalam rangka desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan di Papua, Pemerintah Daerah telah menempuh langkah awal dengan memberikan IHPHHMHA (Ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat) kepada Kopermas dengan luas 250 hektar, dimana masa berlaku dari ijin ini hanya 1 (satu) tahun. Dasarnya adalah dengan diterbitkannya SK Menhut No. 317/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 tentang HPHHMHA pada Areal Hutan Produksi. Sebagai tindak lanjut SK Menhutbun tersebut, Gubernur Provinsi Papua menerbitkan surat Nomor : 522.2/ 3386/SET tanggal 22 Agustus 2002 tentang Pengaturan Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat dalam bentuk IPKMHA dengan petunjuk pelaksanaannya sesuai Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor : KEP /1648 tanggal 22 Agustus Secara legalitas, pengusahakan hutan dengan izin IPKMHA oleh masyarakat adat Papua melalui badan-badan usaha yang dibentuk (koperasi/kopermas) tetap jalan sejak digulirkan pada tahun Akan tetapi dengan terbitnya regulasi tentang IPKMHA yang belum dibarengi dengan peraturan teknis yang memadai yang diharapkan dapat mewujudkan pengelolaan hutan lestari di Tanah Papua, telah terjadi penyalahgunaan perizinan, dimana sering ditemukan kasus pemilik izin menggadaikan izinnya kepada pihak luar atau pihak investor untuk menggarap hutan yang berada di wilayah /teritori adat mereka. Proses ini kemudian memicu terjadinya aktivitas illegal logging masif di Tanah Papua. Proses ini berlanjut terus tanpa ada perbaikan atau perhatian dari Pemerintah. Bahkan oleh beberapa pihak sebagai pemerhati lingkungan menengarai kalau ada proses pembiaran selama beberapa tahun yang dilakukan oleh Pemerintah. Akan tetapi kondisi tersebut diatas kemudian menimbulkan reaksi dari pemerintah pusat dengan mencabut SK Menhutbun No. 317/ Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal Hutan Produksi pada tahun 2005 melalui Peraturan Menteri Kehutanan nomor P07/Menhut-II/2005. Kemudian kegiatan logging yang dilakukan Kopermas semakin dianggap sebagai kegiatan illegal. Sebagai tindak lanjut peraturan tersebut, maka sejak tanggal 1 Januari 2005 IPKMHA ditutup dan hanya bisa melakukan stock opname sampai 31 Januari 2005, dan hasil perhitungan stok opname hanya diijinkan sampai tanggal 31 Maret Langkah ini diambil Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua berdasarkan Surat Keputusan 522.1/072 tertanggal 12 Januari 2005 sebagai upaya memberantas illegal logging yang banyak dikaitkan dengan praktek kopermas ini (Patay 2005:55). Kehutanan sedangkan di pihak Pemerintah Provinsi Papua diisi oleh para pimpinan SKPD, akademisi dan LSM. Dalam membahas kebijakan-kebijakan tersebut masih terus ada perbedaanperbedaan pandangan akan prinsip-prinsip dalam tata kepengurusan hutan 46

48 yang ada dalam draft perdasus tentang pengelolaan hutan lestari di Papua. Perbedaan prinsip yang tajam di antara kedua belah pihak inilah yang menyebabkan dead lock dalam pertemuan terakhir di Hotel Salak Bogor. Satu hal penting lainnya terkait topik ini, adalah ketika segala bentuk kebijakan (UU Otonomi Khusus, Perdasus No 21 dan 23, dan segala peraturan turunannya), belum dimanfaatkan secara efektif untuk mengimbangi kebijakan nasional. Seolah-olah masih ada sesat pikir dalam keseluruhan kebijakan yang sifatnya policy affirmative, atau bahkan minim pemahaman dari publik di Provinsi Papua terhadap isi kebijakan yang melindunginya. Contoh kecil tersebut menunjukkan bahwa selain pada substansi kebijakan yang tidak harmonis, juga sebenarnya terdapat ketidaksiapan institusi (baik di level pusat maupun daerah) dalam implementasi kebijakan. Lebih lanjut mengenai permasalahan terkait hal ini dapat dilihat pada sub bab berikut Permasalahan Terkait Kapasitas Organisasi dan Sumberdaya Manusia Beberapa permasalahan yang teridentifikasi terkait kapasitas organisasi dan sumber daya manusia diantaranya adalah sebagai berikut : a. Penataan dan Pemancangan Batas Luar Kawasan IUPHHK-MHK untuk Kepastian Hukum Kawasan. Penataan kawasan hutan merupakan suatu tahapan penting dalam sistem silvikultur yang berlaku di Indonesia. Maksud dilakukannya penataan areal kerja adalah memberikan tanda pada blok kerja tahunan dan petak kerja dalam mengatur areal kerja agar kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan/pengawasan kegiatan pengusahaan hutan dapat berjalan dengan tertib/baik dan efisien. Ini merupakan syarat keharusan karena kegiatan ini merupakan bagian atau tahapan dari legalitas kawasan. Berdasarkan areal yang telah ditata batas maka izin itu sah dan ruang kelola yang sah hanya di dalam areal tersebut. Dengan demikian areal yang dikelola mempunyai kepastian hukum yang jelas. Bila mengelola di luar areal tersebut dianggap ilegal. Penataan kawasan pada suatu unit manajemen biasa dilakukan pada tahapan-tahapan awal dari rangkaian proses pengusahaan hutan. Penataan batas ini biasa dilakukan oleh unit manajemen pengelolaan hutan dengan pendampingan dari instansi terkait. Salah satu tugas pokok dan fungsi dari Badan Pemantapan Kawasan Hutan adalah melakukan penataan batas. Sehingga bila suatu unit manajemen ataupengelola IUPHHK - MHA ingin melakukan tata batas maka pimpinan badan usaha masyarakat (Koperasi) mengajukan surat permintaan tenaga pendamping untuk melakukan penataan batas areal kelola masyarakat pada kawasan hutan yang akan dikelola. Ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul, bila selama ini usaha-usaha mandiri yang dilakukan oleh masyarakat dengan dukungan LSM 47

49 melakukan penataan batas pada areal kerja apakah sudah bisa mendapat legitimasi dari pemerintah tentang kepastian kawasan hutannya? Ataukah harus dilakukan penataan batas ulang? Alasan mendasarnya pada efisiensi biaya bagi kelompok masyarakat adat. Ataukah bila diharuskan untuk melakukan penataan batas areal kerja ulang tetapi dengan dukungan pendanaan dari pemerintah. Sebab sering yang menjadi pertimbangan dalam melakukan pendampingan masyarakat dalam usaha pengelolaan hutan lestari bersama masyarakat adat adalah efisiensi pendanaan dan waktu serta tenaga serta ketepatan informasi. Hal ini yang sering menjadi kendala atau masalah bagi masyarakat adat saat ini. b. Kurangnya Tenaga Teknis (Ganis) dan Pengawas Tenaga Teknis (Wasganis) Pengesah LHP serta Tenaga Teknis (Pembuat LHP) di Kabupaten Kota Penatausahaan hasil hutan adalah suatu rangkaian kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, penandaan, pengukuran dan pengujian, pengangkutan/ peredaran dan penimbunan, pengolahan dan pelaporan. Suatu proses yang panjang dalam mengikuti aliran kayu, akan tetapi dalam setiap tahapan aliran kayu terjadi legalisasi dokumen oleh petugas-petugas tenaga teknis (Ganis) yang terlatih dan bersertifikat. Para Ganis ini mempunyai kualifikasi masing-masing sesuai dengan rantai alir kayu dari hutan (TPn) hingga ke industri. Ganis ada yang disiapkan oleh unit manajemen (perusahaan pemegang izin) dan ada juga Ganis yang disiapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Dinas Kehutanan setempat. Masing-masing Ganis memiliki sertifikat dan kartu identitas sebagai Ganis. Pada beberapa tahun lalu, sebelum diterapkannya otonomi khusus di Papua, jumlah HPH/IUPHHK-HA di Papua cukup banyak, lebih dari 60 unit. Dan setelah pemekaran Papua dan Papua Barat, jumlah HPH/IUPHHK-HA di Papua menjadi berkurang dan hingga tahun 2011 lalu ada sekitar 31 unit HPH/IUPHHK-HA di Papua. Dari jumlah itu masih ada yang aktif dan ada juga yang stagnan atau belum beroperasi. Hal ini berkaitan dengan penugasan Ganis dan pengawas tenaga teknis (Wasganis) di unit-unit manajemen ini. Bila jumlah kecukupan Ganis dan Wasganis terpenuhi maka pelaksanaan penatausahaan hasil hutan di Papua akan lancar bila kurang, maka akan menghambat kelancaran usaha dari unit manajemen yang sedang berproduksi. Kenyataannya di Provinsi Papua, perbandingan Ganis yang tersedia dengan sekitar 31 unit manajemen HPH/IUPHHK-HA di Papua, terasa masih sangat kurang. Apalagi bila jumlah Ganis yang ada diharapkan dapat mendukung kebijakan pemerintah daerah dalam mendorong kelompok-kelompok masyarakat yang akan mengelola areal hutan adat 48

50 di tanah adat mereka melalui izin IUPHHK-MHA. Saat ini sudah ada 5 unit koperasi di Papua yang telah mendapatkan izin IUPHHK-MHA, tetapi tidak menutup kemungkinan pemerintah daerah provinsi akan memberikan atau mengeluarkan izin IUPHHK-MHA kepada kelompok masyarakat adat lain di Papua dan kecenderungan pengeluaran izin IUPHHK-MHA akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini akan menjadi permasalahan tersendiri bagi pemerintah untuk merencanakan dan mempersiapkan tenaga-tenaga Ganis dan Wasganis yang baru. Ganis dan Wasganis yang dipersiapkan oleh pemerintah c.q. Dinas Kehutanan setempat, telah memiliki kecakapan atau keahlian khusus pada bidangnya, sedangkan bagi HPH/IUPHHK-HA hanya mempersiapkan Ganis sesuai kebutuhan perusahaan. Ganis dan Wasganis yang dipersiapkan ditempatkan sesuai keahliannya dalam suatu sistem pengelolaan hutan lestari. Ada Ganis dan Wasganis yang ditempatkan dalam proses Penatausahaan Hasil Hutan, dan juga dalam bidang-bidang tertentu dalam kegiatan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL). Ketersediaan Ganis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari sesuai dengan kualifikasi, maka dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 10 Ketersediaan GANISPHPL s/d Desember 2010 Kendala utama saat ini bagi pemegang IUPHHK-MHA adalah mempersiapkan tenaga teknis dalam perusahaan mereka (koperasi) secara mandiri. Hal ini disebabkan karena untuk memulai usaha pengelolaan hutan lestari dibutuhkan modal yang cukup besar bagi mereka sehingga saat ini dengan keterbatasan modal, pemegang izin IUPHHK-MHA belum dapat mengirimkan tenaga-tenaga mereka untuk dilatih pada pusat-pusat pelatihan resmi yang dimiliki oleh pemerintah. Oleh sebab itu diharapkan ada kerjasama diantara para pihak untuk juga melatih tenaga-tenaga masyarakat agar kelak menjadi Ganis di perusahaan masyarakat (koperasi) atau di IUPHHK lainnya di luar kampung mereka. 49

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT (IUIPHHKR-MHA) KEPADA KOPERASI SERBA USAHA (KSU) JIBOGOL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki peran penting bagi keberlangsungan hidup umat manusia di muka bumi. Peran penting sumberdaya hutan

Lebih terperinci

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Disampaikan pada acara : Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Jakarta, 22

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, KOMPILASI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG STANDAR DAN PEDOMAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG IZIN ATAU PADA HUTAN HAK Nomor: P.38/Menhut-II/2009

Lebih terperinci

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) Oleh Agus Budhi Prasetyo, S.Si.,M.Si. Dalam Renstra 2010-2014, Kemenhut merencanakan hutan kemasyarakatan seluas 2 juta ha dan hutan desa seluas 500.000 ha. Dari areal yang

Lebih terperinci

LUAS KAWASAN (ha)

LUAS KAWASAN (ha) 1 2 3 Berdasarkan Revisi Pola Ruang Substansi Kehutanan sesuai amanat UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang mengalami perubahan yang telah disetujui Menteri Kehutanan melalui Keputusan No. 936/Kpts-II/2013

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 94 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 94 TAHUN 2011 TENTANG GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 94 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU MASYARAKAT HUKUM ADAT (IUPHHK-MHA) KEPADA KOPERASI SERBA USAHA (KSU) JIBOGOL DI KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal Indonesia di beberapa tempat telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 109 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN IZIN PEMANFAATAN KAYU/IPK TAHAP II KEPADA PT. SUMBER KAYU UTAMA PADA AREAL PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 49/Menhut-II/2008 TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar

Lebih terperinci

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON KKI WARSI LATAR BELAKANG 1. Hutan Indonesia seluas + 132,9

Lebih terperinci

Nomor : P.38/Menhut-II/2009, Nomor : P.68/Menhut-II/2011, Nomor : P.45/Menhut-II/2012, dan Nomor : P.42/Menhut-II/2013

Nomor : P.38/Menhut-II/2009, Nomor : P.68/Menhut-II/2011, Nomor : P.45/Menhut-II/2012, dan Nomor : P.42/Menhut-II/2013 KOMPILASI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG STANDAR DAN PEDOMAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG IZIN ATAU PADA HUTAN HAK Nomor : P.38/Menhut-II/2009,

Lebih terperinci

Oleh : Ketua Tim GNPSDA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pontianak, 9 September 2015

Oleh : Ketua Tim GNPSDA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pontianak, 9 September 2015 Oleh : Ketua Tim GNPSDA Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pontianak, 9 September 2015 Data dan Informasi Kawasan Hutan 2 KAWASAN HUTAN KALIMANTAN BARAT, KALIMANTAN TENGAH, KALIMANTAN SELATAN,

Lebih terperinci

2 Mengingat : kembali penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak; c. ba

2 Mengingat : kembali penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak; c. ba No. 883, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hutan Produksi Lestari. Legalitas Kayu. Pengelolaan. Penilaian Kinerja. Pemegang Izin. Hutan Hak. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan telah mencapai 2 juta ha per tahun pada tahun 1996 (FWI & GWF,

BAB 1 PENDAHULUAN. dan telah mencapai 2 juta ha per tahun pada tahun 1996 (FWI & GWF, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju deforestasi di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1980 laju deforestasi sekitar 1 juta hektar per tahun, kemudian meningkat menjadi 1.7

Lebih terperinci

Decentralisation Brief

Decentralisation Brief No. 8, April 2005 Forests and Governance Programme Can decentralisation work for forests and the poor? Akses Masyarakat Adat Terhadap Peluang-peluang Pembangunan Kehutanan di Kabupaten Manokwari Oleh Max

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN Jakarta, Juni 2012 KATA PENGANTAR Buku ini merupakan penerbitan lanjutan dari Buku Statistik Bidang Planologi Kehutanan tahun sebelumnya yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (UKM) dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri-industri

I. PENDAHULUAN. (UKM) dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri-industri I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha furniture sudah lama dikenal masyarakat Indonesia, bahkan dibeberapa daerah tertentu sudah menjadi budaya turun temurun. Sentra-sentra industri furniture berkembang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memilikinya,melainkan juga penting bagi masyarakat dunia.

BAB I PENDAHULUAN. memilikinya,melainkan juga penting bagi masyarakat dunia. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hutan memiliki arti penting bagi negara. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mencerminkan potensi ekonomi yang besar dan strategis bagi pembangunan nasional. Kekayaan

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 38/Menhut-II/2009 TENTANG STANDARD DAN PEDOMAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 38/Menhut-II/2009 TENTANG STANDARD DAN PEDOMAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 38/Menhut-II/2009 TENTANG STANDARD DAN PEDOMAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG

Lebih terperinci

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR Materi ini disusun Dinas Kehutanan Propinsi Papua dalam rangka Rapat Kerja Teknis Badan Planologi Kehutanan Tahun

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2010 T E N T A N G TATA CARA IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2010 T E N T A N G TATA CARA IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2010 T E N T A N G TATA CARA IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 92 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 92 TAHUN 2011 TENTANG GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 92 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU MASYARAKAT HUKUM ADAT (IUPHHK-MHA) KEPADA KOPERASI YERA ASAI DI KABUPATEN KEPULAUAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Rencana Strategis Pemantauan Independen Kehutanan di Indonesia

Rencana Strategis Pemantauan Independen Kehutanan di Indonesia Rencana Strategis Pemantauan Independen Kehutanan di Indonesia Rencana Strategis Pemantauan Independen Kehutanan di Indonesia¹ TUJUAN & RINGKASAN Kegiatan pemantauan secara independen terhadap sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penurunan kualitas dan kuantitas hutan di Indonesia sudah dirasakan sejak dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena tindakan

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN IZIN PEMANFAATAN KAYU/IPK KEPADA PT. MEDCOPAPUA INDUSTRI LESTARI PADA AREAL PEMBANGUNAN INDUSTRI KAYU SERPIH

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 958, 2013 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kemitraan Kehutanan. Masyarakat. Pemberdayaan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.39/MENHUT-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.141, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Penilaian. Kinerja. Verifikasi. Legalitas. Pemegang Izin. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.141, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Penilaian. Kinerja. Verifikasi. Legalitas. Pemegang Izin. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.141, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Penilaian. Kinerja. Verifikasi. Legalitas. Pemegang Izin. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.38/Menhut-II/2009

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 132 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 132 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 132 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERIAN IZIN PEMANFAATAN KAYU/IPK TAHAP II KEPADA PT. MERDEKA PLANTATION INDONESIA PADA AREAL PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjelaskan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Barat memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang perubahan atas

Lebih terperinci

KERANGKA PROGRAM. Lokasi : Kab. Kuningan, Kab. Indramayu, Kab. Ciamis. Periode Waktu :

KERANGKA PROGRAM. Lokasi : Kab. Kuningan, Kab. Indramayu, Kab. Ciamis. Periode Waktu : KERANGKA PROGRAM Peningkatan Hutan Rakyat dan Industri Kayu Kecil dan Menengah yang Terverifikasi Legal dalam Meningkatkan Pasokan Kayu dan Produk Kayu Sesuai Lisensi FLEGT (di Wilayah Provinsi Jawa Barat)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

LANGKAH STRATEGIS PENGELOLAAN HUTAN DAN MEKANISME PENETAPAN HUTAN ADAT PASCA TERBITNYA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012

LANGKAH STRATEGIS PENGELOLAAN HUTAN DAN MEKANISME PENETAPAN HUTAN ADAT PASCA TERBITNYA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 LANGKAH STRATEGIS PENGELOLAAN HUTAN DAN MEKANISME PENETAPAN HUTAN ADAT PASCA TERBITNYA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 disampaikan oleh: MENTERI KEHUTANAN Jakarta, 29 Agustus 2013 1. Pemohon KERANGKA PAPARAN

Lebih terperinci

Oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua

Oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua Oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua MATERI DISAMPAIKAN PADA LOKAKARYA MP3I DAN PEMBANGUNAN RENDAH EMISI Merauke,6 Mei 2013 I. Pengurusan Hutan di Papua II. Perkembangan Kawasan Hutan

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 171 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERIAN IJIN PENGGUNAAN JALAN KORIDOR DI LUAR AREAL IUPHHK KEPADA PT. SALAKI MANDIRI SEJAHTERA DISTRIK BONGGO

Lebih terperinci

3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik

3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik BUPATI KLATEN PERATURAN BUPATI KLATEN NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERCEPATAN PELAKSANAAN STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLATEN, Menimbang : a. bahwa pemanfaatan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan. No.377, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

Media Briefing. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Mengingkari Undangundang Kehutanan dan Keterbukaan Informasi Publik

Media Briefing. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Mengingkari Undangundang Kehutanan dan Keterbukaan Informasi Publik Media Briefing Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Mengingkari Undangundang Kehutanan dan Keterbukaan Informasi Publik Sebagai Lembaga Publik, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) wajib

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1230, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Kelompok Tani Hutan. Pembinaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.57/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN KELOMPOK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 91 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 91 TAHUN 2011 TENTANG GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 91 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU MASYARAKAT HUKUM ADAT (IUPHHK-MHA) KEPADA KOPERASI SERBA USAHA (KSU) MO MAKE UNAF DI

Lebih terperinci

KONSULTANSI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

KONSULTANSI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU KONSULTANSI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU TROPICAL RAINFOREST CONSULTANT Jl. Purwanggan No.63 C, Pakualaman, Yogyakarta Telp : 0274-8231224 e-mail : tr_consultant@yahoo.co.id www.trconsultant.weebly.com

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009 Tentang PENGGANTIAN NILAI TEGAKAN DARI IZIN PEMANFAATAN KAYU DAN ATAU DARI PENYIAPAN LAHAN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal

Lebih terperinci

INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN. Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman

INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN. Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN Hasil Pemantauan di Sektor Kehutanan

Lebih terperinci

3) Verifikasi LK pada industry rumah tangga/pengrajin dimungkinkan untuk menugaskan 1 (satu) orang Auditor.

3) Verifikasi LK pada industry rumah tangga/pengrajin dimungkinkan untuk menugaskan 1 (satu) orang Auditor. DRAF REVISI Lampiran 3.9. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P. /VI-BPPHH/2014 Tanggal : 2014 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN Oleh : Ir. Iwan Isa, M.Sc Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional PENGANTAR Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa

Lebih terperinci

MATRIK DRAFT PERUBAHAN PERDIRJEN BUK NO. P.8/VI-BPPHH/2012 TENTANG STANDAR DAN PEDOMAN PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA PHPL DAN VLK

MATRIK DRAFT PERUBAHAN PERDIRJEN BUK NO. P.8/VI-BPPHH/2012 TENTANG STANDAR DAN PEDOMAN PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA PHPL DAN VLK MATRIK DRAFT PERUBAHAN PERDIRJEN BUK NO. P.8/VI-BPPHH/2012 TENTANG STANDAR DAN PEDOMAN PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA PHPL DAN VLK No. 1 Menimbang Penetapan Permenhut No. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Keterbukan Infomasi Pintu Perbaikan Tata Kelola Hutan

Keterbukan Infomasi Pintu Perbaikan Tata Kelola Hutan Keterbukan Infomasi Pintu Perbaikan Tata Kelola Hutan Pembelajaran dari Sengketa Informasi Publik Jakarta, 3 November 2015 Era Transparansi Ketersediaan informasi Memberi kesempatan kepada publik untuk

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 64 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 64 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 64 TAHUN 2012 TENTANG STANDAR KOMPENSASI ATAS HASIL HUTAN KAYU DAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU YANG DIPUNGUT PADA AREAL HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN NOMOR: P.13/VI-BPPHH/2014 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI LEGALITAS KAYU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Buku laporan State of the World's Forests yang diterbitkan oleh Food and

BAB I PENDAHULUAN. Buku laporan State of the World's Forests yang diterbitkan oleh Food and BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buku laporan State of the World's Forests yang diterbitkan oleh Food and Agricultural Organization (FAO) menempatkan Indonesia di urutan kedelapan dari sepuluh negara

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2 GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMANFAATAN KAYU LIMBAH PEMBALAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa sebagai

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMILIK HUTAN HAK

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMILIK HUTAN HAK Lampiran 3.3 Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2012 Tanggal : 17 Desember 2012 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU DR. IR. HADI DARYANTO D.E.A Badan Akreditasi Independen (Komite Akreditasi Nasional) (KAN) SVLK Monitoring Independen : (LSM atau Masyarakat Sipil ) Sertitifikat LK Lembaga

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 1 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) MODEL LALAN KABUPATEN MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 184 TAHUN 2004 T E N T A N G STANDAR PEMBERIAN KOMPENSASI BAGI MASYARAKAT ADAT ATAS KAYU YANG DIPUNGUT PADA AREAL HAK ULAYAT DI PROVINSI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perubahan Institusi Kehutanan Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam perubahan undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan.

I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan. 7 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 32/Menhut-II/2013 TENTANG RENCANA MAKRO PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan. Hutan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Izin Pemanfaatan Kayu. Prosedur.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Izin Pemanfaatan Kayu. Prosedur. No.142, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Izin Pemanfaatan Kayu. Prosedur. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENHUT-II/2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati tinggi namun juga memiliki peranan penting dalam perlindungan dan jasa lingkungan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN. Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN. Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN Disampaikan pada Acara Sosialisasi PP Nomor 10 Tahun 2010 Di Kantor Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.43/Menhut-II/ 2014 TENTANG PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.28/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.28/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.28/Menhut-II/2014 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P. 33/MENHUT-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMANTAUAN INDEPENDEN DALAM PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

PEDOMAN PEMANTAUAN INDEPENDEN DALAM PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU Lampiran 4. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2012 Tanggal : 17 Desember 2012 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG IUPHHK-HA/HT/RE/HAK PENGELOLAAN/IPK, DAN HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG IUPHHK-HA/HT/RE/HAK PENGELOLAAN/IPK, DAN HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT Lampiran 3.2. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2012 Tanggal : 17 Desember 2012 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN KEHUTANAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG Draft 10 November 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 101/Menhut-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN PT. MITRA HUTANI JAYA ATAS

Lebih terperinci

TANGGAPAN DAN KLARIFIKASI TERHADAP LAPORAN JPIK DAN EIA

TANGGAPAN DAN KLARIFIKASI TERHADAP LAPORAN JPIK DAN EIA TANGGAPAN DAN KLARIFIKASI TERHADAP LAPORAN JPIK DAN EIA MASIH PERIZINAN BAGI TINDAK KRIMINAL: BAGAIMANA KEKEBALAN HUKUM PERUSAHAAN SAWIT ILEGAL MERUSAK REFORMASI INDUSTRI KAYU DI INDONESIA oleh Jaringan

Lebih terperinci

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar Oleh : Ir. HENDRI OCTAVIA, M.Si KEPALA DINAS KEHUTANAN PROPINSI SUMATERA BARAT OUTLINE Latar Belakang kondisi kekinian kawasan

Lebih terperinci

ATURAN PELAKSANAAN SERTIFIKASI PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

ATURAN PELAKSANAAN SERTIFIKASI PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU ATURAN PELAKSANAAN SERTIFIKASI PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU 1.0 PENDAHULUAN PT. Ayamaru Sertifikasi menyusun Aturan Pelaksanaan ini untuk digunakan

Lebih terperinci

K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 126 /Dik-2/2012 KURIKULUM DIKLAT PENDAMPINGAN SVLK BAGI PENYULUH

K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 126 /Dik-2/2012 KURIKULUM DIKLAT PENDAMPINGAN SVLK BAGI PENYULUH KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM KEHUTANAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 126 /Dik-2/2012

Lebih terperinci

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut www.greenomics.org KERTAS KEBIJAKAN Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut 21 Desember 2009 DAFTAR ISI Pengantar... 1 Kasus 1:

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.19/Menhut-II/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.19/Menhut-II/2007 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.19/Menhut-II/2007 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN DAN PERLUASAN AREAL KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM HUTAN TANAMAN PADA

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI NOMOR : P.14/PHPL/SET/4/2016 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI NOMOR : P.14/PHPL/SET/4/2016 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI NOMOR : P.14/PHPL/SET/4/2016 TENTANG STANDAR DAN PEDOMAN PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) DAN VERIFIKASI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.23/Menhut-II/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.23/Menhut-II/2007 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.23/Menhut-II/2007 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN RAKYAT DALAM HUTAN TANAMAN

Lebih terperinci

Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan

Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan Sosialisasi Peraturan Menteri Kehutanan P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Direktorat Jenderal Bina Produksi

Lebih terperinci