LAPORAN PENELITIAN BANGUNAN PADMASANA : KAJIAN STRUKTUR DAN PENERAPAN MOTIF HIAS TRADISIONAL BALI. Oleh :

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN PENELITIAN BANGUNAN PADMASANA : KAJIAN STRUKTUR DAN PENERAPAN MOTIF HIAS TRADISIONAL BALI. Oleh :"

Transkripsi

1 LAPORAN PENELITIAN BANGUNAN PADMASANA : KAJIAN STRUKTUR DAN PENERAPAN MOTIF HIAS TRADISIONAL BALI Oleh : Ir. Mercu Mahadi Drs. I Nyoman Ngidep Wiyasa, M.Si DIBIAYAI DARI DANA DIPA ISI DENPASAR NOMOR /023-04/XX/2008 TANGGAL 31 DESEMBER 2007 FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

2 HALAMAN PENGESAHAN PENELITIAN 1. Judul Penelitian 2. Ketua Peneliti a. Nama lengkap dengan gelar b. Pangkat/Golongan/NIP c. Jabatan Sekarang d. Fakultas e. Universitas f. Alamat Kantor g. Telepon/Faks/ 3. Jumlah Peneliti 4. Lokasi Penelitian 5. Kerja sama 6. Jangka Waktu Penelitian 7. Biaya Penelitian Bangunan Padmasana : Kajian Struktur dan Penerapan Motif Hias Tradisional Bali Ir. Mercu Mahadi Penata III/c/ Lektor Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar Jalan Nusa Indah Denpasar (0361) / (0361) / yahoo.com 3 orang, 2 orang peneliti dan 1 orang tenaga lapangan Kabupaten Gianyar - 6 bulan Rp ,- (delapan juta rupiah) A.n. Dekan Pembantu Dekan I, FSRD ISI Denpasar Denpasar, 18 Agustus 2008 Ketua Peneliti Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn Ir. Mercu Mahadi NIP NIP Menyetujui Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ISI Denpasar Prof. Drs. A.A. Rai Kalam NIP ii

3 KATA PENGANTAR Om Swastiastu Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat-nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian yang berjudul Bangunan Padmasana : Kajian Struktur Dan Penerapan Motif Hias Tradisional Bali Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar. 2. Dekan Fakultas Seni Rupa Dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar. 3. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Institut Seni Indonesia Denpasar. 4. Rekan-rekan dosen di Fakultas Seni Rupa Dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar, yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, yang telah memberikan referensi dan informasi yang sangat dibutuhkan dalam penelitian ini. 5. Bapak Kepala Desa Batubulan, atas segala fasilitas dan informasi yang diberikannya ketika penulis melakukan penelitian. 6. Jero Mangku Pura Puseh, Desa Batubulan, yang telah memberikan informasi yang berkaitan dengan keberadaan pelinggih padmasana yang ada di Pura Puseh tersebut. iii 3

4 Sebagai akhir kata, penelitian ini masih banyak kekurangannya, mengingat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis, oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran dari berbagai fihak, demi lebih lengkapnya penelitian ini. Semoga penelitian ini ada manfaatnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang penerapan motif hias tradisional Bali terutama pada bangunan suci. Om Santi, Santi, Santi Om. Denpasar, 18 Agustus 2008 Penulis iv 4

5 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... vii RINGKASAN... viii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pura Pengertian Padmasana Pengertian Motif Hias Tradisional Bali... 9 BAB III METODE PENELITIAN Sumber Data Teknik Pengumpulan Data Observasi Wawancara Studi Kepustakaan Dokumentasi Instrumen Penelitian Lokasi Penelitian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kondisi Geografis Desa Batubulan Mata Pencaharian Agama dan Kepercayaan v

6 4.2 Sekilas Tentang Sejarah Bangunan Padmasana Fungsi Dan Jenis Padmasana Tata Letak Bangunan Padmasana Struktur Bangunan Padmasana Penerapan Motif hias Tradisional Bali Pada Bangunan Padmasana BAB V SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN vi 6

7 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Tampak Depan Padmasana Gambar 2 Tampak Samping Padmasana Gambar 3 Pelinggih Padmasana di Pura Puseh, Desa Adat Batubulan Gambar 4 Motif Hias Bhadawang Nala, Naga Anantabhoga, dan Naga Basuki yang menghiasi Padmasana di Pura Puseh Desa Adat Batubulan Gambar 5 Motif Hias Karang Gajah/asti kombinasi dengan patra punggel Gambar 6 Motif Hias Karang Guak dan Karang Simbar Gambar 7 Motif Hias Karang Tapel kombinasi dengan patra punggel Gambar 8 Motif Hias Karang Bentulu kombinasi dengan patra punggel. 33 Gambar 9 Motif Hias Garuda Gambar 10 Motif Hias Keketusan (kakul-kakulan) Gambar 11 Motif Hias Keketusan (emas-emasan) vii 7

8 RINGKASAN Kesadaran berkesenian sudah sangat mengental dan mentradisi dalam kehidupan masyarakat Bali. Sikap berkesenian secara tulus sebagai pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menjadi suatu tumpuan terciptanya keseimbangan hidup manusia, antara alam, lingkungan sosial, dan dengan Tuhannya, sebagai pencipta semua yang ada. Berbagai jenis kesenian berhubungan erat dengan agama merupakan satu kesatuan yang terjalin erat sebagai wujud bhakti kepada Tuhan. Dengan demikian pada setiap bangunan suci seperti pura, dan pemerajan selalu dihiasi dengan ukiran yang menerapkan motif hias tradisional Bali. Di Bali pada suatu tempat suci (pura) biasanya dilengkapi dengan bangunan padmasana. Bangunan padmasana memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Bangunan padmasana pada suatu pura terletak di arah airsanya, yaitu arah timur laut, yang dipandang sebagai tempat Sanghyang Siwa Raditya, dan sangat disucikan oleh umat Hindu. Konsep bangunan padmasana yang diwarisi sampai saat ini di Bali berawal dari kedatangan seorang pendeta dari Kerajaan Majapahit yaitu Danghyang Nirartha akhir abad ke 16 SM, yakni pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Sebelum beliau datang ke Bali, tempat suci (pura) belum dilengkapi padmasana. Adapun struktur bentuk bangunan Padmasana disusun vertikal yang mencerminkan tiga unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah loka alam tengah, dan swah loka alam atas. Perwujudannya berdasarkan konsep Triangga yaitu ; nistama angga (bagian kaki), madya angga (bagian badan), utama angga, (bagian kepala). Sedangkan motif hias yang diterapkan pada bangunan padmasana, merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk yang ada di alam seperti batubatuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Adapun jenis motif hias tradisional Bali tersebut antara lain: viii 8

9 Motif Keketusan (geometris), terdiri dari motif kakul-kakulan, batun timun, ganggong, emas-emasan, ceracap, mute-mutean, dan tali ilut. Motif tumbuhtumbuhan atau pepatran, antara lain seperti patra punggel, patra samblung, patra sari, patra olanda, patra cina, dan patra wangga. Motif Kekarangan, terdiri dari motif karang gajah, karang guak, karang tapel, karang boma, karang sae, karang bentulu dan karang simbar. Sedangkan motif-hias yang terinspirasi dari mahlukmahluk mitologi yang bersifat simbolis antara lain seperti : bhadawang nala, naga anantabhoga, naga taksaka, garuda, dan angsa. Motif hias tradisional Bali tersebut berfungsi sebagai hiasan atau elemen penghias bangunan, disamping juga mengandung nilai-nilai filosofis dan simbolis. ix 9

10 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesadaran berkesenian sudah sangat mengental dan mentradisi dalam kehidupan masyarakat Bali. Sikap berkesenian secara tulus sebagai pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menjadi suatu tumpuan terciptanya keseimbangan hidup manusia, antara alam, lingkungan sosial, dan dengan Tuhannya, sebagai pencipta semua yang ada. Meresapnya konsep berkesenian sebagai wujud rasa bhakti dalam memelihara kedamaian hidup baik lahir maupun batin, melahirkan berbagai bentuk dan jenis kesenian antara lain : seni patung, seni lukis, seni ukir/kriya, seni arsitektur, seni tari, seni karawitan, dan seni suara, yang mencerminkan hubungan manusia dengan alam lingkungannya (Gelebet, 1982 : 25). Demikian pula halnya dengan seni arsitektur, yang mencerminkan tiga unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah loka alam tengah, dan swah loka alam atas. Perwujudannya berdasarkan konsep Triangga yaitu ; nistama angga (bagian kaki), madya angga (bagian badan), utama angga, (bagian kepala). Berbagai jenis kesenian berhubungan erat dengan agama merupakan satu kesatuan yang terjalin erat sebagai wujud bhakti kepada Tuhan. Dengan demikian pada setiap bangunan suci seperti pura, dan pemerajan selalu dihiasi dengan ukiran yang menerapkan motif hias tradisional Bali, yang terinspirasi dari bentuk-bentuk khayali dan bentuk-bentuk yang ada di alam. 1

11 Di Bali pada suatu tempat suci (Pura) biasanya dilengkapi dengan bangunan padmasana. Bangunan padmasana memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat pemujaan atau sthana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Bangunan padmasana pada suatu pura terletak di arah airsanya, yaitu arah timur laut, yang dipandang sebagai tempat Sanghyang Siwa Raditya, dan sangat disucikan oleh umat Hindu. Kalau kita bandingkan dengan bangunan candi-candi yang ada di Jawa, padmasana digambarkan dalam bentuk bunga teratai sebagai alas duduk patung dewa. Gambar semacam ini tidak hanya kita temui pada bangunan candi yang ada di Jawa, akan tetapi juga pada candi-candi yang ada di India. (Cudamani, 1998 : 51). Sementara itu, gambar bunga teratai sebagai alas duduk patung dewa sangat jarang kita temui di Bali. Di Jawa alas duduk dari perwujudan dewa berbentuk bunga padma, sedangkan di Bali alas banten perwujudan itu berbentuk lamak. Lamak biasanya terbuat dari perpaduan enau yaitu ron dan ambu yang menggambarkan isi dunia. Di dalam lamak tergambar bulan, bintang, mahlukmahluk, orang-orangan dan tumbuh-tumbuhan, sebagai simbol bahwa Hyang Widhi itu di sthanakan di atas bumi dengan segala isinya (Titib, 2001 : 106). Dengan demikian Ida Sang Hyang Widhi bertahta di atas bumi ini kemudian menjadi dasar bahwa bentuk padmasana di Bali berubah dari wujud bunga teratai menjadi bentuk padmasana, seperti singhasana (berbentuk kursi), yang bisa kita lihat saat ini (Ibid, 1998 : 52). Konsep bangunan padmasana yang kita warisi sampai saat ini di Bali berawal dari kedatangan seorang pendeta dari Kerajaan Majapahit yaitu 2

12 Danghyang Nirartha akhir abad ke 16 SM, yakni pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Sebelum beliau datang ke Bali, tempat suci (Pura) belum dilengkapi padmasana. Hal ini dikuatkan oleh lontar Dvijendra Tattwa disebutkan bahwa pada waktu, Danghyang Nirartha tiba di Bali, beliau merasakan memasuki mulut naga, dan melihat ada bunga teratai (padma) yang sedang mekar tetapi sayang sarinya tidak ada. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah di Bali agama Hindu sudah berkembang dengan baik, akan tetapi pemujaan hanya ditujukan kepada dewa-dewa dan roh leluhur sebagai manifestasi dari Hyang Widhi. Pemujaan yang hanya ditujukan terhadap dewa-dewa dan roh leluhur inilah yang dimaksudkan beliau sebagai bunga teratai tanpa sari. Beliau kemudian mengurangi penggunaan patung patung dewa yang dipuja, tidak seperti yang ada sebelumnya, dimana pelinggih meru dan gedong pada masa lalu hanya difungsikan sebagai pemujaan dewa-dewa dan roh leluhur (Cudamani, 1998 : 51). Bentuk bangunan padmasana hampir sama dengan candi yang lengkap dengan pepalihan, akan tetapi tidak mempunyai atap. Struktur bangunannya menerapkan konsep Triangga terdiri dari bagian kaki yang disebut nistama angga (tepas), bagian badan (madya angga) atau batur, dan bagian kepala (utama angga), yang juga disebut sari. Bangunan padmasana di buat dalam bentuk ruang yang bervariasi dalam dimensi, komposisi bidang-bidang pasangan, baik yang disusun dengan material batu padas, batu bata, dan penerapan tata motif hias yang sudah disesuaikan (Gelebet, 1982 : 159). Di Bali dalam membuat bangunan selalu diberi hiasan ornamen, lebihlebih tempat pemujaan, seperti halnya padmasana yang dipandang sebagai simbol 3

13 bumi. Motif hias yang diterapkan pada bangunan padmasana, merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk yang ada di alam, merupakan ciptaan Tuhan, seperti batubatuan, awan, api, air, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Stilisasi dari bentuk-bentuk alam dalam bentuk motif hias (ornamen) yang diterapkan secara turun-tumurun dari generasi ke generasi, oleh masyarakat Bali, kemudian dikenal dengan motif hias tradisional Bali. Penerapan motif hias tradisional Bali pada bangunan padmasana disamping mengandung nilai-nilai estetis, filosofis, juga nilai-nilai simbolis sesuai kepercayaan agama Hindu. Penerapan motif-motif hias tersebut selalu mengikuti struktur/pepalihan yang terdapat pada bangunan padmasana. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapatlah dirumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana struktur dan bentuk bangunan padmasana? 2. Bagaimana struktur penerapan motif hias tradisional Bali pada bangunan padmasana, terkait dengan nilai-nilai estetis, filosofis, dan simbolisnya? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bentuk dan struktur bangunan padmasana. 2. Untuk mengetahui struktur penerapan motif hias tradisional Bali pada bangunan padmasana, terkait dengan nilai-nilai estetis, filosofis, dan simbolis yang terkandung di dalamnya. 4

14 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai acuan dan sumber informasi bagi masyarakat mengenai keberadaan suatu bangunan padmasana, jika ditinjau dari struktur dan bentuknya, serta penerapan motif hias tradisional Bali, yang bermakna estetis, filosofis, dan juga simbolis. 5

15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pura Pada waktu pelaksanaan upacara seperti piodalan dan upacara lainnya, Tuhan Yang Maha Esa, para dewa dan roh suci leluhur dimohom turun ke dunia untuk bersthana di sthana yang sudah disediakan yang disebut pura, dengan aneka nama, jenis, serta fungsi dari pelinggihnya. Pura seperti halnya meru atau candi merupakan simbol dari kosmos, sorga, atau kahayangan. Sorga atau kahayangan digambarkan berada di puncak gunung Mahameru, oleh karena itu gambaran candi atau pura merupakan replika dari gunung Mahameru tersebut (Titib, 2001 : 88). Pada mulanya istilah pura berasal dari kata Sansakerta yang berarti kota atau benteng, yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata pura untuk menamai tempat suci/tempat pemujaan, dipergunakanlah kata kahyangan atau hyang. Rupa-rupanya penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci, dipakai setelah dinasti Dalem di Klungkung, disamping juga istilah kahayangan masih tetap dipakai. Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel sekitar akhir abad ke 16, datanglah seorang pendeta dari Kerajaan Majapahit yaitu Danghyang Nirartha untuk mengabadikan dan menyempurnakan kehidupan agama Hindu di Bali. Beliau menemukan adanya kekaburan ajaran keagamaan antara pemujaan dewa dengan roh leluhur. Hal inilah yang mendorong Danghyang Nirartha 6

16 membuat tempat pemujaan berbentuk padmasana yang terletak di arah airsanya, yaitu arah timur laut, menghadap barat daya, dalam lingkup areal suatu pura, untuk memuja Sang Hyang Widhi, yang sekaligus membedakan tempat pemujaan dewa serta roh leluhur (Ibid, 2001 : 93). Dalam perkembangan lebih lanjut kata pura digunakan disamping kata kahyangan atau parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya, disamping juga pemujaan terhadap leluhur yang disebut bhatara. Hal ini memberikan pengertian bahwa pura adalah simbol gunung Mahameru tempat pemujaan dewa dan bhatara. Tidak sembarangan tempat bisa dijadikan kawasan untuk membangun pura. Dalam tradisi Bali yang termuat dalam beberapa lontar, menyatakan tanah yang layak dipakai sebagai tempat suci adalah tanah yang berbau harum, gingsih, sedangkan tempat-tempat yang ideal adalah tempat yang indah, disamping vibrasi kesucian yang memancar pada lokasi yang ideal tersebut. Untuk membuat pura yang indah, harus memenuhi aturan yang tertuang dalam Asta kosala kosali dan Asta bhumi (arsitektur tradisional Bali). Demikian pula halnya dalam penerapan motif hias yang senantiasa menghiasi sebuah pura. Sejak seseorang mulai masuk dari candi bentar, menuju kori agung, sampai ke jeroan, sesungguhnya seperti seseorang menuju sorga, atau ke puncak gunung. Jeroan pura adalah puncak gunung yang maha suci. Sang Hyang Widhi bersthana di padmasana, para dewa bersthana di meru-meru sesuai dengan tingkatan manifestasinya (Ibid, 2001 : 112). 7

17 2.2 Pengertian Padmasana Kata padmasana berasal dari kata padma yang berarti bunga teratai, dan asana yang berarti tempat duduk atau sikap duduk. Dalam agama Hindu dan Buddha, teratai dipakai simbol tempat duduk para dewa. Dipilihnya bunga tersebut, karena memiliki beberapa keistimewaan bila dibandingkan dengan bunga-bunga pada umumnya antara lain : Bunga teratai akar dan pangkalnya tumbuh di dalam lumpur yang busuk, batangnya berada di air dan bunganya ada di atas air. Dengan demikian bunga teratai hidup di tiga alam. Dalam agama Hindu Ida Sang Hyang Widhi disebutkan bertahta di atas tiga alam yakni bhur, bwah dan swah yang dianggap sebagai simbol tri bhuwana. Bunga teratai, walaupun hidup di air tetap tidak basah oleh air. Oleh karena itu bunga teratai dipakai sebagai lambang kesucian, bebas dari ketidakterikatan, walaupun beliau menciptakan dunia dan berada di dunia. Kesamaan ini menyebabkan bunga teratai sebagai simbol sthana Ida Sang Hyang Widhi. Meskipun kelopak bunga teratai itu lebih dari delapan kelopak, tetapi di dalam mitologi selalu dilukiskan berjumlah delapan, sebagai simbol Ida Sang Hyang Widhi yang mempunyai sakti delapan dewa yang dikenal dengan istilah Astasvarya (Cudamani, 1998 : 7). Lebih lanjut dijelaskan dalam buku Padmasana, dalam filsafat Hindu alam semesta ini seumpama Ida Sang Hayang Widhi yang dikenal dengan sebutan bhuwana agung. Sementara itu, bhuwana alit diumpamakan tubuh manusia, dimana atma sebagai penguasanya. Dengan demikian bhuwana alit adalah bentuk 8

18 mini dari bhuwana agung yang memiliki tatanan yang sama. Hiasan bhadawang nala yang terdapat pada bangunan padmasana merupakan dasar dari bhuwana agung maupun bhuwana alit. Bila bhuwana agung digambarkan dengan padmasana, maka manusia yang meninggal digambarkan dengan surat kajang, yang juga memakai gambar bhadawang nala dan naga. Dengan kata lain maka dapatlah dijelaskan bahwa padmasana itu merupakan gambaran dari bumi ini (Cudamani, 1998 : 17). Pengertian Motif Hias Tradisional Bali Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dijelaskan ; motif adalah sebabsebab yang menjadi dorongan; tindakan seseorang, dasar pikiran atau pendapat, sesuatu yang menjadi pokok dalam cerita, gambaran dsb. ( Poerwadarminta, 1985 : 655). Motif adalah dasar warna; latar belakang warna; dasar ragam untuk aransemen lagu; ragam; bentuk; alasan dasar (Partanto, 1994 : 486). Hias adalah; corak hiasan pada kain, hiasan bagian rumah, bangunan suci dan sebagainya (Susanto, 2002 : 75) Sedangkan tradisional adalah kebiasaan secara turuntumurun, tentang pandangan hidup, kepercayaan, kesenian, tarian upacara dsb. (Ibid 1985 : 1088). Berdasarkan uraian tersebut di atas yang dimaksud dengan motif hias tradisional Bali adalah bentuk dasar atau elemen pokok penciptaan suatu hiasan atau ornamen, yang dipolakan berulang-ulang, memiliki kekhasan tertentu sehingga bisa menjadi identitas motif hias daerah tertentu pula. Motif hias atau ornamen yang terinpirasi dari unsur-unsur alam, diwujudkan kembali dengan 9

19 tujuan untuk menghias suatu benda, sehingga benda yang dihias tersebut mempunyai nilai tambah baik dari segi finansial ataupun spiritual. Tidak jarang suatu motif hias atau ornamen mengandung makna simbolis, filosofis, yang berhubungan dengan pandangan hidup masyarakat tertentu pada waktu tertentu pula. Ciri hakiki dari benda-benda alam yang dijadikan motif hias, masih menampakkan identitas walaupun diolah dalam usaha penonjolan nilai-nilai keindahannya. Motif hias atau ornamen sengaja dibuat untuk menghiasi bagianbagian bangunan (arsitektur), kerajinan tangan, lukisan, perhiasan dan sebagainya. Motif hias dalam hal ini dibuat dengan cara digambar, dipahat maupun dicetak untuk meningkatkan nilai suatu benda, baik bangunan (arsitektur) maupun karya seni (Ibid, 2002 : 220). Motif hias atau ornamen merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk yang ada di alam seperti batu-batuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Kehadiran motif hias sebagai hasil kreasi manusia yang dapat menghasilkan suatu bentuk hiasan (ornamen). Sedangkan pola mengandung pengertian suatu hasil susunan/pengorganisasian dari motif tertentu dalam bentuk dan komposisi tertentu pula. Namun pola dalam konteks tertentu dapat berarti lain, misalnya dalam disain produk, yaitu sebagai prototipe dari suatu barang yang akan diproduksi (Sukarman dalam Suardana, 2007 : 7). Stilisasi dari bentuk-bentuk alam yang diwujudkan dalam bentuk motif hias atau ornamen bisa diterapkan pada kain seperti hiasan pada ider-ider, umbul-umbul, batik, dan hiasan parba. Hiasan pada kayu seperti ulon, saka, kori, plawah gamelan, dan peralatan rumah tangga. Sedangkan pada batu padas seperti 10

20 pembuatan patung-patung perwujudan, hiasan pepalihan pada rumah tinggal, dan bangunan suci. Kebiasaan membuat hiasan yang bernuansa lokal secara turuntumurun, atau sudah mentradisi tersebut, oleh masyarakat Bali kemudian dikenal dengan motif hias tradisional. Dalam pengertian tradisional bumi terbentuk dari lima unsur yang disebut Panca Mahabutha, yakni apah (zat cair), teja (sinar), bayu (angin), akhasa (udara), dan pertiwi (tanah bebatuan/zat padat). Kelima unsur tersebut melatarbelakangi bentuk-bentuk motif hias (ornamen) yang berasal dari alam. Estetika, etika dan logika merupakan dasar-dasar pertimbangan dalam mencari, mengolah dan menempatkan motif hias yang mengambil tiga kehidupan di bumi, seperti halnya manusia, binatang (fauna), dan tumbuh-tumbuhan (flora). (Gelebet, 1982 : 331). Adapun jenis-jenis motif hias tradisional Bali tersebut antara lain sebagai berikut : 1. Motif Keketusan (geometris), terdiri dari : Kakul-kakulan Batun timun Ganggong Emas-emasan Ceracap Mute-mutean Tali ilut dan sebagainya. 2. Motif tumbuh-tumbuhan (pepatran), terdiri dari : Patra Punggel 11

21 Patra Samblung Patra Sari Patra Olanda Patra Cina Patra Wangga dan sebagainya. 3. Motif Kekarangan, terdiri dari : Karang Gajah Karang Guak Karang Tapel Karang Boma Karang Sae Karang Bentulu Karang Simbar dan sebagainya. Motif hias tradisional Bali tersebut berfungsi sebagai hiasan atau elemen penghias bangunan terutama tempat suci, seperti halnya padmasana, selalu mengikuti bentuk dan struktur dari bangunan tersebut, yang mencerminkan tiga unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah loka alam tengah, dan swah loka alam atas. 12

22 BAB III METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Taylor (1975 : 5) pendekatan kualitatif menghasilkan deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Teknik analisis dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif. 3.1 Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yang diperoleh dari informan sebagai data primer. Selain data primer juga digunakan data sekunder sebagai data penunjang yakni data yang diperoleh dari studi kepustakaan (library research). 3.2 Teknik Pengumpulan Data Ada beberapa metode atau teknik dalam pengumpulan data. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Observasi Pengumpulan data dengan observasi dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti, yakni bangunan padmasana yang ada di Pura Puseh Desa Adat Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang lengkap berkenaan dengan keadaan yang sesungguhnya di lapangan. 13

23 Wawancara Metode ini digunakan untuk memperoleh data atau informasi yang lengkap dari beberapa orang narasumber, yang mengerti tentang keberadaan bangunan padmasana, baik dari kalangan pemangku, pendeta, undagi, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan membuat catatan tentang pokok-pokok permasalahan yang akan ditanyakan sesuai dengan tujuan penelitian Studi Kepustakaan Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data melalui sejumlah pustaka, dalam hal ini peneliti akan menelaah beberapa literatur baik berupa buku, lontar, jurnal, majalah maupun surat kabar, yang ada signifikansinya terhadap penelitian Dokumentasi Adalah bukti-bukti tertulis atau benda-benda peninggalan yang berkaitan dengan peristiwa penting. Banyak peristiwa yang terjadi di masa lampau bisa dipelajari melalui dokumen. Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku, lontar, foto-foto bangunan padmasana, hasil karya seni pahat dan sebagainya. 3.3 Instrumen Penelitian Selama di lapangan data dikumpulkan dengan menggunakan pedoman wawancara yang dilengkapi dengan buku catatan, tape recorder, dan kamera fotografi. Alat-alat ini digunakan untuk mencatat dan merekam berbagai informasi yang dibutuhkan dari informan, terkait dengan keberadaan bangunan padmasana, 14

24 jika dikaji dari aspek struktur bentuk, dan penerapan motif hias tradisional Bali. Sementara itu, kamera fotografi digunakan untuk memotret beberapa bagian dari bangunan padmasana yang lengkap dengan motif hias tradisional Bali yang menjadi objek penelitian. 3.4 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Dasar pertimbangan memilih lokasi di desa bersangkutan, karena desa tersebut memiliki potensi seni khususnya seni ukir batu padas dengan motif hias tradisional Bali, yang diterapkan pada bangunan suci (pura) dan juga rumah tinggal. 15

25 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Batubulan termasuk wilayah Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Desa Batubulan terletak di sebelah barat daya kota Gianyar, dengan orbitasi jarak ke kota kecamatan 3 km, jarak ke kota kabupaten 17 km, dan jarak ke kota provinsi 10 km (Profil Desa Batubulan 2004 : 6). Desa Batubulan yang berlokasi di Kecamatan Sukawati, Gianyar, menjadi sentral kerajinan patung batu padas dan kerajinan ukir kayu yang sudah dikenal oleh berbagai kalangan Kondisi Geografis Desa Batubulan Desa Batubulan termasuk wilayah Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Desa Batubulan letaknya sangat strategis, dan mempunyai arti tersendiri bagi masyarakat Desa Batubulan, sebagai penunjang pariwisata dan sebagai tujuan kunjungan parwisata Bali bagian timur. Luas Desa Batubulan seluruhnya sekitar 644,52 ha, yang terdiri dari persawahan 301,41 ha, tegalan 9,52 ha, pemukiman penduduk 327,46 ha, dan fasilitas umum 6,13 ha. Desa Batubulan terdiri dari 15 banjar dinas antara lain : 1). Banjar Tegaltamu, 2). Banjar Tegal Jaya, 3). Banjar Pengembungan, 4). Banjar Denjalan, 5). Banjar Batur, 6). Banjar Pengambangan, 7). Banjar Telabah, 8). Banjar Pagutan Kaja, 9). Banjar Pagutan Kelod, 10). Banjar Tubuh, 11) Banjar Kalah, 12). Banjar 16

26 Kapal, 13). Banjar Tegeha, 14). Banjar Sasih, dan 15). Banjar Muntur. Dalam konteks Desa Pakraman, Desa Batubulan terdiri dari tiga Desa Pakraman yakni Desa Pakraman Tegaltamu, Desa Pakraman Jero Kuta, dan Desa Pakraman Delod Tukad (Profil Desa Batubulan, 2004 : 7). Secara teritorial Desa Batubulan berbatasan dengan : Sebelah utara : Desa Singapadu Sebelah Selatan : Pantai Biaung Sebelah Barat : Desa Penatih Sebelah Timur : Desa Celuk. Daratan Desa Batubulan, berbentuk landai, tidak berbukit dan terletak lebih kurang 70 meter dari permukaan laut. Curah hujan pertahun rata-rata m m, dan keadaan suhu berada oc. Tanahnya sangat subur, produktivitas tanaman padi, palawija, kedelai, jagung dan kangkung. Letaknya relatif dekat dengan laut sangat cocok untuk tanaman kelapa dan mangga. Letak wilayahnya sangat strategis, dan dekat dari pusat pemerintahan ibu kota provinsi, sehingga menjadi incaran banyak orang yang memiliki banyak uang untuk bermukim di wilayah tersebut. Dilihat dari pola pemukiman masyarakat Desa Batubulan memperlihatkan pola pemukiman mengelompok, serta rumah-rumah tempat tinggal penduduk yang berjejer di pinggir jalan, dan terhimpun dalam suatu pekarangan rumah. Dalam suatu pekarangan rumah terdapat berbagai bangunan yang dapat dibedakan menjadi kelompok bangunan tempat pemujaan (tempat suci), dan kelompok bangunan tempat tinggal (rumah). Selain itu muncul pula jenis bangunan berupa 17

27 artshop-artshop untuk memajang hasil produk kerajinan patung batu padas, ukiran kayu, dan perak, yang menjadi mata pencaharian masyarakat Desa Batubulan selain pertanian dan peternakan Mata Pencaharian Mata pencaharian merupakan sumber penghidupan dalam suatu masyarakat. Penduduk suatu masyarakat akan mengalami suatu tekanan apabila masyarakatnya hanya mengandalkan satu jenis pekerjaan (mata pencaharian). Berbekalkan pengetahuan dan keterampilan secara turun-temurun yang dimiliki masyarakat Desa Batubulan, mampu mengembangkan berbagai jenis pekerjaan antara lain : sebagai pematung batu padas, seni ukir kayu, pedagang, dan sebagainya, yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Ciri agraris juga masih tetap terlihat, karena masyarakat Desa Batubulan juga cukup banyak bekerja pada sektor pertanian. Sejalan dengan perkembangan Desa Batubulan sebagai daerah penunjang dan sekaligus sebagai daerah kunjungan wisata, maka berkembang pula jenis pekerjaan disektor lain yaitu, sebagai pematung batu padas, seni ukir kayu, dan sebagai wiraswasta. Desa Batubulan memiliki sumber daya alam yang sangat potensial bila dikembangkan dan dijadikan sumber mata pencaharian penduduk. Mata pencaharian penduduk Desa Batubulan ada di beberapa sektor antara lain : Sektor pertanian, dalam hal ini pertanian lahan basah tetap menjadi mata pencaharian sebagian penduduk desa. Areal persawahan di Desa Batubulan cukup luas, dengan menerapkan pola tanam padi, dan palawija. Pertanian lahan kering 18

28 terutama tegalan dan pekarangan tersedia cukup luas, ditanami berbagai jenis buah-buahan lokal seperti pisang, kelapa, mangga, dan pepaya. Sektor kerajinan ukiran kayu dan patung batu padas menjadi mata pencaharian andalan masyarakat Desa Batubulan, karena sebagian besar penduduk menekuni pekerjaan ini, dan menunjukkan perkembangan cukup signifikan karena daerah Batubulan sebagai daerah tujuan wisata. Hal ini bisa dilihat dari adanya peningkatan jumlah pemilik usaha kerajinan patung batu padas dan ukiran kayu di desa tersebut dewasa ini. Meningkatnya minat generasi muda yang berkecimpung dalam bidang kerajinan ukiran dan patung batu padas, bisa menambah pendapatan masyarakat, secara tidak langsung mengurangi jumlah pengangguran. Masyarakat Batubulan juga hidup dari sektor kesenian yakni atraksi Barong Dance yang dipertunjukkan untuk kepentingan pariwisata. Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa Desa Batubulan telah mencapai tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini bisa dilihat melalui keadaan wilayah, kondisi lingkungan penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakatnya (Monografi Desa Batubulan, 1990 : 13) Agama dan Kepercayaan Penduduk Desa Batubulan yang beragama Hindu meyakini adanya Tuhan dalam bentuk Tri Murti, yang mempunyai tiga wujud manifestasi yakni Brahma yang menciptakan, Wisnu melindungi serta memelihara, dan Siwa sebagai pelebur segala yang ada. Selain meyakini adanya kekuatan Sang Hyang Widhi, penduduk masyarakat Desa Batubulan juga percaya kepada dewa-dewa dan roh yang 19

29 menempati suatu tempat keramat, kepercayaan itu dibuktikan antara lain dengan menghaturkan sesaji pada hari-hari tertentu untuk memohon keselamatan. Masyarakat Desa Batubulan mempunyai kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan secara turun-tumurun dalam kaitan khayangan tiga yang menjadi identitas Desa Pakraman Batubulan. Segala aktivitas keagamaan dan adat diatur oleh Desa Pakraman yang berkaitan dengan khayangan tiga sebagai tempat pemujaan dan simbol pemersatu bagi masyarakat adat dalam melaksanakan upacara pemujaan sebagai wujud bhakti kepada Hyang Widhi. Agama Hindu mengenal adanya ajaran catur marga, yaitu empat jalan untuk mendekatkan diri kepada Hyang Widhi, yakni bhakti marga, karma marga, jnana marga, dan raja marga. Diantara empat jalan ini bhakti marga banyak dilakukan oleh masyarakat yang memiliki kepekaan perasaan berdasarkan cinta kasih, sehingga melahirkan keikhlasan untuk berkorban. Rasa cinta melahirkan seni sebagai ungkapan rasa bhakti untuk kepentingan adat dan agama. Hal ini bisa kita lihat pada tempat suci seperti pemerajan, pura, selalu diberi ukiran/pahatan, baik yang menggunakan material kayu maupun batu padas, dengan menerapkan berbagai macam bentuk motif hias (ornamen), sebagai ungkapan rasa bhakti kepada Hyang Widhi. 4.2 Sekilas Tetang Sejarah Bangunan Padmasana Di Bali bangunan padmasana memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat pemujaan atau sthana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Dengan demikian, pada suatu tempat suci (pura) biasanya dilengkapi dengan 20

30 bangunan padmasana. Bangunan padmasana terletak di arah airsanya, yaitu arah timur laut pada sebuah pura, yang dipandang sebagai tempat Sanghyang Siwa Raditya, dan sangat disucikan oleh umat Hindu. Kalau kita bandingkan dengan bangunan candi-candi yang ada di Jawa, padmasana digambarkan dalam bentuk bunga teratai sebagai alas duduk patung dewa. Gambar semacam ini tidak hanya kita temui pada bangunan candi yang ada di Jawa, akan tetapi juga pada candicandi yang ada di India. Sementara itu, gambar bunga teratai sebagai alas duduk patung dewa sangat jarang kita temui di Bali. Di Jawa alas duduk dari perwujudan dewa berbentuk bunga padma, sedangkan di Bali alas banten perwujudan itu berbentuk lamak. Lamak biasanya terbuat dari perpaduan enau yaitu ron dan ambu yang menggambarkan isi dunia. Di dalam lamak tergambar bulan, bintang, mahlukmahluk, orang-orangan dan tumbuh-tumbuhan, sebagai simbol bahwa Hyang Widhi itu di sthanakan di atas bumi dengan segala isinya (Titib, 2001 : 106). Dengan demikian Ida Sang Hyang Widhi bertahta di atas bumi ini kemudian menjadi dasar mengapa bentuk padmasana di Bali berubah dari wujud bunga teratai menjadi bentuk bangunan padmasana, seperti singhasana (berbentuk kursi), yang bisa kita lihat saat ini. Konsep bangunan padmasana yang diwarisi sampai saat ini di Bali berawal dari kedatangan seorang pendeta dari Kerajaan Majapahit yaitu Danghyang Nirartha akhir abad ke 16 SM, pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Sebelum beliau datang ke Bali, tempat suci (pura) belum dilengkapi padmasana. Hal ini dikuatkan oleh lontar Dvijendra Tattwa disebutkan 21

31 bahwa pada waktu, Danghyang Nirartha tiba di Bali, beliau merasakan memasuki mulut naga, dan melihat ada bunga teratai (padma) yang sedang mekar tetapi sayang sarinya tidak ada. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah di Bali agama Hindu sudah berkembang dengan baik, akan tetapi pemujaan hanya ditujukan kepada dewa-dewa dan roh leluhur sebagai manifestasi dari Hyang Widhi. Pemujaan yang ditujukan terhadap dewa-dewa dan roh leluhur inilah yang dimaksudkan sebagai bunga teratai tanpa sari. Beliau kemudian mengurangi penggunaan patung patung dewa yang dipuja, tidak seperti apa yang sudah ada sebelumnya di Bali, pelinggih meru dan gedong pada masa lalu hanya difungsikan sebagai pemujaan dewa-dewa dan roh leluhur (Cudamani, 1998 : 51). Walaupun kita melihat di dalam sebuah pura terdapat banyak adanya bentuk-bentuk patung, ternyata patung-patung tersebut adalah patung hiasan, ataupun patung dwarapahala sebagai penjaga pintu masuk. Hal ini disebabkan sejak Danghyang Nirartha ada di Bali, patung-patung perwujudan dewa itu dibuat dalam bentuk banten seperti banten perwujudan dewa-dewi, banten catur, atau yang paling sederhana berbentuk daksina atau tapakan (Ibid, 1998 : 3). Banten perwujudan ini bersifat sementara, dimana bahannya terdiri dari daun-daunan, bunga-bungaan, serta hasil bumi. Dengan demikian fungsi padmasana memiliki peranan yang cukup penting pada setiap pura, yang dipandang sebagai simbol bumi dengan segala isinya, dan sebagai tempat bersthananya Sang Hyang Widhi yang mampu mempersatukan berbagai lapisan yang ada di masyarakat. 22

32 4.3 Fungsi Dan Jenis Padmasana Fungsi utama dari bangunan padmasana, adalah sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa. Menurut lontar Catur Wariga Winasasari, ada bermacam-macam padmasana yang berbeda-beda fungsinya, menurut tempatnya. Padmasana yang terletak di arah airsanya yaitu timur laut adalah linggih Sanghyang Siwa Raditya, padmasana yang terletak di sebelah timur adalah linggih Sanghyang Iswara, yang berada di sebelah selatan adalah linggih Sanghyang Brahma, yang terletak di sebelah utara adalah linggih Sanghyang Wisnu, sedangkan yang di tengah-tengah berupa padmakurung memakai tiga ruangan (rong telu), dipuncaknya sebagai linggih Sanghyang Samodaya. Semua padmasana ini memakai dasar bhadawang nala yang dililit oleh naga (Cudamani, 1998 : 44). Padmasari, bangunan ini bentuknya menyerupai padmasana, akan tetapi tidak menggunakan dasar bhadawang nala yang dililit oleh naga. Padmasana merupakan linggih atau sthana permanen dari dewa-dewa tertentu sesuai dengan letaknya, dan tidak boleh dipergunakan sebagai tempat pengayatan. Sedangkan padmasari bisa digunakan sebagai tempat/linggih dewa, pitara, untuk sementara dalam arti tidak permanen yang memiliki bentuk yang lebih sederhana. Padma Capah, bangunan ini mirip dengan padmasari, akan tetapi bentuk dan ukurannya sangat sederhana, lebih kecil dan rendah. Adapun yang disthanakan di tempat tersebut adalah spirit (roh) yang mempunyai status lebih rendah dari pemiliknya (Ibid, 1998 : 48). 23

33 4.4 Tata Letak Bangunan Padmasana Untuk memuja Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, dan Dewadewa sebagai manifestasi dari Tuhan, dibangun tempat-tempat pemujaan. Tempat pemujaan adalah berupa bangunan suci, yang dibangun di tempat yang dianggap suci atau tempat-tempat yang disucikan. Dalam berbagai bentuk dan fungsi pemujaan atau tempat ibadah, di Bali disebut Pura, dengan tingkatan-tingkatan utama, madya, dan sederhana. Pura dalam berbagai bentuk dan fungsi pemujaannya terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan pura yang dibagi menjadi tiga zone. Zone utama yang disebut jeroan, yakni sebagai tempat pelaksanaan pemujaan dan persembahyangan. Zone tengah disebut jaba tengah, sebagai tempat persiapan dan pengiring upacara. Zone depan yang disebut jaba sisi, sebagai tempat peralihan dari luar ke dalam pura. Bangunan pura umumnya menghadap ke barat, jika memasuki sebuah pura akan menuju ke arah timur, demikian pula pemujaan dan persembahyangannya menghadap ke timur ke arah terbitnya matahari. Sedangkan komposisi bangunan pelinggih berjajar utara selatan di sisi timur menghadap ke barat, dan sebagian lagi ada di sisi utara menghadap ke selatan. Pada sebuah pura, padmasana, meru, gedong, kemulan merupakan bangunan pelinggih sebagai tempat pemujaan utama. Bangunan padmasana memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat pemujaan atau sthana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Padmasana pada suatu pura terletak di arah airsanya, yaitu arah timur laut, yang dipandang sebagai linggih Sanghyang Siwa Raditya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok 24

34 pembatas (penyengker) pekarangan yang disakralkan. Pada bagian-bagian sudut terdapat paduraksa yang berfungsi sebagai penyangga sudut-sudut penyengker. Pintu masuk di depan atau di jaba pura memakai candi bentar, dan pintu masuk ke jaba tengah atau ke jeroan memakai kori agung dengan berbagai macam bentuk variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya (Gelebet, 1982 : 108) Struktur Bangunan Padmasana Secara umum struktur atau bentuk bangunan Padmasana disusun vertikal yang mencerminkan tiga unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah loka alam tengah, dan swah loka alam atas. Perwujudannya berdasarkan konsep Triangga yaitu ; nistama angga (bagian kaki), madya angga (bagian badan), utama angga, (bagian kepala). Dilengkapi dengan berbagai bentuk motif hias yang terinspirasi dari bentuk-bentuk yang ada di alam. Di Bali berbagai jenis kesenian baik seni patung, seni lukis, seni ukir/kriya, seni arsitektur, seni tari seni karawitan, dan seni suara berhubungan erat dengan agama merupakan satu kesatuan yang terjalin erat sebagai wujud bhakti kepada Tuhan. Dengan demikian pada setiap bangunan suci seperti pura, dan pemerajan selalu dihiasi dengan ukiran yang menerapkan motif hias tradisional Bali yang mencerminkan hubungan manusia dengan alam lingkungannya (Gelebet, 1982 : 25). Bentuk bangunan padmasana hampir sama dengan candi yang lengkap dengan pepalihan, akan tetapi tidak mempunyai atap. Tinggi padmasana sekitar 3 sampai 4 meter dengan dasar segi empat atau bujur sangkar, lebar sisi-sisinya sekitar 2 sampai 3 meter, bentuknya mengecil ke arah atas. Struktur bangunannya 25

35 terdiri dari bagian kaki yang disebut tepas, bagian badan atau batur, dan bagian kepala yang disebut sari. Bangunan padmasana di buat dalam bentuk ruang yang bervariasi dalam dimensi, komposisi bidang-bidang pasangan, dan tata motif hiasannya (Gelebet, 1982 : 159). Bentuk hiasan yang umumnya dipakai pada bebaturan pasangan batu bata untuk pelinggih-pelinggih pemujaan seperti halnya bangunan padmasana, yakni berupa pepalihan dengan segala macam variasi yang berpedoman pada pakempakem dasar pepalihan. Macam-macam pepalihan ada yang disebut palih bagenda, palih wayah, palih bacean, palih taman sari, bagian-bagian suatu pepalihan yang disebut cakep gula, cakep sari, pepiringan, sebitan, gemulung, ringring, bogem, bungan tuwung, dengan berbagai kombinasi dan variasi. (Gelebet, 1982 : 337). Gambar 1. Tampak Depan Padmasana Sumber : Buku Arsitektur Tradisional Daerah Bali Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun

36 Gambar 2. Tampak Samping Padmasana Sumber : Buku Arsitektur Tradisional Daerah Bali Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1982 Gambar 3. Pelinggih Padmasana di Pura Puseh, Desa Adat Batubulan 27

37 4.4.2 Penerapan Motif hias Tradisional Bali Pada Bangunan Padmasana Sudah menjadi kebiasan bagi masyarakat Hindu di Bali dalam membuat bangunan selalu diberi hiasan atau ornamen, lebih-lebih tempat pemujaan seperti halnya padmasana yang dipandang sebagai simbol bumi (bhuwana agung). Motif hias yang diterapkan pada bangunan padmasana, merupakan stilisasi dari bentukbentuk yang ada di alam seperti batu-batuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Stilisasi dari bentuk-bentuk alam dalam bentuk motif hias (ornamen) yang sudah diterapkan secara turun-tumurun oleh masyarakat dikenal dengan istilah motif hias tradisional Bali. Penerapan motif hias tradisional Bali pada bangunan padmasana disamping mengandung nilai-nilai estetis, filosofis, juga nilai-nilai simbolis. Penerapan motif-motif hias tersebut selalu mengikuti bentuk dan struktur/pepalihan yang terdapat pada bangunan padmasana. Kalau dilihat dari struktur penerapan motif hiasannya adalah sebagai berikut : Dari bagian bawah atau bagian kaki bangunan padmasana yang disebut tepas, terdapat motif hias bhadawang nala (kura-kura) yang dililit oleh dua ekor naga yakni naga Anantabhoga dan Basuki. Kemudian di atasnya yakni pada setiap sudut terdapat motif hias karang gajah/asti, di tengah-tengah sejajar dengan motif hias Karang Gajah tersebut terdapat motif Karang Bentulu dan Karang Daun. Di atas motif Karang Gajah yang menghiasi ke empat sudut bangunan padmasana, terdapat motif hias Karang Tapel, yang pada bagian bawahnya dikombinasikan dengan motif Karang Simbar, yang juga menghiasi bagian sudut bangunan. Di atas karang Tapel terdapat motif hias Karang Guak yang juga 28

38 menghiasi ke empat sudut bangunan padmasana, dikombinasikan dengan Karang Simbar dan patra punggel. Pada terapan pepalihan terdapat motif keketusan atau motif-motif geometris seperti ganggong, ceracap dan kakul-kakulan. Pada bagian tengah atau badan bangunan padmasana yang disebut batur, yakni pada bagian belakang badan padmasana terdapat motif hias garuda membawa tirta amerta, kemudian di atasnya pada setiap sudut masing-masing terdapat motif hias Karang Guak, yang dikombinasikan dengan Karang Simbar dan patra punggel. Pada terapan pepalihan terdapat motif keketusan seperti emasemasan, kakul-kakulan, ceracap dan batun timun. Pada bagian belakang di atas motif hias garuda terdapat motif hias angsa yang sedang mengepas-ngepaskan sayapnya. Pada bagian atas bangunan padmasana yang disebut sari terdapat singhasana seperti kursi, yang pada bagian dinding samping dan belakangnya terdapat ulon. Pada ulon belakang singhasana terdapat motif Sang Hyang Acintya. Dilihat dari sikap tari Sang Hyang Acintya tersebut mengingatkan kita pada tari Sivanataraja dalam menciptakan alam semesta. Pada bagian belakang ulon terdapat motif patra punggel yang dikomposisikan menyerupai bentuk gunungan (kayonan). Ulon bagian samping kiri dan kanan dihiasi dengan motif hias Naga Taksaka bersayap yang dikombinasikan dengan patra punggel. Motif-motif hias seperti keketusan motif (geometris) dan pepatran, lebih banyak berfungsi sebagai elemen penghias untuk menambah keindahan dan keagungan dari bangunan padmasana itu sendiri, yang diterapkan pada bidang pepalihan, yang sudah disesuaikan. Penerapan motif-motif hias pada bangunan 29

39 padmasana disamping mengadung nilai-nilai estetis, filosofis, juga mengandung nilai-nilai simbolis antara lain : motif hias bhadawang nala, sebagai simbol gerak dinamis kehidupan di bumi, dijadikan dasar padmasana, wadah ataupun bade. Naga Anantabhoga adalah simbol kemurahan akan sandang, pangan dan papan yang tidak akan habis-habisnya. Naga Basuki adalah simbol kekuatan air yang menjadi sumber kehidupan mahkluk, atau sebagai lapisan yang menutupi kulit bumi ini. Garuda membawa tirta amerta adalah pelaku utama dalam cerita Samudra Manthana dalam Adiparwa yang menggambarkan pencaharian tirta amerta (air kehidupan) antara dewa dan raksasa, dengan kemenangan difihak para dewa, sebagai simbol kebebasan melalui pelepasan terhadap ikatan duniawi. Sedangkasn motif hias angsa yang sedang mengepas ngepaskan sayapnya adalah simbol kesucian dan keindahan abadi (Titib, 2001 : 108). Angsa juga disimbolkan sebagai Omkara, Brahman atau Atman, yakni sebagai simbol manusia yang ingin kembali kepada Sang Hyang Widhi, yang juga disebut amoring acintya. Sedangkan Naga Taksaka bersayap berarti udara atau atmosfir yang mengambil tempat di angkasa (Cudamani, 1998 : 41). 30

40 Gambar 4. Motif Hias Bhadawang Nala, Naga Anantabhoga, dan Naga Basuki yang menghiasi bangunan Padmasana di Pura Puseh Desa Adat Batubulan. Gambar 5. Motif Hias Karang Gajah/asti kombinasidengan patra punggel 31

41 Gambar 6. Motif Hias Karang Guak dan Karang Simbar Gambar 7. Motif Hias Karang Tapel kombinasi dengan patra punggel 32

42 Gambar 8. Motif Hias Karang Bentulu kombinasi dengan patra punggel Gambar 9. Motif Hias Garuda 33

43 Gambar 10. Motif Hias Keketusan (kakul-kakulan) Gambar 11. Motif Hias Keketusan (emas-emasan) 34

44 BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Kesadaran berkesenian sudah sangat mengental dan mentradisi dalam kehidupan masyarakat Bali. Sikap berkesenian secara tulus sebagai pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menjadi suatu tumpuan terciptanya keseimbangan hidup manusia, antara alam, lingkungan sosial, dan dengan Tuhannya, sebagai pencipta semua yang ada. Berbagai jenis kesenian berhubungan erat dengan agama merupakan satu kesatuan yang terjalin erat sebagai wujud bhakti kepada Tuhan. Dengan demikian pada setiap bangunan suci seperti pura, dan pemerajan selalu dihiasi dengan ukiran yang menerapkan motif hias tradisional Bali sebagai cerminan rasa bhakti kepada Sang Pencipta. Di Bali pada suatu tempat suci (Pura) biasanya dilengkapi dengan bangunan padmasana. Bangunan padmasana memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat pemujaan atau sthana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Bangunan padmasana pada suatu pura terletak di arah airsanya, yaitu arah timur laut, yang dipandang sebagai tempat Sanghyang Siwa Raditya, dan sangat disucikan oleh umat Hindu. Konsep bangunan padmasana yang kita warisi sampai saat ini di Bali berawal dari kedatangan seorang pendeta dari Kerajaan Majapahit yaitu Danghyang Nirartha akhir abad ke 16 SM, yakni pada masa pemerintahan Dalem 35

45 Waturenggong. Sebelum beliau datang ke Bali, tempat suci (Pura) belum dilengkapi padmasana. Adapun struktur bentuk bangunan padmasana disusun vertikal yang mencerminkan tiga unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah loka alam tengah, dan swah loka alam atas. Perwujudannya berdasarkan konsep Triangga yaitu ; nistama angga (bagian kaki), madya angga (bagian badan), utama angga, (bagian kepala). Sedangkan motif hias yang diterapkan pada bangunan padmasana, merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk yang ada di alam seperti batubatuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Adapun jenis motif hias tradisional Bali tersebut antara lain: Motif Keketusan (geometris), terdiri dari motif kakul-kakulan, batun timun, ganggong, emas-emasan, ceracap, mute-mutean dan tali ilut. Motif tumbuhtumbuhan atau pepatran, antara lain seperti patra punggel, patra samblung, patra sari, patra olanda, patra cina dan patra wangga. Motif Kekarangan, terdiri dari motif karang gajah, karang guak, karang tapel, karang boma, karang sae, karang bentulu dan karang simbar. Sedangkan motif-hias yang terinspirasi dari mahlukmahluk mitologi yang bersifat simbolis antara lain seperti : bhadawang nala, naga anatabhoga, naga taksaka, garuda, dan angsa. Motif hias tradisional Bali tersebut berfungsi sebagai hiasan atau elemen penghias suatu bangunan, disamping juga mengandung nilai-nilai filosofis dan simbolis. 36

VERNAKULAR-TA.428-SEMESTER GENAP-2007/2008 JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR-S1 FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

VERNAKULAR-TA.428-SEMESTER GENAP-2007/2008 JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR-S1 FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA ARSITEKTUR TRADISIONAL NURYANTO, S.Pd., M.T.Ars. ARSITEKTUR VERNAKULAR-TA.428-SEMESTER GENAP-2007/2008 JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR-S1 FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2 0 1 0 RUMAH DALAM

Lebih terperinci

TINJAUAN PADMASARI DI MERAJAN PASEK GELGEL DESA SERASON PENEBEL TABANAN

TINJAUAN PADMASARI DI MERAJAN PASEK GELGEL DESA SERASON PENEBEL TABANAN TINJAUAN PADMASARI DI MERAJAN PASEK GELGEL DESA SERASON PENEBEL TABANAN I Ketut Watu Asihawan Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Dwijendra watuasihawan@yahoo.co. id Dr.Ir.PG. Ery Suardana,

Lebih terperinci

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA I GUSTI NGURAH WIRAWAN, S.Sn., M.Sn NIP : 198204012014041001 INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2016 ABSTRAK Saradpulagembal, seperti halnya sesajen

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP PURA MAOSPAIT DI MASA LALU DAN MASA KINI

BAB 5 PENUTUP PURA MAOSPAIT DI MASA LALU DAN MASA KINI 118 BAB 5 PENUTUP PURA MAOSPAIT DI MASA LALU DAN MASA KINI Berdasarkan kajian yang telah dilakukan terhadap Pura Maospait maka dapat diketahui bahwa ada hal-hal yang berbeda dengan pura-pura kuna yang

Lebih terperinci

Gambar 2.12 Tata letak Pura dengan sistem zoning tri mandala Sumber: Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Udayana.

Gambar 2.12 Tata letak Pura dengan sistem zoning tri mandala Sumber: Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Udayana. ARSITEKTUR BALI Mata Kuliah ARSITEKTUR PRA MODERN pertemuan ke 5 Dosen: Dr. Salmon Martana, M.T. Masyarakat Bali sangat percaya bahwa mereka hadir di dunia membawa misi hidup, yaitu berbuat kebaikan. Kesempurnaan

Lebih terperinci

BERKURANGNYA PERAJIN PRETIMA DI BANJAR ANGGABAYA PENATIH, DENPASAR TIMUR, BALI. I Wayan Dirana

BERKURANGNYA PERAJIN PRETIMA DI BANJAR ANGGABAYA PENATIH, DENPASAR TIMUR, BALI. I Wayan Dirana BERKURANGNYA PERAJIN PRETIMA DI BANJAR ANGGABAYA PENATIH, DENPASAR TIMUR, BALI I Wayan Dirana Program Studi Kriya, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar diranawayan@yahoo.co.id

Lebih terperinci

Arsitektur Tradisional ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI. Pola Tata Ruang Tradisional. Dasar Konsep Ruang. Tri Hita Karana

Arsitektur Tradisional ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI. Pola Tata Ruang Tradisional. Dasar Konsep Ruang. Tri Hita Karana Arsitektur Tradisional ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI Oleh : Eka Kurniawan A.P, ST Merupakan perwujudan ruang untuk menampung aktivitas kehidupan manusia dengan pengulangan bentuk dari generasi ke generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk bersemayam para dewa (Fontein, 1972: 14). Dalam kamus besar

BAB I PENDAHULUAN. untuk bersemayam para dewa (Fontein, 1972: 14). Dalam kamus besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Candi adalah bangunan yang menggunakan batu sebagai bahan utamanya. Bangunan ini merupakan peninggalan masa kejayaan Hindu Budha di Indonesia. Candi dibangun

Lebih terperinci

Desain Penjor, Keindahan Yang Mewarnai Perayaan Galungan & Kuningan

Desain Penjor, Keindahan Yang Mewarnai Perayaan Galungan & Kuningan Desain Penjor, Keindahan Yang Mewarnai Perayaan Galungan & Kuningan Yulia Ardiani Staff UPT Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar Abstrak Perayaan kemenangan dharma melawan

Lebih terperinci

Sangamandala Oleh: I Made Pande Artadi, S. Sn., M. Sn

Sangamandala Oleh: I Made Pande Artadi, S. Sn., M. Sn Sangamandala Oleh: I Made Pande Artadi, S. Sn., M. Sn Konsepsi sangamandala menentukan sembilan tingkatan nilai ruang pada sembilan zone bumi atau tata zoning tapak. Sembilan zona ini lahir berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KHUSUS

BAB III TINJAUAN KHUSUS BAB III TINJAUAN KHUSUS 3.1 Tinjauan Tema Berikut ini merupakan tinjauan dari tema yang akan diterapkan dalam desain perencanaan dan perancangan hotel dan konvensi. 3.1.1 Arsitektur Heritage Perencanaan

Lebih terperinci

Rumah Tinggal Dengan Gaya Bali Modern Di Ubud. Oleh: I Made Cahyendra Putra Mahasiswa Desain Interior FSRD ISI Denpasar ABSTRAK

Rumah Tinggal Dengan Gaya Bali Modern Di Ubud. Oleh: I Made Cahyendra Putra Mahasiswa Desain Interior FSRD ISI Denpasar ABSTRAK Rumah Tinggal Dengan Gaya Bali Modern Di Ubud Oleh: I Made Cahyendra Putra Mahasiswa Desain Interior FSRD ISI Denpasar ABSTRAK Rumah adat Bali adalah cerminan dari budaya Bali yang sarat akan nilai-nilai

Lebih terperinci

PEMANFAATAN POTENSI WARISAN BUDAYA PURA MEDUWE KARANG DI DESA KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG SEBAGAI TEMPAT TUJUAN PARIWISATA

PEMANFAATAN POTENSI WARISAN BUDAYA PURA MEDUWE KARANG DI DESA KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG SEBAGAI TEMPAT TUJUAN PARIWISATA PEMANFAATAN POTENSI WARISAN BUDAYA PURA MEDUWE KARANG DI DESA KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG SEBAGAI TEMPAT TUJUAN PARIWISATA Elfrida Rosidah Simorangkir Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional dibangun, namun cukup banyak ditemukan bangunan-bangunan yang diberi sentuhan tradisional

Lebih terperinci

TEKNIK PEMBUATAN UKIRAN PADMASANA YANG MENGGUNAKAN PASIR MELELA DI DESA KEROBOKAN KABUPATEN BULELENG BALI

TEKNIK PEMBUATAN UKIRAN PADMASANA YANG MENGGUNAKAN PASIR MELELA DI DESA KEROBOKAN KABUPATEN BULELENG BALI TEKNIK PEMBUATAN UKIRAN PADMASANA YANG MENGGUNAKAN PASIR MELELA DI DESA KEROBOKAN KABUPATEN BULELENG BALI I Komang Suardana Karang, I Ketut Sudita, Agus Sudarmawan Jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas

Lebih terperinci

Hiasan teknis. Bentuk hiasan yang disamping berguna sebagai hiasan juga memiliki fungsi yang lain. (lihat gambar 3)

Hiasan teknis. Bentuk hiasan yang disamping berguna sebagai hiasan juga memiliki fungsi yang lain. (lihat gambar 3) A. Ornamen Ornamen berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata ornare yang artinya hiasan atau perhiasan. Yang dimaksud menghias di sini adalah mengisi sesuatu yang semula kosong menjadi terisi hiasan,

Lebih terperinci

TIPOLOGI BANGUNAN SUCI PADA KOMPLEK PURA

TIPOLOGI BANGUNAN SUCI PADA KOMPLEK PURA TIPOLOGI BANGUNAN SUCI PADA KOMPLEK PURA Bangunan pura pada umumnya menghadap ke arah barat dan bila memasuki pura menuju ke arah timur, sedangkan persembahyangannya menghadap ke arah timur yaitu ke arah

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA : Balinese Lamak PENCIPTA : Ni Luh Desi In Diana Sari, S.Sn.,M.Sn PAMERAN The Aesthetic Of Prasi 23 rd September 5 th October 2013 Cullity Gallery ALVA

Lebih terperinci

GAMBAR ORNAMEN. Dwi Retno SA., M.Sn

GAMBAR ORNAMEN. Dwi Retno SA., M.Sn GAMBAR ORNAMEN Dwi Retno SA., M.Sn PENGERTIAN ORNAMEN berasal dari kata ORNARE (bahasa Latin) yang berarti menghias. juga berarti dekorasi atau hiasan sering disebut sebagai disain dekoratif atau disain

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: RIAK KEHIDUPAN. PENCIPTA : IDA AYU GEDE ARTAYANI. S.Sn, M. Sn

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: RIAK KEHIDUPAN. PENCIPTA : IDA AYU GEDE ARTAYANI. S.Sn, M. Sn KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: RIAK KEHIDUPAN PENCIPTA : IDA AYU GEDE ARTAYANI. S.Sn, M. Sn PAMERAN: KOLABORASI INTERNASIONAL ALL GREE VS TAPAK TELU THE INDONESIAN INSTITUTE OF THE ARTS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi. Dengan demikian peninggalan

BAB I PENDAHULUAN. mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi. Dengan demikian peninggalan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Peninggalan benda-benda purbakala merupakan warisan budaya yang mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi. Dengan demikian peninggalan purbakala

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan salah satu daerah yang merupakan sasaran ekspansi dari kerajaan-kerajaan Jawa Kuna. Daerah Bali mulai dikuasai sejak Periode Klasik Muda dimana kerajaan

Lebih terperinci

ornamen yang disakralkan. Kesakralan ornamen ini berkaitan dengan lubang pintu kori agung yang difungsikan sebagai jalur sirkulasi yang sifatnya sakra

ornamen yang disakralkan. Kesakralan ornamen ini berkaitan dengan lubang pintu kori agung yang difungsikan sebagai jalur sirkulasi yang sifatnya sakra UNDAGI Jurnal Arsitektur Warmadewa, Volume 4, Nomor 2, Tahun 2016, Hal 48-55 ISSN 2338-0454 TIPOLOGI ORNAMEN KARANG BHOMA PADA KORI AGUNG PURA DI KECAMATAN BLAHBATUH, GIANYAR Oleh: I Kadek Merta Wijaya,

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Desa Lebih terletak di Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali dengan luas wilayah 205 Ha. Desa Lebih termasuk daerah dataran rendah dengan ketinggian

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa nilai sosial

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Tri Hita Karana Menurut Nadia dan Prastika (2008), Tri Hita Karana berasal dari suku kata Tri yang berarti tiga, Hita berarti kemakmuran dan Karana berarti penyebab atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang berlatar belakang Hindu atau Buddha di Indonesia, khususnya di Jawa. Orangorang di Jawa Timur menyebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri dari beragam suku, ras, budaya, dan agama. Salah satu di antaranya adalah suku Bali yang

Lebih terperinci

ESTETIKA SIMBOL UPAKARA OMKARA DALAM BENTUK KEWANGEN

ESTETIKA SIMBOL UPAKARA OMKARA DALAM BENTUK KEWANGEN ESTETIKA SIMBOL UPAKARA OMKARA DALAM BENTUK KEWANGEN Agama Hindu merupakan agama yang ritualnya dihiasi dengan sarana atau upakara. Ini bukan berarti upakara itu dihadirkan semata-mata untuk menghias pelaksanaan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (LP2M) Jln. Nusa Indah (0361) 227316 Fax. (0361) 236100 Denpasar 80235 Website

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan Negara yang penuh dengan keanekaragaman Suku Bangsa, Bahasa, Agama, dan Kebudayaan. Keberagaman budaya bangsa Indonesia bukan berarti untuk

Lebih terperinci

BAB II METODE PERANCANGAN. A. Analisis Permasalahan. Berdasarkan fokus permasalahan di atas ada tiga permasalahan yang

BAB II METODE PERANCANGAN. A. Analisis Permasalahan. Berdasarkan fokus permasalahan di atas ada tiga permasalahan yang BAB II METODE PERANCANGAN A. Analisis Permasalahan Berdasarkan fokus permasalahan di atas ada tiga permasalahan yang muncul dalam mengembangkan relief candi menjadi sebuah motif. Pertama, permasalahan

Lebih terperinci

MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG

MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG UNDAGI Jurnal Arsitektur Warmadewa, Volume 5, Nomor 1, Tahun 2017, Hal 17-29 ISSN 2338-0454 MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED,

Lebih terperinci

TAMAN NARMADA BALI RAJA TEMPLE IN PAKRAMAN TAMANBALI VILLAGE, BANGLI, BALI (History, Structure and Potential Resource For Local History) ABSTRACT

TAMAN NARMADA BALI RAJA TEMPLE IN PAKRAMAN TAMANBALI VILLAGE, BANGLI, BALI (History, Structure and Potential Resource For Local History) ABSTRACT PURA TAMAN NARMADA BALI RAJA DI DESA PAKRAMAN TAMANBALI, BANGLI, BALI (Sejarah, Struktur, dan Potensinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Lokal) Oleh : Ni Wayan Eka Krisna Yanti, (NIM 0914021029), (niwayanekakrisnayanti@yahoo.com)

Lebih terperinci

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari data yang telah diperoleh dan analisis bab IV yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perwujudan unsur budaya lokal (genius loci) pada gereja Palasari

Lebih terperinci

Gubahan Bentuk Taman dan Bentuk Ruang Taman Kiriman; Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn., Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar.

Gubahan Bentuk Taman dan Bentuk Ruang Taman Kiriman; Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn., Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar. Gubahan Bentuk Taman dan Bentuk Ruang Taman Kiriman; Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn., Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar. Gubahan Bentuk Taman a. Zaman Bali Kuna Bila desain taman peninggalan kerajaan-kerajaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bentuk ekspresi seniman memiliki sifat-sifat kreatif,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bentuk ekspresi seniman memiliki sifat-sifat kreatif, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seni merupakan bentuk ekspresi seniman memiliki sifat-sifat kreatif, emosional, individual, abadi dan universal. Sesuai dengan salah satu sifat seni yakni

Lebih terperinci

Dinamika Pertumbuhan Kerajinan Kayu Di Desa Singakerta Kiriman: Drs. I Dewa Putu Merta, M.Si., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar.

Dinamika Pertumbuhan Kerajinan Kayu Di Desa Singakerta Kiriman: Drs. I Dewa Putu Merta, M.Si., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar. Dinamika Pertumbuhan Kerajinan Kayu Di Desa Singakerta Kiriman: Drs. I Dewa Putu Merta, M.Si., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar. Kerajinan kayu di desa Singakerta mengalami pertumbuhan yang sangat dinamis.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa Pemerintah Kabupaten Jembrana

Lebih terperinci

MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG

MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG I Kadek Merta Wijaya Dosen Program Studi Teknik Arsitektur,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (LP2M) Jln. Nusa Indah (0361) 227316 Fax. (0361) 236100 Denpasar 80235 Website

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH: KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: MELASTI PENCIPTA: A.A Gde Bagus Udayana, S.Sn.,M.Si. Art Exhibition

KARYA ILMIAH: KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: MELASTI PENCIPTA: A.A Gde Bagus Udayana, S.Sn.,M.Si. Art Exhibition KARYA ILMIAH: KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: MELASTI PENCIPTA: A.A Gde Bagus Udayana, S.Sn.,M.Si Art Exhibition Indonesian Institute of the Arts Denpasar Okinawa Prefectural University of Art OPUA

Lebih terperinci

AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT MUSLIM DESA PEGAYAMAN BULELENG BALI. L. Edhi Prasetya

AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT MUSLIM DESA PEGAYAMAN BULELENG BALI. L. Edhi Prasetya AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT MUSLIM DESA PEGAYAMAN BULELENG BALI ABSTRAK Desa Pegayaman di Kecamatan Sukasada, Buleleng, Singaraja, Bali, adalah sebuah desa muslim di Bali. Desa dengan penduduk yang

Lebih terperinci

OLEH : I NENGAH KADI NIM Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Pembimbing I

OLEH : I NENGAH KADI NIM Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Pembimbing I EKSISTENSI PALINGGIH RATU AYU MAS SUBANDAR DI PURA DALEM BALINGKANG DESA PAKRAMAN PINGGAN KECAMATAN KINTAMANI KABUPATEN BANGLI (Perspektif Teologi Hindu) OLEH : I NENGAH KADI NIM. 09.1.6.8.1.0150 Email

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelahirannya dilatarbelakangi oleh norma-norma agama, dan dilandasi adat

BAB I PENDAHULUAN. Kelahirannya dilatarbelakangi oleh norma-norma agama, dan dilandasi adat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Gelebet, dalam bukunya yang berjudul Aristektur Tradisional Bali (1984: 19), kebudayaan adalah hasil hubungan antara manusia dengan alamnya. Kelahirannya

Lebih terperinci

RAGAM HIAS PURA DANGIN CARIK DI DESA TEJAKULA, KECAMATAN TEJAKULA, KABUPATEN BULELENG

RAGAM HIAS PURA DANGIN CARIK DI DESA TEJAKULA, KECAMATAN TEJAKULA, KABUPATEN BULELENG RAGAM HIAS PURA DANGIN CARIK DI DESA TEJAKULA, KECAMATAN TEJAKULA, KABUPATEN BULELENG Gede Maha Semaya Bakti, I Gusti Nengah Sura Ardana, Ketut Nala Hari Wardana. Jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia juga memiliki keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa dan sub-suku

Lebih terperinci

Riwayat Perkembangan Rancangan Bangunan Suci (Pura) di Bali

Riwayat Perkembangan Rancangan Bangunan Suci (Pura) di Bali Riwayat Perkembangan Rancangan Bangunan Suci (Pura) di Bali I Nyoman Gde Suardana Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Dwijendra E-mail: suar_bali@yahoo.com ABSTRAK Pulau Bali juga disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Menara Kudus. (Wikipedia, 2013)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Menara Kudus. (Wikipedia, 2013) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Menara Kudus terletak di Kelurahan Kauman, Kecamatan Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, sekitar 40 km dari Kota Semarang. Oleh penduduk kota Kudus dan sekitarnya,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Nasional yang dilindungi pemerintah, di mana bangunan ini merupakan pusat

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Nasional yang dilindungi pemerintah, di mana bangunan ini merupakan pusat BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Gedung Paseban Tri Panca Tunggal adalah sebuah bangunan Cagar Budaya Nasional yang dilindungi pemerintah, di mana bangunan ini merupakan pusat kebudayaan Djawa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah BAB V KESIMPULAN 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual Kuningan Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah merupakan seni pertunjukan yang biasa tetapi merupakan pertunjukan

Lebih terperinci

Penerapan Ragam Hias pada Bahan Tekstil

Penerapan Ragam Hias pada Bahan Tekstil Penerapan ragam hias flora, fauna, dan geometris pada bahan tekstil banyak dijumpai di berbagai daerah di Indonesia. Penerapan ragam hias pada bahan tekstil dapat dilakukan dengan cara membatik, menenun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kata songket. Tanjung Pura Langkat merupakan pusat Pemerintahan Kesultanan

BAB I PENDAHULUAN. kata songket. Tanjung Pura Langkat merupakan pusat Pemerintahan Kesultanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata songket memiliki banyak definisi dari beberapa beberapa para ahli yang telah mengadakan penelitian dan pengamatan terhadap kain songket. Menurut para ahli

Lebih terperinci

Oleh: Kasiyan, M.Hum. Jurusan Pendidikan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta

Oleh: Kasiyan, M.Hum. Jurusan Pendidikan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta RAGAM HIAS TRADISIONAL Oleh: Kasiyan, M.Hum. Jurusan Pendidikan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta Pengertian Ragam Hias Ragam hias adalah bentuk dasar hiasan yang biasanya

Lebih terperinci

KESIMPULAN. Berdasarkan keseluruhan uraian dapat disimpulkan. penemuan penelitian sebagai berikut. Pertama, penulisan atau

KESIMPULAN. Berdasarkan keseluruhan uraian dapat disimpulkan. penemuan penelitian sebagai berikut. Pertama, penulisan atau 1 KESIMPULAN A. Kesimpulan Berdasarkan keseluruhan uraian dapat disimpulkan penemuan penelitian sebagai berikut. Pertama, penulisan atau penyalinan naskah-naskah Jawa mengalami perkembangan pesat pada

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kiranya. telah cukup menjawab berbagai permasalahan yang diajukan

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kiranya. telah cukup menjawab berbagai permasalahan yang diajukan 305 BAB V KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kiranya telah cukup menjawab berbagai permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Penjelasan yang terkait dengan keberadaan seni lukis

Lebih terperinci

PERPADUAN GAYA ARSITEKTUR PADA GEREJA KATOLIK DI BALI

PERPADUAN GAYA ARSITEKTUR PADA GEREJA KATOLIK DI BALI PERPADUAN GAYA ARSITEKTUR PADA GEREJA KATOLIK DI BALI Putu Lirishati Soethama 0890161027 SCHOOL OF POSTGRADUATE STUDIES TRANSLATION PROGRAM UNIVERSITY OF UDAYANA 2015 1 1. Latar Belakang Bangunan megah,

Lebih terperinci

RITUAL MEKRAB DALAM PEMUJAAN BARONG LANDUNG DI PURA DESA BANJAR PACUNG KELURAHAN BITERA KECAMATAN GIANYAR

RITUAL MEKRAB DALAM PEMUJAAN BARONG LANDUNG DI PURA DESA BANJAR PACUNG KELURAHAN BITERA KECAMATAN GIANYAR RITUAL MEKRAB DALAM PEMUJAAN BARONG LANDUNG DI PURA DESA BANJAR PACUNG KELURAHAN BITERA KECAMATAN GIANYAR (Analisis Pendidikan Agama Hindu) Oleh I Made Agus Sutrisna Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Lebih terperinci

KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT BAYUNG GEDE DALAM PELESTARIAN HUTAN SETRA ARI-ARI DI DESA BAYUNG GEDE, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI

KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT BAYUNG GEDE DALAM PELESTARIAN HUTAN SETRA ARI-ARI DI DESA BAYUNG GEDE, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT BAYUNG GEDE DALAM PELESTARIAN HUTAN SETRA ARI-ARI DI DESA BAYUNG GEDE, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI Oleh : DEWA AYU EKA PUTRI 1101605007 PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 4 TINJAUAN DAN PERBANDINGAN ARSITEKTUR PURA MAOSPAIT DENGAN BEBERAPA PURA KUNA LAIN DI BALI

BAB 4 TINJAUAN DAN PERBANDINGAN ARSITEKTUR PURA MAOSPAIT DENGAN BEBERAPA PURA KUNA LAIN DI BALI 59 BAB 4 TINJAUAN DAN PERBANDINGAN ARSITEKTUR PURA MAOSPAIT DENGAN BEBERAPA PURA KUNA LAIN DI BALI Berdasarkan pengertian pura secara umum yang sebelumnya telah dijelaskan, maka pura dapat dibagi berdasarkan

Lebih terperinci

Gambar: 5. 5a. Pasar Bali

Gambar: 5. 5a. Pasar Bali Kelompok lukisan yang secara utuh mengalami pembaharuan pada bidang tema, proporsi, anatomi plastis, pewarnaan, dan sinar bayangan dalam lukis Pita Maha Oleh: Drs. I Dewa Made Pastika a. Judul lukisan

Lebih terperinci

PERANG TOPAT 2015 KABUPATEN LOMBOK BARAT Taman Pura & Kemaliq Lingsar Kamis, 26 November 2015

PERANG TOPAT 2015 KABUPATEN LOMBOK BARAT Taman Pura & Kemaliq Lingsar Kamis, 26 November 2015 PERANG TOPAT 2015 KABUPATEN LOMBOK BARAT Taman Pura & Kemaliq Lingsar Kamis, 26 November 2015 I. PENDAHULUAN. Lingsar adalah sebuah Desa yang terletak di Wilayah Kecamatan Lingsar Lombok Barat, berjarak

Lebih terperinci

INTERAKSI KEBUDAYAAN

INTERAKSI KEBUDAYAAN Pengertian Akulturasi Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing

Lebih terperinci

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008 DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008 Oleh: I Gede Oka Surya Negara, SST.,MSn JURUSAN SENI TARI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan tata ruang sebagai sebuah hasil akulturasi antara budaya dan logika tercermin dalam proses penempatan posisi-posisi bangunan. Dasar budaya adalah faktor

Lebih terperinci

TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA LINGGA

TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA LINGGA DESKRIPSI TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA LINGGA Produksi ISI Denpasar pada Pembukaan Pesta Kesenian Bali XXXI di Depan Banjar Kayumas Denpasar Tahun 2009 OLEH : I Gede Oka Surya Negara,SST.,M.Sn INSTITUT

Lebih terperinci

Penataan Lingkungan Pura Muncak Sari Desa Sangketan, Penebel, Tabanan

Penataan Lingkungan Pura Muncak Sari Desa Sangketan, Penebel, Tabanan Laporan kemajuan HIBAH UDAYANA MENGABDI Penataan Lingkungan Pura Muncak Sari Desa Sangketan, Penebel, Tabanan Oleh IR. I WAYAN SUKERAYASA (196411031991031001) IR. I NYOMAN SURATA, MT. (195310301986011001)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan Pura Tanah Lot (yang selanjutnya disingkat GPTL)

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan Pura Tanah Lot (yang selanjutnya disingkat GPTL) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geguritan Pura Tanah Lot (yang selanjutnya disingkat GPTL) merupakan geguritan yang memiliki keterkaitan isi tentang perjalanan suci pengemban dharma dari Ida Dang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan metode perancangan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan metode perancangan. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan metode perancangan. 1.1 Latar belakang Pariwisata di Bali, khususnya Kabupaten Badung sudah sangat berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra tradisional yang tersimpan dalam naskah lontar banyak dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi dalam kehidupan yang memengaruhi bentukan dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi dalam kehidupan yang memengaruhi bentukan dari masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi dalam kehidupan yang memengaruhi bentukan dari masyarakat yang berorientasi pada masa lalu yang bersifat dinamis adalah mitos. Mitos yang dipaparkan dengan

Lebih terperinci

Bali. Pola Tata Ruang Tradisional

Bali. Pola Tata Ruang Tradisional Bali Pola Tata Ruang Tradisional Konsep Sanga Mandala Konsep Tri Angga pada lingkungan Konsep Tri Angga pada Rumah Tata Ruang Rumah Tinggal Konsep tata ruang tradisional Pola tata ruang tradisional Bali

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 145 /KPTS/013/2016 TENTANG PENETAPAN HIASAN GARUDEYA DI KABUPATEN SIDOARJO SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA PERINGKAT PROVINSI GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

Pengertian. Ragam hias. Teknik. Pada pelajaran Bab 4, peserta didik diharapkan peduli dan melakukan aktivitas berkesenian,

Pengertian. Ragam hias. Teknik. Pada pelajaran Bab 4, peserta didik diharapkan peduli dan melakukan aktivitas berkesenian, Bab 4 Menerapkan Ragam Hias pada Bahan Kayu Alur Pembelajaran Pengertian Menerapkan Ragam Hias pada Bahan Kayu Ragam hias Teknik Menggambar Ragam Hias Ukiran Melukis Ragam Hias di Atas Bahan Kayu Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana

Lebih terperinci

RAGAM HIAS FLORA Ragam hias flora

RAGAM HIAS FLORA Ragam hias flora RAGAM HIAS FLORA Ragam hias flora Flora sebagai sumber objek motif ragam hias dapat dijumpai hampir di seluruh pulau di Indonesia. Ragam hias dengan motif flora (vegetal) mudah dijumpai pada barang-barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tujuan, manfaat, dan keaslian penelitian yang dilakukan.

BAB I PENDAHULUAN. tujuan, manfaat, dan keaslian penelitian yang dilakukan. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dipaparkan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan keaslian penelitian yang dilakukan. 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman perwujudan bangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Judul Penelitian ini tentang Analisis Patung Figur Manusia Karya Nyoman Nuarta di Galeri NuArtSculpture Park. Pengambilan judul penelitian ini didasari oleh

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

Verifikasi dan Validasi Pembelajaran, Warisan Budaya Tak Benda dan Kelembagaan. Kab. Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah

Verifikasi dan Validasi Pembelajaran, Warisan Budaya Tak Benda dan Kelembagaan. Kab. Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Verifikasi dan Validasi Pembelajaran, Warisan Budaya Tak Benda dan Kelembagaan. Kab. Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah Foto tanggal 06 07 Agustus 2016 Pusat Data dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah dan Budaya Lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indra manusia. Semakin jelas harmonisasi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Definisi Batik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Definisi Batik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Definisi Batik Batik, adalah salah satu bagian dari kebudayaan Indonesia, Belum ada di negara manapun yang memiliki kekayaan desain motif batik seperti yang dimiliki

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI VARIAN ARSITEKTUR LUMBUNG DI BALI

IDENTIFIKASI VARIAN ARSITEKTUR LUMBUNG DI BALI UNDAGI Jurnal Arsitektur Warmadewa, Volume 5, Nomor 1, Tahun 2017, Hal 9-16 ISSN 2338-0454 IDENTIFIKASI VARIAN ARSITEKTUR LUMBUNG DI BALI Oleh: I Made Suwirya Dosen Jurusan Program Studi Arsitektur, Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. 43 BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. Kecamatan Sragi merupakan sebuah Kecamatan yang ada

Lebih terperinci

Penataan Lingkungan Pura Muncak Sari Desa Sangketan, Penebel, Tabanan

Penataan Lingkungan Pura Muncak Sari Desa Sangketan, Penebel, Tabanan LAPORAN PELAKSANAAN HIBAH UDAYANA MENGABDI Penataan Lingkungan Pura Muncak Sari Desa Sangketan, Penebel, Tabanan Oleh IR. I WAYAN SUKERAYASA (196411031991031001) IR. I NYOMAN SURATA, MT. (195310301986011001)

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii UCAPAN TERIMA KASIH... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii UCAPAN TERIMA KASIH... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii UCAPAN TERIMA KASIH... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR GAMBAR... xix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah...

Lebih terperinci

BAB III KONSEP PERANCANGAN A.

BAB III KONSEP PERANCANGAN A. BAB III KONSEP PERANCANGAN A. Bagan Pemecahan Masalah Perancangan Motif teratai sebagai hiasan tepi kain lurik Sumber Ide teratai Identifikasi Masalah 1. Perancangan motif teratai sebagai hiasan tepi pada

Lebih terperinci

1. Toko-toko gerabah dan kerajinan di Desa Kapal dan Desa Sempidi Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung.

1. Toko-toko gerabah dan kerajinan di Desa Kapal dan Desa Sempidi Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. Desa Kapal, Sebagai sentra Pemasaran Produk Gerabah di Bali. Kiriman: Drs. I Wayan Mudra, MSn., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar. Tulisan ini adalah data awal penelitian Hibah Bersaing Tahun I Tahap 1

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap dan

I. PENDAHULUAN. Permukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap dan melakukan kegiatan/aktivitas sehari-harinya. Permukiman dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

Perkembangan Arsitektur 1

Perkembangan Arsitektur 1 Perkembangan Arsitektur 1 Minggu ke 5 Warisan Klasik Indonesia By: Dian P.E. Laksmiyanti, ST, MT Material Arsitektur Klasik Indonesia Dimulai dengan berdirinya bangunan candi yang terbuat dari batu maupun

Lebih terperinci

EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Ni Putu Sri Ratna Dewi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Lebih terperinci

TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA TIRTA AMERTA

TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA TIRTA AMERTA DESKRIPSI TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA TIRTA AMERTA Produksi ISI Denpasar pada Pembukaan Pesta Kesenian Bali XXXIII di Depan Gedung Jaya Sabha Denpasar Tahun 2011 OLEH : I Gede Oka Surya Negara,SST.,M.Sn

Lebih terperinci

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD 27. KOMPETENSI INTI DAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD KELAS: I Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan

Lebih terperinci

Fungsi Produk Seni Kerajinan Ukir Kayu Guwang

Fungsi Produk Seni Kerajinan Ukir Kayu Guwang Fungsi Produk Seni Kerajinan Ukir Kayu Guwang Oleh: Ni Kadek Karuni Dosen PS Kriya Seni Feldman menjelaskan bahwa fungsi-fungsi seni yang sudah berlangsung sejak zaman dahulu adalah untuk memuaskan: (1)

Lebih terperinci

1) Nilai Religius. Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan. Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan

1) Nilai Religius. Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan. Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan Realisasi pelestarian nilai-nilai tradisi dalam berkesenian, bersinergi dengan

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP Kesimpulan

BAB VIII PENUTUP Kesimpulan BAB VIII PENUTUP Bab VIII memaparkan pembahasan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian, serta implikasi dan saran dalam ranah akademik dan praktis sesuai dengan kesimpulan hasil penelitian. Pada bagian

Lebih terperinci

4.1. Letak dan Luas Wilayah

4.1. Letak dan Luas Wilayah 4.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Lamandau merupakan salah satu Kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Kotawaringin Barat. Secara geografis Kabupaten Lamandau terletak pada 1 9-3 36 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar henysari74@gmail.com ABSTRAK Dalam pengenalan ajaran agama tidak luput dari

Lebih terperinci

INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM

INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM AKULTURASI : menerima unsur baru tapi tetap mempertahankan kebudayaan aslinya jadi budaya campuran ASIMILASI : pernggabungan kebudayaan lokal dan unsur baru tapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seni adalah karya cipta manusia yang memiliki nilai estetika dan artistik.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seni adalah karya cipta manusia yang memiliki nilai estetika dan artistik. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seni adalah karya cipta manusia yang memiliki nilai estetika dan artistik. Sepanjang sejarah, manusia tidak terlepas dari seni. Karena seni adalah salah satu

Lebih terperinci