BAB I PENDAHULUAN pulau, dengan garis pantai sekitar km. Wilayah lautannya meliputi 5,8
|
|
- Hartono Tan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari pulau, dengan garis pantai sekitar km. Wilayah lautannya meliputi 5,8 juta km 2 atau 70% dari luas total teritorial Indonesia (Dahuri, 2001: 1). Sumber daya alam laut yang melimpah menjadi komoditi utama bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Interaksi antara masyarakat dengan laut juga sangat tinggi mengingat sebahagian besar mata pencaharian masyarakatnya adalah nelayan dan tidak banyak yang berada di sektor bukan nelayan. Selain tangkapan berupa ikan dan sejenisnya, masih banyak lagi sumber daya laut yang bisa dimanfaatkan seperti hutan mangrove, wilayah tambak udang, tambak garam, daerah wisata, dan lain-lain. Ketersediaan sumber daya laut yang tinggi seharusnya mampu mengimbangi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Namun pada saat ini ketersediaan sumber daya laut semakin menurun akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. Kerusakan pada biota laut misalnya disebabkan karena alat tangkap, limbah pabrik, dan pencemaran laut lainnya mengakibatkan kerusakan pada hutan mangrove dan terumbu karang. Hutan mangrove dan terumbu karang merupakan tempat biota laut berkembang biak, yang pada dasarnya kedua hal ini sangat berpengaruh terhadap ketersediaan sumber daya laut. 9
2 Wilayah pesisir mayoritas dihuni oleh masyarakat pesisir yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Nelayan pada masyarakat pesisir terdiri dari nelayan tradisional dan nelayan mesin (berteknologi tinggi). Nelayan tradisional merupakan nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional dan sederhana seperti jala, jaring, pancing, bubu, dan lainnya. Sedangkan nelayan mesin merupakan nelayan yang menggunakan alat tangkap yang berteknologi tinggi seperti pukat trawl, pukat cincin, pukat harimau, bahkan menggunakan dua kapal dengan satu jaring (trawl) untuk menangkap ikan. Nelayan ini disebut dengan nelayan trawl. Penggunaan pukat trawl inilah yang dapat merusak lingkungan laut atau sumber daya laut karena penangkapan ikan dilakukan dengan tidak memperhatikan aspek lingkungan. Nelayan tradisional yang menggunakan alat-alat tradisional akan mendapatkan sedikit hasil laut dibandingkan dengan para nelayan yang menggunakan alat-alat berteknologi. Nelayan tradisional menganggap bahwa dengan penggunaan kapal gandeng dan pukat trawl akan merusak keberadaan potensi laut dalam jangka pendek dan panjang. Untuk jangka pendek sebagai contoh, pukat trawl dapat menangkap berbagai jenis ikan. Tangkapan ikan-ikan berukuran kecil juga dapat tertangkap sehingga untuk jangka panjang, hasil laut (food security) akan habis karena regenerasi ikan terputus akibat penangkapan secara besar-besaran. Hal-hal seperti inilah yang mampu menciptakan konflik di masyarakat pesisir. Penguasaan terhadap sumber daya laut tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan, seperti kepentingan negara, kepentingan pemilik modal, kepentingan 10
3 rakyat, maupun kepentingan lingkungan itu sendiri. Perebutan kepentingan ini selalu menempatkan pihak masyarakat sebagai pihak yang dikalahkan. Terbatasnya akses masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, dan tidak seimbangnya posisi tawar masyarakat merupakan contoh klasik dalam kasus-kasus kepentingan tersebut (Arimbi, 2001: 37). Hal ini terjadi pada masyarakat tradisional yang tidak memiliki posisi tawar yang baik sehingga mereka mengalami keterbatasan akses sumber daya alam dibandingkan dengan nelayan trawl yang memiliki modal besar serta alat tangkap yang canggih sehingga dari hasil penangkapan juga mengalami perbedaan. Walaupun persaingan ini telah diatur dalam melalui perundang-undangan seperti UU no 22/1999 dan UU no. 45/2009, namun bukan berarti pertikaian antara nelayan tradisional dan nelayan trawl dapat tereduksi, tetapi malah semakin meruncing. Pada Undang-Undang No.22 Tahun telah menetapkan batasan pemberian wewenang di wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai terluar kepada Daerah Propinsi. Wewenang Daerah Kabupaten di wilayah laut ditetapkan sejauh sepertiga wewenang Daerah Propinsi, yakni sejauh 4 mil. Dengan batasan hanya sejauh 4 mil, maka sumber daya perikanan Indonesia hanya menjadi lahan pengusaha perikanan besar yaitu di luar wilayah 12 mil hingga Zona Ekonomi Ekslusif sejauh 200 mil. Sementara nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap seadanya bersaing ketat di wilayah tangkap yang padat. Masyarakat adat yang telah turun temurun mengembangkan sistem pengelolaan kelautannya sendiri di beberapa wilayah pesisir Indonesia, juga tidak terakomodir dengan adanya batasan 12 mil ini. 11
4 Padahal pengelolaan laut di Indonesia sejak dahulu dilakukan oleh komunitas masyarakat, yang umumnya berdomisili di daerah Kabupaten. Disebutkan lagi bahwa alat tangkap jaring trawl telah dilarang penggunaannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Undang Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, menyatakan larangan bagi setiap orang untuk memiliki, menguasai, membawa dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.(Waspada, 2011) Desa Bagan Asahan adalah salah satu desa pesisir yang terletak di Kecamatan Tanjung Balai, Kabupaten Asahan. Hampir keseluruhan masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan tradisional. Sebahagian nelayan tradisional di desa ini mengeluh karena hasil laut yang mereka dapatkan semakin berkurang. Salah satu penyebabnya dikarenakan keberadaan nelayan yang menggunakan kapal pukat trawl dengan jenis tarik II. Kapal pukat trawl ini juga sengaja memasuki zona perairan nelayan tradisional yang merupakan wilayah tangkapan nelayan-nelayan tradisional. Keberadaan kapal pukat trawl yang berasal dari kota ini akhirnya menjadi pemicu konflik dengan nelayan tradisional yang ada di Desa Bagan Asahan. Kejadian terakhir terjadi pada hari Minggu tanggal 18 Desember 2011, dimana nelayan tradisional membakar 6 unit kapal pukat trawl di sekitar perairan Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.. Kejadian itu tidak sempat mengakibatkan 12
5 korban jiwa, baik di pihak nelayan maupun anak buah kapal pukat tersebut. Nelayan tradisional resah dengan leluasanya kapal pukat trawl beroperasi di wilayah tangkapan nelayan tradisional sehingga sulit untuk mendapatkan ikan di zona tangkapan nelayan tradisional ditambah lagi dengan rusaknya jaring nelayan tradisional. Minimnya pengawasan dari badan penegak hukum dan Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri membuat nelayan tradisional bertindak main hakim sendiri dengan membakar enam kapal pukat trawl tersebut. Seharusnya kapal pukat trawl yang terbukti memasuki zona tangkapan nelayan tradisional harus dikenakan sanksi bahkan izinnya harus dicabut (Analisa, Desember 2011). Peristiwa konflik ini tidak saja terjadi di Bagan Asahan, Sumatera Utara, tetapi peristiwa konflik sosial nelayan banyak terjadi di berbagai wilayah Indonesia antara lain di Langkat, Balikpapan, Teluk Palu, dan kasus Lamongan. Konflik antar nelayan di Lamongan, sumber konfliknya berawal dari ketidakpuasan nelayan kepada aparat keamanan yang menjadikan regulasi sebagai alat legitimasi untuk mendapatkan proyekan dari nelayan-nelayan yang menggunakan mini trawl. Nelayan yang tertangkap menggunakan mini trawl kemudian akan dilepaskan kembali setelah menyetor sejumlah uang. Pada akhirnya akumulasi dari rasa frustasi kepada pejabat pemerintahan setempat berubah menjadi konflik realistis antara nelayan tradisional dengan nelayan mini trawl. (Susan, 2010). Nelayan tradisional Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang, Langkat, juga sering menyandera alat tangkap pukat trawl mini milik nelayan luar daerah yang beroperasi di perairan Jaring Halus. Penyanderaan dikarenakan nelayan pukat trawl 13
6 memasuki zona larangan. Warga nelayan tradisional asal Jaring Halus itu melakukan aksinya, setelah sebelumnya ada kesepakatan para nelayan Jaring Halus dengan pihak berwajib untuk menahan nelayan dengan alat tangkap pukat trawl yang beroperasi di zona larangan. Dan selanjutnya kapal yang ditahan tersebut diserahkan kepada pihak berwajib yaitu Diskanla. Di Balikpapan terjadi konflik antara nelayan perengge dengan pedogol. Mini trawl dan dogol seringkali dibakar oleh nelayan perengge. Para perengge bekerjasama dengan aparat keamanan (polisi) untuk menangkap nelayan yang menggunakan mini trawl. Jumlah keseluruhan dogol/mini trawl yang dibakar waktu itu mencapai sekitar 50 buah. Konflik antara nelayan dogol/mini trawl dengan nelayan perengge itu juga disebabkan adanya semacam rasa tidak senang dari pihak nelayan perengge. Pedogol hasilnya lebih banyak dan bersifat terus-terusan. Kalau rengge sewaktu-waktu memang hasilnya bisa banyak. Jadi ada rasa iri pada pihak perengge terhadap para nelayan pedogol. Ini yang menjadi salah satu pemicu konflik. Menurut para informan, konflik-konflik yang terjadi pada masa itu diselesaikan dengan melibatkan pihak aparat keamanan. Meskipun konflik terbuka dan brutal antara para pedogol dengan para perengge belakangan ini sudah tidak pernah terjadi, namun sebenarnya potensi konflik antara kedua faksi ini masih cukup besar karena para pedogol beroperasi di wilayah pinggir yang merupakan wilayah operasi para perengge. (Kinseng, 2007). Sedangkan penyebab konflik berkepanjangan di perairan Teluk Palu terdiri atas tiga aspek, yaitu: 14
7 (a) Perebutan lokasi penangkapan ikan. Sumber daya laut Teluk Palu yang besar menyebabkan jumlah nelayan yang berdatangan untuk menangkap ikan di Teluk Palu meningkat. Kondisi perairan Teluk Palu yang sempit membuat para nelayan bersaing memperebutkan lokasi yang populasi ikannya banyak. Kondisi yang berlarut-larut seperti ini akhirnya memicu konflik antar nelayan. (b) Penggunaan alat tangkap bagang. Banyaknya jumlah nelayan menangkap ikan di Teluk Palu otomatis menggunakan alat tangkap modern seperti perahu bagang listrik yang memiliki kemampuan menangkap ikan dalam jumlah besar dan dalam waktu yang lama populasi ikan akan terkuras habis. Kondisi ini mempengaruhi hasil tangkapan nelayan lokal yang menggunakan pancing, jala atau pukat yang jumlahnya relatif kecil, menyebabkan mereka mencari lokasi lain yang populasi ikannya banyak. (c) Pemerintah tidak konsisten menegakkan aturan perda. Pemerintah seringkali membuat aturan yang saling bertentangan mengenai pengelolaan sumberdaya laut Teluk Palu dan peraturan tersebut selalu menguntungkan pihak pemilik modal atau pengusaha dan merugikan nelayan lokal. Contoh kasus: pemerintah kota Palu sudah mengeluarkan Perda tentang larangan penggunaan bagang listrik di Teluk Palu, tetapi beberapa waktu kemudian pemerintah kembali membuat aturan yang mengizinkan operasional bagang listrik di Teluk Palu. Kondisi ini kembali menguntungkan pihak pemilik bagang dan merugikan nelayan lokal, sehingga memicu lagi konflik kekerasan (Andriani, 2012). 15
8 Dari beberapa kasus yang terjadi, maka tampaknya pemicu terjadinya konflik tersebut secara umum adalah di samping keterbatasan sumber daya laut adalah karena dioperasikannya pukat trawl tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, walaupun antara kasus satu dengan yang lainnya tidak sepenuhnya bisa digeneralisir. Untuk mengetahui secara mendalam maka haruslah melalui penelitian dari masing-masing kasus secara saksama. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana memetakan konflik nelayan tradisional dan nelayan trawl dalam pengelolaan sumber daya laut yang terjadi di Bagan Asahan, Provinsi Sumatera Utara?. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan memetakan konflik yang terjadi antara nelayan tradisional dengan nelayan pukat trawl dalam pengelolaan Sumber Daya Alam Kelautan dengan menggunakan metode SIPABIO (Source, Issues, Parties, Attitude, Behaviour, Intervention, Output). 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: 16
9 1. Secara teoritis, sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. 2. Secara praktis, data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pengambil kebijakan sebagai gagasan mengenai intervensi apa yang perlu diciptakan. 1.5 Defenisi konsep 1. Nelayan tradisional adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil, dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana. Dalam kehidupan sehari-hari, nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri. 2. Nelayan pemilik perahu tanpa motor adalah nelayan yang hanya memiliki kesempatan berlayar lebih dekat dengan tempat tinggalnya. Mereka berlayar sejauh 1-3 mil laut atau hanya sampai batas kecamatan yang telah ditentukan. Jenis ikan yang diperoleh sebagian besar adalah teri dan ikan-ikan kecil lainnya. 3. Nelayan pemilik pengguna perahu motor (berukuran 9-10 m) adalah nelayan yang memiliki kesempatan berlayar sejauh 4-6 mil laut, hampir menempati wilayah kekuasaan kapal motor. Jenis ikan yang ditangkap juga bervariasi. Seperti tongkol, tuna, bawal dengan harga yang bervariasi juga. 4. Nelayan pemilik pengguna kapal motor (berukuran 0-5 GT/12m) adalah nelayan yang memiliki kesempatan untuk berlayar lebih jauh. Sejauh 6 mil laut yaitu sampai ke pulau-pulau. Bahkan sampai ke perbatasan yang telah 17
10 ditentukan. Jenis ikan yang mereka peroleh juga bervariasi. Seperti, ikan karang, tongkol, kepiting, udang dan ikan-ikan besar lainnya. 5. Nelayan pemilik yakni nelayan yang memiliki perahu/kapal penangkap ikan dan dia sendiri ikut serta ke laut untuk menangkap ikan. 6. Nelayan juragan adalah nelayan yang membawa kapal orang lain (juragan) tetapi ia tidak memiliki kapal. 7. Juragan/toke adalah orang yang mempunyai beberapa buah kapal dan memperkerjakan orang lain untuk membawa kapalnya tanpa ia sendiri ikut melaut. 8. Nelayan buruh yakni nelayan yang hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja tanpa memiliki perahu penangkap ikan. 9. Luas wilayah tangkap adalah lokasi yang boleh dilalui berdasarkan jalur-jalur yang sudah ditetapkan: a) Untuk jalur penangkapan 0-3 mil dikuasai oleh nelayan tradisional (nelayan pengguna perahu tanpa motor). b) Untuk jalur penangkapan 3-6 mil dikuasai oleh nelayan umum (nelayan pengguna perahu motor). c) Untuk jalur penangkapan 6 mil ke atas dikuasai oleh nelayan modern (nelayan pengguna kapal motor) 10. Nelayan trawl adalah nelayan modern yang menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional yaitu trawl. Menggunakan satu buah kapal berbobot > GT berkekuatan 1500 PK yang dilengkapi dengan fish fender, besi panel sebagai pembuka mulut jaring dan pengaman dari rintangan-rintangan karang dan lain-lain saat beroperasi. Pengoperasiannya dapat melibatkan 1-2 kapal. 18
11 Sesuai dengan tujuannya menangkap semua jenis ikan tanpa terkecuali karena ukuran mata jaring terkecil 2 mm. 11. Sumber daya alam kelautan adalah sumber daya yang meliputi, ruang lingkup yang luas yang mencakup kehidupan laut (tumbuhan, hewan dan mikro organisme) dan energi non hayati yang terkandung didalamnya (arus, gelombang laut, air laut). 1.6 Kerangka Teori Teori Konflik Coser Pembedaan antara berbagai bentuk konflik menjadi pembahasan pula dalam teori konflik Lewis Coser. Namun Coser menggunakan terminologi yang lain, yaitu konflik realistis dan konflik tidak realistis. Konflik realistis adalah konflik yang terjadi karena tuntutan yang tidak terpenuhi, sedangkan konflik tidak realistis adalah konflik yang tidak mampu dimunculkan secara antagonisme, sehingga tampil dalam bentuk prasangka dan sentimen-sentimen (Poloma, 1979: 111). Karena objeknya jelas, konflik realistis bisa terjadi tanpa kerusakan-kerusakan destruktif karena ditampilkan tanpa sikap permusuhan. Pembedaan Coser tentang bentuk konflik realistis dan non-realistis, bisa digunakan dalam menganalisa konflik yang terjadi karena perbedaan identitas, etnis atau agama seperti yang terjadi di lokasi penelitian. Penjelasan tersebut berguna untuk menganalisa apakah konflik yang terjadi di lokasi tersebut fungsional bagi struktur masyarakat atau tidak. Coser memberi perhatian pada fungsi konflik terhadap kohesi kelompok. Dalam hal ini Coser mengaitkan antara konflik eksternal dan internal kelompok 19
12 terhadap keeratan hubungan di antara anggota kelompok. Istilah kohesi kelompok sebagaimana yang disebutkan Coser dapat dilihat pada solidaritas kelompok, atau dalam istilah sehari-hari disebut kekompakan atau kesetiakawanan kelompok. 1988:94): Coser mengungkapkan proposisi intensitas konflik sebagai berikut (Soekanto, 1. Semakin disadarinya kondisi yang menyebabkan pecahnya konflik maka konflik semakin intens. 2. Semakin besar keterlibatan emosional pihak-pihak dalam konflik maka konflik semakin intens. 3. Semakin ketat struktur sosial maka tidak tersedianya alat yang melembaga untuk menyerap konflik dan ketegangan, konflik semakin intens. 4. Semakin besar perlawanan kelompok-kelompok dalam konflik terhadap kepentingan objektif mereka maka konflik semakin intens. Secara rinci, Coser juga membuat preposisi mengenai fungsi konflik berkaitan dengan kekerasan/kebrutalan yaitu: (1) semakin brutal atau intens konflik, semakin menyebabkan jelasnya batasan kelompok, sentralisasi struktur pengambilan keputusan, solidaritas anggota, penekanan terhadap pembangkang dan yang menyimpang, serta menguatkan konformitas terhadap norma. (2) semakin suatu konflik menyebabkan pusat kekuasaan menekan konformitas dalam kelompok, semkin besar akumulasi permusuhan, dan semakin besar kemungkinan konflik internal muncul dalam jangka panjang. 20
13 Dalam preposisi tersebut, Coser menekankan bahwa fungsi konflik bagi kohesivitas kelompok akan lebih terlihat nyata pada saat konflik semakin keras/brutal dengan kelompok luar. Preposisi Coser yang lain mengenai kebrutalan konflik dan isu konflik adalah sebagai berikut: (1) jika konflik menyangkut isu yang realistik, kemungkinan terjadi kompromi untuk mencari jalan bagi pencapaian tujuan, dan karena itu kurang brutal. (2) Jika konflik menyangkut isu yang tidak realistik, maka akan semakin besar tingkat keterlibatan dan emosi dalam konflik, sehingga semakin brutal konflik yang terjadi, khususnya jika: a) menyangkut nilai pokok/ dasar, b) konflik yang berlarut- larut. Pada umumnya, istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi maupun kelompok. Coser, mulai mendefenisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai-nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan. Apabila distribusi sumber daya langka dalam sebuah sistem dan semakin tidak seimbang, maka konflik kepentingan di antara kelompok dominan dan subordinat dalam sebuah sistem akan semakin meningkat. Coser (1957:198) menyebutkan juga bahwa perebutan sumber ekonomi dan masuknya teknologi merupakan pemicu secara langsung timbulnya konflik. Lewis Coser (Poloma, 1992: ) menyatakan bahwa katub penyelamat (safety-valve) adalah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katub penyelamat berfungsi sebagai jalan keluar untuk meredakan permusuhan, yang tanpa itu 21
14 hubungan pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam. Dengan demikian praktek-prektek atau institusi katup penyelamat memungkinkan pengungkapan rasa tidak puas terhadap struktur. Lewat katup penyelamat (safety-valve) itu permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan obyek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu, mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri-individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif. 22
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington
Lebih terperinciBUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG
BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PELARANGAN PENGUNAAN ALAT-ALAT TANGKAP YANG DAPAT MERUSAK HABITAT IKAN DAN BIOTA LAUT DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. juta km2 terdiri dari luas daratan 1,9 juta km2, laut teritorial 0,3 juta km2, dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah laut yang lebih luas daripada luas daratannya. Luas seluruh wilayah Indonesia dengan jalur laut 12 mil adalah lima
Lebih terperinciKONFLIK NELAYAN SENGGARANG KOTA TANJUNGPINANG DENGAN NELAYAN TEMBELING KECAMATAN TELUK BINTAN KABUPATEN BINTAN
KONFLIK NELAYAN SENGGARANG KOTA TANJUNGPINANG DENGAN NELAYAN TEMBELING KECAMATAN TELUK BINTAN KABUPATEN BINTAN Tiara Haryani, Nanik Rahmawati, Tri Samnuzulsari Tiaraharyani92@gmail.com Program studi Sosiologi
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG
PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN KAWASAN NELAYAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat
Lebih terperinciSejarah Peraturan Perikanan. Indonesia
Sejarah Peraturan Perikanan Indonesia Peranan Hukum Laut dalam Kedaulatan RI Laut Indonesia pada awalnya diatur berdasarkan Ordonansi 1939 tentang Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim yg menetapkan laut
Lebih terperinciV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru
V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG
GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia. Selain itu,indonesia juga merupakan negara dengan garis pantai
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah laut yang lebih luas daripada luas daratannya. Luas seluruh wilayah Indonesia dengan jalur laut 12 mil adalah lima
Lebih terperinciKimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lebih dari dua per tiga permukaan bumi tertutup oleh samudera. Ekosistem
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Sumberdaya Maritim Indonesia Lebih dari dua per tiga permukaan bumi tertutup oleh samudera. Ekosistem perairan ini merupakan seumber dari berbagai macam produk dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan Pembangunan Nasional adalah masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut harus dikembangkan dan dikelola sumberdaya yang tersedia.
Lebih terperinci- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 15 TAHUN 1990 TENTANG USAHA PERIKANAN.
www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 15 TAHUN 1990 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia masih didominasi oleh perikanan rakyat dengan menggunakan alat tangkap yang termasuk kategori sederhana, tidak memerlukan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu pulau. Kenyataan ini memungkinkan timbulnya struktur kehidupan perairan yang memunculkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu wilayah yang termasuk ke dalam pesisir laut di Sumatera Utara adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah 5.625 km 2. Posisinya sangat strategis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari
14 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas Laut 3,1 juta km2. Konvensi
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 15 TAHUN 1990 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 256, 2000 Perekonomian.Kelautan.Usaha.Izin.Nelayan.Perikanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik
Lebih terperinciPUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH
Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Disampaikan pada Diskusi Publik Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penguatan Sistem Pertahanan Negara Medan, 12 Mei 2016 PASAL 1 BUTIR 2 UU NO 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN
Lebih terperinciKERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Kemiskinan dan kesenjangan sosial pada kehidupan nelayan menjadi salah satu perhatian utama bagi kebijakan sektor perikanan. Menurut pemerintah bahwa kemiskinan dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Data pokok kelautan dan perikanan 2010 1 menggolongkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang banyak.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sungai Asahan secara geografis terletak pada ,2 LU dan ,4
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai Asahan secara geografis terletak pada 2 0 56 46,2 LU dan 99 0 51 51,4 BT. Sungai Asahan merupakan salah satu sungai terbesar di Sumatera Utara, Indonesia. Sungai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelagic state) terbesar di dunia. Jumlah Pulaunya mencapai 17.506 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Kurang lebih 60%
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setiap orang selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup orang harus melakukan suatu kegiatan yang dapat menghasilkan. Kegiatan
Lebih terperinciALAT PENANGKAPAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi
ALAT PENANGKAPAN IKAN Riza Rahman Hakim, S.Pi A. Alat Penangkap Ikan Definisi alat penangkap ikan: sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan Pengertian sarana:
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km 2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE)
Lebih terperinciC. URUSAN PILIHAN YANG DILAKSANAKAN
C. URUSAN PILIHAN YANG DILAKSANAKAN Yang dimaksud dengan urusan pilihan adalah urusan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa guna menunjang pembangunan sektor kelautan dan perikanan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Usaha Penangkapan Ikan Dalam buku Statistik Perikanan Tangkap yang dikeluarkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya ikan sebagai bagian kekayaan bangsa Indonesia perlu dimanfaatkan
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian
A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Manusia pada hakikatnya adalah sebagai mahluk individu sekaligus mahluk sosial. Manusia sebagai mahluk sosial dimana manusia itu sendiri memerlukan interaksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. negara ini terdiri dari lautan dengan total garis panjang pantainya terpanjang kedua
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan/bahari. Dua pertiga luas wilayah negara ini terdiri dari lautan dengan total garis panjang pantainya terpanjang kedua didunia.
Lebih terperinciDEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
KULIAH EKONOMI KELEMBAGAAN UNTUK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN TOPIK: Pengelolaan SDAL berbasis Masyarakat dan oleh Pemerintah Oleh: Kastana Sapanli, S.Pi,M.Si. DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,
Lebih terperinciGerakan air laut yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan sehari-hari adalah nomor
SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.5 1. Bagi para nelayan yang menggunakan kapal modern, informasi tentang gerakan air laut terutama digunakan untuk... mendeteksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap nasional masih dicirikan oleh perikanan tangkap skala kecil. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan perikanan tangkap di Indonesia yang masih
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya ikan sebagai bagian kekayaan bangsa Indonesia perlu dimanfaatkan
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN
PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang
Lebih terperinciluas. Secara geografis Indonesia memiliki km 2 daratan dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Laut sebagai anugerah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, harus senantiasa terjaga sumber daya alam kelautannya. Keberhasilan Indonesia untuk menetapkan identitasnya
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang : a. bahwa Kabupaten Kepulauan Selayar
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara
Lebih terperinciEKONOMI KELEMBAGAAN UNTUK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN. TOPIK: Pengelolaan SDAL berbasis Masyarakat (Community Based-Natural Resources Management)
EKONOMI KELEMBAGAAN UNTUK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN TOPIK: Pengelolaan SDAL berbasis Masyarakat (Community Based-Natural Resources Management) Arti PSALBM PSALBM suatu proses pemberian wewenang, tanggung
Lebih terperinci4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
20 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Letak Topografi dan Luas Sibolga Kota Sibolga berada pada posisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap kearah lautan Hindia. Bentuk kota memanjang
Lebih terperinciRencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua
Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Pulau Maratua berada pada gugusan pulau Derawan, terletak di perairan laut Sulawesi atau berada dibagian ujung timur Kabupaten
Lebih terperinciQANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI PERAIRAN UMUM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI PERAIRAN UMUM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH BESAR, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH LAMONGAN NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN
SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH LAMONGAN NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN, Menimbang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Panjang garis pantai di Indonesia adalah lebih dari 81.000 km, serta terdapat lebih dari 17.508 pulau dengan luas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan. Karena akhir-akhir ini eksploitasi terhadap sumberdaya pesisir dan laut
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 9 TAHUN 2004 SERI C NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG
LEMBARAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 9 TAHUN 2004 SERI C NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PEMAKAIAN ALAT PENANGKAP DAN ALAT BANTU PENANGKAPAN IKAN DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Mengkaji perilaku nelayan artisanal di Indonesia, khususnya di pantai Utara Jawa Barat penting dilakukan. Hal ini berguna untuk mengumpulkan data dasar tentang perilaku nelayan
Lebih terperinciUpaya Pemberantasan Kemiskinann Masyarakat Pesisir MEMBERI NELAYAN KAIL, BUKAN UMPANNYA
KABUPATEN DELI SERDANG Upaya Pemberantasan Kemiskinann Masyarakat Pesisir MEMBERI NELAYAN KAIL, BUKAN UMPANNYA Sumber: Inovasi Kabupaten di Indonesia, Seri Pendokumentasian Best Practices, BKKSI, 2008
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berada diantara 2 (dua) samudera yaitu samudera pasifik dan samudera hindia dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau dan wilayah laut yang sangat luas dengan letak geografis yang sangat strategis karena berada
Lebih terperinciAGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP
AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP Cilacap merupakan salah satu wilayah yang berpotensi maju dalam bidang pengolahan budi daya perairan. Memelihara dan menangkap hewan atau tumbuhan perairan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. protein hewani bagi manusia. Untuk mencapai tujuan-tujuan itu, produk-produk
19 TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Perikanan adalah suatu kegiatan ekonomi. Tujuan pembangunannya untuk Indonesia adalah sebagai devisa negara, sumber pendapatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat melalui kontribusi terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki beribu-ribu pulau di mana dua per tiga wilayahnya terdiri dari lautan. Kondisi ini menyediakan
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN
PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang pariwisata, pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pembangunan, pengusahaan obyek
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 15 TAHUN 1990 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciSistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap
Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan
Lebih terperinciKAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R
KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015
PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT TAHUN 2015 PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Kornblurn dalam Susan, mengatakan bahwa konflik menjadi fenomena yang
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konflik dalam kehidupan manusia Kornblurn dalam Susan, mengatakan bahwa konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki luas perairan wilayah yang sangat besar. Luas perairan laut indonesia diperkirakan sebesar 5,4 juta km 2 dengan garis pantai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dunia atau bumi adalah planet ketiga dari matahari yang merupakan planet
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia atau bumi adalah planet ketiga dari matahari yang merupakan planet terpadat dan terbesar kelima dari delapan planet dalam tata surya yang digunakan sebagai tempat
Lebih terperinciMANAJEMEN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KABUPATEN BULUNGAN
MANAJEMEN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KABUPATEN BULUNGAN Disusun oleh : Syam Hendarsyah, S.P. E-mail : syam.darsyah@yahoo.co.id Hp : 081346412689 I. LATAR BELAKANG Allah S.W.T telah memberikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan 25,14 % penduduk miskin Indonesia adalah nelayan (Ono, 2015:27).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nelayan merupakan suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN IJIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Klik Dibatalkan dan Ditindaklanjuti Instruksi Bupati No 8 Tahun 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN IJIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR
PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO
PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PUNGUTAN HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JENEPONTO, Menimbang : a. bahwa sumber
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya
Lebih terperinciPENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perembesan air asin. Kearah laut wilayah pesisir, mencakup bagian laut yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi
Lebih terperinciPENGARUH PERKEMBANGAN PENDAPATAN NELAYAN TERHADAP KONDISI FISIK PERMUKIMAN NELAYAN WILAYAH PESISIR KOTA PEKALONGAN TUGAS AKHIR
PENGARUH PERKEMBANGAN PENDAPATAN NELAYAN TERHADAP KONDISI FISIK PERMUKIMAN NELAYAN WILAYAH PESISIR KOTA PEKALONGAN TUGAS AKHIR Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Program Studi Sarjana Teknik Perencanaan
Lebih terperinciBerkala Perikanan Terubuk, Februari 2013, hlm ISSN
Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2013, hlm 102 108 ISSN 0126-4265 Vol. 41. No.1 PERANAN TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) DALAM PEMASARAN IKAN HASIL TANGKAPAN NELAYAN DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KEC.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.
Lebih terperinciRANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016
RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGALIHAN SAHAM DAN BATASAN LUASAN LAHAN DALAM PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PEMANFAATAN PERAIRAN DI SEKITARNYA DALAM RANGKA
Lebih terperinciVI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI
55 VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 6.1 Analisis DPSIR Analisis DPSIR dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang jelas dan spesifik mengenai faktor pemicu (Driving force), tekanan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,
BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini memiliki banyak wilayah pesisir dan lautan yang terdapat beragam sumberdaya alam. Wilayah
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis masalah Kemiskinan dan Ketimpangan pendapatan nelayan di Kelurahan Bagan Deli dan
Lebih terperincimungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Secara geografis propinsi Bali terletak pada posisi 8º 03 40-8º 50 48 LS dan 144º 50 48 BT. Luas propinsi Bali meliputi areal daratan sekitar 5.632,66 km² termasuk keseluruhan
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN
PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang :
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 2 TAHUN 1991 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DALAM WILAYAH PROVINSI DAERAH TINGKAT I LAMPUNG
PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 2 TAHUN 1991 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DALAM WILAYAH PROVINSI DAERAH TINGKAT I LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang : bahwa
Lebih terperinci4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
44 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Selat Malaka Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dan merupakan satu bagian dengan dataran utama Asia serta
Lebih terperinci6 KESIMPULAN DAN SARAN
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Permasalahan konflik perikanan tangkap di perairan Kalsel ditinjau dari tipologi konflik terdiri dari (1) yuridiksi perikanan terjadi pada kasus daerah tangkap disebabkan
Lebih terperinciV. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI
V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan adalah masalah yang tidak ada habisnya untuk. dibahas, apalagi Indonesia penduduk terpadat ke empat dunia masih
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan adalah masalah yang tidak ada habisnya untuk dibahas, apalagi Indonesia penduduk terpadat ke empat dunia masih menyimpan persoalan-persoalan kemiskinan.
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut Arafura merupakan salah satu bagian dari perairan laut Indonesia yang terletak di wilayah timur Indonesia yang merupakan bagian dari paparan sahul yang dibatasi oleh
Lebih terperinci