PENERAPAN KONSEP BATAL DEMI HUKUM DI PERADILAN PIDANA, PERDATA DAN TATA USAHA NEGARA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENERAPAN KONSEP BATAL DEMI HUKUM DI PERADILAN PIDANA, PERDATA DAN TATA USAHA NEGARA"

Transkripsi

1 PENERAPAN KONSEP BATAL DEMI HUKUM DI PERADILAN PIDANA, PERDATA DAN TATA USAHA NEGARA Fajar Santosa 1 Advocat dan Peneliti pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Malang Abstraksi : Konsep batal demi hukum dapat ditinjau dari aspek teoritis maupun dalam praktek penerapan di lapangan diantaranya dalam peradilan pidana, perdata, dan tata usaha negara. Dalam pemahaman umum konsep batal demi hukum sering disalah pahami penerapannya. Secara tinjauan teoritis, kebatalan suatu produk hukum dapat terjadi karena kondisi batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Keduanya memiliki konsep yang berbeda. Kondisi dapat dibatalkan terjadi terjadi dengan syarat kebatalannya dilakukan dengan perbuatan hukum tertentu dan diajukan kepada institusi tertentu yang oleh hukum memang diberikan kewenangan melakukan pembatalan suatu produk hukum. Sedangkan kondisi batal demi hukum dipahami seolah-olah tidak memerlukan perbuatan hukum tertentu oleh institusi tertentu karena kebatalannya terjadi secara sendiri karena hukum. Padahal sesungguhnya dalam konteks keadaan batal demi hukum suatu putusan badan peradilan, maka keadaan batal demi hukum adalah suatu keadaan yang sesungguhnya masih membutuhkan suatu perbuatan hukum berupa pengajuan pembatalan kepada suatu badan peradilan. Kata kunci: peradilan, putusan, batal demi hukum 1 Alamat Korespondensi : fajarkotamalang@gmail.com

2 Santosa, Penerapan Konsep Batal Demi Hukum Di Peradilan Pidana, Perdata Dan Tata Usaha Negara 61 A. Pendahuluan Di dalam ilmu hukum bahwa suatu produk hukum, baik berupa keputusan, ketetapan, atau peraturan dikatakan sah menurut hukum (rechmatig) apabila keputusan tersebut memenuhi persyaratan tertentu yang ditentukan oleh hukum. Dengan dipenuhinya persyaratan yang ditentukan oleh hukum maka suatu produk hukum mempunyai kekuatan hukum (rechtskrach) untuk dilaksanakan. Sebaliknya suatu produk hukum yang tidak memenuhi persyaratan maka menurut hukum dapat dinyatakan tidak sah atau dengan kata lain menjadi batal (nietig). Menurut Hans Kelsen, hubungan antara undang-undang atau norma hukum dari hukum kebiasaan dengan keputusan pengadilan dapat ditafsirkan dengan cara yang sama. Keputusan pengadilan melahirkan norma khusus yang harus dianggap valid sehingga legal selama keputusan pengadilan itu belum dibatalkan menurut cara yang ditetapkan oleh hukum, karena ketidaklegalannya ditetapkan oleh organ yang kompeten. 2 Di Indonesia berdasarkan pasal 24 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen bahwa salah satu cabang kekuasaan kehakiman 2 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan dari General Theory of Law and State, Nusa Media, 2014, hlm dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dengan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Kita ketahui bahwa di peradilan umum secara garis besar memeriksa perkara pidana dan perdata, meskipun dalam perkembangan mutakhir terdapat berbagai badan peradilan khusus yang menginduk kepada peradilan umum namun tetaplah berbagai peradilan khusus itu berada dalam pembidangan kepidanaan dan keperdataan. Peradilan militer adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana militer. Sedangkan peradilan agama adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung bagi pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang Peradilan Agama. Sementara itu peradilan tata usaha negara adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata usaha Negara,

3 62 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks legalitas suatu produk hukum, suatu dokumen hukum baik itu undang-undang atau peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian atau kontrak dan dokumen yang dibuat lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dapat dibuat secara tidak sah sehingga dinyatalan batal demi hukum. Peradilan memiliki posisi yang strategis dalam melakukan penilaian terhadap berbagai dokumen hukum tersebut. Peradilan adalah segala sesuatu proses yang dijalankan di Pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan hukum in concreto (hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal. B. Pembahasan 1. Batal Demi Hukum dalam Peradilan Pidana Konsep batal demi hukum dalam peradilan pidana merujuk pada kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) pasal 153 ayat (4) dan pasal 197 ayat (2). Sebagaimana ketentuan hukum acara peradilan pidana maka Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi; Hakim juga wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas. Sementara Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Berdasarkan pasal Pasal 153 ayat (4), tidak dipenuhinya ketentuan tersebut dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum. Pasal 197 ayat (1) KUHAP juga mengatur bahwa putusan pengadilan harus memuat: a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"; b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,

4 Santosa, Penerapan Konsep Batal Demi Hukum Di Peradilan Pidana, Perdata Dan Tata Usaha Negara 63 c. tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; d. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; e. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat f. pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan g. kesalahan terdakwa, h. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; i. pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; j. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; k. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; l. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; m. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; n. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; o. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera. Pasal 197 Ayat (2) lebih lanjut menyatakan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan tersebut diatas mengakibatkan putusan pengadilan batal demi hukum. Putusan pengadilan dikatakan batal demi hukum (venrechtswege nietig atau ab initio legally null and void) artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed). Oleh karena tidak pernah ada maka putusan demikian tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum, sehingga dengan demikian putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan.

5 64 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal Menurut Yahya Harahap, ditinjau dari segi hukum pengertian putusan batal demi hukum berakibat putusan yang dijatuhkan: 1. Dianggap tidak pernah ada atau never existed sejak semula; 2. Putusan yang batal demi hukum tidak mempunyai kekuatan dan akibat hukum; 3. Dengan demikian putusan yang batal demi hukum sejak semula putusan itu dijatuhkan sama sekali tidak memiliki daya eksekusi atau tidak dapat dilaksanakan. Terdapat pertanyaan, apakah pengaruh yang diakibatkan putusan batal demi hukum terhadap perkara yang bersangkutan? Apakah keadaan batal demi hukum itu meliputi semua perkara yang mengakibatkan segala pemeriksaan batal demi hukum, ataukah pengertian putusan batal demi hukum itu hanya terbatas sepanjang putusan yang dijatuhkan saja. Jika keadaan batal demi hukum meliputi seluruh perkara maka mulai dari dakwaan, pemeriksaan saksi, pemeriksaan ahli, pemeriksaan terdakwa, tuntutan jaksa, pembelaan terdakwa serta musyawarah hakim dengan sendirinya juga batal demi hukum. Dengan demikian seluruh pemeriksaan yang tertuang dalam berita acara sidang dengan sendirinya dianggap tidak memiliki kekuatan hukum serta berita acara pemeriksaan sidang dianggap tidak berharga dan segala sesuatu kembali kepada keadaan semula atau ex tune. Menurut Yahya Harahap pendapat yang menyatakan akibat putusan batal demi hukum mengakibatkan segala pemeriksaan batal demi hukum adalah pendapat yang berlebihan, terlampau ekstrim dan tidak kuat landasan hukumnya. Jika dicermati pasal 197 ayat (2) KUHAP maka tegasan batal demi hukum tidak lebih dari putusan yang dijatuhkan, sedangkan pemeriksaan atau berita acara pemeriksaan tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian berita acara pemeriksaan sama sekali tidak dibatalkan pasal 197 ayat (2) KUHAP. Pemeriksaan sidang tetap sah dan mempunyai kekuatan sebagai berita acara sidang, sehingga tuntutan jaksa dan pembelaan terdakwa tetap merupakan produk dan peristiwa yang sah dalam persidangan. Dalam keadaan putusan yang batal demi hukum tidak melekat unsur nebis in idem. 3 Hal tersebut berbeda dengan konsekuensi yuridis suatu surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum oleh putusan majelis hakim. Berdasarkan pasal 3 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 389.

6 Santosa, Penerapan Konsep Batal Demi Hukum Di Peradilan Pidana, Perdata Dan Tata Usaha Negara ayat (3) KUHAP: Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan ayat (2) huruf b batal demi hukum. Pasal 143 ayat (2) KUHAP memberi tegasan syarat-syarat yang harus dipenuhi didalam pembuatan surat dakwaan, yaitu: 1. Syarat formal yaitu: surat dakwaan harus diberi tanggal dan ditndatangani oleh Penuntut Umum; berisi identitas terdakwa yaitu nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa. 2. Syarat material yaitu: surat dakwaan harus memuat secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan oleh terdakwa. 4 Surat dakwaan yang tidak memuat semua unsur yang ditentukan dalam pasal pidana yang didakwakan atau tidak menyebut tempat dan waktu kejadian atau tidak memerinci secara jelas peran dan tindakan yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan, sehingga surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf b jo. Pasal 143 ayat (3). 5 Meskipun undang-undang merumuskan sesuatu batal demi hukum namun keadaan batal demi hukum tidak dengan sendirinya terjadi. Dalam konteks ini yang berhak menyatakan putusan batal demi hukum suatu putusan pengadilan adalah instansi pengadilan yang lebih tinggi. Pendapat ini bertolak dari ajaran yang berpendirian sifat batal demi hukum (van rechtsweenietig) atau null and void tidak murni dan tidak mutlak. Dengan demikian agar suatu putusan yang batal demi hukum resmi batal secara formal maka harus ada tindakan dari pihak lain yaitu instansi pengadilan yang lebih tinggi atau instansi yang berwenang berdasarkan undang-undang. Dengan demikian menurut Yahya Harahap sifat putusan yang batal demi hukum pada hakikatnya berubah menjadi dapat dibatalkan (vernietig baar) atau dinyatakan batal (nietig verklaard) atau voidable oleh instansi yang lebih tinggi atau instansi yang berwenang. Tata cara atau prosedur yang demikian pada umumnya dijumpai dalam praktek lingkungan hukum perdata dan administrasi. 6 4 Hari Sasanko dan Tjuk Suharyanto, Penuntutan dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988, hlm M. Yahya Harahap, Ibid, hlm M. Yahya Harahap, Ibid, hlm. 387.

7 66 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal Batal Demi Hukum dalam Peradilan Perdata Dalam ranah praktek perdata, konsep batal demi hukum dikenal dalam konteks hukum perjanjian. Menurut pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; cakap untuk membuat suatu perjanjian; mengenai suatu hal tertentu; suatu sebab yang halal. Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai orang-orangnya atau subjek yang melakukan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syaratsyarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. 7 Apabila syarat objektif untuk sahnya untuk suatu perjanjian tidak terpenuhi maka perjanjiannya adalah batal demi hukum. Secara yuridis sejak semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada perikatan apapun diantara para pihak yang bermaksud membuat perjanjian itu. Meskipun istilahnya adalah batal demi hukum hal itu tidak berarti bahwa suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif itu batal dengan sendirinya. Hakim diwajibkan menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan itu, tentu setelah ada pihak tertentu yang mengajukan gugatan terhadap keabsahan perjanjian dimaksud. Hal itu sesuai dengan asas hukum yang perlaku dalam hukum acara perdata yaitu Hakim Bersifat Menunggu. Berdasarkan pasal 118 HIR dan 142 Rbg, bahwa hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya, sehingga apakah akan ada gugatan atau tuntutan hak diajukan atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang berkepentingan. Sedangkan dalam hal terdapat kekurangan mengenai syarat subjektif maka suatu perjanjian bukan batal demi hukum tetapi dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. Subekti memberikan analisis terkait sebab diadakannya pembedaan antara perjanjianperjanjian yang batal demi hukum dan perjanjian-perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan. Perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Keadaaan tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim. Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilakukan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Hal 7 Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa Cetakan XII tahyun 1990 hlm. 17

8 Santosa, Penerapan Konsep Batal Demi Hukum Di Peradilan Pidana, Perdata Dan Tata Usaha Negara 67 demikian juga seketika dapat diketahui oleh hakim. 8 Tentang perjanjian yang kekurangan syarat-syarat subjektif yang menyangkut kepentingan seseorang, misalnya seorang yang oleh undangundang dipandang sebagai tidak cakap, atau seorang yang telah memberikan persetujuannya karena khilaf atau tertipu. Kekurangan syarat subjektif itu tidak begitu saja dapat diketahui oleh hakim dan mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan sehingga memerlukan pembuktian. Mengacu pada pasal 1265 KUHPer bahwa suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolaholah tidak pernah ada suatu perikatan. Berdasar pasal 1266 KUHPer, syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-perseyujuan yang bertimbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Berdasarkan pasal 1454 KUHPer hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan hukum dengan batas waktu sampai 5 tahun. Dalam hal ketidakcakapan suatu pihak dihitung sejak yang bersangkutan menjadi cakap menurut hukum. Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti, sementara dalam hal kekhilafan atau penipuan, sejak diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu. Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap pembatalan yang diajukan selaku pembelaan atau tangkisan yang mana selalu dapat dikemukakan. Menurut Subekti terdapat dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian. Pertama, pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu dibatalkan. Kedua, menunggu sampai ia digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dimaksud. Di depan Pengadilan Tergugat menyampaikan bahwa perjanjian tersebut telah disetujuinya ketika ia masih belum cakap, ataupun disetujui karena dalam ancaman atau karena khilaf mengenai objek perjanjian atau karena Tergugat ditipu. Pembatalan secara pasif ini tidak dibatasi jangka waktunya. 9 Dalam konteks hukum perkawinan juga dikenal istilah batalnya perkawinan yaitu pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Undang-undang Perkawinan: 8 Ibid, hlm Ibid, hlm. 25.

9 68 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pekawinan. Pasal 28 memiliki tegasan: (1) batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan; (2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap: anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan; suami atau istri yang bertindak dengan itikadbaik, kecuali terhadap harta bersama bilamana pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekauatan hukum tetap. Konsep batalnya perkawinan dapat dimaknai bahwa suatu perkawinan dinyatakan batal dan untuk menyatakan kebatalannya haruslah dilakukan perbuatan hukum pengajuan pembatalan kepada peradilan yang berwenang mengadili. Berbeda dengan konsep dalam hukum perjanjian yang mengenal persayarat subjektif dan objektif yang hal itu membawa konsekuensi status kebatalan suatu perjanjian, maka dalam hukum perkawinan hanya dikenal konsep batalnya perkawinan yang harus dilakukan dengan perbuatan hukum pembatalan. Jika dianalogikan maka perkawinan yang dapat diajukan pembatalan itu adalah sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat subjek yaitu para pihak yang melakukan perkawinan. Undang-undang perkawinan memberikan pengaturan yang tidak sederhana terkait sifat kebatalan perkawinan yang dinyatakan batal oleh pengadilan. Tegasan awal menyatakan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, namun klausula berikutnya menyatakan bahwa batalnya suatu perkawinan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Tegasan tersebut bermakna bahwa berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap itu maka perkawinan sebagaimana dimaksud batal sejak pada saat dimulainya perkawinan sehingga konsekuensi yuridisnya sebenarnya perkawinan itu batal sejak awal. Pada ayat 2 kemudian diberikan penegasan lagi bahwa dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dirumuskan maka batalnya perkawinan tidak berlaku pada sejak perkawinan. Artinya hukum memandang dan mengakui keberadaan subjek-subjek tertentu yang ada selama perkawinan itu dilangsungkan sampai dibatalkannya perkawinan dimaksud.

10 Santosa, Penerapan Konsep Batal Demi Hukum Di Peradilan Pidana, Perdata Dan Tata Usaha Negara Batal Demi Hukum dalam Peradilan Tata Usaha Negara Dalam hukum Tata Usaha Negara, menurut Philipus M. Hadjon terdapat tiga aspek hukum yang merupakan persyaratan suatu keputusan Tata Usaha Negara dinyatakan sah. Yaitu aspek wewenang, prosedur, dan substansi. Aspek wewenang berarti bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan/keputusan memiliki wewenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku; aspek prosedur berarti bahwa ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang disyaratkan dan bertumpu pada asas keterbukaan pemerintah; aspek substansi yaitu menyangkut objek ketetapan atau keputusan tidak ada error in re.berdasarkan pasal 53 ayat (1) UU No. 5 tahun 1986 Jo UU No. 9 tahun 2004 menegaskan bahwa orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Berdasarkan pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 dapat diketahui bahwa Keputusan Tata Usaha Negara akan dinyatakan batal atau tidak sah jika: 1) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; 2) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Penjelasan pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 dinyatakan cukup jelas, namun jika dilakukan penelusuran penjelasan pasal sebelum dilakukannya perubahan terhadap UU No. 5 Tahun 1986 diberikan penjelasan bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila keputusan yang bersangkutan: 1) Bertentangan dengan ketentuanketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal; 2) Bertentangan dengan ketentuanketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat material/substansial;

11 70 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal ) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang. Penjelasan tersebut diatas meskipun sudah dihapus dalam perubahan UU No. 5 Tahun 1986 namu secara substansial tidak bertentangan dengan substansi peraturan perundang-undangan yang masih berlaku. Menurut literatur hukum Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan tidak berwenang dapat berupa: 1) Tidak berwenang ratione materiae, misalnya Bupati Kepala Daerah Kabupaten mengeluarkan Surat Keterangan Kesehatan padahal yang seharusnya berwenang mengeluarkan surat keterangan tersebut adalah seorang dokter; 2) Tidak berwenang ratione loci, misalnya Bupati Kepala Daerah Kabupaten X mengeluarkan Surat Perintah Pembongkaran Rumah yang ada di Kabupaten Y; 3) Tidak berwenang ratione temporis, misalnya Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat yang sudah habis masa tugasnya tetap melaksanakan tugas dan menjatuhkan keputusan. 10 Dari ketentuan pasal 97 ayat (7) Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dapat 10 Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, R. Wiyono, Sinar Grafika, Edisi ketiga 2013, hlm. 90. diketahui bahwa putusan pengadilan dapat berupa: 1) Gugatan ditolak 2) Gugatan tidak diterima 3) Gugatan gugur. 4) Gugatan dikabulkan. Terhadap putusan pengadilan berupa gugatan ditolak, gugatan tidak diterima dan gugatan gugur maka tidak diperlukan sesuatu tindak lanjut. Berbeda dengan hal tersebut maka putusan gugatan dikabulkan maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. Kewajiban sebagaimana dimaksud adalah berupa: 1) Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan ; 2) Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; 3) Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pasal 3 UU No. 5 Tahun Dalam praktek peradilan Tata Usaha Negara maka lazim ketika pengadilan mengabulkan suatu gugatan tata usaha negara maka pengadilan menyatakan batal demi hukum keputusan tata usaha negara.terkait eksekusi putusan

12 Santosa, Penerapan Konsep Batal Demi Hukum Di Peradilan Pidana, Perdata Dan Tata Usaha Negara 71 pengadilan tata usaha negara, peraturan perundang-undangan memberi penegasan bahwa batalnya suatu keputusan tata usaha negara yang dinyatakan batal oleh pengadilan tata usaha negara tidak secara merta merta pada saat setelah dibacakannya putusan pengadilan tata usaha negara. Undang-undang No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 memberi tegasan bahwa pencabutan atas kebatalan suatu keputusan tata usaha negara pada tahapan pertama tetap menjadi kewenangan instansi yang mengeluarkan suatu produk hukujm keputusan tata usaha negara yang dibatalkan tersebut. Pasal 116 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 baru kemudian memberikan pemecahan hukum dalam hal instansi yang dimaksud ternyata tidak melakukan tindakan sebagaimana diperintahkan oleh hakim pengadilan Tata Usaha Negara yaitu melakukan pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Ditegaskan bahwa dalam hal dalam waktu 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pihak Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya maka Keputusan tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Sementara itu pasal 116 ayat (3) No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 memberi tegasan bahwa dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban berupa Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru dan penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986, dan setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan maka Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. Dengan demikian hukum memberikan waktu bagi pejabat TUN yang dinyatakan batal keputusannya untuk menindaklanjuti melakukan kewajiban sesuai yang diperintahkan dalam putusan Pengadilan TUN berupa pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan selambat-lambatnya 4 bulan. Timbul pertanyaan, sejak kapankah kebatalan suatu keputusan Tata Usaha Negara yang dinyatakan batal oleh peradilan? Jika mengikuti asas hukum yang berlaku universal dalam peradilan maka lazimnya suatu putusan berlaku sejak diucapkan, sehingga kebatalan suatu putusan tata usaha negara yang dinyatakan

13 72 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal batal oleh putusan TUN adalah sejak saat putusan itu diucapkan dan memiliki kekuatan hukum tetap. Namun dengan ketentuan pasal 116 tersebut menjadi membuka pintu ketidakpastian hukum karena ternyata hukum masih memberikan kesempatan selama 4 bulan bagi tergugat untuk merespon putusan TUN dimaksud. Dalam hal putusan pengadilan dimaksud tidak dipatuhi oleh pejabat tata usaha negara maka dinyatakan Keputusan TUN yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Untuk mendudukkan kompleksitas tafsir atas kebatalan suatu putusan TUN apakah sejak saat dibacakan oleh hakim PTUN yang mengadili ataukah sejak setelah lewat tenggang waktu 4 bulan bagi Tergugat yang tidak mematuhi putusan PTUN, maka menurut hemat penulis kebatalan itu harus dihitung sejak putusan hakim PTUN dimaksud memiliki kekuatan hukum tetap, tidak menunggu 4 bulan setelah putusan memiliki kekuatan hukum dan tidak dipatugi seorang pejabat TUN baru kemudian demi hukum keputusan TUN dimaksud dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Terkait tenggang waktu 4 bulan itu harus dipahami hanya terkait faktor administrasi. hal itu untuk meneguhkan kewibaan Pengadilan dalam menegakkan kepastian hukum. Namun memang sulit ditepis bahwa pengaturan di pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tersebut jelas membuka pintu ketidakpastian hukum. Memang pasca perubahan UU No. 5 tahun 1986 dengan UU No. 9 Tahun 2004 terkait eksekusi putusan pengadilan TUN terdapat perbedaan alur yanglebih sederhana dalam hal pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan TUN. Jika dalam UU No. 5 Tahun 1986, dalam hal Tergugat tidak melaksanakan kewajiban yang diputuskan oleh Pengadilan untuk melakukan pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru dan penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986, maka Penggugat masih harus mengajukan permohonan agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan. Dalam hal Tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya maka Ketua Pengadilan mengajukan hal itu kepada instansi atasan Tergugat menurut jenjang jabatannya. Selanjutnya instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam waktu dua bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat Tergugat melaksanakan putusan

14 Santosa, Penerapan Konsep Batal Demi Hukum Di Peradilan Pidana, Perdata Dan Tata Usaha Negara 73 Pengadilan. Langkah terakhir jika instansi atasan tersebut tidak mengindahkan permintaan Ketua Pengadilan maka Ketua Pengadilan mengajukan persoalan tersebut kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut untuk melaksanakan putusan Pengadilan. Berdasarkan UU No. 9 Tahun 2004 maka alur pelaksanaan eksekusi putusan Pengadilan TUN menjadi lebih sederhana. Terhadap Tergugat yang tidakmenjalankan kewajiban yang diperintahkan oleh putusan hakim maka terhadap pejabat yang bersangkutan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administrasi, tanpa dijelaskan bagaimana mekanisme lebih jauh penjatuhan sanksi administrasi tersebut. Hanya dalam penjelasan secara otentik dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pejabat yang bersangkutan dikenakan uang paksa dalam ketentuan ini adalah pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim karena jabatannya yang dicantumkan dalam amar putusan pada saat memutuskan mengabulkan gugatan Penggugat. 4. Analisa Konsistensi penggunaaan Istilah Batal Demi Hukum Sebagaimana ditegaskan diatas bahwa tata cara atau prosedur putusan yang dinyatakan batal demi hukum harus dinyatakan oleh instansi pengadilan yang lebih tinggi sehingga hakikatnya sifat batal demi hukum berubah menjadi dapat dibatalkan atau dinyatakan batal. Baik peradilan pidana, perdata maupun tata negara memiliki prosedur yang demikian. Penggunaan istilah batal demi hukum diterapkan dalam dua konteks yang berbeda pada ketiga peradilan tersebut diatas. Yang pertama adalah terkait putusan peradilan dan yang kedua penggunaan istilah batal demi hukum bukan pada putusan peradilan yang dinyatakan batal demi hukum. Pada kategori kedua penggunaannya berbeda pada setiap bentuk peradilan. Untuk peradilan perdata terkait perjanjian yang dibuat oleh antar subjek hukum yang tidak memenuhi syarat objektif sebagaimana dimaksud pasal 1320 KUHPerdata. Untuk peradilan Tata Usaha Negara penggunaan istilah batal demi hukum ialah pada suatu bentuk keputusan tata usaha negara yang tidak memenuhi syarat dan kualifikasi tertentu. Sedangkan pada peradilan pidana penggunaan istilah batal demi hukum dilekatkan pada suatu dakwaan jaksa penuntut umum yang dapat dikualifikasi batal demi hukum jika tidak memenuhi syarat dan kualifikasi tertentu yang ditetapkan oleh KUHAP.

15 74 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal Dalam konteks hukum perdata misalnya, suatu perjanjian yang dibuat tanpa kausa yang dibolehkan atau perjanjian yang memuat kausa yang bertentangan dengan undang-undang maka menurut pasal 1335 KUH Perdata adalah perjanjian yang batal demi hukum. Perjanjian yang demikian dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum. Namun demikian sekalipun sifat perjanjian batal demi hukum, namun pihak-pihak yang bersangkutan harus meminta pembatalan ke pengadilan sebagai instansi yang berwenang menyatakan perjanjian itu batal demi hukum. Atas permintaan para pihak itulah kemudian pejabat yang berwenang yaitu hakim perdata mengeluarkan putusan yang menyatakan perjanjian yang batal demi hukum itu kemudian dibatalkan. Demikian juga praktek hukum tata usaha negara. Sesuatu yang batal demi hukum tidak dengan sendirinya batal. Agar sesuatu yang batal demi hukum dapat dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum maka harus melalui prosedur adanya pernyataan batal dari pejabat yang berwenang. Suatu putusan tata usaha negara yang berkualifikasi batal demi hukum harus dinyatakan oleh hakim yang mengadili dalam suatu peradilan tata usaha negara. Terdapat perbedaan yang prinsipil antara lingkungan peradilan hukum perdata atau hukum tata usaha negara pada satu pihak dengan lingkungan hukum pidana. Pada hukum perdata maka yang terkait secara langsung ialah kepentingan hak keperdataan terutama yang berkenaan dengan hak kebendaan atau perjanjian. Sedangkan pada hukum pidana terkait sekaligus dua kepentingan yaitu kepentingan perlindungan hak asasi terdakwa pada satu pihak dan kepentingan umum pada sisi yang lain. Berbeda pada praktek peradilan perdata yang telah digariskan tata cara mengajukan pembatalan atas sesuatu tindakan hukum yang batal demi hukum maka hal tersebut tidak diatur dalam pasal 197 KUHAP. Dengan demikian undangundang memberi keleluasaan bagi lembaga peradilan untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan hak asasi terdakwa pada satu pihak dengan kepentingan masyarakat serta tehaknya hukum dan keadilan pada pihak yang lain. Hal yang tidak boleh terjadi adalah jangan sampai seorang terdakwa dieksekusi berdasarkan putusan pengadilan yang batal demi hukum, sebaliknya juga tidak boleh terjadi seorang terdakwa tidak dapat dieksekusi disebabkan oleh kelalaian hakim memenuhi salah satu ketentuan dalam pasal 197 ayat (1) KUHAP. Berdasarkan pertimbangan itulah maka

16 Santosa, Penerapan Konsep Batal Demi Hukum Di Peradilan Pidana, Perdata Dan Tata Usaha Negara 75 putusan pada peradilan pidana yang batal demi hukum itu haruslah dapat diperbaiki. Sayangnya peraturan perundangundangan tidak mengatur mekanisme memperbaiki putusan yang batal demi hukum pada peradilan pidana. Sebagaimana telah diuraikan diatas prinsipnya pernyataan batal demi hukum dilakukan oleh instansi pengadilan yang lebih tinggi. Namun dalam hal putusan dimaksud telah berkekuatan hukum tetap, menurut Yahya Harahap pernyataan putusan batal demi hukum dapat diajukan oleh terdakwa/terpidana, penasehat hukun dan/atau jaksa kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat terakhir. 11 C. Penutup Penggunaan istilah batal demi hukum pada suatu putusan, baik peradilan pidana, perdata dan tata usaha negaramempersyaratkan syarat formil suatu putusan sehingga dalam hal syarat itu tidak dipenuhi maka suatu putusan hakim dapat dinyatakan batal demi hukum. Berbeda dengan peradilan perdata dan peradilan tata usaha negara yang telah memberikan pengaturan dan kemapanan dalam hal praktek hukum terkait penerapan konsep batal demi hukum, maka peradilan pidana masih belum didukung peraturan perundang-undangan yang memadai untuk memecahkan problem hukum terkait keberadaan putusan hakim yang dinyatakan batal demi hukum. Mengingat keberadaan asaslegalitas dalam peradilan pidana maka mendesak untuk dirumuskan oleh pembentuk undang-undang suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal kebatalan suatu putusann yang dinyatakan batal demi hukum. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan dari General Theory of Law and State, 2014, Nusa Media, Jakarta. Sasangko, Hari, Tjuk Suharjanto, Penuntutan dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, 1988, Pustaka Tinta Mas, Surabaya. Indroharto, Peradilan Tata Usaha Negara, 1991, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Harahap, H.Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, 2012, Sinar Grafika, Jakarta. 11 M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 388.

17 76 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 2013, Sinar Grafika, Jakarta. Subekti, Hukum Perjanjian, 1990, Penerbit Intermasa, Jakarta. B. Peraturan perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Tata Usaha Negara juncto Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Tata Usaha Negara.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara A. Upaya Hukum Ada kalanya dengan keluarnya suatu putusan akhir pengadilan sengketa antara Penggugat

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas I. PEMOHON Ir. Samady Singarimbun RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, SH., M., dkk. II.

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2004 DENGAN PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN A. Mahkamah Agung dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 78/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 78/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 78/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

PENGGUGAT KONTRAK KARYA FREEPORT TAK PUNYA LEGAL STANDING

PENGGUGAT KONTRAK KARYA FREEPORT TAK PUNYA LEGAL STANDING PENGGUGAT KONTRAK KARYA FREEPORT TAK PUNYA LEGAL STANDING www.kompasiana.com Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin Suko Harsono menyatakan gugatan Indonesian Human Right Comitte

Lebih terperinci

RESUME TESIS KEABSAHAN BADAN HUKUM YAYASAN YANG AKTANYA DIBUAT BERDASARKAN KETERANGAN PALSU

RESUME TESIS KEABSAHAN BADAN HUKUM YAYASAN YANG AKTANYA DIBUAT BERDASARKAN KETERANGAN PALSU RESUME TESIS KEABSAHAN BADAN HUKUM YAYASAN YANG AKTANYA DIBUAT BERDASARKAN KETERANGAN PALSU Disusun Oleh : SIVA ZAMRUTIN NISA, S. H NIM : 12211037 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB VII PERADILAN PAJAK BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan I. PEMOHON 1. Elisa Manurung, SH 2. Paingot Sinambela, SH, MH II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 diperbaharui dan dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris yang untuk selanjutnya dalam penulisan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.257, 2014 PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5591) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.649, 2013 KOMISI INFORMASI. Sengketa Informasi Publik. Penyelesaian. Prosedur. Pencabutan. PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA A. Putusan PTUN Tujuan diadakannya suatu proses di pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim. 62 Putusan hakim

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR EKSEKUSI (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Tinjauan Umum Eksekusi 1. Pengertian eksekusi Pengertian eksekusi menurut M. Yahya Harahap, adalah pelaksanaan secara paksa

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1 Hal itu menegaskan bahwa pemerintah menjamin kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat,

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILIHAN DAN SENGKETA PELANGGARAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia HASRIL HERTANTO,SH.MH MASYARAKAT PEMANTAU PERADILAN INDONESIA DISAMPAIKAN DALAM PELATIHAN MONITORING PERADILAN KBB, PADA SELASA 29 OKTOBER 2013 DI HOTEL GREN ALIA

Lebih terperinci

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian dan Syarat Sah Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa hukum antara para pihak yang melakukan perjanjian.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang

Lebih terperinci

Sumber Berita : Sengketa di Atas Tanah 1,5 Juta Meter Persegi, Forum Keadilan, Edisi 24-30 Agustus 2015. Catatan : Menurut Yahya Harahap dalam Buku Hukum Acara Perdata halaman 418, Eksepsi secara umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013 HAK TERDAKWA MELAKUKAN UPAYA HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Bilryan Lumempouw 2 Upaya hukum merupakan hak yang penting bagi terdakwa dalam pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah, sekaligus

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

Pdengan Persetujuan Bersama

Pdengan Persetujuan Bersama info kebijakan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang ADMINISTRASI PEMERINTAHAN A. LATAR BELAKANG ada tanggal 17 Oktober 2014 Pdengan Persetujuan Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,

Lebih terperinci

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017 PENAHANAN TERDAKWA OLEH HAKIM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Brando Longkutoy 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Seiring dengan perkembangan zaman dan era globalisasi saat ini, peran notaris sebagai pejabat umum pembuat akta yang diakui secara yuridis oleh

Lebih terperinci

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA 1. PENDAHULUAN Fakta dalam praktek peradilan pidana sering ditemukan pengadilan menjatuhkan

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM 1 KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ANTARA KEJAKSAAN TINGGI GORONTALO DENGAN PT. BANK SULAWESI UTARA CABANG GORONTALO DALAM PENANGANAN KREDIT MACET RISNAWATY HUSAIN 1 Pembimbing I. MUTIA CH. THALIB,

Lebih terperinci

R I N G K A S A N. setiap perkara perdata yang diajukan kepadanya dan Hakim berkewajiban membantu

R I N G K A S A N. setiap perkara perdata yang diajukan kepadanya dan Hakim berkewajiban membantu R I N G K A S A N Tugas Hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara perdata yang diajukan kepadanya dan Hakim berkewajiban membantu pencari keadilan serta berusaha mengatasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 12 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang I. PEMOHON Mardhani Zuhri Kuasa Hukum Neil Sadek, S.H.dkk., berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci