Dyah Ayuningtyas Tria Hapsari

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Dyah Ayuningtyas Tria Hapsari"

Transkripsi

1 ANALISIS PENGARUH PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPNBM) TERHADAP DAYA BELI KONSUMEN PADA BARANG ELEKTRONIKA (Studi Empiris Pada Konsumen Barang Elektronika di Wilayah Tangerang Selatan) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Untuk Memenuhi Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Ekonomi Oleh: Dyah Ayuningtyas Tria Hapsari JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M

2

3

4

5 DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. IDENTITAS PRIBADI 1. Nama : Dyah Ayuningtyas Tria Hapsari 2. Tempat / Tanggal Lahir : Jakarta, 27 Agustus Alamat : Jl. Bulak Jaya 1 No. 10 RT 001 RW 09, Sarua-Ciputat Telepon / HP : (021) / byastyash@yahoo.com II. PENDIDIKAN 1. TK ( ) : TK Islam Al-Muhajirin 2. SD ( ) : SDN Sarua V 3. SMP ( ) : SLTPN 3 CIPUTAT 4. SMA ( ) : SMAN 1 CIPUTAT 5. Strata-1 ( ) :UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, Jurusan Akuntansi, Konsentrasi Pajak. III. PENGALAMAN KERJA Marketing Speedy PT. Telkom, BSD (2008) Koperasi Muhammadiyah 25, Pamulang (magang) (2009) i

6 ABSTRACT Dyah Ayuningtyas Tria Hapsari, Effect Analysis of Value Added Tax (VAT) and Sales Tax on Luxury Goods (Sales Tax) on goods Elekronika (Empirical Studies on Consumer Goods Elekronika in Tangerang Region South). This study aimed to analyze the effect of the imposition of VAT and luxury sales tax on the purchasing power of consumers. The population is consumer electronics goods that are in the area of South Tangerang and use purposive sampling method to determine the study sample. Samples are tested in several consumer electronics stores are located in the territory of South Tangerang with questionnaire distribution. The statistical test used is multiple regression model. The results showed that a significant variable VAT on consumer purchasing power. Keywords: VAT, Sales Tax, Consumer Purchasing Power ii

7 ABSTRAK Dyah Ayuningtyas Tria Hapsari, Analisis Pengaruh Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap Daya Beli Konsumen pada Barang Elekronika (Studi Empiris pada Konsumen Barang Elekronika di Wilayah Tangerang Selatan). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengenaan PPN dan PPnBM terhadap daya beli konsumen. Populasi penelitian adalah konsumen barang elektronika yang berada di wilayah Tangerang Selatan dan menggunakan purpossive sampling untuk menentukan sampel penelitian. Sampel yang diuji adalah konsumen di beberapa toko elektronika yang berada diwilayah Tangerang Selatan dengan penyebaran kuesioner. Uji statistik yang digunakan adalah model regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan variabel PPN terhadap daya beli konsumen, sedangkan daya beli konsumen tidak berpengaruh signifikan. Kata kunci : PPN, PPnBM, Daya Beli Konsumen iii

8 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum Wr. Wb Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan karunianya, karena dengan izinnya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam juga selalu tercurah kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW. Skripsi yang telah penulis selesaikan ini merupakan salah satu dari nikmat yang telah Allah berikan. Terselesaikannya skripsi ini juga juga tak lepas dari dukungan, bantuan, dan dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Mama dan Papa atas setiap limpahan doa, kasih sayang, perhatian dan semangat yang diberikan. 2. Suamiku Bimantoro Endy Susilo atas segala cinta, kasih sayang, motivasi dan dukungan yang diberikan selama ini. 3. Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM. selaku pembimbing I atas ilmu, nasihat, dan bimbingannya selama ini. 4. Afif Sulfa, SE., AK., M.Si. selaku pembimbing II dan ketua jurusan Akuntansi atas arahan, kesabaran, dan kemudahan dalam membimbing saya. 5. Prof. Dr. Abdul Hamid, MS sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 6. Yessi Fitri, SE., Ak., M.Si selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi. 7. Seluruh kakakku mba ulan, mas aris, mas cecep, dan mba rita. Serta keponakan-keponakanku novan, nanit, dan ives yang telah menemani harihariku dirumah. iv

9 8. Sahabat-sahabatku adis, era, novi, gilang, achie, dita, eky, zaky, fandy, bryan, dan alimar yang selalu siap memberikan nasihat dan saran. 9. Teman-teman kelas Pajak A senja, maulida, fenti, fery, fika, hanan dan mufti yang selalu memberikan dukungan dan motivasi. 10. Untuk hafifah, menes, dan teman-teman Akuntansi A, teman-teman KKS-BT serta teman-teman lain yang turut membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 11. Segenap jajaran akademik Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah melayani keperluan akademik. Hormat saya, Penulis v

10 DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN Daftar Riwayat Hidup... i Abstract... ii Abstrak... iii Kata Pengantar... iv Daftar Isi... vi Daftar Tabel... x Daftar Gambar... xi Daftar Lampiran... xii BAB 1. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Penelitian... 1 B. Perumusan Masalah... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 9 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. PAJAK Definisi Pajak Fungsi Pajak Sistem Pemungutan Pajak B. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pengertian PPN Sifat Pemungutan PPN Prinsip Pemungutan PPN vi

11 4. Subyek PPN Obyek PPN Mekanisme PPN Tarif PPN C. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) Definisi PPnBM Karakteristik PPnBM Obyek PPnBM Mekanisme PPnBM Tarif PPnBM D. Pengusaha Kena Pajak (PKP) Pengertian PKP a. Pengusaha b. Pengusaha Kena Pajak Kewajiban PKP Pengecualian Kewajiban PKP E. Dasar Pengenaan Pajak F. Daya Beli G. Tinjauan Penelitian Sebelumnya H. Diferensiasi Penelitian I. Keterkaitan Antar Variabel J. Kerangka Pemikiran K. Perumusan Hipotesis BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian B. Metode Penentuan Sampel C. Metode Pengumpulan Data D. Metode Analisis Data dan Uji Hipotesis vii

12 1. Metode Analisis Data a. Uji Validitas b. Uji Reliabilitas Uji Hipotesis a. Uji R b. Uji Statistik F c. Uji Statistik t E. Asumsi Klasik Uji Normalitas Data Multikolonieritas Heteroskedastisitas F. Operasional Variabel Penelitian BAB IV. PENEMUAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian Tingkat Pengembalian Kuesioner Deskripsi Statistik Demografi Responden B. Analisis dan Pembahasan Uji Kualitas Data a. Uji Validitas b. Uji Reliabilitas Uji Asumsi Klasik a. Uji Normalitas b. Multikolonieritas c. Heteroskedastisitas Uji Hipotesis a. Uji R b. Uji F c. Uji t viii

13 BAB V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan B. Implikasi DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix

14 DAFTAR TABEL 2.1 Tinjauan Penelitian Sebelumnya Variabel, Indikator, dan Skala Pengukuran Tingkat Pengembalian Kuesioner Karakteristik Responden Descriptive Statistics Hasil Uji Validitas Variabel PPN Hasil Uji Validitas Variabel PPnBM Hasil Uji Validitas Variabel Daya Beli Hasil Uji Reliabilitas Hasil Uji Multikolonieritas Pengujian Koefisien Determinasi Hasil Uji F Hasil Uji t x

15 DAFTAR GAMBAR 4.1 Hasil Uji Normalitas Histogram Hasil Uji Normalitas Probability Plots Hasil Uji Heteroskedastisitas xi

16 DAFTAR LAMPIRAN 1. Data Penelitian Hasil Pengujian Statistik Deskriptif Hasil Uji Validitas Hasil Uji Reliabilitas Hasil Uji Normalitas Data Hasil Uji Multikolonieritas Hasil Uji Heteroskedastisitas Hasil Uji Koefisien Determinasi Hasil Uji F Hasil Uji t Kuesioner xii

17 BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan ekonomi di dunia membawa konsekuensi terhadap peningkatan aktivitas perdagangan. Adanya sifat bergantung antara satu negara dengan negara lain dalam hal pemenuhan kebutuhan membuat aktivitas perdagangan semakin tidak dapat dipisahkan. Perdagangan sekarang bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Terbukti bahwa batas negara sudah kabur. Jarak sudah tidak lagi menjadi halangan bagi semua orang untuk melakukan transaksi perdagangan. Hal itu tentu saja berlaku pula bagi Indonesia. Banyaknya pulau-pulau yang terpisah menjadikan perdagangan sebagai salah satu aspek yang berperan penting. Apalagi sekarang Indonesia sudah masuk dalam era perdagangan bebas dimana bukan hanya melakukan aktivitas perdagangan antar daerah saja melainkan juga antar negara. Dengan kata lain aspek ekonomi adalah penting bagi kemajuan suatu negara. Kemajuan tersebut dapat dilihat dari berbagai sektor, terutama dari penerimaan negaranya. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang terbesar yang digunakan dalam meningkatkan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dimana hal tersebut sesuai dengan tujuan dari negara Indonesia. Seperti yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik 1

18 Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yang salah satu maknanya yaitu bahwa Indonesia bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum. Maka, atas dasar inilah pemerintah terus melakukan upaya dalam mensejahterakan rakyat yang diantaranya adalah dengan memberlakukan pajak. Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan (Adriani,1991). Dari definisi tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pajak adalah iuran wajib rakyat kepada negara yang bertujuan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dalam rangka meningkatkan pembangunan. Jadi kemajuan suatu negara dapat dilihat dari penerimaan sektor pajaknya. Jika rakyat sadar akan kewajibannya sebagai warga negara yang baik, maka ia akan membayar pajak tepat waktu. Namun, yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Banyak warga negara yang belum atau tidak membayar pajak. Sehingga memunculkan slogan dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak yang berbunyi, orang bijak taat pajak. Dua hal yang tidak akan dapat dihindari dari kehidupan ini adalah mengenai kematian dan pajak. Saat ini pajak semakin tidak dapat dipisahkan dari manusia. Dimana gerak langkah manusia pasti berkaitan dengan pajak. Hal ini dapat dikatakan demikian, karena setiap orang selalu bersinggungan dengan halhal yang baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan 2

19 pajak. Misalnya seseorang yang membeli suatu barang maka orang tersebut harus membayar pajak (PPN), atau jika seseorang ingin menerima gaji atau penghasilan maka ia pun harus membayar pajak (PPh), bahkan sesorang yang berdiam diri dirumah juga harus membayar pajak pula (PBB). Jadi, segala aktivitas manusia selalu berhubungan dengan pajak. Pajak Pertambahan Nilai sebagai penyumbang penerimaan pajak terbesar dikenakan hanya terhadap pertambahan nilainya saja dan dipungut beberapa kali pada berbagai mata rantai jalur perusahaan. Pertambahan nilai itu sendiri timbul karena digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. Semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa, tanah, upah kerja, dan laba perusahaan merupakan unsur pertambahan nilai yang menjadi dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (Mulyo Agung, 2009). Sesuai dengan legal karakternya sebagai pajak objektif maka PPN tidak membedakan tingkat kemampuan konsumennya. Konsumen yang memiliki kemampuan tinggi dengan konsumen yang memiliki kemampuan rendah diperlakukan sama. Dengan demikian PPN mengandung unsur regresif, yaitu semakin tinggi kemampuan konsumen semakin ringan beban pajak yang dipikul, semakin rendah kemampuan konsumen semakin berat beban pajak yang dipikul. Sehingga dalam upaya mencapai keseimbangan pembebanan pajak dan dalam upaya mengendalikan pola konsumsi yang tidak produktif dari masyarakat, maka 3

20 atas penyerahan atau atas impor barang-barang berwujud yang tergolong mewah, selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang- Undang No. 18 Tahun 2000 yang antara lain menegaskan bahwa atas konsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagai upaya nyata untuk mencapai keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi. Diharapkan dengan pengenaan pajak tambahan berupa PPnBM terhadap konsumen yang mengkonsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah, maka dampak regresif ini dapat ditekan. Dengan kata lain asas keadilanlah yang melatar belakangi adanya pungutan lain selain PPN untuk konsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah. Suatu sistem pemungutan pajak akan mendekati asas keadilan apabila beban pajak yang dipikulkan oleh wajib pajak sepadan dengan kemampuannya. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tidak dapat dikenakan tersendiri tanpa adanya Pajak Pertambahan Nilai dan dipungut satu kali pada sumbernya yaitu pada tingkat pabrikan, atau pada waktu barang impor. (Yuniarwati, 2000). Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dilaksanakan berdasarkan sistem faktur sehingga atas penyerahan barang dan atau penyerahan jasa wajib dibuat Faktur Pajak sebagai bukti transaksi penyerahan barang dan atau penyerahan jasa yang terutang pajak. 4

21 Namun sekarang yang menjadi masalah adalah pengertian dari barang mewah itu sendiri. Hal itu bisa dikatakan demikian, karena telah terjadi pergesaran dan perubahan dalam masyarakat. Sebagai contoh, sepuluh tahun yang lalu, ponsel atau telepon genggam merupakan barang mewah. Dahulu, ponsel sangat terbatas bagi orang yang memilikinya, selain harganya yang mahal tetapi juga belum banyak ditemui penjual-penjual ponsel. Hal itu berbanding terbalik bila kita melihat keadaan sekarang, banyaknya orang dari segala lapisan masyarakat yang sudah menggunakan ponsel, bukan hanya sekedar gaya hidup melainkan juga sudah menjadi suatu kebutuhan. Perpajakan yang didalamnya terdapat unsur PPN dan PPnBM merupakan juga bagian dari kebijakan fiskal pemerintah. Konsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah secara berlebihan pada umumnya dilakukan kelompok masyarakat yang berpenghasilan tinggi merupakan kegiatan yang kontraproduktif. Oleh karena itu, kegiatan konsumsi seperti ini perlu dikurangi. Salah satu sarana yang dapat ditempuh adalah diberikannya beban pajak tambahan terhadap kegiatan mengkonsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah. Motif diatas itulah maka dengan kata lain, pemerintah dengan kebijakan fiskalnya yang termaterialkan dalam PPnBM, berusaha untuk mempengaruhi perilaku konsumen khususnya pola konsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah. 5

22 Tetapi PPN berbeda dengan PPnBM. Bahkan bisa dikatakan bahwa PPnBM merupakan pajak yang kurang populer di masyarakat umum. Hal itu bisa disebabkan karena karakter dari PPnBM itu sendiri yaitu; merupakan pungutan tambahan disamping PPN dan hanya dipungut satu kali yaitu pada saat impor dan penyerahan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) pabrikan. Yang selanjutnya tidak ada mekanisme pajak keluaran dan pajak masukan. PPnBM oleh distributor akan dimasukkan ke harga pokok barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut. Maka tidak heran ada beberapa konsumen yang mengkonsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut tidak mengetahui tentang PPnBM. Karena dari pihak Direktorat Jendral Pajak hanya mensosialisasikan PPnBM ke importir dan PKP pabrikan. Salah satu kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah adalah barang elektronika. Barang elektronika yang dikenakan PPnBM antara lain TV di atas 21, air conditioner (AC), radio cassette, mesin cuci, alat perekam atau reproduksi gambar, alat fotografi dan lain lain. Bahkan bisa dikatakan sebagian besar kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor adalah barang elektronika. Di masyarakat sendiri barang elektronika merupakan barang yang paling cepat mengalami reposisi, yaitu dari barang mewah ke barang yang banyak dikonsumsi hampir semua lapisan masyarakat. Bahkan pada tanggal 30 Januari 2003 dengan keluarnya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.51/2003 sebanyak 20 item barang elektronika dikeluarkan dari kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah yang 6

23 berarti tidak dikenakan lagi PPnBM serta 9 item barang elektronika yang mengalami penurunan tarif PPnBM. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dapat terlihat bahwa barang elektronika mempunyai pengenaan pajak yang berbeda. Untuk barang elektronika yang tergolong mewah tetap dikenakan PPnBM, sedangkan untuk barang elekronika yang bukan termasuk atau tidak lagi menjadi barang mewah akan dikenakan PPN. Barang elektronika meskipun hanya merupakan barang sekunder, akan tetapi keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan adanya pengenaan pajak terhadap barang elektronika, masyarakat sebagai konsumen harus lebih teliti dalam mengelola keuangan antara pendapatan dan pengeluaran yang berpengaruh terhadap daya beli atas barang elektronika sebagai barang kena pajak. Berdasarkan penelitian sebelumnya, peneliti merasa bahwa penelitian ini penting karena daya beli adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsumen dalam membeli suatu barang dimana dalam hal ini barang yang dikenakan pajak. Penelitian ini juga merupakan pengembangan dari peneliti sebelumnya Aida Noerma Nurliesma (2008) yang mengamati pengaruh PPN terhadap daya beli konsumen. Kemudian peneliti menambahkan variabel independen yaitu Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), karena PPnBM merupakan pajak yang mempunyai keterkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yaitu PPnBM tidak dapat dikenakan tersendiri tanpa adanya PPN. 7

24 Dengan demikian, penulis akan merumuskannya dalam skripsi yang berjudul Analisis Pengaruh Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap Daya Beli Konsumen pada Barang Elektronika (Studi Empiris pada Konsumen Barang Elektronika di Wilayah Tangerang Selatan). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah pengenaan PPN atas barang elektronika mempunyai pengaruh secara parsial terhadap daya beli konsumen? 2. Apakah pengenaan PPnBM atas barang elektronika mempunyai pengaruh secara parsial terhadap daya beli konsumen? 3. Apakah pengenaan PPN dan PPnBM berpengaruh secara simultan terhadap daya beli konsumen atas barang elektronika? C. Tujuan dan Manfaat penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk menemukan bukti empiris atas hal-hal sebagai berikut: a. Menganalisis pengaruh pengenaan PPN secara parsial atas barang elektonika terhadap daya beli konsumen. b. Menganalisis pengaruh pengenaan PPnBM secara parsial atas barang elektronika terhadap daya beli konsumen. 8

25 c. Menganalisis pengaruh pengenaan PPN dan PPnBM secara simultan atas barang elektronika terhadap daya beli konsumen. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, diantaranya: a. Untuk memahami pengaruh antara pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap daya beli konsumen pada barang elektronika. b. Penulis mengharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai media informasi dan referensi untuk penelitian selanjutnya dalam mengembangkan dan mendalami kembali masalah ini. c. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi para pihak-pihak yang berkepentingan. 9

26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pajak 1. Definisi Pajak Pada dasarnya, pajak merupakan iuran wajib dari rakyat kepada pemerintah. Namun, karena pajak selalu mengikuti perkembangan zaman, maka banyak para ahli yang memberikan batasan mengenai pajak. Hal ini disebabkan karena pengertian pajak itu sendiri dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, baik dari segi penghasilan, segi daya beli, dan segi ekonomi. Definisi pajak menurut para ahli: menyatakan: Definisi pajak menurut Undang-Undang KUP No. 28 Tahun 2007 Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Menurut Adriani yang diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodiharjo dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Pajak (1991: 2): Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan. 10

27 Pengertian pajak menurut Smeets dalam buku De Economische Betekenis belastingen (terjemahan): Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Adapun pengertian pajak menurut Soeparman Soemahamidjaja dari disertasinya yang berjudul Pajak Berdasarkan Azas Gotong Royong, menyatakan bahwa: Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Dari beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur: a. Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). b. Dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya memaksa. c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. e. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur. 11

28 2. Fungsi Pajak Menurut Mardiasmo (2009) dan Waluyo (2007), terdapat dua fungsi pajak, yaitu fungsi budgeter (sumber keuangan negara) dan fungsi regulerend (mengatur). a. Fungsi Budgeter (Sumber Keuangan Negara) Pajak mempunyai fungsi budgeter yaitu sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya baik pengeluaran secara rutin maupun untuk pembangunan. Dengan pajak sebagai sumber keuangan negara, maka pemerintah terus berupaya dalam memaksimalkan penerimaan Negara. Jadi, pajak merupakan sektor penerimaan negara yang penting karena dengan pajak inilah negara (pemerintah) dapat membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat, sehingga besar kecilnya penerimaan negara sangat ditentukan oleh besar kecilnya penerimaan dari sektor pajak. b. Fungsi Regulerend (Mengatur) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi merupakan fungsi regulerend pajak. Jadi, dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam 12

29 negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. Sedangkan menurut Wikipedia (2010), selain fungsi budgeter dan fungsi regulerend, terdapat dua fungsi lain dari pajak, yaitu fungsi stabilitas dan fungsi redistribusi pendapatan. a. Fungsi Stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efesien. b. Fungsi Redistribusi Pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fungsi pajak adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara yang bersifat umum guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, tidak salah jika kemajuan suatu negara dapat dilihat dari penerimaan pajaknya. 13

30 3. Sistem Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2009) terdapat tiga sistem pemungutan pajak, yaitu Official Assessment System, Self Assessment System, dan With Holding Assessment System. a. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Jadi, yang menentukan besarnya pajak yang terutang adalah pemerintah dimana wajib pajak bersifat pasif, sehingga wajib pajak tidak turut serta dalam menentukan besarya pajak yang terutang. b. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. Dalam hal ini, wajib pajak bersifat aktif karena wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada wajib pajak itu sendiri. Jadi, wajib pajak mempunyai hak untuk ikut serta dalam menentukan besarnya pajak yang terutang. Namun, pada sistem ini sangat mungkin terjadinya manipulasi dalam jumlah pajak yang akan dilaporkan. c. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) 14

31 untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. jadi, baik pemerintah ataupun wajib pajak tidak mempunyai hak untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Contohnya, seorang karyawan yang bekerja pada PT. X, maka yang mempunyai wewenang untuk memotong besarnya pajak yang terutang oleh karyawan tersebut adalah PT. X. Jadi, dari beberapa sistem pemungutan pajak seperti yang diuraikan di atas maka yang diterapkan di Indonesia saat ini adalah sistem Self Assessment, dimana tujuannya adalah agar masyarakat semakin patuh dalam membayar pajak karena adanya transparansi dalam menghitung, menentukan, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. B. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1. Pengertian PPN Pajak Pertambahan Nilai menurut Undang-Undang No.18 Tahun 2000 yang disempurnakan lagi dalam Undang-Undang No.42 Tahun 2009 adalah Pajak atas konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan di dalam Daerah Pabean. Daerah pabean itu sendiri merupakan wilayah teritorial Indonesia. Dengan demikian, pajak pertambahan nilai bukan hanya dikenakan atas barang saja, melainkan juga atas jasa yang sesuai dengan syarat-syarat yang terdapat dalam Undang-Undang perpajakan. 15

32 2. Sifat Pemungutan PPN Sifat pemungutan PPN menurut Untung Sukardji (2002), yaitu sebagai pajak tidak langsung, pajak objektif, multi stage levy, non-kumulatif, indirect substraction method, tarif tunggal, pajak atas konsumsi dalam negeri, PPN tipe konsumsi, dan netralitas PPN. a. PPN adalah Pajak Tidak Langsung Sifat pemungutan ini menggambarkan pengertian PPN ditinjau dari sudut ilmu hukum yaitu suatu jenis pajak yang menempatkan kedudukan pemikul beban pajak dengan kedudukan penanggung jawab pembayaran pajak ke kas negara pada pihak-pihak yang berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pembeli atau penerima jasa dari tindakan sewenang-wenang negara (pemerintah). Jadi, pengenaan PPN itu dibebankan kepada pembeli BKP dimana perusahaan yang melaporkan PPN tersebut kepada negara. b. PPN adalah Pajak Objektif Timbulnya kewajiban pajak di bidang PPN sangat ditentukan oleh adanya objek pajak, yaitu seperti keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Jadi, PPN tidak membedakan tingkat kemampuan konsumen dalam pengenaan pajaknya. c. PPN bersifat multi stage levy Multy stage levy mengandung pengertian bahwa PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi BKP atau JKP. PPN dikenakan pada setiap proses distribusi BKP atau JKP karena didasarkan 16

33 pada digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. d. PPN bersifat non-kumulatif PPN yang bersifat multi stage levy namun bersifat non-kumulatif yaitu tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda. Berbeda ketika dahulu PPN disebut sebagai pajak penjualan yang menimbulkan pajak berganda. e. Penghitungan PPN terutang untuk dibayar ke kas negara menggunakan indirect substraction method Indirect Substraction Method adalah metode penghitungan PPN yang akan disetor ke kas negara dengan cara mengurangkan pajak atas perolehan dengan pajak atas penyerahan barang atau jasa. Jadi, yang disetor ke kas negara hanya selisihnya saja. f. PPN Indonesia menggunakan tarif tunggal (single rate) PPN Indonesia menganut tarif tunggal yang dalam hukum positif yaitu Undang-Undang PPN Tahun 1984 ditetapkan sebesar 10%. Dengan Peraturan Pemerintah tarif ini dapat dinaikkan paling tinggi menjadi 15% atau diturunkan paling rendah 5%. g. PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri Sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri maka PPN hanya dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam daerah pabean Republik 17

34 Indonesia. Jadi, PPN tidak berlaku jika barang atau jasa dikonsumsi diluar wilayah Indonesia. h. PPN yang diterapkan di Indonesia adalah PPN tipe konsumsi (consumption type VAT) Di lihat dari sisi perlakuan terhadap barang modal, PPN Indonesia termasuk tipe konsumsi (consumption type VAT) artinya seluruh biaya yang dikeluarkan untuk perolehan barang modal dapat dikurangi dari dasar pengenaan pajak. i. Netralitas PPN Dengan legal karakter PPN tersebut di atas, PPN mampu merealisasi dirinya netral dalam dunia perdagangan baik domestik maupun internasional. PPN tidak menghendaki dirinya mempengaruhi kompetisi dalam dunia bisnis. Salah satu legal karakter PPN adalah pajak atas konsumsi. Karena yang dapat di konsumsi bukan hanya barang tetapi juga jasa, maka PPN memberikan perlakuan yang sama terhadap konsumsi barang dan konsumsi jasa, yaitu kedua-duanya dikenakan PPN. 3. Prinsip Pemungutan PPN Menurut Mulyo Agung (2009) terdapat dua prinsip pemungutan PPN, yaitu Prinsip Tempat Tujuan (Destination) dan Prinsip Tempat Asal (Origin Principle) dan akan dijelaskan sebagai berikut: 18

35 a. Prinsip Tempat Tujuan (Destination) Pada prinsip ini, PPN di pungut di tempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi. Maksudnya, pada saat barang atau jasa sampai di tempat tujuan untuk konsumsi, maka barang atau jasa tersebut dikenakan PPN. b. Prinsip Tempat Asal (Origin Principle) Pada prinsip tempat asal ini diartikan PPN di pungut di tempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi. Jadi, PPN dipungut bukan pada tempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi, melainkan tempat barang atau jasa tersebut berasal. 4. Subyek PPN Subyek PPN menurut Mardiasmo (2009) berdasarkan Undang-Undang PPN No.18 Tahun 2000, yaitu: a. Pengusaha yang menurut Undang-Undang harus dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, yang meliputi: 1. Pabrikan / Produsen 2. Importir dan Investor 3. Pengusaha yang mempunyai hubungan istimewa dengan pabrikan atau importir 4. Agen utama dan penyalur utama dari pabrikan dan importir 5. Pemegang hak paten dan merk dagang b. Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), dapat berbentuk: 19

36 1. Eksportir 2. Pedagang yang menjual BKP kepada PKP yang biasanya merupakan jalur produksi. 5. Obyek PPN Objek PPN dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) macam, yaitu: a. Barang Kena Pajak (BKP); b. Jasa Kena Pajak (JKP). Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan PPN. Sedangkan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan PPN. PPN dikenakan atas: a. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah: 1. Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP; 2. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud; 20

37 3. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; 4. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya; b. Impor BKP; c. Penyerahan JKP yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah: 1. Jasa yang diserahkan merupakan JKP; 2. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; 3. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaanya. d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f. Ekspor BKP oleh Pengusaha Kena Pajak; g. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain; h. Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan. 6. Mekanisme Pengenaan PPN Pengenaan PPN atas nilai tambah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan Pengusaha Kena Pajak. Nilai tambah ini adalah selisih harga jual dan harga pokok barang tersebut. Menurut Mulyo Agung (2009), 21

38 besarnya pajak yang terutang atas nilai tambah dapat dihitung dengan menggunakan tiga (3) metode, yaitu Addition Method, Substraction Method, dan Credit Method, yang akan dijelaskan sebagai berikut: a. Addition Method Pada metode ini besarnya PPN dihitung dari tarif dikalikan seluruh penjumlahan nilai tambah, dengan syarat setiap Pengusaha Kena Pajak harus mempunyai pembukuan yang tertib dan rinci atas biaya yang dikeluarkan. b. Substraction Method Pada metode ini, PPN yang terutang dihitung dari tarif dikalikan selisih antara harga penjualan dengan harga pembelian. c. Credit Method Metode ini hampir sama dengan substraction method. Pada credit method ini harus dicari selisih antara pajak yang dibayar saat pembelian dengan pajak yang dipungut saat penjualan. Pada metode kredit hasilnya lebih akurat karena dimungkinkan pada komponen harga beli terdapat komponen yang tidak terutang PPN. Dalam hal metode pengkreditan menggunakan substraction method yang menghasilkan pajak atas nilai tambah secara tidak langsung, disebut indirect substraction method. Demikian pula penyebutan invoice method sebagai akibat dituntut alat bukti berupa faktur pajak (Tax Invoice). 22

39 7. Tarif PPN Adapun Pajak Pertambahan Nilai menganut tarif tunggal yaitu 10%. Dengan Peraturan Pemerintah, tarif PPN dapat diubah menjadi serendahrendahnya 5% dan setinggi-tingginya 15%. Sedangkan tarif PPN atas ekspor Barang Kena Pajak adalah 0%. Pengenaan tarif 0%, ini bukan berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai akan tetapi pajak masukan yang telah dibayar dari barang yang diekspor tetap dapat dikreditkan. Namun, saat ini yang berlaku adalah PPN dengan tarif 10% untuk seluruh barang atau jasa yang dikenakan pajak. jadi, PPN ini mengandung unsur objektif artinya dalam pengenaan pajaknya tidak memperhatikan keadaan diri wajib pajak atau semua wajib pajak dikenakan pajak yang sama. Untuk menentukan besarnya PPN terutang dihitung dengan mengalikan tarif pajak (10%) dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). C. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) 1. Definisi Pajak Penjualan atas Barang Mewah Menurut Undang-Undang PPN No.18 Tahun 2000 yang disempurnakan lagi dalam Undang-Undang PPN No. 42 Tahun 2009, pengertian Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak yang dipungut atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong sebagai barang mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan Barang 23

40 Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut didalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, ataupun impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Dengan demikian, berbeda dengan PPN, PPnBM yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut, tidak dapat dikreditkan dengan PPN maupun PPnBM yang dipungut atau PPnBM ini hanya dipungut satu kali saja. 2. Karakteristik PPnBM Yang menjadi karakteristik PPnBM adalah sebagai berikut: a. PPnBM merupakan pungutan tambahan BKP mewah selain PPN. b. PPnBM hanya dikenakan sekali yaitu pada saat impor atau pada saat penyerahan BKP mewah oleh PKP pabrikan. c. PPnBM tidak dapat dikreditkan sehingga diperlakukan sebagai biaya. d. Dalam hal BKP mewah diekspor, maka PPnBM yang dibayar pada saat perolehannya dapat diminta kembali (restitusi). 3. Obyek PPnBM Yang menjadi obyek PPnBM adalah: a. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dlakukan oleh pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut didalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. b. Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. 24

41 4. Mekanisme PPnBM Mekanisme PPnBM sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 8 dan Pasal 10 dalam Undang-Undang PPN, yang secara garis besar yaitu: a. Atas impor dan penyerahan BKP yang tergolong Mewah oleh PKP yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah tersebut disamping dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM. b. PPnBM hanya dipungut satu kali, yaitu pada waktu impor atau pda waktu meyerahkan BKP yang tergolong mewah tersebut oleh pabrikan. c. PPnBM tidak dapat dikreditkan baik terhadap PPN maupun terhadap PPnBM. d. Tarif PPnBM yang berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 berkisar antara 10% sampai dengan 35% dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1994 diubah menjadi setinggi-tingginya 50% dan dengan Undang- Undang No. 18 Tahun 2000 diubah lagi menjadi setinggi-tingginya 75%. e. Atas ekspor BKP yang tergolong mewah dapat meminta kembali PPnBM yang telah dibayar pada waktu perolehan BKP yang tergolong mewah yang diekspor tersebut. 5. Tarif PPnBM Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dengan peraturan pemerintah, dapat ditetapkan dalam beberapa pengelompokan tarif, yaitu tarif paling rendah sebesar 10% dan tarif paling tinggi sebesar 75%. Tarif PPnBM yang berlaku saat ini adalah 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, dan 75%. 25

42 Tarif PPnBM dikelompokkan menjadi: 1. Kelompok selain kendaraan bermotor 2. Kelompok berupa kendaraan bermotor Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 Tanggal 22 Desember 2000 telah diatur kelompok barang kena pajak tergolong mewah yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah selain kendaran bermotor ditindaklanjuti dengan Kepmen Nomor (569/KMK 04/2000) yaitu: 1. Tarif 10%; a. Kelompok kepala susu atau susu yang diasamkan/diragi, mengandung tambahan gula atau pemanis lainnya tidak, diberi aroma atau tidak, diberi rasa atau tidak, mengandung tambahan buah-buahan, biji-bijian, kokoa, atau tidak. Yoghurt, kephir, whey, keju, mentega atau lemak atau minyak yan diperoleh dari susu, yang dibotolkan/tidak. b. Kelompok air buah, dan air sayuran, yang belum meragi dan tidak mengandung alkohol, mengandung tambahan gula atau pemanis lainnya atau maupun tidak mengandung aroma mapun tidak, yang dibotolkan /dikemas. c. Kelompok minuman yang tidak mengandung alkohol, mengandung tambahan gula, atau pemanis lainnya atau tidak, mengandung aroma atau tidak, yang dibotolkan/dikemas, serta air soda yang dibotlkan/dikemas. 26

43 d. Kelompok produk kecantikan untuk pemeliharaan kulit, tangan, kaki, dan rambut, serta preparat rias lainnya, yang dikemas/dibotolkan. e. Kelompok alat rumah tangga, pesawat dingin, pesawat pemanas, mesin jual barang otomatis termasuk mesin penukar uang, dan pesawat penerima siaran televisi. f. Kelompok peralatan dan perlengkapan olahraga. g. Kelompok mesin pengatur suhu h. Kelompok alat perekam atau reproduksi gambar, pesawat penerima siaran radio. i. Kelompok alat fotografi, alat sinematografi, dan perlengkapan. 2. Tarif 20%; a. Kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin dan pesawat pemanas selain yang disebut dalam kelompok 1 (10%). b. Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya. c. Kelompok pesawat penerima siaran televisi, dan antena serta reflektor antena, selain yang termasuk dalam kelompok yang bertarif 10%. d. Kelompok mesin pengatur suhu udara, mesin cuci piring, mesin pengering, pesawat elektromagnetik, dan instrument musik. e. Kelompok wangi-wangian. f. Kelompok permadani tertentu selain yang terbuat dari serabut kelapa (coir), sutera, wol atau bulu hewan halus. 27

44 3. Tarif 30%; a. Kelompok kapal atau kendaraan lainnya, sampan dan kano, kecuali untuk keperluan negara dan angkutan umum. b. Keperluan peralatan dan perlengkapan olahraga, selain yang termasuk dalam kelompok yang bertarif 10%. 4. Tarif 40%; a. Kelompok minuman tertentu yang mengandung alkohol. b. Kelompok barangyang terbuat dari sutera atau wol. c. Kelompok permadani tertentu yang terbuat dari sutera atau wol. d. Kelompok barang kaca dari timah hitam dari jenis yang digunakan untuk meja, dapur, rias, kantor, dekorasi dalam ruangan atau keperluan semacam itu. e. Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam mulia atau campuran daripadanya. f. Kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, selain yang disebut dalam kelompok 30%, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum. g. Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak. h. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara. i. Kelompok jenis kaki. j. Kelompok barang-barang perabot rumah tangga dan kantor. 28

45 k. Kelompok barang-barang yang terbuat dari porselin, tanah lempung China atau keramik. l. Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu, selain batu jalan dan batu tepi jalan. 5. Tarif 50%; a. Kelompok permadani tertentu yang terbuat dari wol atau bulu hewan halus. b. Kelompok pesawat udara selain yang disebut dalam kelompok 40%, kecuali yang digunakan untuk keperluan negara atau angkutan udara siaga. c. Kelompok peralatan dan perlengkapan olahraga selain yang disebut dalam tarif 10% dan 30%. d. Kelompok senjata api dan senjata api lainya, kecuali untuk keperluan negara. 6. Tarif 75%; a. Kelompok minuman yang mengandung alkohol selian yang termasuk dalam tarif 40%. b. Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu mulia dan atau mutiara atau campuran dari padanya. c. Kelompok kapal pesiar mewah kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum. 29

46 Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah berdasarkan kelompok BKP yang tergolong mewah yang berupa kendaraan bermotor sebagai berikut. 1. Tarif 10%; a. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan semua kapasitas isi silinder. b. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 gardan penggerak (4X2), dengan kapasitas isi silinder tidak lebih dari 1500 CC. 2. Tarif 20%; a. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 orang termasuk pengemudi selain sedan dan station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 gardan penggerak (4X2), dengan kapasitas isi silinder tidak lebih dari 1500 CC sampai dengan 2500 CC. b. Kendaraan bermotor dengan kabin ganda (double cabin) dalam untuk kendaraan bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 orang termasuk pengemudi dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 gardan penggerak (4X2), 30

47 atau dengan sistem 2 gardan penggerak (4X4), dengan kapasitas isi silinder, dengan masa total tidak lebih dari 5 ton. 3. Tarif 30%; Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 orang termasuk pengemudi, berupa: a. Kendaraan bermotor sedan/station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel) dan kendaraan bermotor angkutan kurang dari 10 orang termasuk pengemudi serta van dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 CC. b. Kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 2 gardan penggerak (4X4), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 CC. 4. Tarif 40%; Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 orang termasuk pengemudi berupa: a. Kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api, dengan sistem 1 gardan penggerak (4X2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 CC sampai dengan 3000 CC. b. Kendaraan bermotor dengan motor bakar cetus api berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon dengan sistem 2 31

48 gardan penggerak (4X4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 CC sampai dengan 3000 CC. c. Kendaraan bermotor dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon dengan sistem 2 gardan penggerak (4X4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 CC sampai dengan 2500 CC. 5. Tarif 50%; Semua jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk permainan golf. 6. Tarif 60%; Dikenakan untuk kendaraan berupa: a. Kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 CC sampai dengan 500 CC. b. Kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan diatas salju, di pantai, di gunung, dan kendaraan sejenisnya. 7. Tarif 75%; Dikenakan untuk kendaraan berupa: a. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan dari 10 orang termasuk pengemudi dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon dengan sistem 2 gardan penggerak (4X4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3000 CC. b. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 orang termasuk pengemudi dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi 32

49 diesel), berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon dengan sistem 1 gardan penggerak (4X2) atau dengan sistem 2 gardan penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder tidak lebih dari 2500 CC. c. Kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500 CC. d. Trailer, semi trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau perkemahan. D. Pengusaha Kena Pajak (PKP) 1. Pengertian PKP a. Pengusaha Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.28 Tahun 2007, pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. Jadi, pengusaha ini merupakan pihak yang menghasilkan atau memproduksi suatu barang yang akan dikonsumsi oleh pihak lain. b. Pengusaha Kena Pajak (PKP) Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 pasal 1 angka 15, Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha sebagaimana dimaksud pada poin 33

50 a yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 2. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak Pengusaha Kena Pajak berkewajiban, antara lain: a. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP. b. Memungut PPN dan PPn BM yang terutang. c. Membuat faktur pajak atas setiap penyerahan kena pajak. d. Membuat nota retur dalam hal terdapat pengambilan BKP. e. Melakukan pencatatan atau pembukuan mengenai kegiatan usahanya. f. Menyetor PPN dan PPN BM yang terutang. g. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN. 3. Pengecualian Kewajiban Pengusaha Kena Pajak Pengusaha yang dikecualikan dari kewajiban sebagai Pengusaha Kena Pajak adalah: a. Pengusaha Kecil. b. Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang dan atau jasa yang tidak dikenakan PPN. 34

51 E. Dasar Pengenaan Pajak Untuk menghitung besarnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang diperlukan adanya dasar pengenaan pajak. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, serta nilai lain yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan. Di bawah ini adalah Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai: a. Harga Jual Dalam Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak. Biaya yang dimaksud yaitu seperti pengangkutan, asuransi, bantuan tekhnik, pemeliharaan, garansi, dan biaya pemasangan. b. Penggantian Adapun pengertian penggantian menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Pasal 1 angka 19, yaitu nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak. 35

PP 145/2000, KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

PP 145/2000, KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH Copyright (C) 2000 BPHN PP 145/2000, KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH *38419 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 145 TAHUN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2002 TANGGAL 23 MARET 2002 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2002 TANGGAL 23 MARET 2002 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2002 TANGGAL 23 MARET 2002 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Pjk Elearning-Modul #10

Pjk Elearning-Modul #10 Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Tarif

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN

Lebih terperinci

*39332 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 7 TAHUN 2002 (7/2002) TENTANG

*39332 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 7 TAHUN 2002 (7/2002) TENTANG Copyright (C) 2000 BPHN PP 7/2002, PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA 6 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN PAJAK

Lebih terperinci

PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPnBM) Amanita Novi Yushita

PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPnBM) Amanita Novi Yushita PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPnBM) 1 Karakteristik dalam PPnBM: PENDAHULUAN 1. Pengenaan terhadap PPnBM hanya satu kali yaitu pada saat penyerahan BKP yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Cina dan India sebagai penggeraknya serta negara industri maju lainnya

BAB I PENDAHULUAN. dengan Cina dan India sebagai penggeraknya serta negara industri maju lainnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi didorong oleh kawasan Asia dengan Cina dan

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN PERPAJAKAN 2

MODUL PERKULIAHAN PERPAJAKAN 2 MODUL PERKULIAHAN PERPAJAKAN 2 PPN dan PPn-BM (1) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi S1 Akuntansi Tatap Muka 10 Kode MK MK10230 Disusun Oleh Abstract 1. Krakteristik PPN. 2. Dasar Hukum. 3. Istilah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN KELIMA ATAS KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 55/2004, PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Lebih terperinci

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 47/PJ/2015 TENTANG

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 47/PJ/2015 TENTANG SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 47/PJ/2015 TENTANG PENYAMPAIAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 106/PMK.010/2015 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut:

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Pajak II.1.1 Definisi Pajak Definisi pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut: Pajak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli di bidang perpajakan menurut Prof. Dr.

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli di bidang perpajakan menurut Prof. Dr. BAB II LANDASAN TEORI II.1 Dasar - dasar Perpajakan Indonesia II.1.1 Definisi dan Unsur Pajak Dibawah ini terdapat beberapa definisi-definisi dan unsur pajak yang terangkum tentang pajak yang dikemukakan

Lebih terperinci

iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang undang yang dapat dipaksakan

iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang undang yang dapat dipaksakan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Definisi atau pengertian pajak menurut Mardiasmo (2011:1), pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang undang yang dapat

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPNBM)

ANALISIS PENGARUH PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPNBM) ANALISIS PENGARUH PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPNBM) TERHADAP DAYA BELI KONSUMEN PADA BARANG ELEKTRONIKA (Studi Empiris Pada Konsumen Barang Elektronika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar dapat bersaing dengan negara-negara lain. Dalam hal ini peran masyarakat Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. agar dapat bersaing dengan negara-negara lain. Dalam hal ini peran masyarakat Indonesia, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) Pada era globalisasi seperti sekarang, persaingan antar negara semakin ketat. Oleh karena itu, Negara Indonesia dengan gencar

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2013 TENTANG BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH BERUPA KENDARAAN BERMOTOR YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2013 TENTANG BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH BERUPA KENDARAAN BERMOTOR

Lebih terperinci

PERPAJAKAN LANJUTAN. by Ely Suhayati SE MSi Ak

PERPAJAKAN LANJUTAN. by Ely Suhayati SE MSi Ak PERPAJAKAN LANJUTAN by Ely Suhayati SE MSi Ak PPN yang ditetapkan dengan UU no.18 tahun 2000 merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (Value Added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber-sumber pendapatan negara yang digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber-sumber pendapatan negara yang digunakan untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai suatu negara yang senantiasa menjalankan rumah tangganya, Indonesia memiliki sumber-sumber pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Menurut Rochmat Soemitro pajak adalah iuran rakyat kepada kas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Menurut Rochmat Soemitro pajak adalah iuran rakyat kepada kas BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Adapun pengertian pajak menurut para ahli dalam Siti Resmi (2009:1) diantaranya: 1) Menurut Rochmat Soemitro pajak adalah iuran rakyat kepada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pajak ialah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pajak ialah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pajak Pertambahan Nilai 1. Definisi Pajak Definisi pajak menurut Rachmat Soemitro (1990 : 5) menyatakan Pajak ialah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat

Lebih terperinci

BAB II. adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang

BAB II. adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Adriani seperti dikutip Brotodihardjo (1998) mendefinisikan, Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Pajak Definisi pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut: Pajak adalah kontribusi wajib

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA

LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA PROSEDUR PELAKSANAAN DAN PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) ATAS PENGADAAN BARANG DAN JASA PADA PERSEROAN TERBATAS PERKEBUNAN NUSANTARA X KEBUN KERTOSARI JEMBER LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA Diajukan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Pajak Definisi Pajak berdasarkan Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut : Pajak adalah kontribusi wajib

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.60, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA EKONOMI. Pajak. Kendaraan Bermotor. Pajak Penjualan. Barang Mewah. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5519) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan salah satu wujud nyata secara partisipasi dalam rangka ikut membiayai pembangunan nasional. Adapun definisi pajak menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Dari sektor pajak diharapkan partisipasi aktif masyarakat dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Dari sektor pajak diharapkan partisipasi aktif masyarakat dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan pembangunan dan kelangsungan jalannya

Lebih terperinci

BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK

BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK 2.1 Perpajakan 2.1.1. Pengertian Pajak Tentang pengertian pajak, ada beberapa pendapat dari para ahli, antara lain:

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 8 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Andriani yang telah diterjemahkan oleh Santoso Brotodiharjo (Waluyo,2003:3): Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan)

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Pajak a. Pengertian Pajak Banyak definisi atau batasan yang telah dikemukakan oleh pakar yang satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengertian Umum Tentang Pajak II.1.1 Definisi Pajak dan Ciri Ciri Pajak Menurut Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Dasar Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Pajak merupakan salah satu penerimaan negara dalan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apabila membahas pengertian pajak, banyak

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN I ATAS BARANG MEWAH DAFTAR ATAS PENYERAHAN ATAU DENGAN TARIF SEBESAR 10% (SEPULUH PERSEN) a. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Perpajakan II.1.1 Definisi pajak Pengertian pajak menurut Pasal 1 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP sebagai berikut : Pajak adalah kontribusi wajib kepada

Lebih terperinci

DAFTAR KENDARAAN BERMOTOR YANG ATAS PENYERAHAN ATAU IMPORNYA DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DENGAN TARIF SEBESAR 10% (SEPULUH PERSEN)

DAFTAR KENDARAAN BERMOTOR YANG ATAS PENYERAHAN ATAU IMPORNYA DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DENGAN TARIF SEBESAR 10% (SEPULUH PERSEN) LAMPIRAN I DAFTAR ATAS PENYERAHAN ATAU IMPORNYA DENGAN TARIF SEBESAR 10% (SEPULUH PERSEN) a. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai Ex.8702.10.910 dengan 15 (lima belas) orang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : KEPUTUSAN NOMOR 355/KMK.03/2003 TANGGAL 11 AGUSTUS 2003 TENTANG JENIS KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH Menimbang : a. bahwa perkembangan dunia otomotif yang sangat pesat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KEENAM ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 22 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984 SEBAGAIMANA TELAH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum kita mengetahui pengertian with holding system kita harus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum kita mengetahui pengertian with holding system kita harus BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. With Holding System a. Pengertian With Holding System Sebelum kita mengetahui pengertian with holding system kita harus mengetahui bahwa with holding system

Lebih terperinci

Bab 10. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Bab 10. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Bab 10 Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 10.1 Pengertian PPN dan PPn BM Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key words: VAT, Salex Tax, Consumer purchasing power. viii Universitas Kristen Maranatha

ABSTRACT. Key words: VAT, Salex Tax, Consumer purchasing power. viii Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT The purpose of this study is to determine the effect of the imposition of VAT (PPN) and Sales Tax (PPnBM) towards consumer purchasing power on electronic goods. The population of this research

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2005 PERUBAHAN KEENAM ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 145 TAHUN 2000 KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak kendaraan, daya beli

Abstrak. Kata kunci: pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak kendaraan, daya beli Judul : Pengaruh Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dan Pajak Kendaraan Bermotor dengan Tarif Progresif Pada Daya Beli Konsumen Kendaraan Bermotor Roda Empat di Kota

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN KETUJUH ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada umumnya pajak merupakan pungutan wajib oleh negara kepada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada umumnya pajak merupakan pungutan wajib oleh negara kepada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak Secara Umum 2.1.1 Pengertian Pajak Pada umumnya pajak merupakan pungutan wajib oleh negara kepada masyarakat berdasarkan undang undang untuk mengisi kas negara guna membiayai

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KEENAM ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS

Lebih terperinci

DAFTAR KENDARAAN BERMOTOR YANG ATAS PENYERAHAN ATAU IMPORNYA DIKENAI PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DENGAN TARIF SEBESAR 10% (SEPULUH PERSEN)

DAFTAR KENDARAAN BERMOTOR YANG ATAS PENYERAHAN ATAU IMPORNYA DIKENAI PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DENGAN TARIF SEBESAR 10% (SEPULUH PERSEN) LAMPIRAN I IMPORNYA MEWAH DENGAN TARIF SEBESAR 10% (SEPULUH PERSEN) 1. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat

BAB II LANDASAN TEORI. rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Definisi Pajak dan Fungsi Pajak 2.1.1 Definisi Pajak Menurut Adriani dalam kutipan Soemarso (2007:2), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang

Lebih terperinci

DAFTAR KENDARAAN BERMOTOR YANG ATAS PENYERAHAN ATAU IMPORNYA DIKENAI PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DENGAN TARIF SEBESAR 10% (SEPULUH PERSEN)

DAFTAR KENDARAAN BERMOTOR YANG ATAS PENYERAHAN ATAU IMPORNYA DIKENAI PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DENGAN TARIF SEBESAR 10% (SEPULUH PERSEN) LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN PAJAK DAN TATA CARA DIKENAI PAJAK DENGAN TARIF SEBESAR 10% (SEPULUH PERSEN) 1. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2013 TENTANG BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH BERUPA KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAI PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 569/KMK.04/2000 TENTANG JENIS KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 569/KMK.04/2000 TENTANG JENIS KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH Menimbang : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 569/KMK.04/2000 TENTANG JENIS KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NO. 41 TAHUN 2013 dan PERATURAN PEMERINTAH NO. 22 TAHUN 2014 TENTANG BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH BERUPA KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAI PAJAK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright 2000 BPHN PP 36/1993, PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 22 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut :

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut : BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut : Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas

Lebih terperinci

2013, No.97 2 Mengingat b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (3) Undang-

2013, No.97 2 Mengingat b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (3) Undang- No.97, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERPAJAKAN. PPN. Barang Mewah. Kendaraan Bermotor. Pajak Penjualan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5420) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Pajak Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan Nomor 28 tahun 2007 pasal 1 ayat 1: Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.502, 2014 KEMENKEU. Jenis Barang Mewah. Pajak Penjualan. Kendaraan Bermotor. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64/PMK.011/2014

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. memperoleh atau mendapatkan dana dari masyarakat. Dana tersebut digunakan untuk

BAB II LANDASAN TEORI. memperoleh atau mendapatkan dana dari masyarakat. Dana tersebut digunakan untuk BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Pajak II.1.1 Definisi Pajak Pajak merupakan salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperoleh atau mendapatkan dana dari masyarakat. Dana tersebut digunakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perpajakan 2.1.1. Pengertian Pajak Banyak para ahli perpajakan telah memberikan definisi mengenai pajak menurut versinya masing-masing. Tetapi walaupun demikian berbagai definisi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN KETUJUH ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2013 TENTANG BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH BERUPA KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAI PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. berbagai faktor pendukung terutama stabilitas ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. berbagai faktor pendukung terutama stabilitas ekonomi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri Dalam upaya penyelenggaraan pembangunan nasional yang berkesinambungan dan merata di seluruh Indonesia pemerintah memerlukan berbagai

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, M E M U T U S K A N :

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, M E M U T U S K A N : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 569/KMK.04/2000 TANGGAL 26 DESEMBER 2000 TENTANG JENIS KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) 139 BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) PENGERTIAN Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN merupakan pelunasan pajak yang dikenakan atas setiap transaksi pembelian barang atau perolehan jasa dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pajak 1. Pengertian Pajak a. Pengertian pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada Negara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. definisi pajak menurut versinya masing-masing. Walaupun banyak pendapat mengenai

BAB II LANDASAN TEORI. definisi pajak menurut versinya masing-masing. Walaupun banyak pendapat mengenai BAB II LANDASAN TEORI II. 1 Pengertian Pajak Secara Umum II.1.1 Definisi Pajak Para ahli pajak baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri telah memberikan definisi pajak menurut versinya masing-masing.

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia,

Presiden Republik Indonesia, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 1988 TENTANG PERUBAHAN ATAS PASAL 16 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 22 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984 Presiden Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. dapat dipaksakan. Menurut Undang-Undang KUP No menyatakan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. dapat dipaksakan. Menurut Undang-Undang KUP No menyatakan. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Definisi Pajak Pajak merupakan iuran wajib yang dibayar oleh masyarakat kepada pemerintah yang dapat dipaksakan. Menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diperjualbelikan, telah dikenai biaya pajak selain dari pada harga pokoknya

BAB I PENDAHULUAN. yang diperjualbelikan, telah dikenai biaya pajak selain dari pada harga pokoknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984 Presiden Republik Indonesia, Menimbang: Bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64/PMK.011/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64/PMK.011/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64/PMK.011/2014 TENTANG JENIS KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAI PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DAN TATA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktek Kerja Lapangan Mandiri. yang semula dilakukan Cuma-Cuma dan sifatnya memaksa tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktek Kerja Lapangan Mandiri. yang semula dilakukan Cuma-Cuma dan sifatnya memaksa tersebut. 4 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktek Kerja Lapangan Mandiri Dengan adanya perkembangan dalam masyarakat, sifat upeti (pemberian) yang semula dilakukan Cuma-Cuma dan sifatnya memaksa tersebut.

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN TENTANG MEKANISME PENGAJUAN RESTITUSI ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

BAB III PEMBAHASAN TENTANG MEKANISME PENGAJUAN RESTITUSI ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) BAB III PEMBAHASAN TENTANG MEKANISME PENGAJUAN RESTITUSI ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) 3.1 Teori Tentang Pajak 3.1.1 Definisi Pajak Secara umum pajak dapat diartikan sebagai iuran

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI. dalam buku Perpajakan Indonesia karangan Waluyo (2008, h3),

LANDASAN TEORI. dalam buku Perpajakan Indonesia karangan Waluyo (2008, h3), BAB II LANDASAN TEORI II.1 Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Definisi atau pengertian pajak menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam buku Perpajakan Indonesia karangan Waluyo (2008, h3), Pajak adalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perpajakan 2.1.1 Pengertian pajak Berikut adalah beberapa pengertian Pajak menurut Diaz (2012:2). Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 145 TAHUN 2000 TENTANG KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN PAJAK

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dapat dipaksakan kepada mereka yang melanggarnya.

BAB II LANDASAN TEORI. dapat dipaksakan kepada mereka yang melanggarnya. BAB II LANDASAN TEORI A. Pajak 1. Pengertian Pajak Pajak adalah iuran wajib dari rakyat kepada negara sebagai wujud peran serta dalam pembangunan yang pengenaannya berdasarkan undang-undang dan tidak mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat ditentukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat ditentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat ditentukan oleh kemampuan bangsa untuk dapat memajukan kesejahteraan masyarakat,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 1.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari penghasilan masyarakat, dalam proses pemungutan perlu diatur dalam undang-undang agar dapat

Lebih terperinci

pemungutan pajak dimana wajib pajak menghitung sendiri pajak terutangnya serta secara mandiri menyetorkan ke bank atau kantor pos dan melaporkannya

pemungutan pajak dimana wajib pajak menghitung sendiri pajak terutangnya serta secara mandiri menyetorkan ke bank atau kantor pos dan melaporkannya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

Lebih terperinci

PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH. (PPn BM)

PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH. (PPn BM) PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPn BM) Mata Kuliah : Perpajakan II Ruang, Hari /Jam kuliah : M 504, Minggu, Jam :16.15 18.45 WIB Tatap Muka : Ke 14 Dosen : Sugianto, Ak., MSi UNIVERSITAS MERCU BUANA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 460/KMK.03/2001 TANGGAL 28 AGUSTUS 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NO

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 460/KMK.03/2001 TANGGAL 28 AGUSTUS 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NO KEPUTUSAN NOMOR 460/KMK.03/2001 TANGGAL 28 AGUSTUS 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NO. 569/KMK.04/2000 TENTANG JENIS KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 65 TAHUN 1991 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 22 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang berbeda tentang definisi dari pajak itu sendiri. Soemitro dalam bukunya Dasardasar

BAB II LANDASAN TEORI. yang berbeda tentang definisi dari pajak itu sendiri. Soemitro dalam bukunya Dasardasar BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Jika kita membahas pengertian dari pajak, banyak ahli yang memiliki pengertian yang berbeda tentang definisi dari pajak itu sendiri.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 II.1.1 Kerangka Teori dan Literatur Gambaran Umum Perpajakan II.1.1.1 Pengertian Pajak Banyak definisi tentang pengertian pajak, ada beberapa pendapat dari para ahli, antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri ( PKLM ).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri ( PKLM ). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri ( PKLM ). Pada era gliobalisasi seperti sekarang, persaingan antar negara semakin ketat. Oleh karena itu, Negara Indonesia dengan gencar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai primadona dalam membiayai pembangunan nasional. Pembangunan nasional

BAB I PENDAHULUAN. sebagai primadona dalam membiayai pembangunan nasional. Pembangunan nasional BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penerimaan pajak dari tahun ke tahun terus meningkat dan memberi andil besar dalam penerimaan Negara. Penerimaan dari sektor pajak selalu dikatakan sebagai

Lebih terperinci

: bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah Koreksi Dasar Pengenaan Pajak sebesar Rp ,00;

: bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah Koreksi Dasar Pengenaan Pajak sebesar Rp ,00; Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT-68824/PP/M.XIA/17/216 Jenis Pajak : PPnBM Tahun Pajak : 28 Pokok Sengketa Menurut Terbanding Menurut Pemohon Menurut Majelis : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS. (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya

BAB II LANDASAN TEORITIS. (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya BAB II LANDASAN TEORITIS A. Pajak Pengertian pajak telah dikemukakan oleh banyak ahli, namun pada dasarnya definisi tersebut memiliki tujuan yang sama. Adapun definisi pajak menurut P.J.A Adriani dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani II.1. Dasar-dasar Perpajakan Indonesia BAB II LANDASAN TEORI II.1.1. Definisi Pajak Apabila membahas pengertian pajak, banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Pajak Dalam membahas definisi mengenai pajak, banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Adriani di kutip

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Pajak Pengertian Pajak Prof. Dr. Rochmat. Soemitro, SH Waluyo

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Pajak Pengertian Pajak Prof. Dr. Rochmat. Soemitro, SH Waluyo BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Pajak Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang diberlakukan oleh hampir seluruh negara di dunia ini. Permasalahan dalam pajak erat kaitannya dengan negara yang

Lebih terperinci

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 2009

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 2009 PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 2009 Subyek PPN Pengusaha Kena Pajak (PKP) PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau

Lebih terperinci