EXECUTIVE SUMMARY PENYUSUNAN MODEL PERHITUNGAN PEMBEBASAN LAHAN, RELOKASI & PEMUKIMAN KEMBALI PENDUDUK DALAM PEMBANGUNAN WADUK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EXECUTIVE SUMMARY PENYUSUNAN MODEL PERHITUNGAN PEMBEBASAN LAHAN, RELOKASI & PEMUKIMAN KEMBALI PENDUDUK DALAM PEMBANGUNAN WADUK"

Transkripsi

1 Executive Summary EXECUTIVE SUMMARY PENYUSUNAN MODEL PERHITUNGAN PEMBEBASAN LAHAN, RELOKASI & PEMUKIMAN KEMBALI PENDUDUK DALAM PEMBANGUNAN WADUK TAHUN ANGGARAN

2 Executive Summary I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pembangunan waduk di Indonesia diharapkan dapat menjadi solusi guna mengatasi krisis air kedepan khususnya di Pulau Jawa. Pembangunan waduk selain dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, maka memiliki multifungsi terhadap berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Pertama, pembangunan waduk berfungsi untuk menyediakan air bagi para petani, melalui jaringan irigasi yang diharapkan meningkatkan produksi pertanian dan meningkatkan ketahanan pangan nasional. Kedua, pembangunan waduk juga berfungsi sebagai penyediaan air baku bagi kebutuhan sehari-hari penduduk sehingga dapat terhindar dari kekurangan air. Ketiga, pembangunan waduk dapat pula berfungsi sebagai sumber pembangkit tenaga listrik yang dapat mensuplai kebutuhan penduduk akan penerangan dan berbagai kebutuhan lainnya. Keempat, pembangunan waduk juga dapat berfungsi sebagai sarana konservasi air yakni dapat menahan air lebih lama sehingga memungkinkan penyerapan air yang lebih besar dan memberikan kontribusi terhadap pengisian kembali air tanah. Kelima, pembangunan waduk juga dapat menjadi sarana pariwisata sehingga dapat menambah pendapatan penduduk sekitar dan sumber PAD (pendapatan asli daerah) bagi pemda setempat. Namun demikian, hampir setiap pembangunan waduk di Indonesia, memiliki permasalahan-permasalahan yang berujung pada konflik di masyarakat yang pada akhirnya memperlambat proses pembangunan. Permasalahan saat pembebasan lahan seperti kepemilikan tanah, batas tanah, tanah ulayat, dll maupun permasalahan pada saat relokasi dan pemukiman kembali seperti pemilihan lokasi potensial pemukiman, keberlanjutan mata pencaharian penduduk, dan pemenuhan sarana dan prasarana sosial, seperti yang telah dialami warga Kedungombo, Kotopanjang, Nipah, Karian, dan Jatibaran adalah potret nyata dampak sosial ekonomi dari sebuah proses pembangunan Waduk. Mengacu kepada Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2010 tentang Bendungan, pada Pasal 2, disebutkan bahwa pembangunan waduk bermanfaat 2

3 Executive Summary untuk : Meningkatkan kemanfaatan fungsi sumber daya air; Pengawetan air; Pengendalian daya rusak air, dan pengamanan tampungan limbah tambang (tailing) atau tampungan lumpur. Oleh karena itu, agar manfaat pembangunan dapat tercapai secara maksimal diperlukan perencanaan yang matang. Menurut Donny dan Chandra (2009), dalam melakukan pembangunan waduk, dibutuhkan perencanaan khususnya pada saat pembebasan lahan dan pemukiman penduduk yang direncanakan secara menyeluruh dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk meminimalisasi gejolak sosial yang ditimbulkan. Sehingga, setelah diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2010 diharapkan bahwa setiap pembangunan bendungan/waduk mampu memperhitungkan berbagai permasalahan berkenaan dengan masyarakat yang terkena dampak pembangunan Sementara itu, untuk meminimalisasi konflik masyarakat seputar pembebasan lahan, sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2006 Tentang perubahan atas peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Dalam Perpres tersebut telah diatur tentang konsultasi masyarakat dan konsensus kesepakatan tentang kompensasi "adil", namun dalam Perpres tersebut tidak menyediakan prosedur rinci untuk pemukiman orang terlantar oleh proyek. Oleh karenanya, penyusunan Model Perhitungan Pembebasan Lahan, Relokasi dan Pemukiman Kembali dilakukan guna mendukung penerapan peraturan pemerintah No.37 Tahun 2010 tentang Bendungan, dan memberikan dukungan terhadap Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2006 Tentang perubahan atas peraturan presiden nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang belum menambahkan prosedur pemukiman orang yang terlantar karena proyek pembangunan. 3

4 Executive Summary 1.2 Permasalahan Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan: a. Bagaimana alternatif dasar perhitungan pembebasan lahan dan relokasi/pemukiman kembali penduduk dalam pembangunan waduk? b. Bagaimana persepsi masyarakat tentang keberhasilan dan kegagalan Pembebasan Lahan, Relokasi dan Pemukiman Kembali dalam pembangunan Waduk? c. Bagaimana penetapan kriteria Sosial ekonomi lingkungan keberhasilan dan kegagalan Pembebasan Lahan, Relokasi dan Pemukiman Kembali penduduk dalam pembangunan Waduk? 1.3 Tujuan Tujuan penelitian adalah untuk: a. Menemukan alternatif dasar perhitungan pembebasan lahan, relokasi dan pemukiman kembali penduduk dalam pembangunan waduk. b. Mempelajari persepsi masyarakat tentang tingkat keberhasilan dan kegagalan Pembebasan Lahan, Relokasi dan Pemukiman Kembali dalam pembangunan Waduk. c. Merumuskan kriteria Sosekling keberhasilan dan kegagalan Pembebasan Lahan, Relokasi dan Pemukiman Kembali dalam pembangunan Waduk. 1.4 Keluaran Adapun keluaran (output) penelitian ini adalah sebuah Model Perhitungan Pembebasan Lahan, Relokasi dan Pemukiman Kembali Penduduk dalam Pembangunan Waduk 1.5 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat (outcome) : a. Meningkatkan koordinasi dan ketatalaksanaan untuk mengurangi konflik antar stakeholder pengguna SDA sehingga pembangunan waduk sesuai dengan rencana. 4

5 Executive Summary b. Menghasilkan model Perhitungan Pembebasan Lahan, Relokasi dan Pemukiman Kembali yang dapat dijadikan pendukung proses keberhasilan penerapan LARAP dalam pembangunan Waduk. II. Metode Penelitian& Kerangka Pikir 2.1. Jenis Penelitian Sebagai suatu penelitian tentang model, jenis penelitian ini termasuk kualitatif. Hal tersebut dipilih karena untuk menyusun suatu model, diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap materi yang hendak dimodelkan. Model pada dasarnya adalah wakil atau representasi ideal dari situasi-situasi dunia nyata. Dengan kata lain, model merupakan penyederhanaan dari realitas yang diwakilinya sehingga dibutuhkan pengetahuan yang komprehensif mengenai objek kajian sebelum menyederhanakannya Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dipilah ke dalam empat teknik. Pertama, teknik wawancara mendalam. Teknik pengumpulan data ini digunakan untuk menggali data dan informasi dari informan secara detail dan mendalam. Sebagai panduan melakukan wawancara mendalam, terlebih dahulu disediakan panduan wawancara. Untuk melaksanakan wawancara mendalam ini, akan dilakukan dua cara, yakni secara individual dan berkelompok. Secara individual, peneliti akan berhadapan secara face to face dengan informan. Tujuannya adalah untuk menggali secara mendalam serta memperhatikan gerakgerik selama wawancara berlangsung dengan saksama. Sedangkan secara berkelompok, dilakukan dengan jalan seorang peneliti (pewawancara) menghadapi informan lebih dari satu secara sekaligus. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa proses tanya-jawab harus dilakukan secara bergiliran, tetapi mungkin adalah di antara mereka yang lebih banyak pertanyaan diajukan 5

6 Executive Summary disbanding dengan yang lain karena pengetahuan dan pengalamannya yang berbeda. Kedua, melakukan teknik observasi lapangan dengan cara mengunjungi lokasi secara langsung. Ada dua jenis observasi yang dapat dilakukan, yakni observasi partisipatif dan nonpartisipatif. Observasi partisipatif dilakukan dengan berusaha mengalami kondisi masyarakat yang terkena pembebasan lahan untuk pembangunan waduk, sedangkan observasi nonpartisipatif akan dilakukan jika ada berbagai keterbatasan ditemukan di lapangan. Ketiga, melakukan teknik focus group discussion (FGD) dengan para informan secara terbatas. Teknik ini digunakan untuk memperoleh data dari suatu kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terarah (terfokus) pada masalah tertentu (Bungin, 2001). Dalam FGD ini, peneliti berusaha menempatkan diri sebagai pengamat dan pengarah jalannya diskusi. Para informan diberikan kesempatan yang seluas-luasnya membahas permasalahan pembebasan lahan terutama terkait dengan pola perhitungan pembebasan lahan dan program relokasi akibat adanya pembangunan waduk. Keempat, melakukan teknik literatur atau studi pustaka. Teknik ini digunakan untuk memperoleh hasil-hasil kajian sejenis ataupun data pendukung lainnya. Studi literatur ini akan dilakukan dengan cara mendatangi sejumlah perpustakaan dan pusat-pusat informasi seperti BPS Metode Analisis Data Untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan, akan digunakan beberapa tahap. Pertama, tahap penjernihan data. Data yang masih tercampur akan dipisahkan terkait dengan tujuan penelitian, apakah data tersebut dibutuhkan atau tidak. Hal ini penting karena seringkali dalam pengumpulan data, ada sejumlah data yang sebenarnya tidak dibutuhkan, tetapi sempat terambil. Oleh karena itu, agar jelas mana data yang dibutuhkan dan mana data yang tidak dibutuhkan, maka 6

7 Executive Summary dilakukan pemisahan. Dengan kata lain, data yang terkumpul disortir apakah layak digunakan untuk analisis atau tidak. Kedua, tahap sistematisasi, yakni melakukan pengklasifikasian data berdasarkan kategori-kategori tertentu secara lebih sistematis dan terstruktur. Bentuk-bentuk yang sistematis dan terstruktur tersebut dapat terwujud dalam bentuk narasi, matriks, atau bagan. Ketiga, tahap penafsiran melalui interpretasi dan pengembangan analisis dengan cara mengaitkan suatu tema dengan tema lainnya (Neuman, 2003) Kerangka Pikir Berdasarkan landasan teori di atas, dapat dibangun suatu kerangka pikir bahwa pembebasan lahan maupun relokasi/permukiman kembali secara konseptual masih terus berubah sesuai dengan perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Adanya permasalahan pada proses pembebasan lahan yang menyebabkan tertunda atau gagalnya suatu pembangunan waduk membuktikan bahwa model pembebasan lahan masih perlu mendapat perhatian kembali. Kebutuhan akan peningkatan hasil pertanian untuk memenuhi konsumsi pangan penduduk Indonesia memerlukan dukungan adanya pembangunan waduk. Dengan adanya waduk, areal pertanian (terutama sawah) dapat terjamin ketersediaan airnya sehingga dapat meningkatkan produksi hasil pertanian. Demikian pula kebutuhan air, baik untuk rumah tangga maupun industri dapat disuplai dari waduk. Bahkan, dengan adanya waduk, air dapat tertahan lebih lama yang memungkinkan meresap dan memberikan kontribusi terhadap pengisian kembali air tanah. Fungsi lain dari waduk adalah dapat menjadi tenaga pembangkit listrik tenaga air untuk memenuhi kebutuhan akan penerangan dan kebutuhan lainnya. Sejumlah instrumen hukum yang dibuat, baik dalam bentuk Undang- Undang, Peraturan Presiden, maupun Keputusan Menteri sebenarnya telah menjadi landasan hukum dalam pelaksanaan pembebasan lahan untuk pembangunan Waduk. Namun demikian, pada kenyataannya para pemilik tanah 7

8 Executive Summary tidak semuanya secara serta-merta rela menyerahkan tanahnya. Bahkan, ada yang melakukan resistensi (konflik vertikal) terhadap upaya pembebasan lahan serta konflik horizontal (di antara sesama pemilik tanah). Demikian pula di antara pemerintah sendiri (pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota) juga sering mengalami konflik. Hal tersebut terjadi karena belum disepakatinya model pembebasan lahan yang digunakan oleh pihak yang membutuhkan tanah. Untuk itu, berbagai aturan hukum yang dapat digunakan untuk mendapatkan tanah seperti Perpres 35 Tahun 2005, kemudian direvisi Perpres Nomor 65 Tahun 2006 serta Peraturan kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2007, namun suatu hal yang tidak dapat diabaikan adalah masyarakat pemilik tanah memiliki pandangan terhadap tanah miliknya seperti tanah sebagai dalam konsep ruang, modal, hingga konsep religius magis. Bahkan, ditekankan bahwa pemberian ganti rugi (kompensasi) dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelumnya. Keberadaan LARAP yang mengatur perencanaan pengadaan tanah dan resettlement diharapkan dapat mereduksi permasalahan yang selama dihadapi, baik oleh penyelenggara program/proyek maupun meminimalisasi dampak negatif bagi masyarakat yang terkena dampak. Pada akhirnya, dari pengalaman empiris di lokasi dapat dijadikan bahan untuk membangun model alternatif LARAP sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan lingkungan masyarakat setempat. Selama ini, umumnya nilai pembebasan lahan hanya berdasar pada NJOP, luas lahan, status lahan, posisi lahan dari, nilai bangunan, dan nilai tanaman. Sementara itu, bagi pemilik tanah, entitas tanah bukan hanya sekadar benda mati, melainkan sebagai sumber daya, baik secara ekonomi maupun sosial. Secara ekonomi, tanah merupakan sumber mata pencaharian karena di atas tanah tersebut merupakan sumber penghidupan sehari-sehari sehingga kehilangan tanah dapat diartikan sebagai kehilangan mata pencahariannya. Sedangkan secara sosial, tanah bagi pemilik memiliki nilai sosial seperti ikatan dengan leluhur yang harus dipelihara (cara memiliki), identitas sosial yang harus dipertahankan, serta sudah lama dan nyaman/aman dengan lingkungan sosial sekitarnya. Ketika hal ini 8

9 Executive Summary tidak dapat diperhatikan, pemilik tanah tidak jarang mereka mengalami deprivasi yang pada akhirnya membuat eskalasi konflik menjadi semakin kuat. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu model pembebasan lahan (termasuk program relokasi/permukiman kembali) warga yang tanahnya terkena proyek pembangunan waduk. Secara ringkas, kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat bagan berikut ini. Kebutuhan Tanah Pembangunan Waduk (Pertanian, Air baku, Konservasi, Listrik) Rencana Pembangunan Waduk UUPA No & UU No UU No Perpres No. 36/2005 jo Perpres No Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 2007 Konsep Tanah Konvensional 1. Alam 2. Ruang 3. Faktor produksi 4. Situasi 5. Properti 6. Modal 7. Barang konsumsi MODEL PERHITUNGAN PEMBEBASAN LAHAN, RELOKASI & PEMUKIMAN KEMBALI PENDUDUK DALAM PEMBANGUNAN WADUK Konsep Tanah Alternatif 8. Religius-magis 9. Emosional/ ikatan batin (Cara memperoleh tanah & durasi P E N E L I T I A N Persepsi masyarakat tentang keberhasilan dan kegagalan Kriteria Sosial ekonomi lingkungan keberhasilan dan kegagalan Alternatif dasar perhitungan Gambar 1. Kerangka Pikir 9

10 3. Kesimpulan & Rekomendasi 3.1 Kesimpulan Berdasarkan data dan analisis dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut: a. Nilai Tanah Metode penilaian yang digunakan oleh appraisal untuk menentukan nilai pasar Tanah biasanya menggunakan metode Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach). Dalam hal ini penilaian Tanah didasarkan pada perbandingan secara langsung obyek yang dinilai dengan data transaksi pembanding yang telah dianalisa, dengan menggunakan faktor-faktor penyesuaian (adjustment). Koreksi penyesuaian, mencakup perbandingan : Faktor Lokasi, yang mencakup kestrategisan, jauh dekatnya lokasi dengan fasilitas umum. Faktor Kegunaan, adalah pengaruh dari nilai kegunaan yang maksimal bisa diperoleh yang disesuaikan dengan zoning/peruntukannya. Faktor Fisik, adalah mencakup sifat-sifat fisik antara lain ukuran, bentuk tanah, topografi, kondisi tanah, dan lain-lain. Faktor Sarana, menyangkut adanya sarana yang dimiliki misalnya jalan masuk, PDAM, PLN, Telkom, angkutan umum, dan lain-lain. Faktor Waktu, adalah berhubungan dengan kapan terjadinya penjualan/transaksi atau masih dalam bentuk penawaran. Adapun Faktor Nilai Nyata juga ditambahkan sebagai nilai tanah sebagai faktorfaktor penggantian kerugian yang bersifat fisik dan/ atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/ atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Faktor-faktor tersebut dapat diasumsikan, sebagai berikut: 1. Biaya pengukuran lahan di lokasi baru 2. Biaya BPATB 3. Biaya Administrasi Penerbitan Surat Kepemilikan Tanah lokasi baru 10

11 4. Inflasi atas perubahan harga dari saat dibebaskan hingga perolehan lahan baru Meskipun metode penilaian dan faktor yang diperhitungkan oleh tim appraisal tersebut oleh berbagai pihak dipandang sudah memadai, dalam kenyataannya masih sering mendapat berbagai hambatan. Oleh karena itu, berdasarkan temuan lapangan, ada beberapa faktor yang menurut informan penting dipertimbangkan dalam perhitungan nilai tanah sebagai dasar pemberian ganti rugi bagi tanah yang dibebaskandengan mengacu pada alternatif dasar perhitungan pengadaan tanah hasil temuan lapangan di atas, maka secara konseptual dapat memberi kontribusi terhadap dasar perhitungan yang ada selama ini. Jika kita mengikuti dasar perhitungan yang ada saat ini, nilai tanah cenderung hanya mempertimbangkan enam faktor yang dapat dirumuskan sebagai berikut: Rumus Umum Nilai Tanah Nilai Tanah = ( F1 + F2 + F3 + F4 + F5 +F6) Keterangan : F1 : Faktor Lokasi (kestrategisan, jauh dekatnya lokasi dengan fasilitas umum F2 : Faktor Kegunaan (pengaruh dari nilai kegunaan yang maksimal bisa diperoleh yang disesuaikan dengan zoning/peruntukannya) F3 : Faktor Fisik (mencakup sifat-sifat fisik antara lain ukuran, bentuk tanah, topografi, kondisi tanah, dan lain-lain) F4 : Faktor Sarana (menyangkut adanya sarana yang dimiliki misalnya jalan masuk, PDAM, PLN, Telkom, angkutan umum, dan lain-lain) F5 : Faktor Waktu (berhubungan dengan kapan terjadinya penjualan/transaksi atau masih dalam bentuk penawaran) F6 : Faktor Nilai Nyata ( biaya pengukuran lahan di lokasi baru; BPATB; Biaya Administrasi Penerbitan Surat Kepemilikan Tanah lokasi baru & biaya Inflasi atas perubahan harga dari saat dibebaskan hingga perolehan lahan baru) Apabila rumusan umum nilai tanah di atas dikombinasikan dengan tiga faktor berdasarkan temuan lapangan, maka dapat direformulasikan model perhitungan nilai ganti rugi tanah dalam rangka mengadaptasi nilai-nilai sosial terhadap tanah yang ada dalam masyarakat, mengurangi resistensi, serta dapat akselerasi proses pengadaan tanah dengan rumusan sebagai berikut: 11

12 Rumus Alternatif Nilai Tanah Nilai Tanah = ( F1 + F2 + F3 + F4 + F5 +F6 + F7+F8+F9) Keterangan : F1 : Faktor Lokasi (kestrategisan, jauh dekatnya lokasi dengan fasilitas umum F2 : Faktor Kegunaan (pengaruh dari nilai kegunaan yang maksimal bisa diperoleh yang disesuaikan dengan zoning/peruntukannya) F3 : Faktor Fisik (mencakup sifat-sifat fisik antara lain ukuran, bentuk tanah, topografi, kondisi tanah, dan lain-lain) F4 : Faktor Sarana (menyangkut adanya sarana yang dimiliki misalnya jalan masuk, PDAM, PLN, Telkom, angkutan umum, dan lain-lain) F5 : Faktor Waktu (berhubungan dengan kapan terjadinya penjualan/transaksi atau masih dalam bentuk penawaran) F6 : Faktor Nilai Nyata ( biaya pengukuran lahan di lokasi baru; BPATB; Biaya Administrasi Penerbitan Surat Kepemilikan Tanah lokasi baru & biaya Inflasi atas perubahan harga dari saat dibebaskan hingga perolehan lahan baru) F7 : Faktor Religius Magis F8 : Faktor Cara Memperoleh Tanah F9 : Faktor Durasi memiliki tanah Model rumusan alternatif nilai tanah dengan mempertimbangkan tiga faktor tambahan di atas amatlah penting. Ada beberapa argumentasi mengapa F7, F8, dan F9 dipandang penting dimasukkan ke dalam perhitungan nilai tanah. Pertama, dalam komunitas masyarakat tertentu, ada tanah-tanah yang dipandang sebagai tanah yang memiliki nilai religius-magis (F7). Tanah ini berbeda dengan tanah-tanah lainnya. Jika tanah-tanah lainnya dapat dieksploitasi (ditanami tanaman), tanah yang mengandung religious-magis tidak dapat dieksploitasi atau ditanami tanaman-tanaman apalagi untuk dikonsumsi. Kedua, pada kelompok masyarakat tertentu, cara perolehan tanah (F8) dengan pola pewarisan dipandang sebagai salah satu cara mempertahankan tanah yang memiliki ciri identitas tertentu, seperti identitas keluarga, identitas kelompok, bahkan pada konteks tertentu sebagai identitas suku bangsa. Hal ini sangat berbeda dengan yang diperoleh dengan cara diperjualbelikan. Pada tanah yang diperoleh dengan cara jual-beli nilai identitas tanah terhadap pemiliknya menjadi hilang. Jika dilihat dalam konteks yang lebih luas untuk kepentingan pengadaan tanah, pembedaan ini dapat menjadi instrumen untuk mencermati mana tanah yang dibeli pada saat terdengar akan adanya pembebasan lahan dan mana yang benar-benar tanah warisan milik 12

13 masyarakat lokal. Faktor ini sangat strategis guna mereduksi aksi jual beli oleh para makelar tanah atau oknum tertentu yang seringkali banyak menghambat proses pengadaan tanah. Ketiga, terkait dengan faktor kedua, durasi memiliki tanah (F9) ini juga amatlah penting dipertimbangkan karena semakin lama tanah tersebut dimiliki semakin banyak keterikatan emosional dengan pemiliknya. Ikatan emosional tersebut seringkali tumpang-tindih dengan aspek lainnya seperti aspek ekonomi, aspek legalitas, dan teritori kekuasaan. Faktor ini sekaligus dapat dijadikan instrumen untuk melihat mana tanah yang sudah lama dimiliki oleh masyarakat dan mana tanah yang baru saja dimiliki oleh para makelar atau oknum tertentu ketika ada kabar rencana pengadaan tanah di suatu lokasi. b. Dasar perhitungan dalam relokasi/permukiman kembali penduduk Kegiatan relokasi/permukiman kembali penduduk yang terkena pengadaan tanah sampai saat ini masih sering menimbulkan berbagai masalah. Masalah tersebut adalah adanya perbedaan berbagai aspek antara lokasi yang lama dan lokasi yang baru. Permasalahan tersebut semakin mengemuka ketika berbagai aspek kehidupan yang dimiliki atau diperoleh di lokasi yang lama, ternyata tidak dapat ditemui di lokasi yang baru. Antara satu keluarga/kelompok masyarakat tentu dengan yang lainnya memiliki karakter, kemampuan, dan kebutuhan yang kadang-kadang tidak sama. Namun demikian, ketika mereka direlokasi/dimukimkan ke suatu lokasi, ada kecenderungan mereka diperlakukan memiliki karakter, kemampuan, dan kebutuhan yang sama. Akibatnya, ada beberapa keluarga atau kelompok masyarakat yang mengalami deprivasi sosial. Berdasarkan data lapangan, ada beberapa alternatif dasar perhitungan yang dapat dipertimbangkan dalam rangka relokasi/permukiman kembali penduduk. Hal-hal yang penting dipertimbangkan sebagai dasar perhitungan dalam relokasi/permukiman kembali penduduk adalah (1) jumlah anggota keluarga, (2) mata pencaharian, (3) tingkat pendapatan, (4) kelembagaan sosial, dan (5) norma dan tradisi lokal. Kelima hal tersebut penting dipertimbangkan agar warga yang 13

14 direlokasi/dimukimkan dapat mempertahankan, bahkan meningkatkan kondisi sosial ekonomi di lokasi yang baru. c. Persepsi masyarakat tentang keberhasilan dan kegagalan dalam kegiatan pembebasan lahan Waduk. Keberhasilan atau kegagalan suatu proses pembebasan lahan dan/atau relokasi/pemukiman kembali seringkali tidak hanya dapat dilihat oleh pihak yang membutuhkan tanah. Berdasarkan temuan empiris di lapangan, ada beberapa hal yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai indikator keberhasilan dan sebaliknya, jika hal tersebut terjadi hal yang berbeda, maka dapat dikatakan mengalami kegagalan. Berikut adalah butir-butir persepsi masyarakat mengenai keberhasilan atau kegagalan proses pembebasan lahan, relokasi, dan pemukiman kembali. Data dan pembahasan berikut terungkap dari data lapangan khususnya di waduk Karian. Hal tersebut dipilih karena proses pembebasan lahan masih berlangsung sehingga perhatian masyarakat masih cukup tinggi serta ingatan masyarakat terhadap proses pembebasan lahan masih segar. Adapun persepsi masyarakat tentang keberhasilan dan kegagalan dalam kegiatan pembebasan lahan Waduk dilandasi oleh (1) jeda sosialisasi dengan eksekusi pembayaran, (2) proses sosialisasi dan negosiasi, (3) kepemilikan harta, (4) peluang mata pencaharian, (5) pulang kembali ke lokasi semula. d. Kriteria keberhasilan dan kegagalan kegiatan pembebasan lahan dan relokasi/permukiman kembali Selama ini, ada kecenderungan kriteria keberhasilan dan kegagalan kegiatan pembebasan lahan, relokasi, dan pemukiman kembali lebih menekankan salah satu aspek saja tanpa banyak melihat aspek lain secara proporsional. Bahkan, kriteria yang diterapkan lebih banyak yang berorientasi pada dimensi output tanpa banyak melihat dimensi proses, dan dimensi outcome. Oleh karena itu, dibutuhkan kriteria dengan melihat aspek secara seimbang, yakni aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Penetapan kriteria tiga aspek tersebut sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan dari paradigma teknis menuju ke paradigma pembangunan keberlanjutan (sustainibility). Pada paradigma pembangunan yang berkelanjutan, 14

15 pembangunan yang dilakukan harus memperhatikan aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek lingkungan secara seimbang dan holistik. Dalam kaitan dengan pembebasan lahan, relokasi, dan pemukiman kembali untuk pembangunan waduk, ketiga aspek tersebut juga sangat penting diperhatikan dan dipertimbangkankriteria keberhasilan dan kegagalan kegiatan pembebasan lahan dan relokasi/permukiman kembali mencakup tiga aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pada aspek sosial berdasarkan pemeringkatannya adalah (1) proses musyawarah, (2) sosialisasi, (3) sikap masyarakat di lokasi yang baru, (4) tempat tinggal dengan keluarga, (5) kelembagaan sosial, dan (6) norma sosial. Pada aspek ekonomis, berdasarkan pemeringkatannya adalah (1) pendapatan, (2) pola mata pencaharian, (3) hasil produksi (tani), (4) pangsa pasar, (5) asset keluarga, (6) luas tanah, dan (7) perabot rumah. Pada aspek lingkungan, berdasarkan pemeringkatannya adalah (1) kualitas rumah, (2) luas rumah, (3) prasarana lingkungan permukiman, (4) kualitas fasos dan fasum, (5) luas pekarangan, dan (6) jarak fasos dan fasum. 3.2 Rekomendasi Dengan mengacu pada data, pembahasan, dan kesimpulan di atas, dapat disarankan hal-hal sebagai berikut: (a) Tiga dasar perhitungan dalam penentuan besaran nilai ganti rugi kiranya dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam model konvensional yang selama ini digunakan. Dasar alternatif perhitungan pembebasan lahan, selain dapat mereduksi resistensi masyarakat, juga dapat mengakselerasi proses pembebasan lahan. (b) Dalam rangka relokasi/permukiman kembali penduduk diharapkan mempertimbangkan keenam aspek yang selama ini belum sepenuhnya menjadi perhatian para pihak yang membutuhkan tanah. Dengan mempertimbangkan keenam aspek tersebut diharapkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dapat lebih terjamin dan mengalami peningkatan. (c) Penetapan kriteria dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan barulah pada tahap indikasi sehingga masih dibutuhkan uji validasi lebih lanjut dengan sebaran lokasi dan informan yang lebih luas. Dengan demikian, pada saatnya nanti kriteria tersebut 15

16 dapat menjadi acuan dapat menbuat skala prioritas (pemeringkatan) dalam melakukan penilaian berhasil-tidaknya suatu proses pembebasan lahan, relokasi/permukiman kembali penduduk. (d) Studi lanjutan masih sangat dibutuhkan agar model perhitungan dan kriteria yang telah ditetapkan dapat semakin memperoleh validasi empiris di lapangan sehingga benar-benar dapat menjadi acuan dan digunakan oleh berbagai pihak dalam proses pembebasan lahan dan relokasi/permukiman kembali penduduk di masa mendatang. Daftar pustaka Buku & laporan Anwar,S, 2009, Pengelolaan Sumber Daya Air, Yayasan Badan Penerbit PU, Jakarta Asian Development Bank (ADB) Summary of The Handbook of Resettlement: A Guide to Good Practice. Manila: Asian Development Bank. Asian Development Bank, 1999, Buku Panduan Tentang Pemukiman Kembali, Suatu Petunjuk Praktis Balai Litbang Sosial Ekonomi Bidang Jalan dan Jembatan, Puslitbang Sosekling, Balitbang PU Penelitian Model Kompensasi Non-Uang untuk Pengadaan Lahan Inftrastruktur Jalan. (Laporan Pendahuluan) Penelitian Perhitungan Pemberian Ganti Rugi Kegiatan Pembebasan Lahan Berdasarkan Valuasi Ekonomi. (Laporan Pendahuluan). Balai Litbang Sosial Ekonomi Bidang Sumber Daya Air, Puslitbang Sosekling, Balitbang PU Penyusunan Model Perhitungan Pembebasan Lahan dan Relokasi/Pemukiman Kembali. (Laporan Pendahuluan). Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum dan PT Panca Guna Duta Studi Land Acquisition and Resettlement Action Plan (LARAP). (). Barbier, Edward B The Economic Determinants of Land Degradation in Developing Countries. The Royal Societis. Barlowe, Releigh Land Resource Economics: The Political Economy of Rural and Urban Land Resource Use. Prentic-Hall, Inc. 16

17 Bungin, Burhan Content Analysis dan Focus Group Discussion dalam Penelitian Sosial. Dalam Burhan Bungin (Ed.). Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press. CTI Engineering International co.ltd LARAP BASELINE Survey for Preconstruction Stage on Jatibarang Multipurpose DAM Project Dahrendorf, Ralf Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford California: Stanford University Press). Ding, Chengri Policy and Praxis of Land Acquisition in China. Science Direct, Elsevier. Erari, Karel Phil Tanah Kita, Hidup Kita: Hubungan Manusia dan Tanah di Irian Jaya sebagai Persoalan Teologis. Jakarta: Sinar Harapan. Gunanegara Tinjauan Ganti Rugi Tanah Sesuai Amanah Perpres No. 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No. 65 Tahun Disampaikan dalam Konferensi Regional Teknik Jalan Ke-10 (KJRT-10) di Surabaya, November Hendrati, Pauline Ratna Konflik Pertanahan (Penggusuran Tanah) antara Rakyat dan Pemerintah di DKI Jakarta, dalam Sukri Abdurahman (Ed.), Konflik Pertanahan di Era Reformasi: Hukum Negara, Hukum Adat dan Tuntutan Rakyat. Jakarta: PMB-LIPI. Sudartho P Aspek Sosial AMDAL Sejarah, Teori dan Metode, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press International Finance Corporation (IFC) Handbook for Preparing a Resettlement Action Plan. Pensylvania: The International Finance Corporation. Kodoatie,R.J,2005, Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, Penerbit Andi, Yogyakarta Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, CV. Remaja Karya, 1989 Midgley, James Social Development: The Development Perspective in Social Walfare. London : Sage Publication Ltd. Nasucha, Chaizi Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur Perpajakan Atas Tanah. Jakarta: Megapoin. Neuman, W. Lawrence Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Pearson Education Inc., United States of America. Neil J. Smelser, The Sociology of Economics Life, Second Edition, Englewood Cliffs, N.J. : Prentice Hall Inc,

18 Pusat Pengkajian Sosial Budaya dan Ekonomi Wilayah, Badan Litbang, Departemen Perkerjaan Umum Analisis Dampak Sosial (ANDAS) Waduk Jatigede. Pusat Pengkajian Sosial Budaya dan Ekonomi Wilyah Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kimpraswil,Laporan Antara Penyusunan Konsep Pedoman Rekayasa Sosial Dampak Pembangunan Waduk. Jakarta 2005 Pusat Pengkajian Sosial Budaya dan Ekonomi Wilyah Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kimpraswil, Kajian Analisis Dampak Sosial (ANDAS) Pembangunan Waduk. Jakarta 2004 Soedibyo,1988, Teknik Bendungan, Pradnya Paramita, Jakarta Salindeho, John Manusia, Tanah, Hak dan Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Stimson, Robert J. dkk Regional Economic Development: Analysis and Planning Strategy. New York: Springer Berlin Heidelberg. Suharto, Edi Analisis Kebijakan Publik : Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung : Alfabeta. Sumardjono, Maria S.W., Puspita Serangkum Aneka Masalah Hukum Agraria, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta, 1982 Tri Andari Dahlan Tesis, Pelaksanaan pengadaan tanah Guna proyek pembangunan waduk Jatibarang Di kota semarang, Universitas Dipenegoro, Semarang Tukgali, Lieke Lianadevi Fungsi Sosial Hak Atas Tanah dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Jakarta: PT Gramedia. Peraturan Perundang-Undangan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang telah digantikan oleh Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2010 tentang Bendungan 18

19 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Perubahan atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan KEPPRES 55 Tahun 1993 Surat Kepala Kantor BPN Kab. Lebak No. 160/10/PL/2007 tanggal 4 Mei 2007 tentang Izin prinsip/penatagunaan tanah seluas Ha. Surat Bupati Lebak No. 590/Kep.186/BPN/2007 tanggal 31 Mei 2007 Penetapan Lokasi seluas Ha Keputusan Gubernur Provinsi Banten No.: /Kep.168-Huk/2008 tanggal 7 April tentang Tim Koordinasi Pembangunan Waduk Karian Keputusan Bupati Lebak No.: 591/Kep.42/Pan/2008 tanggal 3 Pebruari 2008 tentang Panitia Pengadaan Tanah Keputusan Bupati Lebak No.: 591/Kep.46/Adm.Pem/2008 tanggal 31 Maret 2008 tentang Tim Penilai Harga Tanah Nota Kesepahaman (MoU) antara Panitia Pengadaan Tanah Kab. Lebak dengan BBWS C-3 pada tanggal 3 April Kesepakatan Kerjasama antara Dinas SDA & Pemukiman Provinsi Banten dengan Balai Besar WS. Cidanau-Ciujung-Cidurian tentanga alokasi dana pembebasan tanah untuk pembangunan Bendungan Karian Tahun Anggaran 2008 tanggal 6 Oktober 2008 (Sharing dana sesuai anggaran yang tersedia) 19

a. data jumlah penduduk yang akan dimukimkan kembali; b. kondisi sosial, ekonomi, dan budaya penduduk yang akan dimukimkan kembali;

a. data jumlah penduduk yang akan dimukimkan kembali; b. kondisi sosial, ekonomi, dan budaya penduduk yang akan dimukimkan kembali; SUMBER DAYA AIR Pembangunan waduk di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini terkait dengan adanya peningkatan kebutuhan manusia akan air. Untuk areal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang No.771, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN PU-PR. Bendungan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum. Universitas Islam Indonesia

Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum. Universitas Islam Indonesia PROSES-PROSES DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN KEPENTINGAN UMUM Oleh : Dwi Apriliati Puspitasari 1 ABSTRAKSI Kegiatan pembangunan untuk fasilitas umum selalu membutuhkan tanah sebagai lahan sehingga

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 81/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 81/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 81/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang

Lebih terperinci

[Opini] Maria SW Sumardjono Jum at, 23 September Menghadirkan Negara

[Opini] Maria SW Sumardjono Jum at, 23 September Menghadirkan Negara Menghadirkan Negara Agenda prioritas Nawacita yang kelima mengamanatkan negara untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mendorong reforma agraria (landreform) dan program kepemilikan tanah 9 juta hektar.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81/Permentan/OT.140/8/2013 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI UNTUK PEMBANGUNAN DILUAR KEGIATAN KEHUTANAN

KEBIJAKAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI UNTUK PEMBANGUNAN DILUAR KEGIATAN KEHUTANAN KEBIJAKAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI UNTUK PEMBANGUNAN DILUAR KEGIATAN KEHUTANAN SOLUSI PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN UNTUK KEGIATAN NON KEHUTANAN Disampaikan oleh : Kementerian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 08 Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Tata Ruang Tujuan Sosialisasi Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik ik & Lingkungan,

Lebih terperinci

Reformasi Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Reformasi Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Reformasi Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Pendukung Lainnya Oleh M. Noor Marzuki Direktur Pengadaan Tanah Wilayah I Badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum. bermanfaat bagi seluruh masyarakat merupakan faktor penting yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum. bermanfaat bagi seluruh masyarakat merupakan faktor penting yang harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat merupakan faktor penting yang harus diperhatikan pemerintah dalam rangka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1. UMUM BAB I PENDAHULUAN 1.1. UMUM S ebagai upaya untuk merespons terhadap berbagai perubahan, baik yang terkait perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang berkembang dalam masyarakat dan adanya tuntutan

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 Tentang : Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 Tentang : Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 Tentang : Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 55 TAHUN 1993 (55/1993) Tanggal : 17 JUNI 1993

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan mempunyai fungsi tertentu, dimana kegiatan ekonominya, sektor dan produk unggulannya, mempunyai potensi mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya. Kawasan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. UU No. 30 Tahun 2009 (Pasal 2) tentang Ketenagalistrikkan

PENDAHULUAN. UU No. 30 Tahun 2009 (Pasal 2) tentang Ketenagalistrikkan PENDAHULUAN Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAM UMUM PROPINSI JAWA TIMUR

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAM UMUM PROPINSI JAWA TIMUR -1- PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAM UMUM PROPINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Kelurahan Kadipiro, stakeholders yang mengelola dana pembangunan

BAB V PENUTUP. Kelurahan Kadipiro, stakeholders yang mengelola dana pembangunan BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Dalam pelaksanaan program dana pembangunan kelurahan di Kelurahan Kadipiro, stakeholders yang mengelola dana pembangunan kelurahan di Kota Surakarta, yaitu, Panitia Pembangunan

Lebih terperinci

APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH. Budiman Arif 1

APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH. Budiman Arif 1 APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH Budiman Arif 1 PENDAHULUAN Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih menghadapi permasalahan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN INSENTIF DAN DISINSENTIF PENATAAN RUANG PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DAFTAR ISI BAB I KETENTUAN UMUM... 2 BAB II LANDASAN PENGELOLAAN AIR TANAH... 3 Bagian Kesatu Umum... 3 Bagian Kedua Kebijakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1993 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1993 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1993 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional,

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 10/PRT/M/2015 TANGGAL : 6 APRIL 2015 TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BAB I TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA

Lebih terperinci

2016 KONFLIK PEMBEBASAN LAHAN PEMBANGUNAN BENDUNGAN JATIGEDE DI DESA WADO

2016 KONFLIK PEMBEBASAN LAHAN PEMBANGUNAN BENDUNGAN JATIGEDE DI DESA WADO BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan merupakan perubahan yang terencana menuju suatu perbaikan. Pembangunan memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas seluruh aspek kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

ARTICLE PELEPASAN HAK ATAS TANAH DALAM PEMBANGUNAN JALAN MALALAK KABUPATEN AGAM. (Studi Kasus Pada Proyek Pembangunan Jalan Malalak

ARTICLE PELEPASAN HAK ATAS TANAH DALAM PEMBANGUNAN JALAN MALALAK KABUPATEN AGAM. (Studi Kasus Pada Proyek Pembangunan Jalan Malalak ARTICLE PELEPASAN HAK ATAS TANAH DALAM PEMBANGUNAN JALAN MALALAK KABUPATEN AGAM (Studi Kasus Pada Proyek Pembangunan Jalan Malalak Di Kabupaten Agam) Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hak Atas Tanah Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR SUBSTANSI DALAM PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 1. 2.

DAFTAR ISI TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR SUBSTANSI DALAM PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 1. 2. DAFTAR ISI Halaman: Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar LAMPIRAN I LAMPIRAN II LAMPIRAN III LAMPIRAN IV...... TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 1. Umum 2. Lampiran 1a: Wilayah

Lebih terperinci

METODE KAJIAN Sifat dan Tipe Kajian Komunitas Lokasi dan Waktu

METODE KAJIAN Sifat dan Tipe Kajian Komunitas Lokasi dan Waktu METODE KAJIAN Sifat dan Tipe Kajian Komunitas Rancangan penelitian yang dilakukan dalam melakukan kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Moleong (2005) penelitian kualitatif adalah penelitian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah adalah elemen sangat penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai Negara agraris karena sebagian besar penduduknya adalah petani yang

Lebih terperinci

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR. TAHUN. TENTANG

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR. TAHUN. TENTANG BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR. TAHUN. TENTANG PENYERAHAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM Tanah adalah salah satu harta yang sangat berharga di muka bumi ini, yang dalam sepanjang sejarah peradaban umat manusia tak henti-hentinya memberikan problemaproblema

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhadapan dengan keterbatasan ketersediaan lahan pertanahan.

BAB I PENDAHULUAN. berhadapan dengan keterbatasan ketersediaan lahan pertanahan. 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan dari berbagai dinamika masyarakat, semakin tinggi pula tuntutan terhadap pembangunan untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan kebutuhan pokok bagi makhluk hidup termasuk manusia. Keberadaan air baik kualitas maupun kuantitas akan berpengaruh pada kehidupan manusia. Sistem penyediaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PENGGUNAAN PEMANFAATAN TANAH

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PENGGUNAAN PEMANFAATAN TANAH BUPATI BANYUWANGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PENGGUNAAN PEMANFAATAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS A. Permasalahan Pembangunan Dari kondisi umum daerah sebagaimana diuraikan pada Bab II, dapat diidentifikasi permasalahan daerah sebagai berikut : 1. Masih tingginya angka

Lebih terperinci

KAJIAN ATAS DASAR HUKUM PENGADAAN TANAH BANJIR KANAL TIMUR TA 2008 DAN Landasan hukum pelaksanaan pengadaan tanah Banjir Kanal Timur (BKT)

KAJIAN ATAS DASAR HUKUM PENGADAAN TANAH BANJIR KANAL TIMUR TA 2008 DAN Landasan hukum pelaksanaan pengadaan tanah Banjir Kanal Timur (BKT) KAJIAN ATAS DASAR HUKUM PENGADAAN TANAH BANJIR KANAL TIMUR TA 2008 DAN 2009 1. Latar Belakang Landasan hukum pelaksanaan pengadaan tanah Banjir Kanal Timur (BKT) yaitu Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 2007

Lebih terperinci

Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT.

Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT. KEBIJAKAN PERIZINAN BIDANG SUMBER DAYA AIR PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) NOMOR 85/PUU-XI/2013 ATAS UJI MATERI UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR (Bagian 1) Oleh: R.D Ambarwati,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) alam memiliki nilai sosial

KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) alam memiliki nilai sosial KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) 1. Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. 2. Kebijakan pembangunan pertanahan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. masa depan anak jalanan berusia remaja yang merupakan anak asuh dari. Rumah Singgah Hafara dalam uraian berikut ini:

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. masa depan anak jalanan berusia remaja yang merupakan anak asuh dari. Rumah Singgah Hafara dalam uraian berikut ini: BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat dicermati kesimpulan mengenai orientasi masa depan anak jalanan berusia remaja yang merupakan anak asuh dari Rumah Singgah Hafara dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan kemakmuran masyarakat telah menempuh berbagai cara diantaranya dengan membangun perekonomian yang kuat, yang

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN LAHAN UNTUK PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : a. bahwa dinamika perkembangan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Oleh : Ir. Bahal Edison Naiborhu, MT. Direktur Penataan Ruang Daerah Wilayah II Jakarta, 14 November 2013 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Pendahuluan Outline Permasalahan

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5280,2012 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM I. UMUM Dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. mempergunakan pendekatan one river basin, one plan, and one integrated

IV. GAMBARAN UMUM. mempergunakan pendekatan one river basin, one plan, and one integrated IV. GAMBARAN UMUM A. Umum Dalam Pemenuhan kebutuhan sumber daya air yang terus meningkat diberbagai sektor di Provinsi Lampung diperlukan suatu pengelolaan sumber daya air terpadu yang berbasis wilayah

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran yang sangat strategis dalam mengamankan kelangsungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. KLHS Raperda RTR Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. KLHS Raperda RTR Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kawasan Pantai Utara Jakarta ditetapkan sebagai kawasan strategis Provinsi DKI Jakarta. Areal sepanjang pantai sekitar 32 km tersebut merupakan pintu gerbang dari

Lebih terperinci

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT. BAB I KETENTUAN UMUM.

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT. BAB I KETENTUAN UMUM. SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 52 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pengelolaan lingkungan dalam pembangunan membutuhkan pendekatan perencanaan yang integratif. Dimana komponen pendukung pengelolaan lingkungan memiliki sifat dan ciri

Lebih terperinci

Executive Summary EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN MODEL KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI

Executive Summary EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN MODEL KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN MODEL KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI Desember, 2011 KATA PENGANTAR Laporan ini merupakan Executive Summary dari kegiatan Pengkajian Model Kelembagaan dan Pengelolaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

CATATAN : - Peraturan Daerah ini memiliki 7 halaman penjelasan. - Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan 25 Februari 2015.

CATATAN : - Peraturan Daerah ini memiliki 7 halaman penjelasan. - Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan 25 Februari 2015. PENGELOLAAN SAMPAH PERDA KAB. KETAPANG NO. 1. LD. SETDA KAB. KETAPANG: 24 HLM. PERATURAN DAERAH KAB. KETAPANG TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH : - Pengelolaan sampah harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu

Lebih terperinci

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung Ardhana Januar Mahardhani Mahasiswa Magister Kebijakan Publik, FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya Abstract Implementasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

Bagi masyarakat yang belum menyadari peran dan fungsi Situ, maka ada kecenderungan untuk memperlakukan Situ sebagai daerah belakang

Bagi masyarakat yang belum menyadari peran dan fungsi Situ, maka ada kecenderungan untuk memperlakukan Situ sebagai daerah belakang SUMBER DAYA AIR S alah satu isu strategis nasional pembangunan infrastruktur SDA sebagaimana tercantum dalam Renstra Kementerian PU 2010 2014 adalah mengenai koordinasi dan ketatalaksanaan penanganan SDA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (SDA) bertujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus hak atas tanah yang merupakan hak ekonomi, sosial dan budaya dapat

BAB I PENDAHULUAN. khusus hak atas tanah yang merupakan hak ekonomi, sosial dan budaya dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah kebutuhan dasar manusia sebagai sarana dalam kehidupan dapat di lihat dari berbagai Peraturan Perundang-Undangan, secara khusus hak atas tanah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kedudukan akan tanah dalam kehidupan manusia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

I. PENDAHULUAN. kedudukan akan tanah dalam kehidupan manusia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak-hak atas tanah mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia saat ini, makin padat penduduknya akan menambah lagi pentingnya kedudukan akan tanah dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.207, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Hak Guna Air. Hak Guna Pakai. Hak Guna Usaha. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5578) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai keberlanjutan sistem irigasi serta untuk

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 ayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam rangka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup

Lebih terperinci

Kebijakan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Kebijakan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kebijakan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Oleh: Dr,Ir. Subandono Diposaptono, MEng Direktur Perencanaan Ruang Laut Hp. 081585659073 Disampaikan Pada : FGD Reklamasi FB ITB Bandung, 28

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang

Lebih terperinci

5 Informasi Sosial-Ekonomi

5 Informasi Sosial-Ekonomi 41 5 Informasi Sosial-Ekonomi Perencanaan dan pelaksanaan pemukiman kembali memerlukan data yang dapat dipercaya dan benar yang menunjukkan dampak yang sebenarnya terhadap OTD sehingga dapat disusun dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Yang Maha Esa bagi kelangsungan hidup umat manusia. Arti penting ini

BAB I PENDAHULUAN. Yang Maha Esa bagi kelangsungan hidup umat manusia. Arti penting ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan sumber daya alam yang penting sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi kelangsungan hidup umat manusia. Arti penting ini menunjukan adanya pertalian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Daerah Aliran Sungai Citarum Provinsi Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PARTICIPATORY MAPPING (PM) ATAU PEMETAAN PARTISIPATIF

PELAKSANAAN PARTICIPATORY MAPPING (PM) ATAU PEMETAAN PARTISIPATIF Halaman: 1 dari 7 MAPPING (PM) ATAU Dibuat Oleh Direview Oleh Disahkan Oleh 1 Halaman: 2 dari 7 Riwayat Perubahan Dokumen Revisi Tanggal Revisi Uraian Oleh 2 Halaman: 3 dari 7 Daftar Isi 1. Tujuan... 4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH 1 GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 26 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PEKERJAAN UMUM PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DI DAERAH

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DI DAERAH BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci