Komisi Informasi Pusat 2015

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Komisi Informasi Pusat 2015"

Transkripsi

1 i

2 KAJIAN KELEMBAGAAN SEKRETARIAT KOMISI INFORMASI Pengarag : Evy Trisulo D Tim Penyusun: Annie Londa Aditya Nuriya S Agus Wijayanto Fathul Ulum Nur Latifah Winni Feriana Elbinsar Purba Alissa Riandini Penyunting Naskah: Dyah Aryani Prastyastuti Desain Sampul & Tata Letak: Reno Bima Yudha ISBN: Penerbit: Komisi Informasi Pusat RI Graha PPI Lt. 5, Jalan Abdul Muis No. 8 Jakarta Pusat, Telp: Fax: Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian maupun keseluruhan isi buku ini dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit. Sanksi Pelanggaran: Pasal 112 & 113 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta ii

3 KATA PENGANTAR K ebebasan untuk memperoleh informasi atau Freedom of Information telah lama dikenal sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan beropini, seperti yang tercantum dalam Pasal 19 the United Nation s Universal Declaration of Human Right: Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes the right to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers. Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batasbatas (wilayah). Deklarasi tersebut kemudian diratifikasi oleh seluruh negara anggota deklarasi sebagai bagian dari upaya penting pengakuan tertulis dan komitmen setiap negara untuk memperhatikan dan melindungi hak-hak asasi manusia. Indonesia merupakan negara ketiga di ASEAN yang mencantumkan hak atas informasi dalam konstitusi (2000) setelah Filipina (1987) dan Thailand (1997). Informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang untuk pengembangan pribadi dan lingkungan sosial serta menjadi bagian penting bagi ketahanan sosialnya. Hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik. Keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan iii

4 negara dan Badan Publik lainnya serta segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Pengelolaan informasi publik adalah salah satu upaya untuk mengembangkan masyarakat informasi, yang kemudian masyarakat mendorong pemegang kekuasaan legislatif untuk membentuk Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pada tahun 2008 setelah pembahasan yang sangat lama di DPR maka lahirlah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang mendorong pelaksanaan keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan negara yang transparan dan meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik. Untuk mengawal UU KIP ini maka dibentuklah Komisi Informasi sebagai lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya menetapkan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik dan menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi. Pelaksanaan UU KIP telah memasuki tahun ke-5 sejak 2 tahun pemberlakuan setelah pengundangannya. Efektifitas pelaksanaan UU KIP akan dipengaruhi oleh pemaknaan substansi UU KIP yang selaras dengan tujuan pembentukannya, yakni menjamin pemenuhan hak masyarakat atas informasi, adanya dukungan struktur baik berupa bentuk kelembagaan yang tepat maupun sarana yang memadai dalam mengimplementasikan normanorma hukum tersebut, dan adanya budaya hukum yang baik di tingkat masyarakat maupun elemen-elemen lainnya yang terikat dengan peraturan tersebut. Selama 5 (lima) tahun implementasi UU KIP ini perlu dilakukan penguatan kelembagaan dari segi kesekretariatan, sumber daya manusia, dan sistem penganggaran. Banyak faktor yang mempengaruhi kelembagaan Komisi Informasi, antara lain bunyi dalam UU KIP dan posisi Komisi Informasi yang merupakan lembaga non struktural. Kondisi lainnya yaitu tidak hierarkisnya Komisi Informasi Pusat dengan daerah membuat pola hubungan yang koordinatif serta fungsi Komisi Informasi yang dilebur antara fungsi legislatif sekaligus yudikatif. iv

5 Kondisi ini dapat memberikan tafsir yang berbeda antara pusat dengan daerah serta dengan daerah lainnya, namun demi kepastian hukum maka diperlukan aturan yang seragam yang mengatur mengenai kelembagaan Komisi Informasi itu sendiri. Kami menyadari bahwa kajian kelembagaan sekretariat Komisi Informasi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, masukan, kritik, dan saran pembaca sangat kami harapkan bagi perbaikan kajian ini. Akhir kata, kami berharap Kajian Kelembagaan Sekretariat Komisi Informasi ini dapat memberikan kontribusi dalam penataan Lembaga Non Struktural serta dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah. Jakarta, Agustus 2015 Komisi Informasi Pusat Komisioner Bidang Kelembagaan Evy Trisulo D v

6 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... ix ABSTRAK... viii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Kerangka Pemikiran... 5 C. Metode Kajian... 6 BAB II POSISI LNS DALAM PEMERINTAHAN INDONESIA A. Konsep Lembaga Negara B. Lembaga Negara Non-Struktural di Indonesia C. Perbandingan Kelembagaan Lembaga Negara Non-Struktural di Indonesia BAB III PRAKTIK STRUKTUR KELEMBAGAAN SEKRETARIAT PADA KOMISI INFORMASI SE-INDONESIA A. Kelembagaan B. Kesekretariatan C. Sumber Daya Manusia D. Anggaran vi

7 BAB IV ANALISIS STRUKTUR KELEMBAGAAN SEKRETARIAT IDEAL PADA KOMISI INFORMASI SE-INDONESIA A. Kedudukan Komisi Informasi sebagai Lembaga Negara Non Struktural B. Struktur Kesekretariatan Komisi Informasi dalam UU KIP BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vii

8 ABSTRAK K omisi Informasi merupakan lembaga mandiri yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang mengawal jaminan akses masyarakat Indonesia terhadap informasi publik. Komisi Informasi terbentuk pertama kali pada tahun 2009 (Pusat) yang ditandai dengan Pengangkatan Anggota Komisi Informasi Pusat Periode Tahun melalui Keputusan Presiden Nomor 48/P Tahun Kemudian, sampai dengan saat ini ada 27 Komisi Informasi Provinsi, 3 Komisi Informasi Kabupaten, dan 1 Komisi Informasi Kota yang telah terbentuk. Namun demikian, masih banyak yang harus ditingkatkan terkait dengan tata kelola kelembagaan dan kesekretariatan Komisi Informasi. Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemilihan Umum, Ombudsman RI dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang walaupun dasar pembentukannya sama yakni undangundang namun struktur kesekretariatan keempat lembaga tersebut sudah lebih jelas pola tata kerja dan pertanggungjawabannya. Sedangkan, kesekretariatan Komisi Informasi dalam UU KIP hanya dijabarkan pada 1 (satu) pasal saja yaitu Pasal 29 mengenai sekretariat dan penatakelolaan Komisi Informasi. Kajian ini merupakan potret struktur kelembagaan dan sekretariat Komisi Informasi di Indonesia yang dibagi menjadi 4 bagian pembahasan yaitu sisi kelembagaan, kesekretariatan, sumber daya manusia, dan anggaran. viii

9 Keempat hal ini dikaitkan juga dengan posisi Komisi Informasi sebagai lembaga non struktural dan undang-undang yang membentuknya karena 2 (dua) faktor ini memiliki peranan penting dalam kebijakan yang dapat diambil untuk menghadapi kendala seperti keberadaan sekretaris yang ex-officio dan tumpang tindih antara tugas, fungsi dan pertanggungjawabannya, postur anggaran yang tidak sejalan dan sebangun dengan maksud serta tujuan Komisi Informasi dalam menjalankan UU KIP, dan kendala lainnya. Sehingga diharapkan melalui kajian ini dapat dibuat aturan atau tata kerja kesekretariatan, dalam hal ini juga penamaan/nomenklatur yang merepresentasikan pembagian bidang pada Anggota Komisi Informasi dan kedudukan kelembagaan Komisi Informasi sebagai lembaga non struktural dan dasar pembentukannya. Selain itu, aturan mengenai sumber daya manusia yang harus disesuaikan dengan kebutuhan Komisi Informasi sebagai lembaga quasi yudisial. ix

10 x

11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang K omisi Informasi merupakan lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan Petunjuk Teknis Standar Layanan Informasi Publik dan menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi. 1 Berdasarkan ketentuan UU KIP, Komisi Informasi terdiri atas Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi provinsi, dan jika dibutuhkan Komisi Informasi kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya melakukan penyelesaian sengketa informasi publik, Komisi Informasi didukung secara administratif, keuangan, dan tata kelola Komisi Informasi yang dilakukan oleh Sekretariat Komisi. 2 UU KIP menyebutkan bahwa sekretariat Komisi Informasi dilaksanakan oleh Pemerintah. 3 Pasal selanjutnya, menyebutkan bahwa sekretariat Komisi Informasi Pusat dipimpin oleh sekretaris yang ditetapkan oleh Menteri yang tugas dan wewenangnya di bidang komunikasi dan informatika berdasarkan 1 Pasal 23 UU KIP. 2 Lihat Pasal 29 ayat (1) UU KIP. 3 Lihat Pasal 29 ayat (2) UU KIP. 1

12 usulan Komisi Informasi. 4 Sedangkan terhadap sekretariat Komisi Informasi provinsi dilaksanakan oleh pejabat yang tugas dan wewenangnya di bidang komunikasi dan informasi di tingkat provinsi yang bersangkutan. 5 Sampai saat ini, Komisi Informasi Provinsi yang telah terbentuk sejumlah 27. Komisi Informasi Kabupaten sejumlah 3, dan 1 Komisi Informasi Kota. Namun, dari ke-32 Komisi Informasi yang terbentuk tidak semua memiliki sekretariat dan walaupun sudah ada dukungan sekretariat tetapi jabatannya masih rangkap (ex officio). Kondisi jabatan yang rangkap atau masih melekat disebabkan oleh Sampai saat ini, Komisi Informasi Provinsi yang telah terbentuk sejumlah 27. Komisi Informasi Kabupaten sejumlah 3, dan 1 Komisi Informasi Kota. Namun, dari ke-32 Komisi Informasi yang terbentuk tidak semua memiliki sekretariat dan walaupun sudah ada dukungan sekretariat tetapi jabatannya masih rangkap (ex officio). ketidakjelasan peraturan daerah yang mengaturnya namun Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik (Perki PPSIP) mengatur bahwa kepaniteraan yang bertugas dalam proses penyelesaian sengketa informasi haruslah sekretariat Komisi Informasi tersebut. Hal ini yang menyebabkan terhambatnya Komisi Informasi tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsinya yang 4 Pasal 29 ayat (3) UU KIP. 5 Lihat Pasal 29 ayat (4) UU KIP 2

13 utama, yaitu penyelesaian sengketa informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU KIP. Kajian mengenai kelembagaan sekretariat di Komisi Informasi se-indonesia adalah untuk menjabarkan kondisi kelembagaan Komisi Informasi, susunan organ dan dukungan sekretariat, dukungan anggaran serta Sumber Daya Manusia dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan Komisi Informasi. Hasil pemetaan tersebut dikaji dengan berbagai masukan ahli dan akan memberikan rekomendasi dalam kelembagaan Komisi Informasi yang sesuai dengan kekhususan lembaga ini. Kajian ini akan digunakan bagi Komisi Informasi untuk dijadikan pedoman mengenai Kelembagaan Komisi Informasi se-indonesia baik bagi pihak internal Komisi Informasi sendiri maupun pihak eksternal yaitu Kementerian, Lembaga dan instansi terkait lainnya. Melalui kajian ini diharapkan dapat menjawab permasalahanpermasalahan mengenai bagaimana kedudukan Komisi Informasi sebagai Lembaga Non-Struktural dan bagaimana struktur kesekretariatan Komisi Informasi dalam UU KIP. Untuk itu tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan Komisi Informasi yang terdiri dari Komisi Informasi Pusat, 27 Komisi Informasi Provinsi, 3 Komisi Informasi Kabupaten, dan 1 Komisi Informasi Kota sebagai Lembaga Non-Struktural yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan memiliki fungsi gabungan antara legislatif dan yudikatif, serta untuk mengetahui dan menganalisis struktur kesekretariatan Komisi Informasi dalam UU KIP guna mengoptimalkan Komisi 3

14 Informasi dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya. Kegunaan kajian secara teoritis yakni sebagai bahan kajian bagi pengembangan dibidang ketatanegaraan pada umumnya dan dalam bidang lembaga negara non struktural khususnya yang berkaitan dengan kelembagaan sekretariat Komisi Informasi, serta menambah bahan kepustakaan lembaga negara non struktural dalam memetakan dan mencari pola kelembagaan sekretariat Komisi Informasi guna mengoptimalkan Komisi Informasi dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya sebagaimana diamanatkan dalam UU KIP. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan literatur untuk dipergunakan dalam kajian lebih lanjut. Kegunaan kajian secara praktis, yakni sebagai sumbangan pemikiran bagi lembaga eksekutif dalam upaya pelaksanaan dan penyelarasan sistem pemerintahan baik di pusat maupun di daerah dengan konsep otonomi daerah yang dicanangkan agar terhindar dari kemungkinan kontradiksi serta inkonsistensi yang terjadi akibat persinggungan kewenangan pemerintah pusat maupun daerah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, sebagai sumbangan pemikiran bagi lembaga yudikatif dalam upaya pelaksanaan dan penyelarasan sistem peradilan di Indonesia akibat timbulnya lembaga-lembaga non struktural baru yang membantu tugas dan fungsi peradilan pada umumnya dalam sub kewenangan absolut tersendiri/khusus seperti Komisi Informasi yang memiliki kewenangan yudikatif dalam hal Sengketa 4

15 Informasi Publik sebagaimana tertuang dalam UU KIP, dan sebagai sumbangan pemikiran bagi lembaga legislatif dalam upaya pelaksanaan dan penyelarasan pembentukan regulasi baik antar lembaga/intansi lainnya maupun bagi lembaga dimaksud agar terhindar dari kemungkinan kontradiksi serta inkonsistensi yang terjadi akibat ketidakhati-hatian para pembuat undangundang dalam menyelaraskan antara peraturan satu dengan peraturan lainnya. B. Kerangka Pemikiran UUD 1945 Lembaga Utama (Primary Constitutional Organs) Lembaga Penunjang (State Auxiliary Bodies) KIP UU 14/2008 KELEMBAGAAN SEKRETARIAT KOMISI INFORMASI PASAL 23, 28 & 29 UU 14/2008 Lembaga Mandiri (Fungsi Legislatif & Yudikatif) Anggaran (Sumber & Pertanggungjawaban) Sekretariat & penatakelolaan Komisi Informasi oleh Pemerintah (Bid. Komunikasi & Informatika) 5

16 C. Metode Kajian Metode Kajian sangat penting dalam rangka memperoleh hasil kajian yang sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta obyek yang dikaji. Untuk itu kajian ini berdasarkan metodemetode sebagai berikut: 1. Metode Pendekatan Penyusunan kajian ini menggunakan metode deskriptif normatif, yaitu metode yang dilakukan dengan menginventarisasi, mengkaji, meneliti, mempelajari data sekunder dengan didukung oleh data primer, serta menelaah konsep-konsep, teori-teori, dan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan materi kajian ini serta menjabarkan kajian yang bertujuan untuk membuat pencandaraan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta yang ada dalam materi kajian ini yaitu kelembagaan sekretariat Komisi Informasi se-indonesia. 2. Tahap Kajian Tahap kajian dilakukan dengan pengumpulan data primer dan sekunder yang dilakukan dengan cara: a. Kepustakaan Bertujuan untuk memperoleh data sekunder dengan melakukan kajian terhadap berbagai literatur guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan para ahli atau pihak-pihak yang berwenang serta peraturan perundang-undangan tentang permasalahan yang berhubungan dengan kelembagaan 6

17 sekretariat Komisi Informasi se-indonesia sebagai pedoman pembuatan kajian ini yang dikategorikan sebagai berikut: 1) Bahan hukum primer Merupakan data yang langsung diterima yang berasal dari peraturan perundang-undangan: a) Undang-Undang Dasar 1945 b) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat c) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi d) UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik e) UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia f) UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum g) UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara h) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan UU KIP i) Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan 7

18 j) Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik. 2) Bahan hukum sekunder Merupakan data yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer antara lain laporan-laporan, bukubuku yang ditulis para ahli, literatur hasil kajian dan peraturan yang berkenaan dengan objek kajian tersebut. 3) Bahan hukum tersier Bahan hukum yang menunjang penggunaan bahanbahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain adalah jurnal, media komunikasi, data yang diperoleh melalui internet dan media cetak. b. Pengumpulan Data Lapangan Bertujuan untuk memperoleh data primer yaitu dengan melakukan observasi dengan menggunakan kuesioner yang diisi oleh koresponden yakni Komisi Informasi se- Indonesia dan wawancara di Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta dan Komisi Informasi Provinsi Kepulauan Riau serta Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat dan Komisi Informasi Provinsi Banten pada saat konsinyasi 8

19 kajian dilakukan, untuk memperoleh data primer sebagai penunjang data sekunder. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan pengumpulan data lapangan melalui kuesioner, yang dilakukan dengan membaca, mencatat, mengutip data dari buku, peraturan perundang-undangan maupun literatur lain yang berkaitan dengan permasalahan dalam kajian ini serta dilakukan dengan pengumpulan datadata dari pihak yang berkompeten di bidangnya, observasi lapangan dan wawancara pada beberapa Komisi Informasi Provinsi. Pemilihan Komisi Informasi Provinsi Kepulauan Riau sebagai salah satu locus pengumpulan data karena merupakan salah satu dari 8 Komisi Informasi Provinsi yang terbentuk pada awal terbentuknya UU KIP dan telah melalui proses seleksi Anggota Komisi Informasi Provinsi untuk periode berikutnya serta mewakili Komisi Informasi Provinsi dari wilayah Barat. Pemilihan Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta sebagai salah satu locus penelitian karena merupakan Komisi Informasi yang berada di wilayah Ibu Kota Negara dan didukung oleh Pemerintah Provinsi yang memiliki kekhususan serta mewakili Komisi Informasi Provinsi dari wilayah Tengah. 9

20 4. Metode Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan metode deskriptif analisis, artinya data yang diperoleh dari hasil kajian melalui pengisian kuesioner yang telah terkumpul sebagai penunjang kajian ini akan disusun secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta obyek yang dikaji sehingga akan diperoleh suatu gambaran yang menyeluruh tentang permasalahan yang akan dikaji. 5. Lokasi Kajian a. Komisi Informasi Pusat, b. 27 Komisi Informasi Provinsi, c. 3 Komisi Informasi Kabupaten, dan d. 1 Komisi Informasi Kota. 10

21 BAB II POSISI LEMBAGA NON-STRUKTURAL DALAM PEMERINTAHAN INDONESIA A. Konsep Lembaga Negara K onsepsi pembentukan lembaga negara secara umum berkaitan langsung dengan tugas dan fungsi penyelenggaraan negara yang melatarbelakangi dibentuknya suatu lembaga. Secara singkat, teori dan praktik pengelompokan fungsi-fungsi tersebut dimulai jauh sebelum Montesquieu memperkenalkan teori Trias Politika. Pemerintahan Perancis pada abad ke-xvi telah membagi fungsi kekuasaan yang dimilikinya ke dalam lima bagian khusus, yaitu fungsi diplomacie, fungsi defencie, fungsi financie, fungsi justicie, dan fungsi policie. Fungsifungsi tersebut kemudian dikaji kembali oleh John Locke dan dipersempit menjadi tiga fungsi kekuasaan, yaitu fungsi legislatif, eksekutif dan federatif, dengan menempatkan fungsi peradilan dalam kekuasaan eksekutif. Montesquieu kemudian mengembangkan pendapat tersebut dengan berpendapat bahwa fungsi federatif merupakan bagian dari fungsi eksekutif dan fungsi yudisial perlu dipisahkan tersendiri. Sehingga, Trias Politica Montesquieu terdiri atas fungsi eksekutif, fungsi legislatif dan fungsi yudisial. Ketiga fungsi tersebut kemudian dilembagakan dalam tiga organ negara untuk menjalankan fungsi masing-masing yaitu pemerintah, parlemen 11

22 dan pengadilan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan semakin berkembangnya sistem pemerintahan di seluruh dunia serta dengan muncul dan berkembangnya doktrin welfare state (negara kesejahteraan) maka ketiga organ negara sederhana tersebut mulai berkembang dengan dibentuknya berbagai lembaga-lembaga negara baru. Jimly Asshidiqie menjelaskan bahwa konsep organ negara dan lembaga negara adalah sangat luas maknanya, sehingga sesuai perkembangan tata negara saat ini, lembaga negara dan organ negara tidak dapat dipersempit hanya pada pengertian ketiga cabang kekuasan seperti yang dimaksud Montesquieu. Oleh karenanya, terdapat beberapa pengertian yang mungkin, yaitu: 6 1. Organ negara paling luas mencakup setiap individu yang menjalankan fungsi law-creating dan law-applying; 2. Organ negara dalam arti luas tetapi lebih sempit dari pengertian pertama, yaitu mencakup individu yang menjalankan fungsi law-creating dan law-applying dan juga mempunyai posisi sebagai atau dalam struktur jabatan kenegaraan atau jabatan pemerintahan; 3. Organ negara dalam arti yang lebih sempit, yaitu badan atau organisasi yang menjalankan fungsi law-creating dan law-applying dalam kerangka struktur dan sistem kenegaraan atau 6 Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, 2006, hlm

23 pemerintahan. Dalam pengertian ini, lembaga negara mencakup pengertian lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU, Peraturan Presiden, ataupun oleh keputusan-keputusan yang tingkatannya lebih rendah, baik di tingkat Pusat ataupun di tingkat daerah; 4. Organ atau lembaga negara yang lebih sempit lagi adalah hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU atau oleh peraturan yang lebih rendah dan lebih mencakup pula pada lembaga negara tingkat pusat dan lembaga negara tingkat daerah; 5. Untuk memberikan kekhususan kepada lembaga-lembaga negara yang berada di tingkat pusat yang pembentukannya diatur dan ditentukan oleh UUD 1945, maka lembagalembaga seperti MPR, DPR, MA, MK dan BPK dapat pula disebut sebagai lembaga negara yang tersendiri, yaitu lembaga negara dalam arti sempit. Terkait dengan pengertian keempat dan kelima, Jimly kemudian lebih jauh menjabarkan dengan teori tentang norma sumber legitimasi, yaitu dengan memperhatikan bentuk norma hukum yang menjadi sumber atau yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara, dan berkaitan dengan siapa yang merupakan sumber atau pemberi kewenangan terhadap lembaga negara yang bersangkutan. Di Indonesia sendiri dengan mengacu pada UUD Negara RI Tahun 1945 lembaga negara pada tingkat 13

24 pusat, dapat dibedakan dalam empat tingkatan kelembagaan, yaitu: 7 1. Lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Lembaga yang dibentuk Presiden, dan Keputusan berdasarkan undangundang Presiden. Misalnya Presiden, yang diatur atau Wakil Presiden, Dewan ditentukan lebih lanjut Perwakilan Rakyat (DPR), dalam atau dengan Dewan Perwakilan Daerah Peraturan Pemerintah, (DPD), Majelis Peraturan Presiden, dan Permusyawaratan Rakyat Keputusan Presiden. (MPR), Mahkamah Konstitusi Misalnya, Kejaksaan (MK), Mahkamah Agung Agung, Bank Indonesia, (MA) dan Komisi Yudisial (KY). Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi 2. Lembaga yang dibentuk Pemberantasan Tindak berdasarkan undang-undang Pidana Korupsi (KPK), yang diatur atau ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Komisi Informasi (KI), dan sebagainya. Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Keputusan Presiden. Misalnya, Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan 7 Ibid. 14

25 Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi Informasi (KI), dan sebagainya. 3. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Lembaga negara pada tingkat ini pembentukan sepenuhnya bersumber dari beleid Presiden. Artinya, pembentukan, perubahan, ataupun pembubarannya tergantung pada kebijakan Presiden semata. 4. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri atau keputusan pejabat di bawah Menteri. Atas inisiasi menteri sebagai pejabat publik berdasarkan kebutuhan berkenaan dengan tugas-tugas pemerintahan dan pembanguan di bidang yang menjadi tanggung jawabnya, dapat saja dibentuk badan, dewan, lembaga atau panitia-panitia yang sifatnya tidak permanen dan spesifik. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan lebih dari 34 buah lembaga, baik yang hanya disebut secara eksplisit maupun yang disebut dengan implisit dan diatur keberadaannya dalam UUD Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat ditentukan dari segi fungsi dan hirarki. Dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga negara tersebut dapat dibedakan ke dalam tiga lapis, yaitu: 15

26 1. Lembaga Tinggi Negara Terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, dan BPK. 2. Lembaga Negara Lembaga ini ada yang mendapatkan kewenangannya dari UU, dan ada pula yang mendapatkan kewenangannya dari UUD, misalnya Komisi Yudisial, TNI, Kepolisian RI. Sedangkan lembaga yang kewenangannya bersumber dari UU, misalnya Komnas HAM, Komisi Informasi, dan sebagainya. Berdasarkan dasar pembentukannya kedudukan kedua jenis lembaga negara tersebut sebanding satu sama lain walaupun kedudukannya tidak lebih tinggi, tetapi keberadaannya disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang, sehingga tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentukan undangundang. Lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusi lapis kedua itu adalah Menteri Negara, TNI, Kepolisian RI, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Bank sentral. Di samping itu, terdapat pula organ konstitusi yang termasuk kategori lembaga negara yang bersumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang. Berbeda dengan lembaga negara yang pembentukannya berasal dari peraturan di bawah UU contoh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang artinya jika dibentuk oleh Keputusan Presiden maka Presiden berhak membubarkannya. 16

27 Artinya secara hukum hanya didasarkan atas kebijakan presiden. Jika presiden hendak membubarkannya lagi, maka Presiden berwenang untuk itu Lembaga Daerah Merupakan lembaga daerah yang diatur dalam Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan tersebut diatur adanya beberapa organ jabatan yang dapat disebut sebagai organ daerah atau lembaga daerah yang merupakan lembaga negara yang terdapat di daerah. Antara lain, Pemerintah Daerah Provinsi, Gubernur, DPRD Provinsi, Pemerintahan Daerah Kabupaten, Bupati, DPRD Kabupaten, Pemerintahan Daerah Kota, Walikota, dan DPRD Kota. 9 Disamping lembaga-lembaga daerah yang secara tegas tercantum dalam UUD 1945, dapat pula dibentuk lembagalembaga yang merupakan lembaga daerah lainnya. Keberadaan lembaga-lembaga daerah itu ada yang diatur dalam undangundang dan ada pula yang diatur dalam atau dengan peraturan daerah. Pada pokoknya, keberadaan lembaga-lembaga daerah yang tidak disebutkan dalam UUD 1945, haruslah diatur dengan undang-undang. Namun untuk menjamin ruang gerak daerah guna memenuhi kebutuhan yang bersifat khas daerah, dapat saja ditentukan bahwa pemerintahan daerah sendiri akan 8 Ibid, hlm Ibid, hlm

28 mengatur hal itu dnegan peraturan daerah sesuai yang diatur dalam undang-undang. Sedangkan pembedaan dari segi fungsi, yaitu organ utama atau primer (primary constitutional organ) dan organ pendukung atau penunjang (state auxiliary bodies) yang dapat dibedakan dalam tiga ranah (domain), yaitu: 1. Kekuasaan Eksekutif atau pelaksana (administratur, bestuurzorg) Terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan satu kesatuan institusi kepresidenan. 2. Kekuasaan legislatif dan fungsi pengawasan 10 Dalam fungsi ini terdapat empat organ atau lembaga, yaitu DPR, DPD, MPR, dan BPK. Dalam kelompok cabang legislatif, lembaga parlemen yang utama adalah DPR, sedangkan DPD bersifat penunjang. Namun dalam bidang pengawasan yang menyangkut kepentingan daerah, DPD tetap mempunyai kedudukan yang penting, karena itu DPD dapat disebut sebagai lembaga utama (main state organ). 11 MPR adalah sebagai lembaga perpanjangan fungsi (extension) parlemen atau lembaga parlemen ketiga meskipun tugasnya tidak bersifat rutin, dan kepemimpinanya dapat dirangkap oleh pimpinan DPR dan DPD, MPR tetap disebut sebagai lembaga utama. Karena MPR yang berwenang mengubah dan 10 Ibid, hlm Ibid, hlm

29 menetapkan undang-undang dasar dan kewenangan penting lainnya. 3. Kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial 12 Meskipun lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman ada dua, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tetapi di samping keduanya ada pula Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan perilaku hakim. Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang (auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman dan bukanlah sebagai penegak hukum tetapi merupakan lembaga penegak etika kehakiman. Sejalan dengan pendapat Jimly sebagaimana yang telah diuraikan di atas, Zoelva kemudian menjelaskan pula jenis-jenis organ negara dalam UUD Zoelva menerangkan bahwa UUD 1945 menyebutkan paling tidak 8 (delapan) organ negara yang menerima kewenangan kosntitusional langsung dari UUD 13, yaitu DPR, DPD, MPR, BPK, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Selain itu, terdapat banyak institusi atau organ baik sebelum atau setelah perubahan UUD 1945 yang menjalankan fungsi negara tetapi tidak disebutkan dalam UUD 1945 baik secara ekspresif verbis maupun tidak. Institusi atau organ ini lahir atau dibentuk baik 12 Ibid, hlm Hamdan Zoelva, Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia, Jurnal Negarawan, Sekretariat Negara RI, November 2010, hlm

30 berdasarkan undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan presiden. Zoelva kemudian menjelaskan lebih lanjut mengenai organ konstitusional yang dimaksud di atas, bahwa ukuran utama sebuah organ atau institusi disebut organ konstitusional adalah apabila organ tersebut memenuhi paling tidak dua syarat, yaitu pembentukan oleh konstitusi negara baik yang disebutkan dalam undang-undang dasar maupun dibentuk oleh institusi negara yang tidak disebut dalam undang-undang dasar dan dibentuk melalui Zoelva kemudian mendefiniskan lembaga non struktural sebagai institusi yang dibentuk karena urgensi terhadap tugas khusus tertentu yang tidak dapat diwadahi dalam kelembagaan pemerintah (konvensional) dengan keunikan tertentu dan memiliki karakteristik tugas yang urgen, unik, dan terintegrasi serta efektif mekanisme konstitusional yang legal. Yaitu mekanisme yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta organ yang dibentuk itu menjalankan fungsi atau kekuasaan negara. Sehingga, dengan demikian organ konstitusional ini dapat merupakan organ negara yang disebut dalam konstitusi, organ yang dibentuk berdasarkan undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan lainnya. Hans Kelsen menggunakan istilah organ negara (state organ) yang mengandung makna siapa saja yang menjalankan fungsi yang ditentukan oleh 20

31 suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ. Bahkan setiap organ yang memegang jabatan dapat disebut organ negara sepanjang menciptakan atau menjalankan norma. 14 B. Lembaga Negara Non-Struktural di Indonesia Organ konstitusional yang dibentuk undang-undang seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, pada umumnya memiliki sifat sebagai berikut: Independen, dalam arti tidak berada di bawah pengaruh satu organ kekuasaan negara yang utama. 2. Menjalankan fungsi pemerintahan yang bersifat eksekutif, legislatif terbatas, bahkan ada yang menjalankan fungsi yudikatif sekaligus. 3. Pengisian jabatan atau anggotanya melibatkan masyarakat. Dengan merujuk pada sifat-sifat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa organ konstitusional yang dibentuk berdasarkan undang-undang haruslah organ negara yang sangat penting yaitu sifat kewenangan organ yang bersangkutan harus diberikan oleh undang-undang atau karena kebutuhan adanya kepentingan kontrol rakyat melalui DPR. Terlebih UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur atau memberi petunjuk mengenai pembentukan berbagai organ konstitusional selain organ konstitusional yang ditentukan dalam undang-undang 14 Ibid, hlm Ibid. 21

32 dasar yang pembentukan maupun penghapusannya harus berdasarkan ketentuan konstitusi. Oleh karena itulah, organ konstitusional di luar yang dibentuk undang-undang dasar lahir dan tumbuh sesuai kebutuhan penyelenggaraan fungsi negara. Sehingga organ yang demikian dapat pula dikategorikan dalam kelompok lembaga state auxiliary bodies atau organ negara tambahan seperti yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya. Di Indonesia, organ negara tambahan tersebut dapat berarti lembaga negara non-departemen atau yang sekarang disebut dengan lembaga negara non-kementerian serta lembaga non-struktural. Zoelva kemudian mendefiniskan lembaga non struktural sebagai institusi yang dibentuk karena urgensi terhadap tugas khusus tertentu yang tidak dapat diwadahi dalam kelembagaan pemerintah (konvensional) dengan keunikan tertentu dan memiliki karakteristik tugas yang urgen, unik, dan terintegrasi serta efektif. 16 Muladi kemudian mendefinisikan Lembaga Non- Struktural (LNS) sebagai suatu lembaga negara independen (national commission) yang bertujuan untuk mengakomodasi kepentingan negara melalui pengaturan dan pelayanan kepada masyarakat untuk mewujudkan tujuan nasional Ibid, hlm Muladi, Penataan Lembaga Non-Struktural (LNS) Dalam Kerangka Reformasi Birokrasi serta Upaya Formulasi Kebijakan Strategis Kelembagaan Negara, Jurnal Negarawan, Sekretariat Negara RI, November 2010, hlm

33 Secara umum, Jimly 18 menyebut LNS dengan istilah lembagalembaga (special agencies) untuk menjelaskan lembaga negara yang sifatnya khusus di luar struktur kementerian. Namun secara khusus, dalam banyak literatur menggunakan istilah independent bodies, auxiliary bodies, self regulatories bodies, dan sebagainya. Jimly juga menyebutkan tujuan dan manfaat pembentukan lembaga-lembaga tersebut, yaitu: 1. Efisiensi pelayanan; 2. Pemusatan (konsentrasi/integrasi) fungsional; 3. Independensi dari intervensi politik dan mencegah konflik kepentingan; 4. Prinsip pembagian fungsi-fungsi kekuasaan negara dan pemerintahan sehingga tidak ada yang tumpang tindih. Muladi menjelaskan bahwa salah satu penyebab terbentuknya lembaga non-struktural adalah transisi demokrasi sebagaimana yang dikutip dari Klug yaitu each new wave of state reconstruction seems to produce new variations in the division of power, between centre and periphery and between different organs of governent, as well as new conceptions of the relationship between different branches of government. 19 Pembentukan lembaga baru merupakan upaya untuk mendorong transparansi, pemerintahan yang bersih, pemenuhan hak asasi manusia, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. 18 Jimly, Beberapa Catatan Tentang Lembaga-Lembaga Khusus dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Seminar Nasional Lembaga-Lembaga Non Struktural, Kementerian Pertahanan, Maret 2011, hlm Op.Cit. hlm

34 Jimly berpendapat bahwa pembentukan komisi negara independen di negara dunia ketiga didorong oleh kenyataan bahwa birokrasi di lingkungan pemerintahan dinilai belum memenuhi tuntutan kebutuhan terhadap pelayanan umum dengan standar mutu dan ragam yang semakin meningkat. 20 Salah satu pionir dalam pembentukan komisi negara dalam proses transisi demokrasi adalah Afrika Selatan, pembentukan tersebut diakibatkan peralihan sistem dan struktur serta kultur lembaga pemerintahan pasca rasisme. Secara umum, terdapat beberapa faktor lain yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga non struktural, antara lain 21 : 1. Tiadanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada akibat asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sulit diberantas. 2. Tidak independennya suatu lembaga negara sehingga tidak imun terhadap intervensi suatu kekuasaan negara atau kekuasaan lain. 3. Ketidakmampuan lembaga pemerintah yang ada untuk melakukan tugas-tugas yang urgent dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan korupsi, kolusi dan nepotisme. 20 Ibid. 21 Firmansyah et al, Assidiqie, Indrayana, dan Budiono dalam Kajian Desain Kelembagaan Pemerintah Pusat (Arsitektur Kelembagaan Tahun ), Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan Deputi Bidang Kelembagaan & Sumber Daya Aparatur Negara, LAN, Jakarta, 2013, hlm

35 4. Tekanan lembaga-lembaga internasional, tidak hanya sebagai prasyarat memasuki pasar global tetapi juga demokrasi sebagai satu-satunya jalan bagi negara-negara yang asalnya berada dibawah kekuasaan yang otoriter. Secara rinci, Jimly kemudian melakukan pengelompokkan dan pengklasifikasian lembaga negara non struktural berdasarkan dasar hukum pembentukannya dan struktur dan fungsi politik Berdasarkan Dasar Hukum Pembentukan a) Undang-Undang Dasar b) Undang-Undang c) Peraturan Pemerintah d) Peraturan Presiden e) Peraturan Menteri f) Peraturan Daerah g) Peraturan Kepala Daerah 2. Berdasarkan Struktur dan Fungsi Politik a) Fungsi Legislatif-Regulatif: - Dependen, terkait dengan lembaga legislatif; - Independent Self-Regulatory Bodies; - Campuran, terkait dengan lembaga legislatif dan eksekutif dan/atau yudisial. b) Fungsi Eksekutif-Administratif: - Dependen, terkait dengan lembaga eksekutif; - Independen, meski terkait dengan lembaga eksekutif; 22 Op. Cit., Jimly, hlm

36 - Campuran, terkait dengan fungsi lembaga eksekutif dan lembaga lainnya. c) Fungsi Judisial dan Penegakan Hukum - Dependen, terkait dengan lembaga yudisial; - Independen, meski terkait dengan lembaga yudisial, seperti independent judicial commission; - Campuran, terkait dengan fungsi lembaga yudisial dan fungsi lainnya. d) Fungsi Campur-Sari - Dependen, terkait dengan perbagai fungsi lembaga eksekutif, legislatif dan yudisial; - Independen, meski terkait dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudisial. Lembaga non struktural independen yang dimaksud memiliki ciri sebagai berikut: Independen dalam hal ini memiliki makna bahwa pemberhentian anggota hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undangundang pembentukannya, tidak seperti lembaga biasa yang dapat diberhentikan sewaktu-waktu oleh Presiden. 2. Memiliki kepemimpinan yang kolektif 3. Kepemimpinan tidak dikuasai mayoritas partai tertentu 23 Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan, Kajian Desain Kelembagaan Pemerintah Pusat (Arsitektur Kelembagaan Tahun ), Deputi Bidang Kelembagaan & Sumber Daya Aparatur Negara, LAN, Jakarta, 2013, hlm

37 4. Masa jabatan komisi tidak habis bersamaan tetapi bergantian (staggered terms) 5. LNS tersebut juga diidentifikasi sebagai lembaga yang berfungsi di luar fungsi legislatif, yudikatif, dan eksekutif atau mungkin juga campur sari diantara ketiganya. Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, posisi lembaga non-struktural dapat terlihat dalam bagan berikut: Sumber: Pola Struktur Kelembagaan Lembaga Non Struktural, Diskusi Ahli, Jakarta, 26 Mei 2015 Gambar II.1 Peta Kelembagaan Pemerintahan Pusat Penataan kelembagaan lembaga non struktural tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut: 24 Memiliki kepemimpinan yang kolektif (board), dimana anggotanya dapat berasal dari masyarakat dan swasta. 24 Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan, Ibid., hlm

38 Mengkoordinasikan kegiatan yang dilaksanakan beberapa lembaga. Karakteristik susunan organisasinya ditandai dengan adanya board yang di-support oleh sekretariat. Masa jabatan komisi tidak habis bersamaan tetapi bergantian (staggered terms) Sumber pendanaan berasal dari APBN dan sumber lainnya. Menurut berbagai sumber, hingga tahun 2013 setidaknya terdapat 135 LNS yang dapat diidentifikasi sebagaimana yang terdapat dalam bagan di atas. Secara keseluruhan 135 LNS tersebut dapat dibagi menjadi beberapa bentuk berikut: Sumber : Kajian Desain Kelembagaan Pemerintah Pusat (Arsitektur Kelembagaan Tahun ) 25 Gambar II.2 Variasi Bentuk Kelembagaan Non Struktural (LNS) 25 Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan, Ibid, hlm

39 Jumlah tersebut kemudian mengalami penyusutan dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 176 Tahun 2014 tentang pembubaran 10 lembaga non-struktural. Sehingga, jumlah lembaga non struktural per Desember 2014, pasca diterbitkannya Perpres tersebut adalah berjumlah 125 lembaga. Kesepuluh lembaga yang dimaksud yaitu: Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional RI 2. Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat 3. Dewan Buku Nasional 4. Komisi Hukum Nasional 5. Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Nasional 6. Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan 7. Badan Pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu 8. Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak 9. Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia 10. Dewan Gula Indonesia 26 Pasal 1 Perpres No. 176 Tahun

40 Sumber: Pola Struktur Kelembagaan Lembaga Non Struktural, Diskusi Ahli, Jakarta, 26 Mei 2015 Gambar II.3 Format Dasar Organisasi LNS C. Perbandingan Kelembagaan Beberapa Lembaga Negara Non-Struktural di Indonesia 1. Komisi Pemberantasan Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. 27 Komisi ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor Pasal 3 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 30

41 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan nama Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 28 Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 29 Berdasarkan definisi tersebut, maka jelas tujuan dibentuknya KPK adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi 30 yang telah dimulai sejak era Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK bekerja dengan berdasarkan pada asas kepastian hukum, 28 Pasal 2, Ibid. 29 Pasal 1 angka 3, Ibid. 30 Pasal 4, Ibid. 31

42 keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proposionalitas. 31 Dari segi kelembagaan, KPK berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia serta dapat pula membentuk perwakilan di daerah provinsi karena luasnya cakupan wilayah kerja tersebut. 32 KPK bertanggungjawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden RI, DPR RI dan BPK. 33 Pertanggungjawaban publik yang dimaksud adalah dilaksanakan dengan cara wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan, menerbitkan laporan tahunan dan membuka akses informasi. 34 Struktur organisasi KPK terdiri dari 3 bagian yaitu Pimpinan KPK, Tim Penasihat, dan Pegawai KPK yang masing-masing dapat dijabarkan sebagai berikut: a) Pimpinan KPK terdiri dari 5 orang anggota KPK yang tersusun dari 1 orang Ketua KPK merangkap anggota dan 4 orang Wakil Ketua merangkap anggota. Pimpinan KPK tersebut adalah pejabat negara serta penyidik dan 31 Pasal 5, Ibid. 32 Pasal 19 ayat (1) dan (2), Ibid. 33 Pasal 20, Ibid. 34 Pasal 20 ayat (2), Ibid. 32

43 penuntut umum yang bekerja secara kolekif serta berfungsi sebagai penanggungjawab tertinggi. 35 Selain itu, pimpinan KPK dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden RI. 36 Presiden RI kemudian menetapkan calon terpilih dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya surat pimpinan DPR RI. 37 dengan masa jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. 38 b) Tim Penasihat terdiri dari 4 orang anggota 39 yang berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya kepada KPK dalam pelaksanaan tugas dan wewenang KPK 40 dan diangkat oleh KPK karena kepakarannya 41. c) Pegawai KPK berfungsi sebagai pelaksana tugas yang diangkat oleh KPK karena keahliannya. 42 UU No. 30 Tahun 2002 kemudian mengatur lebih jauh mengenai kelembagaan KPK. Pasal 25 UU No. 30 Tahun 2002 menyebutkan bahwa KPK menetapkan kebijakan dan 35 Pasal 21 ayat (1) huruf a, ayat (2), (3), (4), (5), dan (6), Ibid. 36 Pasal 30 ayat (1), Ibid. 37 Pasal 30 ayat (13), Ibid. 38 Pasal 34, Ibid. 39 Pasal 21 ayat (1) huruf b, Ibid. 40 Pasal 23, Ibid. 41 Pasal 24 ayat (1), Ibid. 42 Pasal 21 ayat (1) huruf c, dan Pasal 24 ayat (2), Ibid. 33

44 tata kerja organisasi mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang KPK serta berwenang mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala Subbidang, dan pegawai yang bertugas di KPK serta menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi. Selain itu disebutkan pula bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden RI dan bertanggungjawab kepada Pimpinan KPK. 43 Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, maka KPK: 44 1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai counter partner yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif; 2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan; 3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism); 4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, 43 Pasal 27 ayat (1), (2) dan (3), Ibid. 44 Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, hlm

45 penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang telah dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan. 2. Komisi Pemilihan Umum Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sesuai amanat tersebut, maka dibentuklah Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Pemilihan umum (Pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. 45 Sedangkan Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis. 46 Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan Pemilu. 47 Oleh karena 45 Pasal 1 angka 1 UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum 46 Pasal 1 angka 5, Ibid. 47 Pasal 1 angka 6, ibid. 35

46 itu, wilayah kerja KPU adalah meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjalankan tugasnya secara berkesinambungan, serta dalam menyelenggarakan Pemilu, KPU bebas dari pengaruh pihak manapun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya. 48 Selain itu, susunan organisasi KPU tidak hanya terdiri dari KPU di tingkat pusat, namun juga KPU provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang bersifat hierarkis dan tetap. 49 KPU berkedudukan di ibu kota negara, sedangkan KPU Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. 50 Dalam menjalankan tugasnya, KPU dibantu oleh Sekretariat Jenderal; KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang masing-masing dibantu oleh sekretariat. 51 Jumlah anggota KPU di setiap tingkat berbeda, KPU adalah sebanyak 7 orang, KPU provinsi sebanyak 5 orang dan KPU Kabupaten sebanyak 5 orang dengan masa jabatan lima tahun. 52 Keanggotaan tersebut terdiri dari seorang ketua merangkap anggota dan anggota. Setiap anggota KPU dapat memilih ketua dan memiliki hak suara yang sama. 53 Lebih lanjut UU mengatur sekurang-kurangnya 48 Pasal 3, Ibid. 49 Pasal 5 ayat (1) dan (2), Ibid. 50 Pasal 4, Ibid. 51 Pasal 5 ayat (3), Ibid. 52 Pasal 6 ayat (1) dan (6), Ibid. 53 Pasal 6 ayat (2), (3), dan (4), Ibid. 36

47 30% keterwakilan perempuan dalam komposisi keanggotaan KPU. 54 Secara umum, tugas dan wewenang KPU adalah dalam penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD dengan rincian seperti yang terdapat dalam Pasal 8 UU No. 15 Tahun Sedangkan tugas dan wewenang KPU Provinsi adalah dalam penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD pada tingkat provinsi, dengan rincian seperti yang terdapat dalam Pasal 9 UU No. 15 Tahun Serta tugas dan wewenang KPU adalah dalam penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD pada tingkat kabupaten/kota, dengan rincian seperti yang terdapat dalam Pasal 10 UU No. 15 Tahun Pengangkatan anggota KPU dimulai dengan dibentuknya keanggotaan tim seleksi oleh Presiden yang berjumlah paling banyak 11 orang dengan memperhatikan keterwakilan perempuan. Tim seleksi tersebut melaksanakan tugasnya dalam jangka waktu paling lama tiga bulan setelah terbentuk dan melaporkan pelaksanaan setiap tahapan seleksi kepada DPR. Presiden kemudian mengajukan 14 nama calon kepada DPR untuk dilakukan pemilihan berdasarkan hasil uji kelayakan dan kepatutan dalam waktu paling lambat 30 hari kerja. DPR kemudian menetapkan 7 calon anggota KPU dengan peringkat teratas dari 14 calon yang diajukan 54 Pasal 6 ayat (5), Ibid. 37

48 sebelumnya, dan DPR menyampaikan nama-nama calon anggota KPU terpilih kepada Presiden. Presiden kemudian mengesahkan calon anggota KPU terpilih dengan ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Dalam menjalankan tugasnya yakni berkenaan dengan keuangan, KPU bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan Pemilu dan tugas lainnya, KPU memberikan laporan kepada DPR dan Presiden. Laporan tersebut disampaikan secara periodik dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan peraturan perundangundangan dan ditembuskan kepada Bawaslu. 55 Sedangkan dalam menjalankan tugasnya, KPU provinsi bertanggung jawab kepada KPU dan menyampaikan laporan kegiatan di setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan Gubernur kepada Gubernur dan DPRD provinsi. 56 KPU Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada KPU Provinsi KPU dan menyampaikan laporan kegiatan di setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan bupati/walikota kepada bupati/walikota dan DPRD Kabupaten/Kota. 57 Kesekretariatan KPU muncul untuk mendukung kelancaran tugas dan wewenang KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, dengan dibentuknya Sekretariat 55 Pasal 37 ayat (1), (2) dan (3), Ibid. 56 Pasal 38 ayat (1), (2) dan (3), Ibid. 57 Pasal 39 ayat (1), (2) dan (3), Ibid. 38

49 Jenderal KPU, sekretariat KPU Provinsi dan sekretariat KPU Kabupaten/Kota. 58 Susunan kesekretariatan tersebut bersifat hierarkis dan pegawai masing-masing tingkat berada dalam satu kesatuan manajemen kepegawaian. 59 Di tingkat pusat, Sekretariat Jenderal KPU dipimpin oleh Sekretaris Jenderal yaitu pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 60 Calon Sekretariat Jenderal KPU diusulkan oleh KPU kepada Presiden dengan sebelumnya berkonsultasi dengan pemerintah. 61 Presiden kemudian memilih satu orang Sekretariat Jenderal KPU dan selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. 62 Sekretaris Jenderal KPU bertanggung jawab kepada Ketua KPU. 63 Sekretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU Provinsi dan sekretariat KPU Kabupaten/Kota masing-masing melayani KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. 64 Mengenai organisasi, tugas, fungsi, wewenang dan tata kerja Sekretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU Provinsi dan sekretariat KPU Kabupaten/Kota diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan KPU. 65 Di lingkungan Sekretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU Provinsi, dan 58 Pasal 55, Ibid. 59 Pasal 56, Ibid. 60 Pasal 57 ayat (1) dan (2), Ibid. 61 Pasal 57 ayat (3) dan (4), Ibid. 62 Pasal 57 ayat (5), Ibid. 63 Pasal 57 ayat (6), Ibid. 64 Pasal 65, Ibid. 65 Pasal 60, Ibid. 39

50 sekretariat KPU Kabupaten/Kota dapat ditetapkan jabatan fungsional tertentu yang jumlah dan jenisnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 66 Sedangkan pengisian jabatan dalam struktur organisasi Sekretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU Provinsi, dan sekretariat KPU Kabupaten/Kota ditetapkan dengan keputusan Sekretaris Jenderal KPU Ombudsman RI Ombudsman RI dibentuk berdasarkan UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah Pasal 61, Ibid. 67 Pasal 64, Ibid. 68 Pasal 1 angka 1, UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. 40

51 Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. 69 Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Ombudsman bekerja dengan asas kepatutan, keadilan, non-diskriminasi, tidak memihak, akuntabilitas, keseimbangan, keterbukaan dan kerahasiaan. 70 Tujuan pembentukan Ombudsman utamanya adalah untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil dan sejahtera, serta tujuan lainnya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 UU No. 37 Tahun Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu. 71 Tugastugas Ombudsman antara lain 72 : a. menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; b. melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan; 69 Pasal 2, Ibid. 70 Pasal 3, Ibid. 71 Pasal 6, Ibid. 72 Pasal 7, Ibid. 41

52 c. menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman; d. melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; e. melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan; f. membangun jaringan kerja; g. melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan h. melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang. Dalam menjalankan fungsi dan tugas tersebut, Ombudsman berwenang: 73 a. meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; b. memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan; c. meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor; 73 Pasal 8 ayat (1), Ibid. 42

53 d. melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan; e. menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak; f. membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan; g. demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi. Selain itu, Ombudsman juga berwenang menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik serta menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah maladministrasi. 74 Namun, dalam melaksanakan kewenangannya, Ombudsman dilarang mencampuri kebebasan hakim dalam memberikan putusan. 75 Selain itu, dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan Pasal 8 ayat (2), Ibid 75 Pasal 9, Ibid. 76 Pasal 10, Ibid. 43

54 Keanggotaan Ombudsman terdiri atas 1 orang Ketua yang merangkap anggota, 1 orang Wakil Ketua merangkap anggota dan 7 orang anggota. 77 Keanggotaan tersebut dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon yang diusulkan oleh Presiden dan memegang jabatan selama masa 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan. 78 Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Ombudsman dibantu oleh asisten Ombudsman yang diangkat atau diberhentikan oleh Ketua Ombudsman berdasarkan persetujuan rapat anggota Ombudsman. 79 Calon anggota Ombudsman diajukan kepada DPR setelah sebelumnya dibentuk panitia seleksi calon anggota Ombudsman oleh Presiden. 80 Setelah menerima nama calon dari panitia seleksi, Presiden mengajukan 18 (delapan belas) nama calon anggota Ombudsman kepada DPR. 81 DPR kemudian wajib memilih dan menetapkan 9 (sembilan) calon yang terdiri atas Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden. 82 Calon-calon terpilih tersebut kemudian disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada 77 Pasal 11, Ibid. 78 Pasal 14, dan Pasal 17, Ibid. 79 Pasal 12 ayat (1) dan (2), Ibid. 80 Pasal 15 ayat (1), Ibid. 81 Pasal 16 ayat (1), Ibid. 82 Pasal 16 ayat (2), Ibid 44

55 Presiden. 83 Setelah itu, Presiden wajib menetapkan pengangkatan calon terpilih. 84 Dalam menjalankan tugasnya, Ombudsman dibantu oleh sebuah sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 85 Ombudsman juga menyampaikan laporan berkala dan laporan tahunan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. 86 Laporan berkala disampaikan setiap 3 (tiga) bulan sekali dan laporan tahunan disampaikan pada bulan pertama tahun berikutnya. 87 Sedangkan laporan tahunan dipublikasikan setelah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden oleh Ombudsman. 88 Ombudsman berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. 89 Apabila dipandang perlu, Ombudsman dapat mendirikan perwakilan Ombudsman di daerah provinsi atau kabupaten/kota dan mempunyai hubungan hierarkis dengan Ombudsman dan dipimpin oleh seorang kepala perwakilan yang juga dibantu oleh asisten Ombudsman. 90 Ketentuan mengenai fungsi, 83 Pasal 16 ayat (3), Ibid. 84 Pasal 16 ayat (4), Ibid. 85 Pasal 13 ayat (1) dan (2), Ibid. 86 Pasal 42 ayat (1), Ibid. 87 Pasal 42 ayat (2), Ibid. 88 Pasal 42 ayat (4), Ibid. 89 Pasal 5 ayat (1), Ibid. 90 Pasal 43 ayat (1), (2) dan (3), Ibid. 45

56 tugas, dan wewenang Ombudsman secara mutatis mutandis juga berlaku bagi perwakilan Ombudsman Komisi Pengawas Persaingan Usaha Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. KPPU adalah lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain. 92 Keanggotaan KPPU berjumlah sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang yang terdiri atas Ketua, Wakil Ketua dan Anggota. Masa jabatannya selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Tugas KPPU berdasarkan UU yang membentuknya adalah: melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16; 2. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24; 91 Pasal 43 ayat (4), Ibid 92 Pasal 30 ayat (2), UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 93 Pasal 35, Ibid. 46

57 3. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28; 4. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36; 5. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 6. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini; 7. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Selain diberi tugas maka KPPU diberikan wewenang oleh UU, yaitu: menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 94 Pasal 36, Ibid. 47

58 3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya; 4. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 5. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; 6. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; 7. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi; 8. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undangundang ini; 9. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan; 10. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat; 48

59 11. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 12. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. Kelembagaan KPPU tidak secara rinci dijabarkan dalam UU No. 5 Tahun 1999, hanya mengenai status, keanggotaan, tugas, wewenang dan pembiayaannya. Namun, pengaturan mengenai organisasi dan tata kerja sekretariat diatur dalam Keputusan KPPU Nomor 4 Tahun Bentuk sekretariat KPPU adalah kesekjenan yang bertanggung jawab kepada Komisi 95. Lembaga KPPU di daerah dinamakan Kantor Perwakilan Daerah yang merupakan Kantor Perwakilan Komisi yang menjalankan tugas pokok dan fungsi administratif Sekretariat KPPU di daerah dan bertanggungjawab langsung kepada Sekjen 96. Ketentuan mengenai staf ahli KPPU baik kedudukan, tugas, dan fungsi diatur juga dalam keputusan ini yang berarti telah adanya pengaturan mengenai SDM dalam lembaga tersebut 97. Pengaturan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, dan organisasi Komisi, hubungan tata kerja antara Anggota Komisi, hubungan tata kerja antara Anggota Komisi dengan 95 Pasal 2, Keputusan KPPU Nomor 4 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI. 96 Pasal 131, Ibid. 97 Pasal , Ibid. 49

60 Sekretariat Jenderal, Kelompok Kerja serta Staf Ahli Komisi diatur dalam Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pedoman Tugas Pokok, Fungsi, dan Wewenang Ketua/Wakil Ketua Komisi, Anggota Komisi, dan Sekretariat Komisi Dalam Lingkungan KPPU. 50

61 BAB III PRAKTIK STRUKTUR KELEMBAGAAN SEKRETARIAT PADA KOMISI INFORMASI SE-INDONESIA Komisi Informasi Pusat pun tidak terlepas dari kendala-kendala mengenai sekretariatnya baik dari segi anggaran, struktur keorganisasian, maupun mekanisme kerja terhadap lembaga dengan pola kepemimpinan secara kolektif kolegial. Hal inilah yang mendasari perlunya kajian mengenai penyusunan nomenklatur struktur organisasi pada lembaga-lembaga di pemerintahan pusat/provinsi/kabupaten/kota khususnya seperti sekretariat Komisi Informasi dan sejenisnya yang pembentukannya berdasarkan undangundang. Hal ini dapat dilihat pada hasil pengumpulan data pada 32 Komisi Informasi se-indonesia melalui kuesioner kajian kelembagaan sekretariat yang tercermin dalam 4 (empat) bagian yaitu, kelembagaan, kesekretariatan, sumber daya manusia, dan anggaran. A. KELEMBAGAAN 1. Instrumen A1 (Pembentukan Komisi Informasi se- Indonesia) Berdasarkan hasil pengumpulan data pada Komisi Informasi se-indonesia, diperoleh data bahwa sampai Agustus 2015 Komisi Informasi Provinsi yang sudah terbentuk sebanyak 27 Provinsi terdiri dari Provinsi: Aceh, Bali, Bangka Belitung, Banten, Bengkulu, Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta, Gorontalo, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, 51

62 Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Papua, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara. Untuk Komisi Informasi Kabupaten/Kota yang sudah terbentuk sebanyak 3 Kabupaten terdiri dari Komisi Informasi Kabupaten Bangkalan, Cirebon dan Sumenep; serta 1 Kota yang terdiri dari Komisi Informasi Kota Cirebon. Dari 34 provinsi di Indonesia terdapat 7 Provinsi yang belum membentuk Komisi Informasi Provinsi yang terdiri dari Provinsi: Kalimantan Utara, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara. Tahun pembentukan Komisi Informasi se-indonesia bervariasi rentang waktu pembentukannya, dimulai pada tahun 2009 dengan pembentukan Komisi Informasi Pusat, tahun 2010 dengan pembentukan Komisi Informasi Provinsi pertama yaitu Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah, tahun 2012 dengan pembentukan Komisi Informasi Kabupaten/Kota pertama yaitu Komisi Informasi Kota Cirebon. Tahun pembentukan Komisi Informasi Provinsi, Kabupaten/Kota untuk rentang waktunya dimulai tahun 2009 hingga tahun (lihat Grafik Pembentukan Komisi Informasi se-indonesia). 52

63 TAHUN PEMBENTUKAN KOMISI INFORMASI SE-INDONESIA N= 32 Komisi Informasi seluruh Indonesia n= 32 Komisi Informasi seluruh Indonesia Komisi Informasi se-indonesia terdiri 32 Komisi Informasi se-indonesia, terdiri dari 1 Komisi Informasi Pusat, 27 Komisi Informasi Provinsi, dan 4 Komisi Informasi Kabupaten/Kota. Rentang waktu pembentukan Komisi Informasi Provinsi dan Komisi Informasi Kabupaten/Kota dimulai tahun dengan prosentase terbanyak adalah tahun 2011 dengan pembentukan 9 Komisi Informasi, tahun 2012 dengan pembentukan 8 Komisi Informasi, tahun 2013 dengan pembentukan 4 Komisi Informasi, dan tahun 2014 dengan pembentukan 5 Komisi Informasi. Khusus untuk Komisi Informasi Provinsi paling banyak terbentuk pada tahun 2012 yaitu sebanyak 8 Provinsi yang terdiri dari Komisi Informasi Provinsi: DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Bali, Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, dan Riau. Hal ini 53

64 dikarenakan berdasarkan Pasal 60 UU KIP yang menyatakan bahwa Komisi Informasi Provinsi harus sudah dibentuk paling lambat 2 tahun sejak diundangkannya UU KIP ini. Komisi Informasi Provinsi yang pertama terbentuk adalah Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah yaitu pada tahun Pada tahun 2010 ini merupakan tahun awal pembentukan Komisi Informasi Provinsi dimana 5 Komisi Informasi Provinsi baru terbentuk yang terdiri dari Komisi Informasi Provinsi: Jawa Tengah, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Gorontalo, dan Lampung. Pada tahun 2011 terbentuk 7 Komisi Informasi Provinsi yang terdiri dari Komisi Informasi Provinsi: Banten, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Sementara pada tahun 2013 terbentuk 2 Komisi Informasi yaitu Komisi Informasi Provinsi: Bangka Belitung dan Bengkulu. Pada tahun 2014 terbentuk 5 Komisi Informasi Provinsi yang terdiri dari Komisi Informasi Provinsi: Jambi, Papua, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat. Saat ini telah terbentuk 4 Komisi Informasi Kabupaten/Kota terdiri dari 3 Komisi Informasi Kabupaten (Komisi Informasi Kabupaten Bangkalan, Cirebon, dan Sumenep) dan 1 Komisi Informasi Kota 54

65 (Komisi Informasi Kota Cirebon). Komisi Informasi Kabupaten/Kota yang pertama kali dibentuk adalah Komisi Informasi Kabupaten Bangkalan yaitu pada tahun Tahun 2011 juga telah terbentuk Komisi Informasi Kota Cirebon. Di tahun 2013 terbentuk 2 Komisi Informasi Kabupaten yaitu Komisi Informasi Kabupaten Sumenep dan Komisi Informasi Kabupaten Cirebon. 2. Instrumen A2 (Regulasi Pembentukan Komisi Informasi se-indonesia) Dalam hal dasar hukum pembentukan Komisi Informasi pada dasarnya semua dibentuk berdasarkan UU KIP. Namun, masing-masing kepala daerah diberikan kewenangan untuk mengeluarkan regulasi mengenai pembentukan Komisi Informasi di daerah. Seperti halnya Komisi Informasi Pusat walaupun dibentuk berdasarkan Pasal 59 UU KIP namun untuk penetapan Anggota Komisi Informasi Pusat diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 48/P Tahun 2009 tentang Pengangkatan Anggota Komisi Informasi Pusat Periode dan Keputusan Presiden Nomor 85/P Tahun 2013 tentang Pengangkatan Anggota Komisi Informasi Pusat Periode Pasal 60 UU KIP juga memberikan amanat langsung perihal pembentukan Komisi Informasi Provinsi sedangkan untuk Komisi Informasi Kabupaten/Kota 55

66 pembentukannya jika dibutuhkan. Dari data yang diperoleh terdapat 18 provinsi yang pembentukannya berdasarkan Keputusan Gubernur dan ada 9 provinsi yang pembentukannya berdasarkan Peraturan Gubernur. Sedangkan untuk 3 kabupaten yang telah membentuk Komisi Informasi, semua pembentukan berdasarkan Keputusan Bupati dan untuk 1 Komisi Informasi Kota yang telah terbentuk dasar pembentukannya adalah Keputusan Walikota. Apabila diperinci, berdasarkan hasil penelitian seluruh Komisi Informasi Provinsi untuk Dasar Hukum Pembentukan Komisi Informasi Provinsi adalah berdasarkan Keputusan Gubernur dan Peraturan Gubernur. Komisi Informasi Provinsi yang dasar hukum pembentukannya berdasarkan Keputusan Gubernur adalah Komisi Informasi Aceh, Komisi Informasi Provinsi Banten, Bengkulu, Gorontalo, Jawa Timur, Jawa 56

67 Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Lampung, NTB, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Sementara untuk Komisi Informasi Provinsi yang dasar hukum pembentukannya berdasarkan Peraturan Gubernur adalah Komisi Informasi Provinsi Bangka Belitung, Bali, DIY, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jambi, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, dan Riau. Untuk Komisi Informasi Kabupaten/Kota yang menjadikan Keputusan Bupati sebagai dasar hukum pembentukannya adalah Komisi Informasi Kabupaten Bangkalan, Cirebon, dan Sumenep. Untuk Komisi Informasi Kota Cirebon menjadikan Keputusan Walikota sebagai dasar hukum pembentukan Komisi Informasi Kota. 3. Instrumen A3 (Regulasi Penetapan Anggota Komisi Informasi se-indonesia) Dalam hal pengangkatan Anggota Komisi Informasi diperoleh data bahwa dasar hukum pengangkatan Anggota Komisi Informasi se-indonesia (Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi Provinsi, Komisi Informasi Kabupaten/Kota) adalah berdasarkan Undang- Undang, Keputusan Presiden, Keputusan Gubernur, Peraturan Gubernur, Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, 57

68 Dasar Hukum Pengangkatan Anggota Komisi Informasi se-indonesia Keputusan Bupati 6% Keputusan Walikota 2% Keputusan Gubernur 52% Undang-Undang 25% Peraturan Gubernur 6% Peraturan Daerah 7% Keputusan Presiden 2% dan Peraturan Walikota (lihat Grafik Dasar Hukum Pengangkatan Anggota Komisi Informasi se-indonesia). Untuk Komisi Informasi Pusat, dasar hukum pengangkatan Anggotanya adalah berdasarkan Keputusan Presiden No. 85/P Tahun 2013 untuk pengangkatan Anggota Komisi Informasi Pusat tahun Keputusan Gubernur menjadi dasar hukum pengangkatan Anggota Komisi Informasi Provinsi yang terbanyak. Dasar hukum yang digunakan untuk mengangkat Anggota Komisi Informasi Provinsi dapat terdiri dari 1 (satu) dasar hukum, seperti Komisi Informasi Provinsi Bali yang dasar hukum pengangkatan Anggotanya berdasarkan UU KIP, Keputusan Gubernur, dan Peraturan Gubernur. Komisi Informasi Provinsi yang menjadikan Undang-Undang sebagai dasar hukum pengangkatan Anggotanya adalah Komisi Informasi 58

69 Provinsi Bali, Banten, Bengkulu, Gorontalo, Jambi, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sumatera Barat. Untuk Komisi Informasi Provinsi yang dasar hukum pengangkatan Anggotanya berdasarkan Keputusan Gubernur adalah Komisi Informasi Aceh, Bangka Belitung, Bali, Banten, Bengkulu, DIY, DKI, Jawa Barat, Jambi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Lampung, NTB, Papua, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara. Sementara untuk Komisi Informasi Provinsi yang dasar hukum pengangkatan Anggotanya berdasarkan Peraturan Gubernur adalah Komisi Informasi Provinsi Bali, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara. Sedangkan untuk Komisi Informasi Provinsi yang dasar hukum pengangkatan Anggotanya berdasarkan Peraturan Daerah adalah Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Untuk Komisi Informasi Kabupaten/Kota dasar hukum pengangkatan Anggotanya adalah berdasarkan Undang-Undang, Keputusan Bupati, Peraturan Bupati, dan Peraturan Daerah. Untuk Komisi Informasi 59

70 Kabupaten/Kota yang menjadikan Undang-Undang sebagai dasar hukum pengangkatan Anggotanya adalah Komisi Informasi Kabupaten Bangkalan. Sementara untuk Komisi Informasi Kabupaten/Kota yang dasar hukum pengangkatan anggotanya berdasarkan Keputusan Bupati adalah Komisi Informasi Kabupaten Bangkalan, Cirebon, dan Sumenep. Untuk Komisi Informasi Kota Cirebon menjadikan Peraturan Walikota sebagai dasar hukum pengangkatan Anggota Komisi Informasi Kota. 4. Instrumen A4 (Pergantian Anggota Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan data yang yang diperoleh dari 32 Komisi Informasi seluruh Indonesia (Komisi Informasi Pusat, 27 Komisi Informasi Provinsi, dan 4 Komisi Informasi Kabupaten/Kota) bahwa sebanyak 41% atau 13 Komisi Informasi telah terjadi pergantian masa jabatan/periodisasi Anggota Komisi, sedangkan sebanyak 59% Komisi Informasi belum terjadi pergantian masa jabatan/periodisasi Anggota Komisi (lihat Grafik Prosentase Pergantian Masa Jabatan/Periodisasi Anggota Komisi Informasi se-indonesia). 60

71 Prosentase Pergantian Masa Jabatan/Periodisasi Anggota Komisi Informasi se-indonesia Prosentase Pergantian Masa Jabatan/Periodisasi Anggota Komisi Informasi se-indonesia 59% Ya Ya Tidak Tidak 41% 41% 59% n = 32 Komisi Informasi seluruh Indonesia Dari 27 Komisi Informasi Provinsi yang sudah terbentuk, sebanyak 11 Komisi Informasi Provinsi telah terjadi pergantian masa jabatan/periodisasi Anggotanya (41%). Sementara, sebanyak 16 Komisi Informasi Provinsi (59%) belum terjadi pergantian masa jabatan/periodisasi Anggotanya. Untuk Komisi Informasi Provinsi yang telah terjadi pergantian masa jabatan/periodisasi Anggotanya antara lain adalah Komisi Informasi Banten, Gorontalo, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Kepulauan Riau. Untuk Komisi Informasi Pusat sendiri telah terjadi pergantian jabatan/periodisasi Anggotanya dengan Keputusan Presiden No. 85/P Tahun 2013 tentang Pengangkatan Anggota Komisi Informasi tahun yang menggantikan Surat Keputusan Presiden No. 61

72 48/P Tahun 2009 tentang Pengangkatan Anggota Komisi Informasi tahun Untuk Komisi Informasi Provinsi Banten telah terjadi pergantian masa jabatan/periodisasi Anggotanya yang ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Nomor /KEP.144- HUK/2015 tentang Komisi Informasi Provinsi Banten Periode menggantikan Keputusan Gubernur Nomor /KEP.69-HUK/2011 tentang Komisi Informasi Provinsi Banten Periode Untuk Komisi Informasi DKI Jakarta dan Jambi terjadi Pergantian Antar Waktu Anggotanya. Sementara dari 4 Komisi Informasi Kabupaten/Kota yang telah terbentuk, hanya Komisi Informasi Kota Cirebon yang telah terjadi pergantian anggotanya dengan Keputusan Walikota Cirebon Nomor /Kep.116- DISHUB.INKOM/2014 tentang Pengangkatan Pergantian Antar Waktu Anggota Komisi Informasi Kota Cirebon Masa Jabatan Tahun Instrumen A5 (Regulasi Pergantian Anggota Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan hasil pengumpulan data pada ke-32 Komisi Informasi se-indonesia diperoleh data bahwa hanya 3 Komisi Informasi yang memiliki perubahan pada dasar hukum pembentukan Komisi Informasi yang bersangkutan, sedangkan 29 Komisi Informasi se- 62

73 Indonesia tidak memiliki perubahan. Dari 11 Komisi Informasi Provinsi yang telah terjadi pergantian masa jabatan/periodisasi Anggotanya, hanya Komisi Informasi Provinsi Banten, DIY, dan Kepulauan Riau yang memiliki perubahan pada dasar hukum pembentukan Komisi Informasi. Sementara Komisi Informasi Kepulauan Riau terjadi perubahan pada dasar hukum pergantian Anggotanya yaitu tidak ada penyebutan eselonering lagi. Pada periode sebelumnya yaitu periode terdapat penyebutan kata eselonering atau eselonisasi komisioner, tetapi pada periode tidak ada lagi penyebutan eselonering. Sementara untuk Komisi Informasi Provinsi Banten terdapat perubahan dasar hukum pembentukannya yang ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Nomor /KEP.144-HUK/2015 tentang Komisi Informasi Provinsi Banten Periode menggantikan Keputusan Gubernur Nomor /KEP.69-HUK/2011 tentang Komisi Informasi Provinsi Banten Periode

74 B. KESEKRETARIATAN 6. Instrumen B1 (Pembentukan Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 32 Komisi Informasi se-indonesia diperoleh data keberadaan tentang sekretariat bahwa 23 Komisi Informasi (72%) telah memiliki Sekretariat, 6 Komisi Informasi (19%) belum memiliki Sekretariat, dan sebanyak 9% Komisi Informasi tidak menjawab dengan jelas pertanyaan pada kuesioner yang diberikan. Berikut rincian Keberadaan Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia : a. Komisi Informasi Pusat sudah memiliki sekretariat. b. 19 Komisi Informasi Provinsi telah memiliki sekretariat, yaitu Komisi Informasi Provinsi Banten, Bengkulu, DIY, DKI Jakarta, Gorontalo, Jawa Barat, Jambi, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Selatan. c. 5 Komisi Informasi Provinsi belum memiliki sekretariat, yaitu Provinsi Bangka Belitung, Bali, Papua, Sulawesi Utara, dan Jawa Timur. d. 3 Komisi Informasi Provinsi tidak menyatakan dengan jelas apakah sudah memiliki sekretariat atau 64

75 belum, yaitu Provinsi Aceh, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara. e. 3 Komisi Informasi Kabupaten/Kota telah memiliki sekretariat adalah Komisi Informasi Kabupaten Bangkalan, Cirebon, dan Komisi Informasi Kota Cirebon. f. 1 Komisi Informasi Kabupaten/Kota belum memiliki sekretariat yaitu Kabupaten Sumenep. Berikut sebaran keberadaan sekretariat Komisi Informasi seluruh Indonesia dalam grafik: Grafik Grafik Keberadaan Sekretariat Komisi Komisi Informasi se-indonesia 19% 19% 9% 9% 72% 72% Sudah Memiliki Sekretariat Sudah Memiliki Sekretariat Belum Memiliki Sekretariat Belum Memiliki Sekretariat Tidak Menjawab dengan jelas Kuesioner Tidak Menjawab dengan jelas Kuesioner n = 32 Komisi Informasi seluruh Indonesia 7. Instrumen B2 (Regulasi Pembentukan Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) 65

76 Berdasarkan hasil pengumpulan data dari Komisi Informasi se-indonesia, diperoleh data bahwa sebanyak 29% dasar pembentukan sekretariat Komisi Informasi adalah berdasarkan Keputusan Kepala Dinas, 23% untuk dasar pembentukan sekretariat Komisi Informasi berdasarkan dasar hukum yang berbeda-beda (Lain-lain), seperti Komisi Informasi Provinsi Banten yang menjadikan salah satu dasar pembentukan organisasi kesekretariatannya adalah berdasarkan Perjanjian Kontrak Kerja, Komisi Informasi Provinsi Jambi yang menjadikan salah satu dasar pembentukan organisasi kesekretariatannya adalah berdasarkan Surat Perintah Tugas dari Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi Jambi, Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur yang menjadikan dasar pembentukan organisasi sekretariatnya adalah berdasarkan SK Ketua Komisi Informasi Jawa Timur dan SK Sekretaris, Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Barat yang menjadikan dasar pembentukan organisasi sekretariatnya adalah berdasarkan Keputusan Sekda Propinsi Kalimantan Barat, Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Selatan yang menjadikan salah satu dasar pembentukan organisasi kesekretariatannya adalah berdasarkan Nota Dinas Kepala Biro Humas Provinsi Kalimantan Selatan. 66

77 Untuk Komisi Informasi Kabupaten Bangkalan menjadikan salah satu dasar pembentukan organisasi sekretariatnya adalah berdasarkan UU No. 14 Th 2008 Tentang KIP, dan Komisi Informasi Kota Cirebon menjadikan Keputusan Walikota No. 821/Kep/DISHUB/2011 sebagai dasar pembentukan organisasi kesekretariatannya. Sedangkan Komisi Informasi DIY tidak memberi jawaban kuesioner untuk dasar hukum pembentukan struktur organisasi sekretariatnya. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada tabel di bawah ini: 67

78 No. Perpres Keppres Permen Kepmen Pergub Kepgub Kepkadis Perkadis Ke 1 2 Pusat Bali Bali DKI Jabar Kab. Bangkalan Jateng Goro Kab. Cirebon Papua Bante 3 Kalteng Kalsel Banten Sulsel Jatim 4 Riau Riau Kalteng 5 Sulsel Kepri 6 Sulteng Lampung 7 NTB 8 Sumbar 9 Sumsel 10 Bengkulu (LANDSCAPE) 68

79 Dasar Hukum Pembentukan Struktur Organisasi Komisi Informasi se-indonesia Dasar Hukum Pembentukan Struktur Peraturan Menteri Organisasi Komisi Informasi se- Indonesia Peraturan Gubernur 23% 6% 8% 6% 8% 3% 3% 17% 3% 3% 11% 29% 23% 17% 29% Peraturan Mente Keputusan Gubernur Peraturan Gubern Keputusan Kepala Dinas Peraturan Keputusan Kepala DinasGubernur 11% Keputusan Keputusan KomisiKepala Informasi Dinas Provinsi Lain-lain Peraturan Kepala Dinas Unspecified Keputusan Komis Informasi Provins Lain-lain 8. Instrumen B3 (Penunjukan Pimpinan/Kepala Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan hasil pengumpulan data pada ke-32 Komisi Informasi se-indonesia diperoleh bahwa 20 Komisi Informasi menunjuk secara jelas pimpinan atau kepala sekretariat di dalam dasar hukum struktur organisasi sekretariat sebagaimana dijelaskan pada poin 2 di atas, 9 Komisi Informasi tidak menunjuk secara jelas, dan 3 Komisi Informasi tidak menyatakan keterangan dengan jelas (unknown). Untuk perinciannya sebanyak 63% 69

80 Komisi Informasi yang menunjuk secara jelas pimpinan sekretariat Komisi Informasi adalah Komisi Informasi Provinsi Banten, Komisi Informasi Provinsi Bengkulu, Komisi Informasi Provinsi DIY, Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta, Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat, Komisi Informasi Provinsi Jambi, Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah, Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Barat, Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Selatan, Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Tengah, Komisi Informasi Provinsi Kepulauan Riau, Komisi Informasi Provinsi Nusa Tenggara Barat, Komisi Informasi Provinsi Riau, Komisi Informasi Provinsi Sulawesi Selatan, Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat, Komisi Informasi Provinsi Sumatera Selatan, Komisi Informasi Pusat, Komisi Infomasi Kabupaten Bangkalan, Komisi Informasi Kabupaten Cirebon, dan Komisi Informasi Kota Cirebon. Adapun sebanyak 28% Komisi Informasi tidak secara jelas menunjuk pimpinan sekretariat antara lain Komisi Informasi Provinsi Bangka Belitung, Bali, Gorontalo, Jawa Timur, Lampung, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Sumatera Utara. Sementara untuk Komisi Informasi yang tidak menjawab kuesioner untuk pertanyaan Instrumen B3 (penunjukan pimpinan sekretariat Komisi Informasi) antara lain Komisi Informasi Provinsi Aceh, Kalimantan Timur, dan Komisi 70

81 Informasi Kabupaten Sumenep. Persebaran data tersebut dapat dilihat pada diagram berikut: 9. Instrumen B4 (Struktur Organisasi Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa sebanyak 19 Komisi Informasi seluruh Indonesia (60%) sudah memiliki struktur organisasi sekretariat antara lain Komisi Informasi Provinsi Bangka Belitung, Komisi Informasi Provinsi Banten, Komisi Informasi Provinsi DIY, Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta, Komisi Informasi Provinsi Jambi, Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah, Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur, Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Barat, Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Selatan, Komisi Informasi Provinsi Kepulauan Riau, Komisi Informasi Provinsi Nusa Tenggara Barat, Komisi Informasi Provinsi Riau, Komisi 71

82 Informasi Provinsi Sulawesi Selatan, Komisi Informasi Provinsi Sulawesi Tengah, Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat, Komisi Informasi Provinsi Sumatera Selatan, Komisi Informasi Pusat, Komisi Infomasi Kabupaten Bangkalan, dan Komisi Informasi Kota Cirebon. Adapun 10 Komisi Informasi (31%) yang tidak memiliki struktur organisasi sekretariat antara lain Komisi Informasi Provinsi Bali, Komisi Informasi Provinsi Bengkulu, Komisi Informasi Provinsi Gorontalo, Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat, Komisi Informasi Provinsi Lampung, Komisi Informasi Provinsi Papua, Komisi Informasi Provinsi Sulawesi Utara, Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara, Komisi Informasi Kabupaten Cirebon dan Komisi Informasi Kabupaten Sumenep. Sementara untuk Komisi Informasi yang tidak menjawab kuesioner sebanyak 3 Komisi Informasi (9%) yaitu Komisi Informasi Provinsi Aceh, Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Tengah, dan Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Timur. 72

83 10. Instrumen B5 (Bentuk Struktur Organisasi Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan hasil pengumpulan data pada ke-32 Komisi Informasi se-indonesia diperoleh bahwa 19 Komisi Informasi telah memiliki bentuk struktur organisasi. Ke-19 Komisi Informasi itu adalah Komisi Informasi Provinsi Banten, Bengkulu, DIY, DKI Jakarta, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, Pusat, Nusa Tenggara Barat, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Kota Cirebon. Sementara 2 Komisi Informasi tidak memiliki bentuk struktur organisasi yaitu Komisi Informasi Provinsi Sulawesi Utara dan Lampung. Komisi Informasi yang tidak menyatakan secara jelas apakah sekretariatnya 73

84 memiliki bentuk struktur organisasi atau tidak (11 Komisi Informasi), yaitu Provinsi Aceh, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Bali, Papua, Jawa Timur, Jambi, Komisi Informasi Kab. Cirebon, Bangkalan, dan Sumenep. Dari sembilan belas Komisi Informasi yang memiliki bentuk struktur organisasi sekretariat tersebut, pada umumnya staf sekretariat merupakan tenaga (PNS) dari dinas di bidang komunikasi dan informatika setempat. Pelibatan PNS di bidang komunikasi dan informatika tersebut ada yang dilibatkan secara ex officio atau penugasan penuh. Tenaga staf yang membantu kesekretariatan umumnya berasal dari PNS dari dinas di bidang komunikasi dan informatika setempat, namun ada juga yang mempekerjakan tenaga honorer. Sedangkan struktur organisasinya sangat beragam, ada yang memiliki beberapa Kepala Sub Bagian (seperti misalnya Bagian Umum, PSI, dan Pengaduan) yang berada di bawah Kepala Sekretariat, ada yang menunjuk beberapa koordinator beserta stafnya. Dari struktur tersebut, ada juga pejabat pemerintah daerah yang lebih tinggi dari kepala dinas di bidang komunikasi dan informatika yang terlibat dalam kesekretariatan, yaitu Sekretaris Daerah setempat yang ditempatkan sebagai pembina. Sedangkan bentuk kelembagaan sekretariat Komisi Informasi juga beragam, di antaranya ada yang 74

85 berbentuk UPT ada yang melekat langsung dengan dinas di bidang komunikasi dan informatika setempat. 11. Instrumen B6 (Pengisian Struktur Organisasi Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan hasil pengumpulan data pada ke-32 Komisi Informasi se-indonesia diperoleh data bahwa 60% Komisi Informasi se-indonesia struktur organisasinya telah terisi, sedangkan 34% belum terisi. Terdapat 6% Komisi Informasi se-indonesia yang tidak terverifikasi karena tidak menjawab kuesioner. Jika dibuat dalam diagram, pengisian struktur organisasi sekretariat di komisi informasi se-indonesia akan terlihat sebagai berikut: 75

86 12. Instrumen B7 (Pengisian Jabatan Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan hasil pengumpulan data pada ke-32 Komisi Informasi se-indonesia diperoleh data bahwa struktur organisasi kesekretariatan Komisi Informasi diisi oleh PNS dan Non PNS. Persentase PNS yang mengisi kesekretariatan yakni Eselon 2 sebanyak 7%, Eselon 3 sebanyak 23%, Eselon 4 sebanyak 14% dan sisanya merupakan staf Non PNS. 13. Instrumen B8 (Pengisian Jabatan Pimpinan/Kepala Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan hasil pengumpulan data pada Komisi Informasi se-indonesia, diperoleh data bahwa pimpinan atau kepala sekretariat Komisi Informasi sebagian besar dijabat oleh Eselon 3 yaitu sebanyak 21 Komisi Informasi 76

87 (66%) terdiri dari antara lain Komisi Informasi Banten, DKI Jakarta, DIY, Jawa Barat, Jambi, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Lampung, NTB, Riau, Sulawesi Selatan,Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Cirebon, dan Kota Cirebon. Sementara untuk pimpinan atau kepala sekretariat yang dijabat oleh Eselon 2 terdiri dari 2 Komisi Informasi (6%) yaitu Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara dan Komisi Informasi Pusat dengan Sekretaris Komisi Informasi Pusat melalui Surat Keputusan Menteri. Pimpinan atau Kepala Sekretariat yang dijabat oleh non-pns hanya terdapat di Komisi Informasi Provinsi Bangka Belitung, dan untuk Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur pimpinan atau kepala sekretariatnya Staf PNS. Sedangkan untuk Komisi Informasi yang tidak menjawab kuesioner secara jelas adalah dari Komisi Infomasi Aceh, Gorontalo, Papua, Sulawesi Utara, dan Kabupaten Sumenep. Sementara itu, Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera Barat untuk pimpinan atau kepala sekretariat Komisi Informasi diisi oleh Eselon 2, Eselon 3, Eselon 4, dan Staf Non-PNS. 77

88 Pimpinan atau Kepala Sekretariat Komisi Informasi Eselon 1 Eselon 2 Eselon 3 Non-PNS Staf PNS Tidak Menjawab Kuesioner secara jelas Lain-lain 6% 6% 3% 16% 3% 66% 14. Instrumen B9 (Tugas dan Fungsi Pimpinan/Kepala Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan hasil pengumpulan data pada 32 Komisi Informasi se-indonesia, diperoleh data bahwa pimpinan atau kepala sekretariat Komisi Informasi 63% dijabat secara ex Officio (jabatan yang dirangkap pada kedinasannya) atau sebanyak 20 Komisi Informasi seluruh Indonesia, diantaranya adalah Komisi Informasi Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jambi, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Papua, Sulawesi Selatan, Selawesi Tengah, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, DIY, Kabupaten Bangkalan, Cirebon dan Kota Cirebon. 78

89 Sementara untuk Komisi Informasi yang Pimpinan/Kepala Sekretariatnya tidak dijabat secara ex Officio sebanyak 11 Komisi Informasi, diantaranya antara lain adalah Komisi Informasi Pusat, Provinsi Bangka Belitung, Gorontalo, Kalimantan Timur, Riau, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Kabupaten Sumenep. 15. Instrumen B10 (Pergantian Struktur Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan hasil pengumpulan data pada Komisi Informasi se-indonesia, diperoleh data bahwa pimpinan atau kepala sekretariat Komisi Informasi 34% telah terjadi pergantian jabatan Sekretariat Komisi Informasi antara lain pada kesekretariatan Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, 79

90 Lampung, Nusa Tenggara Barat, Riau, Banten, DIY, Kabupaten Bangkatan dan Kota Cirebon. Adapun sekretariat Komisi Informasi yang belum terjadi pergantian jabatan adalah sebanyak 63% yaitu pada Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi Provinsi Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bangka Belitung, Gorontalo, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Papua, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kabupaten Cirebon dan Sumenep. 16. Instrumen B11 (Regulasi Pergantian Struktur Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) 80

91 Berdasarkan hasil pengumpulan data pada 32 Komisi Informasi se-indonesia diperoleh data bahwa adanya perubahan dasar hukum beberapa Sekretariat Komisi Informasi di Indonesia dikarenakan beberapa hal, seperti perubahan nomenklatur dan rotasi jabatan. Namun sebagian besar tidak terjadi perubahan dasar hukum pembentukan Sekretariat, beberapa diantaranya dikarenakan Sekretariat Komisi Informasi yang bersangkutan belum terbentuk. Khusus di Komisi Informasi Pusat, perubahan tersebut disebabkan terdapatnya perubahan nomenklatur penamaan Departemen Kominfo menjadi Kementerian Kominfo berdasarkan Peraturan Presiden. Dengan adanya perubahan nomenklatur tersebut, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 05/PER/M.KOMINFO/03/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Komisi Informasi Pusat diganti dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 11/PER/M.KOMINFO/03/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Komisi Informasi Pusat. Namun pergantian dasar hukum tersebut tidak membawa perubahan signifikan terhadap Sekretariat Komisi Informasi Pusat. 81

92 Sedangkan pada Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah terjadi perubahan karena terjadi mutasi jabatan, dan pada Komisi Informasi Kota Cirebon terjadi perubahan regulasi dikarenakan dalam struktur organisasi sekretariat Komisi Informasi Kota Cirebon, setiap tahun selalu mengalami pergantian dan perubahan tata susunan sekretariat Komisi Informasi Kota Cirebon. Hal ini di sebabkan adanya rotasi jabatan oleh Walikota Cirebon terhadap pejabat yang masuk dalam sekretariat Komisi Informasi Kota Cirebon. 17. Instrumen B12 (Dukungan Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan hasil pengumpulan data diperoleh hasil bahwa terdapat kendala terkait dukungan sekretariat pada beberapa Komisi Informasi. Penyebabnya antara lain karena beberapa staf sekretariat Komisi Informasi merupakan PNS dari dinas komunikasi dan informatika setempat yang ditugaskan secara ex officio pada sekretariat Komisi Informasi. Hal ini menyebabkan tugas dan fungsi sekretariat berjalan kurang maksimal karena beberapa staf belum memahami tugas pokoknya dan belum terbentuknya struktur kesekretariatan. Namun pada beberapa Komisi Informasi lainnya, dukungan kesekretariatan sudah cukup baik dalam mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi, baik dengan dukungan 82

93 Administratif, Keuangan dan Tata Kelola Komisi Informasi walaupun secara keseluruhan belum maksimal. 18. Instrumen B13 (Proses Administrasi Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan data yang diperoleh dari 32 Komisi Informasi se-indonesia, 4 Komisi Informasi mendefinisikan secara langsung mengenai kegiatan administrasi dan persidangan yang dilakukan. Beberapa Komisi Informasi menyebutkan bahwa kegiatan administrasi adalah selayaknya tugas dan fungsi bidang Tata Usaha dalam birokrasi pemerintahan yaitu mencakup tata kelola surat menyurat, menyiapkan agenda kegiatan, dan pengarsipan. Sedangkan mengenai administrasi persidangan, beberapa Komisi Informasi mengidentifikasi tugas dan fungsi yang diperlukan dalam persidangan diantaranya pencatatan atau registrasi sengketa, administrasi dokumen persidangan, dan sebagainya. Selain deskripsi detail seperti yang dijelaskan beberapa Komisi Informasi, 5 Komisi Informasi hanya menjelaskan secara garis besar mengenai proses administrasi sekretariatnya. Proses administrasi persidangan dijelaskan sebagaimana diatur dalam Perki No. 1 Tahun

94 Beberapa Komisi Informasi menjelaskan mengenai pembagian tugas antara staf PNS dan Non PNS seperti Komisi Informasi Kab. Sumenep, Provinsi Bali, DKI Jakarta, Gorontalo dan Jambi. Namun, beberapa juga menjelaskan bahwa proses administrasi kelembagaan mulai dari pembuatan surat masih ditangani langsung oleh Komisioner seperti yang terjadi di Komisi Informasi Provinsi Jambi. Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Tengah juga menjelaskan hal yang serupa bahwa pelaksanaan administrasi kesekretariatan dan kelembagaan hanya dilaksanakan oleh 2 orang staf yang direkrut sendiri atas inisiatif Komisioner dan diangkat berdasarkan SK Ketua Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan Komisi Informasi Provinsi Sulawesi Utara menjelaskan bahwa proses administrasi didukung oleh tenaga yang diperbantukan dari Dishubkominfo Sulawesi Utara karena kesekretariatan yang dimiliki masih bersifat sementara. Sementara 8 Komisi Informasi yang diantaranya terdiri dari Kota Cirebon, Provinsi Bengkulu, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Pusat menyatakan bahwa proses administrasi persidangan dan kelembagaan telah berjalan dengan baik. Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Kalimantan Barat menyatakan bahwa proses administrasi di Komisi Informasi masing-masing 84

95 masih dalam proses perbaikan dan pembentukan sistem yang sesuai. Jika diperhatikan Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Barat adalah Komisi Informasi yang baru berdiri selama 3 bulan sehingga SOP kelembagaan hingga uraian tugas (job desk) tenaga honorer masih dalam proses penyusunan. Untuk Komisi Informasi Provinsi Papua, Sumatera Barat dan Kepulauan Riau menyatakan bahwa proses administrasi pada masing-masing Komisi Informasi belum berjalan dengan baik. Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat menjelaskan karena keterbatasan jumlah staf maka pekerjaan administratif tidak berjalan dengan maksimal, sedangkan Komisi Informasi Provinsi Papua dan Komisi Informasi Provinsi Kepulauan Riau tidak menjelaskan pernyataan tersebut. 19. Instrumen B14 (Kendala-Kendala Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan hasil pengumpulan data, terdapat beberapa kendala yang umum disebutkan dalam kuesioner, antara lain: 1. Struktur kesekretariatan Sebanyak 6 Komisi Informasi menyebutkan bahwa salah satu kendala yang dimiliki kesekretariatan saat menjalankan tugas adalah belum jelasnya penataan struktur, tugas dan fungsi kesekretariatan. Hal ini menyebabkan rendahnya kinerja yang dihasilkan Komisi Informasi. Salah satu contohnya, Komisi 85

96 Informasi Kalimantan Tengah menjelaskan bahwa dalam hal kegiatan administrasi hanya dibantu oleh 2 orang staf yang direkrut sendiri atas inisiatif Komisioner yang diangkat melalui SK Ketua Komisi Informasi Kalimantan tengah. Contoh lain, Komisi Informasi Bengkulu menjelaskan bahwa yang menjadi kendala adalah arus administrasi dan surat menyurat yang belum tertata serta rentang birokrasi keuangan dan administrasi yang panjang karena tidak terpusat pada kesekretariatan Komisi Informasi Bengkulu. 2. Anggaran Sebanyak 8 Komisi Informasi menjelaskan bahwa salah satu kendala dalam kesekretariatan Komisi Informasi adalah perihal anggaran. Komisi Informasi DKI menjelaskan bahwa kendala yang dihadapi adalah keterlambatan anggaran yang hingga April 2015 belum diberikan, dan penyusunan RAB yang tidak melibatkan komisioner. Komisi Informasi Sumatera Selatan, Komisi Informasi Jawa Tengah dan Komisi Informasi Riau khususnya menyebutkan bahwa anggaran tidak dikelola sendiri oleh sekretariat Komisi Informasi karena masih dititipkan atau berada pada dinas setempat, sehingga dukungan anggaran dalam pelaksanaan kegiatan di Komisi Informasi masih bergantung pada anggaran yang dapat diberikan dinas tersebut. 86

97 3. Kuantitas dan Kualitas Staf Sebanyak 9 Komisi Informasi menjelaskan bahwa kendala yang dialami kesekretariatan Komisi Informasi adalah mengenai kuantitas atau jumlah staf serta kualitas staf yang dimiliki, baik staf PNS maupun Non PNS. Komisi Informasi Jambi menjelaskan bahwa SDM yang ditempatkan di Komisi Informasi Jambi tidak memiliki kemampuan tata kelola administrasi secara baik, yang mungkin karena penempatan SDM tersebut tidak didasari semangat untuk menumbuhkembangkan Komisi Informasi secara kelembagaan. Komisi Informasi Pusat secara khusus menyebutkan bahwa SDM yang dimiliki tidak seimbang, antara jumlah PNS dan non PNS yang seharusnya sama-sama berjumlah 50%. Komisi Informasi Pusat juga menambahkan, alasan ketidakseimbangan tersebut mungkin dapat disebabkan adanya moratorium pengangkatan PNS selama 5 tahun sehingga jarak antara pimpinan dan kader di bawahnya cukup jauh. 4. Kepala Sekretariat dijabat secara ex officio Sebanyak 5 Komisi Informasi menjelaskan bahwa jabatan kepala sekretariat Komisi Informasi yang dijabat secara ex officio menjadi kendala bagi kesekretariatan Komisi Informasi. Situasi tersebut menyebabkan tata kelola kesekretariatan menjadi 87

98 kurang maksimal. Komisi Informasi Kalimantan Selatan menjelaskan lebih lanjut bahwa Kepala Sekretariat Komisi Informasi yang dimiliki merangkap jabatan sebagai Kepala Bagian Pengelolaan Informasi di dinas terkait. Dua jabatan yang dirangkap pada saat bersamaan tersebut menyebabkan pelaksanaan tugas selaku sekretaris Komisi Informasi menjadi tidak optimal. Kemudian ditambah lagi dengan lokasi kedua kantor yang berjauhan, dan terpisah sejauh 40 km sehingga menjadi kendala bagi mobilitas Kepala Sekretariat Komisi Informasi Kalimantan Selatan. 5. Belum terbentuk kesekretariatan Walaupun kegiatan Komisi Informasi secara umum telah berjalan, namun bukan berarti kesekretariatan Komisi Informasi telah terbentuk dengan didukung dasar hukum yang valid. Sehingga, salah satu kendala yang dihadapi adalah belum terbentuknya ksesekretariatan Komisi Informasi yang menyebabkan belum optimalnya anggaran dan menghambat pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi Informasi sehari-hari. Akibatnya seluruh kegiatan Komisi Informasi masih bergantung pada dukungan Dinas terkait baik dari segi anggaran, administrasi dan SDM. 88

99 20. Instrumen B15 (Kondisi Ideal Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan kuesioner yang diterima dari 32 Komisi Informasi di seluruh Indonesia, berikut adalah garis besar kondisi ideal kesekretariatan Komisi Informasi yang diharapkan, antara lain: 1. Kesekretariatan Komisi Informasi yang mandiri dan jabatan kepala sekretariat dijabat tidak secara ex officio dari dinas terkait. 2. Dukungan infrastruktur dan sarana prasarana yang memadai dan representatif, baik dalam hal ruang perkantoran maupun persidangan. 3. Penambahan SDM dalam struktur kesekretariatan, khususnya staf dari unsur PNS yang juga bertugas sebagai Panitera. 4. Kejelasan pembagian wewenang dan tanggung jawab yang baik dalam struktur kesekretariatan, sehingga pelaksanaan tugas dan fungsi dapat berjalan maksimal. 5. Pengelolaan anggaran terpisah dan tidak bergantung pada Dinas atau Biro terkait di daerahnya masingmasing. 89

100 C. SUMBER DAYA MANUSIA 21. Instrumen C1 (Jumlah SDM pada Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan hasil pengumpulan data pada Komisi Informasi se-indonesia, diperoleh data bahwa sebanyak 69% sekretariat Komisi Informasi belum memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai, yaitu pada Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi Provinsi Bali, DKI Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Riau, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bangka Belitung, Gorontalo, Jambi, Jawa Timur, Papua, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, D.I Yogyakarta, serta Komisi Informasi Kabupaten Bangkalan dan Sumenep. Sedangkan sebanyak 25% menyatakan bahwa SDM pada sekretariat telah memadai, antara lain pada Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Banten, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Bengkulu dan Komisi Informasi Kabupaten Cirebon serta Komisi Informasi Kota Cirebon. Kondisi SDM Sekretariat Komisi Informasi Komisi Informasi Memadai 8 Tidak memadai 22 Unknown 2 90

101 22. Instrumen C2 (Pengisian SDM pada Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Terkait dengan siapa saja Sumber Daya Manusia (SDM) pada sekretariat Komisi Informasi di Komisi Informasi memberikan jawaban sebagian besar komposisi di dalam sekretariat terdiri dari PNS dan Non PNS. Adapun peran khusus untuk staf penyelesaian sengketa informasi terdiri dari staf non PNS, peran tersebut di isi dengan peran fungsional yang terdiri dari Tenaga ahli/staf ahli atau asisten ahli. Adapun untuk SDM lainlain terdiri bertugas sebagai staf administrasi, staf keamanan atau office boy. Sekretariat Komisi Informasi yang SDMnya hanya terdiri dari PNS terdapat pada Komisi Informasi Provinsi Bali, sedangkan pada SDM yang terdiri dari non-pns adalah Komisi Informasi 91

102 Provinsi Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Bangka Belitung, dan Kabupaten Sumenep. Adapun SDM pada sekretariat Komisi Informasi yang terdiri dari PNS dan non-pns antara lain terdapat pada sekretariat Komisi Informasi Pusat, Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, Lampung, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bengkulu, D.I Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, Riau, Sumatera Barat, Banten, Gorontalo, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Papua, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Cirebon. 23. Instrumen C3 (Regulasi Pengangkatan SDM pada Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Dalam hal dasar hukum pengangkatan SDM di Komisi Informasi, dapat terlihat dari data yang ada menunjukkan bahwa untuk jabatan/sdm yang berstatus PNS dasar pengangkatan (surat tugas atau SK) dari Dinas terkait (SKPD Terkait) hal tersebut sesuai dengan data mengisi pada tabel lain-lain. Adapun untuk SDM yang berstatus non PNS terdapat dua dasar pengangkatan sebagai pegawai di Komisi Informasi yaitu ada yang dari Keputusan Ketua Komisi Informasi atau Sekretaris Komisi informasi. (dapat dilihat pada grafik dasar hukum pengangkatan SDM) 92

103 24. Instrumen C4 (Pengangkatan SDM pada Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Dalam hal pengangkatan SDM pada Komisi Informasi terlihat data yang menunjukkan bahwa sebagian besar masih berdasarkan dari instasi terkait dalam hal ini SKPD yang ditunjuk oleh pemerintah, hal ini terlihat dalam tabel berikut: Pengangkatan SDM Komisi Informasi Komisi Informasi Ketua Komisi Informasi 9 Sekretaris Komisi informasi 3 lain-lain (Dinas Terkait-Kominfo) 16 unknown 4 93

104 Terdapat 9 (sembilan) Komisi Informasi yang pengangkatan SDMnya dilakukan oleh Ketua, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Banten, Gorontalo, Papua, D.I Yogyakarta dan Kabupaten Sumenep. Untuk Komisi Informasi Provinsi D.I Yogyakarta selain dilakukan oleh ketua juga dilakukan berdasarkan penugasan dari Dishubkominfo. Komisi Informasi yang pengangkatan SDMnya dilakukan oleh Dinas terkait antara lain Provinsi Bali, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Riau, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bangka Belitung, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Kabupaten Cirebon serta Bangkalan. Sedangkan untuk Komisi Informasi Provinsi Jambi pengangkatan SDM berdasarkan dari Surat Perintah 94

105 Tugas dari Kepala Biro Humas dan Protokol Sekretariat Daerah dan untuk Provinsi Kalimantan Selatan pengangkatan SDM dilakukan oleh Kepala Biro Humas. Sementara itu pengangkatan SDM pada Komisi Informasi Pusat, Provinsi Jawa Barat dan Kota Cirebon dilakukan oleh Sekretaris Komisi Informasi. 25. Instrumen C5 (Perbandingan Jumlah SDM pada Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Jumlah SDM di Komisi Informasi mengikuti kemampuan pendanaan dari masing-masing Komisi Informasi. Komposisi yang ada untuk staf non PNS bertugas menunjang atau membantu komisioner dalam menyelesaikan sengketa informasi. Sedangkan peran adminitrasi keuangan sebagian besar dikerjakan oleh staf PNS. Jumlah SDM pada Komisi Informasi didominasi oleh staf non PNS karena berperan secara subtansi dalam tugas komisioner Komisi Informasi. 26. Instrumen C6 (Mekanisme Perekrutan SDM pada Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Mekanisme perekrutan SDM di sekretariat Komisi Informasi dibedakan antara SDM PNS dengan SDM non-pns. Terhadap SDM yang berstatus PNS, secara umum berasal dari bidang komunikasi dan informasi di tingkat pemerintahan masing-masing yang ditunjuk atau diberi tugas di sekretariat Komisi Informasi. Sedangkan 95

106 terhadap SDM non-pns, terdapat beberapa mekanisme dalam perekrutan SDM di sekretariat Komisi Informasi. Pada Komisi Informasi Pusat, di tahun 2014 mekanisme perekrutan SDM non-pns dilakukan terbuka dengan serangkaian seleksi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kualifikasi SDM. Seperti halnya yang dilakukan oleh Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah yang mekanisme perekrutan SDM non-pnsnya dilakukan melalui pengumuman di website dengan serangkaian tes baik tertulis maupun wawancara serta melampirkan makalah tentang keterbukaan informasi publik. Seleksi terbuka tersebut juga dilakukan oleh beberapa Komisi Informasi Provinsi yang dilakukan secara bersama-sama yaitu antara anggota Komisi Infomasi dengan Dinas terkait. Selain itu, beberapa Komisi Informasi Provinsi, seperti di Provinsi Kepulauan Riau, perekrutan dilakukan secara sederhana, ketika terdapat kebutuhan SDM yang diajukan oleh anggota Komisi Informasi, maka akan dilakukan seleksi sederhana dengan wawancara oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Kepulauan Riau. Lain halnya dengan Provinsi Papua yang baru terbentuk pada akhir tahun 2014, perekrutan dilakukan tanpa melalui seleksi, namun diangkat berdasarkan kebutuhan. 96

107 Pada Provinsi DKI Jakarta, rekrutmen SDM non- PNS terdapat 2 macam perekrutan yaitu tanpa proses, masing-masing Komisioner membawa staf sendiri dan yang melalui proses tahapan rekrutmen, yakni melalui pengumuman rekrutmen di media cetak yang disebarkan di kampus-kampus, seleksi administrasi, psikotes, dan Tes Potensi Akademik (TPA). 27. Instrumen C7 (Tugas dan Fungsi SDM pada Sekretariat Komisi Informasi se-indonesia) Peran, tugas dan fungsi SDM pada sekretariat Komisi Informasi dari seluruh data yang terkumpul pada umumnya berkenaan dukungan administratif, baik administrasi umum, dan keuangan serta administrasi Penyelesaian Sengketa Informasi Publik sebagaimana tugas dan fungsi Komisi Informasi. Komisi Informasi Provinsi Bali menjelaskan bahwa SDM pada sekretariatnya menjalankan tugas administrasi, menangani surat masuk dan surat keluar, membantu tugas kesekretariatan, menangani kegiatan Komisioner. Contoh lain pada Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Timur staf PNS menjalankan tugas antara lain mengkoordinasi urusan administrasi dan mengelola data perkara, menjalankan tugas dan fungsi dalam mengelola surat menyurat, mengkoordinasikan kegiatan masingmasing Komisioner, membantu menyusun Putusan, 97

108 menyiapkan administrasi pra-pasca perjalanan dinas Komisioner dan hal lainnya serta mengelola masuk. D. ANGGARAN 28. Instrumen D1 (Anggaran Komisi Informasi se- Indonesia) Berdasarkan data yang diperoleh, Komisi Informasi se-indonesia telah memiliki anggaran walaupun pemberian anggaran tersebut tidak serta merta setelah dilakukan pembentukan Komisi Informasi pada daerah tersebut atau setelah dilakukannya pengangkatan Anggota Komisi Informasi yang bersangkutan. Penentuan besaran anggaran pada mulanya ditentukan atau berdasar pada kebijakan pemerintah daerah tersebut. Baru setelahnya, sekretariat yang dibentuk untuk mendukung Komisi Informasi tersebut dapat mengajukan kebutuhankebutuhan untuk dianggarkan pada tahun anggaran berikutnya sehingga penentuan besaran baik DIPA maupun hibah dapat diserahkan kepada Komisi Informasi yang bersangkutan. 29. Instrumen D2 (Sumber Anggaran Komisi Informasi se-indonesia) Sumber anggaran Komisi Informasi 100% bersumber dari APBN untuk Komisi Informasi Pusat dan APBD untuk Komisi Informasi Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Hal ini telah diatur pada ketentuan 98

109 Pasal 29 ayat (6) yang menyebutkan bahwa Anggaran Komisi Informasi Pusat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, anggaran Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. 30. Instrumen D3 (Bentuk Anggaran Komisi Informasi se-indonesia) Bentuk anggaran yang diperoleh Komisi Informasi se-indonesia tidak seragam. Hal ini dilihat dengan data yang menunjukkan bahwa dari 22 atau sekitar 73% dari 30 Komisi Informasi, sumber anggarannya berbentuk dalam DPA meskipun masih berbentuk DPA pada satuan kerja dinas pemerintah masing-masing. Sedangkan bentuk anggaran lain yaitu hibah, digunakan oleh 5 Komisi Informasi Provinsi, dan 1 Komisi Informasi Kabupaten/Kota, yaitu Komisi Informasi Kabupaten Sumenep. 99

110 Anggaran dalam bentuk hibah sebelumnya pernah digunakan oleh Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta, yakni sejak terbentuknya yaitu tahun 2012 hingga tahun Namun mulai tahun 2015, anggaran Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta berbentuk DPA. Hal ini dikarenakan adanya penyesuaian kebijakan Pemerintah Provinsi DKI. Bentuk anggaran DPA dan Hibah, digunakan oleh Komisi Informasi Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Papua sejak terbentuk hingga saat ini. 31. Instrumen D4 (Jumlah dan Perbandingan Anggaran Komisi Informasi se-indonesia) Berdasarkan hasil kajian kelembagaan yang diperoleh dari Komisi Informasi yang telah mengisi dan mengembalikan kuesioner, diperoleh data bahwa anggaran yang diterima masing-masing Komisi Informasi tiap tahunnya bervariatif. Komisi Informasi Provinsi Jawa 100

111 Tengah adalah Komisi Informasi Provinsi yang pertama kali terbentuk pada April 2010 dengan anggaran pada Tahun 2010 sebesar Rp ,00, Tahun 2015 sebesar Rp ,00. Sedangkan Komisi Informasi Provinsi yang baru terbentuk adalah Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Barat pada Februari 2015 dengan anggaran kurang lebih ,00. Anggaran Komisi Informasi Provinsi berdasarkan data yang ada (lihat tabel 1 di bawah) mengalami naik turun pada setiap tahunnya. Untuk anggaran pada Tahun 2015 yang paling rendah adalah 500 juta dan yang paling tinggi 5 milyar. Anggaran paling rendah dimiliki oleh Komisi Informasi Provinsi Bali dan yang tertinggi di Provinsi Papua. 101

112 Tabel 1 Anggaran Komisi Informasi No Komisi Informasi Provinsi 2015 (dalam rupiah) 1 Pusat 21 milyar 2 Jawa Tengah 1,7 milyar 3 Jawa Timur 2,8 milyar 4 Kep. Riau 3 milyar 5 Gorontalo 300 juta 6 Banten 2,5 milyar 7 Lampung 1,15 milyar 8 Sulawesi Selatan 1,5 milyar 9 Jawa Barat 1,7 milyar 10 Sumatera Selatan 2 milyar 11 Daerah Istimewa Yogyakarta 800 juta 12 Kalimantan Tengah 800 juta 13 Nusa Tenggara Barat 1,5 milyar 14 DKI Jakarta 7,5 milyar 15 Sulawesi Utara 1,4 milyar 16 Kalimantan Timur 900 juta 17 Bali 500 juta 18 Aceh 1,2 milyar 19 Sumatera Utara 3,3 milyar 20 Sulawesi Tengah 675 juta 21 Riau 1,7 milyar 22 Jambi 1,25 milyar 102

113 23 Bangka Belitung 755 juta 24 Bengkulu 1, 55 milyar 25 Papua 5 milyar 26 Sumatera Barat 997 juta 27 Kalimantan Barat 1,3 milyar 28 Kalimantan Selatan 659,6 juta 29 Kab. Bangkalan tidak menjawab 30 Kab. Sumenep 511 juta 31 Kab. Cirebon Menunggu APBD perubahan 32 Kota Cirebon 400 juta 32. Instrumen D5 (Kendala-Kendala pada Anggaran Komisi Informasi se-indonesia) Secara umum kendala anggaran yang dihadapi oleh Komisi Informasi Provinsi, Kabupaten/Kota antara lain karena anggaran masih menempel pada Dinas Perhubungan dan Informasi sehingga Komisi Informasi mengalami kesulitan dalam melakukan perencanaan, penyusunan program dan penganggaran (lihat dalam tabel 2). Selain mengenai proses penyusunan anggaran, kendala yang dihadapi Komisi Informasi yaitu mengenai kecilnya anggaran yang diterima Komisi Informasi 103

114 Provinsi. Jumlah anggaran yang diterima tersebut, secara otomatis mengurangi jumlah anggaran yang seharusnya diterima oleh Dinas Perhubungan dan Informasi. Hal tersebut, disebabkan secara umum anggaran tersebut adalah milik dari Dinas Perhubungan dan Informasi bukan anggaran khusus yang diterima oleh Komisi Informasi secara langsung. Tabel 2 Faktor-faktor yang menyebabkan kendala penyusunan anggaran No Faktor Indikator Konsekuensi 1 Anggaran menempel pada Dinas Perhubungan dan Informasi 2 Komisi Informasi Provinsi tidak terlibat secara penuh dalam penyusunan anggaran 3 Minimnya anggaran yang diperoleh Komisi Proses penganggaran Tugas dan dilakukan oleh fungsi tidak Dishub Kominfo dapat dijalankan dengan baik. - Tidak mendapat ruang untuk menentukan anggaran. - Proses pencairan anggaran yang lambat. - Anggaran untuk Honor dan Gaji 104

115 Informasi Provinsi beserta tunjangan PNS - Anggaran KI Provinsi mengakibatkan pengurangan anggaran dari Dishub Kominfo 33. Instrumen D6 (Jumlah Anggaran Ideal pada Komisi Informasi se-indonesia) Sebagaimana telah diuraikan di atas mengenai besaran anggaran yang diterima Komisi Informasi Provinsi pada tahun 2015, mayoritas menyatakan bahwa hal tersebut jauh dari kebutuhan. Hal ini disebabkan, anggaran-anggaran tersebut hanya cukup untuk biaya operasional, honor dan gaji serta tunjangan pegawai negeri sipil. Untuk anggaran menjalankan tugas dan fungsi Komisi Informasi dalam bentuk program tidak banyak yang didapatkan. Kondisi ini jelas akan memperlemah dan mempersulit Komisi Informasi untuk merealisasikan tujuan UU KIP yaitu dalam Pasal

116 Berdasarkan hal tersebut, Komisi Informasi Provinsi, Kabupaten/Kota menilai anggaran yang ideal untuk kebutuhan operasional, honor dan gaji beserta tunjangan pegawai negeri sipil, pelaksanaan semua program untuk Komisi Informasi Provinsi sebesar 6 sampai 10 Milyar, untuk Komisi Informasi Kabupaten/Kota sebesar 1 M sampai 1,5 M. 106

117 BAB IV ANALISIS STRUKTUR KELEMBAGAAN SEKRETARIAT PADA KOMISI INFORMASI SE-INDONESIA A. Kedudukan Komisi Informasi sebagai Lembaga Negara Non-Struktural P embentukan suatu lembaga negara merupakan perwujudan negara mencapai penyelenggaraan welfare state (negara kesejahteraan). Salah satunya dengan menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang mensyaratkan pemerintahan yang terbuka (open government). Pemerintahan yang terbuka mensyaratkan adanya jaminan atas hak untuk memantau perilaku pejabat publik dalam menjalankan peran publiknya, hak untuk memperoleh informasi, hak untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan public, kebebasan berekspresi yang antara lain diwujudkan dalam kebebasan pers, dan hak untuk mengajukan keberatan terhadap penolakan atas keempat hak terdahulu. Kehadiran lembaga negara non-struktural pada suatu pemerintahan diciptakan sebagai perpanjangan tangan pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan pemenuhan hak asasi terutama kepada masyarakat. Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya, untuk menentukan suatu lembaga apakah termasuk lembaga negara sebagai organ utama atau primer 107

118 (primary contitutional organs), atau organ pendukung atau penunjang (state auxiliary bodies). Terhadap Komisi Informasi, terdapat ciri lembaga non struktural independen yang secara eksplisit tertuang dalam UU KIP, yaitu: 1. Independen yang memiliki makna pemberhentian anggotanya yang dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Pasal UU KIP. Meskipun pengangkatan anggota Komisi Informasi dilakukan oleh Presiden untuk Komisi Informasi Pusat, Gubernur untuk Komisi Informasi provinsi dan Bupati/Walikota untuk Komisi Informasi kabupaten/kota, namun tidak serta merta dapat dilakukan pemberhentian sewaktu-waktu oleh Presiden dan/atau Gubernur, Bupati/Walikota. Hal ini menunjukkan tidak bergantungnya keberadaan suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden atau lembaga yang bersumber dari beleid Presiden. Artinya, pembentukan, perubahan, ataupun pembubarannya tergantung pada kebijakan presiden semata. Sebagai contoh yaitu Komisi Hukum Nasional, yang terbentuk dan berakhir dengan Keputusan Presiden. 2. Memiliki kepemimpinan yang kolektif dapat dimaknai dengan adanya musyawarah dalam pengambilan kebijakan. Hal ini sebagaimana termuat dalam hal pemilihan ketua dan wakil ketua Komisi Informasi yang dilakukan secara musyawarah dari seluruh anggota Komisi Informasi dan apabila tidak 108

119 tercapai kesepakatan dilakukan pemungutan suara. 98 Dengan demikian, artinya setiap anggota Komisi Informasi memiliki satu suara yang sama dalam melakukan pengambilan kebijakan meskipun Komisi Informasi dipimpin oleh seorang ketua yang merangkap anggota dan didampingi oleh seorang wakil ketua merangkap anggota Memiliki anggotanya dapat berasal dari masyarakat sebagaimana di atur dalam Pasal 25 ayat (1) dan (2) UU KIP. 4. Lembaga yang berfungsi di luar fungsi legislatif, yudikatif, dan eksekutif atau campur sari diantara ketiganya. Dalam Kedudukan kelembagaan Komisi Informasi sebagai lembaga negara non-struktural dapat pula dilihat dari beberapa kriteria sebagai berikut: a. Dasar Hukum Pembentukan Komisi Informasi Dengan memperhatikan bentuk norma hukum yang menjadi sumber atau yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara, dan berkaitan dengan siapa yang merupakan sumber atau pemberi kewenangan terhadap lembaga negara yang bersangkutan, maka upaya untuk memenuhi syarat tersebut salah satunya tertuang dalam konstitusi negara sebagai Hak atas Informasi dalam Pasal 28 f Undang-Undang 98 Pasal 25 atay (5) UU KIP 99 Pasal 25 ayat (3) UU KIP 109

120 Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Jaminan atas hak tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk undang-undang yang mengatur tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Keberadaan UU KIP ini dijadikan sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan (1) hak setiap Orang untuk memperoleh Informasi; (2) kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan Informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan secara sederhana; (3) pengecualian bersifat ketat dan terbatan; (4) kewajiban Badan Publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan informasi. 100 Jaminan mencapai tujuan tersebut ditunjang dengan pembentukan Komisi Informasi sebagai amanat dari UU KIP. Secara tegas Pasal 23 UU KIP menyebutkan mengenai fungsi Komisi Informasi sebagai lembaga mandiri yang menjalankan UU KIP dan peraturan pelaksananya menetapkan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik dan menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi. Pasal ini yang menjadikan Komisi 100 Bagian Umum Penjelasan atas UU KIP 110

121 Informasi sebagai salah satu lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Meskipun dalam UUD 1945 tersebut tidak secara eksplisit membentuk atau memberikan kewenangan secara konstitusi pada Komisi Informasi secara langsung, namun sebagai norma dasar pembentukan UU KIP menjadikan UU KIP yang secara eksplisit sebagai sumber hukum pembentukan Komisi Informasi sebagai lembaga negara dalam arti sempit yang dibentuk oleh negara berdasarkan undang-undang. Lebih lanjut Pasal 24 ayat (1) UU KIP menyebutkan bahwa kedudukan Komisi Informasi terdiri atas Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi provinsi, dan Komisi Informasi kabupaten/kota. Kedudukan ini yang membedakan antara Komisi Informasi Pusat dengan Komisi Infomasi provinsi dan kabupaten/kota dalam segi kewenangannya. Terhadap Komisi Informasi Pusat, sebagai lembaga negara tingkat pusat haruslah memenuhi kriteria dasar pembentukan lembaga negara tingkat pusat yaitu berdasarkan undangundang yang diatur atau ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Keputusan Presiden. Dalam hal ini, dasar hukum pembentukan Komisi Informasi Pusat telah secara eksplisit tertuang dalam UU KIP dan berkedudukan di ibukota 111

122 Negara. 101 Meskipun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2011 sebagai peraturan pelaksana UU KIP tidak mengatur mengenai pembentukan Komisi Informasi Pusat, namun pengangkatan anggota Komisi Informasi Pusat dilakukan oleh Presiden 102 berdasarkan Keputusan Presiden. Hal ini tidak berbeda dengan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, pengangkatan anggotanya dilakukan melalui Keputusan Presiden sebagai pejabat administrasi negara tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa, terhadap lembaga negara yang dibentuk melalui UUD maupun undang-undang, pembentukan dan pengisian jabatan keanggotaan semua lembaga negara tersebut tetap melibatkan peran administrasi yang kekuasaannya tertinggi di tangan Presiden sebagai kepala pemerintahan tertinggi. 103 Untuk Komisi Informasi Provinsi dan Komisi Informasi Kabupaten/Kota, UU KIP yang mulai diberlakukan 2 tahun sejak diundangkan pada tanggal 30 April 2008 memiliki arti bahwa UU KIP secara efektif berlaku pada tahun 2010 dan Komisi Informasi Provinsi sudah harus terbentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkan UU KIP. Dengan demikian secara norma, seharusnya pada Pasal 24 ayat (2) UU KIP. 102 Pasal 31 ayat (3) UU KIP 103 Jimly, Perkembangan hlm

123 April 2012, 34 Provinsi sudah membentuk Komisi Informasi Provinsi. Keberadaan Komisi Informasi Provinsi dan Komisi Informasi Kabupaten/Kota secara eksplisit telah termuat dalam UU KIP, namun untuk mempertegas juga dibentuk dalam peraturan daerah baik yang secara langsung terkait dengan pengangkatan anggotanya maupun pembentukan lembaganya dalam Peraturan Gubernur, Keputusan Gubernur atau Keputusan Bupati/Walikota. Hal ini dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing daerah namun sepanjang sesuai dengan yang diatur dalam UU KIP terkait dengan tugas dan kewenangan serta penetapan anggotanya yang ditetapkan oleh gubernur dan/atau bupati/walikota. 104 Dengan demikian, meskipun UU KIP tidak menjelaskan lebih lanjut berkenaan dengan hubungan secara kelembagaan antara Komisi Informasi Pusat, provinsi dan kabupaten/kota, namun dengan melihat pembentukan Komisi Informasi yang berdasarkan UU KIP atau oleh peraturan yang lebih rendah yang mencakup pada lembaga tingkat pusat dan lembaga negara tingkat daerah, maka dengan mengacu pada pendapat para ahli sebagaimana dijabarkan pada bab II dapat dikategorikan bahwa Komisi Infomasi masih memenuhi kriteria sebagai lembaga negara dalam arti sempit. Sehingga kesetaraan antara lembaga negara 104 Pasal 31 ayat (3) UU KIP 113

124 yang bentuk oleh UUD, undang-undang, maupun peraturan yang lebih rendah mempunyai kedudukan yang sama dengan lembaga negara lain sebagaimana tugas dan fungsi serta kewenangannya diatur oleh peraturan pembentuknya. b. Tugas, Fungsi dan Kewenangan Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ. Pendapat Hans Kelsen tersebut menyatakan bahwa siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ. 105 Pengertian ini dapat diartikan secara luas bahkan setiap organ yang memegang jabatan dapat disebut organ negara sepanjang menciptakan atau menjalankan norma dan sifat kewenangan organ yang bersangkutan harus diberikan oleh undang-undang atau karena kebutuhan adanya kepentingan kontrol rakyat melalui DPR. Komisi Informasi yang merupakan organ pendukung atau penunjang (state auxiliary bodies) dapat dilihat dari tugas, fungsi, dan kewenangannya dari dasar hukum yang membentuknya yaitu UU KIP. Kewenangan yang diberikan kepada Komisi Informasi tersebut merupakan suatu kekuasaan yang diberikan negara untuk menjalankan Keterbukaan Informasi Publik sebagai jaminan akses Hak atas Informasi. Oleh karenanya, pola organisasi sekretariat dari 105 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York, 1961, hlm

125 lembaga non struktural seperti Komisi Informasi dengan dasar pembentukannya adalah undang-undang maka sekretariatnya dijabat oleh pejabat eselon II/III. Tujuan dibentuknya UU KIP adalah untuk 106 : 1. meningkatkan jaminan hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; 2. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; 3. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik; 4. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan; 5. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak; 6. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kebijakan bangsa; dan/atau 7. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas. 106 Pasal 4, Ibid. 115

126 Pasal 23 UU KIP menyebutkan fungsi Komisi Informasi adalah menjalankan Undang-Undang KIP dan peraturan pelaksanaannya menetapkan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik dan menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi. Dalam menjalankan fungsi tersebut, Komisi Informasi juga bertugas untuk: 107 a. Menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap Pemohon Informasi Publik berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; b. Menetapkan kebijakan umum pelayanan Informasi Informasi Publik; dan c. Menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Tugas untuk melakukan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi sebagaimana disebutkan di atas merupakan tugas Komisi Informasi, baik Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi Provinsi, maupun Komisi Informasi Kabupaten/Kota. 107 Pasal 26 ayat (1) UU KIP 116

127 Komisi Informasi sebagai lembaga yang melaksanakan (law applying) UU KIP meskipun mempunyai tugas dan fungsi lain sebagai lembaga yang memutus, namun tidak sesuai dengan definisi sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan menciptakan hukum (law creating). Hal ini dikarenakan hukum yang diputus oleh Komisi Informasi yang tidak keluar dari ranah UU KIP sebagai undang-undang yang membentuknya. Dengan melihat tugas, fungsi serta wewenangan Komisi Informasi yang diberikan UU KIP di atas, memberikan Komisi Informasi sebagai pembuat kebijakan (policy), dan pengaturan (regulatory), serta pengawasan pelaksanan undang-undang. Kewenangan yang berasal dari undang-undang ini berimplikasi bahwa peraturan yang dikeluarkan oleh Komisi Informasi dalam membuat kebijakan dan peraturan, termasuk petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik memiliki kekuatan hukum dan daya ikat terhadap subyek atau pihak yang diaturnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan menyatakan bahwa jenis peraturan perundangundangan selain yang terdapat pada hierarki peraturan perundang-undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau 117

128 dibentuk berdasarkan kewenangan. Dalam Penjelasannya disebutkan bahwa berdasarkan kewenangan adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Untuk jenis peraturan perundang-undangan tersebut antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh komisi yang dibentuk oleh undangundang atau Pemerintah atas perintah undang-undang. B. Struktur Kesekretariatan Komisi Informasi dalam UU KIP Hasil pengumpulan data Komisi Informasi se-indonesia diperoleh fakta bahwa dari 32 (dalam persentase telah tercapai 100%) kuesioner Komisi Informasi se-indonesia yang dikembalikan kepada Tim Kajian, ada sebanyak 4 (12,50%) Komisi Informasi yang belum memiliki sekretariat sehingga dukungan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagaimana tertuang dalam UU KIP belum dapat terlaksana. Sebanyak 22 (68,75%) Komisi Informasi telah memiliki sekretariat namun dipimpin oleh Kepala Sekretariat yang masih rangkap jabatan (ex officio), sedangkan 6 (18,75%) Komisi Informasi daerah lainnya telah memiliki sekretariat yang dipimpin oleh Kepala Sekretariat yang khusus ditugaskan hanya pada Komisi Informasi yang bersangkutan. Data grafik dapat dilihat di bawah ini: 118

129 Namun, ada beberapa Komisi Informasi daerah yang memiliki kekhususan seperti di Provinsi DKI Jakarta. Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta memiliki sekretariat yang juga ditugaskan sebagai sekretariat pada lembaga lain (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Provinsi DKI Jakarta). Pembentukan Komisi Informasi dalam UU KIP tidak didukung dengan peraturan atau ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaannya sehingga menimbulkan banyak tafsir yang berbeda baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini juga menyebabkan dukungan administrasi, tata kelola, anggaran dan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU KIP menjadi tidak seragam dan sangat bergantung pada kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Ditambah dengan keragaman pola geografis di berbagai daerah di seluruh nusantara juga 119

130 mempengaruhi kebutuhan sekretariat Komisi Informasi terutama segi anggaran. Dari data kuesioner kajian kelembagaan sekretariat Komisi Informasi se-indonesia yang dihimpun, sebagian besar Komisi Informasi di daerah menginginkan bentuk sekretariat yang mandiri terlepas dari unsur eksekutif dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika. Namun demikian Pasal 29 ayat (3), (4), dan (5) UU KIP menyebutkan bahwa sekretariat Komisi Informasi Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dipimpin oleh sekretaris yang tugas dan wewenangnya di bidang komunikasi dan informasi sesuai dengan tingkatannya. Hal inilah yang harus mampu diimplementasikan secara proporsional. Artinya bahwa penterjemahan dari pasal tersebut tidak tekstual namun harus mampu mewujudkan kemandirian dari Komisi Informasi. Komisi Informasi dapat bertugas dan berfungsi secara maksimal jika didukung oleh sekretariat yang maksimal juga tanpa mengurangi kemandiriannya sebagai lembaga yang bersifat eksekutif maupun yudikatif. Komisi Informasi sebagai lembaga negara non-struktural mempunyai karakteristik dalam susunan organisasinya yang didukung oleh sekretariat. Dukungan ini dimaksudkan dalam rangka dukungan administrasi, keuangan, dan tata kelola Komisi Informasi dalam menjalankan tugas dan fungsi Komisi Informasi sebagaimana diatur secara jelas pada Pasal 29 ayat (1) UU KIP. Penjelasan Pasal 29 ayat (1) UU KIP menyebutkan siapa yang 120

131 dimaksud dengan Pejabat pelaksana kesekretariatan, adalah pejabat struktural instansi pemerintah yang tugas dan fungsinya di bidang komunikasi dan informatika sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan dari pasal tersebut di Komisi Informasi Pusat dilihat dari penunjukan sekretaris atau orang yang memimpin sekretariat Komisi Informasi Pusat yang ditetapkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika. Kondisi yang berbeda dengan Komisi Informasi Provinsi, Kabupaten/kota, pelaksanaan sekretariat Komisi Informasi provinsi, kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh pejabat yang tugas dan wewenangnya di bidang komunikasi dan informasi di tingkat provinsi, kabupaten/kota yang bersangkutan. Perbedaan ketentuan tersebut membawa implikasi penentuan jabatan sekretaris pada Komisi Informasi provinsi, kabupaten/kota yang sebagian besar dengan skala 65% dari 32 Komisi Informasi se-indonesia merupakan jabatan ex-officio dari dinas terkait. Hal ini yang dipandang sebagai kendala kurang maksimal kinerja sekretariat Komisi Informasi dalam memberikan dukungan pada pelaksanaan tugas Komisi Informasi. Penempatan sekretaris secara ex-officio, dikatakan oleh Kepala Dinas Hub Kominfo Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur strukturnya sendiri dalam rangka efesiensi struktural di Pemprov DKI Jakarta. Hal ini merupakan tidak atau belum diaturnya 121

132 sekretariatan Komisi Informasi provinsi, kabupaten/kota dalam bentuk peraturan pelaksana dari UU KIP. Selain itu, UU KIP juga tidak memberikan bentuk struktur pertanggungjawaban Sekretariat Komisi Informasi. Sehingga, penjabaran mengenai tugas dan fungsi serta pertanggungjawaban Sekretariat Komisi Informasi diserahkan kepada masing-masing pemerintah yang menaunginya. Pada Sekretariatan Komisi Informasi Pusat yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 11/PER/M.KOMINFO/03/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Komisi Informasi Pusat menyebutkan bahwa Sekretariat Komisi Informasi Pusat bertanggung jawab secara operasi (tata kelola) kepada Ketua Komisi Informasi Pusat dan secara adminstratif kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dalam Permenkominfo tersebut juga dijelaskan mengenai eselonisasi untuk Sekretaris Komisi Informasi Pusat yang dijabat dengan jabatan struktural eselon II a, dan terhadap Kepada Bagian dan Kepala subbagian dibawahnya dijabat oleh jabatan struktural eselon III a dan IV a. Aturan yang jelas mengenai tugas, fungsi, wewenang, pertanggungjawaban, dan eselonisasi dalam Sekretariat Komisi Informasi yang tertuang dalam suatu peraturan sangat diperlukan guna terlaksananya dukungan administatif, keuangan dan tata kelola pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi Informasi. Dengan demikian, tidak terjadi lagi keberadaan sekretaris yang ex-officio 122

133 dan tumpang tindih antara tugas serta kedudukan Sekretaris dalam Sekretariat Komisi Informasi. Berbeda dengan kondisi kesekretariatan KPPU yang tidak secara rinci dijabarkan dalam UU No. 5 Tahun 1999, namun pengaturan mengenai organisasi dan tata kerja sekretariat diatur dalam secara tersendiri dalam Keputusan KPPU Nomor 4 Tahun 2010 yang membentuk sekretariat KPPU sebagai kesekjenan yang bertanggung jawab kepada Komisi. Lembaga KPPU di daerah dinamakan Kantor Perwakilan Daerah yang merupakan Kantor Perwakilan Komisi yang menjalankan tugas pokok dan fungsi administratif Sekretariat KPPU di daerah dan bertanggung jawab langsung kepada Sekjen Sumber Daya Manusia Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) (Vide Pasal 59 UU KIP) yang memiliki tugas dan fungsi melaksanakan UU KIP, menetapkan standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi (Vide Pasal 1 angka 3 dan Pasal 23 UU KIP). Berdasarkan penjelasan di atas, maka tugas, fungsi dan wewenang Komisi Informasi dapat ditarik kesimpulan: 108 Pasal 131, Ibid. 123

134 a) memiliki tugas dan fungi melaksanakan UU KIP. b) menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik. c) menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi. Tugas dan fungsi Komisi Informasi sebagaimana disebutkan di atas, yang menjadi tugas rutinitas adalah menyelesaikan sengketa informasi publik melalui Mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi. Berikut adalah uraian tugas dan fungsi Komisi Informasi: a) Fungsi dan Tugas Melaksanakan UU KIP Secara implisit tugas dan fungsi melaksanakan UU KIP tidak diatur dalam UU KIP, akan tetapi cermin dari pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut dapat dimaknai pada tujuan UU KIP yang diatur dalam Pasal 3 UU KIP. Secara umum tujuan UU KIP antara lain: 1) membangun sistem pengelolaan dan layanan informasi yang lebih baik di Badan Publik; 2) menjamin hak warga negara atas informasi; 3) mendorong keterlibatan masyarakat dalam setiap pembuatan dan pengambilan keputusan; 4) mendorong akuntabilitas penyelenggaraan negara; dan 5) mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 124

135 Untuk mewujudkan tujuan UU KIP itu, maka kewajiban-kewajiban yang diperintahkan UU KIP kepada badan publik sudah sepatutnya dilaksanakan, antara lain: 1) mendorong pelaksanaan UU KIP salah satu indikatornya adalah terbentuknya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) pada setiap Badan Publik. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9, Pasal 13 UU KIP, pada pokoknya disebutkan PPID memiliki tanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi publik. Sehingga kehadiran PPID ini dapat memberikan pelayanan informasi secara cepat, tepat, dan sederhana kepada publik. 2) mendorong terbentuknya Komisi Informasi Provinsi (Vide Pasal 60 UU KIP). Dibentuknya Komisi Informasi Provinsi maka akan dapat membantu terimplementasikannya tujuan UU KIP yang tidak tersentral di pemerintahan pusat, dan apabila terjadi sengketa informasi publik yang melibatkan pemerintah tingkat provinsi dapat diselesaikan oleh Komisi Informasi Provinsi. 3) membangun masyarakat informasi. Konsideran UU KIP telah terang menyebutkan bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pembangunan pribadi dan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, apabila masyarakat dapat 125

136 memperoleh informasi publik dengan mudah, maka masyarakat dapat melakukan pengawasan dan turut serta dalam pembuatan/pengambilan setiap kebijakan yang berakibat pada kepentingan publik. Guna memperoleh kondisi secara kongkrit terhadap implementasi UU KIP. Komisi Informasi melakukan monitoring dan evaluasi atau pemeringkatan kepatuhan badan publik dalam melaksanakan ketentuan UU KIP. Monitoring ini dilaksanakan satu tahun sekali dan telah dimulai pada tahun Monitoring dilakukan dengan berbagai tahapan mulai dari, penyusunan instrumen, uji publik instrumen, sosialisasi instrumen, penyebarluasan instrumen monitoring ke seluruh badan publik tingkat pusat maupun provinsi, visitasi kepada badan publik, dan tahapan terakhir adalah pengumuman hasil monitoring. b) Fungsi dan Tugas Menetapkan Petunjuk Teknis Standar Layanan Informasi Publik Fungsi dan Tugas menetapkan standar layanan informasi publik ini, secara faktual telah dilaksanakan Komisi Informasi melalui Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik (Perki SLIP) yang ditetapkan pada tanggal 30 April

137 c) Fungsi dan Tugas Menyelesaikan Sengketa Informasi Publik. Secara faktual, tugas dan fungsi Komisi Informasi selain mewujudkan tujuan UU KIP yang diatur dalam Pasal 3 UU KIP sebagaimana disebutkan di atas adalah menyelesaikan sengketa informasi publik. Tugas menyelesaikan sengketa ini dapat dikatakan sebagai tugas utama atau tugas yang rutinitas dilaksanakan Komisi Informasi karena tugas penyelesaian sengketa informasi publik yang dimiliki Komisi Informasi ini mendapat perhatian para pakar ketatanegaraan. Berdasarkan fungsi tersebut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Periode , yaitu Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. pernah menyebutkan dalam sebuah artikel yang berjudul pengadilan khusus bahwa Komisi Informasi merupakan lembaga yang mempunyai kewenangan bersifat quasi yudisial (semi peradilan) sehingga harus dipandang sebagai lembaga yang bekerja sebagai bagian dari sistem peradilan. Salah satu ciri lembaga peradilan adalah memiliki pengelolaan administrasi yustisial yang diatur dalam hukum acara (Court of Law) yang dilaksanakan dengan baik dan benar, tertib dalam melaksanakan administrasi perkara. Oleh karenanya, tertib administrasi yang merupakan bagian dari Court of Law adalah mutlak harus dilaksanakan oleh Panitera. Secara yuridis formal, fungsi dan tugas tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) 127

138 huruf a, yang pada pokoknya disebutkan Komisi Informasi bertugas menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap Pemohon Informasi Publik berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam UU KIP. Banyaknya sengketa informasi publik yang diterima baik oleh Komisi Informasi Pusat maupun Komisi Informasi di daerah, dapat menggambarkan tentang: (1) antusias masyarakat dalam memperjuangkan hak atas informasi; (2) minimnya tingkat kepatuhan Badan Publik terhadap UU KIP; dan (3) terjadinya penumpukan sengketa. Terjadinya penumpukan sengketa dikarenakan faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal, arus permohonan penyelesaian sengketa informasi yang setiap tahunnya terus meningkat. Disamping itu dukungan sumber daya manusia untuk membantu tugas dan fungsi khususnya dalam penyelesaian sengketa masih sangat minim. Faktor eksternal, faktor ini dapat dibagi menjadi dua, pertama, belum patuhnya badan publik dalam melaksanakan UU KIP, kedua, adanya ketidakjelasan 128

139 alasan dalam melakukan uji akses informasi kepada badan publik, yang mengakibatkan terjadinya sengketa informasi. Pembagian Bidang Anggota Komisi Informasi Berdasarkan pemaparan mengenai tugas, fungsi, dan kewenangan Komisi Informasi, saat ini pembagian bidang anggota Komisi Informasi adalah : 1. Bidang Penyelesaian Sengketa Informasi; 2. Bidang Advokasi, Sosialisasi dan Edukasi; 3. Bidang Kelembagaan Pada kajian ini, dengan didasarkan pada hasil data serta analisa, maka dipaparkan bentuk pembagian bidang Anggota Komisi Informasi yang diharapkan menjadi terjemahan dari amanah UU. Konsep pembagian bidang Komisi Informasi adalah sebagai berikut: 1. Bidang Pencegahan Sengketa Informasi Publik; 2. Bidang Penanganan Sengketa Informasi Publik; dan 3. Bidang Tata Kelola dan Kelembagaan. 129

140 No. Bidang Sub Bidang 1. Pencegahan 1. Pendidikan & Sengketa Sosialisasi Informasi Publik 2. Penelitian & Pengembangan 2. Penanganan 1. Penyelesaian Sengketa Sengketa Informasi Publik Informasi Publik 2. Penyusunan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis 3. Tata Kelola & 1. Pengelolaan & Kelembagaan Pelayanan Informasi Publik 2. Hubungan antar lembaga Dasar Hukum (UU KIP) Pasal 3 a, b, c, e Pasal 3 f, dan Pasal 26 (1) c Pasal 26 (1) a Pasal 26 (1) c Pasal 3 g dan Pasal 26 (1) b Pasal 3 d Dukungan Administratif Berdasarkan ketentuan UU KIP, Komisi Informasi dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana disebutkan di atas, mendapat dukungan administrasi, keuangan, dan tata kelola yang dilaksanakan oleh sekretariat komisi yang secara yuridis dan faktual dilaksanakan oleh pegawai negeri sipil di bidang Komunikasi dan Informatika (Vide Pasal 29 UU KIP). Kelembagaan sekretariat Komisi Informasi Pusat diatur 130

141 berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 05/PER/M.KOMINFO/03/2010, yang kemudian dicabut dengan Peraturan Nomor 11/PERM/M.KOMINFO/03/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Komisi Informasi Pusat. KOMISI INFORMASI PUSAT SEKRETARIAT KOMISI INFORMASI PUSAT BAGIAN PERENCANAAN BAGIAN ADMINISTRASI PENGADUAN DAN PENYELESAINAN SENGKETA BAGIAN UMUM SUBBAGIAN PROGRAM SUBBAGIAN ADMINISTRASI PENGADUAN SUBBAGIAN KEUANGAN SUBBAGIAN EVALUASI DAN PELAPORAN SUBBAGIAN ADMINISTRASI PENYELESAIAN SENGKETA SUBBAGIAN TATA USAHA DAN PERLENGKAPAN KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL 131

142 Berdasarkan UU KIP juncto Permen Kominfo, Sekretariat Komisi Informasi Pusat dipimpin oleh seorang Sekretaris, sedangkan struktur organnya (lihat tabel struktur di atas) terdiri dari (1) Bagian Perencanaan, (2) Bagian Administrasi Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa dan (3) Bagian Umum (Vide Pasal 29 ayat (3) UU KIP juncto Pasal 4 Permen Kominfo). Tugas inti dari Sekretariat Komisi Informasi adalah melaksanakan dukungan teknis dan administratif dalam menyelenggarakan tugas, fungsi dan wewenang Komisi Informasi, sedangkan fungsi sekretariat Komisi Informasi terdiri dari: (a) menyiapkan bahan penyusunan perencanaan dan program; (b) penyediaan dukungan administrasi pelayanan pengaduan dan penyelesaian sengketa informasi publik; (c) pelaksanaan tugas ketatausahaan, kepegawaian, keuangan, perlengkapan kerumahtanggaan; dan (d) penyiapan bahan dokumentasi dan kepustakaan. Dukungan-dukungan yang diberikan oleh Sekretariat Komisi Informasi sebagaimana diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan dukungannya hanya sebatas pada urusan administrasi tidak sampai pada dukungan substansi berkaitan dengan tugas dan fungsi Komisi Informasi dalam hal penetapan suatu regulasi dan 132

143 penyelesaian sengketa informasi publik. Dukungan yang diberikan tersebut memang telah dibatasi oleh UU KIP juncto Permen Kominfo Nomor 05 Tahun 2010 sebagaimana dicabut dengan Permen Kominfo Nomor 11 Tahun Dukungan Substansi Berdasarkan Peraturan Komisi Informasi Nomor 2 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Komisi Informasi Pusat sebagaimana dicabut dengan Peraturan Komisi Informasi Pusat Nomor 1 Tahun 2012 tentang Tata Tertib Komisi Informasi Pusat (Perki Tata Tertib Komisi Informasi Pusat), dan berdasarkan Peraturan Komisi Informasi Pusat Nomor 2 Tahun 2010 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik, yang telah dicabut dengan Peraturan Komisi Informasi Pusat Nomor 1 Tahun 2013 (Perki PPSIP), maka dalam rangka melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang Komisi Informasi Pusat, dibantu oleh: a) Dewan Kehormatan, b) Tenaga Ahli, c) Asisten Ahli, d) kelompok kerja, e) perangkat lainnya yang ditetapkan melalui rapat pleno, (Vide Pasal 8 Perki Tata Tertib KI Pusat), dan 133

144 f) Panitera dan Panitera Pengganti (Vide Pasal 1 angka 16 dan 17 Perki PPSIP). Dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) Perki Tata Tertib Komisi Informasi Pusat, pada pokoknya disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Komisi Informasi Pusat dapat dibantu oleh Tenaga Ahli sesuai kompetensi dan kebutuhan. Sedangkan dalam Pasal 8 Perki Tata Tertib Komisi Informasi Pusat, disebutkan Tenaga Ahli memiliki fungsi memberikan pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan untuk penyelesaian tugas, fungsi, dan wewenang Komisi Informasi Pusat, sedangkan Asisten Ahli memiliki fungsi membantu penyelesaian tugas-tugas pokok Komisioner Komisi Informasi Pusat. Walaupun Perki Tata Tertib ini hanya berlaku bagi Komisi Informasi Pusat tetapi dapat menjadi gambaran juga bagi Komisi Informasi Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota. Dari fungsi Tenaga Ahli dan Asisten Ahli yang disebutkan di atas, dapat tercermin pada tugas, fungsi dan wewenang, oleh karena itu dapat digambarkan fungsi Tenaga Ahli dan Asisten Ahli sebagai berikut: 1) Membantu/memberikan pertimbangan pada fungsi dan tugas Komisi Informasi dalam melaksanakan UU KIP. 134

145 2) Membantu/memberikan pertimbangan pada fungsi dan tugas Komisi Informasi membuat regulasi. Adapun peran Tenaga Ahli dan Asisten Ahli dalam tugas dan fungs Komisi Informasi sebagai regulator mencakup: a. sebagai legal drafter, b. menyiapkan bahan-bahan pembuatan regulasi, c. menyusun draf regulasi, d. melakukan berbagai kajian Adapun output akhir yang dihasilkan Tenaga Ahli dan Asisten Ahli kepada Komisioner Komisi Informasi adalah draf awal regulasi. 3) Membantu penyusunan pertimbangan pada fungsi dan tugas Komisi Informasi dalam menyelesaikan sengketa informasi publik. Fungsi dan tugas menyelesaikan sengketa informasi publik, dapat disebut sebagai tugas pokok Komisi Informasi. Untuk menjalankan tugas ini, Komisioner Komisi Informasi berpedoman pada UU KIP juncto Perki PPSIP. Adapun tahapan dalam proses penyelesaian sengketa informasi publik, antara lain yaitu menerima, memeriksa dan memutus sengketa informasi yang dapat dijelaskan secara detail sebagai berikut. 135

146 a) Menerima permohonan penyelesaian sengketa informasi publik; b) Melakukan verifikasi permohonan penyelesaian sengketa informasi publik; c) Meregister permohonan penyelesaian sengketa informasi publik; Komisi Informasi sebagai lembaga non struktural (state auxiliary bodies) yang berdasarkan tugasnya dapat disebut sebagai lembaga quasi yudisial. Tentunya dalam melaksanakan tugasnya menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi dibantu Panitera dan/atau Panitera Pengganti. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 16 Perki PPSIP, disebutkan Panitera adalah Sekretaris Komisi Informasi yang bertanggung jawab mengelola administrasi permohonan penyelesaian sengketa, membantu Mediator, membantu Majelis Komisioner di dalam persidangan, mencatat persidangan, membuat Berita Acara Persidangan, dan menyusun laporan hasil persidangan. Sedangkan Panitera Pengganti adalah pegawai di lingkungan Komisi Informasi yang ditunjuk oleh Panitera untuk bertanggung jawab membantu/menjalankan tugastugas Panitera (Vide Pasal 1 angka 17 Perki PPSIP). 136

147 Dalam rangka melaksanakan tugas administrasi penyelesaian sengketa informasi publik, peran Panitera dan/atau Panitera Pengganti sebagaimana diatur dalam Perki PPSIP antara lain yaitu. 1) Menerima permohonan penyelesaian sengketa informasi publik. 2) Membantu pemohon menuangkan permohonan penyelesaian sengketa informasi publik dalam sebuah formulir (Vide Pasal 9 ayat 4 Perki PPSIP); 3) Menerbitkan Akta Registrasi dan/atau meneribitkan Akta Pembatalan Registrasi (Vide Pasal 15 ayat (1) Perki PPSIP); 4) Memeriksa kelengkapan permohonan penyelesaian sengketa informasi publik (Vide Pasal 16 ayat (1) Perki PPSIP); 5) Mencatat permohonan dalam buku registrasi (Vide Pasal 16 ayat (2) Perki PPSIP); 6) Menyampaikan surat panggilan kepada Pemohon dan Termohon (Vide Pasal 24 ayat (1) Perki PPSIP); 7) Merekam seluruh proses persidangan (Vide Pasal 33 ayat (1) Perki PPSIP); Dari tugas-tugas Panitera dan/atau Panitera Pengganti di KI yang disebutkan di atas, maka peran Panitera dan/atau Panitera Pengganti sangat penting karena, suatu lembaga yang memiliki fungsi yudisial dan/atau quasi yudisial, kepaniteraan (Panitera dan/atau 137

148 Panitera Pengganti) merupakan suatu organ tersendiri dalam skema lembaga quasi yudisial. Kondisi nyata dilapangan baik Komisi Informasi Pusat maupun Komisi Informasi daerah memiliki SDM yang diisi oleh PNS dan Non PNS. Rincian persentase staf PNS yang mengisi kesekretariatan adalah Eselon 2 sebanyak 7%, Eselon 3 sebanyak 23%, Eselon 4 sebanyak 14% dan sisanya merupakan staf Non PNS. Komisi Informasi Pusat secara khusus menyebutkan bahwa SDM yang dimiliki tidak seimbang, antara jumlah PNS dan non PNS yang seharusnya sama-sama berjumlah 50%. Komisi Informasi Pusat juga menambahkan, alasan ketidakseimbangan tersebut mungkin dapat disebabkan adanya moratorium pengangkatan PNS selama 5 tahun sehingga jarak antara pimpinan dan kader di bawahnya cukup jauh. Walaupun kebutuhan akan SDM telah terisi namun kuantitas dan kualitas SDM tersebut belum memadai. Ada 69% sekretariat Komisi Informasi belum memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai, yaitu pada Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi Provinsi Bali, DKI Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Riau, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bangka Belitung, Gorontalo, Jambi, Jawa Timur, Papua, 138

149 Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, D.I Yogyakarta, serta Komisi Informasi Kabupaten Bangkalan dan Sumenep. Sedangkan Komisi Informasi yang menyatakan SDM-nya telah memadai sebanyak 25% antara lain pada Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Banten, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Bengkulu dan Komisi Informasi Kabupaten Cirebon serta Komisi Informasi Kota Cirebon. Permasalahan terhadap kuantitas dan kualitas yang dihadapi itu dikarenakan penempatan SDM tersebut tidak didasari semangat untuk menumbuhkembangkan KI secara kelembagaan. Kebutuhan akan latar belakang pendidikan untuk mengisi tugas dan fungsi Komisi Informasi secara kelembagaan tidak dijadikan dasar pertimbangan dalam menempatkan pekerja-pekerja pada Komisi Informasi. Kementrian dan dinas terkait dibidang komunikasi dan informasi yang memiliki kewajiban untuk mendukung administrasi dan tata kelola Komisi Informasi hanya memberikan atau menempatkan SDM yang seadanya hanya untuk mengisi kekosongan SDM yang dibutuhkan agar tugas dan fungsi Komisi Informasi dapat berjalan. 139

150 Banyaknya Pegawai PNS yang tidak sesuai dengan kemampuannya dibidang hukum begitu pula yang dialami oleh KI Pusat menyebabkan banyaknya Komisi Informasi yang merekrut pegawai non PNS dengan latar belakang yang sesuai dengan kebutuhan tugas, fungsi, dan kewenangan Komisi Informasi yang pokok yaitu menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi non-litigasi. Namun, pada faktanya karena kelembagaan Komisi Informasi yang masih lemah dan belum tertuang dalam regulasi yang jelas mulai dari pusat sehingga baik Komisi Informasi daerah maupun Pemerintah Daerah melakukan penafsiran masing-masing terhadap ketentuan SDM di Komisi Informasi yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan ketidakseragaman pengaturan SDM sehingga pengikatan kontrak kerjanya juga masih disesuaikan dengan kebutuhan. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya data yaitu untuk jabatan SDM yang berstatus PNS dasar pengangkatan (surat tugas atau SK) dari Dinas terkait (SKPD Terkait). Adapun untuk SDM yang berstatus non PNS terdapat dua dasar pengangkatan sebagai pegawai di Komisi Informasi yaitu ada yang dari Keputusan Ketua Komisi Informasi atau Sekretaris Komisi informasi. KI Pusat sendiri pegawai non PNS-nya dikontrak dengan SK yang dikeluarkan oleh Sekretaris sebagai bentuk pertanggungjawaban penggunaan anggaran oleh KPA 140

151 yang dijabat oleh Sekretaris itu sendiri. Selain KI Pusat, pengangkatan SDM pada KI Provinsi Jawa Barat dan KI Kota Cirebon juga dilakukan oleh Sekretaris Komisi Informasi (dapat dilihat pada grafik dasar hukum pengangkatan SDM). Telah dijelaskan di atas bahwa pengangkatan SDM pada KI berbeda-beda, yaitu pengangkatan oleh ketua KI, sekretaris KI, atau dinas terkait. Dalam UU ASN Pasal 53 menyebutkan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya, dan pejabat fungsional keahlian utama kepada: a. menteri di kementerian; b. pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian; c. sekretaris 141

BEBERAPA CATATAN TENTANG LEMBAGA-LEMBAGA KHUSUS DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA 1. (Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

BEBERAPA CATATAN TENTANG LEMBAGA-LEMBAGA KHUSUS DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA 1. (Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. BEBERAPA CATATAN TENTANG LEMBAGA-LEMBAGA KHUSUS DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA 1 (Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.) 2 KEBERADAAN LEMBAGA-LEMBAGA KHUSUS Lembaga-lembaga khusus atau special

Lebih terperinci

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Hamdan Zoelva 2 Pendahuluan Negara adalah organisasi, yaitu suatu perikatan fungsifungsi, yang secara singkat oleh Logeman, disebutkan

Lebih terperinci

ASAS HUKUM TATA NEGARA. Riana Susmayanti, SH.MH

ASAS HUKUM TATA NEGARA. Riana Susmayanti, SH.MH ASAS HUKUM TATA NEGARA Riana Susmayanti, SH.MH SUMBER HTN Sumber hukum materiil, yaitu Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan falsafah negara. Sumber hukum formil, (menurut Pasal7 UU No.

Lebih terperinci

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Teknologi informasi dipercaya sebagai kunci utama dalam sistem informasi manajemen. Teknologi informasi ialah seperangkat alat yang sangat penting untuk bekerja

Lebih terperinci

LEMBAGA LEMBAGA NEGARA. Republik Indonesia

LEMBAGA LEMBAGA NEGARA. Republik Indonesia LEMBAGA LEMBAGA NEGARA Republik Indonesia 1. Sumbernya a. Berdasarkan UUD (Constitutionally entrusted powers) b. Berdasarkan UU (Legislatively entrusted powers) 2. fungsinya a. lembaga yang utama atau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin bangsa, negarawan pendiri NKRI dengan segala kekurangan dan kelebihannya telah berhasil merumuskan konstitusi Indonesia

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pembahasan pada bab-bab terdahulu, dapat ditarik. 1. Lembaga Negara independen adalah lembaga yang dalam pelaksanaan

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pembahasan pada bab-bab terdahulu, dapat ditarik. 1. Lembaga Negara independen adalah lembaga yang dalam pelaksanaan 1 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan pada bab-bab terdahulu, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Lembaga Negara independen adalah lembaga yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) 2.1 Sejarah Singkat Organisasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM (DKPP) DALAM PEMILU LEGESLATIF DI KABUPATEN

BAB III PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM (DKPP) DALAM PEMILU LEGESLATIF DI KABUPATEN BAB III PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM (DKPP) DALAM PEMILU LEGESLATIF DI KABUPATEN CIANJUR TAHUN 2014 A. Kode Etik Penyelenggara Pemilu Amandemen UUD 1945

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjamurnya lembaga negara, termasuk keberadaan komisi negara

BAB I PENDAHULUAN. Menjamurnya lembaga negara, termasuk keberadaan komisi negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjamurnya lembaga negara, termasuk keberadaan komisi negara independen, sebetulnya adalah konsekuensi logis dari redistribusi kekuasaan negara yang terjadi

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan Indonesia mengalami perubahan cepat di era reformasi. Proses demokratisasi dilakukan

Lebih terperinci

Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara. Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I

Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara. Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I Prolog Lembaga negara (staatsorgaan/political institution) merupakan suatu organisasi yang tugas

Lebih terperinci

JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA!

JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA! JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA! MATERI KHUSUS MENDALAM TATA NEGARA Sistem Pembagian Kekuasaan Negara Republik Indonesia Menurut Uud 1945 Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak

Lebih terperinci

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei Sejak reformasi dan era pemilihan langsung di Indonesia, aturan tentang pemilu telah beberapa kali mengalami penyesuaian. Saat ini, empat UU Pemilu yang berlaku di Indonesia kembali dirasa perlu untuk

Lebih terperinci

INDEPENDENSI OJK TERUSIK? Oleh: Wiwin Sri Rahyani *

INDEPENDENSI OJK TERUSIK? Oleh: Wiwin Sri Rahyani * INDEPENDENSI OJK TERUSIK? Oleh: Wiwin Sri Rahyani * Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedikit mulai terusik dengan adanya pengajuan uji materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 1 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

LEMBAGA NEGARA DALAM PERSPEKTIF AMANDEMEN UUD 1945 H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

LEMBAGA NEGARA DALAM PERSPEKTIF AMANDEMEN UUD 1945 H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI LEMBAGA NEGARA DALAM PERSPEKTIF AMANDEMEN UUD 1945 H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI LATAR BELAKANG MASALAH SEBELUM AMANDEMEN Substansial (regulasi) Struktural Cultural (KKN) Krisis Pemerintahan FAKTOR YANG

Lebih terperinci

2017, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Neg

2017, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Neg No.1748, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DKPP. Kode Etik dan Pedoman Perilaku. PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG KODE ETIK DAN

Lebih terperinci

LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA. Oleh :

LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA. Oleh : 209 LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA Oleh : I Wayan Wahyu Wira Udytama, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract Indonesia is a unitary state based

Lebih terperinci

Kriteria Lembaga Non Struktural Tinjauan Administrasi Negara

Kriteria Lembaga Non Struktural Tinjauan Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara RI Kriteria Lembaga Non Struktural Tinjauan Administrasi Negara Sri Hadiati WK, SH, MBA Deputi Bidang Kajian Kinerja Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur Focus Group Discussion

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

Komisi Yudisial. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 25 Juni 2008

Komisi Yudisial. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 25 Juni 2008 Komisi Yudisial R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 25 Juni 2008 Pokok Bahasan Latar Belakang Kelahiran Komisi Yudisial dan Konteks Pemantauan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan yang terlepas dari kekuasaan eksekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam TUGAS AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Hukum tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam Oleh: Nurul Hapsari Lubis 110110130307 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PERLUNYA MENDISAIN ULANG INSTITUSI NEGARA (Ditinjau dari Keuangan Negara)

PERLUNYA MENDISAIN ULANG INSTITUSI NEGARA (Ditinjau dari Keuangan Negara) PERLUNYA MENDISAIN ULANG INSTITUSI NEGARA (Ditinjau dari Keuangan Negara) Oleh: BAHARUDDIN ARITONANG Anggota DPR dan BP MPR (Periode Tahun 1999 2004). Kini anggota BPK ABSTRAK Usai iklan Komisi Yudisial,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.Hum sebagai Pemohon I; 2. Hotman Tambunan, S.T., MBA.sebagai Pemohon II; 3. Dr.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI) A. Pengertian Politik POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI) Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan rangkaian

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

KEDUDUKAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA KEDUDUKAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Oleh: Luh Gede Mega Karisma I Gde Putra Ariana Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT

GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG TATA KERJA KOMISI INFORMASI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (1)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk

-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik... 133 I. Umum... 133 II. Pasal Demi Pasal...

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik... 133 I. Umum... 133 II. Pasal Demi Pasal... DAFTAR ISI Hal - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum... - BAB I Ketentuan Umum... 4 - BAB II Asas Penyelenggara Pemilu... 6 - BAB III Komisi Pemilihan

Lebih terperinci

UU & Lembaga Pengurus Tipikor L/O/G/O

UU & Lembaga Pengurus Tipikor L/O/G/O UU & Lembaga Pengurus Tipikor L/O/G/O Politik Nasional Indonesia Indonesia merupakan negara republik presidensil yang multipartai demokratis Politik nasional merupakan kebijakan menggunakan potensi nasional

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di KETERANGAN PENGUSUL ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

KAJIAN HUKUM KOMISIONER KKR MENJADI DEKAN PTS

KAJIAN HUKUM KOMISIONER KKR MENJADI DEKAN PTS J A R I N G A N S U R V E I I N I S I A T I F 1 KAJIAN HUKUM KOMISIONER KKR MENJADI DEKAN PTS Tim riset JSI (Aryos Nivada, MA & Teuku Harist Muzani, SH) Anggota Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, pikiran, perilaku, dan kebijakan pemerintahan negara

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU APARATUR SIPIL NEGARA KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU APARATUR SIPIL NEGARA KOMISI II DPR RI TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT PANJA RUU APARATUR SIPIL NEGARA KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan,

Lebih terperinci

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SIARAN PERS DAPAT SEGERA DITERBITKAN Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU- XV/2017 tanggal

Lebih terperinci

KETUA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN HADIRI PERTEMUAN PIMPINAN LEMBAGA NEGARA

KETUA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN HADIRI PERTEMUAN PIMPINAN LEMBAGA NEGARA KETUA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN HADIRI PERTEMUAN PIMPINAN LEMBAGA NEGARA bpk.go.id Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan pertemuan dengan pimpinan lembaga negara di Majelis Permusyawaratan Rakyat

Lebih terperinci

LNS yang Dibentuk Berdasarkan Undang-Undang Jumat, 09 Juni 2017

LNS yang Dibentuk Berdasarkan Undang-Undang Jumat, 09 Juni 2017 LNS yang Dibentuk Berdasarkan Undang-Undang Jumat, 09 Juni 2017 KLASIFIKASI LNS BERDASARKAN DASAR HUKUM I. LNS YANG DIBENTUK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG A. TELAH DICANTUMKAN JELAS NAMA LNS DALAM UU (MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA TOR & RAB. : Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah Dalam Mendukung Sekretariat Komisi Informasi

KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA TOR & RAB. : Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah Dalam Mendukung Sekretariat Komisi Informasi KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA TOR & RAB KEGIATAN TEMA : Diskusi Terbatas : Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah Dalam Mendukung Sekretariat Komisi Informasi TAHUN 2017 1 A. PENDAHULUAN Informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara adalah suatu organisasi yang terdiri dari masyarakat yang mempunyai sifat-sifat khusus antara lain sifat memaksa, dan sifat monopoli untuk mencapai tujuannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Seperti dapat diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga Negara Bantu dalam Struktur Ketatanegaran Republik Indonesia Corruption Eradication Commission Institutional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU PENYELENGGARA

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan 136 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pilkada di Indonesia

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PELANGGARAN ADMINISTRASI TERKAIT LARANGAN MEMBERIKAN

Lebih terperinci

16. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia

16. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG TRANSPARANSI, PARTISIPASI DAN AKUNTABILITAS DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU (STATE AUXILIARY INSTITUTIONS) Oleh : Tjokorda Gde Indraputra I Nyoman Bagiastra

KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU (STATE AUXILIARY INSTITUTIONS) Oleh : Tjokorda Gde Indraputra I Nyoman Bagiastra KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU (STATE AUXILIARY INSTITUTIONS) Oleh : Tjokorda Gde Indraputra I Nyoman Bagiastra Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA. Oleh: Antikowati, S.H.,M.H.

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA. Oleh: Antikowati, S.H.,M.H. 1 REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA Oleh: Antikowati, S.H.,M.H. 1 ABSTRAK Undang-Undang Dasar 1945 (pasca amandemen) tidak

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan L IHA PEMILIHAN UMUM

BAB 1 Pendahuluan L IHA PEMILIHAN UMUM BAB 1 Pendahuluan SI L IHA N PEM UMUM MI KO I 2014 PEMILIHAN UMUM A. Latar Belakang Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan yang telah mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semenjak demokrasi menjadi atribut utama Negara modern, maka lembaga perwakilan merupakan mekanisme utama untuk merealisasi gagasan normatif bahwa pemerintahan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KODE ETIK PENYELENGGARA NEGARA SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN ETIKA BAGI PENYELENGGARA NEGARA

KODE ETIK PENYELENGGARA NEGARA SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN ETIKA BAGI PENYELENGGARA NEGARA KODE ETIK PENYELENGGARA NEGARA SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN ETIKA BAGI PENYELENGGARA NEGARA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 01 November 2014; disetujui: 01 Desember 2014 Terselenggaranya tata pemerintahan

Lebih terperinci

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M No.73, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Penyelenggaraan. Pembinaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6041) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD NEGARA TAHUN 1945

KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD NEGARA TAHUN 1945 KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD NEGARA TAHUN 1945 Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP.19651216 198903 2 012 Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN PROVINSI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemilihan umum secara langsung

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini telah berada dalam tahap yang parah, mengakar dan sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemilihan umum secara langsung

Lebih terperinci

2016, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang; b. bahwa Pasal 22B huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tent

2016, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang; b. bahwa Pasal 22B huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tent No.1711,2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAWASLU.Pemilihan.Gubernur.Bupati.Walikota.Pelanggaran Administrasi. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

Pasal 4. (1) Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan Undang Undang ini.

Pasal 4. (1) Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan Undang Undang ini. CAPAIAN POSITIP DALAM UU KIP PELEMBAGAAN /PENGAKUAN Pasal 4 Kecuali ayat (3) yang masih mensyaratkan permintaan HAK PUBLIK ATAS INFORMASI (1) Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.182, 2014 LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemilihan umum

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 101, 2011 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN

Lebih terperinci

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PERKEMBANGAN KONTEMPORER SISTEM ETIKA PUBLIK Dewasa ini, sistem etika memperoleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENJUALAN KENDARAAN PERORANGAN DINAS TANPA MELALUI LELANG. sinarmedia-news.com

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENJUALAN KENDARAAN PERORANGAN DINAS TANPA MELALUI LELANG. sinarmedia-news.com TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENJUALAN KENDARAAN PERORANGAN DINAS TANPA MELALUI LELANG sinarmedia-news.com I. PENDAHULUAN Pelaksanaan urusan pemerintahan, baik pada tingkat pusat maupun daerah tidak terlepas

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PENGAWASAN ATAS PENDAFTARAN, VERIFIKASI PARTAI POLITIK CALON PESERTA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG SALINAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Bahan TIMUS 23-06-04 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR..TAHUN.. TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci