PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PEMECATAN PRAJURIT TNI DARI DINAS MILITER DAN AKIBATNYA. Disampaikan oleh

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PEMECATAN PRAJURIT TNI DARI DINAS MILITER DAN AKIBATNYA. Disampaikan oleh"

Transkripsi

1 1

2 PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PEMECATAN PRAJURIT TNI DARI DINAS MILITER DAN AKIBATNYA Disampaikan oleh H. M. Imron Anwari, SH., Spn., Mkn TUADA ULDILMIL MARI I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana telah kita ketahui pindana tambahan pemecatan dari dinas Militer bagi seorang Prajurit hanya diatur dalam kitab undang-undangh hukum pidana Militer (KUHPM). Dilihat dari perspektif hukum pidana KUHPM dapat dikategorikan sebagai hukum pidana khusus, hal tersebut disebabkan KUHPM dibentuk dan diberlakukan bagi orang-orang tertentu misalnya anggota angkatan bersenjata yang pengaturannya dilakukan secara khusus. Dengan demikian KUHPM merupakan kitab hukum pidana yang diberlakukan khusus bagi anggota TNI mengandung arti bahwa hukum pidana tersebut mengatur suatu perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu (Prajurit). Kekhususan hukum pidana Militer tidak dapat dilepaskan dari sifat dan hakekat anggota Militer itu sendiri yang bersifat khusus, sehingga hukum pidana Militer bisa saja menyimpang dari azas-azas hukum pidana umum, penyimpangan tersebut antara lain menyangkut sanksi pidana yang berbeda dengan stelsel pemidanaan yang lazim berlaku bagi masyarakat umum. Bentuk penyimpangan sanksi hukum pidana dalam KUHPM dapat dilihat dalam pasal 6 huruf b ke-1 KUHPM yang menyatakan bahwa salah satu jenis hukum pidana tambahan yang dapat dikenakan terhadap anggota Militer adalah pemecatan dari dinas kemiliteran dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuki angkatan bersenjata. Jenis pidana pemecatan ini bersifat murni 2

3 kemiliteran (van zuiver militaire aard) yang tidak ada dalam hukum pidana umum (KUHP). Eksistensi hukum pidana pemecatan dalam KUHPM tidak mencantumkan secara eksplisit mengenai syarat yang harus dipenuhi dan dipertimbangkan oleh Hakim dalam penjatuhan pidana tambahan pemecatan. Pasal 26 (1) KUHPM hanya menyatakan bahwa pidana tambahan pemecatan dapat dijatuhkan oleh Hakim terhadap anggota Militer yang melakukan tindak pidana apabila Hakim memandang anggota Militer tersebut tidak layak lagi untuk dipertahankan dalam dinas Militer, sedangkan mengenai kriteria atau parameter layak tidaknya anggota Militer untuk tetap dipertahankan dalam dinas Militer yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pemecatan tidak dijelaskan dalam KUHPM. Pengertian tidak layak (ongeschikt) sebagai dasar oleh Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pemecatan tersebut sudah tidak atau sangat kurang mempunyai sifat-sifat yang seharusnya bagi seorang Militer, jadi bukan sama sekali dimaksudkan terpidana tidak mempunyai kecakapan (onbekwaam) untuk menjalankan dinas Militer. Dengan demikian penilaian dan pertimbangan bahwa terpidana benar-benar tidak layak lagi berdinas sebagai anggota Militer menjadi kewenangan dan kebebasan Hakim sepenuhnya. Dampak yang timbul dalam praktek peradilan akibat tidak adanya parameter berkaitan layak tidaknya Prajurit TNI untuk dipertahankan dalam dinas Militer, dimungkinkan dapat terjadi perbedaan penafsiran dan pemahaman tentang kriteria atau parameter tidak layak yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam penjatuhan pidana pemecatan dari dinas Militer. Oleh sebab itu mengingat kekurangan formulasi yang tercantum dalam KUHPM tersebut, maka Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pemecatan harus juga menggunakan parameter lain seperti Undang-undang dan Peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan TNI. 3

4 Hal lain yang perlu menjadi kajian adalah bagaimana dampak yang ditimbulkan sebagai akibat penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap Prajurit, baik ditinjau dari aspek sosiologis, psikologis terhadap Terdakwa juga ditinjau dampak negatif dan positif terhadap Kesatuan, walaupun dari aspek dari pengawasan dan pengamatan terhadap mantan Prajurit TNI yang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Umum belum ada aturan khusus tentang hal tersebut. B. Perumusan Masalah Bertolak dari latar belakang pemikiran diatas terdapat 4 (empat) permasalahan pokok: 1. Dasar hukum penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana. 2. Penjatuhan pidana tambahan pemecatan ditinjau dari aspek sosiologis dan psikologis terhadap Terdakwa dan dampak positif serta negatif terhadap Kesatuan. 3. Dasar pertimbangan Hakim dalam putusan terhadap penjatuhan pidana pemecatan. 4. Siapakah yang berwenang melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap Prajurit TNI yang telah dipecat dari dinas Militer dan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Umum. 4

5 II. PEMBAHASAN A. Dasar hukum penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana 1. Hakekat penjatuhan pidana bagi Prajurit TNI. Pemidanaan bagi seorang Prajurit pada dasarnya merupakan suatu tindakan pendidikan atau pembinaan dari pada tindakan penjeraan atau pembalasan, selama Terpidana berada didalam Pemasyarakatan Militer sampai akan diaktifkan kembali dalam dinas Militer selesai menjalani pidana. Bagi seorang Prajurit Militer (eks narapidana) yang akan kembali aktif melaksanakan tugas pada prinsipnya harus menjadi seorang Militer yang baik dan berguna, baik karena kesadarannya sendiri maupun sebagai hasil tindakan pendidikan yang diterima selama berada di pemasyarakatan Militer. Oleh sebab itu pemidanaan tidak mempunyai arti apabila tindakan berupa pendidikan atau pembinaan tidak mempunyai manfaat dalam rangka pengembaliannya dalam masyarakat Militer. Terhadap Prajurit TNI yang akan dijatuhi pidana tambahan pemecatan perlu adanya pertimbangan Hakim secara khusus tentang tidak layaknya seorang Prajurit TNI untuk tetap dipertahankan dalam dinas Militer, selain itu harus diuraikan juga dalam sifat, hakekat serta akibat perbuatan Terdakwa untuk menentukan perlu tidaknya pidana tambahan pemecatan terhadap Terdakwa. Disamping itu Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pemecatan juga harus memperhatikan ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menyatakan Peradilan Militer merupakan pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan TNI untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatiikan kepentingan penyelenggaran pertahanan keamanan Negara. Dalam penjelasan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1997 menyatakan untuk menyelengarakan pertahanan 5

6 dan keamanan Negara maka kepentingan Militer diutamakan melebihi dari pada kepentingan golongon dan perorangan. Penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap Prajurit TNI juga didasarkan penilaian Hakim Militer mengenai kejahatan yang dilakukan oleh Terdakwa sehingga dianggap tidak layak lagi dipertahankan dalam kehidupan kalangan Militer. Kepercayaan yang diberikan kepada Hakim Militer tidak dapat dialihkan kepada Hakim Peradilan Umum dalam penjatuhan pidana tambahan pemecatan. Penjatuhan pidana tambahan pemecatan oleh Hakim Militer harus tercakup dan tersirat dalam pertimbangan hukum putusan Hakim dan hal yang paling essensial apabila tidak dijatuhkan pidana pemecatan maka kehadiran terpidana nantinya dalam kalangan Militer setelah ia selesai menjalankan pidana akan menggoyahkan sendi-sendi ketertiban dalam masyarakat Militer. Pertanyaan yang timbul berapakah batas minimum jangka waktu pidana penjara yang dijatuhkan untuk dapat menambahkan pidana pemecatan? Untuk menjawab hal ini Hakim didalam mempertimbangkan layak tidaknya Prajurit TNI untuk tetap dipertahankan dalam kalangan Militer, selain berpedoman kepada aspek sosiologis dan psikologis bagi Terdakwa, juga berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan interen di lingkungan TNI. Hakekat yang menjadi dasar mengapa Hakim sipil tidak berwenang menjatuhkan pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer, hal ini disebabkan wewenang penjatuhan pidana tambahan pemecatan bersifat khas Militer dan menjadi kewenangan Hakim Militer, walapun mungkin terjadi bahwa seseorang Militer yang diperiksa dalam perkara koneksitas dan diperiksa di lingkungan peradilan umum pemecatan terhadap Prajurit dapat dilakukan mengingat dalam perkara koneksitas Hakim Militer juga turut duduk dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut, sehingga penjatuhan pidana pemecatan dapat dilaksanakan. 6

7 2. Dasar hukum penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer. Beberapa ketentuan yang dijadikan dasar hukum pemecatan kepada Prajurit TNI dapat kita lihat sebagai berikut: 1) Pasal 6 huruf b ke-1 KUHPM, menyatakan; Pidana tambahan dipecat dari Dinas Militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata." 2) Pasal 26 KUHPM, menyatakan; (1) Pemecatan dari dinas Militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata, selain dari pada ditentukan dalam pasal 39, dapat dijatuhkan oleh Hakim berbarengan dengan setiap putusan penjatuhan pidana mati atau pidana penjara kepada seseorang Militer yang berdasarkan kejahatan yang dilakukan di pandangnya tidak layak lagi tetap dalam kalangan Militer. (2) Pemecatan tersebut menurut hukum berakibat hilangnya semua hakhak yang diperolehnya dari angkatan bersenjata selama dinasnya yang dahulu, dengan pengecualian bahwa hak pensiun akan hilang dalam hal-hal yang disebutkan dalam peraturan pensiun yang berlaku bagi terpidana. (3) Apabila pemecatan tersebut berbarengan dengan pencabutan hak untuk memasuki angkatan bersenjata, menurut hukum juga berakibat hilangnya hak untuk memiliki dan memakai bintang-bintang, tandatanda kehormatan, medali-medali atau tanda-tanda pengenalan, sepanjang keduanya yang tersebut terakhir diperoleh berkenaan dengan dinas yang terdahulu. 3) Pasal 29 Ayat (1) KUHPM, menyatakan; (1) Pidana tambahan mengenai pemecatan dari dinas Militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata dan mengenai penurunan pangkat mulai berlaku pada hari saat putusan itu dapat dilaksanakan. 7

8 (2) Apabila salah satu pidana tambahan yang disebutkan pada ayat (1) dijatuhkan, apabila Terpidana tidak berada dalam penahanan sementara pada saat pidana itu di tetapkan untuk menjalaninya, maka menurut hukum terpidana ditahan. (3) Penahanan yang dimaksudkan pada Ayat (2), dijalani pada suatu tempat yang ditentukan Panglima/Perwira Komandan Iangsung yang membawakan terpidana, dengan cara sedemikian rupa, sehingga Terpidana tidak boleh berhubungan dengan para Militer Iainnya. Selama penahanan ini Terpidana tidak diperkenankan untuk melaksanakan dinas. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) KUHPM mengandung pengertian adalah: - Perkara tersebut telah BHT (Berkekuatan hukum tetap) kerena menggunakan kata terpidana. - Kewenangan penahanan ada pada komandan satuan (Ankum) karena menunjuk secara tegas Panglima/perwira komandan langsung. 4) Pasal 35 Ayat (1) UU RI Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit ABRI, menyatakan: "Prajurit yang telah berulang-ualang melakukan pelanggaran hukum disiplin dan /atau nyata-nyata tidak memperdulikan segala hukum disiplin yang dijatuhkan sehingga di pandang tidak patut lagi di pertahankan sebagai Prajurit, maka Prajurit yang demikian diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas keprajuritan." 5) Pasal 53 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun (1). Prajurit diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Keprajuritan karena : a. Dijatuhi pidana tambahan dipecat dari dinas Militer berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap: atau b. Mempunyai tabiat dan/atau perbuatan yang nyata-nyata dapat merugikan disiplin keprajuritan atau TNI. 8

9 6) Pasal 53 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI menyatakan kewenangan penjatuhan hukuman administrasi ada pada pejabat yang ditentukan oleh Peraturan Pemerintah tersebut, sehingga apabila penjatuhan pidana oleh Pengadilan Militer terhadap Prajurit TNI tidak disertai pidana tambahan pemecatan, namun di Kesatuan Terdakwa, Ankum/Papera menilai bahwa Prajurit tersebut tidak dapat dipertahankan lagi sebagai Prajurit, maka Kesatuan dapat memproses secara administrasi, Prajurit TNI tersebut dapat dipecat secara administrasi dengan syarat telah dijatuhi pidana lebih 2 (dua) kali berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. 7) Pasal 62 UU RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. (1) Prajurit diberhentikan dengan tidak hormat karena mempunyai tabiat dan/atau perbuatan yang nyata-nyata dapat merugikan disiplin keprajuritan atau TNI. (2) Pemberhentian sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (1) terhadap Perwira setelah mempetimbangkan pendapat Dewan Kehormatan Perwira. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur Iebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 8) Surat Telegram Panglima TNI Nomor: STR/198/2005, menyatakan; " Tentang usul pemberhentian dengan tidak hormat (pemecatan) bagi Anggota TNI yang melakukan pelanggaran susila terhadap sesama Prajurit, isteri/suami/anak atau yang melibatkan PNS, isteri/suami di Iingkungan TNI." Dari beberapa ketentuan yang dijadikan dasar hukum pemecatan kepada Prajurit TNI ditinjau dari ketentuan Pasal 26 ayat (1) KUHPM dan ketentuan yang diatur dalam KUHP dapat dijelaskan sebagai berikut: 9

10 1. Ditinjau dari ketentuan Pasal 26 ayat (1) KUHPM Norma dasar bagi Hakim Militer untuk menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa berupa pemecatan dari dinas Militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuk Angkatan Bersenjata adalah ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) KUHPM. Ketentuan pasal 26 ayat (1) KUHPM mengatur bahwa pemecatan dari dinas Militer (dengan atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata) harus diperhatikan ketentuan Pasal 39 KUHPM, sehingga ketentuan penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Dapat dijatuhkan oleh Hakim berbarengan dengan penjatuhan pidana pokok berupa pidana mati atau pidana seumur hidup kepada seorang Militer. b. Dapat dijatuhkan kepada seorang Militer yang berdasarkan kejahatan yang dilakukan dijatuhi pidana pokok penjara sementara yang dipandang tidak layak lagi tetap berada dalam kalangan Militer. Menurut SR. Sianturi, SH yang dimaksud tidak layak adalah tidak pantas atau sudah tidak ada atau sangat kurang mempunyai sifat-sifat yang seharusnya bagi seorang Militer, bukan karena yang bersangkutan tidak mempunyai kecakapan lagi untuk menjalankan dinas Militer. Jadi dengan kata lain apabila yang bersangkutan tetap dipertahankan dalam dinas Militer akan membawa dampak yang tidak baik sehingga akan menggangu pembinaan Kesatuan dikaitkan dengan pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukannya. c. Penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer tidak hanya karena yang bersangkutan melakukan kejahatan tertentu melainkan setiap bentuk kejahatan. Dengan demikian apabila Hakim akan menjatuhkan pidana tambahan pemecatan dalam putusan perlu dicantumkan pasal 26 KUHPM sebagai dasar penjatuhan pidana tambahan pemecatan, namun ketentuan pasal 26 10

11 KUHPM bukan merupakan unsur dari suatu tindak pidana yang harus dibuktikan oleh Hakim, tetapi merupakan ketentuan yang bersifat mutatis mutandis yang seharusnya digunakan oleh Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer. 2. Ditinjau dari ketentuan yang diatur dalam KUHP Norma dasar penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari jabatan dalam KUHP diatur dalam ketentuan pasal 35 ayat (2) KUHP yang menyatakan Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan, sehingga ketentuan tersebut mengakui azas lex specialis terhadap ketentuan KUHPM yang menjadi dasar hukum bagi Hakim Militer dalam menjatuhkan pidana tambahan pemecatan terhadap Prajurit TNI. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketentuan penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer yang diatur dalam pasal 26 ayat (1) KUHPM sistemnya berbeda dengan ketentuan penjatuhan pidana tambahan pemecatan dalam jabatannya yang diatur dalam Pasal 35 ayat (2) KUHP, ketentuan yang diatur dalam pasal 26 ayat (1) KUHPM merupakan ketentuan yang lebih khusus (lex specialis). B. Penjatuhan pidana tambahan pemecatan ditinjau dari aspek sosiologis dan psikologis terhadap Terdakwa dan dampak positif serta negatif terhadap Kesatuan Penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer bagi Prajurit TNI dirasakan lebih berat dari pada pidana pokok berupa perampasan kemerdekaan, hal ini dapat dilihat dari aspek sosiologis dan psikologis terhadap Terdakwa akan tetapi penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap Prajurit dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap Kesatuan. 11

12 1. Aspek sosiologis dan psikologis terhadap Terdakwa Prajurit TNI yang dijatuhi pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer akibat permasalahan hukum yang dilakukannya maka akan mempunyai dampak sosiologis dan psikologis. Adapun dampak sosiologis dan psikologis bagi Prajurit yang dijatuhi hukuman tambahan pemecatan dari dinas Militer antara lain: - Setelah dipecat maka Prajurit tersebut akan kehilangan kebanggaannya yang berdampak psikologis berupa rasa malu yang dapat menimbulkan kompensasi negatif dalam kehidupan dimasyarakat termasuk kepada keluarga si Prajurit. - Secara sosiologis Prajurit tersebut akan sulit untuk beradaptasi dengan masyarakat maupun mencari pekerjaan yang lain, sebab telah dijustifikasi sebagai seorang narapidana - Akan merasa diasingkan dari lingkungan Kesatuan semula dan apabila yang bersangkutan menempati rumah dinas maka harus meninggalkan rumah dinas yang dihuni, sehingga hal ini berpengaruh pada kebutuhan ekonomi keluarga karena harus mencari tempat tinggal baru dan lingkungan yang baru. - Akan kehilangan hak pensiun akibatnya secara psikologis yang bersangkutan akan merasa rendah diri dan kehilangan kepercayaan karena kehilangan mata pencaharian padahal kebutuhan hidup keluarga masih menjadi tanggung jawabnya. 2. Dampak terhadap Kesatuan a. Dampak positif; Pidana tambahan pemecatan akan berdampak positif terhadap Kesatuan Prajurit yang bersangkutan apabila putusan tersebut sesuai harapan komandan Kesatuannya misalnya Prajurit tersebut memang betul-betul tidak bisa dibina lagi sehingga pantas dijatuhi hukuman tambahan pemecatan. Adapun dampak positif yang ada diantaranya: 12

13 - Dapat menimbulkan efek jera terhadap Pajurit yang lain, sehingga akan menimbulkan kepatuhan para Prajurit terhadap peraturan yang ada. - Meningkatkan citra dan wibawa institusi TNI ditengah masyarakat menimbulkan opini positif ditengah masyarakat dan menambah kepercayaan publik terhadap Peradilan Militer. - Memudahkan Komandan Kesatuan dalam pembinaan personil di Kesatuannya. - Memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa pemecatan tersebut adalah tindakan tegas terhadap Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana. b. Dampak negatifnya; Apabila Prajurit yang dipecat dari dinas Militer tersebut memiliki keahlian khusus, seperti keahlian menggunakan senjata api (sniper) maka akan berpengaruh kepada Kesatuannya karena keahlian tersebut sangat dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan tugasnya. C. Pertimbangan Hakim dalam putusan terhadap penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer Bahwa norma penjatuhan pidana tambahan pemecatan oleh Hakim dalam sidang pengadilan adalah Pasal 26 ayat (1) KUHPM yang menegaskan bahwa Terdakwa berdasarkan kejahatan yang dilakukannya dipandang tidak layak lagi untuk tetap berada di kalangan Militer. Ukuran layak atau tidak layak tersebut tidak diberikan defenisi yang jelas dalam Undang-Undang, sehingga Hakim diberikan kebebasan untuk menafsirkan ukuran layak atau tidak layak yang dijadikan dasar penjatuhan hukuman tambahan pemecatan dari dinas Militer. Pertimbangan mengenai layak tidaknya anggota TNI untuk dapat dipertahankan sebagai Prajurit TNI secara umum menggunakan kriteria yang 13

14 menunjuk kepada dasar hukum yang termuat dalam KUHPM maupun Peraturan Pemerintah dan Surat Telegram pimpinan TNI sebagaimana telah dijelaskan pada bab II tersebut diatas antara lain sebagai berikut: - Anggota TNI tersebut adalah pribadi yang tidak perduli dengan aturan hukum dan merupakan sosok individu yang menyepelekan ketentuan hukum atau perundang-undangan serta petunjuk pimpinan TNI. - Anggota TNI melakukan pelanggaran susila terhadap sesama Prajurit, istri/suami/anak atau yang melibatkan PNS, istri/suami di lingkungan TNI. - Perbuatan-perbuatan yang dianggap dapat mencemarkan nama baik dan kepentingan TNI. - Perbuatan Terdakwa dihadapkan dengan ukuran-ukuran tata kehidupan dan nilai yang berlaku di lingkungan TNI ditinjau dari aspek edukatif, prefentif, korektif, maupun represif, sehingga dinilai Terdakwa tidak layak lagi untuk dipertahankan dalam dinas Militer. Adapun tindak pidana yang dapat dijatuhkan pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer sesuai dengan penekanan Pimpinan TNI sebagai berikut: 1. Tindak pidana narkotika; 2. Penyalahgunaan senjata api; 3. Tindak pidana illegal loging; 4. Desersi; 5. Insubordinasi; 6. Pelanggaran susila dengan keluarga besar TNI; 7. Perkelahian antar Angkatan; 8. Pembunuhan dengan ancaman hukuman 15 tahun ke atas; Sebagai contoh dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pemecatan dalam perkara narkotika dan susila sebagai berikut: 1. Dalam perkara narkotika; - Tindak pidana narkotika dianggap sebagai kejahatan transnasional yang banyak menimbulkan korban terutama di kalangan generasi 14

15 muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara, disamping itu tidak sesuai dengan program pemerintah yang saat ini sedang gencar-gencarnya memberantas penyalahgunaan narkotika. - Bahwa penggunaan narkotika akan sangat berpengaruh pada susunan pusat syaraf dalam hal ini akan merusak pikiran dan jiwa seseorang yang dapat berpengaruh pada kinerja seseorang, apalagi Terdakwa dalam menggunakan narkotika tidak seijin Dokter padahal Terdakwa sebagai aparat yang seharusnya membantu pemerintah dalam memberantas peredaran dan pemakaian narkotika tetapi justru terlibat dalam memperlancar peredaran dan pemakaian narkotika. - Bahwa penyalahgunaan narkotika sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang Prajurit TNI yang seharusnya menjadi contoh dan teladan dalam penegakan hukum dan mendukung program pemerintah dalam pemberantasan penyalahgunaan obat-obatan terlarang. 2. Tindak pidana susila dengan keluarga besar TNI; - Bahwa perbuatan Terdakwa yang melakukan pelanggaran susila dengan istri bawahan atau istri atasan (Keluarga Besar TNI) sesungguhnya telah merusak citra dan martabat status dan kepangkatan yang disandangnya, disamping itu dapat menimbulkan citra negatif nama baik Kesatuan di masyarakat apabila kepada Terdakwa tidak diberikan hukuman yang setimpal sesuai dengan kualitas kesalahan Terdakwa. - Bahwa pelanggaran susila yang dilakukan oleh Terdakwa dengan keluarga besar TNI merupakan perbuatan yang secara nyata tidak sepatutnya dilakukan, karena dapat berakibat keretakan/ketegangan dikalangan Prajurit, menurunkan kepercayaan bawahan kepada atasan atau sebaliknya sehingga dapat menyulitkan pimpinan dalam melakukan pembinaan di Kesatuan. 15

16 - Bahwa berdasarkan ketentuan ST Pangab No. STR/197/1998 jo STR Pang TNI No. STR/198/2005, tentang usul pemecatan Prajurit TNI yang melanggar susila dengan sesama Prajurit TNI dan keluarga besar TNI. Tindakan tegas terhadap pelaku tindak pidana susila dengan anggota TNI karena perbuatan tersebut dipandang tidak patut, tidak layak dan tidak boleh terjadi di dalam kehidupan Prajurit TNI, apabila dibiarkan akan diikuti oleh Prajurit TNI lainnya yang mengakibatkan goyahnya sendi-sendi disiplin di Kesatuannya dan akan berdampak negatif terhadap pembinaan di Kesatuan TNI. Oleh karenanya harus dipecat dari dinas Militer. D. Wasmat bagi terpidana mantan Prajurit yang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Umum. Dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak ditentukan secara jelas kewenangan pengawasan dan pengamatan oleh Hakim terhadap mantan Prajurit TNI yang dijatuhi pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer dan setelah BHT menjalani pidana dilembaga pemasyarakat umum. Pada ketentuan pasal 262 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 menyatakan Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan Pengadilan telah dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dari ketentuan tersebut tugas Hakim pengawas hanya memonitoring apakah eksekusi telah dilaksanakan sesuai dengan bunyi putusan. Pengawasan dan pengamatan terhadap Prajurit TNI yang telah dipecat dari dinas Militer tidak berlanjut dilakukan oleh Hakim pengawas, sesuai dengan ketentuan pasal 262 ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 Hakim pengawas mengadakan pengamatan selama Terdakwa menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan Militer termasuk juga pengamatan tetap 16

17 dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidana. Dengan demikian pengawasan terhadap Prajurit TNI yang telah dipecat dalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Umum dilakukan oleh Hakim pengawas terbatas pada lingkup pelaksanaan pidana, sedangkan pengamatan tidak menjadi tanggung jawab Hakim pengawas. Diharapkan kedepan pengawasan dan pengamatan bagi Prajurit TNI yang dipecat memiliki peraturan-peraturan yang khusus dengan alasan; a. Seorang mantan Prajurit yang menjalani pidana badan di Lembaga Pemasyarakatan Umum akan jauh berbeda pembinaannya dengan pembinaan di Masmil sehingga Hakim Wasmat masih punya kewenangan untuk melakukan pengawasan di Lembaga Pemasyarakatan Umum. b. Pengamatan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Umum diperlukan untuk tujuan penelitian mengenai kemanfaatan pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan Umum agar mantan Prajurit tersebut dapat kembali menyesuaikan diri di lingkungan masyarakat. Sebagai contoh seorang mantan Prajurit yang ahli di bidang persenjataan dan bahan peledak, apabila tidak dilakukan pembinaan yang tepat maka akan membahayakan kepentingan publik dengan keahlian yang dimiliki, atau keahlian yang dimiliki dapat disalahgunakan untuk kejahatan. 17

18 III. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kewenangan Hakim Militer dalam menjatuhkan pidana tambahan tersebut harus memperhatikan ketentuan-ketentuan penjatuhan pidana tambahan baik yang diatur dalam KUHPM maupun yang diatur diluar KUHPM. 2. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) KUHPM dicantumkan sebagai dasar penjatuhan pidana tambahan pemecatan, ketentuan Pasal 26 ayat (1) KUHPM bukan merupakan unsur dari suatu tindak pidana yang harus dibuktikan oleh Hakim, tetapi merupakan ketentuan yang bersifat mutatis mutandis yang seharusnya digunakan sebagai dasar oleh Hakim apabila menjatuhkan pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer, sehingga ketentuan yang diatur dalam pasal 26 ayat (1) KUHPM merupakan ketentuan yang lebih khusus (lex specialis) sebagaimana diamanatkan Pasal 35 ayat (2) KUHP. 3. Penjatuhan pidana tambahan pemecatan merupakan pidana yang sangat berat bagi Prajurit TNI sehingga Hakim Militer sebelum menjatuhkan pidana tambahan pemecatan terhadap Prajurit TNI harus dengan bijak, tidak hanya melihat dari sisi materiilnya saja dari tindak pidana yang dilakukan namun juga harus melihat dari aspek sosiologis dan psikologis bagi Terdakwa. 4. Ukuran layak atau tidak layak sebagai dasar penjatuhan pidana tambahan diberikan sepenuhnya kebebasan kepada Hakim untuk melakukan penilaian. 5. Pengawasan terhadap Prajurit TNI yang telah dipecat dilakukan oleh Hakim pengawas terbatas pada lingkup pelaksanaan pidana, sedangkan pengamatan di Lembaga Pemasyarakatan Umum tidak menjadi tanggung jawab Hakim pengawas. 18

19 B. Saran 1. Pasal 26 ayat (1) jo Pasal 6 huruf b ke-1 KUHPM sebagai dasar hukum pemecatan dari dinas Militer bukan merupakan ketentuan yang harus dicantumkan dalam surat dakwaan apabila Terdakwa akan dijatuhkan pidana tambahan pemecatan. 2. Pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer dapat diajukan upaya hukum kasasi dengan mengesampingkan ketentuan Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jakarta, Oktober

PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PEMECATAN PRAJURIT TNI DARI PROSPEKTIF HUKUM ACARA PIDANA MILITER. Disampakan pada : PELATIHAN HAKIM MILITER

PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PEMECATAN PRAJURIT TNI DARI PROSPEKTIF HUKUM ACARA PIDANA MILITER. Disampakan pada : PELATIHAN HAKIM MILITER PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PEMECATAN PRAJURIT TNI DARI PROSPEKTIF HUKUM ACARA PIDANA MILITER Disampakan pada : PELATIHAN HAKIM MILITER Oleh KOMISI YUDISIAL Pemakalah Anthony.R.Tampubolon. (Kepala Pengadilan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA. dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA. dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA A. Analisis Hukum Pidana Terhadap Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana Narkotika Tindak pidana

Lebih terperinci

SISTEM PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PEMECATAN DARI DINAS MILITER

SISTEM PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PEMECATAN DARI DINAS MILITER SISTEM PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PEMECATAN DARI DINAS MILITER 1. Latar Belakang. Dari sejumlah pendapat sarjana tentang teori tujuan pemidanaan modern baik dipandang dari sudut atau meliputi usaha prevensi,

Lebih terperinci

PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI

PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI 1 PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH Kadilmil II-09 Bandung Putusan Hakim tidaklah mungkin memuaskan semua pihak. Putusan Hakim juga bukan Putusan Tuhan,

Lebih terperinci

PEMECATAN PRAJURIT TNI

PEMECATAN PRAJURIT TNI PEMECATAN PRAJURIT TNI Putusan Hakim tidaklah mungkin memuaskan semua pihak. Putusan hakim juga bukan Putusan Tuhan, namun Hakim yang manusia tersebut adalah wakil Tuhan di dunia dalam memberikan Putusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga kedaulatan Negara yang bertugas untuk menjaga, melindungi dan mempertahankan keamanan serta kedaulatan

Lebih terperinci

SUATU TINJAUAN TERHADAP PENERAPAN PASAL 45A UU NO 5 TH 2004 TERHADAP TERDAKWA SEORANG PRAJURIT TNI. Sugeng Sutrisno *

SUATU TINJAUAN TERHADAP PENERAPAN PASAL 45A UU NO 5 TH 2004 TERHADAP TERDAKWA SEORANG PRAJURIT TNI. Sugeng Sutrisno * SUATU TINJAUAN TERHADAP PENERAPAN PASAL 45A UU NO 5 TH 2004 TERHADAP TERDAKWA SEORANG PRAJURIT TNI Sugeng Sutrisno * Ketidak puasan dalam menerima putusan adalah hal yang biasa bagi pencari keadilan namun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu menimbulkan keresahan serta rasa tidak aman pada masyarakat. Tindak pidana yang terjadi di Indonesia juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna. Dalam suatu kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif maupun yang sudah modern

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO) PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana dalam

Lebih terperinci

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA 1. PENDAHULUAN Fakta dalam praktek peradilan pidana sering ditemukan pengadilan menjatuhkan

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI Tindak pidana desersi merupakan tindak pidana militer yang paling banyak dilakukan oleh anggota TNI, padahal anggota TNI sudah mengetahui mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini modus kejahatan semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Dalam perkembangannya kita dihadapkan untuk bisa lebih maju dan lebih siap dalam

Lebih terperinci

RAHASIA UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014

RAHASIA UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014 MARKAS BESAR ANGKATAN DARAT PANITIA PUSAT SELEKSI CASIS DIKTUKPA/BA TNI AD TA 2015 UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014 PETUNJUK

Lebih terperinci

URGENSI PERADILAN TATA USAHA MILITER DI INDONESIA. Oleh: Kapten Chk Sator Sapan Bungin, S.H.

URGENSI PERADILAN TATA USAHA MILITER DI INDONESIA. Oleh: Kapten Chk Sator Sapan Bungin, S.H. URGENSI PERADILAN TATA USAHA MILITER DI INDONESIA Oleh: Kapten Chk Sator Sapan Bungin, S.H. 1. Pendahuluan. Pengadilan Tata Usaha Militer yang sering disingkat dengan istilah PTUM merupakan salah satu

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.257, 2014 PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5591) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial di mana manusia selalu ingin berinteraksi dengan sesama manusia lainnya. Di dalam suatu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA (MILITER)

BAB III SANKSI PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA (MILITER) BAB III SANKSI PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA (MILITER) A. Pengertian Sanksi Pidana Militer Menurut G.P Hoefnagles memberikan makna sanksi secara luas. Dikatakannya

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1991 TENTANG TATA CARA PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT, PEMBERHENTIAN TIDAK DENGAN HORMAT, DAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA SERTA HAK-HAK HAKIM AGUNG DAN HAKIM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA 1 PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA A. Latar Belakang Masalah Bahwa negara Indonesia adalah negara yang

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang khas dalam struktur kenegaraan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Ini berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara harus

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu satuan pertahanan yang

I. PENDAHULUAN. Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu satuan pertahanan yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu satuan pertahanan yang dimiliki oleh negara Indonesia. Tugas dari TNI sendiri adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA Bahan Panja Hasil Timus RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat Indonesia, lahir dan berjuang bersama rakyat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUUXIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati I. PEMOHON a. Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Pemohon I) b. Lembaga Pengawasan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa

Lebih terperinci

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

NASKAH PUBLIKASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA Disusun oleh: ADAM PRASTISTO JATI NPM : 07 05 09661

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 5-1991 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 2004 POLITIK. KEAMANAN. HUKUM. Kekuasaaan Negara. Kejaksaan. Pengadilan. Kepegawaian.

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 257) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan perkembangan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan perkembangan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang

BAB V PENUTUP. Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang 337 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Terjadinya Ketidakmandirian Secara Filosofis, Normatif Dalam Sistem Peradilan Militer Peradilan militer merupakan salah satu sistem peradilan negara yang keberadaannya

Lebih terperinci

PENERAPAN PIDANA PEMECATAN TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA *

PENERAPAN PIDANA PEMECATAN TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA * PENERAPAN PIDANA PEMECATAN TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA * Supriyadi ** Abstract The judge basic consideration in condemning discharge sentence can be seen from

Lebih terperinci

Dr. Mudzakkir, S.H., M.H Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Dr. Mudzakkir, S.H., M.H Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia PERKEMBANGAN RUMUSAN TINDAK PIDANA YANG TERKAIT DENGAN KARYA JURNALISTIK DALAM RUU KUHP Oleh Dr. Mudzakkir, S.H., M.H Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Makalah disampaikan pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

2016, No perkembangan peraturan perundang-undangan sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf

2016, No perkembangan peraturan perundang-undangan sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf No.1393, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Hukuman Disiplin. Penjatuhan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENJATUHAN HUKUMAN

Lebih terperinci

HAL-HAL YANG PERLU PENGATURAN DALAM RUU PERADILAN MILITER

HAL-HAL YANG PERLU PENGATURAN DALAM RUU PERADILAN MILITER 1. Pendahuluan. HAL-HAL YANG PERLU PENGATURAN DALAM RUU PERADILAN MILITER Oleh: Mayjen TNI Burhan Dahlan, S.H., M.H. Bahwa banyak yang menjadi materi perubahan dalam RUU Peradilan Militer yang akan datang,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009.... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3703)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3703) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3703) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER BUKU PERTAMA BAB PENDAHULUAN PENERAPAN HUKUM PIDANA UMUM. Pasal 1

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER BUKU PERTAMA BAB PENDAHULUAN PENERAPAN HUKUM PIDANA UMUM. Pasal 1 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER BUKU PERTAMA BAB PENDAHULUAN PENERAPAN HUKUM PIDANA UMUM Pasal 1 (Diubah dengan UU No 9 Tahun 1947) Untuk penerapan kitab undang-undang ini berlaku ketentuanketentuan

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER I. UMUM Tentara Nasional Indonesia merupakan bagian tidak terpisahkan dari rakyat Indonesia, lahir dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga itu. Biasanya, pelaku berasal dari orang-orang terdekat yang dikenal

BAB I PENDAHULUAN. tangga itu. Biasanya, pelaku berasal dari orang-orang terdekat yang dikenal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana saat ini tidak hanya di dalam ruang lingkup pembunuhan, pencurian, dan sebagainya, tetapi juga berkembang ke dalam tindak pidana kekerasan terhadap

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. saja yang melanggar pasal tersebut haruslah dihukum. Anggota militer. mempermudah tahanan meloloskan diri sepatutnya diterapkan secara

BAB V PENUTUP. saja yang melanggar pasal tersebut haruslah dihukum. Anggota militer. mempermudah tahanan meloloskan diri sepatutnya diterapkan secara 142 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pasal 223 KUHP merupakan aturan hukum yang mengatur tentang tindak pidana mempermudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan pengguna jalan raya berkeinginan untuk segera sampai. terlambat, saling serobot atau yang lain. 1

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan pengguna jalan raya berkeinginan untuk segera sampai. terlambat, saling serobot atau yang lain. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan alat transportasi mengalami perkembangan, terutama penggunaan kendaraan roda dua dan roda empat. Hal ini mengakibatkan kepadatan lalu lintas, kemacetan,

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XV/2017 Nominal Transaksi Keuangan Mencurigakan, Kewajiban Pembuktian Tindak Pidana Asal, Penyitaan Kekayaan Diduga TPPU I. PEMOHON Anita Rahayu Kuasa Hukum Antonius

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER I. KETENTUAN UMUM A. Tujuan 1. Meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan bagi prajurit TNI dan masyarakat pencari keadilan. 2. Meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Tentara Nasional Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN PERKARA DESERSI SECARA IN ABSENSIA DI PERSIDANGAN

PEMERIKSAAN PERKARA DESERSI SECARA IN ABSENSIA DI PERSIDANGAN PEMERIKSAAN PERKARA DESERSI SECARA IN ABSENSIA DI PERSIDANGAN 1. Hakikat Tindak Pidana Desersi Oleh: Mayjen TNI Drs. Burhan Dahlan SH. MH. Tindak pidana desersi merupakan tindak pidana yang secara khusus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Tentara Nasional Indonesia

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL I. UMUM Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Tentara Nasional Indonesia sebagai

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 59, 1991 (ADMINISTRASI. LEMBAGA NEGARA. TINDAK PIDANA. KEJAKSAAN. Warganegara. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN. BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.SKH A. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Lebih terperinci

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda * HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda * Naskah diterima: 12 Desember 2014; disetujui: 19 Desember 2014 Trend perkembangan kejahatan atau penyalahgunaan narkotika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk mendukung dan mempertahankan kesatuan, persatuan dan kedaulatan sebuah negara. Seperti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Tentara Nasional Indonesia

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG PELAKSANAAN TEKNIS INSTITUSIONAL PERADILAN UMUM BAGI ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibesarkan, dan berkembang bersama-sama rakyat Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. dibesarkan, dan berkembang bersama-sama rakyat Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat Indonesia, lahir dari kancah perjuangan kemerdekaan bangsa, dibesarkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat

Lebih terperinci