BAB III UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN. banding dan kasasi. Pasal 56 Ayat (2) UUPK menyatakan para pihak tenyata

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN. banding dan kasasi. Pasal 56 Ayat (2) UUPK menyatakan para pihak tenyata"

Transkripsi

1 BAB III UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Kekuatan Hukum Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 54 Ayat (3) UUPK menegaskan bahwa putusan majelis BPSK bersifat final dan mengikat. Kata final diartikan sebagai tidak adanya upaya banding dan kasasi. Pasal 56 Ayat (2) UUPK menyatakan para pihak tenyata dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri paling lambat 14 hari kerja setelah pemberitahuan putusan BPSK. Dengan dibukanya kesempatan mengajukan keberatan, dapat disimpulkan bahwa putusan BPSK tersebut masih belum final. Sedangkan kata mengikat mengandung arti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak yang diwajibkan untuk itu. Menurut penjelasan Pasal 54 Ayat (3), putusan bersifat final BPSK adalah tidak ada upaya hukum banding dan kasasi. Dihubungkan dengan ketentuan Pasal 56 Ayat (2) UUP K, maka dapat diketahui bahwa ternyata istilah final putusan BPSK hanya dimaknai pada upaya banding, tetapi tidak termasuk upaya mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri, yang ternyata atas putusan pengadilan negeri ini UUPK masih membuka lagi kesempatan untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. 76 Pada dasarnya putusan majelis BPSK bersifat nonlitigasi, sehingga apabila ada pihak yang keberatan atas putusan BPSK tersebut, mereka dapat mengajukan kepada pengadilan negeri. Pengadilan negeri disyaratkan untuk memproses penyelesaian suatu perkara dengan melalui acara gugatan perdata biasa. Hal ini menunjukkan bahwa posisi proses hukum dan putusan BPSK itu pada dasarnya nonyudisial. Dalam arti pula bahwa putusan BPSK tersebut merupakan salah satu dari rangkaian mekanisme sistem pengadilan, jadi berada di luar mekanisme peradilan umum Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.cit., hal Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal. 100.

2 Menurut Pasal 42 Ayat (1) putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. B. Eksekusi Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Eksekusi merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah pada suatu perkara yang diajukan di muka Pengadilan. Dapat dikatakan eksekusi tiada lain yakni suatu tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. 78 Istilah lain yang sering dipergunakan selain kata eksekusi yakni pelaksanaan putusan. Eksekusi ini terdapat di dalam Bab kesepuluh Bagian Kelima HIR atau Titel ke Empat RBG, pada bagian tersebut telah diatur pasal-pasal tata cara menjalankan putusan pengadilan, mulai dari: tata cara peringatan (aanmaning), sita eksekusi (executorial beslag), penyanderaan (gijzeling). 79 Tata cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi tadi diatur mulai pasal 195 sampai pasal 224 HIR atau pasal 206 sampai pasal 258 RBG. Namun pada saat sekarang, tidak semua ketentuan pasal-pasal tadi berlaku efektif. Yang masih betul-betul efektif berlaku terutama pasal 195 sampai Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai pasal 240 dan pasal 258 RBG. Sedang pasal 209 sampai pasal 223 HIR atau pasal 242 sampai pasal 257 RBG yang mengatur tentang Sandra gijzeling, tidak lagi diperlukan secara efektif. Alasan larangan tersebut, karena tindakan penyandraan terhadap seseorang debitur dianggap 78 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: PT Gramedia, 1989, Hal Ibid,

3 bertentangan dengan prikemanusiaan, sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.2/1964 tanggal 22 januari Pada dasarnya suatu putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti dapat dijalankan. Oleh karena itulah putusan suatu badan peradilan harus mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut secara paksa oleh alat-alat negara. Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial pada suatu putusan untuk dapat dilaksanakan secara paksa adalah adanya irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun Purwoto S. Gandasubrata mengemukakan asas-asas hukum eksekusi yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan eksekusi adalah: Eksekusi dijalankan atas putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, apabila tereksekusi tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, kecuali undang-undang menentukan lain. 2. Yang dapat dieksekusi adalah amar putusan yang bersifat penghukuman (condemnatoir), sedangkan putusan yang bersifat konstitutif atau declaratoir tidak memerlukan eksekusi. 3. Eksekusi dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri yang bersangkutan, dilaksanakan oleh panitera dan juru sita dengan bantuan alat kekuasaan Negara di mana diperlukan. 4. Eksekusi dilaksanakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, secara terbuka dan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara. Ketidakjelasan peraturan dalam UUPK ini dilihat dari 3 hal, yakni: Berkaitan dengan prosedur permohonan eksekusi; 2. Berkaitan dengan pihak yang dapat mengajukan permohonan eksekusi; 80 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal Ibid., hal. 341.

4 3. Berkaitan dengan pengadilan yang berwenang mengeluarkan penetapan eksekusi. Permohonan eksekusi dapat dilakukan baik terhadap putusan BPSK maupun putusan keberatan, namun UUPK tidak menyediakan peraturan yang lebih rinci berkaitan dengan hal tersebut. Pelaksanaan putusan diserahkan dan menjadi wewenang penuh dari pengadilan negeri yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman dan mempunyai legitimasi sebagai lembaga pemaksa. 82 Ketentuan mengenai prosedur permohonan eksekusi tidak diatur secara rinci dan jelas dalam UUPK, selain satu pasal saja yakni dalam Pasal 57 UUPK. Menyimak rincian tugas dan wewenang BPSK yang ditentukan pada Pasal 52 UUPK, ternyata BPSK tidak memiliki wewenang untuk melaksanakan putusannya, sebagaimana wewenang yang dimiliki oleh suatu badan peradilan. BPSK hanya memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak konsumen, dan wewenang menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar oleh pelaku usaha dan mewajibkan pelaku usaha untuk membayar ganti kerugian kepada konsumen, tetapi BPSK tidak diberikan kewenangan untuk melaksanakan sendiri putusan yang dihasilkan. Untuk melaksanakan putusannya, BPSK harus lebih dahulu meminta penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri berdasarkan ketentuan Pasal 57 UUPK. Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum pasti, dan putusan yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. 82 Ibid., hal. 339.

5 Sebelum dilaksanakan eksekusi ketua pengadilan negeri terlebih dahulu melakukan peneguran kepada pihak yang kalah, untuk dalam waktu 8 (delapan) hari melaksanakan putusan tersebut dengan sukarela. Jika pihak yang ditegur tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela maka dimulai pelaksanaan eksekusi yang sesungguhnya. 83 C. Pelaksanaan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Di BPSK Medan Sejak Berdirinya Berdasarkan bahan yang diperoleh dari BPSK Kota Medan, jumlah kasus yang ditangani oleh BPSK Kota Medan dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2010 antara lain: Grafik 3.1: Jumlah Kasus yang diadukan kepada BPSK Kota Medan sejak 2003 hingga Jumlah Kasus Jumlah Kasus Sumber: Data yang didapatkan penulis dari BPSK Kota Medan. 83 Ibid., hal. 343.

6 Keterangan: Tahun 2003: 1 kasus melalui arbitrase sampai pada tingkat kasasi. Tahun 2004: 2 kasus dicabut karena data tidak lengkap, 1 kasus diselesaikan sendiri. 3 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN, 1 kasus sampai pada tingkat kasasi. Tahun 2005: 2 kasus tidak diteruskan, yaitu 1 kasus karena berkas belum lengkap dan 1 kasus gugur karena tidak hadirnya konsumen 2 kali. 2 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN. Tahun 2006: 3 kasus dalam proses. 9 kasus tidak diteruskan, yaitu 7 kasus karena data tidak lengkap dan 2 kasus buktinya tidak lengkap. 1 kasus diselesaikan sendiri. 1 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN dan 1 kasus sampai pada tingkat kasasi. Tahun 2007: 13 kasus tidak diteruskan, yaitu 9 kasus datanya tidak lengkap 3 kasus diselesaikan di kepolisian karena menyangkut masalah pidana dan 1 kasus diselesaikan sendiri. 1 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN. Tahun 2008: 2 kasus ditolak. 2 kasus berkasnya belum lengkap. 1 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN.

7 Tahun 2009: 4 kasus gugur/batal. 8 kasus belum selesai/ dalam proses. 2 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN. Tahun 2010: 2 kasus gugur/batal. 9 kasus belum selesai/ dalam proses. 1 kasus melalui a dilanjutkan di tingkat PN.. Grafik 3.2: Jumlah Kasus yang ditangani BPSK melalui Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase Konsiliasi Mediasi Arbitrase Sumber: Data yang didapatkan penulis dari BPSK Kota Medan.

8 Grafik 3.3: Jumlah Kasus yang Masuk ke BPSK Dilihat dari Objek yang Diadukan Jasa Barang Sumber: Data yang didapatkan penulis dari BPSK Kota Medan. Meskipun dibentuk pada tahun 2001 melalui Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2001, BPSK Kota Medan baru memulai kegiatannya pada bulan Maret 2003 karena belum adanya Panitera. Karena pada akhir tahun 2002 baru terbit Surat Penetapan Panitera oleh ketua BPSK. D. Proses Peralihan Penyelesaian Sengketa Konsumen dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ke Pengadilan Negeri Sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Ayat (3) UUPK bahwa pada prinsipnya putusan BPSK merupakan putusan yang final dan mengikat, berarti putusan tersebut tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan. Dengan dikeluarkannya putusan yang bersifat final, maka dengan sendirinya sengketa yang diperiksa telah berakhir. Para pihak yang bersengketa harus tunduk dan melaksanakan putusan

9 yang sudah final tersebut. Namun UUPK tidak konsisten dalam mengonstruksikan putusan BPSK, karena dalam pasal selanjutnya justru dikatakan bahwa pihak yang merasa keberatan terhadap putusan BPSK dapat mengajukan upaya keberatan ke pengadilan negeri. 84 Penyelesaian suatu perkara yang diajukan ke pengadilan dapat dibedakan: 1. Jurisdiction Voluntaria: dalam Jurisdiction Voluntaria tidak ada perselisihan dalam arti tidak ada yang disengketakan. Diajukannya perkar ke pengadilan, bukan untuk diberikan suatu keputusan, melainkan meminta suatu ketetapan dari hakim untuk memperoleh kepastian hukum. Seperti permohonan untuk ditetapkan sebagai ahli waris, permohonan ganti nama, permohonan pengangkatan anak dan lain-lain. 2. Jurisdiction Contentiosa: dalam Jurisdiction Contentiosa, di sini ada sesuatu yang disengketakan. Sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan oleh pihakpihak sendiri, sehingga dinohonkan kepada hakim untuk diselesaikan sengketanya secara adil dan kemudian diberikan suatu putusan. Memperhatikan adanya perbedaan kewenangan di atas, terdapat 3 bentuk putusan hakim, yaitu: 1. Putusan declartoir adalah putusan yang bersifat menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata, misalnya penetapan mengenai ahli waris, anak angkat, dan hal lainnya. 2. Putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman. 84 Pasal 56 Ayat (2) UUPK jo. Pasal 41 Ayat (3) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001.

10 3. Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan keadaan hukum baru, misalnya putusan perceraian, dan putusan mengenai kepailitan. Dengan adanya perbedaan kewenangan dan bentuk putusan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keberatan atas putusan BPSK yang diajukan ke pengadilan negeri adalah termasuk Jurisdiction Contentiosa, karena ada hal-hal yang disengketakan antara konsumen dan pelaku usaha/produsen, yang dimohonkan suatu putusan yang bersifat putusan condemnatoir yang berisi penghukuman (pemberian ganti kerugian). 85 Berkenaan dengan adanya peluang untuk mengajukan keberatan atas putusan BPSK kepada pengadilan, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo melihatnya sebagai suatu upaya yang memiliki hakikat yang sama dengan upaya banding terhadap putusan BPSK. Oleh karena itu, BPSK dengan sendirinya ditempatkan seolah-olah sebagai instansi tingkat pertama sedangkan pengadilan negeri merupakan instansi tingkat banding. Hal lain yang memudahkan penganalogian ini lebih disebabkan BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen menggunakan hukum acara yang kurang lebih sama dengan hukum acara perdata yang berlaku di peradilan umum. Di samping itu, keberatan yang diajukan ke pengadilan masuk ke dalam ranah hukum acara perdata dengan sendirinya berlakulah ketentuan hukum acara perdata. 86 Penggunaan istilah keberatan tidak lazim dalam hukum acara yang berlaku, jika dikaitkan dengan ketentuan bahwa pengadilan negeri yang menerima pengajuan keberatan wajib memberikan putusannya dalam waktu paling lama 21 hari, sehingga tidaklah mungkin keberatan ini dianalogikan sebagai upaya gugatan baru ataupun perlawanan, karena proses perkara gugatan baru atau perlawanan sangatlah formal dan memerlukan waktu yang lama. Dengan demikian upaya keberatan yang diajukan oleh pihak yang menolak putusan BPSK tiada lain haruslah ditafsirkan sebagai upaya hukum banding Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal Dedi Harianto, Op. cit., hal Susanti Adi Nugroho, Op. cit., hal. 264.

11 BAB IV HAMBATAN DAN EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Hambatan dalam Pelaksanaan Permohonan Eksekusi Putusan BPSK Penyelesaian sengketa di BPSK pada hakikatnya bertujuan untuk mendapatkan ganti kerugian bagi konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Dan dalam proses pelaksanaan putusannya, BPSK menemui hambatan yang berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan putusannya. Seperti terhadap putusan arbitrase BPSK, ada 2 kemungkinan yang terjadi, yakni putusan dilaksanakan secara sukarela atau putusan tersebut dimintakan fiat eksekusi ke pengadilan. Pasal 42 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa putusan BPSK yang telah final dan mengikat dimintakan penetapan eksekusinya oleh BPSK kepada pengadilan negeri di tempat konsumen yang dirugikan. Ketentuan pasal ini bertentangan dengan ketentuan hukum acara pada umumnya yang mengatur bahwa pihak yang dimenangkan dalam putusan hakim,

12 yang memohon kepada pengadilan negeri untuk dilakukan eksekusi baik secara tertulis atau secara lisan 88 Di samping itu, ketentuan Pasal 42 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tidak sesuai dengan Pasal 7 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK yang menyebutkan bahwa konsumen mengajukan permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan hukum konsumen yang bersangkutan atau dalam wilayah hukum BPSK yang mengeluarkan putusan. Meskipun tujuan utama pendirian BPSK adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen, tetapi ini tidak berarti bahwa dalam upaya pelaksanaan ganti kerugian, BPSK yang harus mengajukan permohonan eksekusinya ke pengadilan. Oleh karena ganti kerugian diberikan untuk kepentingan konsumen, maka yang dapat mengajukan eksekusi terhadap putusan BPSK hanyalah konsumen sendiri, bukan lembaga BPSK. Apabila BPSK dikenakan kewajiban untuk mengajukan eksekusi seperti yang ditentukan dalam Pasal 42 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001, maka kedudukan BPSK sebagai badan yang netral dan imparsial menjadi diragukan. Selain itu apabila BPSK melakukan pengajuan permohonan eksekusi, maka akan menambah beban kerja dari BPSK itu sendiri. Untuk itulah demi mendorong kinerja BPSK yang baik hendaknya BPSK tidak dikenakan kewajiban 89 mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan. Dan dikaitkan dengan Pasal 52 UUPK, maka sudah seharusnya kewajiban untuk mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan tidak menjadi tugas dan wewenang dari BPSK karena UUPK sendiri tidak mengatur demikian. 88 Ibid., hal Ibid., hal. 348.

13 Bapak Drs.H.M.Dharma Bakti Nasution, S.E.,S.H.,M.H. selaku wakil ketua BPSK Kota Medan menjelaskan bahwa proses eksekusi yang dilaksanakan oleh pengadilan negeri berdasarkan permohonan BPSK Kota Medan dilakukan melalui beberapa tahap, antara lain: Permohonan pelaksanaan eksekusi atas putusan BPSK Kota Medan Pengadilan Negeri Medan melaksanakan pemanggilan para pihak (aan maning), 3. Kemudian setelah 8 hari maka diadakan pertemuan antara para pihak untuk perdamaian. 4. Apabila perdamaian dinyatakan gagal oleh pengadilan negeri, maka dilaksanakan eksekusi terhadap putusan tersebut sebagai konsekuensi hukum. Peringatan atau Aanmaning merupakan salah satu syarat pokok eksekusi, tanpa peringatan lebih dulu eksekusi tidak boleh dijalankan. Dan berfungsinya eksekusi secara efektif terhitung sejak tenggang waktu peringatan dilampaui. Peringatan dihubungkan dengan menjalankan putusan (ten uitvoer legging van vonnissen) merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri berupa teguran kepada tergugat agar tergugat menjalankan isi putusan pengadilan dalam tempo yang ditentukan pengadilan negeri setelah ternyata tergugat tidak mau menjalankan putusan secara sukarela. Peringatan atau annmaning ini mempunyai tenggang waktu peringatan, pasal 196 HIR atau pasal 207 RBG menentukan batas maksimum yakni 8 hari, yang diberikan kepada ketua pengadilan negeri. Pemberian batas masa peringatan dimaksudkan agar si tergugat (pihak yang kalah) menjalankan putusan secara sukarela, dan apabila batas waktu peringatan yang ditentukan dilampaui dan tergugat tetap tidak mau manjalankan putusan, maka sejak saat itu putusan sudah dapat dieksekusi dengan paksa Wawancara pada tanggal 7 September 2011 di Sekretariat BPSK Kota Medan pukul WIB. 91 Wawancara dengan Ibu Dana yang merupakan anggota Sekretariat BPSK Kota Medan tanggal 8 Agustus Pukul WIB, menyatakan bahwa konsumen meminta pada BPSK untuk mengeluarkan surat pengantar untuk permohonan eksekusi ke pengadilan negeri. 92 M. Yahya Harahap, Op. cit., hal. 27.

14 Dalam hal mengenai putusan BPSK yang dimintakan penetapan eksekusinya ke pengadilan negeri, peringatan dilakukan untuk menghadirkan para pihak dan kemudian dipertanyakan apakah para pihak ingin melakukan perdamaian, dan jika tidak, maka dilaksanakanlah eksekusi. Sebagai lanjutan proses peringatan adalah pengeluaran surat penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang dimana isi dari surat penetapan ini ialah perintah menjalankan eksekusi dan perintah ditujukan kepada panitera atau jurusita ketentuan ini diatur didalam pasal 197 ayat 1 HIR atau pasal 208 ayat 1 RBG. Disamping surat penetapan ini berisi perintah menjalankan eksekusi, surat penetapan itu berisi penunjukan nama pejabat yang diperintahkan, dimana penujukan tersbut harus memperhatikan pasal 197 ayat 3 HIR dan pasal 208 ayat 3 RBG yang merupakan syarat bagi pejabat yang ditunjuk menjalankan perintah ekseskusi. 93 Kesemua tata cara ekseskusi ini harus dimuat dalam berita acara seperti yang tercantum dalam pasal 197 ayat 5 HIR dan pasal 209 ayat 4 RBG, Dalam pasal tersebut secara tegas memerintahkan pejabat yang menjalankan eksekusi membuat berita acara eksekusi, oleh karena itu tanpa berita acara, eksekusi dianggap tidak sah. Keabsahan formal eksekusi hanya dapat dibuktikan dengan berita acara. 94 Menurut Bapak Dharma Bakti, BPSK tidak mempunyai lembaga juru sita sebagaimana yang dimiliki oleh pengadilan negeri sehingga putusan BPSK harus ditindaklanjuti oleh BPSK untuk dilaksanakan eksekusinya oleh pengadilan 93 Ibid., hal Ibid., hal. 33.

15 negeri. 95 Hal ini yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan eksekusi putusan BPSK menjadikan BPSK tidak dapat secara mandiri melaksanakan eksekusi putusannya, sehingga putusan BPSK yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pelaku usaha harus dimintakan penetapan eksekusinya kepada pengadilan negeri. Namun dalam UUPK dan Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 menyatakan bahwa BPSK yang wajib mengajukan ke pengadilan negeri. Dan menurut Beliau bahwa hal tersebut keliru, karena seharusnya konsumenlah yang mengajukan permohonan penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri. Menurut Ahsanul Fuad Saragih, S.H. selaku anggota Majelis BPSK dari unsur pelaku usaha, bahwa BPSK memang tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan putusannya, oleh karena itu seharusnya BPSK diberikan amunisi tambahan untuk dapat menjadikan putusannya menjadi putusan yang executable dengan merevisi pasal-pasal yang mengatur mengenai BPSK dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sehingga putusan BPSK tidak lagi harus dimintakan penetapan eksekusinya ke pengadilan negeri. 96 B. Hambatan dari Peran serta Lembaga Peradilan Umum dalam Memeriksa Upaya Hukum Keberatan Hambatan yang dialami oleh BPSK adalah mengenai hal yang diatur dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK yang memberi peluang kepada para pihak yang 95 Wawancara pada tanggal 7 September 2011 di Sekretariat BPSK Kota Medan pukul WIB. 96 Wawancara pada tanggal 5 September 2011 pukul WIB di Ruang Perdata Gedung B Fakultas Hukum USU.

16 tidak setuju dengan putusan BPSK, untuk mengajukan keberatan ke pengadilan. Namun UUPK tidak mengatur mekanisme seperti yang ditentukan dalam Undang- Undang No. 30 Tahun 1999, melainkan membuat suatu aturan yang berbeda. Perlu pula dipahami bahwa sistem hukum di Indonesia hanya mengenal Perlawanan, Banding dan Kasasi sebagai upaya hukum biasa dan Peninjauan Kembali serta Perlawanan Pihak Ketiga sebagai upaya hukum luar biasa, sedangkan keberatan seperti dimaksud dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK tidak dikenal sebagai suatu upaya hukum dalam sistem hukum Indonesia. Oleh karena itu, harus disepakati bahwa keberatan dalam UUPK tidak dilihat sebagai suatu upaya hukum namun harus dilihat sebagai suatu upaya yang diberikan oleh undang-undang bagi pelaku usaha dan konsumen yang tidak menerima putusan BPSK. 97 Dalam hal para pihak sudah memilih penyelesaian sengketa di BPSK dilakukan cara arbitrase, maka secara yuridis putusan BPSK haruslah dipandang sebagai suatu putusan badan arbitrase. Oleh karena itu, keberatan terhadap putusan BPSK harus ditinjau dan dipertimbangkan dalam konteks keberatan terhadap putusan lembaga arbitrase, sehingga penerapan hukumnya harus memerhatikan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 30 Tahun Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Namun dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK membuka peluang pengajuan keberatan kepada pengadilan negeri terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK. UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanya memberi peluang masuknya lembaga peradilan pada 2 kondisi, yaitu: 1. Dalam hal diajukan permohonan penetapan eksekusi, atau 97 Dedi Harianto, Op.cit., hal Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal. 326.

17 2. Manakala diajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Mengenai permohonan penetapan eksekusi, Pasal 62 UU No. 30 Tahun 1999 mengatur bahwa ketua pengadilan negeri dalam mengeluarkan penetapan eksekusi, harus memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999, 99 serta memastikan bahwa putusan tersebut tidak bertentangan dengan kesusialaan dan ketertiban umum. Apabila putusan arbitrase tenyata tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka ketua pengadilan negeri dapat menolak mengeluarkan penetapan eksekusi yang berakibat putusan tidak dapat dieksekusi. Putusan pengadilan negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun. Oleh karena itu, dalam upaya menyelesaikan berbagai permasalahan yang menyangkut proses beracara yang disebabkan karena kurang jelasnya pengaturan hukum acara pada UUPK, maka Mahkamah Agung dengan tujuan untuk menyamakan persepsi pada seluruh lembaga peradilan di Indonesia, pada tanggal 99 Pasal 4 UU No. 30 Tahun 1999: Ayat (1): dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase, dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka. Ayat (2): persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak. Ayat (3): dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, atau dalam bentuk saran komunikasi lainnya, wajin disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. Pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999 Ayat (1): sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Ayat (2): sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

18 15 Maret 2006 telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. Mahkamah Agung hanya berwenang memberi penjelasan terhadap acara yang tidak jelas, atau undang-undang tidak memberi aturan pelaksanaannya, namun ketentuan PERMA ini tidak mengikat. Dan seperti pendapat dari Bapak Dharma Bakti Nasution, yang menyatakan bahwa mengenai Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK dengan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK, Kepmenprindag RI tersebut tetap diberlakukan sebagai hukum acara dari UUPK mengenai BPSK, walaupun telah terbitnya PERMA tersebut. 100 PERMA No. 1 Tahun 2006 mengatur bahwa keberatan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK 101 dan dalam hal diajukan keberatan, BPSK bukan merupakan pihak. 102 Keberatan diajukan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata. 103 Dan dalam hal keberatan diajukan oleh konsumen dan pelaku usaha terhadap putusan BPSK yang sama, maka perkara tersebut harus didaftar dengan nomor yang sama. 104 Adapun alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar pengajuan keberatan terhadap putusan arbitrase BPSK adalah apabila memenuhi 100 Wawancara pada tanggal 7 September 2011 di Sekretariat BPSK Kota Medan pukul WIB. 101 Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. 102 Pasal 3 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. 103 Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK Pasal 5 Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.

19 persyaratan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu: Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu; 2. Setelah putusan arbitrase BPSK diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; 3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Dalam hal keberatan diajukan atas dasar hal-hal disebut di atas, maka Majelis Hakim dapat mengeluarkan pembatalan putusan BPSK. 106 Dan dalam hal keberatan diajukan atas dasar alasan lain di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK, Majelis Hakim dapat mengadili sendiri sengketa konsumen yang bersangkutan. 107 Pengadilan negeri dalam memeriksa keberatan atas putusan BPSK tidak melakukan pemeriksaan ulang terhadap keseluruhan perkara, pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan BPSK dan berkas-berkas perkara 105 Pasal 6 Ayat (3). Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. 106 Pasal 6 Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. 107 Pasal 6 Ayat (5) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.

20 saja. 108 Dan Majelis Hakim harus memberikan putusan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak sidang pertama dilakukan. 109 C. Efektivitas Pelaksanaan Putusan Sengketa Konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Medan BPSK merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam rangka menyejahterakan masyarakat dari segi perwujudan pemerataan keadilan, terutama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha/produsen, karena sengketa di antara konsumen dan pelaku usaha/produsen biasanya nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengketanya di pengadilan karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan dituntut. Pembentukan BPSK didasarkan pada adanya kecenderungan masyarakat yang segan untuk beracara di pengadilan karena posisi konsumen yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha. Dengan dibentuknya lembaga BPSK, maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan murah. Cepat karena penyelesaian sengketa melalui BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari kerja, dan tidak dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses penyelesaian perkara. Mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang 108 Pasal 6 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. 109 Pasal 6 Ayat (7) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.

21 dibebankan sangat ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen. Jika putusan BPSK dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka putusan BPSK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan. Dengan demikian, maka terciptanya penyelesaian sengketa konsumen secara cepat, mudah dan murah menjadi tolok ukur tercapainya tujuan dari dibentuknya BPSK. Menurut Pasal 54 ayat (3) UUPK, putusan BPSK sebagai hasil dari penyelesaian sengketa konsumen secara konsiliasi, mediasi atau arbitrase, bersifat final dan mengikat. Pengertian final berarti bahwa penyelesaian sengketa telah selesai dan berakhir. Sedangkan kata mengikat mengandung arti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak yang diwajibkan untuk itu. Sesuai dengan penjelasan Pasal 54 ayat (3) UUPK, yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam BPSK tidak ada upaya banding dan kasasi. Namun dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK disebutkan bahwa apabila konsumen atau pelaku usaha menolak putusan BPSK, dapat mengajukan keberatan ke pengadilan negeri paling lambat 14 hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. Yang mana dengan demikian akan memperpanjang waktu penyelesaian sengketa konsumen sekaligus menambah beban biaya perkara yang harus ditanggung oleh para pihak. Hal ini bertentangan dengan pengertian putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat tersebut, sehingga dengan demikian ketentuan pasal-pasal tersebut saling kontradiktif dan menjadi tidak efisien. Dan dalam hal ini pelaku usaha yang memiliki posisi tawar lebih tinggi tidak mengalami kesulitan mengenai pembiayaan karena memang

22 mempunyai kekuatan finansial, akan tetapi lain halnya dengan konsumen. Dengan demikian, maka penyelesaian sengketa konsumen menjadi tidak efektif karena harapan dari dibentuknya BPSK untuk dapat mempersembahkan proses penyelesaian sengketa konsumen yang bersifat cepat, mudah(sederhana) dan murah sulit untuk tercapai. Sehingga efektivitas dari pelaksanaan putusan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen menjadi diragukan. Yang mana secara etimologi kata efektivitas dari kata effective yang telah mengintervensi ke dalam bahasa Indonesia dan memiliki makna berhasil, dalam bahasa Belanda effectief memiliki makna berhasil guna. Dan efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasilgunaan pelaksanaan hukum itu sendiri. Jadi indikator efektivitas pelaksanaan putusan BPSK adalah dengan terwujudnya penyelesaian sengketa konsumen yang bersifat cepat, mudah(sederhana) dan murah. Berdasarkan hasil wawancara 110 dengan beberapa konsumen yang pernah mengadukan sengketanya terhadap pelaku usaha kepada BPSK Kota Medan, dapat disimpulkan bahwa putusan BPSK sudah efektif, dilihat dari segi penyelenggaraan proses penyelesaian sengketa konsumen yang dilaksanakan oleh BPSK, yaitu dari sifat cepat penyelesaian sengketa konsumen, beberapa responden menyatakan bahwa dikeluarkannya putusan oleh BPSK tepat waktu seperti yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, demikian juga dengan pelaksanaan putusannya. Mengenai biaya yang dibutuhkan dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui 110 Wawancara dilakukan pada tanggal 8 September 2011 pukul WIB di KFC Walikota, dan dengan beberapa responden lain wawancara dilakukan melalui pembicaraan telepon selular pada tanggal 8 September 2011 pukul WIB.

23 BPSK, menurut responden biaya yang dikeluarkan relatif murah. Dan proses penyelesaian sengketa konsumen di BPSK berjalan dengan sederhana(mudah) karena tata cara yang dilaksanakan tidak terlalu formil seperti yang biasa dilaksanakan di pengadilan, tetapi lebih bernuansa kekeluargaan. Dan yang menjadi keluhan antara lain: 1. Mengenai infrastuktur dari Sekretariat BPSK Kota Medan, yaitu terkait masalah ruang sidang yang kurang memadai Sarana dan fasilitas untuk aparatur BPSK, yaitu hambatan yang dialami oleh anggota Sekretariat saat pengantaran relas putusan misalnya, karena tidak memiliki kendaraan dinas aparatur BPSK harus menggunakan angkutan umum, sehingga kinerja BPSK menjadi kurang efektif dan efisien Minimnya sosialisasi yang dilakukan untuk memperkenalkan BPSK kepada masyarakat Budaya masyarakat yang cenderung pasrah Disampaikan oleh responden dari pihak konsumen. 112 Disampaikan oleh Wakil Ketua BPSK, Bapak Drs.H.M.Dharma Bakti, S.E., S.H., M.H. 113 Menurut Bapak Dharma Bakti, beliau selama ini telah mensosialisasikan BPSK dengan bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM, dan juga dengan lembaga-lembaga Konsumen lainnya. 114 Menurut Bapak Dharma Bakti, banyak masyarakat yang tidak sadar akan kerugian yang dialaminya. Dan cenderung pasrah karena tidak ingin kerugiannya yang berjumlah kecil dipersengketakan sampai ke pengadilan.

24 Analisis terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Nomor 7/PEN/BPSK/2006/MDN (antara Jhon Parlyn Sinaga Melawan PT. Excelcomindo Pratama) 1. Posisi Kasus Kasus ini merupakan sengketa konsumen yang terjadi antara Jhon Parlyn Sinaga(selanjutnya disebut Konsumen) dengan PT. Excelcomindo Pratama(XL). Sengketa tersebut terjadi akibat kerugian yang dialami konsumen setelah menggunakan produk layanan telekomunikasi Kartu Prabayar Bebas yang dipromosikan melalui brosur oleh XL yaitu berupa program Tarif Ngirit Malam dengan tarif Rp. 149 per detik saat off peak(23.00 WIB hingga WIB) bagi sesame XL. Konsumen sendiri adalah pengguna Xplor ( layanan Pascabayar XL dengan nomor ). Konsumen menyimpulkan dari brosur yang dikeluarkan XL bahwa tarif yang ditawarkan dalam program tersebut lebih murah dibanding, yang kemudian membeli kartu prabayar Bebas milik XL dengan nomor Namun apa yang dijanjikan dalam program tersebut ternyata tidak terbukti, justru tarif Ngirit Malam lebih mahal disbanding tarif Xplor yang telah dimiliki konsumen sebelumnya. Konsumen berminat untuk membeli kartu Prabayar Bebas atas pertimbangan sebagai berikut: a. Berdasarkan lembar tagihan Xplor konsumen( ), saat berkomunikasi ke nomor (sesame XL nomor Medan) pada hari kamis(9 Februari 2006) pukul WIB dengan waktu percakapan 29 detik dikenakan biaya Rp. 157,-. bila dibandingkan dengan

25 tarif Ngirit Malam yang memberi harga Rp. 149 per detik pada sesame XL, konsumen bisa menghemat sebesar Rp. 23,7. Dan untuk pemakaian 30 detik seperti tertera dalam tagihan Xplor konsumen bisa menghemat sebesar RP. 29,2. b. Asumsi lain yang membuktikan bahwa program tarif Ngirit Malam masih tetap lebih hemat disbanding Xplor saat off peak apabila programnya dijalankan, terlihat pada lembar tagihan Xplor milik konsumen pada jum at (24 Februari 2006) pukul WIB yang berkomunikasi dengan nomor (sesame XL nomor Bandung) selama 10 detik. Dalam lembar tagihan tercatat biaya sebesar Rp Bila angka tersebut ditambahkan dengan PPn sebesar 10% maka jumlah tagihan konsumen yang riil sebesar Rp. 159,5. Artinya dengan tarif Ngirit Malam yang ditawarkan kartu Bebas milik XL sebesar Rp. 149 perlindungan 30 detik, telah memberi penghematan sebesar Rp. 10,5 dan bila dihitung dalam durasi 60 detik pemakaian Xplor, mengacu pada angka Rp. 145 per 10 detik, maka tarif yang dibayarkan konsumen plus PPn menjadi sebesar Rp Dan lewat program tarif Ngirit Malam yang diberikan XL, yang dibayarkan konsumen hanya sebesar Rp. 298 atau dapat berhemat Rp Pertimbangan tersebut yang menjadi alasan konsumen untuk memutuskan beralih ke kartu Bebas ketika berkomunikasi saat off peak dengan sesama XL yang mulai berlaku sejak 1 April hingga 30 Juni Namun kenyataannya setelah dipakai, program tarif Ngirit Malam yang dijanjikan XL dalam brosurnya tidak terbukti. Ini terlihat ketika Minggu(2 April)

26 sekitar pukul WIB kartu Prabayar Bebas yang dibeli konsumen dipakai berkomunikasi ke nomor dengan waktu percakapan sekitar 23 detik (di bawah 30 detik yang ditetapkan), ketika dicek nilai pulsanya menunjukkan angka Rp ,- atau berkurang sebesar Rp. 624,- dari pulsa awal Rp ,-. Seharusnya menurut program tersebut angka yang akan tercatat sebesar Rp ,- atau hanya berkurang sebesar Rp. 149 seperti yang disebutkan dalam brosur. Dan untuk membuktikan bahwa XL benar-benar tidak menerapkan program tarif Ngirit Malam tersebut, terlihat ketika konsumen kembali berkomunikasi dengan nomor yang sama ( ) dalam waktu sekitar 52 detik ( dua kali durasi yang telah ditetapkan yaitu per 30 detik). Setelah dicek pulsa yang tersisa, tercatat Rp ,-. Artinya biaya berkomunikasi konsumen selama 52 detik itu sebesar Rp padahal seharusnya bila mengikuti angka yang tertera dalam brosur milik XL hanya sebesar Rp. 298 atau dua kali tarif Rp. 149 per detik. Dengan demikian konsumen telah dirugikan sebesar Rp. 475 pada komunikasi pertama dan sebesar Rp. 950 pada komunikasi kedua, dan total kerugian konsumen sebesar Rp ,-. Itu terjadi ketika konsumen berkomunikasi dengan sesama XL nomor Medan. Sesuai dengan programnya, tarif Ngirit Malam berlaku untuk sesama XL, dalam artian tidak membedakan jarak penelpon dan penerima, sekitar pukul WIB pada hari yang sama, nomor prabayar Bebas tersebut digunakan konsumen berkomunikasi ke nomor (sesama nomor XL nomor Bandung,

27 termasuk dalam Zona seberang dalam penarifan kartu Xplor). Waktu percakapan yang digunakan konsumen sekitar 15 detik, kemudian dicek pulsa dan tercatat pulsanya menjadi Rp ,- dari sebelumnya Rp ,- atau dikenakan biaya sebesar Rp. 680,-. Padahal sesuai dengan isi brosur bahwa tarif Ngirit Malam berlaku bagi sesama XL, seharusnya hanya dikenakan tarif sebesar Rp. 149 per 30 detik karena hanya 15 detik yang digunakan. Dan konsumen mengalami kerugian sebesar Rp. 531,-. Dan dari beberapa kali kemudian konsumen menggunakan kartu prabayar Bebas milik XL tersebut, setelah diakumulasikan konsumen mengalami kerugian sebesar Rp Namun, meski telah diberitahu mengenai kerugian yang dialami konsumen akibat tidak terbuktinya program tarif Ngirit Malam seperti alam brosur yang disebar XL melalui surat elektronik ( ) ke customer service dan korporate communication PT. Excelcomindo Pratama, hingga laporan pengaduan konsumen ini (tanggal pengaduan konsumen adalah 16 April 2006) diajukan kepada BPSK Medan, pihak XL belum juga menyampaikan permohonan maaf baik kepada konsumen maupun kepada public yang merasa dirugikan oleh program tersebut. Setelah dalam persidangan BPSK para pihak sepakat memilih penyelesaian sengketa dengan cara Arbitrase, maka Pihak XL yang kemudian menjawab pengaduan konsumen tersebut menyatakan bahwa menanggapi keluhan dari konsumen pada tanggal 2 Apil 2006 malam di kantor XL Jalan Diponegoro Medan, pihak XL menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan tanggal cetak untuk program tarif Ngirit Malam yang seharusnya berlaku tanggal 6 April 2006

28 tapi ternyata tercetak tanggal 1 April Dalam pembicaraan tersebut XL telah menyetujui untuk memberikan penawaran kerja sama iklan sebagai bentuk perdamaian atau ganti rugi atas kerugian yang dialami konsumen. Menanggapi tawaran tersebut, konsumen meminta agar pemasalahan ini diselesaiakan melalui mekanisme penyelesaian yang berlaku di BPSK Kota Medan. Pihak XL pada tanggal 2 April 2006 telah menarik semua brosur yang salah tanggal cetak mulai berlakunya program tarif Ngirit Malam yang sempat beredar di Kota Medan, serta telah menggantinya dengan brosur yang benar pada tanggal 4 April Pihak XL menyampaikan bahwa telah berkali-kali menawarkan penyelesaian sengketa berdasarkan itikad baik, namun pihak konsumen belum juga menerima tawaran dari pihak XL tersebut. Dan terhadap jawaban dari pihak XL, konsumen menyatakan tetap pada pengaduannya/gugatannya semula. Kemudian guna memenuhi bunyi Pasal 54 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 22 Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 yang menyatakan bahwa: Pembuktian dalam proses Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha, maka pihak XL mengajukan alat bukti surat yaitu Brosur/iklan Tarif Ngirit Malam (TNM) Rp.149/30 detik dimulai tanggal 1 April 2006 hingga 30 Juni 2006, Brosur/iklan Tarif Ngirit Malam (TNM) Rp.149/30 detik telah diubah tanggalnya dari tanggal 1 April menjadi tanggal 6 April hingga 30 Juni Dan saksi-saksi antara lain Michael AP dan Zainul Syukri serta M.Ali Syahbuddin Harahap yang menyatakan bahwa memang benar

29 ada kesalahan cetak terhadap brosur yang pada mulanya dicetak berlaku pada tanggal 1 April hingga 30 Juni 2006 kemudian diubah menjadi berlaku tanggal 6 April 2006 hingga 30 Juni Bahwa memang benar para saksi menarik brosur yang salah tersebut dari semua agen atas perintah pimpinan perusahaan. Bahwa memang benar brosur yang salah telah beredar 10ribu lembar dan telah ditarik sejumlah 7 ribu lembar, sedangkan sisanya 3 ribu lembar lagi tidak diketahui kemana beredarnya. Dan tuntutan konsumen yang dimohonkan kepada Ketua BPSK, Cq. Ketua Majelis Hakim BPSK yang memeriksa dan mengadili sengketa ini sebagai berikut: a. Mengabulkan seluruhnya permohonan pengaduan konsumen. b. Menyatakan perbuatan PT. Excelcomindo Pratama (XL) adalah perbuatan melawan hukum. c. Agar pelaku usaha memberi ganti rugi materiil dan immateriil sebesar Rp ,- (lima ratus juta rupiah) kepada konsumen. d. Menghukum PT. Excelcomindo Pratama untuk memohon maaf atas kesalahannya secara khusus kepada konsumen dan secara umum kepada semua pelanggan yang dirugikan akibat tidak terbuktinya program tarif Ngirit Malam dalam brosur tersebut, yang dimuat dalam 8 (delapan) media massa terbitan Medan (Medan Bisnis, Analisa, Waspada, SIB, Global, Pos Metro Medan, Sumut Pos, Suara Rakyat Medan) dan 5 (lima) media massa nasional (Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Bisnis Indonesia, Suara Pembaruan) berturut-turut

30 selama 3 (tiga) hari, karena meski telah diberitahu bahwa program yang terdapat dalam brosur tersebut tidak terbukti, justru pelaku usaha tidak memuat pengumuman di media massa atas kesalahan yang dilakukan. e. Melakukan pencabutan ijin usaha pelaku usaha, karena memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. 2. Pertimbangan Hukum Berdasarkan jawaban pihak XL secara tertulis maupun lisan di persidangan yang pada pokoknya XL mengakui adanya kesalahan dalam mencetak brosur Tarif Ngirit Malam (TNM) yang dicetak dan diedarkan untuk berlaku tanggal 1 April 2006 yang seharusnya berlaku tanggal 6 April 2006, sedangkan konsumen telah mengkonsumsi/memakai dan menggunakan Tarif Ngirit Malam tersebut, apabila dihubungkan dengan Pasal 8 Ayat (1) huruf f dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa: pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Majelis BPSK berpendapat bahwa XL membuat brosur/iklan dengan apa yang dijanjikan tidak sesuai dan tidak terlaksana, sehingga XL telah melanggar Pasal 8 Ayat (1) huruf f tersebut.

31 Dan apabila dihubungkan dengan Pasal 9 Ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa: Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. Majelis berpendapat bahwa pelaku usaha juga telah melanggar pasal tersebut. Apabila dihubungkan dengan Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa: Pelaku usaha dalam menawakan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengedarkan atau membuat penjelasan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa. Mengenai kerugian yang diderita konsumen, majelis mempertimbangkan bahwa menurut Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan: Semua/segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undangundang ini. Bahwa yang dimaksud oleh undang-undang yang telah ada yang tetap berlaku di antaranya adalah Pasal 1365 KUH Perdata yang menyebutkan: Tiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Yang apabila dihubungkan dengan jawaban pelaku usaha

32 bahwa memang benar terjadi kesalahan tersebut adalah karena salah cetak, serta dihubungkan dengan bukti-bukti surat dari konsumen berupa kuitansi pembelian kartu perdana Bebas sebesar Rp ,- serta tabulasi perhitungan angka kerugian yang dibuat konsumen dalam surat pengaduannya sebesar Rp ,- tidah dibantah oleh pelaku usaha dan diakui adanya kesalahan tersebut, maka majelis berpendapat bahwa ada kerugian yang diderita oleh konsumen akibat perbuatan pelaku usaha yang jumlahnya menurut keyakinan majelis dan setelah mempertimbangkan rasa keadilan, maka patut an sewajarnya ganti rugi sebesar Rp ,- (empat juta rupiah). 3. Amar Putusan -MENGADILI - 1. Menerima pengaduan/gugatan konsumen sebagian. 2. Menyatakan bahwa pelaku usaha bersalah karena mengedarkan brosur dan iklannya yaitu Tarif Ngirit Malam (TNM) yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf f, Pasal 9 Ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 3. Menghukum pelaku usaha untuk tidak memberlakukannya lagi kepada konsumen. 4. Menyatakan adanya kerugian yang diderita oleh konsumen akibat perbuatan pelaku usaha yang menurut keyakinan majelis dan rasa keadilan adalah sebesar Rp ,- (empat juta rupiah).

33 5. Menghukum pelaku usaha untuk membayar ganti rugi tersebut kepada konsumen. 6. Menghukum pelaku usaha untuk membayar denda sebesar Rp ,- (satu juta rupiah) setiap harinya apabila lalai/tidak mau melaksanakan keputusan pada poin 4 dan 5 tersebut. Sejak keputusan ini berkekuatan hukum tetap. 7. Menolak gugatan lain dan selebihnya. Demikian diputuskan pada hari Kamis tanggal 1 Juni Analisa Kasus Pasal 19 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, dan Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dapat dilihat Putusan BPSK Medan yang menyatakan adanya kerugian yang diderita konsumen akibat perbuatan pelaku usaha sebesar Rp ,-(empat juta rupiah) untuk kemudian menghukum pelaku usaha untuk membayar ganti rugi tersebut kepada konsumen (sedangkan diketahui bahwa kerugian sebenarnya adalah Rp 9.054,-) serta menghukum pelaku usaha untuk membayar denda Rp ,- (satu juta rupiah) setiap harinya apabila lalai atau tidak mau melaksanakan putusan tersebut

BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN. A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen

BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN. A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen Konsumen yang merasa hak-haknya telah dirugikan dapat mengajukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK A. Penyelesaian Sengketa Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 1. Ketentuan Berproses Di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN DAN PENITIPAN GANTI KERUGIAN KE PENGADILAN NEGERI DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

Lebih terperinci

BAB IV UPAYA HUKUM DAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BERKAITAN DENGAN KEBERATAN ATAS PUTUSAN BPSK

BAB IV UPAYA HUKUM DAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BERKAITAN DENGAN KEBERATAN ATAS PUTUSAN BPSK 107 BAB IV UPAYA HUKUM DAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BERKAITAN DENGAN KEBERATAN ATAS PUTUSAN BPSK Sesungguhnya keberadaan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen seperti yang telah diuraikan dalam BAB

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI A. Pengertian Eksekusi Eksekusi adalah merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa

Lebih terperinci

Jl. Jend. Ahmad Yani No.30 KARAWANG Telp. (0267) Fax. (0267) P U T U S A N

Jl. Jend. Ahmad Yani No.30 KARAWANG Telp. (0267) Fax. (0267) P U T U S A N BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN ( B P S K ) KABUPATEN KARAWANG Jl. Jend. Ahmad Yani No.30 KARAWANG 41315 Telp. (0267) 8490995 Fax. (0267) 8490995 P U T U S A N Nomor : / BPSK KRW / VIII / 2013 Tanggal

Lebih terperinci

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR EKSEKUSI (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Tinjauan Umum Eksekusi 1. Pengertian eksekusi Pengertian eksekusi menurut M. Yahya Harahap, adalah pelaksanaan secara paksa

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 38 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB VII PERADILAN PAJAK BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene No.1172, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Gugatan Sederhana. Penyelesaian. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN GUGATAN SEDERHANA DENGAN

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 LAMPIRAN : Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor : Kep-04/BAPMI/11.2002 Tanggal : 15 Nopember 2002 Nomor : Kep-01/BAPMI/10.2002 Tanggal : 28 Oktober 2002 PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM SENGKETA PENETAPAN LOKASI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara A. Upaya Hukum Ada kalanya dengan keluarnya suatu putusan akhir pengadilan sengketa antara Penggugat

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB III EKSEKUSI NAFKAH IDDAH DAN MUT AH. A. Prosedur dan Biaya Eksekusi di Pengadilan Agama Pekalongan

BAB III EKSEKUSI NAFKAH IDDAH DAN MUT AH. A. Prosedur dan Biaya Eksekusi di Pengadilan Agama Pekalongan BAB III EKSEKUSI NAFKAH IDDAH DAN MUT AH A. Prosedur dan Biaya Eksekusi di Pengadilan Agama Pekalongan 1. Prosedur eksekusi Dalam melaksanakan eksekusi di Pengadilan Agama Pekalongan, ada beberapa prosedur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.6,2004 KESRA Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah.Tenaga Kerja. Ketenagakerjaan. Perjanjian

Lebih terperinci

oleh: Dr.H.M. Arsyad Mawardi, S.H.,M.Hum (Hakim Tinggi PTA Makassar) {mosimage}a. PENDAHULUAN

oleh: Dr.H.M. Arsyad Mawardi, S.H.,M.Hum (Hakim Tinggi PTA Makassar) {mosimage}a. PENDAHULUAN oleh: Dr.H.M. Arsyad Mawardi, S.H.,M.Hum (Hakim Tinggi PTA Makassar) {mosimage}a. PENDAHULUAN Eksekusi menurut Subketi(1) dan Retno Wulan(2) disebutkan dengan istilah "pelaksanaan" putusan. Putusan pengadilan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.291, 2017 KEMENDAG. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06/M-DAG/PER/2/2017 TENTANG BADAN PENYELESAIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA

EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA Oleh : M. Luqmanul Hakim Bastary* PENGERTIAN Untuk kesamaan penggunaan istilah, maka kata Executie yang berasal dari bahasa asing, sering diterjemahkan ke dalam Bahasa

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2) BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2) G. Prosedur Pemeriksaan Perkara Prosedur pemeriksaan di arbitrase pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan di pengadilan karena

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2015 MA. Penyalahgunaan Wewenang. Penilaian Unsur. Pedoman Beracara. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KONSUMEN PENUMPANG PESAWAT TERBANG TERHADAP KEHILANGAN BARANG BAGASI

PERLINDUNGAN KONSUMEN PENUMPANG PESAWAT TERBANG TERHADAP KEHILANGAN BARANG BAGASI PERLINDUNGAN KONSUMEN PENUMPANG PESAWAT TERBANG TERHADAP KEHILANGAN BARANG BAGASI (Studi Kasus Tentang Penyelesaian Sengketa Antara Penumpang dan Maskapai Penerbangan di BPSK Kota Semarang) JURNAL PENELITIAN

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Eksekusi adalah pelaksanaan isi putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dengan cara paksa dan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI LEMBAGA SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI LEMBAGA SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI LEMBAGA SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Oleh: Daniel Mardika I Gede Putra Ariyana Hukum Perdata Fakultas

Lebih terperinci

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Oleh : FAUZUL A FAKULTAS HUKUM UPN VETERAN JAWA TIMUR kamis, 13 April 2011 BAHASAN Keanggotaan Badan Penyelesaian sengketa konsumen Tugas dan wewenang badan penyelesaian

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 Oleh : Aryani Witasari,SH.,M.Hum Dosen Fakultas Hukum UNISSULA Abstrak Arbitrase sebagai salah

Lebih terperinci

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN XII) PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL copyright by Elok Hikmawati 1 Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK 43 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak konsumen yang seharusnya dimiliki dan diakui oleh pelaku usaha 2. Oleh karena itu, akhirnya naskah

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Bambang Heriyanto, S.H., M.H. Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Disampaikan pada Rapat Kerja Kementerian

Lebih terperinci

J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D A T A ADHAPER

J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D A T A ADHAPER J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D A T A ADHAPER Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2015 Upaya Keberatan atas Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara dan Undang-undang Perlindungan

Lebih terperinci

SURAT KESEPAKATAN PERDAMAIAN TERINTEGRASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

SURAT KESEPAKATAN PERDAMAIAN TERINTEGRASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SURAT KESEPAKATAN PERDAMAIAN TERINTEGRASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA I. PENDAHULUAN Bahwa dalam beracara di Pengadilan Agama tidak mesti berakhir dengan putusan perceraian karena ada beberapa jenis

Lebih terperinci

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum Sejalan dengan perkembangan zaman era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa perburuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN DAN PENITIPAN GANTI KERUGIAN KE PENGADILAN NEGERI DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3).

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3). MAKALAH : JUDUL DISAMPAIKAN PADA : MEDIASI DAN GUGAT REKONPENSI : FORUM DISKUSI HAKIM TINGGI MAHKAMAH SYAR IYAH ACEH PADA HARI/ TANGGAL : SELASA, 7 FEBRUARI 2012 O L E H : Dra. MASDARWIATY, MA A. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR 3.1. Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan hubungan kerja oleh majikan adalah jenis PHK yang sering terjadi,

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : XXX/Pdt.G/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : XXX/Pdt.G/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : XXX/Pdt.G/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILIHAN DAN SENGKETA PELANGGARAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.649, 2013 KOMISI INFORMASI. Sengketa Informasi Publik. Penyelesaian. Prosedur. Pencabutan. PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Melawan

Melawan JAWABAN TERMOHON KEBERATAN terhadap Keberatan yang diajukan oleh Pemohon Keberatan atas Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kabupaten Probolinggo Nomor 06/AK/BPSK/426.111/2014 antara

Lebih terperinci

J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D A T A ADHAPER

J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D A T A ADHAPER J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D A T A ADHAPER Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2015 Eksistensi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Memutus Sengketa Konsumen di Indonesia Hanum Rahmaniar Helmi

Lebih terperinci

BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN (GIJZELING/ IMPRISONMENT FOR CIVIL DEBTS) DI INDONESIA

BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN (GIJZELING/ IMPRISONMENT FOR CIVIL DEBTS) DI INDONESIA BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN (GIJZELING/ IMPRISONMENT FOR CIVIL DEBTS) DI INDONESIA A. Pengertian dan Dasar Yuridis Keberadaan Lembaga Paksa Badan Secara konsepsional inti dari penegakan hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

TUGAS KELOMPOK HUKUM ASURANSI

TUGAS KELOMPOK HUKUM ASURANSI TUGAS KELOMPOK HUKUM ASURANSI NAMA: GITTY NOVITRI (2013200009) VICKY QINTHARA (2013200108) PRINCESSA YASSENIA ANI KAROLINA (2013200108) KELAS: B DOSEN: TETI MARSAULINA, S.H., LL.M. 2016 0 I. KASUS POSISI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PERDATA PENGADILAN

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PERDATA PENGADILAN STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PERDATA PENGADILAN Jenis No. Pelayanan 1 Pelayanan Permohonan Dasar Hukum Persyaratan Mekanisme & Prosedur Jangka Waktu Biaya Kompetensi Pelaksana Pasal 120 Pemohon 1. Permohonan

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA 1 of 27 27/04/2008 4:06 PM UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/12.2014 TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT PENGURUS BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa perbedaan pendapat

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN A. Mahkamah Agung dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Yati Nurhayati ABSTRAK Permasalahan perburuhan yang terjadi antara pekerja dan pengusaha atau antara para pekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n 2 000 Tentang Desain Industri DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan M PUTUSAN Nomor 793 K/Pdt/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut

Lebih terperinci

P U T U S A N 46/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGGUGAT ; MELAWAN TERGUGAT ;

P U T U S A N 46/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGGUGAT ; MELAWAN TERGUGAT ; Salinan Nomor : P U T U S A N 46/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Donggala yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N KODE ETIK P O S B A K U M A D I N PEMBUKAAN Bahwa pemberian bantuan hukum kepada warga negara yang tidak mampu merupakan kewajiban negara (state obligation) untuk menjaminnya dan telah dijabarkan dalam

Lebih terperinci

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2004 DENGAN PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi

Lebih terperinci