JURNAL KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "JURNAL KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA"

Transkripsi

1

2 JURNAL KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA Volume 5 Nomor 1 Mei 2013 Nomor Akreditasi : 425/AU/P2MI-LIPI/04/2012 (Periode April 2012 April 2015) ISSN Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia adalah wadah informasi perikanan, baik laut maupun perairan umum daratan. Jurnal ini menyajikan analisis dan sintesis hasil-hasil penelitian, informasi, dan pemikiran dalam kebijakan kelautan dan perikanan. Terbit pertama kali tahun 2009, dengan frekuensi penerbitan dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan: MEI dan NOPEMBER. Ketua Redaksi: Prof. Dr. Ali Suman Anggota: Prof. Dr. Ir. Wudianto, M.Sc. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Dr. Ir. Sonny Koeshendrajana, M.Sc. Dr. Achmad Poernomo, M. App. Sc. Dr. Ir. Lucky Adrianto, M. Sc. Mitra Bestari untuk Nomor ini: Prof. Dr. Ir. Endi Setiadi Kartamihardja, M.Sc. (Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi SDI-Jatiluhur) Prof. Dr. Ir. Ngurah N Wiadnyana, DEA (Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi KP-Jakarta) Dr. Ir. Augy Syahailatua, M.Sc. (Pusat Penelitian Oseanologi-LIPI) Drs. Bambang Sumiono, M.Si. (Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi SDI-Jakarta) Redaksi Pelaksana: R. Thomas Mahulette, S.Pi., M.Si. Darwanto, S.Sos Desain Grafis : Arief Gunawan, S.Kom Alamat Redaksi/Penerbit: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara Telp. (021) ; Fax. (021) drprpt2009@gmail.com Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan- Kementerian Kelautan dan Perikanan.

3 KATA PENGANTAR Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia volume 5 Nomor 1 Mei 2013 adalah terbitan pertama di tahun Percetakan ini dibiayai oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan menggunakan anggaran tahun Sebelum diterbitkan tulisan ini telah melalui proses revisi dan evaluasi dari Dewan Redaksi dan Mitra Bestari sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing dan proses editing dari Redaksi Pelaksana. Pada terbitan nomor satu ini, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia menampilkan enam artikel hasil penelitian perikanan perairan umum dan daratan dan perairan laut. Keenam artikel mengulas tentang dinamika larva ikan sebagai dasar opsi pengelolaan sumber daya ikan di Laguna Pulau Pari Kepulauan Seribu, status terkini dan alternatif pengelolaan sumber daya ikan di Laguna Segara Anakan, Cilacap, sebaran unit stok ikan layang (Decapterus spp.) dan risiko pengelolaan ikan pelagis kecil di Laut Jawa, arah kebijakan pengembangan perikanan tangkap di sekitar Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat, prioritas strategi pengelolaan perikanan giob yang berkelanjutan di Kayoa, Halmahera Selatan, strategi pengelolaan sumber daya udang laut dalam secara berkelanjutan di Indonesia. Diharapkan tulisan ini dapat memberikanan kontribusi bagi para pengambil kebijakan dan pengelola sumberdaya perikanan di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para peneliti dari lingkup dan luar Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Redaksi i

4 ISSN JURNAL KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA Volume 5 Nomor 1 Mei 2013 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI.. Dinamika Larva Ikan Sebagai Dasar Opsi Pengelolaan Sumber Daya Ikan di Laguna Pulau Pari Kepulauan Seribu Oleh: Reny Puspasari, Ario Damar, M. M. Kamal, DTF Lumban Batu, N.N. Wiadnyana, dan M. Taufik Status Terkini dan Alternatif Pengelolaan Sumber Daya Ikan di Laguna Segara Anakan, Cilacap Oleh: Didik Wahju Hendro Tjahjo dan Riswanto Sebaran Unit Stok Ikan Layang (Decapterus spp.) dan Risiko Pengelolaan Ikan Pelagis Kecil di Laut Jawa Oleh: Suwarso dan Achmad Zamroni Arah Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap di Sekitar Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat Oleh: Isa Nagib Edrus dan Suprapto... Prioritas Strategi Pengelolaan Perikanan Giob yang Berkelanjutan di Kayoa, Halmahera Selatan Oleh: Imran Taeran, Mulyono S Baskoro, Am Azbas Taurusman, Daniel R Monintja, dan Mustaruddin Strategi Pengelolaan Sumber Daya Udang Laut Dalam Secara Berkelanjutan di Indonesia Oleh: Ali Suman dan Fayakun Satria i iii iii

5 Dinamika Larva Ikan Sebagai Dasar Opsi..di Laguna Pulau Pari Kepulauan Seribu (R. Puspasari et al.) DINAMIKA LARVA IKAN SEBAGAI DASAR OPSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN DI LAGUNA PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU FISH LARVAE DYNAMIC AS A BASIS OF PULAU PARI LAGUNE AREA MANAGEMENT Reny Puspasari 1), Ario Damar 2), M. M. Kamal 2), DTF Lumban Batu 2), N.N. Wiadnyana 3), dan M. Taufik 4) 1) Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya ikan 2) FPIK Institut Pertanian Bogor 3) Pusat Penelitian Penerapan Teknologi Kelautan dan Perikanan 4) Balai Penelitian Perikanan Laut Teregistrasi I tanggal:09 Januari 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 01 Mei 2013; Disetujui terbit tanggal: 06 Mei 2013 ABSTRAK Proses rekruitmen populasi ikan sangat ditentukan oleh kelangsungan hidup larva ikan yang ada di daerah pemijahan/asuhan. Laguna Pulau Pari merupakan daerah pemjahan bagi banyak jenis larva ikan karang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dinamika kelimpahan dan komposisi dari larva ikan di laguna Pulau Pari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan larva ikan yang ditemukan berkisar antara 1,0 x ,7 x 10 3 individu/m 3. Puncak kelimpahan tertinggi terjadi pada bulan Juli dan Oktober. Larva ikan ditemukan tersebar di semua lokasi pengamatan. Larva pada fase perkembangan pre flexion ditemukan dalam presentase yang paling tinggi. Selama masa pengamatan ditemukan 79 famili larva ikan yang didominasi oleh Pomacentridae, Aulostomidae, Blenniidae, Engraulidae dan Pinguipedidae. Dinamika yang terjadi pada larva ikan dapat dijadikan dasar bagi pengelolaan perikanan di wilayah Laguna Pulau Pari dengan cara memperluas daerah perlindungan laut dan rehabilitasi ekosistem Laguna Pulau Pari, sehingga peran dan fungsinya sebagai pemasok rekrut bagi stok ikan di perairan sekitarnya terjaga. KATA KUNCI: Larva ikan, kelimpahan, distribusi, pengelolaan, Laguna Pulau Pari ABSTRACT Fish Recruitment is, in turn, thought to be directly related to the survival of the early life stages in the spawning/nursery ground. Pulau Pari Laguna is considered as a spawning ground for many reef fishes. The aims of the research were to investigate the dynamic of abundance and composition of fish larvae in Pulau Pari lagune. The Results show, fish larvae abundance range between 1,0 x ,7 x 10 3 ind/m 3. Highest larval abundance occurred on July and October, which predicted as the month of fish larvae production seasons. Fish larvae were distributed in all part of the lagune. Larvae in the pre flexion stage found in the highest precentation compare to other. Totally 79 families of reef fish larvae were found during June November 2010 dominated by Pomacentridae, Aulostomidae, Blenniidae, Engraulidae and Pinguipedidae. KEYWORDS: Fish larvae, abundance, distribution, fisheries management, Pulau Pari Lagune PENDAHULUAN Salah satu faktor penentu kondisi stok ikan di perairan adalah keberhasilan proses rekrutmen populasi ikan (Köster & Möllman, 2000). Keberhasilan proses rekrutmen populasi ikan sangat dipengaruhi oleh tingginya keberhasilan larva ikan untuk tumbuh menjadi juvenil dan rekrut baru. Larva sangat rentan terhadap tingkat kematian yang tinggi yang salah satunya disebabkan oleh tekanan pemangsaan dari organisme-organisme pemangsa (Köster & Möllman, 2000). Salah satu strategi dalam mempertahankan kelangsungan hidup larvanya, ikan akan menyimpan Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur - Jakarta Utara, telur dan larvanya di daerah yang terlindungi (Cole, 2008). Laguna Pulau Pari merupakan suatu ekosistem terumbu karang yang bersifat semi tertutup dan komplek, di dalam laguna selain terumbu karang ditemukan juga lamun dan mangrove. Karakterisitk Laguna Pulau Pari sangat menunjang sebagai habitat pengasuhan bagi larva ikan, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya enam famili larva ikan yaitu Ambassidae, Apogonidae, Theraponidae, Hemirhamphidae, Gobidae dan Serranidae (Kaswadji, 1998). 1

6 J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 1-7 Saat ini di Laguna Pulau Pari terdapat lokasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang terletak di luar laguna di sebelah tenggara Pulau Pari dengan luasan 12 ha (Hartati & Syam, 2011). Lokasi DPL ditentukan berdasarkan karakteristik habitat dan didalamnya terdapat lokasi transplantasi terumbu karang, namun belum mempertimbangkan fungsi ekologisnya sebagai habitat pengasuhan. Pengamatan terhadap dinamika larva ikan merupakan faktor penting yang perlu dilakukan dalam pengelolaan wilayah Laguna Pulau Pari terkait fungsinya sebagai habitat pengasuhan, sehingga dapat memberikan arahan yang tepat bagi langkah pengelolaan selanjutnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola distribusi larva ikan yang ada di Laguna Pulau Pari, sehingga dapat diketahui wilayah perairan yang harus dilindungi untuk memberikan perlindungan bagi larva ikan. Penelitian ini dilakukan di perairan Laguna Pulau Pari Kepulauan Seribu pada bulan Juni sampai November 2010 dengan menggunakan metode deskriptif analitik. Sampel larva diambil untuk mendapatkan pola sebaran kelimpahan dan komposisi struktur larva ikan yang kemudian diidentifikasi dengan menggunakan buku Leis & Carson-Ewart (2000). Hasil analisis deskriptif terhadap distribusi dan kelimpahan larva kemudian dibandingkan dengan kondisi daerah perlindungan laut yang ada saat ini di Laguna Pulau Pari. Model pengelolaan perikanan yang diajukan adalah pengelolaan yang berdasarkan pada gambaran distribusi spasial dan temporal larva ikan. Variasi dan Distribusi Kelimpahan Larva Ikan Hasil pengamatan terhadap kelimpahan larva ikan di Laguna Pulau Pari menunjukkan bahwa di semua lokasi pengamatan selalu ditemukan larva pada setiap waktu pengamatan. Distribusi spasial dari larva menunjukkan bahwa kelimpahan larva tertinggi ditemukan di stasiun 4 yang terletak di luar tubir (Gambar 1). Pola sebaran menurut waktu pengamatan menunjukkan adanya fluktuasi naik turun pada setiap waktu pengamatan. Puncak kelimpahan terjadi dua kali yaitu pada bulan Juli dengan total kelimpahan 9,9 x 10 3 individu/m 3 dan bulan Oktober dengan total kelimpahan 14,7 x 10 3 individu/m 3 (Gambar 2). Kelimpahan larva ikan yang ditemukan berkisar antara individu/m 3. Puncak kelimpahan larva ikan yang terjadi pada bulan Juli dan Oktober menunjukkan bahwa Juli dan Oktober merupakan musim produksi larva. Musim produksi larva tentunya beriringan dengan terjadinya musim pemijahan yang ditandai dengan kelimpahan telur yang tinggi. 1,3 ind/m 3 1,5 ind/m 3 2,1 ind/m 3 2,5 ind/m 3 2,9 ind/m 3 Gambar 1. Figure 1. Sebaran spasial rata-rata kelimpahan larva ikan di Laguna Pulau Pari Spatial distribution of fish larvae in Pulau Pari Lagune Larva ikan yang ditemukan di Laguna Pulau Pari terdiri dari berbagai fase perkembangan. Pengamatan terhadap fase perkembangan larva dilakukan terhadap perubahan struktur morfologi dari nothocord. Ada tiga fase perkembangan larva ikan berdasarkan perubahan notochord, yaitu pre flexion flexion dan post flexion (Re & Meneses, 2008). Sebagian besar larva yang tertangkap di Laguna Pulau Pari berukuran sangat kecil, dan pengamatan terhadap fase perkembangan larva menunjukkan bahwa 62,98 % larva yang ditemukan berada pada fase preflexion, 16,55 % fase flexion, 17,56 berada pada fase post flexion dan 2,91 % fase juvenil (Gambar 3). Kehadiran larva pre flexion dapat menunjukkan kisaran waktu penetasan telur. Waktu pemijahan 2

7 Dinamika Larva Ikan Sebagai Dasar Opsi..di Laguna Pulau Pari Kepulauan Seribu (R. Puspasari et al.) dapat diduga dari sesaat sebelum kelimpahan telur tinggi dengan sebelum kelimpahan pre flexion yang tinggi. Apabila dibuat plot antara kelimpahan larva pre flexion dan kelimpahan telur maka dapat diduga waktu pemijahan ikan, seperti pada Gambar 4. Gambar 4. menunjukkan bahwa pola kelimpahan telur terjadi beriringan dengan pola kelimpahan larva pada fase pre flexion. Hal ini bisa mengindikasikan bahwa larva berasal dari telur yang ditetaskan di dalam laguna. Kehadiran telur dan semua fase perkembangan larva ikan ini menunjukkan bahwa Laguna Pulau Pari dimanfaatkan sebagai daerah pemijahan dan pengasuhan. Ciri-ciri suatu wilayah berperan sebagai daerah asuhan selain banyak ditemukan larva atau juvenil ikan adalah daerah tersebut merupakan daerah yang terlindung atau dapat memberikan perlindungan bagi larva ikan. Larva ikan yang masih lemah harus terlindung dari faktor fisik perairan yang ekstrim seperti hemapasan ombak besar, dan kehadiran predator. Keberadaan lokasi-lokasi persembunyian seperti vegetasi, lubang, dan kekeruhan yang tinggi dapat memberikan perlindungan bagi larva ikan. Kondisi ini sangat cocok dengan karakteristik Laguna Pulau Pari, dimana laguna ini merupakan daerah yang semi tertutup yang dikelilingi oleh terumbu karang (Asriningrum, 2005). Di dalam laguna terdapat gobagoba yang dapat berfungsi sebagai tempat berlindung bagi larva dan juvenil ikan, selain itu di laguna itu sendiri banyak ditemukan terumbu karang dengan tutupan yang termasuk dalam kategori sedang (Edrus & Hartati, 2011), juga terdapat lamun dan mangrove di beberapa pulau. 12 Kelimpahan (individu/m 3 ) P. Tikus P. B urung P. K ongsi Tubir luar P. Pari Jun Jul A gust Sep O kt N op w aktu p eng am atan ( 2010) Gambar 2. Sebaran temporal kelimpahan larva ikan di Laguna Pulau Pari Figure 2. Temporal distribution of fish larvae in Pulau Pari Lagune Prosentase tahap perkembangan larva (%) Jun Jul Agust Sep Okt Nop waktu pengamatan (2010) preflexion flexion post flexion juvenil Gambar 3. Sebaran fase perkembangan larva ikan di Laguna Pulau Pari. Figure 3. Distribution of fish larvae development phase in Pulau Pari Lagune. 3

8 J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : larva preflexion Telur 20.9 Kelimpahan (ind/m 3 ) Jun Jul Agust Sep Okt Nop waktu pemijahan 1 waktu pemijahan 2 waktu pemijahan 3 Gambar 4. Dugaan musim pemijahan berdasarkan distribusi kelimpahan telur dan larva fase pre flexion Figure 4. Spawning season prediction by egg and pre flexion larvae abundance Variasi Komposisi Struktur dan Distribusi Larva Ikan Pengamatan terhadap komposisi struktur larva ikan menunjukkan bahwa di laguna Pulau Pari ditemukan 79 famili larva ikan yang didominasi oleh famili Pomacentridae, Aulostomidae, Bleniidae, Engraulidae dan Pinguipedidae. Pomacentridae menyusun 20,90 % dari total kelimpahan larva ikan yang diamati, Aulostomidae menyusun 9,60 %, Blenniidae menyusun 7,60 %, Engraulidae menyusun 6,40 % dan Pinguipedidae menyusun 5,70 % dari total kelimpahan larva ikan yang diamati. Gambar 5 menunjukkan kelimpahan relatif dari setiap famili dominan yang ditemukan. Pengamatan terhadap keragaman famili larva ikan menunjukkan bahwa di Laguna Pulau Pari ditemukan 79 famili, nilai ini lebih tinggi dari nilai keragaman famili ikan dewasa yang ditemukan di Laguna Pulau Pari pada tahun 2003, 2004, dan 2011 (Valentino, 2004, Dhahiyat et al., 2003; Hartati & Syam, 2011). Pengamatan terhadap ikan karang dewasa menunjukkan bahwa keragaman ikan dewasa lebih kecil daripada keragaman larva ikan, di Laguna Pulau Pari ditemukan 134 spesies dari 30 famili (Hartati & Syam, 2011). Tingginya nilai keragaman famili pada tingkat larva dapat disebabkan oleh lebih beragamnya jenis ikan yang memanfaatkan laguna Pulau Pari sebagai daerah asuhan. Larva ikan yang ditemukan di Laguna Pulau Pari tidak hanya berasal dari kelompok ikan karang saja, namun ada juga ikanikan pelagis seperti ikan dari famili Engraulidae dan Clupeidae serta ikan-ikan demersal seperti ikan dari family Lutjanidae yang memanfaatkan laguna Pulau Pomacentridae Aulostomidae Bleniidae Engraulidae Pinguipedidae larva lain Gambar 5. Kelimpahan relatif larva ikan dominan di laguna Pulau Pari. Figure 5. Relatives abundance of dominan fish larvae in Pulau Pari Lagune Pari sebagai tempat untuk mengasuh larvanya (Leis et al., 1998). Hal ini dapat terlihat dari komposisi kelompok famili larva ikan yang ditemukan, yaitu 54% merupakan kelompok ikan karang, 26% merupakan kelompok ikan demersal dan 17% merupakan kelompok ikan pelagis. Tingginya keragaman larva ikan yang dijumpai di Laguna Pulau Pari menunjukkan bahwa Laguna Pulau Pari banyak dimanfaatkan oleh banyak jenis ikan untuk mengasuh larvanya, karena kondisi lingkungannya yang mendukung sebagai habitat pengasuhan bagi larva ikan. Hasil pengamatan terhadap sebaran temporal kelima famili dominan menunjukkan bahwa kelima famili dominan tersebut ditemukan hampir pada setiap waktu pengamatan. Persentase kehadiran (PK) tertinggi adalah Pomacentridae dan Engraulidae yang ditemukan pada setiap waktu pengamatan (PK = 100%), sementara Aulostomidae, Blenniidae tidak ditemukan pada pengamatan terakhir di bulan November (PK = 90%), sedangkan Pinguipedidae mempunyai persentase kehadiran yang paling rendah yaitu hanya 50% dari sepuluh kali pengamatan. Pengamatan terhadap distribusi spasial menunjukkan bahwa kelimpahan lima famili dominan ditemukan pada setiap lokasi pengamatan, dengan proporsi yang berbeda-beda. Hampir semua stasiun pengamatan didominasi oleh famili Pomacentridae, kecuali di sekitar Pulau Burung (St. 2) didominasi oleh famili Aulostomidae. Gambar 6. dan Gambar 7. menunjukkan sebaran temporal dan spasial dari kelima famili dominan secara berturut-turut. Pengamatan terhadap famili dominan menunjukkan bahwa Pomacentridae merupakan famili 4

9 Dinamika Larva Ikan Sebagai Dasar Opsi..di Laguna Pulau Pari Kepulauan Seribu (R. Puspasari et al.) yang paling mendominasi kelompok larva yang ditemukan, hal ini sesuai dengan tingginya kelimpahan Pomacentridae dewasa yang ditemukan di Laguna Pulau Pari (Dhahiyat et al., 2003, Valentino, 2004). Hasil penelitian oleh Hartati & Syam (2011) juga menyatakan bahwa pada kelompok ikan dewasa famili Pomacentridae merupakan salah satu kelompok ikan dengan populasi terbesar yang ditemukan di Laguna Pulau Pari. Pomacentridae memang merupakan kelompok ikan karang yang ditemukan paling melimpah di perairan terumbu karang (Allen & Adrim, 2003). Pomacentridae ditemukan dengan berbagai fase, mulai dari larva, juvenile (Edrus & Hartati, 2011) dan dewasa (Hartati & Syam, 2011). Pada kelompok larva ditemukan fase pre flexion, flexion dan post flexion. Hal ini mengindikasikan bahwa larva Pomacentridae yang ada di Laguna Pulau Pari tidak melakukan ruaya ke luar laguna, atau menghabiskan fase pelagiknya di dalam laguna dan hanya berpindah-pindah dari terumbu karang ke ekosistem lamun pada waktu juvenile. Pola ini sesuai dengan apa yang digambarkan Kelimpahan (ind/m 3 ) Jun Jul Agust Sep Okt Nop waktu pengamatan 2010 Pomacentridae Aulostomidae Blenniidae Engraulidae Pinguipedidae Gambar 6. Sebaran temporal kelimpahan lima famili larva ikan dominan Figure 6. Temporal distribution of five dominan family of fish larvae Kelimpahan (ind/m 3 ) P. Tikus P. Burung P. Kongssi TL Stasiun pengamatan LIPI Pomacentridae Aulostomidae Blenniidae Engraulidae Pinguipedidae Gambar 7. Sebaran spasial kelimpahan lima famili larva ikan dominan. Figure 7. Spatial distribution of five dominan family of fish larvae oleh Leis (1991) bahwa larva Pomacentridae baik fase larva muda maupun fase larva tua ditemukan dalam kelimpahan yang tinggi di dalam laguna dan semakin jauh dari laguna maka kelimpahannya semakin rendah. Sebagian besar kelompok larva ikan yang ditemukan di Laguna Pulau Pari bukan merupakan ikan yang bernilai ekonomis penting, hanya beberapa kelompok saja yang bernilai ekonomis. Engraullidae mempunyai nilai ekonomis penting sebagai ikan konsumsi. Sebagian anggota Pomacentridae, Aulostomidae, Blenniidae dan Pinguipedidae merupakan kelompok yang berpotensi sebagai ikan hias. Sebagian besar ikan-ikan ini tidak mempunyai nilai ekonomis penting, namun secara ekologis kelompok ikan ini memegang peranan penting dalam sistem rantai makanan di perairan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kelompok ikan yang hanya datang ke laguna untuk mencari makan, seperti kelompok ikan ekor kuning (Caesionidae). Caesionidae hanya dijumpai dalam fase dewasa saja, selama masa pengamatan tidak ditemukan Caesionidae dalam fase larva maupun juvenile (Hartati & Syam, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa Laguna Pulau Pari selain berfungsi sebagai habitat pemijahan dan pengasuhan juga berfungsi sebagai habitat mencari makan bagi ikan-ikan ekonomis penting yang beruaya di sekitar perairan Laguna Pulau Pari. Upaya Pengelolaan Ditemukannya telur, berbagai jenis larva ikan dan ikan-ikan dewasa di Laguna Pulau Pari menunjukkan bahwa Laguna Pulau Pari merupakan habitat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan bagi berbagai jenis ikan, khususnya ikan karang. Laguna Pulau Pari dapat berperan sebagai penyedia rekrut baru bagi populasi ikan di wilayah Laguna Pulau Pari dan sekitarnya. Peran dan fungsi ekologis Laguna Pulau Pari sangat penting bagi kelangsungan stok ikan di perairan sekitarnya. Untuk menjaga kelangsungan peran dan fungsi ekologisnya, maka Laguna Pulau Pari harus dikelola dengan baik agar fungsinya tidak terganggu. Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk menjaga fungsi tersebut adalah menjadikan Laguna Pulau Pari sebagai kawasan konservasi yang harus dilindungi. Penetapan daerah perlindungan laut dan rehabilitasi habitat terumbu karang dapat menjadi opsi upaya pengelolaan untuk melindungi induk-induk ikan dan larvanya. Saat ini di Pulau Pari terdapat daerah perlindungan laut (DPL), dengan luasan 12 ha (Hartati & Syam, 2011), namun demikian lokasi DPL hanya di sekitar lokasi ujicoba transplantasi karang saja, yaitu di bagian tenggara Pulau Pari. 5

10 J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 1-7 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa larva ikan ditemukan di semua lokasi pengamatan baik di luar maupun di dalam laguna, sehingga perlu dilakukan upaya perluasan DPL menjadi keseluruhan area Laguna Pulau Pari seluas 45,95 Ha (Asriningrum, 2005). Untuk meningkatkan perlindungan terhadap larva dan induk-induk yang akan memijah. Pembentukan DPL bertujuan untuk perbaikan dan perlindungan kondisi ekosistem terumbu karang. Pembentukan DPL terbukti dapat memperbaiki kondisi tutupan terumbu karang. Kondisi tutupan karang yang baik atau > 50 % berada di sekitar DPL Pulau Pari, sementara di lokasi lainnya penutupan terumbu karang masih dalam kategori sedang (Edrus & Hartati, 2011). Pendugaan terhadap musim pemijahan menunjukkan bahwa selama enam bulan pengamatan terjadi tiga kali waktu peningkatan kelimpahan telur dan larva fase pre flexion yang diduga sebagai waktu pemijahan yaitu awal Juni, akhir Juli dan pertengahan Oktober, dengan puncak kelimpahan telur dan larva tertinggi pada awal Juli yang diduga sebagai puncak musim pemijahan. Pola pemijahan yang demikian diduga merupakan pemijahan berulang (multiple spawning) sehingga sangat memungkinkan terjadinya pemijahan sepanjang tahun, walaupun terjadi pada waktu-waktu tertentu. Terjadinya pemijahan berulang (multiple spawning) mengindikasikan bahwa sepanjang tahun akan ditemui ikan-ikan yang matang gonad, sehingga upaya perlindungan harus dilakukan sepanjang tahun, dengan tidak melakukan penangkapan di DPL. Upaya pengelolaan yang terpadu antara perlindungan kawasan dan rehabilitasi ekosistem di dalamnya diharapkan dapat meningkatkan daya dukung lingkungan perairan Laguna Pulau Pari sebagai daerah pemijahan dan pengasuhan bagi larva ikan sehingga bisa mendukung keberhasilan proses rekrutmen populasi ikan di perairan Laguna Pulau Pari dan sekitarnya. KESIMPULAN Laguna Pulau Pari memupunyai peran dan fungsi ekologis yang penting dalam ekosistem perairan Kepulauan Seribu dan sekitarnya yaitu sebagai habitat pemijahan dan pengasuhan serta mencari makan bagi populasi ikan yang ada di sekitarnya. Upaya pengelolaan dengan memperluas daerah perlindungan laut dan rehabilitasi ekosistem diperlukan untuk menjaga peran dan fungsinya sebagai pemasok rekruit bagi stok ikan di perairan sekitarnya. DAFTAR PUSTAKA Allen GR. and M. Adrim Coral reef fishes of Indonesia. Zoological Studies. 42 (1): Asriningrum, W Studi Identifikasi Pulau Kecil dengan Menggunakan Data Landsat dengan Pendekatan Geomorfologi dan Penutupan Lahan (Studi Kasus Kepulauan Pari dan Kepulauan Belakang Sedih). Makalah yang disampaikan pada Pertemuan Ilmiah MAPIN XIV. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Bahara MA Distribusi spasial dan temporal larva ikan di perairan Pulau Abang Gaang Baru Batam Provinsi Kepulauan Riau [Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Cole K.S Observations on spawning behavior and periodicity in the Bluegreen Chromis (Pomacentridae: Chromis viridis), in Madang Lagoon, Papua New Guinea. Aqua. 4 (1): Dhahiyat Y., Sinuhaji D., Hamdani H Struktur komunitas ikan karang di daerah transplantasi karang Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jurnal Ikhtiologi Indonesia. 3(2): Edrus IN, Hartati ST Kondisi kesehatan terumbu karang di perairan Gugus Pulau Pari, Teluk Jakarta. Di dalam: Suman A, Wudianto dan Sumiono B. Sumber daya Ikan di Perairan Teluk Jakarta dan Alternatif Pengelolaannya. Jakarta. Balai Penelitian Perikanan Laut. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber daya Ikan. Balitbang Kelautan dan Perikanan. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Hartati ST, Syam AR Keragaan rehabilitasi terumbu karang, kondisi oseanografi dan sumber daya ikan karang di Kepulauan Seribu Teluk Jakarta. Di dalam: Suman A, Wudianto dan Sumiono B. Sumber daya Ikan di Perairan Teluk Jakarta dan Alternatif Pengelolaannya. Jakarta. Balai Penelitian Perikanan Laut. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber daya Ikan. Balitbang Kelautan dan Perikanan. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Kaswadji RF Perairan Laguna: Potensi, Prediksi dan Pemanfaatannya untuk Perikanan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing II/4 Perguruan Tinggi TA. 1996/1997. Tahun Ke empat. Bogor: Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 6

11 Köster F.W. & Möllmann C Trophodynamic control by clupeid predators on recruitment success in Baltic cod. ICES Journal of Marine Science. 57: Leis J.M., Trnski T., Doherty P.J. & Dufour V Replenishment of fish populations in the enclosed lagoon of Taiaro Atoll: (Tuamotu Archipelago, French Polynesia) evidence from eggs and larvae. Coral Reefs. 17: 1 8. Leis J.M & Carson-Ewart The Larvae of Indo- Pacific Coastal Fishes. An Identification Guide to Marine Fish Larvae. Fauna Malesiana Vol 2. Leiden: Brill. Leis J.M The Pelagic Stage of Reef Fishes: The larval Biology of Coral Reef Fishes. In The Ecology of Fishes on Coral reefs. Editor. Peter F. Sale. Academic Press. Inc. California. 754 p. Re, P., I. Meneses Early stages of marine fishes occurring in the Iberian Peninsula. IPIMAR/ IMAR: 282 p. Valentino R.A Karakteristik ikan karang di lokasi transplantasi dan non transplantasi karang di Pulau Pari, Kepulauan.[ Skripsi]. Bogor. Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 7

12 J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 8

13 Status Terkini dan Alternatif Pengelolaan di Laguna Segara Anakan, Cilacap (D.W.H. Tjahjo & Riswanto) STATUS TERKINI DAN ALTERNATIF PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN DI LAGUNA SEGARA ANAKAN, CILACAP CURRENT CONDITIONS AND ALTERNATIVE RESOURCES MANAGEMENT FISHES IN SEGARA ANAKAN LAGOON, CILACAP ABSTRAK Didik Wahju Hendro Tjahjo dan Riswanto Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber daya Perikanan Teregistrasi I tanggal:09 Januari 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 26 Maret 2013; Disetujui terbit tanggal: 23 April 2013 Laguna Segara Anakan mempunyai peran penting sebagai kawasan pengelolaan perikanan udang sebagai daerah asuhan. Penyempitan dan pendangkalan perairan laguna sangat mempengaruhi populasi larva dan juvenil udang. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji hubungan perubahan lingkungan terhadap sumberdaya udang. Kandungan oksigen terlarut relatif rendah, kondisi tersebut dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ikan dan udang, dan akhirnya berdampak langsung terhadap laju rekruitmen udang dan ikan untuk perairan Segara Anakan dan perairan laut sekitar Cilacap. Kelimpahan larva udang dan ikan di perairan laguna ini berkisar antara 87 63,451 ind./1000 m 3, dan kelimpahan juvenil tersebut berkisar antara 0 25,263 ind./1000 m 2, dimana selama pengamatan didominasi oleh juvenil udang. Total produksi (ikan dan udang) di Segara Anakan dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang signifikan dalam periode tahun Kondisi tersebut disebabkan luas perairan laguna semakin sempit dan dangkal, serta intensitas penangkapan semakin tinggi. Oleh karena itu, perlu suatu pengelolaan yang menyeluruh terhadap sumber daya laguna agar mampu mengurangi laju penurunan produksinya, yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan di laguna Segara Anakan sebagai satu kesatuan ekologi yang utuh. KATA KUNCI: Laguna Segara Anakan, pengelolaan sumber daya udang, larva and juvenil ikan dan udang ABSTRACT Segara Anakan lagoon have an important role as the shrimp fishery management area in which shrimp species using this area of lagoons as a nursery ground. Refinement and siltation of the lagoon waters greatly affect populations of larvae and juvenile shrimp. The purpose of this paper is to study the relationship of environmental change on shrimp resources. Dissolved oxygen is relatively low, the condition will affect the growth of fish and shrimp in the long time, and ultimately it have a direct impact on the rate of recruitment of shrimp and fish for Segara Anakan waters and coastal waters around Cilacap. Abundance of larval shrimp and fish in this lagoon waters ranged from 87 to ind./1000 m3 and the juvenile abundance ranged from 0 to ind./1000 m2, where the observations are dominated by the juvenile shrimp. Total production (fish and shrimp) at Segara Anakan from year to year has decreased significantly over the period The condition is caused by the broad waters of the lagoon is narrow and shallow, and the higher the intensity of fishing. Therefore, the need for a comprehensive management of the lagoon resources in order to reduce the rate of decline in production, the management of fishery resources in the lagoon Segara Anakan as a whole complete ecology. KEYWORDS: Lagoon Segara Anakan, resource management shrimp, larvae and juvenile of fish and shrimp PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan laguna yang terlindungi oleh Pulau Nusakambangan dari Samudera Indonesia dan dikelilingi oleh muara sungai sehingga pengaruh daratan sangat dominan dalam proses pengendapannya. Penggantian air laguna di muara sebelah Barat melewati Sungai Citanduy dan Sungai Cibeureum, di sebelah Timur melewati bagian Timur Korespondensi penulis: Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta Jl. Jatiluhur PO BOX 01 Purwakarta yang bersatu dengan Sungai Sapuregel dan Sungai Donan. Beberapa anak sungai mengalir dari rawa mangrove antara pulau-pulau di Segara Anakan (BPKSA, 2003). Kawasan perairan, seperti halnya laguna Segara Anakan merupakan suatu kawasan yang tidak berdiri sendiri, banyak faktor yang berpengaruh terhadap kawasan tersebut. Pengaruh terbesar perairan estuari 9

14 J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 9-16 adalah kegiatan yang terjadi di sekitar kawasan perairan. Kegiatan pertanian, pertambakan dan segala aktifitas di sekitar kawasan menyangkut kegiatan domestik dan industri yang berkaitan dengan pencemaran. Sedimentasi yang merupakan salah satu penyebab proses pendangkalan dan penyempitan kawasan perairan Segara Anakan terutama dipengaruhi erosi yang terjadi pada daerah aliran sungai di sebelah utara kawasan ini (Carolita et al., 2005). Lebih lanjut dijelaskan peningkatan muatan sedimen terjadi sangat signifikan, yaitu dari 0-40 mg/ L di tahun 1978 menjadi mg/l pada tahun Dalam perkembangannya, kawasan ini juga terancam pemanfaatan sumberdaya secara berlebih dan tidak ramah lingkungan seperti konversi hutan bakau, dan over fishing telah berakibat semakin berkurangnya luas tutupan hutan bakau dari ha (1974) menjadi ha (2003), dan penurunan keaneragaman jenis dan produksi biota laut baik yang bersifat menetap (kelompok kepiting dan udang) maupun migratory (kelompok ikan) yang berpengaruh pada penurunan produksi ikan. Kekayaan sumberdaya ikan Segara Anakan dicirikan dengan kemelimpahan berbagai biota khas dan potensial meliputi 60 jenis ikan, 19 jenis udang alam (dominasi jenis udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis), Udang Peci (F. indicus) dan udang jari (Metapenaeus elegans), dua jenis kepiting ekonomis penting (rajungan dan kepiting bakau yang didominasi oleh jenis Scylla olivacea dan S. serrata), dan beberapa jenis spesies penting lain dari kelompok kerang-kerangan seperti kerang bulu dan kerang darah (Dudley, 2000). Komposisi tangkapan kelompok ikan, udang, kepiting dan lainnya berturut turut 39%; 41%; 13%; dan 7% (Dudley, 2000). Sebanyak 8% dari total tangkapan ikan dan 34% dari total udang yang tertangkap nelayan, menetas dan dibesarkan di kawasan laguna Segara Anakan dengan nilai ekonomi produksi sekitar 62 milyar rupiah/tahun. Permasalahan Sumber Daya Segara Anakan memiliki peran penting dalam pengelolaan perikanan udang pesisir dimana beberapa spesies udang menggunakan estuari ini sebagai daerah asuhan. Pada tahun , 41% dari total tangkapan sumberdaya ikan di Segara Anakan merupakan udang dan diketahui hanya Metapenaeus elegans yang berlimpah dan seluruh hidupnya ada di Segara Anakan. Seperti yang dinyatakan Chan (1998) dalam Saputra et al., 2005) bahwa M. elegans matang seksual dan dapat melengkapi seluruh daur hidupnya dalam estuaria dan laguna, sehingga disebut sebagai spesies estuarin. Empat spesies tambahan (F. merguensis, F. indicus, M. dobsoni dan Penaeus monodon) ditemukan di Segara Anakan sebagai juvenile. Penyempitan kawasan perairan estuari juga akan sangat mempengaruhi populasi larva dan juvenil udang potensial. Hal tersebut terbukti bahwa produksi tangkapan udang menurun dari ton (1979) menjadi ton/tahun (2000) dengan jumlah tangkapan per nelayan berkisar antara 1,5-3 kg/trip. Demikian juga sumberdaya ikan yang pada awalnya berjumlah lebih dari 60 spesies (10 famili) dengan dominasi spesies potensial dari kelompok Anguillidae seperti sidat (Anguilla sp) dan Scatophagidae, saat ini hanya tinggal 45 jenis tanpa ada dominansi spesies (Dudley, 2000). Ekosistem Perairan Laguna Segara Anakan Salinitas sangat bervariasi bila dibandingkan hasil penelitian Siregar et al. (2006), karena salinitas di perairan laguna ini merupakan hasil keseimbangan antara debit air tawar dari bagian hulu dengan pasang surut air laut. Salinitas di perairan ini berkisar antara 0,2-12,4 dengan rata-rata 2,3 (tahun 2010), dan 0,5-25,1 dengan rata-rata 8,1 (tahun 2011); serta kecerahan berkisar antara cm dengan ratarata 59,8 cm (tahun 2010), cm dengan ratarata 64,3 cm (tahun 2011). Kjerfve (1994) menyatakan bahwa perairan laguna merupakan perangkap sedimen anorganik dan bahan organik, dan berfungsi sebagai penyerap bahan atau filter materi. Perairan ini sering menunjukkan tingkat produksi primer dan sekunder sangat tinggi, serta perairan yang sangat potensial perikanan tangkap dan budidaya. Perairan estuari kaya akan unsur hara, hal ini disebabkan adanya akumulasi bahan organik dan anorganik yang berasal dari daratan. Banyaknya jumlah bahan organik yang bergerak melewati estuari, sebagian dihasilkan oleh estuari itu sendiri, dan sebagian dibawa masuk dari hasil produksi primer di tempat lain yang dibawa masuk oleh aliran sungai dan rawa asin yang mengelilinginya (Nybakken, 1988). Penyuburan unsur hara di perairan estuari dapat dipengaruhi oleh kehidupan makrobentos yang memanfaatkan bahan organik dan anorganik yang terdapat pada substrat dasar sebagai makanan (Bayard & Zotolli, 1983). Bahan organik total terlarut (BOT) di perairan menunjukkan kosentrasi yang cukup tinggi, yaitu berkisar antara 2,11-9,10 mg/l dengan rata-rata 5,00 mg/l (tahun 2010), dan 3,39-12,36 mg/l dengan ratarata 6,42 mg/l. Tingginya kandungan BOT tersebut secara langsung akan berpengaruh terhadap 10

15 Status Terkini dan Alternatif Pengelolaan di Laguna Segara Anakan, Cilacap (D.W.H. Tjahjo & Riswanto) kandungan oksigen terlarut dan nutrien, serta akhirnya akan mempengaruhi kesuburan. y = 3.099,1 e 0,049 X ; R 2 = 0,8945 Oksigen merupakan parameter kualitas air yang penting untuk menentukan kualitas air, karena oksigen merupakan salah satu kompomen utama bagi metabolisme ikan dan organisme perairan lainnya. Kebutuhan organisme terhadap oksigen sangat bervariasi tergantung dari jenis, stadia dan aktivitas organisme tersebut. Konsentrasi rata-rata oksigen di Segara Anakan berkisar antara 1,31-8,39 mg/l dengan rata-rata 3,90 mg/l. Kondisi oksigen terlarut tersebut relatif lebih rendah dibandingkan pengamatan tahun 1983 yaitu berkisar 4,61-7,98 mg/l (Sumarsini, 1985), periode tahun berkisar 4,79-6,67 mg/l, tahun 2003 berkisar antara 4,2-6,6 mg/l (Pulungsari, 2004), tahun 2005 berkisar antara 4,6-8,8 mg/l, dan periode tahun yang berkisar antara 3-4 mg/ L. Kecenderungan penurunan konsentrasi oksigen terlarut tersebut disebabkan peningkatan penguraian bahan organik yang tinggi, dan kurang didukung laju produksi oksigen oleh fitoplankton. Rendahnya kandungan oksigen terlarut tersebut dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ikan dan udangnya. Kandungan ortofosfat di perairan berkisar antara 0,002-0,188 mg/l dengan rata-rata 0,040 mg/l. Berdasarkan kandungan ortofosfatnya, Wardoyo (1981) menyatakan bahwa perairan dengan kandungan ortofosfat 0,051-0,1 mg/l merupakan perairan dengan kesuburan tinggi. Hal tersebut berarti perairan tersebut termasuk perairan dengan tingkat kesuburan hingga kesuburan tinggi. Oleh karena itu, kandungan klorofil a di perairan ini rendah sampai tinggi, yaitu berkisar 0,41-15,06 mg/m 3 dengan ratarata 3,64 mg/m 3. Demikian juga dengan kelimpahan fitoplanktonnya, yaitu berkisar antara sel/l dengan rata-rata sel/l (tahun 2010). Ardli & Wolff (2008) melaporkan bahwa perairan laguna Segara Anakan tela terjadi perubahan pemanfaatan lahan sangat besar pada periode tahun Penyempitan perairan laguna sangat nyata, dimana perubahan luasan tersebut dari ha (1978) menjadi 1.173,2 ha (1998), dan menjadi 991,6 ha (2003). Hal tersebut sangat berkaitan dengan bertambahnya permukiman penduduk, semakin luasnya lahan persawahan, ladang dan perkebunan yang ada. Perluasan lahan sawah sangat berkaitan dengan menyusutnya hutan mangrove dan semakbelukar yang ada, serta pendangkalan. Hubungan antara waktu pengamatan dengan luas laguna mengikuti pola eksponensial dengan persamaan sebagai berikut: Penyempitan luas laguna menggunakan pendekatan interpolasi eksponensial dapat diperkirakan bahwa setelah 70 tahun terhitung sejak tahun 1978 Laguna Segara Anakan luasnya akan mendekati 100 ha. Hal tersebut berarti bahwa Laguna Segara Anakan hanya tinggal alur sungai dan hanya menjadi kenangan mulai tahun 2048, jika tidak ada upaya yang nyata untuk mengendalikan laju sedimentasi tersebut. STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI SEGARA ANAKAN Kelimpahan larva udang cukup tinggi di perairan Laguna Segara Anakan. Kelimpahan larva udang berkisar antara ind./1.000 m 3 dengan ratarata ind./1.000 m 3 (Tjahjo & Riswanto, 2011; Tjahjo & Riswanto, 2012). Kelimpahan juvenil udang relatif tinggi di perairan Laguna Segara Anakan. Kelimpahan juvenil udang berkisar antara ind./1.000 m 2 dengan rata-rata ind./1.000 m 2. Komposisi hasil tangkapan di Segara Anakan pada tahun adalah udang dengan persentase 41 %, ikan (39 %), kepiting (13 %) dan jenis lainnya sebesar 7 % (Dudley, 2000). Komposisi jenis udang yang tertangkap berdasarkan penelitian yang sama adalah Metapenaeus elegans sebesar 51 %, Penaeus merguensis (25 %), Penaeus indicus (8 %), Penaeus monodon (3 %), Metapenaeus ensis (1 %) dan spesies lainnya sebesar 9 %. Hasil tangkapan nelayan dengan menggunakan apong di bagian Timur Laguna Segara Anakan didominasi oleh udang rebon (Palaemonidae) sebesar 46,54%, jenis ikan teri (Stelophorus sp) 28,22% dan mursiah (Thryssa sp.) 6,27% dari total tangkapan. Tangkapan di bagian Barat laguna menunjukkan dominasi kepiting (Scylla sp.) sebesar 38,21%, kiper (Coradion sp) 8,64% dan udang krosok (Parapenaeopsis sp) 36,86% dari total tangkapan. Kedua wilayah ini memiliki komposisi yang berbeda baik dari jenis yang ditemukan serta jenis ikan yang mendominasi. Kondisi ini terjadi karena perbedaan kedua ekosistem tersebut dimana bagian Barat merupakan perairan sungai yang dangkal dan di sekitarnya dipenuhi dengan ekosistem mangrove, sehingga kepiting yang habitatnya memang berada di ekosistem mangrove cukup melimpah. Sedangkan wilayah timur lebih banyak dijumpai jenis ikan pelagis yang memanfaatkan perairan Segara Anakan sebagai tempat mencari makan maupun tempat pembesaran. Sedangkan berdasarkan hasil tangkapannya, Hufiadi 11

16 J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 9-16 et al. (2011) menyatakan bahwa hasil tangkapan apong berkisar antara 4,7-18,6 kg/unit/trip untuk daerah Kuta Weru dan 0,6-9,1 kg/unit/trip untuk daerah Ujung Gagak pada bulan Juli dan Nopember 2010 di Laguna Segara Anakan. Berdasarkan pengolahan data Rumah Tangga Perikanan (RTP) dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap tahun 2009, armada perikanan yang beroperasi baik secara rutin maupun periodik di perairan Segara Anakan berjumlah kapal dengan jumlah pemilik orang yang tersebar di daerah Ujung Gagak, Panikel, Klaces, Ujung Alang, Donan, Kutawaru, Karang Talun dan Tritih Kulon. Status perikanan di Segara Anakan adalah perikanan rakyat dengan peralatan yang masih sederhana. Komposisi alat tangkap yang beroperasi di sekitar Segara Anakan yaitu jaring dengan persentase tertinggi 51,92 %, apong (22,07 %), pancing (10,87 %) dan beberapa alat tangkap lainnya berupa wadong/bubu, jala, pintur, sero maupun waring. Sebaran alat tangkap yang beroperasi di perairan Segara Anakan tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 1. Kegiatan penangkapan beberapa jenis ikan, udang, kepiting maupun sumberdaya lainnya di perairan Segara Anakan secara umum bervariasi berdasarkan alat tangkap yang digunakan, lokasi penangkapan Tabel 1. Sebaran alat tangkap di perairan Segara Anakan tahun 2009 Table 1. Distribution of fishing gear in Segara Anakan lagoon of 2009 Alat Tangkap Ujung Gagak Panikel Klaces Desa Ujung Alang Donan Kutawaru Karangtalun Tritih Kulon 1. Apong Jaring Wadong Jala Sero Pintur Pancing Waring Sumber : olah data RTP Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Cilacap (2009) dan bergantung pada kedalaman perairan serta kondisi alam baik masukan air tawar dari sungai maupun pasang surut yang terjadi. Alat tangkap jaring biasanya dioperasikan pada daerah dengan kedalaman rendah pada saat air mulai surut dan dekat dengan daerah tumbuh mangrove, dimana beberapa jenis ikan dan udang keluar untuk mencari makanan. Kegiatan penangkapan dengan jaring oleh nelayan tersebar di daerah Muara dua, Ujung gagak, Jojok dan Tritih. Sedangkan alat tangkap apong biasanya dioperasikan secara pasif di daerah dengan pengaruh pasang surut yang kuat dan kedalaman peraian yang cukup. Alat tangkap ini dipasang berjajar memotong alur pada badan sungai dan menghadang arus surut diantara dasar dan permukaan air. Biasanya jumlah apong yang dipasang bergantung lebar alur sungai atau perairan yang dilewati air dengan pasang surut cukup kuat. Semakin lebar badan sungai dan bukan berfungsi sebagai alur transportasi kapal besar maka jumlah apong yang dipasang semakin banyak. Kegiatan penangkapan dengan menggunakan apong oleh nelayan banyak ditemukan di daerah Tritih (45 buah), Plawangan Timur (85 buah), Sapuregel (83 buah), Sungai Kembang Kuning (8 buah), Motean (154 buah), Muara Dua (143 buah), Klaces (65 buah), Majingklak (90 buah) dan Sungai Cibereum (47 buah). Sungai Cibereum, apong hanya dioperasikan pada saat air tinggi (musim hujan), karena perairan tersebut sudah sangat dangkal. KONDISI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN DI SEGARA ANAKAN Laguna Segara Anakan merupakan tempat berkembang biak dan pembesaran atau berkembangnya larva dan juvenil organisme laut tersebut, dan keluar laguna ke laut lepas (Samudera Hindia). Dengan demikian, laguna tersebut berperan sebagai daerah asuhan atau tempat sumber rekruitmen bagi sumberdaya ikan dan udang sekitar Cilacap. Hal tersebut berarti kesehatan perairan laguna tersebut sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan produk perikanan laut. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap nomor 16 tahun 2011 menetapkan pengelolaan perikanan di 12

17 Status Terkini dan Alternatif Pengelolaan di Laguna Segara Anakan, Cilacap (D.W.H. Tjahjo & Riswanto) kawasan Segara Anakan berazaskan pengelolaan yang didasarkan pada kemampuan daya dukung alam. Tujuan pengelolaanya untuk menjamin kelestarian sumber daya hayati perikanan di kawasan Segara Anakan sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelajutan. Dalam Perda tersebut menyatakan bahwa pengelolaan perikanan di kawasan Segara Anakan dilaksanakan oleh Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA). Badan tersebut diamanahkan untuk mengelola sumber daya perikanan dengan memperhatikan (1) fungsi daerah asuhan bagi sumber daya ikan, tata ruang dan keterlibatan masyarakat, dan (2) melindungi keragaman spesies dan menghindari percepatan penurunan kesediaan sumber daya ikan yang bernilai ekonomis penting. Sedangkan pengelolaan perikanan di kawasan Segara Anakan tersebut meliputi (1) penetapan kebijakan pengelolaan, (2) pengelolaan konservasi sumber daya ikan, (3) penataan penangkapan ikan, (4) penataan budidaya perikanan, (5) mengelola perijinan usaha perikanan, dan (6) melaksanakan pengawasan, pengendalian dan penyidikan kegiatan perikanan dikawasan tersebut. Penetapan kawasan perairan Segara Anakan sebagai zona konservasi terbatas (Perda Kabupaten Cilacap no. 6 tahun 2001), dengan pertimbangan perairan Segara Anakan yang secara alami berfungsi sebagai daerah pemijahan ikan, daerah asuhan anak ikan, dan keanekaragaman flora dan fauna. Dipihak lain, pratek-praktek penangkapan ikan tradisional yang telah dilakukan oleh masyarakat cenderung eksploitatif, seperti alat tangkap apong. Apong ini sangat mirip dengan pukat harimau, dimana alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang non selektif, sehingga alat ini mampu menangkap ikan berbagai ukuran. Apong tersebut dipasang di alur ruaya larva dan juvenile ikan (udang dan ikan) dari laut ke perairan laguna Segara Anakan dan sebaliknya. Dengan demikian, pengoperasian apong tersebut secara langsung berpengaruh terhadap produksi ikan dan keanekaragaman jenisnya. Sampai saat ini, keberadaan Perda no. 6 tahun 2001 dan Perda 16 tahun 2001 belum terlihat efektif untuk mengendalikan penengkapan berlebih di perairan Segara Anakan. Kawasan perairan, laguna Segara Anakan merupakan suatu kawasan yang tidak berdiri sendiri. Banyak faktor yang berpengaruh baik kualitas maupun kuantitas terhadap kawasan tersebut. Pengaruh terbesar adalah kegiatan yang terjadi di sekitar kawasan perairan hingga bagian hulunya (daerah tangkapan hujan), seperti: kegiatan pertanian, perikanan, domestik, industri, kehutanan, alih guna lahan dan segala aktifitas lainnya di daerah tangkapan hujan yang mengakibatkan perubahan kualitas maupun fisik dari badan air tersebut. Sebagai contoh salah satu masalah utama di perairan Segara Anakan adalah pendangkalan dan penyempitan kawasan perairan. Pendangkalan dan penyempitan tersebut disebabkan oleh sedimentasi. Hasil pengukuran muatan sedimen di sepanjang laguna pada tahun 1978 dan 2003 menunjukan peningkatan muatan sedimen meningkat sangat tajam, yaitu dari 0 40 mg/l di tahun 1978 menjadi mg/l pada tahun 2003 (Carolita, et al., 2005). Tingginya laju sedimentasi di laguna tersebut, terutama berasal dari DAS Citanduy (70 %) dan DAS Cibereum (30 %) (Purba & Sutarno dalam Ardli, 2008). Prediksi laju kekeruhan laguna Segara Anakan menunjukan peningkatan yang selaras dengan peninkatan jumlah penduduk dan intensitas pemanfaatan lahan dibagian hulu Daerah Aliran Sungai yang masuk ke perairan tersebut. Peningkatan kekeruhan karena partikel lumpur tersebut, akan mendorong laju pendangkalan perairan tersebut, sehingga dengan bertambahnya waktu luas perairan laguan Segara Anakan semakin sempit dan dangkal. Sehingga fungsi dan peran laguna tersebut produksi ikan total (ikan dan udang) cenderung menurun (Lampiran 1). Sebaliknya untuk jumlah nelayan cenderung meningkat (Lampiran 1c), hal tersebut disebabkan profesi nelayan sederhana tidak perlu keahlian yang tinggi. Kondisi sumber daya ikannya cenderung menurun dan jumlah nelayan semakin meningkat, akibatnya hasil tangkapan nelayan menurun. Oleh karena itu, nelayan berusaha meningkatkan mobilitasnya untuk mendapatkan hasil tangkapan yang tinggi, sehingga peningkatan jumlah perahu berbanding terbalik dengan luas laguna (Lampiran 1d). Hal tersebut tentunya merupakan faktor negatif bagai status kondisi sumberdaya udang dan ikan dimasa mendatang. ALTERNATIF PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN Sedimentasi yang merupakan salah satu penyebab proses pendangkalan kawasan perairan Segara Anakan terutama dipengaruhi erosi yang terjadi pada daerah aliran sungai di sebelah Utara kawasan ini (Carolita et al., 2005). Lebih lanjut dijelaskan peningkatan muatan sedimen terjadi sangat signifikan, yaitu dari 0-40 mg/l di tahun 1978 menjadi mg/l pada tahun Sehingga kawasan ini terancam terdegradasi akibat sedimentasi dari lahan hulu yang dicirikan dengan semakin sempit dan dangkalnya kawasan perairan laguna. Oleh karena itu, upaya menyelamatkan laguna tersebut ada 2 cara. Pertama perlu pengendalian erosi dibagian hulu melalui pengembangan cek dam dibagian hulu sungai. 13

Dinamika Larva Ikan Sebagai Dasar Opsi..di Laguna Pulau Pari Kepulauan Seribu (R. Puspasari et al.)

Dinamika Larva Ikan Sebagai Dasar Opsi..di Laguna Pulau Pari Kepulauan Seribu (R. Puspasari et al.) Dinamika Larva Ikan Sebagai Dasar Opsi..di Laguna Pulau Pari Kepulauan Seribu (R. Puspasari et al.) DINAMIKA LARVA IKAN SEBAGAI DASAR OPSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN DI LAGUNA PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

Lebih terperinci

Status Terkini dan Alternatif Pengelolaan di Laguna Segara Anakan, Cilacap (D.W.H. Tjahjo & Riswanto)

Status Terkini dan Alternatif Pengelolaan di Laguna Segara Anakan, Cilacap (D.W.H. Tjahjo & Riswanto) Status Terkini dan Alternatif Pengelolaan di Laguna Segara Anakan, Cilacap (D.W.H. Tjahjo & Riswanto) STATUS TERKINI DAN ALTERNATIF PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN DI LAGUNA SEGARA ANAKAN, CILACAP CURRENT

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

KAJIAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN KAMPUNG LAUT KABUPATEN CILACAP TUGAS AKHIR

KAJIAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN KAMPUNG LAUT KABUPATEN CILACAP TUGAS AKHIR KAJIAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN KAMPUNG LAUT KABUPATEN CILACAP TUGAS AKHIR Oleh: PROJO ARIEF BUDIMAN L2D 003 368 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamis serta memiliki potensi ekonomi bahkan pariwisata. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamis serta memiliki potensi ekonomi bahkan pariwisata. Salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang cukup luas dimana sebagian wilayahnya merupakan wilayah perairan. Wilayah pesisir menjadi penting karena merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN LUASAN HABITAT SUMBER DAYA IKAN TERHADAP PERIKANAN PERANGKAP PASANG SURUT (APONG) DI LAGUNA SEGARA ANAKAN

DAMPAK PERUBAHAN LUASAN HABITAT SUMBER DAYA IKAN TERHADAP PERIKANAN PERANGKAP PASANG SURUT (APONG) DI LAGUNA SEGARA ANAKAN DAMPAK PERUBAHAN LUASAN HABITAT SUMBER DAYA IKAN TERHADAP PERIKANAN PERANGKAP PASANG SURUT (APONG) DI LAGUNA SEGARA ANAKAN Hufiadi 1), Suherman Banon Atmaja 1), Duto Nugroho 2), dan Mohamad Natsir 1) 1)

Lebih terperinci

WORKSHOP ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

WORKSHOP ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM WORKSHOP ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Dinas Kelautan, Perikanan & Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan Kabupaten Cilacap Oleh : Supriyanto Kepala DKP2SKSA Kab. Cilacap Disampaikan pada : Workshop Adaptasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang Estuari merupakan daerah pantai semi tertutup yang penting bagi kehidupan ikan. Berbagai fungsinya bagi kehidupan ikan seperti sebagai daerah pemijahan, daerah pengasuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis, ekologis, maupun biologis. Fungsi fisiknya yaitu sistem perakaran

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis, ekologis, maupun biologis. Fungsi fisiknya yaitu sistem perakaran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan daerah peralihan antara laut dan darat. Ekosistem mangrove memiliki gradien sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut menyebabkan terjadinya

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN RUAYA UDANG JARI (Metapenaeus elegans de Man 1907) DI LAGUNA SEGARA ANAKAN CILACAP JAWA TENGAH

DISTRIBUSI DAN RUAYA UDANG JARI (Metapenaeus elegans de Man 1907) DI LAGUNA SEGARA ANAKAN CILACAP JAWA TENGAH DISTRIBUSI DAN RUAYA UDANG JARI (Metapenaeus elegans de Man 1907) DI LAGUNA SEGARA ANAKAN CILACAP JAWA TENGAH Dispersion of Fine Shrimp (Metapenaeus elegans de Man 1907) on Segara Anakan Lagoon Cilacap

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**)

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**) PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**) Abtrak Perairan Segara Anakan yang merupakan pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, 1 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/PERMEN-KP/2016 TENTANG TATA CARA REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. serius karena perkembangan populasi manusia dan pembangunan yang tidak. Latar belakang. rnenghubungkannya dengan Samudera Indonesia.

PENDAHULUAN. serius karena perkembangan populasi manusia dan pembangunan yang tidak. Latar belakang. rnenghubungkannya dengan Samudera Indonesia. PENDAHULUAN Latar belakang Estuaria merupakan salah satu bentuk dari ekosistem lahan basah yang - luasnya di Indonesia mencapai 38 juta ha (Wetland Indonesia. 1996). Kawasan- kawasan lahan basah (termasuk

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan bakau / mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut (pesisir). Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 3, No. 2, November 2012 Hal: 135-140 PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Tuna Lingline Fisheries Productivity in Benoa

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan Bab 4 Hasil Dan Pembahasan 4.1. Potensi Sumberdaya Lahan Pesisir Potensi sumberdaya lahan pesisir di Kepulauan Padaido dibedakan atas 3 tipe. Pertama adalah lahan daratan (pulau). Pada pulau-pulau berpenduduk,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

Hubungan panjang berat, makanan dan sebaran ikan kating, Mystus gulio (Hamilton 1822) di Segara Anakan, Cilacap

Hubungan panjang berat, makanan dan sebaran ikan kating, Mystus gulio (Hamilton 1822) di Segara Anakan, Cilacap Hubungan panjang berat, makanan dan sebaran ikan kating, Mystus gulio (Hamilton 1822) di Segara Anakan, Cilacap Astri Suryandari, Didik Wahju Hendro Tjahjo Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

[DEDY GUNAWAN] MENGGALI ULANG POTENSI PERIKANAN LAUT DI SEGARA ANAKAN CILACAP

[DEDY GUNAWAN] MENGGALI ULANG POTENSI PERIKANAN LAUT DI SEGARA ANAKAN CILACAP MENGGALI ULANG POTENSI PERIKANAN LAUT DI SEGARA ANAKAN CILACAP Cilacap merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah bagian selatan yang mempunyai posisi stratgeis. Secara nasional, sesuai Rencana Tata

Lebih terperinci

BAB IV KEMANFAATAN PEMETAAN ENTITAS ENTITAS EKOSISTEM DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR

BAB IV KEMANFAATAN PEMETAAN ENTITAS ENTITAS EKOSISTEM DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR BAB IV KEMANFAATAN PEMETAAN ENTITAS ENTITAS EKOSISTEM DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR Bab mengenai kemanfaatan pemetaan entitas-entitas ekosistem dalam perspektif pembangunan wilayah pesisir

Lebih terperinci

Hutan Mangrove Segara Anakan Wisata Bahari Penyelamat Bumi

Hutan Mangrove Segara Anakan Wisata Bahari Penyelamat Bumi Hutan Mangrove Segara Anakan Wisata Bahari Penyelamat Bumi Cilacap merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah yang terkenal dengan kota industrinya yang menjadikan Cilacap sebagai

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sekitar 13.000 pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km yang dilalui

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006)

Lebih terperinci

6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL

6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL 6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL 6.1 Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang 6.1.1 Nilai manfaat ikan karang Manfaat langsung dari ekosistem terumbu karang adalah manfaat dari jenis-jenis komoditas yang langsung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

Oleh. Firmansyah Gusasi

Oleh. Firmansyah Gusasi ANALISIS FUNGSI EKOLOGI HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA JURNAL Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menempuh Ujian Sarjana Pendidikan Biologi Pada Fakultas Matematika

Lebih terperinci

Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati)

Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati) Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati) UPAYA, LAJU TANGKAP, DAN ANALISIS USAHA PENANGKAPAN UDANG PEPEH (Metapenaeus ensis) DENGAN TUGUK BARIS

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG. TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: Fetro Dola Samsu 1, Ramadhan Sumarmin 2, Armein Lusi,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memegang peranan penting dalam mendukung kehidupan manusia. Pemanfaatan sumber daya ini telah dilakukan sejak lama seperti

Lebih terperinci