Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian, dan Dekomisioning Reaktor Daya Non Komersial

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian, dan Dekomisioning Reaktor Daya Non Komersial"

Transkripsi

1 2014 Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian, dan Dekomisioning Reaktor Daya Non Komersial Di susun oleh: Tim Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian, dan Dekomisioning Reaktor Daya Non Komersial

2 KATA PENGANTAR Segala puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas izinnya buku dengan judul Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning Reaktor Daya Non Komersial berhasil disusun sesuai dengan waktu yang direncanakan. Meskipun dengan waktu yang terbatas, berkat dedikasi dan upaya yang sungguh-sungguh dari seluruh anggota Tim Penyusun, yang beranggotakan wakil dari berbagai unit kerja di BATAN, akhirnya buku ini berhasil diselesaikan tepat waktu. Pada dasarnya aspek peraturan perundang-undangan terkait dengan rencana pembangunan Reaktor Daya Non Komersial (RDNK) cukup luas, oleh karena itu perlu memperhatikan berbagai peraturan perundang-undangan, yang tidak hanya meliputi aspek hukum nuklir, tetapi juga aspek hukum lain seperti lingkungan hidup, konstruksi, termasuk peraturan daerah. Oleh karena itu, kajian hukum pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK memerlukan kecermatan khusus dalam menganalisis berbagai aspek hukum terkait dimaksud. Hal ini penting untuk memberikan dasar argumentasi yang kuat dalam pengambilan keputusan pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK. Tim Penyusun sangat dinamis dalam mendiskusikan materi kajian mengingat RDNK adalah baru pertama kali akan dibangun di Indonesia. Selama ini reaktor nuklir yang beroperasi di Indonesia adalah reaktor untuk tujuan penelitian, pengujian bahan dan produksi radioisotop. Diskusi tidak hanya berkembang terkait dengan aspek hukum tetapi juga aspek yang terkait dengan penerimaan masyarakat. Tim Penyusun menyampaikan terima kasih atas kepercayaan pimpinan BATAN untuk kami melaksanakan tugas ini. Hasil kajian hukum ini diharapkan akan menjadi sumbangsih dalam mendukung program pembangunan RDNK di Indonesia. Tim Penyusun terbuka untuk saran dan masukan dari berbagai pihak untuk penyempurnaan hasil kajian. Jakarta, Desember 2014 Ketua Tim, Estopet MD Sormin ii

3 KATA SAMBUTAN Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Buku Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning Reaktor Daya Nonkomersial (RDNK) sudah berhasil diselesaikan oleh Tim Penyusun Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning RDNK yang sudah bekerja sejak pertengahan tahun Program pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia sudah dimulai sejak tahun Pada waktu itu, pemerintah menyadari bahwa bahan bakar fosil seperti minyak dan batubara yang menjadi andalan utama dalam pembangkitan listrik di Indonesia dipastikan akan habis. Oleh karena itu, harus diupayakan untuk menggunakan sumber energi lain sebagai alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Tenaga nuklir bisa dipertimbangkan mengingat di negara lain sumber energi tersebut sudah sangat efektif digunakan dan terbukti bisa menyediakan tenaga listrik secara stabil, murah dan ramah lingkungan. Dalam perkembangannya, program PLTN di Indonesia mengalami kondisi fluktuatif. Pada tahun , program PLTN dilaksanakan secara intensif hingga menghasilkan dokumen kajian untuk menetapkan tapak PLTN yang layak di Jepara. Dengan mempertimbangkan krisis listrik yang sudah mulai dirasakan, maka pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Perpres tersebut menyatakan bahwa untuk mengurangi ketergantungan pembangkitan listrik dari bahan bakar fosil perlu digunakan energi baru dan terbarukan, seperti angin, air, surya, panas bumi, biodiesel dan nuklir. Perpres tersebut kemudian diperkuat dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (UU RPJPN) yang mengamanatkan nuklir dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik antara tahun Namun demikian, sampai saat ini amanat UU RPJPN dan Perpres tersebut belum dapat direalisasikan, walaupun dalam perjalanannya Perpres No 5 Tahun 2006 telah digantikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang pada dasarnya tetap mendukung pembangunan PLTN. Oleh karena itu, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sesuai dengan kewenangan yang ada ingin mewujudkan program nasional tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, BATAN memiliki kewenangan untuk melaksanakan pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK. Kita harapkan RDNK dapat menjadi pembelajaran dan meyakinkan semua pihak bahwa PLTN perlu dibangun di Indonesia. iii

4 Saya memberikan apresiasi kepada Tim Penyusun yang telah berhasil menyelesaikan tugas dalam penyusunan Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning RDNK, dan berharap kepada semua pihak untuk dapat menggunakan sebaik mungkin hasil kajian ini, terutama kepada Tim Teknis yang terkait dengan rencana Pembangunan. Pengoperasian dan Dekomisioning RDNK. Jakarta, Desember 2014 Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional, Djarot Sulistio Wisnubroto iv

5 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i KATA PENGANTAR ii KATA SAMBUTAN.. iii DAFTAR ISI.. v BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan Reaktor Daya Non Komersial Identifikasi Masalah Tujuan Kegiatan Manfaat Kegiatan Metode Sistematika Penulisan. 5 BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM KETENAGANUKLIRAN 2.1 Hukum Ketenaganukliran Nasional Badan Pelaksana Badan Pengawas Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir Jaminan Perlindungan Nuklir. 2.2 Hukum Ketenaganukliran Internasional Keselamatan Nuklir (Nuclear Safety) Keamanan Nuklir (Nuclear Security) Pengawasan Nuklir (Nuclear Safeguard) Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir (Nuclear Liability) BAB III KAJIAN HUKUM DAN PERIZINAN REAKTOR DAYA NON KOMERSIAL 3.1 Kajian Hukum RDNK Latar Belakang Sumber Hukum Pembangunan, Pengoperasian, dan Dekomisioning RDNK Perizinan RDNK Izin Pembangunan v

6 3.2.2 Izin Pengoperasian Izin Dekomisioning Izin Lingkungan Umum Penyusunan Dokumen Amdal Penilaian Amdal Permohonan dan Penerbitan Izin Lingkungan 3.4 Izin Mendirikan Bangunan Fungsi Khusus BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan 4.2 Saran DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN vi

7 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semangat ingin menguasai dan memanfaatkan teknologi nuklir untuk maksud damai sudah dimulai pada tahun 1958 dengan dibentuknya Lembaga Tenaga Atom (LTA). Periode selanjutnya mulai dibangun fasilitas nuklir di berbagai kawasan yaitu Kawasan Pasar Jumat, Bandung, Yogyakarta dan Serpong. Peristiwa paling monumental dalam program nuklir ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan reaktor riset Bandung pada tanggal 9 April 1961, oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno dalam pidato sambutannya menyampaikan bahwa saat sekarang kita pasti masuk pada the era of atomic energy. Dengan demikian founding father kita telah mempunyai visi yang jauh ke depan mengenai penggunaan energi nuklir untuk kesejahteraan masyarakat dengan harapan agar Indonesia diakui oleh dunia internasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahun 1965, reaktor atom Bandung selesai dibangun dan dioperasikan. Pada saat pidato peresmiannya dengan berapi-api, Presdien RI Ir. Soekarno mengumumkan kepada dunia bahwa Indonesia sudah memasuki era nuklir dan akan menguasainya untuk maksud damai setara dengan bangsa lain di dunia. Selanjutnya dalam rangka program pengembangan pemanfaatan energi nuklir, khususnya untuk tujuan pembangkit energi, Indonesia sudah sejak tahun 1972 telah membentuk Komisi Persiapan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (KP2PLTN). Tugas Komisi adalah mencari lokasi yang terbaik dan layak untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Melalui serangkaian seminar yang melibatkan berbagai institusi/lembaga dan perguruan tinggi akhirnya ditentukan beberapa lokasi yang memungkinkan untuk dapat dibangun PLTN, yaitu di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Pada tahun BATAN bekerjasama dengan Newjec. Inc. Jepang melakukan Studi Tapak dan Studi Kelayakan (STSK) untuk menetapkan lokasi yang memenuhi persyaratan yang meliputi faktor kegempaan, kegunungapian, meteorologi, demografi, oceanografi, teknologi, keselamatan, aspek ekonomi, sosial dan budaya. Hasil studi menyimpulkan bahwa Ujung Lemah Abang, Ujung Grenggengan dan Ujung Watu layak 1

8 dibangun PLTN pertama di Indonesia. Ketiga lokasi tersebut berada di wilayah Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Kebutuhan energi nasional terus tumbuh mengimbangi pertumbuhan ekonomi, sementara cadangan energi semakin menipis. Pada tahun dilaksanakan studi Comprehensive Assessment of Different Energy Sources (CADES) yang melibatkan lembaga dan kementerian terkait yang disupervisi oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). Hasil studi ini disampaikan kepada Presiden RI oleh Direktur Jenderal IAEA Mohamed ElBaradei. Berdasarkan hasil studi ini, listrik dari nuklir sudah menjadi bagian dari bauran energi nasional pada tahun Pada kenyataannya, sampai dengan saat ini, pembangunan PLTN belum terwujud. Disisi lain, BATAN sesuai kewenangannya terus melakukan kegiatan kajian kelayakan PLTN di daerah lain, yaitu Provinsi Banten dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kegiatan STSK untuk kedua provinsi tersebut dilakukan sebagai alternatif lokasi di luar tapak Jepara. Dengan adanya dukungan dari Pemerintah Daerah, maka kegiatan kajian lebih difokuskan ke Provinsi Bangka Belitung. Kajian kelayakan dilakukan selama 3 (tiga) tahun berakhir pada tahun 2013 dengan kesimpulan bahwa dua lokasi, yaitu di Kabupaten Bangka Barat dan Bangka Selatan layak untuk dibangun 10 (sepuluh) unit PLTN dengan kapasitas masing-masing 1000 MWe, sehingga total kapasitas di kedua lokasi tersebut kira-kira MWe. Sejalan dengan perkembangan masalah kebutuhan energi, maka energi nuklir merupakan sumber energi alternatif yang potensial untuk dimanfaatkan bersama energi lain dalam bauran energi yang optimum dan dapat meningkatkan ketahanan pasokan energi nasional. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menyebutkan bahwa dalam kurun waktu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke-3, yakni tahun energi nuklir dimanfaatkan untuk pembangkitan listrik dengan mempertimbangkan faktor keselamatan yang ketat. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 dinyatakan bahwa adanya teknologi pengembangan energi nuklir untuk tujuan damai, pemenuhan kebutuhan energi yang semakin meningkat, penyediaan energi nasional dalam skala besar, mengurangi emisi karbon, serta adanya kepentingan nasional yang mendesak maka pada dasarnya energi nuklir dapat dimanfaatkan. 2

9 Pemanfaatan energi nuklir didasarkan pada komitmen untuk kepentingan damai, dengan cara yang aman, selamat, dan efisien. Komitmen ini memerlukan infrastruktur nasional yang berkelanjutan. Salah satu bukti untuk menjamin pemanfaatan energi nuklir secara aman dan selamat adalah adanya ketaatan Indonesia mengikuti instrumen hukum internasional, standar keselamatan nuklir yang diterima dunia internasional, petunjuk keamanan dan persyaratan safeguard. Penyediaan infrastruktur yang sesuai untuk mendukung keberhasilan pembangunan PLTN secara aman, selamat, damai dan efisien merupakan hal yang sangat penting. Berbeda dengan pembangkit listrik lainnya, penyiapan infrastruktur pembangunannya lebih memerlukan kajian mendalam dan komprehensif terkait dengan aspek keselamatan. Menurut IAEA, infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung implementasi PLTN meliputi cakupan yang luas, baik aspek infrastruktur lunak (soft infrastructures) maupun aspek infrastruktur keras (hard infrastructure). Tahun 2009, Indonesia secara komprehensif telah melakukan swa-evaluasi kesiapan infrastruktur pembangunan PLTN fase 1, yakni fase evaluasi kesiapan infrastruktur untuk menuju penetapan proyek pembangunan PLTN. Evaluasi ini mengacu pada panduan IAEA tentang evaluasi status pengembangan infrastruktur PLTN secara nasional yang terdiri dari 19 aspek. Hasil evaluasi IAEA melalui Integrated Nuclear Infrastructure Review Mission (INIR Mission) menyebutkan bahwa Indonesia telah melakukan persiapan yang luas pada sebagian besar aspek infrastruktur yang memungkinkan untuk lebih mempertimbangkan pemanfaatan energi nuklir, dan dapat melangkah mempersiapkan untuk fase 2, yakni fase persiapan pelaksanaan konstruksi. 1.2 Pembangunan Reaktor Daya Non Komersial Mengacu pada berbagai upaya nasional dalam penyediaan energi listrik dengan memanfaatkan potensi sumber yang ada termasuk Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang di dalamnya termasuk energi nuklir maka BATAN dengan dukungan Kementerian PPN/Bappenas pembangunan Reaktor Daya Non Komersial (RDNK) yang diharapkan dapat menjadi pintu gerbang memasuki era PLTN, dan meyakinkan masyarakat bahwa energi nuklir siap untuk digunakan dengan aman dan selamat dalam mengatasi masalah tersebut. Seperti diketahui bahwa sampai saat ini pemerintah belum juga mencanangkan kapan dimulainya pembangunan PLTN meskipun hasil studi sudah menghasilkan rekomendasi ke arah tersebut. Waktu yang diperlukan untuk melakukan 3

10 studi, persiapan tender, menyiapkan dokumen perizinan, mulai dari izin pembangunan (izin tapak dan izin konstruksi) dan izin pengoperasian (izin komisioning dan izin operasi) serta izin dekomisioning yang cukup panjang diyakini tidak akan memungkinkan target waktu sesuai dengan RPJPN. Untuk dapat memenuhi amanah RPJPN perlu dilakukan terobosan, diantaranya adalah dengan membangun reaktor nuklir untuk pembangkit listrik dengan kategori nonkomersial yang masih masuk dalam kewenangan BATAN. Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (selanjutnya disebut UUK), BATAN dapat melakukan pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning RDNK. Untuk melaksanakan amanat Undang-Undang tersebut dan dalam rangka peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam bidang energi nuklir, BATAN mempertimbangkan untuk membangun dan mengoperasikan RDNK. RDNK dalam pengembangannya ke depan, tidak hanya menghasilkan listrik tetapi juga dapat digunakan untuk produksi hidrogen, water desalination, coal liquafication, dan lain-lain. Tahapan awal dari implementasi pembangunan RDNK ini sedang dilaksanakan, yakni tahap pra-proyek. Pada tahap pra-proyek ini dilakukan analisis dan manfaat dari pembangunannya, melaksanakan persiapan-persiapan untuk menuju implementasi proyek seperti penyusunan dokumen yang diperlukan, seperti dokumen pemilihan teknologi, dokumen kelayakan dan manfaatnya dan dokumen infrastruktur lain yang diperlukan misalnya dokumen laporan evaluasi tapak dan aspek manajemennya. Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir, untuk membangun RDNK diperlukan beberapa perizinan. Dengan mendasarkan pada kondisi sebagaimana yang telah diuraikan di atas dan untuk memperkuat dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan pembangunan RDNK maka diperlukan adanya kajian hukum yang terkait dengan Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning RDNK. 1.3 Identifikasi Masalah Terkait dengan Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning RDNK perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 4

11 1. Dasar Hukum kewenangan yang dimiliki BATAN sebagai Badan Pelaksana. 2. Perizinan yang harus dipenuhi (keterlibatan stakeholders): Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), Kementerian Lingkungan Hidup (LH), Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 1.4 Tujuan Kegiatan 1. Memberikan masukan kepada pimpinan BATAN. 2. Memberikan pemahaman kepada semua pihak tentang dasar hukum yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan pembangunan RDNK. 1.5 Manfaat Kegiatan 1. Menjamin kepastian hukum terhadap pelaksanaan pembangunan RDNK. 2. Mengantisipasi adanya permasalahan hukum yang mungkin timbul. 1.6 Metode 1. Melakukan kajian referensi yang meliputi kajian peraturan perundang-undangan, dokumen hasil studi pengembangan nuklir untuk energi, dan sumber lainnya. 2. Menerima masukan dari berbagai nara sumber. 1.7 Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran utuh tentang Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning RDNK, hasil kajian disusun dengan Sistematika dengan struktur sebagai berikut: Pendahuluan, Tinjauan Umum Hukum Ketenaganukliran, Kajian Hukum dan Perizinan Reaktor Daya Non Komersial, Penutup, Lampiran-Lampiran, dan Daftar Pustaka. 5

12 BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM KETENAGANUKLIRAN 2.1 Hukum Ketenaganukliran Nasional Penelitian, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) nuklir di berbagai bidang kehidupan merupakan persoalan yang mutlak dilakukan dalam usaha meningkatkan kemajuan negara dan kesejahteraan masyarakat. Penelitian, pengembangan dan pemanfaatan tenaga nuklir ditujukan kepada kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk itu, Iptek nuklir mempunyai arti yang penting sebagai unsur bagi pembangunan dan kemajuan dalam bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan, pangan, kesehatan, energi, industri, sumber daya alam dan lingkungan. Dalam kerangka perlindungan terhadap kegiatan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan Iptek nuklir diperlukan adanya payung hukum nasional ketenaganukliran yang menjamin pemanfaatan tenaga nuklir di segala bidang kehidupan dan mengawasi pemanfaatannya secara ketat untuk keselamatan dan kesehatan masyarakat, pekerja dan lingkungan hidup. Hukum nasional tentang ketenaganukliran merupakan perwujudan cita-cita negara dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial menuju masyarakat adil dan makmur. Untuk itu negara perlu mengatur pemanfaatan tenaga nuklir dalam sistem perundang-undangan. Hukum Ketenaganukliran Nasional dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Tenaga Atom. Setelah berlaku lebih dari 32 (tiga puluh dua) tahun Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, misalnya wewenang pelaksanaan dan pengawasan atas penelitian dan pemanfaatan tenaga nuklir yang diberikan dalam satu badan sehingga fungsi pengawasan tidak optimal. Selain itu, meskipun bahan nuklir sudah dipasarkan secara bebas dipasaran internasional, maka agar tidak terjadi penyimpangan terhadap pemanfaatan bahan nuklir perlu dilakukan pengawasan secara ketat oleh pemerintah, oleh karena itu bahan nuklir harus dimiliki 6

13 dan dikuasai negara. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pada tanggal 10 April 1997 sebagai ganti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964 telah ditetapkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (UUK). UUK ini perupakan payung hukum kegiatan yang terkait dengan pemanfatan tenaga nuklir dan sekaligus sebagai rujukan peraturan dibawahnya dalam kerangka pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia Badan Pelaksana Dalam UUK, pemanfaatan tenaga nuklir dilaksanakan oleh Badan Pelaksana. Badan Pelaksana yang dimaksud UUK adalah lembaga pemerintah yang berada dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Berdasarkan tugas yang diembannya yaitu melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir, maka BATAN adalah Badan Pelaksana sebagaimana yang dimaksud dalam UUK. Kedudukan BATAN sebagai Badan Pelaksana semakin dipertegas dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013 tentang Badan Tenaga Nuklr Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir Pemanfaatan dan Pengusahaan Tenaga Nuklir Salah satu tugas Badan Pelaksana dalam upaya melaksanakan tugas pemanfaatan tenaga nuklir adalah melakukan penelitian dan pengembangan tenaga nuklir dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir untuk keselamatan, keamanan, ketenteraman, dan kesejahteraan rakyat. Penelitian dan pengembangan tenaga nuklir dilakukan dalam kerangka menjamin keselamatan masyarakat dan lingkungan dan untuk mengurangi dampak negatif pemanfaatan tenaga nuklir. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh Badan Pelaksana dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan instansi dan badan lain. Badan Pelaksana selain melakukan penelitian dan pengembangan tenaga nuklir dalam kerangka pemanfaatan tenaga nuklir juga memiliki tugas pengusahaan. Pemahaman pengusahaan dalam UUK ini pada umumnya adalah kegiatan usaha yang bersifat komersial. Di dalam pengusahaan ini selain Badan Usaha Milik Negara, pihak lain juga diberi kesempatan yaitu koperasi dan pihak swasta. Namun, untuk Badan Pelaksana pengertian wewenang pengusahaan ini adalah bersifat nonkomersial atau nonprofit. Pengusahaan yang dilakukan oleh Badan Pelaksana dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik 7

14 Negara (BUMN), koperasi dan/atau badan swasta, yaitu kegiatan yang terkait dengan: a. Penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi bahan galian nuklir; b. Produksi dan/atau pengadaan bahan baku untuk pembuatan bahan bakar nuklir; c. Produksi bahan bakar nuklir non komersial; dan d. Produksi radioisotop non komersial Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning Reaktor Nuklir Non Komersial Selain tugas pemanfaatan tersebut di atas, Badan Pelaksana juga memiliki tugas melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK yang dalam pelaksanaanya dapat bekerja sama dengan instansi pemerintah lainnya dan perguruan tinggi negeri. Sumber kewenangan (dasar hukum) bagi badan pelaksana dalam rangka pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK diatur dalam UUK dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir. Ketentuan kedua peraturan perundang-undangan tersebut tercantum dalam pasalpasal sebagai berikut: a. Ketentuan Pasal 13 ayat (1) UUK, menyatakan sebagai berikut: Pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir nonkomersial dilaksanakan oleh Badan Pelaksana. b. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir, sebagai berikut: - Pasal 1 angka 29, menyatakan sebagai berikut: Badan Tenaga Nuklir Nasional yang selanjutnya disebut BATAN adalah badan pelaksana sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. - Pasal 3 ayat (1), menyatakan sebagai berikut: Reaktor nuklir meliputi: a. Reaktor Daya: dan b. Reaktor Nondaya - Pasal 3 ayat (2), menyatakan sebagai berikut: Reaktor Daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Reaktor Daya Komersial; dan b. Reaktor Daya Non komersial. 8

15 - Pasal 5 ayat (1), menyatakan sebagai berikut: Pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor daya nonkomersial atau reaktor nondaya nonkomersial dilaksanakan oleh BATAN. Untuk pengusahaan yang bersifat komersial dalam kegiatan produksi bahan bakar nuklir, produksi radioisotop, pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir komersial berupa Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta. Pembangunan PLTN ditetapkan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagalistrikan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Konsultasi dilakukan dalam kerangka menyerap dan memperhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat dalam pemanfaatan tenaga nuklir, khususnya apabila pembangunan PLTN sebelum pengambilan keputusan Pengelolaan Limbah Radioaktif Tugas selanjutnya yang harus dilakukan oleh Badan Pelaksana yang dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan atau menunjuk Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta adalah pengelolaan limbah radioaktif. Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan untuk mencegah timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup. Limbah radioaktif, seperti limbah-limbah lainnya adalah bahan yang tidak dimanfaatkan lagi. Mengingat limbah radioaktif tersebut mengandung potensi bahaya radiasi oleh karenanya perlu diatur dan diawasi secara ketat. Berdasarkan tingkat bahaya yang ditimbulkan, limbah radioaktif diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah, tingkat sedang dan tingkat tinggi. Penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang wajib mengumpulkan, mengelompokkan, atau mengolah dan menyimpan sementara limbah tersebut sebelum diserahkan kepada Badan Pelaksana untuk diproses selanjutnya. Terhadap pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi karena limbah tersebut mempunyai potensi bahaya radiasi yang tinggi, maka penghasil limbah radioaktif tingkat tinggi wajib menyimpan sementara limbah tersebut dalam waktu sekurang-kurangnya selama masa operasi reaktor nuklir, sedangkan penyimpanan lestarinya menjadi tanggung jawab Badan Pelaksana. Untuk itu Badan Pelaksana 9

16 berkewajiban menyediakan tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat tinggi. Penentuan tempat penyimpanan lestari ditetapkan oleh Pemerintah setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pengangkutan dan penyimpanan limbah radioaktif wajib memperhatikan keselamatan pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif, BATAN mempunyai kewenangan/otorisasi atas pengelolaan limbah nuklir, baik yang dihasilkan oleh BATAN sendiri maupun oleh Penghasil Limbah Radioaktif lain yang telah menyerahkan pengelolaan limbahnya kepada BATAN Badan Pengawas Pemanfaatan tenaga nuklir harus mendapat pengawasan yang cermat agar selalu mengikuti segala ketentuan di bidang keselamatan tenaga nuklir sehingga pemanfaatan tenaga nuklir tersebut tidak menimbulkan bahaya radiasi terhadap pekerja, masyarakat, dan lingkungan hidup. Adapun pengertian lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, serta keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Pengawasan tersebut dilaksanakan dengan cara mengeluarkan peraturan, menyelenggarakan perizinan, dan melakukan inspeksi. Perizinan itu juga berlaku untuk petugas yang mengoperasikan reaktor nuklir dan petugas tertentu yang bekerja di instalasi nuklir lainnya serta di instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi tersebut. Untuk melaksanakan fungsi pengawasan tersebut, pemerintah membentuk badan pengawas yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang bertugas melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir. Untuk melaksanakan tugas pengawasan, Badan Pengawas menyelenggarakan peraturan, perizinan, dan inspeksi. Badan Pengawas sebagaimana dimaksud UUK adalah Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir. Pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir ditujukan untuk : a. terjaminnya kesejahteraan, keamanan, dan ketenteraman masyarakat; b. menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja dan anggota masyarakat serta 10

17 perlindungan terhadap lingkungan hidup; c. memelihara tertib hukum dalam pelaksanaan pemanfaatan tenaga nuklir; d. meningkatkan kesadaran hukum pengguna tenaga nuklir untuk menimbulkan budaya keselamatan dibidang nuklir; e. mencegah terjadinya perubahan tujuan pemanfaatan bahan nuklir; f. menjamin terpeliharanya dan ditingkatkannya disiplin petugas dalam pelaksanaan pemanfaatan tenaga nuklir. Kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memperhatikan keselamatan, keamanan, dan ketenteraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup. Setiap petugas yang mengoperasikan reaktor nuklir dan petugas tertentu di dalam instalasi nuklir lainnya dan di dalam instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi pengion wajib memiliki izin. Inspeksi terhadap instalasi nuklir dan instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion dilaksanakan oleh Badan Pengawas dalam rangka pengawasan terhadap ditaatinya syarat-syarat dalam perizinan dan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan nuklir. Inspeksi dilaksanakan oleh inspektur yang diangkat dan diberhentikan oleh Badan Pengawas. Inspeksi dilaksanakan secara berkala dan sewaktu-waktu. Badan Pengawas melakukan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan upaya yang menyangkut keselamatan dan kesehatan pekerja, dan anggota masyararakat serta perlindungan terhadap lingkungan hidup Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 UUK Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Tenapa Nuklir (MPTN), dasar pertimbangan dari pembentukan MPTN dalam UUK adalah mengingat ketenaganukliran menyangkut kehidupan dan keselamatan orang banyak maka peran masyarakat perlu ditingkatkan dan diwujudkan dalam bentuk suatu majelis pertimbangan. Untuk melaksanakan amanat Pasal 5 UUK, Pemerintah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2014 tentang Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir. MPTN adalah lembaga nonstruktural yang independen dan keanggotaannya terdiri atas para ahli dan tokoh masyarakat. MPTN bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden mengenai pemanfaatan tenaga nuklir. Dalam menjalankan tugasnya MPTN menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: 11

18 a. pengkajian kebijakan pemanfaatan tenaga nuklir; b. pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan pemanfaatan tenaga nuklir; dan c. penyusunan rekomendasi kebijakan pemanfaatan tenaga nuklir. MPTN mempunyai peran yang sangat besar terkait dengan rencana pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK, karena MPTN merupakan wadah bagi masyarakat, sangat memungkinkan terjadi pro kontra terhadap rencana tersebut. Saat ini Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi tengah mengajukan calon anggota MPTN kepada Presiden Jaminan Perlindungan Nuklir Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir Mengingat selain manfaat yang begitu besar, pemanfaatan energi nuklir juga dapat menimbulkan dampak yang besar bagi makluk hidup dan lingkungan, maka diperlukan adanya pertanggungjawaban (liability) dari operator apabila terjadi kecelakaan pada reaktor jenis apapun termasuk RDNK yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi masyarakat maupun lingkungan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dalam hubungannya dengan pertanggungjawaban dalam penyelesaian ganti kerugian akibat perbuatan melawan hukum adalah ketentuan sebagaimana tertera dalam Pasal 1365 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), pada umumnya pertanggungjawaban didasarkan pada asas kesalahan (liability based on fault). Maknanya adalah pihak yang bertanggung jawab baru mempunyai kewajiban untuk membayar ganti rugi setelah terbukti bahwa kerugian yang terjadi disebabkan oleh kesalahannya. Apabila hal itu diterapkan pada kecelakaan nuklir, pihak yang dirugikan akan mengalami kesulitan dalam membuktikan adanya kesalahan itu sehingga hal tersebut akan menyulitkan pihak ketiga sebagai penderita kerugian. Oleh karena itu, bagi pihak ketiga tersebut perlu diberikan jaminan perlindungan yang lebih pasti dengan satu sistem tanggung jawab mutlak (strict liability). Asas pembuktian yang dipakai dalam pertangungjawaban kerugian nuklir dalam UUK menganut asas pembuktian terbalik. Asas tanggung jawab mutlak dan asas pembuktian terbalik ini telah sejalan dengan ketentuan hukum lingkungan sebagaiman diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 12

19 Pengusaha instalasi nuklir sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul, tanpa adanya pembuktian oleh pihak ketiga tentang ada atau tidaknya kesalahan pada pengusaha instalasi nuklir. Pengecualian dari asas tanggung jawab mutlak ini adalah apabila kerugian yang diakibatkan oleh kecelakaan nuklir itu terjadi akibat langsung dari pertikaian atau konflik bersenjata internasional atau noninternasional dan bencana alam dengan tingkat yang luar biasa yang melampaui batas rancangan persyaratan keselamatan yang telah ditetapkan (force majeur). Di lain pihak, dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan industri nuklir, jaminan perlindungan perlu juga diberikan kepada pengusaha instalasi nuklir sebagai pihak yang bertanggung jawab, yaitu dalam bentuk batas pertanggungjawaban, baik batas jumlah pembayaran ganti rugi maupun jangka waktu penuntutan. Dengan mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga dan pengusaha instalasi nuklir, maka dipandang perlu menggunakan satu sistem tersendiri bagi pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang ditetapkan dalam UUK. Sistem tersebut memberikan perlindungan yang lebih pasti bagi pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir, tetapi juga tidak menghambat perkembangan industri nuklir itu sendiri sebagaimana yang telah dikembangkan, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Prinsip yang dianut dalam sistem tersebut adalah: a. tanggung jawab mutlak (strict liability); b. pengusaha instalasi nuklir bertanggung jawab dengan mengecualikan orang lain; c. batas pertanggungjawaban dalam jumlah ganti rugi dan waktu penuntutan; d. pengusaha instalasi nuklir diwajibkan mempertanggungkan tanggung jawabnya dalam bentuk asuransi atau bentuk jaminan keuangan lainnya. Ruang lingkup ketentuan pertanggungjawaban kerugian nuklir yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir dalam UUK dibatasi hanya pada kerugian yang diderita oleh pihak ketiga akibat kecelakaan nuklir yang terjadi di instalasi nuklir tertentu atau selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas, yang disebabkan oleh kekritisan bahan bakar nuklir tersebut. Kecelakaan nuklir yang terjadi selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas 13

20 pada dasarnya menjadi tanggung jawab pengusaha instalasi nuklir pengirim, kecuali sebelumnya telah diperjanjikan secara tertulis. Yang dimaksud dengan kerugian nuklir adalah kerugian yang ditimbulkan oleh radiasi atau gabungan radiasi dengan sifat racun, sifat mudah meledak, atau sifat bahaya lainnya sebagai akibat kecelakaan nuklir yang timbul dari kekritisan bahan bakar nuklir. Pihak ketiga adalah orang atau badan yang menderita kerugian nuklir, tidak termasuk pengusaha instalasi nuklir, dan pekerja instalasi nuklir yang menurut struktur organisasi berada di bawah pengusaha instalasi nuklir. Penggantian kerugian nuklir terhadap pihak ketiga dalam UUK adalah penggantian kerugian yang dialami manusia, seperti kematian, cacat, cedera atau sakit, dan penggantian kerugian atas biaya yang diperlukan sebagai akibat tindakan preventif, misalnya tindakan evakuasi yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang di daerah lokasi instalasi nuklir yang mengalami kecelakaan nuklir. Penggantian kerugian terhadap kerusakan harta benda harus sesuai dengan nilai kerusakan yang diderita ditambah dengan biaya rehabilitasinya. Demikian juga, penggantian kerugian terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan harus sesuai dengan nilai kerugian kerusakan ditambah dengan besarnya biaya untuk melakukan tindakan rehabilitasi lingkungan. Kerugian yang bukan disebabkan oleh kekritisan bahan bakar nuklir tidak termasuk kategori kerugian nuklir. Pekerja pada instalasi nuklir yang bersangkutan atau yang bekerja pada instalasi lain yang memanfaatkan radiasi berhak mendapatkan penggantian kerugian sesuai dengan ketentuan perundang-undangan tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau jaminan asuransi kecelakaan kerja lainnya. Apabila pertanggungjawaban kerugian nuklir melibatkan lebih dari satu pengusaha instalasi nuklir dan tidak mungkin menentukan secara pasti bagian kerugian nuklir yang disebabkan oleh tiap-tiap pengusaha instalasi nuklir tersebut, pengusaha tersebut bertanggung jawab secara bersama-sama (tanggung renteng). Pertanggungjawaban tiap-tiap pengusaha instalasi nuklir tidak melebihi batas jumlah pertanggungjawabannya. Apabila dalam suatu lokasi terdapat beberapa instalasi nuklir yang dikelola oleh satu pengusaha instalasi nuklir, pengusaha tersebut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian nuklir yang disebabkan oleh setiap instalasi nuklir. 14

21 Apabila pengusaha instalasi nuklir setelah melaksanakan tanggung jawabnya dapat membuktikan bahwa pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir disebabkan oleh kesengajaan penderita sendiri, pengusaha tersebut dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya untuk membayar seluruh atau sebagian kerugian yang diderita. Pengusaha instalasi nuklir berhak untuk menuntut kembali ganti rugi yang telah dibayarkan kepada pihak ketiga yang melakukan kesengajaan. Batas pertanggungjawaban nuklir diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2009 dan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2012 dengan pertanggungjawaban paling banyak Rp ,00 (empat triliun rupiah) untuk setiap kecelakaan nuklir, baik untuk setiap instalasi nuklir maupun untuk setiap pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas. Terkait dengan pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning RDNK hal terjadi kecelakaan nuklir, mengingat RDNK tersebut dimiliki oleh instansi pemerintah dalam hal ini BATAN, maka terhadap ganti kerugian yang di derita pihak ketiga ditanggung oleh Pemerintah. Dan untuk pembayaran ganti ruginya dialokasikan oleh Pemerintah dalam bentuk dana kontinjensi Asuransi dan Jaminan Keuangan Pengusaha instalasi nuklir wajib mempertanggungkan pertanggungjawabannya melalui asuransi atau jaminan keuangan lain. Kewajiban tersebut berlaku juga bagi pengusaha instalasi nuklir penerima atau pengusaha pengangkutan. Apabila dalam suatu lokasi terdapat beberapa instalasi nuklir yang dikelola oleh satu pengusaha instalasi nuklir, pengusaha tersebut wajib mempertanggungkan pertanggungjawabannya untuk setiap instalasi yang dikelolanya. Apabila jumlah pertanggungan berkurang karena telah digunakan untuk membayar kerugian nuklir, pengusaha instalasi nuklir wajib menjaga agar jumlah pertanggungan tetap sesuai dengan jumlah pertanggungan awal. Apabila perjanjian pertanggungan telah berakhir atau batal karena suatu sebab lain, pengusaha instalasi nuklir tersebut wajib segera memperbaharui perjanjian pertanggungannya. Apabila pengusaha instalasi nuklir belum memperbaharui perjanjian pertanggungan, maka apabila terjadi kecelakaan nuklir, pengusaha tersebut tetap bertanggung jawab atas kerugian akibat kecelakaan nuklir. 15

22 Ketentuan tentang pertanggungan tidak berlaku bagi instansi pemerintah yang bukan Badan Usaha Milik Negara. Perusahaan asuransi yang menanggung ganti rugi nuklir yang disebabkan kecelakaan nuklir wajib melakukan pembayaran ganti rugi paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan pernyataan adanya kecelakaan nuklir oleh Badan Pengawas. Pernyataan Badan Pengawas wajib diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak terjadinya kecelakaan nuklir Jangka Waktu Penuntutan Hak menuntut ganti rugi akibat kecelakaan nuklir kadaluwarsa apabila tidak diajukan dalam waktu 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak diterbitkan pernyataan Badan Pengawas. Apabila kerugian nuklir akibat kecelakaan nuklir melibatkan bahan nuklir yang dicuri, hilang, atau ditelantarkan, maka jangka waktu untuk menuntut ganti rugi dihitung dari saat terjadinya kecelakaan nuklir dengan ketentuan jangka waktu itu tidak boleh melebihi 40 (empat puluh) tahun terhitung sejak bahan nuklir dicuri, hilang, atau ditelantarkan. Hak untuk menuntut ganti rugi harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun setelah penderita mengetahui atau patut mengetahui kerugian nuklir yang diderita dan pengusaha instalasi nuklir yang bertanggung jawab dengan ketentuan jangka waktu tersebut tidak boleh melebihi jangka waktu yang ditetapkan yaitu 30 (tiga puluh) tahun untuk kecelakaan nuklir dan 40 (empat puluh) tahun untuk bahan nuklir yang dicuri, hilang atau ditelantarkan Yurisdiksi Pengadilan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa dan mengadili tuntutan ganti rugi adalah sebagai berikut : a. Pengadilan Negeri tempat kecelakaan nuklir terjadi; b. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam hal terjadi kecelakaan nuklir selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas di luar wilayah negara Republik Indonesia. 2.2 Hukum Ketenaganukliran Internasional Hukum Ketenaganukliran adalah norma hukum khusus yang diciptakan untuk mengatur perilaku orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan bahan fisi dan radiasi pengion. Hukum ketenaganukliran bertujuan untuk memberikan kerangka hukum bagi setiap kegiatan yang berkaitan dengan energi nuklir dan radiasi 16

23 pengion dengan cara yang cukup untuk melindungi masyarakat, harta benda dan lingkungan. Salah satu ciri hukum ketenaganukliran adalah dalam proses perumusannya wajib memperhitungkan segala bentuk kewajiban, rekomendasi, standar dan ketentuan internasional lainnya. Para penyusun peraturan perundang-undangan harus selalu memperhatikan berbagai bentuk perjanjian nuklir internasional dan berbagai bentuk kewajiban internasional di bidang nuklir. Prinsip kerja sama internasional diidentifikasi sebagai salah satu konsep dasar hukum ketenaganukliran. Kerangka hukum ketenaganukliran yang efektif bergantung kepada persyaratan yang ketat dan langkah-langkah penegakan hukum yang tepat untuk memastikan setiap persyaratan telah dipenuhi dengan benar, pada saat yang bersamaan kerangka hukum tersebut harus fleksibel dalam mengikuti perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi. Di sisi lain karena penggunaan energi nuklir yang mungkin tidak terbatas pada wilayah nasional dan dapat berakibat kepada lintas batas negara membuat kerangka hukum tersebut harus bersifat internasional. Hal ini yang kemudian menjadikan sifat dari hukum ketenaganukliran menjadi luas. Berbicara mengenai hukum ketenaganukliran internasional, secara garis besar tidak terlepas dari aspek-aspek sebagai berikut: a. Keselamatan Nuklir (Nuclear Safety); b. Keamanan Nuklir (Nuclear Security); c. Pengawasan Nuklir (Nuclear Safeguards); d. Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir (Nuclear Liablity) Keselamatan Nuklir (Nuclear Safety) Dalam pengertian sempit keselamatan nuklir merujuk pada penanganan yang berkaitan dengan daur bahan bakar nuklir, sedangkan keselamatan radiasi berkaitan dengan risiko yang mungkin timbul dari penggunaan radiasi pengion, termasuk penggunaan radioisotop dan radiasi dalam kedokteran, industri dan berbagai bidang lainnya. Selanjutnya, keselamatan manajemen limbah berkaitan dengan risiko yang mungkin timbul dari limbah radioaktif termasuk penyimpanan dan pembuangannya. Namun dalam konteks ini keselamatan nuklir digunakan sebagai payung yang mencakup semua aktivitas tersebut. 17

24 Pada level internasional, IAEA dalam program Nuclear Safety Standard (NUSS) yang diluncurkan pada 1974, memberikan definisi keselamatan nuklir sebagai berikut: Tercapainya syarat-syarat pengoperasian yang benar, pencegahan kecelakaan atau mitigasi akibat-akibat kecelakaan, yang mengharuskan perlindungan personel tapak, masyarakat umum dan lingkungan dari bahaya radiasi yang tidak diinginkan. Secara umum Keselamatan Nuklir (Nuclear Safety) bertujuan untuk melindungi individu, masyarakat dan lingkungan dari dampak radiasi. Terdapat 6 (enam) ketentuan hukum internasional berkaitan dengan Keselamatan Nuklir (Nuclear Safety) diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Konvensi Keselamatan Nuklir (Convention on Nuclear Safety) Ruang lingkup dari konvensi ini adalah berkaitan dengan keselamatan instalasi nuklir. Setiap pembangkit listrik tenaga nuklir termasuk penyimpanan dan penanganan fasilitas yang ada di lokasi yang sama dan langsung berhubungan dengan pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir. Konvensi Keselamatan Nuklir (Convention on Nuclear Safety) bertujuan untuk memberikan kerangka hukum yang jelas bagi negara-negara peserta konvensi yang mengoperasikan PLTN untuk menjaga keselamatan tingkat tinggi dengan menetapkan standar-standar internasional yang harus dipatuhi. Kewajiban negara peserta konvensi didasarkan pada sejumlah prinsip yang terkandung dalam dokumen Pokok-pokok Keselamatan IAEA The Safety of Nuclear Installations. Kewajiban itu mencakup misalnya tapak, desain, konstruksi, operasi, ketersediaan finansial dan sumber daya manusia, pengkajian dan verifikasi keselamatan, jaminan mutu dan kesiapsiagaan kedaruratan. Konvensi ini merupakan suatu instrumen pendorong, yang tidak dirancang untuk menjamin pemenuhan kewajiban negara peserta konvensi melalui kontrol dan sanksi, namun didasarkan pada kepentingan bersama untuk mencapai tingkat keselamatan yang lebih tinggi yang akan dikembangkan dan dibahas melalui pertemuan berkala negara-negara peserta konvensi dan mendapat penilaian dari kelompok ahli (peer review) dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh IAEA. Konvensi Keselamatan Nuklir telah diratifikasi oleh Indonesia sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun

25 2. Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and on the Safety of Radioactive Waste Management Konvensi ini mengatur masalah keselamatan manajemen dan penyimpanan limbah radioaktif di negara pihak baik yang mempunyai program nuklir maupun tidak. Ruang lingkup dari Joint Convention tersebut adalah: a. Keselamatan manajemen bahan bakar bekas; b. Keselamatan manajemen radioaktif (semua kegiatan termasuk kegiatan pengelolaan limbah radioaktif dan dekomisioning); c. Keselamatan manajemen bahan bakar bekas atau limbah radioaktif yang berasal dari program militer atau pertahanan. Indonesia telah meratifikasi konvensi Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and on the Safety of Radioactive Waste Management melalui Peraturan Presiden Nomor 84 Tahun Convention on Early Notification of a Nuclear Accident and Convention on Assistance in the Case of a Nuclear Accident or Radiological Emergency Ruang lingkup dari 2 (dua) konvensi tersebut adalah: a. Konvensi yang pertama memberikan kewajiban untuk memberitahukan kecelakaan nuklir yang telah mengakibatkan atau dapat mengakibatkan pelepasan zat radioaktif yang dapat berakibat bagi keamanan negara lain; b. Konvensi yang kedua memberikan kerangka kerja yang jelas bagi negara peserta konvensi dan IAEA untuk memberikan bantuan dan dukungan segera dalam peristiwa kecelakaan nuklir atau kedaruratan nuklir. Selain konvensi tersebut, berkaitan dengan peringatan dini dalam hal terjadi kecelakaan/kedaruratan nuklir, perlu juga dilengkapi dengan perjanjian bilateral antara negara tetangga atau negara yang berbatasan. Indonesia telah meratifikasi Convention on Early Notification of a Nuclear Accident melalui Keputusan Presiden Nomor 81 Tahun 1993 dan Convention on Assistance in the Case of a Nuclear Accident or Radiological Emergency melalui Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun IAEA Regulations for the Safe Transport of Radioactive Material Ruang lingkup dari regulasi IAEA tersebut adalah: a. Mengatur pengangkutan zat radioaktif di seluruh dunia dengan menggunakan moda transportasi darat, laut dan udara; 19

26 b. Semua bahan radioaktif mulai dari bahan aktivitas yang sangat rendah sampai dengan bahan aktivitas yang sangat tinggi seperti limbah radioaktif tingkat tinggi dan bahan bakar nuklir bekas. 5. Code of Conduct on The Safety and Security of Radioactive Sources Ruang lingkup dari Code of Conduct tersebut adalah berkaitan dengan sumber radioaktif dengan resiko tinggi. Dilengkapi dengan dokumen pedoman eksport/import untuk memfasilitasi pendekatan yang harmonis di antara negara-negara pengekspor sumber radioaktif. 6. Code of Conduct of The Safety of Research Reactors Ruang lingkup dari Code of Conduct tersebut adalah berkaitan dengan keselamatan reaktor riset. Code of Conduct ini untuk melengkapi Convention on Nuclear Safety yang belum mengatur mengenai reaktor riset. Reaktor riset adalah reaktor nuklir yang digunakan terutama untuk pemanfaatan aliran neutron dan radiasi pengion untuk tujuan penelitian atau yang berkaitan dengan penelitian. Reaktor riset termasuk kategori RDNk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan keselamatan nuklir adalah antara lain sebagai berikut: a. Keselamatan nuklir pasca terjadinya kecelakaan nuklir Chernobyl pada tahun 1986; b. Rangkaian lengkap perangkat hukum baik yang mengikat dan yang tidak mengikat; c. Kelengkapan standar keselamatan; d. Pengawasan yang ketat terutama berkaitan dengan teknis (persyaratan desain, independensi badan pengawas dan analisis informasi). Di samping itu, terkait dengan keselamatan nuklir, terdapat berbagai peraturan yang telah mengatur secara lebih teknis berbagai aspek dari keselamatan nuklir seperti Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2012 tentang Keselamatan dan Keamanan Instalasi Nuklir serta berbagai peraturan yang diterbitkan oleh Kepala BAPETEN terkait keselamatan nuklir yang akan dijadikan pedoman dalam rencana pembangunan RDNK. 20

27 2.2.2 Keamanan Nuklir (Nuclear Security) Tujuan dari Nuclear Security adalah untuk melindungi bahan dan fasilitas radioaktif/nuklir serta fasilitas pendukungnya dari tindakan berbahaya yang dilakukan oleh orang/kelompok/organisasi. Keamanan nuklir harus diperkuat dengan pengembangan dan penerapan langkah-langkah yang memadai dalam proteksi fisik terhadap pencurian atau penyimpangan bahan nuklir dan terhadap sabotase fasilitas nuklir. Konvensi mewajibkan negara peserta konvensi wajib melindungi bahan nuklir di dalam wilayah teritorialnya atau di atas kapal mereka atau pesawat udara mereka selama pengangkutan bahan nuklir. Konvensi ini memberikan suatu kerangka kerja yang sangat sesuai dalam memberikan perlindungan (proteksi), pemulihan dan pengembalian bahan nuklir yang hilang/tercuri dan dalam penerapan sanksi pidana terhadap orang atau pihak yang melakukan tindakan kriminal yang melibatkan bahan nuklir. Isu terbaru di bidang keamanan nuklir adalah keprihatinan tentang kemungkinan penggunaan bahan radioaktif atau nuklir untuk tujuan terorisme. Potensi untuk menggunakan bahan peledak konvensional untuk menyebarkan bahan radioaktif, menekankan pentingnya kontrol nasional dan internasional terhadap bahan-bahan tersebut. IAEA telah bekerja untuk membangun kerangka kerja internasional untuk meningkatkan keamanan sumber radioaktif. Payung internasional untuk penanggulangan ancaman terorisme nuklir berhasil dicapai melalui penetapan Konvensi Penanggulangan Tindakan Terorisme Nuklir (the International Convention on the Suppression of Acts of Nuclear Terrorism) oleh MU PBB di New York pada 13 April Selain hal tersebut di atas masih ada 7 (tujuh) ketentuan internasional berkaitan dengan keamanan nuklir yaitu: 1. The Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (INFCIRC/274/Rev.1); 2. Amendment to The Convention on the Physical Protection of Nuclear Material; 3. The Physical Protection of Nuclear Material and Nuclear Facilities (INFCIRC/225/Rev.5); 4. Physical Protection Objectives and Fundamental Principles (GC (45)/INF/14); 5. United Nations Security Council Resolution 1373; 21

28 6. United Nations Security Council Resolution 1540; 7. International Convention for the Suppression of Acts of Nuclear Terorism. Berkaitan dengan keamanan nuklir, Indonesia telah meratifikasi Amendment to The Convention on The Physical Protection of Nuclear Material (Perubahan Konvensi Proteksi Fisik Bahan Nuklir) melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengesahan Amendment to The Convention on The Physical Protection of Nuclear Material (Perubahan Konvensi Proteksi Fisik Bahan Nuklir). Peraturan Pemerintah tersebut selanjutnya dijabarkan oleh BAPETEN, yang diwujudkan dalam bentuk peraturan Kepala BAPETEN. Sebagai catatan, BAPETEN sedang memproses penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan Nuklir berkaitan dengan tindak Keamanan Nuklir nasional Pengawasan Nuklir (Nuclear Safeguard) Sejak 1960-an, sistem safeguard (pengawasan) internasional IAEA merupakan komponen sentral dalam mengontrol penyebaran senjata nuklir. Di bawah ketentuan dari persetujuan yang dicapai IAEA dengan negara-negara peserta konvensi, para inspektur (pengawas) IAEA secara teratur mengunjungi fasilitas-fasilitas nuklir untuk melakukan verifikasi terhadap rekaman yang dibuat oleh negara bersangkutan tempat di mana bahan nuklir berada, mengecek peralatan dan perlengkapan safeguard yang dipasang IAEA, dan mengkonfirmasi penyimpanan fisik bahan-bahan nuklir. Mereka kemudian membuat laporan rinci kepada negara yang ditinjau dan laporan kepada IAEA. Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons-NPT) merupakan traktat internasional yang bertujuan untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dan teknologi senjata nuklir, mendorong perkembangan penggunaan energi nuklir untuk maksud damai, dan memajukan tujuan mencapai perlucutan senjata secara umum dan menyeluruh. Traktat menetapkan suatu sistem safeguard (safeguards system) di bawah tanggung jawab IAEA. Safeguard IAEA merupakan sarana kunci untuk mendeteksi dan menghalangi pengalihan bahan nuklir oleh suatu negara. Semua negara tidak bersenjata nuklir yang menjadi pihak NPT harus menyetujui penerapan safeguard IAEA ke semua bahan nuklir mereka. Perjanjian safeguard yang komprehensif atau lingkup penuh dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bahwa negara tidak bersenjata nuklir 22

29 senantiasa bertindak sesuai dengan komitmennya untuk tidak memproduksi senjata nuklir. Pada tahun 1997, sebuah protokol tambahan pada safeguard (Additional Protocol to Safeguard-AP), yang meliputi cara-cara untuk meningkatkan kemampuan untuk mendeteksi aktivitas nuklir yang mungkin tidak dilaporkan, telah disetujui. Inti dari safeguard adalah deklarasi negara tentang bahan, fasilitas dan kegiatan nuklir digabungkan dengan akses pemeriksaan IAEA untuk memverifikasi informasi nuklir. Pemeriksaan biasanya dilakukan secara acak, namun ada pemberitahuan awal setidaknya setiap tahun. Dalam fasilitas yang paling sensitif bahkan pemeriksaan fisik dapat dilakukan terus-menerus. Ada 9 (sembilan) ketentuan internasional berkaitan dengan nuclear safeguards and non proliferation: 1. Treaty on The Non-Proliferation of Nuclear Weapons (INFCIRC/140); 2. Treaty for The Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America (Tlatelolco Treaty); 3. South Pacific Nuclear Free Zone Treaty (Rarotonga Treaty) (INFCIRC/331); 4. Treaty on The Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (Treaty of Bangkok) (INFCIRC/548); 5. Treaty on an African Nuclear-Weapon Free Zone (Pelindaba Treaty); 6. The Structure and Content of Agreements between the Agency and States required in connection with the Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (INFCIRC/153); 7. The Standard Text of Safeguards Agreements in Connection with the Treaty on The Non-Proliferation of Nuclear Weapons (GOV/INF/276/Mod.1), (GOV/INF/276/Mod.1/Corr.1); 8. Model Protocol Additional to The Agreements between States and The International Atomic Energy Agency for the Application of Safeguards (INFCIRC/540); dan 9. Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty. Berkaitan dengan Nuclear Non-Proliferation, Indonesia telah meratifikasi Treaty on The Non-Proliferation of Nuclear Weapons melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1978 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Pencegahan Penyebaran Senjata- Senjata Nuklir dan menandatangani Agreement between the Republic of Indonesia and the International Atomic Energy Agency for the Application of Safeguards in 23

30 Connection with The Treaty on Non Proliferation of Nuclear Weapons pada tanggal 14 Juli 1980 serta menandatangani Protocol Additional to The Agrrement between the Republic of Indonesia and the International Atomic Energy Agency for the Application of Safeguards in Connection with The Treaty on Non Proliferation of Nuclear Weapons pada tanggal 29 September Dalam sistem hukum nasional penggunaan serta pemanfaatan tenaga nuklir untuk tujuan damai juga telah dinyatakan secara tegas dalam UUK. Berkaitan dengan safeguards, berbagai pedoman dan panduan pelaksanaan safeguards selanjutnya telah dijabarkan oleh BAPETEN, sebagai badan regulator, yang diwujudkan dalam bentuk peraturan Kepala BAPETEN Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir (Nuclear Liability) Kerangka hukum dalam hal pertanggungjawaban kerugian nuklir internasional diatur dalam 2 (dua) Konvensi internasional yaitu Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage 1963 (Konvensi Wina tentang Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir) dan Paris Convention 1960 yang dilengkapi dengan Brussel Suplementary Convention Pada tahun 1988, sebagai hasil usaha bersama dari IAEA dan Organisation for Economic Co-operation and Development/Nuclear Energy Agency (OECD/NEA), sebuah protokol gabungan yang menghubungkan antara Konvensi Wina dan Konvensi Paris (The Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna Convention and Paris Convention) berhasil diadopsi. Protokol tersebut menetapkan suatu hubungan antara kedua konvensi tersebut ke dalam satu rezim pertanggungjawaban yang diperluas. Negara Pihak dalam protokol gabungan tersebut diperlakukan seakan-akan mereka adalah pihak ke dalam dua konvensi tersebut dan pilihan hukum disediakan untuk menentukan konvensi mana yang akan digunakan dengan mengesampingkan konvensi yang lain dalam hal kecelakaan yang sejenis. Di samping itu, untuk terus meningkatkan rezim pertanggungjawaban kerugian nuklir internasional secara berkelanjutan dilakukan perumusan dan penetapan Revision Protocol to the Vienna Convention dan Convention on Supplementary Compensation di tahun 1989 dan tahun 1997, serta perumusan dan penetapan Revision Protocols to the Paris Convention dan Brussels Supplementary Convention di tahun 1998 dan tahun

31 Berdasarkan Konvensi Wina, Pertanggungjawaban akibat kerugian nuklir diberikan apabila terjadi kecelakaan nuklir di Instalasi Nuklir yang terletak di wilayah suatu negara dan/atau dalam perjalanan transportasi bahan nuklir ke atau dari instalasi tersebut. Konvensi Wina juga memberikan definisi terhadap Instalasi Nuklir yang mencakup: - Reaktor Nuklir; - Pabrik untuk pembuatan atau pengolahan bahan nuklir; - Fasilitas untuk penyimpanan bahan nuklir; Kemudian berdasarkan Protocol to Ammend the Vienna Convention 1997 diberikan tambahan pengertian mengenai instalasi nuklir termasuk jenis instalasi tambahan jika diputuskan oleh badan yang kompeten secara internasional (misalnya fasilitas pembuangan limbah, Instalasi yang dinonaktifkan). Konvensi Wina juga memberikan definisi kerugian dari kecelakaan nuklir yang meliputi kematian, cedera dan kehilangan atau kerusakan harta benda. Hal ini kemudian disempurnakan berdasarkan Revision Protocol to the Vienna Convention dan Convention on Supplementary Compensation juga mencakup biaya tindakan pemulihan kerusakan lingkungan, biaya tindakan pencegahan dan bentuk lain dari kerugian ekonomi sejauh ditentukan oleh hukum dari pengadilan yang berwenang. Prinsip pertanggungjawaban akibat kerugian yang disebabkan kecelakaan nuklir secara umum, meliputi: a. PrinsipTanggung Jawab Mutlak / Liability without fault (Strict Liability) Prinsip ini mewajibkan pelaku langsung bertanggungjawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Oleh karena itu prinsip strick liability disebut juga dengan liability without fault. Bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan kepada kesalahan. b. Tanggung Jawab Eksklusif Melekat kepada Penyelenggara/Operator Instalasi Nuklir (Exclusive Liability of the Operator) "Chanelling" kewajiban untuk operator, yaitu tidak ada kewajiban diluar rezim dan tidak ada kewajiban untuk orang lain untuk mempertanggungjawabkan selain daripada operator. Apabila terjadi kecelakaan di instalasi nuklir, maka pertanggungjawaban dibebankan kepada operator instalasi nuklir. 25

32 Apabila terjadi kecelakaan selama pengiriman bahan nuklir, maka pertanggungjawaban dibebankan kepada operator pengirim. c. Jumlah Minimum Pertanggungjawaban (Minimum Amount of Liability) Batas minimum pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir terhadap kerugian nuklir untuk setiap kecelakaan, namun Negara Instalasi bebas untuk menetapkan jumlah yang lebih tinggi atau bahkan kewajiban yang tidak terbatas. d. Mandatory Financial Coverage Pengusaha instalasi nuklir wajib mempertanggungkan pertanggungjawabannya melalui asuransi atau jaminan keuangan lain. Kewajiban mempertanggungkan pertanggungjawaban berlaku juga bagi pengusaha instalasi nuklir penerima atau pengusaha pengangkutan. e. Jangka Waktu Penuntutan (Limitation of Liability in Time) Hak menuntut ganti rugi akibat kecelakaan nuklir kadaluwarsa apabila tidak diajukan dalam waktu 10 (sepuluh puluh) tahun terhitung sejak diterbitkan pernyataan dari Badan yang kompeten (Konvensi Wina). Setelah dilakukan revisi terhadap PC/VC menjadi 30 tahun untuk kematian dan personal injury. f. Non Diskriminasi/Perlakuan yang Sama (Non Discrimination) Jaminan untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap korban kecelakaan nuklir, tanpa membeda-bedakan antara satu dan lainnya. g. Yurisdiksi Pengadilan yang Berwenang (Exclusive Jurisdiction Competence) Apabila kecelakaan nuklir terjadi di instalasi nuklir, maka pengadilan yang berwenang adalah pengadilan di negara dimana instalasi tersebut berada. Apabila kecelakaan nuklir terjadi selama pengangkutan, maka pengadilan yang berwenang adalah pengadilan di negara dimana kecelakaan itu terjadi (jika kecelakaan terjadi di luar wilayah pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian pengiriman). Berkaitan dengan pertanggungjawaban kerugian nuklir, Indonesia bukan termasuk salah satu pihak dalam Konvensi Wina, tetapi di dalam UUK Bab VII telah diatur mengenai pertanggungjawaban kerugian nuklir yang kemudian dijabarkan dan diatur secara lebih rinci di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2009 dan Peraturan Presiden Nomor 74 tahun 2012 tentang Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir. Peraturan terkait pertanggungjawaban kerugian nuklir tersebut nantinya akan dijadikan pedoman dalam rencana pembangunan RDNK. 26

33 BAB III KAJIAN HUKUM DAN PERIZINAN REAKTOR DAYA NON KOMERSIAL 3.1 Kajian Hukum RDNK Latar Belakang Pemanfaatan tenaga nuklir diatur dalam UUK termasuk pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir itu sendiri agar tertib secara hukum dan tidak terjadi perubahan tujuan dalam pemanfaatannya. Dalam rangka pemanfaatan tenaga nuklir di bidang energi, Pemerintah telah melakukan persiapan pra proyek, seperti studi kelayakan tapak dan melakukan sosialisasi manfaat pembangunan PLTN. Hingga saat ini secara kontinyu masih dilakukan pemantauan tapak dan lingkungan yang diperlukan dalam rangka pembangunan PLTN. Sekiranya Pemerintah memutuskan pembangunan PLTN, maka Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah dapat menjadi salah satu pilihan lokasi yang layak. Berhubung hingga saat ini Pemerintah, tidak juga mengambil sikap perlunya PLTN sebagai salah satu pilihan yang memberikan kontribusi dalam pemenuhan kekurangan energi listrik di Indonesia, maka pembangunan PLTN tersebut dapat dikatakan masih sebatas cita-cita saja. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya kewenangan BATAN sesuai dengan UUK dimana BATAN hanya diberi kewenangan melakukan pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning RDNK. Energi nuklir menjadi salah satu opsi yang bisa dipilih untuk mengatasi persoalan krisis energi di tanah air. Di tengah semakin menipisnya sumber energi dari fosil seperti minyak bumi dan batu bara, energi nuklir menjadi alternatif sumber energi terbaik untuk memenuhi kebutuhan hampir 260 juta penduduk Indonesia. Untuk mewujudkan opsi terbaik ini tentu membutuhkan dukungan seluruh stakeholders. Dengan demikian rencana pembangunan PLTN adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari, namun sejalan dengan belum diterimanya secara utuh nilai positif dari rencana pemerintah terhadap pembangunan PLTN oleh sebagian masyarakat, sehingga BATAN mewacanakan gagasan pembangunan RDNK sebagai pilot project agar masyarakat mengetahui bahwa Indonesia telah mampu mengoperasikan reaktor nuklir sebagai pembangkit energi listrik. 27

34 RDNK diharapkan mampu menjadi role model bagi pembangunan PLTN dalam skala kecil sehingga masyarakat nantinya dapat melihat secara objektif, bahwa sesungguhnya PLTN itu adalah teknologi yang aman dan ramah lingkungan. Mengingat betapa sulitnya meyakinkan masyarakat betapa perlunya PLTN dinegeri ini, maka gagasan pembangunan RDNK merupakan terobosan yang harus medapat dukungan dari berbagai pihak, hal mana juga telah diamanatkan dalam amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJMN dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional Sumber Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning RDNK Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari pelaksanaan pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK, sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. 2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. 3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir. 8. Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013 tentang Badan Tenaga Nuklir Nasional. Sumber hukum kewenangan BATAN dalam melakukan pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UUK yang menyatakan: pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning reaktor nuklir non komersial dilaksanakan oleh Badan Pelaksana, yang tidak lain adalah Badan Tenaga Nuklir Nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 29 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir juncto Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013 tentang Badan Tenaga Nuklir Nasional. Pasal 1 angka 29 PP Nomor 2 Tahun 2014 menyatakan, Badan Tenaga Nuklir Nasional yang selanjutnya disebut BATAN adalah Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam UUK, sedangkan 28

35 Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013, menyatakan, Badan Tenaga Nuklir Nasional merupakan Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Terkait kewenangan BATAN dalam melakukan pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK juga dinyatakan lebih tegas lagi yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 yang menyatakan : Pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning reaktor daya nonkomersial atau reaktor nondaya nonkomersial dilaksanakan oleh BATAN. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, BATAN bukan hanya sebagai lembaga yang bertanggung jawab melaksanakan tugas pemanfaatan tenaga nuklir, akan tetapi juga dapat melaksanakan pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK dan reaktor nondaya nonkomersial. Kewenangan pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK dan reaktor nondaya nonkomersial seyogyanya diadopsi dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013 tentang BATAN dan dalam Peraturan Kepala BATAN Nomor 14 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja BATAN, sehingga kedua peraturan pelaksanaan tersebut sejalan dengan tanggung jawab dan tugas yang diamanatkan dalam UUK. Berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud di atas, BATAN sebagai lembaga pemerintah mempunyai kewenangan membangun, mengoperasikan, dan mendekomisioning RDNK untuk kepentingan sendiri (penggunaan utama, cadangan, darurat, sementara) dan tidak untuk diperjualbelikan (komersial). Terkait dengan pengoperasian RDNK, terhadap daya listrik yang dihasilkan, terutama terkait dengan pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik perlu berpedoman pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Adapun dalam hal pemanfaatan listrik yang dihasilkan dari RDNK perlu dilakukan kajian lebih mendalam. Peraturan perundang-undangan lain yang perlu diperhatikan terkait dengan RDNK adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, disebutkan bahwa Sumber energi baru adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara 29

36 tergaskan (gasified coal). Pasal ini secara jelas telah mengakomodasi nuklir sebagai bagian dari sumber energi baru yang harus memperoleh perhatian yang sama dengan sumber energi baru lainnya seperti gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal). 3.2 Perizinan RDNK Dalam rangka pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK, BATAN sebagai Badan Pelaksana harus memiliki izin. Hal ini diatur dalam Pasal 17 ayat (2) jo Pasal 4 ayat (1) UUK yang menyatakan: Pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi nuklir lainnya serta dekomisioning reaktor nuklir wajib memiliki izin. Selanjutnya, Pasal 17 ayat (3) UUK, menyatakan, Syarat-syarat dan tata cara perizinan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sebagai tindak lanjut UUK, Pemerintah telah mengundangkan peraturan pelaksanaan yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir, yang merupakan pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun Pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK, dilaksanakan dalam 5 (lima) tahap yaitu: tahap penentuan tapak, konstruksi, komisioning, operasi dan dekomisioning. Pasal 17 UUK mewajibkan setiap kegiatan atas pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi nuklir lainnya, serta dekomisioning reaktor wajib memiliki izin. Perizinan yang diperlukan dalam rangka pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK, meliputi: 1. Izin Pembangunan meliputi Izin Tapak dan Izin Konstruksi; 2. Izin Pengoperasian meliputi Izin Komisioning dan Izin Operasi; 3. Izin Dekomisioning; 4. Izin Lingkungan; 5. Izin Mendirikan Bangunan yang memiliki fungsi khusus; dan 6. Izin lainnya. Ketentuan perizinan pembangunan (Izin Tapak dan Izin Kontruksi), Pengoperasian dan Dekomisioning diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir. Untuk izin lingkungan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, sedangkan Izin Mendirikan Bangunan fungsi khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah 30

37 Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Izin lainnya meliputi pemanfaatan bahan nuklir dan izin yang dipersyaratkan oleh Pemerintah Daerah setempat. Untuk memperoleh izin pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK perlu memenuhi beberapa persyaratan, yaitu persyaratan administratif, persyaratan teknis dan persyaratan finansial. Khusus untuk persyaratan finansial berlaku untuk badan usaha milik negara, koperasi, dan/atau badan usaha yang berbentuk badan hukum yang mengajukan permohonan izin konstruksi dan komisioning reaktor daya komersial atau reaktor nondaya komersial. Persyaratan Izin RDNK yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk setiap tahap perizinan meliputi persyaratan administratif dan persyaratan teknis. Persyaratan administratif, meliputi: 1. Bukti pendirian badan hukum, untuk BATAN didasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013 tentang Badan Tenaga Nuklir Nasional. 2. Persyaratan lain sesuai peraturan perundang-undangan a) Bukti hak atas tanah; b) IMB fungsi khusus (Kementerian Pekerjaan Umum); c) Sertifikat penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3); d) Izin usaha jasa konstruksi (untuk pihak pelaksana konstruksi); e) Izin terkait Penanaman Modal Asing (untuk pihak pelaksana); f) Sertifikat laik fungsi bangunan dari kepala daerah; dan g) Izin usaha penyediaan tenaga listrik. 3. Kesesuaian dengan penataan ruang (Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW). 4. Bukti pembayaran biaya permohonan izin pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir serta dekomisioning. Persyaratan teknis perizinan RDNK meliputi Izin Tapak, Izin Konstruksi, Izin Komisioning, Izin Operasi, dan Izin Dekomisioning. Persyaratan Teknis Izin Tapak meliputi: 1. Laporan pelaksanaan evaluasi tapak; 2. Laporan pelaksanaan sistem manajemen evaluasi tapak; 3. Daftar Informasi Desain (DID); dan 4. Dokumen yang memuat daftar utama reaktor nuklir 31

38 Persyaratan Teknis Izin Konstruksi meliputi : 1. Laporan Analisis Keselamatan (LAK); 2. Dokumen batasan dan kondisi operasi; 3. Dokumen sistem manajemen; 4. DID; 5. Program proteksi dan keselamatan radiasi; 6. Dokumen sistem safeguards; 7. Dokumen rencana proteksi fisik; 8. Program manajemen penuaan; 9. Program dekomisioning; 10. Program kesiapsiagaan Nuklir; 11. Program konstruksi; dan 12. Izin lingkungan PersyaratanTeknis Izin Komisioning meliputi : 1) LAK; 2) Dokumen batasan dan kondisi operasi; 3) Program komisioning; 4) Program perawatan; 5) Program proteksi dan keselamatan radiasi; 6) Dokumen sistem safeguards; 7) Dokumen rencana proteksi fisik; 8) Dokumen sistem manajemen; 9) Program manajemen penuaan; 10) Program dekomisioning; 11) Program kesiapsiagaan Nuklir; 12) Laporan pelaksanaan izin lingkungan; 13) Laporan pelaksanaan hasil kegiatan konstruksi; dan 14) Gambar teknis reaktor nuklir terbangun. Persyaratan Teknis Izin Operasi meliputi : 1) LAK; 2) Dokumen batasan dan kondisi operasi; 3) Program proteksi dan keselamatan radiasi; 4) Program perawatan; 5) Dokumen sistem safeguards; 32

39 6) Dokumen rencana proteksi fisik; 7) Dokumen sistem manajemen; 8) Program dekomisioning; 9) Program kesiapsiagaan nuklir; dan 10) Laporan pelaksanaan izin lingkungan. Persyaratan Teknis Izin Dekomisioning meliputi : 1) Program dekomisioning; 2) Program proteksi dan keselamatan radiasi; 3) Program kesiapsiagaan nuklir; dan 4) Dokumen sistem manajemen Izin Pembangunan Izin Tapak BATAN (selaku pemohon) akan melakukan evaluasi tapak terpilih dan akan mengajukan aplikasi izin tapak ke BAPETEN sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Sebelum melakukan kegiatan evaluasi tapak, BATAN akan mengajukan dokumen Program Evaluasi Tapak (PET) dan Sistem Manajemen Evaluasi Tapak (SMET) untuk mendapatkan persetujuan BAPETEN. Setelah persetujuan diperoleh maka kegiatan evaluasi tapak dapat dilakukan. Setelah evaluasi tapak selesai dilakukan, maka BATAN menyiapkan dokumen Laporan Evaluasi Tapak (LET), Data Utama Reaktor (DUR), preliminary Design Information Questionaire (DIQ) atau DID (Daftar Informasi Desain), dan dokumen pelaksanaan SMET dalam rangka untuk pengajuan permohonan Izin Tapak. Izin Tapak dikeluarkan setelah mendapat Izin Lingkungan Izin Konstruksi Pemegang Izin Tapak harus memperoleh persetujuan desain dari Kepala BAPETEN sebelum mengajukan permohonan izin Konstruksi. Pemegang Izin Tapak untuk memperoleh persetujuan desain harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala BAPETEN dan melampirkan dokumen: a. Desain Rinci Reaktor Nuklir; dan b. LAK. Setelah mendapatkan persetujuan desain maka tahap selanjutnya adalah mengajukan permohonan Izin Konstruksi. Untuk melaksanakan permohonan izin 33

40 konstruksi atau tahap pembangunan RDNK, BATAN menyiapkan dokumen terkait proses Izin Konstruksi, antara lain LAK, desain rinci reaktor, program konstruksi, DID, Preliminary Protection System, Sistem Manajemen, dan Izin Lingkungan berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) Izin Pengoperasian Izin Komisioning Pemegang Izin Konstruksi dapat mengajukan permohonan izin Komisioning kepada Kepala BAPETEN: a. pada saat memulai pelaksanaan uji fungsi struktur, sistem, dan komponen reaktor nuklir tanpa bahan nuklir; b. setelah memiliki izin pemanfaatan bahan nuklir; dan c. setelah memiliki surat izin bekerja bagi petugas instalasi nuklir dan bahan nuklir. Pemegang Izin Konstruksi untuk memperoleh izin Komisioning harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala BAPETEN dan melampirkan dokumen: a. persyaratan administrative; dan b. persyaratan teknis. Dokumen yang diajukan untuk aplikasi Izin Komisioning meliputi program komisioning, laporan kegiatan konstruksi, dokumen gambar teknis (as built drawing) RDNK, sistem safeguard dan proteksi nuklir, program kesiapsiagaan darurat nuklir, sistem manajemen komisioning, laporan pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan (implementasi Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup/RKL-RPL) selama konstruksi, jaminan keuangan untuk ganti kerugian akibat kecelakaan nuklir, dan jaminan keuangan untuk dekomisioning Izin Operasi Pemegang Izin Komisioning dapat mengajukan permohonan izin operasi secara tertulis kepada Kepala BAPETEN pada saat pelaksanaan Komisioning dengan melampirkan dokumen: a. persyaratan administratif; dan b. persyaratan teknis. 34

41 Izin Operasi akan diberikan setelah BATAN memenuhi persyaratan; kegiatan komisioning telah selesai dilakukan, mendapatkan izin penggunaan bahan nuklir dan izin operator reaktor. Selain persyaratan tersebut diperlukan juga persetujuan kebijakan operasi dan prinsip-prinsip operasi, program rencana dan prosedur kedaruratan nuklir Izin Dekomisioning Dekomisioning adalah suatu kegiatan untuk menghentikan beroperasinya reaktor nuklir secara tetap, antara lain, dilakukan pemindahan bahan bakar nuklir dari teras reaktor, pembongkaran komponen reaktor, dekontaminasi, dan pengamanan akhir. Pemegang Izin Operasi wajib mengajukan permohonan Izin Dekomisioning secara tertulis dengan melampirkan persyaratan administratif dan teknis kepada Kepala BAPETEN apabila: a. Izin Operasi akan berakhir dan Pemegang Izin Operasi tidak berkehendak untuk mengajukan perpanjangan Izin Operasi, diajukan paling singkat 3 (tiga) tahun sebelum izin operasi berakhir; b. permohonan perpanjangan Izin Operasi ditolak oleh Kepala BAPETEN apabila reaktor nuklir sudah tidak memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pernyataan penolakan perpanjangan Izin Operasi diterbitkan; c. Pemegang Izin Operasi hendak menghentikan kegiatan operasi sebelum Izin Operasi berakhir paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Pemegang Izin Operasi memutuskan untuk menghentikan kegiatan operasi; dan d. terjadi kecelakaan yang menyebabkan reaktor nuklir wajib dilakukan dekomisioning paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pernyataan penanggulangan kedaruratan nuklir berakhir. 35

42 Gambar 1 Diagram Proses Perizinan RDNK. 36

43 Gambar 2 Diagram Proses Perizinan RDNK (Lanjutan) 37

44 3.3 Izin Lingkungan Umum Rencana pembangunan dan pengoperasian RDNK tergolong usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal untuk reaktor daya semua kapasitas (Lampiran I, Huruf M Bidang Ketenaganukliran, angka 1 huruf a, Peraturan MENLH No. 05 Tahun 2012). Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan ini bersifat strategis dan merupakan kewenangan MENLH yang menilai Amdalnya, yakni dilakukan oleh Komisi Penilai Amdal Pusat (Lampiran II, Huruf F Bidang Ketenaganukliran, angka 1 huruf a, Peraturan MENLH No. 08 Tahun 2013). Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dokumen Amdal memuat: a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan; c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan; d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan; e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan f. rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib Amdal diwajibkan memiliki izin lingkungan. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Pada dasarnya proses penilaian Amdal atau permeriksaan UKL- UPL merupakan satu kesatuan dengan proses permohonan dan penerbitkan izin lingkungan (Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan). Jadi izin lingkungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari persyaratan izin 38

45 pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 3 Persyaratan Izin Pembangunan dan Pengoperasian Reaktor Nuklir Untuk menghasilkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, berikut tahapan tata kelola izin lingkungan. 1. Permohonan dan penerbitan izin lingkungan. Tata kelola izin lingkungan baik ditandai dengan proses permohonan dan penerbitan izin lingkungan dilakukan sesuai dengan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) sistem kajian dampak lingkungan. 2. Proses pelaksanaan izin lingkungan dan pelaporan Pelaksanaan Izin Lingkungan. Pemegang izin wajib melaksanakan berbagai persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam izin lingkungan, melakukan continuous improvement dalam pelaksanaan izin lingkungan serta melaporkannya secara regular/berkala. 39

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 23, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3676) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketenaganukliran menyangkut kehidupan dan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 106, 2006 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4668) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketenaganukliran

Lebih terperinci

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014 BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014 BUKU III Biro Peraturan Perundang-undangan, Humas dan Tata Usaha Pimpinan BKPM 2015 DAFTAR ISI 1. PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam pemanfaatan sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketenaganukliran menyangkut kehidupan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

Peraturan Ketenaganukliran

Peraturan Ketenaganukliran Pendahuluan: Peraturan Ketenaganukliran Undang-Undang No. 31 Tahun 1964 Tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom: Menunjuk Badan Tenaga Atom Nasional sebagai Badan Pelaksana dan pengawas Tenaga Atom BATAN Badan

Lebih terperinci

2012, No Instalasi Nuklir, Reaktor Nuklir, dan Bahan Nuklir adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Keten

2012, No Instalasi Nuklir, Reaktor Nuklir, dan Bahan Nuklir adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Keten LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.107, 2012 NUKLIR. Instalasi. Keselamatan. Keamanan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5313) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 12-1972 dicabut: PP 29-2008 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 137, 2000 IPTEK.Badan.Instalasi.Perizinan.Pemanfaatan.Tenaga Nuklir.

Lebih terperinci

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 27/2002, PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF *39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 10

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4202) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 2007 LINGKUNGAN HIDUP. Tenaga Nuklir. Keselamatan. Keamanan. Pemanfaatan. Radioaktif. Radiasi Pengion.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 10

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.389, 2015 BAPETEN. Reaktor Nondaya. Keselamatan. Penilaian. Verifikasi. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN KESELAMATAN REAKTOR NONDAYA

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN KESELAMATAN REAKTOR NONDAYA KP PERKA- 24 OKT 2014 RANCANGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN KESELAMATAN REAKTOR NONDAYA DIREKTORAT PENGATURAN PENGAWASAN INSTALASI DAN BAHAN NUKLIR BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

Lebih terperinci

Nuklir sebagai Energi Pedang Bermata Dua. Sarah Amalia Nursani. Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya

Nuklir sebagai Energi Pedang Bermata Dua. Sarah Amalia Nursani. Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Nuklir sebagai Energi Pedang Bermata Dua Sarah Amalia Nursani Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya PAPER Nuklir sebagai Energi Pedang Bermata Dua Sarah Amalia Nursani Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGAWASAN TERHADAP LIMBAH RADIOAKTIF

KEBIJAKAN PENGAWASAN TERHADAP LIMBAH RADIOAKTIF KEBIJAKAN PENGAWASAN TERHADAP LIMBAH RADIOAKTIF Prof. Dr. Jazi Eko Istiyanto, M.Sc. Kepala BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR Jl. Gajah Mada 8 Jakarta 10120 Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah XII

Lebih terperinci

PENGAWASAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR DALAM BIDANG ENERGI

PENGAWASAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR DALAM BIDANG ENERGI Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir PENGAWASAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR DALAM BIDANG ENERGI BAPETEN Sukarman Aminjoyo Badan Pengawas Tenaga Nuklir ( BAPETEN ) Jl. Gajah Mada No. 8 Jakarta INDONESIA http/www.bapeten.go.id.

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran,

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5518 PENGESAHAN. Konvensi. Penanggulangan. Terorisme Nuklir. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2014 Nomor 59) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

2015, No Tenaga Nuklir tentang Penatalaksanaan Tanggap Darurat Badan Pengawas Tenaga Nuklir; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 te

2015, No Tenaga Nuklir tentang Penatalaksanaan Tanggap Darurat Badan Pengawas Tenaga Nuklir; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 te BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.234, 2015 BAPETEN. Tanggap Darurat. Penatalaksanaan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENATALAKSANAAN TANGGAP DARURAT BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undangundang

Lebih terperinci

2 Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir tentang Keamanan Sumber Radioaktif; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (L

2 Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir tentang Keamanan Sumber Radioaktif; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (L BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.654, 2015 BAPETEN. Radioaktif. Sumber. Keamanan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat terbatas, oleh karenanya Jepang melakukan terobosan inovasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. sangat terbatas, oleh karenanya Jepang melakukan terobosan inovasi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan industri pada suatu negara tidak terlepas dari ketersediaan sumber daya energi yang memadai, Jepang misalnya memiliki sumber daya alam yang sangat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.86, 2014 BAPETEN. Dokumen Analisis. Dampak Lingkungan. Ketenaganukliran. Penyusunan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PENYUSUNAN

Lebih terperinci

2013, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang

2013, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.152, 2013 LINGKUNGAN HIDUP. Limbah. Radioaktif- Tenaga Nuklir. Pengelolaan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5445) PERATURAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR U M U M Pemanfaatan tenaga nuklir telah berkembang pesat dan secara luas di berbagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2000 Tentang : Perijinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir

Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2000 Tentang : Perijinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2000 Tentang : Perijinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI YANG BERISIKO TINGGI DAN BERBAHAYA

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Limbah Radioaktif

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI YANG BERISIKO TINGGI DAN BERBAHAYA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI YANG BERISIKO TINGGI DAN BERBAHAYA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Limbah Radioaktif yang

Lebih terperinci

2016, No Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 1 Tahun 2010 tentang Kesiapsiagaan dan Penanggulangan Kedaruratan Nuklir; 5.

2016, No Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 1 Tahun 2010 tentang Kesiapsiagaan dan Penanggulangan Kedaruratan Nuklir; 5. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2040, 2016 BATAN. Nuklir. Program Kesiapsiagaan. Penanggulangan Kedaruratan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PROGRAM

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI ADMINISTRASI. Instansi Nuklir. Bahan Nuklir. Perizinan. Pemanfaatan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 8) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI YANG BERISIKO TINGGI

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya energi merupakan kekayaan alam sebagaimana

Lebih terperinci

Ruang Lingkup Perizinan Instalasi dan Bahan Nuklir meliputi:

Ruang Lingkup Perizinan Instalasi dan Bahan Nuklir meliputi: Ruang Lingkup Perizinan Instalasi dan Bahan Nuklir meliputi: Izin pembangunan dan Pengoperasian termasuk dekomisioning reaktor nuklir Izin pembangunan dan Pengoperasian Instalasi Nuklir Non Reaktor Izin

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR I. UMUM Pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia meliputi berbagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UPAYA/TINDAKAN HUKUM DALAM PENGAWASAN KEGIATAN PEMANFAATAN KETENAGANUKLIRAN : Preventif, Represif dan Edukatif

UPAYA/TINDAKAN HUKUM DALAM PENGAWASAN KEGIATAN PEMANFAATAN KETENAGANUKLIRAN : Preventif, Represif dan Edukatif UPAYA/TINDAKAN HUKUM DALAM PENGAWASAN KEGIATAN PEMANFAATAN KETENAGANUKLIRAN : Preventif, Represif dan Edukatif Amil Mardha Direktorat Peraturan Keselamatan Nuklir Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN)

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NUCLEAR ENERGY REGULATORY AGENCY BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR Jl. Gajah Mada 8, Jakarta-10120, Telp.021-638 582 69-70, Fax: 021-638 566 13 Homepage: www.bapeten.go.id E-mail:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sumber daya energi merupakan kekayaan alam sebagaimana

Lebih terperinci

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH DAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH DAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH DAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG,

Lebih terperinci

Kebijakan Pengawasan Ketenaganukliran

Kebijakan Pengawasan Ketenaganukliran Kebijakan Pengawasan Ketenaganukliran Jazi Eko Istiyanto Kepala BAPETEN Jakarta, 12 Agustus 2015 Definisi Ketenaganukliran adalah hal yang berkaitan dengan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang :

Lebih terperinci

KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNTUK PROGRAM PEMBANGUNAN PLTN

KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNTUK PROGRAM PEMBANGUNAN PLTN KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNTUK PROGRAM PEMBANGUNAN PLTN Ferhat Aziz, Yaziz Hasan Biro Kerja Sama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat, BATAN, Jalan Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN Penelitian merupakan sarana pokok pengembangan ilmu pengetahuan, karena penelitian bertujuan mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Sistematis berarti

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya energi merupakan kekayaan alam sebagaimana

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : PRESIDEN RUPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya energi

Lebih terperinci

KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PROGRAM PEMBANGUNAN PLTN

KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PROGRAM PEMBANGUNAN PLTN KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PROGRAM PEMBANGUNAN PLTN Ferhat Aziz dan Yaziz Hasan Biro Kerja Sama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat BATAN Jalan Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan,

Lebih terperinci

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM,

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN 2.1. Sejarah Singkat Organisasi Tahun 1954 1957 : Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktif: Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktif dilatarbelakangi oleh adanya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB I TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN

BAB I TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN 1 BAB I TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN 1.1 LATAR BELAKANG PERUSAHAAN Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir (PTBBN) merupakan salah satu unit kerja di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) di bawah deputi bidang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.844, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BATAN. Unit Kerja. Rinvian Tugas. Perubahan. PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN ROTTERDAM CONVENTION ON THE PRIOR INFORMED CONSENT PROCEDURE FOR CERTAIN HAZARDOUS CHEMICALS AND PESTICIDES IN INTERNATIONAL TRADE

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci