Kemandirian Dalam Beramal dan Memilih Pemimpin

Ukuran: px

Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kemandirian Dalam Beramal dan Memilih Pemimpin"

Agus Sudjarwadi
5 tahun lalu
Tontonan:

1 Kemandirian Dalam Beramal dan Memilih Pemimpin Oleh : H.M. Sazli Nasution MANUSIA diciptakan dari tanah, dari diri yang satu yakni Nabi Adam Alaihissalam. Kemudian diciptakan pula istrinya Hawa dari pasangan itu berkembanglah manusia, bertebaran di permukaan bumi. Dan hal itu merupakan bukti keberadaan dan kekuasaan Allah SWT, sesuai Firman-Nya dalam QS. Ar-Rum ayat : 20 : Artinya : Dan diantara tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan-nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah dan kamu menjadi manusia yang terus bertebaran (di muka bumi). Sebagai makhluk sosial, setiap manusia tidak bisa hidup sendiri. Memang tabiatnya untuk berinteraksi dengan orang lain di atas dunia ini, sejak dulu, sekarang dan akan datang, bahkan sampai datang hari kiamat. Namun pada hari kiamat tak ada lagi transaksi jual beli dan sejenisnya, tak ada lagi hubungan persahabatan, tidak bisa lagi saling menolong. Kondisi seperti ini antara lain disebutkan dalam QS Al Baqarah : 254, Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian rezeki yang kami berikan kepadamu, sebelum datang hari Kiamat yakni hari ketika tidak ada lagi transaksi jual beli, tak ada lagi persahabatan, tidak bisa lagi saling menolong. Dipahami dari ayat ini bahwa setiap orang harus cerdik, harus cerdas memanfaatkan waktu hidup di dunia untuk persiapan akhirat. Hal ini akan tampak lebih jelas lagi dengan hadis Nabi Saw diriwayatkan Ibnu Majah berasal dari Ibnu Umar. Pada suatu hari seorang Anshor mendatangi Rasulullah Muhammad S.A.W, Setelah memberi salam ia lalu bertanya : Ya Rasulullah. Siapakah orang yang paling utama, jawab Rasulullah orang akhlaknya bagus. Lelaki itu bertanya lagi siapa yang muslim yang paling cerdik, Rasulullah S.A.W menjawab, orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Merekalah orang yang cerdik. Di dunia, kaum muslimim menjadi kuat sebagai suatu umat, gabungan pribadi-pribadi muslim dengan berbagai status sosialnya. Setiap muslim dibebani tugas yang disebut dalam istilah fikih fardhua in (kewajiban perorangan) dan fardhu kifayah (kewajiban Ijtimaiyah).

2 Bergabung sebagai umat, misalnya ia dibebani tugas untuk terus menerus melaksanakan amar makruf nahi mungkar, saling menasehati tentang kebenaran dan kesabaran dan lain sebagainya. Semua bersumber dari Al-Qur an dan Hadis Rasulullah Saw. Namun tugas itu tidak ringan. Akan ada selalu tantangan untuk menyimpang dari ajaran Allah SWT. Ini antara lain diingatkan dalam QS Al Insan ayat : 24, Maka bersabarlah melaksanakan hukum Tuhanmu dan jangan engkau patuhi orang yang berbuat dosa dan orang yang kafir diantara mereka. Dipahami dari ayat ini bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap individu berpotensi mendapat ajakan orang lain untuk berbuat maksiat, mungkin secara berjamaah, bahkan sampai kepada tingkat kekafiran jika berteman dengan orang kafir. Ini semua dimungkinkan karena terlalu mementingkan nikmat dunia dan melupakan hari yang sungguh berat dihadapi yakni hari akhirat, sesuai Firman Allah dalam QS Al Insan Ayat : 27, Artinya : Sesungguhnya mereka mencintai kehidupan yang sifatnya sementara, masa sekarang saja, lupa di depan menanti hari akhirat yang sangat berat dihadapi. Pertanggungjawaban bersifat pribadi Sebagai individu memang kaum muslimin dibebani taklif, tugas atau kewajiban sejak dilingkungan keluarga, masyarakat, dalam berbangsa dan bernegara. Namun kelak di akhirat yang dihadapi adalah pertanggungjawaban yang bersifat pribadi. Inilah yang dimaksudkan dengan kemandirian dalam beramal. Jenis apapun pekerjaan yang kita lakukan, harus ikut kita pertimbangkan akibatnya terhadap pertanggungjawaban kita dihadapan Allah kelak di yaumil akhir. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur an Surah An An am ayat : 94, Artinya : Kamu akan didatangkan kehadapan Kami yakni Allah SWT di hari akhirat, sendiri-sendiri sebagaimana awal kamu diciptakan, Kamu tinggalkan dibelakangmu atau di dunia segala apa yang kami karuniakan kepadamu, Kami melihat tak ada menyertaimu pemberi syafaat/pertolongan kepadamu yang kamu anggap mereka itu sekutu-sekutu bagi Allah. Sungguh telah putus semua hubungan kamu dan lenyap semua apa yang kamu sangka dapat member pertolongan.

3 Ketika menafsirkan ayat ini, penafsir Iran Aththabathabai dalam Al Mizan menyebutkan tinggallah di dunia harta, keluarga, teman dan lain sebagainya. Hilang segala kenikmatan dunia yang melupakannya terhadap adanya hari pembalasan di akhirat. Memang dunia diciptakan dengan berbagai kondisi yang dapat melalaikan manusia dengan pesta pora, berfoya-foya misalnya dengan harta hasil kejahatan dan lain sebagainya. Dalam QS Al Ankabut ayat : 64 misalnya : Wa ma hadzihil hayatuddunya illa lahwun wa la ibun. Mari kita waspadai ajakan hawa nafsu atau godaan syetan terhadap diri kita dan godaan orang lain untuk durhaka terhadap Allah SWT. Fenomena yang dapat kita lihat di dunia ini seorang ayah pada jabatan puncak bisa mendukung anak, istri, ipar, kerabat, teman dekat untuk memperoleh kedudukan-kedudukan penting dalam suatu Negara. Namun nanti di akhirat tak aka nada lagi pertolongan semacam itu. Membela yang salah bisa dimungkinkan terjadi di dunia tapi di pengadilan akhirat, tidak bisa lagi. Memilih Dengan Kemandirian Beramal Sebentar lagi kita akan memilih pemimpin-pemimpin pada tingkat provinsi mari kita gunakan hak pilih kita, juga dengan landasan kemandirian beramal. Kepada pemimpin kabilah Arab Nabi S.A.W berpesan tentang beratnya tugas para pemimpin yang mengurusi masyarakat yang dipimpinnya, jika menyalah maka ancamannya adalah neraka. Dalam sebuah hadis diriwayatkan Abu Daud Rasulullah S.A.W bersabda : Sesungguhnya para pemimpin itu suatu hak maksudnya peranannya dapat membawa manfaat dan kemaslahatan bagi masyarakat dalam mengatasi urusan-urusan mereka. Memang masyarakat harus mempunyai pemimpin. Namun Rasulullah memperingatkan bahwa para pemimpin sebenarnya berada dalam ancaman nereka. Maksudnya kepemimpinan dapat mendatangkan fitnah, bencana baik kepada dirinya maupun masyarakat, jika tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Salah satu syarat penting seorang pemimpin adalah kejujuran, justru kaum muslimin dianjurkan untuk bergabung, bersekutu dengan orang-orang yang jujur. Allah SWT berfirman

4 dalam QS Attaubah : 119, Artinya : Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah SWT dan hendaklah kamu berada bersama orang yang siddiq, yang jujur. Ulama Timteng Dr Mustafa Al Bugha dan teman-temannya dalam Nuzhatul Muttaqin, suatu kitab Syarh atau penjelasan terhadap Riyadhussholihin karya Imam Nawawi menyebutkan, para ulama mendefinisikan Asshiddiqin sebagai kejujuran yakni bersesuaian antara pembicaraan dengan realitasnya. Sedangkan sebaliknya adalah kebohongan. Kesesuaian antara lahir dan bathin. Lebih jelas lagi kejujuran adalah kesesuaian amal dengan perintah syariat. Saat pencitraan calon pemimpin boleh-boleh saja memberikan berbagai bantuan dan menebar janji. Tapi dihadapan Allah segala perkataan yang baik, yang muluk-muluk itu baru dicatat mendapat ganjaran pahala jika diiringi dengan amal sholeh sesuai Firman Allah dalam QS Fathir ayat : 10, Artinya : Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka disisi Allah semua kemuliaan, baik kemuliaan di dunia maupun di akhirat. Kepadanya diangkat pahala perkataan yang baik ( kalimah thayyibah) yang diiringi amal sholih. Dan orang-orang yang merencanakan dan berbuat jahat akan mendapat siksa yang pedih. Penafsir kontemporer Arab Saudi, Assa di dalam kitab tafsirnya mengatakan, siapa yang ingin kemuliaan, patuhlah kepada Allah, Kepada Allah diangkat segala kalimah thayyibah seperti qiraah, zikir, tahmid, tahlil, wa kullu kalamin hasanin, thayyibin, semua perkataan yang baik, yang menyejukkan hati. Tentunya termasuk pula ucapan-ucapan baik berupa janji untuk memperoleh suatu kemuliaan, di dunia jika diwujudkan, diiringi dengan realitas yang akan berstatus amal sholih sesuai dengan niat ikhlas mencari ridha Allah, akan membawa pula kemuliaan disisi Allah di yaumil akhir kelak. Tapi bila sebaliknya yang terjadi, ada maker, perencanaan berbuat jahat. Tidak satu kata dengan perbuatan, maka kehinaanlah yang akan diterima di mata masyarakat ketika hidup di dunia. Ditambah dengan adzabun syadid, azab yang penuh, ghayatul ihanah, puncak kehinaan di hari akhirat. Mari nanti kita pilih pemimpin yang jujur, adil, memberikan perhatian penuh kepada jaminan kesehatan rakyat, pendidikan, perekonomian, mendukung semakin terjaminnya keamanan, membasmi semua jenis kemaksiatan, mendorong peningkatan pengalaman ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari dan hal-hal positif lainnya.

5 Kita melakukan pilihan dengan prinsip kemandirian beramal. Semoga Allah SWT meridhai-nya.-**

dokumen-dokumen yang mirip

Standar Kompetensi : 3. Membiasakan perilaku terpuji.

Standar Kompetensi : 3. Membiasakan perilaku terpuji. Kompetensi Dasar: 3.1. Menjelaskan pengertian adil, perintah berbuat adil, dan pentingnya berbuat adil 3.2. Menjelaskan pengertian ridha, perintah