BAB III. Analisis Terhadap Tanggungjawab Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana. Pembakaran Hutan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Pertanggungjawaban Perusahaan dalam Kasus Lingkungan Hidup. Dewi Savitri Reni (Vitri)

BAB IV. Pasal 46 UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 1983/49, TLN 3262]

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191]

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai tiga arti, antara lain : 102. keadilanuntuk melakukan sesuatu. tindakansegera atau di masa depan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059]

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

BAB IV. A. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh dalam Putusan No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO tentang Tindak Pidana Pembakaran Lahan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pasal 5: Setiap orang dilarang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lex et Societatis, Vol. V/No. 3/Mei/2017

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

II. TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

BENCANA LINGKUNGAN PASCA TAMBANG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pasal 48 yang berbunyi :

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN. Oleh: Esti Aryani 1 Tri Wahyu Widiastuti 2. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Sumber Daya Alam. Satuan Tugas. Organisasi. Tata Kerja. Pencabutan.

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB IV. Tinjauan Hukum Terhadap Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi. Pada Kasus Pembakaran Hutan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

BAB I PENDAHULUAN. Era modernisasi saat ini, kejahatan sering melanda disekitar lingkungan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

Transkripsi:

BAB III Analisis Terhadap Tanggungjawab Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Pembakaran Hutan Terdapat beberapa bentuk kejahatan korporasi, yang salah satunya di bidang lingkungan hidup yaitu dalam bidang kehutanan. Selama 20 tahun terakhir ini kejadian kebakaran atau pembakaran hutan sering terjadi dan menimbulkan banyak sekali kerugian serta keresahan baik di dalam negeri maupun sampai ke negeri tetangga. Kebakaran hutan terparah terjadi pada tahun 2013 dan menghasilkan tingkat polusi terburuk di kawasan Asia Tenggara. Kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap tebal itu terutama berasal dari hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan, lokasi yang sering digunakan oleh industri pulp, kertas dan kelapa sawit. Dalam laporan yang disusun oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Bambang Hendroyono dan dimuat dalam sebuah artikel tertanggal 9 September 2015 1 dinyatakan bahwa dari 10 perusahaan yang di wilayah konsesinya terjadi kebakaran hutan itu, ada 5 perusahaan yang diduga berperan dalam pembakaran hutan di Riau, 2 perusahaan di Jambi, dan 3 perusahaan di Kalimantan Tengah. Semua perusahaan itu bergerak di bidang perkebunan dan hutan tanaman. Tidak adanya pengaturan hukum mengenai kedudukan dan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana serta hukum acara 1 http://www.dw.com/id/10-perusahaan-dituding-ikut-memicu-kebakaran-hutan/a-18704576, diakses pada 19 Maret 2017 pukul 20.14 WIB 1

mengakibatkan timbulnya multitafsir dan pemikiran yang saling berbeda diantara aparat penegak hukum. Hal ini mengakibatkan dalam proses penyidikan dan sampai penuntutan jarang sekali memasukkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, bahkan tidak sedikit juga jaksa dalam dakwaannya tidak mencantumkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dengan dalih pengurus korporasi sudah dipidana, sudah membayar denda, dan uang pengganti, sehingga korporasi dibiarkan bebas karena kasusnya dianggap selesai. Bagian analisis ini hendak membahas tentang aspek-aspek yang terkait dengan tanggung jawab korporasi dalam tindakan pembakaran hutan, sebagaimana terjadi menurut laporan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan di atas. 3.1 Korporasi Dalam lima kasus yang disebutkan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan korporasi merupakan pelaku pembakaran hutan yang terjadi dalam 20 tahun terakhir ini. Tindakan dengan sengaja membakar hutan bertujuan untuk membuka lahan-lahan baru untuk memperluas area lahan perkebunan. Pembakaran selain dianggap mudah dan murah juga menghasilkan bahan mineral yang siap diserap oleh tumbuhan. Namun, banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar di atas lahan akhirnya akan menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang luas. 2

Korporasi merupakan suatu fiksi hukum 2, karena ia bukanlah orang / manusia pribadi yang dapat bergerak sesuai kemauannya sendiri. Ia tidak memiliki bentuk nyata seperti fisik seorang manusia. Namun ia dapat mengadakan aktivitas sebagai seorang pribadi, seperti membuat transaksi dalam bidang perdagangan dan keuangan, membayar pajak dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan pendapat A.Z. Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realita sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu. Korporasi dalam perkembangan hukum di Indonesia, diakui kedudukannya sebagai suatu badan hukum. Artinya, ia dapat dijadikan sebagai subjek hukum, baik dalam konteks hukum perdata maupun hukum pidana. RUU KUHP 2004, 3 misalnya, mengadopsi pendirian untuk menjadikan korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Hal itu dapat dilihat dari bunyi Pasal 47. yang menyebutkan, korporasi merupakan subjek tindak pidana. Dalam hal ini korban dari tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi tersebut dapat berupa orang, atau orang-orang dan/atau korporasi, atau korporasi-korporasi lain. 4 Memperhatikan rumusan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagaimana dimaksud dalam RUU KUHP tersebut, terlihat bahwa: (1) penegasan korporasi sebagai subjek tindak pidana dirumuskan dalam Pasal 44; (2) Penentuan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan dirumuskan dalam 2 JE Sahetapy, Kejahatan Korporasi, PT Eresco, Bandung, 1994, h. 32. 3 Lihat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, 2004. 4 JE Sahetapy, op.cit, h. 41. 3

Pasal 45; (3) Penentuan kapan korporasi dapat dipertanggungjawabkan dirumuskan dalam Pasal 46; (4) Penentuan kapan pengurus dapat dipertanggungjawabkan dirumuskan dalam Pasal 47; (5) Penentuan pidana sebagai ultimum remidium bagi korporasi dirumuskan dalam Pasal 48; dan (6) Penentuan alasan pembenar dan pemaaf bagi korporasi dirumuskan dalam Pasal 49. 5 Kasus pembakaran hutan oleh PT. Kallista Alam, putusan Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO dalam pertimbangan hakim mengenai korporasi yang dimintai pertanggungjawabannya dinilai sebagai berikut: Unsur setiap orang mengandung arti yakni adalah orang atau badan hukum selaku subyek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban yang dapat melakukan perbuatan hukum dan dapat pula mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dipergunakan terminologi baru yaitu setiap orang, yang didalam ketentuan umum dinyatakan bahwa setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi, sehingga dengan demikian sudah barang tentu harus ada orang / manusia sebagai subjek hukum yang didakwa melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan undang-undang. Dalam hal ini dibuktikan dengan terdakwa yang bernama PT. Kallista Alam yang diwakili oleh Subianto Rusyid sebagai direkturnya. Dan berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1398 K/Pid/1994, yang dimaksud dengan setiap orang adalah sama dengan terminologi 5 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, 2003, h. 231-233. 4

kata barang siapa adalah setiap orang atau pribadi yang merupakan subyek hukum yang melakukan suatu perbuatan pidana atau subyek pelaku daripada suatu perbuatan pidana yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakannya. Dengan ini PT. Kallista Alam memenuhi unsur setiap orang. Majelis hakim menilai bahwa oleh karena terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, dan hakim tidak menemukan adanya alasan pembenar ataupun pemaaf yang dapat menghapus kesalahan dan perbuatan yang telah dilakukannya, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman yang setimpal dengan kesalahannya karena peristiwa ini berdampak pada kerugian yang diderita masyarakat dan negara. 3.2 Perbuatan Pidana Korporasi sebagai subjek hukum juga dianggap dapat melakukan tindakantindakan yang memenuhi kualifikasi hukum pidana. Di antaranya unsur-unsur tindak pidana tersebut adalah: a. perbuatan yang memenuhi undang-undang; b. sifat melawan hukum; dan, c. tidak ada alasan pemaaf. Disebutkan dalam bab Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 8 Perma No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, Tindak Pidana oleh Korporasi adalah tindak pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi sesuai dengan undang-undang yang mengatur tentang korporasi. 5

Dalam hal ini tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah melakukan kesalahan dengan tindakan membakar hutan. Tindakan pembakaran hutan ini dilakukan dengan sengaja untuk membuka sebuah lahan sebagai lahan perkebunan ataupun memperluas lahan perkebunannya. Dengan alasan jika dengan cara membakar itu akan diperoleh tanah yang mempunyai ph yang bagus. Tindakan yang seperti ini jelas dilarang, karena ini suatu bentuk kesengajaan yang bersifat melawan hukum. Menurut Leden Marpaung tindakan pembakaran hutan ini merupakan salah satu jenis tindak pidana kejahatan. 6 Yang termasuk perbuatan melawan hukum, yang digolongkan sebagai tindak pidana menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1985, tepatnya pada pasal 18 dan Pasal 40 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990, dibagi 2 (dua) macam perbuatan pidana, yakni apa yang tergolong dalam : a. Kejahatan. b. Pelanggaran. Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya dimana dalam penjelasannya disebutkan bahwa Kewajiban melindungi hutan oleh pemegang izin meliputi pengamanan hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak, dan kebakaran. Selain itu Kebakaran Hutan dan Lahan diatur dalam Pasal 49 s/d 50 sebagai berikut : 6 Leden Marpaung, Op. Cit. Hal. 30. 6

1. Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. 2. Setiap orang dilarang membakar hutan. Penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Pasal 50 ayat (3) huruf d : Pada prinsipnya pembakaran hutan dilarang. Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Sebagai subjek hukum, korporasi juga berpotensi melakukan pembakaran hutan yang memenuhi unsur umum setiap orang atau barang siapa dalam rumusan tindak pidana. Khususnya dalam tindak pidana pembakaran hutan, ketentuan yang juga relevan mengatur tindak pidana oleh korporasi adalah Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang Kehutanan yang secara jelas menegaskan tanggungjawab bagi pemegang hak atau izin dalam hal terjadi kebakaran hutan di wilayahnya. Menurut Undang-undang Kehutanan, pemegang hak atau izin ini mencakup pula korporasi. Selain itu, Pasal 49 dan Pasal 50 juga mengisyaratkan bahwa korporasi tidak harus menjadi pihak yang aktif melakukan pembakaran. Bahkan kalaupun dilakukan oleh pihak lain, asal pembakaran terjadi di dalam areal hak atau izin suatu korporasi, korporasi tersebut tetap harus memikul tanggung jawab hukum. 3.3 Representasi Korporasi Oleh Organ Korporasi Sebagaimana kita ketahui, korporasi merupakan entitas yang bersifat abstrak. Tidak mungkin menjatuhkan sanksi pidana ke sebuah korporasi berupa pidana 7

penjara, sehingga konsekwensinya adalah tidak mungkin menuntut suatu korporasi sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan suatu undang-undang pidana apabila dalam undang-undang tersebut ditentukan bahwa sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku pidana adalah kumulasi pidana penjara dan pidana denda. Dengan kata lain korporasi hanya mungkin dituntut dan dijatuhi pidana apabila sanksi pidana penjara dan pidana denda di dalam undang-undang itu ditentukan sebagai sanksi pidana yang bersifat alternative (artinya dapat dipilih oleh hakim). Namun perkembangan kaedah hukum pidana Indonesia terhadap koporasi, dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana 7 atau dapat dikatakan sebagai subjek hukum pidana dengan memperlakukan korporasi seperti manusia (natuurlijk persoon) 8 dan membebani pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dibuat oleh korporasi, sejalan dengan asas hukum bahwa siapa pun sama dihadapan hukum (principle of eqality before the law). Dalam Undang-Undang Kehutanan dalam pasal 78 ayat (14) disebutkan, Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing -masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam RUU KUHP 2004 pasal 49 menyatakan jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Adapun pasal 50 konsep 7 Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059). 8 M. Haryanto, Refleksi Ilmu Hukum: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Individualisasi Pidana, Edisi Oktober 2012, FH-UKSW. 2012, h. 191. 8

rancangan KUHP menyatakan bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usaha sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain. 9 Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi (lihat pasal 51 Konsep Rancangan KUHP). Adapun pasal 52 ayat (1), Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi. Ayat (2), Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim. Selain itu dalam Pasal 15 Perma No. 13 Tahun 2016 menjelaskan bahwa: 1. Dalam hal Korporasi diajukan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara yang sama dengan Pengurus, maka Pengurus yang mewakili Korporasi adalah Pengurus yang menjadi tersangka atau terdakwa. 2. Pengurus lainnya yang tidak menjadi tersangka atau terdakwa dapat mewakili Korporasi dalam perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dengan ini diketahui korporasi dalam melakukan suatu tindakan pidana dan diajukan sebagai tersangka atau terdakwa, maka pengurusnya yang mewakili korporasi tersebut. 3.4 Bentuk-Bentuk Pidana Dalam pidana kehutanan ada dua jenis ancaman pidana pokok yaitu pidana badan / corporeal punishment dan denda. 9 Muladi dan Dwidja, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, h. 51-52. 9

Dalam Pasal 78, Bab Ketentuan Pidana, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menyebutkan hukuman bagi yang melanggar pasal mengenai membakar hutan adalah denda. Lengkapnya adalah sebagai berikut: Pasal 78 ayat (3) : Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Pasal 78 ayat (4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah). Selain pertanggungjawaban pidana, dalam hal pembakaran hutan, korporasi dapat dikenakan sanksi administratif maupun pertanggungjawaban perdata. Untuk sanksi administratif korporasi mendapatkan ancaman antara lain berupa pencabutan izin. Di samping ketentuan pidana pokok, untuk pidana tambahan berupa pembayaran ganti-rugi juga diwajibkan bagi pelaku pembakaran hutan, termasuk korporasi, dalam Pasal 80 yang bunyinya sebagai berikut Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan. Meskipun ancaman pidana sebagaimana diuraikan di atas pada dasarnya berlaku untuk semua subjek hukum yang melakukan tindak pidana di bidang kehutanan, termasuk pembakaran hutan, karena sifatnya pidana yang bersifat korporeal tidak bisa dikenakan terhadap korporasi. Dengan demikian, dalam konteks 10

tanggung jawab pidana atas korporasi dalam kasus pembakaran hutan, pidana yang secara nyata bisa dijatuhkan hanyalah pidana denda, di samping pidana tambahan seperti ganti-rugi dan pencabutan izin korporasi. Dalam hal demikian, penjatuhan pidana denda untuk korporasi menjadi jenis pidana utama yang bisa diterapkan. Sementara, ancaman pidana penjara sebenarnya juga memiliki fungsi pencegahan tindak pidana (fungsi deteren), sehingga tidak dapat diterapkannya pidana penjara untuk korporasi bisa mengurangi fungsi deteren pidana yang diancamkan dalam Undang-Undang Kehutanan. 11