IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Nisbah Kelamin Jantan Perlakuan pemberian pakan alami berupa artemia yang telah direndam dalam larutan aromatase inhibitor selama 24 jam dengan dosis 1500 mg/l, 1600 mg/l, dan 1700 mg/l berpengaruh nyata terhadap pengarahan kelamin jantan (maskulinisasi) ikan nila merah (P<0,05). Rata-rata persentase jantan berkisar antara 59,90±3,14% (kontrol) dan 95,86±1,92% (MT). Pada perlakuan aromatase inhibitor (imidazole) tertinggi yaitu 1700 mg/l dengan persentase jantannya sebesar 94,38±1,14% (Gambar 1, Lampiran 1). a b c d d Gambar 1. Histogram rata-rata persentase kelamin jantan ikan nila merah Oreochromis sp. Keterangan: AI 0 mg/l: aromatase inhibitor 0 mg/l; AI 1500 mg/l: aromatase inhibitor 1500 mg/l; AI 1600 mg/l: aromatase inhibitor 1600 mg/l ; AI 1700 mg/l: aromatase inhibitor 1700 mg/l; MT 50 mg/l: 17α-methyltestosteron 50 mg/l. 4.1.2 Kelangsungan Hidup Berdasarkan analisis sidik ragam, rata-rata kelangsungan hidup antar perlakuan tidak berbeda nyata (Gambar 2a). Kelangsungan hidup rata-rata ikan nila pada masa perlakuan untuk perlakuan aromatase inhibitor berkisar antara 90% dan 92,8% dan perlakuan MT 50 mg/l yaitu 90% (Lampiran 2). Berdasarkan analisis sidik ragam, pemberian aromatase inhibitor melalui bioenkapsulasi tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05) dengan kontrol dan MT terhadap kelangsungan hidup ikan nila saat pemeliharaan di kolam pasca
perlakuan (Gambar 2b). Kelangsungan hidup rata-rata ikan nila merah pasca perlakuan pada dosis 0 mg/l, 1500 mg/l, 1600 mg/l dan 1700 mg/l berkisar antara 76,26±5,57% dan 77,40±6,87%, sedangkan kelangsungan hidup ikan nila merah pada perlakuan MT 50 mg/l yaitu 71,81±6,31% (Lampiran 3). (a) Gambar 2. (a) Histogram rata-rata kelangsungan hidup ikan nila merah Oreochromis sp. saat perlakuan (b) Histogram rata-rata kelangsungan hidup ikan nila merah Oreochromis sp. pasca perlakuan Keterangan: AI 0 mg/l: aromatase inhibitor 0 mg/l; AI 1500 mg/l: aromatase inhibitor 1500 mg/l; AI 1600 mg/l: aromatase inhibitor 1600 mg/l ; AI 1700 mg/l: aromatase inhibitor 1700 mg/l; MT 50 mg/l: 17α-methyltestosteron 50 mg/l. 4.1.3 Laju Pertumbuhan Laju pertumbuhan diukur berdasarkan peningkatan bobot harian (Tabel 3, Lampiran 5,6). Berdasarkan analisis sidik ragam terhadap laju pertumbuhan bobot harian pada masa pemeliharaan berbeda nyata (P<0.05) antara perlakuan aromatase inhibitor, kontrol, dan MT (Lampiran 4). Rata-rata laju pertumbuhan harian ikan nila merah berkisar antara 11,01±0,07% dan 11,56±0,14%. Tabel 3. Rata-rata laju pertumbuhan ikan nila merah Oreochromis sp. Perlakuan Rata-rata Laju Pertumbuhan (%) AI 0 mg/l 11,01 ± 0,07 a AI 1500 mg/l 11,20 ± 0,18 ab AI 1600 mg/l 11,56 ± 0,14 b AI 1700 mg/l 11,54 ± 0,24 b MT 50 mg/l 11,33 ± 0,01 ab (b)
4.1.4 Parameter Kualitas Air Parameter kualitas air diuji saat awal perlakuan dan akhir perlakuan serta saat pemeliharaan di kolam pasca perlakuan (Tabel 4). Parameter kualitas air tersebut masih dalam kisaran optimal bagi pertumbuhan ikan nila. Nilai DO yang terukur selama masa perlakuan dan pasca perlakuan berada pada kisaran 4-5, dan nilai suhu berkisar antara 26-33 o C. Nilai ammonia berkisar antara 0,02-1,04 mg/l. Tabel 4. Kualitas air saat perlakuan dan pasca pemeliharaan ikan nila Parameter Awal perlakuan Akhir perlakuan Pemeliharaan Ammonia (mg/l) 0,02 1,04 0,52 Nitrit (mg/l) 2 3 5 ph 5,94 6,39 6,96 Salinitas ( ) 0 0 - Suhu min-max ( C) 26-29 26-29 28-33 DO (mg/l) 4-5 4-5 4,8-5,1 4.2 Pembahasan Perubahan jenis kelamin secara buatan pada ikan dimungkinkan karena pada fase pertumbuhan gonad belum terjadi diferensiasi kelamin dan belum ada pembentukan steroid sehingga perkembangan gonad tersebut dapat diarahkan dengan hormon steroid. Pengarahan kelamin jantan (maskulinisasi) dengan menggunakan aromatase inhibitor telah banyak memberikan keberhasilan. Pemberian aromatase inhibitor melalui perendaman embrio terhadap nisbah kelamin ikan nila merah Oreochromis sp. dengan dosis perendaman 20 mg/l selama 10 jam menghasilkan persentase jantan sebesar 82,22% (Nurlaela, 2002). Dan pemberian aromatase inhibitor melalui pakan buatan dengan dosis 1500 mg/kg pakan buatan menghasilkan persentase jantan ikan nila merah sebesar 78,63% (Liana, 2005). Berdasarkan hasil penelitian ini, perlakuan AI 1700 mg/l merupakan perlakuan yang memiliki persentase jantan tertinggi yaitu sebesar 94,38%, sedangkan perlakuan AI 1600 mg/l memiliki persentase jantan sebesar 85,88% dan untuk perlakuan AI 1500 mg/l memiliki persentase jantan sebesar 75,13%. Perlakuan aromatase inhibitor tersebut berbeda nyata dengan kontrol yang memiliki persentase jantan sebesar 59,90%. Persentase jantan pada perlakuan MT 50 mg/l yaitu sebesar 95,86%. Setelah dilakukan analisis statistik, antara perlakuan AI 1700 mg/l dan MT 50 mg/l tidak berbeda nyata. Mengacu pada
penelitian sebelumnya (Tasdiq, 2005), pemberian aromatase inhibitor melalui artemia pada hari ke-9 hingga hari ke-13 dengan dosis 1500 mg/l menghasilkan persentase jantan tertinggi yaitu sebesar 70,46%. Menurut Nagy et al. (1981), tingkat keberhasilan suatu bahan dalam mempengaruhi pengarahan jenis kelamin dipengaruhi oleh umur organisme, waktu pemberian, lama waktu pemberian, dan dosis pemberian serta faktor lingkungan. Selain digunakan untuk ikan yang bertelur yaitu ikan nila, pemberian aromatase inhibitor bisa diberikan juga untuk ikan yang bertelur dan melahirkan (ovovivipar) diantaranya yaitu ikan gapi dan platy. Pemberian aromatase inhibitor untuk ikan ovovivipar biasanya diberikan melalui perendaman induk betina karena telur hasil dari pembuahan sampai menetas menjadi embrio, berada dalam tubuh induk betina. Supriatin (2005) menyatakan bahwa pemberian aromatase inhibitor melalui perendaman induk ikan platy Variatus Xiphophorus variatus dengan dosis 150 mg/l menghasilkan persentase jantan sebesar 67,99%, dan Mazzida (2002) menyatakan bahwa keberhasilan pemberian aromatase inhibitor terhadap nisbah kelamin ikan gapi Poecilia reticulate Peters dengan dosis perendaman induk 50 mg/l selama 10 jam menghasilkan persentase jantan sebesar 54,29%. Menurut Kwon et al. (2000), periode waktu yang paling sensitif untuk perlakuan aromatase inhibitor adalah 7-14 hari setelah menetas, tetapi masa diferensiasi ikan nila masih terjadi hingga 30 hari setelah penetasan telur. Pemberian artemia yang direndam larutan aromatase inhibitor pada ikan nila merah saat umur 9-13 hari efektif terhadap maskulinisasi ikan nila merah (Oreochromis sp.) karena masa pemberian perlakuan masih dalam periode sensitif diferensiasi kelamin ikan nila merah tersebut. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa pakan alami dapat digunakan sebagai media aromatase inhibitor dalam mengarahkan pembentukan kelamin, terbukti dengan adanya peningkatan persentase jantan ikan nila merah setiap kenaikan dosis. Aromatase inhibitor yang terlarut mampu diserap artemia yang bersifat non selective filter feeder, dan menghambat aktivitas enzim aromatase dalam tubuh ikan nila merah.
Keuntungan metode bioenkapsulasi ini dibandingkan dengan metode lain (perendaman larva dan pakan buatan) adalah adanya penggunaan pakan alami (artemia) yang mengandung gizi yang lengkap, mudah dicerna dan tidak mencemari lingkungan. Selain itu, pakan alami yang bergerak tapi tidak begitu aktif memungkinkan larva untuk memangsanya. Kelemahan metode ini yaitu biaya yang lebih mahal dibandingkan pemberian aromatase inhibitor melalui pakan buatan dan perendaman artemia. Berdasarkan hasil yang diperoleh, pemberian aromatase inhibitor melalui bioenkapsulasi dalam artemia dengan dosis 1500 mg/l, 1600 mg/l dan 1700 mg/l tidak mempengaruhi kelangsungan hidup larva ikan nila merah baik saat perlakuan maupun pemeliharaan. Kelangsungan hidup larva perlakuan aromatase inhibitor tidak berbeda nyata dengan kelangsungan hidup larva perlakuan kontrol yang tidak menggunakan larutan perendaman aromatase inhibitor, begitupun dengan perlakuan MT 50 mg/l. Aromatase inhibitor tidak meracuni ikan, dipertegas oleh Tasdiq (2005), tidak ada korelasi antara mortalitas dengan pemberian aromatase inhibitor. Adanya larva yang mengalami kematian pada perlakuan dimungkinkan karena saat tersebut merupakan masa kritis larva pada masa organogenesis morfologis mencapai benih yaitu sampai 21 hari. Laju pertumbuhan dari ikan nila selama pemeliharaan secara umum memiliki pola laju pertumbuhan yang hampir sama antar perlakuan yaitu dengan kisaran 11,01-11,56%. Pemeliharaan pada tahap pembesaran dilakukan di kolam berdasar tanah yang merupakan media pemeliharaan yang banyak tersedia pakan alami. Pakan alami tersebut merupakan pakan tambahan bagi ikan yang dapat membantu pertumbuhan. Suhu yang terjadi saat pemeliharaan di kolam cukup tinggi yang dapat membantu fotosintesis bagi fitoplankton. Ketersediaan oksigen akibat fotosintesis dan aerasi saat pemeliharaan cukup optimal sehingga kebutuhan energi untuk kelangsungan hidup dan metabolisme pertumbuhan ikan tercukupi dengan baik. Berdasarkan data hasil kualitas air, diketahui bahwa parameter kualitas air saat perlakuan dan pasca perlakuan masih dalam batas yang dapat ditoleransi ikan sehingga kelangsungan hidupnya tinggi. Kisaran suhu pada masa perlakuan yaitu sebesar 26-29 o C masih dalam batas toleransi larva untuk hidup dan tumbuh.
Kandungan racun yang berbahaya dalam budidaya diantaranya adalah nitrogen. Nitrogen yang dibuang ikan ke perairan, 60-90% dalam bentuk amoniak, yang sangat toksik dan berbahaya bagi ikan bahkan dapat menyebabkan kematian ikan. Kadar ammonia pada masa perlakuan dan pasca perlakuan berkisar antara 0,02 sampai dengan 1,04 mg/l. Kadar ammonia sebaiknya berkisar < 0,1 mg/l, tetapi tingkat toleransi ikan terhadap amoniak (NH 3 ) pada umumnya adalah 0,0-2,0 mg/l (Boyd, 1990). Selama masa pemeliharaan kandungan ammonia tidak menunjukkan pengaruh yang buruk terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan nila. Nilai oksigen terlarut (DO) pada saat pemeliharaan berada dalam kisaran 4-5 mg/l. Menurut Popma dan Masser (1999), kondisi lingkungan yang optimum untuk kehidupan ikan nila merah yaitu kandungan oksigen sebesar 2,0-2,5 mg/l. Nilai DO pada saat pemeliharaan merupakan nilai optimum bagi ikan nila untuk hidup dengan baik.