PENDAHULUAN. pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR PUSTAKA. Amiruddin dan Asikin Zainal, H, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

WALIKOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG

BAB I PENDAHULUAN. guna tercapainya masyarakat adil dan makmur serta sejahtera. 1 Sesuai dengan Pasal

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 37 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 8 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR : 16 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG

a PEMERINTAH KOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BUPATI MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2015

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG

BUPATI JEMBRANA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARO NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARO,

PEMERINTAH KOTA MEDAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KABUPATEN BANDUNG

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN BUPATI BINTAN NOMOR 8 TAHUN 2017

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA METRO,

PEMERINTAH KABUPATEN SIDOARJO

BUPATI SIDOARJO PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PENGURANGAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

HENRY SINAGA ABSTRACT. Kata kunci : Implementation of Tax Collection, BPHTB, at Pematangsiantar

PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

BUPATI MUSI RAWAS, TENTANG

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2010 NOMOR : 4 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH

BUPATI BANGKA TENGAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 08 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BURU,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN TAHUN 2011 NOMOR 09 SERI A NOMOR 08 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN NOMOR 09 TAHUN 2011

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI KONAWE UTARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM,

B U P A T I T A N A H L A U T PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PERATURAN WALIKOTA JAMBI NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU. Nomor 12 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA PARIAMAN NOMOR 34 TAHUN 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PARIAMAN,

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

NOMOR lv TAHUN 2014 TENTANG

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN ( BPHTB )

PEMERINTAH KABUPATEN TANGGAMUS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2011 NOMOR

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2011 NOMOR : 1 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN

PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2011

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESAWARAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLUNGKUNG,

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PAJAK AIR TANAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BUPATI KERINCI NOMOR 21 TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA,

BUPATI MANGGARAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANGGARAI BARAT NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 23 TAHUN

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR dan BUPATI LUWU TIMUR MEMUTUSKAN :

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR 19 TAHUN 2016

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI MUSI RAWAS, TENTANG

BUPATI MALUKU TENGGARA

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI SIDOARJO PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN

BUPATI MAROS PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

PEMERINTAH PROVINSI IRIAN JAYA BARAT

BUPATI TAPIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 44 TAHUN 2001 TENTANG PAJAK PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH DAN AIR PERMUKAAN

WALIKOTA PANGKALPINANG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR 10 TAHUN 2013

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 55 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK PENERANGAN JALAN

BUPATI INDRAGIRI HULU PERATURAN BUPATI INDRAGIRI HULU NOMOR : 74 TAHUN 2012

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2011 NOMOR 16

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Pada tanggal 15 September 2009 yang lalu, oleh Pemerintah Republik Indonesia telah disahkan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. 1 Dalam Bab II, Bagian Ketujuh Belas, Pasal 85 sampai dengan Pasal 93 dan Bab XVIII, Pasal 180 angka 6 dan Pasal 182 angka 2 Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut diatur mengenai pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pemungutan BPHTB adalah salah satu bagian yang sangat penting dalam proses peralihan pemilikan hak ( balik nama ) atas tanah dan bangunan di Indonesia, karena Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ) dilarang untuk menandatangani akta peralihan hak sebelum wajib pajak melunasi BPHTB sebagaimana mestinya. 2 1 Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009, Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Bab XVIII, pasal 185. 2 Marihot Pahala Siahaan, Kompilasi Peraturan Di Bidang BPHTB, Panduan Dalam Penyusunan Aturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang BPHTB, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal. vii. 1

2 Sebelum Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diberlakukan, ketentuan-ketentuan mengenai pemungutan BPHTB ini diatur dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan, dan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2011, Undang-undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 3 Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut membawa perubahan besar dalam pemungutan BPHTB di Indonesia, karena Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merubah status pemungutan BPHTB yang semula merupakan pajak pemerintah pusat menjadi pajak pemerintah daerah kabupaten / kota. Perubahan status pemungutan BPHTB dari pajak pemerintah pusat menjadi pajak pemerintah daerah kota / kabupaten berdasarkan Pasal 180 angka 6 Undang- 180 angka 6. 3 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal

3 undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2011. Salah satu konsekuensi yang cukup mendasar dalam melaksanakan amanat Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut adalah bahwa setiap pemerintah kota / kabupaten di Indonesia yang ingin memungut BPHTB sebagai sumber penerimaan daerahnya diharuskan untuk terlebih dahulu menetapkan peraturan daerah ( Perda ) tentang BPHTB yang menjadi dasar hukum pemungutan BPHTB. 4 Dalam hal pemerintah kota / kabupaten belum menerbitkan Perda tentang BPHTB maka pemerintah kota / kabupaten tidak dapat memungut BPHTB, dengan demikian persyaratan lunas bayar BPHTB untuk memproses kegiatan peralihan pemilikan (balik nama) hak atas tanah dan atau bangunan menjadi gugur. 5 Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut dalam pelaksanaannya telah menimbulkan masalah di Kota Pematangsiantar, permasalahan timbul karena Pemerintah Kota Pematangsiantar sampai batas waktu yang telah ditentukan oleh Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yaitu tanggal 1 Januari 2011 belum juga menerbitkan Perda tentang BPHTB, akan tetapi sudah mulai memungut BPHTB. 4 Pasal 95 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009,Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 5 Surat Menteri Keuangan Nomor S-632/MK.07/2010, tanggal 30 November 2010, tentang Percepatan Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

4 Pemungutan BPHTB di Kota Pematangsiantar tersebut dilakukan bukan dengan dasar hukum Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar tetapi dengan Surat Walikota Pematangsiantar Nomor 975/007/I/DPPKAD/2011, tertanggal 04 Januari 2011 yang ditandatangani oleh Sekretaris Daerah atas nama Walikota Pematangsiantar. Surat Walikota Pematangsiantar tersebut ditujukan kepada seluruh Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ) wilayah kerja Kota Pematangsiantar termasuk kepada peneliti selaku Notaris dan PPAT Kota Pematangsiantar. Isi dari Surat Walikota Pematangsiantar tersebut antara lain ialah meminta kepada Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ) wilayah kerja Kota Pematangsiantar untuk mengarahkan masyarakat wajib pajak BPHTB agar menyetorkan BPHTB kepada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah ( DPPKAD ) Kota Pematangsiantar sambil menunggu Perda tentang BPHTB Kota Pematangsiantar diterbitkan. 6 6 Surat Sekretaris Daerah Kota Pematangsiantar, Nomor 975/007/I/DPPKAD/2011, tanggal 04 Januari 2011, tentang Penyetoran Titipan BPHTB

5 Surat Walikota Pematangsiantar tersebut menuai protes dari masyarakat wajib pajak BPHTB di Kota Pematangsiantar karena dianggap telah bertentangan dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 7 Keberatan masyarakat wajib pajak BPHTB tersebut ditanggapi oleh pemerintah pusat dalam hal ini oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia, yang dalam suratnya Nomor S- 104/PK/2011, tanggal 11 Februari 2011, pada pokoknya mengatakan bahwa pemungutan BPHTB dengan dasar Surat Walikota Pematangsiantar bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 8 Akhirnya dengan Surat Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Pematangsiantar, Nomor 970/1884/IV/DPPKAD/2011, tanggal 26 April 2011, Pemerintah Kota Pematangsiantar mengembalikan pemungutan BPHTB tersebut kepada wajib pajak BPHTB yang telah terlanjur dipungut dalam kurun waktu 1 Januari 2011 sampai dengan 23 Maret 2011 yaitu jangka waktu sebelum terbitnya Perda, yang jumlahnya sebesar Rp. 707.375.945.- ( tujuh ratus tujuh juta tiga ratus 7 Presiden Diminta Perintahkan Walikota Pematangsiantar Menarik Surat, Belum Ada Perda. Pemungutan BPHTB Jadi Kacau, Harian Sinar Indonesia Baru (SIB), Sabtu, tangggal 12 Februari 2011, halaman 1. 8 Surat Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Nomor S-104/PK/2011, tanggal 11 Februari 2011, tentang Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB )

6 tujuh puluh lima ribu sembilan ratus empat puluh lima rupiah ) dengan jumlah wajib pajak penyetor BPHTB sebanyak 107 ( seratus tujuh ) orang. 9 Sementara itu Peraturan Daerah yang mengatur mengenai BPHTB di Kota Pematangsiantar diterbitkan pada tanggal 21 Maret 2011 oleh Pemerintah Kota Pematangsiantar yakni Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar Nomor 6 tahun 2011 tentang Pajak Daerah dan kemudian pada tanggal 23 Maret 2011 diterbitkan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Walikota Pematangsiantar Nomor 2 tahun 2011 tentang Sistem Dan Prosedur Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Kota Pematangsiantar. Berangkat dari uraian-uraian peneliti tersebut di atas maka peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian dengan judul Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah ( Studi Di Kota Pematangsiantar ) 9 Surat Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Kota Pematangsiantar, Nomor 970/1884/IV/DPPKAD/2011, tanggal 26 April 2011, tentang Pengembalian Titipan BPHTB.

7 B. Perumusan Masalah. Perumusan masalah penelitian ini adalah : 1. Bagaimana Kewenangan Pemerintah Kota Pematangsiantar Dalam Pemungutan BPHTB Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah? 2. Bagaimana Pelaksanaan Pemungutan BPHTB di Kota Pematangsiantar Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah? 3. Bagaimana Status Hukum Setoran BPHTB Yang Dikembalikan Kepada Wajib Pajak BPHTB Akibat Surat Walikota Pematangsiantar Sebagai Dasar Pemungutan BPHTB Yang Bertentangan Dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah?

8 C. Tujuan Penelitian. ialah : Sesuai dengan perumusan masalah tersebut di atas maka tujuan penelitian ini 1. Untuk Mengetahui Kewenangan Pemerintah Kota Pematangsiantar Dalam Pemungutan BPHTB Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. Untuk Mengetahui Pelaksanaan Pemungutan BPHTB di Kota Pematangsiantar Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 3. Untuk Mengetahui Status Hukum Setoran BPHTB Yang Dikembalikan Kepada Wajib Pajak BPHTB Akibat Surat Walikota Pematangsiantar Sebagai Dasar Pemungutan BPHTB Yang Bertentangan Dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis, untuk memberikan sumbangan keilmuan pada perkembangan ilmu hukum. 2. Manfaat praktis, untuk turut memberikan sumbangsih bagi pemerintah, masyarakat dan pihak terkait lainnya apabila menghadapi kasus yang sama.

9 E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran penulis pada perpustakaan Program Studi Magister Kenotariatan, telah ditemukan beberapa judul tesis yang berkaitan dengan BPHTB, antara lain yaitu : 1. Tesis atas nama Bambang Hermanto, NIM 992105038, dengan judul Eksistensi UU No. 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan ( BPHTB ) Ditinjau Dari Aspek Hukum Administrasi Negara. 2. Tesis atas nama Diana Elisabeth Siallagan, NIM 057011019, dengan judul Pembebanan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan ( BPHTB ) Terhadap Pemisahan Dan Pembagian Warisan. 3. Tesis atas nama M. Syahrizal, NIM 057011052, dengan judul Tinjauan Yuridis Atas Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan ( PPh ) Dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan ( BPHTB ) Terhadap Peralihan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan di Kota Kisaran. 4. Tesis atas nama Shirley, NIM 067011080, dengan judul Kepatuhan PPAT Dalam Pembuatan Akta Hibah Berdasarkan UU BPHTB Di Kota Medan 5. Tesis atas nama Agustina Lusiana, NIM 097011061, dengan judul Analisis Hukum Atas Perbuatan Notaris Yang Menerima Penitipan Pembayaran

10 BPHTB ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/PD.B/2003/PN.MDN ). 6. Tesis atas nama Fery Mensen Bangun, NIM 107011054, dengan judul Perlindungan Hukum Bagi Notaris / PPAT Yang Dikenakan Sanksi / Denda Atas Akta Peralihan Hak Atas Tanah Dan / Atau Bangunan Sebelum Wajib Pajak Membayar BPHTB : Studi Di Kota Medan. Namun demikian perumusan masalah di dalam tesis-tesis tersebut di atas berbeda dengan perumusan masalah dari tesis peneliti, atau dengan perkataan lain judulnya sama yakni berkaitan dengan BPHTB namun permasalahan yang dibahas berbeda, oleh karena itu peneliti dapat menjamin sepenuhnya tentang keaslian penelitian ini bukan karya jiplakan ( plagiat ) dan peneliti dengan ini menyatakan bahwa peneliti bukan plagiator dan jika ternyata di kemudian hari terbukti peneliti melakukan plagiat maka peneliti bersedia untuk menerima sanksi berupa apapun juga atas tindakan plagiat tersebut.

11 F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori. Menurut Sudikno Mertokusumo kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan, kata teori mempunyai banyak arti dan biasanya diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa dihubungkan dengan kegiatan yang bersifat praktis. 10 Sedangkan menurut H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, teori berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti perenungan yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. Dalam banyak literatur beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berpikir yang tersusun secara sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), juga simbolis. 11 Sementara itu, teori hukum menurut JJ.H.Bruggink adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. 12 Menurut Meuwissen, tugas teori hukum ialah memberikan suatu analisis tentang pengertian hukum dan tentang pengertian-pengertian lain yang dalam 10 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pusaka, Yogyakarta, 2012, hal. 4 11 H.R. Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, hal. 21. 12 B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hal. 159-160.

12 hubungan ini relevan, kemudian menjelaskan hubungan antara hukum dengan logika dan selanjutnya memberikan suatu filasafat ilmu dari ilmu hukum dan suatu ajaran metode untuk praktek hukum. 13 Teori hukum yang dalam lingkungan berbahasa Inggris, disiplin ilmiah ini disebut jurisprudence atau legal theory 14 yang peneliti pilih sebagai pisau analisis yang akan dipergunakan untuk menganalisis hasil penelitian ini adalah Teori Yuridis Pemungutan Pajak ( certainty theory ) yang dipelopori oleh Adam Smith (Inggris), Teori Legalitas Kewenangan Pemerintah ( Legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur ) yang dipelopori oleh J.J. Rousseau (Perancis) dan Teori Norma Hukum Berjenjang ( stufen theory ) yang dipelopori oleh Hans Kelsen (Jerman). a. Teori Yuridis Pemungutan Pajak ( Certainty Theory ) oleh Adam Smith ( Inggris ). Dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, R. Santoso Brotodihardjo mengatakan dalam pemungutan pajak dikenal beberapa teori atau asas. Salah satu di antaranya ada yang disebut dengan Teori atau Asas Yuridis ( certainty theory ) yang dipelopori oleh Adam Smith. Menurut Teori atau asas Yuridis ini, pajak harus dapat memberi jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas baik untuk Negara maupun untuk warganya. Oleh karena itu segala sesuatu yang berkenaan dengan pajak harus 13 B. Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 31. 14 B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, hal.120

13 ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan untuk menghindari kesewenangwenangan dalam pemungutan pajak dan agar tidak terjadi penyelewengan dalam pemungutan pajak. Pajak yang harus dibayar oleh setiap wajib pajak harus jelas dan pasti. Kepastian itu meliputi subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dasar pengenaan pajak, dan lain-lain. Untuk menjamin kepastian dalam pemungutan pajak, maka pemungutan pajak harus berdasarkan hukum artinya pemerintah ( baik pusat maupun daerah ) sebelum melakukan pungutan apapun terhadap rakyatnya harus terlebih dahulu menyiapkan perangkat peraturan perundang-undangan. 15 b. Teori Legalitas Kewenangan Pemerintah ( Legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur ) oleh J.J. Rousseau ( Perancis ). Asas legalitas yang dipelopori oleh J.J. Rousseau, merupakan salah satu prinsip yang dijadikan dasar bagi kewenangan pemerintah, menurut asas ini bahwa wewenang pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan atau dengan kata lain sumber wewenang pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. 16 Pada mulanya asas legalitas dikenal dalam penarikan pajak oleh negara, di Inggris dikenal dengan sebutan no taxation without representation yang artinya tidak ada pajak tanpa persetujuan parlemen. Di Amerika Serikat terkenal dengan ungkapan taxation without representation is robbery, yang artinya pajak tanpa persetujuan 15 R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Refika Aditama, Bandung, 2003, hal.37. 16 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.103-104

14 parlemen adalah perampokan. Dari kedua ungkapan tersebut berarti bahwa penarikan pajak hanya boleh dilakukan setelah adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur pemungutan dan penetapan pajak. Asas legalitas ini juga dikenal dalam Hukum Pidana yaitu nullum delictum sine praevia lege poenali, yang artinya tidak ada hukuman tanpa undang-undang. 17 Kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangan-undangan itu diperoleh melalui 3 ( tiga ) cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini HD van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut : 18 1). Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan ( atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan ). 2). Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander ( delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. ) 3). Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander ( mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya ). Indroharto mengatakan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara: 19 1). yang berkedudukan sebagai original legislator, di Negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang dan di tingkat daerah adalah DPRD dan pemda yang melahirkan peraturan daerah. 17 Ibid, hal. 94 18 Ibid, hal. 104-105 19 Ibid.

15 2). yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha Negara tertentu. c. Teori Norma Hukum Berjenjang ( stufentheorie ) oleh Hans Kelsen ( Jerman ). Teori norma hukum berjenjang (stufentheorie) adalah ajaran dari Hans Kelsen yang mengatakan bahwa norma-norma hukum berjenjang-jenjang atau bertangga-tangga (stufen berarti tangga) dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lagi lebih lanjut yaitu norma dasar ( grundnorm ) 20 Norma hukum yang dimuat dalam suatu peraturan tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang diatur pada peraturan yang secara hierarki berada di atasnya. Secara garis besar ajaran norma hukum berjenjang berkisar pada pemahaman bahwa suatu norma hukum yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang berada di atas. Sebuah norma absah (valid) karena (dan bila) diciptakan dengan cara tertentu yaitu cara yang ditentukan oleh norma lain di atasnya. 21 Teori norma hukum berjenjang dari Hans Kelsen ini diilhami oleh muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa norma itu selalu mempunyai dua wajah artinya suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada 20 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal.25 21 Imam Soebechi, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal..9

16 norma yang di atasnya tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku yang relative oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya, sehingga apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula. 22 Teori Hans Kelsen tersebut selanjutnya dikembangkan lagi oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky yang mengatakan bahwa suatu norma hukum dari Negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang di mana norma yang di bawah berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. 23 Menurut Hans Nawiasky bahwa selain berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu Negara itu juga berkelompok-kelompok. Ada 4 kelompok besar yaitu : 1.) staatsfundamentalnorm ( norma fundamental Negara ) 2.) staatsgrundgesetz ( aturan dasar / pokok Negara ) 3.) formell gesetz ( undang-undang formal ) 4.) verordnung & autonome satzung ( aturan pelaksana dan aturan otonom.) 24 Ketiga teori inilah yang akan digunakan oleh peneliti sebagai dasar untuk menganalisis hasil penelitian ini nantinya. 22 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, op.cit., hal. 26 23 Ibid., hal. 27 24 Ibid.,

17 2. Kerangka Konsepsi. Kerangka konsepsi merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsepkonsep yang akan diteliti. Salah satu cara untuk menjelaskan konsep-konsep tersebut adalah dengan membuat definisi. Definisi merupakan suatu pengertian yang relatif lengkap tentang suatu istilah dan definisi bertitik tolak pada referensi. 25 Berikut ini diuraikan beberapa konsep / definisi / pengertian yang dijumpai dalam tesis ini dengan referensi yaitu Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana tercantum dalam Bab I, Pasal 1, Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah a. Pengertian Daerah Otonom. Daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia b. Pengertian Pemerintah Pusat. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik 25 Amiruddin dan H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 47-48

18 Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. c. Pengertian Pemerintahan Daerah. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan Tugas Pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. d. Pengertian Pemerintah Daerah. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. e. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. f. Pengertian Kepala Daerah. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota. g. Pengertian Peraturan Daerah. Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

19 h. Pengertian Peraturan Kepala Daerah. Peraturan Kepala Daerah adalah Peraturan Gubernur dan/atau Peraturan Bupati/Walikota. i. Pengertian Pajak Daerah. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. j. Pengertian Badan. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komaditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. k. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

20 l. Pengertian Bumi. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten / kota. m. Pengertian Bangunan. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut. n. Pengertian Nilai Jual Objek Pajak. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga ratarata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti o. Pengertian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. p. Pengertian Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan. q. Pengertian Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Hak atas Tanah dan / atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undangundang di bidang pertanahan dan bangunan.

21 r. Pengertian Subjek Pajak. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak. s. Pengertian Wajib Pajak. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. t. Pengertian Pajak Yang Terutang. Pajak Yang Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. u. Pengertian Pemungutan. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya. v. Pengertian Surat Setoran Pajak Daerah. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.

22 w. Pengertian Surat Pemberitahuan Pajak Terutang. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak. x. Pengertian Retribusi Daerah. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. y. Pengertian Notaris dan PPAT. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang jabatan notaris. 26 Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. 27 26 Indonesia, Undang-undang Nomor 30 tahun 2004, tentang Jabatan Notaris, Bab I, pasal 1, angka 1 27 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Bab I, pasal 1, angka 1.

23 G. Metode Penelitian. Metode ( Inggris : method, Latin : methodus, Yunani : methodos meta berarti sesudah, di atas, sedangkan hodos, berarti suatu jalan, suatu cara ). Mula-mula metode diartikan secara harfiah sebagai suatu jalan yang harus ditempuh, menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Metode penelitian secara harfiah menggambarkan jalan atau cara penelitian tersebut dicapai atau dibangun. 28 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian. Jenis penelitian dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan dan pendekatan yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu dalam menganalisis hasil penelitian peneliti berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian. 28 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2011, hal. 25 26.

24 2. Sumber Data. Sumber-sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumbersumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder serta bahan-bahan hukum tersier. 29 Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier atau bahan non hukum. 30 a. Bahan hukum primer yaitu bahan pustaka yang berisikan peraturan perundangundangan, yang terdiri dari : 1) Undang-undang Dasar 1945 2) Undang-undang Nomor 28 tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 3) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. 4) Undang-undang Nomor 33 tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. 5) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. 6) Undang-undang Nomor 12 tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 29 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal.141 30 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, hal.156-159.

25 7) Undang-undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan 8) Undang-undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan 9) Undang-undang Darurat Nomor 11 tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah. 10) Undang-undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 11) Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 12) Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 13) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 186/PMK.07/2010 dan Nomor 53 Tahun 2010, tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan sebagai Pajak Daerah. 14) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010, tentang Tahapan Persiapan

26 Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah. 15) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2010 tentang Badan atau Perwakilan Lembaga Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Atas Hak Tanah Dan Bangunan. 16) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 148/PMK.07/2010 tentang Badan atau Perwakilan Lembaga Internasional Yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. 17) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah. 18) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006, tanggal 13 Oktober 2006, tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.03/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. 19) Surat Menteri Keuangan Nomor: S 495/MK.07/2010 tanggal 29 September 2010 perihal Pedoman Penyusunan Perda dan Sistem Prosedur Pemungutan BPHTB. 20) Surat Menteri Keuangan Nomor: S 632/MK.07/2010 tanggal 30 November 2010 perihal Percepatan Penyusunan Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.

27 21) Surat Menteri Keuangan Nomor: S 690/MK.07/2010 tanggal 27 Desember 2010 perihal Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. 22) Surat Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Nomor S-104/PK/2011, tanggal 11 Februari 2011, tentang Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). 23) Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar Nomor 6 tahun 2011, tanggal 21 Maret 2011, tentang Pajak Daerah. 24) Peraturan Walikota Pematangsiantar Nomor 2 tahun 2011, tentang Sistim Dan Prosedur Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Kota Pematangsiantar. 25) Surat Walikota Pematangsiantar Nomor 975/007/I/DPPKAD/2011, tanggal 4 Januari 2011, tentang Penyetoran Titipan BPHTB. 26) Surat Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Pematangsiantar, Nomor 970/1884/IV/DPPKAD/2011, tanggal 26 April 2011 tentang Pengembalian Titipan BPHTB. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahanbahan hukum primer dan dapat membantu untuk proses analisis, yaitu : 1) Buku-buku yang ditulis para ahli hukum. 2) Doktrin / pendapat / ajaran dari para ahli hukum.

28 3) Jurnal-jurnal hukum dan lain-lain. c. Bahan Hukum Tersier atau bahan non hukum, yaitu berupa kamus, ensiklopedi, dan lain-lain. 31 3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data. Di dalam penelitian, pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan data yakni studi dokumen, pengamatan dan wawancara. Ketiga alat tersebut dapat dipakai secara bersamaan ataupun sendiri-sendiri. 32 Untuk memperoleh data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier peneliti akan menggunakan alat penelitian studi dokumen / kepustakaan atau penelitian kepustakaan ( library research ) dengan cara mengumpulkan semua peraturan perundangan, dokumen-dokumen hukum dan buku-buku yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian. 33 Penelitian ini didukung dengan data penunjang melalui wawancara dengan informan dari pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini yaitu para wajib pajak, Notaris dan PPAT wilayah kerja Kota Pematangsiantar, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara II berkedudukan di Kota Pematangsiantar, Kantor Pertanahan Kota Pematangsiantar dan Pemerintah Kota Pematangsiantar dalam hal 31 Ibid. 32 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hal.21 33 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Loc.Cit..

29 ini Kantor Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Kota Pematangsiantar, masing-masing sebanyak 1 ( satu ) orang. Lokasi penelitian adalah di Kota Pematangsiantar, lokasi ini dipilih didasarkan pertimbangan kesesuaian dengan judul penelitian di mana peneliti bertugas sehari-hari sebagai Notaris dan PPAT di Kota Pematangsiantar yang secara langsung mengalami pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan Pasca Keluarnya Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kota Pematangsiantar. Kota Pematangsiantar terletak lebih kurang 120 (seratus dua puluh) Km dari Kota Medan ibukota Provinsi Sumatera Utara dan merupakan kota terbesar kedua setelah Medan di Provinsi Sumatera Utara. Luas daratan Kota Pematangiantar adalah 79.971 (tujuh puluh sembilan ribu sembilan ratus tujuh puluh satu) Km2 terletak 400 (empat ratus) 500 (lima ratus) meter di atas permukaan laut. Wilayah Kota Pematangsiantar terbagi menjadi 8 ( delapan ) kecamatan yaitu Kecamatan Siantar Martoba, Siantar Marimbun, Siantar Selatan, Siantar Barat, Siantar Utara, Siantar Timur, Siantar Martoba, dan Siantar Sitalasari. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Siantar Sitalasari dengan luas wilayah 22.723 (dua puluh dua ribu tujuh ratus dua puluh tiga) Km2 atau sama dengan 28,41 % (dua puluh delapan koma empat puluh satu persen) dari total luas wilayah Kota Pematangsiantar. Saat ini Kota

30 Pematangsiantar dipimpin oleh Hulman Sitorus, S.E., sebagai Walikota dan Maruli Tua Hutapea, S.E., sebagai Ketua DPRD. 34 4. Analisis Data. Analisis data dalam penelitian ini adalah kegiatan-kegiatan yang meliputi : a. pengumpulan data, yakni mengumpulkan dan memeriksa ulang terhadap hasil-hasil penelitian baik yang berasal dari kepustakaan maupun dari lapangan. b. tabulasi data, yakni setelah data yang terkumpul lengkap selanjutnya ditabulasi lebih dahulu dengan cermat. c. sistematisasi data, yakni menyusun data yang telah ditabulasi secara sistematis. d. analisis data, yakni menganalisis data yang telah tersusun secara sistematis, dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis kualitatif yaitu analisis dengan menggunakan nalar peneliti. e. penarikan kesimpulan, yakni langkah terakhir dalam penelitian ini ialah dengan melakukan penarikan kesimpulan, peneliti menggunakan metode deduktif. 34 Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar, Pematangsiantar Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, Pematangsiantar, 2011, hal. 2.

31 5. Metode Penarikan Kesimpulan. Berakhirnya penelitian Tesis ini nantinya akan ditandai dengan selesainya dibuat laporan hasil penelitian yang disebut dengan kesimpulan yang merupakan hasil penelitian dalam ukuran kecil. 35 Dalam melakukan penarikan kesimpulan, peneliti menggunakan cara deduktif (penarikan kesimpulan dari yang umum ke yang khusus). 35 Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hal.142-143